) = HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN = = 1 (48) d u d. du du. du du. du du

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ") = HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN = = 1 (48) d u d. du du. du du. du du"

Transkripsi

1 9 ungsi sn u dikenal dalam matematik sebagai ungsi eliptik Jacobi[8,9,3]. Mirip dengan ungsi trigonometrik, dapat pula dideinisikan ungsi eliptik Jacobi cn u melalui hubungan: cn u = sn u = cosϕ (47) kemudian tinjau kembali integral eliptik versi Legendre pada persamaan (4), jelas terlihat: du = dϕ k sin ϕ (48) dan berdasarkan hubungan (48) dapat pula dideinisikan ungsi dn u melalui perumusan berikut ini yaitu: dϕ dn u = = k sn u du (49) dengan demikian, jelas bahwa ungsi ungsi tersebut memenuhi hubungan: cn u+ sn u = dn u+ k sn u = (5) (5) kemudian, untuk mengetahui turunan pertama bagi masing-masing ungsi terhadap variabel u, maka diperoleh hasil sebagai berikut: ( sn ) ( sinϕ ) d u d = = du du dϕ cosϕ = cn u dn u du d( cn u) d( cosϕ ) = = du du dϕ sinϕ = sn u dn u du d( dn u) d = ( k sinϕ ) = du du k sinϕ cosϕ dϕ = k sn ucn u k sinϕ du METODE PENELITIAN (5) (53) (54). Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 9 sampai dengan bulan Desember 9. Dan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB).. Peralatan Pada penelitian kali ini alat yang digunakan berupa laptop milik pribadi dengan processor Intel (R) Core (TM) Duo CPU dengan memory GB dan menggunakan Windows Vista Home Basic. Lalu pada penelitian ini juga menggunakan bantuan Sotware Mapple dan Mathematica Metode Penelitian 3. Studi Pustaka Pada penelitian ini studi pustaka dimulai dari pemecahan solusi satu persamaan NLS melalui pendekatan analisis sistem dinamik. Kemudian dengan proses yang sama maka persamaan modus tergandeng yang didapatkan dari perluasan persamaan NLS dapat diselesaikan secara eksak pula. Dan dengan bantuan ketiga ungsi eliptik, maka dapat diketahui perilaku trayektori solusinya dalam bidang asa. 3. Penurunan Solusi Secara Eksak Proses ini dilakuakan untuk mengetahui perilaku persamaan 55 dan 56 secara analitik, melalui pendekatan sistem dinamik. 3.3 Analisa Solusi Dengan Mapple dan Mathematica 7 Proses ini dilakukan untuk menganalisis hasil visualisasi gambar trayektori solusi yang didapatkan oleh kedua sotware yang digunakan. Sebenarnya dalam menunjukan bentuk trayektori solusi beserta aliran trayektorinya akan lebih baik menggunakan sotware Mathematica, namun dalam teknis pengerjaannya lebih mudah dikerjakan pada sotware Mapple, karena dalam Mapple sintaks yang digunakan lebih sederhana. Berbeda sekali dengan sotware Mathematica yang menggunakan algoritma pemrograman. Namun demikian hasil gambar yang diperoleh akan sama saja bentuknya, perbedaanya hanya dari segi tampilannya saja. HASIL DAN PEMBAHASAN. Solusi Eksak Soliton Optik Nonlinier Melalui Metode Sistem Dinamik Adanya propagasi gelombang soliter dalam modulasi nonlinier kisi Bragg optik yang menimbulkan ketidakseragaman distribusi medan listrik melintang sepanjang sumbu x telah dipelajari sebelumnya untuk pilihan yang lebih spesiik pada sistem parameternya[] dengan mengabaikan eek pembendung yang disebabkan oleh kondisi batas konvensional yang nantinya sangat diperhitungkan dalam proses pemebentukan gelombang. Ketidakseragaman proses distribusi medan transversal muncul dari

2 istilah diraksi yang telah diperkenalkan sebelumnya dalam model. berikut ini akan ditinjau model persamaan dierensial parsial yang terkopel, berikut persamaannya[]: P U ηu + c U + b U U + b U U * * ˆ N b N b N b + b U + Ub U + bn Ub + U Ub = (55) df AD ( K) A c N B F * * dx η (59) PU ˆb b ηu b + c N U + b N U b U + b N U b U 3 + ba + b ( A B ) bnb( 3A B ) bnab F = Ub + U Ub + bn U + Ub U = d F BD (56) ( η + K ) B cn A F dx (6) persamaan (55) dan (56) merupakan set 3 + bb ( A + B ) + bna( A + 3B ) + bnba F = persamaan dierensial parsial yang terkopel, pada persamaan tersebut nilai P dan ˆ Pˆb Dari kedua persamaan tersebut, maka akan merupakan operator persamaan dierensial direduksi sehingga hanya menghasilkan yang dideinisikan oleh sebuah persamaan sebuah persamaan dierensial biasa orde dua. ˆ P / / dan sebuah persamaan = i + z D x Caranya dengan menyamakan kedua ˆ P /, dengan parameter x persamaan tersebut berdasarkan order b = i z+ D / x ungsinya masing-masing. Ketika ungsi dan z yang mengimplikasikan keadaan berorder F disamakan didapatkan hubungan transversal dan longitudinal pada sistem koordinat masing-masing. Sementara itu parameter D yang dirumuskan sebagai D= k /Nk B menunjukan kekuatan dari eek diraksi yang timbul. Sedangkan parameter η merupakan rekuensi spasial yang dirumuskan sebagai η =k / NkB. Kemudian parameter c N adalah parameter yang nilainya sebanding dengan besarnya komponen Fourier N th berdasarkan ungsi suseptibilitas linier. Sedangkan parameter nonlinier b, bn,dan bn mempunyai nilai sebanding dengan nilai th, N th, dan N th yang merupakan komponen Fourier gabungan dari ungsi suseptibilitas nonlinier. Untuk menyelesaikan persamaan (55) dan persamaan (56), maka akan diperkenalkan sebuah ungsi Ansatz yakni: b ik z U (57) = AF x e ik z U (58) b = BF x e Dimana F merupakan ungsi real, sedangkan untuk AB,, dan K merupakan parameter ( b) yang konstan. Untuk menemukan dua buah set persamaan dierensial biasa orde dua, misal dengan menggunakan hubungan Kb = K ternyata didapatkan solusi yang trivial artinya nilai c =, b =, dan b = akibatnya jika N N N menggunakan hubungan tersebut maka penyelesaian persamaan dierensial yang didapatkan akan bernilai nol. Untuk menghindari hal tersebut gunakan hubungan berikutnya yaitu K, ternyata b = K =K persamaan (55) dan (56) memilki solusi yang non-trivial[], dengan memasukan hubungan tersebut ke persamaan ungsi Ansatz (57) dan (58) lalu masukan ke persamaan (55) dan (56) maka didapatkan hasil: ( η ) ( η ) K A cnb F + K B cna F = AD BD (6) A B c N K = (6) AB 3 Sedangkan ketika ungsi berorder F didapatkan sebuah hubungan: ( ) N ( 3 ) 3 ba A B b B A B bnab F AD bb( A + B ) + bna( A + 3B ) + b BA F = BD (63) 3 N [ ] [ ] Ab + bn ± A b + bn 4b N ± B = bn (64) pada persamaan (64) untuk bagian yang berada dalam ungsi akar bisa dideinisikan sebagai berikut: [ ] b + bn 4b N =Γ (65) sehingga persamaan (64) bisa dituliskan menjadi sebagai berikut: ± [ b + bn ] ± Γ ± B = A (66) bn kemudian untuk membuat persamaan (66) terlihat lebih sederhana maka akan dimisalkan sebuah ungsi α yaitu: [ b b ] + N ± Γ α ± = bn (67)

