( t) TINJAUAN PUSTAKA. x dengan nilai fungsi dari: x

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "( t) TINJAUAN PUSTAKA. x dengan nilai fungsi dari: x"

Transkripsi

1 Berawal dari apa yang telah disampaikan sebelumnya, pada skripsi kali ini akan dipelajari bagaimana perilaku trayektori solusi soliton sistem optik periodik melalui pendekatan analisis sistem dinamik yang nantinya akan dipa dengan fungsi Jacobian Eliptik, sehingga nantinya bisa dianalisa perilaku disekitar aliran trayektori.. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perilaku solusi soliton periodik dengan cara menggunakan analisis sistem dianamik, dimana dengan mengetahui pola perilakunya, maka nantinya akan bisa diketahui perilaku disekitar trayektori yang ditunjukan oleh ketiga buah fungsi Jacobian Eliptik untuk persamaan soliton periodik. TIJAUA PUSTAKA. Soliton Dalam Fisika Untuk mengetahui soliton secara fisis ada beberapa pertanyaan yang mungkin sampai sekarang menggelayuti pikiran banyak orang yaitu bagaimana cara mengetahui sifat soliton secara analitik? Mengapa soliton dapat berkelakuan stabil layaknya sebuah partikel? Dan apakah soliton hanya sebuah fenomena spesifik dari persamaan Kdv saja?. Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut akan dipaparkan secara bertahap beberapa langkah tambahan setelah Zabusky dan Kruskal melakukan perhitungan numeriknya. Tinjau persamaan Kdv yang telah mengalami penskalaan pada variabel bebas dan variabel terikatnya: ut 6uu + u = () dari teori gelombang dapat diketahui bahwa suku kea dan ketiga masing-masing menyatakan efek nonlinier dan dispersi. Suku nonlinier menyebabkan sebuah perubahan kecuraman pada bentuk gelombangnya, sementara suku dispersi menyebabkan gelombang dapat menyebar. Kompetisi antara kea suku tersebut menghasilkan bentuk gelombang stasioner yang dikenal sebagai gelombang soliter. Alasan lain mengapa setiap gelombang soliter bersifat stabil yaitu sifat persamaan Kdv yang memilki besaran konservatif. Sifat dinamis dari sistem dibatasi oleh hukum kekekalan dari besaran tersebut. Besaran yang konservatif dapat menjamin parameter yang mengkarakterisasi soliton untuk tidak bergantung pada waktu sehingga soliton dapat bersifat stabil. Berdasarkan pada tak hingga banyaknya besaran konservatif (variabel medan memiliki derajat kebebasan tak hingga), maka soliton dapat eksis dalam jumlah yang sembarang. Sifat-sifat dasar soliton dapat diinvestigasi dengan metode hamburan balik (inverse Scattering method). Secara ringkas solusi persamaan Kdv yang diselesaikan dengan metode hamburan balik yaitu: u(, t) = K(, ; t) () dengan nilai fungsi dari: K(, y; t) + F( + y; t) + K(, z; t) F( z+ y; t) dz = (3) n b( k, t) ik F ( t ; ) = cn ( t) e + e π a ( k, n= ) (4) dimana persamaan (3) merupakan persamaan Gelvan-Levitan. Secara khusus ketika koefisien refleksi r( k,) = b( k, ) / a( k,) bernilai nol (potensial tanpa refleksi, maka barulah dapat dipecahkan persamaan Gelvan Levitan dan nantinya dapat diperoleh solusi -soliton yang terkait dengan keadaan terikat. Dari pernyataan eksak solusi - soliton, dapat dibuktikan bahwa soliton stabil melawan tumbukan sesamanya. Tumbukan tersebut akan selalu dalam keadaan berpasangan dan hanya menginksi proses pergeseran posisi dari soliton[4]. Permasalahan nilai awal dari persamaan Kdv akhirnya telah dapat diselesaikan pada masa itu. Dan lima tahun berikutnya (97) dengan jalan mengembangkan metode hamburan balik, Zakharov dan Shabat [5] berhasil memecahkan persamaan nonlinier Schroedinger (LS) yang berbentuk: iψt + ψ + ψ ψ = (5) dan kemudian seorang ilmuwan bernama Wadati memecahkan persamaan Kdv yang termodifikasi [6,7], berikut persamaannya: ut + 6u u + u = (6) dan akhirnya sampai sekarang lebih dari seratus persamaan soliton yang telah dikenal.. Analisa Sistem Dinamik. Dalam membahas dinamika suatu sistem fisis dapat digambarkan oleh suatu set persamaan diferensial biasa yang merupakan fungsi satu buah variabel, dan dalam hal ini persamaan diferensial biasa yang digunakan bersifat autonomous[3], yakni suatu set persamaan yang di dalamnya tidak terdapat hubungan ketergantungan terhadap variabel secara eksplisit. Berikut PDB orde satu yang dimaksud:

2 3 dn n = fn( n) n dt (7) Kemudian dalam membahas soal dinamika sistem akan dikenal istilah ruangfasa, untuk bisa memberikan gambaran tersebut, maka tinjau kembali persamaan untuk kasus banl sederhana yang terlinierisasi yang dituliskan: + = (8) Dengan mendefinisikan = dan =, maka persamaan (8) dapat dituliskan kembali dalam bentuk: = = (9) jelas terlihat bahwa melalui definisi ulang, persamaan (8) di atas berubah menjadi PDB orde satu seperti pada persamaan (7) dengan =. Dan perlu diingat bahwa solusi dari persamaan (8) adalah sebuah solusi harmonik yang berdasarkan pada superposisi linier dari fungsi sinus dan kosinus, sehingga dengan demikian solusi bagi persamaan (9): = csin t = ccost () dengan c adalah sebuah konstanta sembarang, dan selanjutnya atas dasar kenyataan berikut: + = c( sin t+ cos t) = c () maka jelaslah bahwa dalam bidang (, ) (, ) kurva yang terbentuk adalah sebuah lingkaran dengan jari jari c. Sebagaimana yang akan diberikan pada gambar. Gambar Kurva aliran Trayektori untuk Persamaan () dan nantinya ada hal yang penting untuk perlu diingat bahwa trayektori-trayektori dalam sebuah ruang atau bidang fasa tidak pernah berpotongan, sebagaimana akan dicontohkan pada gambar 3, untuk a keadaan awal yang berbeda, trayektori solusi yang arah alirannya ditunjukan melalui kepala panah, tidak pernah akan berpotongan. Hal ini berlaku umum untuk semua jenis PDB (9). Gambar 3 Trayektori tidak akan pernah berpotongan untuk a keadaan berbeda Berikut akan ditinjau kembali persamaan (7) yang akan dituliskan dalam bentuk yang lebih eksplisit sebagai berikut: = f ( ),... = f (,... ) misalkan terdapat titik-titik { } () n = yang n, nantinya akan mengakibatkan nilai dari fungsi fn(,,..., n,,...,, ) = secara menyeluruh, maka set titik titik tersebut dinamakan sebagai set titik kritis yang terkait dengan { n = }. Berdasarkan kenyataan ini, sebuah titik kritis dalam ruang-fasa terkait dengan solusi stasioner dimana nilai ( t) = c untuk semua waktu dengan nilai c merupakan sebuah konstanta. Untuk mengetahui karakteristik dari titik-titik tersebut, dapat dilakukan dengan melakukan linierisasi sistem persamaan terkait, yakni dengan melakukan ekspansi Taylor terhadap fungsi f di sekitar n n = n, hingga orde pertama saja: f n n = ( n n, ) = +... n, n= n (3) Kemudian, dengan memanfaatkan secara lebih mendalam linierisasi persamaan () dalam hal menentukan karakter dari suatu titik kritis secara lebih umum, berikut akan dituliskan kembali persamaan (3) ke dalam bentuk persamaan matriks berikut: T X = AX X ( X, X,.. X ) (4) f f X X A (5) f f X X di sini X = yang menunjukan bahwa n n n, titik kritis ditranslasikan ke titik asal (,), dan

