BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika, antara lain tentang Limit, Turunan, Turunan Fungsi Trigonometri dan Fungsi Hiperbolik, Aturan Rantai pada Turunan, Turunan Parsial, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Persamaan Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah Sturm- Liouville dan Fungsi Eigen, Deret Fourier, Metode Separasi Variabel, dan Keadaan Steady State. A. Limit Pemikiran tentang limit yang menyatakan bahwa berarti bahwa selisih antara dan dapat dibuat sekecil mungkin dengan mensyaratkan bahwa cukup dekat, tetapi tidak sama dengan (Purcell, 2010). Definisi 2.1 Limit (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Diberikan yang artinya untuk setiap yang nilainya sangat kecil, terdapat sedemikian sehingga dengan syarat atau dengan kata lain Sebagai ilustrasi dari definisi limit tersebut, perhatikan contoh berikut ini. 7

2 Contoh 2.2 Akan dibuktikan bahwa Analisis Pendahuluan: Akan ditentukan nilai dari, sebagai berikut sehingga Berdasarkan Persamaan (2.1) diperoleh nilai dari Bukti baku: Andaikan nilai dari, dan dipilih nilai dari, sehingga didapatkan 8

3 B. Turunan Konsep dasar dari turunan adalah perubahan suatu fungsi dalam sesaat. Gambar (2.1) berikut diilustrasikan tentang konsep dari turunan. Misalkan terdapat, dan dimana, serta. Berdasarkan Gambar (2.1) diperoleh Gambar (2.1) Ilustrasi Konsep Turunan Apabila nilai diperkecil mendekati nol, sehingga Persamaan (2.2) menjadi 9

4 Jika nilai limit ini ada, maka nilai limit tersebut disebut dengan turunan (perubahan nilai suatu fungsi sesaat) dari di. Definisi 2.3 Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Turunan pertama fungsi dinotasikan dengan yang nilainya pada sebarang adalah dengan syarat nilai limit dari f(x) ada. Notasi dari turunan disimbolkan dengan notasi Leibniz atau notasi prima atau bisa dinotasikan sebagai atau. Sebagai ilustrasi dari definisi turunan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.4 Akan ditentukan turunan pertama dari. Menurut Definisi (2.3), sehingga Jadi, turunan pertama dari adalah 3. 10

5 C. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik Adapun aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi trigonometri adalah sebagai berikut. Teorema 2.5 Turunan Fungsi Sin (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika, maka. Bukti: Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga Terbukti. Teorema 2.6 Turunan Fungsi Cos (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika, maka. Bukti: Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga 11

6 Terbukti. Aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi hiperbolik adalah sebagai berikut. Bentuk lain dari, sementara. Teorema 2.7 Turunan Fungsi Sinh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika, maka. Bukti: Karena bentuk lain dari adalah, sehingga 12

7 Terbukti. Teorema 2.8 Turunan Fungsi Cosh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Jika, maka Bukti: Karena bentuk lain dari adalah, sehingga Terbukti. D. Aturan Rantai pada Turunan Sebelum membahas teorema aturan rantai pada turunan, perlu diketahui sifat dasar dari suatu turunan. Dalam hal ini akan ditunjukkan hubungan antara keberadaan turunan suatu fungsi pada titik terhadap kekontinuan suatu fungsi tersebut pada titik. Teorema 2.9 Kekontinuan Fungsi (Bartle, 2000) Jika mempunyai turunan pada maka kontinu pada. 13

8 Bukti: Diberikan interval, dan berlaku. Akan dibuktikan bahwa kontinu pada dengan menunjukkan bahwa mendekati ketika. Untuk setiap, sedangkan, sedemikian sehingga Karena ada, maka nilai limitnya ada. Sehingga diperoleh Karena selisih mendekati 0 ketika, dapat disumpulkan bahwa. Sehingga kontinu pada. Terbukti. Pernyataan-pernyataan berikut merupakan ringkasan dari hubungan antara kekontinuan dan turunan. (i) Jika suatu fungsi memiliki turunan pada, maka fungsi tersebut kontinu pada. Sehingga, turunan mengakibatkan kekontinuan. 14

9 (ii) Ada kemungkinan suatu fungsi kontinu pada, tetapi tidak memiliki turunan pada. Sehingga, kekontinuan tidak menjamin adanya turunan. Sebagai ilustrasi dari teorema kekontinuan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.10 Diberikan fungsi 1. untuk Merupakan fungsi yang memiliki turunan pada, sehingga fungsi tersebut kontinu pada. Karena jika diambil diperoleh. 2. untuk. Merupakan fungsi yang kontinu, tetapi tidak punya turunan pada. Karena untuk diperoleh, untuk dan untuk. Namun untuk nilai limitnya tidak terdefinisi. Sehingga fungsi tersebut tidak punya turunan pada. Aturan rantai dapat digunakan untuk mempermudah penurunan suatu fungsi komposit. Fungsi komposit merupakan suatu fungsi yang variabel bebasnya adalah suatu fungsi juga. 15

10 Teorema 2.11 Aturan Rantai pada Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010) Misalkan dan. Jika g terdiferensiasikan di dan terdiferensiasikan di, maka fungsi komposit, yang didefinisikan oleh adalah terdiferensiasikan di dan yakni atau Bukti: Misalkan bahwa dan, bahwa terdiferensiasikan di dan bahwa terdiferensiasikan di Ketika diberikan pertambahan, terdapat pertambahan yang berkorespondensi dalam dan yang diberikan oleh Jadi, 16

11 Berdasarkan Teorema (2.9) yang menyatakan bahwa jika punya turunan di, maka kontinu di, sehingga. Hal tersebut mengakibatkan, mengingat merupakan fungsi atas. Oleh karena itu, Terbukti. Pada penulisan bab III, aturan rantai digunakan dalam proses pengubahan persamaan Laplace dari koordinat kartesius ke dalam koordinat polar. Sebagai ilustrasi dari teorema mengenai aturan rantai pada turunan tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.12 Diberikan fungsi. Akan ditentukan turunan pertama dari fungsi sebagai berikut. Fungsi dapat dinyatakan sebagai dengan dan. Karena dan sehingga 17

12 Apabila menggunakan notasi Leibnitz, maka turunan dapat ditentukan sebagai berikut. Jika dimisalkan, dengan, maka dan. Sehingga E. Turunan Parsial Turunan parsial merupakan turunan dari sebuah fungsi dari beberapa variabel terhadap salah satu variabel bebasnya, dengan menganggap semua variabel bebas yang lainnya konstan (Spiegel, 1992). Definisi 2.13 Turunan Parsial (Spiegel, 1992) Misalkan suatu fungsi merupakan fungsi dari dua variabel dan, turunan parsial dari terhadap dan berturut-turut dinyatakan oleh dan, dengan definisi: serta jika limit-limit itu ada. 18

13 Andaikan bahwa adalah suatu fungsi dua variabel dan, dengan menganggap konstan, maka adalah fungsi satu variabel. Turunan fungsi di disebut turunan parsial terhadap di dan dinyatakan oleh. Jadi Dengan cara yang sama, turunan parsial terhadap di dinyatakan dengan dan diberikan oleh Sebagai ilustrasi dari definisi turunan parsial tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.14 Akan ditentukan dan dari fungsi Menurut Definisi (2.13) sehingga diperoleh 19

14 dan F. Persamaan Diferensial Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang persamaan diferensial. Definisi 2.15 Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas. 20

