Pengantar Soliton. Miftachul Hadi. Grup Matematika Terapan untuk Biofisika. Pusat Penelitian Fisika LIPI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pengantar Soliton. Miftachul Hadi. Grup Matematika Terapan untuk Biofisika. Pusat Penelitian Fisika LIPI"

Transkripsi

1 Pengantar Soliton P. G. Drazin 1, R. S. Johnson 2 1 Profesor Matematika Terapan, University of Bristol 2 Dosen Senior Matematika Terapan, University of Newcastle upon Tyne Miftachul Hadi Grup Matematika Terapan untuk Biofisika Pusat Penelitian Fisika LIPI Puspiptek, Serpong, Tangerang 15310, Indonesia itpm.indonesia@gmail.com Buku-E LIPI

2 Ringkasan Draf awal alih bahasa buku fundamental soliton karya P. G. Drazin, R. S. Johnson, Solitons: an Introduction, Cambridge University Press, 1989.

3 1 Prakata Teori soliton sungguh menarik dan menggairahkan; hal ini membawa secara bersamasama banyak cabang matematika, beberapa darinya menyentuh kedalaman ide. Beberapa dari aspek-aspeknya sungguh menakjubkan dan cantik; kita akan menghadirkan beberapa dari mereka dalam buku ini. Teori soliton terkait ke lebih banyak area matematika, dan memiliki lebih banyak penerapan dalam sains fisika, daripada jumlah yang dicangkup di sini. Hal ini memiliki sejarah yang menarik dan masa depan yang menjanjikan. Sungguh, pekerjaan Kruskal dan asosiasinya yang memberi kita transformasi hamburan balik, merupakan topik besar untuk teori soliton, adalah prestasi utama matematika abad dua puluh. Pekerjaan mereka distimulasi oleh soal fisika bersama-sama dengan hasil komputasi yang mengejutkan. Hal ini adalah contoh klasik bagaimana hasil numerik memandu ke perkembangan matematika baru, sebagaimana hasil pengamatan dan eksperimen yang telah dilakukan sejak waktu Archimedes. Buku ini tumbuh dari Soliton yang ditulis oleh salah satu dari kami (PGD). Buku tersebut pada awalnya tumbuh dari kuliah-kuliah yang diberikan untuk mahasiswa matematika tahun akhir di Universitas Bristol. Banyak dari bahan dalam versi ini juga telah digunakan sebagai dasar kuliah pengantar teori hamburan balik yang diberikan untuk mahasiswa tingkat Master di University of Newcastle upon Tyne. Dalam kedua kuliah, bertujuan untuk menghadirkan esensi hamburan balik secara jelas yang juga merupakan tujuan keseluruhan buku ini. Buku ini ditujukan untuk mahasiswa S1 senior, dan mahasiswa pascasarjana, bidang fisika, kimia, dan teknik, sebagaimana matematika. Buku ini akan juga membantu spesialis dalam bidang-bidang ini dan bidang lain untuk mempelajari teori soliton. Buku ini memperkenalkan ide-ide fundamental yang mendasari transformasi hamburan balik dari titik pandang kuliah kalkulus lanjut atau metoda fisika matematika. Beberapa pengetahuan dasar tentang teori gelombang linier, persamaan diferensial parsial, integral Fourier, kalkulus variasi, teori Sturm-Liouville dan fungsi hipergeometrik,

4 2 diasumsikan telah dikuasai dengan baik. Juga, beberapa keakraban dengan isi utama teori gelombang air, grup kontinyu, fungsi eliptik dan ruang Hilbert akan berguna, namun tidak esensi. Ide relevan dari mekanika gelombang satu-dimensi (kedua hamburan dan hamburan balik), diperlukan untuk presentasi transformasi hamburan balik, dijelaskan. Rujukan-rujukan diberikan dalam teks (atau pada akhir tiap-tiap bab) untuk membantu pembaca mempelajari lebih banyak topik di depan. Beberapa dari penerapan berbeda teori soliton disebut hanya secara singkat, baik dalam teks utama, atau di dalam latihan pada akhir tiap-tiap bab. Bagaimanapun, persamaan Korteweg-de Vries diturunkan untuk soal gelombang air. Bahan yang dihadirkan sesederhana yang dapat kami lakukan, dan sejumlah contoh yang telah dikerjakan juga digunakan untuk membantu pembaca mengikuti beragam ide. Tentunya, beberapa bagian teori lebih pasti daripada yang lain, dan beberapa soal lebih rumit dibanding yang lain. Bagian yang lebih rumit, paragrap dan soal-soal himpunan ditunjukkan dengan asterik; perjalanan ini boleh diabaikan pada pembacaan pertama buku ini. Bacaan yang lebih jauh ditawarkan pada akhir tiap-tiap bab untuk mengarahkan pembaca menuju perlakuan yang lebih rinci dari beberapa topik. Bagian-bagian diberi nomor menurut sistem desimal, dan persamaan diberi nomor menurut bab dimana mereka muncul, misal persamaan (1.2) adalah persamaan 2 Bab 1. Latihan-latihan dengan cara serupa diberi nomor (misal Q1.2), sebagaimana jawaban (misal A1.2) pada akhir buku. Kami berterima kasih kepada Miss Sarah Trickett (Gambar 4.5, 4.7, 4.8), Mr Mark Lewy (Gambar 8.1), Dr Adam Wheeler(Gambar 8.2), Mr Gregory Jones (Gambar 8.3, 8.4, 8.6, 8.7) dan Dr Stephen Thompson (Gambar 8.8, 8.9) untuk komputasi mereka dan plot solusi dimana gambar kami berbasis; kepada Miss Carolyn Pharoah dan Miss Alison Davies untuk draughtsmanship mereka dari gambar-gambar; kepada Prof Neil Freeman (berbagai poin) dan Dr Andrew Wathen ( 7.3) untuk saran teknis; kepada Academic Press (hak cipta Gambar 8.8, 8.9); dan kepada Mrs Heather Bliss, Mrs Hilary Cartwright dan Mrs Nancy Thorp untuk pengetikan teks dengan cermat dan menyenangkan.

5 3 Kami telah mengoreksi beberapa salah cetak dan kesalahan dalam cetak ulang 1990 dan cetakan sekarang. Kami berterima kasih kepada Prof. P. S. Landweber untuk saran beberapa penyempurnaan. Bristol Newcastle upon Tyne PGD RSJ

6 Daftar Isi 1 Persamaan Korteweg-de Vries Pendahuluan Penemuan gelombang soliton Penemuan interaksi soliton Penerapan persamaan KdV Solusi Elementer Persamaan Korteweg-de Vries Solusi Gelombang Menjalar Gelombang Soliter Gelombang umum bentuk tetap Deskripsi dalam bentuk fungsi eliptik Perilaku terbatas gelombang cnoidal Solusi lain persamaan KdV Hamburan dan Soal Hamburan Balik Pembukaan Soal hamburan *Soal Hamburan Balik

7 Bab 1 Persamaan Korteweg-de Vries 1.1 Pendahuluan Fenomena gelombang berlimpah ruah dalam kajian fisika matematika, dan dijumpai di awal perkuliahan S1. Fenomena ini pertama kali diperkenalkan sebagai gelombang pada dawai, atau mungkin pada permukaan air, atau selembar membran. Dengan sedikit banyak latar belakang fenomena gelombang, boleh jadi didiskusikan dalam hubungannya dengan bunyi - dan kemudian gelombang kejut, atau (untuk mahasiswa fisika) perjumpaan pertama kalinya, barangkali melalui gelombang elektromagnetik. Dalam semua bidang ini adalah lazim untuk mengembangkan konsep penjalaran gelombang dari model yang paling sederhana - sekalipun sangat ideal - untuk gerak satu dimensi, 2 u t u 2 c2 2 x = 0 (1.1) 2 dimana u(x, t) adalah amplitudo gelombang dan c adalah konstanta positip. Persamaan ini memiliki solusi umum yang sederhana dan terkenal, dinyatakan dalam bentuk variabel karakteristik (x ± ct), sebagai: u(x,t) = f(x ct) + g(x + ct), (1.2) dimana f dan g adalah fungsi sembarang. (Sesuai dengan persetujuan lazim, kita akan menganggap t sebagai koordinat waktu dan x sebagai koordinat ruang, meskipun 1

8 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 2 dalam persamaan (1.1) koordinat-koordinat ini dapat dipertukarkan karena mereka berbeda hanya dengan faktor skala, c.) Fungsi f dan g (tak perlu diferensiabel) dapat ditentukan dari, sebagai contoh, data awal u(x, 0), ( u/ t)(x, 0). Solusi (1.2), biasanya dirujuk sebagai solusi d Alembert, yang mendeskripsikan dua gelombang berbeda: satu gelombang merambat ke kiri dan lainnya ke kanan, masing-masing dengan kecepatan c. Gelombang-gelombang ini tidak berinteraksi dengan diri mereka sendiri, tidak juga antara satu dengan yang lainnya; hal ini merupakan konsekuensi dari persamaan (1.1) yang merupakan persamaan linier, dan oleh karena itu semua solusinya dapat dijumlahkan (atau disuperposisikan). Selanjutnya, gelombang-gelombang yang dideskripsikan oleh (1.2) tidak berubah bentuk selama penjalarannya. Hal ini dapat dibuktikan, jika kita meninjau salah satu komponen gelombangnya - katakanlah f - dan memilih koordinat baru yang bergerak dengan gelombang ini, ξ = x ct. Maka f = f(ξ), untuk ξ tertentu, tidak berubah walaupun x dan t berubah. Dengan kata lain, bentuk yang diberikan oleh f(x) pada t = 0, pasti sama pada waktu berikutnya tetapi digeser ke sebelah kanan sejauh ct. Sebelum kita mengembangkan beberapa sifat elementer yang lebih jauh dari gelombang, adalah tepat untuk pertama-tama membatasi tinjauan kita terhadap gelombang yang menjalar hanya dalam satu arah. Jelas bahwa pilihan ini diperkenankan dalam solusi (1.2): sebagai misal, dengan mengambil g 0. Pendekatan yang lebih praktis adalah menyusun data awal pada selang ruang terbatas (kompak), dan kemudian setelah selang waktu tertentu kedua komponen gelombang ini, f dan g, akan bergerak secara terpisah dan tak lagi bertumpang tindih. Karena kedua komponen gelombang ini tak pernah berinteraksi, sekarang kita dapat mengikuti salah satu dari keduanya dan mengabaikan yang lain. Lebih khusus, kita membatasi bahasan pada solusi persamaan u t + cu x = 0, (1.3) dimana telah kita perkenalkan notasi ringkas untuk turunan parsial. Solusi umum persamaan (1.3) adalah u(x,t) = f(x ct),

9 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 3 dimana f adalah fungsi sembarang dan, karena kita dapat mendefinisi ulang t sebagai t/c, kita dapat saja mengambil c = 1: jika u t + u x = 0 maka u(x,t) = f(x t). (Kita juga mencatat hubungannya dengan persamaan (1.1): operatornya dapat difaktorisasi, dan masing-masing faktor dapat bernilai nol, ( t c )( x t ± c ) ( 2 u x dimana tandanya terurutkan secara vertikal.) 2 c2 t2 x 2 ) u = 0, Ketika persamaan gelombang diturunkan dari beberapa prinsip fisika yang mendasari (atau dari persamaan-persamaan penentu yang lebih umum), asumsi-asumsi penyederhana tertentu diajukan: untuk kasus ekstrim dimungkinkan untuk menurunkan persamaan (1.1) atau (1.3). Akan tetapi, jika asumsi-asumsinya kurang ekstrim, kita mungkin memperoleh persamaan-persamaan yang memakai lebih banyak detil fisis: seperti, dispersi atau disipasi gelombang, atau nonlinieritas. Pertama, tinjau, persamaan u t + u x + u xxx = 0, (1.4) yang adalah persamaan gelombang dispersif paling sederhana. Untuk melihat hal ini, kita uji bentuk solusi gelombang harmonik u(x,t) = e i(kx ωt). (1.5) (Kita dapat selalu memilih untuk mengambil bagian riil atau imajiner, atau membentuk Ae i(kx ωt) + konjugat kompleks, dimana A adalah konstanta kompleks.) Sekarang, (1.5) adalah solusi persamaan (1.4) jika ω = k k 3 ; (1.6) ini adalah relasi dispersi yang menentukan ω(k) untuk k yang diberikan. Disini, k adalah bilangan gelombang (diambil riil sehingga solusi (1.5) pasti berosilasi pada saat t = 0) dan ω adalah frekuensi. Dari persamaan (1.6) kita melihat bahwa kx ωt = k { x (1 k 2 )t }.

