LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK MENGGUNAKAN MODEL SETENGAH BIDANG ATAS H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK MENGGUNAKAN MODEL SETENGAH BIDANG ATAS H"

Transkripsi

1 LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK MENGGUNAKAN MODEL SETENGAH BIDANG ATAS H SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika Oleh : DEDY LUCKY PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i

2 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SKRIPSI LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK MENGGUNAKAN MODEL SETENGAH BIDANG ATAS ℍ Oleh : Dedy Lucky NIM : Telah disetujui oleh : Dosen Pembimbing, Beni Utomo, M.Sc. Kamis, 18 Agustus 2016 ii

3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SKRIPSI LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK MENGGUNAKAN MODEL SETENGAH BIDANG ATAS ℍ Dipersiapkan dan ditulis oleh : Dedy Lucky NIM : Telah dipertahankan di depan panitia penguji pada tanggal 31 Agustus 2016 dan dinyatakan memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji Nama Lengkap Tanda Tangan Ketua : Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd.... Sekretaris : Dr. Hongki Julie, M.Si.... Anggota : 1. Beni Utomo, M.Sc Dra. Haniek Sri Pratini, M.Pd Febi Sanjaya, M.Sc... Yogyakarta, 31 Agustus 2016 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Dekan, Rohandi, Ph.D. iii

4 PERSEMBAHAN Berbagai hal ada di luar sana, hanya menunggu untuk ditemukan... (Anonymous) Untuk Tuhan, Keluarga, Para Pendidik, Teman, Ilmu Pengetahuan, Pembaca & Almamaterku iv

5 PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, Dedy Lucky v

6 LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Dedy Lucky NIM : Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma sebuah karya ilmiah yang berjudul : LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK MENGGUNAKAN MODEL SETENGAH BIDANG ATAS H Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpannya, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain demi kepentingan akademis tanpa meminta jin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 18 Agustus 2016 Yang menyatakan, Dedy Lucky vi

7 ABSTRAK Dedy Lucky, Luas pada Geometri Hiperbolik Menggunakan Model Setengah Bidang Atas H. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Geometri hiperbolik dibangun dari postulat kesejajaran yang menyatakan bahwa Diberikan suatu garis hiperbolik l dan titik p di luar garis l, maka terdapat minimal dua garis hiperbolik yang melalui p dan sejajar l. Model setengah bidang atas H adalah model yang dapat merepresentasikan objek-objek pada bidang hiperbolik ke bidang datar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan objek-objek geometri hiperbolik serta luas geometri hiperbolik pada model bidang setengah atas H. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dari beberapa bahasan seperti Geometri Euclides, Geometri Hiperbolik, dan Transformasi Mo bius. Titik dan sudut hiperbolik di H didefinisikan sama dengan titik dan sudut pada geometri Euclides. Titik ideal adalah titik di tak hingga, atau titik pada sumbu real. Garis hiperbolik di H berupa garis Euclides tegak lurus sumbu real atau busur lingkaran dengan pusat di sumbu real. Poligon hiperbolik dibatasi oleh segmen garis hiperbolik, sinar garis hiperbolik, atau garis hiperbolik. Terdapat empat jenis segitiga hiperbolik yang ditentukan berdasarkan letak titik sudutnya. Panjang hiperbolik di H ditentukan oleh elemen panjang busur yaitu Luas hiperbolik suatu daerah X di H didefinisikan sebagai hasil integral dari 1 dz. Im(z) area H (X) = X 1 2 dx dy. (Im(z)) Luas segitiga hiperbolik ditentukan oleh defeknya, dengan defek segitiga hiperbolik adalah selisih antara π dengan jumlah sudut segitiga hiperbolik. Luas poligon hiperbolik P konvek (sudut dalam poligon tak lebih dari π) dengan besar sudut α 1,, α n dapat diperoleh dari area H (P) = (n 2)π α k. n k=1 Kata kunci : Luas Hiperbolik, Setengah Bidang Atas, Segitiga Hiperbolik, Poligon Hiperbolik vii

8 ABSTRACT Dedy Lucky, Hyperbolic Geometry Area with Upper Half Plane Model H. Thesis. Mathematics Education Study Program, Mathematics and Science Education Deparment, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta. Hyperbolic geometry built from parallel postulate states that "Given a hyperbolic line l and a point p outside the line l, then there is a minimum of two hyperbolic lines through p and parallel l". The upper half plane H is a model that can represent the objects in the field of hyperbolic onto a flat surface. This study aimed to describe the objects of hyperbolic geometry and the area of hyperbolic geometry on the upper half plane H. This research was conducted by literature study of some discussion as Euclidean Geometry, Hyperbolic Geometry, and Transformation Mo bius. Hyperbolic point and angle in H defined with the point and angle in Euclidean geometry. Ideal point is the point at infinity, or points on the real axis. Hyperbolic lines in H is a Euclides line perpendicular to the real axis or arc of a circle with its center at the real axis. Hyperbolic polygons bounded by hyperbolic line segments, rays hyperbolic lines, or lines hyperbolic. There are four types of hyperbolic triangle defined by the location of the vertex. Hyperbolic length in H determained by element of arc length Hyperbolic area of a region X in H is given by integrating area H (X) = X 1 2 dx dy. (Im(z)) 1 Im(z) dz. Hyperbolic triangle area defined by the defect, the defect hyperbolic triangle is the difference between π by the sum of angle hyperbolic triangles. P is hyperbolic convex polygon (angles in polygons less than π) with interior angles α 1,, α n, then area of P is area H (P) = (n 2)π α k. Keywords: Hyperbolic Area, Upper Half Plane, Hyperbolic Triangle, Hyperbolic Polygons n k=1 viii

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Luas Geometri Hiperbolik Menggunakan Model Setengah Bidang Atas H ini dengan baik. Banyak masalah dan hambatan yang penulis temui selama dinamika penyusunan skripsi ini. Namun, dengan dukungan, bantuan, dan doa dari berbagai pihak telah memberikan motivasi berlebih kepada penulis untuk terus bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan kali ini, tak lupa penulis mengucapkan terima kasih dengan sepenuh hati kepada beberapa pihak, di antaranya: 1. Pemerintahan Kabupaten Kutai Barat yang telah memberikan penulis kesempatan untuk berkuliah di Universitas Sanata Dharma. 2. Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Barat yang telah membiayai perkuliahan, dan akomodasi penulis selama ini. 3. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma. 4. Bapak Dr. Hongki Julie, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma. 5. Bapak Beni Utomo, M.Sc. selaku dosen pembimbing dan wali penulis di prodi Pendidikan Matematika yang telah banyak memberikan masukan dan ix

10 nasihat kepada penulis selama menyusun skripsi maupun selama penulis berkuliah. 6. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak membimbing dan memberikan nasihat kepada penulis. 7. Bapak Febi Sanjaya, M.Sc. yang sering menjadi tempat bertanya masalahmasalah seputar matematika dan selalu bisa meluangkan waktu untuk membantu penulis. 8. Seluruh dosen Pendidikan Matematika yang telah memberikan ilmu selama penulis berkuliah di Universitas Sanata Dharma. 9. Seluruh staf sekretariat JPMIPA, Ibu Tari, Bapak Sugeng, Mas Arif, dan Mas Made yang telah banyak membantu memberikan pelayanan kesekretariatan selama ini. 10. Bapak, Ibu, Kakak, dan Keluarga yang selalu mendukung, memberi semangat, dan berdoa untuk penulis. 11. Teman-teman seperjuangan Dennis, Anton, Yopek, Edith, Winda, Grace, Riris, Sasi, Selly, Dian, Asri, Selpa, Tya, dan Yosep yang selama ini memberi dukungan, semangat, motivasi, serta hal-hal luar biasa lainnya yang akan selalu diingat penulis. 12. Teman-teman Pendidikan Matematika Kelas C yang sudah berproses, berbagi suka dan duka bersama selama empat tahun ini. 13. Teman-teman Pendidikan Matematika angkatan 2012 yang sudah berproses bersama selama empat tahun ini. x

11 14. Teman mencari Pokemon, Devi, Rian, Santo, dan Ocha yang selama ini membantu mengurangi kejenuhan penulis. 15. Teman-teman Kos Kantil yang telah menjadi teman main, ngumpul, dan mengomentari hal-hal yang kurang penting bersama. 16. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan wawasan kepada setiap pembaca. Yogyakarta, 18 Agustus 2016 Penulis xi

12 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii HALAMAN PENGESAHAN...iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv HALAMAN KEASLIAN KARYA... v HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vi ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... xii DAFTAR SIMBOL... xiv DAFTAR GAMBAR... xvi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 6 C. Pembatasan Masalah... 6 D. Batasan Istilah... 7 E. Tujuan Penelitian... 8 F. Manfaat Penelitian... 8 G. Metode Penelitian... 9 H. Sistematika Penulisan BAB II LANDASAN TEORI A. Dasar-Dasar Geometri Euclides xii

13 B. Bidang Kompleks C C. Garis dan lingkaran Euclides dalam bidang kompleks C D. Elemen Panjang dalam bidang kompleks C E. Sudut pada Bidang Kompleks C F. Transformasi Konformal pada Bidang Kompleks C G. Riemann Sphere C H. Inversi I. Transformasi Mobius dan Cross Rasio BAB III MODEL BIDANG HIPERBOLIK A. Setengah Bidang Atas (H) B. Hubungan Geometri Euclides dan Geometri Hiperbolik C. Kesejajaran dalam geometri hiperbolik D. Jarak Hiperbolik E. Transformasi Mobius di H BAB IV LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK MENGGUNAKAN MODEL SETENGAH BIDANG ATAS H A. Definisi Konvek pada Geometri Hiperbolik B. Segitiga Hiperbolik dan Poligon Hiperbolik C. Definisi Luas Hiperbolik D. Luas Poligon Hiperbolik BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA xiii

14 DAFTAR SIMBOL R : Himpunan semua bilangan real. C : Himpunan semua bilangan kompleks. ~ : pendekatan atau aprokmasi. : notasi tak hingga. Re(z) : x, bagian real dari bilangan kompleks z = x + iy. Im(z) : y, bagian imajiner dari bilangan kompleks z = x + iy. z : x iy, konjugat dari bilangan kompleks z = x + iy. z : (Re(z)) 2 + (Im(y)) 2, modulus dari bilangan kompleks z. H : {z C Im(z) > 0}, setengah bidang atas di C. C : C { }, Riemann sphere. R 3 : {(x, y, z) R 3 x, y, z R}, ruang dimensi tiga. S 2 : Bola satuan di R 3. R : R { }, sumbu real yang diperpanjang. length(f) : panjang lintasan f. dz : (x (t)) 2 + (y (t)) 2 dt, elemen panjang busur pada C. xiv

15 z, v, c, d, : titik-titik pada bidang kompleks C. T, X, L, : garis-garis Euclides pada bidang kompleks C. l, m, k, : garis-garis hiperbolik pada setengah bidang atas H. T z1 z 2 : segmen garis Euclides dengan pangkal di z 1 dan ujung di z 2. T z1 : sinar garis Euclides dengan pangkal di z 1. l z1 z 2 : segmen garis hiperbolik dengan pangkal di z 1 dan ujung di z 2. l z1 : sinar garis hiperbolik dengan pangkal di z 1. (C 1, C 2 ) : sudut antara kurva C 1 dan C 2. z 1 z 2 z 3 : sudut z 1 z 2 z 3. length H (f) : panjang hiperbolik lintasan f di setengah bidang atas H. d(z 1, z 2 ) : jarak Euclides dari titik z 1 ke z 2. d H (z 1, z 2 ) : jarak hiperbolik dari titik z 1 ke z 2 di setengah bidang atas H. area H (X) : luas hiperbolik dari himpunan X di H. Φ : defek segitiga. QED : Quod Erat Demonstrandum, artinya sudah terbukti. xv

16 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Tablet Babilonia, Plimpton Gambar 2.1 Ilustrasi Proposisi Gambar 2.2 Ilustrasi Proposisi Gambar 2.3 Ilustrasi Proposisi Gambar 2.4 Representasi Bilangan Kompleks ke Titik pada Bidang Kompleks...17 Gambar 2.5 Bilangan Kompleks z dalam Koordinat Polar...18 Gambar 2.6 Ilustrasi Definisi Gambar 2.7 Ilustrasi Proposisi Gambar 2.8 Ilustrasi Sudut Tipe I...26 Gambar 2.9 Ilustrasi Sudut Tipe II...27 Gambar 2.10 Ilustrasi Sudut Tipe III...28 Gambar 2.11 Proyeksi Stereografi...32 Gambar 3.1 Model Bidang pada Geometri Hiperbolik...42 Gambar 3.2 Garis Hiperbolik di H...46 Gambar 3.3 Garis Hiperbolik melalui Dua Titik Berbeda...47 Gambar 3.4 Sudut antara Dua Garis Hiperbolik...48 Gambar 3.5 Dua Garis Sejajar pada Geometri Euclides...49 Gambar 3.6 Garis-garis Hiperbolik yang Sejajar melalui Sebarang Titik...51 Gambar 3.7 Ilustrasi Sejajar untuk Kasus Pertama...52 Gambar 3.8 Ilustrasi Sejajar untuk Kasus Kedua...53 Gambar 3.9 Jarak Hiperbolik dari Dua Titik Berbeda...57 xvi