3 4 A adalah matriks yang diasumsikan sebagai matriks non-singular yakni: det A (6) Untuk menganalisa karakteristik dari titik kritis terkait, maka tentukan terlebih dahulu persoalan harga eigen bagi matriks A : AX = λ X (7) dengan λ merupakan harga eigen terkait yang dapat diperoleh dengan cara memecahkan persamaan karakteristik berikut ini: det ( A λi) = (8) Dengan demikian, dapat diperoleh empat buah jenis titik kritis berdasarkan harga eigennya yaitu Titik ode, Titik Sadel, Titik Center dan Titik Fokus. Untuk titik ode nilai eigennya berharga riil. Pada kasus λ, λ > akan diperlihatkan pada gambar 4 dimana titik ode tersebut beratraktor negatif yang artinya aliran trayektori menjauhi titik kritis. amun ketika λ, λ < titik ode tersebut akan beratraktor positif, yang artinya aliran trayektori akan menuju ke arah titik kritis sebagaimana ditunjukan pada gambar 5. Kemudian untuk titik kritis jenis yang kea yaitu titik Sadel memilki harga eigen yang bernilai riil pula, bedanya dengan titik ode, titik Sadel nilai eigennya berkondisikan nilai eigen yang berlawanan tanda λ <, λ > atau sebaliknya. Berikut ini adalah bentuk trayektorinya. Gambar 7 Aliran Trayektori titik Sadel dan diagram harga eigen yang terkait pada gambar 7 akan diberikan pada gambar 8. Gambar 8 Diagram harga Eigen untuk kasus titik Sadel Gambar 4 Titik ode atraktor negatif untuk jenis titik kritis yang ketiga yaitu titik Center ternyata memilki nilai eigen yang berbeda dari a titik kritis sebelumnya yaitu nilai eigen yang imajiner. Dengan begitu, trayektori yang terkait titik Center ini bisa diilustrasikan pada gambar 9. Gambar 5 Titik ode atraktor positif dan diagram harga eigen untuk kasus titik ode ini diberikan oleh gambar 6a dan 6b masing-masing untuk kasus atraktor negatif dan positif berturut-turut. Gambar 9 Aliran Trayektori titik Center sedangkan untuk diagram harga eigennya diberikan dalam gambar. Gambar 6 Diagram harga Eigen untuk kasus titik ode Gambar Diagram harga Eigen untuk kasus titik Center

4 5 Berikutnya, untuk jenis titik kritis yang terakhir yaitu titik Fokus ternyata memiliki nilai eigen yang merupakan bilangan kompleks, yaitu bilangan yang terdiri atas fungsi riil dan imajiner. Untuk kasus μ > titik Fokus tersebut memilki atraktor negatif, sedangkan untuk kasus μ < titik Fokus tersebut memilki atraktor positif, untuk memahaminya perhatikan ilustrasi gambar dan gambar berikut. untuk bifurkasi jenis kea yaitu bifurkasi Trans-Kritikal. Pada bifurkasi ini jumlah titik kritis yang terlibat dalam proses tetap namun hanya mengakibatkan pertukaran karakteristik kestabilannya saja. Untuk memahaminya perhatikan ilustrasi pada gambar 4. Gambar 4 Diagram Bifurkasi untuk kasus Bifurkasi Trans-Kritikal Gambar Titik Fokus atraktor negatif dan untuk bifurkasi jenis berikutnya disebut bifurkasi Pitch-Fork. Bifurkasi ini dicirikan lewat bertambahnya titik kritis dari satu menjadi tiga buah, dimana untuk titik kritis yang telah ada sebelumnya berubah karakteristik kestabilannya dari stabil menjadi tidak stabil, sedangkan untuk titik kritis yang baru bersifat stabil. Untuk memahaminya perhatikan ilustrasi pada gambar 5. Gambar Titik Fokus atraktor positif Setelah membahas mengenai titik kritis, dalam pembahasan dinamik sistem juga dikenal istilah bifurkasi. Bifurkasi adalah proses perubahan jumlah titik kritis serta jenisnya akibat perubahan parameter yang terkanng di dalam suatu sistem persamaan. Secara umum bifurkasi pada dinamik sistem ada banyak jenisnya, namun untuk kali ini akan dibahas empat buah kasus bifurkasi yang paling sering ditemui dan tergolong dalam kasus bifurkasi lokal. Bifurkasi yang pertama disebut bifurkasi Sadel-ode. Bifurkasi jenis ini dicirikan oleh munculnya a atau lebih titik kritis. Berikut ilustrasi dari diagram bifurkasinya untuk kasus satu dimensi. Gambar 3 Diagram Bifurkasi Sadel-ode Gambar 5 Diagram Bifurkasi Pitch-Fork Kemudian untuk bifurkasi jenis terkahir disebut bifurkasi Poincare-Andronov-Hopf. Pada bifurkasi ini persamaan PDB yang ditinjau merupakan persamaan PDB a dimensi, namun karena cukup kompleks persamaan tersebut jika direpresentasikan dalam koordinat cartesian, maka dilakukan transformasi koordinat dari cartesian menuju polar agar PDB yang nanti akan diselesaikan jauh lebih sederhana dari sebelumnya. Pada bifurkasi ini dasarnya melibatkan trayektori yang bersifat periodik dimana terjadi perubahan jenis titik kritis dari titik Fokus dengan atraktor positif menjadi atraktor negatif disertai dengan kemunculan Limit Cycle. Limit Cycle merupakan sebuah trayektori berbentuk lingkaran yang bersifat periodik yang muncul akibat perubahan kestabilan titik Fokus. Untuk memahami lebih lanjut perhatikan ilustrasi gambar 6 berikut.

