Komputasi untuk Sains dan Teknik -Dalam Matlab-

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Komputasi untuk Sains dan Teknik -Dalam Matlab-"

Transkripsi

1 Komputasi untuk Sains dan Teknik -Dalam Matlab- Supriyanto Suparno ( Website: ) ( supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi III Revisi terakhir tgl: 25 Agustus 2008 Departemen Fisika-FMIPA, Univeristas Indonesia Dipublikasikan pertama kali pada September 2007

2

3 Untuk Nina Marliyani Muflih Syamil dan Hasan Azmi

4 Ketekunan adalah jalan yang terpercaya untuk mengantarkan kita menuju kesuksesan (Supriyanto, 2007)

5 Kata Pengantar Alhamdulillah, buku ini memasuki edisi ke-3. Penomoran edisi ini sebenarnya hanya untuk menandakan perubahan isi buku yang semakin kaya metode numerik dibandingkan dengan edisi-edisi sebelumnya. Pengayaan isi buku ini, sejujurnya, berasal dari sejumlah pertanyaan yang sampai ke mailbox saya, entah itu dalam bentuk konsultasi Tugas Akhir mahasiswa S1 sebagaimana yang penulis terima dari mahasiswa UNPAD, UDAYANA, UNESA dan UNSRI serta UI sendiri, ataupun sekedar pertanyaan seputar pekerjaan rumah seperti yang biasa ditanyakan oleh para mahasiswa dari Univ. Pakuan, Bogor. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadikan saya sadar bahwa buku edisi ke-ii yang berjumlah 187 halaman, ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan banyak mahasiswa yang memerlukan teknik pengolahan data secara numerik. Karenanya, insya Allah, pada edisi ke-iii ini, saya akan menyajikan sebagian besar yang masih kurang lengkap itu secara bertahap. Ibarat pohon yang akan terus tumbuh semakin besar, buku ini pun memiliki tabiat pertumbuhan sebagaimana pohon itu. Mulai ditulis pada tahun 2005 dengan isi yang seadanya, pokoknya asal tercatat. Kemudian di tahun 2006akhir menjadi catatan perkuliahan Komputasi Fisika. Pengayaan isi terus berlangsung hingga akhir Lalu di awal tahun 2008 diisi dengan tambahan materi perkuliahan Analisis Numerik. Itulah yang saya maksud dengan tabiat pertumbuhan dari buku ini. Jika saya ditugaskan untuk mengajar mata kuliah Komputasi Fisika lagi pada awal September 2008, saya bertekad akan menurunkan seluruh isi buku ini kepada mahasiswa yang akan mengambil kuliah tersebut. Jadi materi Komputasi Fisika tahun 2007 dan materi Analisis Numerik 2008, digabung jadi satu kedalam satu semester dengan nama mata kuliah Komputasi Fisika. Kepada rekan-rekan mahasiswa yang akan ngambil mata kuliah tersebut, saya sampaikan permohonan maaf jika rencana ini akan membuat anda kurang tidur karena bakal semakin lama berada di depan komputer, menyelesaikan tugas dan report. Secara garis besar, ilmu fisika dapat dipelajari lewat 3 jalan, yaitu pertama, dengan menggunakan konsep atau teori fisika yang akhirnya melahirkan fisika teori. Kedua, dengan cara eksperimen yang menghasilkan aliran fisika eksperimental, dan ketiga, fisika bisa dipelajari lewat simulasi fenomena alam yang sangat mengandalkan komputer serta algoritma numerik. Tujuan penyusunan buku ini adalah untuk meletakkan pondasi dasar dari bangunan pemahaman akan metode-metode komputasi yang banyak digunakan untuk mensimulasikan fenomena fisika. Rujukan utama buku ini bersumber pada buku teks standar yang sangat populer di dunia komputasi, yaitu buku yang ditulis oleh Richard L. Burden dan J. Douglas Faires dengan judul Numerical Analysis edisi ke-7, diterbitkan oleh Penerbit Brooks/Cole, Thomson Learning Academic Resource Center. Disamping itu, buku ini dilengkapi oleh sejumlah contoh aplikasi komputasi pada upaya penyelesaian problem-problem fisika. iii

6 iv Pada edisi ke-3 ini saya mulai mencoba membiasakan diri menulis script dalam lingkungan Python dan Octave. Padahal, dalam edisi ke-2 yang lalu, script numerik disalin ke dalam 2 bahasa pemrograman, yaitu Fortran77 dan Matlab. Namun mayoritas ditulis dalam Matlab. Saya ingin ganti ke Python, lantaran dengan Python ataupun Octave, saya dan juga mahasiswa saya tidak perlu menginstal Matlab bajakan ke dalam komputer kami masing-masing. Buku yang sedang anda baca ini masih jauh dari sempurna. Keterkaitan antar Bab berikut isi-nya masih perlu perbaikan. Kondisi ini berpotensi membuat anda bingung, atau setidaknya menjadi kurang fokus. Oleh karena itu saya menghimbau kepada pembaca untuk menfokuskan diri melalui penjelasan singkat berikut ini: Bab 1 berisi pengenalan matrik, operasi matrik, inisialisasi matrik pada Matlab dan Fortran. Saran saya, setiap pembaca yang masih pemula di dunia pemrograman, harus menguasai Bab I terlebih dahulu. Disamping itu penjelasan lebih terperinci tentang bagaimana menentukan indeks i, j dan k dalam proses looping disajikan pada Bab I, untuk memberi pondasi yang kokoh bagi berdirinya bangunan pemahaman akan teknikteknik numerik selanjutnya. Untuk mempelajari metode Finite-Difference, dianjurkan mulai dari Bab 1, Bab 2, Bab 4, Bab 7, dan Bab 8. Untuk mempelajari dasar-dasar inversi, dianjurkan mulai dari Bab 1, Bab 2, dan Bab 3. Akhirnya saya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dede Djuhana yang telah berkenan memberikan format L A TEX-nya sehingga tampilan tulisan pada buku ini benar-benar layaknya sebuah buku yang siap dicetak. Tak lupa, saya pun sepatutnya berterima kasih kepada seluruh rekan diskusi yaitu para mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah Komputasi Fisika PTA 2006/2007 di Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia. Kepada seluruh mahasiswa dari berbagai universitas di Timur dan di Barat Indonesia juga perlu saya tulis disini sebagai ungkapan terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan mereka yang turut memperkaya isi buku ini. Walaupun buku ini masih jauh dari sempurna, namun semoga ia dapat menyumbangkan kontribusi yang berarti bagi terciptanya gelombang kebangkitan ilmu pengetahuan pada diri anak bangsa Indonesia yang saat ini sedang terpuruk. Saya wariskan ilmu ini untuk siswa dan mahasiswa Indonesia dimanapun mereka berada. Kalian berhak memanfaatkan buku ini. Saya izinkan kalian untuk meng-copy dan menggunakan buku ini selama itu ditujukan untuk belajar dan bukan untuk tujuan komersial, kecuali kalau saya dapat bagian komisi-nya :). Bagi yang ingin berdiskusi, memberikan masukan, kritikan dan saran, silakan dikirimkan ke supri92@gmail.com Depok, 8 Juni 2008 Supriyanto Suparno

7 Daftar Isi Lembar Persembahan Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel i iii iv vii x 1 Matrik dan Komputasi Pengenalan matrik Inisialisasi matrik dalam memori komputer Macam-macam matrik Matrik transpose Matrik bujursangkar Matrik simetrik Matrik diagonal Matrik identitas Matrik upper-triangular Matrik lower-triangular Matrik tridiagonal Matrik diagonal dominan Matrik positive-definite Vektor-baris dan vektor-kolom Operasi matematika Penjumlahan matrik Komputasi penjumlahan matrik Perkalian matrik Komputasi perkalian matrik Perkalian matrik dan vektor-kolom Komputasi perkalian matrik dan vektor-kolom Penutup Latihan Metode Eliminasi Gauss Sistem persamaan linear Triangularisasi dan Substitusi Mundur v

8 vi 2.3 Matrik dan Eliminasi Gauss Algoritma eliminasi Gauss Algoritma Contoh aplikasi Menghitung arus listrik Menghitung invers matrik Penutup Aplikasi Eliminasi Gauss pada Masalah Inversi Inversi Model Garis Script matlab inversi model garis Inversi Model Parabola Script matlab inversi model parabola Inversi Model Bidang Contoh aplikasi Menghitung gravitasi di planet X Metode LU Decomposition Faktorisasi matrik Algoritma Metode Iterasi Kelebihan Vektor-kolom Pengertian Norm Script perhitungan norm dalam Matlab Perhitungan norm-selisih Iterasi Jacobi Script Matlab metode iterasi Jacobi Optimasi script Matlab untuk menghitung iterasi Algoritma Program dalam Fortran Iterasi Gauss-Seidel Script iterasi Gauss-Seidel Algoritma Script iterasi Gauss-Seidel dalam Fortran Iterasi dengan Relaksasi Algoritma Iterasi Relaksasi Interpolasi Interpolasi Lagrange Interpolasi Cubic Spline

9 vii 7 Diferensial Numerik Metode Euler Metode Runge Kutta Aplikasi: Pengisian muatan pada kapasitor Metode Finite Difference Script Finite-Difference Aplikasi Persamaan Diferensial Parsial PDP eliptik Contoh pertama Script Matlab untuk PDP Elliptik Contoh kedua PDP parabolik Metode Forward-difference Contoh ketiga: One dimensional heat equation Metode Backward-difference Metode Crank-Nicolson PDP Hiperbolik Contoh Latihan Integral Numerik Metode Trapezoida Metode Simpson Metode Composite-Simpson Adaptive Quardrature Gaussian Quadrature Contoh Latihan Mencari Akar Metode Newton Metode Monte Carlo Penyederhanaan Inversi Inversi Linear Inversi Non-Linear Daftar Pustaka 171 Indeks 173

10 viii

11 Daftar Gambar 3.1 Sebaran data observasi antara temperatur dan kedalaman Grafik data pengukuran gerak batu Grafik hasil inversi parabola Fungsi f(x) dengan sejumlah titik data Pendekatan dengan polinomial cubic spline Profil suatu object Sampling titik data Hasil interpolasi cubic spline Hasil interpolasi lagrange Kiri: Kurva y(t) dengan pasangan titik absis dan ordinat dimana jarak titik absis sebesar h. Pasangan t 1 adalah y(t 1 ), pasangan t 2 adalah y(t 2 ), begitu seterusnya. Kanan: Garis singgung yang menyinggung kurva y(t) pada t=a, kemudian berdasarkan garis singgung tersebut, ditentukan pasangan t 1 sebagai w 1. Perhatikan gambar itu sekali lagi! w 1 dan y(t 1 ) beda tipis alias tidak sama persis Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan (7.9). Sedangkan titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode euler, yaitu nilai w i Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan (7.9). Sedangkan titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode Runge Kutta orde 4, yaitu nilai w i Rangkaian RC Kurva pengisian muatan q (charging) terhadap waktu t Kurva suatu fungsi f(x) yang dibagi sama besar berjarak h. Evaluasi kurva yang dilakukan Finite-Difference dimulai dari batas bawah X 0 = a hingga batas atas x 6 = b Skema grid lines dan mesh points pada aplikasi metode Finite-Difference Susunan grid lines dan mesh points untuk mensimulasikan distribusi temperatur pada lempeng logam sesuai contoh satu Sebatang logam dengan posisi titik-titik simulasi (mesh-points) distribusi temperatur. Jarak antar titik ditentukan sebesar h = 0, Interval mesh-points dengan jarak h = 0, 1 dalam interval waktu k = 0, ix

12 x DAFTAR GAMBAR 7.11 Posisi mesh-points. Arah x menunjukkan posisi titik-titik yang dihitung dengan forwarddifference, sedangkan arah t menunjukkan perubahan waktu yg makin meningkat Metode Trapezoida. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f(x) dengan batas bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara metode Trapesoida menghitung luas area integrasi, dimana luas area adalah sama dengan luas trapesium di bawah kurva f(x) dalam batas-batas a dan b Metode Simpson. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f(x) dengan batas bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara metode Simpson menghitung luas area integrasi, dimana area integrasi di bawah kurva f(x) dibagi 2 dalam batas-batas a dan b Metode Composite Simpson. Kurva fungsi f(x) dengan batas bawah integral adalah a dan batas atas b. Luas area integrasi dipecah menjadi 8 area kecil dengan lebar masingmasing adalah h Metode Newton Lingkaran dan bujursangkar Dart yang menancap pada bidang lingkaran dan bujursangkar Dart yang menancap pada bidang 1/4 lingkaran dan bujursangkar

13 Daftar Tabel 3.1 Data temperatur bawah permukaan tanah terhadap kedalaman Data temperatur bawah permukaan tanah terhadap kedalaman Data ketinggian terhadap waktu dari planet X Hasil akhir elemen-elemen vektor x hingga iterasi ke Hasil perhitungan norm-selisih (dengan l 2 ) hingga iterasi ke Hasil Iterasi Gauss-Seidel Hasil perhitungan iterasi Gauss-Seidel Hasil perhitungan iterasi Relaksasi dengan ω = 1, Solusi yang ditawarkan oleh metode euler w i dan solusi exact y(t i ) serta selisih antara keduanya Solusi yang ditawarkan oleh metode Runge Kutta orde 4 (w i ) dan solusi exact y(t i ) serta selisih antara keduanya Perbandingan antara hasil perhitungan numerik lewat metode Runge Kutta dan hasil perhitungan dari solusi exact, yaitu persamaan (7.16) Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi. Kolom ke-2 adalah solusi analitik/exact, kolom ke-3 dan ke-5 adalah solusi numerik forward-difference. Kolom ke-4 dan ke-6 adalah selisih antara solusi analitik dan numerik Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi dengan metode backwarddifference dimana k = 0, Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu (t) dalam 1-dimensi dengan metode backward-difference dan Crank-Nicolson Polinomial Legendre untuk n=2,3,4 dan xi

14 xii DAFTAR TABEL

15 Bab 1 Matrik dan Komputasi Objektif : Mengenalkan matrik dan jenis-jenis matrik. Mengenalkan operasi penjumlahan dan perkalian matrik. Mendeklarasikan elemen-elemen matrik ke dalam memori komputer. Membuat script operasi matrik. 1.1 Pengenalan matrik Notasi suatu matrik berukuran n x m ditulis dengan huruf besar dan dicetak tebal, misalnya A n m. Huruf n menyatakan jumlah baris, dan huruf m jumlah kolom. Suatu matrik tersusun dari elemen-elemen yang dinyatakan dengan huruf kecil diikuti angka-angka indeks, misalnya a ij, dimana indeks i menunjukan posisi baris ke-i dan indeks j menentukan posisi kolom ke-j. a 11 a a 1m a A = (a ij ) = 21 a a 2m (1.1)... a n1 a n2... a nm Contoh 1: Matrik A 2 3 [ ] A = dimana masing-masing elemennya adalah a 11 = 3, a 12 = 8, a 13 = 5, a 21 = 6, a 22 = 4, dan a 23 = 7. Contoh 2: Matrik B B =

16 2 BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI dimana masing-masing elemennya adalah b 11 = 1, b 12 = 3, b 21 = 5, b 22 = 9, b 31 = 2, dan b 32 = Inisialisasi matrik dalam memori komputer Dalam bahasa pemrograman Fortran77, cara mengisi memori komputer dengan elemen-elemen matrik A 2 3, sesuai dengan Contoh 1 adalah 1 A(1,1) = 3 2 A(1,2) = 8 3 A(1,3) = 5 4 A(2,1) = 6 5 A(2,2) = 4 6 A(2,3) = 7 Sedangkan untuk matrik B 3 2, sesuai Contoh 2 adalah 1 B(1,1) = 1 2 B(1,2) = 3 3 B(2,1) = 5 4 B(2,2) = 9 5 B(3,1) = 2 6 B(3,2) = 4 Sementara dalam Matlab, cara mengisi memori komputer dengan elemen-elemen matrik A 2 3, sesuai dengan Contoh 1 adalah 1 clear all 2 clc 3 4 A(1,1) = 3; 5 A(1,2) = 8; 6 A(1,3) = 5; 7 A(2,1) = 6; 8 A(2,2) = 4; 9 A(2,3) = 7; 10 A Sedangkan untuk matrik B 3 2, sesuai Contoh 2 adalah 1 clear all 2 clc 3 4 B(1,1) = 1; 5 B(1,2) = 3; 6 B(2,1) = 5; 7 B(2,2) = 9; 8 B(3,1) = 2; 9 B(3,2) = 4; 10 B Ini bukan satu-satunya cara menginisialisasi suatu matrik, disamping itu, ada juga cara lain yang relatif lebih mudah. Misalnya untuk matrik A bisa ditulis sebagai berikut

17 1.3. MACAM-MACAM MATRIK 3 1 clear all 2 clc 3 4 A=[ ]; 6 7 B=[ ]; atau 1 clear all 2 clc 3 4 A=[ ; ]; 5 B=[ 1 3 ; 5 9 ; 2 4]; 1.3 Macam-macam matrik Matrik transpose Operasi transpose terhadap suatu matrik akan menukar elemen-elemen dalam satu kolom menjadi elemen-elemen dalam satu baris; demikian pula sebaliknya. Notasi matrik tranpose adalah A T atau A t. Contoh 3: Operasi transpose terhadap matrik A [ ] A = A t = Matrik bujursangkar Matrik bujursangkar adalah matrik yang jumlah baris dan jumlah kolomnya sama. Contoh 4: Matrik bujursangkar berukuran 3x3 atau sering juga disebut matrik bujursangkar orde A = Matrik simetrik Matrik simetrik adalah matrik bujursangkar yang elemen-elemen matrik A bernilai sama dengan matrik transpose-nya (A t ).

18 4 BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI Contoh 5: Matrik simetrik A = A t = Matrik diagonal Matrik diagonal adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen-nya bernilai 0 (nol), kecuali elemen-elemen diagonalnya. Contoh 6: Matrik diagonal orde 3 A = Matrik identitas Matrik identitas adalah matrik bujursangkar yang semua elemen-nya bernilai 0 (nol), kecuali elemen-elemen diagonal yang seluruhnya bernilai 1. Contoh 7: Matrik identitas orde I = Matrik upper-triangular Matrik upper-tringular adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen dibawah elemen diagonal bernilai 0 (nol). Contoh 8: Matrik upper-triangular A = Matrik lower-triangular Matrik lower-tringular adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen diatas elemen diagonal bernilai 0 (nol).

19 1.3. MACAM-MACAM MATRIK 5 Contoh 9: Matrik lower-triangular A = Matrik tridiagonal Matrik tridiagonal adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen bukan 0 (nol) berada disekitar elemen diagonal, sementara elemen lainnya bernilai 0 (nol). Contoh 10: Matrik tridiagonal A = Matrik diagonal dominan Matrik diagonal dominan adalah matrik bujursangkar yang memenuhi a ii > n j=1,j i dimana i=1,2,3,..n. Coba perhatikan matrik-matrik berikut ini A = B = a ij (1.2) Pada elemen diagonal a ii matrik A, 7 > 2 + 0, lalu 5 > 3 + 1, dan 6 > Maka matrik A disebut matrik diagonal dominan. Sekarang perhatikan elemen diagonal matrik B, 6 < 4 + 3, 2 < 4 + 0, dan 1 < Dengan demikian, matrik B bukan matrik diagonal dominan Matrik positive-definite Suatu matrik dikatakan positive-definite bila matrik tersebut simetrik dan memenuhi x t Ax > 0 (1.3)

20 6 BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI Contoh 11: Diketahui matrik simetrik berikut A = untuk menguji apakah matrik A bersifat positive-definite, maka x t Ax = = ] [x 1 x 2 x ] 2x 1 x 2 [x 1 x 2 x 3 x 1 + 2x 2 x 3 x 2 + 2x 3 = 2x 2 1 2x 1 x 2 + 2x 2 2 2x 2 x 3 + 2x 2 3 = x (x 2 1 2x 1 x 2 + x 2 2) + (x 2 2 2x 2 x 3 + x 2 3) + x 2 3 = x (x 1 x 2 ) 2 + (x 2 x 3 ) 2 + x 2 3 Dari sini dapat disimpulkan bahwa matrik A bersifat positive-definite, karena memenuhi kecuali jika x 1 =x 2 =x 3 =0. x 1 x 2 x 3 x (x 1 x 2 ) 2 + (x 2 x 3 ) 2 + x 2 3 > Vektor-baris dan vektor-kolom Notasi vektor biasanya dinyatakan dengan huruf kecil dan dicetak tebal. Suatu matrik dinamakan vektor-baris berukuran m, bila hanya memiliki satu baris dan m kolom, yang dinyatakan sebagai berikut ] ] a = [a 11 a a 1m = [a 1 a 2... a m (1.4) Sedangkan suatu matrik dinamakan vektor-kolom berukuran n, bila hanya memiliki satu kolom dan n baris, yang dinyatakan sebagai berikut a 11 a 1 a a = 21. = a 2. (1.5) a n1 a n

21 1.4. OPERASI MATEMATIKA Operasi matematika Penjumlahan matrik Operasi penjumlahan pada dua buah matrik hanya bisa dilakukan bila kedua matrik tersebut berukuran sama. Misalnya matrik C 2 3 [ ] C = dijumlahkan dengan matrik A 2 3, lalu hasilnya (misalnya) dinamakan matrik D 2 3 D = A + C D = = = [ ] [ ] [ ] [ ] Tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing matrik, operasi penjumlahan antara matrik A 2 3 dan C 2 3, bisa juga dinyatakan dalam indeks masing-masing dari kedua matrik tersebut, yaitu [ ] [ ] d 11 d 12 d 13 a 11 + c 11 a 12 + c 12 a 13 + c 13 = d 21 d 22 d 23 a 21 + c 21 a 22 + c 22 a 23 + c 23 Dijabarkan satu persatu sebagai berikut d 11 = a 11 + c 11 d 12 = a 12 + c 12 d 13 = a 13 + c 13 (1.6) d 21 = a 21 + c 21 d 22 = a 22 + c 22 d 23 = a 23 + c 23 Dari sini dapat diturunkan sebuah rumus umum penjumlahan dua buah matrik d ij = a ij + c ij (1.7) dimana i=1,2 dan j=1,2,3.

22 8 BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI Komputasi penjumlahan matrik Berdasarkan contoh operasi penjumlahan di atas, indeks j pada persamaan (1.7) lebih cepat berubah dibanding indeks i sebagaimana ditulis pada persamaan (1.6), d 11 = a 11 + c 11 d 12 = a 12 + c 12 d 13 = a 13 + c 13 Jelas terlihat, ketika indeks i masih bernilai 1, indeks j sudah berubah dari nilai 1 sampai 3. Hal ini membawa konsekuensi pada script pemrograman, dimana looping untuk indeks j harus diletakkan di dalam looping indeks i. Pokoknya yang looping-nya paling cepat harus diletakkan paling dalam; sebaliknya, looping paling luar adalah looping yang indeksnya paling jarang berubah. Dalam matlab, algoritma penjumlahan dua matrik ditulis sebagai berikut: 1 for i=1:2 2 for j=1:3 3 D(i,j)=A(i,j)+C(i,j); 4 end 5 end Sedangkan dalam Fortran77, operasi penjumlahan antara matrik ditulis sebagai berikut: A 2 3 dan C 2 3 adalah 1 do i=1,2 2 do j=1,3 3 D(i,j)=A(i,j)+C(i,j) 4 end do 5 end do Perhatikan kedua script di atas! Penulisan indeks i harus didahulukan daripada indeks j. Perlu dicatat bahwa ukuran matrik tidak terbatas hanya 2x3. Tentu saja anda bisa mengubah ukurannya sesuai dengan keperluan atau kebutuhan anda. Jika ukuran matrik dinyatakan secara umum sebagai n x m, dimana n adalah jumlah baris dan m adalah jumlah kolom, maka bentuk pernyataan komputasinya dalam matlab menjadi 1 for i=1:n 2 for j=1:m 3 D(i,j)=A(i,j)+C(i,j); 4 end 5 end sedangkan dalam Fortran77 1 do i=1,n 2 do j=1,m 3 D(i,j)=A(i,j)+C(i,j)

23 1.4. OPERASI MATEMATIKA 9 4 end do 5 end do Sekarang, mari kita lengkapi dengan contoh sebagai berikut: diketahui matrik A 2 3 [ ] A = dan matrik C 2 3 [ ] C = Program untuk menjumlahkan kedua matrik tersebut dalam matlab adalah: 1 clear all 2 clc 3 4 A(1,1) = 3; 5 A(1,2) = 8; 6 A(1,3) = 5; 7 A(2,1) = 6; 8 A(2,2) = 4; 9 A(2,3) = 7; 10 C(1,1) = 9; 11 C(1,2) = 5; 12 C(1,3) = 3; 13 C(2,1) = 7; 14 C(2,2) = 2; 15 C(2,3) = 1; 16 n=2 17 m=3 18 for i=1:n 19 for j=1:m 20 D(i,j)=A(i,j)+C(i,j); 21 end 22 end sedangkan dalam Fortran77 1 A(1,1) = 3 2 A(1,2) = 8 3 A(1,3) = 5 4 A(2,1) = 6 5 A(2,2) = 4 6 A(2,3) = 7 7 C(1,1) = 9 8 C(1,2) = 5 9 C(1,3) = 3 10 C(2,1) = 7 11 C(2,2) = 2 12 C(2,3) = 1 13 n=2 14 m=3 15 do i=1,n 16 do j=1,m

24 10 BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI 17 D(i,j)=A(i,j)+C(i,j) 18 end do 19 end do Perkalian matrik Operasi perkalian dua buah matrik hanya bisa dilakukan bila jumlah kolom matrik pertama sama dengan jumlah baris matrik kedua. Jadi kedua matrik tersebut tidak harus berukuran sama seperti pada penjumlahan dua matrik. Misalnya matrik A 2 3 dikalikan dengan matrik B 3 2, lalu hasilnya (misalnya) dinamakan matrik E 2 2 E 2 2 = A 2 3.B 3 2 E = = = [ ] [ ] [ ] Tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing matrik, operasi perkalian antara matrik A 2 3 dan B 3 2, bisa juga dinyatakan dalam indeks masing-masing dari kedua matrik tersebut, yaitu [ ] [ ] e 11 e 12 a 11.b 11 + a 12.b 21 + a 13.b 31 a 11.b 12 + a 12.b 22 + a 13.b 32 = e 21 e 22 a 21.b 11 + a 22.b 21 + a 23.b 31 a 21.b 12 + a 22.b 22 + a 23.b 32 Bila dijabarkan, maka elemen-elemen matrik E 2 2 adalah e 11 = a 11.b 11 + a 12.b 21 + a 13.b 31 (1.8) e 12 = a 11.b 12 + a 12.b 22 + a 13.b 32 (1.9) e 21 = a 21.b 11 + a 22.b 21 + a 23.b 31 (1.10) e 22 = a 21.b 12 + a 22.b 22 + a 23.b 32 (1.11) Sejenak, mari kita amati perubahan pasangan angka-angka indeks yang mengiringi elemen e, a dan b pada persamaan (1.8) sampai persamaan (1.11). Perhatikan perubahan angka indeks

25 1.4. OPERASI MATEMATIKA 11 pertama pada elemen e seperti berikut ini e 1.. =.. e 1.. =.. e 2.. =.. e 2.. =.. Pola perubahan yang sama akan kita dapati pada angka indeks pertama dari elemen a e 1.. = a 1...b... + a 1...b... + a 1...b... e 1.. = a 1...b... + a 1...b... + a 1...b... e 2.. = a 2...b... + a 2...b... + a 2...b... e 2.. = a 2...b... + a 2...b... + a 2...b... Dengan demikian kita bisa mencantumkan huruf i sebagai pengganti angka-angka indeks yang polanya sama e i.. = a i...b... + a i...b... + a i...b... e i.. = a i...b... + a i...b... + a i...b... e i.. = a i...b... + a i...b... + a i...b... e i.. = a i...b... + a i...b... + a i...b... dimana i bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 2, atau kita nyatakan i=1,2. Selanjutnya, masih dari persamaan (1.8) sampai persamaan (1.11), marilah kita perhatikan perubahan angka indeks masih pada elemen e dan elemen b, e i1 = a i...b..1 + a i...b..1 + a i...b..1 e i2 = a i...b..2 + a i...b..2 + a i...b..2 e i1 = a i...b..1 + a i...b..1 + a i...b..1 e i2 = a i...b..2 + a i...b..2 + a i...b..2 Dengan demikian kita bisa mencantumkan huruf j sebagai pengganti angka-angka indeks yang polanya sama e ij = a i...b..j + a i...b..j + a i...b..j e ij = a i...b..j + a i...b..j + a i...b..j e ij = a i...b..j + a i...b..j + a i...b..j e ij = a i...b..j + a i...b..j + a i...b..j

26 12 BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI dimana j bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 2, atau kita nyatakan j=1,2. Selanjutnya, masih dari persamaan (1.8) sampai persamaan (1.11), mari kita perhatikan perubahan angka indeks masih pada elemen a dan elemen b, dimana kita akan dapati pola sebagai berikut e ij = a i1.b 1j + a i2.b 2j + a i3.b 3j e ij = a i1.b 1j + a i2.b 2j + a i3.b 3j e ij = a i1.b 1j + a i2.b 2j + a i3.b 3j e ij = a i1.b 1j + a i2.b 2j + a i3.b 3j Dan kita bisa mencantumkan huruf k sebagai pengganti angka-angka indeks yang polanya sama, dimana k bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 3, atau kita nyatakan k=1,2,3. e ij = a ik.b kj + a ik.b kj + a ik.b kj e ij = a ik.b kj + a ik.b kj + a ik.b kj e ij = a ik.b kj + a ik.b kj + a ik.b kj e ij = a ik.b kj + a ik.b kj + a ik.b kj Kemudian secara sederhana dapat ditulis sebagai berikut e ij = a ik.b kj + a ik.b kj + a ik.b kj (1.12) Selanjutnya dapat ditulis pula formula berikut e ij = dimana i=1,2; j=1,2; dan k=1,2,3. 3 a ik b kj (1.13) k=1 Berdasarkan contoh ini, maka secara umum bila ada matrik A n m yang dikalikan dengan matrik B m p, akan didapatkan matrik E n p dimana elemen-elemen matrik E memenuhi m e ij = a ik b kj (1.14) dengan i=1,2,...,n; j=1,2...,p; dan k=1,2...,m. k= Komputasi perkalian matrik Komputasi operasi perkalian antara matrik A 2 3 dan B 3 2 dilakukan melalui 2 tahap; pertama adalah memberikan nilai 0 (nol) pada elemen-elemen matrik E 2 2 dengan cara (dalam matlab) 1 for i=1:2 2 for j=1:2 3 E(i,j)=0.0; 4 end 5 end

27 1.4. OPERASI MATEMATIKA 13 dalam Fortran77 1 do i=1,2 2 do j=1,2 3 E(i,j)=0.0 4 end do 5 end do kedua adalah menghitung perkalian matrik dengan cara (dalam matlab) 1 for i=1:2 2 for j=1:2 3 for k=1:3 4 E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j); 5 end 6 end 7 end dalam Fortran77 1 do i=1,2 2 do j=1,2 3 do k=1,3 4 E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j) 5 end do 6 end do 7 end do Sebentar.., sebelum dilanjut tolong perhatikan penempatan indeks i, j dan k pada script di atas. Mengapa indeks i didahulukan daripada indeks j dan k? Ini bukan sesuatu yang kebetulan. Dan ini juga bukan sekedar mengikuti urutan huruf abjad i,j,k. Sekali lagi ingin saya tegaskan bahwa penempatan yang demikian semata-mata mengikuti aturan umum yaitu looping yang indeksnya berubah paling cepat harus diletakkan paling dalam; sebaliknya, looping paling luar adalah looping yang indeksnya paling jarang berubah. Kalau anda perhatikan dengan teliti, pasti anda akan menemukan fakta bahwa indeks k paling cepat berubah. Kemudian disusul oleh indeks j. Lalu yang paling jarang berubah adalah indeks i. Itulah sebabnya, penempatan urutan indeks pada script di atas harus dimulai dari i terlebih dahulu sebagai looping terluar, kemudian indeks j, dan yang terakhir indeks k sebagai looping terdalam. Tentu saja anda bisa mengubah ukurannya sesuai dengan keperluan atau kebutuhan anda. Jika ukuran matrik A dinyatakan secara umum sebagai n x m dan matrik B berukuran m x p, maka bentuk pernyataan komputasinya dalam Matlab menjadi 1 for i=1:n 2 for j=1:p 3 E(i,j)=0.0; 4 end 5 end 6 for i=1:n

28 14 BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI 7 for j=1:p 8 for k=1:m 9 E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j); 10 end 11 end 12 end dalam Fortran77 1 do i=1,n 2 do j=1,p 3 E(i,j)=0.0 4 end do 5 end do 6 do i=1,n 7 do j=1,p 8 do k=1,m 9 E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j) 10 end do 11 end do 12 end do dimana akan diperoleh hasil berupa matrik E yang berukuran n x p Perkalian matrik dan vektor-kolom Operasi perkalian antara matrik dan vektor-kolom sebenarnya sama saja dengan perkalian antara dua matrik. Hanya saja ukuran vektor-kolom boleh dibilang spesial yaitu m x 1, dimana m merupakan jumlah baris sementara jumlah kolomnya hanya satu. Misalnya matrik A, pada contoh 1, dikalikan dengan vektor-kolom x yang berukuran 3 x 1 atau disingkat dengan mengatakan vektor-kolom x berukuran 3, lalu hasilnya (misalnya) dinamakan vektor-kolom y y = Ax y = = = [ ] [ ] [ ] Sekali lagi, tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing, operasi perkalian antara matrik A dan vektor-kolom x, bisa juga dinyatakan dalam indeksnya masing-masing, yaitu [ y 1 y 2 ] [ ] a 11.x 1 + a 12.x 2 + a 13.x 3 = a 21.x 1 + a 22.x 2 + a 23.x 3

29 1.4. OPERASI MATEMATIKA 15 Bila dijabarkan, maka elemen-elemen vektor-kolom y adalah y 1 = a 11.x 1 + a 12.x 2 + a 13.x 3 y 2 = a 21.x 1 + a 22.x 2 + a 23.x 3 kemudian secara sederhana dapat diwakili oleh rumus berikut y i = dimana i=1,2. 3 a ij x j j=1 Berdasarkan contoh tersebut, secara umum bila ada matrik A berukuran n x m yang dikalikan dengan vektor-kolom x berukuran m, maka akan didapatkan vektor-kolom y berukuran n x 1 dimana elemen-elemen vektor-kolom y memenuhi y i = dengan i=1,2,...,n. m a ij x j (1.15) j= Komputasi perkalian matrik dan vektor-kolom Sama seperti perkalian dua matrik, komputasi untuk operasi perkalian antara matrik A berukuran n x m dan vektor-kolom x berukuran m dilakukan melalui 2 tahap; pertama adalah memberikan nilai 0 (nol) pada elemen-elemen vektor-kolom y yang berukuran n. Lalu tahap kedua adalah melakukan proses perkalian. Kedua tahapan ini digabung jadi satu dalam program berikut ini 1 for i=1:n 2 b(i,1)=0.0; 3 end 4 for i=1:n 5 for j=1:m 6 b(i,1)=b(i,1)+a(i,j)*x(j,1); 7 end 8 end dan dalam Fortran 1 do i=1,n 2 b(i,1)=0.0 3 end do 4 do i=1,n 5 do j=1,m 6 b(i,1)=b(i,1)+a(i,j)*x(j,1) 7 end do 8 end do

30 16 BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI 1.5 Penutup Demikianlah catatan singkat dan sederhana mengenai jenis-jenis matrik dasar yang seringkali dijumpai dalam pengolahan data fisika secara numerik. Semuanya akan dijadikan acuan atau referensi pada pembahasan topik-topik numerik yang akan datang. 1.6 Latihan Diketahui matrik A, matrik B, dan vektor x sebagai berikut A = B = x = Buatlah script untuk menyelesaikan penjumlahan matrik A dan matrik B. 2. Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik A dan matrik B. 3. Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik A dan vektor x. 4. Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik A dan vektor x.

