ALGORITME LLL DAN APLIKASINYA DALAM PEMBONGKARAN SISTEMKRIPTO KNAPSACK MERKLE-HELLMAN ARI AGUSTIANSA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ALGORITME LLL DAN APLIKASINYA DALAM PEMBONGKARAN SISTEMKRIPTO KNAPSACK MERKLE-HELLMAN ARI AGUSTIANSA"

Transkripsi

1 ALGORITME LLL DAN APLIKASINYA DALAM PEMBONGKARAN SISTEMKRIPTO KNAPSACK MERKLE-HELLMAN ARI AGUSTIANSA DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 202

2 ABSTRAK ARI AGUSTIANSA. Algoritme LLL dan Aplikasinya dalam Pembongkaran Sistemkripto Knapsack Merkle-Hellman. Dibimbing oleh SUGI GURITMAN dan BIB PARUHUM SILALAHI. Algoritme LLL adalah algoritme yang dapat digunakan untuk menentukan hampiran dari vektor terpendek pada suatu latis. Algoritme reduksi ukuran merupakan langkah penting pada algoritme LLL. Algoritme LLL dapat diterapkan dalam berbagai bidang. Pada karya ilmiah ini dibahas bagaimana algoritme LLL dapat digunakan dalam pembongkaran salah satu sistemkripto yang terkenal, yaitu sistemkripto knapsack Merkle-Hellman. Sistemkripto knapsack Merkle-Hellman adalah sistemkripto asimetrik yang menggunakan masalah jumlah subhimpunan sebagai tumpuan keamanan. Masalah jumlah subhimpunan dapat diubah menjadi masalah menentukan vektor terpendek pada suatu latis, sehingga algoritme LLL dapat juga digunakan untuk menyelesaikan masalah jumlah subhimpunan. Karena masalah jumlah subhimpunan dapat diselesaikan dengan mudah dengan menerapkan algoritme LLL, maka sistemkripto knapsack Merkle-Hellman juga dapat dengan mudah dihancurkan. Kata kunci: latis, algoritme LLL, sistemkripto knapsack.

3 ABSTRACT ARI AGUSTIANSA. LLL Algorithm and Its Application in Breaking Merkle-Hellman Knapsack Cryptosystem. Supervised by SUGI GURITMAN and BIB PARUHUM SILALAHI. LLL algorithm is an algorithm that can be used to determine an approximation of the shortest vector in a lattice. Size reduction algorithm is an important step of LLL algorithm. The LLL algorithm can be applied in many fields. This paper shows how LLL algorithm can be used in breaking one of the famous cryptosystem, namely the Merkle-Hellman knapsack cryptosystem. Merkle-Hellman knapsack cryptosystem is an asymmetric cryptosystem using the subset sum problem as the support of security. Subset sum problem can be transformed into the problem of determining shortest vector in a lattice, so that LLL algorithm can also be used to solve the subset sum problem. Since the subset sum problem can be easily solved by applying LLL algorithm, then the Merkle-Hellman knapsack cryptosystem can also be easily be destructed. Keywords: lattice, LLL algorithm, knapsack cryptosystem.

4 ALGORITME LLL DAN APLIKASINYA DALAM PEMBONGKARAN SISTEMKRIPTO KNAPSACK MERKLE-HELLMAN ARI AGUSTIANSA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Matematika DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 202

5 Judul Skripsi Nama NIM : Algoritme LLL dan Aplikasinya dalam Pembongkaran Sistemkripto Knapsack Merkle-Hellman : Ari Agustiansa : G Menyetujui Pembimbing I Pembimbing II Dr. Sugi Guritman Dr. Ir. Bib Paruhum Silalahi, M.Kom. NIP NIP Mengetahui Ketua Departemen Matematika Dr. Berlian Setiawaty, MS. NIP Tanggal Lulus :...

6 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penyusunan karya ilmiah ini juga tidak terlepas dari dukungan doa, moril dan materiil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada :. Dr. Sugi Guritman dan Dr. Ir. Bib Paruhum Silalahi, M.Kom. selaku pembimbing pertama dan kedua yang telah dengan sabar membimbing penulis dalam menyusun karya ilmiah ini, 2. Dr. Paian Sianturi selaku dosen pembimbing akademik, Muhamad Ilyas, M.Si. selaku dosen penguji, dan seluruh dosen Departemen Matematika FMIPA IPB, 3. Bapak dan almarhumah Ibu tercinta atas doa, dukungan, kasih sayang, nasihat, dan kepercayaannya, 4. Retno Wulandari, yang senantiasa menemani, mendukung, membantu, dan memberi semangat kepada penulis, 5. teman-teman Matematika 45 atas segala dukungan, bantuan, dan ketulusan hati yang telah diberikan, 6. seluruh staf Departemen Matematika : Bapak Yono, Mas Heri, Ibu Ade, Bapak Acep, Ibu Susi, Mas Bono (Alm, Mas Deni yang telah membantu penulis dalam administrasi dan sebagainya. Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat kekurangan, oleh kerena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Oktober 202 Ari

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 22 Agustus 990 dari pasangan Hazarin dan Zubaidah. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2002, penulis lulus dari SD Negeri Sunter Agung 3 Jakarta. Pada tahun 2005, penulis lulus dari SMP Negeri 6 Jakarta. Pada tahun 2008, penulis lulus dari SMA Negeri 80 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Matematika IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB Disamping kegiatan akademis, penulis pernah menjadi asisten beberapa mata kuliah, diantaranya: Pengantar Metode Komputasi pada tahun ajaran , Persamaan Diferensial Biasa pada tahun ajaran , Pemodelan Matematika pada tahun ajaran , Analisis Numerik pada tahun ajaran Penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yaitu menjadi anggota Himpunan Keprofesian Departemen Matematika IPB (Gumatika sebagai staf divisi keilmuan.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... viii viii I PENDAHULUAN.... Latar Belakang....2 Tujuan... II LANDASAN TEORI... III PEMBAHASAN Latis dan Basis Gram-Schmidt dan Determinan Kompleksitas Gram-Schmidt Permasalahan dalam Latis Algoritme LLL Pengertian Basis Terreduksi Reduksi Ukuran Algoritme LLL dan Analisisnya Sistemkripto Knapsack Merkle-Hellman Pembongkaran Sistemkripto Knapsack Merkle-Hellman IV SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii

9 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.: Latis dengan basis B = {(0,, (, 0}... 3 Gambar 3.2: Latis dengan basis B = {(2,, (3, }... 3 Gambar 3.3: Latis dengan basis B = {(, 2, (2, }... 4 Gambar 3.4: Latis dengan basis B = {(, }... 4 Gambar 3.5: Parallelepiped dasar dengan B = {(2,, (, 2}... 6 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran : Sintaks Mathematica Algoritme LLL Lampiran 2: Sintaks Mathematica Pembangkitkan kunci Lampiran 3: Sintaks Mathematica Enkripsi Lampiran 4: Sintaks Mathematica menentukan solusi masalah jumlah subhimpunan Lampiran 5: Sintaks Mathematica Dekripsi viii

10 I PENDAHULUAN. Latar Belakang Latis (lattice merupakan obyek geometrik dalam ruang dimensi-n yang diilustasikan sebagai himpunan titik-titik dengan susunan yang teratur dan periodik (Guritman 202. Dalam latis, terdapat suatu permasalahan yang sangat mendasar, yaitu masalah menentukan vektor terpendek (shortest vector problem yang disingkat SVP. SVP adalah suatu masalah yang sangat sulit diselesaikan dalam komputasi. Hingga pada tahun 982, A. K. Lenstra, H. W. Lenstra, Jr, dan L. Lovasz berhasil menemukan sebuah algoritme untuk menentukan hampiran dari masalah SVP yang bernama algoritme LLL. Walaupun algoritme LLL tidak dapat menyelesaikan masalah SVP secara eksak, algoritme ini cukup ampuh dalam menjawab SVP. Sehingga algoritme ini lebih disukai karena memiliki waktu running polinomial. Setelah ditemukannya algoritme LLL, bahasan tentang latis menjadi lebih berwarna. Kini latis dapat diterapkan pada banyak bidang ilmu komputer, seperti aljabar komputer (computer algebra, teori koding (coding theory, dan kriptologi (kriptografi dan kriptanalisis. Salah satu yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini adalah penerapan latis dalam membongkar sistemkripto knapsack Merkle-Hellman. Terbukti bahwa masalah latis dapat diterapkan pada pembongkaran sistemkripto knapsack Merkle-Hellman. Hal ini membuat sistemkripto knapsack Merkle-Hellman mengalami kejatuhan..2 Tujuan Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini antara lain adalah :. merekonstruksi ulang dan melakukan analisa pada algoritme LLL. 2. mengaplikasikan algoritme LLL dalam pembongkaran sistemkripto knapsack Merkle-Hellman. 3. mengimplementasikan proses pembongkaran sistemkripto knapsack Merkle-Hellman dalam software Mathematica 8.0. II LANDASAN TEORI Definisi 2. Jika m adalah bilangan bulat positif, maka sebuah m-tuple terurut adalah barisan m bilangan real (a,a 2,...,a m. Himpunan dari semua m-tuple disebut m-ruang Euclidean dan dinotasikan sebagai R m. (Anton 2000 Definisi 2.2 Jika u = (u, u 2,..., u m dan v = (v, v 2,..., v m adalah vektor-vektor yang berada dalam R m, maka hasil kali dalam Euclidean u v didefinisikan sebagai u v = u v + u 2 v u m v m. (Anton 2000 Definisi 2.3 Panjang Euclidean (atau norm Euclidean dari sebuah vektor u = (u, u 2,..., u m dalam R m didefinisikan sebagai u = u 2 + u u2 m. (Anton 2000 Definisi 2.4 Dua vektor u dan v disebut ortogonal jika u v = 0. (Anton 2000 Definisi 2.5 Sebuah vektor w disebut kombinasi linear dari vektor-vektor v, v 2,...v r jika dapat diekspresikan dalam bentuk w = k v + k 2 v k r v r dengan k, k 2,...k r adalah skalar. (Anton 2000 Definisi 2.6 Jika S = {v, v 2,..., v r } adalah himpunan tak kosong yang berisi vektor-vektor, maka persamaan k v + k 2 v k r v r = 0 memiliki minimal satu solusi, yaitu: k = 0, k 2 = 0,..., k r = 0. Jika hanya didapatkan satu solusi, maka S disebut himpunan vektor bebas linear. Jika terdapat solusi lain maka S disebut himpunan vektor bergantung linear. (Anton 2000

11 2 Definisi 2.7 Jika a dan b adalah bilangan bulat, dengan a 0, dan jika terdapat sebuah bilangan bulat c sedemikian sehingga b = ac, maka kita katakan bahwa a membagi b, dan ditulis a b. Jika a tidak membagi b, maka ditulis a b. (Stark 970 Definisi 2.8 Sebuah bilangan bulat yang nilainya lebih besar dari nol dan hanya memunyai satu pembagi positif yaitu bilangan itu sendiri, maka bilangan tersebut disebut bilangan prima. Sebuah bilangan yang lebih besar dari satu yang bukan merupakan bilangan prima disebut bilangan komposit. (Stark 970 Definisi 2.9 Misalkan a dan b adalah bilangan positif tak nol. Dan misalkan d adalah bilangan terbesar yang berada dalam himpunan pembagi bersama dari a dan b. Maka kita sebut d adalah pembagi bersama terbesar (greatest common divisor dari a dan b. Dan ditulis sebagai d = gcd(a, b. (Stark 970 Definisi 2.0 Misalkan a dan b adalah bilangan bulat tak nol. Jika gcd(a, b =, maka kita katakan bahwa a dan b relatif prima. (Stark 970 Definisi 2. Misalkan a dan b adalah bilangan bulat dan n sebuah bilangan bulat positif. Jika n (a b, maka kita katakan bahwa a kongruen ke b modulo n dan kita tulis a b mod n. (Stark 970 Definisi 2.2 Misalkan S adalah subhimpunan dari R. u R disebut sebagai batas atas dari S jika s u untuk semua s S. Serupa dengan sebelumnya, w R disebut sebagai batas bawah dari S jika w s untuk semua s S. (Bartle 964 Definisi 2.3 Misalkan S adalah subhimpunan dari R yang terbatas di atas. Sebuah batas atas dari S disebut sebagai supremum (batas atas terkecil dari S jika nilainya lebih kecil dari batas atas yang lain dari S. Serupa dengan sebelumnya, sebuah batas bawah dari S disebut sebagai infimum (batas bawah terbesar dari S jika nilainya lebih besar dari batas bawah yang lain dari S. (Bartle 964