5 6 Gambar 6 Pola Trayektori Bifurkasi Poincare Andronov Hopf (Bifurkasi Hopf) dapat dilihat pada gambar ketika kasus μ > muncul sebuah Limit Cycle disana. Hal ini terjadi karena perubahan kestabilan titik Fokus saat μ < yang beratraktor positif menjadi beratraktor negatif pada μ > Perlu ditekankan disini bahwa keempat bifurkasi yang dibahas sebelumnya merupakan bifurkasi lokal, yakni bifurkasi yang dapat dilihat hanya dengan meninjau perubahan kelakuan aliran trayektori di sekitar titik kritis. 3. Solusi Satu Soliton Persamaan LS Pada awal pembahasan mengenai kehadiran soliton optik, akan ditinjau sebuah persamaan perambatan pulsa elektromagnetik dalam serat optik. Dalam hal ini perambatan pulsa yang dimaksud melalui medium dielektrik. Yaitu sebuah medium yang jika dirambati oleh cahaya dengan intensitas tinggi akan menunjukan sebuah hubungan antara indeks bias terhadap intensitas cahaya. Medium dengan perilaku seperti itu dikenal sebagai medium kerr. Persamaan gelombang yang terkait dengan perambatan pulsa dalam serat optik lazim disebut persamaan Schrodinger nonlinier (LS) yang dapat dituliskan dalam bentuk umum sebagai berikut[3]: E E i β + σ E E = (9) z t dimana nilai E merupakan medan selubung dari pulsa listrik, kemudian nilai d ω β dk merupakan parameter yang terkait dengan dispersi dari kecepatan grup dan nilai ( 3) σ χ terkait dengan suseptibilitas orde tiga dari medium yang dilalaui. Berikut ini akan dicari solusi bagi persamaan (9) dalam bentuk: i z E zt, = u t e κ () dengan u t merupakan fungsi riil. Kemudian substitusikan persamaan () ke dalam persamaan (9) dan menghasilkan: u 3 κu β + σu = () t selanjutnya kalikan persamaan () dengan / dt sehingga: 3 κu β d u + σu = dt dt dt dt () persamaan () dapat dituliskan kembali dalam bentuk: d σ 4 κu β + u = dt dt (3) yang mengindikasikan bahwa: σ 4 κu β + u = c (4) dt dimana nilai c merupakan sebuah konstanta. Selanjutnya untuk bisa memperoleh solusinya maka dengan membatasi diri pada solusi yang memilki kondisi dt dan u pada t ± sehingga berakibat nilai c pada ruas kanan bernilai nol. Dari sini persamaan (4) dapat diatur kembali menjadi: σ 4 = κu u (5) dt β + dt = κ (6) β u + u σ σ untuk menyelesaikan persamaan (6) pada ruas kiri akan dilakukan pemisalan fungsi u = κ / σ sinψ dan = κ / σ cosψdψ, sehingga ruas kiri persamaan (6) dalam variabel ψ menjadi: dψ u κ / σ + u κ / σ sinψ (7) kemudian integralkan hasil yang diperoleh terhadap variabel ψ : dψ κ / σ sinψ = (8) cosψ ln κ / σ sin ψ sin ψ setelah itu nyatakan kembali persamaan (8) dalam variabel u :

6 7 cosψ ln = κ / σ sin ψ sin ψ u σ /κ ln κ / σ κ / σ u (9) sedangkan integral ruas kanan persamaan (6) didapatkan: dt t = β / σ β / σ (3) dengan demikian persamaan yang harus dipecahkan adalah: u σ /κ ln κ / σ = κ / β t u (3) sehingga nantinya nilai u menjadi: κ / σ ep κ / β t u() t = + ep( κ / β t) (3) dan nantinya bentuk persamaan (3) dapat diubah menjadi bentuk fungsi trigonometri berikut: u t = κ / σ sech κ / β t (33) () sehingga akhirnya solusi dari persamaan LS dalam bentuk persamaan () yang diinginkan dapat dituliskan sebagai berikut: i z E z, t = κ / σ sech κ / β t e κ (34) dengan bentuk profilnya diberikan pada gambar 7. Jelas bahwa solusi yang diperoleh merupakan solusi yang terlokalisasi dengan ekor-ekor menuju nol. Dalam fisika, solusi ini dinamakan sebagai soliton. u u = (35a) β 3 u = κu+ σ u (35b) jelas terlihat bahwa titik-titik kritis untuk sistem persamaan (35) adalah: u =, u = (36a) κ u = ±, u = (36b) σ dan harga eigen yang terkait dengan masingmasing titik kritis diberikan oleh penyelesaian dari konstruksi matriks Jacobian, dan hasil yang didapat: κ λ = ± (37a) β κ λ =± β (37b) untuk kasus β < dan κ > dapat dengan mudah disimpulkan bahwa titik kritis (36a) merupakan sebuah titik Sadel, sedangkan titik kritis (36b) merupakan titik Center. Sebelum meninjau bentuk trayektori solusi berdasarkan proses linierisasi, perlu disadari bahwa sistem persamaan (35) membentuk suatu sistem Hamiltonian dengan fungsi Hamiltonian terkait diberikan oleh: κ σ 4 H = u + u + u 4 β (38) dimana persamaan (35) memenuhi persamaan kanonik u = H / u dan u = H / u. Mengingat pada titik (,) merupakan titik Sadel, maka nilai Hamiltonian untuk trayektori yang terkait dengan titik tersebut adalah H =. Dengan demikian, sambil memeperhatikan kenyataan bahwa terdapat a buah titik Center dan sebuah titik Sadel di titik asal, maka bentuk trayektori yang dimaksud adalah Seperti yang diilustrasikan pada gambar 8 berikut. Gambar 7 Profil solusi persamaan (34) 4. Analisis Sistem Dinamik Solusi Satu Soliton onlinier Schroedinger (LS) Untuk melihat makna dari solusi soliton LS persamaan (34) dalam bahasa dinamika sistem maka tinjau kembali persamaan () dalam bentuk PDB orde satu dengan memisalkan u = dan u didapatkan: = u u Gambar 8 Pola Trayektori untuk kasus β < dan κ > dan sesuai pula dengan persamaan (38) untuk kasus H = kemudian untuk kasus β > dan κ > dapat dengan mudah pula diketahui bahwa untuk

