SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR"

Transkripsi

1 Bab 3 SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 3.1 Sistem Linear Hiperbolik Sistem linear dalam pengertian Tugas Akhir ini adalah suatu sistem hukum kekekalan dengan bentuk umum, t u + d A α (t) xα u = 0 (3.1.1) α=1 u(x, 0) = u 0 (x) dimana u : R d R R m dan A α R m m adalah matriks fungsi t. Dimensi spasial sistem linear ini adalah d, sedangkan m adalah dimensi sistem. Sebagai contoh adalah sistem linear dimensi 2 dengan dimensi spasial 2, dengan koefisien konstan berikut u t u x Lebih lanjut sistem linear dengan koefisien konstan t u + 1 i d u y = 0 A α xα u = 0 (3.1.2) 21

2 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 22 disebut hiperbolik jika terdapat C sehingga sup ξ R exp( ia(ξ)) C dimana A(ξ) = d α=1 ξ αa α, lihat Serre[7]. Misalnya sistem berikut u t u x = Sistem di atas adalah hiperbolik. Hal ini dapat ditunjukkan dari perhitungan di bawah ini. Misalkan kita pilih C = 3. exp( ia(ξ)) = exp iξ ξn = ( i)n 0 n! 0 ( i)n 2n ξ n n! = exp( iξ) 0 0 exp( i2ξ) = 2 C, untuk setiap ξ R. Lebih umum lagi, dengan cara serupa kita dapat menyatakan bahwa sistem yang diagonal bersifat hiperbolik. Suatu sistem disebut hiperbolik kuat jika nilai-nilai eigennya berbeda[4]. Alternatif lain untuk melihat kehiperbolikan sistem linear adalah melalui dua lemma berikut, lihat [7]. Lemma 3.1. Jika sistem (3.1.1) hiperbolik maka matriks A(ξ) dapat didiagonalkan dengan nilai eigen real untuk semua ξ R d. Lemma 3.2. Jika matriks A(ξ) dapat didiagonalkan (misal A(ξ) = P (ξ)d(ξ)p (ξ) 1 ) dengan nilai eigen real dan pemetaan ξ K(ξ) = P (ξ) P (ξ) 1 terbatas pada R d, maka sistem (3.1.1) hiperbolik. Dengan asumsi A α dan A β komutatif, suatu sistem u t + A α u x + A β u y = 0 akan hiperbolik jika dan hanya jika untuk setiap sistem satu dimensi u t + A α u x = 0 dan u t + A β u x = 0 hiperbolik. Pernyataan ini dapat ditunjukkan sebagai berikut. Pertama, akan ditunjukkan jika sistem satu dimensi u t + A α u x = 0 hiperbolik maka

3 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 23 sistem u t + A α u x + A β u y = 0 juga hiperbolik. Dari asumsi kehiperbolikan pilih C 1 > 0 dan C 2 > 0 sehingga dan ξ1 n A n α n! C 1 ξ 2 n A n β n! C 2 Untuk sistem u t + A α u x + A β u y = 0, diperoleh A(ξ) = ξ 1 A α + ξ 2 A β (3.1.3), dimana ξ = (ξ 1, ξ 2 ), maka exp( ia(ξ)) = exp( i(ξ 1 A α + ξ 2 A β )) = exp( i(ξ 1 A α ) ( iξ 2 A β )) (karena A α, A β komutatif) ξ1 n A n α n! ξ 2 n A n β n! C 1 C 2 Jadi sistem u t + A α u x + A β u y = 0 hiperbolik. Kedua, akan ditunjukkan jika sistem u t + A α u x + A β u y = 0 hiperbolik maka u t + A α u x = 0 dan u t + A β u y = 0 hiperbolik. Karena sistem u t + A α u x + A β u y = 0 hiperbolik, maka terdapat C sehingga sup ξ R exp( ia(ξ)) C. Dengan notasi (3.1.3) sebelumnya exp( i(ξ 1 A α (A α ) n ξ n 1 )) = n! (ξ 1 A α ) n + (ξ 2 A β ) n n! C Jadi, u t + A α u x = 0 hiperbolik. Dengan cara serupa dapat ditunjukkan pula bahwa sistem u t + A β u x = 0 hiperbolik.

4 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR Solusi Sistem Linear Hiperbolik Suatu sistem linear hiperbolik dengan A = dapat dituliskan sebagai u 1 u 2 t a 11 a 12 a 21 a 22 u 2 + A u 1 Persamaan di atas dapat diuraikan menjadi dua persamaan yaitu x matriks konstan di R 2 2 = 0 (3.2.1) (u 1 ) t + a 11 (u 1 ) x + a 12 (u 2 ) x = 0 (3.2.2) (u 2 ) t + a 21 (u 1 ) x + a 22 (u 2 ) x = 0 (3.2.3) Misalkan A dapat didiagonalkan, maka A dapat didekomposisi menjadi R 1 A = ΛR 1 dimana Λ = diag[λ 1, λ 2,..., λm] adalah matriks diagonal dengan entri nilai eigen A dan R = [r 1 r 2... r m ] adalah matriks dari vektor eigen yang berkaitan dengan nilai eigen A. Perhatikan pula bahwa AR = RΛ A[r 1... r m ] = [r 1... r m ]Λ sehingga Ar p = λ p r p, p = 1, 2,..., m(notasi ini akan digunakan pada pembahasan selanjutnya). Untuk mencari solusi dari sistem linear hiperbolik digunakan variabel karakteristik, yaitu v = R 1 u. Pertama tulis sistem sebagai u t + Au x = 0 Kalikan persamaan diatas dengan R 1, diperoleh R 1 u t + R 1 Au x = 0