3 sehingga persamaan (66) akan terlihat menjadi sebuah persamaan yang cukup sederhana yaitu: B = α A ± ± ( ) ( 3 ± N ) ± (68) setelah mendapatkan persamaan (68), maka substitusikan persamaan (68) ke persamaan (59) untuk order ungsi F 3 saja. Sehingga akan didapatkan persamaan sebagai berikut: b 3 3 α b α α bnα A F D (69) berdasarkan persamaan (69), akan dimisalkan sebuah parameter yang dirumuskan: ( ± ) ( 3 3 N ) b + α + b α + α + bnα A = D (7) kemudian substitusikan persamaan (68) ke persamaan (6) maka akan didapatkan: α c N K = (7) α ± setelah itu substitusikan persamaan (7) ke persamaan (59) untuk order ungsi F saja. Sehingga akan didapatkan persamaan: ( αη + α c N ) F (7) α ± D dan berdasarkan persamaan (7), akan dimisalkan sebuah parameter yang dirumuskan sebagai berikut: ( αη + α c N ) = (73) α ± D dengan demikian PDB orde dua yang didapatkan dan nantinya akan dianalisa secara sistem dinamik yaitu: d F 3 F F dx + = (74) dengan mengatur kembali persamaan (74) akan didapatkan persamaan: d F 3 F + F dx + = (75) dimana nilai / dapat dipandang sebagai eective diraction strength, sedangkan nilai / dapat dipandang sebagai eective cubic nonlinier coeisient atau disebut juga suseptibilitas orde ketiga ( 3) χ. Kemudian dengan memisalkan F = F dan F = F akan didapatkan sebuah set persamaan dierensial biasa orde satu yaitu: F = F 3 F = F F (76) (77) Setelah itu untuk mengetahui proses biurkasi apa yang terjadi, coba tinjau persamaan (77). Berdasarkan persamaan (77) didapatkan set titik kritis yaitu: F = (78) F =± (79) Dari kedua titik kritis tersebut, dapat dengan mudah dibuktikan bahwa untuk kasus <, > dan >, < hanya terdapat s atu buah titik kritis yaitu F = dengan persamaan linier yang terkait diberikan oleh: F = F λ = (8) dengan λ =, sedangkan untuk kasus <, < dan >, > terdapat tiga buah titik kritis yaitu F = dan F =± dengan persamaan liniernya diberikan oleh: F = F λ, = (8) untuk F =± dengan λ, = dan untuk F = dengan λ = memilki persamaan yang sama dengan persamaan (8). Berdasarkan persam aan (8), untuk kondisi <, > dan >, < titik kritis yang terkait merupakan titik Sadel yang bersiat stabil. Sedangkan untuk kondisi <, < dan >, > titik Sadel tersebut bersiat tidak stabil, tetapi di lain pihak untuk titik kritis F =± berdasarkan persamaan (8) keduanya bersiat stabil. Berikut ilustrasi diagram biurkasinya untuk satu dimensi: F, Gambar Diagram Biurkasi satu dimensi untuk Persamaan (77) sedangkan untuk diagram biurkasi dua dimensi dibagi tiga kondisi yakni untuk nilai >, < lalu, = dan yang terakhir

4 ketika, > perhatikan gambar -3 berikut ini. F Gambar Diagram Biurkasi dua dimensi untuk kasus >, < dan <, > F Gambar Diagram Biurkasi dua dimensi untuk kasus, = F F F F F F A= A = 3F F F (8) sedangkan set titik kritis yang didapat dari persamaan (76) dan (77) yaitu: F =, F = (83) F = ±, F = (84) untuk kasus > harga eigen yang terkait dengan masing- masing titik kritis diberikan oleh kedua nilai berikut: λ =± (85) λ =± (86) dari kedua nilai tersebut dapat dengan mudah disimpulkan bahwa titik kitis (83) merupakan sebuah titik Sade l, sedangkan titik kritis ( 84) m erupakan titik Center. Kemudian unt uk kasus < harga eigen yang terkait dengan masing-masing titik kritis diberikan oleh kedua nilai berikut: λ = ± (87) λ =± (88) Dari kedua nilai tersebut dapat dengan mudah disimpulkan bahwa titik kritis (83) merupakan titik Cen ter, sed angkan titik kritis (84) merupakan titik Sadel. Dengan demikian, dapat diperoleh bahwa kedua persamaan (76) dan(77) memilki hubungan simultan yang sama artinya jika < maka < begitu pula sebaliknya, sebab jika hubungannya kontradikti maka hanya menimbulkan satu buah titik kritis saja. ilustrasi gambar trayektori terkait dengan menggunakan Mathematica dan Mapple diberi kan pada gambar 4-7 Plot Bidang Fase 4 Gambar 3 Diagram Biurkasi dua dimensi untuk kasus, > dan, < berdasarkan gambar -3 tersebut, ternyata dari persamaan (77) biurkasi yang terjadi merupakan biurkasi Pitch-Fork. Kemudian untuk mengetahui bentuk aliran trayektori persamaan (76) dan (77) akan dibangun konstruksi matriks Jacobian yang sesuai dengan kedua persamaan tersebut yaitu: FHtL F HtL Gambar 4 Plot kasus <, < dengan menggunakan Mathematica

5 3 FHtL Gambar 5 Trayektori Kasus <, < dengan menggunakan Mapple Plot Bidang Fase F HtL Gambar 6 Plot untuk kasus >, > Dengan menggunakan Mathematica Gambar 7 Trayektori Kasus >, > dengan menggunakan Mapple. Analisa Sistem Dinamik Fungsi Eliptik Jacobi Pada Soliton Optik Nonlinear Pada pembahasan sebelumnya ungsi F tersebut masih berupa ungsi sembarang. Unt uk soliton spasial punya dua jenis tipe soliton yakni Bright Soliton dan Dark Soliton. Pada kasus Bright Soliton ungsi F merupakan ungsi sech ( ζ x). Sedangka n untuk Dark Soliton ungsi F merupakan ungsi tanh ( ζ x). Namun untuk penelitian kali ini akan digunakan ungsi F yang merupakan ungsi dari Jacobian Eliptik sn ( ζ x,, cn ( ζ x,, dandn ( ζ x,. Dimana parame ter k menunjukan modulus yang terkontrol, sedangkan parameter zeta ( ζ ) dapat dipandang sebagai rekuensi sudut. Untuk mendapatkan nilai kedua parameter tersebut, Pertama-tama substitusikan ungsi sn ζ x, k ke persamaan (74) maka diperoleh: sn ζ xk, ζ ζ k sn ζ xk, ζ k + = 3 sn ( ζ xk, ) + sn ( ζ xk, ) (89) dengan mengatur kembali persamaan (89) ma ka diperoleh: ( x ζ ζ k sn ζ, + sn ( ζ xk, ) = ζ k + sn ( ζ x, (9) berdasarkan persamaan (9), ternyata persamaan tersebut bisa dikelompokan menurut ungsi sn ( ζ x, k ) sehingga persamaan (9) menjadi: ζ k + sn ζx, k ζ ζ k = (9) dari persamaan (9) terlihat, bahwa dengan meyelesaikan persamaan (9) secara aljabar biasa maka akan diperoleh nilai dari koeisien zeta ζ dan koeisien k. Berikut hasilnya: k =± ζ 4 ζ =± (93) kemudian substitusikan persamaan (93) ke persamaan (9), dalam hal ini gunakan nilai bertanda positi, sehingga diperoleh: k = (9) (94)