15 Berdasarkan banyaknya variabel bebas, persamaan diferensial dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Berikut diberikan definisi persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Definisi 2.16 Persamaan Diferensial Biasa (Ross, 1984) Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas. Definisi 2.17 Persamaan Diferensial Parsial (Ross, 1984) Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas. Persamaan diferensial biasa (PDB) dinotasikan dengan notasi Leibniz atau notasi prima, atau bisa juga dinotasikan dengan dinotasikan dengan. Persamaan diferensial parsial (PDP) untuk turunan pertama fungsi atas variabel tak bebas terhadap variabel bebas. Untuk turunan parsial kedua, ketiga dan seterusnya sampai turunan ke berturut-turut dinotasikan sebagai. Persamaan diferensial parsial juga bisa dinotasikan dengan untuk turunan kedua fungsi atas variabel tak bebas terhadap variabel bebas. Selanjutnya diberikan definisi order dan derajat persamaan diferensial. 21

16 Definisi 2.18 Order Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Order persamaan diferensial adalah order tertinggi dari semua turunan yang terdapat pada persamaan diferensial tersebut. Definisi 2.19 Derajat Persamaan Diferensial (Ross, 1984) Derajat persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari order tertinggi dari semua turunan pada persamaan diferensial. Sebagai ilustrasi dari definisi order dan derajat persamaan diferensial parsial tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.20 Berikut ini contoh persamaan diferensial (1), merupakan persamaan diferensial biasa berorder 2 dan berderajat 1. (2), merupakan persamaan diferensial parsial berorder 2 dan berderajat 2. Berdasarkan hubungan antara variabel tak bebas dan turunan-turunannya, persamaan diferensial order dibagi menjadi dua yaitu persamaan diferensial linear dan persamaan diferensial non linear. Definisi 2.21 Persamaan Diferensial Linear (Ross, 1984) Persamaan diferensial linear order dengan variabel bebas dan variabel tak bebas dapat dinyatakan sebagai berikut 22

17 dengan. Persamaan diferensial dikatakan muncul dalam bentuk linear jika memenuhi syarat-syarat berikut ini: (i) (ii) derajat dari variabel tak bebas dan turunan-turunannya adalah satu tidak ada perkalian antara variabel tak bebas dengan turunan-turunannya dan perkalian antara turunan dengan turunannya (iii) tidak ada fungsi transenden dari variabel-variabel tak bebas. Persamaan diferensial yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut disebut persamaan diferensial non linear. Diberikan persamaan diferensial parsial linear order dengan satu variabel tak bebas dan dua variabel bebas dan yang terdefinisi pada domain didefinisikan sebagai berikut: dengan, dan fungsi dan konstanta yang diberikan dalam variabel dan. Definisi 2.22 Persamaan Diferensial Homogen (Humi, 1992) Persamaan (2.3) disebut persamaan diferensial homogen jika. 23

18 Contoh 2.23 Berikut ini contoh-contoh persamaan diferensial (1) (2) (3) (4) Contoh 2.23 (1) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder enam, berderajat satu, linear, dan homogen. Contoh 2.23 (2) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder tiga, berderajat dua, non linear, dan non homogen Contoh 2.23 (3) merupakan persamaan diferensial parsial, berorder tiga, berderajat satu, linear, dan homogen, Contoh 2.23 (4) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder dua dan berderajat satu, non linear, dan homogen, Selanjutnya akan diberikan teorema mengenai prinsip superposisi yang berlaku untuk persamaan diferensial homogen berorder. Teorema 2.24 Prinsip Superposisi (Dennis G Zill, 2005) Jika berorde adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen dari Persamaan (2.3) pada interval I, maka kombinasi linearnya adalah 24

19 dengan untuk adalah konstanta, juga penyelesaian dalam interval I. Bukti: Misalkan didefinisikan sebagai operator diferensial dan adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen, sehingga Jika didefinisikan, maka linearitas dari adalah karena nilai dari maka Terbukti. Persamaan diferensial parsial linear order dua dengan variabel tak bebas dan variabel bebas dan, yang terdefinisi pada domain mempunyai bentuk umum sebagai berikut 25

20 Definisi 2.25 Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial (Humi, 1992) Persamaan diferensial (2.4) disebut (i) elliptik jika untuk semua (ii) parabolik jika untuk semua (iii) hiperbolik jika untuk semua Sebagai ilustrasi dari definisi klasifikasi persamaan diferensial parsial linear order dua tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.26 Persamaan diferensial (1) Laplace merupakan persamaan diferensial elliptik, karena (2) Panas merupakan persamaan diferensial parabolik, karena (3) Gelombang merupakan persamaan diferensial hiperbolik, karena 26

21 G. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian Nilai Awal, Syarat Batas serta Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas yang menyertai suatu persamaan diferensial parsial. Mengingat apabila persamaan diferensial diselesaikan, maka akan diperoleh suatu penyelesaian umum. Namun untuk memperoleh penyelesaian khusus diperlukan adanya nilai awal dan syarat batas. Menurut (Humi, 1992) yang dimaksud dengan nilai awal adalah kondisi yang harus dipenuhi pada awal waktu tertentu. Dalam hal ini persamaan Laplace merupakan persamaan yang tidak disertai dengan nilai awal, karena persamaan Laplace tidak bergantung pada waktu. Sebagai contoh dari pengertian nilai awal tersebut, diberikan suatu persamaan panas dengan nilai awal. Nilai awal menyatakan bahwa suhu pada posisi saat waktu adalah Syarat Batas adalah suatu syarat atau kondisi yang harus dipenuhi pada batas-batas domain terkait dengan ruang (Humi, 1992). Sebagai ilustrasi, diberikan suatu persamaan panas dengan syarat batas dan. Syarat batas menunjukkan bahwa suhu pada posisi saat waktu dipertahankan sebesar nol derajat, sedangkan menunjukkan bahwa perubahan suhu terhadap posisi saat waktu dipertahankan nol derajat. Selanjutnya akan diuraikan mengenai jenis-jenis syarat batas untuk persamaan diferensial parsial order dua. Diberikan domain dengan dan merupakan titik-titik batas. Bentuk umum syarat batas adalah 27

22 dan dengan sebarang konstanta. Dalam (Humi, 1992) syarat batas dikatakan (i) Dirichlet jika syarat batasnya memberikan nilai dari sebarang fungsi pada atau dapat ditulis dan dengan dan fungsi dalam variabel. (ii) Neumann jika syarat batasnya memberikan nilai turunan terhadap pada atau dapat ditulis dan dengan dan fungsi dalam variabel. (iii) Robin jika syarat batasnya memberikan relasi linear antara dengan pada atau dapat ditulis dan dengan sebarang konstanta serta dan fungsi dalam variabel. Sebagai ilustrasi mengenai jenis-jenis syarat batas tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.27 Diberikan persamaan diferensial. Syarat batas (1) merupakan Syarat Batas Dirichlet. (2) merupakan Syarat Batas Neumann. (3) merupakan Syarat Batas Robin. 28