17 Gambar 4.1 Segmen-segmen Garis pada X di H...65 Gambar 4.2 (a) Garis Hiperbolik di H, (b) Sinar Garis Hiperbolik di H, dan (c) Segmen Garis Hiperbolik di H...66 Gambar 4.3 (a) Contoh Poligon Hiperbolik Konkaf; (b) Contoh Poligon Hiperbolik Konvek...67 Gambar 4.4 Jenis-jenis Segitiga Hiperbolik di H...68 Gambar 4.5 (a) Segitiga Hiperbolik pada Posisi Standar; (b) Ilustrasi Segitiga Hiperbolik Kasus I Proposisi 4.4; (c) Ilustrasi Segitiga Hiperbolik Kasus II Proposisi 4.4; (d) Ilustrasi Segitiga Hiperbolik Kasus III Proposisi Gambar 4.6 Ilustrasi Segitiga Hiperbolik Siku-siku di i...74 Gambar 4.7 Tinggi dari Sembarang Segitiga Hiperbolik...76 Gambar 4.8 Ilustrasi dari Teorema Gambar 4.9 Ilustrasi Poligon Hiperbolik Berdasarkan Definisi...84 Gambar 4.10 Ilustrasi Contoh Gambar 4.11 Segitiga Hiperbolik dengan v 1 di...91 Gambar 4.12 Ilustrasi Teorema Gambar 4.13 Segitiga Hiperbolik P pada Contoh Gambar 4.14 Ilustrasi Teorema Gambar 4.15 Poligon Hiperbolik pada Contoh xvii

18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu pengetahuan adalah salah satu cipta manusia dalam rangka memahami, mengolah, mengeksplorasi, dan memprediksi segala fenomena yang terjadi di alam semesta. Perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung dari awal peradaban manusia sampai kelak berakhirnya peradaban itu sendiri. Sebagai bentuk nyata dari perkembangan ilmu pengetahuan adalah dengan munculnya berbagai macam disiplin ilmu, mulai dari ilmu tentang manusia, gejala fenomena alam, sampai ilmu tentang galaksi dan alam semesta. Salah satu cabang ilmu tertua yang dipelajari manusia adalah matematika, hal ini terbukti dengan ditemukannya tulisan matematika tertua berupa tablet tanah liat yang disebut Plimpton 322 (Gambar 1.1) sekitar 1900 SM di Babilonia (Burton, 2011: 74). Gambar 1.1 Tablet Babilonia, Plimpton 322 Pada masa silam matematika sering digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan sehari-hari, seperti yang dilakukan oleh bangsa Mesir dalam menentukan batas-batas tanah yang hilang tersapu banjir sungai Nil. 1

19 2 Bangsa Mesir menggunakan teknik-teknik tertentu dalam menentukan batas bidang tanah yang terhapus. Salah satu cabang ilmu matematika yang mampu menjawab permasalahan ini adalah geometri. Kata geometri berasal dari kata Yunani yaitu geometrien (geo berarti bumi, dan metrein berarti ukuran) yang memiliki arti ilmu ukur bumi (Burton, 2011: 53). Euclides ( SM), seorang matematikawan bangsa Yunani yang dianggap sebagai pelopor pembentuk geometri aksiomatis membawa perubahan besar terhadap bidang kajian geometri. Buku yang berjudul The Elements adalah salah satu buku karya Euclides yang paling fenomenal karena telah berhasil menyusun dasar-dasar geometri secara sistematis dan tetap digunakan sebagai acuan hingga saat ini. Buku tersebut memuat 23 definisi, 5 aksioma, dan 5 postulat. Euclides menggunakan istilah postulat yang merupakan aksioma khusus digunakan pada bidang geometri. Lima postulat Euclides yang telah dinyatakan dengan arti yang sama oleh Kline (1972) dalam buku Hyperbolic Geometry karya James W. Cannon sebagai berikut. 1. Each pair of points can be joined by one and only one straight line segment. 2. Any straight line segment can be indefinitely extended in either direction. 3. There is exactly one circle of any given radius with any given center. 4. All right angles are congruent to one another.

20 3 5. If a straight line falling on two straight lines makes the interior angles on the same side less than two right angles, the two straight lines, if extended indefinitely, meet on that side on which the angles are less than two right angles. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan makna kurang lebih sebagai berikut. 1. Sepasang titik dapat dihubungkan dengan tepat satu segmen garis lurus. 2. Setiap segmen garis lurus dapat diperpanjang tanpa batas pada kedua arah. 3. Terdapat tepat satu lingkaran dari sebarang jari-jari yang diberikan dengan sebarang titik pusat yang diberikan. 4. Semua sudut siku-siku memiliki besar sudut yang sama. 5. Jika sebuah garis lurus memotong dua garis yang lain, maka akan terbentuk sudut dalam pada sisi-sisinya besarnya kurang dari dua sudut siku-siku, kedua garis lurus tersebut jika diteruskan sampai tak hingga akan bertemu pada sisi yang sudutnya kurang dari dua sudut siku-siku. Kelima postulat tersebut adalah fondasi dari berbagai teorema dalam geometri Euclides. Dari kelima postulat tersebut, postulat kelima adalah yang paling rumit dan tidak wajar. Postulat tersebut sebenarnya ekuivalen dengan postulat kesejajaran yaitu Diberikan sebuah garis dan sebuah titik di luar garis, ada tepat satu garis yang melalui titik tersebut dan sejajar dengan garis yang diberikan. Para matematikawan memandang bahwa postulat kelima Euclides bukanlah suatu postulat melainkan teorema yang dapat

21 4 dibuktikan. Selama dua ribu tahun banyak matematikawan mencoba untuk membuktikan postulat tersebut namun tidak dapatkan hasil yang memuaskan. Out of nothing I have created a strange new universe, merupakan potongan kalimat yang diambil dari salah satu surat János Bolyai ( ) untuk ayahnya ketika ia mencoba memecahkan pembuktian postulat kelima Euclides (Greenberg, M.J. 1980: 140). Alam semesta baru yang aneh yang dimaksudkan oleh János Bolyai merupakan cabang ilmu geometri baru yang sering disebut Geometri non-euclid atau Geometri Hiperbolik. Salah satu dasar utama geometri hiperbolik adalah negasi dari postulat kesejajaran beserta keempat postulat Euclides sebelumnya. Tokoh lain dari munculnya geometri hiperbolik adalah Carl Friedrich Gauss ( ), dan Nikolai Ivanovich Lobachevsky ( ). Dilihat dari kemunculannya, geometri hiperbolik merupakan kajian ilmu yang relatif baru dan terus berkembang hingga saat ini. Selain geometri hiperbolik, ada beberapa cabang geometri lainnya seperti geometri netral, geometri eliptik, hingga geometri fraktal yang dikembangkan dengan merubah maupun membentuk postulat-postulat baru dari geometri Euclides. Henri Poincaré ( ) adalah salah satu tokoh dalam perkembangan geometri hiperbolik yang berkontribusi menemukan model bidang hiperbolik yang disebut Model Poincaré (Greenberg, 1980: 187). Model Poincaré digunakan untuk merepresentasikan objek-objek geometri seperti titik, sudut, garis, dan bentuk-bentuk poligon. Selain model Poincaré, ada model lain dalam merepresentasikan objek-objek geometri yaitu model

22 5 setengah bidang atas, dan model Beltrami-Klein. Model-model tersebut memiliki sifat, definisi, dan teorema-teorema yang berbeda serta memiliki kekhasannya masing-masing. Wicaksono (2015) telah membedah secara teoritis mengenai geometri hiperbolik terutama pada bagian luas hiperbolik. Teori yang digunakan beracu pada postulat-postulat pada geometri Euclides dan postulat kesejajaran untuk geometri hiperbolik. Pada tugas akhir ini telah dijelaskan tentang bangun-bangun datar pada geometri hiperbolik seperti jumlah sudut dalam segitiga kurang dari π serta luas segitiga yang ternyata diperoleh dari selisih π dengan jumlah sudut dalam segitiga hiperbolik. Hal-hal yang belum dibahas pada tugas akhir ini adalah belum ditampilkannya bentuk-bentuk objek geometri hiperbolik di suatu bidang datar sehingga teori tersebut dapat didukung dengan lebih mendalam. Belum adanya bidang yang mempresentasikan bangun datar pada geometri hiperbolik juga berdampak pada sukarnya abstraksi atau penghitungan dalam aplikasi langsung, seperti menghitung luas sembarang segitiga hiperbolik, mengukur sudut di antara dua garis hiperbolik berpotongan, menghitung jarak dua titik berbeda, dan adakah transformasi dalam geometri hiperbolik. Kekurangan ini dapat dilengkapi dengan menambahkan suatu model bidang hiperbolik yang sesuai untuk model tersebut serta menyajikan proposisi-proposisi yang berlaku pada model tersebut untuk memahami konsep luas pada geometri hiperbolik lebih mendalam.

23 6 Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, peneliti meyakini bahwa geometri terus berkembang dan layak untuk dipelajari. Salah satunya adalah mengenai geometri hiperbolik yang merupakan dunia baru dalam geometri. Dengan berbagai bentuk model berbeda dalam merepresentasikan objek geometri pada geometri hiperbolik, akan menjadi menarik untuk mengetahui bentuk-bentuk poligon pada suatu model bidang hiperbolik. Area atau luas dari setiap bentuk poligon pada geometri hiperbolik juga merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Selain itu, juga dapat melengkapi konsep pada luas hiperbolik jika disajikan dalam bidang hiperbolik. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai luas pada geometri hiperbolik menggunakan model setengah bidang atas. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana objek-objek geometri hiperbolik direpresentasikan pada model setengah bidang atas H? 2. Bagaimana konsep-konsep dasar seperti panjang, jarak, dan sudut hiperbolik yang disajikan pada model setengah bidang atas H? 3. Bagaimana luas pada geometri hiperbolik dan luas hiperbolik untuk poligon hiperbolik yang disajikan pada model setengah bidang atas H? C. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada model setengah bidang atas H dan hanya membahas mengenai objek-objek bidang datar untuk geometri hiperbolik.

24 7 D. Batasan Istilah Berdasarkan latar belakang, untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami hasil penelitian ini, maka diperlukan batasan istilah sebagai berikut. 1. Aksioma adalah suatu pernyataan yang nilai kebenarannya mutlak sebagai suatu kejelasan ataupun asumsi. 2. Postulat adalah aksioma khusus pada bidang geometri. 3. Teorema adalah suatu pernyataan yang nilai kebenarannya masih perlu untuk dibuktikan. 4. Proposisi adalah suatu pernyataan yang diturunkan langsung dari suatu aksioma atau postulat dan nilai kebenarannya masih perlu untuk dibuktikan. 5. Geometri Euclides adalah ranah kajian matematika yang berkaitan dengan studi geometri berdasarkan definisi dan aksioma yang ditetapkan dalam buku Euclides The Element. 6. Geometri hiperbolik adalah ranah kajian matematika yang berkaitan dengan studi geometri berdasarkan definisi, postulat Euclides dan postulat kesejajaran hiperbolik. 7. Setengah bidang atas adalah bagian dari bidang kompleks yang memenuhi y = Im(z) > Tititk ideal adalah titik di tak hingga yang terdapat pada sumbu real dalam setengah bidang atas.

25 8 9. Panjang hiperbolik adalah ukuran panjang yang digunakan untuk mengukur panjang suatu kurva pada setengah bidang atas H. 10. Jarak hiperbolik adalah jarak antara dua titik pada setengah bidang atas H. 11. Sudut hiperbolik adalah ukuran sudut antara dua kurva pada setengah bidang atas H. 12. Luas hiperbolik adalah luas suatu daerah pada setengah bidang atas H. 13. Poligon hiperbolik adalah bangun segi banyak yang terdapat pada setengah bidang atas H. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan objek-objek geometri hiperbolik yang direpresentasikan pada model setengah bidang atas H. 2. Mendeskripsikan konsep-konsep dasar seperti panjang, jarak, dan sudut hiperbolik yang disajikan pada model setengah bidang atas H. 3. Menentukan luas pada geometri hiperbolik dan luas hiperbolik untuk poligon hiperbolik yang disajikan pada model setengah bidang atas H. F. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Pembaca Pembaca dapat menambah pengetahuan tentang model bidang hiperbolik dan luas poligon hiperbolik pada geometri hiperbolik.