6 4 Langkah berikutnya, substitusikan ungsi cn ζ x, k ke persamaan (74) maka akan didapatkan hasil: ( ζ xk, ) ζ k sn ( ζ xk, ) ζ cn ( ζ x, cn = + ( cn ( xk ζ, ) + sn ( ζ xk, ) ) (95) dengan mengatur kembali persamaan (95), maka akan diperoleh: ζ k sn ( ζ x, ζ cn ( ζ xk, ) = + sn ( ζ xk, ) (96) dari persamaan (96) dapat diperoleh, bahwa persamaan (96) ternyata bisa dikelompokan b erdasarkan ungsi sn ( ζ x, k ) sehingga persamaanya menjadi: ( x ζ k sn ζ, ζ + = (97) dengan demikian, dari persamaan (97) terlihat, bahwa dengan meyelesaikan persamaan (97) secara aljabar biasa maka akan diperoleh nilai dari koeisien zeta ( ζ ) dan koeisien k. Berikut hasilnya: k =± (98) ζ ζ = ± (99) kemudian substitusikan persamaan (99) ke persamaan (98), dalam hal ini gunakan nilai bertanda positi, sehingga diperoleh: k = () sn x, k Setelah ungsi ( ζ ) dan cn ( ζ x, k ), berikut akan disubstitusikan ungsi dn ( ζ x, k ) ke persamaan (74), sehingga diperoleh: dn ( ζ xk, ) ζ k sn ( ζ xk, ) ζ k dn ( ζ xk, ) = + dn ζ xk, + k sn ( ζ x, () dengan mengatur kembali persamaan (), ma ka akan diperoleh: ζ k sn ζ x, k ζ k dn ( ζ xk, ) = + k sn ( ζ x, () sama halnya dengan cara yang diterapkan pada kedua ungsi sebelumnya, ternyata persamaan () bisa pula dikelompokan b erdasarkan ungsi sn ( ζ x, k ) sehingga diperoleh hasil: ζ k k sn ζ x, k ζ k + = (3) dengan demikian, dari persamaan (3) terlihat, bahwa dengan meyelesaikan persamaan (3) secara aljabar biasa maka akan diperoleh nilai dari koeisien zeta ( ζ ) dan koeisien k. Berikut hasilnya: k =± ζ =± (5) kemudian substitusikan persamaan (5) ke persamaan (4), dalam hal ini gunakan nilai bertanda positi, sehingga diperoleh: ζ (4) k = (6) dengan didapatkannya keseluruhan nilai dari parameter k dan zeta ( ζ ) untuk keseluruhan ungsi sn ( ζx,,cn( ζx,, dandn ( ζ x,, maka akan bisa dianalisa secara satu per satu nilai kedua parameter tersebut yang cocok pada ungsinya masing-masing. Untuk ungsi sn ( ζ x, k ) nilai parameter keduanya harus memenuhi syarat, < agar nilai dari parameter k dan zeta ( ζ ) bernilai real, kemudian untuk ungsi cn ( ζ x, nilai dari parameter k dan zeta ( ζ ) harus me menuhi syarat, > < atau <, >. Sedangkan untuk ungsi dn ( ζx, syarat yang harus dipenuhi yaitu <, > atau, >. Dengan memasukan syarat tersebut ke parameter untuk ungsi masing masing, maka bisa ditinjau bentuk trayektori solusi dari masing-masing ungsi. Berikut ini tinjau kembali persama an (76) dan (77), Hamiltonian yang cocok dengan persamaan tersebut yaitu: H 4 F F = + 4 F (7) dimana persamaan (75) dan (76) memenuhi persamaan kanonik: H F = (8) F H F = F (9)

7 5 mengingat pada titik (,) merupakan titik Sadel untuk syarat, >, maka nilai Hamiltonian untuk trayektori yang terkait den gan titik kritis tersebut adalah H =. Dengan demikian, sambil memperhatikan kenyataan terdapat dua buah titik Center dan sebuah titik Sadel di titik asal, maka bentuk trayektori yang dimaksud diberikan pada gambar 8. Berikut ini tinjau kembali persamaan (7), dengan mensubstitusikan ungsi eliptik Jacobi sn ( ζx,,cn( ζx,, dandn ( ζ x, secara bergantian ke parameter F, kemudian turunan pertama dari masing-masing ungsi Jacobian eliptik secara bergantian ke parameter F, lalu pilih nilai x =. Maka akan didapatkan betuk trayektori solusi yang terkait ketiga ungsi eliptik tersebut. Untuk ungsi eliptikal Jacobi sn ( ζ x, k ) syarat parameter yang harus dipenuhi yaitu, <. Sehingga bentuk trayektori yang dapat diper oleh diberikan pada gambar 3. Gambar 8 Trayektori untuk H = Sedangkan untuk titik kritis (,) yang merupakan titik Center untuk syarat, <, maka nilai hamiltonian yang terkait d engan titik kritis tersebut yaitu H = /4. Dengan demikian, sambil memperhatikan kenyataan terdapat dua titik Sadel dan sebuah titik Center di titik asal, maka bentuk trayektori yang dimaksud diberikan pada gambar 9. G ambar 9 Trayektori untuk H = /4 G sn, ambar 3 Trayektori ungsi ( ζ x k ) d engan kondisi k < dan h> dari gambar 3, dapat diketahui ternyata sn ζ x, k berada di dalam trayektori ungsi yang terkait untuk Hamiltonian H = /4 yang ditunjukan pada gambar 9. Pada gambar 3 dapat diketahui pula kondisi yang dipenuhi dari gambar ketika nilai h >, nilai h disini menyatakan Fungsi hamiltonian ketika ungsi F dan F digantikan oleh ungsi eliptik. Kemudian untuk ungsi Jaco bi cn ( ζ x, syarat parameter yang harus dipenuhi yaitu, > <. Dimana dalam koeisien ada parameter yang bersiat bebas yaitu parameter A yang secara isis melambangkan amplitudo pada persamaan. Dengan demikian ketika parameter A dipilih secara bebas dan berpengaruh langsung terhadap parameter mengakibatkan muncul dua buah kondisi yaitu h > dan h <. Untuk kondisi h > ternyata gambar trayektori solusinya berada di luar

8 6 trayektori untuk H =, sedangkan kondisi h < gambar trayektori solusinya berada di dalam. Artinya dengan memvariasikan nilai parameter yang terkait dengan parameter bebas A maka akan didapatkan dua kondisi yang berbeda. Namun kondisi tersebut tidak bisa ditebak secara bebas artinya ketika nilai h > bukan berarti berada di luar trayektori solusi untuk gambar 8, sebab pada ungsi sn ζ x, k kondisi yang diperoleh berada di ( ) h > dan ternyata berada di dalam trayektori solusi untuk H = /4. Berikut ini ilustrasi yang didapat untuk kedua kondisi cn ζ x, k. tersebut pada ungsi Untuk ungsi Jacobi dn ( x, engan ungsi jacobi ( ζ x d cn, ζ sama halnya, namun syarat yang harus dipenuhi, > <. Untuk memahaminya, perhatikan ilustrasi ga mbar 33 dan 34 berikut. Gambar 33 Trayektori ungsi dn ( ζ x, dengan kondisi h < dan k < Gambar 3 Trayektori ungsi cn ( ζ x, dengan kondisi h < dan k > Gambar 34 Trayektori ungsi dn ( ζ x, dengan kondisi h > dan k > Gambar 3 Trayektori ungsi cn ( ζ x, dengan kondisi h > dan k < berdasarkan gambar 3-34, ternyata memiliki keunikan tersendiri yaitu untuk gambar 3-3 unt ungsi cn ζ x, k antara nilai h dan k uk memiliki hibungan terbalik, sedangka n untuk gam bar antara nilai h dan k memiliki hubungan kesebandingan (lurus).