7 8 titik kritis (36a) merupakan sebuah titik Center, sedangkan untuk titik kritis (36b) merupakan titik Sadel. Berdasarkan persamaan (35) diketahui bahwa: u () t κ β sech κ t tanh κ = t σ β β (39) dengan menggunakan aplikasi Mapple, dapat diperlihatkan bahwa untuk rentang < t < maka diperoleh dalam gambar 9, pola trayektori dari persamaan (39) yang dikombinasikan dengan: κ κ u () t = u () t = sech t σ β (4) secara implisit dalam bidang ( u( t), u( t) ). Terlihat bahwa kombinasi tersebut cocok dengan trayektori dari hamiltonian dengan H = pada bagian kurva tertutup bagian kanan. Kurva tertutup bagian kiri dari gambar 9 terkait dengan solusi u u, dimana berdasarkan transformasi ini persamaan (35) merupakan persamaan yang invarian. Gambar 9 Pola aliran Trayektori persamaan (39) yang dikombinasikan dengan persamaan (4) amun, jika kembali mengacu pada persamaan (34) dapat dengan mudah dilihat bahwa agar persamaan tersebut terkait dengan suseptibilitas orde tiga dimana σ > maka kondisi yang harus dipenuhi adalah ketika β < dan κ > agar fungsi u merupakan fungsi riil. Kondisi perambatan dengan nilai β < secara teoritis terkait dengan sebuah keadaan dispersi anomali. 5. Integral dan Fungsi Eliptik Untuk memahami permasalahan ini, berikut akan ditunjukan sebuah bentuk integral yang sering dijumpai dalam permasalahan Fisika seperti pada kasus banl sederhana yaitu: ϕ F( ϕ, k) = (4) k sin ϕ integral pada persamaan (4) dinamakan sebagai integral eliptik jenis pertama dan: ϕ E(, k) = k sin d ϕ ϕ ϕ (4) dikenal sebagai integral eliptik jenis kea. Dimana nilai k berada pada rentang nilai k. ilai k pada persamaan tersebut merupakan sebuah molus dan ϕ merupakan sebuah amplitudo dari integral eliptik pada persamaan (4) dan (4). Integral eliptik dinamakan sebagai integral eliptik lengkap jika amplitudo pada persamaan bernilai π ϕ =. Integral pada persamaan (4) dan (4) merupakan integral eliptik versi Legendre. Melalui transformasi: = sinϕ dengan nilai d =, sehingga diperoleh bentuk lain sebagai berikut yaitu[8,9,3]: d F(, k ) = (43) k k E(, k) = d (44) yang dinamakan integral eliptik versi Jacobi. Bentuk integral eliptik baik dalam versi Legendre maupun Jacobi tidak dapat secara umum dievaluasi secara analitik. ilainilainya untuk amplitudo tertentu disediakan dalam bentuk tabel yang diperoleh secara numerik. Tinjau bentuk integral eliptik Jacobi (43). Jika diambil k = maka dapat dengan mudah diperoleh: d u = = sin (45) dimana u F(,), jika dilakukan inversi terhadap persamaan (45) maka diperoleh hasil sin u =. Dengan memperluas cara pandang untuk kasus k dan dengan mendefinisikan secara umum nilai u F (, k), maka serupa dengan persamaan (45) dapat dituliskan bentuk bagi sembarang integral eliptik terkait: d u = = sn (46) k dan serupa pula dengan persamaan (45), invers dari persamaan (46) adalah sn u = = sinϕ. Dimana secara lebih khusus

8 9 fungsi sn u dikenal dalam matematik sebagai fungsi eliptik Jacobi[8,9,3]. Mirip dengan fungsi trigonometrik, dapat pula didefinisikan fungsi eliptik Jacobi cn u melalui hubungan: cn u = sn u = cosϕ (47) kemudian tinjau kembali integral eliptik versi Legendre pada persamaan (4), jelas terlihat: = k sin ϕ (48) dan berdasarkan hubungan (48) dapat pula didefinisikan fungsi dn u melalui perumusan berikut ini yaitu: dn u = = k sn u (49) dengan demikian, jelas bahwa fungsi fungsi tersebut memenuhi hubungan: cn u+ sn u = dn u+ k sn u = (5) (5) kemudian, untuk mengetahui turunan pertama bagi masing-masing fungsi terhadap variabel u, maka diperoleh hasil sebagai berikut: ( sn ) ( sinϕ ) d u d = = cosϕ = cn u dn u d( cn u) d( cosϕ ) = = sinϕ = sn u dn u d( dn u) d = ( k sinϕ ) = k sinϕ cosϕ = k sn ucn u k sinϕ METODE PEELITIA (5) (53) (54). Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 9 sampai dengan bulan Desember 9. Dan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB).. Peralatan Pada penelitian kali ini alat yang digunakan berupa laptop milik pribadi dengan processor Intel (R) Core (TM) Duo CPU dengan memory GB dan menggunakan Windows Vista Home Basic. Lalu pada penelitian ini juga menggunakan bantuan Software Mapple dan Mathematica Metode Penelitian 3. Studi Pustaka Pada penelitian ini studi pustaka dimulai dari pemecahan solusi satu persamaan LS melalui pendekatan analisis sistem dinamik. Kemudian dengan proses yang sama maka persamaan mos tergandeng yang didapatkan dari perluasan persamaan LS dapat diselesaikan secara eksak pula. Dan dengan bantuan ketiga fungsi eliptik, maka dapat diketahui perilaku trayektori solusinya dalam bidang fasa. 3. Penurunan Solusi Secara Eksak Proses ini dilakuakan untuk mengetahui perilaku persamaan 55 dan 56 secara analitik, melalui pendekatan sistem dinamik. 3.3 Analisa Solusi Dengan Mapple dan Mathematica 7 Proses ini dilakukan untuk menganalisis hasil visualisasi gambar trayektori solusi yang didapatkan oleh kea software yang digunakan. Sebenarnya dalam menunjukan bentuk trayektori solusi beserta aliran trayektorinya akan lebih baik menggunakan software Mathematica, namun dalam teknis pengerjaannya lebih mudah dikerjakan pada software Mapple, karena dalam Mapple sintaks yang digunakan lebih sederhana. Berbeda sekali dengan software Mathematica yang menggunakan algoritma pemrograman. amun demikian hasil gambar yang diperoleh akan sama saja bentuknya, perbedaanya hanya dari segi tampilannya saja. HASIL DA PEMBAHASA. Solusi Eksak Soliton Optik onlinier Melalui Metode Sistem Dinamik Adanya propagasi gelombang soliter dalam molasi nonlinier kisi Bragg optik yang menimbulkan ketidakseragaman distribusi medan listrik melintang sepanjang sumbu telah dipelajari sebelumnya untuk pilihan yang lebih spesifik pada sistem parameternya[] dengan mengabaikan efek pembenng yang disebabkan oleh kondisi batas konvensional yang nantinya sangat diperhitungkan dalam proses pemebentukan gelombang. Ketidakseragaman proses distribusi medan transversal muncul dari

SOLUSI PERIODIK ELIPTIK JACOBI PERSAMAAN MODUS TERGANDENG SISTEM KISI BRAGG ANDRIAL SAPUTRA

SOLUSI PERIODIK ELIPTIK JACOBI PERSAMAAN MODUS TERGANDENG SISTEM KISI BRAGG ANDRIAL SAPUTRA SOLUSI PERIODIK ELIPTIK JACOBI PERSAMAA MODUS TERGADEG SISTEM KISI BRAGG ADRIAL SAPUTRA DEPARTEME FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DA ILMU PEGETAHUA ALAM ISTITUT PERTAIA BOGOR ii Andrial Saputra: Solusi Periodik

Lebih terperinci

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR A V PERAMATAN GELOMANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR 5.. Pendahuluan erkas (beam) optik yang merambat pada medium linier mempunyai kecenderungan untuk menyebar karena adanya efek difraksi; lihat Gambar

Lebih terperinci

) = HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN = = 1 (48) d u d. du du. du du. du du

) = HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN = = 1 (48) d u d. du du. du du. du du 9 ungsi sn u dikenal dalam matematik sebagai ungsi eliptik Jacobi[8,9,3]. Mirip dengan ungsi trigonometrik, dapat pula dideinisikan ungsi eliptik Jacobi cn u melalui hubungan: cn u = sn u = cosϕ (47) kemudian