10 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 4 Jadi solusi (1.5), dengan kondisi (1.6), mendeskripsikan gelombang yang menjalar dengan kecepatan c = ω k = 1 k2, (1.7) adalah fungsi dari k. (Catat bahwasannya c berubah tanda pada persimpangan nilai k = ±1.) Dengan kata lain, komponen gelombang dengan bilangan gelombang berbeda menjalar dengan kecepatan berbeda: ini adalah ciri khas gelombang dispersif. Jadi, profil gelombang tunggal yang dapat diwakili, kita anggap, dengan menjumlahkan hanya dua komponen, masing-masing seperti solusi (1.5), akan berubah bentuk, dengan berjalannya waktu, sebagai akibat berbedanya kecepatan rambat masing-masing komponen. Akan tetapi, tafsiran ini hanyalah pengulangan penjelasan dari solusi persamaan gelombang klasik (1.2). Untuk memperluas gagasan, kita hanya perlu menambah sebanyak mungkin komponen yang kita inginkan atau, untuk kasus yang lebih umum, mengintegrasikan terhadap seluruh nilai k yang menghasilkan u(x,t) = A(k)e i{kx ω(k)t} dk, (1.8) untuk A(k) yang diberikan. (Catat bahwa A(k) pada dasarnya adalah transformasi Fourier dari u(x, 0).) Efek keseluruhan adalah dihasilkannya profil gelombang yang berubah bentuk selama penjalaran, karena komponen-komponen berbedanya menjalar dengan kecepatan berbeda maka profilnya akan menyebar atau terdispersi. Kecepatan dari masing-masing komponen gelombang diberikan oleh persamaan (1.7), dan biasanya disebut kecepatan fase. Jelas bahwa persamaan (1.6) memperkenankan berlakunya kecepatan lain yang didefinisikan oleh c g = dω dk = 1 3k2 ; adalah kecepatan grup, yang menentukan kecepatan paket gelombang (lihat Gambar 1.1). Untuk sebagian besar (tetapi tidak semua) gerak gelombang realistis ternyata berlaku bahwa c g c dan, lebih jauh lagi, kecepatan grup adalah kecepatan penjalaran energi.

11 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 5 Sebegitu jauh, kita telah diam-diam mengasumsikan bahwa ω(k), fungsi dispersi, adalah riil untuk k riil. Akan tetapi, hal ini benar hanya jika terhadap persamaan (1.4) kita tambahkan turunan ganjil dari u terhadap x. Jika kita memilih untuk menggunakan turunan genap, ambil sebagai contoh u t + u x u xx = 0, (1.9) maka gambarannya menjadi sangat jauh berbeda. Dari persamaan (1.5) dan (1.9) kita peroleh ω = k ik 2, sehingga u(x,t) = exp { k 2 t + ik(x t) } (1.10) adalah salah satu solusi persamaan (1.9). Persamaan (1.10) mendeskripsikan gelombang yang menjalar dengan kecepatan satuan untuk seluruh k, tetapi juga meluruh secara eksponensial untuk sembarang nilai riil k( 0) ketika t +. (Catat bahwa tanda suku u xx sangat menentukan.) Peluruhan yang ditunjukkan dalam solusi (1.10) biasanya disebut disipasi. Jelas kita dapat memiliki persamaan-persamaan, seperti (1.4) atau (1.9), yang mengandung kombinasi linier dari turunan genap dan ganjil. Dalam hal ini, solusi gelombang harmonisnya mungkin keduanya dispersif dan disipatif (paling sedikit untuk pilihan tanda yang sesuai dari suku-suku genap). Akhirnya, marilah kita secara ringkas meninjau salah satu aspek gerak gelombang yang agak rumit yakni nonlinieritas. Sebagian besar persamaan gelombang (seperti (1.1) dan (1.3)) hanya berlaku untuk amplitudo yang cukup kecil. Jika pengaruh amplitudo diperhitungkan (untuk aproksimasi yang lebih baik ) kita mungkin memperoleh persamaan diferensial parsial nonlinier u t + (1 + u)u x = 0 (1.11) Persamaan ini mewujudkan tipe paling sederhana dari nonlinieritas (uu x ), dan perbandingannya dengan persamaan (1.3) barangkali memberi kesan bahwa hal itu hanya

12 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 6 kasus penggantian c dengan 1 + u di dalam solusi. Ternyata, (dengan metoda karakteristik) kesan itu adalah benar! Dari persamaan (1.11) kita melihat bahwa u = konstanta pada garis dx dt = 1 + u, dan dengan demikian garis karakteristiknya adalah x = (1 + u)t + konstanta. Jadi solusi umumnya adalah dimana f adalah fungsi sembarang. u(x,t) = f {x (1 + u)t}, (1.12) Sekarang, dengan diberikan profil gelombang awal, u(x, 0) = f(x), maka persoalannya adalah mencari solusi persamaan (1.12) untuk u; hal ini tidak dapat diperoleh secara langsung, walaupun konstruksi geometris solusi dengan metoda karakteristik tidak rumit. Ternyata, solusi persamaan (1.12) (dengan f > 0, katakanlah, untuk selang x tertentu) akan membangkitkan solusi bernilai tunggal terhadap u hanya untuk waktu berhingga; setelah itu, solusi akan bernilai jamak (yakni, tak unik). Solusi yang diperoleh dengan konstruksi ini memperlihatkan ketakunikan ibarat gelombang yang rusak (lihat Gambar 1.2). (Jadi, solusi akan mengalami perubahan bentuk selama penjalaran.) Kesulitan ini biasanya diselesaikan dengan menyisipkan lompatan (atau diskontinuitas) yang memodelkan gelombang kejut (sekali lagi, lihat Gambar 1.2). Tegasnya, solusi diskontinuitas bukan solusi yang tepat dari persamaan (1.11) namun diperkenankan sebagai solusi integral persamaan kekekalan yang darinya persamaan (1.11) diturunkan. Kerumitan lain juga muncul dengan persamaan-persamaan nonlinier ini: marilah kita anggap, kita memiliki dua solusi persamaan (1.11), u 1 (x,t) dan u 2 (x,t). Kita telah membahas prinsip superposisi yang mengatakan bahwa, untuk persamaan linier, sembarang kombinasi linier dari solusi u 1 dan u 2 adalah juga solusi. Akan tetapi hal ini tidak benar, secara umum, untuk persamaan-persamaan nonlinier. Hal ini dapat dibuktikan bahwa u = u 1 + u 2 tidak memenuhi persamaan (1.11). Jadi, solusi persamaan nonlinier tidak dapat disuperposisikan untuk membentuk solusi baru, walaupun prinsip ini dapat berlaku untuk persamaan diferensial parsial nonlinier tertentu sebagaimana

13 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 7 akan kita lihat kelak. Jelas bahwa, dengan membuat asumsi-asumsi yang sesuai pada soal fisika tertentu, kita mungkin memperoleh persamaan yang mengandung dua hal, nonlinier dan barangkali suku dispersif atau disipatif (atau keduanya). Jadi, sebagai misal, kita barangkali menurunkan atau u t + (1 + u)u x + u xxx = 0 (1.13) u t + (1 + u)u x u xx = 0 (1.14) Yang pertama dari kedua persamaan di atas adalah persamaan paling sederhana yang mewujudkan nonlinieritas dan dispersi; persamaan ini, atau varian elementernya, dikenal sebagai persamaan Korteweg-de Vries (atau KdV ), yang akan kita bicarakan lebih banyak lagi kelak. Persamaan kedua, persamaan (1.14), dengan nonlinieritas dan disipasi, adalah persamaan Burgers. Solusi umum persamaan (1.14) telah dikenal sejak 1906 (Forsyth, 1906), dan ternyata terdapat beberapa petunjuk di dalam metoda solusinya yang relevan bagi solusi persamaan KdV. (Sifat-sifat persamaan Burgers akan dibiarkan bagi pembaca untuk mengeksplorasinya di dalam latihan soal.) Perhatian utama akan kita curahkan pada metoda solusi - dan sifat-sifat dari - persamaan KdV, dan persamaan-persamaan terintegralkan secara eksak terkait lainnya. Namun, sebelum kita memulai bahasan yang lebih terinci, perlu disinggung berbagai bentuk alternatif persamaan ini. Kita dapat mentransformasikan persamaan (1.13) terhadap transformasi 1 + u αu, t βt, x γx dimana α,β,γ adalah konstanta riil (tak nol), yang menghasilkan u t + αβ γ uu x + β γ 3u xxx = 0. Persamaan ini adalah bentuk umum persamaan KdV, dan pilihan yang sesuai, yang akan sering kita pakai, adalah u t 6uu x + u xxx = 0. (1.15)

14 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 8 Beberapa transformasi variabel ini (sebagaimana digunakan di atas) termasuk dalam grup kontinu atau grup Lie. Sebagai contoh, tinjau transformasi, G k, dari variabel x,t dan u ke dalam X = kx, T = k 3 t, U = k 2 u, untuk k riil 0. Penerapan secara berturut-turut transformasi G k dan G l sama dengan transformasi tunggal G lk, yang dengan demikian menghasilkan hukum perkalian G l G k = G lk. Hukum ini bersifat komutatif karena G k G l = G kl = G lk. Selanjutnya, hukum asosiatif juga dipenuhi karena G k (G l G m ) = G k G lm = G klm = G kl G m = (G k G l )G m. Jelas, G 1 adalah transformasi identitas: G 1 G k = G k1 = G k untuk semua k( 0). Jika kita membentuk G 1/k G k = G 1 dan G k G 1/k = G 1, kita melihat bahwa G 1/k adalah invers sisi kiri dan juga sisi kanan dari G k. Oleh karena itu, elemen-elemen G k untuk semua k riil 0 membentuk grup tak hingga. Kita menyebut k sebagai parameter grup kontinu ini. Sekarang, kita terapkan transformasi G k terhadap persamaan KdV (1.15); hasilnya U T 6UU X + U XXX = 0, yakni, ia invarian terhadap transformasi grup kontinu, G k. Hal ini menunjukkan bahwa kita mencari sifat-sifat invarian solusi. Secara khusus, kita mengantisipasi keberadaan solusi similaritas yang gayut hanya pada kombinasi invarian variabel-variabel (lihat Q1.13 dan bagian 2.6). Kita telah menyentuh beberapa gagasan yang terkait dengan gelombang dalam ruang satu dimensi, terutama karena persamaan KdV (dan persamaan lain yang akan kita jumpai kelak) mengambil bentuk ini. Tentu saja, gejala gelombang terjadi dalam dimensi ruang yang lebih tinggi; khususnya, persamaan gelombang klasik dapat ditulis sebagai 2 u t 2 c2 2 u = 0 (1.16) dimana 2 adalah operator Laplace dalam sistem koordinat yang dipilih. Jelas bahwa jika kita ingin menguji fenomena gelombang yang lebih kompleks (dengan nonlinieritas dan dispersi), semisal gelombang lingkar atau gelombang lintas miring, maka kita harus mencari persamaan-persamaan baru. Hal ini mungkin mewarisi beberapa