12 III PEMBAHASAN 3. Latis dan Basis Seperti yang telah dijelaskan dalam pendahuluan bahwa latis merupakan obyek geometrik dalam ruang dimensi-n yang diilustasikan sebagai himpunan titik-titik dengan susunan yang teratur dan periodik. Secara formal, definisi latis diberikan sebagai berikut. Definisi 3. Misalkan B = {b, b 2,..., b n } adalah himpunan n vektor bebas linear dalam ruang vektor R m. Latis L(B adalah subgrup aditif diskrit dari R m, yang beranggotakan semua kombinasi linear intejer dari B: n L(B = x j b j x j Z dengan n m. Dalam hal ini B disebut basis untuk L(B. Dalam karya ilmiah ini, dibaca sebagai "dengan". notasi "" Seperti dalam ruang vektor, basis B untuk latis L(B dapat diperagakan sebagai matriks B berukuran m n yang kolom-kolomnya merupakan vektor b j : B = ( b b 2 b n. Sehingga L(B dapat dituliskan sebagai perkalian matriks L(B = {Bxx Z n }. Dalam hal ini, B merupakan bentuk matriks dari B. Definisi 3.2 Dimensi atau rank pada latis L(B didefinisikan sebagai banyaknya anggota pada basis B. Untuk kasus m = n, maka latis L(B dikatakan berdimensi penuh (full dimensional atau disebut juga memiliki rank penuh (full rank. Terdapat kemiripan antara pengertian latis yang dibangkitkan oleh B dengan pengertian subruang vektor dalam R m yang direntang oleh B: n B = x j b j x j R. Perbedaannya hanya terdapat pada bilangan yang dipakai pada kombinasi linear. Pada latis L(B, kombinasi linear menggunakan koefisien dalam rentang intejer (Z R. Sedangkan pada B, koefisien pada kombinasi linear yang digunakan adalah rentang bilangan real (R. Sehingga dapat disimpulkan jika B adalah basis untuk L(B, maka B pasti juga merupakan basis untuk B. Namun hal ini tidak berlaku sebaliknya, jika B adalah basis untuk B, belum tentu B juga basis untuk L(B. Berikut merupakan contoh latis dalam R 2. Gambar 3.: Latis dengan basis B = {(0,, (, 0} Gambar 3.2: Latis dengan basis B = {(2,, (3, }

13 4 Gambar 3.3: Latis dengan basis B = {(, 2, (2, } Gambar 3.4: Latis dengan basis B = {(, } Gambar 3. dan gambar 3.2 merupakan latis Z 2 yang dibangkitkan oleh basis baku B = {(, 0, (0, } dan basis B 2 = {(2,, (3, }. Hal ini memperlihatkan bahwa sama seperti ruang vektor, basis untuk suatu latis tidak tunggal. Pada gambar 3.3 merupakan contoh bahwa basis B 3 = {(2,, (, 2} bukan merupakan basis untuk Z 2 walaupun B 3 memunyai rank penuh di dalam R 2. Selanjutnya gambar 3.4 merupakan sebuah contoh bahwa basis B 4 = {(, } masih dapat membentuk latis L(B 4 walaupun B 4 tidak memiliki rank penuh di dalam R 2. Cara bagaimana menentukan basis lain dalam suatu latis akan dijelaskan setelah definisi berikut. Definisi 3.3 Dua basis A dan B dikatakan ekuivalen, dinotasikan dengan A B, jhj A dan B membangkitkan latis yang sama, yaitu L(A = L(B. Definisi 3.4 Matriks U berukuran n n disebut unimodular jika U Z n n dan det(u = ±. Proposisi 3. Invers dari matriks unimodular juga merupakan matriks unimodular. Bukti: Misalkan U = (u ij adalah matriks unimodular berukuran n n, dari asumsi diperoleh u ij Z dan det(u = ±. Berdasarkan rumus matriks invers, maka U = det(u (µ ij T dimana µ ij adalah kofaktor dari u ij. Karena u ij Z, dari definisi kofaktor, jelas bahwa µ ij Z sehingga Disamping itu, (µ ij T Z n n. (i U U = I det(u U = det(i det(u det(u = det(u = det(u. Karena det(u = ±, maka det(u = ± dan det(u Z. (ii Dari (i dan (ii, dapat disimpulkan bahwa U merupakan matriks unimodular. Proposisi 3.2 Misalkan A = {a, a 2,..., a n } adalah basis untuk L(A dan B = {b, b 2,..., b n } adalah basis untuk L(B. Maka A B jhj ada matriks unimodular U Z n n sehingga B = AU, dimana A dan B adalah bentuk matriks dari A dan B.

14 5 Bukti: ( Misalkan L(A = L(B. Dari asumsi ini diperoleh bahwa untuk setiap j =, 2,..., n, b j L(A, dan dari definisi L(A maka ada u j = (u j, u 2j,..., u nj Z n sehingga n b j = u ij a i. (i Dengan demikian, dapat didefinisikan matriks U Z n n yang kolom-kolomnya adalah vektor u j sebagai berikut. U = ( u u 2 u n Dan dari persamaan (i diperoleh persamaan matriks dimana B = AU B = ( b b 2 b n A = ( a a 2 a n U = ( u u 2 u n (ii Dengan langkah-langkah yang sama, dapat diperoleh matriks V Z n n sehingga A = BV Dari persamaan (ii dan (iii, didapatkan A = BV det(a = det(auv det(u det(v =. (iii Disamping itu, karena U dan V adalah matriks intejer, maka determinannya juga intejer. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa det(u = ± ( Misalkan B = AU dengan U unimodular. Dari asumsi ini diperoleh bahwa untuk setiap j =, 2,..., n, b j L(A, karena b j merupakan kombinasi linear intejer dari A. Selanjutnya, karena untuk setiap x L(B merupakan kombinasi linear intejer dari B, maka dapat disimpulkan bahwa x juga merupakan kombinasi linear intejer dari A (artinya, x L(A. Dengan demikian diperoleh L(B L(A. Kemudian perhatikan bahwa dari asumsi juga diperoleh A = BU dengan U juga unimodular (proposisi 3.. Sehingga dengan langkah-langkah yang serupa dengan sebelumnya, diperoleh L(A L(B. Cara yang lebih mudah dalam menentukan dua basis yang ekuivalen adalah dengan menerapkan operasi kolom intejer (integer column operations Definisi 3.5 Operasi kolom intejer (OKI pada matriks B memiliki 3 jenis berikut:. K jk (B: menukar kolom ke-j dan kolom ke-k pada matriks B 2. K j(- (B: mengalikan kolom ke-j dengan skalar - pada matriks B 3. K jk(λ (B: menambahkan kolom ke-j dengan skalar λ Z kali kolom ke-k pada matriks B OKI hampir sama dengan operasi kolom dasar (OKD yang biasanya diterapkan pada ruang vektor. Hal yang membedakan hanya terdapat pada jenis kedua. Pada OKD, pengali yang digunakan adalah sembarang bilangan real taknol, sedangkan pada OKI pengali yang digunakan adalah -. Kemudian misalkan I adalah matriks identitas dan K adalah serangkaian OKI yang diterapkan pada suatu matriks B dan menghasilkan matriks C, maka berlaku K(B = C B K(I = C. Serangkaian OKI yang diterapkan pada I pasti akan menghasilkan matriks intejer, sehingga K(I merupakan matriks intejer. Disamping itu, karena det(i =, OKI jenis pertama dan kedua bersifat mengubah tanda determinan, dan OKI jenis ketiga bersifat tidak mengubah nilai determinan, sehingga didapatkan det(k(i = ±. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa K(I merupakan matriks unimodular. Sehingga didapatkan proposisi berikut. Proposisi 3.3 Dua basis dikatakan ekuivalen jhj yang satu merupakan hasil serangkaian OKI dari yang lain. 3.2 Gram-Schmidt dan Determinan Salah satu bahasan dalam aljabar linear yang merupakan kunci penting dalam latis adalah proses ortogonalisasi Gram-Schmidt. Proses ini yang akan menjadi ide utama dalam pembentukan algoritme LLL. Berikut merupakan definisi proses ortogonalisasi Gram-Schmidt.

15 6 Definisi 3.6 (Ortogonalisasi Gram- Schmidt (OGS Misalkan B = {b, b 2,..., b n } adalah himpunan n vektor bebas linear dalam ruang vektor R m. Maka dapat dikonstruksi barisan n vektor yang saling ortogonal B = {b, b 2,..., b n} dimana b = b, j b j = b j µ ji b i, dengan j = 2, 3,..., n, dan µ ji = b j b i b i b i Jika himpunan B = {b, b 2,..., b n } adalah bebas linear, maka B merupakan basis untuk B, dan jika B = {b, b 2,..., b n} adalah hasil OGS dari B, maka B juga merupakan basis untuk B. Namun hal ini secara umum tidak berlaku dalam latis, jika B adalah basis untuk L(B tidak harus B merupakan basis untuk L(B. Bahkan belum tentu B L(B. Dalam ruang vektor, vektor p j = j µ jib i merupakan vektor proyeksi dari b j pada subruang vektor {b, b 2,..., b j } dari B. Sedangkan b j merupakan vektor proyeksi dari b j pada subruang vektor {b j, b j+,..., b n} dari B. Sehingga dapat didefinisikan fungsi proyeksi sebagai berikut. Definisi 3.7 Untuk j =, 2,..., n, fungsi proyeksi π j dari ruang vektor V = B = B ke subruang vektor {b j, b j+,..., b n} didefinisikan sebagai π j (v = n ( v b i i=j b i b i b i. Jika diambil nilai v = b k, k =, 2,..., n, maka diperoleh 0 jika k < j π j (b k = b k jika k = j b k + k i=j µ kib i jika k > j Selanjutnya perhatikan definisi berikut. Definisi 3.8 Misalkan Λ = L(B adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = {b, b 2,..., b n }, maka dapat didefinisikan himpunan n P(B = x j b j x j R, 0 x j <. Dimana P(B merupakan bangun geometrik yang disebut parallelepiped dasar atau daerah fundamental (fundamental region. Berikut ilustrasi dari P(B. Gambar 3.5: Parallelepiped dasar dengan B = {(2,, (, 2}

16 7 Dari gambar 3.5 terlihat bahwa pada latis dalam R 2, P(B digambarkan sebagai daerah arsir bidang jajaran genjang. Hasil dari luas jajaran genjang pada gambar 3.5 disebut vol(p(b. Pada sembarang latis Λ, dapat didefinisikan nilai determinan dari latis Λ, dinotasikan dengan det(λ, yang merupakan nilai dari vol(p(b. Dari ilustrasi gambar 3.5, maka definisi det(λ dapat dinyatakan sebagai berikut. Definisi 3.9 Misalkan Λ = L(B adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = {b, b 2,..., b n } dan B = {b, b 2,..., b n} adalah hasil OGS dari B. Determinan dari Λ didefinisikan sebagai n det(λ = b i. Cara menentukan determinan suatu latis tanpa melakukan OGS akan dijelaskan oleh proposisi setelah lemma berikut ini. Lemma 3. Jika matriks B = ( b b 2 b n adalah matriks hasil OGS dari matriks B = ( b b 2 b n, maka ada matriks U dengan unsur diagonal adalah sehingga B = B U Bukti: Perhatikan bahwa rumus OGS dapat diubah menjadi b = b b 2 = b 2 + µ 2 b b 3 = b 3 + (µ 3 b + µ 32 b 2. b n = n b n + µ ni b i Hal ini menunjukkan bahwa transformasi balik OGS dari B ke B merupakan serangkaian OKD yang dilakukan pada matriks B, yaitu B = K(B B = B K(I. Dengan demikian dapat didefinisikan sebuah matriks U =K(I, dimana µ 2 µ n 0 µ n2 K(I = Proposisi 3.4 Jika Λ = L(B adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = {b, b 2,..., b n }, maka det(λ = det(b T B dimana B adalah bentuk matriks dari B. Bukti: Misalkan B = ( b b 2 b n adalah matriks hasil OGS dari matriks B = ( b b 2 b n, menurut lemma 2. terdapat sebuah matriks U yang unsur diagonalnya adalah sehingga B = B U. Dengan demikian diperoleh B T B = (B U T (B U B T B = U T ( (B T B U det(b T B = det ( U T ( (B T B U det(b T B = det ( (B T B ( n 2 det(b T B = b i n b i = det(λ = det(b T B det(b T B Berikut merupakan proposisi yang menjelaskan bahwa determinan suatu latis tidak bergantung pada pemilihan suatu basis. Proposisi 3.5 Jika A B, maka det(l(a = det(l(b. Bukti: Misalkan A B, dengan A dan B adalah bentuk matriks dari A dan B.