9 7 Untuk lebih memahami bentuk dari ketiga ungsi eliptik, maka berikut ini akan diilustrasikan bentuk ungsi eliptik secara masing-masing terhadap sumbu x pada koordinat cartesian dengan memenuhi kondisi syaratnya masing-masing. Gambar 38 Plot Fungsi dn ( x, ζ terhadap sumbu x dengan kondisi h < dan k < Gambar 35 Plot Fungsi sn ( ζ x, k ) terhadap sumbu x dengan kondisi k < dan h> G ambar 39 Plot Fungsi dn ( x, ζ terhadap sumbu x dengan kondisi h > dan k > Gambar 36 Plot Fungsi cn ζ x, k terhadap sumbu x dengan kondisi h > dan k < terhadap sumbu x dengan kondisi h < dan k > Gambar 37 Plot Fungsi cn ( ζ x, berdasarkan gambar dapat dinyatakan pula bahwa untuk gambar 36 dan 39, ternyata plot yang dihasilkan berpotongan dengan sumbu x, sedangkan untuk gambar 37 dan 38 plot yang dihasilkan tidak berpotongan terha dap sumbu x. Dengan dem ikian untuk mendapatkan plot yang berpotongan dengan sumbu x maka kondisi yang harus dipenuhi yaitu ketika h >. Kemudian berdasarkan gambar 35 jika dilihat secara mendalam ternyata serupa dengan bentuk graik ungsi sinus pada ungsi trigonometri yang terkait dengan ungsi ganjil. Sedangkan untuk gambar 36 dan 39 ternyata serupa dengan graik ungsi cosinus pada ungsi trigonometri yang terkait dengan ungsi genap. Untuk lebih memahami bentuk trayektori solusi ketiga ungsi eliptik yang telah ditunjukan pada gambar sebelumnya, maka

10 8 berikut ini akan diilustrasikan pada gambar 4 bentuk trayektori solusi gabungan ketiga ungsi eliptik. Gambar tersebut didapatkan dengan cara memplotkan ketiga ungsi eliptik yang direpresentasikan pada sumbu x terhadap ungsi turunan pertama dari ketiga ungsi eliptik masing-masing pada sumbu y. Lalu untuk membedakannya digunakan warna yang berbeda-beda, yaitu ungsi sn ( ζ x, k ) berwarna biru, ungsi cn ( ζ x, berwarna hitam, dan dn ζ x, k berwarna merah. ungsi Gambar 4 Trayektori solusi untuk ungsi cn ζ x, k dan dn ζ x, k ketika k < Gambar 4 Gabungan Trayektori untuk sn ζx, k,cn ζx, k,dandn ζ x, k ungsi berdasarkan ilustrasi gambar 4, dapat diketahui bahwa untuk trayektori ungsi s n ( ζ x, k ) (biru) cocok dengan bentuk trayektori dua titik sadel dan satu titik Center di titik asal. Sedangkan untuk ungsi cn ( ζ x, dan dn ( ζ x, (hitam dan merah) terkait dengan bentuk trayektori dua titik Center dan satu titik Sadel yang berada di titik asal. Dengan demikian bentuk trayektori masing-masing ungsi cocok dengan bentuk trayektori gabungan yang diilustrasikan pada gambar 4 di atas. Kemudian berdasarkan gambar 4, ungsi cn ( ζ x, dan dn ( ζ x, dapat diklasiikasikan secara dua jenis, yaitu untuk jenis pertama terkait dengan kondisi k < yang diilustrasikan pada gambar 4. Sedangkan untuk jenis kedua terkait dengan kondisi k > yang ditunjukan pada gambar 4. Gambar 4 Trayektori solusi untuk ungsi cn ζ x, k dan dn ζ x, k ketika k > Berdasarkan gambar 4 untuk kondisi k < trayektori solusi ungsi cn ( ζ x, berada diluar trayektori gambar 8 yang ditunjukan oleh warna biru, sedangkan trayektori solusi ungsi dn ( ζ x, berada di dalam trayektori gambar 8 yang ditunjukan oleh warna merah. Kemudian untuk gambar 4 berlaku kebalikannya yakni ungsi cn ( ζ x, yang ditunjukan warna biru berada di dalam trayektori solusi gambar 8, sedangkan untuk ungsi dn ( ζ x, yang ditunjukan oleh warna merah berada di luar trayektori solusi gambar 8. Dengan demikian berdasarkan kedua

11 9 kondisi tersebut antara ungsi cn ( ζ x, dn ( x, berkeb dan ζ memiliki hubungan alikan, yang artinya untuk kondisi k berbeda maka trayektori solusinya akan saling bertukar tempat. Namun nantinya akan ada satu kondisi yang membuat kedua bentuk trayektori solusi memiliki bentuk yang sama. Kondisi yang dimaksud yakni ketika k =. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan Pada penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal penting yakni, yang pertama biurkasi yang terjadi pada pe rsamaan (74) merupakan proses biurkasi Pitch-Fork, hal ini ditandai dengan kemunculan dua buah titik kritis bersiat stabil ketika kondisi >, > Kemudian yang kedua bentuk trayektori yang didapat memilki syarat simultan yang artinya nilai, > dan, <, sebab jika kedua parameter tersebut berbeda tanda maka hanya memilki satu buah titik kritis saja. Kemudian untuk trayektori solusi ungsi sn ( ζ x, k ) kondisi yang harus dipenuhi yaitu, < kemudian untuk ungsi cn ( ζ x, kondisi yang harus dipenuhi adalah, > uk ungsi <. dan unt dn ( ζ x, kondisinya sama dengan ungsi cn ( ζ x, yaitu, > <. Kemudian berdasarkan gambar 4 dapat dilihat bahwa trayektori ungsi sn ( ζ x, k ) terkait dengan titik Center yang berada di titik asal, sedangkan untuk ungsi cn ( ζ x, dan dn ( ζ x, terkait dengan titik Sadel yang berada di titik asal. Berdasarkan gambar trayektori solusi ketiga buah ungsi eliptik ada beberapa hal yang perlu diingat yaitu yang pertama ketiga ungsi memiliki kondisi h yang berbeda-beda. Dalam hal ini tidak selalu bisa dipastikan untuk h < berada di dalam trayektori solusi Hamiltonian, begitu pula sebaliknya. Faktor yang menyebabkan nilai h< atau h> berasal dari pemilihan parameter yang di dalamnya terkait dengan suatu parameter bebas yakni parameter A yang secara isis dapat dipandang sebagai amplitudo persamaan. Dan nilai A yang dipilih harus selalu lebih besar dari nol, andaikan bernilai negati hal itu terjadi bukan karena pemilihan nilai A, melainkan aktor paramet er lain di dalam yang bernilai negati. Kemudian yang kedua ( ζ x dan dn ( x, ungsi cn, ζ terkait dengan kondisi k yang berbeda yakni untuk k < ditunjukan pada gambar 4, sedangkan untuk kondisi k > ditunjukan pada gambar 4.. Saran Penelitian ini perlu dikembangkan leb ih lanjut, terutama secara kajian teoritik. Ada beberapa hal yang mungkin dilakukan yakni menggan ti ungsi Eliptik Jacobi den gan ungsi-ungsi khusus lainnya seperti ungsi Beta, Gamma, dan Bassel. Dan untuk lebih menarik lagi dalam proses penelusuran persamaan secara eksak, bisa digunakan persamaan untuk solion Temporal, sehingga dalam hal ini dapat dilihat pengaruh waktu dalam proses penjalaran gelombang soliton.