5 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 25 Substitusikan R 1 A = ΛR 1 sehingga R 1 u t + ΛR 1 u x = 0 Karena R 1 konstan, diperoleh v 1 v 2 sehingga dapat ditulis sebagai v t + Λv x = 0 + λ 1 0 v 1 0 λ 2 v 2 t x = 0 (v p ) t + λ p (v p ) x = 0 p = 1, 2 dimana masing-masing persamaan diatas adalah persamaan transport dengan solusi v p (x, t) = v p (x λ p t, 0) Dengan demikian diperoleh solusi u(x, t) = Rv(x, t) = [r 1... r m ]v(x, t) m = v p (x, t)r p p=1 Dengan demikian (3.2.1) memiliki solusi jika A dapat didiagonalkan. Sebagai ilustrasi sistem di atas, tinjau persamaan gelombang orde dua : u tt c 2 u xx = 0 (3.2.4) dengan c > 0 dan syarat awal u(x, 0) = u 0 (x) u t (x, 0) = u 1 (x) Persamaan di atas dapat ditulis sebagai suatu sistem kekekalan skalar orde satu, dengan pemisalan v = u x dan w = u t, diperoleh v t = w x, (3.2.5)

6 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 26 dan dari (3.2.4) diperoleh w t = c 2 v x (3.2.6) Persamaan (3.2.5) dan (3.2.6) dapat ditulis sebagai suatu sistem v = w w c 2 v v w t + t 0 1 c 2 0 x v w Perhatikan bahwa sistem di atas adalah suatu sistem linear dengan A = 0 1 c 2 0 x (3.2.7) = 0 (3.2.8) dan syarat awal w(x, 0) = u 1 (x) dan v(x, 0) = u 0(x). Matriks A dapat didiagonalkan dengan nilai eigen λ = ±c. Oleh karena itu (3.2.8) adalah sistem linear hiperbolik. Matriks A didekomposisi menjadi A = RΛR 1 dimana Λ = c 0 0 c R = 1 1 c c R 1 = 1 c 1 2c c 1 Untuk mencari solusinya, digunakan variabel karakteristik z z = R 1 v = 1v 1 w 2 2c 1 w v + 1 w 2 2c Berdasar solusi umum sistem linear hiperbolik, maka pada sistem ini solusinya dapat ditulis sebagai v w = z 1 (x ct, 0) 1 c + z 2 (x + ct, 0) 1 (3.2.9) c

7 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 27 atau dapat diuraikan menjadi v(x, t) = 1 2 [u 0(x ct) + u 0(x + ct)] + 1 2c [u 1(x + ct) u 1 (x ct)] (3.2.10) dan w(x, t) = c 2 [u 0(x + ct) u 0(x ct)] [u 1(x + ct) + u 1 (x ct)] (3.2.11) Dengan mengetahui solusi untuk v dan w, maka solusi persamaan gelombang dapat dicari dari v = u x atau w = u t. d Alembert dari persamaan gelombang [9], yaitu u(x, t) = 1 2 [u 0(x ct) + u 0 (x + ct)] + 1 2c Solusi yang diperoleh ekuivalen dengan solusi x+ct x ct u 1 (s)ds Hal ini dapat ditunjukkan dengan menurunkan solusi d Alembert terhadap x. v(x, t) = x (1 2 [u 0(x ct) + u 0 (x + ct)] + 1 2c x+ct x ct u 1 (s)ds) = 1 2 [u 0(x ct) + u 0(x + ct)] + 1 2c [u 1(x + ct) u 1 (x ct)] 3.3 Masalah Riemann Seperti halnya pada bab sebelumnya, masalah Riemann adalah masalah persamaan diferensial dengan syarat awalnya tak kontinu. Sebagai contoh adalah masalah Riemann berikut u t + Au x = 0 (3.3.1) u l, jika x 0 u(x, 0) = u r, jika x > 0 Penyelesaian masalah Riemann di atas sama halnya pada solusi umum sistem linear hiperbolik, dimana solusinya akan berbentuk u(x, t) = m p=1 v p(x λ p t)r p, dimana r p, λ p adalah vektor eigen dan nilai eigen dari matriks A. Karena syarat awalnya

8 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 28 tak kontinu, maka akan demikian pula halnya dengan variabel karakteristiknya. Misalkan α p, jika x < 0 v p (x, 0) = (3.3.2) β p, jika x > 0 Dengan pemisalan di atas diperoleh dua persamaan, yaitu u l = Rα = m α p r p (3.3.3) p=1 m u r = Rβ = β p r p (3.3.4) p=1 Solusi untuk v(x, t) adalah α p, jika x λ p t < 0 v(x, t) = v(x λ p t, 0) = (3.3.5) β p, jika x λ p t > 0 Kita ilustrasikan masalah Riemann pada m = 2. Misalkan λ 1 < λ 2, maka solusi (3.3.1) adalah β 1 r 1 + β 2 r 2, jika (x, t) I u(x, t) = β 1 r 1 + α 2 r 2, jika (x, t) II (3.3.6) α 1 r 1 + α 2 r 2, jika (x, t) III dengan daerah I, II, dan III pada gambar (3.1). Secara umum solusi dari (3.3.1) dapat dituliskan sebagai u(x, t) = P m β p r p + α p r p (3.3.7) p=1 p=p +1 dimana P = maks{p : x λ p t > 0}. Perhatikan bahwa P tergantung pada x dan t.

9 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 29 Gambar 3.1: Domain pada persamaan (3.2.6) Untuk mempermudah pemahaman, perhatikan contoh berikut u t u x = 0 (3.3.8) dengan syarat awal [ u(x, 0) = [ ], jika x < 0 ], jika x > 0 Dengan langkah-langkah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masalah di atas memiliki solusi (0, 1, )T, (x, t) di I (0, 1, 1 2 u(x, t) = )T, (x, t) di II ( 1, 0, )T, (x, t) di III (3.3.9) (0, 1, 2 0)T, (x, t) di IV M 3 = β p r p + α p r p untuk(x λt) > 0 p=1 p=m+1 dengan daerah I, II, III, dan IV seperti pada gambar (3.2). Nilai α p, β p dihitung seperti pada bagian (3.3) dan hasilnya adalah α 1 = 0, α 2 = 1, α 2 3 = 1, β 2 1 = 1, 2