31 Bab 2 Metode Eliminasi Gauss Objektif : Mengenalkan sistem persamaan linear. Mengenalkan teknik triangularisasi dan substitusi mundur. Aplikasi metode Eliminasi Gauss menggunakan matrik. Membuat algoritma metode Eliminasi Gauss. Menghitung invers matrik menggunakan metode Eliminasi Gauss. 2.1 Sistem persamaan linear Secara umum, sistem persamaan linear dinyatakan sebagai berikut P n : a n1 x 1 + a n2 x a nn x n = b n (2.1) dimana a dan b merupakan konstanta, x adalah variable, n = 1, 2, 3,... Contoh pertama Misalnya ada sistem persamaan linear yang terdiri dari empat buah persamaan yaitu P 1, P 2, P 3, dan P 4 seperti berikut ini: P 1 : x 1 + x 2 + 3x 4 = 4 P 2 : 2x 1 + x 2 x 3 + x 4 = 1 P 3 : 3x 1 x 2 x 3 + 2x 4 = -3 P 4 : x 1 + 2x 2 + 3x 3 x 4 = 4 Problem dari sistem persamaan linear adalah bagaimana mencari nilai pengganti bagi variabel x 1, x 2, x 3, dan x 4 sehingga semua persamaan diatas menjadi benar. Langkah awal penyelesaian problem tersebut adalah dengan melakukan penyederhanaan sistem persamaan linear. 17

32 18 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS 2.2 Triangularisasi dan Substitusi Mundur Ada banyak jalan untuk mendapatkan bentuk yang lebih sederhana, namun masalahnya, kita ingin mendapatkan sebuah algoritma program yang nantinya bisa berjalan di komputer, sedemikian rupa sehingga apapun persamaannya, bisa disederhanakan oleh komputer. Kita akan berpatokan pada tiga buah aturan operasi untuk menyederhanakan sistem persamaan linear di atas, yaitu Persamaan P i dapat dikalikan dengan sembarang konstanta λ, lalu hasilnya ditempatkan di posisi persamaan P i. Simbol operasi ini adalah (λp i ) (P i ). Persamaan P j dapat dikalikan dengan sembarang konstanta λ kemudian dijumlahkan dengan persamaan P i, lalu hasilnya ditempatkan di posisi persamaan P i. Simbol operasi ini adalah (P i + λp j ) (P i ). Persamaan P i dan P j dapat bertukar posisi. Simbol operasi ini adalah (P i ) (P j ). Maka dengan berpegang pada aturan-aturan tersebut, problem sistem persamaan linear di atas akan diselesaikan dengan langkah-langkah berikut ini: 1. Gunakan persamaan P 1 untuk menghilangkan variabel x 1 dari persamaan P 2, P 3 dan P 4 dengan cara (P 2 2P 1 ) (P 2 ), (P 3 3P 1 ) (P 3 ) dan (P 4 + P 1 ) (P 4 ). Hasilnya akan seperti ini P 1 : x 1 + x 2 + 3x 4 = 4, P 2 : x 2 x 3 5x 4 = 7, P 3 : 4x 2 x 3 7x 4 = 15, P 4 : 3x 2 + 3x 3 + 2x 4 = 8 2. Gunakan persamaan P 2 untuk menghilangkan variabel x 2 dari persamaan P 3 dan P 4 dengan cara (P 3 4P 2 ) (P 3 ) dan (P 4 + 3P 2 ) (P 4 ). Hasilnya akan seperti ini P 1 : x 1 + x 2 + 3x 4 = 4, P 2 : x 2 x 3 5x 4 = 7, P 3 : 3x x 4 = 13, P 4 : 13x 4 = 13 Kalau x 3 masih ada di persamaan P 4, dibutuhkan satu operasi lagi untuk menghilangkannya. Namun hasil operasi pada langkah ke-2 ternyata sudah otomatis menghilangkan x 3. Bentuk akhir dari keempat persamaan di atas, dikenal sebagai bentuk triangular. Sampai dengan langkah ke-2 ini, kita berhasil mendapatkan sistem persamaan linear yang lebih sederhana. Apa yang dimaksud dengan sederhana dalam konteks ini? Suatu sistem persamaan linear dikatakan sederhana bila kita bisa mendapatkan seluruh nilai pengganti variabelnya dengan cara yang lebih mudah atau dengan usaha yang tidak

33 2.2. TRIANGULARISASI DAN SUBSTITUSI MUNDUR 19 memakan waktu lama dibandingkan sebelum disederhanakan. Sekali kita mendapatkan nilai pengganti bagi variabel x 4, maka x 3, x 2 dan x 1 akan diperoleh dengan mudah dan cepat, sebagaimana yang dijelaskan pada langkah berikutnya. 3. Selanjutnya kita jalankan proses backward-substitution. Melalui proses ini, yang pertama kali didapat adalah nilai pengganti bagi variabel x 4, kemudian x 3, lalu diikuti x 2, dan akhirnya x 1. P 4 : x 4 = = 1, P 3 : x 3 = 1 3 (13 13x 4) = 1 (13 13) = 0, 3 P 2 : x 2 = ( 7 + 5x 4 + x 3 ) = ( ) = 2, P 1 : x 1 = 4 3x 4 x 2 = = 1 Jadi solusinya adalah x 1 = 1, x 2 = 2, x 3 = 0 dan x 4 = 1. Coba sekarang anda cek, apakah semua solusi ini cocok dan tepat bila dimasukan ke sistem persamaan linear yang pertama, yaitu yang belum disederhanakan? OK, mudah-mudahan ngerti ya... Kalau belum paham, coba diulangi bacanya sekali lagi. Atau, sekarang kita beralih kecontoh yang lain.

34 20 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS Contoh kedua Misalnya ada sistem persamaan linear, terdiri dari empat buah persamaan yaitu P 1, P 2, P 3, dan P 4 seperti berikut ini: P 1 : x 1 x 2 + 2x 3 x 4 = -8 P 2 : 2x 1 2x 2 + 3x 3 3x 4 = -20 P 3 : x 1 + x 2 + x 3 = -2 P 4 : x 1 x 2 + 4x 3 + 3x 4 = 4 Seperti contoh pertama, solusi sistem persamaan linear di atas akan dicari dengan langkahlangkah berikut ini: 1. Gunakan persamaan P 1 untuk menghilangkan x 1 dari persamaan P 2, P 3 dan P 4 dengan cara (P 2 2P 1 ) (P 2 ), (P 3 P 1 ) (P 3 ) dan (P 4 P 1 ) (P 4 ). Hasilnya akan seperti ini P 1 : x 1 x 2 + 2x 3 x 4 = 8, P 2 : x 3 x 4 = 4, P 3 : 2x 2 x 3 + x 4 = 6, P 4 : 2x 3 + 4x 4 = 12 Perhatikan persamaan P 2! Akibat dari langkah yang pertama tadi, x 2 hilang dari persamaan P 2. Kondisi ini bisa menggagalkan proses triangularisasi. Untuk itu, posisi P 2 mesti ditukar dengan persamaan yang berada dibawahnya, yaitu P 3 atau P 4. Supaya proses triangularisasi dilanjutkan kembali, maka yang paling cocok adalah ditukar dengan P Tukar posisi persamaan P 2 dengan persamaan P 3, (P 2 P 3 ). Hasilnya akan seperti ini P 1 : x 1 x 2 + 2x 3 x 4 = 8, P 2 : 2x 2 x 3 + x 4 = 6, P 3 : x 3 x 4 = 4, P 4 : 2x 3 + 4x 4 = Gunakan persamaan P 3 untuk menghilangkan x 3 dari persamaan P 4 dengan cara (P 4 2P 3 ) (P 4 ). Hasilnya akan seperti ini P 1 : x 1 x 2 + 2x 3 x 4 = 8, P 2 : 2x 2 x 3 + x 4 = 6, P 3 : x 3 x 4 = 4, P 4 : 2x 4 = 4 Sampai disini proses triangularisasi telah selesai.

35 2.3. MATRIK DAN ELIMINASI GAUSS Selanjutnya adalah proses backward-substitution. Melalui proses ini, yang pertama kali didapat solusinya adalah x 4, kemudian x 3, lalu diikuti x 2, dan akhirnya x 1. P 4 : x 4 = 4 2 = 2, P 3 : x 3 = 4 + x 4 1 = 2, P 2 : x 2 = 6 + x 3 x 4 = 3, 2 P 1 : x 1 = 8 + x 2 2x 3 + x 4 = 7 Jadi solusinya adalah x 1 = 7, x 2 = 3, x 3 = 2 dan x 4 = 2. Berdasarkan kedua contoh di atas, untuk mendapatkan solusi sistem persamaan linear, diperlukan operasi triangularisasi dan proses backward-substitution. Kata backward-substitution kalau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia, menjadi substitusi-mundur. Gabungan proses triangularisasi dan substitusi-mundur untuk menyelesaikan sistem persamaan linear dikenal sebagai metode eliminasi gauss. 2.3 Matrik dan Eliminasi Gauss Sejumlah matrik bisa digunakan untuk menyatakan suatu sistem persamaan linear. Sejenak, mari kita kembali lagi melihat sistem persamaan linear secara umum seperti berikut ini: a 11 x 1 + a 12 x a 1n x n = b 1 a 21 x 1 + a 22 x a 2n x n = b = =... a n1 x 1 + a n2 x a nn x n = b n Sementara, kalau dinyatakan dalam bentuk operasi matrik, maka akan seperti ini: a 11 a a 1n a 21 a a 2n... x 1 x 2. b 1 = b 2. (2.2) a n1 a n2... a nn x n b n Dalam mencari solusi suatu sistem persamaan linear dengan metode eliminasi gauss, bentuk operasi matrik di atas dimanipulasi menjadi matrik augment, yaitu suatu matrik yang beruku-

36 22 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS ran n x (n + 1) seperti berikut ini: a 11 a a 1n b 1 a 21 a a 2n b = a 11 a a 1n a 1,n+1 a 21 a a 2n a 2,n (2.3) a n1 a n2... a nn b n a n1 a n2... a nn a n,n+1 Berdasarkan contoh pertama yang ada dihalaman depan catatan ini, saya akan tunjukkan proses triangularisasi dan substitusi-mundur dalam operasi matrik terhadap sistem persamaan linear yang terdiri dari empat persamaan matematika, yaitu (silakan lihat kembali contoh pertama): x 1 x 2 x 3 x 4 = Lalu kita dapat membuat matrik augment sebagai berikut: Kemudian kita lakukan operasi triangularisai terhadap matrik augment, dimulai dari kolom pertama, yaitu lalu dilanjutkan ke kolom berikutnya Sebelum dilanjutkan ke substitusi-mundur, saya ingin menegaskan peranan angka-angka indeks dari masing-masing elemen matrik augment tersebut. Silakan perhatikan posisi masing-

37 2.4. ALGORITMA ELIMINASI GAUSS 23 masing elemen berikut ini: a 11 a 12 a 13 a 14 a 15 a 21 a 22 a 23 a 24 a 25 a 31 a 32 a 33 a 34 a 35 a 41 a 42 a 43 a 44 a 45 Dengan memperhatikan angka-angka indeks pada matrik augment di atas, kita akan mencoba membuat rumusan proses substitusi-mundur untuk mendapatkan seluruh nilai pengganti variabel x. Dimulai dari x 4, x 4 = a 45 a 44 = = 1 ini dapat dinyatakan dalam rumus umum, yaitu lalu dilanjutkan dengan x 3, x 2, dan x 1. x n = a n,n+1 a nn x 3 = a 35 a 34 x 4 a 33 = x 2 = a 25 (a 23 x 3 + a 24 x 4 ) a 22 = x 1 = a 15 (a 12 x 2 + a 13 x 3 + a 14 x 4 ) a 11 = 13 [(13)(1)] = 0 3 ( 7) [( 1)(0) + ( 5)(1)] = 2 ( 1) 4 [(1)(2) + (0)(0) + (3)(1)] = 1 1 ini juga dapat dinyatakan dalam rumus umum yaitu: x i = a i,n+1 n j=i+1 a ijx j a ii Proses triangularisasi dan substitusi-mundur dibakukan menjadi algoritma metode eliminasi gauss yang dapat diterapkan dalam berbagai bahasa pemrograman komputer, misalnya fortran, C, java, pascal, matlab, dan lain-lain. 2.4 Algoritma eliminasi Gauss Secara umum, sistem persamaan linear adalah sebagai berikut: a 11 x 1 + a 12 x a 1n x n = b 1 a 21 x 1 + a 22 x a 2n x n = b 2.. =. a n1 x 1 + a n2 x a nn x n = b n Algoritma dasar metode eliminasi gauss, adalah sebagai berikut: 1. Ubahlah sistem persamaan linear tersebut menjadi matrik augment, yaitu suatu matrik

38 24 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS yang berukuran n x (n + 1) seperti berikut ini: a 11 a a 1n b 1 a 11 a a 1n a 1,n+1 a 21 a a 2n b = a 21 a a 2n a 2,n (2.4) a n1 a n2... a nn b n a n1 a n2... a nn a n,n+1 Jelas terlihat bahwa elemen-elemen yang menempati kolom terakhir matrik augment adalah nilai dari b i ; yaitu a i,n+1 = b i dimana i = 1, 2,..., n. 2. Periksalah elemen-elemen pivot. Apakah ada yang bernilai nol? Elemen-elemen pivot adalah elemen-elemen yang menempati diagonal suatu matrik, yaitu a 11, a 22,..., a nn atau disingkat a ii. Jika a ii 0, bisa dilanjutkan ke langkah no.3. Namun, jika ada elemen diagonal yang bernilai nol, a ii = 0, maka baris dimana elemen itu berada harus ditukar posisinya dengan baris yang ada dibawahnya, (P i ) (P j ) dimana j = i + 1, i + 2,..., n, sampai elemen diagonal matrik menjadi tidak nol, a ii 0. (Kalau kurang jelas, silakan lihat lagi contoh kedua yang ada dihalaman 3. Sebaiknya, walaupun elemen diagonalnya tidak nol, namun mendekati nol (misalnya 0,03), maka proses pertukaran ini dilakukan juga). 3. Proses triangularisasi. Lakukanlah operasi berikut: P j a ji a ii P i P j (2.5) dimana j = i + 1, i + 2,..., n. Maka matrik augment akan menjadi: a 11 a 12 a a 1n a 1,n+1 0 a 22 a a 2n a 2,n a a 3n a 3,n a nn a n,n+1 (2.6) 4. Hitunglah nilai x n dengan cara: x n = a n,n+1 a nn (2.7) 5. Lakukanlah proses substitusi-mundur untuk memperoleh x n 1, x n 2,..., x 2, x 1 dengan cara: dimana i = n 1, n 2,...,2, 1. x i = a i,n+1 n j=i+1 a ijx j a ii (2.8) Demikianlan algoritma dasar metode eliminasi gauss. Selanjutnya algoritma dasar tersebut perlu dirinci lagi sebelum dapat diterjemahkan kedalam bahasa pemrograman komputer.

39 2.4. ALGORITMA ELIMINASI GAUSS Algoritma Algoritma metode eliminasi gauss untuk menyelesaikan n x n sistem persamaan linear. P 1 : a 11 x 1 + a 12 x a 1n x n = b 1 P 2 : a 21 x 1 + a 22 x a 2n x n = b 2... =. P n : a n1 x 1 + a n2 x a nn x n = b n INPUT: sejumlah persamaan linear dimana konstanta-konstanta-nya menjadi elemen-elemen matrik augment A = (a ij ), dengan 1 i n dan 1 j n + 1. OUTPUT: solusi x 1, x 2, x 3,..., x n atau pesan kesalahan yang mengatakan bahwa sistem persamaan linear tidak memiliki solusi yang unik. Langkah 1: Inputkan konstanta-konstanta dari sistem persamaan linear kedalam elemenelemen matrik augment, yaitu suatu matrik yang berukuran n x (n + 1) seperti berikut ini: a 11 a a 1n b 1 a 11 a a 1n a 1,n+1 a 21 a a 2n b = a 21 a a 2n a 2,n+1 (2.9).... a n1 a n2... a nn b n a n1 a n2... a nn a n,n+1 Langkah 2: Untuk i = 1,..., n 1, lakukan Langkah 3 sampai Langkah 5. Langkah 3: Definisikan p sebagai integer dimana i p n. Lalu pastikan bahwa a pi 0. Jika ada elemen diagonal yang bernilai nol (a ii = 0), maka program harus mencari dan memeriksa elemen-elemen yang tidak bernilai nol dalam kolom yang sama dengan kolom tempat elemen diagonal tersebut berada. Jadi saat proses ini berlangsung, integer i (indeks dari kolom) dibuat konstan, sementara integer p (indeks dari baris) bergerak dari p = i sampai p = n. Bila ternyata setelah mencapai elemen paling bawah dalam kolom tersebut, yaitu saat p = n tetap didapat nilai a pi = 0, maka sebuah pesan dimunculkan: sistem persamaan linear tidak memiliki solusi yang unik. Lalu program berakhir: STOP. Langkah 4: Namun jika sebelum integer p mencapai nilai p = n sudah diperoleh elemen yang tidak nol (a pi 0), maka bisa dipastikan p i. Jika p i maka lakukan proses pertukaran (P p ) (P i ). Langkah 5: Untuk j = i + 1,.., n, lakukan Langkah 6 dan Langkah 7. Langkah 6: Tentukan m ji, m ji = a ji a ii

40 26 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS Langkah 7: Lakukan proses triangularisasi, (P j m ji P i ) (P j ) Langkah 8: Setelah proses triangularisasi dilalui, periksalah a nn. Jika a nn = 0, kirimkan pesan: sistem persamaan linear tidak memiliki solusi yang unik. Lalu program berakhir: STOP. Langkah 9: Jika a nn 0, lakukan proses substitusi mundur, dimulai dengan menentukan x n, x n = a n,n+1 a nn Langkah 10: Untuk i = n 1,...,1 tentukan x i, x i = a i,n+1 n j=i+1 a ijx j a ii Langkah 11: Diperoleh solusi yaitu x 1, x 2,..., x n. Algoritma telah dijalankan dengan sukses. STOP. Saya telah membuat program sederhana dalam fortran untuk mewujudkan algoritma eliminasi gauss. Saya berasumsi bahwa anda sudah menguasai dasar-dasar pemrograman dalam fortran. Program ini sudah dicoba di-compile dengan fortran77 under Linux Debian dan visual-fortran under windows-xp. Langkah-langkah yang tercantum pada program ini disesuaikan dengan langkah-langkah yang tertulis di atas. Dalam program ini, ukuran maksimum matrik augment adalah 10 x 11, untuk mencari 10 variabel yang tidak diketahui. Jika anda bermaksud memperbesar atau memperkecil ukuran matrik augment, silakan sesuaikan angka ukuran matrik yang anda inginkan pada statemen pertama dari program ini, yaitu statemen DIMENSION. Inilah programnya, 1 DIMENSION A(10,11), X(10) 2 REAL MJI 3 WRITE (*,*) =PROGRAM ELIMINASI GAUSS= 4 WRITE (*,*) 5 C LANGKAH 1: MEMASUKAN NILAI ELEMEN-ELEMEN MATRIK AUGMENT 6 WRITE (*, (1X,A) ) JUMLAH PERSAMAAN? 7 READ (*,*) N 8 WRITE (*,*) 9 WRITE (*,*) MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK AUGMENT 10 M = N DO 50 I = 1,N 12 DO 60 J = 1,M 13 WRITE (*, (1X,A,I2,A,I2,A) ) A(,I,,,J, ) = 14 READ (*,*) A(I,J) CONTINUE CONTINUE 17 WRITE (*,*) 18 C MENAMPILKAN MATRIK AUGMENT

41 2.4. ALGORITMA ELIMINASI GAUSS WRITE (*, (1X,A) ) MATRIK AUGMENT: 20 DO 110 I = 1,N 21 WRITE (*, (1X,5(F14.8)) ) (A(I,J),J=1,M) CONTINUE 23 WRITE (*,*) 24 C LANGKAH 2: MEMERIKSA ELEMEN-ELEMEN PIVOT DAN PROSES TUKAR POSISI 25 NN = N-1 26 DO 10 I=1,NN 27 C LANGKAH 3: MENDEFINISIKAN P 28 P = I IF (ABS(A(P,I)).GE.1.0E-20.OR. P.GT.N) GOTO P = P+1 31 GOTO IF(P.EQ.N+1)THEN 33 C MENAMPILKAN PESAN TIDAK UNIK 34 WRITE(*,5) 35 GOTO END IF 37 C LANGKAH 4: PROSES TUKAR POSISI 38 IF(P.NE.I) THEN 39 DO 20 JJ=1,M 40 C = A(I,JJ) 41 A(I,JJ) = A(P,JJ) 42 A(P,JJ) = C CONTINUE 44 END IF 45 C LANGKAH 5: PERSIAPAN PROSES TRIANGULARISASI 46 JJ = I+1 47 DO 30 J=JJ,N 48 C LANGKAH 6: TENTUKAN MJI 49 MJI = A(J,I)/A(I,I) 50 C LANGKAH 7: MELAKUKAN PROSES TRIANGULARISASI 51 DO 40 K=JJ,M 52 A(J,K) = A(J,K)-MJI*A(I,K) CONTINUE 54 A(J,I) = CONTINUE CONTINUE 57 C MENAMPILKAN HASIL TRIANGULARISASI 58 WRITE (*, (1X,A) ) HASIL TRIANGULARISASI: 59 DO 120 I = 1,N 60 WRITE (*, (1X,5(F14.8)) ) (A(I,J),J=1,M) CONTINUE 62 C LANGKAH 8: MEMERIKSA ELEMEN A(N,N) 63 IF(ABS(A(N,N)).LT.1.0E-20) THEN 64 C MENAMPILKAN PESAN TIDAK UNIK 65 WRITE(*,5) 66 GOTO END IF 68 C LANGKAH 9: MENGHITUNG X(N) 69 X(N) = A(N,N+1)/A(N,N) 70 C LANGKAH 10: PROSES SUBSTITUSI MUNDUR 71 L = N-1 72 DO 15 K=1,L 73 I = L-K+1 74 JJ = I+1 75 SUM = DO 16 KK=JJ,N 77 SUM = SUM+A(I,KK)*X(KK)

42 28 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS CONTINUE 79 X(I) = (A(I,N+1)-SUM)/A(I,I) CONTINUE 81 C LANGKAH 11: MENAMPILKAN HASIL PERHITUNGAN 82 WRITE (*,*) 83 WRITE (*,7) 84 DO 18 I = 1,N 85 WRITE (*, (1X,A,I2,A,F14.8) ) X(,I, ) =,X(I) CONTINUE STOP FORMAT(1X, SISTEM LINEAR TIDAK MEMILIKI SOLUSI YANG UNIK ) 90 7 FORMAT(1X, SOLUSI UNIK ) 91 END Script eliminasi gauss dalam matlab juga telah dibuat. Namun dalam anda perlu memodifikasi elemen-elemen matrik A agar sesuai dengan data yang hendak anda olah. 1 clear all 2 clc 3 A(1,1)=1; 4 A(1,2)=1; 5 A(1,3)=-1; 6 A(1,4)=0; 7 A(2,1)=6; 8 A(2,2)=-4; 9 A(2,3)=0; 10 A(2,4)=24; 11 A(3,1)=6; 12 A(3,2)=0; 13 A(3,3)=2; 14 A(3,4)=10; 15 A 16 n=3 %jumlah persamaan 17 pause %========== Proses Triangularisasi ========= 20 for j=1:(n-1) %----mulai proses pivot if (A(j,j)==0) 24 for p=1:n+1 25 u=a(j,p); 26 v=a(j+1,p); 27 A(j+1,p)=u; 28 A(j,p)=v; 29 end 30 end 31 %----akhir proses pivot jj=j+1; 33 for i=jj:n 34 m=a(i,j)/a(j,j); 35 for k=1:(n+1) 36 A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k)); 37 end 38 end 39 end 40 A

43 2.5. CONTOH APLIKASI pause 42 %========= Akhir Proses Triangularisasi === %------Proses Substitusi mundur x(n,1)=a(n,n+1)/a(n,n); for i=n-1:-1:1 48 S=0; 49 for j=n:-1:i+1 50 S=S+A(i,j)*x(j,1); 51 end 52 x(i,1)=(a(i,n+1)-s)/a(i,i); 53 end 54 x 2.5 Contoh aplikasi Menghitung arus listrik Gunakan metode Eliminasi Gauss untuk menentukan arus i 1, i 2 dan i 3 yang mengalir pada rangkaian berikut ini jawab: Berdasarkan Hukum Kirchhoff: I 1 + I 2 = I I 1 2I 3 = I I 2 = 0 Lalu kita susun ulang ketiga persamaan di atas menjadi seperti ini: I 1 + I 2 I 3 = 0 6I 1 + 2I 3 = 10 6I 1 4I 2 = 24

44 30 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS Kemudian dinyatakan dalam bentuk matriks: I 1 I 2 I 3 = Selanjutkan kita susun matriks augmentasi sebagai berikut: Langkah berikutnya adalah menghitung matriks triangularisasi dengan langkah-langkah sebagai berikut: m = a 21 = 6 = 6 a 11 1 a 21 = a 21 m.a 11 = 6 (6).(1) = 0 a 22 = a 22 m.a 12 = 4 (6).(1) = 10 a 23 = a 23 m.a 13 = 0 (6).( 1) = 6 a 24 = a 24 m.a 14 = 24 (6).(0) = 24 m = a 31 = 6 = 6 a 11 1 a 31 = a 31 m.a 11 = 6 (6).(1) = 0 a 32 = a 32 m.a 12 = 0 (6).(1) = 6 a 33 = a 33 m.a 13 = 2 (6).( 1) = 8 a 34 = a 34 m.a 14 = 10 (6).(0) = 10 Sampai disini matriks augment mengalami perubahan menjadi

45 2.6. MENGHITUNG INVERS MATRIK 31 Kelanjutan langkah menuju triangularisasi adalah m = a 32 a 22 = 6 10 a 31 = a 31 m.a 21 = 0 ( 6 10 ).(0) = 0 a 32 = a 32 m.a 22 = 6 ( 6 10 ).( 10) = 0 a 33 = a 33 m.a 23 = 8 ( 6 ).(6) = 4, 4 10 a 34 = a 34 m.a 24 = 10 ( 6 ).(24) = 4, 4 10 maka matriks triangularisasi berhasil didapat yaitu , 4 4, 4 Sekarang tinggal melakukan proses substitusi mundur I 3 = a 34 a 33 = 4, 4 4, 4 = 1 I 2 = a 24 a 23.I 3 a 22 = I 1 = a 14 (a 13.I 3 + a 12.I 2 ) a 11 = 24 (6).( 1) = 3 10 (0 [( 1).( 1) + (1).( 3)] 1 = 2 Dengan demikian, besar masing-masing arus pada rangkaian di atas adalah I 1 = 2A, I 2 = 3A dan I 3 = 1A. Tanda minus (-) memiliki arti bahwa arah arus yang sesungguhnya berlawanan arah dengan asumsi awal yang kita gunakan. 2.6 Menghitung invers matrik Sekali lagi saya ulangi apa yang pernah kita bahas di awal bab ini yaitu bahwa sistem persamaan linear dapat dinyatakan sebagai berikut: a 11 x 1 + a 12 x a 1n x n = b 1 a 21 x 1 + a 22 x a 2n x n = b = =... a n1 x 1 + a n2 x a nn x n = b n Sistem persamaan linear tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk operasi matrik, Ax = b (2.10)

46 32 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS sehingga bentuknya menjadi seperti ini: a 11 a a 1n a 21 a a 2n... x 1 x 2. = b 1 b 2. a n1 a n2... a nn x n b n dimana A = a 11 a a 1n a 21 a a 2n..., x = x 1 x 2., b = b 1 b 2. a n1 a n2... a nn x n b n Dalam kaitannya dengan invers matrik, matrik A disebut matrik non-singular jika matrik A memiliki matrik invers dirinya yaitu A 1. Atau dengan kata lain, matrik A 1 adalah invers dari matrik A. Jika matrik A tidak memiliki invers, maka matrik A disebut singular. Bila matrik A dikalikan dengan matrik A 1 maka akan menghasilkan matrik identitas I, yaitu suatu matrik yang elemen-elemen diagonalnya bernilai 1. Misalnya diketahui, A = AA = I = , A 1 = Bila keduanya dikalikan, maka akan menghasilkan matrik identitas, AA 1 = = (2.11) Lalu bagaimana cara mendapatkan matrik invers, A 1? Persamaan (2.11) bisa dijadikan pedoman.. AA 1 = I i 11 i 12 i 13 i 21 i 22 i 23 i 31 i 32 i 33 =

47 2.6. MENGHITUNG INVERS MATRIK 33 dalam hal ini matrik A 1 adalah A 1 = i 11 i 12 i 13 i 21 i 22 i 23 i 31 i 32 i 33 Elemen-elemen matrik invers, A 1 dapat diperoleh dengan menerapkan metode eliminasi gauss. Diawali dengan membentuk matrik augment: Lalu dilanjutkan dengan proses triangularisasi: (P 2 2P 1 ) (P 2 ) dan (P 3 +P 1 ) (P 3 ), kemudian diikuti oleh (P 3 + P 2 ) (P 3 ): Langkah berikutnya, matrik augment yang telah mengalami triangularisasi tersebut dipecah menjadi tiga buah matrik augment seperti berikut ini: Langkah pamungkasnya adalah melakukan proses substitusi mundur pada ketiga matrik augment di atas, sehingga diperoleh: i 11 = 2 9 i 21 = 4 9 i 31 = 1 3 i 12 = 5 9 i 22 = 1 9 i 32 = 1 3 i 13 = 1 9 i 23 = 2 9 i 33 = 1 3 Hasil tersebut digabung menjadi sebuah matrik, yaitu matrik A 1, A 1 = Keberadaan matrik A 1 bisa digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan linear

48 34 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS (mencari nilai x), dengan cara sebagai berikut Ax A 1 Ax Ix = b = A 1 b = A 1 b x = A 1 b (2.12) Contoh berikut ini akan menjelaskan prosesnya secara lebih rinci. Misalnya diketahui sistem persamaan linear x 1 + 2x 2 x 3 = 2 2x 1 + x 2 = 3 x 1 + x 2 + 2x 3 = 4 Bila dikonversikan kedalam operasi matrik menjadi x 1 x 2 x 3 = Berdasarkan persamaan (2.12), maka elemen-elemen vektor x dapat dicari dengan cara x = A 1 b x = = Akhirnya diperoleh solusi x 1 = 7/9, x 2 = 13/9, dan x 3 = 5/3. Penyelesaian sistem persamaan linear menjadi lebih mudah bila matrik A 1 sudah diketahui. Sayangnya, untuk mendapatkan matrik A 1, diperlukan langkah-langkah, seperti yang sudah dibahas pada contoh pertama di atas, yang berakibat in-efisiensi proses penyelesaian (secara komputasi) bila dibandingkan dengan metode eliminasi gauss untuk memecahkan sistem persamaan linear. Namun bagaimanapun, secara konseptual kita dianjurkan mengetahui cara bagaimana mendapatkan matrik A 1. Saya telah memodifikasi program eliminasi gauss yang terdahulu, untuk keperluan perhitungan matrik invers. Program ini ditulis dengan bahasa fortran, sudah berhasil dikompilasi dalam Linux Debian (g77) dan Windows XP (Visual Fortran). Inilah programnya, 1 DIMENSION A(10,20), D(10,10), X(10) 2 REAL MJI 3 INTEGER TKR, BK, TK, Q 4 WRITE (*,*) =PROGRAM INVERS MATRIK DENGAN ELIMINASI GAUSS= 5 WRITE (*,*)

49 2.6. MENGHITUNG INVERS MATRIK 35 6 C LANGKAH 1: MEMASUKAN NILAI ELEMEN-ELEMEN MATRIK A 7 WRITE (*, (1X,A) ) JUMLAH PERSAMAAN? 8 READ (*,*) N 9 WRITE (*,*) 10 WRITE (*,*) MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK A 11 M = N DO 50 I = 1,N 13 DO 60 J = 1,N 14 WRITE (*, (1X,A,I2,A,I2,A) ) A(,I,,,J, ) = 15 READ (*,*) A(I,J) CONTINUE CONTINUE 18 C LANGKAH 2: MENDEFINISIKAN MATRIK IDENTITAS 19 WRITE (*,*) MENDEFINISIKAN MATRIK IDENTITAS 20 DO 70 I = 1,N 21 DO 80 J = M,N+N 22 A(I,J) = 0 23 IF (I+N.EQ. J) THEN 24 A(I,J) = 1 25 END IF CONTINUE CONTINUE 28 WRITE (*,*) 29 C MENAMPILKAN MATRIK AUGMENT 30 WRITE (*, (1X,A) ) MATRIK AUGMENT: 31 DO 110 I = 1,N 32 WRITE (*, (1X,5(F14.8)) ) (A(I,J),J=1,N+N) CONTINUE 34 WRITE (*,*) 35 C MENGHITUNG JUMLAH TUKAR (TKR) POSISI. MULA2 TKR = 0 36 TKR = 0 37 C MENGHITUNG JUMLAH OPERASI BAGI/KALI (BK). 38 BK = 0 39 C MENGHITUNG JUMLAH OPERASI TAMBAH/KURANG (TK). 40 TK = 0 41 C LANGKAH 3: MEMERIKSA ELEMEN2 PIVOT DAN PROSES TUKAR POSISI 42 NN = N-1 43 DO 10 I=1,NN 44 C LANGKAH 4: MENDEFINISIKAN P 45 P = I IF (ABS(A(P,I)).GE.1.0E-20.OR. P.GT.N) GOTO P = P+1 48 GOTO IF(P.EQ.N+1)THEN 50 C MENAMPILKAN PESAN SINGULAR 51 WRITE(*,5) 52 GOTO END IF 54 C LANGKAH 5: PROSES TUKAR POSISI 55 IF(P.NE.I) THEN 56 DO 20 JJ=1,N+N 57 C = A(I,JJ) 58 A(I,JJ) = A(P,JJ) 59 A(P,JJ) = C 60 TKR = TKR CONTINUE 62 END IF 63 C LANGKAH 6: PERSIAPAN PROSES TRIANGULARISASI 64 JJ = I+1

50 36 BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS 65 DO 30 J=JJ,N 66 C LANGKAH 7: TENTUKAN MJI 67 MJI = A(J,I)/A(I,I) 68 BK = BK C LANGKAH 8: MELAKUKAN PROSES TRIANGULARISASI 70 DO 40 K=JJ,N+N 71 A(J,K) = A(J,K)-MJI*A(I,K) 72 BK = BK TK = TK CONTINUE 75 A(J,I) = CONTINUE CONTINUE 78 C MENAMPILKAN HASIL TRIANGULARISASI 79 WRITE (*, (1X,A) ) HASIL TRIANGULARISASI: 80 DO 120 I = 1,N 81 WRITE (*, (1X,5(F14.8)) ) (A(I,J),J=1,N+N) CONTINUE 83 C LANGKAH 9: MEMERIKSA ELEMEN A(N,N) 84 IF(ABS(A(N,N)).LT.1.0E-20) THEN 85 C MENAMPILKAN PESAN SINGULAR 86 WRITE(*,5) 87 GOTO END IF 89 DO 500 J = 1,N 90 Q=N+J 91 C LANGKAH 10: MENGHITUNG A(N,N) 92 D(J,N) = A(N,Q)/A(N,N) 93 BK = BK C LANGKAH 11: PROSES SUBSTITUSI MUNDUR 95 L = N-1 96 DO 15 K=1,L 97 I = L-K+1 98 JJ = I+1 99 SUM = DO 16 KK=JJ,N 101 SUM = SUM+A(I,KK)*D(J,KK) 102 BK = BK TK = TK CONTINUE 105 D(J,I) = (A(I,Q)-SUM)/A(I,I) 106 BK = BK TK = TK CONTINUE CONTINUE 110 C LANGKAH 12: MENAMPILKAN HASIL PERHITUNGAN 111 WRITE (*,*) 112 WRITE (*, (1X,A) ) MATRIK INVERS: 113 DO 220 I = 1,N 114 WRITE (*, (1X,5(F14.8)) ) (D(J,I),J=1,N) CONTINUE 116 WRITE(*,8) TKR 117 WRITE(*,9) BK 118 WRITE(*,11) TK STOP FORMAT(1X, MATRIK A BERSIFAT SINGULAR ) FORMAT(1X, JUMLAH TUKAR POSISI =,3X,I5) FORMAT(1X, JUMLAH OPERASI BAGI/KALI =,3X,I6) FORMAT(1X, JUMLAH OPERASI JUMLAH/KURANG =,3X,I6)

51 2.7. PENUTUP END 2.7 Penutup Silakan anda coba aplikasikan program di atas dengan berbagai sistem persamaan linear yang pernah dijadikan contoh pada catatan terdahulu. Saya cukupkan sementara sampai disini. Insya Allah akan saya sambung lagi dilain waktu. Kalau ada yang mau didiskusikan, silakan hubungi saya melalui yang tercantum di halaman paling depan.