( t) TINJAUAN PUSTAKA. x dengan nilai fungsi dari: x

( t) TINJAUAN PUSTAKA. x dengan nilai fungsi dari: x Berawal dari apa yang telah disampaikan sebelumnya, pada skripsi kali ini akan dipelajari bagaimana perilaku trayektori solusi soliton sistem optik periodik melalui pendekatan analisis sistem dinamik yang

Lebih terperinci

SOLUSI PERIODIK ELIPTIK JACOBI PERSAMAAN MODUS TERGANDENG SISTEM KISI BRAGG ANDRIAL SAPUTRA

SOLUSI PERIODIK ELIPTIK JACOBI PERSAMAAN MODUS TERGANDENG SISTEM KISI BRAGG ANDRIAL SAPUTRA SOLUSI PERIODIK ELIPTIK JACOBI PERSAMAA MODUS TERGADEG SISTEM KISI BRAGG ADRIAL SAPUTRA DEPARTEME FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DA ILMU PEGETAHUA ALAM ISTITUT PERTAIA BOGOR ii Andrial Saputra: Solusi Periodik

Lebih terperinci

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR A V PERAMATAN GELOMANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR 5.. Pendahuluan erkas (beam) optik yang merambat pada medium linier mempunyai kecenderungan untuk menyebar karena adanya efek difraksi; lihat Gambar

Lebih terperinci

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan 4 3.2 Peralatan..(9) dimana,, dan.(10) substitusi persamaan (10) ke persamaan (9) maka diperoleh persamaan gelombang soliton DNA model PBD...(11) agar persamaan (11) dapat dipecahkan sehingga harus diterapkan

Lebih terperinci

MAT 602 DASAR MATEMATIKA II

MAT 602 DASAR MATEMATIKA II MAT 60 DASAR MATEMATIKA II Disusun Oleh: Dr. St. Budi Waluya, M. Sc Jurusan Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Unnes 1 HIMPUNAN 1. Notasi Himpunan. Relasi Himpunan 3. Operasi Himpunan A B : A B

Lebih terperinci

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA Pada bab ini akan dimodelkan permasalahan penyebaran virus flu burung yang bergantung pada ruang dan waktu. Pada bab ini akan dibahas pula analisis dari model hingga

Lebih terperinci

KALKULUS 1 UNTUK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA OLEH: DADANG JUANDI, DKK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FPMIPA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KALKULUS 1 UNTUK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA OLEH: DADANG JUANDI, DKK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FPMIPA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA KALKULUS UNTUK MAHASISWA 9 CALON GURU MATEMATIKA OLEH: DADANG JUANDI, DKK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FPMIPA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN. Sistem Bilangan Real Dalam Uraian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Melalui penerapan metode bedahingga dengan interpolasi Lagrange sebagai syarat batas terkait, maka solusi numerik dari dinamika dan interaksi soliton DNA model PBD dapat dicari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika,

Lebih terperinci

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI MODUL MATEMATIKA II Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI DEPARTEMEN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL KATA PENGANTAR Puji sukur kehadirat Allah SWT

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah Penelusuran tentang fenomena belalang merupakan bahasan yang baik untuk dipelajari karena belalang dikenal suka berkelompok dan berpindah. Dalam kelompok,

Lebih terperinci

Respect, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Kalkulus Kode : CIV 101. Limit Fungsi. Pertemuan - 2

Respect, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Kalkulus Kode : CIV 101. Limit Fungsi. Pertemuan - 2 Respet, Proessionalism, & Entrepreneurship Mata Kuliah : Kalkulus Kode : CIV 101 SKS : 3 SKS Limit Fungsi Pertemuan - Respet, Proessionalism, & Entrepreneurship Kemampuan Akhir yang Diharapkan Mahasiswa

Lebih terperinci

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan 6, 1 (2.52) Berdasarkan persamaan (2.52), maka untuk 0 1 masing-masing memberikan persamaan berikut:, 0,0, 0, 1,1, 1. Sehingga menurut persamaan (2.51) persamaan (2.52) diperoleh bahwa fungsi, 0, 1 masing-masing

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan beberapa teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta teorema-teorema

Lebih terperinci

1 Sistem Bilangan Real

1 Sistem Bilangan Real Learning Outcome Rencana Pembelajaran Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat ) Menentukan solusi pertidaksamaan aljabar ) Menyelesaikan pertidaksamaan dengan nilai mutlak

Lebih terperinci

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L)

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L) DERET FOURIER Bila f adalah fungsi periodic yang berperioda p, maka f adalah fungsi periodic. Berperiode n, dimana n adalah bilangan asli positif (+). Untuk setiap bilangan asli positif fungsi yang didefinisikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai landasan teori yang akan digunakan pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan matematika, teorema Taylor, nilai eigen,

Lebih terperinci

a home base to excellence Mata Kuliah : Kalkulus Kode : TSP 102 Limit Fungsi Pertemuan - 2

a home base to excellence Mata Kuliah : Kalkulus Kode : TSP 102 Limit Fungsi Pertemuan - 2 a home base to eellene Mata Kuliah : Kalkulus Kode : TSP 0 SKS : 3 SKS Limit Fungsi Pertemuan - a home base to eellene TIU : Mahasiswa dapat memahami it ungsi TIK : Mahasiswa mampu menyelesaikan it ungsi

Lebih terperinci

PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI

PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI Oleh: ALETTA ANGGRAINI KANDI G74102025 PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Analisa Kestabilan Lyapunov

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Analisa Kestabilan Lyapunov Institut Teknologi Seuluh Noember Surabaya Analisa Kestabilan Lyaunov Contoh Soal Ringkasan Latihan Contoh Soal Ringkasan Latihan Sistem Keadaan Kesetimbangan Kestabilan dalam Arti Lyaunov Penyajian Diagram

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa teori dasar yang digunakan sebagai landasan pembahasan pada bab III. Beberapa teori dasar yang dibahas, diantaranya teori umum tentang persamaan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. dengan menggunakan penyelesaian analitik dan penyelesaian numerikdengan. motode beda hingga. Berikut ini penjelasan lebih lanjut.

BAB III PEMBAHASAN. dengan menggunakan penyelesaian analitik dan penyelesaian numerikdengan. motode beda hingga. Berikut ini penjelasan lebih lanjut. BAB III PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas tentang penurunan model persamaan gelombang satu dimensi. Setelah itu akan ditentukan persamaan gelombang satu dimensi dengan menggunakan penyelesaian analitik

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. jika λ 1 < 0 dan λ 2 > 0, maka titik bersifat sadel. Nilai ( ) mengakibatkan. 4.1 Model SIR

IV PEMBAHASAN. jika λ 1 < 0 dan λ 2 > 0, maka titik bersifat sadel. Nilai ( ) mengakibatkan. 4.1 Model SIR 9 IV PEMBAHASAN 4.1 Model SIR 4.1.1 Titik Tetap Untuk mendapatkan titik tetap diperoleh dari dua persamaan singular an ) sehingga dari persamaan 2) diperoleh : - si + s = 0 9) si + )i = 0 didapat titik

Lebih terperinci

FUNGSI KHUSUS DALAM BENTUK INTEGRAL

FUNGSI KHUSUS DALAM BENTUK INTEGRAL FUNGSI KHUSUS DALAM BENTUK INTEGRAL FUNGSI FAKTORIAL Definisi n e d n! Buktikan bahwa :!! e d e d e ( ) Terbukti FUNGSI Gamma Definisi ( ) p p e d ; p > Hubungan fungsi Gamma dengan fungsi Faktorial (

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Gelombang dan klasifikasinya. Gelombang adalah suatu gangguan menjalar dalam suatu medium ataupun tanpa medium. Dalam klasifikasinya gelombang terbagi menjadi yaitu :. Gelombang

Lebih terperinci

SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS)

SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS) Solusi Eksak Gelombang Soliton: Persamaan Schrodinger Nonlinier Nonlokal SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS) Riski Nur Istiqomah Dinnullah Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2 BAB Konsep Dasar BAB 2 PDB Linier Order Satu 2 BAB 3 Aplikasi PDB Order Satu 3 BAB 4 PDB Linier Order Dua 4 BAB 5 Aplikasi PDB Order Dua 5 BAB 6 Sistem PDB 6 BAB 7 PDB Nonlinier dan Kesetimbangan Dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan, polusi yang ada di sungai disebabkan oleh limbah dari pabrikpabrik dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk

Lebih terperinci

Pengertian Fungsi. MA 1114 Kalkulus I 2

Pengertian Fungsi. MA 1114 Kalkulus I 2 Fungsi Pengertian Fungsi Relasi : aturan yang mengawankan himpunan Fungsi Misalkan A dan B himpunan. Relasi biner dari A ke B merupakan suatu ungsi jika setiap elemen di dalam A dihubungkan dengan tepat