Lebih terperinci

SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS)

SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS) Solusi Eksak Gelombang Soliton: Persamaan Schrodinger Nonlinier Nonlokal SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS) Riski Nur Istiqomah Dinnullah Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan 4 3.2 Peralatan..(9) dimana,, dan.(10) substitusi persamaan (10) ke persamaan (9) maka diperoleh persamaan gelombang soliton DNA model PBD...(11) agar persamaan (11) dapat dipecahkan sehingga harus diterapkan

Lebih terperinci

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan 6, 1 (2.52) Berdasarkan persamaan (2.52), maka untuk 0 1 masing-masing memberikan persamaan berikut:, 0,0, 0, 1,1, 1. Sehingga menurut persamaan (2.51) persamaan (2.52) diperoleh bahwa fungsi, 0, 1 masing-masing

Lebih terperinci

BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO

BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO BAB 4 MODEL DINAMIKA NEURON FITZHUGH-NAGUMO 4.1 Model Dinamika Neuron Fitzhugh-Nagumo Dalam papernya pada tahun 1961, Fitzhugh mengusulkan untuk menerangkan model Hodgkin-Huxley menjadi lebih umum, yang

Lebih terperinci

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Pada bab ini akan dibahas pengaruh dasar laut tak rata terhadap perambatan gelombang permukaan secara analitik. Pengaruh dasar tak rata ini akan ditinjau melalui simpangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai landasan teori yang akan digunakan pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan matematika, teorema Taylor, nilai eigen,

Lebih terperinci

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D Keadaan Stasioner Pada pembahasan sebelumnya mengenai fungsi gelombang, telah dijelaskan bahwa potensial dalam persamaan

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s)

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s) DAFTAR SIMBOL n κ α R μ m χ m c v F L q E B v F Ω ħ ω p K s k f α, β s-s V χ (0) : indeks bias : koefisien ekstinsi : koefisien absorpsi : reflektivitas : permeabilitas magnetik : suseptibilitas magnetik

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Gelombang dan klasifikasinya. Gelombang adalah suatu gangguan menjalar dalam suatu medium ataupun tanpa medium. Dalam klasifikasinya gelombang terbagi menjadi yaitu :. Gelombang

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya. 2 II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas teoriteori yang mendukung karya tulis ini. Teoriteori tersebut meliputi persamaan diferensial penurunan persamaan KdV yang disarikan dari (Ihsanudin, 2008;

Lebih terperinci

perpindahan, kita peroleh persamaan differensial berikut :

perpindahan, kita peroleh persamaan differensial berikut : 1.1 Pengertian Persamaan Differensial Banyak sekali masalah terapan (dalam ilmu teknik, ilmu fisika, biologi, kimia, sosial, dan lain-lain), yang telah dirumuskan dengan model matematika dalam bentuk persamaan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER DISKRIT DENGAN PENAMBAHAN POTENSIAL LINIER

PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER DISKRIT DENGAN PENAMBAHAN POTENSIAL LINIER Jurnal Matematika UNAND Vol 3 No 3 Hal 68 75 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas beberapa poin tentang sistem dinamik, kestabilan sistem dinamik, serta konsep bifurkasi. A. Sistem Dinamik Secara umum Sistem dinamik didefinisikan

Lebih terperinci

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Visualisasi Gelombang di Dalam Domain Komputasi Teknis penelitian yang dilakukan dalam menguji disain sensor ini adalah dengan cara menembakkan struktur sensor yang telah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah ini adalah

BAB II KAJIAN TEORI. homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah ini adalah BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas suatu jenis persamaan differensial parsial tak homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga MATERI PERKULIAHAN 3. Potensial Tangga Tinjau suatu partikel bermassa m, bergerak dari kiri ke kanan pada suatu daerah dengan potensial berbentuk tangga, seperti pada Gambar 1. Pada daerah < potensialnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan, polusi yang ada di sungai disebabkan oleh limbah dari pabrikpabrik dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk

Lebih terperinci

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menjelaskan cara penyelesaian soal dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah Penelusuran tentang fenomena belalang merupakan bahasan yang baik untuk dipelajari karena belalang dikenal suka berkelompok dan berpindah. Dalam kelompok,

Lebih terperinci

Fisika Dasar I (FI-321)

Fisika Dasar I (FI-321) Fisika Dasar I (FI-31) Topik hari ini Getaran dan Gelombang Getaran 1. Getaran dan Besaran-besarannya. Gerak harmonik sederhana 3. Tipe-tipe getaran (1) Getaran dan besaran-besarannya besarannya Getaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data A. Model Matematika BAB II KAJIAN TEORI Pemodelan matematika adalah proses representasi dan penjelasan dari permasalahan dunia real yang dinyatakan dalam pernyataan matematika (Widowati dan Sutimin, 2007:

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini, khususnya yang diperlukan dalam Bab 3. Teori yang dibahas adalah teori yang mendukung pembentukan

Lebih terperinci

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2

BAB 2 PDB Linier Order Satu 2 BAB Konsep Dasar BAB 2 PDB Linier Order Satu 2 BAB 3 Aplikasi PDB Order Satu 3 BAB 4 PDB Linier Order Dua 4 BAB 5 Aplikasi PDB Order Dua 5 BAB 6 Sistem PDB 6 BAB 7 PDB Nonlinier dan Kesetimbangan Dalam

Lebih terperinci

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral Sudaratno Sudirham Studi Mandiri Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral Darpublic Hak cipta pada penulis, SUDIRHAM, SUDARYATNO Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral Oleh: Sudaratmo Sudirham Darpublic,

Lebih terperinci

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA Matakuliah: Fisika Matematika DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA Di S U S U N Oleh : Kelompok VI DEWI RATNA PERTIWI SITEPU (8176175004) RIFKA ANNISA GIRSANG (8176175014) PENDIDIKAN FISIKA REGULER

Lebih terperinci

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai dasar laut sinusoidal sebagai reflektor gelombang. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan masalah dasar

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI NUMERIK

BAB IV SIMULASI NUMERIK BAB IV SIMULASI NUMERIK Pada bab ini kita bandingkan perilaku solusi KdV yang telah dibahas dengan hasil numerik serta solusi numerik untuk persamaan fkdv. Solusi persamaan KdV yang disimulasikan pada

Lebih terperinci

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BENTUK NORMAL BIFURKASI HOPF PADA SISTEM UMUM DUA DIMENSI

BENTUK NORMAL BIFURKASI HOPF PADA SISTEM UMUM DUA DIMENSI Jurnal Matematika UNAND Vol. 5 No. 3 Hal. 15 23 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND BENTUK NORMAL BIFURKASI HOPF PADA SISTEM UMUM DUA DIMENSI MELA PUSPITA Program Studi Matematika, Fakultas