52

53 Bab 3 Aplikasi Eliminasi Gauss pada Masalah Inversi Objektif : Mengenalkan model garis. Mengenalkan model parabola. Mengenalkan model bidang. Pada bab ini, saya mencoba menuliskan aplikasi Metode Eliminasi Gauss sebagai dasardasar teknik inversi yaitu meliputi model garis, model parabola dan model bidang. Uraian aplikasi tersebut diawali dari ketersediaan data observasi, lalu sejumlah parameter model mesti dicari dengan teknik inversi. Mari kita mulai dari model garis. 3.1 Inversi Model Garis Pengukuran temperatur terhadap kedalaman di bawah permukaan bumi menunjukkan bahwa semakin dalam, temperatur semakin tinggi. Misalnya telah dilakukan sebanyak empat kali (N = 4) pengukuran temperatur (T i ) pada kedalaman yang berbeda beda (z i ). Tabel pengukuran secara sederhana disajikan seperti ini: Tabel 3.1: Data temperatur bawah permukaan tanah terhadap kedalaman Pengukuran ke-i Kedalaman (m) Temperatur ( O C) 1 z 1 = 5 T 1 = 35 2 z 2 = 16 T 2 = 57 3 z 3 = 25 T 3 = 75 4 z 4 = 100 T 4 = 225 Grafik sebaran data observasi ditampilkan pada Gambar (3.1). Lalu kita berasumsi bahwa variasi temperatur terhadap kedalaman ditentukan oleh rumus berikut ini: m 1 + m 2 z i = T i (3.1) 39

54 40 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI 250 Variasi temperatur terhadap kedalaman 200 Temperatur (Celcius) Kedalaman (meter) Gambar 3.1: Sebaran data observasi antara temperatur dan kedalaman dimana m 1 dan m 2 adalah konstanta-konstanta yang akan dicari. Rumus di atas disebut model matematika. Sedangkan m 1 dan m 2 disebut parameter model. Pada model matematika di atas terdapat dua buah parameter model, (M = 2). Sementara jumlah data observasi ada empat, (N = 4), yaitu nilai-nilai kedalaman, z i, dan temperatur, T i. Berdasarkan model tersebut, kita bisa menyatakan temperatur dan kedalaman masing-masing sebagai berikut: m 1 + m 2 z 1 = T 1 m 1 + m 2 z 2 = T 2 m 1 + m 2 z 3 = T 3 m 1 + m 2 z 4 = T 4 Semua persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik berikut ini: 1 z 1 [ 1 z 2 1 z 3 1 z 4 m 1 m 2 ] = T 1 T 2 T 3 T 4 (3.2) Lalu ditulis secara singkat Gm = d (3.3) dimana d adalah data yang dinyatakan dalam vektor kolom, m adalah model parameter, juga dinyatakan dalam vektor kolom, dan G disebut matrik kernel. Lantas bagaimana cara menda-

55 3.1. INVERSI MODEL GARIS 41 patkan nilai m 1 dan m 2 pada vektor kolom m? Manipulasi berikut ini bisa menjawabnya G t Gm = G t d (3.4) dimana t disini maksudnya adalah tanda transpos matrik. Selanjutnya, untuk mendapatkan elemen-elemen m, diperlukan langkah-langkah perhitungan berikut ini: 1. Tentukan transpos dari matrik kernel, yaitu G t 1 z 1 [ G = 1 z 2 1 z 3 Gt = 1 z z 1 z 2 z 3 z 4 ] 2. Tentukan G t G G t G = [ z 1 z 2 z 3 z 4 ] 1 z 1 1 z 2 1 z 3 [ = ] N zi zi z 2 i 1 z 4 dimana N = 4 dan i = 1, 2, 3, Kemudian tentukan pula G t d [ G t d = z 1 z 2 z 3 z 4 ] T 1 T 2 T 3 = [ Ti zi T i ] T 4 4. Sekarang persamaan (3.4) dapat dinyatakan sebagai [ ] [ N zi zi z 2 i m 1 m 2 ] = [ Ti zi T i ] (3.5) 5. Aplikasikan metode Eliminasi Gauss dengan Substitusi Mundur. Untuk itu, tentukan matrik augment-nya [ N zi zi z 2 i ] Ti zi T i 6. Untuk mempermudah perhitungan, kita masukan dulu angka-angka yang tertera pada

56 42 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI tabel pengukuran dihalaman depan. [ ] 7. Lakukan proses triangularisasi dengan operasi (P 2 (36, 5)P 1 ) P 2. Saya sertakan pula indeks masing-masing elemen pada matrik augment sebagaimana yang telah saya lakukan pada catatan kuliah yang berjudul Metode Eliminasi Gauss. Hasilnya adalah [ ] = [ a 11 a 12 a 13 a 21 a 22 a 23 ] 8. Terakhir, tentukan konstanta m 1 dan m 2 yang merupakan elemen-elemen vektor kolom m, dengan proses substitusi mundur. Pertama tentukan m 2 m 2 = a 23 a 22 = = 2 lalu tentukan m 1 m 1 = a 13 a 12 m (146)(2) = = 25 a Script matlab inversi model garis Script inversi model garis ini dibangun dari beberapa script yang sudah kita pelajari sebelumnya, yaitu script transpose matriks, perkalian matrik dan script eliminasi gauss. Silakan pelajari maksud tiap-tiap baris pada script ini. 1 clc 2 clear all 3 4 disp( Data observasi ) 5 z1=5; 6 z2=16; 7 z3=25; 8 z4=100; 9 10 T(1,1)=35; 11 T(2,1)=57; 12 T(3,1)=75; 13 T(4,1)=225; disp( Elemen-elemen matriks kernel G ) 16 G(1,1)=1; 17 G(1,2)=z1; 18 G(2,1)=1; 19 G(2,2)=z2; 20 G(3,1)=1; 21 G(3,2)=z3; 22 G(4,1)=1; 23 G(4,2)=z4; 24 G

57 3.1. INVERSI MODEL GARIS d=t; 26 d N=4; %jumlah data 29 M=2; %model parameter disp( Mencari G transpos ) 32 for i=1:n 33 for j=1:m 34 GT(j,i)=G(i,j); 35 end 36 end 37 GT disp( Perkalian GT dan G ) 40 for i=1:m 41 for j=1:m 42 GTG(i,j)=0; 43 end 44 end 45 for i=1:m 46 for j=1:m 47 for k=1:n 48 GTG(i,j)=GTG(i,j)+GT(i,k)*G(k,j); 49 end 50 end 51 end 52 GTG disp( Perkalian GT dan d ) 55 for i=1:m 56 for j=1:1 57 GTd(i,j)=0; 58 end 59 end 60 for i=1:m 61 for j=1:1 62 for k=1:n 63 GTd(i,j)=GTd(i,j)+GT(i,k)*d(k,j); 64 end 65 end 66 end 67 GTd A=GTG; 70 %====== Menggabungkan Vektor GTd kedalam matrik A ======== 71 n=m; 72 for i=1:n 73 A(i,n+1)=GTd(i,1); 74 end 75 A %&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 78 % Proses Triangularisasi for j=1:(n-1) %----mulai proses pivot if (A(j,j)==0) 83 for p=1:n+1

58 44 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI 84 u=a(j,p); 85 v=a(j+1,p); 86 A(j+1,p)=u; 87 A(j,p)=v; 88 end 89 end 90 %----akhir proses pivot jj=j+1; 92 for i=jj:n 93 m=a(i,j)/a(j,j); 94 for k=1:(n+1) 95 A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k)); 96 end 97 end 98 end 99 % %------Proses Substitusi mundur x(n,1)=a(n,n+1)/a(n,n); for i=n-1:-1:1 105 S=0; 106 for j=n:-1:i S=S+A(i,j)*x(j,1); 108 end 109 x(i,1)=(a(i,n+1)-s)/a(i,i); 110 end 111 %&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 112 disp( Model parameter yang dicari ) 113 m=x Sebetulnya, matlab telah menyediakan fungsi-fungsi intrinsik yang bisa digunakan sehingga dapat memperkecil jumlah baris pada script di atas. Dari line 28 sampai line 113 dapat dipangkas menjadi 1 m=inv(g *G)*G *d %Proses inversi linear Lalu mengapa kita harus bersusah payah membangun script yang begitu panjang bila matlab bisa melakukannya dengan mudah? Karena kita sedang mempelajari teknik-teknik komputasi untuk menyelesaikan problem sains dan teknik. Kita tidak sedang belajar matlab. Jadi teknik-teknik yang dipelajari disini harus bisa diterapkan di selain matlab. Script singkat m = inv(g G) G d hanya berlaku di matlab, sementara script yang panjangnya 113 line dapat diterjemahkan dengan sangat mudah ke dalam bahasa pemrograman selain matlab. Demikianlah contoh aplikasi metode Eliminasi Gauss dengan substitusi mundur. Anda bisa mengaplikasikan pada kasus lain, dengan syarat kasus yang anda tangani memiliki bentuk model yang sama dengan yang telah dikerjakan pada catatan ini, yaitu model persamaan garis atau disingkat model garis: y = m1 + m2x. Selanjutnya mari kita pelajari inversi model parabola.

59 3.2. INVERSI MODEL PARABOLA Inversi Model Parabola Pengukuran temperatur terhadap kedalaman di bawah permukaan bumi menunjukkan bahwa semakin dalam, temperatur semakin tinggi. Misalnya telah dilakukan sebanyak delapan kali (N = 8) pengukuran temperatur (T i ) pada kedalaman yang berbeda beda (z i ). Tabel pengukuran secara sederhana disajikan seperti ini: Tabel 3.2: Data temperatur bawah permukaan tanah terhadap kedalaman Pengukuran ke-i Kedalaman (m) Temperatur ( O C) 1 z 1 = 5 T 1 = 21, 75 2 z 2 = 8 T 2 = 22, 68 3 z 3 = 14 T 3 = 25, 62 4 z 4 = 21 T 4 = 30, 87 5 z 5 = 30 T 5 = 40, 5 6 z 6 = 36 T 6 = 48, 72 7 z 7 = 45 T 7 = 63, 75 8 z 8 = 60 T 8 = 96 Lalu kita berasumsi bahwa variasi temperatur terhadap kedalaman ditentukan oleh rumus berikut ini: m 1 + m 2 z i + m 3 zi 2 = T i (3.6) dimana m 1, m 2 dan m 3 adalah konstanta-konstanta yang akan dicari. Rumus di atas disebut model. Sedangkan m 1, m 2 dan m 3 disebut model parameter. Jadi pada model di atas terdapat tiga buah model parameter, (M = 3). Adapun yang berlaku sebagai data adalah nilai-nilai temperatur T 1, T 2,..., dan T 8. Berdasarkan model tersebut, kita bisa menyatakan temperatur dan kedalaman masing-masing sebagai berikut: m 1 + m 2 z 1 + m 3 z1 2 = T 1 m 1 + m 2 z 2 + m 3 z2 2 = T 2 m 1 + m 2 z 3 + m 3 z3 2 = T 3 m 1 + m 2 z 4 + m 3 z4 2 = T 4 m 1 + m 2 z 5 + m 3 z5 2 = T 5 m 1 + m 2 z 6 + m 3 z6 2 = T 6 m 1 + m 2 z 7 + m 3 z7 2 = T 7 m 1 + m 2 z 8 + m 3 z8 2 = T 8

60 46 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI Semua persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik berikut ini: 1 z 1 z1 2 1 z 2 z z 3 z z 4 z4 2 1 z 5 z5 2 1 z 6 z6 2 1 z 7 z7 2 1 z 8 z8 2 m 1 m 2 m 3 = T 1 T 2 T 3 T 4 T 5 T 6 T 7 T 8 (3.7) Lalu ditulis secara singkat Gm = d (3.8) dimana d adalah data yang dinyatakan dalam vektor kolom, m adalah model parameter, juga dinyatakan dalam vektor kolom, dan G disebut matrik kernel. Lantas bagaimana cara mendapatkan nilai m 1, m 2 dan m 3 pada vektor kolom m? Manipulasi berikut ini bisa menjawabnya G t Gm = G t d (3.9) dimana t disini maksudnya adalah tanda transpos matrik. Selanjutnya, untuk mendapatkan elemen-elemen m, diperlukan langkah-langkah perhitungan berikut ini: 1. Tentukan transpos dari matrik kernel, yaitu G t 1 z 1 z1 2 1 z 2 z z 3 z 2 3 G = 1 z 4 z z 5 z5 2 1 z 6 z6 2 1 z 7 z7 2 1 z 8 z8 2 G t = z 1 z 2 z 3 z 4 z 5 z 6 z 7 z 8 z 2 1 z 2 2 z 2 3 z 2 4 z 2 5 z 2 6 z 2 7 z Tentukan G t G G t G = z 1 z 2 z 3 z 4 z 5 z 6 z 7 z 8 z 2 1 z 2 2 z 2 3 z 2 4 z 2 5 z 2 6 z 2 7 z z 1 z1 2 1 z 2 z2 2 1 z 3 z3 2 1 z 4 z4 2 1 z 5 z5 2 1 z 6 z6 2 1 z 7 z7 2 N zi z 2 i = zi z 2 i z 3 i z 2 i z 3 i z 4 i 1 z 8 z 2 8

61 3.2. INVERSI MODEL PARABOLA 47 dimana N = 8 dan i = 1, 2, 3,...,8. 3. Kemudian tentukan pula G t d G t d = z 1 z 2 z 3 z 4 z 5 z 6 z 7 z 8 z 2 1 z 2 2 z 2 3 z 2 4 z 2 5 z 2 6 z 2 7 z 2 8 T 1 T 2 T 3 T 4 T 5 T 6 T 7 Ti = zi T i z 2 i T i T 8 4. Sekarang persamaan (3.14) dapat dinyatakan sebagai (ini khan least square juga...!?) zi N z 2 i zi z 2 i z 3 i m 1 m 2 = Ti zi T i (3.10) z 2 i z 3 i z 4 i m 3 z 2 i T i 5. Aplikasikan metode Eliminasi Gauss dengan Substitusi Mundur. Untuk itu, tentukan matrik augment-nya N zi z 2 i zi z 2 i z 3 i z 2 i z 3 i z 4 i Ti zi T i z 2 i T i 6. Untuk mempermudah perhitungan, kita masukan dulu angka-angka yang tertera pada tabel pengukuran dihalaman depan , , , Lakukan proses triangularisasi dengan operasi (P 2 (219/8)P 1 ) P 2. Hasilnya adalah , , , , , Masih dalam proses triangularisai, operasi berikutnya (P 3 (8547/8)P 1 ) P 3. Hasilnya

62 48 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI adalah , , , , , , 6 9. Masih dalam proses triangularisai, operasi berikutnya (P 3 (159448, 88/2551, 88)P 2 ) P 3. Hasilnya adalah , , , , , , 19 (3.11) Seperti catatan yang lalu, saya ingin menyertakan pula notasi masing-masing elemen pada matrik augment sebelum melakukan proses substitusi mundur , , , , , , 19 a 11 a 12 a 13 a 14 a 21 a 22 a 23 a 24 a 31 a 32 a 33 a Terakhir, tentukan konstanta m 1, m 2 dan m 3 yang merupakan elemen-elemen vektor kolom m, dengan proses substitusi mundur. Pertama tentukan m 3 m 3 = a 34 a 33 = 13872, 19 = 0, , 48 lalu m 2 m 2 = a 24 a 23 m , 57 (159448, 88)(0, 02) = = 0, 05 a , 88 dan m 1 m 1 = a 14 (a 12 m 2 + a 13 m 3 ) 349, 89 [(219)(0, 05) + (8547)(0, 02) = = 21 a Script matlab inversi model parabola Perbedaan utama script ini dengan script inversi model garis terletak pada inisialisasi elemenelemen matrik kernel. Elemen-elemen matrik kernel sangat ditentukan oleh model matematika yang digunakan. Seperti pada script ini, matrik kernelnya diturunkan dari persamaan parabola. 1 clc 2 clear all 3 4 z1=5; 5 z2=8; 6 z3=14; 7 z4=21;

63 3.2. INVERSI MODEL PARABOLA 49 8 z5=30; 9 z6=36; 10 z7=45; 11 z8=60; T(1,1)=21.75; 14 T(2,1)=22.68; 15 T(3,1)=25.62; 16 T(4,1)=30.87; 17 T(5,1)=40.5; 18 T(6,1)=48.72; 19 T(7,1)=63.75; 20 T(8,1)=96; G(1,1)=1; 23 G(1,2)=z1; 24 G(1,3)=z1^2; 25 G(2,1)=1; 26 G(2,2)=z2; 27 G(2,3)=z2^2; 28 G(3,1)=1; 29 G(3,2)=z3; 30 G(3,3)=z3^2; 31 G(4,1)=1; 32 G(4,2)=z4; 33 G(4,3)=z4^2; 34 G(5,1)=1; 35 G(5,2)=z5; 36 G(5,3)=z5^2; 37 G(6,1)=1; 38 G(6,2)=z6; 39 G(6,3)=z6^2; 40 G(7,1)=1; 41 G(7,2)=z7; 42 G(7,3)=z7^2; 43 G(8,1)=1; 44 G(8,2)=z8; 45 G(8,3)=z8^2; G 48 d=t; 49 d N=8; %jumlah data 52 M=3; %model parameter 53 pause %%%%%===========Proses inversi============== 57 disp( Mencari G transpos ) 58 for i=1:n 59 for j=1:m 60 GT(j,i)=G(i,j); 61 end 62 end 63 GT disp( Perkalian GT dan G ) 66 for i=1:m

64 50 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI 67 for j=1:m 68 GTG(i,j)=0; 69 end 70 end 71 for i=1:m 72 for j=1:m 73 for k=1:n 74 GTG(i,j)=GTG(i,j)+GT(i,k)*G(k,j); 75 end 76 end 77 end 78 GTG disp( Perkalian GT dan d ) 81 for i=1:m 82 for j=1:1 83 GTd(i,j)=0; 84 end 85 end 86 for i=1:m 87 for j=1:1 88 for k=1:n 89 GTd(i,j)=GTd(i,j)+GT(i,k)*d(k,j); 90 end 91 end 92 end 93 GTd A=GTG; 96 %====== Menggabungkan Vektor GTd kedalam matrik A ======== 97 n=m; 98 for i=1:n 99 A(i,n+1)=GTd(i,1); 100 end 101 A 102 pause disp( Hasil Eliminasi Gauss ) 105 %&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 106 % Proses Triangularisasi for j=1:(n-1) %----mulai proses pivot if (A(j,j)==0) 111 for p=1:n u=a(j,p); 113 v=a(j+1,p); 114 A(j+1,p)=u; 115 A(j,p)=v; 116 end 117 end 118 %----akhir proses pivot jj=j+1; 120 for i=jj:n 121 m=a(i,j)/a(j,j); 122 for k=1:(n+1) 123 A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k)); 124 end 125 end

65 3.3. INVERSI MODEL BIDANG end 127 % %------Proses Substitusi mundur x(n,1)=a(n,n+1)/a(n,n); for i=n-1:-1:1 133 S=0; 134 for j=n:-1:i S=S+A(i,j)*x(j,1); 136 end 137 x(i,1)=(a(i,n+1)-s)/a(i,i); 138 end 139 %&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 140 %%%%%%%%%%%=====AKHIR DARI INVERSI MODEL GARIS========== 141 m=x Demikianlah contoh aplikasi metode Eliminasi Gauss dengan substitusi mundur. Anda bisa mengaplikasikan pada kasus lain, dengan syarat kasus yang anda tangani memiliki bentuk model yang sama dengan yang telah dikerjakan pada catatan ini, yaitu memiliki tiga buah model parameter yang tidak diketahui dalam bentuk persamaan parabola: y = m 1 + m 2 x + m 3 x 2. Pada catatan berikutnya, saya akan membahas model yang mengandung tiga model parameter dalam 2 dimensi. 3.3 Inversi Model Bidang Dalam catatan ini saya belum sempat mencari contoh pengukuran yang sesuai untuk model 2-dimensi. Maka, saya ingin langsung saja mengajukan sebuah model untuk 2-dimensi berikut ini: m 1 + m 2 x i + m 3 y i = d i (3.12) dimana m 1, m 2 dan m 3 merupakan model parameter yang akan dicari. Adapun yang berlaku sebagai data adalah d 1, d 2, d 3,..., d i. Berdasarkan model tersebut, kita bisa menyatakan temperatur dan kedalaman masing-masing sebagai berikut: m 1 + m 2 x 1 + m 3 y 1 = d 1 m 1 + m 2 x 2 + m 3 y 2 = d 2 m 1 + m 2 x 3 + m 3 y 3 = d m 1 + m 2 x N + m 3 y N = d N

66 52 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI Semua persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik berikut ini: 1 x 1 y 1 1 x 2 y 2 1 x 3 y x N y N m 1 m 2 m 3 = d 1 d 2 d 3. d N Lalu ditulis secara singkat Gm = d (3.13) dimana d adalah data yang dinyatakan dalam vektor kolom, m adalah model parameter, juga dinyatakan dalam vektor kolom, dan G disebut matrik kernel. Lantas bagaimana cara mendapatkan nilai m 1, m 2 dan m 3 pada vektor kolom m? Manipulasi berikut ini bisa menjawabnya G t Gm = G t d (3.14) dimana t disini maksudnya adalah tanda transpos matrik. Selanjutnya, untuk mendapatkan elemen-elemen m, diperlukan langkah-langkah perhitungan berikut ini: 1. Tentukan transpos dari matrik kernel, yaitu G t 1 x 1 y 1 1 x 2 y 2 G = 1 x 3 y x N y N G t = x 1 x 2 x 3 x N y 1 y 2 y 3 y N 2. Tentukan G t G G t G = x 1 x 2 x 3 x N y 1 y 2 y 3 y N 1 x 1 y 1 1 x 2 y 2 1 x 3 y 3... N xi yi = xi x 2 i xi y i yi xi y i y 2 i 1 x N y N dimana N = jumlah data. dan i = 1, 2, 3,..., N. 3. Kemudian tentukan pula G t d G t d = x 1 x 2 x 3 x N y 1 y 2 y 3 y N d 1 d 2 d 3. di = xi d i yi d i d N

67 3.4. CONTOH APLIKASI Sekarang, persamaan (3.14) dapat dinyatakan sebagai N xi yi xi x 2 i xi y i m 1 m 2 = di xi d i (3.15) yi xi y i y 2 i m 3 yi d i 5. Aplikasikan metode Eliminasi Gauss dengan Substitusi Mundur. Untuk itu, tentukan matrik augment-nya N xi yi xi x 2 i xi y i yi xi y i y 2 i di xi d i yi d i 6. Langkah-langkah selanjutnya akan sama persis dengan catatan sebelumnya (model linear dan model parabola) Anda bisa mengaplikasikan data pengukuran yang anda miliki, dengan syarat kasus yang anda tangani memiliki bentuk model yang sama dengan yang telah dikerjakan pada catatan ini, yaitu memiliki tiga buah model parameter yang tidak diketahui dalam bentuk persamaan bidang (atau 2-dimensi): d = m 1 + m 2 x + m 3 y. Saya cukupkan sementara sampai disini. Insya Allah akan saya sambung lagi dilain waktu. Kalau ada yang mau didiskusikan, silakan hubungi saya melalui supri@f isika.ui.ac.id. 3.4 Contoh aplikasi Menghitung gravitasi di planet X Seorang astronot tiba di suatu planet yang tidak dikenal. Setibanya disana, ia segera mengeluarkan kamera otomatis, lalu melakukan ekperimen kinematika yaitu dengan melempar batu vertikal ke atas. Hasil foto-foto yang terekam dalam kamera otomatis adalah sebagai berikut Tabel 3.3: Data ketinggian terhadap waktu dari planet X Waktu (dt) Ketinggian (m) Waktu (dt) Ketinggian (m) 0,00 5,00 2,75 7,62 0,25 5,75 3,00 7,25 0,50 6,40 3,25 6,77 0,75 6,94 3,50 6,20 1,00 7,38 3,75 5,52 1,25 7,72 4,00 4,73 1,50 7,96 4,25 3,85 1,75 8,10 4,50 2,86 2,00 8,13 4,75 1,77 2,25 8,07 5,00 0,58 2,50 7,90 Plot data pengukuran waktu vs ketinggian diperlihatkan sebagai berikut

68 54 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI Tinggi (meter) Waktu (detik) Gambar 3.2: Grafik data pengukuran gerak batu Anda diminta untuk membantu pengolahan data di atas. Jika anda menggunakan asumsi model matematik dari Gerak-Lurus-Berubah-Beraturan (GLBB) seperti ini h o + v o t 1 2 gt2 = h maka gunakanlah prinsip-prinsip inversi untuk menentukan kecapatan awal, v o dan konstanta gravitasi, g pada planet tersebut. jawab: Berdasarkan tabel di atas, diketahui terdapat 21 data. Ketinggian pada saat t = 0 adalah h o = 5 m. Untuk mencari v o dan g menggunakan metode inversi, mula-mula kita definisikan terlebih dahulu m 1 dan m 2 : m 1 = v o m 2 = 1 2 g sehingga persamaan model GLBB menjadi 5 + m 1 t i + m 2 t 2 i = h i dimana i menunjukkan data ke-i. Langkah selanjutnya adalah menentukan nilai tiap-tiap ele-

69 3.4. CONTOH APLIKASI 55 men matrik kernel, yaitu dengan memasukan semua data kedalam persamaan model GLBB 5 + m 1 t 1 + m 2 t 2 1 = h m 1 t 2 + m 2 t 2 2 = h m 1 t 3 + m 2 t 2 3 = h 3.. =. 5 + m 1 t 20 + m 2 t 2 20 = h 20 Semua persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik berikut ini: 5 t 1 t t 2 t t 3 t 2 3 [ 5 t 4 t t 19 t t 20 t 2 20 m 1 m 2 ] = Sebelum dilanjut, coba perhatikan dengan teliti operasi matrik di atas. Adakah yang janggal?? Yep.. matrik kernel G berukuran 20x3 sementara vektor m berukuran 2x1, tentu saja operasi perkalian matrik akan gagal. Untuk menghindarinya, kita tambahkan m 0 pada vektor m, sehingga operasi tersebut menjadi 5 t 1 t t 2 t t 3 t t 4 t t 19 t t 20 t 2 20 m 0 m 1 m 2 = Namun, perlu dicatat bahwa m 0 harus punya syarat, yaitu harus bernilai 1 atau m 0 =1. Ini boleh dibilang sebagai sebuah aksioma, atau sesuatu yang tak perlu dibuktikan lagi tapi tak bisa dibantah. Tinggal nanti bisa kita periksa hasil inversinya. Bila m 0 bernilai 1, maka proses inversi dianggap sukses. Kemudian operasi matrik tersebut bisa ditulis secara singkat Gm = d Untuk menyelesaikan persamaan matrik ini, diperlukan modifikasi berikut h 1 h 2 h 3. h 19 h 20 h 1 h 2 h 3. h 19 h 20 G T Gm = G T d (3.16)

70 56 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI dimana T disini maksudnya adalah tanda transpos matrik. Selanjutnya, untuk mendapatkan m 0, m 1 dan m 2, diperlukan langkah-langkah perhitungan berikut ini: 1. Tentukan transpos dari matrik kernel, yaitu G t 5 t 1 t t 2 t t 3 t 2 3 G = 5 t 4 t t 19 t t 20 t 2 20 G T = t 1 t 2 t 3 t 4... t 19 t 20 t 2 1 t 2 2 t 2 3 t t 2 19 t Tentukan G T G G T G = t 1 t 2 t 3 t 4... t 19 t 20 t 2 1 t 2 2 t 2 3 t t 2 19 t t 1 t t 2 t t 3 t t 4 t t 19 t N 5 t i 5 t 2 i = 5 t i t 2 i t 3 i 5 t 2 i t 3 i t 4 i 5 t 20 t 2 20 dimana N = 20 dan i = 1, 2,..., Kemudian tentukan pula G T d G T d = t 1 t 2 t 3 t 4... t 19 t 20 t 2 1 t 2 2 t 2 3 t t 2 19 t 2 20 h 1 h 2 h 3 h 4. h 19 5 h i = ti h i t 2 i h i h Sekarang persamaan (3.16) dapat dinyatakan sebagai 25N 5 t i 5 t 2 i 5 t i t 2 i t 3 i m 0 m 1 = 5 h i ti h i (3.17) 5 t 2 i t 3 i t 4 i m 2 t 2 i h i

71 3.4. CONTOH APLIKASI Ketinggian (m) Waktu (dt) Gambar 3.3: Grafik hasil inversi parabola , 5 896, 9 262, 5 179, 4 689, 1 896, 9 689, , 9 m 0 m 1 m 2 = 607, 5 273, 7 796, 3 Hasil operasi matriks ini dapat diselesaikan dengan metode Eliminasi Gauss, yaitu m 0 m 1 m 2 = 0, , , 8169 Lihatlah! m 0 = 0,9999 atau mendekati 1. Dan ini sesuai dengan aksioma yang telah dinyatakan di awal bahwa memang m 0 harus bernilai 1. Jika m 0 tidak bernilai 1 berarti teknik inversinya salah total. Hasil inversi juga menunjukkan bahwa kecepatan awal yaitu saat batu dilempar ke atas adalah sebesar m 1 = v o = 3,2009 m/dt. Adapun percepatan gravitasi diperoleh dari m 2 dimana m 2 = 1 2 g = -0,8169. Sehingga nilai g adalah sebesar 1,6338 m/dt2. Gambar 3.3 memperlihatkan grafik kurva hasil inversi. Garis berwarna biru merupakan garis kurva fitting hasil inversi parabola. Sedangkan bulatan berwarna merah adalah data pengukuran ketinggian (m) terhadap waktu (dt). Jelas terlihat bahwa garis kurva berwarna biru benar-benar cocok melewati semua titik data pengukuran. Ini menunjukkan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Sehingga nilai kecepatan awal dan gravitasi hasil inversi cukup valid untuk menjelaskan gerak batu di planet X.

72 58 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI Berikut adalah script inversi dalam Matlab untuk memecahkan masalah ini 1 clear all 2 clc; 3 4 N=20; %jumlah data 5 M=3; %model parameter 6 for i=1:n 7 t(i)=i*0.25; 8 end 9 h(1)=5.75; 10 h(2)=6.40; 11 h(3)=6.94; 12 h(4)=7.38; 13 h(5)=7.72; 14 h(6)=7.96; 15 h(7)=8.10; 16 h(8)=8.13; 17 h(9)=8.07; 18 h(10)=7.90; 19 h(11)=7.62; 20 h(12)=7.25; 21 h(13)=6.77; 22 h(14)=6.20; 23 h(15)=5.52; 24 h(16)=4.73; 25 h(17)=3.85; 26 h(18)=2.86; 27 h(19)=1.77; 28 h(20)=0.58; for i=1:n 31 G(i,1)=5; 32 G(i,2)=t(i); 33 G(i,3)=t(i)^2; 34 end 35 G 36 for i=1:n 37 d(i,1)=h(i); 38 end 39 d %%%%%===========Proses inversi============== 42 disp( Mencari G transpos ) 43 for i=1:n 44 for j=1:m 45 GT(j,i)=G(i,j); 46 end 47 end 48 GT disp( Perkalian GT dan G ) 51 for i=1:m 52 for j=1:m 53 GTG(i,j)=0; 54 end 55 end 56 for i=1:m 57 for j=1:m

73 3.4. CONTOH APLIKASI for k=1:n 59 GTG(i,j)=GTG(i,j)+GT(i,k)*G(k,j); 60 end 61 end 62 end 63 GTG disp( Perkalian GT dan d ) 66 for i=1:m 67 for j=1:1 68 GTd(i,j)=0; 69 end 70 end 71 for i=1:m 72 for j=1:1 73 for k=1:n 74 GTd(i,j)=GTd(i,j)+GT(i,k)*d(k,j); 75 end 76 end 77 end 78 GTd A=GTG; 81 %====== Menggabungkan Vektor GTd kedalam matrik A ======== 82 n=m; 83 for i=1:n 84 A(i,n+1)=GTd(i,1); 85 end 86 A 87 pause disp( Hasil Eliminasi Gauss ) 90 %&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 91 % Proses Triangularisasi for j=1:(n-1) %----mulai proses pivot if (A(j,j)==0) 96 for p=1:n+1 97 u=a(j,p); 98 v=a(j+1,p); 99 A(j+1,p)=u; 100 A(j,p)=v; 101 end 102 end 103 %----akhir proses pivot jj=j+1; 105 for i=jj:n 106 m=a(i,j)/a(j,j); 107 for k=1:(n+1) 108 A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k)); 109 end 110 end 111 end 112 % %------Proses Substitusi mundur x(n,1)=a(n,n+1)/a(n,n); for i=n-1:-1:1

74 60 BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI 117 S=0; 118 for j=n:-1:i S=S+A(i,j)*x(j,1); 120 end 121 x(i,1)=(a(i,n+1)-s)/a(i,i); 122 end 123 %&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 124 %%%%%%%%%%%===== AKHIR DARI PROSES INVERSI ========== 125 m=x % MENGGAMBAR GRAFIK plot(t,h, ro ); 129 xlabel( Waktu (dt) );ylabel( Ketinggian (m) ); 130 hold on; 131 for i=1: hi(i)=5+m(2)*t(i)+m(3)*t(i)^2; 133 end 134 plot(t,hi); 135 hold off;

75 Bab 4 Metode LU Decomposition Objektif : Mengenalkan teknik faktorisasi matrik. Mengenalkan aplikasi LU Decomposition pada sistem persamaan linear. Merumuskan algoritma LU Decomposition. 4.1 Faktorisasi matrik Pada semua catatan yang terdahulu, telah diulas secara panjang lebar bahwa sistem persamaan linear dapat dicari solusinya secara langsung dengan metode eliminasi gauss. Namun perlu juga diketahui bahwa eliminasi gauss bukan satu-satunya metode dalam mencari solusi sistem persamaan linear, misalnya ada metode matrik inversi seperti yang dijelaskan pada catatan yang paling terakhir. Terlepas dari masalah in-efisiensi penyelesaiannya, yang jelas metode invers matrik bisa digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan linear. Nah, pada catatan kali ini, saya ingin mengetengahkan sebuah metode yang lain untuk menyelesaikan sistem persamaan linear, yaitu metode faktorisasi matrik yang umum dikenal sebagai LU-decomposition. Metode ini sekaligus menjadi pengantar menuju metode Singular Value Decomposition, (SVD), suatu metode yang saat ini paling handal dalam menyelesaikan sistem persamaan linear dan merupakan bagian dari metode least square. Seperti biasa, kita berasumsi bahwa sistem persamaan linear dapat dinyatakan dalam operasi matrik Ax = b (4.1) Pada metode LU-decomposition, matrik A difaktorkan menjadi matrik L dan matrik U, dimana dimensi atau ukuran matrik L dan U harus sama dengan dimensi matrik A. Atau dengan kata lain, hasil perkalian matrik L dan matrik U adalah matrik A, A = LU (4.2) 61

76 62 BAB 4. METODE LU DECOMPOSITION sehingga persamaan (6.4) menjadi LUx = b Langkah penyelesaian sistem persamaan linear dengan metode LU-decomposition, diawali dengan menghadirkan vektor y dimana, Ux = y (4.3) Langkah tersebut tidak bermaksud untuk menghitung vektor y, melainkan untuk menghitung vektor x. Artinya, sebelum persamaan (4.3) dieksekusi, nilai-nilai yang menempati elemenelemen vektor y harus sudah diketahui. Lalu bagaimana cara memperoleh vektor y? Begini caranya, Ly = b (4.4) Kesimpulannya, metode LU-decomposition dilakukan dengan tiga langkah sebagai berikut: Melakukan faktorisasi matrik A menjadi matrik L dan matrik U A = LU. Menghitung vektor y dengan operasi matrik Ly = b. Ini adalah proses forward-substitution atau substitusi-maju. Menghitung vektor x dengan operasi matrik U x = y. Ini adalah proses backward-substitution atau substitusi-mundur. Metode LU-decomposition bisa dibilang merupakan modifikasi dari eliminasi gauss, karena beberapa langkah yang mesti dibuang pada eliminasi gauss, justru harus dipakai oleh LUdecomposition. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini. Diketahui sistem persamaan linear sebagai berikut P 1 : x 1 + x 2 + 3x 4 = 4 P 2 : 2x 1 + x 2 x 3 + x 4 = 1 P 3 : 3x 1 x 2 x 3 + 2x 4 = -3 P 4 : x 1 + 2x 2 + 3x 3 x 4 = 4 Sistem tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik Ax = y, x 1 x 2 x 3 x 4 = (4.5) Pada metode eliminasi gauss, matrik A dikonversi menjadi matrik triangular melalui urutan operasi-operasi berikut: (P 2 2P 1 ) (P 2 ), (P 3 3P 1 ) (P 3 ), (P 4 ( 1)P 1 ) (P 4 ), (P 3 4P 2 ) (P 3 ), (P 4 ( 3)P 2 ) (P 4 ). Disisi lain, vektor b ikut berubah nilainya menyesuaikan

77 4.1. FAKTORISASI MATRIK 63 proses triangularisasi, x 1 x 2 x 3 x 4 = (4.6) Lain halnya dengan metode LU-decomposition dimana vektor b tidak mengalami perubahan. Yang berubah hanya matrik A saja, yaitu menjadi matrik L dan matrik U, A = LU A = = Jadi matrik L dan U masing-masing adalah L = U = Coba bandingkan matrik U di atas dengan matrik hasil triangularisasi dari metode eliminasi gauss pada persamaan (4.6), sama persis bukan? Jadi, cara memperoleh matrik U adalah dengan proses triangularisasi! Lantas, bagaimana cara memperoleh matrik L? Begini caranya: (1) elemen-elemen diagonal matrik L diberi nilai 1 (Asal tahu saja, cara ini dikenal dengan metode Doolittle). (2) elemen-elemen matrik L yang berada di atas elemen-elemen diagonal diberi nilai 0. (3) sedangkan, elemen-elemen matrik L yang berada di bawah elemen-elemen diagonal diisi dengan faktor pengali yang digunakan pada proses triangularisasi eliminasi gauss. Misalnya pada operasi (P 2 2P 1 ) (P 2 ), maka faktor pengalinya adalah 2; pada operasi (P 3 3P 1 ) (P 3 ), maka faktor pengalinya adalah 3, dan seterusnya. Inilah letak perbedaannya, seluruh faktor pengali tersebut sangat dibutuhkan pada metode LU-decomposition untuk membentuk matrik L. Padahal dalam metode eliminasi gauss, seluruh faktor pengali tersebut tidak dimanfaatkan alias dibuang begitu saja. Disisi lain, vektor b tidak mengalami proses apapun sehingga nilainya tetap. Jadi, proses konversi matrik pada metode LU-decomposition hanya melibatkan matrik A saja! Setelah langkah faktorisasi matrik A dilalui, maka operasi matrik pada persamaan (4.5) menjadi, x 1 x 2 x 3 x 4 = (4.7)

78 64 BAB 4. METODE LU DECOMPOSITION Langkah berikutnya adalah menentukan vektor y, dimana Ly = b, y 1 y 2 y 3 y 4 = Dengan proses substitusi-maju, elemen-elemen vektor y dapat ditentukan, y 1 = 4, 2y 1 + y 2 = 1, 3y 1 + 4y 2 + y 3 = 3, y 1 3y 2 + y 4 = 4 maka diperoleh y 1 = 4, y 2 = 7, y 3 = 13, y 4 = 13. Langkah terakhir adalah proses substitusi-mundur untuk menghitung vektor x, dimana Ux = y, x 1 x 2 x 3 x 4 = Melalui proses ini, yang pertama kali didapat solusinya adalah x 4, kemudian x 3, lalu diikuti x 2, dan akhirnya x 1. x 4 = 1 x 3 = 1 3 (13 13x 4) = 0 x 2 = ( 7 + 5x 4 + x 3 ) = 2 x 1 = 4 3x 4 x 2 = 1 akhirnya diperoleh solusi x 1 = 1, x 2 = 2, x 3 = 0, dan y 4 = 1. Demikianlah contoh penyelesaian sistem persamaan linear dengan metode LU-decomposition. Sekali matrik A difaktorkan, maka vektor b bisa diganti nilainya sesuai dengan sistem persamaan linear yang lain, misalnya seluruh nilai di ruas kanan diganti menjadi P 1 : x 1 + x 2 + 3x 4 = 8 P 2 : 2x 1 + x 2 x 3 + x 4 = 7 P 3 : 3x 1 x 2 x 3 + 2x 4 = 14 P 4 : x 1 + 2x 2 + 3x 3 x 4 = -7

79 4.2. ALGORITMA 65 Dalam operasi matrik menjadi x 1 x 2 x 3 x 4 = (4.8) Perhatikan baik-baik! Matrik A sama persis dengan contoh sebelumnya. Perbedaannya hanya pada vektor b. Selanjutnya, dengan metode LU-decomposition, persamaan (4.8) menjadi x 1 x 2 x 3 x 4 = Silakan anda lanjutkan proses perhitungannya dengan mencari vektor y sesuai contoh yang telah diberikan sebelumnya. Pada akhirnya akan diperoleh solusi sebagai berikut: x 1 = 3, x 2 = 1, x 3 = 0, dan y 4 = 2. (4.9) 4.2 Algoritma Sekarang saatnya saya tunjukkan algoritma metode LU decomposition. Algoritma ini dibuat untuk menyelesaikan sistem persamaan linear, dengan cara menfaktorkan matrik A = (a ij ) berukuran n x n menjadi matrik L = (l ij ) dan matrik U = (u ij ) dengan ukuran yang sama. Algoritma LU-decomposition yang anda lihat sekarang merupakan modifikasi dari algoritma eliminasi gauss. Silakan anda periksa langkah-langkah mana saja yang telah mengalami modifikasi! Tapi asal tahu saja bahwa ini bukan satu-satunya algoritma untuk mendapatkan matrik LU. Sejauh yang saya tahu, ada algoritma lain untuk tujuan yang sama, dimana algoritma tersebut membutuhkan matrik permutasi untuk menggeser elemen pivot yang bernilai nol agar terhindar dari singular. Nah, sedangkan algoritma yang akan anda baca saat ini, sama sekali tidak berurusan dengan matrik permutasi. Algoritma ini cuma memanfaatkan trik tukar posisi yang sudah pernah dibahas di awal-awal catatan khususnya ketika membahas konsep eliminasi gauss. Satu lagi yang harus saya sampaikan juga adalah bahwa dalam algoritma ini, elemenelemen matrik L dan matrik U digabung jadi satu dan menggantikan seluruh elemen-elemen matrik A. Perhatian! cara ini jangan diartikan sebagai perkalian matrik L dan matrik U menjadi matrik A kembali. Cara ini dimaksudkan untuk menghemat memori komputer. Suatu aspek yang tidak boleh diabaikan oleh para programer. Marilah kita simak algoritmanya bersamasama! INPUT: dimensi n; nilai elemen a ij, 1 i, j n; nilai elemen b i. OUTPUT: solusi x 1, x 2, x 3,..., x n atau pesan kesalahan yang mengatakan bahwa faktorisasi tidak mungkin dilakukan.

