KONSTRUKSI ALGORITME GREEDY SVP LLL SAIFUL KHAIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSTRUKSI ALGORITME GREEDY SVP LLL SAIFUL KHAIR"

Transkripsi

1 KONSTRUKSI ALGORITME GREEDY SVP LLL SAIFUL KHAIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konstruksi Algoritme Greedy SVP LLL adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Saiful Khair NIM G

4 RINGKASAN SAIFUL KHAIR. Konstruksi Algoritme Greedy SVP LLL. Dibimbing oleh SUGI GURITMAN dan BIB PARUHUM SILALAHI. Latis merupakan himpunan semua kombinasi linier bilangan bulat dari himpunan vektor yang bebas linier dalam ruang R n. Vektor yang bebas linier tersebut disebut basis dari latis. Sebarang latis dapat dibangkitkan dari banyak basis, dan basis-basis tersebut memiliki kardinalitas yang sama. Masalah yang paling mendasar dan terkenal di dalam latis adalah masalah vektor terpendek (Shortest Vector Problem/SVP). SVP merupakan masalah pelacakan vektor terpendek dalam suatu latis dengan basis yang ekivalen. Dalam dimensi dua, masalah SVP telah terselesaikan secara optimal dengan menggunakan algoritme Gauss. Untuk dimensi lebih dari dua, H. W. Lenstra, L. Lenstra, dan L. Lovasz mengusulkan algoritme LLL untuk menghitung aproksimasi dari vektor terpendek dalam latis tersebut. Solusi basis tereduksi yang diperoleh dari algoritme LLL masih merupakan hampiran dan memiliki waktu eksekusi (running time) polinomial untuk sebarang dimensi yang cukup besar. Pada tahun 1994, Schnoor dan Euchner membuat varian baru dari algoritme LLL yang dinamakan algoritme LLL penyisipan dalam. Algoritme ini merupakan hasil modifikasi dari algoritme LLL pada syarat penukaran untuk meningkatkan ketepatan output basis tereduksi LLL dan mengaplikasikannya pada masalah penjumlahan subhimpunan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Merekonstruksi algoritme LLL dan algoritme LLL penyisipan dalam dengan menggunakan pendekatan geometrik. (2) Konstruksi algoritme greedy SVP LLL. (3) Mengimplementasikan ketiga algoritme dalam bahasa pemrograman simbolik, dan melakukan perbandingan secara eksperimental. Suatu basis B = [b 1, b 2,, b n ] dalam R m disebut tereduksi LLL dengan parameter δ jika memenuhi: (a) μ ji 1, untuk setiap bilangan bulat i, j dengan 2 1 i < j < n. (b) δ π j (b j ) 2 π j (b j+1 ) 2, untuk j = 1, 2,, n 1, dimana δ merupakan parameter reduksi yang bernilai real dengan 1 < δ < 1. Syarat 4 pertama adalah basis tereduksi δ hampir ortogonal dan dalam komputasinya syarat ini dapat dicapai dengan menggunakan ortogonalisasi Gram-Schmidt. Sedangkan pada syarat kedua disebut syarat penukaran, atau disebut juga kondisi Lovasz. Dengan menggunakan kedua syarat ini, dibentuklah algoritme LLL. Kemudian, Schnoor dan Euchner memodifikasi algoritme LLL pada syarat penukaran yang disebut dengan algoritme LLL penyisipan dalam, dimana syarat penukaran didasarkan pada perbandingan vektor proyeksi latis pada pada komplemen ortogonal [b 1, b 2,, b k 1 ] setelah reduksi ke-j. Untuk konstruksi algoritme greedy SVP LLL, syarat penukarannya adalah membandingkan secara murni panjang vektor latis b j dengan vektor latis b i untuk i = 1,2,, j 1. Proses penyisipan vektor hasil reduksi setelah terjadi penukaran juga dilakukan dengan metode greedy. Kemudian, dihitung banyaknya operasi aritmetik yang terlibat dalam algoritme greedy SVP LLL untuk analisis lebih lanjut.

5 Hasil pengujian eksperimental ketiga algoritme pada ukuran matriks tertentu menunjukkan bahwa dengan meningkatnya ukuran matriks, waktu eksekusi ketiga program mengalami peningkatan. Hasil perbandingan secara eksperimental juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan δ = 3 untuk algoritme LLL dan 4 Algoritme LLL penyisipan dalam, serta algoritme greedy SVP LLL yang merupakan varian baru yang telah dibuat tanpa menggunakan parameter δ, mengungguli dua algoritme lain dalam segi kecepatan dengan output yang sama. Kata kunci: algoritme LLL, algoritme LLL penyisipan dalam, algoritme greedy SVP LLL

6 SUMMARY SAIFUL KHAIR. The Construction of Greedy SVP LLL Algorithm. Supervised by SUGI GURITMAN and BIB PARUHUM SILALAHI. A lattice is a set of all integer linear combination of a set of linearly independent vectors in R n. The independent vectors are called bases of lattice. Any lattice can be generated from many bases, and these bases have the same cardinality. In the lattice, the most fundamental and renowned problem is the Shortest Vector Problem (SVP). SVP is a tracking problem of the shortest nonzero vector in a lattice with equivalent bases. In two dimensions, SVP problem has resolved exactly by Gauss algorithm. When the lattice dimension is higher than two, A.K. Lenstra, H.W. Lenstra and L. Lovasz gave a LLL algorithm to compute approximation of nonzero shortest vector in the lattice. Reduced bases solution obtained from LLL algorithm still be an approximation and has polynomial running time of arbitrary dimension which large enough. In 1994, Schnoor and Euchner modified this LLL algorithm as a new variant which later was named deep insertion LLL algorithm. This algorithm is a modified version of the LLL algorithm to the terms of the exchange step to improve the accuracy of output of LLL reduced bases and applying it to the subset sum problem. The purpose of this research are: (1) Reconstruct the LLL algorithm and deep insertion LLL algorithm using a geometric approach. (2) Construct a greedy SVP LLL algorithm. (3) Implement the three algorithms in a symbolic programming language, and evaluate them experimentally. A bases B = [b 1, b 2,, b n ] in R m is called reduced LLL with parameter δ if satisfies: (a) μ ji 1, for every integer i, j with 1 i < j < n. 2 (b) δ π j (b j ) 2 π j (b j+1 ) 2, for j = 1, 2,, n 1, where δ is a reduced parameter of real numbers with 1 < δ < 1. The first requirement is the reduced 4 basis δ must nearly orthogonal and in its computation case, this requirement can be reached out by using the Gram-Schmidt s orthogonalization. While the second requirement is called exchange step, or used to called as Lovasz condition. By using both of these requirements, then they establish the LLL algorithm. Then, Schnoor and Euchner modify the LLL algorithm based on the requirements of the exchange step called the deep insertion LLL algorithm, where the exchange step is based on the comparison of the projected vector in orthogonal complement [b 1, b 2,, b k 1 ] after j-th reduction. To construct greedy SVP LLL algorithm, the requirements of the exchange step is based on purely by comparing norm of lattice b j with norm lattice b i for i = 1, 2,3, j 1. The process of insertion reduced vector after the exchange step also has done greedily. Then, we calculate the number of arithmetic operation in greedy SVP LLL algorithm for further analysis. The result of our exprimentation for three algorithms on the certain matrix size shows that the running time of the three algorithms increases propotional to the size of the matrix. The result also shows that by using δ = 3 for the LLL 4

7 algorithm and the deep insertion LLL algorithm, and the greedy SVP LLL algorithm which is a new variant made by using no parameter of δ, outperform of the other of two previous algorithm in terms of speed with the same output. Keywords: LLL algorithm, LLL deep insertion algorithm, greedy SVP LLL algorithm

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 KONSTRUKSI ALGORITME GREEDY SVP LLL SAIFUL KHAIR Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Matematika Terapan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Fahren Bukhari, MSc

11 Judul Tesis : Konstruksi Algoritme Greedy SVP LLL Nama : Saiful Khair NIM : G Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Sugi Guritman Ketua Dr Ir Bib Paruhum Silalahi, MKom Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Matematika Terapan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Jaharuddin MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 30 Desember 2013 Tanggal Lulus:

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini tentang masalah pada lattice theory. Tesis ini merupakan syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Magister Matematika Terapan, Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Dalam proses penulisan tesis ini, penulis menyadari bahwa telah memperoleh dorongan dan bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak untuk melengkapi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki penulis. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya pada: 1. Bapak Sugi Guritman, Bapak Bib Paruhum Silalahi dan Bapak Fahren Bukhari selaku pembimbing dan penguji yang telah memberi bimbingan, masukan, dorongan, nasihat serta segala bantuan sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 2. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak H. Umar Sage (Alm.) dan Ibu Siti Raihanun, Kakak Muzayyin Habiby, Adik Nurhidayati, Adik Eli, Paman H. Nasir serta keluarga besar yang telah memberi dukungan moril dan materil selama masih kuliah dan penulisan tesis ini. 3. Semua staf dan dosen pengajar Departemen Matematika yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama menuntut ilmu di Departemen Matematika. 4. Sahabat dan teman-teman mahasiswa S2 departemen matematika yang selalu memberi semangat, tantangan, perhatian, bantuan, inspirasi, doa, dan kasih sayang. 5. Semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penulisan tesis ini, yang tidak disebutkan namanya. Semoga Allah SWT membalas jasa dan jerih payah Bapak/Ibu serta saudara-saudari yang telah diberikan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan penulis sangat menghargai kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Terima kasih. Bogor, Februari 2014 Saiful Khair

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Ruang vektor, Kombinasi Linier, Basis, dan Ortogonalitas 3 Analisis Algoritme, Running Time 5 3 METODE PENELITIAN 6 Konstruksi Algoritme LLL, Algoritme LLL Penyisipan Dalam, dan Algoritme Greedy SVP LLL 6 Analisis Algoritme Greedy SVP LLL 6 Implementasi dan Pengujian 6 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Studi Pendahuluan 7 Rekonstruksi Algoritme LLL 9 Fungsi Proyeksi dan Determinan Latis 13 Permasalahan dalam Latis 15 Algoritme LLL 17 Reduksi Ukuran 19 Algoritme LLL dan Analisisnya 28 Membatasi banyaknya iterasi 29 Membatasi besarnya bilangan yang terlibat 31 Memperbaiki algoritme LLL 33 Algoritme LLL Penyisipan Dalam 33 Algoritme Greedy SVP LLL 36 Analisis Algoritme Greedy SVP LLL 38 Pengujian Eksperimental dan Perbandingan Running Time masing-masing Algoritme dengan Output Sama 39 5 SIMPULAN DAN SARAN 41 Simpulan 41 Saran 41 DAFTAR PUSTAKA 42 LAMPIRAN 43 RIWAYAT HIDUP 54 vi vi vi

14

15 DAFTAR TABEL 1 Ukuran matriks n n versus running time (detik) dengan δ = 3/4 40 DAFTAR GAMBAR 1 Latis dengan basis {(1,0),(0,1)} 10 2 Latis dengan basis {(2,1),(3,1)} 10 3 Latis dengan basis {(1,2),(4,1)} 10 4 Latis dengan basis {(1,1)} 10 5 Parallelepiped dengan B = {(2,3), (3,2)} 13 6 Perbandingan running time (detik) versus ukuran matriks n n 40 DAFTAR LAMPIRAN 1 Program Matriks Bilangan Bulat 43 2 Prosedur matriks Bentuk Normal Hermit (Operasi Kolom Integer (OKI)) 47 3 Prosedur Ortogonalisasi Gram-Schmidt 48 4 Algoritme LLL 49 5 Algoritme LLL Penyisipan Dalam (Deep Insertion) 50 6 Algoritme Greedy SVP LLL 51 7 Sampel Pengujian Ketiga Algoritme 53