15 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 9 ciri khas persamaan (1.15) dan (1.16); dan persamaan KdV berdimensi lebih tinggi (bersama persamaan-persamaan terintegralkan yang lain) memang benar hadir, namun bahasannya berada di luar cakupan teks ini meskipun satu atau dua darinya akan disebut dalam latihan soal. 1.2 Penemuan gelombang soliton Kita telah melihat bahwa persamaan Korteweg-de Vries dapat ditulis dengan alasan bahwa nonlinieritas dan dispersi dapat terjadi secara bersamaan. Akan tetapi, persamaan KdV tidak hanya menawan secara matematika tetapi juga penting secara praktis. Untuk memperkenalkan aspek ini, mari kita lihat bagaimana gelombang soliton pertama kali muncul dalam kancah ilmiah. Kita akan menyebut beberapa sifat analitik dari gelombang ini, dan akhirnya menunjukkan bahwa persamaan KdV sungguhsungguh hal yang relevan untuk gelombang soliton (dan lebih banyak lagi di samping itu). Gelombang soliton, disebut demikian karena gelombang itu seringkali terjadi sebagai entitas tunggal dan terlokalisasi, yang pertama kali diamati oleh J. Scott Russell di kanal Edinburgh-Glasgow pada tahun 1834; ia menyebutnya gelombang besar translasi. Russell melaporkan pengamatannya ke British Association dalam Report on Waves pada tahun 1844, dalam kata-kata berikut: Saya yakin akan lebih baik saya perkenalkan fenomena ini dengan mendeskripsikan keadaan dari pengenalan pertama saya dengannya. Saya sedang mengamati gerak kapal yang ditarik dengan cepat sepanjang sebuah kanal sempit oleh sepasang kuda, ketika kapalnya tiba-tiba berhenti - tidak demikian halnya dengan massa air pada kanal yang telah digerakkannya; gelombang itu berakumulasi mengelilingi haluan kapal dalam keadaan golakan dahsyat, dan kemudian dengan tiba-tiba meninggalkan haluan kapal, menjalar ke depan dengan kecepatan besar, dalam bentuk tumpukan air terpisah dengan ukuran ketinggian dan bundaran, sebuah rangkaian, halus dan himpunan terdefinisi

16 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 10 dengan baik dari air, yang melanjutkan penjalarannya sepanjang kanal tanpa mengalami perubahan bentuk atau pengurangan kecepatan. Saya mengikuti gelombang itu di punggung kuda, dan setelah menyusuli gelombang itu terus menjalar pada laju sekitar delapan atau sembilan mil per jam, dan tetap mempertahankan bentuk awalnya dengan panjang sekitar tiga puluh kaki panjangnya dan tinggi satu setengah kaki. Tingginya secara berangsur menurun, dan setelah pengejaran satu atau dua mil saya kehilangannya pada belokan kanal. Russell juga melakukan beberapa percobaan laboratorium, untuk membangkitkan gelombang soliton dengan menjatuhkan benda pada salah satu ujung kanal air (lihat Gambar 1.3). Ia mampu mendeduksi secara empirik bahwa volume air di gelombang sama dengan volume air yang dipindahkan dan, lebih jauh lagi, kecepatan, c, gelombang soliton diperoleh dari c 2 = g(h + a), (1.17) dimana a adalah amplitudo gelombang, h kedalaman air tenang dan g percepatan gravitasi (lihat Gambar 1.4). Gelombang soliton, dengan demikian adalah gelombang gravitasi. Kita mencatat dengan segera konsekuensi penting persamaan (1.17): gelombang yang lebih jangkung menjalar lebih cepat. Gambar 1.3 dan hasil (1.17) berlaku terhadap gelombang elevasi; usaha untuk membangkitkan gelombang tekan berakhir dengan terciptanya gelombang osilasi, sebagaimana ditemukan Russel dalam percobaan-percobaannya. Untuk meletakkan formula Russell (1.17) pada dasar yang kokoh, Boussinesq (1871) dan Lord Rayleigh (1876) mengasumsikan bahwa gelombang soliton memiliki skala panjang yang jauh lebih besar dibandingkan kedalaman air. Dari persamaan gerak untuk fluida inkompresibel, mereka berhasil menurunkan rumus tak tertekan, rumus Russell untuk c. Dan ternyata, mereka juga berhasil menunjukkan bahwa profil gelombang z = ζ(x,t) diberikan oleh ζ(x,t) = a sech 2 {β(x ct)} (1.18)

17 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 11 dimana β 2 = 4h 2 (h + a)/3a untuk sembarang a > 0, walaupun profil sech 2 hanyalah benar jika a/h << 1. Namun demikian, Boussinesq-Rayleigh tidak, menulis persamaan sederhana untuk ζ(x, t) yang memiliki (1.18) sebagai solusi. Langkah terakhir ini dilengkapi oleh Korteweg & de Vries pada tahun Mereka menunjukkan bahwa, asalkan ε dan σ bernilai kecil, maka ζ t = 3 ( g ) ( 1/2 2 2 h 3 ε ζ χ + ζ ζ χ + 1 ) 3 σ 3 ζ, (1.19) χ 3 dimana χ adalah koordinat yang dipilih bergerak (hampir) bersama gelombang. Jika kita menggunakan perubahan variabel-variabel ζ = ζ(x,t), ( g ) 1/2 X = χ + ε t h maka persamaan (1.19) dapat dirumuskan kembali sebagai persamaan KdV ζ t = 3 ( ( g 1/2 ζζ X + 2 h) 1 ) 3 σζ XXX. Parameter σ melibatkan tegangan permukaan, T, dalam bentuk σ = 1 3 h3 Th/gρ, dimana ρ adalah rapat fluida (dan seringkali T << 1 3 gρh2 ); ε adalah parameter sembarang. Kita tidak akan mereproduksi pekerjaan Korteweg & de Vries disini, tetapi adalah pelajaran penting untuk melihat bagaimana persamaan KdV muncul dari sehimpunan persamaan pengendali mendasar. Hingga akhir bab ini, kita akan tetap berhubungan dengan gelombang air, namun akan menggunakan teknik asimptotik skala ganda yang lebih memuaskan. Persamaan pengendali gerak dua dimensi dari fluida inkompresibel, tak gesek dan irotasional, yang dibatasi pada bagian atas oleh permukaan bebas dan bagian bawah oleh bidang horisotal tegar, adalah φ zz + δ 2 φ xx = 0; φ z = 0 pada z = 0 ζ + φ t α(δ 2 φ 2 z + φ 2 x) = 0, pada z = 1 + αζ, φ z = δ 2 (ζ t + αφ x ζ x ) pada z = 1 + αζ, (1.20)

18 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 12 dimana φ adalah potensial kecepatan. Variabel-variabel yang digunakan di sini telah tak berdimensi dengan menggunakan kedalaman tenang, h, skala panjang horisontal khas, l, dan kecepatan khas (gh) 1/2. Permukaannya adalah pada z = 1 + αζ dan pada permukaan ini kita asumsikan bahwa tekanan adalah konstan (sehingga di dalam teori yang sederhana ini tegangan permukaan diabaikan). Parameter-parameter yang muncul di dalam persamaan (1.20) diberikan oleh α = a/h, δ = h/l, dimana a adalah ukuran amplitudo gelombang. Dua syarat batas pada z = 1 + αζ mendeskripsikan kekonstanan tekanan pada permukaan, dan kontinuitas komponen kecepatan vertikal di sana. Kita tertarik pada gelombang panjang beramplitudo kecil, yakni dalam batas-batas α 0 dan δ 0. Ternyata salah satu pilihan yang dapat kita buat - yang menghasilkan persamaan KdV untuk ζ - adalah dengan mengambil δ 2 = O(α) bila α 0. (Hal ini nampak beralasan jika kita mengingat bagaimana α dan δ muncul di persamaan (1.20).) Namun jelas, hal ini agak khusus dan kita berharap bahwa gelombang soliton lebih abadi dan fenomena yang lebih umum akan menjelaskannya. Dan memang benar, sebagaimana diperagakan oleh penskalaan berikut untuk sembarang δ tunjukkan. Perkenalkan ξ = α1/2 δ maka persamaan (1.20) menjadi (x t), τ = α3/2 δ α1/2 t, Φ = φ, (1.21) δ Φ zz + αφ ξξ = 0, Φ z = 0, pada z = 0 ζ Φ ξ + αφ τ (Φ2 z + αφ 2 ξ) = 0, pada z = 1 + αζ. Φ z = α( ζ ξ + αζ τ + αφ ξ ζ ξ ), pada z = 1 + αζ. (1.22) (Perhatikan bahwa ξ = O(1),φ = O(1) dan t = O(α 1 ) jika δ 2 = O(α).) Pilihan variabel-variabel (1.21) berarti bahwa persamaan (1.22) berlaku dalam kerangka acuan

19 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 13 yang bergerak dengan kecepatan satuan ke kanan, dan kemudian untuk waktu (t) yang besar jika τ = O(1) bila α 0 (untuk δ tertentu). Dengan kata lain, penskalaan (1.21) mendeskripsikan lingkungan tertentu dari ruang-(x, t) dimana kita berharap bahwa persamaan KdV berlaku. Munculnya kecepatan satuan sebagai akibat ketakdimensian; hal ini berhubungan dengan kecepatan dimensional (gh) 1/2 (mengacu formula (1.17) untuk a kecil). Terakhir, penjalaran ke kanan hanya pilihan kemudahan semata: kita dapat pula membahas penjalaran ke kiri dengan memperkenalkan ξ = α 1/2 (x + t)/δ. Solusi persamaan (1.22), bila α 0, ternyata adalah langsung. Untuk mengawali analisis kita menganggap bahwa terdapat sebuah solusi berbentuk Φ α n Φ n (ξ,τ,z), n=0 ζ α n ζ n (ξ,τ), bila α 0, n=0 untuk ξ dan τ tetap. (Catat bahwa z [0, 1 + αζ] adalah daerah asal terbatas jika ζ terbatasi.) Aproksimasi orde utama sekarang menghasilkan Φ 0zz = 0 dengan Φ 0z = 0 pada z = 0, sehingga dengan demikian Φ 0 (ξ,τ,z) θ 0 (ξ,τ), katakan, adalah fungsi sembarang. Selanjutnya, syarat batas permukaan pertama mensyaratkan bahwa ζ 0 = Φ 0ξ pada z = 1 (jika kita ekspansikan syarat-syarat ini dalam deret Taylor di sekitar z = 1), dan dengan demikian ζ 0 = θ 0ξ. Jika kita lanjutkan ekspansi Φ maka persamaan Laplace, dalam hubungannya dengan syarat batas dasar, memberikan Φ θ 0 + α (θ 1 12 ) z2 θ 0ξξ + α (θ z2 θ 1ξξ ) z4 θ 0ξξξξ dimana θ n = θ n (ξ,τ),n = 0, 1, 2, adalah fungsi sembarang. Syarat-syarat batas permukaan sekarang, secara berturut-turut, menjadi ζ 0 + αζ 1 { ( θ 0ξ + α θ 1ξ 1 )} 2 θ 0ξξ + αθ 0τ αθ2 0ξ = O ( α 2) dan α (1 + αζ 0 )θ 0ξξ + α ( θ 2 1ξξ + 1 ) 6 θ 0ξξξξ = α ( ζ 0ξ αζ 1ξ + αζ 0τ + αθ 0ξ ζ 0ξ ) + O(α 3 ).