80 66 BAB 4. METODE LU DECOMPOSITION Langkah 1: Inputkan konstanta-konstanta dari sistem persamaan linear kedalam elemenelemen matrik A dan vektor b, seperti berikut ini: a 11 a a 1n a A = 21 a a 2n b b = b 1 (4.10) a n1 a n2... a nn b n Langkah 2: Untuk i = 1,..., n 1, lakukan Langkah 3 sampai Langkah 5. Langkah 3: Definisikan p sebagai integer dimana i p n. Lalu pastikan bahwa a pi 0. Langkah dilakukan bila ditemukan elemen diagonal yang bernilai nol (a ii = 0). Ketika ada elemen diagonal yang bernilai nol, maka program harus mencari dan memeriksa elemen-elemen yang tidak bernilai nol dalam kolom yang sama dengan kolom tempat elemen diagonal tersebut berada. Jadi saat proses ini berlangsung, integer i (indeks dari kolom) dibuat konstan, sementara integer p (indeks dari baris) bergerak dari p = i sampai p = n. Bila ternyata setelah mencapai elemen paling bawah dalam kolom tersebut, yaitu saat p = n tetap didapat nilai a pi = 0, maka sebuah pesan dimunculkan: sistem persamaan linear tidak memiliki solusi yang unik. Lalu program berakhir: STOP. Langkah 4: Namun jika sebelum integer p mencapai nilai p = n sudah diperoleh elemen yang tidak sama dengan nol (a pi 0), maka bisa dipastikan p i. Jika p i maka lakukan proses pertukaran (P p ) (P i ). Langkah 5: Untuk j = i + 1,.., n, lakukan Langkah 6 dan Langkah 7. Langkah 6: Tentukan m ji, m ji = a ji a ii Langkah 7: Lakukan proses triangularisasi, Langkah 8: Nilai m ji disimpan ke a ji, (P j m ji P i ) (P j ) a ji = m ji Langkah 9: Nilai b 1 dicopy ke y 1, lalu lakukan substitusi-maju. y 1 = b 1 Untuk i = 2,..., n tentukan x i, i 1 y i = b i a ij y j j=1

81 4.2. ALGORITMA 67 Langkah 10: Lakukan proses substitusi-mundur, dimulai dengan menentukan x n, Untuk i = n 1,...,1 tentukan x i, x n = a n,n+1 a nn x i = a i,n+1 n j=i+1 a ijx j a ii Langkah 11: Diperoleh solusi yaitu x 1, x 2,..., x n. Algoritma telah dijalankan dengan sukses. STOP. Algoritma di atas telah diimplementasi kedalam program yang ditulis dengan bahasa Fortran. Program tersebut sudah berhasil dikompilasi dengan visual fortran (windows) dan g77 (debian-linux). Inilah programnya: 1 DIMENSION A(10,11), B(10), Y(10), X(10) 2 REAL MJI 3 WRITE(*,*) 4 WRITE(*,*) ==> FAKTORISASI MATRIK: LU DECOMPOSITION <== 5 WRITE (*,*) 6 C LANGKAH 1: MEMASUKAN NILAI ELEMEN-ELEMEN MATRIK A DAN VEKTOR B 7 WRITE (*, (1X,A) ) JUMLAH PERSAMAAN? 8 READ (*,*) N 9 WRITE (*,*) 10 WRITE (*,*) MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK A 11 DO 50 I = 1,N 12 DO 60 J = 1,N 13 WRITE (*, (1X,A,I2,A,I2,A) ) A(,I,,,J, ) = 14 READ (*,*) A(I,J) CONTINUE 16 WRITE (*, (1X,A,I2,A) ) B(,I, )? 17 READ (*,*) B(I) 18 WRITE (*,*) CONTINUE 20 WRITE (*,*) 21 C MENAMPILKAN MATRIK A 22 WRITE (*, (1X,A) ) MATRIK A: 23 DO 110 I = 1,N 24 WRITE (*,6) (A(I,J),J=1,N) CONTINUE 26 WRITE (*,*) 27 C LANGKAH 2: MEMERIKSA ELEMEN-ELEMEN PIVOT 28 NN = N-1 29 DO 10 I=1,NN 30 C LANGKAH 3: MENDEFINISIKAN P 31 P = I IF (ABS(A(P,I)).GE.1.0E-20.OR. P.GT.N) GOTO P = P+1 34 GOTO IF(P.EQ.N+1)THEN 36 C MENAMPILKAN PESAN TIDAK DAPAT DIFAKTORKAN 37 WRITE(*,8) 38 GOTO 400

82 68 BAB 4. METODE LU DECOMPOSITION 39 END IF 40 C LANGKAH 4: PROSES TUKAR POSISI 41 IF(P.NE.I) THEN 42 DO 20 JJ=1,N 43 C = A(I,JJ) 44 A(I,JJ) = A(P,JJ) 45 A(P,JJ) = C CONTINUE 47 END IF 48 C LANGKAH 5: PERSIAPAN PROSES TRIANGULARISASI 49 JJ = I+1 50 DO 30 J=JJ,N 51 C LANGKAH 6: TENTUKAN MJI 52 MJI = A(J,I)/A(I,I) 53 C LANGKAH 7: PROSES TRIANGULARISASI 54 DO 40 K=JJ,N 55 A(J,K) = A(J,K)-MJI*A(I,K) CONTINUE 57 C LANGKAH 8: MENYIMPAN MJI KE A(J,I) 58 A(J,I) = MJI CONTINUE CONTINUE 61 C MENAMPILKAN MATRIK LU 62 WRITE (*, (1X,A) ) MATRIK LU: 63 DO 120 I = 1,N 64 WRITE (*,6) (A(I,J),J=1,N) CONTINUE 66 WRITE (*,*) 67 C LANGKAH 9: SUBSTITUSI-MAJU 68 Y(1) = B(1) 69 DO 15 I=2,N 70 SUM = DO 16 J=1,I-1 72 SUM = SUM+A(I,J)*Y(J) CONTINUE 74 Y(I) = B(I)-SUM CONTINUE 76 C MENAMPILKAN VEKTOR Y 77 WRITE (*, (1X,A) ) VEKTOR Y: 78 DO 138 I = 1,N 79 WRITE (*,6) Y(I) CONTINUE 81 WRITE (*,*) 82 C LANGKAH 10: SUBSTITUSI-MUNDUR 83 X(N) = Y(N)/A(N,N) 84 DO 24 K=1,N-1 85 I = N-K 86 JJ = I+1 87 SUM = DO 26 KK=JJ,N 89 SUM = SUM+A(I,KK)*X(KK) CONTINUE 91 X(I) = (Y(I)-SUM)/A(I,I) CONTINUE 93 C LANGKAH 11: MENAMPILKAN SOLUSI DAN SELESAI 94 WRITE (*, (1X,A) ) SOLUSI: 95 DO 18 I = 1,N 96 WRITE (*, (1X,A,I2,A,F14.8) ) X(,I, ) =,X(I) CONTINUE

83 4.2. ALGORITMA WRITE(*,*) 99 WRITE(*,*) SELESAI --> SUKSES 100 WRITE(*,*) CONTINUE FORMAT(1X,5(F14.8)) FORMAT(1X, TIDAK DAPAT DIFAKTORKAN ) 104 END Demikianlah, sekarang kita punya tiga buah algoritma untuk memecahkan problem sistem persamaan linear, yaitu eliminasi gauss, invers matrik, dan lu-decomposition. Diantara ketiganya, eliminasi gauss adalah algoritma yang paling simpel dan efisien. Dia hanya butuh proses triangularisasi dan substitusi-mundur untuk mendapatkan solusi. Sedangkan dua algoritma yang lainnya membutuhkan proses-proses tambahan untuk mendapatkan solusi yang sama. Saya cukupkan sementara sampai disini. Insya Allah akan saya sambung lagi dilain waktu. Kalau ada yang mau didiskusikan, silakan hubungi saya melalui .

84

85 Bab 5 Metode Iterasi Objektif : Mengenalkan konsep Norm. Mengenalkan iterasi Jacobi. Mengenalkan iterasi Gauss-Seidel. Mengenalkan iterasi Succesive-Over-Relaxation (SOR). 5.1 Kelebihan Vektor-kolom Sebelum kita membahas metode iterasi untuk menyelesaikan problem sistem persamaan linear, saya ingin menyampaikan satu hal yang sangat sederhana, yaitu tentang cara merepresentasikan elemen-elemen suatu vektor-kolom. Sebagaimana tertulis pada bab-bab sebelumnya, biasanya suatu vektor-kolom ditulis sebagai x 1 x n x x = 2. (5.1) Dengan operasi transpose, vektor-kolom tersebut dapat dinyatakan sebagai x = [ x 1 ; x 2 ;... x n ] t (5.2) Contoh: 3 x = 2 8 = 5 [ ] t 3; 2; 8; 5 71

86 72 BAB 5. METODE ITERASI Cara penulisan seperti ini digunakan untuk menyatakan vektor-kolom pada suatu kalimat di dalam paragraf. Alasannya supaya tidak terlalu menyita banyak ruang penulisan. Sementara, persamaan (5.1), lebih sering digunakan pada penulisan operasi matrik. Satu hal lagi, pada paragraf-paragraf berikutnya, saya persingkat penulisan istilah vektor-kolom menjadi vektor saja. 5.2 Pengertian Norm Vektor x=(x 1 ; x 2 ;...; x n ) t memiliki norm l 2 dan l yang didefinisikan sebagai n l 2 = x 2 = { x 2 i } 1/2 (5.3) i=1 dan l = x = max 1 i n x i (5.4) Contoh: x=(3; 2; 8; 5) t memiliki norm l 2 yaitu l 2 = x 2 = (3) 2 + ( 2) 2 + (8) 2 + (5) 2 = 10, 0995 dan norm l yaitu l = x = max{(3), ( 2), (8), (5)} = 8 Saya menyarankan agar kedua norm ini diingat-ingat dengan baik, karena akan banyak disinggung pada catatan-catatan berikutnya Script perhitungan norm dalam Matlab Script berikut ini merujuk pada contoh di atas, dimana vektor x hanya terdiri dari 4 elemen, yaitu x(1, 1),x(2, 1),x(3, 1) dan x(4, 1) 1 clear all 2 clc 3 x(1,1)=3; 4 x(2,1)=-2; 5 x(3,1)=8; 6 x(4,1)=5; 7 x %menampilkan vektor x 8 %=========menghitung norm2============= 9 s=0; 10 for i=1:4 11 s=s+x(i,1)^2; 12 end 13 norm2=sqrt(s) %menampilkan hasil norm2 14 %====================================== Mohon diperhatikan untuk mengganti angka 4 pada statemen for i=1:4 dengan angka yang lain disesuaikan dengan jumlah elemen vektor yang mau dihitung norm2-nya.

87 5.3. ITERASI JACOBI Perhitungan norm-selisih Misalnya kita punya vektor bernama xlama. Lalu ada vektor lainnya bernama xbaru. Norm selisih dari xlama dan xbaru dapat dihitung dengan bantuan script berikut ini 1 clear all 2 clc 3 xlama(1,1)=3; 4 xlama(2,1)=-2; 5 xlama(3,1)=8; 6 xlama(4,1)=5; 7 xlama %menampilkan elemen vektor xlama 8 9 xbaru(1,1)=9; 10 xbaru(2,1)=4; 11 xbaru(3,1)=6; 12 xbaru(4,1)=1; 13 xbaru %menampilkan elemen vektor xbaru n=4; %jumlah elemen vektor % menghitung norm2 selisih s=0; 19 for i=1:n 20 s=s+(xbaru(i,1)-xlama(i,1))^2; 21 end 22 norm2=sqrt(s) 23 % Cara perhitungan norm-selisih seperti ini akan diterapkan pada kebanyakan metode iterasi. Jadi tolong diingat baik-baik!! 5.3 Iterasi Jacobi Sekarang kita akan mulai membahas metode iterasi sekaligus penerapannya untuk menyelesaikan sistem persamaan linear. Perbedaan metode iterasi dengan metode-metode yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah ia dimulai dari penentuan nilai awal (initial value) untuk setiap elemen vektor x. Kemudian berdasarkan nilai awal tersebut, dilakukan langkah perhitungan untuk mendapatkan elemen-elemen vektor x yang baru. x (baru) = T x (lama) + c (5.5) atau x k = T x k 1 + c (5.6) dimana k = 1, 2, 3,..., n. untuk lebih jelasnya, silakan perhatikan baik-baik contoh berikut ini. Diketahui sistem per-

88 74 BAB 5. METODE ITERASI samaan linear berikut ini 10x 1 x 2 + 2x 3 = 6 x x 2 x 3 + 3x 4 = 25 2x 1 x x 3 x 4 = 11 3x 2 x 3 + 8x 4 = 15 yang mana solusinya adalah x=(1; 2; 1; 1) t. Silakan simpan dulu solusi ini, anggap saja kita belum tahu. Lalu perhatikan baik-baik bagaimana metode iterasi Jacobi bisa menemukan solusi tersebut dengan caranya yang khas. Langkah pertama dan merupakan langkah terpenting dari metode iterasi Jacobi adalah dengan mengubah cara penulisan sistem persamaan linear di atas menjadi seperti ini x 1 = 1 10 x x x 2 = 1 11 x x x x 3 = 2 10 x x x x 4 = 3 8 x x Kita bisa menyatakan bahwa nilai x 1, x 2, x 3 dan x 4 yang berada di ruas kiri tanda = (baca: sama dengan) sebagai x (baru). Sementara nilai x 1, x 2, x 3 dan x 4 yang berada di ruas kanan tanda = (baca: sama dengan) sebagai x (lama). Sehingga sistem persamaan tersebut ditulis seperti ini x (baru) 1 = 1 10 x(lama) x(lama) x (baru) 2 = 1 11 x(lama) x(lama) x(lama) x (baru) 3 = 2 10 x(lama) x x(lama) x (baru) 4 = 3 8 x(lama) x(lama) yang secara umum dapat diformulasikan sebagaimana persamaan (5.5) x (baru) 1 x (baru) 2 x (baru) 3 x (baru) 4 = x (lama) 1 x (lama) 2 x (lama) 3 x (lama) (5.7)

89 5.3. ITERASI JACOBI 75 Atau dapat pula ditulis seperti ini x (k) 1 = 1 10 x(k 1) x(k 1) x (k) 2 = 1 11 x(k 1) x(k 1) x(k 1) x (k) 3 = 2 10 x(k 1) x(k 1) x(k 1) x (k) 4 = 3 8 x(k 1) x(k 1) yang secara umum dapat diformulasikan sebagaimana persamaan (5.6) x (k) 1 x (k) 2 x (k) 3 x (k) 4 = x (k 1) 1 x (k 1) 2 x (k 1) 3 x (k 1) (5.8) Pada persamaan di atas, indeks k menunjukan jumlah berapa kali perhitungan iterasi telah dilakukan. Mari kita fokuskan sejenak pada indeks k ini; Pada k = 1, maka penulisan sistem persamaan linear menjadi seperti ini x (1) 1 = 1 10 x(0) x(0) x (1) 2 = 1 11 x(0) x(0) x(0) x (1) 3 = 2 10 x(0) x(0) x(0) x (1) 4 = 3 8 x(0) x(0) Jika kita tentukan nilai-nilai awal x (0) sebagai berikut x (0) 1 = 0, x (0) 2 = 0, x (0) 3 = 0 dan x (0) 4 = 0. Atau dinyatakan seperti ini x (0) = (0; 0; 0; 0) t. Maka kita akan memperoleh nilai-nilai x (1), yaitu hasil iterasi pertama, sebagai berikut x (1) 1 = 6 10 x (1) 2 = x (1) 3 = x (1) 4 = 15 8 atau x (1) = (0, 6000; 2, 2727; 1, 1000; 1, 8750) t. Setelah memperoleh nilai-nilai x (1), perhitungan tersebut diulang kembali guna mendapatkan hasil iterasi kedua, dimana nilai k = 2. Caranya adalah dengan memasukan nilai-nilai x (1) = (0, 6000; 2, 2727; 1, 1000; 1, 8750) t ke

90 76 BAB 5. METODE ITERASI ruas kanan tanda sama-dengan, x (2) 1 = 1 10 x(1) x(1) x (2) 2 = 1 11 x(1) x(1) x(1) x (2) 3 = 2 10 x(1) x(1) x(1) x (2) 4 = 3 8 x(1) x(1) maka nilai-nilai x (2) yang kita dapat adalah x (2) = (1, 0473; 1, 7159; 0, 8052; 0, 8852) t. Setelah diperoleh nilai-nilai x (2), perhitungan tersebut diulangi kembali guna mendapatkan hasil iterasi ketiga, dimana nilai k = 3. Caranya adalah dengan memasukan nilai-nilai x (2) = (1, 0473; 1, 7159; 0, 8052; 0, 8852) t ke ruas kanan kembali, x (3) 1 = 1 10 x(2) x(2) x (3) 2 = 1 11 x(2) x(2) x(2) x (3) 3 = 2 10 x(2) x(2) x(2) x (3) 4 = 3 8 x(2) x(2) maka kita akan memperoleh nilai-nilai x (3) = (0, 9326; 2, 0530; 1, 0493; 1, 1309) t. Lalu proses perhitungan diulangi lagi dengan k = 4. Begitulah seterusnya. Proses ini diulangi lagi berkalikali untuk nilai-nilai k berikutnya. Proses yang berulang ini disebut proses iterasi. Sampai dengan x (3) di atas, kita sudah melakukan tiga kali proses iterasi. Lantas sampai kapan proses iterasi ini terus berlanjut? Jawabnya adalah sampai x (baru) mendekati solusi yang sesungguhnya, yaitu x = (1; 2; 1; 1) t Dengan kata lain, proses iterasi harus dihentikan bila x (baru) sudah mendekati solusi. Lalu kriteria apa yang digunakan sehingga suatu hasil iterasi bisa dikatakan paling dekat dengan solusi yang sebenarnya? OK, simpan dulu pertanyaan ini, sebagai gantinya marilah kita pelajari script Matlab untuk metode iterasi Jacobi Script Matlab metode iterasi Jacobi Sebagai upaya pembelajaran, sengaja saya mulai dengan menampilkan script yang paling kasar terlebih dahulu, lalu selangkah demi selangkah dimodifikasi hingga menjadi script efektif. Pertama-tama kita buat script seperti ini 1 clear all 2 clc 3 %----nilai awal xlama(1,1)=0; 5 xlama(2,1)=0;

91 5.3. ITERASI JACOBI 77 6 xlama(3,1)=0; 7 xlama(4,1)=0; 8 xlama 9 10 %------nilai baru xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 12 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 13 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 14 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 15 xbaru xbaru yang didapat tak lain adalah hasil iterasi pertama, yaitu x (1) = (0, 6000; 2, 2727; 1, 1000; 1, 8750) t. Kemudian, untuk iterasi ke-2, script di atas dimodifikasi menjadi seperti ini 1 clear all 2 clc 3 4 %----nilai awal xlama(1,1)=0; 6 xlama(2,1)=0; 7 xlama(3,1)=0; 8 xlama(4,1)=0; 9 xlama 10 %------nilai baru xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 12 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 13 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 14 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 15 xbaru xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 20 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 21 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 22 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 23 xbaru Sampai disini, xbaru yang didapat adalah hasil iterasi ke-2, yaitu x (2) = (1, 0473; 1, 7159; 0, 8052; 0, 8852) t. Kemudian, untuk iterasi ke-3, script di atas dimodifikasi menjadi seperti ini 1 clear all 2 clc 3 4 %----nilai awal xlama(1,1)=0; 6 xlama(2,1)=0; 7 xlama(3,1)=0; 8 xlama(4,1)=0; 9 xlama 10 %------nilai baru xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 12 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 13 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 14 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 15 xbaru

92 78 BAB 5. METODE ITERASI xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 20 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 21 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 22 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 23 xbaru xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 28 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 29 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 30 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 31 xbaru Sampai disini, xbaru yang didapat adalah hasil iterasi ke-3, yaitu x (3) = (0, 9326; 2, 0530; 1, 0493; 1, 1309) t. Kemudian, untuk iterasi ke-4, script di atas dimodifikasi dengan cara yang sama. Tapi konsekuensinya script tersebut akan tidak efektif karena akan bertambah panjang. Guna menghindari hal itu, script di atas perlu dioptimasi dengan pasangan for-end sebagai berikut 1 clear all 2 clc 3 4 %----nilai awal xlama(1,1)=0; 6 xlama(2,1)=0; 7 xlama(3,1)=0; 8 xlama(4,1)=0; 10 9 xlama 11 for i=1:4 12 %------nilai update xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 14 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 15 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 16 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 17 xbaru xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya 20 end Angka 4 pada statemen for i=1:4 dapat diganti sesuai dengan jumlah iterasi maksimal yang kita kehendaki. Karena itu, perlu disisipkan variabel baru yang saya kasih nama itermaks, singkatan dari iterasi maksimum. Lalu statemen for i=1:4 saya ganti menjadi for i=1:itermaks 1 clear all 2 clc 3 4 %----nilai awal xlama(1,1)=0; 6 xlama(2,1)=0;

93 5.3. ITERASI JACOBI 79 7 xlama(3,1)=0; 8 xlama(4,1)=0; 10 9 xlama 11 itermaks=4 %jumlah iterasi maksimum for i=1:itermaks 14 %------nilai update xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 16 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 17 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 18 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 19 xbaru xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya 22 end Untuk mendapatkan hasil iterasi yang ke-10, silakan nyatakan itermaks=10 pada script di atas. Hasil dari keseluruhan iterasi dari iterasi ke-1 hingga iterasi ke-10 disajikan pada tabel berikut Tabel 5.1: Hasil akhir elemen-elemen vektor x hingga iterasi ke-10 k x (k) 1 0,0000 0,6000 1,0473 0,9326 1, ,9997 1,0001 x (k) 2 0,0000 2,2727 1,7159 2,0530 1, ,0004 1,9998 x (k) 3 0,0000-1,1000-0,8052-1,0493-0, ,0004-0,9998 x (k) 4 0,0000 1,8852 0,8852 1,1309 0, ,0006 0,9998 Kita bisa saksikan bahwa hasil iterasi ke-1, x (1) = (0, 6000; 2, 2727; 1, 1000; 1, 8852) adalah hasil yang paling tidak mendekati solusi, x = (1; 2; 1; 1) t. Coba bandingkan dengan hasil iterasi ke-2! Jelas terlihat bahwa hasil iterasi ke-2 lebih mendekati solusi. Kalau terus diurutkan, maka hasil iterasi ke-10 merupakan hasil yang paling dekat dengan solusi Optimasi script Matlab untuk menghitung iterasi Sekarang mari kita hitung norm-selisih dari masing-masing hasil iterasi secara berurutan. Dimulai dari mencari norm-selisih antara hasil iterasi ke-1 dan ke-2. Lalu dilanjutkan dengan hasil iterasi ke-2 dan ke-3, begitu seterusnya hingga antara hasil iterasi yang ke-9 dan ke-10. Dalam prakteknya, kita cukup menambahkan script norm-selisih pada script yang tadi 1 clear all 2 clc 3 4 %----nilai awal xlama(1,1)=0; 6 xlama(2,1)=0; 7 xlama(3,1)=0; 8 xlama(4,1)=0; 9 xlama 10 n=4 %jumlah elemen vektor

94 80 BAB 5. METODE ITERASI 11 itermaks=10 %jumlah iterasi maksimal for i=1:itermaks 14 %------nilai update xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 16 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 17 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 18 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 19 xbaru %------norm selisih s=0; 23 for i=1:n 24 s=s+(xbaru(i,1)-xlama(i,1))^2; 25 end 26 epsilon=sqrt(s) 27 % xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya 30 end Tabel dibawah ini memperlihatkan hasil norm-selisih hingga iterasi ke-10. Hasil perhitungan norm-selisih tersebut, saya beri nama epsilon, ǫ, dimana semakin kecil nilai epsilon, ǫ, menandakan hasil iterasinya semakin dekat dengan solusi. Hasil norm-selisih yang semakin kecil pada iterasi ke-10 menunjukan bahwa hasil iterasi ke-10 adalah hasil yang paling dekat dengan solusi yang sebenarnya. Tabel 5.2: Hasil perhitungan norm-selisih (dengan l 2 ) hingga iterasi ke-10 norm l 2 x (2) x (1) 2 x (3) x (2) 2 x (4) x (3) 2... x (10) x (9) 2 ǫ 1,2557 0,4967 0, ,0012 Kembali ke pertanyaan penting yang tadi yaitu kriteria apa yang digunakan sehingga suatu hasil iterasi bisa dikatakan paling dekat dengan solusi yang sebenarnya? Jawabnya: tergantung besar kecilnya nilai ǫ. Artinya kalau nilai ǫ ditentukan sebesar 0,2, maka iterasi akan berhenti pada iterasi ke-4. Atau kalau nilai ǫ ditentukan sebesar 0,001, maka proses iterasi akan berhenti pada iterasi ke-10. Kesimpulannya, semakin kecil nilai ǫ, semakin panjang proses iterasinya, namun hasil akhirnya semakin akurat. Jadi nilai ǫ berperan penting untuk menghentikan proses iterasi. Dalam hal ini, ǫ lebih umum dikenal dengan istilah stopping-criteria. Di bawah ini adalah script iterasi Jacobi setelah mengalami optimasi beberapa kali, 1 clear all 2 clc 3 4 %----nilai awal xlama(1,1)=0; 6 xlama(2,1)=0; 7 xlama(3,1)=0; 8 xlama(4,1)=0; 10 9 xlama 11 n=4 %jumlah elemen vektor

95 5.3. ITERASI JACOBI itermaks=10 %jumlah iterasi maksimal 13 sc=0.001 %stopping-criteria for i=1:itermaks 16 %------nilai update xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 18 xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 19 xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 20 xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8); 21 xbaru %------norm selisih s=0; 25 for i=1:n 26 s=s+(xbaru(i,1)-xlama(i,1))^2; 27 end 28 epsilon=sqrt(s) %------memeriksa stopping criteria, sc if epsilon<sc 32 break 33 end xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya 36 end Metode yang baru saja kita bahas ini disebut metode Iterasi Jacobi. Metode ini bertujuan mencari nilai-nilai pengganti variabel-variabel x dengan perumusan dimana i=1,2,3,...,n. x (k) i = ) n j=1 ( a ij x (k 1) j + b i (5.9) a ii Algoritma Langkah 1: Tentukan k=1 Langkah 2: Ketika (k N) lakukan Langkah 3-6 Langkah 3: Untuk i=1,...,n, hitunglah x i = n j=1 (a ijxo j ) + b i a ii Langkah 4: Jika x XO < ǫ, maka keluarkan OUTPUT (x 1,..., x n ) lalu STOP Langkah 5: Tentukan k=k+1 Langkah 6: Untuk i=1,...n, tentukan XO i = x i Langkah 7: OUTPUT ( Iterasi maksimum telah terlampaui ) lalu STOP

96 82 BAB 5. METODE ITERASI Program dalam Fortran 1 IMPLICIT NONE 2 DIMENSION A(10,10),B(10),X(10),XO(10) 3 REAL A,B,X,XO,EPS,NORM,S 4 INTEGER N,I,J,K,ITMAX 5 WRITE(*,*) ==> ITERASI JACOBI UNTUK SISTEM LINEAR <== 6 WRITE(*,*) 7 WRITE (*, (1X,A) ) JUMLAH PERSAMAAN? 8 READ (*,*) N 9 WRITE (*,*) MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK A DAN VEKTOR B 10 DO 52 I = 1,N 11 DO 62 J = 1,N 12 WRITE (*, (1X,A,I2,A,I2,A) ) A(,I,,,J, ) = 13 READ (*,*) A(I,J) CONTINUE 15 WRITE (*, (1X,A,I2,A) ) B(,I, )? 16 READ (*,*) B(I) 17 WRITE (*,*) CONTINUE 19 WRITE (*, (1X,A) ) JUMLAH ITERASI MAKSIMUM? 20 READ (*,*) ITMAX 21 WRITE (*, (1X,A) ) NILAI EPSILON ATAU TOLERANSI? 22 READ (*,*) EPS 23 WRITE (*,*) MASUKAN NILAI AWAL UNTUK XO 24 DO 72 I = 1,N 25 WRITE (*, (1X,A,I2,A) ) XO(,I, )? 26 READ (*,*) XO(I) CONTINUE 28 WRITE (*,*) 29 C MENAMPILKAN MATRIK A 30 WRITE (*, (1X,A) ) MATRIK A: 31 DO 110 I = 1,N 32 WRITE (*,6) (A(I,J),J=1,N) CONTINUE 34 WRITE (*,*) 35 C MENAMPILKAN VEKTOR B 36 WRITE (*, (1X,A) ) VEKTOR B: 37 DO 111 I = 1,N 38 WRITE (*,6) B(I) CONTINUE 40 WRITE (*,*) 41 C LANGKAH 1 42 K = 1 43 C LANGKAH IF(K.GT.ITMAX) GOTO C LANGKAH 3 46 NORM = DO 10 I = 1,N 48 S = DO 20 J=1,N 50 S = S-A(I,J)*XO(J) CONTINUE 52 S = (S+B(I))/A(I,I) 53 IF (ABS(S).GT.NORM) NORM=ABS(S) 54 X(I) = XO(I)+S CONTINUE 56 WRITE(*, (1X,A,I3) ) ITERASI KE-, K

97 5.4. ITERASI GAUSS-SEIDEL WRITE(*, (1X,A,F14.8) ) NORM =, NORM 58 WRITE(*, (1X,A,I3,A,F14.8) ) ( X(,I, ) =, X(I),I=1,N) 59 WRITE(*,*) 60 C LANGKAH 4 61 IF(NORM.LE.EPS) THEN 62 WRITE(*,7) K,NORM 63 GOTO END IF 65 C LANGKAH 5 66 K = K+1 67 C LANGKAH 6 68 DO 30 I=1,N 69 XO(I) = X(I) CONTINUE 71 GOTO C LANGKAH CONTINUE 74 WRITE(*,9) STOP FORMAT(1X,I3) 78 6 FORMAT(1X,(6(1X,F14.8))) 79 7 FORMAT(1X, KONVERGEN PADA ITERASI YANG KE-,I3, 80 *, NORM=,F14.8) 81 9 FORMAT(1X, MELEBIHI BATAS MAKSIMUM ITERASI ) 82 END 5.4 Iterasi Gauss-Seidel Metode Iterasi Gauss-Seidel hampir sama dengan metode Iterasi Jacobi. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan nilai elemen vektor xbaru yang langsung digunakan pada persamaan dibawahnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan sistem persamaan linear berikut, yang diturunkan dari contoh terdahulu x baru 1 = 1 10 xlama xlama x baru 2 = 1 11 xbaru xlama xlama x baru 3 = 2 10 xbaru xbaru xlama x baru 4 = 3 8 xbaru xbaru Pada baris pertama, x baru 1 dihitung berdasarkan x lama 2 dan x lama 3. Kemudian x baru 1 tersebut langsung dipakai pada baris kedua untuk menghitung x baru 2. Selanjutnya x baru 1 dan x baru 2 digunakan pada baris ketiga untuk mendapatkan x baru 3. Begitu seterusnya hingga x baru 4 pun diperoleh pada baris keempat. Sistem persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam indeks k

98 84 BAB 5. METODE ITERASI seperti dibawah ini dimana k adalah jumlah iterasi. x (k) 1 = 1 10 x(k 1) x(k 1) x (k) 2 = 1 11 x(k) x(k 1) x(k 1) x (k) 3 = 2 10 x(k) x(k) x(k 1) x (k) 4 = 3 8 x(k) x(k) Misalnya kita tentukan nilai-nilai awal x (0) sebagai berikut x (0) 1 = 0, x (0) 2 = 0, x (0) 3 = 0 dan x (0) 4 = 0. Atau dinyatakan seperti ini x (0) = (0; 0; 0; 0) t. Maka pada k = 1 kita akan memperoleh nilai-nilai x (1) sebagai berikut x (1) 1 = 0, 6000 x (1) 2 = 2, 3272 x (1) 3 = 0, 9873 x (1) 4 = 0, 8789 Lalu proses perhitungan diulangi lagi dengan k = 2. Begitu seterusnya proses ini diulangulang lagi untuk nilai-nilai k berikutnya sampai x (k) mendekati solusi yang sesungguhnya, yaitu x = (1; 2; 1; 1) t Marilah kita amati hasil seluruh iterasi. Tabel di bawah ini menampilkan hasil perhitungan hingga iterasi yang ke-5. Kita bisa saksikan bahwa dibandingkan dengan iterasi Jacobi, problem sistem persamaan linear yang sama, bisa diselesaikan oleh metode iterasi Gauss-Seidel hanya dalam 5 kali iterasi. Dari kasus ini, bisa kita simpulkan bahwa iterasi Gauss-Seidel bek- Tabel 5.3: Hasil Iterasi Gauss-Seidel k x (k) 1 0,0000 0,6000 1,030 1,0065 1,0009 1,0001 x (k) 2 0,0000 2,3272 2,037 2,0036 2,0003 2,0000 x (k) 3 0,0000-0,9873-1,014-1,0025-1,0003-1,0000 x (k) 4 0,0000 0,8789 0,9844 0,9983 0,9999 1,0000 erja lebih efektif dibandingkan iterasi Jacobi. Ya.., memang secara umum demikian, akan tetapi ternyata ditemukan kondisi yang sebaliknya pada kasus-kasus yang lain Script iterasi Gauss-Seidel Secara umum, script iterasi Gauss-Seidel yang saya tuliskan disini hampir sama dengan iterasi Jacobi. Perbedaan kecil-nya terletak pada bagian nilai update, dimana elemen xbaru hasil perhitungan dilibatkan langsung untuk menghitung elemen xbaru selanjutnya.