26 9 2. Bagi Penulis Penulis dapat menambah pengetahuan tentang model bidang hiperbolik dan luas poligon hiperbolik pada geometri hiperbolik. 3. Bagi Universitas Universitas dapat menambah koleksi skripsi dalam bidang geometri. G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode studi pustaka, yaitu dengan membaca referensi-referensi mengenai geometri hiperbolik. Pembahasan dalam skripsi ini banyak mengacu pada buku Hyperbolic Geometry Second Edition, karangan James W. Anderson (2005) dan buku A Gateway to Modern Geometry: The Poincare Half-Plane, karangan Saul Stahl (1993). Langkah-Langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 1. Membaca berbagai referensi mengenai topik geometri hiperbolik dan model bidang hiperbolik. 2. Menyajikan kembali definisi, proposisi, postulat, dan teorema yang menjadi dasar dalam merepresentasikan geometri hiperbolik ke dalam model bidang hiperbolik, khususnya model setengah bidang atas H dengan bahasan luas hiperbolik. 3. Menyusun seluruh materi yang telah dikumpulkan secara runtut agar memudahkan pembaca dalam memahaminya.

27 10 H. Sistematika Penulisan Bab pertama berupa pendahuluan. Pendahuluan ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, pembatasan masalah, batasan istilah, tujuan, manfaat, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua berisi tentang dasar-dasar yang akan digunakan dalam membahas model bidang hiperbolik dan luas hiperbolik seperti: dasar-dasar geometri Euclides, bidang kompleks C, garis dan lingkaran dalam bidang kompleks C, elemen panjang dalam bidang kompleks C, sudut pada bidang kompleks C, transformasi konformal, Riemann sphere, inversi, transformasi Mo bius, dan cross ratio. Bab tiga membahas tentang model bidang hiperbolik, yaitu setengah bidang atas H. Selanjutnya dibahas mengenai hubungan geometri Euclides dan geometri hiperbolik berdasarkan objek-objek dasarnya (titik, garis, dan sudut). Pada bab ini juga dibahas mengenai postulat kesejajaran dalam geometri hiperbolik, jarak hiperbolik, dan transformasi Mo bius pada setengah bidang atas H. Bab empat membahas tentang kekonvekan, segitiga hiperbolik dan poligon hiperbolik, definisi luas hiperbolik, serta luas poligon hiperbolik. Materi yang dibahas mengenai definisi, teorema, dan sifat-sifat terkait kekonvekan, poligon hiperbolik, dan luas hiperbolik di setengah bidang atas H, serta dilengkapi contoh soal untuk memperjelas materi yang dibahas. Bab lima membahas tentang kesimpulan terkait pembahasan pada bab sebelumnya dan saran kepada pembaca tentang keberlanjutan penelitian.

28 BAB II LANDASAN TEORI A. Dasar-Dasar Geometri Euclides Pada skripsi ini akan mengacu pada beberapa teori yang terdapat pada geometri Euclides antara lain sebagai berikut. 1. Common Notions (Pengertian Umum) Euclides mengasumsikan Common Notions (Pengertian Umum) sebagai dasar atau syarat tak tertulis dari berbagai objek geometris seperti panjang, luas, volume, dan ukuran sudut (Stahl, 1993: 8). Euclides menuangkan Common Notions pada buku pertama The Elements sebagai berikut. a. Benda-benda (ukuran-ukuran) sama terhadap benda (ukuran) yang sama adalah sama antara yang satu terhadap yang lain. b. Jika benda-benda (ukuran-ukuran) sama, ditambah dengan bendabenda (ukuran-ukuran) sama, semuanya adalah sama. c. Jika benda-benda (ukuran-ukuran) sama, dikurangi benda-benda (ukuran-ukuran) sama, semua sisanya adalah sama. d. Benda-benda (ukuran-ukuran) yang serupa satu sama lain adalah sama antara yang satu terhadap yang lain. e. Keseluruhan lebih besar daripada bagian. 11

29 12 2. Kekongruenan segitiga Kekongruenan segitiga yang dikemukakan Euclides dalam buku pertama The Elements digunakan sebagai dasar acuan untuk menentukan kekongruenan segitiga hiperbolik. Syarat kekongruenan segitiga terbagi dalam beberapa Proposisi sebagai berikut. Proposisi 2.1 (Stahl, 1993: 13) Jika dua segitiga mempunyai dua sisi yang bersesuaian sama panjang, dan sudut yang diapit sisi tersebut sama besar, maka sisi bersesuaian yang tersisa sama panjang dan sudut-sudut lain yang lain bersesuaian sama besar sehingga dua segitiga tersebut sama. Proposisi 2.1 lebih dikenal sebagai syarat kekongruenan segitiga yang mengacu pada sisi-sudut-sisi (SS, SD, SS). Gambar 2.1 Ilustrasi Proposisi 2.1 Proposisi 2.2 (Stahl, 1993: 15) Jika dua segitiga mempunyai tiga sisi yang bersesuaian sama panjang, sehingga sudut-sudut yang bersesuaian sama besar, maka segitiga tersebut sama. Proposisi 2.2 lebih dikenal sebagai syarat kekongruenan segitiga yang mengacu pada sisi-sisi-sisi (SS, SS, SS).

30 13 Gambar 2.2 Ilustrasi Proposisi 2.2 Proposisi 2.3 (Stahl, 1993: 19) Jika dua segitiga mempunyai dua sudut yang bersesuaian sama besar, dan sebuah sisi yang diapit dua sudut tersebut sama panjang, maka panjang sisi-sisi yang bersesuaiannya sama panjang, maka segitiga tersebut sama. Proposisi 2.3 lebih dikenal sebagai syarat kekongruenan segitiga yang mengacu pada sudut-sisi-sudut (SD, SS, SD). Gambar 2.3 Ilustrasi Proposisi 2.3 Dasar teori yang diambil dari geometri Euclides akan digunakan untuk membuktikan proposisi-proposisi pada geometri hiperbolik dalam model bidang hiperbolik. Sebelum membahas model bidang untuk geometri

31 14 hiperbolik akan terlebih dahulu akan dibahas mengenai model bidang untuk geometri Euclides. B. Bidang Kompleks C Brown dan Churchill (1990) menyatakan bilangan kompleks z didefinisikan sebagai z = x + iy (2.1) atau dapat pula didefinisikan sebagai pasangan bilangan real yaitu z = (x, y) (2.2) dengan x dan y adalah bilangan real, dan i adalah bilangan imajiner murni ( 1). Pada persamaan (2.1) dan persamaan (2.2), x dan y berturut-turut disebut bagian real dan imajiner dari z, dan dapat dituliskan sebagai Re(z) = x, dan Im(z) = y. Sifat aljabar pada bilangan kompleks sama dengan sifat aljabar pada bilangan real. Selanjutnya akan ditunjukkan beberapa sifat aljabar pada bilangan kompleks sebagai berikut (Brown dan Churchill, 1990: 2): 1. Sifat komutatif Misalkan z 1 = x 1 + iy 1, z 2 = x 2 + iy 2 a. z 1 + z 2 = z 2 + z 1 b. z 1 z 2 = z 2 z 1 2. Sifat asosiatif Misalkan z 1 = x 1 + iy 1, z 2 = x 2 + iy 2, dan z 3 = x 3 + iy 3, diperoleh a. (z 1 + z 2 ) + z 3 = z 1 + (z 2 + z 3 )

32 15 b. (z 1 z 2 ) z 3 = z 1 (z 2 z 3 ) 3. Sifat distributif Misalkan z 1 = x 1 + iy 1, z 2 = x 2 + iy 2, dan z = x + iy, maka z(z 1 + z 2 ) = zz 1 + zz 2 4. Sifat identitas Misalkan z = x + iy, 0 R merupakan unsur identitas pada penjumlahan, dan 1 R adalah unsur identitas pada perkalian maka a. z + 0 = z b. z. 1 = z Pada bilangan kompleks terdapat beberapa konsep yang tidak terdapat pada bilangan real yaitu modulus dan konjugat kompleks (Brown, 1990: 7). Definisi modulus atau disebut sebagai nilai mutlak pada bilangan kompleks z = x + iy adalah bilangan real tak negatif x 2 + y 2 dengan notasi z sehingga z = x 2 + y 2 ; (2.3) Sedangkan konjugat kompleks atau disebut konjugat dari bilangan kompleks z = x + iy adalah bilangan kompleks x iy dengan notasi z sehingga z = x iy. (2.4) Berdasarkan persamaan (2.3) dan persamaan (2.4) diperoleh bahwa z = z dan z = z untuk setiap z. Jika z 1 = x 1 + iy 1 dan z 2 = x 2 + iy 2 maka z = (x 1 + iy 1 ) + (x 2 + iy 2 ) = (x1 + x 2 ) + i(y 1 + y 2 ) = (x 1 + x 2 ) i(y 1 + y 2 )

33 16 = (x 1 iy 1 ) + (x 2 iy 2 ) = z 1 + z 2 sehingga konjugat dari penjumlahan sama dengan jumlahan konjugat. Dengan cara serupa dapat ditunjukkan bahwa untuk z 1 = x 1 + iy 1 dan z 2 = x 2 + iy 2 maka a. z 1 2 = (x 1 + iy 1 ) + (x 2 + iy 2 ) = (x1 x 2 ) + i(y 1 y 2 ) = (x 1 x 2 ) i(y 1 y 2 ) = (x 1 iy 1 ) (x 2 iy 2 ) = z 1 z 2 b. z 1 2 = (x 1 x 2 y 1 y 2 ) + i(x 1 y 2 + x 2 y 1 ) = (x 1 x 2 y 1 y 2 ) + i(x 1 y 2 + x 2 y 1 ) = (x 1 iy 1 )(x 2 iy 2 ) = z 1 z 2 c. Untuk z 2 0 maka dapat diperoleh ( z 1 x 1 + iy 1 (x 1 + iy 1 )(x 2 iy 2 ) ) = ( ) = ( z 2 x 2 + iy 2 (x 2 + iy 2 )(x 2 iy 2 ) ) = ( (x 1x 2 + y 1 y 2 + i( x 1 y 2 + x 2 y 1 )) x 2 2 ) 2 + y 2 = ( (x 1x 2 + y 1 y 2 i( x 1 y 2 + x 2 y 1 )) x y 2 2 ) = (x 1 iy 1 )(x 2 + iy 2 ) (x 2 + iy 2 )(x 2 iy 2 ) = z 1. Salah satu relasi penting antara konjugat bilangan kompleks z = x + iy dengan modulusnya adalah z 2

34 17 zz = (x + iy)(x iy) = x 2 i 2 y 2 = x 2 + y 2 = z 2. Selain itu juga terdapat sifat yang menarik dari dua bilangan kompleks dan konjugatnya. Misalkan z 1 = x 1 + iy 1 dan z 2 = x 2 + iy 2 diperoleh z 1 z 2 + z 1z 2 = (x 1 + iy 1 )(x 2 + iy 2 ) + (x 1 iy 1 )(x 2 iy 2 ) = x 1 x 2 + ix 1 y 2 + iy 1 x 2 y 1 y 2 + x 1 x 2 ix 1 y 2 iy 1 x 2 + y 1 y 2 = 2x 1 x 2 = 2Re(z 1 z 2 ). Jadi diperoleh z 1 z 2 + z 1z 2 = 2Re(z 1 z 2 ) (2.5) Setiap bilangan kompleks berkorespondensi dengan satu titik pada bidang datar, seperti bilangan 2 + i dapat direpresentasikan sebagai titik dengan koordinat ( 2,1). Bilangan z juga dapat dianggap sebagai vektor dari titik asal (0,0) ke titik (x, y) (Gambar 2.4). Gambar 2.4 Representasi Bilangan Kompleks ke Titik pada Bidang Kompleks

35 18 Bidang yang digunakan digunakan untuk merepresentasikan bilangan kompleks tersebut disebut bidang xy, bidang z atau bidang kompleks. Himpunan semesta bilangan kompleks atau bidang kompleks dinotasikan dengan C. Sumbu x disebut sumbu real dan sumbu y disebut sumbu imajiner (Brown dan Churchill, 1990: 6-7). Gambar 2.5 Bilangan Kompleks z dalam Koordinat Polar Letak titik (x, y) dapat disajikan dalam koordinat polar (r, θ), sehingga untuk bilangan kompleks z dapat disajikan dalam bentuk polar. Misalkan r dan θ adalah koordinat polar yang dari titik (x, y) yang berkorespondensi dengan bilangan kompleks z = x + iy (Gambar 2.5), diperoleh x = r cos θ dan y = r sin θ Sehingga z direpresentasikan dalam bentuk polar sebagai z = r (cos θ + i sin θ), (2.6) dengan r tak negatif. Nilai θ disebut sebagai argumen dari z, dan ditulis sebagai θ = arg z (Brown dan Churchill, 1990: 12). Selain dalam bentuk polar, bilangan kompleks z dapat dibentuk dalam bentuk eksponensial menggunakan formula Euler sebagai