16

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Latis (lattice) merupakan obyek geometri dalam ruang berdimensi-n yang dapat diilustrasikan sebagai himpunan titik-titik dengan susunan teratur dan periodik. Secara matematika, latis merupakan himpunan semua kombinasi linier bilangan bulat dari himpunan vektor yang bebas linier dalam ruang R n. Vektor yang bebas linier tersebut disebut basis dari latis. Sebarang latis dapat dibangkitkan dari banyak basis, dan basis-basis tersebut memiliki kardinalitas yang sama (Akhavi 2003). Masalah yang paling mendasar dan terkenal di dalam latis adalah masalah vektor terpendek (Shortest Vector Problem) yang disingkat SVP. Shortest Vector Problem (SVP) merupakan masalah pelacakan vektor terpendek dalam suatu latis dengan basis yang ekivalen. Dalam dua dimensi, solusi dari masalah SVP telah terselesaikan secara optimal oleh algoritme Gauss. Penelitian tentang kompleksitas dengan kasus terburuk (worst-case) dari algoritme Gauss telah dilakukan oleh Lagarias (1985). Dia menunjukkan bahwa algoritme berjalan polinomial terhadap input. Kompleksitas dari algoritme Gauss juga diteliti lebih dalam lagi oleh Valley (1991). Untuk latis dengan dimensi lebih dari dua, didefinisikan secara tepat gagasan tentang reduksi basis latis. Pada tahun 1982, A.K. Lenstra, H. W. Lenstra dan L. Lovasz memberikan algoritme reduksi latis untuk sebarang dimensi. Algoritme ini merupakan hasil generalisasi dari algoritme Gauss. Algoritme tersebut dinamakan algoritme LLL. Solusi basis tereduksi yang diperoleh dari algoritme LLL masih merupakan hampiran dan memiliki waktu eksekusi (running time) polinomial untuk sebarang dimensi yang cukup besar. Setelah ditemukan algoritme ini, kajian tentang latis menjadi lebih menarik dan banyak berkaitan dengan bidang lain. Hal ini terbukti bahwa algoritme LLL mampu memecahkan masalah-masalah yang ada pada teori bilangan (Lenstra et al. 1982; Schnoor 1991), signal processing (Hassibi et al. 2005), kriptografi (Nguyen et al. 2001) maupun masalah integer linear programming (Kannan 1983; Lenstra 1983). Dalam banyak aplikasi, kecepatan eksekusi algoritme LLL sangat dibutuhkan. Pada tahun 1994, Schnoor dan Euchner membahas Algoritme LLL yang dimodifikasi pada syarat penukaran (exchange step) yang disebut algoritme LLL penyisipan dalam (deep insertion) untuk meningkatkan ketepatan output basis tereduksi LLL yang dihasilkan dan mengaplikasikannya pada masalah penjumlahan subhimpunan (subset sum problem). Tujuan dalam penelitian ini adalah mengkonstruksi algoritme greedy SVP LLL yang merupakan pengembangan ide dari algoritme LLL penyisipan dalam sekaligus varian baru dari algoritme LLL. Selanjutnya, dilakukan perhitungan pada banyaknya operasi aritmetik yang terlibat, kemudian dibandingkan secara eksperimental antara algoritme LLL, algoritme LLL penyisipan dalam dan Algoritme greedy SVP LLL.

18 2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: a. Merekonstruksi algoritme LLL dan algoritme LLL penyisipan dalam. b. Mengkonstruksi algoritme greedy SVP LLL. c. Menghitung operasi aritmetik yang terlibat dalam algoritme greedy SVP LLL. d. Mengimplementasikan algoritme-algoritme tersebut dalam suatu bahasa pemrograman simbolik. e. Membandingkan secara eksperimental algoritme LLL, algoritme LLL penyisipan dalam, dan algoritme greedy SVP LLL.

19 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Ruang vektor, Kombinasi Linier, Basis, dan Ortogonalitas Definisi 2.1 (Ruang Vektor) Suatu himpunan V disebut ruang vektor (real) dan anggota-anggotanya disebut vektor jika V tak kosong dan untuk setiap u, v V dan setiap bilangan real c, penjumlahan u + v V dan perkalian cu digabungkan, memenuhi 8 aturan-aturan berikut: 1. (Komutatif penjumlahan) u + v = v + u, 2. (Asosiatif penjumlahan) (u + v) + w = u + (v + w), 3. (Eksistensi Vektor nol) Ada vektor 0 V sehingga u + 0 = u untuk setiap u, 4. (Invers Penjumlahan) Untuk setiap vektor u ada vektor negatif u sehingga u + ( u) = 0, 5. (Perkalian dengan 1) 1u = u, 6. (Asosiatif perkalian dengan skalar) a(bu) = (ab)u, 7. (Distribusi kiri) (a + b)u = au + bu, 8. (Distribusi kanan) a(u + v) = au + av. (Schay 2010) Definisi 2.2 (Sifat tertutup terhadap penjumlahan dan perkalian dengan skalar) Suatu himpunan S dikatakan tertutup terhadap penjumlahan jika setiap pasangan dari elemen-elemen u, v S, penjumlahan u + v didefinisikan dan merupakan anggota dari S. Himpunan S dikatakan tertutup pada perkalian dengan skalar jika untuk setiap skalar c dan p S, perkalian cp didefinisikan dan merupakan anggota dari S. (Schay 2010) Definisi 2.3 (Subruang Vektor) Suatu subhimpunan U dari suatu ruang vektor X disebut subruang dari X jika U adalah ruang vektor yang memenuhi sifat penjumlahan vektor dan perkalian dengan skalar yang sama dengan X. (Schay 2010) Definisi 2.4 (Kombinasi Linier) Suatu ruang vektor v disebut kombinasi linier dari vektor-vektor v 1, v 2,, v n jika dapat dituliskan dalam bentuk v = a 1 v 1 + a 2 v a n v n dimana a 1, a 2,, a n adalah skalar dan disebut koefisien dari v 1, v 2,, v n. (Nicholson 1995) Definisi 2.5 (Merentang/Span) Jika {v 1, v 2,, v n } adalah sebarang vektor-vektor dalam ruang V, himpunan semua kombinasi linier dari vektor-vektor ini disebut rentangannya (span), dinyatakan sebagai span{v 1, v 2,, v n }. Jika V = span{v 1, v 2,, v n } maka vektor-vektor ini disebut himpunan yang merentang untuk V.

20 4 (Nicholson 1995) Definisi 2.6 (Bebas Linier dan Tak Bebas Linier) Suatu himpunan {v 1, v 2,, v n } disebut bebas linier jika memenuhi kondisi berikut: Jika a 1 v 1 + a 2 v a n v n = 0 maka a 1 = a 2 = = a n = 0. Suatu himpunan vektor-vektor yang tidak bebas linier dikatakan terpaut linier. (Nicholson 1995) Definisi 2.7 (Basis) Suatu himpunan {v 1, v 2,, v n } dari vektor-vektor dalam ruang vektor V disebut basis dari V jika memenuhi dua kondisi berikut: 1. {v 1, v 2,, v n } bebas linier, 2. V = span{v 1, v 2,, v n }. (Nicholson 1995) Definisi 2.8 (Hasil kali skalar di R n ) x 1 y 1 Misalkan x, y R n x dengan x = [ 2 y ] dan y = [ 2 ], maka hasil kali skalar x n y n dari x dan y adalah x T y = x 1 y 1 + x 2 y x n y n. (Leon 1998) Definisi 2.9 (Norm dari Suatu Ruang Vektor di R n ) x 1 x 2 Misalkan x R n dengan x = [ ], maka norm dari vektor x di R n adalah x n x = x T x = x x x 2 n. (Leon 1998) Definisi 2.10 (Proyeksi Vektor di R n ) Misalkan x, y R n dan y 0. Proyeksi vektor x pada y adalah vektor p = y T x y 2 y. (Leon 1998) Definisi 2.11 (Ortogonalitas di R n ) Vektor-vektor x dan y disebut ortogonal jika x T y = 0. (Leon 1998) Definisi 2.12 (Komplemen Ortogonal) Misalkan X adalah subruang dari R n. Himpunan semua vektor-vektor di R n yang ortogonal dengan setiap vektor di X dinotasikan dengan X, yaitu X = {y R n y T x = 0, x X}. (Leon 1998)

21 Lema 2.1 (Pertidaksamaan Cauchy-Schwarz) Untuk sebarang dua vektor, x, y R n berlaku x. y x y. (Bremner 2012) Definisi 2.13 (Ortogonalisasi Gram-Schmidt) Misalkan x 1, x 2,, x n adalah basis dari R n. Ortogonalisasi Gram-Schmidt (Gram Schmidt Ortogonalization) dari x 1, x 2,, x n adalah basis x 1, x 2,, x n : 5 x 1 = x 1 x 2 = x 2 ( x 2. x 1 x 1. x ) x 1 1 j 1 x i = x i μ ij x j, j=1 dengan μ ij = x i.x j x j.x j untuk (1 j < i n). (Bremner 2012) Analisis Algoritme, Running Time Definisi 2.14 (Analisis Algoritme) Analisis algoritme dilakukan untuk menduga besarnya sumber daya waktu yang dibutuhkan untuk sebarang ukuran input n. (Cormen et al. 1990) Definisi 2.15 (Komplesitas Waktu) Kompleksitas waktu, T(n) didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu algoritme untuk menyelesaikan proses dengan input berukuran n. (Cormen et al. 1990) Definisi 2.16 Running Time Running time dari suatu algoritme didefinisikan sebagai ukuran operasi primitif atau tahapan proses yang dieksekusi. (Cormen et al. 1990) Jika ditinjau dari sisi waktu, maka running time dapat didefinisikan sebagai waktu total yang dibutuhkan untuk melakukan seluruh operasi primitif atau tahapan proses yang dieksekusi.

22 6 3 METODE PENELITIAN Penelitian ini disusun melalui tiga tahap. Pertama, dilakukan telaah pustaka (buku-buku dan jurnal-jurnal terkait) mengenai algoritme LLL serta konsepkonsep dasar yang mendasarinya, kemudian dilakukan konstruksi algoritme greedy SVP LLL. Ketiga, dilakukan pengujian terhadap algoritme yang telah dibuat dengan mengimplementasikannya dalam bahasa pemrograman simbolik. Selanjutnya, akan dilakukan pengujian dan perbandingan secara deskriptif untuk mendapatkan algoritme mana yang terbaik dari sisi kecepatan eksekusi. Konstruksi Algoritme LLL, Algoritme LLL Penyisipan Dalam, dan Algoritme Greedy SVP LLL Tahap pertama yakni telaah pustaka. Rincian langkah-langkah dalam tahap pertama ini adalah: 1) Rekonstruksi algoritme LLL dengan pendekatan geometrik. 2) Mengkonstruksi algoritme greedy SVP LLL. 3) Menganalisis skema algoritme LLL dilihat dari banyaknya iterasi pada saat penukaran dan membatasi bilangan yang terlibat. Analisis Algoritme Greedy SVP LLL Langkah-langkah untuk menganalisis algoritme greedy SVP LLL adalah sebagai berikut: 1) Menghitung banyaknya operasi aritmetik yang terlibat dalam algoritme greedy SVP LLL. Dalam hal ini, banyaknya operasi yang dimaksud adalah banyaknya operasi dasar (jumlah, kurang, kali, bagi), ditambahkan dengan operasi assignment, dan perbandingan (ekspresi logika). 2) Menganalisis proses yang terjadi dalam tubuh algoritme greedy SVP LLL. Implementasi dan Pengujian Tahap terakhir yaitu mengimplementasikan algoritme dan pengujian dengan rincian sebagai berikut: 1) Mengimplementasikan ketiga algoritme dalam bahasa pemrograman simbolik. 2) Menentukan running time dari kedua algoritme tersebut, dengan input yaitu δ dan matriks berukuran n n tertentu. 3) Mengambil beberapa sampel data. Data yang dimaksud adalah data waktu eksekusi ketiga algoritme serta ukuran matriksnya. 4) Melakukan perbandingan secara deskriptif ukuran kecepatan yang dihasilkan ketiga algoritme.