99 5.4. ITERASI GAUSS-SEIDEL 85 1 clear all 2 clc 3 4 %----nilai awal xlama(1,1)=0; 6 xlama(2,1)=0; 7 xlama(3,1)=0; 8 xlama(4,1)=0; 10 9 xlama 11 n=4 %jumlah elemen vektor 12 itermaks=10 %jumlah iterasi maksimal 13 sc=0.001 %stopping-criteria for i=1:itermaks 16 %------nilai update xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10); 18 xbaru(2,1)=(1/11)*xbaru(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11); 19 xbaru(3,1)=-(2/10)*xbaru(1,1)+(1/10)*xbaru(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10); 20 xbaru(4,1)=-(3/8)*xbaru(2,1)+(1/8)*xbaru(3,1)+(15/8); 21 xbaru %------norm selisih s=0; 25 for i=1:n 26 s=s+(xbaru(i,1)-xlama(i,1))^2; 27 end 28 epsilon=sqrt(s) %------memeriksa stopping criteria, sc if epsilon<sc 32 break 33 end xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya 36 end Perumusan metode Iterasi Gauss-Seidel dapat dinyatakan sebagai berikut: dimana i=1,2,3,...,n. ( i 1 x (k) j=1 a ij x (k) j i = ) ( ) n j=i+1 a ij x (k 1) j + b i (5.10) a ii Algoritma Langkah 1: Tentukan k=1 Langkah 2: Ketika (k N) lakukan Langkah 3-6 Langkah 3: Untuk i=1,...,n, hitunglah x i = i 1 j=1 a ijx j n j=i+1 a ijxo j + b i a ii

100 86 BAB 5. METODE ITERASI Langkah 4: Jika x XO < ǫ, maka keluarkan OUTPUT (x 1,..., x n ) lalu STOP Langkah 5: Tentukan k=k+1 Langkah 6: Untuk i=1,...n, tentukan XO i = x i Langkah 7: OUTPUT ( Iterasi maksimum telah terlampaui ) lalu STOP Script iterasi Gauss-Seidel dalam Fortran 1 IMPLICIT NONE 2 DIMENSION A(10,10),B(10),X(10),XO(10) 3 REAL A,B,X,XO,EPS,NORM,S1,S2 4 INTEGER N,I,J,K,ITMAX 5 WRITE(*,*) 6 WRITE(*,*) ==> ITERASI GAUSS-SEIDEL UNTUK SISTEM LINEAR <== 7 WRITE(*,*) 8 WRITE (*, (1X,A) ) JUMLAH PERSAMAAN? 9 READ (*,*) N 10 WRITE (*,*) MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK A DAN VEKTOR B 11 DO 52 I = 1,N 12 DO 62 J = 1,N 13 WRITE (*, (1X,A,I2,A,I2,A) ) A(,I,,,J, ) = 14 READ (*,*) A(I,J) CONTINUE 16 WRITE (*, (1X,A,I2,A) ) B(,I, )? 17 READ (*,*) B(I) 18 WRITE (*,*) CONTINUE 20 WRITE (*, (1X,A) ) JUMLAH ITERASI MAKSIMUM? 21 READ (*,*) ITMAX 22 WRITE (*, (1X,A) ) NILAI EPSILON ATAU TOLERANSI? 23 READ (*,*) EPS 24 WRITE (*,*) MASUKAN NILAI AWAL UNTUK XO 25 DO 72 I = 1,N 26 WRITE (*, (1X,A,I2,A) ) XO(,I, )? 27 READ (*,*) XO(I) CONTINUE 29 WRITE (*,*) 30 C MENAMPILKAN MATRIK A 31 WRITE (*, (1X,A) ) MATRIK A: 32 DO 110 I = 1,N 33 WRITE (*,6) (A(I,J),J=1,N) CONTINUE 35 WRITE (*,*) 36 C MENAMPILKAN VEKTOR B 37 WRITE (*, (1X,A) ) VEKTOR B: 38 DO 111 I = 1,N 39 WRITE (*,6) B(I) CONTINUE 41 WRITE (*,*) 42 C LANGKAH 1 43 K = 1 44 C LANGKAH IF(K.GT.ITMAX) GOTO C LANGKAH 3 47 DO 10 I = 1,N 48 S1 = 0.0

101 5.5. ITERASI DENGAN RELAKSASI DO 20 J=I+1,N 50 S1 = S1-A(I,J)*XO(J) CONTINUE 52 S2 = DO 23 J=1,I-1 54 S2 = S2-A(I,J)*X(J) CONTINUE 56 X(I) = (S2+S1+B(I))/A(I,I) CONTINUE 58 C SAYA PILIH NORM-2. ANDA BOLEH PAKAI NORM YANG LAIN! 59 NORM = DO 40 I=1,N 61 NORM = NORM + (X(I)-XO(I))*(X(I)-XO(I)) CONTINUE 63 NORM = SQRT(NORM) 64 WRITE(*, (1X,A,I3) ) ITERASI KE-, K 65 WRITE(*, (1X,A,F14.8) ) NORM-2 =, NORM 66 WRITE(*, (1X,A,I3,A,F14.8) ) ( X(,I, ) =, X(I),I=1,N) 67 WRITE(*,*) 68 C LANGKAH 4 69 IF(NORM.LE.EPS) THEN 70 WRITE(*,7) K,NORM 71 GOTO END IF 73 C LANGKAH 5 74 K = K+1 75 C LANGKAH 6 76 DO 30 I=1,N 77 XO(I) = X(I) CONTINUE 79 GOTO C LANGKAH CONTINUE 82 WRITE(*,9) STOP FORMAT(1X,I3) 86 6 FORMAT(1X,(6(1X,F14.8))) 87 7 FORMAT(1X, KONVERGEN PADA ITERASI YANG KE-,I3, 88 *, NORM=,F14.8) 89 9 FORMAT(1X, MELEBIHI BATAS MAKSIMUM ITERASI ) 90 END 5.5 Iterasi dengan Relaksasi Metode Iterasi Relaksasi (Relaxation method) dinyatakan dengan rumus berikut: x (k) i = (1 ω) x (k 1) i + ω i 1 b i a ii j=1 a ij x (k) j n j=i+1 a ij x (k 1) (5.11) j dimana i=1,2,3,...,n. Untuk lebih jelasnya, marilah kita perhatikan contoh berikut, diketahui sistem persamaan

102 88 BAB 5. METODE ITERASI linear Ax = b yaitu 4x 1 + 3x 2 + = 24 3x 1 + 4x 2 x 3 = 30 x 2 + 4x 3 = 24 memiliki solusi (3, 4, 5) t. Metode Gauss-Seidel dan Relaksasi dengan ω = 1, 25 akan digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan linear di atas dengan x (0) = (1, 1, 1) t. Untuk setiap nilai k = 1, 2, 3,..., persamaan Gauss-Seidelnya adalah x (k) 1 = 0, 75x (k 1) x (k) 2 = 0, 75x (k) 1 + 0, 25x (k 1) 3 + 7, 5 x (k) 3 = 0, 25x (k) 2 6 Sedangkan persamaan untuk metode Relaksasi dengan ω = 1, 25 adalah x (k) 1 = 0, 25x (k 1) 1 0, 9375x (k 1) 2 + 7, 5 x (k) 2 = 0, 9375x (k) 1 0, 25x (k 1) 2 + 0, 3125x (k 1) 3 + 9, 375 x (k) 3 = 0, 3125x (k) 2 0, 25x (k 1) 3 7, 5 Tabel berikut ini menampilkan perhitungan dari masing-masing metode hingga iterasi ke-7. Tabel 5.4: Hasil perhitungan iterasi Gauss-Seidel k x (k) 1 1 5,2500 3,1406 3,0879 3,0549 3,0343 3,0215 3,0134 x (k) 2 1 3,8125 3,8828 3,9267 3,9542 3,9714 3,9821 3,9888 x (k) 3 1-5,0468-5,0293-5,0183-5,0114-5,0072-5,0044-5,0028 Tabel 5.5: Hasil perhitungan iterasi Relaksasi dengan ω = 1, 25 k x (k) 1 1 6,3125 2,6223 3,1333 2,9570 3,0037 2,9963 3,0000 x (k) 2 1 3,5195 3,9585 4,0102 4,0075 4,0029 4,0009 4,0002 x (k) 3 1-6,6501-4,6004-5,0967-4,9735-5,0057-4,9983-5,0003 Dari kasus ini, bisa kita simpulkan bahwa iterasi Relaksasi memerlukan proses iterasi yang lebih singkat dibandingkan iterasi Gauss-Seidel. Jadi, pada kasus ini (dan juga secara umum), Relaksasi lebih efektif dibandingkan Gauss-Seidel. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menentukan nilai ω optimal? Metode Relaksasi dengan pilihan nilai ω yang berkisar antara 0 dan 1 disebut metode underrelaxation, dimana metode ini berguna agar sistem persamaan linear bisa mencapai kondisi konvergen walaupun sistem tersebut sulit mencapai kondisi konvergen dengan metode Gauss-

103 5.5. ITERASI DENGAN RELAKSASI 89 Seidel. Sementara bila ω nilainya lebih besar dari angka 1, maka disebut metode successive over-relaxation (SOR), yang mana metode ini berguna untuk mengakselerasi atau mempercepat kondisi konvergen dibandingkan dengan Gauss-Seidel. Metode SOR ini juga sangat berguna untuk menyelesaikan sistem persamaan linear yang muncul dari persamaan diferensial-parsial tertentu Algoritma Iterasi Relaksasi Langkah 1: Tentukan k=1 Langkah 2: Ketika (k N) lakukan Langkah 3-6 Langkah 3: Untuk i=1,...,n, hitunglah x i = (1 ω) XO i + ( ω i 1 j=1 a ijx j ) n j=i+1 a ijxo j + b i Langkah 4: Jika x XO < ǫ, maka keluarkan OUTPUT (x 1,..., x n ) lalu STOP Langkah 5: Tentukan k=k+1 Langkah 6: Untuk i=1,...n, tentukan XO i = x i Langkah 7: OUTPUT ( Iterasi maksimum telah terlampaui ) lalu STOP a ii Demikianlah catatan singkat dari saya tentang metode iterasi untuk menyelesaikan problem sistem persamaan linear. Saya cukupkan sementara sampai disini. Insya Allah akan saya sambung lagi dilain waktu. Kalau ada yang mau didiskusikan, silakan hubungi saya melalui supri92@gmail.com.

104

105 Bab 6 Interpolasi Objektif : Mengenalkan Interpolasi Lagrange Mengenalkan Interpolasi Spline-cubic 6.1 Interpolasi Lagrange Interpolasi Lagrange diterapkan untuk mendapatkan fungsi polinomial P(x) berderajat tertentu yang melewati sejumlah titik data. Misalnya, kita ingin mendapatkan fungsi polinomial berderajat satu yang melewati dua buah titik yaitu (x 0, y 0 ) dan (x 1, y 1 ). Langkah pertama yang kita lakukan adalah mendefinisikan fungsi berikut dan L 0 (x) = x x 1 x 0 x 1 L 1 (x) = x x 0 x 1 x 0 kemudian kita definisikan fungsi polinomial sebagai berikut P(x) = L 0 (x)y 0 + L 1 (x)y 1 Jika semua persamaan diatas kita gabungkan, maka akan didapat P(x) = L 0 (x)y 0 + L 1 (x)y 1 P(x) = x x 1 x 0 x 1 y 0 + x x 0 x 1 x 0 y 1 dan ketika x = x 0 P(x 0 ) = x 0 x 1 x 0 x 1 y 0 + x 0 x 0 x 1 x 0 y 1 = y 0 91

106 92 BAB 6. INTERPOLASI dan pada saat x = x 1 P(x 1 ) = x 1 x 1 x 0 x 1 y 0 + x 1 x 0 x 1 x 0 y 1 = y 1 dari contoh ini, kira-kira apa kesimpulan sementara anda? Ya.. kita bisa sepakat bahwa fungsi polinomial benar-benar melewati titik (x 0, y 0 ) dan (x 1, y 1 ). P(x) = x x 1 x 0 x 1 y 0 + x x 0 x 1 x 0 y 1 (6.1) Sekarang mari kita perhatikan lagi contoh lainnya. Misalnya ada tiga titik yaitu (x 0, y 0 ), (x 1, y 1 ) dan (x 2, y 2 ). Tentukanlah fungsi polinomial yang melewati ketiganya! Dengan pola yang sama kita bisa awali langkah pertama yaitu mendefinisikan lalu dan L 0 (x) = (x x 1)(x x 2 ) (x 0 x 1 )(x 0 x 2 ) L 1 (x) = (x x 0)(x x 2 ) (x 1 x 0 )(x 1 x 2 ) L 2 (x) = (x x 0)(x x 1 ) (x 2 x 0 )(x 2 x 1 ) kemudian kita definisikan fungsi polinomial sebagai berikut P(x) = L 0 (x)y 0 + L 1 (x)y 1 + L 2 (x)y 2 Jika semua persamaan diatas kita gabungkan, maka akan didapat fungsi polinomial P(x) = (x x 1)(x x 2 ) (x 0 x 1 )(x 0 x 2 ) y 0 + (x x 0)(x x 2 ) (x 1 x 0 )(x 1 x 2 ) y 1 + (x x 0)(x x 1 ) (x 2 x 0 )(x 2 x 1 ) y 2 Kita uji sebentar. Ketika x = x 0 P(x 0 ) = (x 0 x 1 )(x 0 x 2 ) (x 0 x 1 )(x 0 x 2 ) y 0 + (x 0 x 0 )(x 0 x 2 ) (x 1 x 0 )(x 1 x 2 ) y 1 + (x 0 x 0 )(x 0 x 1 ) (x 2 x 0 )(x 2 x 1 ) y 2 = y 0 pada saat x = x 1 P(x 1 ) = (x 1 x 1 )(x 1 x 2 ) (x 0 x 1 )(x 0 x 2 ) y 0 + (x 1 x 0 )(x 1 x 2 ) (x 1 x 0 )(x 1 x 2 ) y 1 + (x 1 x 0 )(x 1 x 1 ) (x 2 x 0 )(x 2 x 1 ) y 2 = y 1 pada saat x = x 2 P(x 2 ) = (x 2 x 1 )(x 2 x 2 ) (x 0 x 1 )(x 0 x 2 ) y 0 + (x 2 x 0 )(x 2 x 2 ) (x 1 x 0 )(x 1 x 2 ) y 1 + (x 2 x 0 )(x 2 x 1 ) (x 2 x 0 )(x 2 x 1 ) y 2 = y 2

107 6.2. INTERPOLASI CUBIC SPLINE 93 Terbukti bahwa fungsi polonomial P(x) = (x x 1)(x x 2 ) (x 0 x 1 )(x 0 x 2 ) y 0 + (x x 0)(x x 2 ) (x 1 x 0 )(x 1 x 2 ) y 1 + (x x 0)(x x 1 ) (x 2 x 0 )(x 2 x 1 ) y 2 (6.2) melewati ketiga titik tadi. Kalau kita bandingkan antara persamaan (6.1) dan persamaan (6.2), terlihat bahwa derajat persamaan (6.2) lebih tinggi dibandingkan dengan derajat persamaan (6.1). Hal ini terlihat dari x 2 pada persamaan (6.2) sementara pada persamaan (6.1) hanya ada x. persamaan (6.2) disebut funsi polinomial berderajat 2, sedangkan persamaan (6.1) disebut fungsi polinomial berderajat Interpolasi Cubic Spline Gambar 6.1: Fungsi f(x) dengan sejumlah titik data Gambar 6.2: Pendekatan dengan polinomial cubic spline

108 94 BAB 6. INTERPOLASI Diketahui suatu fungsi f(x) (Figure 6.1) yang dibatasi oleh interval a dan b, dan memiliki sejumlah titik data a = x 0 < x 1 <... < x n = b. Interpolasi cubic spline S(x) adalah sebuah potongan fungsi polinomial kecil-kecil (Figure 6.2) berderajat tiga (cubic) yang menghubungkan dua titik data yang bersebelahan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. S j (x) adalah potongan fungsi yang berada pada sub-interval dari x j hingga x j+1 untuk nilai j = 0, 1,..., n 1; 2. S(x j ) = f(x j ), artinya pada setiap titik data (x j ), nilai f(x j ) bersesuaian dengan S(x j ) dimana j = 0, 1,..., n; 3. S j+1 (x j+1 ) = S j (x j+1 ). Perhatikan titik x j+1 pada Figure 6.2. Ya.. tentu saja jika fungsi itu kontinyu, maka titik x j+1 menjadi titik sambungan antara S j dan S j S j+1 (x j+1) = S j (x j+1), artinya kontinyuitas menuntut turunan pertama dari S j dan S j+1 pada titik x j+1 harus bersesuaian. 5. S j+1 (x j+1) = S j (x j+1), artinya kontinyuitas menuntut turunan kedua dari S j dan S j+1 pada titik x j+1 harus bersesuaian juga. 6. Salah satu syarat batas diantara 2 syarat batas x 0 dan x n berikut ini mesti terpenuhi: S (x 0 ) = S (x n ) = 0 ini disebut natural boundary S (x 0 ) = f (x 0 ) dan S (x n ) = f (x n ) ini disebut clamped boundary Polinomial cubic spline S (polinomial pangkat 3) untuk suatu fungsi f berdasarkan ketentuan di atas adalah S j (x) = a j + b j (x x j ) + c j (x x j ) 2 + d j (x x j ) 3 (6.3) dimana j = 0, 1,..., n 1. Maka ketika x = x j S j (x j ) = a j + b j (x j x j ) + c j (x j x j ) 2 + d j (x j x j ) 3 S j (x j ) = a j = f(x j ) Itu artinya, a j selalu jadi pasangan titik data dari x j. Dengan pola ini maka pasangan titik data x j+1 adalah a j+1, konsekuensinya S(x j+1 ) = a j+1. Berdasarkan ketentuan (3), yaitu ketika x = x j+1 dimasukan ke persamaan (11.7) a j+1 = S j+1 (x j+1 ) = S j (x j+1 ) = a j + b j (x j+1 x j ) + c j (x j+1 x j ) 2 + d j (x j+1 x j ) 3 dimana j = 0, 1,..., n 2. Sekarang, kita nyatakan h j = x j+1 x j, sehingga a j+1 = a j + b j h j + c j h 2 j + d j h 3 j (6.4) Kemudian, turunan pertama dari persamaan (11.7) adalah S j(x) = b j + 2c j (x x j ) + 3d j (x x j ) 2

109 6.2. INTERPOLASI CUBIC SPLINE 95 ketika x = x j, S j(x j ) = b j + 2c j (x j x j ) + 3d j (x j x j ) 2 = b j dan ketika x = x j+1, b j+1 = S j(x j+1 ) = b j + 2c j (x j+1 x j ) + 3d j (x j+1 x j ) 2 Ini dapat dinyatakan sebagai b j+1 = b j + 2c j (x j+1 x j ) + 3d j (x j+1 x j ) 2 dan dinyatakan dalam h j b j+1 = b j + 2c j h j + 3d j h 2 j (6.5) Berikutnya, kita hitung turunan kedua dari persamaan (11.7) S j (x) = 2c j + 6d j (x x j ) (6.6) tapi dengan ketentuan tambahan yaitu S (x)/2, sehingga persamaan ini dimodifikasi menjadi S j (x) = c j + 3d j (x x j ) dengan cara yang sama, ketika x = x j S j (x j ) = c j + 3d j (x j x j ) = c j dan ketika x = x j+1 dan d j bisa dinyatakan dari sini, persamaan (6.4) dapat ditulis kembali c j+1 = S j (x j+1 ) = c j + 3d j (x j+1 x j ) c j+1 = c j + 3d j h j (6.7) d j = 1 3h j (c j+1 c j ) a j+1 = a j + b j h j + c j h 2 j + d j h 3 j = a j + b j h j + c j h 2 j + h2 j 3 (c j+1 c j ) = a j + b j h j + h2 j 3 (2c j + c j+1 ) (6.8)

110 96 BAB 6. INTERPOLASI sementara persamaan (6.5) menjadi b j+1 = b j + 2c j h j + 3d j h 2 j = b j + 2c j h j + h j (c j+1 c j ) = b j + h j (c j + c j+1 ) (6.9) Sampai sini masih bisa diikuti, bukan? Selanjutnya, kita coba mendapatkan b j dari persamaan (6.8) b j = 1 h j (a j+1 a j ) h j 3 (2c j + c j+1 ) (6.10) dan untuk b j 1 b j 1 = 1 h j 1 (a j a j 1 ) h j 1 3 (2c j 1 + c j ) (6.11) Langkah berikutnya adalah mensubtitusikan persamaan (6.10) dan persamaan (6.11) kedalam persamaan (6.9), h j 1 c j 1 + 2(h j 1 + h j )c j + h j c j+1 = 3 h j (a j+1 a j ) 3 h j 1 (a j a j 1 ) (6.12) dimana j = 1, 2,..., n 1. Dalam sistem persamaan ini, nilai {h j } j=0 n 1 dan nilai {a j} n j=0 sudah diketahui, sementara nilai {c j } n j=0 belum diketahui dan memang nilai inilah yang akan dihitung dari persamaan ini. Sekarang coba perhatikan ketentuan nomor (6), ketika S (x 0 ) = S (x n ) = 0, berapakah nilai c 0 dan c n? Nah, kita bisa evaluasi persamaan (6.6) S (x 0 ) = 2c 0 + 6d 0 (x 0 x 0 ) = 0 jelas sekali c 0 harus berharga nol. Demikian halnya dengan c n harganya harus nol. Jadi untuk natural boundary, nilai c 0 = c n = 0. Persamaan (6.12) dapat dihitung dengan operasi matrik Ax = b dimana h 0 2(h 0 + h 1 ) h h 1 2(h 1 + h 2 ) h A = h n 2 2(h n 2 + h n 1 ) h n c 0 c x = 1. c n

111 6.2. INTERPOLASI CUBIC SPLINE h 1 (a 2 a 1 ) 3 h 0 (a 1 a 0 ) b =. 3 h n 1 (a n a n 1 ) 3 h n 2 (a n 1 a n 2 ) 0 Sekarang kita beralih ke clamped boundary dimana S (a) = f (a) dan S (b) = f (b). Nah, kita bisa evaluasi persamaan (6.10) dengan j = 0, dimana f (a) = S (a) = S (x 0 ) = b 0, sehingga f (a) = 1 h 0 (a 1 a 0 ) h 0 3 (2c 0 + c 1 ) konsekuensinya, 2h 0 c 0 + h 0 c 1 = 3 h 0 (a 1 a 0 ) 3f (a) (6.13) Sementara pada x n = b n dengan persamaan (6.9) f (b) = b n = b n 1 + h n 1 (c n 1 + c n ) sedangkan b n 1 bisa didapat dari persamaan (6.11) dengan j = n 1 Jadi b n 1 = 1 h n 1 (a n a n 1 ) h n 1 3 (2c n 1j + c n ) f (b) = = 1 (a n a n 1 ) h n 1 h n 1 3 (2c n 1j + c n ) + h n 1 (c n 1 + c n ) 1 (a n a n 1 + h n 1 h n 1 3 (c n 1j + 2c n ) dan akhirnya kita peroleh h n 1 c n 1 + 2h n 1 C n = 3f (b) 3 h n 1 (a n a n 1 ) (6.14) Persamaan (6.13) dan persamaan (6.14) ditambah persamaan (6.12 membentuk operasi matrik Ax = b dimana 2h 0 h h 0 2(h 0 + h 1 ) h h 1 2(h 1 + h 2 ) h A = h n 2 2(h n 2 + h n 1 ) h n h n 1 2h n 1

112 98 BAB 6. INTERPOLASI Gambar 6.3: Profil suatu object c 0 c x = 1. 3 h 0 (a 1 a 0 ) 3f (a) 3 h 1 (a 2 a 1 ) 3 h 0 (a 1 a 0 ) b =. 3 h n 1 (a n a n 1 ) 3 h n 2 (a n 1 a n 2 ) 3f (b) 3 h n 1 (a n a n 1 ) c n

113 6.2. INTERPOLASI CUBIC SPLINE 99 Gambar 6.4: Sampling titik data Gambar 6.5: Hasil interpolasi cubic spline

114 j x j a j b j c j d j 0 0,9 1,3 5,4 0,00-0,25 1 1,3 1,5 0,42-0,30 0,95 2 1,9 1,85 1,09 1,41-2,96 3 2,1 2,1 1,29-0,37-0,45 4 2,6 2,6 0,59-1,04 0,45 5 3,0 2,7-0,02-0,50 0,17 6 3,9 2,4-0,5-0,03 0,08 7 4,4 2,15-0,48 0,08 1,31 8 4,7 2,05-0,07 1,27-1,58 9 5,0 2,1 0,26-0,16 0, ,0 2,25 0,08-0,03 0, ,0 2,3 0,01-0,04-0, ,0 2,25-0,14-0,11 0, ,2 1,95-0,34-0,05-0, ,5 1,4-0,53-0,1-0, ,3 0,9-0,73-0,15 1, ,6 0,7-0,49 0,94-0, ,0 0,6-0,14-0,06 0, ,6 0,5-0,18 0-0, ,0 0,4-0,39-0,54 0, ,3 0,25 Gambar 6.6: Hasil interpolasi lagrange

115 Bab 7 Diferensial Numerik Objektif : Mengenalkan metode Euler Mengenalkan metode Runge Kutta orde 4 Mengenalkan metode Finite Difference Mengenalkan Persamaan Diferensial Parsial Eliptik Mengenalkan Persamaan Diferensial Parsial Hiperbolik Mengenalkan Persamaan Diferensial Parsial Parabolik 7.1 Metode Euler Suatu persamaan diferensial ( dy dt ) dinyatakan dalam fungsi f(t, y), dimana y(t) adalah persamaan asalnya dy = f(t, y), a t b, y(a) = α (7.1) dt Nilai t dibatasi dari a hingga ke b. Sementara, syarat awal telah diketahui yaitu pada saat t = a maka y bernilai α. Akan tetapi kita sama sekali tidak tahu bentuk formulasi persamaan asalnya y(t). Gambar 7.1 memperlihatkan kurva persamaan asal y(t) yang tidak diketahui bentuk formulasinya. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa mendapatkan solusi persamaan diferensial untuk setiap nilai y(t) yang t-nya terletak diantara a dan b? Tahap awal solusi pendekatan numerik adalah dengan menentukan point-point dalam jarak yang sama di dalam interval [a,b]. Jarak antar point dirumuskan sebagai h = b a N (7.2) dengan N adalah bilangan integer positif. Nilai h ini juga dikenal dengan nama step size. Selanjutnya nilai t diantara a dan b ditentukan berdasarkan t i = a + ih, i = 0, 1, 2,..., N (7.3) 101

116 102 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK y y y(t N)= y( b) y(t) y =f(t,y) y(a)= y(t) y(t ) 2 y(t 1 ) y(t )= 0 h y =f(t,y) y(a)= w 1 y (a)=f(a, ) h t 0 =a t 1 t 2... t N =b t t 0 =a t 1 t 2... t N =b t Gambar 7.1: Kiri: Kurva y(t) dengan pasangan titik absis dan ordinat dimana jarak titik absis sebesar h. Pasangan t 1 adalah y(t 1 ), pasangan t 2 adalah y(t 2 ), begitu seterusnya. Kanan: Garis singgung yang menyinggung kurva y(t) pada t=a, kemudian berdasarkan garis singgung tersebut, ditentukan pasangan t 1 sebagai w 1. Perhatikan gambar itu sekali lagi! w 1 dan y(t 1 ) beda tipis alias tidak sama persis. Metode Euler diturunkan dari deret Taylor. Misalnya, fungsi y(t) adalah fungsi yang kontinyu dan memiliki turunan dalam interval [a,b]. Dalam deret Taylor, fungsi y(t) tersebut dirumuskan sebagai y(t i+1 ) = y(t i ) + (t i+1 t i )y (t i ) + (t i+1 t i ) 2 y (ξ i ) (7.4) 2 dengan memasukkan h = (t i+1 t i ), maka y(t i+1 ) = y(t i ) + hy (t i ) + h2 2 y (ξ i ) (7.5) dan, karena y(t) memenuhi persamaan diferensial (7.1), dimana y (t i ) tak lain adalah fungsi turunan f(t i, y(t i )), maka y(t i+1 ) = y(t i ) + hf(t i, y(t i )) + h2 2 y (ξ i ) (7.6) Metode Euler dibangun dengan pendekatan bahwa suku terakhir dari persamaan (7.6), yang memuat turunan kedua, dapat diabaikan. Disamping itu, pada umumnya, notasi penulisan bagi y(t i ) diganti dengan w i. Sehingga metode Euler diformulasikan sebagai dimana i = 0, 1, 2,.., N 1. w i+1 = w i + hf(t i, w i ) dengan syarat awal w 0 = α (7.7) Contoh Diketahui persamaan diferensial y = y t batas interval: 0 t 2 syarat awal: y(0) = 0, 5 (7.8) dimana N = 10. Disini terlihat bahwa batas awal interval, a = 0; dan batas akhir b = 2.

117 7.1. METODE EULER 103 Dalam penerapan metode euler, pertama kali yang harus dilakukan adalah menghitung step-size (h), caranya h = b a N = = 0, 2 kemudian dilanjutkan dengan menentukan posisi titik-titik t i berdasarkan rumus t i = a + ih = 0 + i(0, 2) sehingga t i = 0, 2i serta menetapkan nilai w 0 yang diambil dari syarat awal y(0) = 0, 5 w 0 = 0, 5 Dengan demikian persamaan euler dapat dinyatakan sebagai w i+1 = w i + h(w i t 2 i + 1) = w i + 0, 2(w i 0, 04i 2 + 1) = 1, 2w i 0, 008i 2 + 0, 2 dimana i = 0, 1, 2,..., N 1. Karena N = 10, maka i = 0, 1, 2,...,9. Pada saat i = 0 dan dari syarat awal diketahui w 0 = 0, 5, kita bisa menghitung w 1 w 1 = 1, 2w 0 0, 008(0) 2 + 0, 2 = 0, Pada saat i = 1 Pada saat i = 2 w 2 = 1, 2w 1 0, 008(1) 2 + 0, 2 = 1, w 3 = 1, 2w 2 0, 008(2) 2 + 0, 2 = 1, Demikian seterusnya, hingga mencapai i = 9 w 10 = 1, 2w 9 0, 008(9) 2 + 0, 2 = 4, Berikut ini adalah script matlab untuk menghitung w 1, w 2, sampai w 10 1 clear all 2 clc 3 4 format long 5 6 b=2; %batas akhir interval 7 a=0; %batas awal interval 8 N=10; % bilangan interger positif 9 h=(b-a)/n; % nilai step-size 10 w0=0.5; % nilai w awal 11 t0=0; % nilai t awal % perubahan t sesuai step-size h adalah: 14 t1=a+1*h;

118 104 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK 15 t2=a+2*h; 16 t3=a+3*h; 17 t4=a+4*h; 18 t5=a+5*h; 19 t6=a+6*h; 20 t7=a+7*h; 21 t8=a+8*h; 22 t9=a+9*h; 23 t10=a+10*h; % solusinya: 26 w1=w0+h*(w0-t0^2+1) 27 w2=w1+h*(w1-t1^2+1) 28 w3=w2+h*(w2-t2^2+1) 29 w4=w3+h*(w3-t3^2+1) 30 w5=w4+h*(w4-t4^2+1) 31 w6=w5+h*(w5-t5^2+1) 32 w7=w6+h*(w6-t6^2+1) 33 w8=w7+h*(w7-t7^2+1) 34 w9=w8+h*(w8-t8^2+1) 35 w10=w9+h*(w9-t9^2+1) Atau bisa dipersingkat sebagai berikut 1 clear all 2 clc 3 4 format long 5 6 b=2; %batas akhir interval 7 a=0; %batas awal interval 8 N=10; % bilangan interger positif 9 h=(b-a)/n; % nilai step-size 10 w0=0.5; % nilai w awal 11 t0=0; % nilai t awal % perubahan t sesuai step-size h adalah: 14 for i=1:n 15 t(i)=a+(i*h); 16 end % solusinya: 19 w(1)=w0+h*(w0-t0^2+1); 20 for i=2:n 21 k=i-1; 22 w(i)=w(k)+h*(w(k)-t(k)^2+1); 23 end 24 w Disisi lain, solusi exact persamaan diferensial (7.8) adalah y(t) = (t + 1) 2 0, 5e t (7.9) Script matlab untuk mendapatkan solusi exact ini adalah: 1 clear all 2 clc

119 7.1. METODE EULER format long 5 6 b=2; %batas akhir interval 7 a=0; %batas awal interval 8 N=10; % bilangan interger positif 9 h=(b-a)/n; % nilai step-size % perubahan t sesuai step-size h adalah: 12 for i=1:n 13 t(i)=a+(i*h); 14 end % solusi exact: 17 for i=1:n 18 y(i)=(t(i)+1)^2-0.5*exp(t(i)); 19 end 20 y Tabel 7.1: Solusi yang ditawarkan oleh metode euler w i dan solusi exact y(t i ) serta selisih antara keduanya i t i w i y i = y(t i ) w i y i 0 0,0 0, , , ,2 0, , , ,4 1, , , ,6 1, , , ,8 1, , , ,0 2, , , ,2 2, , , ,4 3, , , ,6 3, , , ,8 4, , , ,0 4, , , Coba anda perhatikan sejenak bagian kolom selisih w i y i. Terlihat angkanya tumbuh semakin besar seiring dengan bertambahnya t i. Artinya, ketika t i membesar, akurasi metode euler justru berkurang. Untuk lebih jelasnya, mari kita plot hasil-hasil ini dalam suatu gambar. Gambar (7.2) memperlihatkan sebaran titik-titik merah yang merupakan hasil perhitungan metode euler (w i ). Sementara solusi exact y(t i ) diwakili oleh titik-titik biru. Tampak jelas bahwa titik-titik biru dan titik-titik merah pada nilai t yang sama tidak ada yang berhimpit alias ada jarak yang memisahkan mereka. Bahkan semakin ke kanan, jarak itu semakin melebar. Adanya jarak, tak lain menunjukkan keberadaan error (kesalahan). Hasil perhitungan metode euler yang diwakili oleh titik-titik merah ternyata menghadirkan tingkat kesalahan yang semakin membesar ketika menuju ke-n atau ketika t i bertambah. Untuk mengatasi hal ini, salah satu pemecahannya adalah dengan menerapkan metode Runge-Kutta orde-4. Namun sebelum masuk ke pembahasan tersebut, ada baiknya kita memodifikasi script matlab yang terakhir tadi. Saya kira tidak ada salahnya untuk mengantisipasi kesalahan pengetikan fungsi turunan

120 106 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK y(t) t Gambar 7.2: Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan (7.9). Sedangkan titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode euler, yaitu nilai w i. yang terdapat dalam script sebelumnya yaitu, w(1)=w0+h*(w0-t0^2+1); dan w(i)=w(k)+h*(w(k)-t(k)^2+1); Ketika fungsi turunan memiliki formulasi yang berbeda dengan contoh di atas, bisa jadi kita akan lupa untuk mengetikkan formulasi yang baru di kedua baris tersebut. Oleh karena itu, lebih baik fungsi turunan tersebut dipindahkan kedalam satu file terpisah. Di lingkungan matlab, file tersebut disebut file function. Jadi, isi file function untuk contoh yang sedang kita bahas ini adalah function y = futur(t,w) y = w - t^2 + 1; File function ini mesti di-save dengan nama file yang sama persis dengan nama fungsinya, dalam contoh ini nama file function tersebut harus bernama futur.m. Kemudian file ini harus disimpan dalam folder yang sama dimana disana juga terdapat file untuk memproses metode euler. Setelah itu, script metode euler dimodifikasi menjadi seperti ini 1 clear all 2 clc 3

121 7.2. METODE RUNGE KUTTA format long 5 6 b=2; %batas akhir interval 7 a=0; %batas awal interval 8 N=10; % bilangan interger positif 9 h=(b-a)/n; % nilai step-size 10 w0=0.5; % nilai w awal 11 t0=0; % nilai t awal % perubahan t sesuai step-size h adalah: 14 for i=1:n 15 t(i)=a+(i*h); 16 end % solusinya: 19 w(1)=w0+h*futur(t0,w0); 20 for i=2:n 21 k=i-1; 22 w(i)=w(k)+h*futur(t(k),w(k)); 23 end 24 w Mulai dari baris ke-13 sampai dengan baris ke-24, tidak perlu diubah-ubah lagi. Artinya, jika ada perubahan formulasi fungsi turunan, maka itu cukup dilakukan pada file futur.m saja. Ok. Sekarang mari kita membahas metode Runge Kutta. 7.2 Metode Runge Kutta Pada saat membahas metode Euler untuk penyelesaian persamaan diferensial, kita telah sampai pada kesimpulan bahwa truncation error metode Euler terus membesar seiring dengan bertambahnya iterasi (t i ). Dikaitkan dengan hal tersebut, metode Runge-Kutta Orde-4 menawarkan penyelesaian persamaan diferensial dengan pertumbuhan truncation error yang jauh lebih kecil. Persamaan-persamaan yang menyusun metode Runge-Kutta Orde-4 adalah w 0 = α k 1 = hf(t i, w i ) (7.10) k 2 = hf(t i + h 2, w i k 1) (7.11) k 3 = hf(t i + h 2, w i k 2) (7.12) k 4 = hf(t i+1, w i + k 3 ) (7.13) w i+1 = w i (k 1 + 2k 2 + 2k 3 + k 4 ) (7.14) dimana fungsi f(t, w) adalah fungsi turunan. Contoh Saya ambilkan contoh yang sama seperti contoh yang sudah kita bahas pada metode Euler. Diketahui persamaan diferensial y = y t 2 + 1, 0 t 2, y(0) = 0, 5

122 108 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK Jika N = 10, maka step-size bisa dihitung terlebih dahulu h = b a N = = 0, 2 dan serta t i = a + ih = 0 + i(0, 2) t i = 0, 2i w 0 = 0, 5 Sekarang mari kita terapkan metode Runge-Kutta Orde-4 ini. Untuk menghitung w 1, tahaptahap perhitungannya dimulai dari menghitung k 1 k 1 = hf(t 0, w 0 ) = h(w 0 t ) = 0, 2((0, 5) (0, 0) 2 + 1) = 0, 3 lalu menghitung k 2 k 2 = hf(t 0 + h 2, w 0 + k 1 2 ) = h[(w 0 + k 1 2 ) (t 0 + h 2 )2 + 1)] = 0, 2[(0, 5 + 0, 3 0, 2 ) (0, )2 + 1)] = 0, 328 dilanjutkan dengan k 3 k 3 = hf(t 0 + h 2, w 0 + k 2 2 ) = h[(w 0 + k 2 2 ) (t 0 + h 2 )2 + 1)] 0, 328 = 0, 2[(0, 5 + ) (0, 0 + 0, )2 + 1)] = 0, 3308 kemudian k 4 k 4 = hf(t 1, w 0 + k 3 ) = h[(w 0 + k 3 ) t ] = 0, 2[(0, 5 + 0, 3308) (0, 2) 2 + 1] = 0, 35816

123 7.2. METODE RUNGE KUTTA 109 akhirnya diperoleh w 1 w 1 = w (k 1 + 2k 2 + 2k 3 + k 4 ) = 0, (0, 3 + 2(0, 328) + 2(0, 3308) + 0, 35816) 6 = 0, (0, 3 + 0, , , 35816) 6 = 0, Dengan cara yang sama, w 2, w 3, w 4 dan seterusnya dapat dihitung dengan program komputer. Script matlab-nya sebagai berikut 1 : 1 clear all 2 clc 3 4 format long 5 6 b=2; %batas akhir interval 7 a=0; %batas awal interval 8 N=10; % bilangan interger positif 9 h=(b-a)/n; % nilai step-size 10 w0=0.5; % nilai w awal 11 t0=0; % nilai t awal % perubahan t sesuai step-size h adalah: 14 for i=1:n 15 t(i)=a+(i*h); 16 end % solusinya: 19 k1=h*futur(t0,w0); 20 k2=h*futur(t0+h/2,w0+k1/2); 21 k3=h*futur(t0+h/2,w0+k2/2); 22 k4=h*futur(t(1),w0+k3); 23 w(1)=w0+1/6*(k1+2*k2+2*k3+k4); for i=2:n 26 k=i-1; 27 k1=h*futur(t(k),w(k)); 28 k2=h*futur(t(k)+h/2,w(k)+k1/2); 29 k3=h*futur(t(k)+h/2,w(k)+k2/2); 30 k4=h*futur(t(i),w(k)+k3); 31 w(i)=w(k)+1/6*(k1+2*k2+2*k3+k4); 32 end 33 w Dibandingkan dengan metode Euler, tingkat pertumbuhan truncation error, pada kolom w i y i (lihat Tabel 7.2), jauh lebih rendah sehingga metode Runge-Kutta Orde Empat lebih disukai untuk membantu menyelesaikan persamaan-diferensial-biasa. Contoh tadi tampaknya dapat memberikan gambaran yang jelas bahwa metode Runge- Kutta Orde Empat dapat menyelesaikan persamaan diferensial biasa dengan tingkat akurasi 1 Jangan lupa, file futur.m mesti berada dalam satu folder dengan file Runge Kutta nya!