36 19 e iθ = cos θ + i sin θ. Berdasarkan persamaan (2.6) maka z dapat direpresentasikan dalam bentuk eksponensial sebagai z = re iθ. (2.7) Setelah membahas bilangan kompleks dan bidang kompleks C, akan dilanjutkan dengan membahas persamaan garis dan lingkaran Euclides pada bidang datar disajikan dalam bidang kompleks C. C. Garis dan lingkaran Euclides dalam bidang kompleks C Purcell dan Varberg (1987) menyatakan bahwa persamaan garis Euclides dalam koordinat kartesius dapat dibentuk sebagai ax + by + c = 0. (2.8) Pada persamaan (2.8), x dan y dapat dinyatakan dalam z dan z. Diberikan z = x + iy dan z = x iy diperoleh x = Re(z) = 1 (z + z ) (2.9) 2 y = Im(z) = i (z z ) (2.10) 2 Subsitusikan persamaan (2.9) dan (2.10) ke persamaan (2.8) diperoleh a ( 1 2 (z + z )) + b ( i (z z )) + c = 0 2 Misalkan β = 1 (a ib) maka (a ib)z + 1 (a + ib)z + c = 0 2 βz + β z + c = 0

37 20 Sehingga persamaan garis Euclides dalam bidang kompleks adalah dengan β C dan c R (Anderson, 2005: 217). βz + β z + c = 0 (2.11) Purcell dan Varberg (1987) menyatakan bahwa persamaan lingkaran Euclides dalam koordinat kartesius dengan jari-jari r dan pusat di (h, k) dapat dibentuk sebagai (x h) 2 + (y k) 2 = r 2. (2.12) Pada persamaan (2.12), x dan y dapat dinyatakan dalam z dan z, serta (h, k) diwakili oleh suatu bilangan kompleks tertentu. Diberikan z 0 = h + ik adalah titik pusat lingkaran maka dapat dibentuk sehingga diperoleh z z 0 = (x + iy) (h + ik) = (x h) + i(y k), dengan fakta bahwa z 2 = zz maka (x h) 2 + (y k) 2 = z z 0 2 = r 2, z z 0 2 = (z z 0 )(z z 0 ) = zz z 0 z z 0 z + z 0 2 = r 2. (2.13) Misalkan α R, β = αz 0 dan γ = α( z 2 r 2 ) persamaan (2.13) dapat dibentuk menjadi dengan β C dan γ R (Anderson, 2005: 217). αzz + βz + β z + γ = 0 (2.14) D. Elemen Panjang dalam bidang kompleks C Pada bagian ini akan dibahas mengenai elemen panjang pada bidang kompleks C, namun sebelumnya akan diberikan definisi mengenai busur pada

38 21 bidang kompleks C. Himpunan titik z = (x, y) pada bidang kompleks C disebut sebagai busur jika x = x(t), dan y = y(t) dengan t pada interval [a, b], serta x(t) dan y(t) adalah fungsi kontinu pada parameter real t, sehingga sebuah busur C 1 pada bidang kompleks C dapat disajikan dengan persamaan sebagai z(t) = x(t) + iy(t) (2.15) (Brown, 1990: 89). Jika x (t) dan y (t) untuk persamaan (2.15) ada dan kontinu maka turunan dari persamaan (2.15) adalah sebagai berikut: z (t) = x (t) + iy (t). (2.16) Sebuah busur yang memenuhi syarat dari persamaan (2.15) dan persamaan (2.16) disebut busur deferensiabel (Brown, 1990: 90). Setelah membahas mengenai busur deferensiabel pada bidang kompleks C, akan dilanjutkan untuk elemen panjang busur pada bidang kompleks C. Misalkan f adalah busur deferensiabel pada bidang kompleks C dalam interval [a, b], berdasarkan persamaan (2.15) dan persamaan (2.16) diperoleh f(t) = x(t) + iy(t), dan f (t) = x (t) + iy (t). Modulus untuk f (t) adalah f (t) = (x (t)) 2 + (y (t)) 2, sehingga panjang Euclides f adalah b length(f) = (x (t)) 2 + (y (t)) 2 dt a atau biasanya dinotasikan sebagai b length(f) = f (t) dt = dz a f b = f (t) dt a

39 22 dengan dz = f (t) dt adalah elemen panjang-busur pada C (Anderson, 2005: 74). E. Sudut pada Bidang Kompleks C Sudut antar kurva C 1 dan C 2 pada bidang kompleks C yang berpotongan di z 0 diperoleh dari sudut antara garis singgung kurva C 1 dan C 2 di z 0. Definisi untuk sudut antar kurva di bidang kompleks C didefinisikan sebagai berikut. Definisi 2.4 (Anderson, 2005: 53) Diberikan dua kurva smooth C 1 dan C 2 di C yang berpotongan di z 0, didefinisikan (C 1, C 2 ) sudut antara C 1 dan C 2 di z 0 adalah sudut antara garis singgung C 1 dan C 2 di z 0, besar sudut diukur dari C 1 ke C 2 (Gambar 2.6). Gambar 2.6 Ilustrasi Definisi 2.4 Pengukuran sudut yaitu dengan berlawanan arah jarum jam untuk sudut positif dan searah jarum jam untuk sudut negatif. Berdasarkan definisi diperoleh bahwa (C 1, C 2 ) = (C 1, C 2 ).

40 23 Berdasarkan definisi 2.4 maka dapat dicari besar sudut antar dua kurva menggunakan garis singgung pada titik perpotongan. Besar sudut antara dua garis singgung dapat dicari menggunakan selisih antara arctan dari tiap kemiringan garisnya. Misalkan X 1 dan X 2 adalah dua garis Euclides di C yang berpotongan di sebuah titik z 0, misalkan z k adalah titik di X k dan bukan z 0, dan misalkan kemiringan garis (gradien) X k adalah s k. Gradien garis X k dapat diperoleh dari s k = Im(z k z 0 ) Re(z k z 0 ) Misalkan θ k adalah sudut yang terbentuk antara garis X k dan sumbu real, maka diperoleh s k = tan(θ k ) Secara khusus besar sudut yang terbentuk antara X 1 dan X 2 adalah angle(x 1, X 2 ) = arctan(s 2 ) arctan(s 1 ) = θ 2 θ 1 Berikut akan diberikan proposisi mengenai sudut antar busur lingkaran berpusat di sumbu real pada bidang kompleks C : Proposisi 2.5 (Stahl, 1993: 95) Diberikan sembarang titik z, misalkan X adalah sinar garis Euclides dan misalkan X 1, X 2, X 3 adalah lingkaran Euclides yang berpusat di c 1, c 2, c 3 (Gambar 2.7), maka (X 1, X 2 ) = (T c1 z, T c2 z) (tipe I), (X 3, X 1 ) = π (T c1 z, T c3 z) (tipe II),

41 24 dan (X, X 1 ) = dc 1 z (tipe III). Gambar 2.7 Ilustrasi untuk Proposisi 2.5 Bukti: Misalkan X adalah sinar garis Euclides tegak lurus sumbu real dan melalui d. Misalkan X 1, X 2, X 3 adalah lingkaran Euclides berpusat di c 1, c 2, c 3 dan c 1, c 2, c 3 berada pada sumbu real. Misalkan z adalah titik potong X, X 1, X 2, dan X 3. Misalkan T 1 dan T 2 adalah garis singgung Euclides dari X 1 dan X 2 terhadap z. Terdapat fakta bahwa garis singgung lingkaran tegak lurus terhadap jari-jari lingkaran pada titik singgung lingkaran, sehingga (X 1, X 2 ) = (T 1, T 2 ) = (T 1, T c1 z) (T 2, T c2 z) = π 2 (T 2, T c1 z) dengan cara yang sama = (T 2, T c2 z) (T 2, T c1 z) = (T c1 z, T c2 z)

42 25 (X, X 1 ) = (X, T 1 ) = π (T 1, T c1 z) (T c1 z, X) = π 2 (T c 1 z, X) = dc 1 z dan (X 3, X 1 ) = (X 3, X) + (X, X 1 ) = zc 3 d + dc 1 z = π (T 2, T c1 z). Terbukti untuk Proposisi 2.5. QED. Berikut akan diberikan cara untuk menghitung besar sudut menurut Proposisi 2.5 : a. Tipe I Misalkan dua lingkaran C 1 dan C 2 memiliki pusat di c 1 dan c 2 dengan jarijari r 1 dan r 2 berpotongan di z 0 (Gambar 2.8). Misalkan (C 1, C 2 ) = θ adalah sudut antara dua lingkaran C 1 dan C 2. Berdasarkan Proposisi 2.5 maka (C 1, C 2 ) = (r 2, r 1 ) sehingga (r 2, r 1 ) = θ. Menggunakan aturan kosinus sudut θ dapat ditentukan yaitu c 1 c 2 2 = r r 2 2 2r 1 r 2 cos θ cos θ = r r 2 2 c 1 c 2 2 2r 1 r 2

43 26 sehingga sudut θ dapat ditentukan dari arccos θ. b. Tipe II Gambar 2.8 Ilustrasi sudut tipe I Misalkan dua lingkaran C 1 dan C 2 memiliki pusat di c 1 dan c 2 dengan jarijari r 1 dan r 2 berpotongan di z 0 (Gambar 2.9). Misalkan (C 1, C 2 ) = θ adalah sudut antara dua lingkaran C 1 dan C 2. Berdasarkan Proposisi 2.5 maka (C 1, C 2 ) = π (r 2, r 1 ) sehingga (r 2, r 1 ) = π θ. Menggunakan aturan kosinus sudut (π θ) dapat ditentukan yaitu c 1 c 2 2 = r r 2 2 2r 1 r 2 cos(π θ) cos(π θ) = cos θ = r r 2 2 c 1 c 2 2 2r 1 r 2 cos θ = r r 2 2 c 1 c 2 2 2r 1 r 2

44 27 sehingga sudut θ dapat ditentukan dari arccos θ. c. Tipe III Gambar 2.9 Ilustrasi Tipe II Misalkan garis X 1 adalah garis yang melalui di c 1 dan tegak lurus X. Misalkan lingkaran C 1 memiliki pusat di c 1 dengan jari-jari r 1, dan garis X 1 tegak lurus garis X berpotongan di d 1. Lingkaran C 1 berpotongan dengan garis X di z 0 (Gambar 2.10). Misalkan (C 1, X) adalah sudut antara lingkaran C 1 dan garis X dengan besar sudut θ. Berdasarkan Proposisi 2.5 maka (C 1, X) = z 0 c 1 d 1 sehingga z 0 c 1 d 1 memiliki besar sudut θ. Karena titik c 1, d 1, dan z 0 membentuk segitiga siku-siku di d 1, sehingga sudut θ dapat diperoleh dari cos θ = r 1 d 1 c 1

45 28 sehingga sudut θ dapat ditentukan dari arccos θ. Gambar 2.10 Ilustrasi Tipe III F. Transformasi Konformal pada Bidang Kompleks C Terdapat beberapa transformasi dalam bidang kompleks C yang memiliki sifat konformal yaitu transformasi yang mempertahankan sudut. Transformasi affine adalah salah satu transformasi konformal. Transformasi ini adalah komposisi dari beberapa transformasi sederhana seperti dilatasi, rotasi, dan translasi dalam bidang kompleks C (Olsen, 2010: 2). Dilatasi, rotasi, dan translasi sederhana dalam bidang kompleks C didefinisikan sebagai berikut. i. Dilatasi : f(z) = cz, dengan c R ii. Translasi : f(z) = z + β, dengan β C iii. Rotasi : f(z) = αz, dengan α = e iθ. Olsen (2010) menyatakan transformasi affine didefinisikan sebagai berikut.