10 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 30 β 2 = 0, dan β 3 = 0. Vektor r p adalah vektor karakteristik dari matriks A. Gambar 3.2: Ilustrasi perambatan diskontinuitas pada sistem linear hiperbolik 3.4 Solusi Lemah dan Kondisi Rankine Hugoniot Dari bagian (3.3), kita melihat bahwa masalah Riemann dalam sistem linear hiperbolik dapat memiliki solusi yang memuat diskontinuitas, karenanya diperlukan konsep solusi lemah untuk sistem linear. Misalkan u adalah solusi sistem linear (3.1.1), maka u dikatakan solusi lemah jika u, t ϕ + A T x ϕ + u 0 (x)ϕ(x, 0)dx = 0 (3.4.1) R + untuk setiap fungsi uji ϕ C0(R 1 [0, ), R m ) dan ϕ 0 di batas dan di luar domain. Dalam notasi ini u, t ϕ + A T x ϕ = u ( t ϕ + A T x ϕ)dxdt (3.4.2) Pada sistem linear hiperbolik dengan syarat awal tak kontinu terjadi pula solusi

11 BAB 3. SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR 31 yang mengalami diskontinuitas. Pada masalah Riemann (3.3.8) misalnya, solusi dari masalah ini mengalami tiga diskontinuitas dalam tiga arah pula. Perhatikan solusi masalah Riemann (3.3.1). Setiap daerah yang dibatasi oleh x = λ p t terjadi perubahan solusi dari α p ke β p. Misalkan dari daerah III ke daerah II, solusi hanya mengalami perubahan dari α 1 ke β 1. Hal ini menunjukkan bahwa ketakkontinuan terjadi pada setiap x = λ p t. Kondisi Rankine Hugoniot pada persamaan skalar menunjukkan besarnya kecepatan perambatan diskontinuitas. Hal serupa pun terjadi pada sistem linear hiperbolik. Diskontinuitas pada solusi sistem u t + f(u) x = 0 pun dapat dihitung melalui kondisi Rankine Hugoniot. Perhatikan kondisi Rankine Hugoniot pada persamaan skalar berikut dx s dt = [f(u)] [u] (3.4.3) dengan [u] = u r u l dan [f(u)] = f(u r ) f(u l ). Karena [u] dan [f(u)] adalah vektor maka persamaan ini tidak berlaku pada sistem. Namun, dari persamaan (3.3.3) dan (3.3.4) kita peroleh [u] = u r u l = β p r p α p r p (3.4.4) = (β p α p )r p dan [f(u)] = A[u] = A(β p α p )r p = (β p α p )Ar p (3.4.5) = (β p α p )λ p r p = λ p (β p α p )r p = λ p [u] Dengan demikian λ p menyatakan kecepatan perambatan diskontinuitas dalam arah r p pada sistem linear hiperbolik.

4.1 Sistem kuasi-linear hiperbolik. Sistem (hukum kekekalan) kuasi-linear mempunyai bentuk umum. t u + A α (u) xα u = b(u) (4.1.

4.1 Sistem kuasi-linear hiperbolik. Sistem (hukum kekekalan) kuasi-linear mempunyai bentuk umum. t u + A α (u) xα u = b(u) (4.1. Bab 4 SISTEM KUASI-LINEAR 4. Sistem kuasi-linear hiperbolik Sistem (hukum kekekalan) kuasi-linear mempunyai bentuk umum t u + A α (u) xα u = b(u) (4..) α= u(x, 0) = u 0 (x) Jika u 0 adalah fungsi konstan,

Lebih terperinci

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA Pada bab ini akan dimodelkan permasalahan penyebaran virus flu burung yang bergantung pada ruang dan waktu. Pada bab ini akan dibahas pula analisis dari model hingga

Lebih terperinci

FUNGSI EVANS, SIFAT-SIFAT DAN APLIKASINYA PADA PELACAKAN NILAI EIGEN DARI MASALAH STURM-LIOUVILLE

FUNGSI EVANS, SIFAT-SIFAT DAN APLIKASINYA PADA PELACAKAN NILAI EIGEN DARI MASALAH STURM-LIOUVILLE Jurnal Matematika UNAND Vol. 4 No. Hal. 23 3 ISSN : 233 29 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND FUNGSI EVANS, SIFAT-SIFAT DAN APLIKASINYA PADA PELACAKAN NILAI EIGEN DARI MASALAH STURM-LIOUVILLE HILDA FAHLENA,

Lebih terperinci

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan Pada bagian ini akan dipelajari tiga jenis persamaan diferensial parsial (PDP) linear orde dua yang biasa dijumpai pada masalah-masalah dunia nyata, yaitu persamaan

Lebih terperinci

9. Teori Aproksimasi

9. Teori Aproksimasi 44 Hendra Gunawan 9 Teori Aproksimasi Mulai bab ini tema kita adalah aproksimasi fungsi dan interpolasi Diberikan sebuah fungsi f, baik secara utuh ataupun hanya beberapilai di titik-titik tertentu saja,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan beberapa teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta teorema-teorema

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya. 2 II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas teoriteori yang mendukung karya tulis ini. Teoriteori tersebut meliputi persamaan diferensial penurunan persamaan KdV yang disarikan dari (Ihsanudin, 2008;

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi yang diuraikan berupa definisi-definisi

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Week 3: Pengantar, konsep dasar dan klasikasi PDP Tim Ilmu Komputasi Coordinator contact: Dr. Putu Harry Gunawan phgunawan@telkomuniversity.ac.id 1 Kontrak kuliah 2

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan

BAB II KAJIAN TEORI. dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai nilai eigen dan vektor eigen, sistem dinamik, sistem linear, sistem nonlinear, titik ekuilibrium, analisis kestabilan sistem dinamik, kriteria Routh-Hurwitz,

Lebih terperinci

10. Transformasi Fourier

10. Transformasi Fourier 10. Transformasi Fourier Dalam beberapa bab ke depan, kita akan membahas transformasi Fourier, sifatsifatnya, dan aplikasinya. Seperti halnya pada pembahasan deret Fourier, pendekatan yang diambil dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas beberapa poin tentang sistem dinamik, kestabilan sistem dinamik, serta konsep bifurkasi. A. Sistem Dinamik Secara umum Sistem dinamik didefinisikan

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear) Definisi 2 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear)

II. LANDASAN TEORI. Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear) Definisi 2 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear) 3 II. LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Biasa Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear) Misalkan suatu sistem persamaan diferensial biasa dinyatakan sebagai = + ; =, R (1) dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem dinamik adalah sistem yang berubah dari waktu ke waktu (Farlow,et al.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem dinamik adalah sistem yang berubah dari waktu ke waktu (Farlow,et al., II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Dinamik Sistem dinamik adalah sistem yang berubah dari waktu ke waktu (Farlow,et al., 2002). Salah satu tujuan utama dari sistem dinamik adalah mempelajari perilaku dari