124 110 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK Tabel 7.2: Solusi yang ditawarkan oleh metode Runge Kutta orde 4 (w i ) dan solusi exact y(t i ) serta selisih antara keduanya i t i w i y i = y(t i ) w i y i 0 0,0 0, , , ,2 0, , , ,4 1, , , ,6 1, , , ,8 2, , , ,0 2, , , ,2 3, , , ,4 3, , , ,6 4, , , ,8 4, , , ,0 5, , , y(t) t Gambar 7.3: Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan (7.9). Sedangkan titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode Runge Kutta orde 4, yaitu nilai w i. yang lebih tinggi. Namun, kalau anda jeli, ada suatu pertanyaan cukup serius yaitu apakah metode ini dapat digunakan bila pada persamaan diferensialnya tidak ada variabel t? Misalnya pada kasus pengisian muatan pada kapasitor berikut ini Aplikasi: Pengisian muatan pada kapasitor Sebuah kapasitor yang tidak bermuatan dihubungkan secara seri dengan sebuah resistor dan baterry (Gambar 7.4). Diketahui ǫ = 12 volt, C = 5,00 µf dan R = 8, Ω. Saat saklar

125 7.2. METODE RUNGE KUTTA 111 dihubungkan (t=0), muatan belum ada (q=0). dq dt = ǫ R q RC (7.15) Solusi exact persamaan (7.15) adalah ( q exact = q(t) = Cǫ 1 e t/rc) (7.16) Anda bisa lihat semua suku di ruas kanan persamaan (7.15) tidak mengandung variabel Gambar 7.4: Rangkaian RC t. Padahal persamaan-persamaan turunan pada contoh sebelumnya mengandung variabel t. Apakah persamaan (7.15) tidak bisa diselesaikan dengan metode Runge-Kutta? Belum tentu. Sekarang, kita coba selesaikan, pertama kita nyatakan m 1 = ǫ = 1, R m 2 = 1 = 0, 25 RC sehingga persamaan (7.15) dimodifikasi menjadi dq dt = f(q i) = m 1 q i m 2 t i = a + ih Jika t 0 = 0, maka a = 0, dan pada saat itu (secara fisis) diketahui q 0 = 0, 0. Lalu jika ditetapkan h = 0, 1 maka t 1 = 0, 1 dan kita bisa mulai menghitung k 1 dengan menggunakan q 0 = 0, 0, walaupun t 1 tidak dilibatkan dalam perhitungan ini k 1 = hf(q 0 ) = h(m 1 q 0 m 2 ) = 0, 1((1, ) (0, 0)(0, 25)) = 0,

126 112 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK lalu menghitung k 2 k 2 = hf(q 0 + k 1 2 ) = h[(m 1 (q 0 + k 1 2 )m 2)] = 0, 1[(1, ((0, 0) + = 0, , )(0, 25)] 2 dilanjutkan dengan k 3 k 3 = hf(q 0 + k 2 2 ) = h[(m 1 (q 0 + k 2 2 )m 2)] = 0, 1[(1, ((0, 0) + = 0, , )(0, 25)] 2 kemudian k 4 k 4 = hf(q 0 + k 3 ) = h[(m 1 (q 0 + k 3 )m 2 )] = 0, 1[(1, ((0, 0) + 0, )(0, 25)] = 0, akhirnya diperoleh q 1 q 1 = q (k 1 + 2k 2 + 2k 3 + k 4 ) = 0, (0, (0, 14813) + 2(0, 14815) + 0, 14630) = 0, Selanjutnya q 2 dihitung. Tentu saja pada saat t 2, dimana t 2 = 0, 2, namun sekali lagi, t 2 tidak terlibat dalam perhitungan ini. Dimulai menghitung k 1 kembali k 1 = hf(q 1 ) = h(m 1 q 1 m 2 ) = 0, 1((1, ) (0, )(0, 25)) = 0,

127 7.2. METODE RUNGE KUTTA 113 lalu menghitung k 2 k 2 = hf(q 1 + k 1 2 ) = h[(m 1 (q 1 + k 1 2 )m 2)] = 0, 1[(1, ((0, ) + = 0, , )(0, 25)] 2 dilanjutkan dengan k 3 k 3 = hf(q 1 + k 2 2 ) = h[(m 1 (q 1 + k 2 2 )m 2)] = 0, 1[(1, ((0, ) + = 0, , )(0, 25)] 2 kemudian k 4 k 4 = hf(q 1 + k 3 ) = h[(m 1 (q 1 + k 3 )m 2 )] = 0, 1[(1, ((0, ) + 0, )(0, 25)] = 0, akhirnya diperoleh q 2 q 2 = q (k 1 + 2k 2 + 2k 3 + k 4 ) = 0, (0, (0, 14447) + 2(0, 14449) + 0, 14268) = 0, Dengan cara yang sama, q 3, q 4, q 5 dan seterusnya dapat dihitung. Berikut ini adalah script dalam matlab yang dipakai untuk menghitung q 1 clear all 2 clc 3 4 format long 5 6 b=1; % batas akhir interval 7 a=0; % batas awal interval 8 h=0.1; % interval waktu 9 N=(b-a)/h; % nilai step-size 10 q0=0.0; % muatan mula-mula 11 t0=0.0; % waktu awal 12

128 114 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK 13 % perubahan t sesuai step-size h adalah: 14 for i=1:n 15 t(i)=a+(i*h); 16 end % solusinya: 19 k1=h*futur(q0); 20 k2=h*futur(q0+k1/2); 21 k3=h*futur(q0+k2/2); 22 k4=h*futur(q0+k3); 23 q(1)=q0+1/6*(k1+2*k2+2*k3+k4); for i=2:n 26 k=i-1; 27 k1=h*futur(q(k)); 28 k2=h*futur(q(k)+k1/2); 29 k3=h*futur(q(k)+k2/2); 30 k4=h*futur(q(k)+k3); 31 q(i)=q(k)+1/6*(k1+2*k2+2*k3+k4); 32 end 33 q Adapun script fungsi turunannya (futur.m) adalah sebagai berikut: 1 function y=futur(q) 2 E=12; % tegangan (volt) 3 R=800000; % hambatan (ohm) 4 C=5e-6; % kapasitansi (farad) 5 m1=e/r; 6 m2=1/(r*c); 7 y=m1-(m2*q); Tabel 7.3: Perbandingan antara hasil perhitungan numerik lewat metode Runge Kutta dan hasil perhitungan dari solusi exact, yaitu persamaan (7.16) i t i q i q exact = q(t i ) q i q exact 0 0,0 0, , , ,1 0, , , ,2 0, , , ,3 0, , , ,4 0, , , ,5 0, , , ,6 0, , , ,7 0, , , ,8 1, , , ,9 1, , , ,0 1, , ,00000 Luar biasa!! Tak ada error sama sekali. Mungkin, kalau kita buat 7 angka dibelakang koma, errornya akan terlihat. Tapi kalau anda cukup puas dengan 5 angka dibelakang koma, hasil ini sangat memuaskan. Gambar 7.5 memperlihatkan kurva penumpukan muatan q terhadap waktu t dengan batas atas interval waktu dinaikkan hingga 20.

129 7.3. METODE FINITE DIFFERENCE x Gambar 7.5: Kurva pengisian muatan q (charging) terhadap waktu t Sampai disini mudah-mudahan jelas dan bisa dimengerti. Silakan anda coba untuk kasus yang lain, misalnya proses pembuangan (discharging) q pada rangkaian yang sama, atau bisa juga anda berlatih dengan rangkaian RL dan RLC. Saya akhiri dulu uraian saya sampai disini. 7.3 Metode Finite Difference Suatu persamaan diferensial dapat dinyatakan sebagai berikut: d 2 y dx2(x) = p(x)dy (x) + q(x)y(x) + r(x), a x b, y(a) = α, y(b) = β (7.17) dx atau juga dapat dituliskan dalam bentuk lain y = p(x)y + q(x)y + r(x) (7.18) Persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan pendekatan numerik terhadap y dan y. Caranya adalah pertama, kita memilih angka integer sembarang yaitu N dimana N > 0 dan membagi interval [a, b] dengan (N + 1), hasilnya dinamakan h (lihat Gambar 7.6) h = b a N + 1 (7.19)

130 116 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK Gambar 7.6: Kurva suatu fungsi f(x) yang dibagi sama besar berjarak h. Evaluasi kurva yang dilakukan Finite-Difference dimulai dari batas bawah X 0 = a hingga batas atas x 6 = b Dengan demikian maka titik-titik x yang merupakan sub-interval antara a dan b dapat dinyatakan sebagai x i = a + ih, i = 0, 1,..., N + 1 (7.20) Pencarian solusi persamaan diferensial melalui pendekatan numerik dilakukan dengan memanfaatkan polinomial Taylor untuk mengevaluasi y dan y pada x i+1 dan x i 1 seperti berikut ini dan Jika kedua persamaan ini dijumlahkan y(x i+1 ) = y(x i + h) = y(x i ) + hy (x i ) + h2 2 y (x i ) (7.21) y(x i 1 ) = y(x i h) = y(x i ) hy (x i ) + h2 2 y (x i ) (7.22) y(x i+1 ) + y(x i 1 ) = 2y(x i ) + h 2 y (x i ) Dari sini y dapat ditentukan h 2 y (x i ) = y(x i+1 ) 2y(x i ) + y(x i 1 ) y (x i ) = y(x i+1) 2y(x i ) + y(x i 1 ) h 2 (7.23) Dengan cara yang sama, y (x i ) dapat dicari sebagai berikut y (x i ) = y(x i+1) y(x i 1 ) 2h (7.24)

131 7.3. METODE FINITE DIFFERENCE 117 Selanjutnya persamaan (7.23) dan (7.24) disubstitusikan ke persamaan (7.18) maka y(x i+1 ) 2y(x i ) + y(x i 1 ) h 2 = p(x i ) y(x i+1) y(x i 1 ) + q(x i )y(x i ) + r(x i ) 2h y(x i+1 ) + 2y(x i ) y(x i 1 ) h 2 = p(x i ) y(x i+1) y(x i 1 ) q(x i )y(x i ) r(x i ) 2h y(x i+1 ) + 2y(x i ) y(x i 1 ) h 2 + p(x i ) y(x i+1) y(x i 1 ) + q(x i )y(x i ) = r(x i ) 2h Sebelum dilanjut, saya nyatakan bahwa y(x i+1 )=w i+1 dan y(x i )=w i serta y(x i 1 )=w i 1. Maka persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut ( wi+1 + 2w i w i 1 h 2 ) + p(x i ) ( wi+1 w i 1 2h ) + q(x i )w i = r(x i ) ( w i+1 + 2w i w i 1 ) + h 2 p(x i)(w i+1 w i 1 ) + h 2 q(x i )w i = h 2 r(x i ) w i+1 + 2w i w i 1 + h 2 p(x i)w i+1 h 2 p(x i)w i 1 + h 2 q(x i )w i = h 2 r(x i ) w i 1 h 2 p(x i)w i 1 + 2w i + h 2 q(x i )w i w i+1 + h 2 p(x i)w i+1 = h 2 r(x i ) ( 1 + h ) 2 p(x i) w i 1 + ( 2 + h 2 q(x i ) ) ( w i (1 h ) 2 p(x i) w i+1 = h 2 r(x i ) (7.25) dimana i=1,2,3...sampai N, karena yang ingin kita cari adalah w 1, w 2, w 3,..., w N. Sementara, satu hal yang tak boleh dilupakan yaitu w 0 dan w N+1 biasanya selalu sudah diketahui. Pada persamaan (7.17), jelas-jelas sudah diketahui bahwa w 0 =α dan w N+1 =β; keduanya dikenal sebagai syarat batas atau istilah asingnya adalah boundary value. Topik yang sedang bahas ini juga sering disebut sebagai Masalah Syarat Batas atau Boundary Value Problem. Sampai disini kita mendapatkan sistem persamaan linear yang selanjutnya dapat dinyatakan sebagai bentuk operasi matrik dimana A adalah matrik tridiagonal dengan orde N N A = Aw = b (7.26) 2 + h 2 q(x 1 ) 1 + h 2 p(x 1) h 2 p(x 2) 2 + h 2 q(x 2 ) 1 + h 2 p(x 2) h 2 p(x 3) 2 + h 2 q(x 3 ) 1 + h 2 p(x 3) h 2 p(x 4) 2 + h 2 q(x 4 ) 1 + h 2 p(x 4) h 2 p(x N 1) 2 + h 2 q(x N 1 ) 1 + h 2 p(x N 1) h 2 p(x N) 2 + h 2 q(x N )

132 118 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK w = w 1 w 2 w 3 w 4. w N 1 w N h 2 r(x 1 ) + ( 1 + h 2 p(x 1) ) w 0 h 2 r(x 2 ) h 2 r(x 3 ) b = h 2 r(x 4 ). h 2 r(x N 1 ) h 2 r(x N ) + ( 1 h 2 p(x N) ) w N Script Finite-Difference 1 clear all 2 clc 3 4 a=1.0; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki 5 b=2.0; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki 6 n=9; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki 7 h=(b-a)/(n+1); 8 alpha=1; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki 9 beta=2; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki %====== Mencari Elemen Matrik A ======== 12 for i=1:n 13 x=a+i*h; 14 A(i,i)=2+h^2*fungsiQ(x); 15 end 16 for i=1:n-1 17 x=a+i*h; 18 A(i,i+1)=-1+((h/2)*fungsiP(x)); 19 end 20 for i=2:n 21 x=a+i*h; 22 A(i,i-1)=-1-((h/2)*fungsiP(x)); 23 end 24 A 25 %====== Mencari Elemen Vektor b ======== 26 x=a+h; 27 b(1,1)=-h^2*fungsir(x)+(1+((h/2)*fungsip(x)))*alpha; 28 for i=2:8 29 x=a+i*h; 30 b(i,1)=-h^2*fungsir(x); 31 end 32 xn=a+n*h 33 b(n,1)=-h^2*fungsir(xn)+(1-((h/2)*fungsip(xn)))*beta; 34 b

133 7.3. METODE FINITE DIFFERENCE 119 Pada akhirnya, elemen-elemen matrik A dan vektor b sudah diketahui. Sehingga vektor w dapat dihitung dengan berbagai metode pemecahan sistem persamaan linear, seperti Eliminasi Gauss, Gauss-Jourdan, Iterasi Jacobi dan Iterasi Gauss-Seidel. Contoh Diketahui persamaan diferensial seperti berikut ini memiliki solusi exact dimana dan y = 2 x y + 2 sin(lnx) x2y + x 2, 1 x 2, y(1) = 1, y(2) = 2 y = c 1 x + c 2 x sin(lnx) 1 10 cos(lnx), c 2 = 1 [8 12 sin(ln2) 4 cos(ln2)] 0, c 1 = c 2 1, Dengan metode Finite-Difference, solusi pendekatan dapat diperoleh dengan membagi interval 1 x 2 menjadi sub-interval, misalnya kita gunakan N = 9, sehingga spasi h diperoleh h = b a N + 1 = = 0, 1 Dari persamaan diferensial tersebut juga didapat p(x i ) = 2 x i q(x i ) = 2 x 2 i r(x i ) = sin(lnx i) x 2 i Script matlab telah dibuat untuk menyelesaikan contoh soal ini. Untuk memecahkan persoalan ini, saya membuat 4 buah script, terdiri dari script utama, script fungsip, script fungsiq dan script fungsir. Berikut ini adalah script fungsip yang disimpan dengan nama file fungsip.m: 1 function y = fungsip(x) 2 y = -2/x; lalu inilah script fungsiq yang disimpan dengan nama file fungsiq.m: 1 function y = fungsiq(x) 2 y = 2/x^2; kemudian ini script fungsir yang disimpan dengan nama file fungsir.m::

134 120 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK 1 function y = fungsir(x) 2 y = sin(log(x))/x^2; dan terakhir, inilah script utamanya: 1 clear all 2 clc 3 4 a=1.0; 5 b=2.0; 6 7 alpha=1; 8 beta=2; 9 10 %=======jika diketahui n, maka h dihitung ==== 11 n=9; 12 h=(b-a)/(n+1); %=======jika diketahui h, maka n dihitung ==== 15 %h=0.1; 16 %n=((b-a)/h)-1; %====== Mencari Elemen Matrik A ======== 19 for i=1:n 20 x=a+i*h; 21 A(i,i)=2+h^2*fungsiQ(x); 22 end 23 for i=1:n-1 24 x=a+i*h; 25 A(i,i+1)=-1+((h/2)*fungsiP(x)); 26 end 27 for i=2:n 28 x=a+i*h; 29 A(i,i-1)=-1-((h/2)*fungsiP(x)); 30 end 31 A 32 %====== Mencari Elemen Vektor b ======== 33 x=a+h; 34 b(1,1)=-h^2*fungsir(x)+(1+((h/2)*fungsip(x)))*alpha; 35 for i=2:8 36 x=a+i*h; 37 b(i,1)=-h^2*fungsir(x); 38 end 39 xn=a+n*h 40 b(n,1)=-h^2*fungsir(xn)+(1-((h/2)*fungsip(xn)))*beta; 41 b

135 7.3. METODE FINITE DIFFERENCE %====== Menggabungkan Vektor b kedalam matrik A ======== 43 for i=1:n 44 A(i,n+1)=b(i,1); 45 end 46 A %&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 49 % Proses Triangularisasi for j=1:(n-1) %----mulai proses pivot if (A(j,j)==0) 54 for p=1:n+1 55 u=a(j,p); 56 v=a(j+1,p); 57 A(j+1,p)=u; 58 A(j,p)=v; 59 end 60 end 61 %----akhir proses pivot jj=j+1; 63 for i=jj:n 64 m=a(i,j)/a(j,j); 65 for k=1:(n+1) 66 A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k)); 67 end 68 end 69 end 70 % %------Proses Substitusi mundur x(n,1)=a(n,n+1)/a(n,n); for i=n-1:-1:1 76 S=0; 77 for j=n:-1:i+1 78 S=S+A(i,j)*x(j,1); 79 end 80 x(i,1)=(a(i,n+1)-s)/a(i,i); 81 end 82 %&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& %===== Menampilkan Vektor w ================= 85 w=x Tabel berikut ini memperlihatkan hasil perhitungan dengan pendekatan metode Finite-Difference w i dan hasil perhitungan dari solusi exact y(x i ), dilengkapi dengan selisih antara keduanya

136 122 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK w i y(x i ). Tabel ini memperlihatkan tingkat kesalahan (error) berada pada orde Unx i w i y(x i ) w i y(x i ) 1,0 1, , ,1 1, , , ,2 1, , , ,3 1, , , ,4 1, , , ,5 1, , , ,6 1, , , ,7 1, , , ,8 1, , , ,9 1, , , ,0 2, , tuk memperkecil orde kesalahan, kita bisa menggunakan polinomial Taylor berorde tinggi. Akan tetapi proses kalkulasi menjadi semakin banyak dan disisi lain penentuan syarat batas lebih kompleks dibandingkan dengan pemanfaatan polinomial Taylor yang sekarang. Untuk menghindari hal-hal yang rumit itu, salah satu jalan pintas yang cukup efektif adalah dengan menerapkan ekstrapolasi Richardson. Contoh Pemanfaatan ekstrapolasi Richardson pada metode Finite Difference untuk persamaan diferensial seperti berikut ini y = 2 x y + 2 sin(lnx) x2y + x 2, 1 x 2, y(1) = 1, y(2) = 2, dengan h = 0, 1, h = 0, 05, h = 0, 025. Ekstrapolasi Richardson terdiri atas 3 tahapan, yaitu ekstrapolasi yang pertama kemudian ekstrapolasi yang kedua dan terakhir ekstrapolasi yang ketiga Ext 1i = 4w i(h = 0, 05) w i (h = 0, 1) 3 Ext 2i = 4w i(h = 0, 025) w i (h = 0, 05) 3 Ext 3i = 16Ext 2i Ext 1i 15 Tabel berikut ini memperlihatkan hasil perhitungan tahapan-tahapan ekstrapolasi tersebut. Jika seluruh angka di belakang koma diikut-sertakan, maka akan terlihat selisih antara solusi exact dengan solusi pendekatan sebesar 6, Ini benar-benar improvisasi yang luar biasa.

137 7.3. METODE FINITE DIFFERENCE 123 x i w i (h = 0, 1) w i (h = 0, 05) w i (h = 0, 025) Ext 1i Ext 2i Ext 3i 1,0 1, , , , , , ,1 1, , , , , , ,2 1, , , , , , ,3 1, , , , , , ,4 1, , , , , , ,5 1, , , , , , ,6 1, , , , , , ,7 1, , , , , , ,8 1, , , , , , ,9 1, , , , , , ,0 2, , , , , , Aplikasi Besar simpangan terhadap waktu (y(t)) suatu sistem osilator mekanik yang padanya diberikan gaya secara periodik (forced-oscilations) memenuhi persamaan diferensial seperti dibawah ini berikut syarat-syarat batasnya d 2 y dt 2 = dy dt + 2y + cos(t), 0 t π 2, y(0) = 0, 3, y(π 2 ) = 0, 1 Dengan metode Finite-Difference, tentukanlah besar masing-masing simpangan di setiap interval h = π/8. Buatlah table untuk membandingkan hasil finite-difference dengan solusi analitik yang memenuhi y(t) = 1 10 [sin(t) + 3cos(t)]. jawab: Secara umum, persamaan diferensial dapat dinyatakan sbb: d 2 y dx2(x) = p(x)dy (x) + q(x)y(x) + r(x), a x b, y(a) = α, y(b) = β dx Dengan membandingkan kedua persamaan di atas, kita bisa definisikan p(t) = 1 q(t) = 2 r(t) = cos(t) a = 0 b = π 2 α = 0, 3 β = 0, 1 Adapun persamaan finite-difference adalah ( 1 + h ) 2 p(x i) w i 1 + ( 2 + h 2 q(x i ) ) ( w i (1 h ) 2 p(x i) w i+1 = h 2 r(x i ) Persamaan diatas dikonversi kedalam operasi matriks Aw = b (7.27)

138 124 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK dimana A adalah matrik tridiagonal dengan orde N N A = 2 + h 2 q(x 1 ) 1 + h 2 p(x 1) h 2 p(x 2) 2 + h 2 q(x 2 ) 1 + h 2 p(x 2) h 2 p(x 3) 2 + h 2 q(x 3 ) 1 + h 2 p(x 3) h 2 p(x 4) 2 + h 2 q(x 4 ) 1 + h 2 p(x 4) h 2 p(x N 1) 2 + h 2 q(x N 1 ) 1 + h 2 p(x N 1) h 2 p(x N) 2 + h 2 q(x N ) w = w 1 w 2 w 3 w 4. w N 1 w N h 2 r(x 1 ) + ( 1 + h 2 p(x 1) ) w 0 h 2 r(x 2 ) h 2 r(x 3 ) b = h 2 r(x 4 ). h 2 r(x N 1 ) h 2 r(x N ) + ( 1 h 2 p(x N) ) w N+1 Jumlah baris matrik ditentukan oleh bilangan n. Namun disoal hanya tersedia informasi nilai h = π/8, sehingga n harus dihitung terlebih dahulu: h = b a n + 1 n = b a h 1 = π 2 0 π/8 1 = 3 perhitungan ini dilakukan didalam script matlab. Selanjutnya seluruh elemen matrik A dan vektor b dihitung dengan matlab 2, , , , , , , 3084 w 1 w 2 w 3 = 0, , , 1394 Proses diteruskan dengan metode Eliminasi Gauss dan didapat hasil akhir berikut ini w 1 = w 2 = w 3 = Persamaan Diferensial Parsial Dalam sub-bab ini, penulisan persamaan diferensial parsial akan dipersingkat menjadi PDP. PDP dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu persamaan diferensial eliptik, parabolik dan hiperbolik. PDP eliptik dinyatakan sebagai berikut 2 u x 2(x, y) + 2 u (x, y) = f(x, y) (7.28) y2

139 7.5. PDP ELIPTIK 125 Di bidang fisika, persamaan (7.28) dikenal sebagai Persamaan Poisson. Jika f(x, y)=0, maka diperoleh persamaan yang lebih sederhana 2 u x 2(x, y) + 2 u (x, y) = 0 (7.29) y2 yang biasa disebut sebagai Persamaan Laplace. Contoh masalah PDP eliptik di bidang fisika adalah distribusi panas pada kondisi steady-state pada obyek 2-dimensi dan 3-dimensi. Jenis PDP kedua adalah PDP parabolik yang dinyatakan sebagai berikut u t (x, t) u α2 2 x2(x, t) = 0 (7.30) Fenomena fisis yang bisa dijelaskan oleh persamaan ini adalah masalah aliran panas pada suatu obyek dalam fungsi waktu t. Terakhir, PDP ketiga adalah PDP hiperbolik yang dinyatakan sebagai berikut α 2 2 u 2 x (x, t) = 2 u (x, t) (7.31) t2 biasa digunakan untuk menjelaskan fenomena gelombang. Sekarang, mari kita bahas lebih dalam satu-persatu, difokuskan pada bagaimana cara menyatakan semua PDP di atas dalam formulasi Finite-Difference. 7.5 PDP eliptik Kita mulai dari persamaan aslinya 2 u x 2(x, y) + 2 u (x, y) = f(x, y) (7.32) y2 dimana R = [(x, y) a < x < b, c < y < d]. Maksudnya, variasi titik-titik x berada di antara a dan b. Demikian pula dengan variasi titik-titik y, dibatasi mulai dari c sampai d (lihat Gambar 7.7). Jika h adalah jarak interval antar titik yang saling bersebelahan pada titik-titik dalam rentang horizontal a dan b, maka titik-titik variasi di antara a dan b dapat diketahui melalui rumus ini x i = a + ih, dimana i = 1, 2,...,n (7.33) dimana a adalah titik awal pada sumbu horisontal x. Demikian pula pada sumbu y. Jika k adalah jarak interval antar titik yang bersebelahan pada titik-titik dalam rentang vertikal c dan d, maka titik-titik variasi di antara c dan d dapat diketahui melalui rumus ini y j = c + jk, dimana j = 1, 2,...,m (7.34) dimana c adalah titik awal pada sumbu vertikal y. Perhatikan Gambar 7.7, garis-garis yang sejajar sumbu horisontal, y = y i dan garis-garis yang sejajar sumbu vertikal, x = x i disebut grid lines. Sementara titik-titik perpotongan antara garis-garis horisontal dan vertikal dinamakan

140 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK d mesh points y m k y 2 y 1 c grid lines a x 1 x 2... x n h b Gambar 7.7: Skema grid lines dan mesh points pada aplikasi metode Finite-Difference mesh points. Turunan kedua sebagaimana yang ada pada persamaan (7.32) dapat dinyatakan dalam rumus centered-difference sebagai berikut 2 u x 2(x i, y j ) = u(x i+1, y j ) 2u(x i, y j ) + u(x i 1, y j ) h 2 h2 4 u 12 x 4(ξ i, y j ) (7.35) 2 u y 2 (x i, y j ) = u(x i, y j+1 ) 2u(x i, y j ) + u(x i, y j 1 ) k 2 k2 4 u 12 y 4 (x i, η j ) (7.36) Metode Finite-Difference biasanya mengabaikan suku yang terakhir, sehingga cukup dinyatakan sebagai 2 u x 2(x i, y j ) = u(x i+1, y j ) 2u(x i, y j ) + u(x i 1, y j ) h 2 (7.37) 2 u y 2 (x i, y j ) = u(x i, y j+1 ) 2u(x i, y j ) + u(x i, y j 1 ) k 2 (7.38) Pengabaian suku terakhir otomatis menimbulkan error yang dinamakan truncation error. Jadi, ketika suatu persamaan diferensial diolah secara numerik dengan metode Finite-Difference, maka solusinya pasti meleset alias keliru "sedikit", dikarenakan adanya truncation error tersebut. Akan tetapi, nilai error tersebut dapat ditolerir hingga batas-batas tertentu yang uraiannya akan dikupas pada bagian akhir bab ini. Ok. Mari kita lanjutkan! Sekarang persamaan (7.37) dan (7.38) disubstitusi ke persamaan (7.32), hasilnya adalah u(x i+1, y j ) 2u(x i, y j ) + u(x i 1, y j ) h 2 + u(x i, y j+1 ) 2u(x i, y j ) + u(x i, y j 1 ) k 2 = f(x i, y j ) (7.39)

141 7.5. PDP ELIPTIK 127 dimana i = 1, 2,..., n 1 dan j = 1, 2,..., m 1 dengan syarat batas sebagai berikut u(x 0, y j ) = g(x 0, y j ) u(x n, y j ) = g(x n, y j ) u(x i, y 0 ) = g(x i, y 0 ) u(x i, y m ) = g(x i, y m ) Pengertian syarat batas disini adalah bagian tepi atau bagian pinggir dari susunan mesh points. Pada metode Finite-Difference, persamaan (7.39) dinyatakan dalam notasi w, sebagai berikut w i+1,j 2w i,j + w i 1,j h 2 + w i,j+1 2w i,j + w i,j 1 k 2 = f(x i, y j ) w i+1,j 2w i,j + w i 1,j + h2 k 2 (w i,j+1 2w i,j + w i,j 1 ) = h 2 f(x i, y j ) w i+1,j 2w i,j + w i 1,j + h2 k 2 w i,j+1 2 h2 k 2 w i,j + h2 k 2 w i,j 1 = h 2 f(x i, y j ) 2[1 + h2 k 2 ]w i,j + (w i+1,j + w i 1,j ) + h2 k 2 (w i,j+1 + w i,j 1 ) = h 2 f(x i, y j ) 2[1 + h2 k 2 ]w i,j (w i+1,j + w i 1,j ) h2 k 2 (w i,j+1 + w i,j 1 ) = h 2 f(x i, y j ) (7.40) dimana i = 1, 2,..., n 1 dan j = 1, 2,..., m 1, dengan syarat batas sebagai berikut w 0,j = g(x 0, y j ) w n,j = g(x n, y j ) j = 0, 1,..., m 1; w i,0 = g(x i, y 0 ) w i,m = g(x i, y m ) i = 1, 2,..., n 1. Persamaan (7.40) adalah rumusan akhir metode Finite-Difference untuk PDP Eliptik Contoh pertama Misalnya kita diminta mensimulasikan distribusi panas pada lempengan logam berukuran 0, 5 m x 0, 5 m. Temperatur pada 2 sisi tepi lempengan logam dijaga pada 0 C, sementara pada 2 sisi tepi lempengan logam yang lain, temperaturnya diatur meningkat secara linear dari 0 C hingga 100 C. Problem ini memenuhi PDP Eliptik: 2 u x 2(x, y) + 2 u (x, y) = 0; y2 0 < x < 0, 5, 0 < y < 0, 5 dengan syarat-syarat batas u(0, y) = 0, u(x,0) = 0, u(x,0.5) = 200x, u(0.5, y) = 200y Jika n = m = 4 sedangkan ukuran lempeng logam adalah 0, 5 m x 0, 5 m, maka h = 0, 5 4 = 0, 125 k = 0, 5 4 = 0, 125 Grid lines berikut mesh points dibuat berdasarkan nilai h dan k tersebut (lihat Gambar 7.8). Langkah berikutnya adalah menyusun persamaan Finite-Difference, dimulai dari persamaan

142 128 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK Y U(x,0.5)=200x 0.5 W 1,4 W 2,4 W 3,4 W 1,3 W 2,3 W 3,3 U(0,y)=0 W 0,3 W 0,2 W 0,1 W 1,2 W 2,2 W 3,2 W 1,1 W 2,1 W 3,1 W 4,3 W 4,2 W 4,1 U(0.5,y)=200y W 1,0 W 2,0 W 3,0 U(x,0)=0 0.5 X Gambar 7.8: Susunan grid lines dan mesh points untuk mensimulasikan distribusi temperatur pada lempeng logam sesuai contoh satu asalnya (persamaan 7.40) 2[1 + h2 k 2 ]w i,j (w i+1,j + w i 1,j ) h2 k 2 (w i,j+1 + w i,j 1 ) = h 2 f(x i, y j ) Karena h = k = 0, 125 dan f(x i, y j ) = 0, maka 4w i,j w i+1,j w i 1,j w i,j 1 w i,j+1 = 0 (7.41) Disisi lain, karena n = 4, maka nilai i yang bervariasi i = 1, 2,..., n 1 akan menjadi i = 1, 2, 3. Demikian hal-nya dengan j, karena m = 4, maka variasi j = 1, 2,..., m 1 atau j = 1, 2, 3. Dengan menerapkan persamaan (7.41) pada setiap mesh point yang belum diketahui temperaturnya, diperoleh 4w 1,3 w 2,3 w 1,2 = w 0,3 + w 1,4 4w 2,3 w 3,3 w 2,2 w 1,3 = w 2,4 4w 3,3 w 3,2 w 2,3 = w 4,3 + w 3,4 4w 1,2 w 2,2 w 1,1 w 1,3 = w 0,2 4w 2,2 w 3,2 w 2,1 w 1,2 w 2,3 = 0 4w 3,2 w 3,1 w 2,2 w 3,3 = w 4,2 4w 1,1 w 2,1 w 1,2 = w 0,1 + w 1,0 4w 2,1 w 3,1 w 1,1 w 2,2 = w 2,0 4w 3,1 w 2,1 w 3,2 = w 3,0 + w 4,1

143 7.5. PDP ELIPTIK 129 Semua notasi w yang berada diruas kanan tanda sama-dengan sudah ditentukan nilainya berdasarkan syarat batas, yaitu w 1,0 = w 2,0 = w 3,0 = w 0,1 = w 0,2 = w 0,3 = 0, w 1,4 = w 4,1 = 25, w 2,4 = w 4,2 = 50, dan w 3,4 = w 4,3 = 75 Dengan memasukkan syarat batas tersebut ke dalam sistem persamaan linear, maka 4w 1,3 w 2,3 w 1,2 = 25 4w 2,3 w 3,3 w 2,2 w 1,3 = 50 4w 3,3 w 3,2 w 2,3 = 150 4w 1,2 w 2,2 w 1,1 w 1,3 = 0 4w 2,2 w 3,2 w 2,1 w 1,2 w 2,3 = 0 4w 3,2 w 3,1 w 2,2 w 3,3 = 50 4w 1,1 w 2,1 w 1,2 = 0 4w 2,1 w 3,1 w 1,1 w 2,2 = 0 4w 3,1 w 2,1 w 3,2 = 25 Kemudian dijadikan operasi perkalian matrik w 1,3 w 2,3 w 3,3 w 1,2 w 2,2 w 3,2 w 1,1 w 2,1 w 3,1 = Mari kita perhatikan sejenak susunan elemen-elemen angka pada matrik berukuran 9x9 di atas. Terlihat jelas pada elemen diagonal selalu berisi angka 4. Ini sama sekali bukan ketidaksengajaan. Melainkan susunan itu sengaja direkayasa sedemikian rupa sehingga elemen-elemen tridiagonal terisi penuh oleh angka bukan 0 dan pada diagonal utamanya diletakkan angka yang terbesar. Metode Eliminasi Gauss dan Iterasi Gauss-Seidel telah diaplikasikan untuk menyelesaikan persamaan matrik di atas.