Lebih terperinci

BIFURKASI SADDLE-NODE PADA SISTEM INTERAKSI NONLINEAR SEPASANG OSILATOR TANPA PERTURBASI

BIFURKASI SADDLE-NODE PADA SISTEM INTERAKSI NONLINEAR SEPASANG OSILATOR TANPA PERTURBASI BIFURKASI SADDLE-NODE PADA SISTEM INTERAKSI NONLINEAR SEPASANG OSILATOR TANPA PERTURBASI Yolpin Durahim 1 Novianita Achmad Hasan S. Panigoro Diterima: xx xxxx 20xx, Disetujui: xx xxxx 20xx o Abstrak Dalam

Lebih terperinci

SOLUSI GELOMBANG BERJALAN UNTUK PERSAMAAN SCHRÖDINGER DENGAN PENUNDAAN TERDISTRIBUSI

SOLUSI GELOMBANG BERJALAN UNTUK PERSAMAAN SCHRÖDINGER DENGAN PENUNDAAN TERDISTRIBUSI SOLUSI GELOMBANG BERJALAN UNTUK PERSAMAAN SCHRÖDINGER DENGAN PENUNDAAN TERDISTRIBUSI (Traveling wave solutions for Schrödinger equation with distributed delay) Oleh : ACHMAD SUBEQAN NRP: 1206 100 062 Dosen

Lebih terperinci

DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG h Bab 3 DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 3.1 Persamaan Gelombang untuk Dasar Sinusoidal Dasar laut berbentuk sinusoidal adalah salah satu bentuk dasar laut tak rata yang berupa fungsi sinus

Lebih terperinci

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2 1. (25 poin) Dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H ditembakkan sebuah bola kecil bermassa m (Jari-jari R dapat dianggap jauh lebih kecil daripada H) dengan kecepatan awal horizontal v 0. Dua buah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transformasi Laplace Salah satu cara untuk menganalisis gejala peralihan (transien) adalah menggunakan transformasi Laplace, yaitu pengubahan suatu fungsi waktu f(t) menjadi

Lebih terperinci

PROJEK 2 PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA

PROJEK 2 PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA PROJEK PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA A. PENDAHULUAN Ada beberapa metode numerik yang dapat diimplementasikan untuk mengkaji keadaan energi terikat (bonding

Lebih terperinci

Gambar 1. Bentuk sebuah tali yang direnggangkan (a) pada t = 0 (b) pada x=vt.

Gambar 1. Bentuk sebuah tali yang direnggangkan (a) pada t = 0 (b) pada x=vt. 1. Pengertian Gelombang Berjalan Gelombang berjalan adalah gelombang yang amplitudonya tetap. Pada sebuah tali yang panjang diregangkan di dalam arah x di mana sebuah gelombang transversal sedang berjalan.

Lebih terperinci

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan . (5 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan dengan H). Kecepatan awal horizontal bola adalah v 0 dan

Lebih terperinci

PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI

PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI PENERAPAN FORMULASI HIROTA UNTUK PERSAMAAN UMUM MODUS TERGANDENG PADA KISI BRAGG DALAM NONLINIER DENGAN DIFRAKSI Oleh: ALETTA ANGGRAINI KANDI G74102025 PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Biasa

Persamaan Diferensial Biasa Persamaan Diferensial Biasa Titik Tetap dan Sistem Linear Toni Bakhtiar Departemen Matematika IPB Oktober 2012 Toni Bakhtiar (m@thipb) PDB Oktober 2012 1 / 31 Titik Tetap SPD Mandiri dan Titik Tetap Tinjau

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30)

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30) 5 η = η di z = η (9) z x x z x x Dalam (Grosen 99) kondisi kinematik (9) kondisi dinamik () dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian : δ H t = () δη δ H ηt = δ Dengan mengenalkan variabel baru u = x maka

Lebih terperinci

EKSISTENSI SOLITON PADA PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES

EKSISTENSI SOLITON PADA PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES Jurnal Matematika UNND Vol. 3 No. 1 Hal. 9 16 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIP UNND EKSISTENSI SOLITON PD PERSMN KORTEWEG-DE VRIES ULI OKTVI, MHDHIVN SYFWN Program Studi Matematika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena optik dapat mendeskripsikan sifat medium dalam interaksinya dengan gelombang elekromagnetik. Hal tersebut ditentukan oleh beberapa parameter optik, yaitu indeks

Lebih terperinci

Teori Bifurkasi (3 SKS)

Teori Bifurkasi (3 SKS) Teori Bifurkasi (3 SKS) Department of Mathematics Faculty of Mathematics and Natural Sciences Gadjah Mada University E-mail : f_adikusumo@gadjahmada.edu Sistem Dinamik PENGERTIAN UMUM : - Formalisasi matematika

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tinjauan pustaka yang akan digunakan untuk tesis ini, yang selanjutnya akan di perlukan pada Bab 3. Tinjauan pustaka yang dibahas adalah mengenai yang mendukung

Lebih terperinci

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L)

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L) DERET FOURIER Bila f adalah fungsi periodic yang berperioda p, maka f adalah fungsi periodic. Berperiode n, dimana n adalah bilangan asli positif (+). Untuk setiap bilangan asli positif fungsi yang didefinisikan

Lebih terperinci

Reflektor Gelombang 1 balok

Reflektor Gelombang 1 balok Bab 3 Reflektor Gelombang 1 balok Setelah diperoleh persamaan yang menggambarkan gerak gelombang air setiap saat yaitu SWE, maka pada bab ini akan dielaskan mengenai pengaruh 1 balok terendam sebagai reflektor

Lebih terperinci

FONON I : GETARAN KRISTAL

FONON I : GETARAN KRISTAL MAKALAH FONON I : GETARAN KRISTAL Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendahuluan Fisika Zat Padat Disusun Oleh: Nisa Isma Khaerani ( 3215096525 ) Dio Sudiarto ( 3215096529 ) Arif Setiyanto ( 3215096537

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)]

II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)] II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)] Suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan sebagai berikut: A adalah matriks koefisien konstan

Lebih terperinci

PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH

PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH PROPOSAL TUGAS AKHIR PENGARUH JUMLAH SUKU FOURIER PADA PENDEKATAN POLAR UNTUK SISTEM GEOMETRI KARTESIAN OLEH : IRMA ISLAMIYAH 1105 100 056 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa teori dasar yang digunakan sebagai landasan pembahasan pada bab III. Beberapa teori dasar yang dibahas, diantaranya teori umum tentang persamaan

Lebih terperinci

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi Catatan Kuliah FI111 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi Agus Suroso update: 4 November 17 Osilasi atau getaran adalah gerak bolak-balik suatu benda melalui titik kesetimbangan. Gerak bolak-balik tersebut

Lebih terperinci

(2) dengan adalah komponen normal dari suatu kecepatan partikel yang berhubungan langsung dengan tekanan yang diakibatkan oleh suara dengan persamaan

(2) dengan adalah komponen normal dari suatu kecepatan partikel yang berhubungan langsung dengan tekanan yang diakibatkan oleh suara dengan persamaan Getaran Teredam Dalam Rongga Tertutup pada Sembarang Bentuk Dari hasil beberapa uji peredaman getaran pada pipa tertutup membuktikan bahwa getaran teredam di dalam rongga tertutup dapat dianalisa tidak