17 8 Berdasarkan proposisi 3.2 terdapat sebuah matriks unimodular U sehingga A = BU. Dengan demikian, det(l(a = det(a T A = det((bu T (BU = det(u T (B T BU = det(b T B = det(l(b 3.2. Kompleksitas Gram-Schmidt Dalam OGS terlihat bahwa banyaknya operasi aritmetik yang dilibatkan dalam OGS adalah O(n 3. Namun belum dapat disimpulkan bahwa waktu running pada OGS adalah polinomial. Harus dipastikan terlebih dahulu bahwa bilangan-bilangan yang diproses pada OGS tidak tumbuh terlalu besar. Diasumsikan bahwa matriks B yang digunakan adalah matriks intejer. Perhatikan bahwa langkah ke-j dari OGS dapat dirumuskan ulang sebagai j b j = b j + v ji b i untuk suatu v ji R (3. Karena b j ortogonal ke b t untuk setiap t < j, maka diperoleh ( j b t b j = (b t b j + b t v ji b i ( j 0 = (b t b j + b t v ji b i j b t v ji b i = (b t b j (3.2 Untuk t =, 2,..., j, Persamaan tersebut bisa ditulis dalam bentuk matriks b j v jib i b b j b 2 j v jib i b 2 b j. b j j v jib i =. b j b j Jika didefinisikan matriks B j = ( b b 2 b j dan matriks u j = v j v j2. v j,j maka persamaan (3.2 dapat ditulis sebagai b (B j u j b b j b 2 (B j u j b 2 b j. b j (B j u j =. b j b j B T j (B j u j = B T j b j (B T j B j u j = B T j b j (3.3 Persamaan 3.3 merupakan SPL dengan matriks koefisien B T j B j dan vektor B T j b j adalah intejer. Dengan demikian, untuk s =, 2,..., j, berdasarkan aturan Cramer diperoleh v js Z det(b T j B j = Z det(l(b j 2 Hasil ini akan digunakan untuk memberi batas pada koefisien µ ji. Misalkan D j = det(b T j B j dan dikalikan nilainya kedua ruas dari persamaan 3. maka diperoleh j D j b j = D j b j + (D j v ji b i merupakan persamaan yang semua koefisien vektornya adalah intejer. Ini berarti semua penyebut dari bilangan dalam vektor b j adalah faktor dari D j. Kemudian µ ji = b j b i b i b i = D i (b j b i D i (b i b i b j (D i b i = ( i b s 2 b i 2 s= Z D i Hasil ini menunjukkan bahwa penyebut dari µ ji harus membagi D i. Uraian di atas membuktikan bahwa bilangan-bilangan yang ada di dalam vektor b i dan µ ji memunyai penyebut paling banyak max D k k n b k 2 i=k

18 9 Akhirnya, besarnya bilangan juga polinomial karena b j b j. Dengan demikian secara keseluruhan OGS memunyai kompleksitas waktu running polinomial. Hasil ini bermanfaat untuk menganalisis algoritme LLL yang merupakan algoritme yang berbasiskan OGS. 3.3 Permasalahan dalam Latis Berikut merupakan pengertian jarak minimum dan panjang vektor minimum dari suatu latis. Definisi 3.0 Jarak minimum antara sembarang dua titik di dalam latis Λ, dinotasikan dengan λ(λ, didefinisikan sebagai λ(λ = inf{ x y x, y Λ, x y} Definisi 3. Panjang vektor minimum di antara titik-titik di dalam latis Λ, dinotasikan dengan π(λ, didefinisikan sebagai π(λ = inf{ x x Λ, x 0} Dua pengertian di atas memiliki arti yang ekuivalen. Hal tersebut dinyatakan dalam proposisi berikut. Proposisi 3.6 Untuk sembarang latis Λ, berlaku λ(λ = π(λ. Bukti: Karena Λ adalah grup, maka berlaku λ(λ = inf{ x y x, y Λ, x y} = inf{ z z = x y Λ, x y} = inf{ z z Λ, z 0} = π(λ Berikut merupakan batas bawah dari λ. Teorema 3. Jika Λ = L(B adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = {b, b 2,..., b n } dan B = {b, b 2,..., b n} adalah hasil ortogonalisasi dari B, maka min b j λ(λ, In = {, 2,..., n} j I n Bukti: Ambil sembarang v L(B dengan v 0, maka ada vektor x Z n dengan x 0 sehingga v = Bx dengan B adalah bentuk matriks dari B. Misalkan x = {x, x 2,..., x n } dan k adalah indeks terbesar dari komponen x sehingga x k 0, Karena untuk setiap j < k, b k ortogonal ke b j dan juga ortogonal ke b j, maka dan v b k = (Bx b k = k x j b j b k b k b k = = x k (b k b k k b k µ kj b j b k = b k b k. Dengan demikian diperoleh v b k = x k (b k b k = x k b k 2 v b k = x k b k 2 Berdasarkan ketaksamaan Cauchy-Schwartz, maka diperoleh v b k v b k x k b k 2 v b k x k b k v Karena x k, untuk I n = {, 2,..., n} diperoleh min b j b k j I n v Selanjutnya, karena v adalah sembarang vektor dalam L(B, maka dapat disimpulkan min b j λ(λ j I n Selanjutnya akan didefinisikan masalah yang paling mendasar di dalam latis, yaitu SVP. Berikut merupakan varian dari SVP.

19 0 Soal 3. (Pelacakan SVP Diberikan sebuah latis dengan basis B, carilah x L(B sehingga x = λ(l(b Soal 3.2 (Optimisasi SVP Diberikan sebuah latis dengan basis B, carilah λ(l(b. Soal 3.3 (Pelacakan SVP Diberikan sebuah latis dengan basis B dan bilangan rasional q Q, tentukan apakah λ(l(b q atau λ(l(b > q Soal 3.4 (Pelacakan SVP Diberikan sebuah latis dengan basis B dan γ, carilah x L(B dengan x 0 sehingga x γ λ(l(b Soal 3.5 (Pelacakan SVP Diberikan sebuah latis dengan basis B dan γ, carilah d sehingga d λ(l(b γd 3.4 Algoritme LLL 3.4. Pengertian Basis Terreduksi Berikut merupakan definisi dari basis terreduksi δ. Definisi 3.2 Suatu basis B = [b, b 2,..., b n ] dalam R m disebut terreduksi δ (atau terreduksi LLL dengan parameter δ jika memenuhi. µji 2, untuk setiap intejer i, j, dengan i < j n, 2. δ π j (b j 2 π j (b j+ 2, untuk j =, 2,..., n, dimana δ merupakan parameter reduksi yang bernilai real dengan 4 < δ <. Syarat pertama dalam definisi di atas disebut dengan reduksi ukuran. Syarat pertama mengatakan bahwa basis terreduksi δ harus "hampir ortogonal" dan dalam komputasinya syarat ini mudah dicapai OGS. Pembahasan mengenai syarat pertama akan dibahas pada subbab Sedangkan pada syarat kedua dari definisi di atas disebut syarat pertukaran, atau disebut juga kondisi Lovasz, yang dapat ditulis ulang sebagai δ b 2 j b j+ + µ j+,j b j 2 (δ µ 2 j+,j b j 2 b j+ 2 (3.5. Ketaksamaan 3.5 menyatakan bahwa vektor-vektor Gram-Schmidt dari basis terreduksi LLL harus terurut turun dengan faktor penurunan sebesar δ µ 2 j+,j. Jika terdapat pasangan vektor (b j, b j+ yang tidak memenuhi kondisi Lovasz, maka dapat dilakukan pertukaran antara vektor tersebut kemudian OGS kembali dilakukan. Selanjutnya dengan menerapkan syarat-syarat yang terdapat pada definisi 3.2, maka didapatkan batas atas untuk b dari basis terreduksi δ. Teorema 3.2 Jika B = [b, b 2,..., b n ] dalam R m adalah basis terreduksi δ, maka berlaku dengan α =. δ 4 b α n 2 λ(λ Bukti: Misalkan B = [b, b 2,..., b n ] adalah basis terreduksi δ, dari definisi didapatkan b j+ 2 (δ µ 2 j+,j b j 2 ( δ b 2 j 4 b 2 j α b 2 j α b j+ 2 (i Maka dengan menerapkan ketaksamaan (i secara berulang, diperoleh b 2 α b 2 2 α 2 b 3 2. α n b n 2. Atau dengan kata lain, secara umum untuk setiap j I n = {, 2,... n}, berlaku b 2 α j b j 2 b α j 2 b j b α j 2 b j Karena berlaku untuk setiap j I n, maka b (α ( n 2 min b j (ii j I n

20 Misalkan B = [b, b 2,..., b n ] adalah basis terreduksi LLL untuk latis Λ = L(B, menurut teorema 3. diperoleh min b j λ(λ j I n sehingga ketaksamaan (ii menjadi b α n 2 λ(λ Teorema 3.2 menyatakan bahwa vektor pertama pada basis terreduksi δ merupakan jawaban dari soal 3.4 dengan nilai γ = α n Reduksi Ukuran Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa syarat reduksi ukuran (yaitu µ ji 2 mudah dicapai dengan menggunakan OGS. Selanjutnya akan dibahas syarat reduksi ukuran melalui interpretasi geometrik. Untuk akan dibahas terlebih dahulu definisi berikut. Definisi 3.3 Misalkan Λ = L(B adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = [b, b 2,..., b n ] dalam ruang vektor R m. Daerah fundamental terpusat (centered fundamental region dari Λ, dinotasikan dengan C(B, didefinisikan sebagai: n C(B = x j b j x j R, 2 x j 2. C(B juga disebut parallelepiped dasar terpusat (centered fundamental parallelepiped. Proposisi 3.7 Jika Λ = L(B adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = [b, b 2,..., b n ] dalam ruang vektor R m, maka untuk setiap vektor w B, ada tepat satu vektor t C(B sehingga dapat dituliskan w = v + t Bukti: Karena B merupakan basis untuk Λ, maka B juga merupakan basis untuk ruang vektor B. Dan karena w B, maka ada tepat satu (w, w 2,..., w n R n sehingga n w = w j b j. Kemudian, karena w j R, maka ada w j Z sehingga w j = w j + t j, dengan 2 t j 2. Selanjutnya, w = = n ( w j + t j b j n w j b j + = v + t n t j b j Lemma 3.2 Misalkan B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram-Schmidt dari himpunan bebas linear B = [b, b 2,..., b n ], dan diberikan sembarang w B. Jika w = n w jb j, maka w n = w b n b n b n Bukti: Perhatikan bahwa n w b n = w j b j b n = n w j (b j b n = w n (b n b n w n = w b n b n b n Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa b n b n = b n b n, ( n b n b n = b n + µ ni b i b n n = b n b n + µ ni (b i b n = b n b n Sifat dari daerah fundamental terpusat dinyatakan dalam proposisi berikut. Proposisi 3.9 Jika B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil OGS dari basis latis B = [b, b 2,..., b n ], maka setiap w B, ada tepat satu vektor latis v L(B dan ada tepat satu vektor t C(B sehingga dapat

21 2 dituliskan w = v + t. Bukti: Demi kepentingan bagaimana menentukan v dan t secara algoritmik, proposisi akan dibuktikan secara instruktif. Kemudian, tanpa mengurangi keumuman, akan diambil untuk kasus n = 3 sebagai berikut.. Definisikan w 3 = w. Karena w 3 {b, b 2, b 3 }, berarti ada tepat satu (x 3, x 32, x 33 R 3 sehingga w 3 = 3 x 3j b j dan berdasarkan lemma 3.2, dapat dituliskan w 3 = 2 x 3j b j + w 3 b 3 b 3 b 3 b 3 = 2 ( w3 b 3 x 3j b j + b 3 + b 3 t 3 b 3 dengan 2 t 3 2. Selanjutnya, 2 ( w3 b 3 w 3 = x 3j b j + b 3 b 3 + b 3 = t 3 b 3 2 w3 b 3 x 3j b j + b 3 b 3 + b 3 2 t 3 (b 3 + µ 3i b i w3 b 3 w 3 b 3 b 3 + (t 3 b 3 = b x 3j b j + t 3 µ 3i b i (i 2. Definisikan ( w3 b 3 w 2 = w 3 b 3 b 3 + b 3 t 3 b 3. Dari persamaan (i dan karena {b, b 2 } = {b, b 2}, maka w 2 {b, b 2 }. Dengan ada tepat satu (x 2, x 22 R 2 sehingga w 2 = x 2 b + x 22 b 2 dan berdasarkan lemma 3.2, dapat dituliskan w 2 = x 2 b + w 2 b 2 b 2 b 2 b 2 ( w2 b 2 = x 2 b + b 2 + b 2 t 2 b 2 dengan 2 t 2 2. Selanjutnya, w2 b 2 w 2 = x 2 b + b 2 b 2 + b 2 t 2 b 2 w2 b 2 = x 2 b + b 2 b 2 + b 2 t 2 (b 2 + µ 2 b ( w2 b 2 w 2 b 2 b 2 + t 2 b b 2 = 2 x 2 b + t 2 µ 2 b = (x 2 + t 2 µ 2 b (ii 3. Definisikan ( w2 b 2 w = w 2 b 2 b 2 + t 2 b b 2. 2 Dari persamaan (ii, maka w {b } dan ada x R sehingga w = x b. Berdasarkan lemma 3.2, dapat dituliskan w = w b b b b ( w b = b b w b = b b + t b b + t b dengan 2 t 2. Dari ketiga langkah di atas, didapatkan bahwa w b w = b b + t b b w2 b 2 w 2 = w + b 2 b 2 + t 2 b b 2 2 w3 b 3 w 3 = w 2 + b 3 b 3 + t 3 b b 3 3 Karena w = w 3, maka dapat dituliskan w = v + t dimana w b w2 b 2 v = b b + b b 2 b 2 + b 2 w3 b 3 b 3 b 3 b 3 t = t b + t 2 b 2 + t 3 b 3