46 29 Definisi 2.6 (Olsen, 2010: 2) Transformasi affine adalah kombinasi dari (i), (ii), dan (iii) dengan pemetaan T(z) = αz + β dengan α, β C dan α 0. Sifat-sifat dalam transformasi affine seperti mempertahankan garis dan lingkaran Euclides, serta sudut, ditunjukkan oleh beberapa teorema berikut. Teorema 2.7 (Olsen, 2010: 3) Transformasi affine mempertahankan lingkaran dan garis Euclides. Bukti: Misalkan diberikan suatu transformasi affine T(z) = Az + B dan persamaan garis Euclides βz + β z + c = 0 dengan A, B, β C dan c R. Menggunakan cara substitusi diperoleh β(az + B) + β (Az + B) + c = 0 βaz + βb + βa z + β B + c = 0 βaz + βa z + (βb + β B ) + c = 0 (2.17) Kita tahu bahwa βb + β B = 2Re(βB) sehingga persamaan (2.17) merupakan persamaan garis. Dengan transformasi yang sama dan misalkan diberikan persamaan lingkaran Euclides αzz + βz + β z + γ = 0 dengan α, γ R. Menggunakan cara yang sama diperoleh α(az + B)(Az + B) + β(az + B) + β (Az + B) + γ = 0 αaa zz + (AB + βa)z + (A B + βa )z + βb + β B + γ = 0 misalkan D = AB + βa maka diperoleh αaa zz + Dz + D z + βb + β B + γ = 0 (2.18)

47 30 Persamaan (2.18) merupakan persamaan lingkaran. Jadi Teorema 2.7 terbukti. QED. Teorema 2.8 (Olsen, 2010: 4) Transformasi affine adalah konformal. Bukti: Misalkan X 1 dan X 2 adalah dua garis Euclides di C yang berpotongan di sebuah titik z 0. Misalkan T(z) = αz + b dengan α, b C, α 0, dan α = ρe iβ. Misalkan (X 1, X 2 ) = θ 2 θ 1 dengan θ 1 dan θ 2 adalah sudut kemiringan garis X 1 dan X 2. Berdasarkan Teorema 2.6 maka T(X 1 ) dan T(X 2 ) adalah garis Euclides juga. Karena T(X k ) melalui T(z 0 ) dan T(z k ) sehingga kemiringan t k dari garis T(X k ) adalah secara khusus diperoleh bahwa t k = Im(T(z k) T(z 0 )) Re(T(z k ) T(z 0 )) = Im(α(z k z 0 )) Re(α (z k z 0 )) = Im (eiβ (z k z 0 )) Re (e iβ (z k z 0 )) = tan(β + θ k), (T(X 1 ), T(X 2 )) = arctan(t 2 ) arctan(t 1 ) = (β + θ 2 ) (β + θ 1 ) = θ 2 θ 1 = (X 1, X 2 ). Teorema 2.8 terbukti. QED.

48 31 G. Riemann Sphere C Bidang lengkung atau permukaan lengkung sukar bila disajikan ke dalam bidang datar, misalkan permukaan bola atau permukaan hiperbolik. Salah satu cara untuk memproyeksikan permukaan bola adalah dengan menggunakan proyeksi stereografi. Proyeksi tersebut memungkinkan untuk memetakan permukaan bola ke dalam suatu bidang datar (Olsen, 2010: 7). Misalkan diberikan bola satuan S 2 di R 3 dengan S 2 = {(u, v, w) R 3 u 2 + v 2 + w 2 = 1} berpusat di O(0,0,0), N adalah kutub utara dengan koordinat di (0,0,1), dan bidang kompleks C adalah bidang yang terbentuk saat w = 0. Untuk setiap titik P S 2, terdapat tepat satu segmen garis yang menghubungkan N ke P. Garis tersebut menembus bidang kompleks C tepat di satu titik z (Gambar 2.11). Titik P yang merupakan titik tembus segmen garis terhadap bola satuan disebut proyeksi stereografi dari titik z. Oleh karena itu, proyeksi stereografi dari titik di tak hingga { } bersesuaian dengan kutub utara N dari bola. Dengan demikian bidang kompleks C ditambahkan dengan titik ditak hingga { } sebenarnya merupakan bola dan disebut sebagai Reimaan sphere (Krantz, 1999: 83). Reimaan sphere atau disebut juga sebagai bidang kompleks yang diperluas, didefinisikan sebagai himpunan C = C { },

49 32 dengan kata lain adalah bidang kompleks yang ditambahkan sebuah titik yang tak terdapat di C yang dinotasikan dengan. (Anderson, 2005: 9). Gambar 2.11 Proyeksi Stereografi Lingkaran pada S 2 yang melalui N diproyeksikan menjadi garis Euclides pada bidang kompleks C dan sebuah titik di tak hingga, sedangkan untuk lingkaran yang tidak melalui N diproyeksikan menjadi lingkaran Euclides pada bidang C. Pada Riemann sphere lingkaran didefinisikan sebagai berikut. Definisi 2.9 (Anderson, 2005: 12) Lingkaran pada C adalah lingkaran Euclides di C atau gabungan garis Euclides di C dengan { }. Setelah didefinisikannya Riemann sphere C dan lingkaran di dalamnya, akan diberikan suatu transformasi yang terdapat pada Riemann sphere C. H. Inversi Inversi adalah salah satu transformasi dalam bidang kompleks C dan merupakan transformasi pula dalam bidang kompleks C yang didefinisikan sebagai berikut.

50 33 Definisi 2.10 (Anderson, 2005: 26) Inversi didefinisikan sebagai fungsi J C C dengan syarat untuk z C {0}. J(z) = 1, J(0) =, J( ) = 0 z Beberapa sifat tentang inversi disajikan dalam teorema berikut: Teorema 2.11 (Olsen, 2010:9) Inversi mempertahankan lingkaran di C. Bukti: Berdasarkan definisi 2.9, lingkaran di C dapat disajikan sebagai atau dengan α, c, γ R dan β C. L = {βz + β z + c = 0} { } A = {αzz + βz + β z + γ = 0} Misalkan suatu inversi J C C dengan J(z) = 1, J(0) =, J( ) = 0 z a. Kasus pertama untuk garis Eulides di C dengan { } serta melewati z = 0, diperoleh Inversi J(L ) menjadi L = {βz + β z = 0} { }. β 1 z + β 1 = 0 z βz + β z = 0 serta J(0) =, J( ) = 0 sehingga

51 34 J(L ) = {βz + β z = 0} {0} { } Akibatnya J(L ) adalah garis Euclides di C dengan { }, sehingga J(L ) lingkaran di C. b. Kasus kedua untuk garis Eulides di C dengan { } serta melewati z 0, diperoleh Inversi J(L ) menjadi L = {βz + β z + c = 0} { }. β 1 z + β 1 + c = 0 z βz + β z + czz = 0 Persamaan tersebut akan menjadi persamaan lingkaran Eucllides di C jika digabung dengan {0}. Karena J( ) = 0 sehingga J(L ) = {βz + β z + czz = 0} {0} Akibatnya J(L ) adalah lingkaran Euclides di C sehingga J(L ) lingkaran di C. c. Kasus ketiga untuk lingkaran Euclides di C serta melewati z = 0, diperoleh Inversi J(A) menjadi A = {αzz + βz + β z = 0}. α 1 z 1 z + β 1 z + β 1 z = 0 α + βz + +β z = 0 Karena α R serta J(0) = sehingga J(A) = {βz + β z + α = 0} { }.

52 35 Akibatnya J(A) adalah garis Euclides di C dengan { }, sehingga J(A) lingkaran di C. d. Kasus empat untuk lingkaran Euclides di C dengan z 0, diperoleh Inversi J(A) menjadi α 1 z Karena α, γ R sehingga A = {αzz + βz + β z = 0} 1 z + β 1 z + β 1 + γ = 0 z α + βz + +β z + γzz = 0 J(A) = {γzz + βz + β z + α = 0}. Akibatnya J(A) adalah lingkaran Euclides di C, sehingga J(A) lingkaran di C. Berdasarkan kasus pertama sampai empat maka Teorema 2.11 terbukti. QED. Inversi merupakan transformasi konformal atau mempertahankan besar sudut. Hal tersebut termuat dalam teorema berikut: Teorema 2.12 (Olsen, 2010: 4) Inversi adalah konformal. Bukti: Berdasarkan definisi 2.9, lingkaran di C dapat disajikan sebagai atau dengan α, c, γ R dan β C. L = {βz + β z + c = 0} { } A = {αzz + βz + β z + γ = 0}

53 36 Misalkan suatu inversi J C C dengan J(z) = 1, J(0) =, J( ) = 0 z Akan ditunjukkan bahwa lingkaran yang berpotongan dalam C akan tetap berpotongan bila diinversikan. a. Dua garis Euclides di C berpotongan di z 0 = 0. Berdasarkan pembuktian Teorema 2.7, J memetakan garis Euclides yang melalui titik z 0 menjadi garis Euclides yang melalui titik z 0 juga, sehingga kedua garis tetap berpotongan. b. Dua garis Euclides di C berpotongan di z 0 = a, a 0. Berdasarkan pembuktian Teorema 2.7, J memetakan garis Euclides yang melalui titik z 0 menjadi lingkaran Euclides yang melalui titik J(z 0 ) = 1 a, sehingga kedua garis tetap berpotongan. c. Garis Euclides dan lingkaran Euclides di C berpotongan di z 0 = 0 dan z 1 = a, a 0. Berdasarkan pembuktian Teorema 2.7, J memetakan garis Euclides yang melalui titik z 0 menjadi garis Euclides yang melalui titik z 0 juga, dan memetakan lingkaran Euclides yang melalui titik z 0 menjadi garis Euclides. kedua garis tersebut berpotongan di J(z 1 ) = 1 a sehingga kedua garis tetap berpotongan. d. Garis Euclides dan lingkaran Euclides di C berpotongan di z 0 = a dan z 1 = b, a, b 0, a b. Menggunakan alasan yang sama kedua garis tetap berpotongan di J(z 0 ) = 1 a

BAB I PENDAHULUAN. Geometri berasal dari kata Latin Geometria. Kata geo memiliki arti

BAB I PENDAHULUAN. Geometri berasal dari kata Latin Geometria. Kata geo memiliki arti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geometri berasal dari kata Latin Geometria. Kata geo memiliki arti tanah dan metria memiliki arti pengukuran. Berdasarkan sejarah, Geometri tumbuh jauh sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya adalah bidang geometri. Geometri berasal dari bahasa Yunani yaitu

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya adalah bidang geometri. Geometri berasal dari bahasa Yunani yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu matematika terus berlangsung dari masa ke masa, salah satunya adalah bidang geometri. Geometri berasal dari bahasa Yunani yaitu "Geometrein", kata

Lebih terperinci

MATEMATIKA TEKNIK II BILANGAN KOMPLEKS

MATEMATIKA TEKNIK II BILANGAN KOMPLEKS MATEMATIKA TEKNIK II BILANGAN KOMPLEKS 2 PENDAHULUAN SISTEM BILANGAN KOMPLEKS REAL IMAJINER RASIONAL IRASIONAL BULAT PECAHAN BULAT NEGATIF CACAH ASLI 0 3 ILUSTRASI Carilah akar-akar persamaan x 2 + 4x

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT KETEGAKLURUSAN, KESEJAJARAN, DAN SEGITIGA ASIMPTOTIK PADA GEOMETRI HIPERBOLIK

SIFAT-SIFAT KETEGAKLURUSAN, KESEJAJARAN, DAN SEGITIGA ASIMPTOTIK PADA GEOMETRI HIPERBOLIK 40 Jurnal Matematika Vol 6 No 1 Tahun 2017 SIFAT-SIFAT KETEGAKLURUSAN, KESEJAJARAN, DAN SEGITIGA ASIMPTOTIK PADA GEOMETRI HIPERBOLIK CARACTERISTICS OF PERPENDICULARITY, PARALLELISM, AND ASYMPTOTIC TRIANGLES

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada Bab II ini akan diuraikan berbagai konsep dasar yang digunakan pada bagian pembahasan. Pada bab II ini akan dibahas pengenalan Geometri Non- Euclid, Geometri Insidensi, Geometri

Lebih terperinci

Jurnal Silogisme: Kajian Ilmu Matematika dan Pembelajarannya Desember 2016, Vol. 1, No.2. ISSN:

Jurnal Silogisme: Kajian Ilmu Matematika dan Pembelajarannya Desember 2016, Vol. 1, No.2. ISSN: RUANG DASAR DAN MODEL ROYEKSI STEREOGRAFIK ADA GEOMETRI HIERBOLIK Fuad Arianto 1, Julan Hernadi 2 Universitas Muhammadiyah onorogo fuad8arianto@gmail.com Abstrak Geometri Non-Euclid adalah salah satu pengklasifikasian

Lebih terperinci

Bab 1 Sistem Bilangan Kompleks

Bab 1 Sistem Bilangan Kompleks Bab 1 Sistem Bilangan Kompleks Bab 1 ini direncanakan akan disampaikan dalam 3 kali pertemuan, dengan perincian sebagai berikut: (1) Pertemuan I: Pengertian bilangan kompleks, Sifat-sifat aljabat, dan

Lebih terperinci

BUKU DIKTAT ANALISA VARIABEL KOMPLEKS. OLEH : DWI IVAYANA SARI, M.Pd

BUKU DIKTAT ANALISA VARIABEL KOMPLEKS. OLEH : DWI IVAYANA SARI, M.Pd BUKU DIKTAT ANALISA VARIABEL KOMPLEKS OLEH : DWI IVAYANA SARI, M.Pd i DAFTAR ISI BAB I. BILANGAN KOMPLEKS... 1 I. Bilangan Kompleks dan Operasinya... 1 II. Operasi Hitung Pada Bilangan Kompleks... 1 III.