Lebih terperinci

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan 6, 1 (2.52) Berdasarkan persamaan (2.52), maka untuk 0 1 masing-masing memberikan persamaan berikut:, 0,0, 0, 1,1, 1. Sehingga menurut persamaan (2.51) persamaan (2.52) diperoleh bahwa fungsi, 0, 1 masing-masing

Lebih terperinci

13. Aplikasi Transformasi Fourier

13. Aplikasi Transformasi Fourier 13. plikasi ransformasi Fourier Misal adalah operator linear pada fungsi yang terdefinisi pada R dengan sifat: jika [f(x] = g(x, maka [f(x + s] = g(x + s untuk setiap s R. Maka, fungsi f(x = e ax (a C

Lebih terperinci

BAB III MATRIKS HERMITIAN. dan konsep-konsep lainnya yang berkaitan dengan matriks Hermitian. Matriks

BAB III MATRIKS HERMITIAN. dan konsep-konsep lainnya yang berkaitan dengan matriks Hermitian. Matriks BAB III MATRIKS HERMITIAN Pada bab ini, akan dibahas beberapa konsep penting dari matriks Hermitian dan konsep-konsep lainnya yang berkaitan dengan matriks Hermitian. Matriks Hermitian merupakan kelas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Matriks 1 Pengertian Matriks Definisi 21 Matriks adalah kumpulan bilangan bilangan yang disusun secara khusus dalam bentuk baris kolom sehingga membentuk empat persegi panjang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Matriks 1. Pengertian Matriks Definisi II. A. 1 Matriks didefinisikan sebagai susunan segi empat siku- siku dari bilangan- bilangan yang diatur dalam baris dan kolom (Anton, 1987:22).

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. Contoh. Ditinjau dari sistem yang didefinisikan oleh:

II LANDASAN TEORI. Contoh. Ditinjau dari sistem yang didefinisikan oleh: 5 II LANDASAN TEORI 2.1 Keterkontrolan Untuk mengetahui persoalan sistem kontrol mungkin tidak ada, jika sistem yang ditinjau tidak terkontrol. Walaupun sebagian besar sistem terkontrol ada, akan tetapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 2.1.1 Persamaan Diferensial Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat variabel bebas, variabel tak bebas dan derivative-derivatif

Lebih terperinci

BAB 3 FUNGSI MONOTON MATRIKS

BAB 3 FUNGSI MONOTON MATRIKS BAB 3 FUNGSI MONOTON MATRIKS Pada bab ini akan dibahas fungsi monoton matriks. Dalam mengkontruksi fungsi monoton matriks banyak istilah yang harus kita ketahui sebelumnya. Beberapa konsep yang akan dibahas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Diferensial Parsial Persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan parsial suatu fungsi (yang diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS FAKTOR. berfungsi untuk mereduksi dimensi data dengan cara menyatakan variabel asal

BAB III ANALISIS FAKTOR. berfungsi untuk mereduksi dimensi data dengan cara menyatakan variabel asal BAB III ANALISIS FAKTOR 3.1 Definisi Analisis faktor Analisis faktor adalah suatu teknik analisis statistika multivariat yang berfungsi untuk mereduksi dimensi data dengan cara menyatakan variabel asal

Lebih terperinci

Program Perkuliahan Dasar Umum Sekolah Tinggi Teknologi Telkom Persamaan Diferensial Orde II

Program Perkuliahan Dasar Umum Sekolah Tinggi Teknologi Telkom Persamaan Diferensial Orde II Program Perkuliahan Dasar Umum Sekolah Tinggi Teknologi Telkom Persamaan Diferensial Orde II [MA4] PDB Orde II Bentuk umum : y + p(x)y + g(x)y = r(x) p(x), g(x) disebut koefisien jika r(x) = 0, maka Persamaan

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Biasa

Persamaan Diferensial Biasa Persamaan Diferensial Biasa Titik Tetap dan Sistem Linear Toni Bakhtiar Departemen Matematika IPB Oktober 2012 Toni Bakhtiar (m@thipb) PDB Oktober 2012 1 / 31 Titik Tetap SPD Mandiri dan Titik Tetap Tinjau

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE)

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE) Bab 2 Landasan Teori Dalam bab ini akan dibahas mengenai Persamaan Air Dangkal dan dasar-dasar teori mengenai metode beda hingga untuk menghampiri solusi dari persamaan diferensial parsial. 2.1 Persamaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini, akan dijelaskan landasan teori yang akan digunakan dalam bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung dan memperkuat tujuan penelitian. Landasan teori yang dimaksud

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul Fakultas Ilmu Komputer Teknik Informatika. Persamaan Diferensial Orde II

Universitas Indonusa Esa Unggul Fakultas Ilmu Komputer Teknik Informatika. Persamaan Diferensial Orde II Universitas Indonusa Esa Unggul Fakultas Ilmu Komputer Teknik Informatika Persamaan Diferensial Orde II PDB Orde II Bentuk umum : y + p(x)y + g(x)y = r(x) p(x), g(x) disebut koefisien jika r(x) = 0, maka

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)]

II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)] II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)] Suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan sebagai berikut: A adalah matriks koefisien konstan

Lebih terperinci

BAB VII MATRIKS DAN SISTEM LINEAR TINGKAT SATU

BAB VII MATRIKS DAN SISTEM LINEAR TINGKAT SATU BAB VII MATRIKS DAN SISTEM LINEAR TINGKAT SATU Sistem persamaan linear orde/ tingkat satu memiliki bentuk standard : = = = = = = = = = + + + + + + + + + + Diasumsikan koefisien = dan fungsi adalah menerus

Lebih terperinci

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan.