22 3 dan dapat dilihat bahwa v L(B dan t C(B Bukti dari proposisi sekaligus merupakan bukti kebenaran dari algoritme berikut. Algoritme 3. Input: B = [b, b 2,..., b n ] basis untuk L(B dan w B. Output: Vektor latis v L(B dan vektor t C(B.. Dengan OGS, hitung [b, b 2,..., b n] dengan input B. 2. v := 0 3. t := 0 4. Untuk i = n, n,...,, lakukan: a. x i := w b i b i b i b. v i := x i c. v := v + v i b i d. t i := x i v i e. t := t + t i b i f. w := w (v i b i + t i b i 5. return(v dan t Algoritme di atas dapat disederhanakan hanya untuk menentukan vektor v sebagai berikut. Algoritme 3.2 (Menentukan vektor terdekat Input: B = [b, b 2,..., b n ] basis untuk L(B dan w B. Output: Vektor latis v L(B. Dengan OGS, hitung [b, b 2,..., b n] dengan input B. 2. v := 0 3. Untuk i = n, n,...,, lakukan: a. x i := w b i b i b i b. v i := x i c. v := v + v i b i d. t i := x i v i e. w := w (v i b i + t i b i 4. return(v Akibat dari proposisi 3.7 diberikan dalam teorema berikut. Teorema 3.3 Jika B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram-Scmidt dari basis latis B = [b, b 2,..., b n ], maka B dapat ditransformasikan menjadi B = [b, b 2,..., b n] yang juga merupakan basis untuk L(B dan B juga merupakan hasil ortogonalisasi Gram-Scmidt dari B. Dalam hal ini, b = b j b j = b j untuk j = 2, 3,..., n, dengan µ ji = b j b i b i b i µ jib i dan µ ji 2. Bukti: Transformasi dari B ke B akan dilakukan secara instruktif sebagai berikut.. Definisikan b = b Dalam hal ini, diperoleh subruang vektor berdimensi-, yaitu S = {b } = {b } = {b } 2. Dari proses ortogonalisasi b 2 ke b 2 berlaku hubungan b 2 = b 2 p dengan p = µ 2 b = b2 b b b b adalah vektor proyeksi dari b 2 pada S berarti p S. Dengan demikian, berdasarkan proposisi 3.6, ada vektor latis v L({b } dan vektor t C({b } sehingga dan diperoleh p = v + t b 2 = b 2 (v + t = (b 2 v t. Kemudian dari persamaan di atas dapat didefinisikan b 2 = b 2 v sehingga jelas (karena latis adalah grup bahwa b 2 L(B dan diperoleh persamaan b 2 = b 2 t. Hasil ini menunjukkan bahwa ortogonalisasi {b, b 2} juga menghasilkan {b, b 2} dengan vektor proyeksi dari b 2

23 4 pada S adalah dalam hal ini t = µ 2b = b 2 b b b b µ 2 = µ 2 µ 2 sehingga µ 2 2. Selanjutnya, untuk menghitung b 2 berarti ukup menghitung v menggunakan algoritme 3.2 dan b 2 = b 2 v Sebelum ke langkah berikutnya, dinotasikan terlebih dahulu subruang vektor berdimensi-2, yaitu S 2 = {b, b 2 } = {b, b 2} = {b, b 2} 3. Dari proses ortogonalisasi b 3 ke b 3 berlaku hubungan dengan b 3 = b 3 p 2 p 2 = µ 3 b + µ 32 b 2 p 2 dimana adalah vektor proyeksi dari b 3 pada S 2 berarti p 2 S 2. Dengan demikian,berdasarkan proposisi 3.6, ada vektor latis v 2 L({b, b 2 } dan vektor t 2 C({b, b 2} sehingga dan diperoleh p 2 = v 2 + t 2 b 3 = b 3 (v 2 + t 2 = (b 3 v 2 t 2. Kemudian dari persamaan di atas dapat didefinisikan b 3 = b 3 v 2 sehingga jelas bahwa b 3 diperoleh persamaan b 3 = b 3 t 3. L(B dan Hasil ini menunjukkan bahwa ortogonalisasi b 3 juga menghasilkan b 3 dengan vektor proyeksi dari b 3 pada S 2 adalah t = µ 3b + µ 32b 2 = b 3 b b b b + b 3 b 2 b 2 b b 2 2 dalam hal ini, untuk i =, 2, berlaku µ 3i = µ 3i µ 3i sehingga µ 3i 2. Selanjutnya, untuk menghitung b 3 berarti cukup menghitung v 2 menggunakan algoritme 3.2 dan b 3 = b 3 v 2 Demikian seterusnya, dari 3 langkah di atas secara rekursuf dapat dilanjutkan sampai langkah ke-n untuk memperoleh basis latis B hasil transformasi dari basis latis B. Makna geometrik dari transformasi B ke B dalam teorema 3.3 beserta buktinya adalah memperkecil panjang vektor basis, yaitu untuk j =, 2,..., n berlaku b j b j. Hal ini terlihat dari vektor proyeksi p i hasil proyeksi dari b i ke subruang S i untuk i = 2, 3,..., n, ditransformasikan ke vektor proyeksi t i, hasil proyeksi dari b i ke subruang S i. Jika p i C([b, b 2,..., b i ], maka b i b i, tetapi jika p i / C([b, b 2,..., b i ], maka b i ditransformasikan b i dengan vektor proyeksi pada S i adalah t C([b, b 2,..., b i ] sehingga b i b i. Dengan demikian, teorema 3.3 beserta buktinya merupakan landasan teori yang digunakan untuk menyusun algoritme reduksi ukuran dari algoritme LLL berikut ini. Algoritme 3.3 (Reduksi Ukuran LLL Input: B = [b, b 2,..., b n ] basis untuk L(B Output: B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram-Schmidt dari B dan B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil reduksi ukuran dari B. b := b 2. b := b. 3. Untuk j = 2, 3,..., n, lakukan: a. p := 0 b. Untuk i =, 2,..., j, lakukan: i. µ ji := bj b i b i b i ii. p := p + µ ji b i c. Gunakan algoritme 3.2 untuk menghitung vektor v dengan input B = [b, b 2,..., b n ] dan B = [b, b 2,..., b n] serta p d. b j := b j v 4. return([b, b 2,..., b n]

24 5 dan [b, b 2,..., b n] Berikut ini langkah-langkah ilustratif penyusunan algoritme reduksi ukuran LLL yang sifatnya rekursif tanpa memanggil algoritme 3.2. Untuk j =, definisikan langsung b := b dan b := b 2. Untuk j = 2, perhatikan bahwa p = µ 2 b, berdasarkan algoritme 3.2, maka p b v = b b b = µ 2 b Jadi, untuk menghitung b 2 dan b 2, cukup menghitung dahulu µ 2, kemudian b 2 = b 2 p dan = b 2 µ 2 b b 2 = b 2 v = b 2 µ 2 b 3. Untuk j = 3, perhatikan bahwa p 2 = µ 3 b + µ 32 b 2, berdasarkan algoritme 3.2, nyatakan v 2 = v 22 + v 2 sehingga (p2 b 2 v 22 = b 2 b b 2 = µ 32 b 2 p2 µ v 2 = 32 b 2 µ 32b 2 b b b b = µ 3 µ 32 µ 2 b Jadi, untuk menghitung b 3 dan b 3, dapat dilakukan secara rekursif sebagai berikut. (a untuk i = 2, hitung µ 32, kemudian dan b 3 = b 3 µ 32 b 2 (b untuk i =, hitung µ 3, kemudian b 3 = b 3 v 22 = b 3 µ 32 b 2 dan b 3 = b 3 µ 3 b b 3 = b 3 v 2 = b 3 µ 3 µ 32 (µ 2 b 4. Untuk j = 4, perhatikan bahwa p 3 = µ 4 b + µ 42 b 2 + µ 43 b 3, berdasarkan algoritme

25 6 3.2, nyatakan v 3 = v 33 + v 32 + v 3 sehingga p3 b 3 v 33 = b 3 b 3 b 3 (µ43 b = 3 b 3 b 3 b 3 b 3 = µ 43 b 3 (p ( µ43 b 3 + µ v 32 = 43b 3 b 2 b 2 b 2 b 2 = µ 42 µ 43 (µ 32 b 2 (p ( µ43 b 3 + µ v 3 = 43b 3 ( µ 42 b 2 + µ 42b 2 b b b b = µ 4 µ 43 µ 3 µ 42 µ 2 b Jadi, untuk menghitung b 4 dan b 4, dapat dilakukan secara rekursif sebagai berikut (a untuk i = 3, hitung µ 43, kemudian dan b 4 = b 4 µ 43 b 3 (b untuk i = 2, hitung µ 42, kemudian b 4 = b 4 µ 43 b 3 dan b 4 = b 4 µ 42 b 2 (c untuk i =, hitung µ 4, kemudian b 4 = b 4 µ 42 µ 43 µ 32 b 3 dan b 4 = b 4 µ 4 b b 4 = b 4 µ 4 µ 43 µ 3 µ 42 µ 2 b 3 Berdasarkan pola dari 4 langkah di atas, berikut ini diberikan algoritme reduksi ukuran yang sifatnya rekursif. Algoritme 3.4 (Reduksi Ukuran LLL Input: B = [b, b 2,..., b n ] basis untuk L(B Output: B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram-Schmidt dari B dan B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil reduksi ukuran dari B.. b := b 2. b := b 3. µ 2 := b2 b b b 4. b 2 := b 2 µ 2 b 5. b 2 := b 2 µ 2 b 6. Untuk j = 3, 4,..., n, lakukan: (a b j := b j (b b j := b j (c µ j,j := bj b j b j b j (d b j := b j µ j,j b j (e b j := b j µ j,j b j (f Untuk i = j 2, j 3,...,, lakukan: i. µ ji := bj b i b i b i ii. b j := b j µ jib i iii. c := µ ji iv. Untuk k = i, i +,..., j 2, lakukan: A. c := c µ j,k+ µk+,i v. b j := b j c b i 7. return([b, b 2,..., b n] dan [b, b 2,..., b n] Berikut ini merupakan langkah-langkah ilustratif penyusunan algoritme reduksi ukuran LLL dengan menggunakan rumus rekursif yang lebih sederhana

26 7. Untuk j =, definisikan langsung b = b dan b = b 2. Untuk j = 2, perhatikan bahwa p = µ 2 b, berdasarkan algoritme 3.2, maka p b v = b b b = µ 2 b Jadi, untuk menghitung b 2 dan b 2 cukup menghitung dahulu µ 2, kemudian b 2 = b 2 p dan = b 2 µ 2 b 3. Untuk j = 3, dari uraian sebelumnya, b 2 = b 2 v = b 2 µ 2 b b 3 = (b 3 µ 32 b 2 µ 3 µ 32 µ 2 b (b3 µ = (b 3 µ 32 b 2 32 b 2 b b b b = x y x = b 3 µ 32 (b 2 + µ 2 b = b 3 µ 32 b 2 µ 32 µ 2 b (b3 µ y = 32 (b 2 µ 2 b b b b b (b3 µ = 32 b 2 µ 32 µ 2 b b b b b (b3 µ = 32 b 2 b b µ 32 µ 2 b b (b3 µ = 32 b 2 b b b µ 32 µ 2 b b Dengan demikian, diperoleh b 3 = (b 3 µ 32 b (b3 µ 2 32 b 2 b b b b Jadi,untuk menghitung b 3 dan b 3, dapat dilakukan secara rekursif sebagai berikut (a untuk i = 2, hitung µ 32, kemudian dan b 3 = b 3 µ 32 b 2 (b untuk i =, hitung µ 3, kemudian b 3 = b 3 µ 32 b 2 dan b 3 = b 3 µ 3 b b b 3 = b 3 3 b b b b