Lebih terperinci

Geometri di Bidang Euclid

Geometri di Bidang Euclid Modul 1 Geometri di Bidang Euclid Dr. Wono Setya Budhi G PENDAHULUAN eometri merupakan ilmu pengetahuan yang sudah lama, mulai dari ribuan tahun yang lalu. Berpikir secara geometris dari satu bentuk ke

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Pada bab pembahasan ini akan dibahas mengenai Geometri Hiperbolik yang

BAB III PEMBAHASAN. Pada bab pembahasan ini akan dibahas mengenai Geometri Hiperbolik yang BAB III PEMBAHASAN Pada bab pembahasan ini akan dibahas mengenai Geometri Hiperbolik yang didasarkan kepada enam postulat pada Geometri Netral dan Postulat Kesejajaran Hiperbolik. Akan dibahas sifat-sifat

Lebih terperinci

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika Oleh : Singgih Satriyo Wicaksono NIM : 111414064

Lebih terperinci

REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN PADA BIDANG POINCARÉ

REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN PADA BIDANG POINCARÉ REFLEKSI DAN AKSIOMA CERMIN PADA BIDANG POINCARÉ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika Oleh : Chintia Rudiyanto NIM :

Lebih terperinci

0. Pendahuluan. 0.1 Notasi dan istilah, bilangan kompleks

0. Pendahuluan. 0.1 Notasi dan istilah, bilangan kompleks 0. Pendahuluan Analisis Fourier mempelajari berbagai teknik menganalisis sebuah fungsi dengan menguraikannya sebagai deret atau integral fungsi tertentu (yang sifat-sifatnya telah kita kenal dengan baik,

Lebih terperinci

JENIS-JENIS SEGILIMA-BOLA DAN SIFAT-SIFATNYA

JENIS-JENIS SEGILIMA-BOLA DAN SIFAT-SIFATNYA JENIS-JENIS SEGILIMA-BOLA DAN SIFAT-SIFATNYA TYPES OF PENTAGON-SPHERE AND ITS CHARACTERISTICS Jenis-jenis segilima... (Eduard Situmorang dan Himmawati P.L, M.Si ) 1 Oleh: Eduard Situmorang 1) dan Himmawati

Lebih terperinci

1 Mengapa Perlu Belajar Geometri Daftar Pustaka... 1

1 Mengapa Perlu Belajar Geometri Daftar Pustaka... 1 Daftar Isi 1 Mengapa Perlu Belajar Geometri 1 1.1 Daftar Pustaka.................................... 1 2 Ruang Euclid 3 2.1 Geometri Euclid.................................... 8 2.2 Pencerminan dan Transformasi

Lebih terperinci

Sistem Bilangan Kompleks (Bagian Kedua)

Sistem Bilangan Kompleks (Bagian Kedua) Sistem Bilangan Kompleks (Bagian Kedua) Supama Jurusan Matematika, FMIPA UGM Yogyakarta 55281, INDONESIA Email:maspomo@yahoo.com, supama@ugm.ac.id (Pertemuan Minggu II) Outline 1 Penyajian Secara Geometris

Lebih terperinci

Bab 1 : Skalar dan Vektor

Bab 1 : Skalar dan Vektor Bab 1 : Skalar dan Vektor 1.1 Skalar dan Vektor Istilah skalar mengacu pada kuantitas yang nilainya dapat diwakili oleh bilangan real tunggal (positif atau negatif). x, y dan z kita gunakan dalam aljabar

Lebih terperinci

GEOMETRI EUCLID DAN GEOMETRI HIPERBOLIK

GEOMETRI EUCLID DAN GEOMETRI HIPERBOLIK GEOMETRI EUCLID DAN GEOMETRI HIPERBOLIK (Jurnal 3) Memen Permata Azmi Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia Kuliah geometri pada rabu pagi tanggal 25 september 2013 disampaikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebelum pembahasan mengenai irisan bidang datar dengan tabung lingkaran tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut. A. Matriks Matriks adalah himpunan skalar (bilangan

Lebih terperinci

MODUL ANALISIS VARIABEL KOMPLEKS

MODUL ANALISIS VARIABEL KOMPLEKS 1 MODUL ANALISIS VARIABEL KOMPLEKS Oleh: DIDIK HERMANTO, M. Pd. STKIP PGRI BANGKALAN PRODI S1PENDIDIKAN MATEMATIKA 2014 2 BAB I BILANGAN KOMPLEKS A. PENGERTIAN BILANGAN KOMPLEKS Bilangan kompleks merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS VEKTOR. Aljabar Vektor. Operasi vektor

ANALISIS VEKTOR. Aljabar Vektor. Operasi vektor ANALISIS VEKTOR Aljabar Vektor Operasi vektor Besaran yang memiliki nilai dan arah disebut dengan vektor. Contohnya adalah perpindahan, kecepatan, percepatan, gaya, dan momentum. Sementara itu, besaran

Lebih terperinci

VEKTOR. Makalah ini ditujukkan untuk Memenuhi Tugas. Disusun Oleh : PRODI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

VEKTOR. Makalah ini ditujukkan untuk Memenuhi Tugas. Disusun Oleh : PRODI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN VEKTOR Makalah ini ditujukkan untuk Memenuhi Tugas Disusun Oleh : 1. Chrisnaldo noel (12110024) 2. Maria Luciana (12110014) 3. Rahmat Fatoni (121100) PRODI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I

Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I Catatan Kuliah MA1123 Kalkulus Elementer I Oleh Hendra Gunawan, Ph.D. Departemen Matematika ITB Sasaran Belajar Setelah mempelajari materi Kalkulus Elementer I, mahasiswa diharapkan memiliki (terutama):

Lebih terperinci

Bab 2. Teori Dasar. 2.1 Erlanger Program Kongruen

Bab 2. Teori Dasar. 2.1 Erlanger Program Kongruen Bab 2 Teori Dasar 2.1 Erlanger Program Erlanger program digunakan untuk menjelaskan geometri. Erlanger program memungkinkan pengembangan yang seragam dan perbandingan geometri yang berbeda. Membandingkan

Lebih terperinci

Matematika IPA (MATEMATIKA TKD SAINTEK)

Matematika IPA (MATEMATIKA TKD SAINTEK) Pembahasan Soal SBMPTN 2016 SELEKSI BERSAMA MASUK PERGURUAN TINGGI NEGERI Disertai TRIK SUPERKILAT dan LOGIKA PRAKTIS Matematika IPA (MATEMATIKA TKD SAINTEK) Kumpulan SMART SOLUTION dan TRIK SUPERKILAT

Lebih terperinci

RUANG DASAR DAN MODEL PROYEKSI STEREOGRAFIK PADA GEOMETRI HIPERBOLIK

RUANG DASAR DAN MODEL PROYEKSI STEREOGRAFIK PADA GEOMETRI HIPERBOLIK RUANG DASAR DAN MODEL PROYEKSI STEREOGRAFIK PADA GEOMETRI HIPERBOLIK SKRIPSI Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh : FUAD ARIANTO 11321473 PROGRAM

Lebih terperinci

Sistem Bilangan Kompleks

Sistem Bilangan Kompleks Modul Sistem Bilangan Kompleks Drs. Hidayat Sardi, M.Si. M PENDAHULUAN odul ini akan membahas bilangan kompleks, sistemnya dan arti geometri dari bilangan kompleks. Untuk itu Anda dianggap telah paham

Lebih terperinci

MATEMATIKA TEKNIK 1 3 SKS TEKNIK ELEKTRO UDINUS

MATEMATIKA TEKNIK 1 3 SKS TEKNIK ELEKTRO UDINUS MATEMATIKA TEKNIK 3 SKS TEKNIK ELEKTRO UDINUS BAB I BILANGAN KOMPLEKS Dengan memiliki sistem bilangan real R saja kita tidak dapat menelesaikan persamaan +=0. Jadi disamping bilangan real kita perlu bilangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Hasil Pengembangan Produk Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk mengembangkan produk berupa Skema Pencapaian

Lebih terperinci

ISTIYANTO.COM. memenuhi persamaan itu adalah B. 4 4 C. 4 1 PERBANDINGAN KISI-KISI UN 2009 DAN 2010 SMA IPA

ISTIYANTO.COM. memenuhi persamaan itu adalah B. 4 4 C. 4 1 PERBANDINGAN KISI-KISI UN 2009 DAN 2010 SMA IPA PERBANDINGAN KISI-KISI UN 009 DAN 00 SMA IPA Materi Logika Matematika Kemampuan yang diuji UN 009 UN 00 Menentukan negasi pernyataan yang diperoleh dari penarikan kesimpulan Menentukan negasi pernyataan

Lebih terperinci

Koordinat Kartesius, Koordinat Tabung & Koordinat Bola. Tim Kalkulus II

Koordinat Kartesius, Koordinat Tabung & Koordinat Bola. Tim Kalkulus II Koordinat Kartesius, Koordinat Tabung & Koordinat Bola Tim Kalkulus II Koordinat Kartesius Sistem Koordinat 2 Dimensi Sistem koordinat kartesian dua dimensi merupakan sistem koordinat yang terdiri dari

Lebih terperinci

2.1 Soal Matematika Dasar UM UGM c. 1 d d. 3a + b. e. 3a + b. e. b + a b a

2.1 Soal Matematika Dasar UM UGM c. 1 d d. 3a + b. e. 3a + b. e. b + a b a Soal - Soal UM UGM. Soal Matematika Dasar UM UGM 00. Jika x = 3 maka + 3 log 4 x =... a. b. c. d. e.. Jika x+y log = a dan x y log 8 = b dengan 0 < y < x maka 4 log (x y ) =... a. a + 3b ab b. a + b ab

Lebih terperinci

: D C adalah fungsi kompleks dengan domain riil

: D C adalah fungsi kompleks dengan domain riil BAB 4. INTEGRAL OMPLES 4. Integral Garis ompleks Misalkan ( : D adalah fungsi kompleks dengan domain riil b D [ a, b], maka integral (, dimana ( x( + iy( dapat dengan mudah a b dihitung, yaitu a i contoh

Lebih terperinci

SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2011/2012

SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 0/0. Akar-akar persamaan kuadrat x +ax - 40 adalah p dan q. Jika p - pq + q 8a, maka nilai a... A. -8 B. -4 C. 4 D. 6 E. 8 BAB III Persamaan

Lebih terperinci

Bilangan Real. Modul 1 PENDAHULUAN

Bilangan Real. Modul 1 PENDAHULUAN Modul 1 Bilangan Real S PENDAHULUAN Drs. Soemoenar emesta pembicaraan Kalkulus adalah himpunan bilangan real. Jadi jika akan belajar kalkulus harus paham terlebih dahulu tentang bilangan real. Bagaimanakah

Lebih terperinci

PETA KOMPETENSI MATA KULIAH GEOMETRI ANALITIK BIDANG DAN RUANG (PEMA4317) XIII

PETA KOMPETENSI MATA KULIAH GEOMETRI ANALITIK BIDANG DAN RUANG (PEMA4317) XIII PETA KOMPETENSI MATA KULIAH GEOMETRI ANALITIK BIDANG DAN RUANG (PEMA4317) XIII ix Tinjauan Mata Kuliah G eometri Analitik merupakan suatu bidang studi dari hasil perkawinan antara Geometri dan Aljabar.

Lebih terperinci

Soal UN 2009 Materi KISI UN 2010 Prediksi UN 2010

Soal UN 2009 Materi KISI UN 2010 Prediksi UN 2010 PREDIKSI UN 00 SMA IPA BAG. (Berdasar buku terbitan Istiyanto: Bank Soal Matematika-Gagas Media) Logika Matematika Soal UN 009 Materi KISI UN 00 Prediksi UN 00 Menentukan negasi pernyataan yang diperoleh

Lebih terperinci

Integral lipat dua BAB V INTEGRAL LIPAT 5.1. DEFINISI INTEGRAL LIPAT DUA. gambar 5.1 Luasan di bawah permukaan

Integral lipat dua BAB V INTEGRAL LIPAT 5.1. DEFINISI INTEGRAL LIPAT DUA. gambar 5.1 Luasan di bawah permukaan BAB V INTEGRAL LIPAT 5.1. DEFINISI INTEGRAL LIPAT DUA gambar 5.1 Luasan di bawah permukaan 61 Pada Matematika Dasar I telah dipelajari integral tertentu b f ( x) dx yang dapat didefinisikan, apabila f

Lebih terperinci

Matematika Semester IV

Matematika Semester IV F U N G S I KOMPETENSI DASAR Mendeskripsikan perbedaan konsep relasi dan fungsi Menerapkan konsep fungsi linear Menggambar fungsi kuadrat Menerapkan konsep fungsi kuadrat Menerapkan konsep fungsi trigonometri

Lebih terperinci

Dr. Ramadoni Syahputra Jurusan Teknik Elektro FT UMY

Dr. Ramadoni Syahputra Jurusan Teknik Elektro FT UMY SISTEM-SISTEM KOORDINAT Dr. Ramadoni Syahputra Jurusan Teknik Elektro FT UMY Sistem Koordinat Kartesian Dalam sistem koordinat Kartesian, terdapat tiga sumbu koordinat yaitu sumbu x, y, dan z. Suatu titik