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. Kriteria apa saa yang dapat digunakan untuk menentukan properti

Lebih terperinci

SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR DAN KUASI-LINEAR HIPERBOLIK

SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR DAN KUASI-LINEAR HIPERBOLIK SISTEM HUKUM KEKEKALAN LINEAR DAN KUASI-LINEAR HIPERBOLIK TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Sidang Sarjana Program Studi Matematika ITB Oleh: Arnida Lailatul Latifah 101 04 088 Program Studi

Lebih terperinci

TE Teknik Numerik Sistem Linear

TE Teknik Numerik Sistem Linear TE 9467 Teknik Numerik Sistem Linear Operator Linear Trihastuti Agustinah Bidang Studi Teknik Sistem Pengaturan Jurusan Teknik Elektro - FTI Institut Teknologi Sepuluh Nopember O U T L I N E. Objektif.

Lebih terperinci

Bab II Teori Pendukung

Bab II Teori Pendukung Bab II Teori Pendukung II.1 Sistem Autonomous Tinjau sistem persamaan differensial berikut, = dy = f(x, y), g(x, y), (2.1) dengan asumsi f dan g adalah fungsi kontinu yang mempunyai turunan yang kontinu

Lebih terperinci

BAB III PERSAMAAN DIFUSI, PERSAMAAN KONVEKSI DIFUSI, DAN METODE PEMISAHAN VARIABEL

BAB III PERSAMAAN DIFUSI, PERSAMAAN KONVEKSI DIFUSI, DAN METODE PEMISAHAN VARIABEL BAB III PERSAMAAN DIFUSI, PERSAMAAN KONVEKSI DIFUSI, DAN METODE PEMISAHAN VARIABEL Dalam menyelesaikan persamaan pada tugas akhir ini terdapat beberapa teori dasar yang digunakan. Oleh karena itu, pada

Lebih terperinci

Fourier Analysis & Its Applications in PDEs - Part II

Fourier Analysis & Its Applications in PDEs - Part II Fourier Analysis & Its Applications in PDEs Hendra Gunawan http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan/ Analysis and Geometry Group Bandung Institute of Technology Bandung, INDONESIA WIDE 2010 5-6 August

Lebih terperinci

untuk setiap x sehingga f g

untuk setiap x sehingga f g Jadi ( f ( f ) bernilai nol untuk setiap x, sehingga ( f ( f ) fungsi nol atau ( f ( f ) Aksioma 5 Ambil f, g F, R, ( f g )( f g ( g( g( ( f g)( Karena ( f g )( ( f g)( untuk setiap x sehingga f g Aksioma

Lebih terperinci

Teori Bifurkasi (3 SKS)

Teori Bifurkasi (3 SKS) Teori Bifurkasi (3 SKS) Department of Mathematics Faculty of Mathematics and Natural Sciences Gadjah Mada University E-mail : f_adikusumo@gadjahmada.edu Sistem Dinamik PENGERTIAN UMUM : - Formalisasi matematika

Lebih terperinci

PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN MATRIKS INTERVAL MENGGUNAKAN METODE PANGKAT

PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN MATRIKS INTERVAL MENGGUNAKAN METODE PANGKAT Buletin Ilmiah Math. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 6, No. 0 (017), hal 17 6. PENENTUAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN MATRIKS INTERVAL MENGGUNAKAN METODE PANGKAT Yuyun Eka Pratiwi, Mariatul Kiftiah,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah Penelusuran tentang fenomena belalang merupakan bahasan yang baik untuk dipelajari karena belalang dikenal suka berkelompok dan berpindah. Dalam kelompok,

Lebih terperinci

BAB II MATRIKS POSITIF. Pada bab ini akan dibahas mengenai Teorema Perron, yaitu teori hasil kontribusi

BAB II MATRIKS POSITIF. Pada bab ini akan dibahas mengenai Teorema Perron, yaitu teori hasil kontribusi BAB II MATRIKS POSITIF Pada bab ini akan dibahas mengenai Teorema Perron, yaitu teori hasil kontribusi dari seorang matematikawan German, Oskar Perron. Perron menerbitkan tulisannya tentang sifat-sifat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai matriks (meliputi definisi matriks, operasi matriks, determinan dan invers matriks), aljabar max-plus, matriks atas aljabar max-plus, dan penyelesaian

Lebih terperinci

dy = f(x,y) = p(x) q(y), dx dy = p(x) dx,

dy = f(x,y) = p(x) q(y), dx dy = p(x) dx, 5. Persamaan Diferensian Dengan Variabel Terpisah Persamaan diferensial berbentuk y = f(), dengan f suatu fungsi kontinu pada suatu interval real, dapat dicari penyelesaiannya dengan cara mengintegralkan

Lebih terperinci

Soal Ujian 2 Persamaan Differensial Parsial

Soal Ujian 2 Persamaan Differensial Parsial Soal Uian 2 Persamaan Differensial Parsial M. Jamhuri April 15, 2013 1 Buktikan bahwa ux,t) = πˆ 1 x e θ2 dθ merupakan solusi persamaan difusi u t = u xx untuk setiap x R,t > 0. Untuk x 0 tunukkan bahwa

Lebih terperinci

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1. Integral Lipat Dua Atas Daerah Persegipanjang

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1. Integral Lipat Dua Atas Daerah Persegipanjang ingkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1 Integral Lipat Dua Atas Daerah Persegipanjang Perhatikan fungsi z = f(x, y) pada = {(x, y) : a x b, c y d} Bentuk partisi P atas daerah berupa n buah persegipanjang

Lebih terperinci

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

Teori kendali. Oleh: Ari suparwanto

Teori kendali. Oleh: Ari suparwanto Teori kendali Oleh: Ari suparwanto Minggu Ke-1 Permasalahan oleh : Ari Suparwanto Permasalahan Diberikan sistem dan sinyal referensi. Masalah kendali adalah menentukan sinyal kendali sehingga output sistem

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data A. Model Matematika BAB II KAJIAN TEORI Pemodelan matematika adalah proses representasi dan penjelasan dari permasalahan dunia real yang dinyatakan dalam pernyataan matematika (Widowati dan Sutimin, 2007:

Lebih terperinci

MASALAH SYARAT BATAS (MSB)

MASALAH SYARAT BATAS (MSB) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unmuh Ponorogo PENDAHULUAN MODEL KABEL MENGGANTUNG DEFINISI MSB Persamaan diferensial (PD) dikatakan berdimensi 1 jika domainnya berupa himpunan bagian pada R 1.