23 Selanjutnya akan diuraikan mengenai Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas atau disingkat MNASB. Masalah yang bersesuaian dengan persamaan diferensial parsial akan rumit jika jumlah penyelesaian independen untuk persamaan tersebut adalah tak terbatas (Humi, 1992). Sehingga formulasi lengkap dari sistem fisik dalam hal persamaan diferensial parsial membutuhkan perhatian tidak hanya untuk persamaan yang mengatur sistem tetapi juga untuk perumusan yang benar dari kondisi batas maupun kondisi awal. Masalah nilai awal dan syarat batas adalah masalah yang terdiri dari suatu persamaan diferensial yang dilengkapi dengan nilai awal dan syarat batas. Kemudian jika masalah nilai awal dan syarat batas tersebut diselesaikan maka akan diperoleh penyelesaian khusus. Sebagai ilustrasi mengenai pengertian masalah nilai awal dan syarat batas tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh 2.28 Diberikan sebuah senar dengan panjang yang diikat pada kedua ujungnya. Kemudian senar tersebut dipetik. Pergerakan senar pertama kali (saat ) mempunyai fungsi posisi untuk, sehingga diperoleh nilai awal. Setelah dipetik, pergerakan di kedua ujung senar yang terikat pada dan dipertahankan nol untuk. Sehingga diperoleh syarat batas dan Jadi diperoleh Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas sebagai berikut dengan nilai awal 29

24 dan syarat batas H. Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen Definisi 2.29 Masalah Sturm-Liouville (Dean G. Duffy, 2003) Diberikan persamaan diferensial linear berorde 2 berikut ini dengan syarat batas Dalam hal ini nilai dari dan merupakan fungsi bilangan real atas sedangkan adalah suatu parameter. Nilai dari merupakan suatu konstanta real, sedangkan nilai dari dan merupakan suatu fungsi yang kontinu dan positif yang terletak pada interval Persamaan (2.5) disebut sebagai persamaan Sturm-Liouville dan bersama-sama dengan syarat batas pada Persamaan (2.6) dan (2.7), membentuk suatu Masalah Sturm- Liouville. Jika diperhatikan pada Persamaan (2.5), masalah tersebut mempunyai penyelesaian untuk setiap nilai yaitu,. Penyelesaian tersebut dinamakan dengan penyelesaian trivial. Tetapi akan diperoleh penyelesaian lain yang tak nol jika mengambil nilai tertentu, maka penyelesaian 30

25 tersebut dinamakan penyelesaian non trivial. Nilai yang bersesuaian dinamakan nilai eigen dan fungsinya disebut sebagai fungsi eigen. I. Persamaan Karakteristik Diberikan persamaan diferensial homogen berorder dua dengan variabel tak bebas dan variabel bebas yang terdefinisi pada domain sebagai berikut dengan dan merupakan suatu konstanta. Untuk memudahkan mencari penyelesaian Persamaan (2.8) diperlukan suatu persamaan karakteristik yang sepadan dengan persamaan tersebut. Persamaan karakteristik dapat diperoleh dengan melakukan subtitusi dan berturut-turut oleh dan. Sehingga dalam hal ini persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.8) adalah Persamaan karakteristik yang diperoleh berupa persamaan pangkat biasa yang dapat diselesaikan dengan melakukan pemfaktoran sehingga diperoleh akarakar karakteristik. Secara umum, akar-akar karakteristik dari suatu persamaan diferensial linear homogen orde 2 menurut (Ross, 1984) dibedakan menjadi tiga, yaitu 1. Akar-akar karakteristik riil berbeda. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah dan dengan, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah 31

26 2. Akar-akar karakteristik riil kembar. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) suatu akar riil kembar yaitu, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah 3. Akar-akar karakteristik bilangan kompleks. Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah dan, maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah Sebagai ilustrasi dari definisi persamaan karakteristik dan akar-akar karakteristik tersebut, perhatikan contoh berikut ini. Contoh Akan ditentukan penyelesaian umum dari Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.13) adalah dan Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil berbeda, sehingga berdasarkan Persamaan (2.10) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut 32

27 2. Akan ditentukan penyelesaian umum dari Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.14) adalah Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil kembar, sehingga berdasarkan Persamaan (2.11) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut. J. Deret Fourier Pada bagian ini akan dibahas mengenai Deret Fourier. Definisi 2.31 Fungsi Periodik (Humi, 1992) Diberikan fungsi yang terdefinisi untuk setiap. Fungsi dikatakan periodik dengan periode jika, dengan Contoh 2.32 (1) Fungsi adalah fungsi yang periodik dengan periode 2. Sebab. (2) Fungsi adalah fungsi yang periodik dengan periode. Sebab Kemudian diberikan definisi Deret Fourier. 33

28 Definisi 2.33 Deret Fourier (Humi, 1992) Diberikan fungsi yang terdefinisi pada interval. Deret Fourier fungsi tersebut adalah dengan dan Contoh 2.34 Akan ditentukan Deret Fourier dari Berdasarkan Definisi (2.33) tentang Deret Fourier, sehingga diperoleh nilai dari 34

29 Jadi, Deret Fourier dari adalah (Mayer Humi & William B. Miller, 1992). Kemudian diberikan definisi fungsi genap dan fungsi ganjil. Definisi 2.35 Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil (Humi, 1992) Diberikan fungsi terdefinisi pada interval. Fungsi dikatakan sebagai fungsi genap jika pada interval dan dikatakan sebagai fungsi ganjil jika pada interval. 35

30 Contoh Fungsi merupakan fungsi ganjil, karena untuk setiap pada interval. 2. Fungsi merupakan fungsi genap, karena untuk setiap pada interval. 3. Fungsi bukan merupakan fungsi genap maupun fungsi ganjil karena cosinus. Kemudian dibahas mengenai Deret Fourier sinus dan Deret Fourier Teorema 2.37 Deret Fourier Sinus (Humi, 1992) Diberikan fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi ganjil pada interval Jika Deret Fourier dari ada, maka Deret Fourier tersebut berbentuk dengan 36

31 Bukti: Diketahui fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi ganjil pada interval Deret Fourier dari ada, sehingga Deret Fourier tersebut adalah dengan Dimisalkan, sehingga diperoleh 37

32 Karena merupakan fungsi ganjil dan merupakan fungsi genap, sehingga diperoleh dan 38

33 Karena merupakan fungsi ganjil dan merupakan fungsi ganjil, diperoleh Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk adalah dengan Deret Fourier ini disebut Deret Fourier sinus fungsi. Contoh 2.38 Diberikan fungsi 39

34 Akan ditentukan Deret Fourier sinus untuk fungsi tersebut. Berdasarkan Teorema 2.37 maka Deret Fourier sinus dari fungsi adalah dengan Jadi, Deret Fourier dari adalah 40

35 Teorema 2.39 Deret Fourier Cosinus (Humi, 1992) Diberikan fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi genap pada interval Jika Deret Fourier dari ada, maka Deret Fourier tersebut berbentuk dengan Bukti : Diketahui fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai fungsi genap pada interval Deret Fourier dari ada, sehingga Deret Fourier tersebut adalah dengan 41

36 Dimisalkan, sehingga diperoleh karena merupakan fungsi genap, maka 42

37 Karena dan merupakan fungsi genap, sehingga diperoleh Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk adalah dengan Torema 2.39 disebut juga deret Fourier cosinus. Deret Fourier ini disebut Deret Fourier cosinus fungsi. 43

38 Contoh 2.40 Diberikan fungsi Akan ditentukan Deret Fourier cosinus untuk fungsi tersebut. Berdasarkan Teorema 2.39 maka Deret Fourier cosinus dari fungsi adalah dengan dan 44

39 Jadi Deret Fourier cosinus dari fungsi adalah K. Metode Separasi Variabel Metode Separasi Variabel adalah metode untuk mencari penyelesaian persamaan diferensial dengan cara mengasumsikan penyelesaian tersebut merupakan perkalian dari fungsi-fungsi variabel bebas yang ada pada persamaan diferensial tersebut. Metode separasi variabel bertujuan untuk mereduksi persamaan diferensial parsial yang diberikan menjadi bentuk persamaan diferensial biasa. Dengan demikian persamaan diferensial parsial tersebut lebih mudah untuk dicari penyelesaiannya. 45