144 130 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK Script Matlab untuk PDP Elliptik Inilah script Matlab yang dipakai untuk menghitung nila-nilai w menggunakan metode Eliminasi Gauss. 1 clear all 2 clc 3 n=9; 4 A=[ ; ; ; ; ; ; ; ; ]; b=[25; 50; 150; 0; 0; 50; 0; 0; 25]; %&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 17 %====== Menggabungkan Vektor b kedalam matrik A ======== 18 %====== sehingga terbentuk matrik Augmentasi. ======== 19 for i=1:n 20 A(i,n+1)=b(i,1); 21 end % Proses Triangularisasi for j=1:(n-1) %----mulai proses pivot if (A(j,j)==0) 28 for p=1:n+1 29 u=a(j,p); 30 v=a(j+1,p); 31 A(j+1,p)=u; 32 A(j,p)=v; 33 end 34 end 35 %----akhir proses pivot jj=j+1; 37 for i=jj:n 38 m=a(i,j)/a(j,j); 39 for k=1:(n+1) 40 A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k)); 41 end 42 end 43 end 44 % %------Proses Substitusi mundur x(n,1)=a(n,n+1)/a(n,n); for i=n-1:-1:1 50 S=0; 51 for j=n:-1:i+1 52 S=S+A(i,j)*x(j,1); 53 end

145 7.5. PDP ELIPTIK x(i,1)=(a(i,n+1)-s)/a(i,i); 55 end 56 %&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& %===== Menampilkan Vektor w ================= 59 w=x Sementara berikut ini adalah script Matlab untuk menghitung nila-nilai w menggunakan metode Iterasi Gauss-Seidel. 1 clear all 2 clc 3 4 n=9; 5 A=[ ; ; ; ; ; ; ; ; ]; b=[25; 50; 150; 0; 0; 50; 0; 0; 25]; %&&&&&&& ITERASI GAUSS-SEIDEL &&&&&&&&&&&&&&&&&& 18 itermax=100; %iterasi maksimum 19 %----nilai awal xl=[0; 0; 0; 0; 0; 0; 0; 0; 0]; 21 xb=xl; 22 %----stopping criteria sc=0.001; 24 %----memulai iterasi for iterasi=1:itermax 26 smtr1=0; 27 for j=2:n 28 smtr1=smtr1+a(1,j)*xl(j,1); 29 end 30 xb(1,1)=(-smtr1+b(1,1))/a(1,1); 31 % for i=2:n-1 33 smtr2=0; 34 for j=i+1:n 35 smtr2=smtr2-a(i,j)*xl(j,1); 36 end 37 smtr3=0; 38 for k=1:i-1 39 smtr3=smtr3-a(i,k)*xb(k,1); 40 end 41 xb(i,1)=(smtr3+smtr2+b(i,1))/a(i,i); 42 end 43 % smtr4=0; 45 for k=1:n-1 46 smtr4=smtr4-a(n,k)*xb(k,1); 47 end 48 xb(n,1)=(smtr4+b(n,1))/a(n,n);

146 132 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK 49 %------perhitungan norm s=0; 51 for i=1:n 52 s=s+(xb(i,1)-xl(i,1))^2; 53 end 54 epsilon=sqrt(s); 55 % xl=xb; 57 %------memeriksa stopping criteria if epsilon<sc 59 w=xb 60 break 61 end 62 % end Tabel berikut memperlihatkan hasil pemrosesan dengan metode Eliminasi Gauss (disingkat: EG) dan iterasi Gauss-Seidel (disingkat: GS) w 1,3 w 2,3 w 3,3 w 1,2 w 2,2 w 3,2 w 1,1 w 2,1 w 3,1 EG GS Inilah solusi yang ditawarkan oleh Finite-Difference. Kalau diamati dengan teliti, angkaangka distribusi temperatur pada 9 buah mesh points memang logis dan masuk akal. Dalam kondisi riil, mungkin kondisi seperti ini hanya bisa terjadi bila lempengan logam tersebut terbuat dari bahan yang homogen. Hasil EG dan GS memang berbeda, walaupun perbedaannya tidak significant. Namun perlu saya tegaskan disini bahwa jika sistem persamaan linear yang diperoleh dari Finite Difference berorde 100 atau kurang dari itu, maka lebih baik memilih metode Eliminasi Gauss sebagai langkah penyelesaian akhir. Alasannya karena, direct method seperti eliminasi Gauss, lebih stabil dibandingkan metode iterasi. Tapi jika orde-nya lebih dari 100, disarankan memilih metode iterasi seperti iterasi Gauss-Seidel, atau menggunakan metode SOR yang terbukti lebih efisien dibanding Gauss-Seidel. Jika matrik A bersifat positive definite, metode Court Factorization adalah pilihan yg paling tepat karena metode ini sangat efisien sehingga bisa menghemat memori komputer Contoh kedua Diketahui persamaan poisson sebagai berikut 2 u x 2 (x, y) + 2 u y 2 (x, y) = xey, 0 < x < 2, 0 < y < 1,

147 7.6. PDP PARABOLIK 133 dengan syarat batas u (0, y) = 0, u (2, y) = 2e y, 0 y 1, u (x,0) = x, u (x,1) = ex, 0 x 2, Solusi numerik dihitung dengan pendekatan finite-difference gauss-seidel dimana batas toleransi kesalahan ditentukan w (l) ij w(l 1) ij PDP parabolik PDP parabolik yang kita pelajari disini adalah persamaan difusi u t (x, t) = u α2 2 x2(x, t), 0 < x < l, t > 0, (7.42) yang berlaku pada kondisi dan u(0, t) = u(l, t) = 0, t > 0, u(x,0) = f(x), 0 x l, dimana t dalam dimensi waktu, sementara x berdimensi jarak Metode Forward-difference Solusi numerik diperoleh menggunakan forward-difference 2 dengan langkah-langkah yang hampir mirip seperti yang telah dibahas pada PDP eliptik. Langkah pertama adalah menentukan sebuah angka m > 0, yang dengannya, nilai h ditentukan oleh rumus h = l/m. Langkah kedua adalah menentukan ukuran time-step k dimana k > 0. Adapun mesh points ditentukan oleh (x i, t j ), dimana x i = ih, dengan i = 0, 1, 2,..., m, dan t j = jk dengan j = 0, 1,... Berdasarkan deret Taylor, turunan pertama persamaan (7.42) terhadap t, dengan time step k, adalah u t (x i, t j ) = u (x i, t j + k) u (x i, t j ) k 2 u k 2 t 2 (x i, µ j ) (7.43) Namun, sebagaimana pendekatan finite-difference pada umumnya, pendekatan forward-difference selalu mengabaikan suku terakhir, sehingga persamaan di atas ditulis seperti ini u t (x i, t j ) = u (x i, t j + k) u (x i, t j ) k (7.44) 2 Pada Bab ini ada beberapa istilah yang masing-masing menggunakan kata difference, yaitu finite difference, forward difference, centered difference dan backward difference. Setiap istilah punya arti yang berbeda.

148 134 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK Sementara itu, turunan kedua persamaan (7.42) terhadap x berdasarkan deret Taylor adalah 2 u x 2 (x i, t j ) = u (x i + h, t J ) 2u (x i, t j ) + u (x i h, t J ) h 2 h2 4 u 12 x 4 (ξ i, t j ) (7.45) Pengabaian suku terakhir menjadikan persamaan di atas ditulis kembali sebagai berikut 2 u x 2 (x i, t j ) = u (x i + h, t j ) 2u (x i, t j ) + u (x i h, t j ) h 2 (7.46) Kemudian persamaan (7.44) dan (7.46) disubstitusi kedalam persamaan (7.42), maka diperoleh u (x i, t j + k) u (x i, t j ) k = α 2u(x i + h, t j ) 2u (x i, t j ) + u (x i h, t j ) h 2 (7.47) atau dapat dinyatakan dalam notasi w w i,j+1 w i,j k α 2w i+1,j 2w i,j + w i 1,j h 2 = 0 (7.48) Dari sini diperoleh solusi untuk w i,j+1, yaitu w i,j+1 = ( ) 1 2α2 k h 2 w i,j + α 2 k h 2 (w i+1,j + w i 1,j ) (7.49) jika maka λ = α2 k h 2 (7.50) (1 2λ) w i,j + λw i+1,j + λw i 1,j = w i,j+1 (7.51) Contoh ketiga: One dimensional heat equation Misalnya diketahui, distribusi panas satu dimensi (1D) sebagai fungsi waktu (t) pada sebatang logam memenuhi persamaan berikut u t (x, t) 2 u x2(x, t) = 0, 0 < x < 1 0 t, dengan syarat batas dan kondisi mula-mula u(0, t) = u(1, t) = 0, 0 < t, u(x,0) = sin(πx), 0 x 1, Solusi analitik atas masalah ini adalah u(x, t) = e π2t sin(πx) Adapun sebaran posisi mesh-points dalam 1-D diperlihatkan pada Gambar 7.9. Sementara

149 7.6. PDP PARABOLIK 135 h=0.1 Gambar 7.9: Sebatang logam dengan posisi titik-titik simulasi (mesh-points) distribusi temperatur. Jarak antar titik ditentukan sebesar h = 0,1. Gambar 7.10 melengkapi Gambar 7.9, dimana perubahan waktu tercatat setiap interval k = 0, Sepintas Gambar 7.10 terlihat seolah-olah obyek yang mau disimulasikan berbentuk 2-dimensi, padahal bendanya tetap 1-dimensi yaitu hanya sebatang logam. t k= h=0.1 1 x Gambar 7.10: Interval mesh-points dengan jarak h = 0,1 dalam interval waktu k = 0,0005 Selanjutnya, Gambar 7.11 memperlihatkan tepi-tepi syarat batas yaitu angka 0 di ujung kiri dan angka 1 di ujung kanan pada sumbu horisontal x. Diantara batas-batas itu terdapat sebaran titik simulasi berjarak h = 0, 1. Sementara, sumbu vertikal menunjukan perubahan dari waktu ke waktu dengan interval k = 0, Karena α = 1, h = 0, 1 dan k = 0, 0005 maka t x Gambar 7.11: Posisi mesh-points. Arah x menunjukkan posisi titik-titik yang dihitung dengan forwarddifference, sedangkan arah t menunjukkan perubahan waktu yg makin meningkat λ dapat dihitung dengan persamaan (7.50) λ = α2 k h 2 = 0, 1 = 0, 05 0, 00052

150 136 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK Berdasarkan persamaan (7.51), sistem persamaan linear dapat disusun sebagai berikut 0, 9w 1,j + 0, 5w 2,j = w 1,j+1 0, 5w 0,j 0, 9w 2,j + 0, 5w 3,j + 0, 5w 1,j = w 2,j+1 0, 9w 3,j + 0, 5w 4,j + 0, 5w 2,j = w 3,j+1 0, 9w 4,j + 0, 5w 5,j + 0, 5w 3,j = w 4,j+1 0, 9w 5,j + 0, 5w 6,j + 0, 5w 4,j = w 5,j+1 0, 9w 6,j + 0, 5w 7,j + 0, 5w 5,j = w 6,j+1 0, 9w 7,j + 0, 5w 8,j + 0, 5w 6,j = w 7,j+1 0, 9w 8,j + 0, 5w 9,j + 0, 5w 7,j = w 8,j+1 0, 9w 9,j + 0, 5w 8,j = w 9,j+1 0, 5w 10,j Syarat batas menetapkan bahwa w 0,j = w 10,j = 0. Lalu dinyatakan dalam bentuk operasi matrik 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 Persamaan matriks di atas dapat direpresentasikan sebagai w 1,j w 2,j w 3,j w 4,j w 5,j w 6,j w 7,j w 8,j w 9,j = w 1,j+1 w 2,j+1 w 3,j+1 w 4,j+1 w 5,j+1 w 6,j+1 w 7,j+1 w 8,j+1 w 9,j+1 (7.52) Aw (j) = w (j+1) (7.53) Proses perhitungan dimulai dari j = 0. Persamaan matrik menjadi 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 w 1,0 w 2,0 w 3,0 w 4,0 w 5,0 w 6,0 w 7,0 w 8,0 w 9,0 = w 1,1 w 2,1 w 3,1 w 4,1 w 5,1 w 6,1 w 7,1 w 8,1 w 9,1

151 7.6. PDP PARABOLIK 137 Nilai w 1,0, w 2,0,..., w 9,0 sudah ditentukan oleh kondisi awal, yaitu u(x,0) = sinπx, 0 x 1, Jika h = 0, 1, maka x 1 = h = 0, 1; x 2 = 2h = 0, 2; x 3 = 3h = 0, 3;...; x 9 = 9h = 0, 9. Lalu masing-masing dimasukkan ke sinπx untuk mendapatkan nilai u(x,0). Kemudian notasi u(x,0) diganti dengan notasi w yang selanjutnya dinyatakan sebagai berikut: w 1,0 = u(x 1, 0) = u(0.1, 0) = sinπ(0.1) = 0, Dengan cara yang sama: w 2,0 = 0, 5878; w 3,0 = 0, 8090; w 4,0 = 0, 9511; w 5,0 = 1, 0000; w 6,0 = 0, 9511; w 7,0 = 0, 8090; w 8,0 = 0, 5878; dan w 9,0 = 0, Maka persamaan matriks menjadi 0, 9 0, , , 5 0, 9 0, , , 5 0, 9 0, , , 5 0, 9 0, , , 5 0, 9 0, , 0000 = , 5 0, 9 0, , , 5 0, 9 0, 5 0 0, , 5 0, 9 0, 5 0, , 5 0, 9 0, 3090 Ini hanya perkalian matrik biasa 3. Hasil perkalian itu adalah: w 1,1 = 0, 3075; w 2,1 = 0, 5849; w 3,1 = 0, 8051; w 4,1 = 0, 9464; w 5,1 = 0, 9951; w 6,1 = 0, 9464; w 7,1 = 0, 8051; w 8,1 = 0, 5849; dan w 9,1 = 0, Semua angka ini adalah nilai temperatur kawat di masing-masing mesh points setelah selang waktu 0, 0005 detik 4. Selanjutnya, hasil ini diumpankan lagi ke persamaan matriks yang sama untuk mendap- w 1,1 w 2,1 w 3,1 w 4,1 w 5,1 w 6,1 w 7,1 w 8,1 w 9,1 atkan w x,2 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , 5 0, 9 0, , , , , , , , , 3075 = w 1,2 w 2,2 w 3,2 w 4,2 w 5,2 w 6,2 w 7,2 w 8,2 w 9,2 Perhitungan dengan cara seperti ini diulang-ulang sampai mencapai waktu maksimum. Jika waktu maksimum adalah T = 0, 5 detik, berarti mesti dilakukan 1000 kali iterasi 5. Untuk 3 Topik tentang perkalian matrik sudah diulas pada Bab 1 4 karena step time k-nya sudah ditentukan sebesar 0, cara menghitung jumlah iterasi: T/k = 0, 5/0, 0005 = 1000

152 138 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK sampai 1000 kali, maka indeks j bergerak dari 1 sampai Dengan bantuan script Matlab, proses perhitungan menjadi sangat singkat Script Forward-Difference Script matlab Forward-Difference untuk menyelesaikan contoh masalah ini, dimana h = 0, 1 dan k = 0, clear all 2 clc 3 4 n=9; 5 alpha=1.0; 6 k=0.0005; 7 h=0.1; 8 lambda=(alpha^2)*k/(h^2); 9 10 % Kondisi awal 11 for i=1:n 12 suhu(i)=sin(pi*i*0.1); 13 end %Mengcopy kondisi awal ke w 16 for i=1:n 17 w0(i,1)=suhu(i); 18 end A=[ (1-2*lambda) lambda ; 21 lambda (1-2*lambda) lambda ; 22 0 lambda (1-2*lambda) lambda ; lambda (1-2*lambda) lambda ; lambda (1-2*lambda) lambda 0 0 0; lambda (1-2*lambda) lambda 0 0; lambda (1-2*lambda) lambda 0 ; lambda (1-2*lambda) lambda ; lambda (1-2*lambda) ]; iterasi=1000; 31 for k=1:iterasi 32 disp( perkalian matriks ) 33 %====================================== 34 for i=1:n 35 w(i,1)=0.0; 36 end for i=1:n 39 for j=1:n 40 w(i,1)=w(i,1)+a(i,j)*w0(j,1); 41 end 42 end 43 %==================================== 44 w 45 w0=w; 46 end

153 7.6. PDP PARABOLIK 139 Tabel 7.4 memperlihatkan hasil perhitungan yang diulang-ulang hingga 1000 kali. Tabel tersebut juga menunjukkan hasil perbandingan antara pemilihan nilai interval k = 0, 0005 dan k = 0, 01. Tabel ini menginformasikan satu hal penting, yaitu pada saat interval k = 0, 0005, forward-difference berhasil mencapai konvergensi yang sangat baik. Namun pada saat interval k = 0.01, dengan jumlah iterasi hanya 50 kali untuk mencapai time maksimum 0, 5 detik, terlihat jelas hasil forward-difference tidak konvergen (Bandingkan kolom ke-4 dan kolom ke-6!), dan ini dianggap bermasalah. Masalah ini bisa diatasi dengan metode backward-difference. Tabel 7.4: Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi. Kolom ke-2 adalah solusi analitik/exact, kolom ke-3 dan ke-5 adalah solusi numerik forward-difference. Kolom ke-4 dan ke-6 adalah selisih antara solusi analitik dan numerik w i,1000 w i,50 x i u(x i, 0.5) k = 0, 0005 u(x i, 0.5) w i,1000 k = 0, 01 u(x i, 0.5) w i,50 0, ,1 0, , , , , ,2 0, , , , , ,3 0, , , , , ,4 0, , , , , ,5 0, , , , , ,6 0, , , , , ,7 0, , , , , ,8 0, , , , , ,9 0, , , , , , Metode Backward-difference Kalau kita ulang lagi pelajaran yang lalu tentang forward-difference, kita akan dapatkan formula forward-difference adalah sebagai berikut (lihat persamaan (7.48)) w i,j+1 w i,j k α 2w i+1,j 2w i,j + w i 1,j h 2 = 0 Sekarang, dengan sedikit modifikasi, formula backward-difference dinyatakan sebagai w i,j w i,j 1 k α 2w i+1,j 2w i,j + w i 1,j h 2 = 0 (7.54) jika ditetapkan λ = α2 k h 2 maka backward-difference disederhanakan menjadi (1 + 2λ) w i,j λw i+1,j λw i 1,j = w i,j 1 (7.55)

154 140 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK coba sejenak anda bandingkan dengan formula forward-difference dalam λ sebagaimana dinyatakan oleh persamaan (7.51) (1 2λ) w i,j + λw i+1,j + λw i 1,j = w i,j+1 O.K., mari kita kembali ke contoh soal kita yang tadi, dimana ada perubahan nilai k yang semula k = 0, 0005 menjadi k = 0, 01. Sementara α dan h nilainya tetap. Maka λ dapat dihitung dengan persamaan (7.50) kembali λ = α2 k h 2 = 0, 1 0, 01 2 = 1 Berdasarkan persamaan (7.55), sistem persamaan linear mengalami sedikit perubahan 3w 1,j 1w 2,j = w 1,j 1 + 1w 0,j 3w 2,j 1w 3,j 1w 1,j 3w 3,j 1w 4,j 1w 2,j 3w 4,j 1w 5,j 1w 3,j 3w 5,j 1w 6,j 1w 4,j 3w 6,j 1w 7,j 1w 5,j 3w 7,j 1w 8,j 1w 6,j 3w 8,j 1w 9,j 1w 7,j = w 2,j 1 = w 3,j 1 = w 4,j 1 = w 5,j 1 = w 6,j 1 = w 7,j 1 = w 8,j 1 3w 9,j 1w 8,j = w 9,j 1 + 1w 10,j Syarat batas masih sama, yaitu w 0,j = w 10,j = 0. Lalu jika dinyatakan dalam bentuk operasi matrik w 1,j w 2,j w 3,j w 4,j w 5,j w 6,j w 7,j w 8,j w 9,j = w 1,j 1 w 2,j 1 w 3,j 1 w 4,j 1 w 5,j 1 w 6,j 1 w 7,j 1 w 8,j 1 w 9,j 1 Persamaan matriks di atas dapat direpresentasikan sebagai Aw (j) = w (j 1) (7.56)

155 7.6. PDP PARABOLIK 141 Perhitungan dimulai dari iterasi pertama, dimana j = w 1,1 w 2,1 w 3,1 w 4,1 w 5,1 w 6,1 w 7,1 w 8,1 w 9,1 = w 1,0 w 2,0 w 3,0 w 4,0 w 5,0 w 6,0 w 7,0 w 8,0 w 9,0 Dengan memasukan kondisi awal, ruas kanan menjadi w 1,1 w 2,1 w 3,1 w 4,1 w 5,1 w 6,1 w 7,1 w 8,1 w 9,1 = 0, , , , , , , , , 3090 Berbeda dengan operasi matrik forward difference, operasi matrik backward difference ini bukan perkalian matrik biasa. Operasi matrik tersebut akan dipecahkan oleh metode Eliminasi Gauss 6. Untuk jumlah iterasi hingga j = 50, perhitungannya dilakukan dalam script Matlab Script Backward-Difference dengan Eliminasi Gauss 1 clear all 2 clc 3 4 n=9; 5 alpha=1.0; 6 k=0.01; 7 h=0.1; 8 lambda=(alpha^2)*k/(h^2); 9 10 %Kondisi awal 11 for i=1:n 12 suhu(i)=sin(pi*i*0.1); 13 end %Mengcopy kondisi awal ke w 16 for i=1:n 6 Uraian tentang metode Eliminasi Gauss tersedia di Bab 2

156 142 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK 17 w0(i,1)=suhu(i); 18 end AA=[ (1+2*lambda) -lambda ; 21 -lambda (1+2*lambda) -lambda ; lambda (1+2*lambda) -lambda ; lambda (1+2*lambda) -lambda ; lambda (1+2*lambda) -lambda 0 0 0; lambda (1+2*lambda) -lambda 0 0; lambda (1+2*lambda) -lambda 0 ; lambda (1+2*lambda) -lambda ; lambda (1+2*lambda) ]; iterasi=50; 31 for i=1:iterasi 32 %&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 33 A=AA; %Matriks Backward Difference dicopy supaya fix for i=1:n 36 A(i,n+1)=w0(i,1); 37 end % Proses Triangularisasi for j=1:(n-1) %----mulai proses pivot if (A(j,j)==0) 44 for p=1:n+1 45 u=a(j,p); 46 v=a(j+1,p); 47 A(j+1,p)=u; 48 A(j,p)=v; 49 end 50 end 51 %----akhir proses pivot jj=j+1; 53 for i=jj:n 54 m=a(i,j)/a(j,j); 55 for k=1:(n+1) 56 A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k)); 57 end 58 end 59 end 60 % %------Proses Substitusi mundur w(n,1)=a(n,n+1)/a(n,n); for i=n-1:-1:1 66 S=0; 67 for j=n:-1:i+1 68 S=S+A(i,j)*w(j,1); 69 end 70 w(i,1)=(a(i,n+1)-s)/a(i,i); 71 end 72 %&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 73 w0=w; 74 end 75 w

157 7.6. PDP PARABOLIK 143 Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja metode backward-difference lebih baik dibanding metode forward-difference, ini ditunjukkan dari selisih yang relatif kecil antara solusi numerik dan solusi analitik, sebagaimana bisa terlihat dari kolom ke-4 pada tabel berikut Tabel 7.5: Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi dengan metode backwarddifference dimana k = 0, 01 x i u(x i, 0.5) w i,50 u(x i, 0.5) w i,50 0, ,1 0, , , ,2 0, , , ,3 0, , , ,4 0, , , ,5 0, , , ,6 0, , , ,7 0, , , ,8 0, , , ,9 0, , , , Metode Crank-Nicolson Metode ini dimunculkan disini karena metode ini memiliki performa yang lebih unggul dari dua metode sebelumnya. Namun begitu pondasi metode Crank-Nicolson terdiri atas metode Forward-Difference dan metode Backward-Difference. Mari kita ulang lagi pelajaran yang sudah kita lewati. Formula Forward-Difference adalah w i,j+1 w i,j k α 2w i+1,j 2w i,j + w i 1,j h 2 = 0 sedangkan Backward-Difference adalah w i,j w i,j 1 k α 2w i+1,j 2w i,j + w i 1,j h 2 = 0 Ketika Backward-Difference berada pada iterasi ke j + 1, maka w i,j+1 w i,j k α 2w i+1,j+1 2w i,j+1 + w i 1,j+1 h 2 = 0 (7.57) Jika formula ini dijumlahkan dengan formula forward-difference, kemudian hasilnya dibagi 2, maka akan diperoleh w i,j+1 w i,j k α2 2 [ wi+1,j 2w i,j + w i 1,j h 2 + w ] i+1,j+1 2w i,j+1 + w i 1,j+1 h 2 = 0 (7.58)

158 144 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK inilah formula Crank-Nicolson. Adapun λ tetap dinyatakan sebagai maka λ = α2 k h 2 w i,j+1 w i,j λ 2 [w i+1,j 2w i,j + w i 1,j + w i+1,j+1 2w i,j+1 + w i 1,j+1 ] = 0 w i,j+1 w i,j λ 2 w i+1,j + λw i,j λ 2 w i 1,j λ 2 w i+1,j+1 + λw i,j+1 λ 2 w i 1,j+1 = 0 λ 2 w i 1,j+1 + w i,j+1 + λw i,j+1 λ 2 w i+1,j+1 λ 2 w i 1,j w i,j + λw i,j λ 2 w i+1,j = 0 dan akhirnya λ 2 w i 1,j+1 + w i,j+1 + λw i,j+1 λ 2 w i+1,j+1 = λ 2 w i 1,j + w i,j λw i,j + λ 2 w i+1,j λ 2 w i 1,j+1 + (1 + λ)w i,j+1 λ 2 w i+1,j+1 = λ 2 w i 1,j + (1 λ)w i,j + λ 2 w i+1,j (7.59) Dalam bentuk persamaan matrik dinyatakan sebagai Aw (j+1) = Bw (j), untuk j = 0, 1, 2,... (7.60) Dengan menggunakan contoh soal yang sama, yang sebelumnya telah diselesaikan dengan metode Forward-Difference dan Backward-Difference, maka penyelesaian soal tersebut dengan metode Crank-Nicolson juga akan didemonstrasikan di sini. Dengan nilai k = 0, 01; h = 0, 1; λ = 1 dan berdasarkan persamaan (7.59) diperoleh 0, 5w i 1,j+1 + 2w i,j+1 0, 5w i+1,j+1 = 0, 5w i 1,j + 0w i,j + 0, 5w i+1,j Script Matlab untuk menyelesaikan persamaan ini adalah 1 clear all 2 clc 3 4 n=9; 5 iterasi=50; 6 alpha=1.0; 7 k=0.01; 8 h=0.1; 10 9 lambda=(alpha^2)*k/(h^2); 11 %Kondisi awal 12 for i=1:n 13 suhu(i)=sin(pi*i*0.1); 14 end %Mengcopy kondisi awal ke w 17 for i=1:n 18 w0(i,1)=suhu(i);

159 7.6. PDP PARABOLIK end AA=[(1+lambda) -lambda/ ; 22 -lambda/2 (1+lambda) -lambda/ ; lambda/2 (1+lambda) -lambda/ ; lambda/2 (1+lambda) -lambda/ ; lambda/2 (1+lambda) -lambda/ ; lambda/2 (1+lambda) -lambda/2 0 0; lambda/2 (1+lambda) -lambda/2 0; lambda/2 (1+lambda) -lambda/2; lambda/2 (1+lambda)]; B=[(1-lambda) lambda/ ; 32 lambda/2 (1-lambda) lambda/ ; 33 0 lambda/2 (1-lambda) lambda/ ; lambda/2 (1-lambda) lambda/ ; lambda/2 (1-lambda) lambda/ ; lambda/2 (1-lambda) lambda/2 0 0; lambda/2 (1-lambda) lambda/2 0; lambda/2 (1-lambda) lambda/2; lambda/2 (1-lambda)]; iterasi=50; 42 for iter=1:iterasi %===perkalian matriks=================== 45 for i=1:n 46 b(i,1)=0.0; 47 end 48 for i=1:n 49 for j=1:n 50 b(i,1)=b(i,1)+b(i,j)*w0(j,1); 51 end 52 end 53 %====================================== %&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 56 A=AA; %Matriks Backward Difference dicopy supaya fix for i=1:n 59 A(i,n+1)=b(i,1); 60 end % Proses Triangularisasi for j=1:(n-1) %----mulai proses pivot if (A(j,j)==0) 67 for p=1:n+1 68 u=a(j,p); 69 v=a(j+1,p); 70 A(j+1,p)=u; 71 A(j,p)=v; 72 end 73 end 74 %----akhir proses pivot jj=j+1; 76 for i=jj:n 77 m=a(i,j)/a(j,j);

160 146 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK 78 for k=1:(n+1) 79 A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k)); 80 end 81 end 82 end 83 % %------Proses Substitusi mundur w(n,1)=a(n,n+1)/a(n,n); for i=n-1:-1:1 89 S=0; 90 for j=n:-1:i+1 91 S=S+A(i,j)*w(j,1); 92 end 93 w(i,1)=(a(i,n+1)-s)/a(i,i); 94 end 95 %&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&& 96 w0=w; 97 end 98 iter 99 w Tabel 7.6: Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu (t) dalam 1-dimensi dengan metode backward-difference dan Crank-Nicolson BD CN Backward-Diff Crank-Nicolson x i u(x i, 0.5) w i,50 w i,50 u(x i, 0.5) w i,50 u(x i, 0.5) w i,50 0, ,1 0, , , , , ,2 0, , , , , ,3 0, , , , , ,4 0, , , , , ,5 0, , , , , ,6 0, , , , , ,7 0, , , , , ,8 0, , , , , ,9 0, , , , , , Terlihat disini bahwa orde kesalahan metode Crank-Nicolson (kolom ke-6) sedikit lebih kecil dibandingkan metode Backward-Difference (kolom ke-5). Ini menunjukkan tingkat akurasi Crank-Nicolson lebih tinggi dibandingkan Backward-Difference. 7.7 PDP Hiperbolik Pada bagian ini, kita akan membahas solusi numerik untuk persamaan gelombang yang merupakan salah satu contoh PDP hiperbolik. Persamaan gelombang dinyatakan dalam persamaan diferensial sebagai berikut 2 u t 2 (x, t) u α2 2 (x, t) = 0, 0 < x < l, t > 0 (7.61) x2

161 7.7. PDP HIPERBOLIK 147 dengan suatu kondisi u (0, t) = u (l, t) = 0, untuk t > 0, u (x,0) = f (x), dan u (x,0) = g (x), untuk 0 x l t dimana α adalah konstanta. Kita tentukan ukuran time-step sebesar k, jarak tiap mesh point adalah h. x i = ih dan t j = jk dengan i = 0, 1,..., m dan j = 0, 1,... Pada bagian interior, posisi mesh points ditentukan oleh koordinat (x i, t j ), karenanya persamaan gelombang ditulis menjadi 2 u t 2 (x i, t j ) α 2 2 u x 2 (x i, t j ) = 0 (7.62) Formula centered-difference digunakan sebagai pendekatan numerik persamaan gelombang pada tiap-tiap suku. Untuk turunan kedua terhadap t dan turunan kedua terhadap x 2 u t 2 (x i, t j ) = u (x i, t j+1 ) 2u (x i, t j ) + u (x i, t j 1 ) k 2 2 u x 2 (x i, t j ) = u (x i+1, t j ) 2u (x i, t j ) + u (x i 1, t j ) h 2 Dengan mensubtitusikan kedua persamaan di atas kedalam persamaan (7.62) u (x i, t j+1 ) 2u (x i, t j ) + u (x i, t j 1 ) k 2 α 2u(x i+1, t j ) 2u (x i, t j ) + u (x i 1, t j ) h 2 = 0 maka dapat diturunkan formula finite-difference untuk PDP hiperbolik sebagai berikut w i,j+1 2w i,j + w i,j 1 k 2 α 2w i+1,j 2w i,j + w i 1,j h 2 = 0 (7.63) Jika λ = αk/h, maka persamaan ini dapat ditulis kembali w i,j+1 2w i,j + w i,j 1 λ 2 w i+1,j + 2λ 2 w i,j λ 2 w i 1,j = 0 sehingga w i,j+1 selaku solusi numerik dapat dihitung dengan merubah sedikit suku-suku pada formula di atas w i,j+1 = 2 ( 1 λ 2) w i,j + λ 2 (w i+1,j + w i 1,j ) w i,j 1 (7.64) dengan i = 1, 2,..., m 1 dan j = 1, 2,... Kondisi syarat batas ditentukan sebagai berikut w 0,j = w m,j = 0, untuk j = 1, 2, 3,... (7.65)

162 148 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK sementara kondisi awal dinyatakan w i,0 = f (x i ), untuk i = 1, 2,..., m 1 (7.66) Berbeda dengan PDP eliptik dan PDP parabolik, pada PDP hiperbolik, untuk menghitung mesh point (j + 1), diperlukan informasi mesh point (j) dan (j 1). Hal ini sedikit menimbulkan masalah pada langkah/iterasi pertama karena nilai untuk j = 0 sudah ditentukan oleh persamaan (7.66) sementara nilai untuk j = 1 untuk menghitung w i,2, harus diperoleh lewat kondisi kecepatan awal u (x,0) = g (x), 0 x l (7.67) t Salah satu cara pemecahan dengan pendekatan forward-difference adalah u t (x i, 0) = u (x i, t 1 ) u (x i, 0) k (7.68) u (x i, t 1 ) = u (x i, 0) + k u t (x i, 0) = u (x i, 0) + kg (x i ) konsekuensinya w i,1 = w i,0 + kg(x i ), untuk i = 1, 2,..., m 1 (7.69) Contoh Tentukan solusi dari persamaan gelombang berikut ini 2 u t 2 2 u = 0, 0 < x < 1, 0 < t x2 dengan syarat batas u (0, t) = u (l, t) = 0, untuk 0 < t, dan kondisi mula-mula u (x,0) = sinπx, 0 x 1 u t = 0, 0 x 1 menggunakan metode finite-difference, dengan m = 4, N = 4, dan T = 1, 0. Bandingkan hasil yang diperoleh dengan solusi analitik u(x, t) = cos πt sin πx. Jika persamaan gelombang pada contoh soal ini dibandingkan dengan persamaan (7.61), maka diketahui nilai α = 1 dan l = 1. Dari sini, nilai h dapat dihitung, yaitu h = l/m = 1/4 = 0, 25. Sementara nilai k diperoleh dari k = T/N = 1, 0/4 = 0, 25. Dengan diketahuinya nilai α, h, dan k, maka λ dapat dihitung, yaitu λ = αk/h = 1. Selanjutnya, nilai λ ini dimasukkan ke

163 7.8. LATIHAN 149 persamaan (7.64) w i,j+1 w i,j+1 w i,j+1 = 2 ( 1 λ 2) w i,j + λ 2 (w i+1,j + w i 1,j ) w i,j 1 = 2 ( 1 1 2) w i,j (w i+1,j + w i 1,j ) w i,j 1 = 0w i,j + (w i+1,j + w i 1,j ) w i,j 1 dimana i bergerak dari 0 sampai m, atau i = 0, 1, 2, 3, 4. Sementara j, bergerak dari 0 sampai T/k = 4, atau j = 0, 1, 2, 3, 4. Catatan kuliah baru sampai sini!! 7.8 Latihan 1. Carilah solusi persamaan differensial elliptik berikut ini dengan pendekatan numerik menggunakan metode Finite Difference gunakan h = 0, 2 dan k = 0, 1 2 u x u y 2 = (x2 + y 2 )e xy, 0 < x < 2, 0 < y < 1; u(0, y) = 1, u(2, y) = e 2y, 0 y 1 u(x,0) = 1, u(x,1) = e x, 0 x 2 Bandingkan hasilnya dengan solusi analitik u(x, t) = e xy. 2. Carilah solusi persamaan differensial parabolik berikut ini dengan pendekatan numerik menggunakan metode Finite Difference Backward-Difference u t 1 2 u = 0, 0 < x < 1, 0 < t; 16 x2 u(0, t) = u(1, t) = 0, 0 < t; u(x,0) = 2 sin 2πx, 0 x 1; gunakan m = 3, T = 0, 1, dan N = 2. Bandingkan hasilnya dengan solusi analitik u(x, t) = 2e (π2 /4)t sin 2πx u (x i, t 1 ) = u (x i, 0) + k u t (x i, 0) + k2 2 u 2 t 2 (x i, 0) + k3 3 u 6 t 3 (x i, ˆµ i ) (7.70) 2 u t 2 (x i, 0) = α 2 2 u x 2 (x i, 0) = α 2 df dx 2 (x i) = α 2 f (x i ) (7.71)

164 150 BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK u (x i, t 1 ) = u (x i, 0) + kg (x i ) + α2 k 2 w i1 = w i0 + kg (x i ) + α2 k 2 2 f (x i) + k3 6 3 u t 3 (x i, ˆµ i ) (7.72) 2 f (x i) (7.73) f (x i ) = f (x i+1) 2f (x i ) + f (x i 1 ) h 2 h2 ) f(4) ( ξ 12 (7.74) u (x i, t 1 ) = u (x i, 0) + kg (x i ) + k2 α 2 2h 2 [ f (xi+1 ) 2f (x i ) + f (x i 1 )h 2] + O ( k 3 + h 2 k 2) (7.75) u (x i, t 1 ) = u (x i, 0) + kg (x i ) + λ2 2 [ f (xi+1 ) 2f (x i ) + f (x i 1 )h 2] + O ( k 3 + h 2 k 2) (7.76) = ( 1 λ 2) f (x i ) + λ2 2 f (x i+1) + λ2 2 f (x i 1) + kg (x i ) + O ( k 3 + h 2 k 2) (7.77) w i,1 = ( 1 λ 2) f (x i ) + λ2 2 f (x i+1) + λ2 2 f (x i 1) + kg (x i ) (7.78)

165 Bab 8 Integral Numerik Objektif : Mengenalkan metode Trapezoida Mengenalkan metode Simpson Mengenalkan metode Composite-Simpson Mengenalkan metode Adaptive Quardrature Mengenalkan metode Gaussian Quadrature 8.1 Metode Trapezoida Suatu persamaan integral b a f(x)dx (8.1) disebut numerical quadrature. Pendekatan numerik untuk menyelesaikan integral tersebut adalah n a i f(x i ) (8.2) i=0 Adapun metode pendekatan yang paling dasar dalam memecahkan masalah integral secara numerik adalah metode Trapezoida yang rumusnya seperti ini b a f(x)dx = h 2 [f(x 0) + f(x 1 )] h3 12 f (ξ) (8.3) dimana x 0 = a, x 1 = b dan h = b a. Karena bagian error pada Trapezoida adalah f, maka pendekatan Trapezoida bekerja efektif pada fungsi-fungsi yang turunan kedua-nya bernilai nol (f = 0). 151

166 152 BAB 8. INTEGRAL NUMERIK f(x) x =a 0 x =b 1 Gambar 8.1: Metode Trapezoida. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f(x) dengan batas bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara metode Trapesoida menghitung luas area integrasi, dimana luas area adalah sama dengan luas trapesium di bawah kurva f(x) dalam batas-batas a dan b f(x) x =a 0 x =b 1 Gambar 8.2: Metode Simpson. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f(x) dengan batas bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara metode Simpson menghitung luas area integrasi, dimana area integrasi di bawah kurva f(x) dibagi 2 dalam batas-batas a dan b 8.2 Metode Simpson Metode pendekatan yang lebih baik dalam integral numerik adalah metode Simpson yang formulasinya seperti ini b a f(x)dx = h 3 [f(x 0) + 4f(x 1 ) + f(x 2 )] h5 90 f4 (ξ) (8.4) dengan x 0 = a, x 2 = b, dan x 1 = a + h dimana h = (b a)/2. Contoh Metode Trapezoida untuk fungsi f pada interval [0,2] adalah 2 dimana x 0 = 0, x 1 = 2 dan h = 2 0 = 2, 0 f(x)dx f(0) + f(2) sedangkan metode Simpson untuk fungsi f pada interval [0,2] adalah 2 0 f(x)dx 1 [f(0) + 4f(1) + f(2)] 3

167 8.3. METODE COMPOSITE-SIMPSON 153 dengan x 0 = 0, x 2 = 2, dan x 1 = a + h = 1 dimana h = (b a)/2 = 1. Tabel berikut ini memperlihatkan evaluasi integral numerik terhadap beberapa fungsi dalam interval [0,2] beserta solusi exact-nya. Jelas terlihat, metode Simpson lebih baik dibanding Trapezoida. Karena hasil intergral numerik metode Simpson lebih mendekati nilai exact f(x) x 2 x 4 1/(x + 1) 1 + x 2 sinx e x Nilai exact 2,667 6,400 1,099 2,958 1,416 6,389 Trapezoida 4,000 16,000 1,333 3,326 0,909 8,389 Simpson 2,667 6,667 1,111 2,964 1,425 6,421 Kalau diamati lebih teliti, akan kita dapatkan bahwa interval [0,2] telah dibagi 2 pada metode Simpson, sementara pada metode Trapesoida tidak dibagi sama sekali. Sebenarnya dengan membagi interval lebih kecil lagi, maka error-nya akan semakin kecil. Misalnya, banyaknya pembagian interval dinyatakan dengan n ketika n = 1: Trapesioda x1 x 0 f(x)dx = h 2 [f(x 0) + f(x 1 )] h3 12 f (ξ) (8.5) ketika n = 2: Simpson x2 x 0 f(x)dx = h 3 [f(x 0) + 4f(x 1 ) + f(x 2 )] h5 90 f4 (ξ) (8.6) ketika n = 3: Simpson tiga-per-delapan x3 x 0 f(x)dx = 3h 8 [f(x 0) + 3f(x 1 ) + 3f(x 2 ) + f(x 3 )] 3h5 80 f4 (ξ) (8.7) ketika n = 4: x4 x 0 f(x)dx = 2h 45 [7f(x 0) + 32f(x 1 ) + 12f(x 2 ) + 32f(x 3 ) + 7f(x 4 )] 8h7 945 f6 (ξ) (8.8) Keempat bentuk persamaan integral numerik di atas dikenal dengan closed Newton-Cotes formulas. Keterbatasan metode Newton-Cotes terlihat dari jumlah pembagian interval. Di atas tadi pembagian interval baru sampai pada n = 4. Bagaimana bila interval evaluasinya dipersempit supaya solusi numeriknya lebih mendekati solusi exact? Atau dengan kata lain n > Metode Composite-Simpson Persamaan (8.8) terlihat lebih rumit dibandingkan persamaan-persamaan sebelumnya. Bisakah anda bayangkan bentuk formulasi untuk n = 5 atau n = 6 dan seterusnya? Pasti akan lebih kompleks dibandingkan persamaan (8.8).