27 8 Berdasarkan pola dari 3 langkah di atas, berikut ini diberikan algoritme reduksi ukuran yang sifatnya rekursif Algoritme 3.5 (Reduksi Ukuran LLL Input: B = [b, b 2,..., b n ] basis untuk L(B Output: B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram-Schmidt dari B dan B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil reduksi ukuran dari B.. b := b 2. b := b 3. Untuk j = 2, 3,..., n, lakukan: (a Untuk i = j, j 2,...,, lakukan: i. µ ji := bj b i b i b i ii. b j := b j µ jib i iii. µ ji := b j b i b i b i iv. b j := b j µ ji bi 4. return([b, b 2,..., b n] dan [b, b 2,..., b n] Algoritme LLL dan Analisisnya Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa algoritme LLL adalah algoritme yang mentransformasikan basis B menjadi basis B dengan menerapkan algoritme reduksi ukuran. Kemudian, ketika kondisi Lovasz tidak memenuhi, algoritme LLL akan melakukan penukaran pada vektor pasangan vektor (b j, b j+ dan reduksi ukuran kembali dilakukan. Jika ada beberapa pasang vektor (b j, b j+ yang tidak memenuhi kondisi Lovasz, tidak ada masalah pasangan vektor yang harus ditukar terlebih dahulu. Bahkan pasangan vektor tersebut dapat ditukar secara bersamaan, yang mengarah pada varian algoritme LLL paralel. Algoritme yang asli akan melakukan penukaran pada pasangan vektor dengan nilai j terkecil. Berikut merupakan garis besar deskripsi algoritme LLL.. (Langkah Reduksi Ukuran Terapkan algoritme reduksi ukuran pada B. 2. (Langkah Penukaran Jika ada j {2, 3,..., n} yang memenuhi ( δ (µj,j 2 b j 2 > b j 2 maka tukar b j dan b j, kemudian kembali ke langkah. 3. Jika tidak, algoritme selesai. Sedangkan bentuk praktis algoritme LLL diberikan sebagai berikut. Algoritme 3.6 (Algoritme LLL Input: B = [b, b 2,..., b n ] basis untuk L(B dan 4 < δ <. Output: B = [b, b 2,..., b n ] adalah basis terreduksi LLL untuk L(B dan B = [b, b 2,..., b n] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram-Schmidt dari B.. Inisialisasi b := b. 2. j := Reduksi Ukuran. Sementara j n, hitung: (a b j := b j. (b Untuk i = j s.d. i =, hitung: i. µ ji := bj b i b i b i ii. b j := b j µ jib i. iii. b j := b j µ ji bi. (c Penukaran. ( Jika δ (µj,j 2 b 2 j > b 2 j, maka i. jika j = 2, A. tukar b dan b 2 B. b := b 2 ii. jika j > 2, A. tukar b j dan b j B. j := j Selainnya, j := j + 4. return([b, b 2,..., b n ] dan [b, b 2,..., b n] Algoritme LLL merupakan algoritme yang mampu menghitung menghitung vektor terpendek dalam suatu latis L(B. Namun ketika n cukup besar dan basis B cukup jauh dari ortogonal, maka algoritme LLL sulit untuk menghasilkan vektor terpendek. Hal ini disebabkan karena prinsip algoritme LLL yang mentransformasikan B ke suatu basis yang "hampir ortogonal". Sehingga jika basis B jauh dari ortogonal, maka kerja algoritme LLL semakin berat. Karena basis B memengaruhi kinerja dari algoritme LLL, maka suatu basis dapat diklasifikasikan berdasarkan jauh dekatnya basis tersebut dari ortogonal. Definisi 3.4 Basis latis B dikatakan bagus jika B mendekati ortogonal. Sedangkan basis latis B dikatakan buruk jika basis tersebut jauh dari ortogonal.

28 9 Suatu nilai yang dapat menjadi indikator sebuah basis baik atau buruk didefinisikan sebagai berikut. Definisi 3.5 Rasio Hadamard dari suatu basis latis B = {b, b 2,..., b n }, dinotasikan dengan H(B, didefinisikan sebagai H(B = det(λ n b j Karena nilai 0 < H(B dan memenuhi sifat "semakin dekat nilai H(B ke, semakin dekat B ke ortogonal". Maka basis B dikatakan bagus jika nilai H(B dekat ke dan basis B dikatakan buruk jika nilai H(B dekat ke 0. Selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap algoritme LLL dengan cara membatasi banyaknya iterasi dan dan membatasi besarnya bilangan yang dilibatkan. Membatasi banyaknya iterasi Diasumsikan bahwa basis latis yang digunakan dalah intejer, artinya B Z n. Terlihat bahwa algoritme LLL cepat selesai ketika langkah penukaran (swap yang dilakukan tidak terlalu banyak. Oleh karena itu, hal pertama yang perlu diperhatikan dalam menganalisis algoritme LLL adalah seberapa besar jumlah maksimum terjadinya penukaran. Dengan demikian, akan didefinisikan suatu intejer positif yang terkait dengan basis B berikut ini. Ingat kembali definisi determinan suatu latis berikut. j det(l([b, b 2,..., b j ] = b i det(l(b j = dimana matriks n det(b T j B j B j = ( b b 2 b j Dari asumsi B j adalah matriks intejer, jelas bahwa (det(l(b j 2 Z Dengan demikian, dapat didefinisikan intejer positif D yang terkait dengan matriks, yaitu D = n det(l(b j 2 dan kemudian berlaku sifat dalam proposisi berikut ini. Proposisi 3.8 Langkah reduksi ukuran tidak mengubah nilai D, tetapi setiap terjadi penukaran mengakibatkan nilai D menurun dengan faktor δ. Bukti: Berdasarkan teorema 3.3, perhatikan bahwa langkah reduksi ukuran tidak akan mengubah nilai D. Dengan demikian, selanjutnya tinggal ditunjukkan bahwa setiap terjadi penukaran, nilai D menurun dengan faktor δ. Misalkan terjadi penukaran b j dan b j+, misalkan pula intejer positif D terkait dengan B sebelum terjadinya penukaran, dan D terkait dengan B setelah b j dan b j+ ditukar. Sekarang perhatikan bahwa, jika i < j, maka basis [b, b 2,..., b i ] tidak berubah oleh terjadinya penukaran sehingga jelas bahwa det(l(b i 2 = (det(l(b i 2 Ketika i > j, maka pada basis [b, b 2,..., b i ] vektor b j dan b j+ ditukar (menukar sepasang vektor kolom pada B i sehingga L(B i = L(B i (det(l(b i 2 = (det(l(b i 2 Di lain pihak, untuk i = j, maka basis B j = [b, b 2,..., b j, b j ] berubah menjadi B j = [b, b 2,..., b j, b j+ ] sehingga (det(l(b j 2 = = j b i 2 ( j b b i 2 j 2 Karena syarat pertukaran (δ (µ j+,j 2 b j > b j+, maka berlaku

29 20 (det(l(b j 2 > Akhirnya, D D = > > δ ( j b i 2 ( b (δ (µ j+,j 2 j+ 2 (δ (µ j+,j 2 ( j b b i 2 j+ 2 ( det(l(b j 2 ( det(l(b j 2 (det(l(b j 2 < δ n ( det(l(b j 2 n (det(l(b j 2 ( det(l(b j 2 = (det(l(b j 2 < δ D < δd D > δ D D δ D Berdasarkan proposisi di atas, sekarang akan dimisalkan k banyaknya iterasi dalam algoritme LLL dan D (j menyatakan nilai D pada iterasi ke-j, maka D δ D ( δ 2 D (2. δ k D (k Karena untuk setiap j nilai D (j adalah intejer positif, maka D (k D δ k ( k D δ k log (D δ Hasil ini menunjukkan bahwa banyaknya iterasi terbatas ke atas pada fungsi yang nilainya bergantung pada nilai awal D, karena menghitung D = n j b i 2 j n b i 2 membutuhkan waktu polinomial, maka dapat disimpulkan bahwa banayknya iterasi dalam algoritme LLL juga terbatas secara polinomial. Membatasi besarnya bilangan yang terlibat Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa banyaknya iterasi dalam algoritme LLL terbatas secara polinomial dalam ukuran input. Namun demikian, hal ini belum cukup untuk menyimpulkan bahwa algoritme LLL memunyai waktu running polinomial. Perlu dipastikan bahwa ukuran bilangan yang dilibatkan dalam keseluruhan komputasi juga terbatas secara polinomial. Algoritme LLL menggunakan aritmetik bilangan rasional, sehingga perlu dibatasi presisinya maupun besarannya. Perhatikan bahwa langkah ke-j dari proses Gram-Schmidt dapat dirumuskan ulang sebagai j b j = b j + v ji b i untuk suatu v ji R (3.6 Karena b j ortogonal ke b t untuk setiap t < j, maka diperoleh j (b t b j = (b t b j + b t v ji b i j 0 = (b t b j + b t v ji b i j b t v ji b i = (b t b j (3.7 Untuk i =, 2,..., j, Persamaan

30 2 tersebut bisa ditulis dalam bentuk matriks b j v jib i b 2 j b b j v jib i b 2 b j =.. b j j b j b j v jib i Jika didefinisikan matriks B j = ( b b 2 b j dan matriks u j = v j v j2. v j,j maka persamaan (3.7 dapat ditulis sebagai b (B j u j b 2 (B j u j. b j (B j u j = b b j b 2 b j.. b j b j B T j (B j u j = B T j b j (B T j B j u j = B T j b j Persamaan terakhir tersebut merupakan SPL dengan matriks koefisien B T j B j dan vektor B T j b j adalah intejer. Dengan demikian, untuk s =, 2,..., j, berdasarkan aturan Cramer diperoleh v js Z det(b T j B j = Z det(l(b j 2 Hasil ini akan digunakan untuk memberi batas pada koefisien µ ji. Perhatikan lagi definisi D sebagai n D = (det(l(b j 2 = n det(b T j B j D j b j Zn. Ini berarti semua penyebut dari bilangan dalam vektor b j adalah faktor dari D j. Sekarang dihitung µ ji = b j b i b i b i = D i (b j b i D i (b i b i b j (D i b i = ( i b s 2 b i 2 s= Z D i Hasil ini menunjukkan bahwa penyebut dari µ ji adalah D i. Oleh karena itu, bilangan rasional yang ada di dalam vektor j b j = b j µ ji b i dan µ ji dapat dituliskan dengan penyebut D (D merupakan kelipatan setiap D i. Karena µ ji 2, maka ukuran bit yang digunakan terbatas pada lg D. Kemudian dari j D j = b s 2 s= diperoleh b j 2 D j = D j D D j Akhirnya, b j 2 = b j 2 j + µ 2 ji b i 2 D + (j nd ( n 4 D Dengan demikian, semua pembilang dan penyebut dari bilangan rasional yang terjadi di dalam eksekusi algoritme LLL memunyai ukuran bit yang terbatas secara polinomial dalam lg D. n 3.5 Sistemkripto Knapsack Merkle- D = D j dengan D j = det(b T j B j Hellman Sistemkripto Knapsack Merkle-Hellman Kemudian, hitung D j = det(b T j B j merupakan sistemkripto yang berlandaskan dan dikalikan nilainya kedua ruas dari kerumitan komputasi NP-complete. persamaan (3.6, maka diperoleh Sistemkripto ini diperkenalkan oleh Merkle dan Hellman pada akhir 970-an. Tumpuan j D j b keamanan utamanya adalah problem j = D j b j + (D j v ji b i klasik matematika yang terkenal dengan nama problem jumlah subhimpunan dan karena D j v ji Z, maka diperoleh (subset-sum problem. Namun belakangan