Lebih terperinci

DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS

DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS Buletin Ilmiah Mat Stat dan Terapannya (Bimaster) Volume 04, No 3 (2015), hal 337-346 DIAGONALISASI MATRIKS KOMPLEKS Heronimus Hengki, Helmi, Mariatul Kiftiah INTISARI Matriks kompleks merupakan matriks

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Week 11-12: Finite Dierence Method for PDE Wave Eqs Tim Ilmu Komputasi Coordinator contact: Dr. Putu Harry Gunawan phgunawan@telkomuniversity.ac.id 1 Masalah Gelombang

Lebih terperinci

Fourier Analysis & Its Applications in PDEs - Part I

Fourier Analysis & Its Applications in PDEs - Part I Fourier Analysis & Its Applications in PDEs Hendra Gunawan http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan/ Analysis and Geometry Group Bandung Institute of Technology Bandung, INDONESIA WIDE 2010 5-6 August

Lebih terperinci

R maupun. Berikut diberikan definisi ruang vektor umum, yang secara eksplisit

R maupun. Berikut diberikan definisi ruang vektor umum, yang secara eksplisit BAB I RUANG EKTOR UMUM Dalam bab ini akan dipelajari tentang konsep ruang vektor umum, sub ruang vektor dan sifat-sifatnya. Pada pembicaraan ini, para mahasiswa dianggap sudah mengenal konsep dan sifat

Lebih terperinci

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Analisis Fungsional Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Lingkup Materi Ruang Metrik dan Ruang Topologi Kelengkapan Ruang Banach Ruang Hilbert

Lebih terperinci

Variabel Banyak Bernilai Real 1 / 1

Variabel Banyak Bernilai Real 1 / 1 Fungsi Variabel Banyak Bernilai Real Turunan Parsial dan Turunan Wono Setya Budhi KK Analisis dan Geometri, FMIPA ITB Variabel Banyak Bernilai Real 1 / 1 Turunan Parsial dan Turunan Usaha pertama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkalian skalar perplectic merupakan bagian dari teori perkalian skalar indefinite. Untuk menjelaskan pengertian perkalian skalar perplectic, terlebih dahulu

Lebih terperinci

BAB III METODE RECURSIVE LEAST SQUARE. Pada bab ini akan dikemukakan secara rinci apa yang menjadi inti

BAB III METODE RECURSIVE LEAST SQUARE. Pada bab ini akan dikemukakan secara rinci apa yang menjadi inti BAB III METODE RECURSIVE LEAST SQUARE Pada bab ini akan dikemukakan secara rinci apa yang menjadi inti permasalahan dalam tulisan ini, yaitu penaksiran parameter koefisien persamaan regresi menggunakan

Lebih terperinci

NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN disebut vektor eigen dari matriks A =

NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN disebut vektor eigen dari matriks A = NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN >> DEFINISI NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN Jika A adalah sebuah matriks n n, maka sebuah vektor taknol x pada R n disebut vektor eigen (vektor karakteristik) dari A jika Ax adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika,

Lebih terperinci

A 10 Diagonalisasi Matriks Atas Ring Komutatif

A 10 Diagonalisasi Matriks Atas Ring Komutatif A 10 Diagonalisasi Matriks Atas Ring Komutatif Joko Harianto 1, Puguh Wahyu Prasetyo 2, Vika Yugi Kurniawan 3, Sri Wahyuni 4 1 Mahasiswa S2 Matematika FMIPA UGM, 2 Mahasiswa S2 Matematika FMIPA UGM, 3

Lebih terperinci

BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT. Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi

BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT. Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT 3.1 Operator linear Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi real yaitu suatu fungsi dari ruang vektor ke ruang vektor. Ruang

Lebih terperinci

1.1 MATRIKS DAN JENISNYA Matriks merupakan kumpulan bilangan yang berbentuk segi empat yang tersusun dalam baris dan kolom.

1.1 MATRIKS DAN JENISNYA Matriks merupakan kumpulan bilangan yang berbentuk segi empat yang tersusun dalam baris dan kolom. Bab MATRIKS DAN OPERASINYA Memahami matriks dan operasinya merupakan langkah awal dalam memahami buku ini. Beberapa masalah real dapat direpresentasikan dalam bentuk matriks. Masalah tersebut antara lain

Lebih terperinci

SISTEM DINAMIK KONTINU LINEAR. Oleh: 1. Meirdania Fitri T 2. Siti Khairun Nisa 3. Grahani Ayu Deca F. 4. Fira Fitriah 5.

SISTEM DINAMIK KONTINU LINEAR. Oleh: 1. Meirdania Fitri T 2. Siti Khairun Nisa 3. Grahani Ayu Deca F. 4. Fira Fitriah 5. SISTEM DINAMIK KONTINU LINEAR Oleh: 1. Meirdania Fitri T 2. Siti Khairun Nisa 3. Grahani Ayu Deca F. 4. Fira Fitriah 5. Lisa Risfana Sari Sistem Dinamik D Sistem dinamik adalah sistem yang dapat diketahui

Lebih terperinci

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk memeriksa kelakuan sistem dinamik kompleks, biasanya dengan menggunakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

Department of Mathematics FMIPAUNS

Department of Mathematics FMIPAUNS Lecture 2: Metode Operator A. Metode Operator untuk Sistem Linear dengan Koefisien Konstan Pada bagian ini akan dibicarakan cara menentukan penyelesaian sistem persamaan diferensial linear dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Banyak sekali masalah terapan dalam ilmu teknik, ilmu fisika, biologi, dan lain-lain yang telah dirumuskan dengan model matematika dalam bentuk pesamaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Matriks 1. Pengertian Matriks Definisi II.A.1 Matriks didefinisikan sebagai susunan persegi panjang dari bilangan-bilangan yang diatur dalam baris dan kolom. Contoh II.A.1: 9 5

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan diferensial Persamaan diferensial merupakan persamaan yang melibatkan turunanturunan dari fungsi yang tidak diketahui (Waluya, 2006). Contoh 2.1 : Diberikan persamaan

Lebih terperinci

Persamaan Poisson. Fisika Komputasi. Irwan Ary Dharmawan

Persamaan Poisson. Fisika Komputasi. Irwan Ary Dharmawan (Pendahuluan) 1D untuk syarat batas Robin 2D dengan syarat batas Dirichlet Fisika Komputasi Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran http://phys.unpad.ac.id/jurusan/staff/dharmawan email : dharmawan@phys.unpad.ac.id