Lebih terperinci

GEOMETRI ANALITIK BIDANG & RUANG

GEOMETRI ANALITIK BIDANG & RUANG HANDOUT (BAHAN AJAR) GEOMETRI ANALITIK BIDANG & RUANG Sofyan Mahfudy IAIN Mataram KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur kepada Alloh Ta ala yang dengan rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan

Lebih terperinci

Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 2012 Tanggal Ujian: 13 Juni 2012

Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 2012 Tanggal Ujian: 13 Juni 2012 Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 01 Tanggal Ujian: 13 Juni 01 1. Lingkaran (x + 6) + (y + 1) 5 menyinggung garis y 4 di titik... A. ( -6, 4 ). ( -1, 4 ) E. ( 5, 4 ) B. ( 6, 4) D. ( 1, 4 )

Lebih terperinci

PENGANTAR KALKULUS PEUBAH BANYAK. 1. Pengertian Vektor pada Bidang Datar

PENGANTAR KALKULUS PEUBAH BANYAK. 1. Pengertian Vektor pada Bidang Datar PENGANTAR KALKULUS PEUBAH BANYAK ERIDANI 1. Pengertian Vektor pada Bidang Datar Misalkan R menyatakan sistem bilangan real, yaitu himpunan bilangan real yang dilengkapi dengan empat operasi baku (tambah,

Lebih terperinci

GEOMETRI EUKLID VERSUS GEOMETRI SFERIK. Sangadji *

GEOMETRI EUKLID VERSUS GEOMETRI SFERIK. Sangadji * GEOMETRI EUKLID VERSUS GEOMETRI SFERIK Sangadji * ABSTRAK GEOMETRI EUKLID VERSUS GEOMETRI SFERIK. Pada makalah ini akan dibahas hubungan antara formula Pythagoras dan formula sinus dari segitiga pada geometri

Lebih terperinci

BILANGAN KOMPLEKS. Muhammad Hajarul Aswad Pendidikan Matematika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo. Aswad

BILANGAN KOMPLEKS. Muhammad Hajarul Aswad Pendidikan Matematika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo. Aswad 4. Kompleks Kojugate (Sekawan) 5. Bentuk Polar & Eksponensial Bilangan Kompleks BILANGAN KOMPLEKS Muhammad Hajarul Aswad Pendidikan Matematika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo 6. Perkalian & Pembagian

Lebih terperinci

Bab I. Bilangan Kompleks

Bab I. Bilangan Kompleks Bab I Bilangan Kompleks Himpunan bilangan yang terbesar di dalam matematika adalah himpunan bilangan kompleks. Himpunan bilangan real yang kita pakai sehari-hari merupakan himpunan bagian dari himpunan

Lebih terperinci

Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3

Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3 Ruang Vektor Euclid R 2 dan R 3 Kuliah Aljabar Linier Semester Ganjil 2015-2016 MZI Fakultas Informatika Telkom University FIF Tel-U September 2015 MZI (FIF Tel-U) Ruang Vektor R 2 dan R 3 September 2015

Lebih terperinci

DASAR-DASAR GEOMETRI Suatu Pengantar Mempelajari Sistem-sistem Geometri

DASAR-DASAR GEOMETRI Suatu Pengantar Mempelajari Sistem-sistem Geometri DASAR-DASAR GEOMETRI Suatu Pengantar Mempelajari Sistem-sistem Geometri Budiyono Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo Abstrak Dengan memandang geometri sebagai sistem deduktif,

Lebih terperinci

GEOMETRI ANALITIK PERTEMUAN2: GARIS LURUS PADA BIDANG KOORDINAT. sofyan mahfudy-iain Mataram 1

GEOMETRI ANALITIK PERTEMUAN2: GARIS LURUS PADA BIDANG KOORDINAT. sofyan mahfudy-iain Mataram 1 GEOMETRI ANALITIK PERTEMUAN2: GARIS LURUS PADA BIDANG KOORDINAT sofyan mahfudy-iain Mataram 1 Sasaran kuliah hari ini 1. Mahasiwa dapat menjelaskan konsep kemiringan garis/gradien 2. Mahasiswa dapat menentukan

Lebih terperinci

SOAL&PEMBAHASAN MATEMATIKATKDSAINTEK SBMPTN. yos3prens.wordpres.com

SOAL&PEMBAHASAN MATEMATIKATKDSAINTEK SBMPTN. yos3prens.wordpres.com SOAL&PEMBAHASAN MATEMATIKATKDSAINTEK SBMPTN 05 yosprens.wordpres.com SOAL DAN PEMBAHASAN MATA UJI MATEMATIKA TKD SAINTEK SBMPTN 05 Berikut ini 5 soal mata uji matematika beserta pembahasannya yang diujikan

Lebih terperinci

FT UNIVERSITAS SURABAYA VARIABEL KOMPLEKS SUGATA PIKATAN. Bab V Aplikasi

FT UNIVERSITAS SURABAYA VARIABEL KOMPLEKS SUGATA PIKATAN. Bab V Aplikasi Bab V Aplikasi Selain aplikasi yang sudah diperkenalkan di bab I, teori variabel kompleks masih memiliki banyak ragam aplikasi lainnya. Beberapa di antaranya akan dibahas di dalam bab ini. Perhitungan

Lebih terperinci

Bab II Fungsi Kompleks

Bab II Fungsi Kompleks Bab II Fungsi Kompleks Variabel kompleks z secara fisik ditentukan oleh dua variabel lain, yakni bagian realnya x dan bagian imajinernya y, sehingga dituliskan z z(x,y). Oleh sebab itu fungsi variabel

Lebih terperinci

dengan vektor tersebut, namun nilai skalarnya satu. Artinya

dengan vektor tersebut, namun nilai skalarnya satu. Artinya 1. Pendahuluan Penggunaan besaran vektor dalam kehidupan sehari-hari sangat penting mengingat aplikasi besaran vektor yang luas. Mulai dari prinsip gaya, hingga bidang teknik dalam memahami konsep medan

Lebih terperinci

VEKTOR GAYA. Gambar 1. Perkalian dan pembagian vektor

VEKTOR GAYA. Gambar 1. Perkalian dan pembagian vektor VEKTOR GAYA Perkalian dan Pembagian vektor dengan scalar Jika vektor dikalikan dengan nilai positif maka besarnya meningkat sesuai jumlah pengalinya. Perkalian dengan bilangan negatif akan mengubah besar

Lebih terperinci

TRANSFORMASI MOBIUS 1. Sangadji *

TRANSFORMASI MOBIUS 1. Sangadji * Transformasi Mobius (Sangadji) TRANSFORMASI MOBIUS 1 Sangadji * ABSTRAK TRANSFORMASI MOBIUS. Transformasi Mobius atau bilinear, sudah lama dikenal. Topik ini muncul pada beberapa bidang, misalnya pada

Lebih terperinci

Kalkulus Multivariabel I

Kalkulus Multivariabel I dan Gradien dan Gradien Statistika FMIPA Universitas Islam Indonesia dan Gradien Turunan-turunan parsial f x (x, y) dan f y (x, y) mengukur laju perubahan (dan kemiringan garis singgung) pada arah sejajar

Lebih terperinci

Peta Kompetensi Mata Kuliah Geometri Analitik Bidang dan Ruang (PEMA4317) xiii

Peta Kompetensi Mata Kuliah Geometri Analitik Bidang dan Ruang (PEMA4317) xiii ix G Tinjauan Mata Kuliah eometri Analitik merupakan suatu bidang studi dari hasil perkawinan antara Geometri dan Aljabar. Kita telah mengetahui bahwa himpunan semua titik pada suatu garis lurus berkorespondensi

Lebih terperinci

Bab 2 Fungsi Analitik

Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 Fungsi Analitik Bab 2 ini direncanakan akan disampaikan dalam 4 kali pertemuan, dengan perincian sebagai berikut: () Pertemuan I: Fungsi Kompleks dan Pemetaan. (2) Pertemuan II: Limit Fungsi, Kekontiuan,

Lebih terperinci

Pengantar KULIAH MEDAN ELEKTROMAGNETIK MATERI I ANALISIS VEKTOR DAN SISTEM KOORDINAT

Pengantar KULIAH MEDAN ELEKTROMAGNETIK MATERI I ANALISIS VEKTOR DAN SISTEM KOORDINAT KULIAH MEDAN ELEKTROMAGNETIK Pengantar Definisi Arsitektur MATERI I ANALISIS VEKTOR DAN SISTEM KOORDINAT Operasional Sinkronisasi Kesimpulan & Saran Muhamad Ali, MT Http://www.elektro-uny.net/ali Pengantar

Lebih terperinci

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 36

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 36 Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 36 Irisan Kerucut animation 1 animation 2 Irisan kerucut adalah kurva ang terbentuk dari perpotongan antara sebuah kerucut dengan bidang datar. Kurva irisan ini

Lebih terperinci

KAJIAN SEGIEMPAT TALI BUSUR DAN SEGIEMPAT GARIS SINGGUNG PADA SATU LINGKARAN

KAJIAN SEGIEMPAT TALI BUSUR DAN SEGIEMPAT GARIS SINGGUNG PADA SATU LINGKARAN 1 Kajian Segiempat Tali (Izza Nur Sabila) KAJIAN SEGIEMPAT TALI BUSUR DAN SEGIEMPAT GARIS SINGGUNG PADA SATU LINGKARAN STUDY OF INSCRIBED QUADRILATERAL AND CIRCUMSCRIBED QUADRILATERAL IN ONE CIRCLE Oleh:

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP SIKLOID TERBALIK TERKAIT MASALAH BRACHISTOCHRONE

TINJAUAN TERHADAP SIKLOID TERBALIK TERKAIT MASALAH BRACHISTOCHRONE TINJAUAN TERHADAP SIKLOID TERBALIK TERKAIT MASALAH BRACHISTOCHRONE Mohammad Lutfi Sekolah Tinggi Teknologi Minyak dan Gas Bumi Balikpapan Email: lutfi_plhld@yahoo.co.id Abstrak: Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

PELATIHAN GEOGEBRA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

PELATIHAN GEOGEBRA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA PETUNJUK PRAKTIKUM PELATIHAN GEOGEBRA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DISUSUN OLEH: Atmini Dhoruri, MS Emi Nugroho RS, M.Sc Dwi Lestari, M.Sc. (dwilestari@uny.ac.id) JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

MODUL 4 LINGKARAN DAN BOLA

MODUL 4 LINGKARAN DAN BOLA 1 MODUL 4 LINGKARAN DAN BOLA Sumber: www.google.co.id Gambar 6. 6 Benda berbentuk lingkaran dan bola Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai benda-benda yang berbentuk bola maupun lingkaran.

Lebih terperinci

MATEMATIKA. Sesi TRANSFORMASI 2 CONTOH SOAL A. ROTASI

MATEMATIKA. Sesi TRANSFORMASI 2 CONTOH SOAL A. ROTASI MATEMATIKA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN TRANSFORMASI A. ROTASI Rotasi adalah memindahkan posisi suatu titik (, y) dengan cara dirotasikan pada titik tertentu sebesar sudut tertentu.

Lebih terperinci

DIKTAT KULIAH KALKULUS PEUBAH BANYAK (IE-308)

DIKTAT KULIAH KALKULUS PEUBAH BANYAK (IE-308) DIKTAT KULIAH (IE-308) BAB 7 INTEGRAL PERMUKAAN Diktat ini digunakan bagi mahasiswa Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha Ir. Rudy Wawolumaja M.Sc JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

Lebih terperinci

GEOMETRI ANALITIK BIDANG DAN RUANG. sofyan mahfudy-iain Mataram

GEOMETRI ANALITIK BIDANG DAN RUANG. sofyan mahfudy-iain Mataram GEOMETRI ANALITIK BIDANG DAN RUANG PERKENALAN Nama : Sofyan Mahfudy Tempat tgl lahir : Pacitan, 29 Maret 1985 Status : Menikah Pendidikan : Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

Bil Riil. Bil Irasional. Bil Bulat - Bil Bulat 0 Bil Bulat + maka bentuk umum bilangan kompleks adalah

Bil Riil. Bil Irasional. Bil Bulat - Bil Bulat 0 Bil Bulat + maka bentuk umum bilangan kompleks adalah ANALISIS KOMPLEKS Pendahuluan Bil Kompleks Bil Riil Bil Imaginer (khayal) Bil Rasional Bil Irasional Bil Pecahan Bil Bulat Sistem Bilangan Kompleks Bil Bulat - Bil Bulat 0 Bil Bulat + Untuk maka bentuk

Lebih terperinci

DIKTAT KULIAH KALKULUS PEUBAH BANYAK (IE-308)

DIKTAT KULIAH KALKULUS PEUBAH BANYAK (IE-308) DIKTAT KULIAH (IE-308) BAB 5 INTEGRAL LIPAT Diktat ini digunakan bagi mahasiswa Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha Ir. Rudy Wawolumaja M.Sc JURUSAN TEKNIK INDUSTRI -

Lebih terperinci

HUBUNGAN SEGITIGA GERGONNE DENGAN SEGITIGA ASALNYA. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univeritas Riau Kampus Bina Widya Indonesia

HUBUNGAN SEGITIGA GERGONNE DENGAN SEGITIGA ASALNYA. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univeritas Riau Kampus Bina Widya Indonesia HUBUNGAN SEGITIGA GERGONNE DENGAN SEGITIGA ASALNYA Sandra Oriza 1*, Mashadi 2, M. Natsir 2 1 Mahasiswa Program S1 Matematika 2 Dosen Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univeritas

Lebih terperinci

Soal-Soal dan Pembahasan SNMPTN Matematika IPA Tahun Pelajaran 2010/2011 Tanggal Ujian: 01 Juni 2011

Soal-Soal dan Pembahasan SNMPTN Matematika IPA Tahun Pelajaran 2010/2011 Tanggal Ujian: 01 Juni 2011 Soal-Soal dan Pembahasan SNMPTN Matematika IPA Tahun Pelajaran 00/0 Tanggal Ujian: 0 Juni 0. Diketahui vektor u = (a, -, -) dan v = (a, a, -). Jika vektor u tegak lurus pada v, maka nilai a adalah... A.