31 22 keamanan sistem ini menjadi melemah secara signifikan ketika tumpuan keamanan tersebut bisa dibawa ke masalah latis. Definisi 3.6 (Masalah jumlah subhimpunan Diberikan list yang terdiri dari n bilangan intejer positif a = {a, a 2,... a n } dan suatu intejer positif lain s yang ditetapkan. Masalah jumlah subhimpunan adalah mencari subhimpunan dari a yang jumlahnya sama dengan s (diasumsikan ada sedikitnya satu sub-himpunan. Deskripsi yang lain dari definisi di atas bisa dinyatakan adalah sebagai berikut. Diketahui vektor intejer a Z n adalah bentuk vektor dari list intejer positif a = {a, a 2,... a n } dan intejer s Z +. Tentukan vektor biner x = (x, x 2,..., x n dengan x i Z 2 sehingga a x = s n a i x i = s Pelacakan brute force untuk menyelesaikan problem ini adalah 2 n. Untuk n yang cukup besar, sulit menentukan x pada masalah jumlah subhimpunan (a,s. Namun sebagaimana layaknya paradigma kriptosistem, masalah ini dapat digunakan sebagai tumpuan keamanan kalau dapat didefinisika informasi ekstra (trapdoor pada a. Sehingga dengan informasi ekstra tersebut masalah jumlah subhimpunan (a,s dapat diselesaikan dengan mudah. Untuk itu, akan didefinisikan suatu barisan dengan sifat khusus sebagai berikut. Definisi 3.7 Suatu barisan supernaik (superincreasing sequence adalah suatu barisan r = {r, r 2,..., r 2 } dengan sifat r i+ 2r i, i =, 2,..., n Lemma berikut ini akan digunakan untuk membuktikan suatu proposisi yang berkaitan dengan barisan supernaik. Lemma 3.3 Misalkan r = {r, r 2,..., r 2 } adalah barisan supernaik, maka berlaku sifat k r j > r i, j = 2, 3,..., n Bukti: Bukti akan dilakukan secara induktif. Sebagai basis induksi, untuk k = 2, berdasrkan definisi jelas benar bahwa r 2 2r > r. Kemudian diasumsikan benar untuk k = j, yaitu r j > j dan selanjutnya akan dibuktikan juga benar untuk k = j +. Berdasarkan definisi berlaku r j+ 2r j = r j + r j j > r j + = j r i Proposisi 3.0 Misalkan (a, s adalah masalah jumlah subhimpunan dengan a = {a, a 2,..., a n } adalah barisan supernaik. Jika diasumsikan masalah tersebut memiliki suatu solusi, yaitu x = {x, x 2,..., x n }. Maka nilai x dapat ditentukan dengan x n = s a n n x i = s x j a j a i j=i+ dimana i = n, n 2,...,. Bukti: Misalkan a = {a, a 2,..., a n } adalah barisan supernaik. Dari definisi jumlah subhimpunan diperoleh n s = x i a i Lalu misalkan s a n, maka didapatkan s a n n x i a i a n r i n x n a n + x i a i a n

KONSTRUKSI ALGORITME GREEDY SVP LLL SAIFUL KHAIR

KONSTRUKSI ALGORITME GREEDY SVP LLL SAIFUL KHAIR KONSTRUKSI ALGORITME GREEDY SVP LLL SAIFUL KHAIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Matriks 1 Pengertian Matriks Definisi 21 Matriks adalah kumpulan bilangan bilangan yang disusun secara khusus dalam bentuk baris kolom sehingga membentuk empat persegi panjang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO

PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Aljabar Linear Elementer

Aljabar Linear Elementer BAB I RUANG VEKTOR Pada kuliah Aljabar Matriks kita telah mendiskusikan struktur ruang R 2 dan R 3 beserta semua konsep yang terkait. Pada bab ini kita akan membicarakan struktur yang merupakan bentuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Sebagai acuan penulisan penelitian ini diperlukan beberapa pengertian dan teori yang berkaitan dengan pembahasan. Dalam sub bab ini akan diberikan beberapa landasan teori berupa pengertian,

Lebih terperinci

EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN FAKTORISASI LB RUDIANSYAH

EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN FAKTORISASI LB RUDIANSYAH EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN FAKTORISASI LB RUDIANSYAH DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK RUDIANSYAH. Evaluasi

Lebih terperinci

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas Semester Genap 2013/2014 1 Mahdhivan Syafwan Metode Numerik: Sistem Persamaan Linier

Lebih terperinci

EKSPLORASI MASALAH LOGARITMA DISKRET PADA FINITE FIELD ( ) Y A N A

EKSPLORASI MASALAH LOGARITMA DISKRET PADA FINITE FIELD ( ) Y A N A EKSPLORASI MASALAH LOGARITMA DISKRET PADA FINITE FIELD ( ) Y A N A SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

(Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, / 66

(Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, / 66 MATRIKS Departemen Matematika FMIPA-IPB Bogor, 2012 (Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, 2012 1 / 66 Topik Bahasan 1 Matriks 2 Operasi Matriks 3 Determinan matriks 4 Matriks Invers 5 Operasi

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dijelaskan hal-hal yang berhubungan dengan masalah dan bagaimana mengeksplorasinya dengan logaritma diskret pada menggunakan algoritme Exhaustive Search Baby-Step

Lebih terperinci

Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung 2004

Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung 2004 Bahan Kuliah ke-16 IF5054 Kriptografi Algoritma Knapsack Disusun oleh: Ir. Rinaldi Munir, M.T. Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung 2004 Rinaldi Munir - IF5054 Kriptografi 1 16. Algoritma

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Formulasi Masalah Sejauh ini telah diperkenalkan bahwa terdapat tiga parameter yang terkait dengan konstruksi suatu kode, yaitu panjang, dimensi, dan jarak minimum. Jika C adalah

Lebih terperinci

PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN DARI MATRIKS TRIDIAGONAL 2-TOEPLITZ DENGAN PENDEKATAN POLINOMIAL CHEBYSHEV MELIZA DITA UTAMI

PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN DARI MATRIKS TRIDIAGONAL 2-TOEPLITZ DENGAN PENDEKATAN POLINOMIAL CHEBYSHEV MELIZA DITA UTAMI PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN DARI MATRIKS TRIDIAGONAL 2-TOEPLITZ DENGAN PENDEKATAN POLINOMIAL CHEBYSHEV MELIZA DITA UTAMI DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

REGRESI KEKAR SIMPANGAN MUTLAK TERKECIL DENGAN MODIFIKASI SIMPLEKS MUHAMMAD YUSUF DWIHARJANGGI

REGRESI KEKAR SIMPANGAN MUTLAK TERKECIL DENGAN MODIFIKASI SIMPLEKS MUHAMMAD YUSUF DWIHARJANGGI REGRESI KEKAR SIMPANGAN MUTLAK TERKECIL DENGAN MODIFIKASI SIMPLEKS MUHAMMAD YUSUF DWIHARJANGGI DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRAK

Lebih terperinci

ALJABAR LINEAR ELEMENTER

ALJABAR LINEAR ELEMENTER BAHAN AJAR ALJABAR LINEAR ELEMENTER Disusun oleh : Indah Emilia Wijayanti Al. Sutjijana Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada Desember, 22 ii Daftar Isi Sistem Persamaan Linear dan Matriks.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dituliskan beberapa aspek teoritis berupa definisi teorema sifat-sifat yang berhubungan dengan teori bilangan integer modulo aljabar abstrak masalah logaritma diskret

Lebih terperinci

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd Qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg

Lebih terperinci

SOLUSI PENDEKATAN TERBAIK SISTEM PERSAMAAN LINEAR TAK KONSISTEN MENGGUNAKAN DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR

SOLUSI PENDEKATAN TERBAIK SISTEM PERSAMAAN LINEAR TAK KONSISTEN MENGGUNAKAN DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR Buletin Ilmiah Math. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 03, No. 1 (2014), hal 91 98. SOLUSI PENDEKATAN TERBAIK SISTEM PERSAMAAN LINEAR TAK KONSISTEN MENGGUNAKAN DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR Febrianti,

Lebih terperinci

Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3

Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3 Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3 Kuliah Aljabar Linier Semester Ganjil 2015-2016 MZI Fakultas Informatika Telkom University FIF Tel-U September 2015 MZI (FIF Tel-U) Ruang Vektor R 2 dan R 3 September 2015

Lebih terperinci

BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN

BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN Pada bab 1 ini akan dibahas definisi kode, khususnya kode linier atas dan pencacah bobot Hammingnya. Di samping itu, akan dijelaskanan invarian, ring invarian dan

Lebih terperinci

7. NILAI-NILAI VEKTOR EIGEN. Nilai Eigen dan Vektor Eigen Diagonalisasi Diagonalisasi Ortogonal

7. NILAI-NILAI VEKTOR EIGEN. Nilai Eigen dan Vektor Eigen Diagonalisasi Diagonalisasi Ortogonal 7. NILAI-NILAI VEKTOR EIGEN Nilai Eigen dan Vektor Eigen Diagonalisasi Diagonalisasi Ortogonal Nilai Eigen, Vektor Eigen Diketahui A matriks nxn dan x adalah suatu vektor pada R n, maka biasanya tdk ada

Lebih terperinci

KONSTRUKSI ALGORITME FUNGSI HASH HLI RACHMAWATI DWI ESTUNINGSIH

KONSTRUKSI ALGORITME FUNGSI HASH HLI RACHMAWATI DWI ESTUNINGSIH KONSTRUKSI ALGORITME FUNGSI HASH HLI RACHMAWATI DWI ESTUNINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan

Lebih terperinci

SUMMARY ALJABAR LINEAR

SUMMARY ALJABAR LINEAR SUMMARY ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2010 2 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta

Lebih terperinci

8 MATRIKS DAN DETERMINAN

8 MATRIKS DAN DETERMINAN 8 MATRIKS DAN DETERMINAN Matriks merupakan pengembangan lebih lanjut dari sistem persamaan linear. Oleh karenanya aljabar matriks sering juga disebut dengan aljabar linear. Matriks dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

MODUL ALJABAR LINEAR 1 Disusun oleh, ASTRI FITRIA NUR ANI

MODUL ALJABAR LINEAR 1 Disusun oleh, ASTRI FITRIA NUR ANI 214 MODUL ALJABAR LINEAR 1 Disusun oleh, ASTRI FITRIA NUR ANI Astri Fitria Nur ani Aljabar Linear 1 1/1/214 1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i BAB I MATRIKS DAN SISTEM PERSAMAAN A. Pendahuluan... 1 B. Aljabar

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konstruksi Algoritme Aritmetik (5 ) Dengan Operasi Dibangkitkan Dari Sifat Grup siklik adalah karya saya dengan arahan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH PENGIRIMAN PAKET KILAT UNTUK JENIS NEXT-DAY SERVICE DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PEMBANGKITAN KOLOM. Oleh: WULAN ANGGRAENI G

PENYELESAIAN MASALAH PENGIRIMAN PAKET KILAT UNTUK JENIS NEXT-DAY SERVICE DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PEMBANGKITAN KOLOM. Oleh: WULAN ANGGRAENI G PENYELESAIAN MASALAH PENGIRIMAN PAKET KILAT UNTUK JENIS NEXT-DAY SERVICE DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PEMBANGKITAN KOLOM Oleh: WULAN ANGGRAENI G54101038 PROGRAM STUDI MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS

DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS Buletin Ilmiah Mat Stat dan Terapannya (Bimaster) Volume 04, No 3 (2015), hal 337-346 DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS Heronimus Hengki, Helmi, Mariatul Kiftiah INTISARI Matriks kompleks merupakan matriks

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai matriks (meliputi definisi matriks, operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas aljabar max-plus, dan penyelesaian

Lebih terperinci

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT Herry P. Suryawan 1 Geometri Ruang Hilbert Definisi 1.1 Ruang vektor kompleks V disebut ruang hasilkali dalam jika ada fungsi (.,.) : V V C sehingga untuk setiap x, y, z

Lebih terperinci

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR TIM DOSEN 5 Ruang Vektor Ruang Vektor Sub Pokok Bahasan Ruang Vektor Umum Subruang Basis dan Dimensi Beberapa Aplikasi Ruang Vektor Beberapa metode optimasi Sistem Kontrol

Lebih terperinci

SISTEM PERSAMAAN LINEAR ( BAGIAN II )

SISTEM PERSAMAAN LINEAR ( BAGIAN II ) SISTEM PERSAMAAN LINEAR ( BAGIAN II ) D. FAKTORISASI MATRIKS D2 2. METODE ITERASI UNTUK MENYELESAIKAN SPL D3 3. NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN D4 4. POWER METHOD Beserta contoh soal untuk setiap subbab 2

Lebih terperinci

Ruang Vektor Euclid R n

Ruang Vektor Euclid R n Ruang Vektor Euclid R n Kuliah Aljabar Linier Semester Ganjil 2015-2016 MZI Fakultas Informatika Telkom University FIF Tel-U Oktober 2015 MZI (FIF Tel-U) Ruang Vektor R n Oktober 2015 1 / 38 Acknowledgements

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Biplot Biasa

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Biplot Biasa TINJAUAN PUSTAKA Analisis Biplot Biasa Analisis biplot merupakan suatu upaya untuk memberikan peragaan grafik dari matriks data dalam suatu plot dengan menumpangtindihkan vektor-vektor dalam ruang berdimensi

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO

PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan.

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan. 2. Grup Definisi 1.3 Suatu grup < G, > adalah himpunan tak-kosong G bersama-sama dengan operasi biner pada G sehingga memenuhi aksioma- aksioma berikut: a. operasi biner bersifat asosiatif, yaitu a, b,

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Puji syukur kehadirat Yang Maha Kuasa yang telah memberikan pertolongan hingga modul ajar ini dapat terselesaikan.