20 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 14 Kedua persamaan ini mensyaratkan bahwa ζ 1 θ 1ξ θ 0ξξ + θ 0τ θ2 0ξ = 0 dan ζ 0 θ 0ξξ θ 1ξξ θ 0ξξξξ = ζ 1ξ + ζ 0τ + θ 0ξ ζ 0ξ, dimana θ 0ξ = ζ 0. Jika kita mengeliminasi ζ 1 θ 1ξ maka ζ 0 (ξ,τ) haruslah memenuhi 2ζ 0τ + 3ζ 0 ζ 0ξ ζ 0ξξξ = 0, (1.23) persamaan KdV. (Pembaca yang berminat perlu membuktikan bahwa suku orde lebih tinggi, ζ n, memenuhi persamaan berbentuk 2ζ nτ (ζ 0ζ n ) ξ ζ nξξξ = F n 1, n = 1, 2,.., dimana F n 1 menyatakan fungsi ζ 0,ζ 1,...,ζ n 1,ζ 0ξ,....) Kita telah melihat bahwa persamaan Korteweg-de Vries sungguh-sungguh berlaku dalam daerah yang sesuai dari ruang-(x, t), untuk gelombang amplitudo kecil. Namun, masih ada satu kaitan yang perlu kita lakukan: yaitu antara persamaan KdV dan profil sech 2. Untuk menunjukkan hal ini, marilah kita kembali ke persamaan yang diturunkan oleh Korteweg & de Vries, persamaan (1.19). Keuntungannya adalah ia dituliskan dalam varibel-variabel fisis sehingga dapat langsung dikaitkan dengan pekerjaan Russell, Boussinesq dan Rayleigh sebagaimana dinyatakan dalam persamaan (1.17) dan (1.18). Jika solusi persamaan (1.19) adalah stasioner di dalam kerangka χ maka ζ = ζ(χ) dan juga 2 3 εζ + ζζ σζ = 0, (1.24) dimana tanda aksen menyatakan turunan terhadap χ. Jika kita meninjau ζ 0 bila χ (kasus untuk gelombang soliton) maka persamaan (1.24) dapat diintegrasikan dua kali menghasilkan 2εζ 2 + ζ 3 + σ(ζ ) 2 = 0, (integrasi kedua memerlukan faktor integrasi ζ ). Persamaan ini dapat diintegrasikan sekali lagi (lihat 2.2), tetapi hal ini lebih mudah dibuktikan dengan substitusi langsung

21 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 15 bahwa adalah solusi, asalkan ζ(χ) = a sech 2 (βχ) a = 4σβ 2 dan ε = 2σβ 2. Koordinat χ didefinisikan (Korteweg & de Vries, 1895) sebagai ( χ = x (gh) ε ) t h dan dengan demikian solusi gelombang soliton menjadi [ 1 ( { ( a ζ(x,t) = a sech 2 2 x (gh) 2 σ) ) }] a t. (1.25) 2 h Hal ini bersesuaian dengan persamaan (1.17) dan (1.18) jika kita mengabaikan tegangan permukaan (sehingga σ = 1 3 h3 ) dan asumsikan bahwa a/h << 1, karena dengan demikian ( c (gh) ) a 2 h dan β 1 2 ( 3a Jadi gelombang soliton Russell adalah solusi persamaan KdV. h 3 )1 2. Sebagai kesimpulan, marilah kita membuat dua pengamatan mengenai hasil gelombang soliton yang diberikan dalam persamaan (1.25). Dengan amplitudo a, kita melihat bahwa kecepatan gelombang relatif terhadap kecepatan gelombang infinitesimal (yakni (gh) 1 2) adalah sebanding dengan a. Juga lebar gelombang (didefinisikan sebagai jarak antara titik-titik ketinggian 1 2 a, katakanlah) adalah berbanding terbalik dengan a1 2. Dengan kata lain, gelombang yang lebih tinggi (jangkung) menjalar lebih cepat dan lebih sempit. Akhirnya, catat bagaimana a muncul dalam persamaan (1.25) dan bandingkan hal ini dengan cara α muncul dalam variabel-variabel terskala (1.21) yang kita gunakan dalam penurunan persamaan KdV. 1.3 Penemuan interaksi soliton Tersembunyi dalam Report on Waves -nya Russell (1844, lihat plat XLVII) adalah diagram yang dihasilkan dalam Gambar 1.5, dan deskripsi terkait. Salah satu interpretasi dari hasil ini (dengan sedikit tinjauan ulang) adalah bahwa profil awal sembarang

22 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 16 (yang dalam kata lain bukan gelombang soliton eksak) akan berevolusi menjadi dua (atau lebih?) gelombang yang kemudian bergerak terpisah dan makin lama mendekati gelombang soliton tunggal ketika t. (Ingat bahwa gelombang soliton kita definisikan pada (, ).) Hal ini saja agak mengejutkan, tetapi sifat mencolok lainnya dapat juga diamati. Jika kita memulai dengan profil awal seperti yang diberikan dalam Gambar 1.5, tetapi dengan gelombang yang lebih tinggi berada agak ke kiri sisi kiri gelombang yang lebih pendek, maka pengembangannya adalah sebagaimana yang digambarkan dalam Gambar 1.6. Dalam kasus ini gelombang yang lebih tinggi menyusuli gelombang yang lebih pendek, berinteraksi dan kemudian melewatinya. Yang lebih tinggi, dengan demikian, menyusuli yang lebih pendek dan meneruskan penjalarannya secara utuh tanpa terdistorsi. Hal ini, tentunya, adalah yang kita harapkan jika kedua gelombang memenuhi prinsip superposisi linier. Tetapi mereka sama sekali tidak memenuhi prinsip ini: hal ini menyarankan bahwa di sini kita memiliki jenis khusus proses nonlinier yang bekerja. (Dan memang, satu-satunya petunjuk bahwa interaksi linier tidak terjadi adalah kedua gelombang mengalami pergeseran fase, yakni mereka tidak berada pada kedudukan yang diharapkan setelah interaksi, jika masing-masing gelombang bergerak dengan kecepatan tetap selama tumbukan.) Petunjuk pertama bahwa terdapat sesuatu yang tak biasa dalam persamaan KdV dan gelombang soliton muncul di tahun Fermi, Pasta & Ulam bekerja di Los Alamos pada model numerik fonon dalam kisi nonharmonik, sebuah model yang menghasilkan kaitan erat terhadap diskritisasi persamaan KdV (Fermi, Pasta & Ulam, 1955). Mereka mengamati bahwa tak ada ekipartisi energi diantara berbagai modus getar. Kajian ulang di tahun 1965, Zabusky & Kruskal meninjau persoalan nilai awal untuk persamaan u t + uu x + δ 2 u xxx = 0, (1.26) dengan syarat batas periodik (soal yang lebih rumit dibanding domain tak terbatas gelombang soliton, namun cocok untuk komputasi numerik). Mereka menyelesaikan persamaan (1.26) dengan u(x, 0) = cos πx, 0 x 2,

23 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 17 dan u,u x,u xx periodik pada [0, 2] untuk seluruh t; mereka memilih δ = 0, 022. Himpunan hasil perhitungan mereka diperlihatkan dalam Gambar 1.7. Setelah waktu yang singkat, gelombangnya naik tajam dan hampir menghasilkan kejut, namun suku dispersif (δ 2 u xxx ) kemudian menjadi sangat berperan dan terjadilah keseimbangan lokal antara nonlinieritas dan dispersi. Selang beberapa waktu kemudian solusinya menghasilkan sederetan delapan gelombang yang terdefinisi dengan baik, masing-masing seperti fungsi sech 2, dengan gelombang lebih cepat (yang lebih tinggi) mengejar dan menyusul gelombang lebih lambat (lebih pendek). (Terdapat kejutan lain: setelah selang waktu yang sangat panjang, profil awal - atau sesuatu yang sangat dekat dengannya - muncul kembali, sebuah fenomena yang memerlukan topologi torus untuk menjelaskannya. Hal ini adalah contoh keadaan terulang (recurrence).) Pada jantung pengamatan ini terletak temuan bahwa gelombang-gelombang nonlinier ini dapat berinteraksi kuat dan kemudian melanjutkan penjalarannya setelah itu seakan-akan hampir tidak ada interaksi sama sekali. Sifat ketakubahan bentuk gelombang ini menginspirasi Zabusky & Kruskal untuk menciptakan nama soliton (setelah foton, proton, dst.), untuk menekankan karakter mirip-partikel dari gelombang ini yang nampak mempertahankan identitas mereka dalam tumbukan. Temuan ini, pada gilirannya, adalah kajian intensif selama lebih dari dua puluh tahun. Banyak persamaan yang kini telah ditemukan yang memiliki sifat-sifat serupa, dan berbagai cabang matematika murni dan terapan diminta untuk menjelaskan bermacam aspek baru yang muncul. Kita akan menemui beberapa dari mereka di dalam bab-bab berikut. Adalah tidak mudah untuk memberi definisi yang menyeluruh dan tepat terhadap soliton. Namun, kita akan mengaitkan istilah ini dengan sembarang solusi persamaan nonlinier (atau sistem) yang (i) mewakili gelombang berbentuk permanen; (ii) terlokalisasi, sehingga ia meluruh atau menghampiri nilai konstan pada daerah tak hingga; (iii) dapat berinteraksi kuat dengan soliton lain dan tetap mempertahankan identitas mereka. (Terdapat definisi yang lebih formal - beberapa di antaranya mengenai nilai eigen diskrit soal hamburan - tetapi penjelasannya harus menunggu hingga kita memiliki kerangka kerja matematis yang lebih kuat.) Dalam konteks persamaan KdV,

24 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 18 dan persamaan serupa yang lain, adalah lazim untuk merujuk ke solusi soliton-tunggal sebagai gelombang soliton, namun bila lebih dari satu dari mereka yang muncul dalam solusi maka mereka disebut soliton-soliton. Cara lain untuk menyatakan hal ini adalah dengan mengatakan bahwa soliton menjadi gelombang soliton ketika ia terpisah sangat jauh dari soliton lain. Juga, kita harus menyebutkan fakta bahwa untuk persamaan selain persamaan KdV, solusi gelombang soliton mungkin bukan fungsi sech 2 ; sebagai contoh, kita akan menjumpai fungsi sech dan juga arctan (e αx ). Selanjutnya, beberapa sistem nonlinier memiliki gelombang-gelombang soliton tetapi bukan soliton-soliton, sedangkan yang lain (seperti persamaan KdV) memiliki gelombang-gelombang soliton yang adalah soliton-soliton. 1.4 Penerapan persamaan KdV Kita telah menyaksikan (di dalam 1.1) bahwa persamaan KdV adalah persamaan paling sederhana yang dapat kita bayangkan yang menggabungkan sifat nonlinieritas dan dispersi. Dan memang, tidak rumit untuk menunjukkan bahwa persamaan ini seharusnya lebih sering terjadi di dalam deskripsi penjalaran gelombang nyata. Tinjau gerak gelombang linier dalam ruang satu dimensi dengan dispersi: telah kita ketahui bahwa relasi dispersi harus berbentuk ω(k) = kc(k 2 ), karena hanya turunan ganjil dari u yang diperkenankan. (Pilihan kita tentang dispersi, yang dinyatakan oleh sejumlah suku-suku derivatif, secara alami akan menghasilkan relasi dispersi seperti ω = k n=0 c nk 2n, tetapi kegayutan fungsional yang lebih umum, ω = ω(k), dapat muncul yang kemudian memiliki bentuk ekspansi ini untuk k 0.) Sekarang marilah kita anggap bahwa untuk gelombang panjang tak hingga (k 0) terdapat kecepatan penjalaran tak nol, c 0, maka ω k c 0 λk 2 ;