23 7 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Studi Pendahuluan Salah satu bahasan dalam aljabar linier yang merupakan kunci penting dalam latis adalah proses ortogonalisasi Gram-Schmidt. Proses ini akan menjadi ide utama dalam pembentukan algoritme LLL. Berikut ini definisi proses ortogonalisasi Gram-Schmidt. Ortogonalisasi Gram-Schmidt Misalkan B = {b 1, b 2,, b n } adalah himpunan n vektor bebas linier dalam ruang vektor R m. Maka dapat dikonstruksi barisan bagian dari n vektor yang saling ortogonal B = {b 1, b 2,, b n } dimana b 1 = b 1, dengan j = 2, 3,, n dan j 1 b j = b j μ j,i μ j,i = b j. b i b i. b. i Jika himpunan B = {b 1, b 2,, b n } adalah bebas linier, maka B merupakan n basis untuk B = { j=1 x j b j /x j R}, dan jika B = {b 1, b 2,, b n } adalah hasil ortogonalisasi Gram-Schmidt dari B, maka B juga merupakan basis untuk B. Namun hal ini tidak berlaku secara umum dalam latis, jika B adalah basis untuk latis yang dibangkitkan oleh B, tidak harus B merupakan basis untuk latis tersebut. Kompleksitas Gram-Schmidt Dalam ortogonalisasi Gram-Schmidt terlihat bahwa banyaknya operasi aritmetik yang dilibatkan dalam proses tersebut adalah O(n 3 ). Namun, belum dapat disimpulkan bahwa waktu eksekusi (running time) pada ortogonalisasi Gram-Schmidt adalah polinomial. Diasumsikan bahwa matriks B yang digunakan adalah matriks bilangan bulat. Perhatikan bahwa langkah ke-j dari ortogonalisasi Gram-Schmidt dapat dirumuskan ulang sebagai j 1 b i b j = b j + υ ji b i (1) untuk suatu υ ji R. Karena b j ortogonal ke b t untuk setiap t < j maka diperoleh j 1 b t. b j = ( b t. b j ) + b t. υ ji j 1 0 = ( b t. b j ) + b t. υ ji b i b i

24 8 j 1 b t. υ ji b i = ( b t. b j ). (2) Untuk t = 1, 2,, j 1, persamaan tersebut dapat dituliskan dalam bentuk matriks j 1 b 1. υ ji b i b 1. b j j 1 b 2. υ ji b i b = 2. b j. j 1 ( b j 1. υ ji b i) ( b j 1. b j) Jika didefinisikan matriks B j 1 = (b 1 b 2 b j 1 ) dan matriks υ j1 υ j2 u j = ( ), υ j,j 1 maka persamaan (2) dapat ditulis sebagai b 1. (B j 1 u j ) b 1. b j b 2. (B j 1 u j ) b = 2. b j ( b j 1. (B j 1 u j ) ( b ) j 1. b j) B T j 1 (B j 1 u j ) = B T j 1 b j (B T j 1 B j 1 )u j = B T j 1 b j. (3) Persamaan (3) merupakan SPL dengan matriks koefisien B T j 1 B j 1 dan vektor B T j 1 b j adalah bilangan bulat. Dengan demikian, untuk s = 1, 2,, j 1 berdasarkan aturan Cramer diperoleh Z υ js det(b T j 1 B j 1 ) = Z det (L(B j 1 )) 2. Hasil ini digunakan untuk memberi batas pada koefisien pada koefisien μ ji. Misalkan D j 1 = det(b T j 1 B j 1 ) dan dikalikan nilainya dengan kedua ruas dari persamaan (1) maka diperoleh j 1 D j 1 b j = D j 1 b j + (D j 1 υ ji ) merupakan persamaan yang semua koefisien vektornya adalah bilangan bulat. Ini berarti semua penyebut dari bilangan dalam vektor b j adalah faktor D j 1. Kemudian μ j,i = b j. b i b i. b i = D i 1(b j. b i ) D i 1 (b i. b i ) b i

25 b j (D i 1. b i ) = ( i 1 s=1 b s 2 ) b i 2 Z. D i Hasil ini menunjukkan bahwa penyebut dari μ ji harus membagi D i. Uraian diatas membuktikan bahwa bilangan-bilangan yang ada di dalam vektor b i dan μ ji mempunyai penyebut paling banyak max k n D k b k 2. Akhirnya, besarnya bilangan polinomial karena b j b j. Dengan demikian, secara keseluruhan ortogonalisasi Gram-Schmidt mempunyai kompleksitas waktu polinomial. Hal ini bermanfaat untuk menganalisis algoritme LLL yang akan direkonstruksi, dimana cara kerja algoritme ini berdasarkan atas proses ortogonalisasi Gram-Schmidt. i=k Rekonstruksi Algoritme LLL Seperti yang telah dijelaskan dalam pendahuluan bahwa latis merupakan obyek geometrik dalam ruang berdimensi-n yang dapat diilustrasikan sebagai himpunan titik-titik yang teratur dan periodik. Definisi latis secara formal adalah sebagai berikut. Definisi 4.1 Misalkan B = {b 1, b 2,, b n } adalah himpunan n vektor bebas linier dalam ruang vektor R m. Latis yang dibangkitkan oleh B adalah himpunan n L(B) = { x j b j /x j Z} j=1 yang beranggotakan semua kombinasi linier bilangan bulat dari B. Dalam hal ini, B merupakan basis untuk L(B). Notasi / dibaca sebagai dengan. Seperti dalam ruang vektor, basis B untuk latis L(B) dapat direpresentasikan sebagai matriks B berukuran m n yang kolom-kolomnya merupakan vektor b j : B = (b 1 b 2 b n ), sehingga L(B) dapat dituliskan sebagai perkalian matriks L(B) = {Bx/x Z n }. Dalam hal ini, B merupakan bentuk matriks dari B. Terdapat kemiripan antara pengertian latis yang dibangkitkan oleh B dengan pengertian subruang vektor dalam R m yang direntang oleh B: n B = { x j b j /x j R}. j=1 Perbedaannya hanya terdapat pada bilangan yang digunakan pada kombinasi linier. Pada latis L(B), kombinasi linier menggunakan koefisien dalam rentang bilangan bulat (Z R). Sedangkan pada B, koefisien pada kombinasi linier yang digunakan adalah rentang bilangan real (R), sehingga dapat disimpulkan bahwa jika B adalah basis untuk L(B), maka B juga merupakan basis untuk B. Namun hal ini tidak berlaku sebaliknya, jika B adalah basis untuk B, belum 9

26 10 tentu B juga basis untuk L(B). Misalkan dipilih basis B 1 = {(1,0), (0,1)} yang merupakan basis baku untuk R 2, maka L(B 1 ) = {x(1,0) + y(0,1)/x, y Z} = {(x, y)/x, y Z} = Z 2. Latis Z 2 beserta basis diilustrasikan pada Gambar 1. Seperti pada ruang vektor, basis suatu latis tidak tunggal. Pada Gambar 2, diilustrasikan bahwa Z 2 dapat dibangkitkan oleh latis basis B 2 = {(2,1), (3,1)}. Sedangkan pada Gambar 3 merupakan contoh basis B 3 = {(1,2), (4,1)} yang bukan merupakan basis untuk Z 2 walaupun mempunyai rank penuh dalam R 2. Selanjutnya Gambar 4 merupakan sebuah contoh bahwa basis B 4 = {(1,1)} yang membentuk latis L(B 4 ) walaupun B 4 tidak memiliki rank penuh di dalam R 2. Gambar 1 Latis dengan basis {(1,0),(0,1)} Gambar 2 Latis dengan basis {(2,1),(3,1)} Gambar 3 Latis dengan basis {(1,2),(4,1)} Gambar 4 Latis dengan basis {(1,1)}

27 Definisi 4.2 Dua basis A dan B dikatakan ekivalen, dinotasikan dengan A ~ B, jika dan hanya jika A dan B membangkitkan latis yang sama, yaitu L(A) = L(B). Definisi 4.3 Matriks U berukuran n n disebut unimodular jika U Z n n dan det(u) = ± Contoh matriks unimodular: U = ( ) dengan det(u) = Proposisi 4.1 Invers dari matriks unimodular juga merupakan matriks unimodular. Bukti: Misalkan U = (u ij ) adalah matriks unimodular berukuran n n dari asumsi diperoleh u ij Z dan det(u) = ±1. Berdasarkan rumus matriks invers, maka U 1 = 1 (μ det(u) ij) T, (4) dimana μ ij adalah kofaktor dari u ij. Karena u ij Z, dari definisi kofaktor, jelas bahwa μ ij Z sehingga (μ ij ) T Z n n. Disamping itu, U 1 U = I det(u 1 U) = det(i) det(u 1 )det(u) = det(i) det(u 1 ) = 1 det (U). Karena det(u) = ±1, maka det(u 1 1 ) = ±1 dan Z. (5) det (U) Dari (4) dan (5) dapat disimpulkan bahwa matriks U 1 merupakan matriks unimodular. Bukti lengkap. Proposisi 4.2 Misalkan A = {a 1, a 2,, a n } adalah basis untuk L(A) dan B = {b 1, b 2,, b n } adalah basis untuk L(B). Maka A ~ B jika dan hanya jika adalah matriks unimodular U Z n n sehingga B = AU, dimana A dan B adalah bentuk matriks A = (a 1 a 2 a n) dan B = (b 1 b 2 b n ). Bukti: ( ) Misalkan L(A) = L(B). Dari asumsi ini, berarti untuk setiap j = 1, 2, n untuk b j L(A). Dari pengertian L(A) maka ada (u 1j u 1j u 1j ) Z n sehingga u j = n 11 b j = u ij a j. (6)

28 12 Dengan demikian, dapat didefinisikan matriks U Z n n yang kolom-kolomnya adalah vektor u j, yaitu u 11 u 12 u 1n u U = (u 1 u 2 u 21 u 22 u 2n n) = ( ). u n1 u n2 u nn Dari persamaan (6) diperoleh persamaan matriks (b 1 b 2 b n ) = (a 1 a 2 a n)(u 1 u 2 u n) B = AU. (7) Dengan langkah yang sama, dapat diperoleh matriks V Z n n sehingga A = BV. (8) Dari persamaan (7) dan (8), A = BV = AUV det(a) = det(auv) det(u) det(v) = 1. Disamping itu, karena U dan V adalah matriks bilangan bulat, maka determinannya juga bilangan bulat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa det(u) = ±1. ( ) Misalkan B = AU dengan U unimodular. Dari asumsi ini, berarti untuk setiap j = 1, 2,, n, b j L(A), dengan kata lain, b j merupakan kombinasi linier bilangan bulat dari A. Selanjutnya bahwa karena setiap x L(B) merupakan kombinasi linier dari {b 1 b 2 b n }, maka dapat disimpulkan bahwa x juga merupakan kombinasi linier bilangan bulat dari A (artinya x L(A)). Dengan demikian, diperoleh L(B) L(A). Sekarang tinggal ditunjukkan L(A) L(B). Perhatikan bahwa, dari asumsi juga diperoleh A = BU 1 dengan U 1 adalah unimodular (Proposisi 4.1). Akhirnya dengan langkah yang sama dengan sebelumnya diperoleh L(A) L(B). Bukti lengkap. Cara yang lebih praktis untuk menentukan dua basis yang ekivalen adalah dengan menerapkan operasi kolom integer (integer column operation). Definisi 4.4 Operasi Kolom Integer (OKI) pada matriks B memiliki 3 jenis berikut: 1. K jk (B) menyatakan matriks hasil operasi yang menukar kolom ke-j dan kolom ke-k pada matriks B. 2. K j( 1) (B) menyatakan matriks hasil operasi yang mengalikan kolom ke-j dengan skalar -1 pada matriks B. 3. K jk(λ) (B) menyatakan matriks hasil operasi yang menambahkan kolom ke-j dengan λ Z kali kolom ke-k pada matriks B. OKI hampir sama dengan Operasi Kolom Dasar (OKD) yang biasanya diterapkan pada ruang vektor. Hal yang membedakan hanya terdapat pada jenis kedua. Pada OKD, pengali yang digunakan adalah sembarang bilangan real taknol sedangkan pada OKI pengali yang digunakan adalah -1. Kemudian, misalkan I adalah matriks identitas dan K adalah serangkaian OKI yang diterapkan pada suatu matriks B dan menghasilkan matriks C, maka berlaku K(B) = C B. K(I) = C. Serangkaian OKI yang diterapkan pada I pasti akan menghasilkan matriks bilangan bulat, sehingga K(I) merupakan matriks bilangan bulat. Disamping itu,

29 karena det(i) = 1, OKI jenis pertama dan kedua bersifat mengubah tanda determinan, dan OKI jenis ketiga bersifat tidak mengubah nilai determinan, sehingga didapatkan det(k(i)) = ±1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa K(I) merupakan matriks unimodular, sehingga didapatkan proposisi berikut. Proposisi 4.3 Dua basis dikatakan ekivalen jika dan hanya jika yang satu merupakan hasil serangkaian OKI dari yang lain. Fungsi Proyeksi dan Determinan Latis Definisi 4.5 Untuk j = 1, 2,, n fungsi proyeksi π j dari ruang vektor V = B = B ke subruang vektor {b j, b j+1,, b n } didefinisikan sebagai n π j (v) = ( v. b i b i. b ) b i. i Jika diambil nilai v = b k, k = 1, 2,, n maka diperoleh 0 n π j (b k ) = ( v. b i b i. b ) b i = k 1 i=j i b k + μ ki b i { i=j Selanjutnya perhatikan definisi berikut. i=j b k jika k < j jika k = j jika k > j. Definisi 4.6 Misalkan Λ = L(B) adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = {b 1, b 2,, b n }, maka dapat didefinisikan himpunan n P(B) = { x j b j /x j R, 0 x j < 1}, j=1 dimana P(B) merupakan bangun geometrik yang disebut parallelepiped dasar atau daerah fundamental (fundamental region). Berikut ilustrasi dari P(B). 13 Gambar 5 Parallelepiped dengan B = {(2,3), (3,2)}

30 14 Dari Gambar 5 terlihat bahwa pada latis dalam R 2, P(B) digambarkan sebagai daerah arsir jajaran genjang. Hasil dari luas jajaran genjang pada Gambar 5 disebut vol(p(b)). Pada sembarang latis Λ, dapat didefinisikan nilai mutlak dari determinan latis dari Λ, dinotasikan dengan det(λ), yang merupakan nilai dari vol(p(b)). Dari ilustrasi Gambar 5, maka definisi tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut. Definisi 4.7 Misalkan Λ = L(B) adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = {b 1, b 2,, b n } dan B = {b 1, b 2,, b n } adalah hasil ortogonalisasi Gram- Schmidt dari B. Determinan dari Λ didefinisikan sebagai n det(λ) = b i. Cara menentukan determinan suatu latis tanpa menggunakan ortogonalisasi Gram-Schmidt akan dijelaskan oleh proposisi setelah lema berikut ini. Lema 4.1 Jika matriks B = (b 1 b 2 b n ) adalah matriks hasil ortogonalisasi Gram-Schmidt dari matriks B = (b 1 b 2 b n ), maka ada matriks U dengan unsur diagonal adalah 1 sehingga B = B U. Bukti: Perhatikan bahwa rumus ortogonalisasi Gram-Schmidt dapat diubah menjadi b 1 = b 1 b 2 = b 2 + μ 21 b 1 b 3 = b 3 + (μ 31 b 1 + μ 32 b 2 ) n 1 b n = b n + μ n,i b i. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi balik dari ortogonalisasi Gram-Schmidt dari B ke B merupakan serangkaian OKD yang dilakukan pada matriks B, yaitu B = K(B ) B = B K(I). Dengan demikian dapat didefinisikan suatu matriks U = K(I), dimana 1 μ 21 μ n1 0 1 μ n2 K(I) = ( ) Bukti lengkap. Proposisi 4.4 Jika Λ = L(B) adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = {b 1, b 2,, b n }, maka det(λ) = det (B T B), dimana B adalah bentuk matriks dari B.

31 Bukti: Misalkan B = (b 1 b 2 b n ) adalah matriks ortogonalisasi dari matriks B = (b 1 b 2 b n ). Menurut Lema 4.1, terdapat sebuah matriks U yang unsur diagonalnya adalah 1 sehingga B = B U. Dengan demikian diperoleh B T B = (B U) T (B U) B T B = U T ((B ) T B )U det (B T B) = det(u T ((B ) T B )U) det (B T B) = det((b ) T B ) Bukti lengkap. det (B T B) = ( b i ) n n b i = det (B T B) det(λ) = det (B T B). Berikut ini merupakan proposisi yang menjelaskan bahwa determinan suatu latis tidak bergantung pada suatu basis. Proposisi 4.5 Jika A ~ B, maka det (L(A)) = det(l(b)). Bukti: Misalkan A ~ B dengan A dan B adalah bentuk matriks dari A dan B. Berdasarkan Proposisi 4.2 terdapat sebuah matriks unimodular U sehingga A = BU. Dengan demikian, det (L(A)) = det (A T A) = det ((BU) T (BU)) 2 15 Bukti lengkap. = det (U T (B T B)U) = det (B T B) = det(l(b)). Permasalahan dalam Latis Berikut merupakan pengertian jarak minimum dan panjang vektor minimum dari suatu latis.

32 16 Definisi 4.8 Jarak minimum antara sebarang dua titik di dalam latis Λ, dinotasikan dengan λ(λ), didefinisikan sebagai λ(λ) = inf( x y x, y Λ, x y ). Definisi 4.9 Panjang vektor minimum di antara titik-titik di dalam latis Λ, dinotasikan dengan π(λ), didefinisikan sebagai π(λ) = inf( x x Λ, x 0 ). Dua pengertian diatas memiliki arti yang ekivalen. Hal tersebut dinyatakan dalam proposisi berikut. Proposisi 4.5 Untuk sembarang latis Λ, berlaku λ(λ) = π(λ). Bukti: Karena Λ adalah grup, maka berlaku λ(λ) = inf( x y x, y Λ, x y ) = inf( z /z = x y Λ, x y) = inf( z /z Λ, z 0) = π(λ). Bukti lengkap. Berikut ini merupakan batas bawah dari λ. Teorema 4.1 Jika Jika Λ = L(B) adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = {b 1, b 2,, b n } dan B = {b 1, b 2,, b n } adalah hasil ortogonalisasi dari B maka min j I n b j λ(λ), I n = {1,2,, n}. Bukti: Ambil sembarang v L(B) dengan v 0, maka ada vektor x Z n dengan x 0 sehingga v = Bx dengan B adalah matriks bilangan bulat dari B. Misalkan x = {x 1, x 2,, x n } dan k adalah indeks terbesar dari komponen x sehingga x k 0, karena untuk setiap j < k, b k ortogonal ke b j dan juga ortogonal ke b j, maka v. b k = (Bx). b k dan Dengan demikian diperoleh k = ( x j b j ). b k j=1 = x k (b k. b k ) k 1 b k. b k = (b k μ kj b j ). b k = b k. b k. j=1 v. b k = x k (b k. b k )

33 17 = x k b k 2. Berdasarkan ketaksamaan Cauchy-Schwartz, maka diperoleh v. b k v b k x k b k 2 v b k x k b k 2 v. Karena x k 1, untuk I n = {1, 2,, n} diperoleh min j I n b j λ(λ). Bukti lengkap. Selanjutnya didefinisikan masalah yang paling mendasar dalam latis, yaitu SVP (Shortest Vector Problem). Berikut merupakan varian dari SVP. Problem 4.1 (Pelacakan SVP) Diberikan sebuah latis dengan basis B, bagaimana menentukan x L(B) sehingga x = λ(l(b)). Problem 4.2 (Optimisasi SVP) Diberikan sebuah latis dengan basis B, bagaimana menentukan λ(l(b)). Problem 4.3 (Pelacakan SVP) Diberikan sebuah latis dengan basis B dan bilangan rasional q Q, bagaimana menentukan apakah λ(l(b)) q atau λ(l(b)) > q. Problem 4.4 (Pelacakan SVP) Diberikan sebuah latis dengan basis B dan γ 1, bagaimana menentukan x L(B) dengan x 0 sehingga x γλ(l(b)). Problem 4.5 (Pelacakan SVP) Diberikan sebuah latis dengan basis B dan γ 1, bagaimana menentukan d sehingga d λ(l(b)) γd. Algoritme LLL Pengertian Basis Tereduksi Berikut ini merupakan definisi dari basis tereduksi δ. Definisi 4.10 Suatu basis B = [b 1, b 2,, b n ] dalam R m disebut tereduksi LLL dengan parameter δ jika memenuhi 1. μ ji 1, untuk setiap bilangan bulat i, j dengan 1 i < j < n, 2 2. δ π j (b j ) 2 π j (b j+1 ) 2, untuk j = 1, 2,, n 1, dimana δ merupakan parameter reduksi yang bernilai real dengan 1 < δ < 1. 4 Syarat pertama dalam definisi di atas disebut dengan reduksi ukuran. Syarat pertama mengatakan bahwa basis tereduksi δ harus hampir ortogonal dan dalam

34 18 komputasinya syarat ini mudah dicapai dengan menggunakan ortogonalisasi Gram-Schmidt. Pembahasan mengenai syarat ini akan dibahas pada subbab berikutnya. Sedangkan pada syarat kedua dari definisi di atas disebut syarat pertukaran, atau disebut juga kondisi Lovasz, yang dapat ditulis ulang sebagai δ b j 2 b j+1 + μ j+1,j b j 2 δ b j 2 b j+1 δ b j 2 b j+1 + μ j+1,j b j b j+1 + μ j+1,j b j 2 + 2μ j+1,j b j. b j+1 + μ j+1,j b j 2 δ b j 2 b j+1 2 +μ j+1,j b j 2 2 (δ μ j+1,j ) b j 2 b j+1 2. Ketaksamaan diatas menyatakan bahwa vektor-vektor Gram-Schmidt dari basis tereduksi LLL harus terurut turun dengan faktor penurunan sebesar δ 2 μ j+1,j. Jika terdapat pasangan vektor (b j, b j+1 ) yang tidak memenuhi kondisi Lovasz, maka dapat dilakukan pertukaran antara vektor tersebut kemudian proses ortogonalisasi kembali dilakukan. Selanjutnya dengan menerapkan syarat-syarat yang terdapat pada Definisi 4.10, maka diperoleh batas atas untuk b 1 dari basis tereduksi δ. Teorema 4.2 Jika B = [b 1, b 2,, b n ] dalam R m adalah basis tereduksi δ, maka berlaku b 1 α n 1 2 λ(λ) dengan α = 1. δ 1 4 Bukti: Misalkan B = [b 1, b 2,, b n ] dalam R m adalah basis tereduksi δ, menurut definisi diperoleh δ b j 2 b j+1 + μ j+1,j b j 2 2 (δ μ j+1,j ) b j 2 b j+1 2 (δ 1 4 ) b j 2 b j α b j 2 b j+1 2 b j 2 α b j+1 2. (9) Dengan menerapkan pertidaksamaan (9) secara berulang diperoleh b 1 2 α b 2 2 b 2 2 α b 3 2 b 3 2 α b 4 2 b 1 2 α b 2 2 α 2 b 3 2 α n 1 b n 2. Dengan kata lain, secara umum untuk setiap j I n = {1,2,, n}, maka b 1 2 α j 1 b j 2 b 1 α j 1 2 b j b 1 α j 1 2 b j. Karena berlaku untuk setiap j I n, maka b 1 (α j 1 2 ) (min b j ). (10) j I n

35 Misalkan B = [b 1, b 2,, b n ] dalam R m adalah basis tereduksi LLL untuk latis Λ = L(B), menurut Teorema 4.1 diperoleh min j I n b j λ(λ) dan ketaksamaan persamaan (10) menjadi b 1 (α j 1 2 ) λ(λ). Bukti lengkap. Teorema 4.2 menyatakan bahwa vektor pertama pada basis tereduksi δ merupakan jawaban dari Problem 4.4 dengan nilai γ = α j 1 2. Reduksi Ukuran Sebagaimana telah dinyatakan dalam subbab sebelumnya bahwa syarat reduksi ukuran yaitu μ j,i 1 mudah dicapai dengan menggunakan prosedur 2 Gram-Schmidt. Pada subbab ini akan dibahas melalui interpretasi geometrik. Untuk itu perlu pengertian tentang daerah fundamental (parallelepiped) yang lain dari P(B), yaitu daerah fundamental dasar terpusat yang didefinisikan sebagai berikut. Definisi 4.11 Misalkan Λ = L(B) adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = [b 1, b 2,, b n ] dalam ruang vektor R m. Daerah fundamental terpusat (centered fundamental region) dari Λ, dinotasikan dengan C(B), didefinisikan sebagai himpunan n C(B) = { x j b j /x j R, 1 2 x j < 1 2 }. j=1 C(B) juga disebut parallelepiped dasar terpusat (centered fundamental region). Proposisi 4.6 Jika Λ = L(B) adalah latis yang dibangkitkan oleh basis B = [b 1, b 2,, b n ] dalam ruang vektor R m, maka untuk setiap vektor w B, ada tepat satu vektor t C(B) sehingga dapat dituliskan w = v + t. Bukti: Karena B merupakan basis untuk Λ, maka B juga merupakan basis untuk ruang vektor B, dan karena w B, berarti ada tepat satu (w 1, w 2,, w n ) R n sehingga n w = w j b j. j=1 Kemudian, karena w j R maka ada bilangan bulat w j Z (pembulatan ke bilangan bulat terdekat (round) dari w j sehingga Selanjutnya, w j = w j + t j dengan 1 2 t j <

36 20 n w = w j b j j=1 n = ( w j + t j )b j j=1 n n Bukti lengkap. = w j b j + t j b j j=1 = v + t. j=1 Lema 4.2 Misalkan B = [b 1, b 2,, b n ] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram- Schmidt dari himpunan bebas linier B = [b 1, b 2,, b n ] dan diberikan sebarang w B. Jika w = n j=1 Bukti: Perhatikan bahwa n w j b j, maka w. b n = ( w j b j ). b n = w j j=1 n j=1 w n = w. b n b n. b n. (b j. b n ) = w n (b n. b n ) w n = w. b n b n. b n. Bukti selesai setelah ditunjukkan bahwa b n. b n = b n. b n sebagai berikut Bukti lengkap. n 1 b n. b n = (b n + μ n,i b i ). b n n 1 = b n. b n + μ n,i (b i. b n ) n 1 = b n. b n + μ n,i (0) = b n. b n. Proposisi 4.7 Jika B = [b 1, b 2,, b n ] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram-Schmidt dari himpunan bebas linier B = [b 1, b 2,, b n ], maka C(B ) juga merupakan daerah fundamental untuk L(B). Artinya, untuk setiap w B, ada tepat satu vektor latis w L(B) dan ada tepat satu vektor t C(B ) sehingga dapat dituliskan w = v + t. Bukti: Demi kepentingan bagaimana menentukan v dan t secara algoritmik, proposisi ini akan dibuktikan secara instruktif. Kemudian, agar lebih mudah dibayangkan, tanpa mengurangi keumumannya, diambil untuk kasus n = 3 sebagai berikut.

37 1. Definisikan w 3 = w, karena w 3 {b 1, b 2, b 3 }, berarti ada tepat satu (x 1, x 2, x 3 ) R 3 sehingga 3 w 3 = x j b j j=1 dan berdasarkan Lema 4.2 dapat dituliskan 2 w 3 = x j b j + j=1 2 = x j b j + j=1 w 3. b 3 b 3. b 3 b 3 dan dalam hal ini, 1 2 t 3 < 1 2. Selanjutnya, 2 w 3 = x j b j + j=1 ( w 3. b 3 b 3. b 3 + t 3) b 3 w 3. b 3 b 3. b 3 b 3 + t 3 b = x j b j + w 3. b 3 b 3. b b 3 + t 3 (b 3 + μ 3,i b i ) 3 j= w 3 ( w 3. b 3 b 3. b b 3 + t 3 b 3 ) = x j b j + t 3 μ 3,i b i. 3 j=1 (11) 2. Definisikan w 2 = w 3 ( w 3. b 3 b 3. b b 3 + t 3 b 3 ). 3 Dari persamaan (11) dan karena {b 1, b 2 } = {b 1, b 2 }, maka w 2 {b 1, b 2 } dengan tepat satu (x 1, x 2 ) R 2 sehingga w 2 = x 1 b 1 + x 2 b 2 dan berdasarkan Lema 4.2, dapat dituliskan w 2 = x 1 b 1 + w 2. b 2 b 2. b b 2 2 = x 1 b 1 + ( w 2. b 2 b 2. b 2 + t 2) b 2 dan dalam hal ini, 1 t 2 2 < 1. Selanjutnya, 2 w 2 = x 1 b 1 + w 2. b 2 b 2. b b 2 + t 2 b 2 2 = x 1 b 1 + w 2. b 2 b 2. b b 2 + t 2 (b 2 + μ 2,1 b 1 ) 2 w 2 ( w 2. b 2 b 2. b b 2 + t 2 b 2 ) = x 1 b 1 + t 2 μ 2,1 b 1. (12) 2 3. Definisikan

38 22 w 1 = w 2 ( w 2. b 2 b 2. b b 2 + t 2 b 2 ). 2 Dari persamaan (12), maka w 1 {b 1 } dan ada x 1 R sehingga w 1 = x 1 b 1. Berdasaran Lema 4.2 dapat dituliskan w 1 = w 1. b 1 b 1. b b 1 = ( w 1. b 1 1 b 1. b + t 1b 1 ) 1 dan dalam hal ini, 1 t 2 1 < 1. 2 Maka w = v + t dimana v = w 1. b 1 b 1. b b 1 + w 2. b 2 1 b 2. b b 2 + w 3. b 3 2 b 3. b b 3 3 dan t = t 1 b 1 + t 2 b 2 + t 3 b 3. Dengan mudah dilihat bahwa v L(B) dan t C(B ). Bukti lengkap. Bukti dari proposisi sekaligus merupakan bukti kebenaran dari algoritme berikut. Algoritme 4.1 Input: B = [b 1, b 2,, b n ] basis untuk L(B) dan w B. Output: Vektor latis v L(B) dan t C(B ). 1. Dengan algoritme Gram-Schmidt, hitung [b 1, b 2,, b n ] dengan menggunakan input B = [b 1, b 2,, b n ]. 2. Inisialisasi v 0 dan t Untuk i = n, n 1,,1 hitung: a) x i w.b i b i.b i b) v i x i c) v v + v i b i d) t i x i v i e) t t + t i b i f) w w (v i b i + t i b i ) 4. return(v dan t). Algoritme 4.2 (Menentukan Vektor Terdekat) Input: B = [b 1, b 2,, b n ] basis untuk L(B) dan w B. Output: Vektor latis v L(B). 1. Dengan algoritme Gram-Schmidt, hitung [b 1, b 2,, b n ] dengan menggunakan input B = [b 1, b 2,, b n ]. 2. Inisialisasi v Untuk i = n, n 1,,1 hitung: a) x i w.b i b i.b i b) v i x i c) v v + v i b i

39 23 d) t i x i v i e) w w (v i b i + t i b i ) 4. return(v). Akibat dari Proposisi 4.7 diberikan dalam teorema berikut ini. Teorema 4.3 Jika B = [b 1, b 2,, b n ] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram-Schmidt dari himpunan bebas linier B = [b 1, b 2,, b n ], maka B dapat ditransformasikan menjadi B = [b 1, b 2,, b n ] yang juga merupakan basis untuk L(B) dan B juga merupakan hasil ortogonalisasi Gram-Schmidt B. Dalam hal ini, b 1 = b 1 j 1 b j = b j μ j,i untuk j = 2, 3,, r dengan μ j,i = b j.b i b i.b dan μ j,i 1. i 2 Bukti: Untuk memudahkan pemahaman, transformasi dari B ke B dilakukan secara instruktif sebagai berikut 1. Definisikan b 1 = b 1. Dalam hal ini, didapatkan subruang vektor berdimensi satu, yaitu S 1 = {b 1 } = {b 1 } = {b 1 }. 2. Dari proses ortogonalisasi dari b 2 ke b 2 berlaku hubungan b 2 = b 2 p 1 dengan p 1 = μ 2,1 b 1 = b 2.b 1 b 1.b b 1 adalah vektor proyeksi dari b 2 pada S 1. Hal 1 ini berarti p 1 S 1. Dengan demikian, berdasarkan Proposisi 4.7 bahwa ada vektor latis v 1 L {b 1 } dan vektor t 1 C({b 1 }), sehingga p 1 = v 1 + t 1 dan akibatnya diperoleh b 2 = b 2 (v 1 + t 1 ) = (b 2 v 1 ) t 1. Kemudian dari persamaan ini dapat didefinisikan b 2 = b 2 v 1 sehingga jelas (karena latis adalah grup) bahwa b 2 L(B), dan diperoleh persamaan b 2 = b 2 t 1. Hasil ini menunjukkan bahwa ortogonalisasi {b 1, b 2 } juga menghasilkan {b 1, b 2 } dengan vektor proyeksi b 2 pada S 1 adalah b i, t 1 = μ 2,1 b 1 = b 2. b 1 b 1. b b 1 1 dan dalam hali ini μ 2,1 = μ 2,1 μ 2,1 sehingga μ 2, Selanjutnya untuk menghitung b 2 berarti cukup menghitung v 1 dengan menggunakan Algoritme 4.2 dan b 3 = b 2 v 1.

40 24 Sebelum ke langkah berikutnya, dinotasikan dahulu subruang vektor berdimensi dua yaitu S 1 = {b 1, b 2 } = {b 1, b 2 } = {b 1, b 2 }. 3. Dari proses ortogonalisasi dari berlaku hubungan b 3 = b 3 p 2 dengan p 2 = μ 3,1 b 1 + μ 3,2 b 2 = b 3.b 1 b 1.b b 1 + b 3.b 2 1 b 2.b b 2 adalah vektor proyeksi 2 dari b 3 pada S 2. Hal ini berarti p 2 S 2. Dengan demikian, berdasarkan Proposisi 4.7 bahwa ada vektor latis v 2 L {b 1, b 2 } dan vektor t 2 C({b 1, b 2 }) sehingga p 2 = v 2 + t 2 dan akibatnya diperoleh b 3 = b 3 (v 2 + t 2 ) = (b 3 v 2 ) t 2. Kemudian dari persamaan ini dapat didefinisikan b 3 = b 3 v 2 sehingga jelas (karena latis adalah grup) bahwa b 3 L(B), dan diperoleh persamaan b 3 = b 3 t 2. Hasil ini menunjukkan bahwa ortogonalisasi b 3 juga menghasilkan b 3 dengan vektor proyeksi b 3 pada S 2 adalah t 2 = μ 3,1 b 1 + μ 3,2 b 2 = b 3. b 1 b 1. b b 1 + b 3. b 2 1 b 2. b b 2 2 dan dalam hali ini untuk i = 1, 2 berlaku μ 3,i = μ 3,i μ 3,i sehingga μ 3,1 < 1. 2 Selanjutnya untuk menghitung b 3 berarti cukup menghitung v 2 dengan menggunakan Algoritme 4.2 dan b 3 = b 3 v 2. Demikian seterusnya, dari Langkah 3 tersebut secara rekursif bila dilanjutkan sampai ke Langkah ke-n untuk memperoleh basis B hasil transformasi dari basis latis B. Bukti lengkap. Perhatikan bahwa makna geometrik dari transformasi B ke B dalam Teorema 4.3 beserta buktinya adalah memperkecil panjang vektor basis yaitu j = 1, 2,, n berlaku b j b j. Hal ini terlihat dari vektor proyeksi p i 1, hasil proyeksi dari b i ke subruang S i 1 untuk i = 1, 2,, n ditransformasikan ke vektor proyeksi t i 1, hasil proyeksi dari b i ke subruang S i 1. Jika p i 1 C({b 1, b 2,, b i 1 }), maka b i = b i tetapi jika p i 1 C({b 1, b 2,, b i 1 }), maka b i bias ditransformasikan b i dengan vektor proyeksi pada S i 1 adalah t C({b 1, b 2,, b i 1 }) sehingga b i b i. Dengan demikian, Teorema 4.3 beserta buktinya merupakan landasan teori yang digunakan untuk menyusun algoritme reduksi ukuran dari algoritme LLL berikut ini. Algoritme 4.3 (Algoritme Reduksi Ukuran) Input: B = [b 1, b 2,, b n ] basis untuk L(B). Output: B = [b 1, b 2,, b n ] adalah hasil proses ortogonalisasi Gram- Schmidt dari B dan B = [b 1, b 2,, b n ] adalah hasil reduksi ukuran dari B.

41 1. Inisialisasi b 1 b 1 dan b 1 = b Untuk j = 2, 3,, n hitung: a) p 0 b) Untuk j = 1, 2,, j 1 hitung i. μ j,i = b j.b i b i.b i ii. p p + μ j,i b i c) b j b j p d) Gunakan Algoritme 4.2 untuk menghitung vektor v dengan input B = [b 1, b 2,, b j 1 ] dan B = [b 1, b 2,, b j 1 ] serta p. e) b j b j v 3. return([b 1, b 2,, b n ] dan [b 1, b 2,, b n ]). Berikut ini langkah-langkah ilustratif penyusunan algoritme reduksi ukuran LLL yang sifatnya rekursif tanpa memanggil Algoritme Untuk j = 1, definisikan langsung b 1 = b 1 dan b 1 = b Untuk j = 2, perhatikan bahwa p 1 = μ 2,1 b 1, berdasarkan Algoritme 4.2 maka v 1 = p. b 1 b 1. b b 1 = μ 2,1 b 1. 1 Jadi untuk menghitung b 2 dan b 2 cukup menghitung dahulu μ 2,1, kemudian b 2 = b 2 p 1 = b 2 μ 2,1 b 1 dan b 2 = b 2 v 1 = b 2 μ 2,1 b Untuk j = 3, perhatikan bahwa p 2 = μ 3,1 b 1 + μ 3,2 b 2, berdasarkan Algoritme 4.2 nyatakan v 2 = v 2,2 + v 2,1 sehingga v 2,2 = p 2. b 2 b 2. b b 2 = μ 3,2 b 2 2 dan v 2,1 = (p 2 μ 3,2 b 2 μ 3,2 b 2 )b 1 b b 1. b 1 1 = μ 3,1 μ 3,2 (μ 2,1 ) b 1. Jadi untuk menghitung b 3 dan b 3 dapat dilakukan secara rekursif sebagai berikut. a) Untuk i = 2, hitung μ 3,2, kemudian b 3 = b 3 μ 3,2 b 2 dan b 3 = b 3 v 2,2 = b 3 μ 3,2 b 2 b) Untuk i = 1, hitung μ 3,1, kemudian b 3 = b 3 μ 3,1 b 1 dan b 3 = b 3 v 2,1 = b 3 μ 3,1 μ 3,2 (μ 2,1 ) b 1. 25

ALGORITME LLL DAN APLIKASINYA DALAM PEMBONGKARAN SISTEMKRIPTO KNAPSACK MERKLE-HELLMAN ARI AGUSTIANSA

ALGORITME LLL DAN APLIKASINYA DALAM PEMBONGKARAN SISTEMKRIPTO KNAPSACK MERKLE-HELLMAN ARI AGUSTIANSA ALGORITME LLL DAN APLIKASINYA DALAM PEMBONGKARAN SISTEMKRIPTO KNAPSACK MERKLE-HELLMAN ARI AGUSTIANSA DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 202 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Matriks 1 Pengertian Matriks Definisi 21 Matriks adalah kumpulan bilangan bilangan yang disusun secara khusus dalam bentuk baris kolom sehingga membentuk empat persegi panjang

Lebih terperinci

EKSPLORASI MASALAH LOGARITMA DISKRET PADA FINITE FIELD ( ) Y A N A

EKSPLORASI MASALAH LOGARITMA DISKRET PADA FINITE FIELD ( ) Y A N A EKSPLORASI MASALAH LOGARITMA DISKRET PADA FINITE FIELD ( ) Y A N A SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konstruksi Algoritme Aritmetik (5 ) Dengan Operasi Dibangkitkan Dari Sifat Grup siklik adalah karya saya dengan arahan

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

CHAPTER 6. Ruang Hasil Kali Dalam

CHAPTER 6. Ruang Hasil Kali Dalam CHAPTER 6. Ruang Hasil Kali Dalam Hasil Kali Dalam Sudut dan Ortogonal dalam Ruang Hasil Kali Dalam Orthonormal Bases; Gram-Schmidt Process; QR-Decomposition Best Approximation; Least Squares Orthogonal

Lebih terperinci

EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN FAKTORISASI LB RUDIANSYAH

EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN FAKTORISASI LB RUDIANSYAH EVALUASI DETERMINAN MATRIKS REKURSIF DENGAN FAKTORISASI LB RUDIANSYAH DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK RUDIANSYAH. Evaluasi

Lebih terperinci

Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE 5.1. REAL VECTOR SPACES 5.2. SUB SPACES

Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE 5.1. REAL VECTOR SPACES 5.2. SUB SPACES Chapter 5 GENERAL VECTOR SPACE 5.1. REAL VECTOR SPACES 5.2. SUB SPACES Definisi : VECTOR SPACE Jika V adalah ruang vektor dimana u,v,w merupakan objek dalam V sebagai vektor, dan terdapat skalar k dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Sebagai acuan penulisan penelitian ini diperlukan beberapa pengertian dan teori yang berkaitan dengan pembahasan. Dalam sub bab ini akan diberikan beberapa landasan teori berupa pengertian,

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Formulasi Masalah Sejauh ini telah diperkenalkan bahwa terdapat tiga parameter yang terkait dengan konstruksi suatu kode, yaitu panjang, dimensi, dan jarak minimum. Jika C adalah

Lebih terperinci

(Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, / 66

(Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, / 66 MATRIKS Departemen Matematika FMIPA-IPB Bogor, 2012 (Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, 2012 1 / 66 Topik Bahasan 1 Matriks 2 Operasi Matriks 3 Determinan matriks 4 Matriks Invers 5 Operasi

Lebih terperinci

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan.

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan. 2. Grup Definisi 1.3 Suatu grup < G, > adalah himpunan tak-kosong G bersama-sama dengan operasi biner pada G sehingga memenuhi aksioma- aksioma berikut: a. operasi biner bersifat asosiatif, yaitu a, b,

Lebih terperinci

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkontrolan

Lebih terperinci

ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS

ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2010 2 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam Shalawat serta salam

Lebih terperinci

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Aljabar Linear Elementer

Aljabar Linear Elementer BAB I RUANG VEKTOR Pada kuliah Aljabar Matriks kita telah mendiskusikan struktur ruang R 2 dan R 3 beserta semua konsep yang terkait. Pada bab ini kita akan membicarakan struktur yang merupakan bentuk

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konstruksi Algoritme Aritmetik (5 ) Dengan Operasi Dibangkitkan Dari Sifat Grup siklik adalah karya saya dengan arahan

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT Herry P. Suryawan 1 Geometri Ruang Hilbert Definisi 1.1 Ruang vektor kompleks V disebut ruang hasilkali dalam jika ada fungsi (.,.) : V V C sehingga untuk setiap x, y, z

Lebih terperinci

7. NILAI-NILAI VEKTOR EIGEN. Nilai Eigen dan Vektor Eigen Diagonalisasi Diagonalisasi Ortogonal

7. NILAI-NILAI VEKTOR EIGEN. Nilai Eigen dan Vektor Eigen Diagonalisasi Diagonalisasi Ortogonal 7. NILAI-NILAI VEKTOR EIGEN Nilai Eigen dan Vektor Eigen Diagonalisasi Diagonalisasi Ortogonal Nilai Eigen, Vektor Eigen Diketahui A matriks nxn dan x adalah suatu vektor pada R n, maka biasanya tdk ada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dituliskan beberapa aspek teoritis berupa definisi teorema sifat-sifat yang berhubungan dengan teori bilangan integer modulo aljabar abstrak masalah logaritma diskret

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

KAJIAN MODEL HIDDEN MARKOV KONTINU DENGAN PROSES OBSERVASI ZERO DELAY DAN APLIKASINYA PADA HARGA GABAH KERING PANEN T A M U R I H

KAJIAN MODEL HIDDEN MARKOV KONTINU DENGAN PROSES OBSERVASI ZERO DELAY DAN APLIKASINYA PADA HARGA GABAH KERING PANEN T A M U R I H KAJIAN MODEL HIDDEN MARKOV KONTINU DENGAN PROSES OBSERVASI ZERO DELAY DAN APLIKASINYA PADA HARGA GABAH KERING PANEN T A M U R I H SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

METODE MENENTUKAN PRIORITAS DALAM ANALYTIC HIERARCHY PROCESS MENGGUNAKAN DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR PROYEK

METODE MENENTUKAN PRIORITAS DALAM ANALYTIC HIERARCHY PROCESS MENGGUNAKAN DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR PROYEK METODE MENENTUKAN PRIORITAS DALAM ANALYTIC HIERARCHY PROCESS MENGGUNAKAN DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR PROYEK Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

ALJABAR LINIER DAN MATRIKS

ALJABAR LINIER DAN MATRIKS ALJABAR LINIER DAN MATRIKS MATRIKS (DETERMINAN, INVERS, TRANSPOSE) Macam Matriks Matriks Nol (0) Matriks yang semua entrinya nol. Ex: Matriks Identitas (I) Matriks persegi dengan entri pada diagonal utamanya

Lebih terperinci

METODE STEEPEST DESCENT DENGAN UKURAN LANGKAH BARU UNTUK PENGOPTIMUMAN NIRKENDALA DJIHAD WUNGGULI

METODE STEEPEST DESCENT DENGAN UKURAN LANGKAH BARU UNTUK PENGOPTIMUMAN NIRKENDALA DJIHAD WUNGGULI 1 METODE STEEPEST DESCENT DENGAN UKURAN LANGKAH BARU UNTUK PENGOPTIMUMAN NIRKENDALA DJIHAD WUNGGULI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 2 3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERAN TRANSFORMASI TUSTIN PADA RUANG KONTINU DAN RUANG DISKRET SAMSURIZAL

PERAN TRANSFORMASI TUSTIN PADA RUANG KONTINU DAN RUANG DISKRET SAMSURIZAL PERAN TRANSFORMASI TUSTIN PADA RUANG KONTINU DAN RUANG DISKRET SAMSURIZAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas Semester Genap 2013/2014 1 Mahdhivan Syafwan Metode Numerik: Sistem Persamaan Linier

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

Bab 4 RUANG VEKTOR. 4.1 Ruang Vektor

Bab 4 RUANG VEKTOR. 4.1 Ruang Vektor Bab RUANG VEKTOR. Ruang Vektor DEFINISI.. Suatu ruang vektor (V, +,, F) atas field (F, +), ditulis singkat V(F), adalah suatu himpunan tak kosong V dengan elemenelemennya disebut vektor, yang dilengkapi

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE SIMPLEKS DENGAN ALGORITMA TITIK INTERIOR DALAM PENYELESAIAN MASALAH PROGRAM LINIER SKRIPSI AGUSTINA ANGGREINI SITORUS

PERBANDINGAN METODE SIMPLEKS DENGAN ALGORITMA TITIK INTERIOR DALAM PENYELESAIAN MASALAH PROGRAM LINIER SKRIPSI AGUSTINA ANGGREINI SITORUS PERBANDINGAN METODE SIMPLEKS DENGAN ALGORITMA TITIK INTERIOR DALAM PENYELESAIAN MASALAH PROGRAM LINIER SKRIPSI AGUSTINA ANGGREINI SITORUS 120803060 DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Puji syukur kehadirat Yang Maha Kuasa yang telah memberikan pertolongan hingga modul ajar ini dapat terselesaikan.

Kata Pengantar. Puji syukur kehadirat Yang Maha Kuasa yang telah memberikan pertolongan hingga modul ajar ini dapat terselesaikan. i Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Yang Maha Kuasa yang telah memberikan pertolongan hingga modul ajar ini dapat terselesaikan. Modul ajar ini dimaksudkan untuk membantu penyelenggaraan kuliah jarak

Lebih terperinci

M AT E M AT I K A E K O N O M I MATRIKS DAN SPL I N S TITUT P ERTA N I A N BOGOR

M AT E M AT I K A E K O N O M I MATRIKS DAN SPL I N S TITUT P ERTA N I A N BOGOR M AT E M AT I K A E K O N O M I MATRIKS DAN SPL TO N I BAKHTIAR I N S TITUT P ERTA N I A N BOGOR 2 0 1 2 Kesetimbangan Dua Pasar Permintaan kopi bergantung tidak hanya pada harganya tetapi juga pada harga

Lebih terperinci

KONSTRUKSI ALGORITME FUNGSI HASH HLI RACHMAWATI DWI ESTUNINGSIH

KONSTRUKSI ALGORITME FUNGSI HASH HLI RACHMAWATI DWI ESTUNINGSIH KONSTRUKSI ALGORITME FUNGSI HASH HLI RACHMAWATI DWI ESTUNINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan

Lebih terperinci

INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K.

INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K. INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

GENERALISASI METODE PENCABANGAN PADA PROGRAM INTEGER CAMPURAN

GENERALISASI METODE PENCABANGAN PADA PROGRAM INTEGER CAMPURAN GENERALISASI METODE PENCABANGAN PADA PROGRAM INTEGER CAMPURAN TESIS Oleh ALI KADIR LUBIS 117021002/MT FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 GENERALISASI METODE

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS

DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS Buletin Ilmiah Mat Stat dan Terapannya (Bimaster) Volume 04, No 3 (2015), hal 337-346 DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS Heronimus Hengki, Helmi, Mariatul Kiftiah INTISARI Matriks kompleks merupakan matriks

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Ruang Norm Sumanang Muhtar Gozali UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Definisi. Misalkan suatu ruang vektor atas. Norm pada didefinisikan sebagai fungsi. : yang memenuhi N1. 0 N2. 0 0 N3.,, N4.,, Kita dapat

Lebih terperinci

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd Qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg

Lebih terperinci

Aljabar Linier Elementer

Aljabar Linier Elementer Aljabar Linier Elementer Kuliah 15 dan 16 11/11/2014 1 Materi Kuliah Kebebasan Linier Basis dan Dimensi 11/11/2014 Yanita, Matematika Unand 2 5.3 Kebebasan Linier Definisi Jika S = v 1, v 2,, v r adalah

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II DETERMINAN DAN INVERS MATRIKS

BAB II DETERMINAN DAN INVERS MATRIKS BAB II DETERMINAN DAN INVERS MATRIKS A. OPERASI ELEMENTER TERHADAP BARIS DAN KOLOM SUATU MATRIKS Matriks A = berdimensi mxn dapat dibentuk matriks baru dengan menggandakan perubahan bentuk baris dan/atau

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KAJIAN MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINEAR WAKTU DISKRIT

KAJIAN MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINEAR WAKTU DISKRIT KAJIAN MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINEAR WAKTU DISKRIT Nama Mahasiswa : Aprilliantiwi NRP : 1207100064 Jurusan : Matematika Dosen Pembimbing : 1 Soleha, SSi, MSi 2 Dian Winda Setyawati,

Lebih terperinci

PENDUGAAN TURUNAN PERTAMA DAN TURUNAN KEDUA DARI FUNGSI INTENSITAS SUATU PROSES POISSON PERIODIK SYAMSURI

PENDUGAAN TURUNAN PERTAMA DAN TURUNAN KEDUA DARI FUNGSI INTENSITAS SUATU PROSES POISSON PERIODIK SYAMSURI PENDUGAAN TURUNAN PERTAMA DAN TURUNAN KEDUA DARI FUNGSI INTENSITAS SUATU PROSES POISSON PERIODIK SYAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT. Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi

BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT. Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT 3.1 Operator linear Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi real yaitu suatu fungsi dari ruang vektor ke ruang vektor. Ruang

Lebih terperinci

6 Sistem Persamaan Linear

6 Sistem Persamaan Linear 6 Sistem Persamaan Linear Pada bab, kita diminta untuk mencari suatu nilai x yang memenuhi persamaan f(x) = 0. Pada bab ini, masalah tersebut diperumum dengan mencari x = (x, x,..., x n ) yang secara sekaligus

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO

PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO PENYELESAIAN MAGIC SQUARE SEBAGAI PERMASALAHAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR (SPL) RISMANTO FERNANDUS SIRINGO-RINGO DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

8 MATRIKS DAN DETERMINAN

8 MATRIKS DAN DETERMINAN 8 MATRIKS DAN DETERMINAN Matriks merupakan pengembangan lebih lanjut dari sistem persamaan linear. Oleh karenanya aljabar matriks sering juga disebut dengan aljabar linear. Matriks dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

Aljabar Linear dan Matriks (Persamaan Linear dan Vektor) Instruktur : Ferry Wahyu Wibowo, S.Si., M.Cs.

Aljabar Linear dan Matriks (Persamaan Linear dan Vektor) Instruktur : Ferry Wahyu Wibowo, S.Si., M.Cs. Aljabar Linear dan Matriks (Persamaan Linear dan Vektor) Instruktur : Ferry Wahyu Wibowo, S.Si., M.Cs. . Matriks dan Sistem Persamaan Linear Definisi Persamaan dalam variabel dan y dapat ditulis dalam

Lebih terperinci

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas Semester Genap 2016/2017 1 Mahdhivan Syafwan Metode Numerik: Sistem Persamaan Linier

Lebih terperinci

ANALISIS OPTIMISASI FORMULA DISTRIBUTED QUERY DALAM BASIS DATA RELASIONAL R. SUDRAJAT

ANALISIS OPTIMISASI FORMULA DISTRIBUTED QUERY DALAM BASIS DATA RELASIONAL R. SUDRAJAT ANALISIS OPTIMISASI FORMULA DISTRIBUTED QUERY DALAM BASIS DATA RELASIONAL R. SUDRAJAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 RINGKASAN ii Proses join query dalam sistem basis data terdistribusi

Lebih terperinci

Sebuah garis dalam bidang xy bisa disajikan secara aljabar dengan sebuah persamaan berbentuk :

Sebuah garis dalam bidang xy bisa disajikan secara aljabar dengan sebuah persamaan berbentuk : Persamaan Linear Sebuah garis dalam bidang xy bisa disajikan secara aljabar dengan sebuah persamaan berbentuk : a x + a y = b Persamaan jenis ini disebut sebuah persamaan linear dalam peubah x dan y. Definisi

Lebih terperinci

PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN DARI MATRIKS TRIDIAGONAL 2-TOEPLITZ DENGAN PENDEKATAN POLINOMIAL CHEBYSHEV MELIZA DITA UTAMI

PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN DARI MATRIKS TRIDIAGONAL 2-TOEPLITZ DENGAN PENDEKATAN POLINOMIAL CHEBYSHEV MELIZA DITA UTAMI PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN DARI MATRIKS TRIDIAGONAL 2-TOEPLITZ DENGAN PENDEKATAN POLINOMIAL CHEBYSHEV MELIZA DITA UTAMI DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

MODUL DAN KEUJUDAN BASIS PADA MODUL BEBAS

MODUL DAN KEUJUDAN BASIS PADA MODUL BEBAS MODUL DAN KEUJUDAN BASIS PADA MODUL BEBAS MODULES AND BASES OF FREE MODULES Dian Mardiani Pendidikan Matematika, STKIP Garut Garut, Indonesia Alfid51@yahoo.com Abstrak Penelitian ini membahas beberapa

Lebih terperinci

Ruang Vektor. Kartika Firdausy UAD blog.uad.ac.id/kartikaf. Ruang Vektor. Syarat agar V disebut sebagai ruang vektor. Aljabar Linear dan Matriks 1

Ruang Vektor. Kartika Firdausy UAD blog.uad.ac.id/kartikaf. Ruang Vektor. Syarat agar V disebut sebagai ruang vektor. Aljabar Linear dan Matriks 1 Ruang Vektor Kartika Firdausy UAD blog.uad.ac.id/kartikaf Syarat agar V disebut sebagai ruang vektor 1. Jika vektor vektor u, v V, maka vektor u + v V 2. u + v = v + u 3. u + ( v + w ) = ( u + v ) + w