40 Diberikan persamaan diferensial linear homogen dengan variabel bebas dan, serta variabel tak bebas yang dilengkapi dengan syarat batas tertentu. Diasumsikan penyelesaian dari persamaan diferensial tersebut adalah Langkah-langkah penyelesaian persamaan diferensial tersebut dengan metode separasi variabel yaitu sebagai berikut (Humi, 1992): 1. Persamaan disubstitusi ke persamaan diferensial. 2. Hasil dari langkah (1) dibagi dengan. 3. Jika hasil dari langkah (2) dapat dinyatakan sebagai jumlahan suku-suku yang hanya tergantung dari dan suku-suku yang hanya tergantung dari, maka dengan konstanta pemisah atau akan didapat sistem dua persamaan diferensial biasa. 4. Gunakan syarat batas yang diberikan untuk menentukan syarat batas untuk persamaan diferensial biasa dari langkah (3). 5. Selesaikan persamaan diferensial (Masalah syarat Batas) hasil dari langkah (3) dan langkah (4). 6. Diperoleh, yang merupakan penyelesaian dari persamaan diferensial di atas. Kemudian dengan prinsip superposisi ditentukan penyelesaian umumnya. 7. Gunakan nilai awal yang diberikan, kemudian ditentukan penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas. Contoh 2.41 Diberikan persamaan diferensial parsial 46

41 dengan syarat batas dan nilai awal Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) akan diselesaikan dengan menggunakan metode Separasi Variabel. Jika diasumsikan adalah penyelesaian dari MNASB di atas maka langkah-langkah penyelesaiannya sebagai berikut: 1. Persamaan disubstitusikan ke Persamaan (2.15) sehingga diperoleh 2. Persamaan (2.18) dibagi dengan sehingga diperoleh atau 3. Untuk mendapatkan dua persamaan diferensial biasa dari Persamaan (2.19), digunakan konstanta pemisah sehingga Dari Persamaan (2.20) diperoleh dua persamaan diferensial biasa yaitu 47

42 dan 4. Jika digunakan syarat batas (2.16) yaitu dengan pada persamaan maka diperoleh dan Berdasarkan Persamaan (2.20) disyaratkan, sehingga 5. Diperoleh Masalah Sturm-Liouville sebagai berikut. Selanjutnya dicari penyelesaian non trivial dari Masalah Sturm- Liouville (2.22a) dan (2.22b) yang dapat ditinjau menjadi tiga kemungkinan yaitu untuk dan. Kemungkinan 1 : Dari persamaan (2.22a) didapat, penyelesaiannya adalah, dengan A dan B konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas (2.22b) yaitu, maka diperoleh. Jadi untuk Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian trivial. 48

43 Kemungkinan 2 : Persamaan (2.22a) mempunyai persamaan karakteristik Karena diketahui, persamaan karakteristiknya menjadi, dan akar-akar karakteristiknya adalah dan yang bernilai real. Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah dengan dan konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas (2.22b) yaitu, maka diperoleh dan Karena, sehingga. Penyelesaian Masalah Sturm- Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah penyelesaian trivial. Jadi untuk Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian trivial. Kemungkinan 3 : 49

44 Persamaan (2.22a) mempunyai persamaan karakteristik. Karena diketahui, persamaan karakteristiknya menjadi, dan akar-akar karakteristiknya adalah bilangan kompleks dan. Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah dengan dan konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas (2.16b) yaitu, maka diperoleh dan Agar mempunyai penyelesaian non trivial diambil sehingga diperoleh Jadi untuk Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) mempunyai penyelesaian non trivial dengan Nilai Eigen dan konstanta sebarang, Jadi penyelesaian Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah 50

45 dengan Nilai Eigen dan konstanta sebarang, Kemudian dicari penyelesaian untuk persamaan (2.21a). Telah diketahui bahwa sehingga diperoleh Persamaan (2.24) diintegralkan terhadap, sehingga diperoleh dengan. 51

46 6. Persamaan (2.23) dan (2.25) disubstitusi ke persamaan, sehingga diperoleh atau dengan Kemudian dengan menggunakan prinsip superposisi, diperoleh penyelesaian dari Masalah Syarat Batas tersebut yaitu 7. Berdasarkan nilai awal (2.17) yaitu, sehingga Persamaan (2.27) menjadi Kalikan Persamaan (2.28) dengan fungsi yang orthogonal dengan yaitu, sehingga diperoleh Kemudian integralkan kedua ruas pada Persamaan (2.29) diperoleh 52

47 Bentuk orthogonal yang berada di ruas kanan pada Persamaan (2.30) nilainya akan sama dengan nol, kecuali jika, sehingga Persamaan (2.30) menjadi Jadi, penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) adalah dengan I. Keadaan Steady State Keadaan steady state merupakan kondisi dimana sifat-sifat suatu sistem tidak berubah dengan berjalannya waktu (Freedman, 2008). Jika dimisalkan terdapat suatu sistem dengan variabel tak bebas dan variabel bebas dan. Hal 53

48 ini berarti untuk setiap nilai dari sistem tersebut, turunan parsial terhadap waktu adalah nol. Keadaan ini dapat diekspresikan pada sebuah lempengan logam berbentuk persegi panjang ataupun berbentuk lingkaran yang diberi sumber panas pada sisisisinya. Sebelum mencapai steady state, suhu pada lempengan logam tersebut akan merambat dan mengalami perubahan. Perubahan suhu yang terjadi disebut keadaan transien. Pada hal ini perambatan suhu merupakan jenis perambatan dua dimensi, dimana perambatan yang terjadi bergantung pada posisi atau. Proses perambatan ini terjadi karena pada masing-masing sisi telah diberi sumber panas sehingga pada waktu tertentu akan mencapai keadaan steady state. 54

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa teori dasar yang digunakan sebagai landasan pembahasan pada bab III. Beberapa teori dasar yang dibahas, diantaranya teori umum tentang persamaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema,

BAB II KAJIAN TEORI. dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika,

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. dengan menggunakan penyelesaian analitik dan penyelesaian numerikdengan. motode beda hingga. Berikut ini penjelasan lebih lanjut.

BAB III PEMBAHASAN. dengan menggunakan penyelesaian analitik dan penyelesaian numerikdengan. motode beda hingga. Berikut ini penjelasan lebih lanjut. BAB III PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas tentang penurunan model persamaan gelombang satu dimensi. Setelah itu akan ditentukan persamaan gelombang satu dimensi dengan menggunakan penyelesaian analitik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari dan juga untuk

BAB I PENDAHULUAN. pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari dan juga untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang sering menjadi pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari dan juga untuk menunjang perkembangan

Lebih terperinci

Solusi Problem Dirichlet pada Daerah Persegi dengan Metode Pemisahan Variabel

Solusi Problem Dirichlet pada Daerah Persegi dengan Metode Pemisahan Variabel Vol.14, No., 180-186, Januari 018 Solusi Problem Dirichlet pada Daerah Persegi Metode Pemisahan Variabel M. Saleh AF Abstrak Dalam keadaan distribusi temperatur setimbang (tidak tergantung pada waktu)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan, polusi yang ada di sungai disebabkan oleh limbah dari pabrikpabrik dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk

Lebih terperinci

BAB IV DERET FOURIER

BAB IV DERET FOURIER BAB IV DERET FOURIER 4.1 Fungsi Periodik Fungsi f(x) dikatakan periodik dengan perioda P, jika untuk semua harga x berlaku: f (x + P) = f (x) ; P adalah konstanta positif. Harga terkecil dari P > 0 disebut