25 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 19 dan karena gelombang panjang biasanya menjalar lebih cepat, maka λ > 0. Relasi dispersi aproksimasi ini dengan jelas diperoleh dari persamaan u t + c 0 u x + λu xxx = 0. Selanjutnya, jika medium dimana terjadi penjalaran adalah kontinum klasik, maka evolusi waktu akan diberikan oleh turunan material (atau operator konvektif ) D/Dt = / t + u( / x). Jika kedua efek ini seimbang maka kita akan memperoleh u t + c 0 u x + α(uu x + λu xxx ) = 0, dimana α adalah parameter kecil pengukur nonlinieritas lemah dan gelombang panjang. Jadi kita memiliki u τ + uu ξ + λu ξξξ = 0; ξ = x c 0 t, τ = αt, persamaan KdV untuk gelombang panjang beramplitudo kecil, yang berlaku di dalam daerah tertentu dari bidang-(x,t) (didefinisikan oleh x c 0 t = O(1),t = O(α 1 ), bila α 0). Dengan semua poin ini dalam benak, kita mengantisipasi bahwa persamaan KdV akan muncul dalam sejumlah konteks berbeda. Kita telah melihat bagaimana persamaan ini dapat diturunkan dari persoalan gelombang - air klasik. Beberapa penerapan lainnya meliputi gelombang gravitasi internal dalam fluida yang bertingkat-tingkat, gelombang dalam atmosfer terotasi (gelombang inersia Rossby), gelombang akustik-ion di dalam plasma dan gelombang tekanan di dalam campuran fluida-gelembung gas. (Persamaan-persamaan lain yang kita akan jumpai juga memiliki penerapan yang luas, dan salah satu diantaranya - persamaan Schrodinger nonlinier (SNL) - yang barangkali lebih bermanfaat dibanding persamaan KdV.) Sebagai rangkuman, kita melihat bahwa persamaan KdV adalah persamaan karakteristik penentu gelombang panjang nonlinier lemah yang kecepatan fasenya mencapai maksimum sederhana untuk gelombang panjang tak hingga. Bacaan lanjut

26 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 20 Berikut, merujuk ke setiap bagian, dimaksudkan untuk memberikan beberapa bacaan lanjut yang bermanfaat. 1.1 Untuk sifat-sifat dasar gelombang linier dan nonlinier, lihat Whitham (1974). Untuk informasi lanjut mengenai kecepatan grup, lihat Lighthill (1978). Untuk penerapan transformasi grup terhadap persamaan diferensial, lihat Bluman & Cole (1974) 1.2 Untuk penurunan lain persamaan KdV bagi gelombang air, lihat Kevorkian & Cole (1981); untuk penerapan gelombang-air yang lain lihat Johnson (1973) untuk kedalaman berubah-ubah, Freeman & Johnson (1970) untuk gelombang pada regangan sembarang dan Johnson (1980) untuk tinjauan ulang persamaan KdV satu dan dua dimensi. 1.3 Lihat gambar film interaksi soliton, teristimewa Zabusky, Kruskal & Deem (F1965) dan Eilbeck (F1981). Untuk perbandingan persamaan KdV dengan percobaan gelombang-air, lihat Hammack & Segur (1974). 1.4 Beberapa dari banyak paper lainnya: gelombang gravitasi internal (Benney, 1966); gelombang Rossby (Benney, 1966; Redekopp & Weidman, 1978); gelombang akustik-ion (Washimi & Taniuti, 1966); gelembung gas di dalam cairan (van Wijngaarden, 1968). Latihan-latihan Q1.1 Gunakan metode karakteristik untuk menurunkan solusi d Alembert dari persamaan gelombang klasik, (1.1). Q1.2 Nyatakan solusi d Alembert dalam hubungan u(x, 0) = p(x) dan u t (x, 0) = q(x). Q1.3 Cari relasi antara p(x) dan q(x) di dalam Q1.2 yang menghasilkan komponen gelombang tunggal menjalar ke kanan.

27 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 21 Q1.4 Diskusikan relasi dispersi untuk persamaan u t + u x + u xxx u xx = 0. Q1.5 Bandingkan relasi dispersi untuk persamaan u t + u x + u xxx = 0 dan u t + u x u xxt = 0, secara khusus dalam kasus terbatas dari gelombang panjang dan pendek. Q1.6 Dapatkan solusi persamaan u t + (1 + u)u x = 0 dengan u(x, 0) = u 0 x, 0 x 1 u(x, 0) = u 0 (2 x), 1 x 2 u(x, 0) = 0, x 0,x 2, dimana u 0 adalah konstanta positip. [Catat bahwa profil awal ini tidaklah dapat diturunkan pada x = 0, 1, 2.] Q1.7 Dengan menggunakan karakteristik, sket solusi soal di Q1.6 pada berbagai waktu. Q1.8 Cari solusi implisit dari persamaan u t + uu x = 0 dengan u(x, 0) = cos πx. Tunjukkan bahwa u pertama-tama memiliki sebuah titik dimana u x adalah tak hingga pada t = π 1. Bentuk apa yang dapat diambil solusi ini jika ia diperkenankan berevolusi melampui t = π 1? Q1.9 Gelombang tak linier umum. Anggaplah bahwa u(x,t) memenuhi persamaan u t + c(u)u x = 0, < x <, t > 0,

28 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 22 dengan u(x, 0) = f(x), dimana f dan c adalah diferensiabel. Gunakan metode karakteristik untuk mencari solusi implisit, dan darinya simpulkan bahwa u x tetap berhingga hingga t = min <λ< ( [c {f(λ)}f (λ)] 1 ). Q1.10 Dispersi KdV linier. Jika u t + u xxx = 0 dengan u(x, 0) = f(x) dan u,u x,u xx 0 bila x, gunakan transformasi Fourier untuk menunjukkan bahwa u(x,t) = (3t) 1 3 dimana Ai(z) adalah fungsi Airy dari z. ( ) x y f(y)ai dy, (3t) 1 3 Q1.11 Gelombang soliton. Carilah solusi gelombang soliton dari persamaan u t 6uu x + u xxx = 0, untuk gelombang dengan amplitudo 2κ 2. Q1.12 Gelombang soliton rasional. Tunjukkan bahwa u(x,t) = 6x (x3 24t) (x t) 2 adalah sebuah solusi dari persamaan KdV yang diberikan di dalam Q1.11. (Perlu dicatat bahwa solusi ini singular pada x t = 0.) [Petunjuk: ini mungkin membantu untuk menuliskan u = 6t 2 3f(η), η = xt 1 3 (lihat Q1.13), dan kemudian amati bahwa f = 1 3 (logf), F(η) = η ] Q1.13 Persamaan Painlevé. Tunjukkan bahwa persamaan KdV u t 6uu x + u xxx = 0 invarian terhadap transformasi x kx, t k 3 t, u k 2 u (k 0). Juga buktikan bahwa t 2 3u dan xt 1 3 adalah invarian terhadap transformasi yang sama. Tunjukkan bahwa jika u(x,t) = (3t) 2 3F(η), dimana η = x(3t) 1 3, maka F + (6F η)f 2F = 0.

29 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 23 Oleh karena itu, dengan mengambil F = λdv/dη V 2, V = V (η), dimana λ adalah sebuah konstanta yang ditentukan, buktikan bahwa setelah dua integrasi persamaan untuk V (η) dapat ditulis sebagai V ηv 2V 3 = 0, asalkan V meluruh secara eksponensial ketika η + atau η. [Persamaan untuk V ini adalah salah satu persamaan Painlevé jenis kedua; lihat Bab. 7 dan Ince (1927).] Q1.14 Persamaan KdV. Anggaplah bahwa kecepatan fase dari gelombang linier adalah c(k), dimana k adalah bilangan gelombang. Gelombang-gelombang tak linier lemah seringkali dapat dideskripsikan oleh persamaan berbentuk u t + uu x + K(x ξ)u ξ (ξ,t)dξ = 0, dimana kernel K ditentukan dari teori linier sebagai transformasi Fourier dari c, K(x) = 1 2π c(k)e ikx dk. Untuk berbagai gelombang air telah dikenal bahwa c 2 = (g/k)tanh(kh) dimana g adalah percepatan gravitasi dan h adalah kedalaman tenang dari air: gunakan informasi ini untuk membuktikan kebenaran keberlakuan persamaan KdV bagi gelombang-gelombang panjang. Q1.15 Persamaan Benjamin-Ono. Dalam Q1.14 ambil c(k) = c 0 (1 λ k ), dimana c 0 dan λ adalah konstanta, dan darinya simpulkan bahwa u t + (c 0 + u)u x + λc 0 π u ξξ (ξ,t) dξ = 0, ξ x dimana menyatakan nilai utama Cauchy, asalkan u ξ 0 bila ξ. [Ini adalah persamaan Benjamin-Ono yang muncul di dalam kajian berbagai gelombang internal: Davies & Acrivos, 1967; Benjamin, 1967; Ono, 1975.] Q1.16 Problem Sinyal. Bila u memenuhi persamaan gelombang klasik (1.1) untuk c > 0, cari u(x,t) jika u = u t = 0 pada t = 0, x > 0, dan u = φ(t) pada x = 0, t > 0.

30 BAB 1. PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 24 [Petunjuk: perkenalkan Φ, dimana Φ(t) = φ(t) untuk t > 0 dan Φ(t) = 0 untuk t 0.] Q1.17 Persamaan Boussinesq. Carilah solusi-solusi gelombang soliton dari persamaan Boussinesq u tt u xx + 6(u 2 ) xx u xxxx = 0 di dalam bentuk u(x,t) = asech 2 {b(x ct)}, dan tunjukkan gelombangnya dapat menjalar dalam kedua arah. Q1.18 Dua kecepatan gelombang. Cari relasi dispersi, ω = ω(k), untuk persamaan u tt c 2 u xx + 2λ(u t + au x ) = 0, dimana c > 0, λ > 0 dan a adalah konstanta riil. Cari aproksimasi terhadap ω(k) untuk k tetap dan (a) λ kecil, pertahankan suku orde λ, dan tunjukkan bahwa u meluruh jika c > a > c; (b) λ besar, pertahankan suku orde satu, dan tunjukkan bahwa tak ada gelombang yang tak stabil (yakni berkembang). Juga tunjukkan bahwa kasus (b) adalah setara dengan aproksimasi dari k kecil (yakni gelombang panjang) untuk λ tetap.

31 Bab 2 Solusi Elementer Persamaan Korteweg-de Vries 2.1 Solusi Gelombang Menjalar Sebuah gelombang menjalar berbentuk tetap telah dijumpai; hal ini adalah solusi gelombang soliton dari persamaan KdV itu sendiri. Gelombang demikian adalah sebuah solusi khusus dari persamaan pembentuk yang tidak mengubah bentuknya dan menjalar pada kecepatan konstan. Gelombang ini dapat dilokalisasi atau periodik. Dalam hal persamaan-persamaan linier profil biasanya sembarang, dan dengan jarang dari sembarang pentingnya secara khusus; sebuah persamaan non linier, bagaimana pun, akan secara normal menentukan sebuah kelas profil terbatas yang seringkali memainkan sebuah peranan penting dalam solusi soal nilai awal sebagaimana t. Sehingga, untuk contoh, persamaan gelombang klasik u tt c 2 u xx = 0 memiliki solusi gelombang menjalar f(x ct) dan g(x + ct), untuk sembarang f dan g (yang berhubungan bersama-sama terhadap solusi d Alembert). Pada sisi lain persamaan tak linier u t + (1 + u)u x = 0 25

32 BAB 2. SOLUSI ELEMENTER PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 26 memiliki sebuah solusi gelombang menjalar u(x,t) = f(x ct) hanya jika (1 c + f)f = 0 dan juga f = konstan: sebuah solusi (seperti bukan gelombang) trivial. Adalah nyata bahwa tak satu pun dari contoh-contoh ini - sebagaimana mereka berada - akan mengajari kita sangat banyak. Marilah kita membatasi pemikiran terhadap wilayah yang lebih penting dari persamaanpersamaan tak linier. Persamaan demikian yang paling sederhana (disebut di atas) tidaklah memiliki sebuah solusi gelombang menjalar pada keseluruhan, dan hal ini diharapkan dari solusi umum yang didiskusikan dalam 1.1. Gelombang menanjak dan, jika diikuti, akan pecah dan menjadi bernilai ganda; pada ketiadaan tingkatan merupakan profil tunak (steady) yang mungkin. Dengan cara serupa efek-efek dispersi saja juga menghasilkan sebuah gelombang yang selamanya mengubah bentuknya, tetapi sekarang dalam arti sebaliknya bahwasannya hal itu menyebabkan gelombang menyebar daripada menanjak. Mungkin dua efek ini dapat mempertahankan sebuah kesetimbangan dan oleh karenanya menghasilkan sebuah gelombang bentuk tetap. Tentunya hal ini adalah keseimbangan secara tepat yang memberi kemunculan terhadap gelombang soliton. (Keseimbangan serupa dapat dipancangkan antara ketaklinieran dan disipasi; lihat Q2.1(i).) Sebagai sebuah contoh dari metode umum untuk mencari solusi gelombang menjalar, marilah kita pikirkan u t + (1 + u)u x = v(u) (2.1) untuk suatu fungsi v(u). Solusi yang diperlukan harus mengambil bentuk u(x, t) = f(x ct), dimana c adalah sebuah konstanta yang dapat memainkan peranan dari sebuah parameter (sebagaimana dalam gelombang soliton KdV, lihat 2.2) atau hal ini dapat ditentukan secara unik. Persamaan (2.1) sekarang menjadi (1 c + f)f = v(f) dan juga (1 c + f) df = ξ, v(f) dimana ξ = x ct.