Lebih terperinci

Sistem Bilangan Kompleks (Bagian Pertama)

Sistem Bilangan Kompleks (Bagian Pertama) Sistem Bilangan Kompleks (Bagian Pertama) Supama Jurusan Matematika, FMIPA UGM Yogyakarta 55281, INDONESIA Email:maspomo@yahoo.com, supama@ugm.ac.id (Pertemuan Minggu I) Outline 1 Pendahuluan 2 Pengertian

Lebih terperinci

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II

BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II BIFURKASI HOPF PADA SISTEM PREDATOR PREY DENGAN FUNGSI RESPON TIPE II SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA

BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA BAB III PEMODELAN PERSAMAAN INTEGRAL PADA ALIRAN FLUIDA 3.1 Deskripsi Masalah Permasalahan yang dibahas di dalam Tugas Akhir ini adalah mengenai aliran fluida yang mengalir keluar melalui sebuah celah

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UN SMA TAHUN PELAJARAN 2009/2010 MATEMATIKA PROGRAM STUDY IPA

PEMBAHASAN UN SMA TAHUN PELAJARAN 2009/2010 MATEMATIKA PROGRAM STUDY IPA PEMBAHASAN UN SMA TAHUN PELAJARAN 009/010 MATEMATIKA PROGRAM STUDY IPA PEMBAHAS : 1. Sigit Tri Guntoro, M.Si.. Jakim Wiyoto, S.Si. 3. Marfuah, M.T. 4. Rohmitawati, S.Si. PPPPTK MATEMATIKA 010 1. Perhatikan

Lebih terperinci

( ) 2. Nilai x yang memenuhi log 9. Jadi 4x 12 = 3 atau x = 3,75

( ) 2. Nilai x yang memenuhi log 9. Jadi 4x 12 = 3 atau x = 3,75 Here is the Problem and the Answer. Diketahui premis premis berikut! a. Jika sebuah segitiga siku siku maka salah satu sudutnya 9 b. Jika salah satu sudutnya 9 maka berlaku teorema Phytagoras Ingkaran

Lebih terperinci

III HASIL DAN PEMBAHASAN

III HASIL DAN PEMBAHASAN Fungsi periodizer kutub tersebut dapat dituliskan pula sebagai: p θ, N, θ 0 = π N N.0 n= n sin Nn θ θ 0. () f p θ, N, θ 0 = π N N j= j sin Nj θ θ 0 diperoleh dengan menyubstitusi variabel θ pada f θ =

Lebih terperinci

Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 2012 Tanggal Ujian: 13 Juni 2012

Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 2012 Tanggal Ujian: 13 Juni 2012 Soal-Soal dan Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 01 Tanggal Ujian: 13 Juni 01 1. Lingkaran (x + 6) + (y + 1) 5 menyinggung garis y 4 di titik... A. ( -6 4 ). ( -1 4 ) E. ( 5 4 ) B. ( 6 4) D. ( 1 4 ) BAB

Lebih terperinci

ANALISA VARIABEL KOMPLEKS

ANALISA VARIABEL KOMPLEKS ANALISA VARIABEL KOMPLEKS Oleh: BUDI NURACHMAN, IR BAB I BILANGAN KOMPLEKS Dengan memiliki sistem bilangan real R saja kita tidak dapat menelesaikan persamaan +=0. Jadi disamping bilangan real kita perlu

Lebih terperinci

BAB II VEKTOR DAN GERAK DALAM RUANG

BAB II VEKTOR DAN GERAK DALAM RUANG BAB II VEKTOR DAN GERAK DALAM RUANG 1. KOORDINAT CARTESIUS DALAM RUANG DIMENSI TIGA SISTEM TANGAN KANAN SISTEM TANGAN KIRI RUMUS JARAK,,,, 16 Contoh : Carilah jarak antara titik,, dan,,. Solusi :, Persamaan

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT SEGITIGA SIKU-SIKU PADA GEOMETRI BOLA. Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

SIFAT-SIFAT SEGITIGA SIKU-SIKU PADA GEOMETRI BOLA. Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan SIFAT-SIFAT SEGITIGA SIKU-SIKU PADA GEOMETRI BOLA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika Oleh: CINDY NIM: 121414079 PROGRAM

Lebih terperinci

Mata Kuliah: Geometri Analitik (3 SKS)

Mata Kuliah: Geometri Analitik (3 SKS) Mata Kuliah: Geometri Analitik (3 SKS) PRAKTIKUM GEOMETRI ANALITIK Tujuan Umum: Mahasiswa dapat menggunakan program CABRI GEOMETRI II PLUS untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam Geometri Analitik

Lebih terperinci

KALKULUS MULTIVARIABEL II

KALKULUS MULTIVARIABEL II Definisi KALKULUS MULTIVARIABEL II (Minggu ke-7) Andradi Jurusan Matematika FMIPA UGM Yogyakarta, Indonesia Definisi 1 Definisi 2 ontoh Soal Definisi Integral Garis Fungsi f K R 2 R di Sepanjang Kurva

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Titik, Garis, dan Bidang Pada geometri, tepatnya pada sistem aksioma, terdapat istilah tak terdefinisi. Istilah tak terdefinisi adalah istilah dasar yang digunakan dalam membangun

Lebih terperinci

KONSTRUKSI VAS BUNGA MELALUI PENGGABUNGANBEBERAPA BENDA GEOMETRI RUANG

KONSTRUKSI VAS BUNGA MELALUI PENGGABUNGANBEBERAPA BENDA GEOMETRI RUANG KONSTRUKSI VAS BUNGA MELALUI PENGGABUNGANBEBERAPA BENDA GEOMETRI RUANG ARTIKEL ILMIAH Oleh Dani Arinda NIM 071810101112 JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER

Lebih terperinci

MAKALAH SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT 2 DIMENSI DISUSUN OLEH : HERA RATNAWATI 16/395027/TK/44319

MAKALAH SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT 2 DIMENSI DISUSUN OLEH : HERA RATNAWATI 16/395027/TK/44319 MAKALAH SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT DIMENSI DISUSUN OLEH : HERA RATNAWATI 16/9507/TK/19 DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 017 1 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat

Lebih terperinci

KALKULUS 1 HADI SUTRISNO. Pendidikan Matematika STKIP PGRI Bangkalan. Hadi Sutrisno/P.Matematika/STKIP PGRI Bangkalan

KALKULUS 1 HADI SUTRISNO. Pendidikan Matematika STKIP PGRI Bangkalan. Hadi Sutrisno/P.Matematika/STKIP PGRI Bangkalan KALKULUS 1 HADI SUTRISNO 1 Pendidikan Matematika STKIP PGRI Bangkalan BAB I PENDAHULUAN A. Sistem Bilangan Real Untuk mempelajari kalkulus kita terlebih dahulu perlu memahami bahasan tentang sistem bilangan

Lebih terperinci

Lingkaran adalah tempat kedudukan titik-titik pada bidang yang berjarak

Lingkaran adalah tempat kedudukan titik-titik pada bidang yang berjarak 4 Lingkaran 4.1. Persamaan Lingkaran Bentuk Baku. Lingkaran adalah tempat kedudukan titik-titik pada bidang yang berjarak tetap dari suatu titik tetap. Titik tetap dari lingkaran disebut pusat lingkaran,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Persamaan Kontinuitas dan Persamaan Gerak

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Persamaan Kontinuitas dan Persamaan Gerak BAB II DASAR TEORI Ada beberapa teori yang berkaitan dengan konsep-konsep umum mengenai aliran fluida. Beberapa akan dibahas pada bab ini. Diantaranya adalah hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan momentum.

Lebih terperinci

KAJIAN BOLA-LUAR DAN BOLA-DALAM PADA BIDANG-EMPAT SKRIPSI

KAJIAN BOLA-LUAR DAN BOLA-DALAM PADA BIDANG-EMPAT SKRIPSI KAJIAN BOLA-LUAR DAN BOLA-DALAM PADA BIDANG-EMPAT SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang

Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang Sistem Hasil Kali Persamaan Diferensial Otonomus pada Bidang SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

DESAIN MOZAIK PADA INTERIOR PERSEGI BERKARAKTER BARISAN GEOMETRI

DESAIN MOZAIK PADA INTERIOR PERSEGI BERKARAKTER BARISAN GEOMETRI DESAIN MOZAIK PADA INTERIOR PERSEGI BERKARAKTER BARISAN GEOMETRI TESIS Oleh Endang Murihani NIM 101820101003 JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2012 DESAIN

Lebih terperinci

Jikax (2 x) = 57, maka jumlah semua bilangan bulat x yang memenuhi adalah A. -5 B. -1 C. 0 D. 1 E. 5

Jikax (2 x) = 57, maka jumlah semua bilangan bulat x yang memenuhi adalah A. -5 B. -1 C. 0 D. 1 E. 5 Soal Babak Penyisihan OMITS 011 BAGIAN I. PILIHAN GANDA 1. Hasil kali sebarang bilangan rasional dengan sebarang bilangan irasional selalu merupakan anggota dari himpunan bilangan A. Bulat B. Asli C. Rasional

Lebih terperinci

Matematika EBTANAS Tahun 1991

Matematika EBTANAS Tahun 1991 Matematika EBTANAS Tahun 99 EBT-SMA-9-0 Persamaan sumbu simetri dari parabola y = 8 x x x = 4 x = x = x = x = EBT-SMA-9-0 Salah satu akar persamaan kuadrat mx 3x + = 0 dua kali akar yang lain, maka nilai

Lebih terperinci

Pertemuan Minggu ke Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai

Pertemuan Minggu ke Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai Pertemuan Minggu ke-10 1. Keterdiferensialan 2. Derivatif berarah dan gradien 3. Aturan rantai 1. Keterdiferensialan Pada fungsi satu peubah, keterdiferensialan f di x berarti keujudan derivatif f (x).

Lebih terperinci

A. Jumlah Sudut dalam Segitiga. Teorema 1 Jumlah dua sudut dalam segitiga kurang dari Bukti:

A. Jumlah Sudut dalam Segitiga. Teorema 1 Jumlah dua sudut dalam segitiga kurang dari Bukti: Geometri Netral? Geometri yang dilengkapi dengan sistem aksioma-aksioma insidensi, sistem aksioma-aksioma urutan, sistem aksioma kekongruenan (ruas garis, sudut, segitiga) dan sistem aksioma-aksioma archiemedes

Lebih terperinci

Kegiatan Belajar 1 HAKIKAT MATEMATIKA

Kegiatan Belajar 1 HAKIKAT MATEMATIKA Kegiatan Belajar 1 HAKIKAT MATEMATIKA A. Pengantar Matematika merupakan salah satu bidang studi yang dijarkan di SD. Seorang guru SD yang akan mengajarkan matematika kepada siswanya, hendaklah mengetahui

Lebih terperinci

KALKULUS BAB I. PENDAHULUAN DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

KALKULUS BAB I. PENDAHULUAN DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA KALKULUS BAB I. PENDAHULUAN DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA BAB I Bilangan Real dan Notasi Selang Pertaksamaan Nilai Mutlak Sistem Koordinat Cartesius dan Grafik Persamaan Bilangan Real dan Notasi Selang Bilangan

Lebih terperinci

Aplikasi Bilangan Kompleks pada Dinamika Fluida

Aplikasi Bilangan Kompleks pada Dinamika Fluida Aplikasi Bilangan Kompleks pada Dinamika Fluida Evita Chandra (13514034) Program Studi Teknik Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132,

Lebih terperinci

Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 2012 Kode 483

Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 2012 Kode 483 Tutur Widodo Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 0 Pembahasan Matematika IPA SNMPTN 0 Kode 8 Oleh Tutur Widodo. Di dalam kotak terdapat bola biru, 6 bola merah dan bola putih. Jika diambil 8 bola tanpa pengembalian,

Lebih terperinci