Lebih terperinci

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan Pada bagian ini akan dipelajari tiga jenis persamaan diferensial parsial (PDP) linear orde dua yang biasa dijumpai pada masalah-masalah dunia nyata, yaitu persamaan

Lebih terperinci

TINJAUAN KASUS PERSAMAAN GELOMBANG DIMENSI SATU DENGAN BERBAGAI NILAI AWAL DAN SYARAT BATAS

TINJAUAN KASUS PERSAMAAN GELOMBANG DIMENSI SATU DENGAN BERBAGAI NILAI AWAL DAN SYARAT BATAS Tinjauan kasus persamaan... (Agus Supratama) 67 TINJAUAN KASUS PERSAMAAN GELOMBANG DIMENSI SATU DENGAN BERBAGAI NILAI AWAL DAN SYARAT BATAS ANALITICALLY REVIEW WAVE EQUATIONS IN ONE-DIMENSIONAL WITH VARIOUS

Lebih terperinci

4. Deret Fourier pada Interval Sebarang dan Aplikasi

4. Deret Fourier pada Interval Sebarang dan Aplikasi 4. Deret Fourier pada Interval Sebarang dan Aplikasi Kita telah mempelajari bagaimana menguraikan fungsi periodik dengan periode 2 yang terdefinisi pada R sebagai deret Fourier. Deret trigonometri tersebut

Lebih terperinci

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL A. PENGERTIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Dalam pelajaran kalkulus, kita telah berkenalan dan mengkaji berbagai macam metode untuk mendiferensialkan suatu fungsi (dasar). Sebagai

Lebih terperinci

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA Matakuliah: Fisika Matematika DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA Di S U S U N Oleh : Kelompok VI DEWI RATNA PERTIWI SITEPU (8176175004) RIFKA ANNISA GIRSANG (8176175014) PENDIDIKAN FISIKA REGULER

Lebih terperinci

Memahami konsep dasar turunan fungsi dan mengaplikasikan turunan fungsi pada

Memahami konsep dasar turunan fungsi dan mengaplikasikan turunan fungsi pada 5 TURUNAN JUMLAH PERTEMUAN : 4 PERTEMUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS : Memahami konsep dasar turunan fungsi dan mengaplikasikan turunan fungsi pada permasalahan yang ada Materi : 5.1 Pendahuluan Ide awal

Lebih terperinci

MASALAH SYARAT BATAS (MSB)

MASALAH SYARAT BATAS (MSB) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unmuh Ponorogo PENDAHULUAN MODEL KABEL MENGGANTUNG DEFINISI MSB Persamaan diferensial (PD) dikatakan berdimensi 1 jika domainnya berupa himpunan bagian pada R 1.

Lebih terperinci

MATERI 4 MATEMATIKA TEKNIK 1 DERET FOURIER

MATERI 4 MATEMATIKA TEKNIK 1 DERET FOURIER MATERI 4 MATEMATIKA TEKNIK 1 DERET FOURIER 1 Deret Fourier 2 Tujuan : 1. Dapat merepresentasikan seluruh fungsi periodik dalam bentuk deret Fourier. 2. Dapat memetakan Cosinus Fourier, Sinus Fourier, Fourier

Lebih terperinci

Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL A. PENGERTIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Dalam pelajaran kalkulus, kita telah berkenalan dan mengkaji berbagai macam metode untuk mendiferensialkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari banyak permasalahan yang muncul di lingkungan sekitar. Hal tersebut yang memicu kreatifitas berpikir manusia untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

TURUNAN. Ide awal turunan: Garis singgung. Kemiringan garis singgung di titik P: lim. Definisi

TURUNAN. Ide awal turunan: Garis singgung. Kemiringan garis singgung di titik P: lim. Definisi TURUNAN Ide awal turunan: Garis singgung Tali busur c +, f c + Garis singgung c, f c c P h c+h f c + f c Kemiringan garis singgung di titik P: f c + f c lim Definisi Turunan fungsi f adalah fungsi lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang mempunyai peranan sangat besar dalam kehidupan nyata. Salah satu bagian dari matematika adalah persamaan

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas penurunan model persamaan panas dimensi satu. Setelah itu akan ditentukan penyelesaian persamaan panas dimensi satu secara analitik dengan metode

Lebih terperinci

Memahami konsep dasar turunan fungsi dan menggunakan turunan fungsi pada

Memahami konsep dasar turunan fungsi dan menggunakan turunan fungsi pada 5 TURUNAN JUMLAH PERTEMUAN : 4 PERTEMUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS : Memahami konsep dasar turunan fungsi dan menggunakan turunan fungsi pada permasalahan yang ada Materi : 5.1 Pendahuluan Ide awal adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai salah satu ilmu bantu yang sangat penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

4. Deret Fourier pada Interval Sebarang dan Aplikasi

4. Deret Fourier pada Interval Sebarang dan Aplikasi 8 Hendra Gunawan 4. Deret Fourier pada Interval Sebarang dan Aplikasi Kita telah mempelajari bagaimana menguraikan fungsi periodik dengan periode 2 yang terdefinisi pada R sebagai deret Fourier. Deret

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 6 BAB LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa konsep dasar ang akan digunakan sebagai landasan berpikir seperti beberapa teorema dan definisi ang berkaitan dengan penelitian ini. Dengan begitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini diberikan beberapa definisi dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Definisi 2.1 (Turunan) Turunan merupakan pengukuran terhadap bagaimana fungsi berubah.

Lebih terperinci

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK Dalam bab ini, kita akan mengamati perambatan gelombang pada fluida ideal dengan dasar rata. Perhatikan gambar di bawah ini. Gambar 3.1 Aliran Fluida pada Dasar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA ( ) ( ) ( ) Asalkan limit ini ada dan bukan atau. Jika limit ini memang ada, dikatakan ( ) ( ) ( ) ( )

II. TINJAUAN PUSTAKA ( ) ( ) ( ) Asalkan limit ini ada dan bukan atau. Jika limit ini memang ada, dikatakan ( ) ( ) ( ) ( ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Turunan Turunan sebuah fungsi f adalah fungsi lain (dibaca f aksen ) yang nilainya pada sebarang bilangan c adalah Asalkan limit ini ada dan bukan. Jika limit ini memang

Lebih terperinci

KED INTEGRAL JUMLAH PERTEMUAN : 2 PERTEMUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Materi : 7.1 Anti Turunan. 7.2 Sifat-sifat Integral Tak Tentu KALKULUS I

KED INTEGRAL JUMLAH PERTEMUAN : 2 PERTEMUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Materi : 7.1 Anti Turunan. 7.2 Sifat-sifat Integral Tak Tentu KALKULUS I 7 INTEGRAL JUMLAH PERTEMUAN : 2 PERTEMUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Memahami konsep dasar integral, teorema-teorema, sifat-sifat, notasi jumlah, fungsi transenden dan teknik-teknik pengintegralan. Materi

Lebih terperinci

PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH

PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH 1105 100 056 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA Tujuan Pembelajaran Umum: 1 Mahasiswa mampu memahami konsep dasar persamaan diferensial 2 Mahasiswa mampu menggunakan konsep dasar persamaan diferensial untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

UJI KONVERGENSI. Januari Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK

UJI KONVERGENSI. Januari Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK UJI KONVERGENSI Januari 208 Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK Uji Integral Teorema 3 Jika + k= u k adalah deret dengan suku-suku tak negatif, dan jika ada suatu konstanta M sedemikian hingga s n = u + u 2 +