Lebih terperinci

BAB 4 SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK

BAB 4 SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK BAB 4 SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK 4. Sebaran Asimtotik,, Teorema 4. (Sebaran Normal Asimtotik,, ) Misalkan fungsi intensitas seperti (3.2) dan terintegralkan lokal. Jika kernel K adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai gejala alam menampilkan perilaku yang rumit, tidak dapat diramalkan dan tampak acak (random). Keacakan ini merupakan suatu yang mendasar, dan tidak akan hilang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.4. Hipotesis 1. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki perbedaan mulai kisaran energi 0.3 sampai 1.0. 2. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki kesamaan pada kisaran energi

Lebih terperinci

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON Rif ati Dina Handayani 1 ) Abstract: Suatu partikel yang bergerak dengan momentum p, menurut hipotesa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur atom Struktur atom merupakan satuan dasar materi yang terdiri dari inti atom beserta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom mengandung campuran

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. Model ini memiliki nilai kesetimbangan positif pada saat koordinat berada di titik

LANDASAN TEORI. Model ini memiliki nilai kesetimbangan positif pada saat koordinat berada di titik LANDASAN TEORI Model Mangsa Pemangsa Lotka Volterra Bagian ini membahas model mangsa pemangsa klasik Lotka Volterra. Model Lotka Volterra menggambarkan laju perubahan populasi dua spesies yang saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK Dalam bab ini, kita akan mengamati perambatan gelombang pada fluida ideal dengan dasar rata. Perhatikan gambar di bawah ini. Gambar 3.1 Aliran Fluida pada Dasar

Lebih terperinci

Metode Split Step Fourier Untuk Menyelesaikan Nonlinear Schrödinger Equation Pada Nonlinear Fiber Optik

Metode Split Step Fourier Untuk Menyelesaikan Nonlinear Schrödinger Equation Pada Nonlinear Fiber Optik Metode Split Step Fourier Untuk Menyelesaikan Nonlinear Schrödinger Equation Pada Nonlinear Fiber Optik Endra Fakultas Ilmu Komputer, Jurusan Sistem Komputer, Universitas Bina Nusantara Jl K.H. Syahdan

Lebih terperinci

Bab 2 TEORI DASAR. 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal

Bab 2 TEORI DASAR. 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal Bab 2 TEORI DASAR 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal Persamaan air dangkal merupakan persamaan untuk gelombang permukaan air yang dipengaruhi oleh kedalaman air tersebut. Kedalaman air dapat dikatakan

Lebih terperinci

C.1 OSILASI GANDENG PEGAS

C.1 OSILASI GANDENG PEGAS Mata Kuliah GELOMBANG-OPTIK OPTIK TOPIK I SUB TOPIK OSILASI GANDENG C. SISTEM OSILASI DUA DERAJAT KEBEBASAN:OSILASI GANDENG Satu derajat kebebasan: Misalkan: pegas yang memiliki satu simpangan Dua derajat

Lebih terperinci

Analisis Kestabilan dan Bifurkasi Solusi Sistem Autoparametrik dengan Osilator Tipe Rayleigh

Analisis Kestabilan dan Bifurkasi Solusi Sistem Autoparametrik dengan Osilator Tipe Rayleigh J. Math. and Its Appl. ISSN: 89-605X Vol., No., Nov 005, 8 9 Analisis Kestabilan dan Bifurkasi Solusi Sistem Autoparametrik dengan Osilator Tipe Rayleigh Abadi Jurusan Matematika UNESA Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan beberapa teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta teorema-teorema

Lebih terperinci

GETARAN DAN GELOMBANG

GETARAN DAN GELOMBANG GEARAN DAN GELOMBANG Getaran dapat diartikan sebagai gerak bolak balik sebuah benda terhadap titik kesetimbangan dalam selang waktu yang periodik. Dua besaran yang penting dalam getaran yaitu periode getaran

Lebih terperinci

Transformasi Laplace Peninjauan kembali variabel kompleks dan fungsi kompleks Variabel kompleks Fungsi Kompleks

Transformasi Laplace Peninjauan kembali variabel kompleks dan fungsi kompleks Variabel kompleks Fungsi Kompleks Transformasi Laplace Metode transformasi Laplace adalah suatu metode operasional yang dapat digunakan secara mudah untuk menyelesaikan persamaan diferensial linear. Dengan menggunakan transformasi Laplace,

Lebih terperinci

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya 1 BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya Perhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu yaitu: d + V (x) ( x) E( x) m dx d ( x) m + (E V(x) ) ( x) 0 dx (3-1) (-4) Suku-suku

Lebih terperinci

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Pendahuluan Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat diferensial Kita akan membahas tentang Persamaan Diferensial Biasa yaitu

Lebih terperinci

Penentuan Bifurkasi Hopf Pada Predator Prey

Penentuan Bifurkasi Hopf Pada Predator Prey J. Math. and Its Appl. ISSN: 9-65X Vol., No., Nov 5, 5 Penentuan Bifurkasi Hopf Pada Predator Prey Dian Savitri Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya d savitri@yahoo.com Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Ada beberapa metode numerik yang dapat diimplementasikan untuk mengkaji keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara metode-metode

Lebih terperinci

3.11 Menganalisis besaran-besaran fisis gelombang stasioner dan gelombang berjalan pada berbagai kasus nyata. Persamaan Gelombang.

3.11 Menganalisis besaran-besaran fisis gelombang stasioner dan gelombang berjalan pada berbagai kasus nyata. Persamaan Gelombang. KOMPETENSI DASAR 3.11 Menganalisis besaran-besaran fisis gelombang stasioner dan gelombang berjalan pada berbagai kasus nyata INDIKATOR 3.11.1. Mendeskripsikan gejala gelombang mekanik 3.11.2. Mengidentidikasi

Lebih terperinci

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1 By : Suthami A MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK Matematika sebagai ilmu dasar yang digunakan sebagai alat pemecahan masalah di bidang keteknikan

Lebih terperinci

Bab 16. Model Pemangsa-Mangsa

Bab 16. Model Pemangsa-Mangsa Bab 16. Model Pemangsa-Mangsa Pada Bab ini akan dipelajari model matematis dari masalah dua spesies hidup dalam habitat yang sama, yang dalam hal ini keduanya berinteraksi dalam hubungan pemangsa dan mangsa.

Lebih terperinci

Gelombang FIS 3 A. PENDAHULUAN C. GELOMBANG BERJALAN B. ISTILAH GELOMBANG. θ = 2π ( t T + x λ ) Δφ = x GELOMBANG. materi78.co.nr

Gelombang FIS 3 A. PENDAHULUAN C. GELOMBANG BERJALAN B. ISTILAH GELOMBANG. θ = 2π ( t T + x λ ) Δφ = x GELOMBANG. materi78.co.nr Gelombang A. PENDAHULUAN Gelombang adalah getaran yang merambat. Gelombang merambat getaran tanpa memindahkan partikel. Partikel hanya bergerak di sekitar titik kesetimbangan. Gelombang berdasarkan medium

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kestabilan Model Matematika AIDS dengan Transmisi. atau Ibu menyusui yang positif terinfeksi HIV ke anaknya.