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya. 2 II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas teoriteori yang mendukung karya tulis ini. Teoriteori tersebut meliputi persamaan diferensial penurunan persamaan KdV yang disarikan dari (Ihsanudin, 2008;

Lebih terperinci

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas PAM 454 KAPITA SELEKTA MATEMATIKA TERAPAN II Semester Ganjil 2016/2017 Review Teori Dasar Terkait

Lebih terperinci

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL A. PENGERTIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Dalam pelajaran kalkulus, kita telah berkenalan dan mengkaji berbagai macam metode untuk mendiferensialkan suatu fungsi (dasar). Sebagai

Lebih terperinci

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi Catatan Kuliah FI111 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi Agus Suroso update: 4 November 17 Osilasi atau getaran adalah gerak bolak-balik suatu benda melalui titik kesetimbangan. Gerak bolak-balik tersebut

Lebih terperinci

SOLUSI GELOMBANG BERJALAN UNTUK PERSAMAAN SCHRÖDINGER DENGAN PENUNDAAN TERDISTRIBUSI

SOLUSI GELOMBANG BERJALAN UNTUK PERSAMAAN SCHRÖDINGER DENGAN PENUNDAAN TERDISTRIBUSI SOLUSI GELOMBANG BERJALAN UNTUK PERSAMAAN SCHRÖDINGER DENGAN PENUNDAAN TERDISTRIBUSI (Traveling wave solutions for Schrödinger equation with distributed delay) Oleh : ACHMAD SUBEQAN NRP: 1206 100 062 Dosen

Lebih terperinci

FUNGSI DAN GRAFIK FUNGSI

FUNGSI DAN GRAFIK FUNGSI FUNGSI DAN GRAFIK FUNGSI Apabila suatu besaran y memiliki nilai yang tergantung dari nilai besaran lain x, maka dikatakan bahwa besaran y tersebut merupakan fungsi besaran x. secara umum ditulis: y= f(x)

Lebih terperinci

Simulasi Model Gelombang Pasang Surut dengan Metode Beda Hingga

Simulasi Model Gelombang Pasang Surut dengan Metode Beda Hingga J. Math. and Its Appl. ISSN: 1829-605X Vol. 2, No. 2, Nov 2005, 93 101 Simulasi Model Gelombang Pasang Surut dengan Metode Beda Hingga Lukman Hanafi, Danang Indrajaya Jurusan Matematika FMIPA ITS Kampus

Lebih terperinci

Fungsi. Pengertian Fungsi. Pengertian Fungsi ( ) ( )

Fungsi. Pengertian Fungsi. Pengertian Fungsi ( ) ( ) Fungsi Pengertian Fungsi Relasi : aturan yang mengawankan/ mengkaitkan/ menugaskan himpunan Fungsi Misalkan A dan B himpunan. Relasi biner dari A ke B merupakan suatu ungsi jika setiap elemen di dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini, akan dijelaskan landasan teori yang akan digunakan dalam bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung dan memperkuat tujuan penelitian. Landasan teori yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO

BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO 4.1 Model Dinamika Neuron Fitzhugh-Nagumo Dalam papernya pada tahun 1961, Fitzhugh mengusulkan untuk menerangkan model Hodgkin-Huxley menjadi lebih umum, yang

Lebih terperinci

(Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, / 66

(Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, / 66 MATRIKS Departemen Matematika FMIPA-IPB Bogor, 2012 (Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, 2012 1 / 66 Topik Bahasan 1 Matriks 2 Operasi Matriks 3 Determinan matriks 4 Matriks Invers 5 Operasi

Lebih terperinci

MA1201 KALKULUS 2A (Kelas 10) Bab 7: Teknik Pengintegral

MA1201 KALKULUS 2A (Kelas 10) Bab 7: Teknik Pengintegral MA1201 KALKULUS 2A (Kelas 10) Bab 7: Teknik Pengintegralan Do maths and you see the world Integral atau Anti-turunan? Integral atau pengintegral adalah salah satu konsep (penting) dalam matematika disamping

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Banyak sekali masalah terapan dalam ilmu teknik, ilmu fisika, biologi, dan lain-lain yang telah dirumuskan dengan model matematika dalam bentuk pesamaan

Lebih terperinci

dengan vektor tersebut, namun nilai skalarnya satu. Artinya

dengan vektor tersebut, namun nilai skalarnya satu. Artinya 1. Pendahuluan Penggunaan besaran vektor dalam kehidupan sehari-hari sangat penting mengingat aplikasi besaran vektor yang luas. Mulai dari prinsip gaya, hingga bidang teknik dalam memahami konsep medan

Lebih terperinci

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk memeriksa kelakuan sistem dinamik kompleks, biasanya dengan menggunakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas Teori Relativitas Mirza Satriawan December 7, 2010 Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus Quiz 1 Tuliskan perumusan kelestarian jumlah partikel dengan memakai vektor-4 fluks jumlah partikel. 2 Tuliskan

Lebih terperinci

PROJEK 2 PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA

PROJEK 2 PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA PROJEK PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA A. PENDAHULUAN Ada beberapa metode numerik yang dapat diimplementasikan untuk mengkaji keadaan energi terikat (bonding

Lebih terperinci

Tanggapan Frekuensi Pendahuluan

Tanggapan Frekuensi Pendahuluan Tanggapan Frekuensi 46 3 Tanggapan Frekuensi 3.. Pendahuluan Dalam bab 3, kita telah membahas karakteritik suatu sistem dalam lingkup waktu dengan masukan-masukan berupa fungsi step, fungsi ramp, fungsi

Lebih terperinci

PERAN PENTING LAJU PERUBAHAN KALOR PADA MODEL DINAMIK UNSUR UNSUR UTAMA IKLIM

PERAN PENTING LAJU PERUBAHAN KALOR PADA MODEL DINAMIK UNSUR UNSUR UTAMA IKLIM PERAN PENTING LAJU PERUBAHAN KALOR PADA MODEL DINAMIK UNSUR UNSUR UTAMA IKLIM A.I. Jaya 1 1 Jurusan Matematika FMIPA UNTAD Kampus BumiTadulakoTondo Palu Abstrak Model dinamik interkasi unsur unsure utama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perpindahan Kalor Kalor adalah energi yang diterima oleh benda sehingga suhu benda atau wujudnya berubah. Ukuran jumlah kalor dinyatakan dalam satuan joule (J). Kalor disebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah ini adalah

BAB II KAJIAN TEORI. homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah ini adalah BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas suatu jenis persamaan differensial parsial tak homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah

Lebih terperinci

MA1201 KALKULUS 2A (Kelas 10) Bab 7: Teknik Pengintegral

MA1201 KALKULUS 2A (Kelas 10) Bab 7: Teknik Pengintegral MA1201 KALKULUS 2A (Kelas 10) Bab 7: Teknik Pengintegralan Do maths and you see the world Integral atau Anti-turunan? Integral atau pengintegral adalah salah satu konsep (penting) dalam matematika disamping

Lebih terperinci

FUNGSI Matematika Industri I

FUNGSI Matematika Industri I FUNGSI TIP FTP UB Pokok Bahasan Memproses bilangan Komposisi fungsi dari fungsi Jenis fungsi Fungsi trigonometrik Fungsi eksponensial dan logaritmik Fungsi ganjil dan fungsi genap Pokok Bahasan Memproses

Lebih terperinci

DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG h Bab 3 DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 3.1 Persamaan Gelombang untuk Dasar Sinusoidal Dasar laut berbentuk sinusoidal adalah salah satu bentuk dasar laut tak rata yang berupa fungsi sinus

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30)

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30) 5 η = η di z = η (9) z x x z x x Dalam (Grosen 99) kondisi kinematik (9) kondisi dinamik () dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian : δ H t = () δη δ H ηt = δ Dengan mengenalkan variabel baru u = x maka