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Jika y = f(x) dengan f(x) adalah suatu fungsi yang terdiferensialkan terhadap

TINJAUAN PUSTAKA. Jika y = f(x) dengan f(x) adalah suatu fungsi yang terdiferensialkan terhadap II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diferensial Jika y = f(x) dengan f(x) adalah suatu fungsi yang terdiferensialkan terhadap variabel bebas x, maka dy adalah diferensial dari variabel tak bebas (terikat) y, yang

Lebih terperinci

LIMIT FUNGSI. A. Menentukan Limit Fungsi Aljabar A.1. Limit x a Contoh A.1: Contoh A.2 : 2 4)

LIMIT FUNGSI. A. Menentukan Limit Fungsi Aljabar A.1. Limit x a Contoh A.1: Contoh A.2 : 2 4) LIMIT FUNGSI A. Menentukan Limit Fungsi Aljabar A.. Limit a Contoh A.:. ( ) 3 Contoh A. : 4 ( )( ) ( ) 4 Latihan. Hitunglah nilai it fungsi-fungsi berikut ini. a. (3 ) b. ( 4) c. ( 4) d. 0 . Hitunglah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada ( ) ( ) ( )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada ( ) ( ) ( ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Turunan Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada sebarang bilangan c adalah asalkan limit ini ada. Jika limit ini memang ada, maka dikatakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi yang diuraikan berupa definisi-definisi

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH KALKULUS LANJUT A (S1 / TEKNIK INFORMATIKA ) KODE / SKS KD-045315 Mingg u Ke Pokok Bahasan dan TIU Sub-pokok Bahasan dan Sasaran Belajar Cara Pengajaran Media Tugas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan beberapa teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta teorema-teorema

Lebih terperinci

BAB VIII PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL

BAB VIII PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL BAB VIII PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL 1. Pendahuluan : Pemodelan Arus Panas Satu Dimensi Y Bahan penyekat (insulator) A Batang 0 L X Z Misalkan bila ada batang yang dapat menghantarkan panas. Batang tersebut

Lebih terperinci

Fungsi F disebut anti turunan (integral tak tentu) dari fungsi f pada himpunan D jika. F (x) = f(x) dx dan f (x) dinamakan integran.

Fungsi F disebut anti turunan (integral tak tentu) dari fungsi f pada himpunan D jika. F (x) = f(x) dx dan f (x) dinamakan integran. 4 INTEGRAL Definisi 4. Fungsi F disebut anti turunan (integral tak tentu) dari fungsi f pada himpunan D jika untuk setiap D. F () f() Fungsi integral tak tentu f dinotasikan dengan f ( ) d dan f () dinamakan

Lebih terperinci

Pertemuan Minggu ke Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai

Pertemuan Minggu ke Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai Pertemuan Minggu ke-10 1. Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai 1. Keterdiferensialan Pada fungsi satu peubah, keterdiferensialan f di x berarti keujudan derivatif f (x).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perpindahan Kalor Kalor adalah energi yang diterima oleh benda sehingga suhu benda atau wujudnya berubah. Ukuran jumlah kalor dinyatakan dalam satuan joule (J). Kalor disebut

Lebih terperinci

Deret Fourier. (Pertemuan XI) Dr. AZ Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil

Deret Fourier. (Pertemuan XI) Dr. AZ Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil TKS 4007 Matematika III Deret Fourier (Pertemuan XI) Dr. AZ Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil Perhitungan koefisien-koefisien Fourier sering kali

Lebih terperinci

Aplikasi Persamaan Bessel Orde Nol Pada Persamaan Panas Dua dimensi

Aplikasi Persamaan Bessel Orde Nol Pada Persamaan Panas Dua dimensi JURNAL FOURIER Oktober 2013, Vol. 2, No. 2, 113-123 ISSN 2252-763X Aplikasi Persamaan Bessel Orde Nol Pada Persamaan Panas Dua dimensi Annisa Eki Mulyati dan Sugiyanto Program Studi Matematika Fakultas

Lebih terperinci

FUNGSI dan LIMIT. 1.1 Fungsi dan Grafiknya

FUNGSI dan LIMIT. 1.1 Fungsi dan Grafiknya FUNGSI dan LIMIT 1.1 Fungsi dan Grafiknya Fungsi : suatu aturan yang menghubungkan setiap elemen suatu himpunan pertama (daerah asal) tepat kepada satu elemen himpunan kedua (daerah hasil) fungsi Daerah

Lebih terperinci

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1 By : Suthami A MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK Matematika sebagai ilmu dasar yang digunakan sebagai alat pemecahan masalah di bidang keteknikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dijelaskan beberapa definisi dan teorema yang digunakan dalam pembahasan berikutnya. 2.1 Teori Peluang Definisi 2.1.1 (Percobaan Acak) (Ross 2000) Suatu percobaan

Lebih terperinci

Dari contoh di atas fungsi yang tak diketahui dinyatakan dengan y dan dianggap

Dari contoh di atas fungsi yang tak diketahui dinyatakan dengan y dan dianggap BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persamaan Diferensial Definisi 2.1 Persamaan diferensial Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang memuat variabel bebas, variabel tak bebas, dan derivatif-derivatif

Lebih terperinci

Prosiding Matematika ISSN:

Prosiding Matematika ISSN: Prosiding Matematika ISSN: 2460-6464 Pengaruh Faktor Sigma Pada Ekspansi Fungsi Periodik Melalui Eksplorasi Deret Fourier Termodifikasi The Influence of Sigma Factor on The Expansion of The Periodic Function

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Diferensial Parsial Persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan parsial suatu fungsi (yang diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Diferensial Persamaan diferensial adalah suatu hubungan yang terdapat antara suatu variabel independen, suatu variabel dependen, dan satu atau lebih turunan dari

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN LINEAR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER LINEAR EQUATIONS) Persamaan linear tingkat tinggi menarik untuk dibahas dengan 2 alasan :

BAB V PERSAMAAN LINEAR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER LINEAR EQUATIONS) Persamaan linear tingkat tinggi menarik untuk dibahas dengan 2 alasan : BAB V PERSAMAAN LINEAR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER LINEAR EQUATIONS) Bentuk Persamaan Linear Tingkat Tinggi : ( ) Diasumsikan adalah kontinu (menerus) pada interval I. Persamaan linear tingkat tinggi

Lebih terperinci

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Tim Ilmu Komputasi Week 6: Separasi Variabel untuk Persamaan Gelombang Orde dua dan Koesien Fourier Coordinator contact: Dr. Putu Harry Gunawan phgunawan@telkomuniversity.ac.id

Lebih terperinci

Kalkulus II. Diferensial dalam ruang berdimensi n

Kalkulus II. Diferensial dalam ruang berdimensi n Kalkulus II Diferensial dalam ruang berdimensi n Minggu ke-9 DIFERENSIAL DALAM RUANG BERDIMENSI-n 1. Fungsi Dua Peubah atau Lebih 2. Diferensial Parsial 3. Limit dan Kekontinuan 1. Fungsi Dua Peubah atau

Lebih terperinci

LIMIT DAN KEKONTINUAN

LIMIT DAN KEKONTINUAN LIMIT DAN KEKONTINUAN Departemen Matematika FMIPA IPB Bogor, 2012 (Departemen Matematika FMIPA IPB) Kalkulus I Bogor, 2012 1 / 37 Topik Bahasan 1 Limit Fungsi 2 Hukum Limit 3 Kekontinuan Fungsi (Departemen