33 BAB 2. SOLUSI ELEMENTER PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES 27 Misalkan kita menganggap bahwa persamaan (2.1) diberikan dengan v(u) = u(1 v 2 ), dan untuk penyederhanaan kita memilih c = 1. (Soal untuk sembarang c dapat dilakukan sebagai sebuah latihan.) Jadi kita memiliki ( f + 1 ) df = ξ 1 + f yang menghasilkan log 1 + f 1 f = 2ξ + log A atau f = Ae2ξ 1 Ae 2ξ + 1, dimana A adalah sebuah konstanta sembarang. Solusi ini lebih tepat ditulis sebagai u(x,t) = f(x t) = tanh(x t x 0 ), dimana A = exp( 2x 0 ), dan hal ini menunjukkan sebuah langkah yang halus menjalar ke kanan. 2.2 Gelombang Soliter Kita sekarang beralih secara spesifik ke persamaan KdV, dan secara ringkas mendiskusikan solusi gelombang soliton yang disebut dalam 1.2. Hal ini adalah tepat (secara khusus dalam pandangan pekerjaan berikutnya) untuk menulis persamaan KdV dalam bentuk baku u t + 6uu x + u xxx = 0. (2.2) Solusi gelombang menjalar dari persamaan ini adalah u(x,t) = f(ξ), dimana ξ = x ct dan c adalah sebuah konstanta. Jadi persamaan (2.2) menjadi cf 6ff + f = 0, yang dapat diintegrasikan sekali untuk menghasilkan cf 3f 2 + f = A, dimana A adalah sebuah konstanta sembarang. Jika kita sekarang menggunakan f sebagai sebuah faktor integrasi kita dapat mengintegrasikan sekali lagi untuk menghasilkan 1 2 (f ) 2 = f cf2 + Af + B, (2.3)

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR A V PERAMATAN GELOMANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR 5.. Pendahuluan erkas (beam) optik yang merambat pada medium linier mempunyai kecenderungan untuk menyebar karena adanya efek difraksi; lihat Gambar

Lebih terperinci

EKSISTENSI SOLITON PADA PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES

EKSISTENSI SOLITON PADA PERSAMAAN KORTEWEG-DE VRIES Jurnal Matematika UNND Vol. 3 No. 1 Hal. 9 16 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIP UNND EKSISTENSI SOLITON PD PERSMN KORTEWEG-DE VRIES ULI OKTVI, MHDHIVN SYFWN Program Studi Matematika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah ini adalah

BAB II KAJIAN TEORI. homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah ini adalah BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas suatu jenis persamaan differensial parsial tak homogen yang dikenal sebagai persamaan forced Korteweg de Vries (fkdv). Persamaan fkdv yang dikaji dalam makalah

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI NUMERIK

BAB IV SIMULASI NUMERIK BAB IV SIMULASI NUMERIK Pada bab ini kita bandingkan perilaku solusi KdV yang telah dibahas dengan hasil numerik serta solusi numerik untuk persamaan fkdv. Solusi persamaan KdV yang disimulasikan pada

Lebih terperinci

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menjelaskan cara penyelesaian soal dengan

Lebih terperinci

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai dasar laut sinusoidal sebagai reflektor gelombang. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan masalah dasar

Lebih terperinci

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan

PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan PDP linear orde 2 Agus Yodi Gunawan Pada bagian ini akan dipelajari tiga jenis persamaan diferensial parsial (PDP) linear orde dua yang biasa dijumpai pada masalah-masalah dunia nyata, yaitu persamaan

Lebih terperinci

Reflektor Gelombang 1 balok

Reflektor Gelombang 1 balok Bab 3 Reflektor Gelombang 1 balok Setelah diperoleh persamaan yang menggambarkan gerak gelombang air setiap saat yaitu SWE, maka pada bab ini akan dielaskan mengenai pengaruh 1 balok terendam sebagai reflektor

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE)

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE) Bab 2 Landasan Teori Dalam bab ini akan dibahas mengenai Persamaan Air Dangkal dan dasar-dasar teori mengenai metode beda hingga untuk menghampiri solusi dari persamaan diferensial parsial. 2.1 Persamaan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30)

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30) 5 η = η di z = η (9) z x x z x x Dalam (Grosen 99) kondisi kinematik (9) kondisi dinamik () dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian : δ H t = () δη δ H ηt = δ Dengan mengenalkan variabel baru u = x maka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transformasi Laplace Salah satu cara untuk menganalisis gejala peralihan (transien) adalah menggunakan transformasi Laplace, yaitu pengubahan suatu fungsi waktu f(t) menjadi

Lebih terperinci

(2) dengan adalah komponen normal dari suatu kecepatan partikel yang berhubungan langsung dengan tekanan yang diakibatkan oleh suara dengan persamaan

(2) dengan adalah komponen normal dari suatu kecepatan partikel yang berhubungan langsung dengan tekanan yang diakibatkan oleh suara dengan persamaan Getaran Teredam Dalam Rongga Tertutup pada Sembarang Bentuk Dari hasil beberapa uji peredaman getaran pada pipa tertutup membuktikan bahwa getaran teredam di dalam rongga tertutup dapat dianalisa tidak

Lebih terperinci

13. Aplikasi Transformasi Fourier

13. Aplikasi Transformasi Fourier 13. plikasi ransformasi Fourier Misal adalah operator linear pada fungsi yang terdefinisi pada R dengan sifat: jika [f(x] = g(x, maka [f(x + s] = g(x + s untuk setiap s R. Maka, fungsi f(x = e ax (a C

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan, polusi yang ada di sungai disebabkan oleh limbah dari pabrikpabrik dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk

Lebih terperinci

( t) TINJAUAN PUSTAKA. x dengan nilai fungsi dari: x

( t) TINJAUAN PUSTAKA. x dengan nilai fungsi dari: x Berawal dari apa yang telah disampaikan sebelumnya, pada skripsi kali ini akan dipelajari bagaimana perilaku trayektori solusi soliton sistem optik periodik melalui pendekatan analisis sistem dinamik yang

Lebih terperinci

GETARAN DAN GELOMBANG

GETARAN DAN GELOMBANG GEARAN DAN GELOMBANG Getaran dapat diartikan sebagai gerak bolak balik sebuah benda terhadap titik kesetimbangan dalam selang waktu yang periodik. Dua besaran yang penting dalam getaran yaitu periode getaran

Lebih terperinci

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya. 2 II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas teoriteori yang mendukung karya tulis ini. Teoriteori tersebut meliputi persamaan diferensial penurunan persamaan KdV yang disarikan dari (Ihsanudin, 2008;

Lebih terperinci

DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG h Bab 3 DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 3.1 Persamaan Gelombang untuk Dasar Sinusoidal Dasar laut berbentuk sinusoidal adalah salah satu bentuk dasar laut tak rata yang berupa fungsi sinus

Lebih terperinci

PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON

PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON ALHIDAYATUDDINIYAH T.W. alhida.dini@gmail.com Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indraprasta PGRI Abstrak.

Lebih terperinci

Osilasi Harmonis Sederhana: Beban Massa pada Pegas

Osilasi Harmonis Sederhana: Beban Massa pada Pegas OSILASI Osilasi Osilasi terjadi bila sebuah sistem diganggu dari posisi kesetimbangannya. Karakteristik gerak osilasi yang paling dikenal adalah gerak tersebut bersifat periodik, yaitu berulang-ulang.

Lebih terperinci

PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER DISKRIT DENGAN PENAMBAHAN POTENSIAL LINIER

PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER DISKRIT DENGAN PENAMBAHAN POTENSIAL LINIER Jurnal Matematika UNAND Vol 3 No 3 Hal 68 75 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND PERHITUNGAN NUMERIK DALAM MENENTUKAN KESTABILAN SOLITON CERAH ONSITE PADA PERSAMAAN SCHRÖDINGER NONLINIER

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Gelombang dan klasifikasinya. Gelombang adalah suatu gangguan menjalar dalam suatu medium ataupun tanpa medium. Dalam klasifikasinya gelombang terbagi menjadi yaitu :. Gelombang

Lebih terperinci

REFORMULASI DARI SOLUSI 3-SOLITON UNTUK PERSAMAAN KORTEWEG-de VRIES. Dian Mustikaningsih dan Sutimin Jurusan Matematika FMIPA Universitas Diponegoro

REFORMULASI DARI SOLUSI 3-SOLITON UNTUK PERSAMAAN KORTEWEG-de VRIES. Dian Mustikaningsih dan Sutimin Jurusan Matematika FMIPA Universitas Diponegoro REFORMULASI DARI SOLUSI 3-SOLITON UNTUK PERSAMAAN KORTEWEG-de VRIES Dian Mustikaningsih dan Sutimin Jurusan Matematika FMIPA Universitas Diponegoro Abstract The solution of 3-soliton for Korteweg-de Vries

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbagi dalam berberapa tingkatan, gelombang pada atmosfir yang berotasi

BAB I PENDAHULUAN. terbagi dalam berberapa tingkatan, gelombang pada atmosfir yang berotasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Fenomena gelombang Korteweg de Vries (KdV) merupakan suatu gejala yang penting untuk dipelajari, karena mempunyai pengaruh terhadap studi rekayasa yang terkait dengan

Lebih terperinci

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA Matakuliah: Fisika Matematika DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA Di S U S U N Oleh : Kelompok VI DEWI RATNA PERTIWI SITEPU (8176175004) RIFKA ANNISA GIRSANG (8176175014) PENDIDIKAN FISIKA REGULER

Lebih terperinci

PENENTUAN SOLUSI GELOMBANG NONLINIER KORTEWEG DE VRIES MENGGUNAKAN METODE HIROTA

PENENTUAN SOLUSI GELOMBANG NONLINIER KORTEWEG DE VRIES MENGGUNAKAN METODE HIROTA PENENTUAN SOLUSI GELOMBANG NONLINIER KORTEWEG DE VRIES MENGGUNAKAN METODE HIROTA Dra. HIDAYATI,.M.Si, Disampaikun pada Seminar Nasional, Mubes Ikutan Alumni FPMIPA-FMIPA UhP musan FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT Herry P. Suryawan 1 Geometri Ruang Hilbert Definisi 1.1 Ruang vektor kompleks V disebut ruang hasilkali dalam jika ada fungsi (.,.) : V V C sehingga untuk setiap x, y, z

Lebih terperinci

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi

Catatan Kuliah FI1101 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi Catatan Kuliah FI111 Fisika Dasar IA Pekan #8: Osilasi Agus Suroso update: 4 November 17 Osilasi atau getaran adalah gerak bolak-balik suatu benda melalui titik kesetimbangan. Gerak bolak-balik tersebut

Lebih terperinci

perpindahan, kita peroleh persamaan differensial berikut :

perpindahan, kita peroleh persamaan differensial berikut : 1.1 Pengertian Persamaan Differensial Banyak sekali masalah terapan (dalam ilmu teknik, ilmu fisika, biologi, kimia, sosial, dan lain-lain), yang telah dirumuskan dengan model matematika dalam bentuk persamaan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Persamaan Kontinuitas dan Persamaan Gerak

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Persamaan Kontinuitas dan Persamaan Gerak BAB II DASAR TEORI Ada beberapa teori yang berkaitan dengan konsep-konsep umum mengenai aliran fluida. Beberapa akan dibahas pada bab ini. Diantaranya adalah hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan momentum.