Lebih terperinci

FONON I : GETARAN KRISTAL

FONON I : GETARAN KRISTAL MAKALAH FONON I : GETARAN KRISTAL Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendahuluan Fisika Zat Padat Disusun Oleh: Nisa Isma Khaerani ( 3215096525 ) Dio Sudiarto ( 3215096529 ) Arif Setiyanto ( 3215096537

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi yang diuraikan berupa definisi-definisi

Lebih terperinci

Penerapan Metode Multiple Scales untuk Masalah Galloping pada DuaSpans Kabel Transmisi

Penerapan Metode Multiple Scales untuk Masalah Galloping pada DuaSpans Kabel Transmisi Penerapan Metode Multiple Scales untuk Masalah Galloping pada DuaSpans Kabel Transmisi Eristia Arfi 1 1 Prodi Matematika terapan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL MANGSA PEMANGSA PADA PENANGKAPAN IKAN YANG DIPENGARUHI OLEH KONSERVASI

ANALISIS MODEL MANGSA PEMANGSA PADA PENANGKAPAN IKAN YANG DIPENGARUHI OLEH KONSERVASI ANALISIS MODEL MANGSA PEMANGSA PADA PENANGKAPAN IKAN YANG DIPENGARUHI OLEH KONSERVASI Eka Yuniarti 1, Abadi 1 Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Surabaya Jurusan Matematika, Fakultas

Lebih terperinci

Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL A. PENGERTIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Dalam pelajaran kalkulus, kita telah berkenalan dan mengkaji berbagai macam metode untuk mendiferensialkan suatu

Lebih terperinci

Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3

Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3 Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3 Kuliah Aljabar Linier Semester Ganjil 2015-2016 MZI Fakultas Informatika Telkom University FIF Tel-U September 2015 MZI (FIF Tel-U) Ruang Vektor R 2 dan R 3 September 2015

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI. Sistem Pendulum Terbalik Dalam penelitian ini diperhatikan sistem pendulum terbalik seperti pada Gambar di mana sebuah pendulum terbalik dimuat dalam motor yang bisa digerakkan.

Lebih terperinci

TE Teknik Numerik Sistem Linear

TE Teknik Numerik Sistem Linear TE 9467 Teknik Numerik Sistem Linear Operator Linear Trihastuti Agustinah Bidang Studi Teknik Sistem Pengaturan Jurusan Teknik Elektro - FTI Institut Teknologi Sepuluh Nopember O U T L I N E. Objektif.

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Kuliah Bab II FUNGSI

Ringkasan Materi Kuliah Bab II FUNGSI Ringkasan Materi Kuliah Bab II FUNGSI. FUNGSI REAL, FUNGSI ALJABAR, DAN FUNGSI TRIGONOMETRI. TOPIK-TOPIK YANG BERKAITAN DENGAN FUNGSI.3 FUNGSI KOMPOSISI DAN FUNGSI INVERS. FUNGSI REAL, FUNGSI ALJABAR,

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI NUMERIK

BAB IV SIMULASI NUMERIK BAB IV SIMULASI NUMERIK Pada bab ini kita bandingkan perilaku solusi KdV yang telah dibahas dengan hasil numerik serta solusi numerik untuk persamaan fkdv. Solusi persamaan KdV yang disimulasikan pada

Lebih terperinci

MATERI 4 MATEMATIKA TEKNIK 1 DERET FOURIER

MATERI 4 MATEMATIKA TEKNIK 1 DERET FOURIER MATERI 4 MATEMATIKA TEKNIK 1 DERET FOURIER 1 Deret Fourier 2 Tujuan : 1. Dapat merepresentasikan seluruh fungsi periodik dalam bentuk deret Fourier. 2. Dapat memetakan Cosinus Fourier, Sinus Fourier, Fourier

Lebih terperinci

Bab II Teori Pendukung

Bab II Teori Pendukung Bab II Teori Pendukung II.1 Sistem Autonomous Tinjau sistem persamaan differensial berikut, = dy = f(x, y), g(x, y), (2.1) dengan asumsi f dan g adalah fungsi kontinu yang mempunyai turunan yang kontinu

Lebih terperinci

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai dasar laut sinusoidal sebagai reflektor gelombang. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan masalah dasar

Lebih terperinci

Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang memuat satu atau lebih turunan fungsi yang tidak diketahui.

Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang memuat satu atau lebih turunan fungsi yang tidak diketahui. 1 Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang memuat satu atau lebih turunan fungsi yang tidak diketahui. Jika persamaan diferensial memiliki satu peubah tak bebas maka disebut Persamaan Diferensial

Lebih terperinci

Oleh : Rahayu Dwi Harnum ( )

Oleh : Rahayu Dwi Harnum ( ) LAPORAN PRAKTIKUM EKSPERIMEN FISIKA II SPEKTRUM ATOM SODIUM Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Eksperimen Fisika II Dosen Pengampu : Drs. Parlindungan Sinaga, M.Si Oleh : Rahayu Dwi Harnum

Lebih terperinci

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Pada bab ini akan dibahas pengaruh dasar laut tak rata terhadap perambatan gelombang permukaan secara analitik. Pengaruh dasar tak rata ini akan ditinjau melalui simpangan

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s)

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s) DAFTAR SIMBOL n κ α R μ m χ m c v F L q E B v F Ω ħ ω p K s k f α, β s-s V χ (0) : indeks bias : koefisien ekstinsi : koefisien absorpsi : reflektivitas : permeabilitas magnetik : suseptibilitas magnetik

Lebih terperinci

Bab 1 : Skalar dan Vektor

Bab 1 : Skalar dan Vektor Bab 1 : Skalar dan Vektor 1.1 Skalar dan Vektor Istilah skalar mengacu pada kuantitas yang nilainya dapat diwakili oleh bilangan real tunggal (positif atau negatif). x, y dan z kita gunakan dalam aljabar

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD-045315 Mingg u Ke Pokok Bahasan dan TIU Sub-pokok Bahasan dan Sasaran Belajar Cara Pengajaran Media Tugas

Lebih terperinci

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA(PDB) ORDE SATU

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA(PDB) ORDE SATU BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA(PDB) ORDE SATU PDB orde satu dapat dinyatakan dalam: atau dalam bentuk: Penyelesaian PDB orde satu dengan integrasi secara langsung Jika PDB dapat disusun dalam bentuk,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan menggunakan metode semi numerik dimana koefisen transmisi didapatkan dengan menyelesaikan persamaan Schrodinger menggunakan MMT karena metode ini dalam

Lebih terperinci

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS PREVIEW KALKULUS TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Mahasiswa mampu: menyebutkan konsep-konsep utama dalam kalkulus dan contoh masalah-masalah yang memotivasi konsep tersebut; menjelaskan menyebutkan konsep-konsep

Lebih terperinci

PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE I. Nurdinintya Athari

PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE I. Nurdinintya Athari PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE I Nurdininta Athari Definisi PERSAMAAN DIFERENSIAL Persamaan diferensial adalah suatu persamaan ang memuat satu atau lebih turunan fungsi ang tidak diketahui. Jika persamaan

Lebih terperinci

6. OPTIKA FOURIER 6.1. ANALISIS FOURIER

6. OPTIKA FOURIER 6.1. ANALISIS FOURIER 6. OPTIKA FOURIER 6.1. ANALISIS FOURIER Dala intererensi, diraksi, terjadi superposisi dua buah gelobang bahkan lebih. Seringkali superposisi terjadi antara gelobang yang eiliki aplitudo, panjang gelobang

Lebih terperinci

Lampiran A. Diagram Alir Penelitian. Mulai. Penelusuran literatur. Sudah siap. Penurunan solusi soliton DNA model PBD. Aplikasi maple 11 dan MATLAB