Lebih terperinci

Persamaan Di erensial Orde-2

Persamaan Di erensial Orde-2 oki neswan FMIPA-ITB Persamaan Di erensial Orde- Persamaan diferensial orde-n adalah persamaan yang melibatkan x; y; dan turunan-turunan y; dengan yang paling tinggi adalah turunan ke-n: F x; y; y ; y

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab Landasan Teori ini akan dibahas mengenai definisi-definisi, dan

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab Landasan Teori ini akan dibahas mengenai definisi-definisi, dan BAB II LANDASAN TEORI Pada Bab Landasan Teori ini akan dibahas mengenai definisi-definisi, dan teorema-teorema yang akan menjadi landasan untuk pembahasan pada Bab III nanti, diantaranya: fungsi komposisi,

Lebih terperinci

KALKULUS INTEGRAL 2013

KALKULUS INTEGRAL 2013 KALKULUS INTEGRAL 0 PENDAHULUAN A. DESKRIPSI MATA KULIAH Isi pokok mata kuliah ini memuat pemahaman tentang: () Anti turunan: pengertian anti turunan, teorema-teorema, dan teknik anti turunan, () Integral

Lebih terperinci

Asimtot.wordpress.com FUNGSI TRANSENDEN

Asimtot.wordpress.com FUNGSI TRANSENDEN FUNGSI TRANSENDEN 7.1 Fungsi Logaritma Asli 7.2 Fungsi-fungsi Balikan dan Turunannya 7.3 Fungsi-fungsi Eksponen Asli 7.4 Fungsi Eksponen dan Logaritma Umum 7.5 Pertumbuhan dan Peluruhan Eksponen 7.6 Persamaan

Lebih terperinci

I. Sistem Persamaan Diferensial Linier Orde 1 (Review)

I. Sistem Persamaan Diferensial Linier Orde 1 (Review) I. Sistem Persamaan Diferensial Linier Orde (Review) November 0 () I. Sistem Persamaan Diferensial Linier Orde (Review) November 0 / 6 Teori Umum Bentuk umum sistem persamaan diferensial linier orde satu

Lebih terperinci

5.1 Fungsi periodik, fungsi genap, fungsi ganjil

5.1 Fungsi periodik, fungsi genap, fungsi ganjil Bab 5 DERET FOURIER Pada Bab sebelumnya kita telah membahas deret Taylor. Syarat fungsi agar dapat diekspansi ke dalam deret Taylor adalah fungsi tersebut harus terdiferensial pada setiap tingkat. Untuk

Lebih terperinci

BAB III KONDUKSI ALIRAN STEDI - DIMENSI BANYAK

BAB III KONDUKSI ALIRAN STEDI - DIMENSI BANYAK BAB III KONDUKSI ALIRAN SEDI - DIMENSI BANYAK Untuk aliran stedi tanpa pembangkitan panas, persamaan Laplacenya adalah: + y 0 (6-) Aliran kalor pada arah dan y bisa dihitung dengan persamaan Fourier: q

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSAMAAN PANAS DENGAN ANALITIK DAN METODE VOLUME HINGGA HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR SKRIPSI

PENYELESAIAN PERSAMAAN PANAS DENGAN ANALITIK DAN METODE VOLUME HINGGA HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR SKRIPSI PENYELESAIAN PERSAMAAN PANAS DENGAN ANALITIK DAN METODE VOLUME HINGGA HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS PREVIEW KALKULUS TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Mahasiswa mampu: menyebutkan konsep-konsep utama dalam kalkulus dan contoh masalah-masalah yang memotivasi konsep tersebut; menjelaskan menyebutkan konsep-konsep

Lebih terperinci

Bab 2 Fungsi Analitik

Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 ini direncanakan akan disampaikan dalam 4 kali pertemuan, dengan perincian sebagai berikut: () Pertemuan I: Fungsi Kompleks dan Pemetaan. (2) Pertemuan II: Limit Fungsi, Kekontiuan,

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya. 2 II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas teoriteori yang mendukung karya tulis ini. Teoriteori tersebut meliputi persamaan diferensial penurunan persamaan KdV yang disarikan dari (Ihsanudin, 2008;

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan landasan teori tentang optimasi, fungsi, turunan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan landasan teori tentang optimasi, fungsi, turunan, BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diberikan landasan teori tentang optimasi, fungsi, turunan, pemrograman linear, metode simpleks, teorema dualitas, pemrograman nonlinear, persyaratan karush kuhn

Lebih terperinci

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan

Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan Pengantar Metode Perturbasi Bab 1. Pendahuluan Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas PAM 454 KAPITA SELEKTA MATEMATIKA TERAPAN II Semester Ganjil 2016/2017 Review Teori Dasar Terkait

Lebih terperinci

MODUL 1. Teori Bilangan MATERI PENYEGARAN KALKULUS

MODUL 1. Teori Bilangan MATERI PENYEGARAN KALKULUS MODUL 1 Teori Bilangan Bilangan merupakan sebuah alat bantu untuk menghitung, sehingga pengetahuan tentang bilangan, mutlak diperlukan. Pada modul pertama ini akan dibahas mengenai bilangan (terutama bilangan

Lebih terperinci

BAB I INTEGRAL TAK TENTU

BAB I INTEGRAL TAK TENTU BAB I INTEGRAL TAK TENTU TUJUAN PEMBELAJARAN: 1. Setelah mempelajari materi ini mahasiswa dapat menentukan pengertian integral sebagai anti turunan. 2. Setelah mempelajari materi ini mahasiswa dapat menyelesaikan

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI ( ) =

II. LANDASAN TEORI ( ) = II. LANDASAN TEORI 2.1 Fungsi Definisi 2.1.1 Fungsi Bernilai Real Fungsi bernilai real adalah fungsi yang domain dan rangenya adalah himpunan bagian dari real. Definisi 2.1.2 Limit Fungsi Jika adalah suatu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini, akan dijelaskan landasan teori yang akan digunakan dalam bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung dan memperkuat tujuan penelitian. Landasan teori yang dimaksud

Lebih terperinci

FUNGSI BESSEL. 1. PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL Fungsi Bessel dibangun sebagai penyelesaian persamaan diferensial.

FUNGSI BESSEL. 1. PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL Fungsi Bessel dibangun sebagai penyelesaian persamaan diferensial. FUNGSI BESSEL 1. PERSAMAAN DIFERENSIAL BESSEL Fungsi Bessel dibangun sebagai penyelesaian persamaan diferensial. x 2 y ''+xy'+(x 2 - n 2 )y = 0, n ³ 0 (1) yang dinamakan persamaan diferensial Bessel. Penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Orde integral dan derivatif (turunan) dari suatu fungsi yang telah dikenal selama ini senantiasa dihubungkan dengan bilangan bulat. Artinya turunan ke (orde)

Lebih terperinci

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI MODUL MATEMATIKA II Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI DEPARTEMEN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL KATA PENGANTAR Puji sukur kehadirat Allah SWT

Lebih terperinci

Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I

Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I Oleh Hendra Gunawan, Ph.D. Departemen Matematika ITB Sasaran Belajar Setelah mempelajari materi Kalkulus Elementer I, mahasiswa diharapkan memiliki (terutama):

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan bakteri, sedangkan dalam bidang teknik yaitu pemodelan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan bakteri, sedangkan dalam bidang teknik yaitu pemodelan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persamaan Diferensial merupakan salah satu topik dalam matematika yang cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal itu karena banyak permasalahan kehidupan

Lebih terperinci

Kelompok Mata Kuliah : MKU Program Studi/Program : Pendidikan Teknik Elektro/S1 Status Mata Kuliah : Wajib Prasyarat : - : Aip Saripudin, M.T.