Lebih terperinci

FONON I : GETARAN KRISTAL

FONON I : GETARAN KRISTAL MAKALAH FONON I : GETARAN KRISTAL Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendahuluan Fisika Zat Padat Disusun Oleh: Nisa Isma Khaerani ( 3215096525 ) Dio Sudiarto ( 3215096529 ) Arif Setiyanto ( 3215096537

Lebih terperinci

FISIKA FMIPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 Alfan Muttaqin/M

FISIKA FMIPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 Alfan Muttaqin/M FISIKA FMIPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 Alfan Muttaqin/M0207025 Di terjemahkan dalam bahasa Indonesia dari An introduction by Heinrich Kuttruff Bagian 6.6 6.6.4 6.6 Penyerapan Bunyi Oleh

Lebih terperinci

Fourier Analysis & Its Applications in PDEs - Part II

Fourier Analysis & Its Applications in PDEs - Part II Fourier Analysis & Its Applications in PDEs Hendra Gunawan http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan/ Analysis and Geometry Group Bandung Institute of Technology Bandung, INDONESIA WIDE 2010 5-6 August

Lebih terperinci

MA1201 KALKULUS 2A Do maths and you see the world

MA1201 KALKULUS 2A Do maths and you see the world Catatan Kuliah MA20 KALKULUS 2A Do maths and you see the world disusun oleh Khreshna I.A. Syuhada, MSc. PhD. Kelompok Keilmuan STATISTIKA - FMIPA Institut Teknologi Bandung 203 Catatan kuliah ini ditulis

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI METODE EULER PADA KAJIAN TENTANG GERAK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1.

BAB III APLIKASI METODE EULER PADA KAJIAN TENTANG GERAK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. BAB III APLIKASI METODE EULER PADA KAJIAN TENTANG GERAK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menentukan solusi persamaan gerak jatuh bebas berdasarkan pendekatan

Lebih terperinci

Bab 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Penurunan Persamaan Air Dangkal

Bab 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Penurunan Persamaan Air Dangkal Bab 2 LANDASAN TEORI 2.1 Penurunan Persamaan Air Dangkal Persamaan air dangkal atau Shallow Water Equation (SWE) berlaku untuk fluida homogen yang memiliki massa jenis konstan, inviscid (tidak kental),

Lebih terperinci

SASARAN PEMBELAJARAN

SASARAN PEMBELAJARAN OSILASI SASARAN PEMBELAJARAN Mahasiswa mengenal persamaan matematik osilasi harmonik sederhana. Mahasiswa mampu mencari besaranbesaran osilasi antara lain amplitudo, frekuensi, fasa awal. Syarat Kelulusan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. Gambar 2.1 Lenturan Gelombang yang Melalui Celah Sempit

BAB II PEMBAHASAN. Gambar 2.1 Lenturan Gelombang yang Melalui Celah Sempit BAB II PEMBAHASAN A. Difraksi Sesuai dengan teori Huygens, difraksi dapat dipandang sebagai interferensi gelombang cahaya yang berasal dari bagian-bagian suatu medan gelombang. Medan gelombang boleh jadi

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA

BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA 3.1 Deskripsi Masalah Permasalahan yang dibahas di dalam Tugas Akhir ini adalah mengenai aliran fluida yang mengalir keluar melalui sebuah celah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda

BAB II KAJIAN TEORI. syarat batas, deret fourier, metode separasi variabel, deret taylor dan metode beda BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa teori dasar yang digunakan sebagai landasan pembahasan pada bab III. Beberapa teori dasar yang dibahas, diantaranya teori umum tentang persamaan

Lebih terperinci

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1. Integral Lipat Dua Atas Daerah Persegipanjang

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1. Integral Lipat Dua Atas Daerah Persegipanjang ingkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 1 Integral Lipat Dua Atas Daerah Persegipanjang Perhatikan fungsi z = f(x, y) pada = {(x, y) : a x b, c y d} Bentuk partisi P atas daerah berupa n buah persegipanjang

Lebih terperinci

METODE BENTUK NORMAL PADA PENYELESAIAN PERSAMAAN RAYLEIGH

METODE BENTUK NORMAL PADA PENYELESAIAN PERSAMAAN RAYLEIGH Jurnal Matematika UNAND Vol. 5 No. 3 Hal. 77 84 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND METODE BENTUK NORMAL PADA PENYELESAIAN PERSAMAAN RAYLEIGH EKA ASIH KURNIATI, MAHDHIVAN SYAFWAN, RADHIATUL

Lebih terperinci

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2 1. (25 poin) Dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H ditembakkan sebuah bola kecil bermassa m (Jari-jari R dapat dianggap jauh lebih kecil daripada H) dengan kecepatan awal horizontal v 0. Dua buah

Lebih terperinci

SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS)

SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS) Solusi Eksak Gelombang Soliton: Persamaan Schrodinger Nonlinier Nonlokal SOLUSI EKSAK GELOMBANG SOLITON: PERSAMAAN SCHRODINGER NONLINEAR NONLOKAL (NNLS) Riski Nur Istiqomah Dinnullah Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga MATERI PERKULIAHAN 3. Potensial Tangga Tinjau suatu partikel bermassa m, bergerak dari kiri ke kanan pada suatu daerah dengan potensial berbentuk tangga, seperti pada Gambar 1. Pada daerah < potensialnya

Lebih terperinci

Aplikasi Deret Fourier (FS) Deret Fourier Aplikasi Deret Fourier

Aplikasi Deret Fourier (FS) Deret Fourier Aplikasi Deret Fourier Aplikasi Deret Fourier (FS) 1. Deret Fourier Menurut Fourier setiap fungsi periodik dapat dinyatakan sebagai jumlah fungsi sinus dan cosinus yang tak berhingga jumlahnya dan dihubungkan secara harmonis.

Lebih terperinci

Bab 2 Fungsi Analitik

Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 ini direncanakan akan disampaikan dalam 4 kali pertemuan, dengan perincian sebagai berikut: () Pertemuan I: Fungsi Kompleks dan Pemetaan. (2) Pertemuan II: Limit Fungsi, Kekontiuan,

Lebih terperinci

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Pada bab ini akan dibahas pengaruh dasar laut tak rata terhadap perambatan gelombang permukaan secara analitik. Pengaruh dasar tak rata ini akan ditinjau melalui simpangan

Lebih terperinci

PERTEMUAN 2 STATISTIKA DASAR MAT 130

PERTEMUAN 2 STATISTIKA DASAR MAT 130 PERTEMUAN 2 STATISTIKA DASAR MAT 130 Data 1. Besaran Statistika berbicara tentang data dalam bentuk besaran (dimensi) Besaran adalah sesuatu yang dapat dipaparkan secara jelas dan pada prinsipnya dapat

Lebih terperinci

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan . (5 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan dengan H). Kecepatan awal horizontal bola adalah v 0 dan

Lebih terperinci

Bab 2 TEORI DASAR. 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal

Bab 2 TEORI DASAR. 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal Bab 2 TEORI DASAR 2.1 Linearisasi Persamaan Air Dangkal Persamaan air dangkal merupakan persamaan untuk gelombang permukaan air yang dipengaruhi oleh kedalaman air tersebut. Kedalaman air dapat dikatakan

Lebih terperinci

Bagian 2 Matriks dan Determinan

Bagian 2 Matriks dan Determinan Bagian Matriks dan Determinan Materi mengenai fungsi, limit, dan kontinuitas akan kita pelajari dalam Bagian Fungsi dan Limit. Pada bagian Fungsi akan mempelajari tentang jenis-jenis fungsi dalam matematika

Lebih terperinci

Fisika Dasar I (FI-321)

Fisika Dasar I (FI-321) Fisika Dasar I (FI-31) Topik hari ini Getaran dan Gelombang Getaran 1. Getaran dan Besaran-besarannya. Gerak harmonik sederhana 3. Tipe-tipe getaran (1) Getaran dan besaran-besarannya besarannya Getaran

Lebih terperinci

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON Rif ati Dina Handayani 1 ) Abstract: Suatu partikel yang bergerak dengan momentum p, menurut hipotesa

Lebih terperinci

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan 4 3.2 Peralatan..(9) dimana,, dan.(10) substitusi persamaan (10) ke persamaan (9) maka diperoleh persamaan gelombang soliton DNA model PBD...(11) agar persamaan (11) dapat dipecahkan sehingga harus diterapkan

Lebih terperinci

Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL Pertemuan 1 dan 2 KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL A. PENGERTIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Dalam pelajaran kalkulus, kita telah berkenalan dan mengkaji berbagai macam metode untuk mendiferensialkan suatu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.. Respon Impuls Akustik Ruangan. Respon impuls akustik suatu ruangan didefinisikan sebagai sinyal suara yang diterima oleh suatu titik (titik penerima, B) dalam ruangan akibat suatu

Lebih terperinci

BENDA TEGAR FISIKA DASAR (TEKNIK SISPIL) Mirza Satriawan. menu. Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta

BENDA TEGAR FISIKA DASAR (TEKNIK SISPIL) Mirza Satriawan. menu. Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta 1/36 FISIKA DASAR (TEKNIK SISPIL) BENDA TEGAR Mirza Satriawan Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta email: mirza@ugm.ac.id Rotasi Benda Tegar Benda tegar adalah sistem partikel yang

Lebih terperinci

Fisika Umum (MA-301) Topik hari ini: Getaran dan Gelombang Bunyi

Fisika Umum (MA-301) Topik hari ini: Getaran dan Gelombang Bunyi Fisika Umum (MA-301) Topik hari ini: Getaran dan Gelombang Bunyi Getaran dan Gelombang Hukum Hooke F s = - k x F s adalah gaya pegas k adalah konstanta pegas Konstanta pegas adalah ukuran kekakuan dari

Lebih terperinci

GETARAN DAN GELOMBANG

GETARAN DAN GELOMBANG 1/19 Kuliah Fisika Dasar Teknik Sipil 2007 GETARAN DAN GELOMBANG Mirza Satriawan Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta email: mirza@ugm.ac.id GETARAN Getaran adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

Bab 5. Migrasi Planet

Bab 5. Migrasi Planet Bab 5 Migrasi Planet Planet-planet raksasa diduga memiliki inti padat yang dibentuk oleh material yang tidak dapat terkondensasi jika terletak sangat dekat dengan bintang utamanya. Karenanya sangatlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Ada beberapa metode numerik yang dapat diimplementasikan untuk mengkaji keadaan energi (energy state) dari sebuah sistem potensial sumur berhingga. Diantara metode-metode

Lebih terperinci

SELEKSI OLIMPIADE NASIONAL MIPA PERGURUAN TINGGI (ONMIPA-PT) 2014 TINGKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA BIDANG FISIKA

SELEKSI OLIMPIADE NASIONAL MIPA PERGURUAN TINGGI (ONMIPA-PT) 2014 TINGKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA BIDANG FISIKA SELEKSI OLIMPIADE NASIONAL MIPA PERGURUAN TINGGI (ONMIPA-PT) 2014 TINGKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA BIDANG FISIKA Hari, tanggal: Rabu, 2 April 2014 Waktu: 60 menit Nama: NIM: 1. (50 poin) Sebuah

Lebih terperinci

Soal Ujian 2 Persamaan Differensial Parsial

Soal Ujian 2 Persamaan Differensial Parsial Soal Uian 2 Persamaan Differensial Parsial M. Jamhuri April 15, 2013 1 Buktikan bahwa ux,t) = πˆ 1 x e θ2 dθ merupakan solusi persamaan difusi u t = u xx untuk setiap x R,t > 0. Untuk x 0 tunukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK

BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK BAB 3 PERAMBATAN GELOMBANG MONOKROMATIK Dalam bab ini, kita akan mengamati perambatan gelombang pada fluida ideal dengan dasar rata. Perhatikan gambar di bawah ini. Gambar 3.1 Aliran Fluida pada Dasar