Kata Pengantar. Puji syukur kehadirat Yang Maha Kuasa yang telah memberikan pertolongan hingga modul ajar ini dapat terselesaikan. i Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Yang Maha Kuasa yang telah memberikan pertolongan hingga modul ajar ini dapat terselesaikan. Modul ajar ini dimaksudkan untuk membantu penyelenggaraan kuliah jarak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk mencapai tujuan penulisan penelitian diperlukan beberapa pengertian dan teori yang berkaitan dengan pembahasan. Dalam subbab ini akan diberikan beberapa teori berupa definisi,

Lebih terperinci

MATRIKS PASCAL DAN SIFAT-SIFATNYA YOGIE BUDHI RANTUNG

MATRIKS PASCAL DAN SIFAT-SIFATNYA YOGIE BUDHI RANTUNG MATRIKS PASCAL DAN SIFAT-SIFATNYA YOGIE BUDHI RANTUNG DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Aljabar Linear dan Matriks (Persamaan Linear dan Vektor) Instruktur : Ferry Wahyu Wibowo, S.Si., M.Cs.

Aljabar Linear dan Matriks (Persamaan Linear dan Vektor) Instruktur : Ferry Wahyu Wibowo, S.Si., M.Cs. Aljabar Linear dan Matriks (Persamaan Linear dan Vektor) Instruktur : Ferry Wahyu Wibowo, S.Si., M.Cs. . Matriks dan Sistem Persamaan Linear Definisi Persamaan dalam variabel dan y dapat ditulis dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Matriks 1. Pengertian Matriks Definisi II.A.1 Matriks didefinisikan sebagai susunan persegi panjang dari bilangan-bilangan yang diatur dalam baris dan kolom. Contoh II.A.1: 9 5

Lebih terperinci

MATEMATIKA INFORMATIKA 2 TEKNIK INFORMATIKA UNIVERSITAS GUNADARMA FENI ANDRIANI

MATEMATIKA INFORMATIKA 2 TEKNIK INFORMATIKA UNIVERSITAS GUNADARMA FENI ANDRIANI MATEMATIKA INFORMATIKA 2 TEKNIK INFORMATIKA UNIVERSITAS GUNADARMA FENI ANDRIANI SAP (1) Buku : Suryadi H.S. 1991, Pengantar Aljabar dan Geometri analitik Vektor Definisi, Notasi, dan Operasi Vektor Susunan

Lebih terperinci

Ruang Baris, Ruang Kolom, dan Ruang Null (Kernel)

Ruang Baris, Ruang Kolom, dan Ruang Null (Kernel) Ruang Baris, Ruang Kolom, dan Ruang Null (Kernel) Kuliah Aljabar Linier Semester Ganjil 2015-2016 MZI Fakultas Informatika Telkom University FIF Tel-U November 2015 MZI (FIF Tel-U) Ruang Baris, Kolom,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Dalam bab ini akan diberikan beberapa materi yang akan diperlukan di dalam pembahasan, seperti: matriks secara umum; matriks yang dipartisi; matriks tereduksi dan taktereduksi; matriks

Lebih terperinci

PREDIKSI JANGKA PANJANG DARI PROSES POISSON SIKLIK DENGAN FUNGSI INTENSITAS GLOBAL DIKETAHUI AGUSTINA MARGARETHA

PREDIKSI JANGKA PANJANG DARI PROSES POISSON SIKLIK DENGAN FUNGSI INTENSITAS GLOBAL DIKETAHUI AGUSTINA MARGARETHA PREDIKSI JANGKA PANJANG DARI PROSES POISSON SIKLIK DENGAN FUNGSI INTENSITAS GLOBAL DIKETAHUI AGUSTINA MARGARETHA DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada BAB IV ini dibahas tentang permasalahan sebagai berikut: Kajian Teori yang digunakan dalam penelitian, Membahas Aritmetik Aljabar Matriks, Program-program Aritmetik Aljabar

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN UNIVERSITAS GUNADARMA

SATUAN ACARA PERKULIAHAN UNIVERSITAS GUNADARMA Mata Kuliah : Matematika Diskrit 2 Kode / SKS : IT02 / 3 SKS Program Studi : Sistem Komputer Fakultas : Ilmu Komputer & Teknologi Informasi. Pendahuluan 2. Vektor.. Pengantar mata kuliah aljabar linier.

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konstruksi Algoritme Aritmetik (5 ) Dengan Operasi Dibangkitkan Dari Sifat Grup siklik adalah karya saya dengan arahan

Lebih terperinci

SUBRUANG VEKTOR. Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Aljabar Linier. Dosen Pembimbing: Abdul Aziz Saefudin, M.Pd

SUBRUANG VEKTOR. Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Aljabar Linier. Dosen Pembimbing: Abdul Aziz Saefudin, M.Pd SUBRUANG VEKTOR Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Aljabar Linier Dosen Pembimbing: Abdul Aziz Saefudin, M.Pd Disusun Oleh : Kelompok 6/ III A4 1. Nina Octaviani Nugraheni 14144100115 2. Emi Suryani 14144100126

Lebih terperinci

Bab 4 RUANG VEKTOR. 4.1 Ruang Vektor

Bab 4 RUANG VEKTOR. 4.1 Ruang Vektor Bab RUANG VEKTOR. Ruang Vektor DEFINISI.. Suatu ruang vektor (V, +,, F) atas field (F, +), ditulis singkat V(F), adalah suatu himpunan tak kosong V dengan elemenelemennya disebut vektor, yang dilengkapi

Lebih terperinci

Trihastuti Agustinah

Trihastuti Agustinah TE 467 Teknik Numerik Sistem Linear Trihastuti Agustinah Bidang Studi Teknik Sistem Pengaturan Jurusan Teknik Elektro - FTI Institut Teknologi Sepuluh Nopember O U T L I N E OBJEKTIF 2 3 CONTOH 4 SIMPULAN

Lebih terperinci

MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM

MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM MODEL MANGSA PEMANGSA DENGAN RESPON FUNGSIONAL TAK MONOTON RIDWAN IDHAM DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRAK RIDWAN IDHAM. Model

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bagian ini diterangkan materi yang berkaitan dengan penelitian, diantaranya konsep

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bagian ini diterangkan materi yang berkaitan dengan penelitian, diantaranya konsep II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini diterangkan materi yang berkaitan dengan penelitian, diantaranya konsep bilangan bulat, bilangan prima,modular, dan kekongruenan. 2.1 Bilangan Bulat Sifat Pembagian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas konsep-konsep yang mendasari konsep representasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas konsep-konsep yang mendasari konsep representasi 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas konsep-konsep yang mendasari konsep representasi penjumlahan dua bilangan kuadrat sempurna. Seperti, teori keterbagian bilangan bulat, bilangan prima, kongruensi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Matriks 1. Pengertian Matriks Definisi II. A. 1 Matriks didefinisikan sebagai susunan segi empat siku- siku dari bilangan- bilangan yang diatur dalam baris dan kolom (Anton, 1987:22).

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI SANDI HILL UNTUK PENYANDIAN CITRA

IMPLEMENTASI SANDI HILL UNTUK PENYANDIAN CITRA IMLEMENTASI SANDI HILL UNTUK PENYANDIAN CITRA (J.J. Siang, et al.) IMPLEMENTASI SANDI HILL UNTUK PENYANDIAN CITRA J. J. Siang Program Studi Ilmu Komputer, Fakultas MIPA, Universitas Kristen Immanuel Yogyakarta

Lebih terperinci

MASALAH PENJADWALAN KERETA SECARA PERIODIK DENGAN BIAYA MINIMUM PADA JALUR GANDA MUHAMMAD RIZQY HIDAYATSYAH

MASALAH PENJADWALAN KERETA SECARA PERIODIK DENGAN BIAYA MINIMUM PADA JALUR GANDA MUHAMMAD RIZQY HIDAYATSYAH MASALAH PENJADWALAN KERETA SECARA PERIODIK DENGAN BIAYA MINIMUM PADA JALUR GANDA MUHAMMAD RIZQY HIDAYATSYAH DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses

TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses penelitian untuk penyelesaian persamaan Diophantine dengan relasi kongruensi modulo m mengenai aljabar dan

Lebih terperinci

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas Semester Genap 2016/2017 1 Mahdhivan Syafwan Metode Numerik: Sistem Persamaan Linier

Lebih terperinci

Matriks - 1: Beberapa Definisi Dasar Latihan Aljabar Matriks

Matriks - 1: Beberapa Definisi Dasar Latihan Aljabar Matriks Matriks - 1: Beberapa Definisi Dasar Latihan Aljabar Matriks Kuliah Aljabar Linier Semester Ganjil 2015-2016 MZI Fakultas Informatika Telkom University FIF Tel-U Agustus 2015 MZI (FIF Tel-U) Matriks -

Lebih terperinci

Suatu himpunan tak kosong F dengan operasi penjumlahan dan perkalian, dikatakan sebagai field jika untuk setiap,, memenuhi sifat-sifat berikut:

Suatu himpunan tak kosong F dengan operasi penjumlahan dan perkalian, dikatakan sebagai field jika untuk setiap,, memenuhi sifat-sifat berikut: Bagian 5. RUANG VEKTOR 5.1 Lapangan (Field) Suatu himpunan tak kosong F dengan operasi penjumlahan dan perkalian, dikatakan sebagai field jika untuk setiap,, memenuhi sifat-sifat berikut: 1. dan 2., 3.,

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Formulasi masalah Misalkan C [ n,k,d ] adalah kode linear biner yang mempunyai panjang n, berdimensi k dan jarak minimum d. kode C dikatakan baik jika n kecil, k besar

Lebih terperinci

KAJIAN MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINEAR WAKTU DISKRIT

KAJIAN MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINEAR WAKTU DISKRIT KAJIAN MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINEAR WAKTU DISKRIT Nama Mahasiswa : Aprilliantiwi NRP : 1207100064 Jurusan : Matematika Dosen Pembimbing : 1 Soleha, SSi, MSi 2 Dian Winda Setyawati,

Lebih terperinci

Aljabar Linier Elementer

Aljabar Linier Elementer Aljabar Linier Elementer Kuliah 15 dan 16 11/11/2014 1 Materi Kuliah Kebebasan Linier Basis dan Dimensi 11/11/2014 Yanita, Matematika Unand 2 5.3 Kebebasan Linier Definisi Jika S = v 1, v 2,, v r adalah

Lebih terperinci

Aljabar Matriks. Aljabar Matriks

Aljabar Matriks. Aljabar Matriks Aljabar Matriks No No Unit Unit Kompetensi 1 Menerapkan keamanan web dinamis 2 Membuat halaman web dinamis dasar 3 Membuat halaman web dinamis lanjut 4 Menerapkan web hosting 5 Menerapkan konten web memenuhi

Lebih terperinci

MODUL IV SISTEM PERSAMAAN LINEAR

MODUL IV SISTEM PERSAMAAN LINEAR MODUL IV SISTEM PERSAMAAN LINEAR 4.. Pendahuluan. Sistem Persamaan Linear merupakan salah satu topik penting dalam Aljabar Linear. Sistem Persamaan Linear sering dijumpai dalam semua bidang penyelidikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LANDASAN ANALISIS

PENDAHULUAN LANDASAN ANALISIS 10 PENDAHULUAN Latar Belakang Biplot merupakan metode eksplorasi analisis data peubah ganda yang dapat memberikan gambaran secara grafik tentang kedekatan antar objek, keragaman peubah, korelasi antar

Lebih terperinci

BAB II DETERMINAN DAN INVERS MATRIKS

BAB II DETERMINAN DAN INVERS MATRIKS BAB II DETERMINAN DAN INVERS MATRIKS A. OPERASI ELEMENTER TERHADAP BARIS DAN KOLOM SUATU MATRIKS Matriks A = berdimensi mxn dapat dibentuk matriks baru dengan menggandakan perubahan bentuk baris dan/atau

Lebih terperinci

R. Rosnawati Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

R. Rosnawati Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY R. Rosnawati Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Induksi Matematika Induksi matematika adalah : Salah satu metode pembuktian untuk proposisi perihal bilangan bulat Induksi matematika merupakan teknik

Lebih terperinci

BAB III PEREDUKSIAN RUANG INDIVIDU DENGAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA. Analisis komponen utama adalah metode statistika multivariat yang

BAB III PEREDUKSIAN RUANG INDIVIDU DENGAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA. Analisis komponen utama adalah metode statistika multivariat yang BAB III PEREDUKSIAN RUANG INDIVIDU DENGAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA Analisis komponen utama adalah metode statistika multivariat yang bertujuan untuk mereduksi dimensi data dengan membentuk kombinasi linear