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema,

BAB II KAJIAN TEORI. dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa hal yang menjadi landasan dalam penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika,

Lebih terperinci

Karena v merupakan vektor bukan nol, maka A Iλ = 0. Dengan kata lain, Persamaan (2.2) dapat dipenuhi jika dan hanya jika,

Karena v merupakan vektor bukan nol, maka A Iλ = 0. Dengan kata lain, Persamaan (2.2) dapat dipenuhi jika dan hanya jika, BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai definisi-definisi dan teorema-teorema dari nilai eigen, vektor eigen, dan diagonalisasi, sistem persamaan differensial, model predator prey lotka-voltera,

Lebih terperinci

BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI

BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KONDISI AWAL MASALAH HUKUM KEKEKALAN HIPERBOLIK PADA PERSAMAAN BURGERS

REKONSTRUKSI KONDISI AWAL MASALAH HUKUM KEKEKALAN HIPERBOLIK PADA PERSAMAAN BURGERS REKONSTRUKSI KONDISI AWAL MASALAH HUKUM KEKEKALAN HIPERBOLIK PADA PERSAMAAN BURGERS Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Matematika Oleh: Fioretta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas mengenai dasar teori untuk menganalisis simulasi kestabilan model predator-prey tipe Holling II dengan faktor pemanenan. 2.1 Persamaan Diferensial Biasa

Lebih terperinci

Yang dipelajari. 1. Masalah Nilai Eigen dan Penyelesaiannya 2. Masalah Pendiagonalan. Referensi : Kolman & Howard Anton. Ilustrasi

Yang dipelajari. 1. Masalah Nilai Eigen dan Penyelesaiannya 2. Masalah Pendiagonalan. Referensi : Kolman & Howard Anton. Ilustrasi 7// NILAI EIGEN dan VEKTOR EIGEN Yang dipelajari.. Masalah Nilai Eigen dan Penyelesaiannya. Masalah Pendiagonalan Referensi : Kolman & Howard Anton. Ilustrasi Misalkan t : R n R n dengan definisi t(x)

Lebih terperinci

Soal Ujian Komprehensif

Soal Ujian Komprehensif Soal Ujian Komprehensif Bahan ujian komprehensif memuat konsep-konsep penting pada bidang: Kalkulus, dan Matriks / Aljabar Linear. Logika, Soal ujian disediakan secara terbuka, dapat diperoleh setiap saat

Lebih terperinci

Aljabar Linear Elementer

Aljabar Linear Elementer BAB I RUANG VEKTOR Pada kuliah Aljabar Matriks kita telah mendiskusikan struktur ruang R 2 dan R 3 beserta semua konsep yang terkait. Pada bab ini kita akan membicarakan struktur yang merupakan bentuk

Lebih terperinci

NOISE TERMS PADA SOLUSI DERET DEKOMPOSISI ADOMIAN DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL ABSTRACT

NOISE TERMS PADA SOLUSI DERET DEKOMPOSISI ADOMIAN DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL ABSTRACT NOISE TERMS PADA SOLUSI DERET DEKOMPOSISI ADOMIAN DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL Heni Kusnani 1, Leli Deswita, Zulkarnain 1 Mahasiswa Program Studi S1 Matematika Dosen Jurusan Matematika

Lebih terperinci

SISTEM DINAMIK DISKRET. Anggota Kelompok: 1. Inggrid Riana C. 2. Kharisma Madu B. 3. Solehan

SISTEM DINAMIK DISKRET. Anggota Kelompok: 1. Inggrid Riana C. 2. Kharisma Madu B. 3. Solehan SISTEM DINAMIK DISKRET Anggota Kelompok: 1. Inggrid Riana C. 2. Kharisma Madu B. 3. Solehan SISTEM DINAMIK Kontinu Sistem Dinamik Diskret POKOK BAHASAN SDD OTONOMUS NON-OTONOMUS 1-D MULTI-D LINEAR NON-LINEAR

Lebih terperinci

& & # = atau )!"* ( & ( ( (&

& & # = atau )!* ( & ( ( (& MATRIKS ======PENGERTIAN====== Matriks merupakan Susunan bilangan-bilangan yang membentuk segi empat siku-siku. Susunan bilangan-bilangan tersebut dinamakan entri dalam matriks. Matriks dinotasikan dengan

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3

Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Persamaan Diferensial Parsial CNH3C3 Week 4: Separasi Variabel untuk Persamaan Panas Orde Satu Tim Ilmu Komputasi Coordinator contact: Dr. Putu Harry Gunawan phgunawan@telkomuniversity.ac.id 1 Persamaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang biasanya dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: =

BAB II LANDASAN TEORI. yang biasanya dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: = BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Matriks Definisi 2.1 (Lipschutz, 2006): Matriks adalah susunan segiempat dari skalarskalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: Setiap skalar yang terdapat dalam

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. yang dibicarakan yang akan digunakan pada bab selanjutnya. Bentuk umum dari matriks bujur sangkar adalah sebagai berikut:

BAB 2 LANDASAN TEORI. yang dibicarakan yang akan digunakan pada bab selanjutnya. Bentuk umum dari matriks bujur sangkar adalah sebagai berikut: BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini dibicarakan mengenai matriks yang berbentuk bujur sangkar dengan beberapa definisi, teorema, sifat-sifat dan contoh sesuai dengan matriks tertentu yang dibicarakan yang

Lebih terperinci

ANALISIS LAX PAIR DAN PENERAPANNYA PADA PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES

ANALISIS LAX PAIR DAN PENERAPANNYA PADA PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES Jurnal Matematika UNAND Vol. VI No. 1 Hal. 66 73 ISSN : 303 910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND ANALISIS LAX PAIR DAN PENERAPANNYA PADA PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES ANCE SATRIA Program Studi Matematika,

Lebih terperinci

Eigen value & Eigen vektor

Eigen value & Eigen vektor Eigen value & Eigen vektor Hubungan antara vektor x (bukan nol) dengan vektor Ax yang berada di R n pada proses transformasi dapat terjadi dua kemungkinan : 1) 2) Tidak mudah untuk dibayangkan hubungan