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kestabilan Model Matematika AIDS dengan Transmisi. atau Ibu menyusui yang positif terinfeksi HIV ke anaknya. BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini dilakukan analisis model penyebaran penyakit AIDS dengan adanya transmisi vertikal pada AIDS. Dari model matematika tersebut ditentukan titik setimbang dan kemudian dianalisis

Lebih terperinci

Teori kendali. Oleh: Ari suparwanto

Teori kendali. Oleh: Ari suparwanto Teori kendali Oleh: Ari suparwanto Minggu Ke-1 Permasalahan oleh : Ari Suparwanto Permasalahan Diberikan sistem dan sinyal referensi. Masalah kendali adalah menentukan sinyal kendali sehingga output sistem

Lebih terperinci

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI MODUL MATEMATIKA II Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI DEPARTEMEN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL KATA PENGANTAR Puji sukur kehadirat Allah SWT

Lebih terperinci

Fisika Matematika II 2011/2012

Fisika Matematika II 2011/2012 Fisika Matematika II 2/22 diterjemahkan dari: Mathematical Methods for Engineers and Scientists, 2, dan 3 K. T. Tang Penterjemah: Imamal Muttaqien dibantu oleh: Adam, Ma rifatush Sholiha, Nina Yunia, Yudi

Lebih terperinci

, ω, L dan C adalah riil, tunjukkanlah

, ω, L dan C adalah riil, tunjukkanlah . Jika z j j PROBLEM SE# Sistem Bilangan Kompleks, tentukanlah bagian riil dan bagian imajiner dari bilangan kompleks z z. Carilah harga dan y yang memenuhi persamaan : y j y, j, ( ) ( ). Carilah bentuk

Lebih terperinci

BAB IV OSILATOR HARMONIS

BAB IV OSILATOR HARMONIS Tinjauan Secara Mekanika Klasik BAB IV OSILATOR HARMONIS Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. F () =

Lebih terperinci

FUNGSI DAN MODEL. Bogor, Departemen Matematika FMIPA IPB. (Departemen Matematika FMIPA IPB) Kalkulus I Bogor, / 63

FUNGSI DAN MODEL. Bogor, Departemen Matematika FMIPA IPB. (Departemen Matematika FMIPA IPB) Kalkulus I Bogor, / 63 FUNGSI DAN MODEL Departemen Matematika FMIPA IPB Bogor, 2012 (Departemen Matematika FMIPA IPB) Kalkulus I Bogor, 2012 1 / 63 Topik Bahasan 1 Fungsi 2 Jenis-jenis Fungsi 3 Fungsi Baru dari Fungsi Lama 4

Lebih terperinci

Gelombang Stasioner Gelombang Stasioner Atau Gelombang Diam. gelombang stasioner. (

Gelombang Stasioner Gelombang Stasioner Atau Gelombang Diam. gelombang stasioner. ( Gelombang Stasioner 16:33 Segala ada No comments Apa yang terjadi jika ada dua gelombang berjalan dengan frekuensi dan amplitudo sama tetapi arah berbeda bergabung menjadi satu? Hasil gabungan itulah yang

Lebih terperinci

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013 Soal-Jawab Fisika Teori OSN 0 andung, 4 September 0. (7 poin) Dua manik-manik masing-masing bermassa m dan dianggap benda titik terletak di atas lingkaran kawat licin bermassa M dan berjari-jari. Kawat

Lebih terperinci

Dikumpulkan pada Hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2016 Jam di N107, berupa copy file, bukan file asli.

Dikumpulkan pada Hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2016 Jam di N107, berupa copy file, bukan file asli. Nama: NIM : Kuis I Elektromagnetika II TT38G1 Dikumpulkan pada Hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2016 Jam 14.30 15.00 di N107, berupa copy file, bukan file asli. Kasus #1. Medium A (4 0, 0, x < 0) berbatasan

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA

BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA 3.1 Deskripsi Masalah Permasalahan yang dibahas di dalam Tugas Akhir ini adalah mengenai aliran fluida yang mengalir keluar melalui sebuah celah

Lebih terperinci

Bab II Fungsi Kompleks

Bab II Fungsi Kompleks Bab II Fungsi Kompleks Variabel kompleks z secara fisik ditentukan oleh dua variabel lain, yakni bagian realnya x dan bagian imajinernya y, sehingga dituliskan z z(x,y). Oleh sebab itu fungsi variabel

Lebih terperinci

BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA

BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA Tujuan Instruksional Umum Pada bab ini akan dijelaskan mengenai perambatan gelombang, yang merupakan hal yang penting dalam sistem komunikasi serat optik. Pembahasan

Lebih terperinci

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17,

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17, 3. ORBIT KEPLERIAN AS 2201 Mekanika Benda Langit 1 3.1 PENDAHULUAN Mekanika Newton pada mulanya dimanfaatkan untuk menentukan gerak orbit benda dalam Tatasurya. Misalkan Matahari bermassa M pada titik

Lebih terperinci

Bab I. Bilangan Kompleks

Bab I. Bilangan Kompleks Bab I Bilangan Kompleks Himpunan bilangan yang terbesar di dalam matematika adalah himpunan bilangan kompleks. Himpunan bilangan real yang kita pakai sehari-hari merupakan himpunan bagian dari himpunan

Lebih terperinci

ANALISIS VEKTOR. Aljabar Vektor. Operasi vektor

ANALISIS VEKTOR. Aljabar Vektor. Operasi vektor ANALISIS VEKTOR Aljabar Vektor Operasi vektor Besaran yang memiliki nilai dan arah disebut dengan vektor. Contohnya adalah perpindahan, kecepatan, percepatan, gaya, dan momentum. Sementara itu, besaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Didunia nyata banyak soal matematika yang harus dimodelkan terlebih dahulu untuk mempermudah mencari solusinya. Di antara model-model tersebut dapat berbentuk sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diskrit nonlinier yang paling fundamental karena persamaan ini mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. diskrit nonlinier yang paling fundamental karena persamaan ini mendeskripsikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persamaan Schrödinger nonlinier diskrit (SNLD) merupakan model diskrit nonlinier yang paling fundamental karena persamaan ini mendeskripsikan banyak fenomena penting

Lebih terperinci

Disusun oleh : MIRA RESTUTI PENDIDIKAN FISIKA (RM)

Disusun oleh : MIRA RESTUTI PENDIDIKAN FISIKA (RM) Disusun oleh : MIRA RESTUTI 1106306 PENDIDIKAN FISIKA (RM) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2013 Kompetensi Dasar :

Lebih terperinci

Bab 1 : Skalar dan Vektor

Bab 1 : Skalar dan Vektor Bab 1 : Skalar dan Vektor 1.1 Skalar dan Vektor Istilah skalar mengacu pada kuantitas yang nilainya dapat diwakili oleh bilangan real tunggal (positif atau negatif). x, y dan z kita gunakan dalam aljabar

Lebih terperinci