Lebih terperinci

BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT. Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi

BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT. Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT 3.1 Operator linear Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi real yaitu suatu fungsi dari ruang vektor ke ruang vektor. Ruang

Lebih terperinci

BAB II MATRIKS POSITIF. Pada bab ini akan dibahas mengenai Teorema Perron, yaitu teori hasil kontribusi

BAB II MATRIKS POSITIF. Pada bab ini akan dibahas mengenai Teorema Perron, yaitu teori hasil kontribusi BAB II MATRIKS POSITIF Pada bab ini akan dibahas mengenai Teorema Perron, yaitu teori hasil kontribusi dari seorang matematikawan German, Oskar Perron. Perron menerbitkan tulisannya tentang sifat-sifat

Lebih terperinci

Kode, GSR, dan Operasi Pada

Kode, GSR, dan Operasi Pada BAB 2 Kode, GSR, dan Operasi Pada Graf 2.1 Ruang Vektor Atas F 2 Ruang vektor V atas lapangan hingga F 2 = {0, 1} adalah suatu himpunan V yang berisi vektor-vektor, termasuk vektor nol, bersama dengan

Lebih terperinci

PENGKONSTRUKSIAN BILANGAN TIDAK KONGRUEN

PENGKONSTRUKSIAN BILANGAN TIDAK KONGRUEN Jurnal Matematika UNAND Vol. 2 No. 4 Hal. 27 33 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND PENGKONSTRUKSIAN BILANGAN TIDAK KONGRUEN RATI MAYANG SARI Program Studi Matematika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

III RELAKSASI LAGRANGE

III RELAKSASI LAGRANGE III RELAKSASI LAGRANGE Relaksasi Lagrange merupakan salah satu metode yang terus dikembangkan dalam aplikasi pemrograman matematik. Sebagian besar konsep teoretis dari banyak aplikasi menggunakan metode

Lebih terperinci

ALGORITMA ELIMINASI GAUSS INTERVAL DALAM MENDAPATKAN NILAI DETERMINAN MATRIKS INTERVAL DAN MENCARI SOLUSI SISTEM PERSAMAAN INTERVAL LINEAR

ALGORITMA ELIMINASI GAUSS INTERVAL DALAM MENDAPATKAN NILAI DETERMINAN MATRIKS INTERVAL DAN MENCARI SOLUSI SISTEM PERSAMAAN INTERVAL LINEAR Buletin Ilmiah Math. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 04, No. 3 (2015), hal 313 322. ALGORITMA ELIMINASI GAUSS INTERVAL DALAM MENDAPATKAN NILAI DETERMINAN MATRIKS INTERVAL DAN MENCARI SOLUSI SISTEM

Lebih terperinci

Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE Row Space, Column Space, Nullspace 5.6. Rank & Nullity

Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE Row Space, Column Space, Nullspace 5.6. Rank & Nullity Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE 5.5. Row Space, Column Space, Nullspace 5.6. Rank & Nullity 5.5. Row Space, Column Space, Nullspace Vektor-Vektor Baris & Kolom Vektor baris A (dalam R n ) Vektor kolom A

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang

BAB II KAJIAN TEORI. definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang BAB II KAJIAN TEORI Pada Bab II ini berisi kajian teori. Di bab ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang mendasari teori kode BCH. A. Grup

Lebih terperinci

MODUL V EIGENVALUE DAN EIGENVEKTOR

MODUL V EIGENVALUE DAN EIGENVEKTOR MODUL V EIGENVALUE DAN EIGENVEKTOR 5.. Pendahuluan Biasanya jika suatu matriks A berukuran mm dan suatu vektor pada R m, tidak ada hubungan antara vektor dan vektor A. Tetapi seringkali kita menemukan

Lebih terperinci

Aljabar Linear. & Matriks. Evangs Mailoa. Pert. 5

Aljabar Linear. & Matriks. Evangs Mailoa. Pert. 5 Aljabar Linear & Matriks Pert. 5 Evangs Mailoa Pengantar Determinan Menurut teorema 1.4.3, matriks 2 x 2 dapat dibalik jika ad bc 0. Pernyataan ad bc disebut sebagai determinan (determinant) dari matriks

Lebih terperinci

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Analisis Fungsional Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Lingkup Materi Ruang Metrik dan Ruang Topologi Kelengkapan Ruang Banach Ruang Hilbert

Lebih terperinci

6 Sistem Persamaan Linear

6 Sistem Persamaan Linear 6 Sistem Persamaan Linear Pada bab, kita diminta untuk mencari suatu nilai x yang memenuhi persamaan f(x) = 0. Pada bab ini, masalah tersebut diperumum dengan mencari x = (x, x,..., x n ) yang secara sekaligus

Lebih terperinci

Part II SPL Homogen Matriks

Part II SPL Homogen Matriks Part II SPL Homogen Matriks SPL Homogen Bentuk Umum SPL homogen dalam m persamaan dan n variabel x 1, x 2,, x n : a 11 x 1 + a 12 x 2 + + a 1n x n = 0 a 21 x 1 + a 22 x 2 + + a 2n x n = 0 a m1 x 1 + a

Lebih terperinci

PENJADWALAN MATA KULIAH MENGGUNAKAN INTEGER NONLINEAR PROGRAMMING Studi Kasus di Bina Sarana Informatika Bogor ERLIYANA

PENJADWALAN MATA KULIAH MENGGUNAKAN INTEGER NONLINEAR PROGRAMMING Studi Kasus di Bina Sarana Informatika Bogor ERLIYANA PENJADWALAN MATA KULIAH MENGGUNAKAN INTEGER NONLINEAR PROGRAMMING Studi Kasus di Bina Sarana Informatika Bogor ERLIYANA DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Aplikasi Aljabar Lanjar untuk Penyelesaian Persoalan Kriptografi dengan Hill Cipher

Aplikasi Aljabar Lanjar untuk Penyelesaian Persoalan Kriptografi dengan Hill Cipher Aplikasi Aljabar Lanjar untuk Penyelesaian Persoalan Kriptografi dengan Hill Cipher Nursyahrina - 13513060 Program Studi Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Jl.

Lebih terperinci

Pengolahan Dasar Matriks Bagus Sartono

Pengolahan Dasar Matriks Bagus Sartono Pengolahan Dasar Matriks Bagus Sartono bagusco@gmail.com Departemen Statistika FMIPA IPB Notasi Dasar Matriks A mxn, m A n, [a ij ] mxn : matriks berukuran m x n (m baris, n kolom) a ij adalah elemen matriks

Lebih terperinci

Determinan. Untuk menghitung determinan ordo n terlebih dahulu diberikan cara menghitung determinan ordo 2

Determinan. Untuk menghitung determinan ordo n terlebih dahulu diberikan cara menghitung determinan ordo 2 Determinan Determinan Setiap matriks bujur sangkar A yang berukuran (nxn) dapat dikaitkan dengan suatu skalar yang disebut determinan matriks tersebut dan ditulis dengan det(a) atau A. Untuk menghitung

Lebih terperinci

ALJABAR LINIER DAN MATRIKS

ALJABAR LINIER DAN MATRIKS ALJABAR LINIER DAN MATRIKS MATRIKS (DETERMINAN, INVERS, TRANSPOSE) Macam Matriks Matriks Nol (0) Matriks yang semua entrinya nol. Ex: Matriks Identitas (I) Matriks persegi dengan entri pada diagonal utamanya

Lebih terperinci

DIAGONALISASI MATRIKS HILBERT

DIAGONALISASI MATRIKS HILBERT Jurnal UJMC, Volume 3, Nomor 2, Hal 7-24 pissn : 2460-3333 eissn : 2579-907X DIAGONALISASI MATRIKS HILBERT Randhi N Darmawan Universitas PGRI Banyuwangi, randhinumeric@gmailcom Abstract The Hilbert matrix

Lebih terperinci

RUANG VEKTOR. Nurdinintya Athari (NDT)

RUANG VEKTOR. Nurdinintya Athari (NDT) 1 RUANG VEKTOR Nurdinintya Athari (NDT) RUANG VEKTOR Sub Pokok Bahasan Ruang Vektor Umum Subruang Basis dan Dimensi Basis Subruang Beberapa Aplikasi Ruang Vektor Beberapa metode optimasi Sistem kontrol

Lebih terperinci

Teori Bilangan (Number Theory)

Teori Bilangan (Number Theory) Bahan Kuliah ke-3 IF5054 Kriptografi Teori Bilangan (Number Theory) Disusun oleh: Ir. Rinaldi Munir, M.T. Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung 2004 3. Teori Bilangan Teori bilangan

Lebih terperinci

Matematika Teknik I: Matriks, Inverse, dan Determinan. Oleh: Dadang Amir Hamzah STT DR. KHEZ MUTTAQIEN 2015

Matematika Teknik I: Matriks, Inverse, dan Determinan. Oleh: Dadang Amir Hamzah STT DR. KHEZ MUTTAQIEN 2015 Matematika Teknik I: Matriks, Inverse, dan Determinan Oleh: Dadang Amir Hamzah STT DR. KHEZ MUTTAQIEN 2015 Dadang Amir Hamzah (STT) Matematika Teknik I Semester 3, 2015 1 / 33 Outline 1 Matriks Dadang

Lebih terperinci

Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian

Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian Rio Yohanes 1, Nora Hariadi 2, Kiki Ariyanti Sugeng 3 Departemen Matematika, FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia rio.yohanes@sci.ui.ac.id,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE ITERASI VARIASI UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH OSILASI BERPASANGAN SANTI SUSILAWATI

PENGGUNAAN METODE ITERASI VARIASI UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH OSILASI BERPASANGAN SANTI SUSILAWATI PENGGUNAAN METODE ITERASI VARIASI UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH OSILASI BERPASANGAN SANTI SUSILAWATI DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Lebih terperinci

Modul 2.2 Matriks dan Sistem Persamaan Linear (Topik 3) A. Pendahuluan Matriks dan Sistem Persamaan Linear

Modul 2.2 Matriks dan Sistem Persamaan Linear (Topik 3) A. Pendahuluan Matriks dan Sistem Persamaan Linear Modul 2.2 Matriks dan Sistem Persamaan Linear (Topik 3) A. Pendahuluan Salah satu kajian matematika sekolah menengah yang memiliki banyak aplikasinya dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dalam kehidupan

Lebih terperinci

MENENTUKAN PERPANGKATAN MATRIKS TANPA MENGGUNAKAN EIGENVALUE

MENENTUKAN PERPANGKATAN MATRIKS TANPA MENGGUNAKAN EIGENVALUE MENENTUKAN PERPANGKATAN MATRIKS TANPA MENGGUNAKAN EIGENVALUE Rini Pratiwi 1*, Rolan Pane 2, Asli Sirait 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Matematika 2 Dosen Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

ALJABAR LINEAR BASIS RUANG BARIS DAN BASIS RUANG KOLOM SEBUAH MATRIKS. Dosen Pengampu: DARMADI, S.Si, M.Pd. Oleh: Kelompok III

ALJABAR LINEAR BASIS RUANG BARIS DAN BASIS RUANG KOLOM SEBUAH MATRIKS. Dosen Pengampu: DARMADI, S.Si, M.Pd. Oleh: Kelompok III ALJABAR LINEAR BASIS RUANG BARIS DAN BASIS RUANG KOLOM SEBUAH MATRIKS Dosen Pengampu: DARMADI, SSi, MPd Oleh: Kelompok III 1 Andik Dwi S (06411008) 2 Indah Kurniawati (06411090) 3 Mahfuat M (06411104)

Lebih terperinci

5. Sifat Kelengkapan Bilangan Real

5. Sifat Kelengkapan Bilangan Real 5. Sifat Kelengkapan Bilangan Real Sifat aljabar dan sifat urutan bilangan real telah dibahas sebelumnya. Selanjutnya, akan dijelaskan sifat kelengkapan bilangan real. Bilangan rasional ℚ juga memenuhi

Lebih terperinci

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR MUHG3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR TIM DOSEN Determinan Matriks Determinan Matriks Sub Pokok Bahasan Permutasi dan Determinan Matriks Determinan dengan OBE Determinan dengan Ekspansi Kofaktor Beberapa Aplikasi

Lebih terperinci

DIKTAT PERKULIAHAN. EDISI 1 Aljabar Linear dan Matriks

DIKTAT PERKULIAHAN. EDISI 1 Aljabar Linear dan Matriks DIKTAT PERKULIAHAN EDISI 1 Aljabar Linear dan Matriks Penulis : Ednawati Rainarli, M.Si. Kania Evita Dewi, M.Si. JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG 011 IF/011 1 DAFTAR ISI

Lebih terperinci