Lebih terperinci

TRANSFORMASI LINIER PADA RUANG BANACH

TRANSFORMASI LINIER PADA RUANG BANACH TRANSFORMASI LINIER PADA RUANG BANACH Nur Aeni, S.Si., M.Pd Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, UINAM nuraeniayatullah@gmail.com ABSTRAK Info: Jurnal MSA Vol. 2 No. 1 Edisi: Januari Juni

Lebih terperinci

Lecture Notes: Discrete Dynamical System and Chaos. Johan Matheus Tuwankotta

Lecture Notes: Discrete Dynamical System and Chaos. Johan Matheus Tuwankotta Lecture Notes: Discrete Dynamical System and Chaos Johan Matheus Tuwankotta Departemen Matematika, FMIPA, Institut Teknologi Bandung, jl. Ganesha no., Bandung, Indonesia. mailto:theo@dns.math.itb.ac.id.

Lebih terperinci

Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial

Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Ikhsan Maulidi Jurusan Matematika,Universitas Syiah Kuala, ikhsanmaulidi@rocketmail.com Abstract Artikel ini membahas tentang salah satu

Lebih terperinci

Konstruksi Matriks NonNegatif Simetri dengan Spektrum Bilangan Real

Konstruksi Matriks NonNegatif Simetri dengan Spektrum Bilangan Real J. Math. and Its Appl. ISSN: 189-605X Vol. 4, No. 1, May 007, 17 5 Konstruksi Matriks NonNegatif Simetri dengan Spektrum Bilangan Real Bambang Sugandi 1 dan Erna Apriliani 1 Jurusan Matematika, FMIPA Unibraw,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH NILAI EIGEN UNTUK PERSAMAAN DIFERENSIAL STURM-LIOUVILLE DENGAN METODE NUMEROV

PENYELESAIAN MASALAH NILAI EIGEN UNTUK PERSAMAAN DIFERENSIAL STURM-LIOUVILLE DENGAN METODE NUMEROV Buletin Ilmiah Mat. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 04, No. 3 (2015), hal 415-422 PENYELESAIAN MASALAH NILAI EIGEN UNTUK PERSAMAAN DIFERENSIAL STURM-LIOUVILLE DENGAN METODE NUMEROV Iyut Riani, Nilamsari

Lebih terperinci

SUMMARY ALJABAR LINEAR

SUMMARY ALJABAR LINEAR SUMMARY ALJABAR LINEAR SUMANANG MUHTAR GOZALI KBK ANALISIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2010 2 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta

Lebih terperinci

BAB III MENENTUKAN PRIORITAS DALAM AHP. Wharton School of Business University of Pennsylvania pada sekitar tahun 1970-an

BAB III MENENTUKAN PRIORITAS DALAM AHP. Wharton School of Business University of Pennsylvania pada sekitar tahun 1970-an BAB III MENENTUKAN PRIORITAS DALAM AHP Pada bab ini dibahas mengenai AHP yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty di Wharton School of Business University of Pennsylvania pada sekitar tahun 970-an dan baru

Lebih terperinci

g(x, y) = F 1 { f (u, v) F (u, v) k} dimana F 1 (F (u, v)) diselesaikan dengan: f (x, y) = 1 MN M + vy )} M 1 N 1

g(x, y) = F 1 { f (u, v) F (u, v) k} dimana F 1 (F (u, v)) diselesaikan dengan: f (x, y) = 1 MN M + vy )} M 1 N 1 Fast Fourier Transform (FFT) Dalam rangka meningkatkan blok yang lebih spesifik menggunakan frekuensi dominan, akan dikalikan FFT dari blok jarak, dimana jarak asal adalah: FFT = abs (F (u, v)) = F (u,

Lebih terperinci

Kontrol Optimum. MKO dengan Kendala pada Peubah Kontrol. Toni Bakhtiar. Departemen Matematika IPB. Februari 2017

Kontrol Optimum. MKO dengan Kendala pada Peubah Kontrol. Toni Bakhtiar. Departemen Matematika IPB. Februari 2017 Kontrol Optimum MKO dengan Kendala pada Peubah Kontrol Toni Bakhtiar Departemen Matematika IPB Februari 2017 tbakhtiar@ipb.ac.id (IPB) MAT332 Kontrol Optimum Februari 2017 1 / 53 Outline MKO berkendala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fungsional merupakan salah satu cabang dari kelompok analisis

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fungsional merupakan salah satu cabang dari kelompok analisis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analisis fungsional merupakan salah satu cabang dari kelompok analisis yang membahas operator, operator linear dan sifat-sifatnya. Sebuah pemetaan antar ruang bernorm

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Bab III terbagi menjadi tiga sub-bab, yaitu sub-bab A, sub-bab B, dan subbab

BAB III PEMBAHASAN. Bab III terbagi menjadi tiga sub-bab, yaitu sub-bab A, sub-bab B, dan subbab BAB III PEMBAHASAN Bab III terbagi menjadi tiga sub-bab, yaitu sub-bab A, sub-bab B, dan subbab C. Sub-bab A menjelaskan mengenai konsep dasar C[a, b] sebagai ruang vektor beserta contohnya. Sub-bab B

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 3 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 3 (2013), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. I, No. (01), Hal. 1-17 ISSN : 7-804 Aplikasi Persamaan Einstein Hyperbolic Geometric Flow Pada Lintasan Cahaya di Alam Semesta Risko 1, Hasanuddin 1, Boni Pahlanop Lapanporo 1, Azrul

Lebih terperinci

BAB V DIAGONALISASI DAN DEKOMPOSISI MATRIKS. Sub bab ini membahas tentang faktorisasi matriks A berorde nxn ke dalam hasil

BAB V DIAGONALISASI DAN DEKOMPOSISI MATRIKS. Sub bab ini membahas tentang faktorisasi matriks A berorde nxn ke dalam hasil BAB V DIAGONALISASI DAN DEKOMPOSISI MATRIKS. Diagonalisasi Sub bab ini membahas tentang faktorisasi matriks A berorde nn ke dalam hasil kali berbentuk PDP, di mana D adalah matriks diagonal. Jika diperoleh

Lebih terperinci