Lebih terperinci

ANALISIS SIMULASI GEJALA CHAOS PADA GERAK PENDULUM NONLINIER. Oleh: Supardi. Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta

ANALISIS SIMULASI GEJALA CHAOS PADA GERAK PENDULUM NONLINIER. Oleh: Supardi. Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta ANALISIS SIMULASI GEJALA CHAOS PADA GERAK PENDULUM NONLINIER Oleh: Supardi Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta Penelitian tentang gejala chaos pada pendulum nonlinier telah dilakukan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam

TINJAUAN PUSTAKA. diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan. Persamaan diferensial parsial memegang peranan penting di dalam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persamaan Diferensial Parsial Persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan parsial suatu fungsi (yang diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas dinamakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Getaran atom dalam zat padat dapat disebabkan oleh gelombang yang merambat pada Kristal. Ditinjau dari panjang gelombang yang digelombang yang digunakan dan dibandingkan

Lebih terperinci

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL

KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL KONSEP DASAR PERSAMAAN DIFERENSIAL A. PENGERTIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL Dalam pelajaran kalkulus, kita telah berkenalan dan mengkaji berbagai macam metode untuk mendiferensialkan suatu fungsi (dasar). Sebagai

Lebih terperinci

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L)

DERET FOURIER. n = bilangan asli (1,2,3,4,5,.) L = pertemuan titik. Bilangan-bilangan untuk,,,, disebut koefisien fourier dari f(x) dalam (-L,L) DERET FOURIER Bila f adalah fungsi periodic yang berperioda p, maka f adalah fungsi periodic. Berperiode n, dimana n adalah bilangan asli positif (+). Untuk setiap bilangan asli positif fungsi yang didefinisikan

Lebih terperinci

Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial

Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Ikhsan Maulidi Jurusan Matematika,Universitas Syiah Kuala, ikhsanmaulidi@rocketmail.com Abstract Artikel ini membahas tentang salah satu

Lebih terperinci

C.1 OSILASI GANDENG PEGAS

C.1 OSILASI GANDENG PEGAS Mata Kuliah GELOMBANG-OPTIK OPTIK TOPIK I SUB TOPIK OSILASI GANDENG C. SISTEM OSILASI DUA DERAJAT KEBEBASAN:OSILASI GANDENG Satu derajat kebebasan: Misalkan: pegas yang memiliki satu simpangan Dua derajat

Lebih terperinci

Referensi : Hirose, A Introduction to Wave Phenomena. John Wiley and Sons

Referensi : Hirose, A Introduction to Wave Phenomena. John Wiley and Sons SILABUS : 1.Getaran a. Getaran pada sistem pegas b. Getaran teredam c. Energi dalam gerak harmonik sederhana 2.Gelombang a. Gelombang sinusoidal b. Kecepatan phase dan kecepatan grup c. Superposisi gelombang

Lebih terperinci

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk memeriksa kelakuan sistem dinamik kompleks, biasanya dengan menggunakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

Gambar 1. Bentuk sebuah tali yang direnggangkan (a) pada t = 0 (b) pada x=vt.

Gambar 1. Bentuk sebuah tali yang direnggangkan (a) pada t = 0 (b) pada x=vt. 1. Pengertian Gelombang Berjalan Gelombang berjalan adalah gelombang yang amplitudonya tetap. Pada sebuah tali yang panjang diregangkan di dalam arah x di mana sebuah gelombang transversal sedang berjalan.

Lebih terperinci

Kumpulan soal-soal level Olimpiade Sains Nasional: solusi:

Kumpulan soal-soal level Olimpiade Sains Nasional: solusi: Kumpulan soal-soal level Olimpiade Sains Nasional: 1. Sebuah batang uniform bermassa dan panjang l, digantung pada sebuah titik A. Sebuah peluru bermassa bermassa m menumbuk ujung batang bawah, sehingga

Lebih terperinci

Sidang Tugas Akhir - Juli 2013

Sidang Tugas Akhir - Juli 2013 Sidang Tugas Akhir - Juli 2013 STUDI PERBANDINGAN PERPINDAHAN PANAS MENGGUNAKAN METODE BEDA HINGGA DAN CRANK-NICHOLSON COMPARATIVE STUDY OF HEAT TRANSFER USING FINITE DIFFERENCE AND CRANK-NICHOLSON METHOD

Lebih terperinci

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya 1 BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya Perhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu yaitu: d + V (x) ( x) E( x) m dx d ( x) m + (E V(x) ) ( x) 0 dx (3-1) (-4) Suku-suku

Lebih terperinci

1/32 FISIKA DASAR (TEKNIK SIPIL) KINEMATIKA. menu. Mirza Satriawan. Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta

1/32 FISIKA DASAR (TEKNIK SIPIL) KINEMATIKA. menu. Mirza Satriawan. Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta 1/32 FISIKA DASAR (TEKNIK SIPIL) KINEMATIKA Mirza Satriawan Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta email: mirza@ugm.ac.id Definisi KINEMATIKA Kinematika adalah cabang ilmu fisika yang

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas penurunan model persamaan panas dimensi satu. Setelah itu akan ditentukan penyelesaian persamaan panas dimensi satu secara analitik dengan metode

Lebih terperinci

Mata Kuliah GELOMBANG OPTIK TOPIK I OSILASI. andhysetiawan

Mata Kuliah GELOMBANG OPTIK TOPIK I OSILASI. andhysetiawan Mata Kuliah GELOMBANG OPTIK TOPIK I OSILASI HARMONIK PENDAHULUAN Gerak dapat dikelompokan menjadi: Gerak di sekitar suatu tempat contoh: ayunan bandul, getaran senar dll. Gerak yang berpindah tempat contoh:

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan medan hidrodinamik. Pertama, dengan menentukan potensial listrik V dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan medan hidrodinamik. Pertama, dengan menentukan potensial listrik V dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Analisis Elektrohidrodinamik Analisis elektrohidrodinamik dimulai dengan mengevaluasi medan listrik dan medan hidrodinamik. Pertama, dengan menentukan potensial listrik

Lebih terperinci

Suara Di Ruang Tertutup

Suara Di Ruang Tertutup Suara Di Ruang Tertutup Pada bab-bab sebelumnya menunjukkan bahwa meningkatnya bidang pembatas bunyi disertai dengan meningkatnya kompleksitas. Demikian bayangan yang dihasilkan pesawat yang terkena gelombang

Lebih terperinci

HAND OUT FISIKA DASAR I/GELOMBANG/GERAK HARMONIK SEDERHANA

HAND OUT FISIKA DASAR I/GELOMBANG/GERAK HARMONIK SEDERHANA GELOMBAG : Gerak Harmonik Sederhana M. Ishaq Pendahuluan Gerak harmonik adalah sebuah kajian yang penting terutama jika anda bergelut dalam bidang teknik, elektronika, geofisika dan lain-lain. Banyak gejala

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Latar Belakang Historis Fondasi dari integral pertama kali dideklarasikan oleh Cavalieri, seorang ahli matematika berkebangsaan Italia pada tahun 1635. Cavalieri menemukan bahwa

Lebih terperinci

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17,

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17, 3. ORBIT KEPLERIAN AS 2201 Mekanika Benda Langit 1 3.1 PENDAHULUAN Mekanika Newton pada mulanya dimanfaatkan untuk menentukan gerak orbit benda dalam Tatasurya. Misalkan Matahari bermassa M pada titik

Lebih terperinci

3.11 Menganalisis besaran-besaran fisis gelombang stasioner dan gelombang berjalan pada berbagai kasus nyata. Persamaan Gelombang.

3.11 Menganalisis besaran-besaran fisis gelombang stasioner dan gelombang berjalan pada berbagai kasus nyata. Persamaan Gelombang. KOMPETENSI DASAR 3.11 Menganalisis besaran-besaran fisis gelombang stasioner dan gelombang berjalan pada berbagai kasus nyata INDIKATOR 3.11.1. Mendeskripsikan gejala gelombang mekanik 3.11.2. Mengidentidikasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

BAB I BESARAN DAN SISTEM SATUAN

BAB I BESARAN DAN SISTEM SATUAN 1.1. Pendahuluan BAB I BESARAN DAN SISTEM SATUAN Fisika berasal dari bahasa Yunani yang berarti Alam. Karena itu Fisika merupakan suatu ilmu pengetahuan dasar yang mempelajari gejala-gejala alam dan interaksinya

Lebih terperinci

menganalisis suatu gerak periodik tertentu

menganalisis suatu gerak periodik tertentu Gerak Harmonik Sederhana GETARAN Gerak harmonik sederhana Gerak periodik adalah gerak berulang/berosilasi melalui titik setimbang dalam interval waktu tetap. Gerak harmonik sederhana (GHS) adalah gerak

Lebih terperinci

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013 Soal-Jawab Fisika Teori OSN 0 andung, 4 September 0. (7 poin) Dua manik-manik masing-masing bermassa m dan dianggap benda titik terletak di atas lingkaran kawat licin bermassa M dan berjari-jari. Kawat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah Penelusuran tentang fenomena belalang merupakan bahasan yang baik untuk dipelajari karena belalang dikenal suka berkelompok dan berpindah. Dalam kelompok,

Lebih terperinci

PROJEK 2 PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA

PROJEK 2 PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA PROJEK PENCARIAN ENERGI TERIKAT SISTEM DI BAWAH PENGARUH POTENSIAL SUMUR BERHINGGA A. PENDAHULUAN Ada beberapa metode numerik yang dapat diimplementasikan untuk mengkaji keadaan energi terikat (bonding

Lebih terperinci

Bab III Solusi Dasar Persamaan Lapisan Fluida Viskos Tipis

Bab III Solusi Dasar Persamaan Lapisan Fluida Viskos Tipis Bab III Solusi Dasar Persamaan Lapisan Fluida Viskos Tipis III.1 III.1.1 Solusi Dasar dari Model Prekursor Persamaan Fluida Tipis Dimensi Satu Sebagai langkah pertama untuk memahami karakteristik aliran

Lebih terperinci

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA Pada bab ini akan dimodelkan permasalahan penyebaran virus flu burung yang bergantung pada ruang dan waktu. Pada bab ini akan dibahas pula analisis dari model hingga

Lebih terperinci

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan

III PEMBAHASAN. 3.1 Analisis Metode. dan (2.52) masing-masing merupakan penyelesaian dari persamaan 6, 1 (2.52) Berdasarkan persamaan (2.52), maka untuk 0 1 masing-masing memberikan persamaan berikut:, 0,0, 0, 1,1, 1. Sehingga menurut persamaan (2.51) persamaan (2.52) diperoleh bahwa fungsi, 0, 1 masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perpindahan Kalor Kalor adalah energi yang diterima oleh benda sehingga suhu benda atau wujudnya berubah. Ukuran jumlah kalor dinyatakan dalam satuan joule (J). Kalor disebut

Lebih terperinci

Gejala Gelombang. gejala gelombang. Sumber:

Gejala Gelombang. gejala gelombang. Sumber: Gejala Gelombang B a b B a b 1 gejala gelombang Sumber: www.alam-leoniko.or.id Jika kalian pergi ke pantai maka akan melihat ombak air laut. Ombak itu berupa puncak dan lembah dari getaran air laut yang

Lebih terperinci

Teori Medan Klasik. USSR Academy of Sciences. Miftachul Hadi. Applied Mathematics for Biophysics Group. Physics Research Centre LIPI

Teori Medan Klasik. USSR Academy of Sciences. Miftachul Hadi. Applied Mathematics for Biophysics Group. Physics Research Centre LIPI Teori Medan Klasik L. D. Landau 1, E. M. Lifshitz 2 1,2 Institute of Physical Problems USSR Academy of Sciences Miftachul Hadi Applied Mathematics for Biophysics Group Physics Research Centre LIPI Puspiptek,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

BAB II KAJIAN TEORI. pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan beberapa kajian matematika,

Lebih terperinci