Kelompok Mata Kuliah : MKU Program Studi/Program : Pendidikan Teknik Elektro/S1 Status Mata Kuliah : Wajib Prasyarat : - : Aip Saripudin, M.T. DESKRIPSI MATA KULIAH TK-301 Matematika: S1, 3 SKS, Semester I Mata kuliah ini merupakan kuliah dasar. Selesai mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep-konsep matematika dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah Penelusuran tentang fenomena belalang merupakan bahasan yang baik untuk dipelajari karena belalang dikenal suka berkelompok dan berpindah. Dalam kelompok,

Lebih terperinci

Bil Riil. Bil Irasional. Bil Bulat - Bil Bulat 0 Bil Bulat + maka bentuk umum bilangan kompleks adalah

Bil Riil. Bil Irasional. Bil Bulat - Bil Bulat 0 Bil Bulat + maka bentuk umum bilangan kompleks adalah ANALISIS KOMPLEKS Pendahuluan Bil Kompleks Bil Riil Bil Imaginer (khayal) Bil Rasional Bil Irasional Bil Pecahan Bil Bulat Sistem Bilangan Kompleks Bil Bulat - Bil Bulat 0 Bil Bulat + Untuk maka bentuk

Lebih terperinci

BAB VI. INTEGRAL TAK TENTU (ANTI TURUNAN)

BAB VI. INTEGRAL TAK TENTU (ANTI TURUNAN) PENDAHULUAN BAB VI. INTEGRAL TAK TENTU (ANTI TURUNAN) (Pertemuan ke 11 & 12) Diskripsi singkat Pada bab ini dibahas tentang integral tak tentu, integrasi parsial dan beberapa metode integrasi lainnya yaitu

Lebih terperinci

Fungsi F disebut anti turunan (integral tak tentu) dari fungsi f pada himpunan D jika. F (x) = f(x) dx dan f (x) dinamakan integran.

Fungsi F disebut anti turunan (integral tak tentu) dari fungsi f pada himpunan D jika. F (x) = f(x) dx dan f (x) dinamakan integran. 4 INTEGRAL Definisi 4.0. Fungsi F disebut anti turunan (integral tak tentu) dari fungsi f pada himpunan D jika untuk setiap D. F () f() Fungsi integral tak tentu f dinotasikan dengan f ( ) d dan f () dinamakan

Lebih terperinci

Department of Mathematics FMIPAUNS

Department of Mathematics FMIPAUNS Lecture 2: Metode Operator A. Metode Operator untuk Sistem Linear dengan Koefisien Konstan Pada bagian ini akan dibicarakan cara menentukan penyelesaian sistem persamaan diferensial linear dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam

Lebih terperinci

Kelompok Mata Kuliah : MKU Program Studi/Program : Teknik Tenaga Elektrik/S1 Status Mata Kuliah : Wajib Prasyarat : - : Aip Saripudin, M.T.

Kelompok Mata Kuliah : MKU Program Studi/Program : Teknik Tenaga Elektrik/S1 Status Mata Kuliah : Wajib Prasyarat : - : Aip Saripudin, M.T. DESKRIPSI MATA KULIAH TK-... Matematika Dasar: S1, 3 SKS, Semester I Mata kuliah ini merupakan kuliah dasar. Selesai mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep-konsep matematika

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini pemodelan matematika telah berkembang seiring perkembangan matematika sebagai alat analisis berbagai masalah nyata. Dalam pengajaran mata kuliah pemodelan

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Week 4: Separasi Variabel untuk Persamaan Panas Orde Satu Tim Ilmu Komputasi Coordinator contact: Dr. Putu Harry Gunawan phgunawan@telkomuniversity.ac.id 1 Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat derivatif dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas. Persamaan diferensial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebelum pembahasan mengenai irisan bidang datar dengan tabung lingkaran tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut. A. Matriks Matriks adalah himpunan skalar (bilangan

Lebih terperinci

Memahami definisi barisan tak hingga dan deret tak hingga, dan juga dapat menentukan

Memahami definisi barisan tak hingga dan deret tak hingga, dan juga dapat menentukan 4 BARISAN TAK HINGGA DAN DERET TAK HINGGA JUMLAH PERTEMUAN : 5 PERTEMUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS : Memahami definisi barisan tak hingga dan deret tak hingga, dan juga dapat menentukan kekonvergenan

Lebih terperinci

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan 6, 1 (2.52) Berdasarkan persamaan (2.52), maka untuk 0 1 masing-masing memberikan persamaan berikut:, 0,0, 0, 1,1, 1. Sehingga menurut persamaan (2.51) persamaan (2.52) diperoleh bahwa fungsi, 0, 1 masing-masing

Lebih terperinci

LIMIT KED. Perhatikan fungsi di bawah ini:

LIMIT KED. Perhatikan fungsi di bawah ini: LIMIT Perhatikan fungsi di bawah ini: f x = x2 1 x 1 Perhatikan gambar di samping, untuk nilai x = 1 nilai f x tidak ada. Tetapi jikakita coba dekati nilai x = 1 dari sebelah kiri dan kanan maka dapat

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Week 5: Separasi Variabel untuk Persamaan Panas Orde Satu - Tim Ilmu Komputasi Coordinator contact: Dr. Putu Harry Gunawan phgunawan@telkomuniversity.ac.id 1 Review

Lebih terperinci

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Pendahuluan Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat diferensial Kita akan membahas tentang Persamaan Diferensial Biasa yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. variabel x, sehingga nilai y bergantung pada nilai x. Adanya relasi kebergantungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. variabel x, sehingga nilai y bergantung pada nilai x. Adanya relasi kebergantungan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Diferensial Differential Equation Fungsi mendeskripsikan bahwa nilai variabel y ditentukan oleh nilai variabel x, sehingga nilai y bergantung pada nilai x. Adanya relasi

Lebih terperinci

PERSAMAAN DIFERENSIAL I PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

PERSAMAAN DIFERENSIAL I PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA PERSAMAAN DIFERENSIAL I PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA Persamaan Diferensial Biasa 1. PDB Tingkat Satu (PDB) 1.1. Persamaan diferensial 1.2. Metode pemisahan peubah dan PD koefisien fungsi homogen 1.3. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari banyak permasalahan yang muncul di lingkungan sekitar. Hal tersebut dapat dikembangkan melalui pemodelan matematika. Sehingga dengan

Lebih terperinci

BAB 4 KEKONSISTENAN PENDUGA DARI FUNGSI SEBARAN DAN FUNGSI KEPEKATAN WAKTU TUNGGU DARI PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT

BAB 4 KEKONSISTENAN PENDUGA DARI FUNGSI SEBARAN DAN FUNGSI KEPEKATAN WAKTU TUNGGU DARI PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT 29 BAB 4 KEKONSISTENAN PENDUGA DARI FUNGSI SEBARAN DAN FUNGSI KEPEKATAN WAKTU TUNGGU DARI PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT 4.1 Perumusan Penduga Misalkan adalah proses Poisson nonhomogen

Lebih terperinci

TINJAUAN KASUS PERSAMAAN PANAS DIMENSI SATU SECARA ANALITIK

TINJAUAN KASUS PERSAMAAN PANAS DIMENSI SATU SECARA ANALITIK TINJAUAN KASUS PERSAMAAN PANAS DIMENSI SATU SECARA ANALITIK ANALYTICALLY REVIEW ON ONE-DIMENSIONAL HEAT EQUATION Oleh: Ahmadi 1), Hartono 2), Nikenasih Binatari 3) Program Studi Matematika, Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci