PEMODELAN ALIRAN DARAH SATU DIMENSI PADA ARTERI MANUSIA SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN ALIRAN DARAH SATU DIMENSI PADA ARTERI MANUSIA SKRIPSI"

Transkripsi

1 PEMODELAN ALIRAN DARAH SATU DIMENSI PADA ARTERI MANUSIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Matematika Oleh: Inge Wijayanti Budiawan NIM: PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 017 i

2 MODELLING OF ONE-DIMENSIONAL BLOOD FLOWS IN HUMAN ARTERY THESIS Presented as Partial Fulfillment of the Requirements to Obtain the Degree of Sarjana Sains Mathematics Study Program Written by: Inge Wijayanti Budiawan Student ID: MATHEMATICS STUDY PROGRAM DEPARTMENT OF MATHEMATICS FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 017 ii

3 iii

4 iv

5 HALAMAN PERSEMBAHAN Dan biarkan kepercayaanmu lebih besar dari ketakutanmu. JUMP!! And you will find out how to unfold your wings as you fall. If you get tired, learn to rest, not to quit. Karya ini dipersembahkan untuk Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang senantiasa menyertaiku, kedua orang tua tercinta, Sasra Budiawan dan Meitje, kakak tersayang, Andre Wijaya Budiawan, dan saudara/i keluarga besar dari kedua orang tua yang terkasih. v

6 ABSTRAK Skripsi ini membahas penurunan dan penyelesaian model aliran darah satu dimensi pada arteri manusia. Model aliran darah diturunkan dari hukum kekekalan massa dan momentum, kemudian didapatkan dua model aliran darah dalam sistem (A,Q) dan sistem (A,u). Di sini A adalah luas penampang melintang arteri, Q adalah fluks volume, dan u adalah kecepatan rata-rata pada setiap penampang melintang arteri. Model aliran darah sistem (A,Q) merupakan bentuk hukum kesetimbangan, sedangkan model aliran darah sistem (A,u) merupakan bentuk hukum kekekalan. Kedua model tersebut merupakan sistem persamaan diferensial parsial hiperbolik. Mencari solusi analitis kedua model tersebut tidaklah mudah, maka solusi analitis didekati secara numeris. Metode yang dipakai adalah metode volume hingga dengan definisi fluks Lax-Friedrichs. Kedua model diselesaikan dengan nilai awal dan nilai batas yang sama. Denyut tekanan darah hasil simulasi kedua model sangat mirip. Untuk menentukan model mana yang lebih baik secara numeris, dihitung residual masing-masing model. Model dikatakan lebih baik secara numeris jika model tersebut memiliki nilai mutlak residual yang lebih kecil. Dari hasil penelitian dalam skripsi ini, sistem (A,Q) mempunyai unjuk kerja model yang lebih baik dibandingkan sistem (A,u). Kata kunci: aliran darah, hukum kesetimbangan, hukum kekekalan, persamaan diferensial parsial hiperbolik, metode volume hingga, fluks Lax-Friedrichs. vi

7 ABSTRACT This thesis discusses about the derivation and solution of models of onedimensional blood flows in human artery. Blood flows models are derived from mass and momentum conservation laws, then we get two blood flows models which are in the form of (A,Q) system and (A,u) system. Here, A is artery cross section area, Q is volume flux, and u is average velocity in every artery cross section. The blood flows model in the (A,Q) system is in the form of balance law, and the blood flows model in the (A,u) system is in the form of conservation law. Both models are hyperbolic partial differential equation systems. Finding analytical solutions of both models is not easy, so analytical solutions will be approximated using a numerical method. The method which is used to find the numerical solution is the finite volume method with the Lax-Friedrichs flux formulation. Both models are solved with the same initial and boundary values. The forms of blood pressure pulses from both models are quite similar. To assess which model is better in the numerical sense, we compute the residual of each model. A model is said to be better in the numerical sense, if the model has smaller residual absolute values. Based on research results in this thesis, the (A,Q) system performs better than the (A,u) system. Keywords: blood flows, balance law, conservation law, hyperbolic partial differential equation, finite volume method, Lax-Friedrichs flux. vii

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains dari Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma. Banyak tantangan dalam penulisan skripsi ini. Namun demikian, dengan penyertaan Tuhan dan dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi sekaligus dosen pembimbing yang dengan sabar dan penuh semangat dalam membimbing penulisan skripsi ini.. Bapak YG. Hartono, S.Si., M.Sc., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Matematika. 3. Ibu M. V. Any Herawati, S.Si., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik. 4. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, SJ., Bapak Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc., Bapak Dr. rer. nat. Herry P. Suryawan, S.Si., M.Si., dan Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si. selaku dosen Program Studi Matematika yang telah memberikan ilmu-ilmu yang sangat berguna dalam penulisan skripsi. 5. Kedua orang tua dan kakak yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam menyusun skripsi. 6. Teman-teman Program Studi Matematika, Sorta, Ambar, Yui, Melisa, Ezra, Yuni, Laras, Agung, Tia, Bintang, Lya, Sisca, Natali, Yola, Sari, Dhita, Rey, viii

9 ix

10 x

11 xi

12 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii HALAMAN PENGESAHAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii KATA PENGANTAR... viii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... x PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... xi DAFTAR ISI... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 4 C. Batasan Masalah... 4 D. Tujuan Penulisan... 4 E. Metode Penulisan... 5 F. Manfaat Penulisan... 5 G. Sistematika Penulisan... 5 xii

13 BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL... 8 A. Turunan... 8 B. Big-O dan Little-o C. Deret Taylor... 1 D. Penurunan Numeris E. Nilai dan Vektor Eigen F. Persamaan Diferensial G. Persamaan Diferensial Parsial Hiperbolik H. Galat Pemotongan Lokal... 1 I. Metode Karakteristik untuk Persamaan Diferensial Parsial... 5 J. Fungsi Galat... 9 BAB III MODEL ALIRAN FLUIDA SECARA SEDERHANA A. Bentuk Sederhana Model Aliran Fluida B. Persamaan Termodifikasi C. Metode Tingkat Satu dan Difusi D. Keakuratan BAB IV PEMODELAN DAN SOLUSI NUMERIS ALIRAN DARAH A. Penurunan Model Aliran Darah B. Metode Volume Hingga C. Hasil Simulasi dan Analisis xiii

14 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini, penerapan ilmu Matematika semakin berkembang dalam berbagai bidang. Salah satu cabang ilmu Matematika adalah pemodelan matematis. Pemodelan matematis mampu mendeskripsikan suatu permasalahan real ke dalam bentuk sistem persamaan matematis. Dalam hal ini, sistem persamaan matematis disebut sebagai model matematika. Untuk menyusun suatu model matematika tentunya dibutuhkan pengetahuan mengenai ilmu Matematika secara umum dan ilmu mengenai bidang permasalahan terkait secara khusus. Pemodelan matematis dapat digunakan dalam berbagai bidang seperti sains, teknologi, bisnis, manajemen, dan lain-lain. Pada saat ilmu pemodelan matematis belum digunakan secara luas, banyak orang dan ilmuwan melakukan eksperimen langsung terhadap suatu permasalahan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan adanya model matematika, diharapkan bahwa suatu permasalahan dapat diselesaikan tanpa melakukan eksperimen secara langsung. Beberapa contoh model matematika antara lain adalah model arus lalu lintas, model gelombang air dangkal, dan model aliran darah. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai model aliran darah satu dimensi pada arteri manusia. Darah adalah salah satu komponen dalam tubuh manusia yang memiliki peranan sangat penting. Salah satu peranan penting darah adalah mengangkut oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dalam tubuh. Dalam kasus khusus, aliran 1

16 darah dapat terhambat karena adanya penyumbatan atau penyempitan rongga arteri. Kondisi tersebut sangatlah berbahaya dan dapat menimbulkan penyakit yang serius, sehingga harus segera diatasi. Beberapa cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah operasi by-pass dan implantasi tabung stainless-steel (stent implantation). Meski begitu, cara tersebut menimbulkan efek gangguan pola aliran dan tekanan darah. Dalam skripsi ini tidak akan dibahas cara mengatasi masalah aliran darah tanpa menimbulkan efek gangguan pola aliran dan tekanan darah, namun akan dibahas cara memodelkan aliran darah, menyelesaikan dan mensimulasikan model aliran darah, serta menentukan model yang lebih baik secara numeris sesuai dengan masalah dari dunia nyata. Dalam hal ini, model matematika yang cukup sederhana dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena atau permasalahan mengenai aliran darah. Dalam menurunkan model, diasumsikan bentuk arteri manusia adalah silindris dengan penampang melintang S berbentuk lingkaran dan koordinat z sejajar sumbu silinder. Arteri manusia diilustrasikan dalam Gambar Gambar Ilustrasi bentuk arteri manusia

17 3 Dengan memodelkan aliran darah secara langsung dari permasalahan nyata, didapatkan model sebagai berikut A t + Q z = 0 Q { t + z (Q A ) + A p (1.1.1) ρ z = 0, dengan A, Q, dan p berturut-turut adalah luas penampang arteri S, fluks volume, dan tekanan darah rata-rata pada S. Lebih lanjut, ρ adalah massa jenis darah, z adalah variabel ruang, dan t adalah variabel waktu. Model (1.1.1) disebut sistem (A,Q). Model tersebut bukan satu-satunya model yang merepresentasikan permasalahan aliran darah. Aliran darah juga dapat dimodelkan sebagai berikut A t + (Au) = 0 z u { t + z (u ) + 1 p (1.1.) ρ z = 0, dengan u adalah kecepatan aliran darah rata-rata pada S. Model (1.1.) disebut sistem (A,u). Secara analitis, mencari solusi dari model aliran darah tersebut akan sangat sulit, sehingga solusi akan didekati secara numeris. Dalam hal ini, bentuk model aliran darah pada persamaan (1.1.1) dan (1.1.) adalah sistem persamaan diferensial parsial hiperbolik. Bentuk model ini dapat menghasilkan solusi diskontinyu meskipun nilai awalnya kontinyu sehingga metode numeris yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah metode volume hingga. Metode volume hingga dapat digunakan untuk menyelesaikan model dengan solusi kontinyu maupun diskontinyu.

18 4 Metode volume hingga berkaitan erat dengan metode beda hingga, dan metode volume hingga dapat dipandang langsung sebagai pendekatan beda hingga terhadap persamaan diferensial (LeVeque, 00). Dengan menyelesaikan sistem persamaan model aliran darah tersebut secara numeris, akan didapat nilai pendekatan A, Q, dan p yang bergantung pada variabel bebas z (posisi) dan t (waktu), sehingga luas penampang arteri S, debit aliran darah, dan tekanan darah pada posisi di-z dan waktu ke-t di bagian rongga arteri dapat diprediksi. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana memodelkan aliran darah satu dimensi pada arteri manusia?. Bagaimana menyelesaikan sistem persamaan model aliran darah satu dimensi pada arteri manusia secara numeris dengan metode volume hingga? 3. Model aliran darah satu dimensi pada arteri manusia manakah yang lebih baik secara numeris? C. Batasan Masalah Dalam skripsi akan dicari solusi numeris dari sistem persamaan model aliran darah dengan metode volume hingga, terbatas pada masalah satu dimensi. D. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Memodelkan aliran darah satu dimensi pada arteri manusia.

19 5. Mencari solusi numeris dari sistem persamaan model aliran darah satu dimensi pada arteri manusia. 3. Membandingkan dua sistem persamaan model aliran darah satu dimensi pada arteri manusia, sehingga diperoleh suatu sistem yang lebih baik secara numeris (dibandingkan dengan sistem yang lain). E. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan untuk menulis skripsi ini adalah studi pustaka dari buku-buku dan jurnal-jurnal, serta praktik simulasi numeris. F. Manfaat Penulisan Dengan mengetahui solusi sistem persamaan model aliran darah tersebut, luas penampang arteri, debit aliran darah, dan tekanan darah dapat diprediksi, sehingga dapat diprediksi seberapa cepat obat, nutrisi, racun, atau zat-zat lainnya dapat menyebar ke tubuh manusia. G. Sistematika Penulisan Berikut ini adalah sistematika penulisan skripsi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Batasan Masalah D. Tujuan Penulisan

20 6 E. Metode Penulisan F. Manfaat penulisan G. Sistematika Penulisan BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL A. Turunan B. Big-O dan Little-o C. Deret Taylor D. Penurunan Numeris E. Nilai dan Vektor Eigen F. Persamaan Diferensial G. Persamaan Diferensial Parsial Hiperbolik H. Galat Pemotongan Lokal I. Metode Karakteristik untuk Persamaan Diferensial Parsial J. Fungsi Galat BAB III MODEL ALIRAN FLUIDA SECARA SEDERHANA A. Bentuk Umum Model Aliran Fluida B. Persamaan Termodifikasi C. Metode Tingkat Satu dan Difusi D. Keakuratan BAB IV PEMODELAN DAN SOLUSI NUMERIS ALIRAN DARAH A. Penurunan Model Aliran Darah B. Metode Volume Hingga C. Hasil Simulasi dan Analisis

21 7 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

22 BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL Bagian ini berisi landasan teori skripsi yang terdiri atas turunan, notasi big-o dan little-o, deret Taylor, penurunan numeris, nilai dan vektor eigen, persamaan diferensial, persamaan diferensial parsial hiperbolik, galat pemotongan lokal, metode karakteristik, dan fungsi galat. A. Turunan Berikut ini adalah definisi dan contoh dari turunan fungsi satu variabel. Definisi.1.1 Diketahui fungsi f: D f R R dan titik x 0 D f. Turunan fungsi f di titik x 0, dengan notasi f (x 0 ), adalah f (x 0 ) = lim h 0 f(x 0 + h) f(x 0 ) h (.1.1) dengan syarat nilai limit tersebut ada. Contoh.1.1 Tentukan turunan fungsi f(x) = x + x di titik x = 3. Penyelesaian: Dengan menggunakan Definisi.1.1 didapat penyelesaian sebagai berikut. f (3) = lim h 0 f(3 + h) f(3) h = lim h 0 (3 + h) + (3 + h) (3 + 3) h 8

23 9 = lim h 0 h + 7h h = lim h 0 h + 7 = 7. Aturan Rantai Jika f dan g mempunyai turunan, maka fungsi komposisi f g juga mempunyai turunan, yaitu (f g) (x) = f (g(x))g (x). (.1.) Jika y = f(u) dan u = g(x), maka dengan notasi Leibniz, y dapat diturunkan terhadap x, yaitu dy dx = dy du du dx. (.1.3) Penjelasan lebih lanjut mengenai aturan rantai dapat dilihat pada Thomas dkk. (009). Selanjutnya akan dibahas mengenai turunan parsial dari fungsi dua variabel. Definisi.1. Diketahui fungsi f: D f R R dan titik (x o, y 0 ) D f. Turunan parsial f terhadap x di titik (x o, y 0 ) adalah f x = d (x o,y 0 ) dx f(x, y f(x 0 + h, y 0 ) f(x 0, y 0 ) = lim, (.1.4) 0) x=x h 0 o h dengan syarat nilai limit tersebut ada. Turunan parsial di atas dapat dinotasikan dengan f x (x o, y 0 ). Definisi.1.3 Diketahui fungsi f: D f R R dan titik (x o, y 0 ) D f. Turunan parsial f terhadap y di titik (x o, y 0 ) adalah

24 10 f y = d (x o,y 0 ) dy f(x f(x 0, y 0 + h) f(x 0, y 0 ) 0, = lim, h 0 (.1.5) h y) y=y o dengan syarat nilai limit tersebut ada (Thomas dkk., 009). Turunan parsial di atas dapat dinotasikan dengan f y (x o, y 0 ). Contoh.1. Tentukan turunan parsial f(x, y) = x + y terhadap x dan y di titik (,3). Penyelesaian: Dengan menggunakan Definisi.1. didapat turunan parsial f terhadap x di titik (,3) sebagai berikut. f x (,3) = d dx f(x, 3) x= = lim h 0 f( + h, 3) f(,3) h = lim h 0 ( + h) + 3 ( + 3 ) h = lim h 0 h + 4h h = lim h 0 h + 4 = 4 Kemudian, dengan menggunakan Definisi.1.3 didapat turunan parsial f terhadap y di titik (,3) sebagai berikut. f y = d (,3) dy f(, y) y=3 = lim h 0 f(,3 + h) f(,3) h

25 11 = lim h 0 + (3 + h) ( + 3 ) h = lim h 0 h + 6h h = lim h 0 h + 6 = 6 B. Big-O dan Little-o Definisi..1 Diketahui fungsi f: D f R R dan g: D g R R, f(x) = O(g(x)) (..1) untuk x jika dan hanya jika terdapat bilangan real c > 0 dan x 0 sedemikian sehingga f(x) c g(x) (..) untuk setiap x x 0. Sedangkan f(x) = o(g(x)) (..3) untuk x jika dan hanya jika f(x) lim = 0. (..4) x g(x) Notasi O dibaca big-o, sedangkan notasi o dibaca little-o. Contoh..1 Diketahui fungsi f(x) = x 4 + 3x 10 dan g(x) = x 4, maka f(x) = O(g(x)) karena untuk c = 14 dan x 0 = 1 berlaku f(x) = x 4 + 3x 10

26 1 x 4 + 3x + 10 x 4 + 3x x 4 = 14x 4 = 14 g(x) Contoh.. Diketahui fungsi f(x) = 7x dan g(x) = x 4, maka f(x) = o(g(x)) karena f(x) lim x g(x) = lim 7 x x 3 = 0. C. Deret Taylor Fungsi yang terdiferensial tak hingga banyak kali dapat diperluas menjadi deret yang disebut deret Taylor. Definisi.3.1 Diketahui fungsi f: D f R R terdiferensial tak hingga banyak kali pada suatu interval I D f dengan a merupakan titik interior I. Fungsi f dapat dideretkan di sekitar titik a sebagai berikut f(x) = f(a) + f (a)(x a) + f (a) (x a) +! + f(n) (a) (x a) n +. n! (.3.1) Deret tersebut disebut deret Taylor f di sekitar titik a (Thomas dkk., 009). Contoh.3.1 Tentukan deret Taylor f(x) = 1 x di sekitar titik a =.

27 13 Penyelesaian: Berikut adalah turunan-turunan fungsi f f(x) = x 1, f (x) = x, f (x) = x 3,, f n (x) = ( 1) n n! x (n+1), sehingga didapat f() = 1, f () = 1, f () = 1,, fn () = ( 1) n n! (n+1). Jadi, deret Taylor f(x) = 1 di sekitar titik a = adalah x Definisi.3. 1 x = 1 (x ) (x ) (x )n ( 1) n n+1 +. Diketahui fungsi f: D f R R terdiferensial tak hingga banyak kali pada suatu himpunan terbuka A dengan (a, b) merupakan titik interior A. Fungsi f dapat dideretkan di sekitar titik (a, b) sebagai berikut f(x, y) = f(a, b) + f x (a, b)(x a) + f y (a, b)(y b) + 1! [f xx(a, b)(x a) + f xy (a, b)(x a)(y b) (.3.) + f yy (a, b)(y b) ] +. Deret tersebut disebut deret Taylor f di sekitar titik (a, b). D. Penurunan Numeris Nilai turunan dari fungsi f di titik x 0, dengan notasi f (x 0 ), dapat didekati secara numeris dengan beberapa metode dengan tingkat keakuratan tertentu. Berikut adalah beberapa metode penurunan numeris (Buchanan dan Turner, 199).

28 14 Diketahui fungsi f: R R dengan variabel bebas x adalah fungsi yang terdiferensial di titik x 0. Berdasarkan Definisi.1.1, didapatkan pendekatan sebagai berikut f (x 0 ) f(x 0 + h) f(x 0 ) h (.4.1) untuk nilai h tertentu. Pendekatan di atas disebut penurunan numeris beda maju. Cara lain untuk mendefinisikan turunan f di titik x 0 adalah f f(x 0 ) f(x 0 h) (x 0 ) = lim. (.4.) h 0 h Untuk nilai h tertentu, didapatkan pendekatan sebagai berikut f (x 0 ) f(x 0) f(x 0 h). (.4.3) h Pendekatan di atas disebut penurunan numeris beda mundur. Selain itu, turunan f di titik x 0 juga dapat didefinisikan sebagai f f(x 0 + h) f(x 0 h) (x 0 ) = lim. (.4.4) h 0 h Untuk nilai h tertentu, didapatkan pendekatan sebagai berikut f (x 0 ) f(x 0 + h) f(x 0 h). (.4.5) h Pendekatan di atas disebut penurunan numeris beda pusat. Penurunan numeris fungsi dua variabel adalah sebagai berikut (Rosloniec, 008). Diketahui fungsi f: R R R dengan variabel bebas x dan y, turunan numeris fungsi f terhadap variabel x di titik x 0 didefinisikan dalam berbagai cara sebagai berikut

29 15 f x f(x 0 + h, y) f(x 0, y), (.4.6) x=x 0 h f x f(x 0, y) f(x 0 h, y), (.4.7) x=x 0 h f x f(x 0 + h, y) f(x 0 h, y). (.4.8) x=x 0 h Secara berturut-turut, pendekatan di atas merupakan penurunan numeris beda maju, beda mundur, dan beda pusat. Hal yang serupa juga berlaku pada variabel y. Turunan numeris fungsi f terhadap variabel y di titik y 0 didefinisikan dalam berbagai cara sebagai berikut f y f(x, y 0 + h) f(x, y 0 ), (.4.9) h y=y 0 f y f(x, y 0) f(x, y 0 h), (.4.10) h y=y 0 f y f(x, y 0 + h) f(x, y 0 h). (.4.11) h y=y 0 Dengan menggunakan deret Taylor f(x 0 + h), f(x 0 h), f(x 0 + h, y), f(x 0 h, y), f(x, y 0 + h), dan f(x, y 0 h) didapatkan tingkat keakuratan penurunan numeris beda maju dan mundur adalah satu, sedangkan tingkat keakuratan penurunan numeris beda pusat adalah dua. Perhitungan tingkat keakuratan penurunan numeris dapat dilihat pada lampiran. E. Nilai dan Vektor Eigen Diketahui matriks A berukuran n n. Vektor tak nol x yang memenuhi

30 16 Ax = λx (.5.1) dengan λ R, disebut vektor eigen dari matriks A. Bilangan real λ disebut nilai eigen dari matriks A yang berkaitan dengan vektor eigen x (Budhi, 1995). Teorema.5.1 Bilangan real λ merupakan nilai eigen dari matriks A jika dan hanya jika λ memenuhi persamaan det(a λi) = 0. (.5.) Persamaan (.5.) di atas disebut sebagai persamaan karakteristik. Contoh.5.1 Diketahui matriks A berukuran A = [ 5 6 ]. Nilai eigen dari matriks A dapat dicari menggunakan Teorema.5.1 det(a λi) = det ([ 5 6 ] [λ 0 0 λ ]) sehingga didapat persamaan karakteristik 5 λ 6 = det ([ λ ]) = λ 3λ + λ 3λ + = 0. Jadi, nilai eigen dari matriks A adalah λ 1 = dan λ = 1. Selanjutnya vektor eigen matriks A dapat dicari dengan substitusi masingmasing nilai eigen ke persamaan (.5.1). Untuk λ 1 = [ 5 6 ] [x y ] = [x y ], (.5.3) sehingga didapat vektor eigen x 1 dari matriks A yang berkaitan dengan λ 1

31 17 x 1 = [ 1 ] k 1 dengan k 1 0 merupakan sebarang konstanta real. Dengan cara yang sama, didapatkan vektor eigen x dari matriks A yang berkaitan dengan λ yaitu x = [ 3 ] k dengan k 0 merupakan sebarang konstanta real. Matriks A berukuran n n dapat didiagonalkan jika dan hanya jika terdapat matriks tak singular P sedemikian sehingga A = PDP 1 (.5.4) dengan D merupakan matriks diagonal dan P 1 merupakan invers dari matriks P. Berikut ini merupakan syarat cukup suatu matriks dapat didiagonalkan. Teorema.5. Jika A adalah matriks berukuran n n yang memiliki n buah nilai eigen yang berbeda, maka matriks A dapat didiagonalkan. Matriks A berukuran seperti pada Contoh.5.1 merupakan contoh matriks yang dapat didiagonalkan karena memiliki dua nilai eigen berbeda. Penjelasan lebih lanjut mengenai teorema di atas dapat dilihat pada Budhi (1995). F. Persamaan Diferensial Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang menyatakan hubungan suatu fungsi dengan turunan-turunannya. Berikut ini adalah contoh persamaan diferensial.

32 18 Contoh.6.1 dy dx + x = 3 (.6.1) d y dx + 5 dy dx + y = 0 (.6.) dy dx + y = 1 (.6.3) d 3 y dx 3 + y (d dx ) + dy dx = sin(x) (.6.4) ( d y dx ) ( dy 3 dx ) y = x (.6.5) z x + z z = 0 (.6.6) y z x z + x + sin (z) = 0 (.6.7) y Secara umum, persamaan diferensial diklasifikasi berdasarkan jumlah variabel bebasnya. Persamaan diferensial yang memuat satu variabel bebas disebut persamaan diferensial biasa, sedangkan persamaan diferensial yang memuat dua atau lebih variabel bebas disebut persamaan diferensial parsial. Persamaan (.6.1)- (.6.5) merupakan contoh persamaan diferensial biasa, sedangkan persamaan (.6.6) dan (.6.7) merupakan contoh persamaan diferensial parsial. Persamaan diferensial juga dapat diklasifikasi berdasarkan tingkat (order)-nya. Tingkat dari persamaan diferensial merupakan tingkat dari turunan tertinggi yang termuat pada persamaan diferensial (Ayres, 1981). Bentuk umum persamaan diferensial biasa tingkat ke-n adalah

33 19 F(x, u, u, u,, u (n) ) = 0 (.6.8) dengan x adalah variabel bebas, u adalah sebarang fungsi terhadap x, dan u (n) adalah turunan ke-n dari fungsi u (Boyce dan DiPrima, 01). Sedangkan, bentuk umum persamaan diferensial parsial tingkat ke-n adalah F(x 1, x,, u, u, u,, u (n) ) = 0 (.6.9) dengan x 1, x, adalah variabel bebas, u adalah sebarang fungsi terhadap x 1, x,, dan u (n) adalah turunan parsial ke-n dari fungsi u. Persamaan (.6.1), (.6.3), dan (.6.6) merupakan persamaan diferensial tingkat satu; (.6.), (.6.5), dan (.6.7) merupakan persamaan diferensial tingkat dua; dan (.6.4) merupakan persamaan diferensial tingkat tiga. Selain itu, persamaan diferensial dapat diklasifikasikan menjadi persamaan diferensial linear dan nonlinear. Persamaan diferensial yang fungsi dan suku-suku turunannya (baik itu turunan biasa maupun turunan parsial) bersifat linear disebut persamaan diferensial linear. Jika terdapat fungsi atau suku turunan yang bersifat nonlinear, maka disebut persamaan diferensial nonlinear. Persamaan (.6.1)-(.6.3) merupakan persamaan diferensial biasa linear; persamaan (.6.4) dan (.6.5) merupakan persamaan diferensial biasa nonlinear; persamaan (.6.6) merupakan persamaan diferensial parsial linear; dan persamaan (.6.7) merupakan persamaan diferensial parsial nonlinear. G. Persamaan Diferensial Parsial Hiperbolik Diberikan hukum kekekalan

34 0 u t (z, t) + f(u(z, t)) z = 0 (.7.1) dengan f(u) merupakan fungsi fluks. Dalam bentuk kuasilinear, persamaan tersebut ditulis menjadi u t + Au z = 0 (.7.) dengan A = f (u) merupakan matriks Jacobian dari fungsi fluks. Persamaan diferensial parsial di atas disebut hiperbolik jika dan hanya jika matriks Jacobian dari fungsi fluksnya, yaitu f (u), memiliki nilai eigen yang semuanya real dan matriks tersebut dapat didiagonalkan (LeVeque, 199). Elemen baris ke-i dan kolom ke-j dari matriks Jacobian f (u) adalah f i uj. Lebih jelasnya lagi, perhatikan definisi berikut. Definisi.7.1 f 1 (x ) x 1 Diketahui fungsi bernilai vektor F (x ) = [ ] dengan x = [ ]. Matriks f m (x ) x n Jacobian dari F didefinisikan sebagai berikut Contoh.7.1 J = F x = f 1 f 1 x 1 x n. (.7.3) f m f m [ x 1 x n ] 5x 1 x Diketahui fungsi bernilai vektor F (x ) = [ 3x 1 + 7x ] dengan x = [x 1 x ]. Pada kasus ini, f 1 = 5x 1 x dan f = 3x 1 + 7x sehingga matriks Jacobian dari F adalah

35 1 f 1 f 1 x J = 1 x f f [ x 1 x ] = [ 5x 5x x ]. H. Galat Pemotongan Lokal Galat pemotongan lokal L z (z, t) merupakan suatu ukuran seberapa baik persamaan diferensi memodelkan persamaan diferensial secara lokal (LeVeque, 199). Galat pemotongan lokal didefinisikan dengan cara menggantikan solusi pendekatan persamaan-persamaan diferensi U i n dengan solusi eksak u(z i, t n ). Tentunya, solusi eksak dari persamaan diferensial parsial merupakan solusi pendekatan persamaan-persamaan diferensi. Seberapa baik solusi eksak tersebut memenuhi persamaan-persamaan diferensi akan memberikan indikasi seberapa baik solusi eksak persamaan-persamaan diferensi memenuhi persamaan diferensial. Perhatikan persamaan diferensial (.7.1) dengan f(u) = au dan diskritisasi domain ruang dan waktu berikut z i = i z, (.8.1) t n = n t, (.8.) dengan z dan t adalah konstan, i {,, 1,0,1,, }, dan n {0,1,,3, }. Dengan kata lain, t adalah konstan. Untuk analisis lebih lanjut, diasumsikan bahwa z a adalah suatu konstanta positif. Asumsikan bahwa solusi u(z, t) merupakan fungsi halus, yaitu fungsi yang kontinyu, terdiferensial, dan turunannya kontinyu. Jika suku-suku u t dan f(u) z

36 persamaan tersebut didekati secara numeris, maka didapatkan skema volume hingga berikut U n+1 n i U i + t n n F 1 i = 0 z F i+ 1 (.8.3) atau U n+1 i = U n i t z (F n i+ 1 F n 1) (.8.4) i n dengan F i+1 n dan F i 1 merupakan fluks yang dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Untuk definisi fluks Lax-Friedrichs (LeVeque, 00), dan F n 1 = f(u i+1 n ) + f(u n i ) z i+ t (U i+1 n U n i ) (.8.5) F n 1 i = f(ui n ) + f(u n ) i 1 z t (U i n U n i 1 ) (.8.6) dengan f(u i n ) = au i n dan sebarang skalar a. Jika persamaan (.8.5) dan (.8.6) disubstitusikan ke dalam persamaan (.8.4), maka didapatkan persamaan 1 t [U i n+1 1 (U i+1 n + U n i 1 )] + 1 z a(u i+1 n U n i 1 ) = 0. (.8.7) Jika setiap U i n pada persamaan di atas diganti dengan solusi eksak u(z, t), maka nilai di ruas kanan tidak tepat sama dengan nol, sehingga didapat galat pemotongan lokal metode Lax-Friedrichs L z (z, t) = 1 t [u(z, t + t) 1 (u(z + z, t) + u(z z, t))] + 1 a[u(z + z, t) u(z z, t)]. z (.8.8)

37 3 Karena solusi diasumsikan merupakan fungsi halus, maka u(z, t) pada ruas kanan persamaan (.8.8) dapat dijabarkan menjadi deret Taylor sehingga didapatkan L z (z, t) = 1 t [(u + tu t + 1 t u tt + ) (u + 1 z u zz + )] + 1 z a [ zu z + z3 3 u zzz + ] = 1 t [ tu t + 1 t u tt 1 z u zz + O( t 3 ) + O( z 4 )] + au z + O( z ). (.8.9) Berdasarkan asumsi bahwa t adalah konstan, didapatkan z L z (z, t) = u t + au z + 1 ( tu tt z t u zz) + O( z ). (.8.10) Karena u(z, t) diasumsikan sebagai solusi eksak, maka u t + au z = 0 atau u t = au z, sehingga u tt = au zt = au tz = a( au z ) z = a u zz. (.8.11) Substitusi persamaan-persamaan di atas ke persamaan (.8.10) didapat L z (z, t) = ( ta u zz z t u zz) + O( z ) = 1 t (a z t ) u zz + O( z ) = O( z) (.8.1) ketika z 0. Jadi, tingkat keakuratan metode numeris Lax-Friedrichs adalah satu.

38 4 Sedangkan untuk definisi fluks Upwind (LeVeque, 00), F n 1 = f(u n n i+ i ) = au i (.8.13) dan F n 1 i = f(u n i 1 ) = au n i 1. (.8.14) Jika persamaan (.8.13) dan (.8.14) disubstitusikan ke dalam persamaan (.8.4), maka didapatkan persamaan 1 t [U i n+1 U n i ] + 1 z a(u i n U n i 1 ) = 0. (.8.15) Dengan cara yang sama, didapatkan galat pemotongan lokal metode Upwind L z (z, t) = 1 [u(z, t + t) u(z, t)] t + 1 z a[u(z, t) u(z z, t)]. (.8.16) Jika suku-suku u(z, t + t) dan u(z z, t) dijabarkan dengan deret Taylor, maka didapatkan L z (z, t) = 1 t [u + tu t + t u tt + u] + 1 z a [u u + zu z z u zz + ] = u t + au z + a u tt z ( t z a u zz) + O( z ). (.8.17) Karena u(z, t) diasumsikan sebagai solusi eksak, maka u t + au z = 0. Berdasarkan persamaan (.8.11) dan asumsi t adalah konstan, persamaan (.8.17) dapat ditulis menjadi z

39 5 L z (z, t) = 0 + a a u zz z ( t u z a zz ) + O( z ) = O( z). (.8.18) Jadi, tingkat keakuratan metode numeris Upwind adalah satu. I. Metode Karakteristik untuk Persamaan Diferensial Parsial Perhatikan persamaan diferensial parsial tingkat satu berikut, a(x, y, u)u x + b(x, y, u)u y c(x, y, u) = 0. (.9.1) Persamaan tersebut diasumsikan memiliki solusi dalam bentuk u = u(x, y), atau secara implisit f(x, y, u) u(x, y) u = 0 (.9.) merepresentasikan suatu permukaan solusi (solution surface) dalam ruang (x, y, u). Persamaan (.9.) sering disebut sebagai permukaan integral (integral surface) dari persamaan (.9.1). Di setiap titik (x, y, u) pada permukaan solusi, vektor gradien f = (f x, f y, f u ) = (u x, u y, 1) merupakan vektor normal permukaan solusi. Di lain pihak, persamaan (.9.1) dapat ditulis dalam bentuk perkalian titik (dot product) antara dua vektor yaitu au x + bu y c = (a, b, c) (u x, u y, 1) = 0, (.9.3) Sehingga didapatkan bahwa vektor (a, b, c) merupakan vektor singgung dari permukaan solusi pada titik (x, y, u).

40 6 Gambar.9.1. Vektor normal dan vektor singgung dari permukaan solusi di titik (x, y, u) Kurva pada ruang (x, y, u) yang garis singgung setiap titiknya berimpit dengan medan arah karakteristik (a, b, c) disebut kurva karakteristik. Jika persamaan parameter dari kurva karakteristik tersebut adalah x = x(t), y = y(t), u = u(t), (.9.4) maka vektor singgung kurva tersebut adalah ( dx dt, dy, du dt dt ). Berdasarkan persamaan (.9.3) didapat sistem persamaan diferensial biasa dari kurva karakteristik sebagai berikut dx dy du = a(x, y, u), = b(x, y, u), dt dt dt = c(x, y, u), (.9.5) atau secara ekuivalen dapat ditulis sebagai dx a = dy b = du c. (.9.6) Persamaan di atas disebut persamaan karakteristik dari persamaan (.9.1).

41 7 Teorema.9.1 Solusi umum dari persamaan diferensial parsial tingkat satu a(x, y, u)u x + b(x, y, u)u y = c(x, y, u) (.9.7) adalah f(φ, ψ) = 0, (.9.8) dengan f merupakan sebarang fungsi dari φ(x, y, u) dan ψ(x, y, u), serta φ = c 1 dan ψ = c merupakan kurva solusi persamaan karakteristik 09. dx a = dy b = du c. (.9.9) Bukti dari Teorema.9.1 dapat dilihat pada karya Debnath (01) halaman Contoh.9.1 Tentukan solusi umum dari persamaan diferensial parsial tingkat satu berikut Penyelesaian: xu x + yu y = u. (.9.10) Kurva karakteristik dari persamaan (.9.10) adalah dx x = dy y = du u, (.9.11) yang tidak lain merupakan sistem persamaan diferensial biasa dengan tiga persamaan. Fungsi φ dan ψ dapat dicari dengan menyelesaikan sebarang dua persamaan diferensial biasa di atas. Untuk dx x = dy y, didapat 1 x dx = 1 y dy ln(x) = ln(y) + k 1 x = ye k 1

42 8 y x = c 1 dengan c 1 adalah sebarang konstan, sehingga φ = y x = c 1. Sedangkan untuk dx x = du u, didapat 1 x dx = 1 u du ln(x) = ln(u) + k x = ue k u x = c dengan c adalah sebarang konstan, sehingga ψ = u = c x. Jadi, solusi umum persamaan (.9.10) adalah f(φ, ψ) = 0 atau f ( y x, u x ) = 0, dengan f sebarang fungsi. Secara eksplisit, solusi umum persamaan (.9.10) dapat ditulis atau u x = g (y x ) u(x, y) = xg ( y x ), dengan g sebarang fungsi. Agar pembahasan lengkap, dapat diperiksa bahwa u(x, y) = xg ( y x ) adalah benar-benar solusi persamaan (.9.10) sebagai berikut.

43 9 u x = 1g ( y x ) xg (y x ) y x = g ( y x ) y x g (y x ) (.9.1) u y = xg ( y x ) 1 x = g ( y x ) (.9.13) Berdasarkan persamaan (.9.1) dan (.9.13), maka didapat xu x + yu y = xg ( y x ) yg (y x ) + yg (y x ) = xg ( y x ) = u. (.9.14) Jadi, diperoleh xu x + yu y = u untuk u(x, y) = xg ( y x ). J. Fungsi Galat Fungsi galat, atau disebut juga integral probabilitas (Coleman, 013), didefinisikan sebagai berikut erf(x) = π e z dz. 0 x (.10.1) Fungsi galat merupakan fungsi ganjil, yaitu fungsi yang simetri terhadap titik O(0,0), sehingga berlaku sifat erf( x) = erf (x). Perhatikan bahwa f(x) = e x (.10.) memiliki bentuk grafik yang mirip dengan grafik fungsi densitas normal, yaitu berbentuk seperti lonceng (lihat Gambar.10.1)

44 30 Gambar Grafik y = e x Kemudian, fungsi galat komplementer didefinisikan sebagai berikut erfc(x) = 1 erf(x). (.10.3) Gambar.10. adalah gambar grafik fungsi galat dan fungsi galat komplementer. Gambar.10.. Grafik fungi galat dan fungsi galat komplementer

45 BAB III MODEL ALIRAN FLUIDA SECARA SEDERHANA A. Bentuk Sederhana Model Aliran Fluida Fenomena mengenai pergerakan gelombang atau transportasi adveksi dari suatu zat dapat dimodelkan secara matematis dengan sistem persamaan diferensial parsial hiperbolik. Perhatikan persamaan adveksi skalar dengan nilai awal diskontinyu berikut, u t + au z = 0 (3.1.1) 1, jika z 0 u 0 (z) = { 0, jika z > 0 (3.1.) dengan z (, ), t 0, dan a > 0. Persamaan tersebut merupakan model aliran fluida yang paling sederhana dengan u merupakan kuantitas (tekanan, debit aliran, volume, dan lain-lain) yang nilainya tidak diketahui. Konstanta a merupakan kecepatan aliran fluida. Jika a positif maka fluida mengalir ke arah sumbu positif (kanan), dan jika a negatif maka fluida mengalir ke arah sumbu negatif (kiri). Persamaan (3.1.1) merupakan persamaan diferensial parsial hiperbolik jika a merupakan konstanta real. Persamaan tersebut merupakan salah satu contoh hukum kekekalan u t + f(u) z = 0, (3.1.3) dengan f(u) = au merupakan fungsi fluks. Misal, 31

46 3 Q i n u(z i, t n ) (3.1.4) atau Q n i 1 z z i+ 1 u(z, tn ) dz (3.1.5) z i 1 merupakan pendekatan nilai rata-rata u pada interval ke-i dan waktu t n. Dengan menggunakan pendekatan numeris, u t dan f(u) z dapat ditulis menjadi u t u(z i, t n+1 ) u(z i, t n ) t Q i n+1 Q i n t (3.1.6) dan f (u (z 1 i+, t n )) f (u (z 1 i, t n )) f(u) z z n n F 1 i. z F i+ 1 (3.1.7) Dengan substitusi persamaan (3.1.6) dan (3.1.7) ke dalam persamaan (3.1.3), didapatkan solusi metode volume hingga Q n+1 i = Q n i t z (F n i+ 1 F 1 i n ) (3.1.8) dengan F n 1 i+ merupakan pendekatan fluks rata-rata pada interface z 1 i+ yang dapat didefinisikan dalam berbagai cara, diantaranya adalah definisi fluks Lax-Friedrichs dan fluks Upwind. Fluks Lax-Friedrichs didefinisikan sebagai berikut, F n 1 = f(u(z i+1, t n )) + f(u(z i, t n )) z i+ t (u(z i+1, t n ) u(z i, t n )) (3.1.9) dan F n 1 = f(u(z i, t n )) + f(u(z i 1, t n )) z i t (u(z i, t n ) u(z i 1, t n )). (3.1.10) Sedangkan fluks Upwind didefinisikan secara lebih sederhana, yaitu

47 33 F n 1 = f(u(z i, t n )) i+ (3.1.11) dan F n 1 = f(u(z i 1, t n )). i (3.1.1) Berikut ini adalah gambar solusi numeris persamaan adveksi skalar (3.1.1) dengan nilai awal (3.1.), a = 1, z = 0.005, dan t = 0.5 z pada waktu t = 0.5 (Yoman, 014). Gambar Solusi numeris dengan definisi fluks Lax-Friedrichs

48 34 Gambar Solusi numeris dengan definisi fluks Upwind Pada kedua gambar tersebut, terlihat bahwa solusi numeris menghasilkan galat yang cukup besar di sekitar titik diskontinyu. B. Persamaan Termodifikasi Penurunan persamaan termodifikasi berkaitan erat dengan perhitungan galat pemotongan lokal dari suatu metode. Perhatikan galat pemotongan lokal Lax- Friedrichs untuk persamaan (3.1.1) yang didapatkan dari persamaan (.8.10) L z (z, t) = u t + au z + 1 ( t u tt z t u zz) + O( z ). (3..1) Karena u(z, t) diambil sebagai solusi eksak dari u t + au z = 0, maka didapatkan galat pemotongan lokal L t (z, t) = O( t). Jika u(z, t) sekarang diasumsikan merupakan solusi persamaan diferensial parsial

49 35 u t + au z + 1 ( tu tt z t u zz) = 0, (3..) maka didapat galat pemotongan O( t ). Disimpulkan bahwa tingkat keakuratan pendekatan metode Lax-Friedrichs terhadap solusi (3..) adalah dua. Persamaan ini disebut persamaan termodifikasi untuk metode Lax-Friedrichs. Jika suku u tt pada persamaan (3..) dinyatakan ke dalam suku-suku turunan z, maka didapatkan persamaan yang lebih mudah untuk dianalisis. Perhatikan operasi aljabar yang didapatkan dari persamaan (3..) berikut u tt = au tz 1 ( tu ttt z t u zzt) = a[ au zz + O( t)] + O( t) = a u zz + O( t). (3..3) Dengan substitusi u tt = a u zz, persamaan termodifikasi (3..) dapat ditulis sebagai berikut u t + au z = z t (1 t z a ) u zz. (3..4) C. Metode Tingkat Satu dan Difusi bentuk Persamaan termodifikasi (3..4) merupakan persamaan adveksi-difusi dalam dengan konstanta difusi d sebagai berikut u t + au z = du zz, (3.3.1) d = z t (1 t z a ). (3.3.)

50 36 Gambar menunjukkan bahwa, untuk z dan t tertentu, solusi numeris metode Lax-Friedrichs persamaan adveksi skalar (3.1.1) mendekati solusi eksak persamaan termodifikasi (3.3.1). Untuk z 0 dan t 0, solusi numeris Lax- Friedrichs akan konvergen ke solusi eksak dari persamaan termodifikasi (3.3.1). Dengan cara yang sama, persamaan termodifikasi metode Upwind dapat diturunkan dari galat pemotongan lokal (.8.17) menjadi u t + au z = 1 t a z (1 z a) u zz. (3.3.3) Persamaan tersebut juga merupakan persamaan adveksi-difusi. D. Keakuratan Solusi metode Lax-Friedrichs dari persamaan (3.1.1) dengan nilai awal (3.1.) hanya berupa nilai pendekatan, dan solusi tersebut tidak lain merupakan solusi untuk persamaan termodifikasi (3.3.1), sehingga galat pendekatan numeris dapat diduga dengan beda solusi analitik dari persamaan (3.1.1) dan solusi analitik dari persamaan termodifikasi (3.3.1). Pendugaan tersebut bukan merupakan pendugaan galat yang tepat, dan hanya berlaku untuk nilai awal tertentu seperti pada (3.1.), tetapi pendugaan tersebut memberikan indikasi yang akurat terhadap pendugaan secara umum. Menurut Zoppou dan Roberts (1996), solusi analitis persamaan termodifikasi (3.3.1) dengan nilai awal (3.1.) adalah u d (z, t) = 1 1 at erf (z ). (3.4.1) 4td

51 37 Sedangkan solusi analitis persamaan (3.1.1) dapat dicari dengan menyelesaikan persamaan karakteristik dt dz du = 1, = a, dx dx dx = 0 (3.4.) Untuk dt dz = 1 dan = a, didapat penyelesaian sebagai berikut dx dx a dt = dz a dt = dz at + k 1 = z k 1 = z at. Untuk dt du = 1 dan = 0, didapatkan penyelesaian sebagai berikut dx dx 0 dt = du 0 dt = 1 du k = u. Solusi umum dari persamaan (3.1.1) adalah f(z at, u) = 0 (3.4.3) dengan f sebarang fungsi. Secara eksplisit, solusi umum tersebut dapat ditulis sebagai u = g(z at) (3.4.4) dengan g sebarang fungsi, sehingga didapatkan solusi analitis persamaan (3.1.1) dengan nilai awal (3.1.) sebagai berikut 1, jika z at u(z, t) = u 0 (z at) = { 0, jika z > at (3.4.5) Jadi, beda solusi analitis persamaan (3.1.1) dan solusi analitis persamaan termodifikasi (3.3.1) adalah

52 38 u(, t) u d (, t) at = at = 1 ( ( 1 1 at at erf (z ) dz 4td Misal y = z at, maka didapat at erf (z )) dz 4td at erf (z )) dz 4td at erf (z at 4td ) dz. (3.4.6) u(, t) u d (, t) = y erf ( ) dy 4td y erf ( ) dy. 4td (3.4.7) Misal w = y, maka didapat Misal ξ = u(, t) u d (, t) = w erf ( ) dw 4td y erf ( ) dy 4td = 1 w erfc ( 4td ) dw + 1 y erfc ( 4td ) dy y 4td 0 0 = erfc ( y 4td ) dy. (3.4.8) 0, maka didapat u(, t) u d (, t) = td erfc(ξ) dξ 0 = Κ td (3.4.9)

53 39 dengan Κ = erfc(ξ) dξ. Semakin besar nilai t, maka semakin besar pula nilai 0 u(, t) u d (, t). Artinya, untuk nilai t yang semakin besar, galat solusi metode numeris juga semakin besar. Dalam bab ini telah dibahas mengenai bentuk sederhana model aliran darah, persamaan termodifikasi, metode tingkat satu dan difusi, serta pendugaan keakuratan suatu metode. Dari pembahasan dalam bab ini tampak jelas bahwa metode yang akurat (khususnya pada bagian yang memuat titik diskontinyu) sangat diperlukan untuk menyelesaikan model matematika penjalaran gelombang dan aliran fluida. Sebagai catatan, model matematikanya sendiri haruslah realistis.

54 BAB IV PEMODELAN DAN SOLUSI NUMERIS ALIRAN DARAH A. Penurunan Model Aliran Darah Untuk memodelkan aliran darah, perhatikan ilustrasi bentuk arteri manusia pada Gambar Agar lebih sederhana, asumsikan bahwa luas penampang arteri S(z, t) tidak bergantung pada variabel ruang x dan y. Gambar Ilustrasi bentuk arteri manusia dengan asumsi penyederhanaan Selanjutnya, diasumsikan bentuk arteri manusia adalah silindris dengan bentuk setiap penampang melintangnya adalah lingkaran, dan koordinat z sejajar sumbu silinder. S(z, t) merupakan penampang melintang arteri untuk sebarang z dan t. Pada pembahasan selanjutnya, Gambar disebut volume kontrol. Pada setiap S didefinisikan, A(z, t) = dσ, (4.1.1) S u(z, t) = 1 A u dσ, (4.1.) S p(z, t) = 1 p dσ, A S (4.1.3) 40

55 41 dengan A adalah luas penampang arteri S, u adalah kecepatan aliran darah rata-rata pada S, p adalah tekanan darah rata-rata pada S, u adalah kecepatan aliran darah di titik z, p adalah tekanan darah di titik z. Kemudian, didefinisikan fluks volume Q(z, t) = A(z, t)u(z, t). Asumsikan bahwa darah merupakan fluida yang tak termampatkan sehingga kekentalan dan massa jenis darah konstan. Selanjutnya sifat struktural arteri seperti panjang arteri, tebal dinding arteri, dan lain-lain, diasumsikan konstan. 1. Hukum Kekekalan Massa Hukum kekekalan massa, seperti yang dikutip pada Sari (016), menyatakan bahwa massa tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, sehingga laju perubahan massa dalam volume kontrol ditambah netto fluks massa yang keluar dari volume kontrol sama dengan nol. Pernyataan tersebut dapat ditulis sebagai ρ dv dt + ρq(l, t) ρq(0, t) = 0, (4.1.4) dengan definisi volume sebagai berikut Perhatikan bahwa l V(t) = A(z, t) dz. (4.1.5) 0 l Q(l, t) Q(0, t) = Q z dz. (4.1.6) Jika persamaan (4.1.5) dan (4.1.6) disubstitusikan ke dalam persamaan (4.1.4), maka didapatkan 0

56 4 ρ d dt l A(z, t) dz 0 Karena l adalah konstan, maka l l + ρ Q z dz = 0. (4.1.7) 0 ρ ( A t + Q z ) dz = 0. (4.1.8) 0 Karena persamaan tersebut dipenuhi untuk sebarang konstan l, maka A t + Q z = 0. (4.1.9). Hukum Kekekalan Momentum Hukum Newton yang kedua, seperti yang dikutip pada Sari (016), menyatakan bahwa perubahan momentum dari suatu sistem sama dengan total gaya yang bekerja. Diasumsikan bahwa tidak ada fluks yang melalui dinding arteri, sehingga laju perubahan momentum dalam volume kontrol ditambah netto fluks momentum yang keluar dari volume kontrol sama dengan total gaya yang bekerja dalam volume kontrol. Pernyataan tersebut dapat ditulis sebagai berikut d dt l ρq(z, t) dz 0 + αρq(l, t)u(l, t) αρq(0, t)u(0, t) = F, (4.1.10) dengan ρq(z, t) adalah momentum, dan α adalah faktor koreksi fluks momentum. Kemudian, total gaya F didefinisikan sebagai berikut (Sherwin dkk., 003) F = p(0, t)a(0, t) p(l, t)a(l, t) + p A z dz 0 l l + f 0 dz, (4.1.11)

57 43 dengan f adalah gaya gesek darah dengan permukaan dalam dinding arteri per satuan panjang. Substitusi persamaan (4.1.11) ke dalam persamaan (4.1.10) akan menghasilkan persamaan berikut d dt l ρq(z, t) dz 0 + αρq(l, t)u(l, t) αρq(0, t)u(0, t) = p(0, t)a(0, t) p(l, t)a(l, t) + p A z dz 0 l (4.1.1) l + f 0 dz. Perhatikan bahwa αρq(l, t)u(l, t) αρq(0, t)u(0, t) = (αρqu) dz z 0 l (4.1.13) dan p(0, t)a(0, t) p(l, t)a(l, t) = (pa) z dz. (4.1.14) Substitusi persamaan (4.1.13) dan (4.1.14) ke dalam persamaan (4.1.1), didapatkan 0 l d dt l ρq(z, t) dz 0 l + (αρqu) dz z 0 l = (pa) z dz + p A z dz 0 0 l l + f 0 dz. (4.1.15) Karena ρ dan l adalah konstan tak nol, persamaan tersebut dapat ditulis menjadi l (ρ Q t 0 (αqu) + ρ ) dz z l = ( (pa) z 0 + p A z Persamaan tersebut dipenuhi untuk sebarang konstan l, sehingga + f) dz. (4.1.16)

58 44 ρ Q t Perhatikan bahwa + ρ (αqu) z (pa) z = (pa) z sehingga persamaan (4.1.17) dapat ditulis menjadi + p A z + f. (4.1.17) = p A p A z z, (4.1.18) Q t + (αqu) = A p z ρ z + f ρ (4.1.19) atau Q t + Q (α z A ) + A p ρ z f = 0. (4.1.0) ρ Berdasarkan hukum kekekalan massa dan momentum di atas, didapatkan model aliran darah satu dimensi pada arteri manusia sebagai berikut A t + Q z = 0, (4.1.1) Q t + z (Q A ) + A p = 0, (4.1.) ρ z dengan asumsi tambahan yaitu α = 1 dan f = 0. Model ini disebut model sistem (A, Q). Perhatikan bahwa Q = Au. Dengan asumsi bahwa A dan u merupakan fungsi halus, ruas kiri persamaan (4.1.) dapat ditulis menjadi Q t + z (Q A ) + A p ρ z = (Au) + t z (Au ) + A p ρ z = A u A u A + u + ua + u t t z z + A p ρ z

59 45 = A u A u u A + u + ua + u (A + u t t z z z ) + A p ρ z = A u u A (Au) + ua + u + u + A p t z t z ρ z = A u t + A z (u ) + A p ρ z. Dengan kata lain, persamaan (4.1.) dapat ditulis ulang menjadi A u t + A z (u ) + A p ρ z = 0 (4.1.3) sehingga didapatkan model aliran darah satu dimensi pada arteri manusia berikut Model ini disebut model sistem (A, u). A t + Au z = 0, (4.1.4) u t + z (u ) + 1 p = 0. (4.1.5) ρ z B. Metode Volume Hingga Mencari solusi secara analitis dari suatu model tidak selalu mudah. Karena itu, solusi tersebut didekati secara numeris sehingga didapat solusi pendekatan atau sering disebut solusi numeris. Dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode volume hingga. Metode ini dapat digunakan untuk mencari solusi kontinyu maupun diskontinyu sehingga cocok digunakan untuk mencari solusi numeris dari model dalam bentuk persamaan diferensial parsial, dimana model seperti itu dapat menghasilkan solusi diskontinyu meskipun nilai awalnya kontinyu. Berikut akan dicari masing-masing solusi dari model aliran darah sistem (A, Q) dan (A, u) dengan metode volume hingga dengan definisi fluks Lax-Friedrichs.

60 46 Perhatikan model aliran darah sistem (A, Q) untuk z (0, l) dan t > 0 berikut A t + Q z = 0 Q { t + z (Q A ) + A p (4..1) ρ z = 0. Di sini A, Q, dan p berturut-turut adalah luas penampang arteri S, fluks volume, dan tekanan darah. Kemudian ρ adalah massa jenis darah, z adalah variabel ruang, dan t adalah variabel waktu. Model ini terdiri dari dua persamaan dengan tiga variabel bergantung yaitu A, Q, dan p. Untuk mendapatkan dua persamaan dengan dua variabel bergantung maka didefinisikan suatu relasi yang menghubungkan tekanan darah dengan luas penampang arteri S (lihat Formaggia dkk., 00), p = p ext + β( A A 0 ) (4..) dengan p ext adalah tekanan eksternal dan A 0 adalah luas penampang arteri S pada saat t = 0. Pada skripsi ini diasumsikan bahwa p ext bernilai nol dan A 0 adalah konstan, sehingga bentuk arteri adalah silinder (tabung) pada saat t = 0. Kemudian β adalah parameter yang berhubungan dengan sifat elastisitas dinding arteri yang didefinisikan sebagai berikut, β(z) = 4 πh 0E(z) 3A 0 (4..3) dengan E(z) adalah modulus Young dan h 0 adalah tebal dinding arteri. Untuk mencari solusi numeris model aliran darah ini, diperhatikan diskritisasi domain ruang pada Gambar 4..1 dengan z i = i z, z = z i+1/ z 1 i = z i z i 1,

61 47 dan diskritisasi domain waktu t n = n t untuk sebarang bilangan bulat tak negatif i dan n. z i 3 z i 1 z i+ 1 z i+ 3 z i 1 z i z i+1 Gambar Diskritisasi domain ruang Lalu, perhatikan operasi aljabar berikut p z = z (β( A A 0)) = dβ dz A1 + β 1 A A z dβ dz A 0. (4..4) Dengan mengalikan masing-masing ruas dengan faktor A maka didapatkan ρ 1 A p ρ z = dβ A 3 dz ρ + β A 1 A ρ z A dβ ρ dz A 0. (4..5) Karena β merupakan fungsi terhadap z dan A merupakan variabel yang bergantung pada z dan t, maka didapatkan persamaan 3 z (βa 3ρ ) + A ρ dβ dz ( 3 A A 0) = dβ A 3 dz ρ + β A 1 A ρ z A dβ ρ 1 1 dz A 0. (4..6) Berdasarkan persamaan (4..5) dan (4..6) maka didapatkan persamaan A p ρ 3 z = z (βa 3ρ ) + A ρ dβ dz ( 3 A A 0), (4..7) sehingga model aliran darah (4..1) dapat ditulis ulang menjadi

62 48 berikut A t + Q z = 0 Q { t + z (Q A + β 3ρ A3 ) = A dβ ρ dz ( A 0 (4..8) 3 A) Model aliran darah di atas dapat ditulis dalam hukum kesetimbangan sebagai v t + f (v ) z = s (v ) (4..9) dengan kuantitas, fluks, dan suku sumbernya secara berturut-turut adalah v = [ A ], (4..10) Q dan Q f (v ) = [ Q A + β ], (4..11) 3ρ A3 0 s (v ) = [ A dβ ρ dz ( A 0 (4..1) A)]. 3 Misalkan V in, f (V in ), dan S i n berturut-turut adalah nilai pendekatan dari v (z i, t n ), f (v (z i, t n )), dan s (v (z i, t n )). Hukum kesetimbangan (4..9) merupakan bentuk umum dari hukum kekekalan dengan suku sumber tak nol, sehingga solusi numerisnya didapat secara analog seperti yang telah dijelaskan pada Bab III yaitu V in+1 = V in t z (F i+ n 1 dengan definisi fluks Lax-Friedrichs dan F n i 1 ) + ts i n (4..13) F n i+ 1 = f (V i+1 n ) + f (V in ) z t (V i+1 n V in ) (4..14)

63 49 F n i 1 = f (V in ) + f (V i 1 n ) z t (V in V i 1 n ). (4..15) Jadi, berdasarkan persamaan (4..13)-(4..15), skema numeris model aliran darah (4..1) dapat ditulis secara lebih detil yaitu dengan definisi fluks Lax-Friedrichs dan A n+1 i = A n i t z (F n i+ 1 F n 1) (4..16) i F n 1 = 1 i+ (Q n i+1 + Q n i ) z t (A n i+1 A n i ), (4..17) F n 1 i Q n+1 i = Q n i t z (F n i+ 1 F n 1 i dengan definisi fluks Lax-Friedrichs = 1 (Q i n + Q n i 1 ) z t (An i A n i 1 ), (4..18) ) + t ( A i n ρ dβ dz ( A 0 3 A i n )) (4..19) n F 1 i+ = 1 [(Q i+1 n ) n + β A i+1 3ρ (An i+1) 3 + (Q i n ) n + β A i 3ρ (An i ) 3 ] n F 1 = 1 i [(Q i n ) n A i z t (Q n i+1 Q n i ), + β 3ρ (An i ) 3 + (Q i 1 n ) n + β A i 1 3ρ (An i 1) 3 ] z t (Q i n Q n i 1 ). (4..0) (4..1) Lebih lanjut, perhatikan fungsi fluks model aliran darah sistem (A,Q) pada persamaan (4..11). Matriks Jacobian fungsi fluks tersebut adalah

64 50 H 1 = f (v ) v Q A = [ A (Q A + β 3ρ A3 ) Q Q Q (Q A + β 3ρ A3 ) ] 0 1 = [ β ρ A1 ( Q A ) Q]. (4..) A Nilai eigen dari matriks H 1 dapat dicari melalui persamaan karakteristik det(h 1 λi) = 0, sehingga didapatkan λ Q A λ [ β ρ A1 ( Q A ) ] = 0, λ = Q A ± β ρ A. Karena Q, A, β, dan ρ bernilai real positif, maka didapatkan dua nilai eigen real yang berbeda. Menurut Teorema.5., matriks H 1 dapat didiagonalisasi. Jadi, model aliran darah sistem (A,Q) merupakan sistem persamaan diferensial parsial hiperbolik. Selanjutnya, diperhatikan model aliran darah sistem (A,u) untuk z (0, l) dan t > 0 berikut A t + (Au) = 0 z u { t + z (u ) = 1 p (4..3) ρ z, dengan A, u, dan p berturut-turut adalah variabel luas penampang arteri S, kecepatan rata-rata pada S, dan tekanan darah rata-rata pada S, serta ρ adalah massa jenis darah. Relasi antara tekanan darah rata-rata dan luas penampang arteri S, serta

65 51 β didefinisikan dengan cara yang sama seperti pada persamaan (4..) dan (4..3). Model aliran darah (4..3) dapat ditulis dalam bentuk hukum kekekalan v t + f (v ) z = 0 (4..4) dengan kuantitas dan fluks secara berturut-turut adalah v = [ A ], (4..5) u Au f (v ) = [ u + p ]. (4..6) ρ Misalkan V in dan f (V in ) berturut-turut adalah nilai pendekatan untuk v (z i, t n ) dan f (v (z i, t n )). Hukum kekekalan (4..4) memiliki solusi yang serupa dengan hukum kekekalan (3.1.3), sehingga didapatkan solusi numeris sebagai berikut V in+1 = V in t z (Ϝ i+ n 1 dengan definisi fluks Lax-Friedrichs dan Ϝ n i 1 ) (4..7) n Ϝ i+ 1 = f (V i+1 n ) + f (V in ) z t (V i+1 n V in ) (4..8) n Ϝ i 1 = f (V in ) + f (V i 1 n ) z t (V in V i 1 n ). (4..9) Jadi, berdasarkan persamaan (4..7)-(4..9), skema numeris untuk model aliran darah (4..3) dapat ditulis secara lebih detil yaitu dengan definisi fluks Lax-Friedrichs A n+1 i = A n i t z (F n i+ 1 F n 1) (4..30) i

66 5 F n 1 i+ F n 1 i = 1 (An n i+1u i+1 + A n i u n i ) z t (A n i+1 A n i ), (4..31) = 1 (An i u n i + A n i 1 u n i 1 ) z t (An i A n i 1 ), (4..3) dan dengan definisi fluks Lax-Friedrichs n F 1 i+ = 1 [(u i+1 n ) u n+1 i = u n i t z (F n i+ 1 F n 1) (4..33) i + pi+1 n ρ n F 1 = 1 i [(u i n ) + p i n + (u i n ) + p i n ρ ] z t (u n i+1 u n i ), (4..34) ρ + (u i 1 n ) + p n i 1 ρ ] z t (u i n u n i 1 ). (4..35) Lebih lanjut, diperhatikan fungsi fluks model aliran darah sistem (A,u) pada persamaan (4..6). Matriks Jacobian fungsi fluks tersebut adalah H = f (v ) v A (Au) u (Au) = [ A (u + p ρ ) u (u + p ρ ) ] u = [ 1 p ρ A A u]. (4..36) Nilai eigen dari matriks H dapat dicari melalui persamaan karakteristik det(h λi) = 0, sehingga didapatkan λ uλ + (u A ρ p A ) = 0, λ = u ± β ρ A.

67 53 Karena u, A, β, dan ρ bernilai real positif, maka didapatkan dua nilai eigen real yang berbeda. Menurut Teorema.5., matriks H dapat didiagonalisasi. Jadi, model aliran darah sistem (A,u) merupakan sistem persamaan diferensial parsial hiperbolik. C. Hasil Simulasi dan Analisis Kedua skema numeris yang didapat dari metode volume hingga akan disimulasikan dengan program MATLAB. Nilai koefisien-koefisien dan nilai awal yang digunakan dalam simulasi kedua solusi tersebut adalah sama. Dalam simulasi ini, nilai l 1 = 15 cm dan t [0,0.035]. Modulus Young E diasumsikan konstan, sehingga mengakibatkan parameter β juga konstan. Hal ini berarti bahwa nilai E dan β tidak berubah (atau selalu sama) di setiap z (0, l 1 ), sehingga nilai dari dβ sama dengan nol. Selanjutnya, diambil nilai z = dan t = 0.00 z. Berikut ini adalah garis besar simulasi numeris yang dilakukan. dz Gambar Bentuk arteri pada saat t = 0 Simulasi ini menggunakan tiga titik pengamatan yaitu titik P, M, dan D untuk mengamati variasi tekanan, di mana titik P, M, dan D merupakan titik proksimal, medium, dan distal. Lokasi titik-titik ini ditunjukkan pada Gambar Titik P merupakan titik terdekat dari jantung, sedangkan titik D merupakan titik terjauh

68 54 dari jantung. Tabel menunjukan nilai dari koefisien-koefisien yang digunakan dalam simulasi numeris ini (Formaggia dkk., 00) Tabel Nilai dari koefisien-koefisien Koefisien Nilai Masa jenis darah, ρ 1 g/ cm 3 Modulus Young, E 0 3x10 6 dyne/ cm Tebal dinding arteri, h 0.05 cm Luas penampang melintang awal, A 0 π0.5 cm Kemudian, diberikan nilai awal dan nilai batas untuk masing-masing variabel A, Q, u, dan p. Nilai awalnya adalah A(z, 0) = A 0, Q(z, 0) = 0, u(z, 0) = 0, dan p(z, 0) = 0 untuk setiap z (0,15). Nilai batas diberikan sebagai berikut. Pada batas kiri kedua model aliran darah, diberikan denyut masukan dalam bentuk gelombang sinus tunggal dengan periode yang kecil p(0, t) = 10 3 sin ( πt ). (4.3.1) Untuk nilai batas kiri A dan Q model aliran darah sistem (A,Q), perhatikan variabel karakteristik W 1 dan W berikut W = Q A β ρ A1 4, (4.3.) W 1 = W + 4 ρ ( p + β A 0), (4.3.3)

69 55 A = ( ρ β ) (W 1 W ) 4 Q = A W 1 + W 4 5, (4.3.4). (4.3.5) Penjelasan lebih lanjut mengenai variabel karakteristik dapat dilihat pada Formaggia dkk. (00) halaman 14. Sedangkan batas kiri model aliran darah sistem (A,u) adalah sebagai berikut A = ( p + β A 0 ) β, (4.3.6) u = 8β ρ (A1 4 A 0 1 4). (4.3.7) Batas kiri A pada persamaan (4.3.6) didapat dari persamaan (4..), sedangkan batas kiri u di atas merupakan persamaan kecepatan karakteristik gelombang (dapat dilihat pada Sherwin dkk. (003)). Pada batas kanan, setiap nilai A, Q, u, dan p sama dengan nilai dari persekitaran terdekat dalam domain. Berikut ini adalah hasil simulasi solusi model aliran darah sistem (A,Q), yang ditunjukkan pada Gambar 4.3. sampai dengan Gambar 4.3.5, dengan T = merupakan nilai t akhir dalam satu pengamatan.

70 56 Gambar Grafik luas penampang arteri S terhadap t untuk sistem (A,Q) Gambar Grafik luas penampang arteri S terhadap z untuk sistem (A,Q)

71 57 Gambar Grafik tekanan darah terhadap t untuk sistem (A,Q) Gambar Grafik tekanan darah terhadap z untuk sistem (A,Q) Berdasarkan hasil simulasi model aliran darah sistem (A,Q) didapatkan bahwa tekanan darah berbanding lurus dengan luas penampang arteri S. Tekanan darah yang semakin besar akan menyebabkan dinding arteri yang elastis semakin melebar sehingga luas penampang arteri juga semakin besar, begitu juga sebaliknya. Selain itu, amplitudo tekanan darah mengecil seiring dengan membesarnya nilai t dan z

72 58 (lihat Gambar dan Gambar 4.3.5). Hal ini disebabkan oleh disipasi metode numeris. Semakin kecil nilai t dan z, pengecilan amplitudo akan semakin berkurang selama solusinya kontinyu. Berikut ini adalah hasil simulasi solusi model aliran darah sistem (A,u) yang ditunjukkan pada Gambar sampai dengan Gambar Gambar Grafik luas penampang arteri S terhadap t untuk sistem (A,u) Gambar Grafik luas penampang arteri S terhadap z untuk sistem (A,u)

73 59 Gambar Grafik tekanan darah terhadap t untuk sistem (A,u) Gambar Grafik tekanan darah terhadap z untuk sistem (A,u) Berdasarkan hasil simulasi di atas, tekanan darah berbanding lurus dengan luas penampang arteri S. Karena adanya disipasi metode numeris, amplitudo tekanan darah semakin mengecil seiring membesarnya nilai t dan z (lihat Gambar dan Gambar 4.3.9). Semakin kecil lebar sel ( t dan z), pengecilan amplitudo akan semakin berkurang selama solusinya kontinyu. Selain itu, grafik hasil simulasi

74 60 model (A,Q) sekilas tampak sangat mirip dengan grafik hasil simulasi model (A,u). Perbedaannya adalah tekanan darah dari model (A,u) bernilai tak negatif (lihat Gambar ), sedangkan tekanan darah dari model (A,Q) ada yang negatif (lihat Gambar ). Gambar Perbesaran grafik tekanan darah terhadap z untuk sistem (A,Q) Gambar Perbesaran grafik tekanan darah terhadap z untuk sistem (A,u)

75 61 Perhatikan bahwa simulasi skema numeris di atas menggunakan nilai t dan l yang cukup kecil. Untuk nilai t dan l yang lebih besar, perhatikan Gambar dan Gambar berikut. Gambar Grafik tekanan darah sistem (A,Q) pada saat t = 0.35 Gambar Grafik tekanan darah sistem (A,u) pada saat t = 0.35 Gambar dan Gambar merupakan hasil simulasi skema numeris dengan t [0,0.35] dan panjang arteri dalam satu pengamatan l 1 = 175 cm.

76 6 Terlihat bahwa semakin lama, bentuk grafik tekanan darah semakin miring ke kanan. Jika dilihat dari hasil simulasi di atas, untuk waktu yang lebih besar lagi, solusi yang dihasilkan akan memuat titik diskontinyu. Dalam hal ini, penulis tidak mensimulasikan skema numeris untuk t dan l yang lebih besar lagi karena keterbatasan memori komputer. Selanjutnya, perbedaan hasil simulasi kedua model dapat dilihat dari residual yang dihasilkan masing-masing model. Model yang baik adalah model yang memiliki residual mendekati nol, dengan kata lain nilai mutlak dari residualnya relatif kecil. Residual A dari masing-masing model dapat dihitung dengan rumus berikut n E 1 i+ 1 = z [q i n q n 1 n i + q i+1 q n 1 i+1 ] + t [f(q i+1 n 1 ) f(q n 1 i ) + f(q n i+1 ) f(q n i )], (4.3.8) dengan q i n = A i n untuk masing-masing model, f(q i n ) = Q i n untuk model sistem (A,Q), dan f(q i n ) = A i n u i n untuk model sistem (A,u). Penjelasan lebih lanjut mengenai residual dapat dilihat pada Mungkasi dkk. (014). Berikut ini adalah garis besar simulasi perhitungan residual kedua model aliran darah. Kondisi awal arteri diilustrasikan seperti pada Gambar Gambar Ilustrasi bentuk arteri pada saat t = 0 untuk perhitungan residual

METODE RUNGE-KUTTA DAN BLOK RASIONAL UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH NILAI AWAL

METODE RUNGE-KUTTA DAN BLOK RASIONAL UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH NILAI AWAL METODE RUNGE-KUTTA DAN BLOK RASIONAL UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH NILAI AWAL Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Matematika Oleh : Agung Christian

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KONDISI AWAL MASALAH HUKUM KEKEKALAN HIPERBOLIK PADA PERSAMAAN BURGERS

REKONSTRUKSI KONDISI AWAL MASALAH HUKUM KEKEKALAN HIPERBOLIK PADA PERSAMAAN BURGERS REKONSTRUKSI KONDISI AWAL MASALAH HUKUM KEKEKALAN HIPERBOLIK PADA PERSAMAAN BURGERS Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Matematika Oleh: Fioretta

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH PECAHNYA MEMBRAN DALAM PIPA MENGGUNAKAN METODE BEDA HINGGA DAN VOLUME HINGGA

PENYELESAIAN MASALAH PECAHNYA MEMBRAN DALAM PIPA MENGGUNAKAN METODE BEDA HINGGA DAN VOLUME HINGGA PENYELESAIAN MASALAH PECAHNYA MEMBRAN DALAM PIPA MENGGUNAKAN METODE BEDA HINGGA DAN VOLUME HINGGA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Oleh : Giri Iriani Jaya

Lebih terperinci

METODE NEWTON TERMODIFIKASI UNTUK PENCARIAN AKAR PERSAMAAN NONLINEAR

METODE NEWTON TERMODIFIKASI UNTUK PENCARIAN AKAR PERSAMAAN NONLINEAR METODE NEWTON TERMODIFIKASI UNTUK PENCARIAN AKAR PERSAMAAN NONLINEAR Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Matematika Disusun Oleh: Juliani

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan beberapa teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta teorema-teorema

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Biasa

Persamaan Diferensial Biasa Persamaan Diferensial Biasa Pendahuluan, Persamaan Diferensial Orde-1 Toni Bakhtiar Departemen Matematika IPB September 2012 Toni Bakhtiar (m@thipb) PDB September 2012 1 / 37 Pendahuluan Konsep Dasar Beberapa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data A. Model Matematika BAB II KAJIAN TEORI Pemodelan matematika adalah proses representasi dan penjelasan dari permasalahan dunia real yang dinyatakan dalam pernyataan matematika (Widowati dan Sutimin, 2007:

Lebih terperinci

METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN NILAI BATAS PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL NONLINEAR ABSTRACT

METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN NILAI BATAS PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL NONLINEAR ABSTRACT METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN NILAI BATAS PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL NONLINEAR Birmansyah 1, Khozin Mu tamar 2, M. Natsir 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Matematika

Lebih terperinci

PENYELESAIAN NUMERIS MODEL KONTINU ARUS LALU LINTAS

PENYELESAIAN NUMERIS MODEL KONTINU ARUS LALU LINTAS PENYELESAIAN NUMERIS MODEL KONTINU ARUS LALU LINTAS Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Matematika Oleh : Bernadetta Ambar Sulistiyawati NIM:

Lebih terperinci

KALKULUS MULTIVARIABEL II

KALKULUS MULTIVARIABEL II Pada Bidang Bentuk Vektor dari KALKULUS MULTIVARIABEL II (Minggu ke-9) Andradi Jurusan Matematika FMIPA UGM Yogyakarta, Indonesia Pada Bidang Bentuk Vektor dari 1 Definisi Daerah Sederhana x 2 Pada Bidang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi yang diuraikan berupa definisi-definisi

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE)

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE) Bab 2 Landasan Teori Dalam bab ini akan dibahas mengenai Persamaan Air Dangkal dan dasar-dasar teori mengenai metode beda hingga untuk menghampiri solusi dari persamaan diferensial parsial. 2.1 Persamaan

Lebih terperinci

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan Pada bagian ini akan dipelajari tiga jenis persamaan diferensial parsial (PDP) linear orde dua yang biasa dijumpai pada masalah-masalah dunia nyata, yaitu persamaan

Lebih terperinci

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menjelaskan cara penyelesaian soal dengan

Lebih terperinci

Solusi Persamaan Laplace Menggunakan Metode Crank-Nicholson. (The Solution of Laplace Equation Using Crank-Nicholson Method)

Solusi Persamaan Laplace Menggunakan Metode Crank-Nicholson. (The Solution of Laplace Equation Using Crank-Nicholson Method) Prosiding Seminar Nasional Matematika, Universitas Jember, 19 November 2014 320 Persamaan Laplace Menggunakan Metode Crank-Nicholson (The Solution of Laplace Equation Using Crank-Nicholson Method) Titis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas mengenai dasar teori untuk menganalisis simulasi kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan. 2.1 Persamaan Diferensial Biasa

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA

PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA oleh FIQIH SOFIANA M0109030 SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh

Lebih terperinci

METODE TRANSFORMASI DIFERENSIAL FRAKSIONAL UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH STURM-LIOUVILLE FRAKSIONAL

METODE TRANSFORMASI DIFERENSIAL FRAKSIONAL UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH STURM-LIOUVILLE FRAKSIONAL METODE TRANSFORMASI DIFERENSIAL FRAKSIONAL UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH STURM-LIOUVILLE FRAKSIONAL oleh ASRI SEJATI M0110009 SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar

Lebih terperinci

MASALAH SYARAT BATAS (MSB)

MASALAH SYARAT BATAS (MSB) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unmuh Ponorogo PENDAHULUAN MODEL KABEL MENGGANTUNG DEFINISI MSB Persamaan diferensial (PD) dikatakan berdimensi 1 jika domainnya berupa himpunan bagian pada R 1.

Lebih terperinci

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL

BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL BAB I DASAR-DASAR PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Pendahuluan Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat diferensial Kita akan membahas tentang Persamaan Diferensial Biasa yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan, polusi yang ada di sungai disebabkan oleh limbah dari pabrikpabrik dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Diferensial Parsial Persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan parsial suatu fungsi (yang diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENYELESAIAN SISTEM OREGONATOR DENGAN METODE ITERASI VARIASIONAL DAN METODE ITERASI VARIASIONAL TERMODIFIKASI

PERBANDINGAN PENYELESAIAN SISTEM OREGONATOR DENGAN METODE ITERASI VARIASIONAL DAN METODE ITERASI VARIASIONAL TERMODIFIKASI PERBANDINGAN PENYELESAIAN SISTEM OREGONATOR DENGAN METODE ITERASI VARIASIONAL DAN METODE ITERASI VARIASIONAL TERMODIFIKASI oleh AMELIA FEBRIYANTI RESKA M0109008 SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi

Lebih terperinci

Teori kendali. Oleh: Ari suparwanto

Teori kendali. Oleh: Ari suparwanto Teori kendali Oleh: Ari suparwanto Minggu Ke-1 Permasalahan oleh : Ari Suparwanto Permasalahan Diberikan sistem dan sinyal referensi. Masalah kendali adalah menentukan sinyal kendali sehingga output sistem

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB TINJAUAN PUSTAKA.1 Model Aliran Dua-Fase Nonekulibrium pada Media Berpori Penelitian ini merupakan kajian ulang terhadap penelitian yang telah dilakukan oleh Juanes (008), dalam tulisannya yang berjudul

Lebih terperinci

Pertemuan Minggu ke Bidang Singgung, Hampiran 2. Maksimum dan Minimum 3. Metode Lagrange

Pertemuan Minggu ke Bidang Singgung, Hampiran 2. Maksimum dan Minimum 3. Metode Lagrange Pertemuan Minggu ke-11 1. Bidang Singgung, Hampiran 2. Maksimum dan Minimum 3. Metode Lagrange 1. BIDANG SINGGUNG, HAMPIRAN Tujuan mempelajari: memperoleh persamaan bidang singgung terhadap permukaan z

Lebih terperinci

Metode Elemen Batas (MEB) untuk Model Konduksi-Konveksi dalam Media Anisotropik

Metode Elemen Batas (MEB) untuk Model Konduksi-Konveksi dalam Media Anisotropik Metode Elemen Batas (MEB) untuk Model Konduksi-Konveksi dalam Media Anisotropik Moh. Ivan Azis September 13, 2011 Daftar Isi 1 Pendahuluan 1 2 Masalah nilai batas 1 3 Persamaan integral batas 2 4 Hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada ( ) ( ) ( )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada ( ) ( ) ( ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Turunan Turunan fungsi f adalah fungsi lain f (dibaca f aksen ) yang nilainya pada sebarang bilangan c adalah asalkan limit ini ada. Jika limit ini memang ada, maka dikatakan

Lebih terperinci

Open Source. Not For Commercial Use

Open Source. Not For Commercial Use Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1 Limit dan Kekontinuan Misalkan z = f(, y) fungsi dua peubah dan (a, b) R 2. Seperti pada limit fungsi satu peubah, limit fungsi dua peubah bertujuan untuk mengamati

Lebih terperinci

NOISE TERMS PADA SOLUSI DERET DEKOMPOSISI ADOMIAN DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL ABSTRACT

NOISE TERMS PADA SOLUSI DERET DEKOMPOSISI ADOMIAN DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL ABSTRACT NOISE TERMS PADA SOLUSI DERET DEKOMPOSISI ADOMIAN DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL Heni Kusnani 1, Leli Deswita, Zulkarnain 1 Mahasiswa Program Studi S1 Matematika Dosen Jurusan Matematika

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Persamaan Kontinuitas dan Persamaan Gerak

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Persamaan Kontinuitas dan Persamaan Gerak BAB II DASAR TEORI Ada beberapa teori yang berkaitan dengan konsep-konsep umum mengenai aliran fluida. Beberapa akan dibahas pada bab ini. Diantaranya adalah hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan momentum.

Lebih terperinci

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

Bab 2 Fungsi Analitik

Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 ini direncanakan akan disampaikan dalam 4 kali pertemuan, dengan perincian sebagai berikut: () Pertemuan I: Fungsi Kompleks dan Pemetaan. (2) Pertemuan II: Limit Fungsi, Kekontiuan,

Lebih terperinci

Karena v merupakan vektor bukan nol, maka A Iλ = 0. Dengan kata lain, Persamaan (2.2) dapat dipenuhi jika dan hanya jika,

Karena v merupakan vektor bukan nol, maka A Iλ = 0. Dengan kata lain, Persamaan (2.2) dapat dipenuhi jika dan hanya jika, BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai definisi-definisi dan teorema-teorema dari nilai eigen, vektor eigen, dan diagonalisasi, sistem persamaan differensial, model predator prey lotka-voltera,

Lebih terperinci

Aplikasi Persamaan Bessel Orde Nol Pada Persamaan Panas Dua dimensi

Aplikasi Persamaan Bessel Orde Nol Pada Persamaan Panas Dua dimensi JURNAL FOURIER Oktober 2013, Vol. 2, No. 2, 113-123 ISSN 2252-763X Aplikasi Persamaan Bessel Orde Nol Pada Persamaan Panas Dua dimensi Annisa Eki Mulyati dan Sugiyanto Program Studi Matematika Fakultas

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH NILAI AWAL SINGULAR PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA ORDE DUA ABSTRACT

MODIFIKASI METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH NILAI AWAL SINGULAR PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA ORDE DUA ABSTRACT MODIFIKASI METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH NILAI AWAL SINGULAR PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA ORDE DUA Kristiani Panjaitan 1, Syamsudhuha 2, Leli Deswita 2 1 Mahasiswi Program

Lebih terperinci

METODE ITERASI VARIASIONAL PADA MASALAH STURM-LIOUVILLE

METODE ITERASI VARIASIONAL PADA MASALAH STURM-LIOUVILLE METODE ITERASI VARIASIONAL PADA MASALAH STURM-LIOUVILLE oleh HILDA ANGGRIYANA M0109035 SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Matematika JURUSAN

Lebih terperinci

Variabel Banyak Bernilai Real 1 / 1

Variabel Banyak Bernilai Real 1 / 1 Fungsi Variabel Banyak Bernilai Real Turunan Parsial dan Turunan Wono Setya Budhi KK Analisis dan Geometri, FMIPA ITB Variabel Banyak Bernilai Real 1 / 1 Turunan Parsial dan Turunan Usaha pertama untuk

Lebih terperinci

SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2011/2012

SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 0/0. Akar-akar persamaan kuadrat x +ax - 40 adalah p dan q. Jika p - pq + q 8a, maka nilai a... A. -8 B. -4 C. 4 D. 6 E. 8 BAB III Persamaan

Lebih terperinci

Wardaya College. Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer. Mata Pelajaran Matematika Tahun Ajaran 2017/2018

Wardaya College. Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer. Mata Pelajaran Matematika Tahun Ajaran 2017/2018 Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer Mata Pelajaran Matematika Tahun Ajaran 07/08 -. Jika diketahui x = 8, y = 5 dan z = 8, maka nilai dari x y z adalah.... (a) 0 (b) 00 (c) 500 (d) 750 (e)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

Persamaan Difusi. Penurunan, Solusi Analitik, Solusi Numerik (Beda Hingga, RBF) M. Jamhuri. April 7, UIN Malang. M. Jamhuri Persamaan Difusi

Persamaan Difusi. Penurunan, Solusi Analitik, Solusi Numerik (Beda Hingga, RBF) M. Jamhuri. April 7, UIN Malang. M. Jamhuri Persamaan Difusi Persamaan Difusi Penurunan, Solusi Analitik, Solusi Numerik (Beda Hingga, RBF) M Jamhuri UIN Malang April 7, 2013 Penurunan Persamaan Difusi Misalkan u(x, t) menyatakan konsentrasi dari zat pada posisi

Lebih terperinci

Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan

Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan Barisan. Definisi. Barisan tak hingga adalah suatu fungsi dengan daerah asalnya himpunan bilangan bulat positif dan daerah kawannya himpunan bilangan real. Notasi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. Kompetensi BAB I PENDAHULUAN Kompetensi Mahasiswa diharapkan 1. Memiliki kesadaran tentang manfaat yang diperoleh dalam mempelajari materi kuliah persamaan diferensial. 2. Memahami konsep-konsep penting dalam persamaan

Lebih terperinci

Bab 1 : Skalar dan Vektor

Bab 1 : Skalar dan Vektor Bab 1 : Skalar dan Vektor 1.1 Skalar dan Vektor Istilah skalar mengacu pada kuantitas yang nilainya dapat diwakili oleh bilangan real tunggal (positif atau negatif). x, y dan z kita gunakan dalam aljabar

Lebih terperinci

= + atau = - 2. TURUNAN 2.1 Definisi Turunan fungsi f adalah fungsi yang nilainya di setiap bilangan sebarang c di dalam D f diberikan oleh

= + atau = - 2. TURUNAN 2.1 Definisi Turunan fungsi f adalah fungsi yang nilainya di setiap bilangan sebarang c di dalam D f diberikan oleh JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FPMIPA-UPI BANDUNG HAND OUT TURUNAN DAN DIFERENSIASI OLEH: FIRDAUS-UPI 0716 1. GARIS SINGGUNG 1.1 Definisi Misalkan fungsi f kontinu di c. Garis singgung ( tangent line )

Lebih terperinci

Matematika I: Turunan. Dadang Amir Hamzah. Dadang Amir Hamzah Matematika I Semester I / 61

Matematika I: Turunan. Dadang Amir Hamzah. Dadang Amir Hamzah Matematika I Semester I / 61 Matematika I: Turunan Dadang Amir Hamzah 2015 Dadang Amir Hamzah Matematika I Semester I 2015 1 / 61 Outline 1 Garis Singgung Dadang Amir Hamzah Matematika I Semester I 2015 2 / 61 Outline 1 Garis Singgung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. Kompetensi BAB I PENDAHULUAN Kompetensi Mahasiswa diharapkan 1. Memiliki kesadaran tentang manfaat yang diperoleh dalam mempelajari materi kuliah persamaan diferensial. 2. Memahami konsep-konsep penting dalam persamaan

Lebih terperinci

MA1201 KALKULUS 2A Do maths and you see the world

MA1201 KALKULUS 2A Do maths and you see the world Catatan Kuliah MA20 KALKULUS 2A Do maths and you see the world disusun oleh Khreshna I.A. Syuhada, MSc. PhD. Kelompok Keilmuan STATISTIKA - FMIPA Institut Teknologi Bandung 203 Catatan kuliah ini ditulis

Lebih terperinci

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

UJI KONVERGENSI. Januari Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK

UJI KONVERGENSI. Januari Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK UJI KONVERGENSI Januari 208 Tim Dosen Kalkulus 2 TPB ITK Uji Integral Teorema 3 Jika + k= u k adalah deret dengan suku-suku tak negatif, dan jika ada suatu konstanta M sedemikian hingga s n = u + u 2 +

Lebih terperinci

Rencana Pembelajaran

Rencana Pembelajaran Learning Outcome Rencana Pembelajaran Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat ) Menentukan nilai turunan suatu fungsi di suatu titik ) Menentukan nilai koefisien fungsi sehingga

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas penurunan model persamaan panas dimensi satu. Setelah itu akan ditentukan penyelesaian persamaan panas dimensi satu secara analitik dengan metode

Lebih terperinci

DERIVATIVE Arum Handini primandari

DERIVATIVE Arum Handini primandari DERIVATIVE Arum Handini primandari INTRODUCTION Calculus adalah perubahan matematis, alat utama dalam studi perubahan adalah prosedur yang disebut differentiation (deferensial/turunan) Calculus dikembangkan

Lebih terperinci

METODE NUMERIS UNTUK MENYELESAIKAN MODEL PERGERAKAN LAPISAN FLUIDA YANG MELIBATKAN MINYAK DAN AIR

METODE NUMERIS UNTUK MENYELESAIKAN MODEL PERGERAKAN LAPISAN FLUIDA YANG MELIBATKAN MINYAK DAN AIR METODE NUMERIS UNTUK MENYELESAIKAN MODEL PERGERAKAN LAPISAN FLUIDA YANG MELIBATKAN MINYAK DAN AIR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Matematika

Lebih terperinci

Matematika I: Turunan. Dadang Amir Hamzah. Dadang Amir Hamzah Matematika I Semester I / 75

Matematika I: Turunan. Dadang Amir Hamzah. Dadang Amir Hamzah Matematika I Semester I / 75 Matematika I: Turunan Dadang Amir Hamzah 2015 Dadang Amir Hamzah Matematika I Semester I 2015 1 / 75 Outline 1 Garis Singgung Dadang Amir Hamzah Matematika I Semester I 2015 2 / 75 Outline 1 Garis Singgung

Lebih terperinci

: D C adalah fungsi kompleks dengan domain riil

: D C adalah fungsi kompleks dengan domain riil BAB 4. INTEGRAL OMPLES 4. Integral Garis ompleks Misalkan ( : D adalah fungsi kompleks dengan domain riil b D [ a, b], maka integral (, dimana ( x( + iy( dapat dengan mudah a b dihitung, yaitu a i contoh

Lebih terperinci

Dosen Pengampu : Puji Andayani, S.Si, M.Si, M.Sc

Dosen Pengampu : Puji Andayani, S.Si, M.Si, M.Sc KALKULUS III Teorema Integral Dosen Pengampu : Puji Andayani, S.Si, M.Si, M.Sc 1 INTEGRAL GARIS Integral Garis pada Fungsi Skalar Definisi : Jika f didefinisikan pada kurva diberikan secara parametrik

Lebih terperinci

Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 2012 Tanggal Ujian: 13 Juni 2012

Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 2012 Tanggal Ujian: 13 Juni 2012 Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 01 Tanggal Ujian: 13 Juni 01 1. Lingkaran (x + 6) + (y + 1) 5 menyinggung garis y 4 di titik... A. ( -6, 4 ). ( -1, 4 ) E. ( 5, 4 ) B. ( 6, 4) D. ( 1, 4 )

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini, akan dijelaskan landasan teori yang akan digunakan dalam bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung dan memperkuat tujuan penelitian. Landasan teori yang dimaksud

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah Penelusuran tentang fenomena belalang merupakan bahasan yang baik untuk dipelajari karena belalang dikenal suka berkelompok dan berpindah. Dalam kelompok,

Lebih terperinci

KALKULUS MULTIVARIABEL II

KALKULUS MULTIVARIABEL II KALKULUS MULTIVARIABEL II Integral Garis Medan Vektor dan (Minggu ke-8) Andradi Jurusan Matematika FMIPA UGM Yogyakarta, Indonesia 1 Integral Garis Medan Vektor 2 Terkait Lintasan Teorema Fundamental untuk

Lebih terperinci

NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN disebut vektor eigen dari matriks A =

NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN disebut vektor eigen dari matriks A = NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN >> DEFINISI NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN Jika A adalah sebuah matriks n n, maka sebuah vektor taknol x pada R n disebut vektor eigen (vektor karakteristik) dari A jika Ax adalah

Lebih terperinci

Mata Kuliah :: Matematika Rekayasa Lanjut Kode MK : TKS 8105 Pengampu : Achfas Zacoeb

Mata Kuliah :: Matematika Rekayasa Lanjut Kode MK : TKS 8105 Pengampu : Achfas Zacoeb Mata Kuliah :: Matematika Rekayasa Lanjut Kode MK : TKS 8105 Pengampu : Achfas Zacoeb Sesi XII Differensial e-mail : zacoeb@ub.ac.id www.zacoeb.lecture.ub.ac.id Hp. 081233978339 PENDAHULUAN Persamaan diferensial

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial

Persamaan Diferensial TKS 4003 Matematika II Persamaan Diferensial Konsep Dasar dan Pembentukan (Differential : Basic Concepts and Establishment ) Dr. AZ Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan

BAB II KAJIAN TEORI. dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai nilai eigen dan vektor eigen, sistem dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan sistem dinamik, kriteria Routh-Hurwitz,

Lebih terperinci

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk memeriksa kelakuan sistem dinamik kompleks, biasanya dengan menggunakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

METODE PSEUDO ARC-LENGTH DAN PENERAPANNYA PADA PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN NONLINIER TERPARAMETERISASI

METODE PSEUDO ARC-LENGTH DAN PENERAPANNYA PADA PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN NONLINIER TERPARAMETERISASI Jurnal Matematika UNAND Vol. 5 No. 4 Hal. 9 17 ISSN : 233 291 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND METODE PSEUDO ARC-LENGTH DAN PENERAPANNYA PADA PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN NONLINIER TERPARAMETERISASI RAHIMA

Lebih terperinci

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A

PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1. By : Suthami A PENGANTAR MATEMATIKA TEKNIK 1 By : Suthami A MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK 1??? MATEMATIKA TEKNIK Matematika sebagai ilmu dasar yang digunakan sebagai alat pemecahan masalah di bidang keteknikan

Lebih terperinci

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL A. PENGERTIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Dalam pelajaran kalkulus, kita telah berkenalan dan mengkaji berbagai macam metode untuk mendiferensialkan suatu fungsi (dasar). Sebagai

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PADA KALKULUS VARIASI ABSTRACT

PENGGUNAAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PADA KALKULUS VARIASI ABSTRACT PENGGUNAAN METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PADA KALKULUS VARIASI Febrian Lisnan, Asmara Karma 2 Mahasiswa Program Studi S Matematika 2 Dosen Jurusan Matematika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

Pertemuan Minggu ke Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai

Pertemuan Minggu ke Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai Pertemuan Minggu ke-10 1. Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai 1. Keterdiferensialan Pada fungsi satu peubah, keterdiferensialan f di x berarti keujudan derivatif f (x).

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 4.1 Model LWR Pada skripsi ini, model yang akan digunakan untuk memodelkan kepadatan lalu lintas secara makroskopik adalah model LWR yang dikembangkan oleh Lighthill dan William

Lebih terperinci

APLIKASI TURUNAN ALJABAR. Tujuan Pembelajaran. ) kemudian menyentuh bukit kedua pada titik B(x 2

APLIKASI TURUNAN ALJABAR. Tujuan Pembelajaran. ) kemudian menyentuh bukit kedua pada titik B(x 2 Kurikulum 3/6 matematika K e l a s XI APLIKASI TURUNAN ALJABAR Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut.. Dapat menerapkan aturan turunan aljabar untuk

Lebih terperinci

Kalkulus Multivariabel I

Kalkulus Multivariabel I dan Fungsi Implisit dan Fungsi Implisit Statistika FMIPA Universitas Islam Indonesia dan Fungsi Implisit Ingat kembali aturan rantai pada fungsi satu peubah! Jika y = f (x(t)), di mana baik f maupun t

Lebih terperinci

DIKTAT KALKULUS MULTIVARIABEL I

DIKTAT KALKULUS MULTIVARIABEL I DIKTAT KALKULUS MULTIVARIABEL I Oleh Atina Ahdika, S.Si, M.Si Ayundyah Kesumawati, S.Si, M.Si (Program Studi Statistika) FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 214/215

Lebih terperinci

SOLUSI ANALITIK MASALAH KONDUKSI PANAS PADA TABUNG

SOLUSI ANALITIK MASALAH KONDUKSI PANAS PADA TABUNG Jurnal LOG!K@, Jilid 6, No. 1, 2016, Hal. 11-22 ISSN 1978 8568 SOLUSI ANALITIK MASALAH KONDUKSI PANAS PADA TABUNG Afo Rakaiwa dan Suma inna Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya. 2 II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas teoriteori yang mendukung karya tulis ini. Teoriteori tersebut meliputi persamaan diferensial penurunan persamaan KdV yang disarikan dari (Ihsanudin, 2008;

Lebih terperinci

Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial

Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Ikhsan Maulidi Jurusan Matematika,Universitas Syiah Kuala, ikhsanmaulidi@rocketmail.com Abstract Artikel ini membahas tentang salah satu

Lebih terperinci

2.1 Soal Matematika Dasar UM UGM c. 1 d d. 3a + b. e. 3a + b. e. b + a b a

2.1 Soal Matematika Dasar UM UGM c. 1 d d. 3a + b. e. 3a + b. e. b + a b a Soal - Soal UM UGM. Soal Matematika Dasar UM UGM 00. Jika x = 3 maka + 3 log 4 x =... a. b. c. d. e.. Jika x+y log = a dan x y log 8 = b dengan 0 < y < x maka 4 log (x y ) =... a. a + 3b ab b. a + b ab

Lebih terperinci

Keep running VEKTOR. 3/8/2007 Fisika I 1

Keep running VEKTOR. 3/8/2007 Fisika I 1 VEKTOR 3/8/007 Fisika I 1 BAB I : VEKTOR Besaran vektor adalah besaran yang terdiri dari dua variabel, yaitu besar dan arah. Sebagai contoh dari besaran vektor adalah perpindahan. Sebuah besaran vektor

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE 1 - I

PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE 1 - I PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE 1 - I 1. Pendahuluan Pengertian Persamaan Diferensial Metoda Penyelesaian -contoh Aplikasi 1 1.1. Pengertian Persamaan Differensial Secara Garis Besar Persamaan

Lebih terperinci

INTISARI KALKULUS 2. Penyusun: Drs. Warsoma Djohan M.Si. Open Source. Not For Commercial Use

INTISARI KALKULUS 2. Penyusun: Drs. Warsoma Djohan M.Si. Open Source. Not For Commercial Use INTISARI KALKULUS 2 Penyusun: Drs. Warsoma Djohan M.Si. Program Studi Matematika - FMIPA Institut Teknologi Bandung Januari 200 Pengantar Kalkulus & 2 merupakan matakuliah wajib tingkat pertama bagi semua

Lebih terperinci

Integral Tak Tentu. Modul 1 PENDAHULUAN

Integral Tak Tentu. Modul 1 PENDAHULUAN Modul 1 Integral Tak Tentu M PENDAHULUAN Drs. Hidayat Sardi, M.Si odul ini akan membahas operasi balikan dari penurunan (pendiferensialan) yang disebut anti turunan (antipendiferensialan). Dengan mengikuti

Lebih terperinci

MATEMATIKA TURUNAN FUNGSI

MATEMATIKA TURUNAN FUNGSI MATEMATIKA TURUNAN FUNGSI lim h 0 f ( x h) f( x) h KELAS : XII IIS SEMESTER GANJIL SMA Santa Angela Bandung Tahun Pelajaran 017/018 XII IIS Semester 1 Tahun Pelajaran 017/018 PENGANTAR : TURUNAN FUNGSI

Lebih terperinci

Catatan Kuliah MA1123 KALKULUS ELEMENTER I BAB III. TURUNAN

Catatan Kuliah MA1123 KALKULUS ELEMENTER I BAB III. TURUNAN BAB III. TURUNAN Kecepatan Sesaat dan Gradien Garis Singgung Turunan dan Hubungannya dengan Kekontinuan Aturan Dasar Turunan Notasi Leibniz dan Turunan Tingkat Tinggi Penurunan Implisit Laju yang Berkaitan

Lebih terperinci

Definisi 4.1 Fungsi f dikatakan kontinu di titik a (continuous at a) jika dan hanya jika ketiga syarat berikut dipenuhi: (1) f(a) ada,

Definisi 4.1 Fungsi f dikatakan kontinu di titik a (continuous at a) jika dan hanya jika ketiga syarat berikut dipenuhi: (1) f(a) ada, Lecture 4. Limit B A. Continuity Definisi 4.1 Fungsi f dikatakan kontinu di titik a (continuous at a) jika dan hanya jika ketiga syarat berikut dipenuhi: (1) f(a) ada, (2) lim f(x) ada, (3) lim f(x) =

Lebih terperinci

METODE ELEMEN BATAS UNTUK MASALAH TRANSPORT

METODE ELEMEN BATAS UNTUK MASALAH TRANSPORT METODE ELEMEN BATAS UNTUK MASALAH TRANSPORT Agusman Sahari. 1 1 Jurusan Matematika FMIPA UNTAD Kampus Bumi Tadulako Tondo Palu Abstrak Dalam paper ini mendeskripsikan tentang solusi masalah transport polutan

Lebih terperinci

Eigen value & Eigen vektor

Eigen value & Eigen vektor Eigen value & Eigen vektor Hubungan antara vektor x (bukan nol) dengan vektor Ax yang berada di R n pada proses transformasi dapat terjadi dua kemungkinan : 1) 2) Tidak mudah untuk dibayangkan hubungan

Lebih terperinci

f (a) = laju perubahan y = f(x) pada x = a = turunan pertama y=f(x) pada x = a

f (a) = laju perubahan y = f(x) pada x = a = turunan pertama y=f(x) pada x = a LEMBAR AKTIVITAS SISWA DIFFERENSIAL (TURUNAN) Nama Siswa : y f(a h) f(a) x (a h) a Kelas : Kompetensi Dasar (KURIKULUM 2013): 3.21 Memahami konsep turunan dengan menggunakan konteks matematik atau konteks

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem dinamik adalah sistem yang berubah dari waktu ke waktu (Farlow,et al.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem dinamik adalah sistem yang berubah dari waktu ke waktu (Farlow,et al., II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Dinamik Sistem dinamik adalah sistem yang berubah dari waktu ke waktu (Farlow,et al., 2002). Salah satu tujuan utama dari sistem dinamik adalah mempelajari perilaku dari

Lebih terperinci

Bab 2 TEORI DASAR. 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal

Bab 2 TEORI DASAR. 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal Bab 2 TEORI DASAR 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal Persamaan air dangkal merupakan persamaan untuk gelombang permukaan air yang dipengaruhi oleh kedalaman air tersebut. Kedalaman air dapat dikatakan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT Herry P. Suryawan 1 Geometri Ruang Hilbert Definisi 1.1 Ruang vektor kompleks V disebut ruang hasilkali dalam jika ada fungsi (.,.) : V V C sehingga untuk setiap x, y, z

Lebih terperinci

DERET TAYLOR UNTUK METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN ABSTRACT

DERET TAYLOR UNTUK METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN ABSTRACT DERET TAYLOR UNTUK METODE DEKOMPOSISI ADOMIAN Lucy L. Batubara 1, Deswita. Leli 2, Zulkarnain 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Matematika 2 Laboratorium Matematika Terapan, Jurusan Matematika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tinjauan pustaka yang akan digunakan untuk tesis ini, yang selanjutnya akan di perlukan pada Bab 3. Tinjauan pustaka yang dibahas adalah mengenai yang mendukung

Lebih terperinci

SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR

SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR Bab 3 SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 3.1 Sistem Linear Hiperbolik Sistem linear dalam pengertian Tugas Akhir ini adalah suatu sistem hukum kekekalan dengan bentuk umum, t u + d A α (t) xα u = 0 (3.1.1)

Lebih terperinci

Bab II Model Lapisan Fluida Viskos Tipis Akibat Gaya Gravitasi

Bab II Model Lapisan Fluida Viskos Tipis Akibat Gaya Gravitasi Bab II Model Lapisan Fluida Viskos Tipis Akibat Gaya Gravitasi II.1 Gambaran Umum Model Pada bab ini, kita akan merumuskan model matematika dari masalah ketidakstabilan lapisan fluida tipis yang bergerak

Lebih terperinci

FUNGSI DELTA DIRAC. Marwan Wirianto 1) dan Wono Setya Budhi 2)

FUNGSI DELTA DIRAC. Marwan Wirianto 1) dan Wono Setya Budhi 2) INTEGRAL, Vol. 1 No. 1, Maret 5 FUNGSI DELTA DIRAC Marwan Wirianto 1) dan Wono Setya Budhi ) 1) Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Lebih terperinci

Bagian 2 Matriks dan Determinan

Bagian 2 Matriks dan Determinan Bagian Matriks dan Determinan Materi mengenai fungsi, limit, dan kontinuitas akan kita pelajari dalam Bagian Fungsi dan Limit. Pada bagian Fungsi akan mempelajari tentang jenis-jenis fungsi dalam matematika

Lebih terperinci