Lebih terperinci

Euclidean n & Vector Spaces. Matrices & Vector Spaces

Euclidean n & Vector Spaces. Matrices & Vector Spaces Lecture 9 Euclidean n & Vector Spaces Delivered by: Filson Maratur Sidjabat fmsidjabat@president.ac.id Matrices & Vector Spaces #4 th June 05 (90%*score / 0% extra points for HW-Q) Retake Quiz. Compute

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. yang diapit oleh dua kurung siku sehingga berbentuk empat persegi panjang atau

BAB II KAJIAN TEORI. yang diapit oleh dua kurung siku sehingga berbentuk empat persegi panjang atau BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan diberikan kajian teori mengenai matriks dan operasi matriks, program linear, penyelesaian program linear dengan metode simpleks, masalah transportasi, hubungan masalah

Lebih terperinci

Pertama, daftarkan kedua himpunan vektor: himpunan yang merentang diikuti dengan himpunan yang bergantung linear, perhatikan:

Pertama, daftarkan kedua himpunan vektor: himpunan yang merentang diikuti dengan himpunan yang bergantung linear, perhatikan: Dimensi dari Suatu Ruang Vektor Jika suatu ruang vektor V memiliki suatu himpunan S yang merentang V, maka ukuran dari sembarang himpunan di V yang bebas linier tidak akan melebihi ukuran dari S. Teorema

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

MATRIKS PASCAL DAN SIFAT-SIFATNYA YOGIE BUDHI RANTUNG

MATRIKS PASCAL DAN SIFAT-SIFATNYA YOGIE BUDHI RANTUNG MATRIKS PASCAL DAN SIFAT-SIFATNYA YOGIE BUDHI RANTUNG DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkontrolan

Lebih terperinci

INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K.

INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K. INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

SUMMARY ALJABAR LINEAR

SUMMARY ALJABAR LINEAR SUMMARY ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2010 2 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta

Lebih terperinci

Kode, GSR, dan Operasi Pada

Kode, GSR, dan Operasi Pada BAB 2 Kode, GSR, dan Operasi Pada Graf 2.1 Ruang Vektor Atas F 2 Ruang vektor V atas lapangan hingga F 2 = {0, 1} adalah suatu himpunan V yang berisi vektor-vektor, termasuk vektor nol, bersama dengan

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN UNIVERSITAS GUNADARMA

SATUAN ACARA PERKULIAHAN UNIVERSITAS GUNADARMA Mata Kuliah : Matematika Diskrit 2 Kode / SKS : IT02 / 3 SKS Program Studi : Sistem Komputer Fakultas : Ilmu Komputer & Teknologi Informasi. Pendahuluan 2. Vektor.. Pengantar mata kuliah aljabar linier.

Lebih terperinci

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI ANALISIS REGRESI TERPOTONG DENGAN BEBERAPA NILAI AMATAN NOL NURHAFNI SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

4.1 Algoritma Ortogonalisasi Gram-Schmidt yang Diperumum

4.1 Algoritma Ortogonalisasi Gram-Schmidt yang Diperumum BAB 4 ORTOGONALISASI GRAM-SCHMIDT YANG DIPERUMUM Diberikan sebarang barisan hingga vektor di ruang Hilbert berdimensi hingga. Pada bab ini akan diberikan algoritma untuk menghitung frame Parseval pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Berikut diberikan landasan teori mengenai teori himpunan fuzzy, program

BAB II KAJIAN TEORI. Berikut diberikan landasan teori mengenai teori himpunan fuzzy, program BAB II KAJIAN TEORI Berikut diberikan landasan teori mengenai teori himpunan fuzzy, program linear, metode simpleks, dan program linear fuzzy untuk membahas penyelesaian masalah menggunakan metode fuzzy

Lebih terperinci

MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINIER WAKTU DISKRIT. Soleha, Dian Winda Setyawati Jurusan Matematika, FMIPA Institut Teknologi Surabaya

MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINIER WAKTU DISKRIT. Soleha, Dian Winda Setyawati Jurusan Matematika, FMIPA Institut Teknologi Surabaya MATRIKS JORDAN DAN APLIKASINYA PADA SISTEM LINIER WAKTU DISKRIT Soleha, Dian Winda Setyawati Jurusan Matematika, FMIPA Institut Teknologi Surabaya Abstract. Matrix is diagonalizable (similar with matrix

Lebih terperinci

MATERI ALJABAR LINEAR LANJUT RUANG VEKTOR

MATERI ALJABAR LINEAR LANJUT RUANG VEKTOR MATERI ALJABAR LINEAR LANJUT RUANG VEKTOR Disusun oleh: Dwi Lestari, M.Sc email: dwilestari@uny.ac.id JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Lebih terperinci

Metode Simpleks (Simplex Method) Materi Bahasan

Metode Simpleks (Simplex Method) Materi Bahasan Metode Simpleks (Simplex Method) Kuliah 03 TI2231 Penelitian Operasional I 1 Materi Bahasan 1 Rumusan Pemrograman linier dalam bentuk baku 2 Pemecahan sistem persamaan linier 3 Prinsip-prinsip metode simpleks

Lebih terperinci

Matematika Teknik INVERS MATRIKS

Matematika Teknik INVERS MATRIKS INVERS MATRIKS Dalam menentukan solusi suatu SPL selama ini kita dihadapkan kepada bentuk matriks diperbesar dari SPL. Cara lain yang akan dikenalkan disini adalah dengan melakukan OBE pada matriks koefisien

Lebih terperinci

MATRIKS VEKTOR DETERMINAN SISTEM LINEAR ALJABAR LINEAR

MATRIKS VEKTOR DETERMINAN SISTEM LINEAR ALJABAR LINEAR MATRIKS VEKTOR DETERMINAN SISTEM LINEAR ALJABAR LINEAR 7.1 Matriks DEFINISI Susunan bilangan (fungsi) berbentuk persegi panjang yang ditutup dengan tanda kurung. Bilangan (fungsi) disebut entri-entri matriks.

Lebih terperinci

MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI

MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ON SOLUTIONS OF THE DISCRETE-TIME ALGEBRAIC RICCATI EQUATION. Soleha Jurusan Matematika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

ON SOLUTIONS OF THE DISCRETE-TIME ALGEBRAIC RICCATI EQUATION. Soleha Jurusan Matematika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ON SOLUTIONS OF THE DISCRETE-TIME ALGEBRAIC RICCATI EQUATION Soleha Jurusan Matematika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Abstract. On solving the optimal control for the linear discrete-time

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang

BAB II KAJIAN TEORI. definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang BAB II KAJIAN TEORI Pada Bab II ini berisi kajian teori. Di bab ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang mendasari teori kode BCH. A. Grup

Lebih terperinci

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Analisis Fungsional Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Lingkup Materi Ruang Metrik dan Ruang Topologi Kelengkapan Ruang Banach Ruang Hilbert

Lebih terperinci

Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian

Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian Kriteria Struktur Aljabar Modul Noetherian dan Gelanggang Noetherian Rio Yohanes 1, Nora Hariadi 2, Kiki Ariyanti Sugeng 3 Departemen Matematika, FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia rio.yohanes@sci.ui.ac.id,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO

PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PERAN TRANSFORMASI TUSTIN PADA RUANG KONTINU DAN RUANG DISKRET SAMSURIZAL

PERAN TRANSFORMASI TUSTIN PADA RUANG KONTINU DAN RUANG DISKRET SAMSURIZAL PERAN TRANSFORMASI TUSTIN PADA RUANG KONTINU DAN RUANG DISKRET SAMSURIZAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai matriks (meliputi definisi matriks, operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas aljabar max-plus, dan penyelesaian

Lebih terperinci

Aljabar Linier. Kuliah 3. 5/9/2014 Yanita FMIPA Matematika Unand

Aljabar Linier. Kuliah 3. 5/9/2014 Yanita FMIPA Matematika Unand Aljabar Linier Kuliah 3 5/9/2014 Yanita FMIPA Matematika Unand 1 Materi Kuliah 3 Jumlah Langsung, Hasilkali Langsung Himpunan Pembangun (Spans) dan Bebas Linier 5/9/2014 Yanita FMIPA Matematika Unand 2

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR TIM DOSEN 5 Ruang Vektor Ruang Vektor Sub Pokok Bahasan Ruang Vektor Umum Subruang Basis dan Dimensi Beberapa Aplikasi Ruang Vektor Beberapa metode optimasi Sistem Kontrol

Lebih terperinci

Matriks - Definisi. Sebuah matriks yang memiliki m baris dan n kolom disebut matriks m n. Sebagai contoh: Adalah sebuah matriks 2 3.

Matriks - Definisi. Sebuah matriks yang memiliki m baris dan n kolom disebut matriks m n. Sebagai contoh: Adalah sebuah matriks 2 3. MATRIKS Pokok Bahasan Matriks definisi Notasi matriks Matriks yang sama Panambahan dan pengurangan matriks Perkalian matriks Transpos suatu matriks Matriks khusus Determinan suatu matriks bujursangkar

Lebih terperinci

Jurnal Matematika Murni dan Terapan Epsilon Juni 2014 Vol. 8 No. 1 METODE KARMARKAR SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PEMROGRAMAN LINEAR

Jurnal Matematika Murni dan Terapan Epsilon Juni 2014 Vol. 8 No. 1 METODE KARMARKAR SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PEMROGRAMAN LINEAR Jurnal Matematika Murni dan Terapan Epsilon Juni 204 Vol. 8 No. METODE KARMARKAR SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PEMROGRAMAN LINEAR Bayu Prihandono, Meilyna Habibullah, Evi Noviani Program Studi

Lebih terperinci

Latihan 5: Inner Product Space

Latihan 5: Inner Product Space Latihan 5: Inner Product Space Diketahui vektor u v w ϵ R di mana u = v = Hitunglah : a b c d e f Diketahui vektor u v ϵ R di mana u = dan v = Carilah

Lebih terperinci

RUANG VEKTOR. Nurdinintya Athari (NDT)

RUANG VEKTOR. Nurdinintya Athari (NDT) 1 RUANG VEKTOR Nurdinintya Athari (NDT) RUANG VEKTOR Sub Pokok Bahasan Ruang Vektor Umum Subruang Basis dan Dimensi Basis Subruang Beberapa Aplikasi Ruang Vektor Beberapa metode optimasi Sistem kontrol

Lebih terperinci

5. PERSAMAAN LINIER. 1. Berikut adalah contoh SPL yang terdiri dari 4 persamaan linier dan 3 variabel.

5. PERSAMAAN LINIER. 1. Berikut adalah contoh SPL yang terdiri dari 4 persamaan linier dan 3 variabel. 1. Persamaan Linier 5. PERSAMAAN LINIER Persamaan linier adalah suatu persamaan yang variabel-variabelnya berpangkat satu. Disamping persamaan linier ada juga persamaan non linier. Contoh : a) 2x + 3y

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE PENDUGAAN PARAMETER DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL LA MBAU

PERBANDINGAN METODE PENDUGAAN PARAMETER DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL LA MBAU v PERBANDINGAN METODE PENDUGAAN PARAMETER DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL LA MBAU Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Matematika SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dijelaskan hal-hal yang berhubungan dengan masalah dan bagaimana mengeksplorasinya dengan logaritma diskret pada menggunakan algoritme Exhaustive Search Baby-Step

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang akan digunakan dalam bab selanjutnya. 2.1 Matriks Sebuah matriks, biasanya dinotasikan dengan huruf kapital tebal seperti A,

Lebih terperinci