Lampiran A. Diagram Alir Penelitian. Mulai. Penelusuran literatur. Sudah siap. Penurunan solusi soliton DNA model PBD. Aplikasi maple 11 dan MATLAB LAMPIRAN 15 16 Lampiran A. Diagram Alir Penelitian Mulai Penelusuran literatur Sudah siap Penurunan solusi soliton DNA model PBD Aplikasi maple 11 dan MATLAB Analisa hasil perhitungan solusi soliton DNA

Lebih terperinci

Analisa Matematik untuk Menentukan Kondisi Kestabilan Keseimbangan Pasar Berganda dengan Dua Produk Melalui Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear

Analisa Matematik untuk Menentukan Kondisi Kestabilan Keseimbangan Pasar Berganda dengan Dua Produk Melalui Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba 2015 ISSN: 2460-6464 Analisa Matematik untuk Menentukan Kondisi Kestabilan Keseimbangan Pasar Berganda dengan Dua Produk Melalui Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear

Lebih terperinci

MASALAH SYARAT BATAS (MSB)

MASALAH SYARAT BATAS (MSB) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unmuh Ponorogo PENDAHULUAN MODEL KABEL MENGGANTUNG DEFINISI MSB Persamaan diferensial (PD) dikatakan berdimensi 1 jika domainnya berupa himpunan bagian pada R 1.

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Tim Ilmu Komputasi Week 6: Separasi Variabel untuk Persamaan Gelombang Orde dua dan Koesien Fourier Coordinator contact: Dr. Putu Harry Gunawan phgunawan@telkomuniversity.ac.id

Lebih terperinci

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1 By : Suthami A MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK Matematika sebagai ilmu dasar yang digunakan sebagai alat pemecahan masalah di bidang keteknikan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pemrograman Non linier Pemrograman non linier adalah suatu bentuk pemrograman yang berhubungan dengan suatu perencanaan aktivitas tertentu yang dapat diformulasikan dalam model

Lebih terperinci

SOAL DAN SOLUSI MATEMATIKA SMA/MA IPA UNIVERSITAS GUNADARMA TAHUN 2015 PAKET SOAL A

SOAL DAN SOLUSI MATEMATIKA SMA/MA IPA UNIVERSITAS GUNADARMA TAHUN 2015 PAKET SOAL A SOAL DAN SOLUSI MATEMATIKA SMA/MA IPA UNIVERSITAS GUNADARMA TAHUN PAKET SOAL A. Diberikan premis-premis berikut : ) Politik tidak sehat atau Negara tentram dan damai ) Jika Negara tentram dan damai maka

Lebih terperinci

Metode Elemen Batas (MEB) untuk Model Konduksi-Konveksi dalam Media Anisotropik

Metode Elemen Batas (MEB) untuk Model Konduksi-Konveksi dalam Media Anisotropik Metode Elemen Batas (MEB) untuk Model Konduksi-Konveksi dalam Media Anisotropik Moh. Ivan Azis September 13, 2011 Daftar Isi 1 Pendahuluan 1 2 Masalah nilai batas 1 3 Persamaan integral batas 2 4 Hasil

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data A. Model Matematika BAB II KAJIAN TEORI Pemodelan matematika adalah proses representasi dan penjelasan dari permasalahan dunia real yang dinyatakan dalam pernyataan matematika (Widowati dan Sutimin, 2007:

Lebih terperinci

PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER DISKRIT DENGAN PENAMBAHAN POTENSIAL LINIER

PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER DISKRIT DENGAN PENAMBAHAN POTENSIAL LINIER Jurnal Matematika UNAND Vol 3 No 3 Hal 68 75 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER

Lebih terperinci

MA1201 KALKULUS 2A Do maths and you see the world

MA1201 KALKULUS 2A Do maths and you see the world Catatan Kuliah MA20 KALKULUS 2A Do maths and you see the world disusun oleh Khreshna I.A. Syuhada, MSc. PhD. Kelompok Keilmuan STATISTIKA - FMIPA Institut Teknologi Bandung 203 Catatan kuliah ini ditulis

Lebih terperinci

Pertemuan Ke 2 SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) By SUTOYO,ST.,MT

Pertemuan Ke 2 SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) By SUTOYO,ST.,MT Pertemuan Ke SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) By SUTOYO,ST,MT Pendahuluan Suatu sistem persamaan linier (atau himpunan persaman linier simultan) adalah satu set persamaan dari sejumlah unsur yang tak diketahui

Lebih terperinci

Apakah Gelombang Elektromagnetik?? Gelombang Elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walau tidak ada medium

Apakah Gelombang Elektromagnetik?? Gelombang Elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walau tidak ada medium MATERI Gelombang elektromagnetik (Optik) Releksi, Reraksi, Intererensi gelombang optik Eksperimen Young Prinsip Huygen Pembentukan bayangan cermin dan lensa Alat-alat yang menggunakan prinsip optik Apa

Lebih terperinci

Analisis Mode Gelombang Suara Dalam Ruang Kotak

Analisis Mode Gelombang Suara Dalam Ruang Kotak Analisis Mode Gelombang Suara Dalam Ruang Kotak Er Wahuni, Agus Purwanto dan Sumarna Laboratorium Getaran dan Gelombang, Jurdik Fisika, FMIPA, UNY ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mode

Lebih terperinci

Metode Numerik. Muhtadin, ST. MT. Metode Numerik. By : Muhtadin

Metode Numerik. Muhtadin, ST. MT. Metode Numerik. By : Muhtadin Metode Numerik Muhtadin, ST. MT. Agenda Intro Rencana Pembelajaran Ketentuan Penilaian Deret Taylor & McLaurin Analisis Galat 2 Metode Numerik & Teknik Komputasi - Intro 3 Tujuan Pembelajaran Mahasiswa

Lebih terperinci

Analisis Komponen Utama (Principal component analysis)

Analisis Komponen Utama (Principal component analysis) Analisis Komponen Utama (Principal component analysis) A. LANDASAN TEORI Misalkan χ merupakan matriks berukuran nxp, dengan baris-baris yang berisi observasi sebanyak n dari p-variat variabel acak X. Analisis

Lebih terperinci

MATEMATIKA EKONOMI DAN BISNIS. Nuryanto.ST.,MT

MATEMATIKA EKONOMI DAN BISNIS. Nuryanto.ST.,MT MATEMATIKA EKONOMI DAN BISNIS Fungsi Dalam ilmu ekonomi, kita selalu berhadapan dengan variabel-variabel ekonomi seperti harga, pendapatan nasional, tingkat bunga, dan lainlain. Hubungan kait-mengkait

Lebih terperinci

LAMPIRAN I. Alfabet Yunani

LAMPIRAN I. Alfabet Yunani LAMPIRAN I Alfabet Yunani Alha Α Nu Ν Beta Β Xi Ξ Gamma Γ Omicron Ο Delta Δ Pi Π Esilon Ε Rho Ρ Zeta Ζ Sigma Σ Eta Η Tau Τ Theta Θ Usilon Υ Iota Ι hi Φ, Kaa Κ Chi Χ Lambda Λ Psi Ψ Mu Μ Omega Ω LAMPIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Ada beberapa metode numerik yang dapat diimplementasikan untuk mengkaji keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara metode-metode

Lebih terperinci

INTEGRAL. disebut integral tak tentu dan f(x) disebut integran. = X n+1 + C, a = konstanta

INTEGRAL. disebut integral tak tentu dan f(x) disebut integran. = X n+1 + C, a = konstanta INTEGRAL Jika f(x) = F (x) adalah turunan pertama dari fungsi F(x) maka F(x) adalah antiturunan dari f(x)dan ditulis dengan F(x) = (dibaca integral f(x) terhadap x) = lambang integral, f(x) = integran.

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan dan intensifikasi penggunaan air, masalah kualitas air menjadi faktor yang penting dalam pengembangan sumberdaya air di berbagai belahan bumi. Walaupun

Lebih terperinci