168 154 BAB 8. INTEGRAL NUMERIK f(x) h x 0=a x 1 x 2 x 3 x 4 x 5 x 6 x 7 x n=b Gambar 8.3: Metode Composite Simpson. Kurva fungsi f(x) dengan batas bawah integral adalah a dan batas atas b. Luas area integrasi dipecah menjadi 8 area kecil dengan lebar masing-masing adalah h. Metode Composite Simpson menawarkan cara mudah menghitung intergal numerik ketika nilai n > 4. Perhatikan contoh berikut, tentukan solusi numerik dari 4 0 ex dx. Metode Simpson dengan h = 2 (atau interval evaluasi integral dibagi 2, n = 2) memberikan hasil 4 0 e x dx 2 3 ( e 0 + 4e 2 + e 4) = 56, Padahal solusi exact dari integral tersebut adalah e 4 e 0 = 53, 59815, artinya terdapat error sebesar 3,17143 yang dinilai masih terlampau besar untuk ditolerir. Bandingkan dengan metode yang sama namun dengan h = 1 (atau interval evaluasi integral dibagi 4, n = 4) 4 0 e x dx = 2 0 e x dx e x dx 1 ( e 0 + 4e + e 2) + 1 ( e 2 + 4e 3 + e 4) 3 3 = 1 ( e 0 + 4e + 2e 2 + 4e 3 + e 4) 3 = 53, Hasil ini memperlihatkan error yang makin kecil, yaitu menjadi 0, Jadi dengan memperkecil h, error menjadi semakin kecil dan itu artinya solusi integral numerik semakin mendekati solusi exact. Sekarang kita coba kecilkan lagi nilai h menjadi h = 1 2 (atau interval evaluasi integral dibagi 8, n = 8), 4 0 e x dx = 1 0 e x dx e x dx e x dx e x dx 1 ( ) e 0 + 4e 1/2 + e + 1 ( e + 4e 3/2 + e 2) ( e 2 + 4e 5/2 + e 3) + 1 (e 3 + 4e 7/2 + e 4) 6 6 = 1 (e 0 + 4e 1/2 + 2e + 4e 3/2 + 2e 2 + 4e 5/2 + 2e 3 + 4e 7/2 + e 4) 6 = 53, 61622

169 8.4. ADAPTIVE QUARDRATURE 155 dan seperti yang sudah kita duga, error-nya semakin kecil menjadi 0, Prosedur ini dapat digeneralisir menjadi suatu formula sebagai berikut b a f(x)dx = = n/2 x2j j=1 n/2 j=1 x 2j 2 f(x)dx { } h 3 [f(x 2j 2) + 4f(x 2j 1 ) + f(x 2j )] h5 90 f(4) (ξ j ) (8.9) dimana h = (b a)/n dan x j = a+jh, untuk j = 1,..., n/2, dengan x 0 = a dan x n = b. Formula ini dapat direduksi menjadi b a f(x)dx = h f(x 0 ) (n/2) 1 j=1 n/2 f(x 2j ) + 4 f(x 2j 1 ) + f(x n ) h5 n/2 f (4) (ξ j ) (8.10) 90 j=1 Formula ini dikenal sebagai metode Composite Simpson. j=1 8.4 Adaptive Quardrature Metode composite mensyaratkan luas area integrasi dibagi menjadi sejumlah region dengan jarak interval yang seragam yaitu sebesar nilai h. Akibatnya, bila metode composite diterapkan pada fungsi yang memiliki variasi yang tinggi dan rendah sekaligus, maka interval h yang kecil menjadi kurang efektif, sementara interval h yang besar mengundang error yang besar pula. Metode Adaptive Quadrature muncul untuk mendapatkan langkah yang paling efektif dimana nilai interval h tidak dibuat seragam, melainkan mampu beradaptasi sesuai dengan tingkat variasi kurva fungsinya. Misalnya kita bermaksud mencari solusi numerik dari integral b a f(x)dx dengan toleransi ǫ > 0. Sebagai langkah awal adalah menerapkan metode Simpson dimana step size h = (b a)/2 dengan b Langkah berikutnya adalah men b a f(x)dx = h 6 a f(x)dx = S(a, b) h5 90 f(4) (µ) (8.11) S(a, b) = h [f(a) + 4f(a + h) + f(b)] 3 [ ( f(a) + 4f a + h ) ( + 2f (a + h) + 4f a + 3h ) ] + f(b) 2 2 ( ) h 4 (b a) f(4) ( µ) (8.12)

170 156 BAB 8. INTEGRAL NUMERIK 8.5 Gaussian Quadrature Suatu integral dapat ditransformasi kedalam bentuk Gaussian quadrature melalui formulasi berikut b a f(x)dx = 1 1 dimana perubahan variabel memenuhi ( ) (b a)t + (b + a) (b a) f dt (8.13) 2 2 t = 2x a b b a x = 1 [(b a)t + a + b] (8.14) 2 Berikut adalah table polinomial Legendre untuk penyelesaian Gaussian quadrature Tabel 8.1: Polinomial Legendre untuk n=2,3,4 dan 5 n Akar r n,i Koefisien c n,i 2 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Contoh Selesaikan integrasi berikut ini 1,5 (Solusi exact integral diatas adalah: ) jawab: 1 e x2 dx (8.15) Pertama, integral tersebut ditransformasikan kedalam Gaussian quadrature melalui persamaan (8.13) 1,5 1 e x2 dx = e (t+5)2 16 dt (8.16) Kedua, Gaussian quadrature dihitung menggunakan konstanta-konstanta yang tercantum pada tabel polinomial Legendre. Untuk n = 2 1,5 1 e x2 dx 1 4 [ e ( (0, )2 /16) + e ( ( 0, )2 /16) ] = 0,

171 8.5. GAUSSIAN QUADRATURE 157 Untuk n = 3 1,5 1 e x2 dx 1 4 [(0, )e( (0, )2 /16) + (0, )e ( (5)2 /16) + (0, )e ( ( 0, )2 /16) ] = 0, Latihan Selesaikan integrasi berikut ini Selesaikan integrasi berikut ini 0,35 0 3,5 3 2 x 2 4 dx x x 2 4 dx

172 158 BAB 8. INTEGRAL NUMERIK Latihan 1. Hitunglah integral-integral berikut ini dengan metode Composite Simpson! a. b. c. d. e. f π/ xlnxdx, n = 4 2 x dx, n = 6 x x dx, n = 8 x 3 e x dx, n = 4 tan xdx, n = 8 1 x 2 4 dx, n = 8 2. Tentukan nilai n dan h untuk mengevaluasi 2 0 e 2x sin 3xdx dengan metode Composite Simpson, bila error yang ditolerir harus lebih kecil dari Dalam durasi 84 detik, kecepatan sebuah mobil balap formula 1 yang sedang melaju di arena grandprix dicatat dalam selang interval 6 detik: time(dt) speed(f t/dt) Gunakan metode integral numerik untuk menghitung panjang lintasan yang telah dilalui mobil tersebut selama pencatatan waktu di atas!

173 Bab 9 Mencari Akar Objektif : Mencari akar 9.1 Metode Newton Metode Newton sangat populer dan powerfull untuk mencari akar suatu fungsi yang kontinyu. Ada banyak jalan untuk memperkenalkan metode ini. Salah satunya bisa didahului mulai dari deret Taylor atau polinomial Taylor. Suatu fungsi yang kontinyu dapat dinyatakan dalam deret Taylor sebagai berikut f(x) = f( x) + (x x)f ( x) + (x x)2 f (ξ(x)) 2 0 = f( x) + (p x)f ( x) + (p x)2 f (ξ(p)) 2 0 = f( x) + (p x)f ( x) p x = f(x) f ( x) p x f(x) f ( x) p n = p n 1 f(p n 1) f (p n 1 ), n 1 159

174 Gambar 9.1: Metode Newton

175 Bab 10 Metode Monte Carlo Objektif : Mengenalkan metode Monte Carlo 10.1 Penyederhanaan Kita awali pembahasan metode Monte Carlo dengan mengetengahkan contoh yang sangat terkenal yaitu menghitung luas suatu lingkaran. Fugure 1 memperlihatkan lingkaran dengan radius r = 1 berada di dalam kotak bujursangkar. Luas lingkaran adalah πr 2 = π(1) 2 = π sementara luas bujursangkar adalah (2) 2 = 4. Rasio antara luas lingkaran dan luas bola adalah ρ = luas lingkaran luas bujursangkar = π 4 = 0, (10.1) Gambar 10.1: Lingkaran dan bujursangkar 161

176 162 BAB 10. METODE MONTE CARLO Jadi, dengan mengetahui nilai ρ, maka kita bisa menghitung luas lingkaran dengan cara luas lingkaran = ρ luas bujursangkar (10.2) Bayangkan anda punya satu set permainan dart. Anda lemparkan sejumlah dart ke arah lingkaran tadi. Misalnya, total dart yang menancap di papan dart ada 1024 buah. Sebanyak 812 dart berada di dalam lingkaran, dan yang lainnya di luar lingkaran. Rasio antara keduanya ρ = dart di dalam lingkaran total dart di dalam bujursangkar = 812 = 0, (10.3) 1024 Gambar 10.2: Dart yang menancap pada bidang lingkaran dan bujursangkar Dengan pendekatan ke persamaan (10.2) maka luas lingkaran adalah luas lingkaran = ρ luas bujursangkar = 0, = 3, Apakah angka ini make sense? Mungkin anda masih ragu. Sekarang mari kita coba hitung nilai π dengan mengacu pada rumus di atas. Kita sepakati saja bahwa dart yang berada di dalam lingkaran mesti memenuhi x 2 i + y2 i 1. Dalam perhitungan, semua dart diganti dengan bilangan acak (random number). Dari 1000 dart, yang masuk lingkaran ada 787 buah, sehingga, mengacu persamaan (10.3) ρ = 787 = 0, maka berdasarkan persamaan (10.1) π = ρ 4 = 0, = 3, 148

177 10.1. PENYEDERHANAAN 163 Gambar 10.3: Dart yang menancap pada bidang 1/4 lingkaran dan bujursangkar Lumayan akurat bukan? Semakin banyak jumlah dart, semakin akurat nilai π yang anda peroleh. Sekarang mari kita kembangkan metode Monte Carlo ini untuk menghitung luas suatu area yang terletak di bawah garis kurva suatu fungsi f(x). Atau sebut saja menghitung integral suatu fungsi f(x) yang dievaluasi antara batas a dan b. Luas kotak R yang melingkupi luas bidang integral A adalah R = {(x, y) : a x b dan 0 y d} (10.4) dimana d = maksimum f(x), a x b (10.5)

Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab-

Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab- Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab- Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.edu ) ( Email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi III Revisi terakhir tgl:

Lebih terperinci

SISTEM PERSAMAAN LINEAR DAN ELIMINASI GAUSS

SISTEM PERSAMAAN LINEAR DAN ELIMINASI GAUSS SISTEM PERSAMAAN LINEAR DAN ELIMINASI GAUSS Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com 5 Februari 2005 Abstract

Lebih terperinci

Komputasi untuk Sains dan Teknik

Komputasi untuk Sains dan Teknik Komputasi untuk Sains dan Teknik Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.edu ) ( Email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi II Revisi terakhir tgl: 12 Februari 2008 Departemen

Lebih terperinci

Metode Matematika untuk Geofisika

Metode Matematika untuk Geofisika Metode Matematika untuk Geofisika Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.ac.id ) ( Email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri9@gmail.com ) Edisi I Revisi terakhir tgl: Desember 009 Departemen

Lebih terperinci

Komputasi untuk Sains dan Teknik

Komputasi untuk Sains dan Teknik Komputasi untuk Sains dan Teknik Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.edu ) ( Email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi II Revisi terakhir tgl: 28 April 2008 Departemen

Lebih terperinci

MATRIK DAN KOMPUTASI

MATRIK DAN KOMPUTASI MATRIK DAN KOMPUTASI Penulis: Supriyanto, email: supri@fisika.ui.ac.id Staf Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia Fukuoka, 5 Feb 2005 Catatan ini bermaksud menjelaskan secara singkat

Lebih terperinci

Komputasi untuk Sains dan Teknik

Komputasi untuk Sains dan Teknik Komputasi untuk Sains dan Teknik Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc Edisi I Laboratorium Jaringan Komputer Departemen Fisika-FMIPA Univeristas Indonesia 2006 Untuk Muflih Syamil dan Hasan Azmi... Mottoku : Tenang,

Lebih terperinci

Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab-

Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab- Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab- Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.ac.id ) ( Email: supriyanto@sci.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi IV Revisi terakhir

Lebih terperinci

Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab-

Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab- Komputasi untuk Sains dan Teknik -Menggunakan Matlab- Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.ac.id ) ( Email: supriyanto@sci.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi Pertama Revisi terakhir

Lebih terperinci

LU DECOMPOSITION (FAKTORISASI MATRIK)

LU DECOMPOSITION (FAKTORISASI MATRIK) LU DECOMPOSITION (FAKTORISASI MATRIK) Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com 5 Februari 2005 Pada semua catatan

Lebih terperinci

Komputasi untuk Sains dan Teknik

Komputasi untuk Sains dan Teknik Komputasi untuk Sains dan Teknik Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.edu ) ( Email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi III Revisi terakhir tgl: 13 Oktober 2008 Departemen

Lebih terperinci

Komputasi untuk Sains dan Teknik

Komputasi untuk Sains dan Teknik Komputasi untuk Sains dan Teknik Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.edu ) ( Email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi III Revisi terakhir tgl: 9 Desember 2008 Departemen

Lebih terperinci

Komputasi untuk Sains dan Teknik

Komputasi untuk Sains dan Teknik Komputasi untuk Sains dan Teknik Supriyanto Suparno ( Website: http://supriyanto.fisika.ui.edu ) ( Email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com ) Edisi III Revisi terakhir tgl: 30 Agustus 2009 Departemen

Lebih terperinci

INVERS MATRIK DAN ELIMINASI GAUSS

INVERS MATRIK DAN ELIMINASI GAUSS INVERS MATRIK DAN ELIMINASI GAUSS Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com 5 Februari 2005 Secara umum, sistem

Lebih terperinci

METODE ITERASI DALAM SISTEM PERSAMAAN LINEAR

METODE ITERASI DALAM SISTEM PERSAMAAN LINEAR METODE ITERASI DALAM SISTEM PERSAMAAN LINEAR Penulis: Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc, email: supri@fisika.ui.ac.id Staf Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia Penulisan vektor-kolom Sebelum

Lebih terperinci

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas Semester Genap 2013/2014 1 Mahdhivan Syafwan Metode Numerik: Sistem Persamaan Linier

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Metode Langsung Metode Langsung Eliminasi Gauss (EGAUSS) Metode Eliminasi Gauss Dekomposisi LU (DECOLU),

PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Metode Langsung Metode Langsung Eliminasi Gauss (EGAUSS) Metode Eliminasi Gauss Dekomposisi LU (DECOLU), PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan yang melibatkan model matematika banyak muncul dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti dalam bidang fisika, kimia, ekonomi, atau pada persoalan rekayasa.

Lebih terperinci

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier

PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier PAM 252 Metode Numerik Bab 3 Sistem Persamaan Linier Mahdhivan Syafwan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Andalas Semester Genap 2016/2017 1 Mahdhivan Syafwan Metode Numerik: Sistem Persamaan Linier

Lebih terperinci

BAB 4 PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR

BAB 4 PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR BAB 4 PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR A. Latar Belakang Persoalan yang melibatkan model matematika banyak muncul dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti dalam bidang fisika, kimia, ekonomi,

Lebih terperinci

REGRESI LINEAR DAN ELIMINASI GAUSS

REGRESI LINEAR DAN ELIMINASI GAUSS REGRESI LINEAR DAN ELIMINASI GAUSS Penulis: Supriyanto, email: supri@fisika.ui.ac.id Staf Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia Diketahui data eksperimen tersaji dalam tabel berikut ini

Lebih terperinci

6 Sistem Persamaan Linear

6 Sistem Persamaan Linear 6 Sistem Persamaan Linear Pada bab, kita diminta untuk mencari suatu nilai x yang memenuhi persamaan f(x) = 0. Pada bab ini, masalah tersebut diperumum dengan mencari x = (x, x,..., x n ) yang secara sekaligus

Lebih terperinci

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) IKG2E3 KOMPUTASI NUMERIK Disusun oleh: PROGRAM STUDI S1 ILMU KOMPUTASI FAKULTAS INFORMATIKA TELKOM UNIVERSITY LEMBAR PENGESAHAN Rencana Semester (RPS) ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN METODE NUMERIK

PENDAHULUAN METODE NUMERIK PENDAHULUAN METODE NUMERIK TATA TERTIB KULIAH 1. Bobot Kuliah 3 SKS 2. Keterlambatan masuk kuliah maksimal 30 menit dari jam masuk kuliah 3. Selama kuliah tertib dan taat aturan 4. Dilarang makan dan minum

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. FisikaKomputasi i -FST Undana

KATA PENGANTAR. FisikaKomputasi i -FST Undana Disertai Flowchart, Algoritma, Script Program dalam Pascal, Matlab5 dan Mathematica5 Ali Warsito, S.Si, M.Si Jurusan Fisika, Fakultas Sains & Teknik Universitas Nusa Cendana 2009 KATA PENGANTAR Buku ajar

Lebih terperinci

MATA KULIAH ANALISIS NUMERIK

MATA KULIAH ANALISIS NUMERIK BAHAN AJAR MATA KULIAH ANALISIS NUMERIK Oleh: M. Muhaemin Muhammad Saukat JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2009 Bahan Ajar Analisis

Lebih terperinci

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menjelaskan cara penyelesaian soal dengan

Lebih terperinci

Yogyakarta, Maret 2011 Penulis. Supardi, M.Si

Yogyakarta, Maret 2011 Penulis. Supardi, M.Si PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kepada Alloh swt yang telah melimpahkan kasih sayangnya sehingga buku yang berjudul METODE NUMERIK dengan MATLAB ini dapat kami selesaikan penulisannya. Metode numerik

Lebih terperinci

Syarif Abdullah (G ) Matematika Terapan FMIPA Institut Pertanian Bogor.

Syarif Abdullah (G ) Matematika Terapan FMIPA Institut Pertanian Bogor. Syarif Abdullah (G551150381) Matematika Terapan FMIPA Institut Pertanian Bogor e-mail: syarif_abdullah@apps.ipb.ac.id 25 Maret 2016 Ringkasan Kuliah ke-6 Analisis Numerik (16 Maret 2016) Materi : System

Lebih terperinci

METODE NUMERIK SEMESTER 3 2 JAM / 2 SKS. Metode Numerik 1

METODE NUMERIK SEMESTER 3 2 JAM / 2 SKS. Metode Numerik 1 METODE NUMERIK SEMESTER 3 2 JAM / 2 SKS Metode Numerik 1 Materi yang diajarkan : 1. Pendahuluan - latar belakang - mengapa dan kapan menggunakan metode numerik - prinsip penyelesaian persamaan 2. Sistim

Lebih terperinci

BAB X MATRIK DAN SISTEM PERSAMAAN LINIER SIMULTAN

BAB X MATRIK DAN SISTEM PERSAMAAN LINIER SIMULTAN 1 BAB X MATRIK DAN SISTEM PERSAMAAN LINIER SIMULTAN Pembahasan berikut ini akan meninjau salah satu implementasi operasi matrik untuk menyelesaikan sistem persamaan linier simultan. Selain menggunakan

Lebih terperinci

Matriks - 1: Beberapa Definisi Dasar Latihan Aljabar Matriks

Matriks - 1: Beberapa Definisi Dasar Latihan Aljabar Matriks Matriks - 1: Beberapa Definisi Dasar Latihan Aljabar Matriks Kuliah Aljabar Linier Semester Ganjil 2015-2016 MZI Fakultas Informatika Telkom University FIF Tel-U Agustus 2015 MZI (FIF Tel-U) Matriks -

Lebih terperinci

RUNGE-KUTTA ORDE EMPAT

RUNGE-KUTTA ORDE EMPAT RUNGE-KUTTA ORDE EMPAT Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri9@gmail.com December 30, 00 Pada saat membahas metode Euler

Lebih terperinci

Interpolasi Cubic Spline

Interpolasi Cubic Spline Interpolasi Cubic Spline Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com December 13, 2006 Figure 1: Fungsi f(x) dengan

Lebih terperinci

SISTEM PERSAMAAN LINEAR ( BAGIAN II )

SISTEM PERSAMAAN LINEAR ( BAGIAN II ) SISTEM PERSAMAAN LINEAR ( BAGIAN II ) D. FAKTORISASI MATRIKS D2 2. METODE ITERASI UNTUK MENYELESAIKAN SPL D3 3. NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN D4 4. POWER METHOD Beserta contoh soal untuk setiap subbab 2

Lebih terperinci

Interpolasi dan Ekstrapolasi

Interpolasi dan Ekstrapolasi Interpolasi dan Ekstrapolasi JURNAL 01 Didalam pengertian matematika dasar, interpolasi adalah perkiran suatu nilai tengah dari satu set nilai yang diketahui. Interpoloasi dalam arti luas merupakan upaya

Lebih terperinci

ISBN. PT SINAR BARU ALGENSINDO

ISBN. PT SINAR BARU ALGENSINDO Drs. HERI SUTARNO, M. T. DEWI RACHMATIN, S. Si., M. Si. METODE NUMERIK DENGAN PENDEKATAN ALGORITMIK ISBN. PT SINAR BARU ALGENSINDO PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang

Lebih terperinci

Penggunaan Metode Numerik dan MATLAB dalam Fisika

Penggunaan Metode Numerik dan MATLAB dalam Fisika Tugas Akhir Mata Kuliah Metode Numerik Dr. Kebamoto Penggunaan Metode Numerik dan MATLAB dalam Fisika Oleh : A. Arif Sartono 6305220017 DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini dijelaskan metode Adams Bashforth-Moulton multiplikatif (M) orde empat beserta penerapannya. Metode tersebut memuat metode Adams Bashforth multiplikatif orde empat

Lebih terperinci

Matriks - Definisi. Sebuah matriks yang memiliki m baris dan n kolom disebut matriks m n. Sebagai contoh: Adalah sebuah matriks 2 3.

Matriks - Definisi. Sebuah matriks yang memiliki m baris dan n kolom disebut matriks m n. Sebagai contoh: Adalah sebuah matriks 2 3. MATRIKS Pokok Bahasan Matriks definisi Notasi matriks Matriks yang sama Panambahan dan pengurangan matriks Perkalian matriks Transpos suatu matriks Matriks khusus Determinan suatu matriks bujursangkar

Lebih terperinci

Prakata Hibah Penulisan Buku Teks

Prakata Hibah Penulisan Buku Teks Prakata Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadhirat Allah SwT, atas hidayah dan kekuatan yang diberikannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan buku Pengantar Komputasi Numerik dengan

Lebih terperinci

BAB 4 : SISTEM PERSAMAAN LINIER

BAB 4 : SISTEM PERSAMAAN LINIER BAB 4 : SISTEM PERSAMAAN LINIER 4.1 PERSAMAAN LINIER Misalnya x 2 Matematika analitik membicarakan ilmu ukur secara aljabar. Garis lurus pada bidang x 1 dan x 2 dapat dinyatakan sebagai persamaan a 1 x

Lebih terperinci

MODUL 3 FAKTORISASI LU, PARTISI MATRIK DAN FAKTORISASI QR

MODUL 3 FAKTORISASI LU, PARTISI MATRIK DAN FAKTORISASI QR MODUL 3 FAKTORISASI LU, PARTISI MATRIK DAN FAKTORISASI QR KOMPETENSI: 1. Memahami penggunaan faktorisasi LU dalam penyelesaian persamaan linear.. Memahami penggunaan partisi matrik dalam penyelesaian persamaan

Lebih terperinci

Solusi Persamaan Linier Simultan

Solusi Persamaan Linier Simultan Solusi Persamaan Linier Simultan Obyektif : 1. Mengerti penggunaan solusi persamaan linier 2. Mengerti metode eliminasi gauss. 3. Mampu menggunakan metode eliminasi gauss untuk mencari solusi 1. Sistem

Lebih terperinci

03-Pemecahan Persamaan Linier (2)

03-Pemecahan Persamaan Linier (2) -Pemecahan Persamaan Linier () Dosen: Anny Yuniarti, M.Comp.Sc Gasal - Anny Agenda Bagian : Matriks Invers Bagian : Eliminasi = Faktorisasi: A = LU Bagian : Transpos dan Permutasi Anny Bagian MATRIKS INVERS

Lebih terperinci

Part II SPL Homogen Matriks

Part II SPL Homogen Matriks Part II SPL Homogen Matriks SPL Homogen Bentuk Umum SPL homogen dalam m persamaan dan n variabel x 1, x 2,, x n : a 11 x 1 + a 12 x 2 + + a 1n x n = 0 a 21 x 1 + a 22 x 2 + + a 2n x n = 0 a m1 x 1 + a

Lebih terperinci

ISSN (Media Cetak) ISSN (Media Online) Implementasi Metode Eliminasi Gauss Pada Rangkaian Listrik Menggunakan Matlab

ISSN (Media Cetak) ISSN (Media Online) Implementasi Metode Eliminasi Gauss Pada Rangkaian Listrik Menggunakan Matlab JITEKH, Vol, No, Tahun 27, -5 ISSN 28-577(Media Cetak) ISSN 2549-4 (Media Online) Implementasi Metode Eliminasi Gauss Pada Rangkaian Listrik Menggunakan Matlab Silmi, Rina Anugrahwaty 2 Staff Pengajar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebuah garis dalam bidang xy secara aljabar dapat dinyatakan oleh persamaan yang berbentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebuah garis dalam bidang xy secara aljabar dapat dinyatakan oleh persamaan yang berbentuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sebagian besar dari sejarah ilmu pengetahuan alam adalah catatan dari usaha manusia secara kontinu untuk merumuskan konsep-konsep yang dapat menguraikan permasalahan

Lebih terperinci

Oleh Dr. Fahrudin Nugroho Dr. Iman Santosa

Oleh Dr. Fahrudin Nugroho Dr. Iman Santosa UNIVERSITAS GADJAH MADA PROGRAM STUDI FISIKA FMIPA Buku 1 : RPKPS (Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester) PEMROGRAMAN DAN METODE NUMERIK Semester 2/ 2 sks/ MFF 1024 Oleh Dr. Fahrudin Nugroho

Lebih terperinci

Studi dan Implementasi Integrasi Monte Carlo

Studi dan Implementasi Integrasi Monte Carlo Studi dan Implementasi Integrasi Monte Carlo Firdi Mulia - 13507045 1 Program Studi Teknik Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia

Lebih terperinci

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) UNIVERSITAS DIPONEGORO

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) UNIVERSITAS DIPONEGORO GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) UNIVERSITAS DIPONEGORO SPMI- UNDIP GBPP 10.09.04 PAF220 Revisi ke - Tanggal 13 September 2013 Dikaji Ulang Oleh Ketua Program Studi Fisika Dikendalikan Oleh GPM

Lebih terperinci

METODE FINITE-DIFFERENCE UNTUK PROBLEM LINEAR

METODE FINITE-DIFFERENCE UNTUK PROBLEM LINEAR METODE FINITE-DIFFERENCE UNTUK PROBLEM LINEAR Dr. Eng. Supriyanto, M.Sc Lab. Komputer, Departemen Fisika, Universitas Indonesia email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com November 12, 2006 Suatu

Lebih terperinci

Interpolasi dan Ekstrapolasi

Interpolasi dan Ekstrapolasi Metode Numerik Bab 1 Interpolasi dan Ekstrapolasi Didalam pengertian matematika dasar, interpolasi adalah perkiran suatu nilai tengah dari satu set nilai yang diketahui. Interpoloasi dalam arti luas merupakan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KOMPLEKSITAS ALGORITMA METODE-METODE PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN LANJAR

PERBANDINGAN KOMPLEKSITAS ALGORITMA METODE-METODE PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN LANJAR PERBANDINGAN KOMPLEKSITAS ALGORITMA METODE-METODE PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN LANJAR Achmad Dimas Noorcahyo NIM 3508076 Program Studi Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganeca 0, Bandung

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM FISIKA KOMPUTASI. Disusun Oleh:

MODUL PRAKTIKUM FISIKA KOMPUTASI. Disusun Oleh: MODUL PRAKTIKUM FISIKA KOMPUTASI Disusun Oleh: JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG 2017 i PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha

Lebih terperinci

METODE NUMERIK 3SKS-TEKNIK INFORMATIKA-S1. Mohamad Sidiq PERTEMUAN-1

METODE NUMERIK 3SKS-TEKNIK INFORMATIKA-S1. Mohamad Sidiq PERTEMUAN-1 METODE NUMERIK 3SKS-TEKNIK INFORMATIKA-S1 Mohamad Sidiq PERTEMUAN-1 KONTRAK KULIAH METODE NUMERIK TEKNIK INFORMATIKA S1 3 SKS Mohamad Sidiq MATERI PERKULIAHAN SEBELUM-UTS Pengantar Metode Numerik Sistem

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. yang diapit oleh dua kurung siku sehingga berbentuk empat persegi panjang atau

BAB II KAJIAN TEORI. yang diapit oleh dua kurung siku sehingga berbentuk empat persegi panjang atau BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan diberikan kajian teori mengenai matriks dan operasi matriks, program linear, penyelesaian program linear dengan metode simpleks, masalah transportasi, hubungan masalah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH NILAI EIGEN UNTUK PERSAMAAN DIFERENSIAL STURM-LIOUVILLE DENGAN METODE NUMEROV

PENYELESAIAN MASALAH NILAI EIGEN UNTUK PERSAMAAN DIFERENSIAL STURM-LIOUVILLE DENGAN METODE NUMEROV Buletin Ilmiah Mat. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 04, No. 3 (2015), hal 415-422 PENYELESAIAN MASALAH NILAI EIGEN UNTUK PERSAMAAN DIFERENSIAL STURM-LIOUVILLE DENGAN METODE NUMEROV Iyut Riani, Nilamsari

Lebih terperinci

BAB 4 Sistem Persamaan Linear. Sistem m persamaan linear dalam n variabel LG=C adalah himpunan persamaan linear

BAB 4 Sistem Persamaan Linear. Sistem m persamaan linear dalam n variabel LG=C adalah himpunan persamaan linear BAB 4 Sistem Persamaan Linear berbentuk Sistem m persamaan linear dalam n variabel LG=C adalah himpunan persamaan linear Dengan koefisien dan adalah bilangan-bilangan yang diberikan. Sistem ini disebut

Lebih terperinci

Menentukan Distribusi Temperatur dengan Menggunakan Metode Crank Nicholson

Menentukan Distribusi Temperatur dengan Menggunakan Metode Crank Nicholson Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomer 2(B) 13204 Menentukan Distribusi Temperatur dengan Menggunakan Metode Crank Nicholson Siti Sailah Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan,

Lebih terperinci

Pendahuluan

Pendahuluan Pendahuluan Pendahuluan Numerik dengan Matlab KOMPUTASI NUMERIK dengan MATLAB Oleh : Ardi Pujiyanta Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2007 Hak Cipta 2007 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Lebih terperinci

JAWABAN ANALITIK SEBAGAI VALIDASI JAWABAN NUMERIK PADA MATA KULIAH FISIKA KOMPUTASI ABSTRAK

JAWABAN ANALITIK SEBAGAI VALIDASI JAWABAN NUMERIK PADA MATA KULIAH FISIKA KOMPUTASI ABSTRAK JAWABAN ANALITIK SEBAGAI VALIDASI JAWABAN NUMERIK PADA MATA KULIAH FISIKA KOMPUTASI ABSTRAK Kasus-kasus fisika yang diangkat pada mata kuliah Fisika Komputasi akan dijawab secara numerik. Validasi jawaban

Lebih terperinci

Sidang Tugas Akhir - Juli 2013

Sidang Tugas Akhir - Juli 2013 Sidang Tugas Akhir - Juli 2013 STUDI PERBANDINGAN PERPINDAHAN PANAS MENGGUNAKAN METODE BEDA HINGGA DAN CRANK-NICHOLSON COMPARATIVE STUDY OF HEAT TRANSFER USING FINITE DIFFERENCE AND CRANK-NICHOLSON METHOD

Lebih terperinci

SISTEM PERSAMAAN LINEAR

SISTEM PERSAMAAN LINEAR SISTEM PERSAMAAN LINEAR BAB 1 Dr. Abdul Wahid Surhim POKOK BAHASAN 1.1 Pengantar Sistem Persamaan Linear (SPL) 1.2 Eliminasi GAUSS-JORDAN 1.3 Matriks dan operasi matriks 1.4 Aritmatika Matriks, Matriks

Lebih terperinci

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM Program Studi : Fisika Nama Mata Kuliah : ANALISIS NUMERIK Kode : FIS6236

Lebih terperinci

BAB III : SISTEM PERSAMAAN LINIER

BAB III : SISTEM PERSAMAAN LINIER 3.1 PENDAHULUAN BAB III : SISTEM PERSAMAAN LINIER Penyelesaian suatu sistem n persamaan dengan n bilangan tak diketahui banyak dijumpai dalam permasalahan teknik. Di dalam Bab ini akan dipelajari sistem

Lebih terperinci

BAB II ISI ( ) (sumber:

BAB II ISI ( ) (sumber: BAB II ISI A. Permasalahan yang Diberikan Soal saudara dalam UTS ini harus terus digunakan untuk mengerjakan tugas proyek ini, yaitu: prediksi sifat-sifat tekanan uap murni suatu fluida hidrokarbon sebagai

Lebih terperinci

METODE FINITEDIFFERENCE INTERVAL UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN PANAS

METODE FINITEDIFFERENCE INTERVAL UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN PANAS METODE FINITEDIFFERENCE INTERVAL UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN PANAS Aziskhan, Mardhika W.A, Syamsudhuha Jurusan MatematikaFMIPA Universitas Riau Abstract. The aim of this paper is to solve a heat equation

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) Mata Kuliah : Metode Numerik Bobot Mata Kuliah : 3 Sks Deskripsi Mata Kuliah : Unified Modelling Language; Use Case Diagram; Class Diagram dan Object Diagram;

Lebih terperinci

Penerapan Integrasi Numerik pada Medan Magnet karena Arus Listrik

Penerapan Integrasi Numerik pada Medan Magnet karena Arus Listrik Penerapan Integrasi Numerik pada Medan Magnet karena Arus Listrik Rianto Fendy Kristanto - 13507036 1 Program Studi Teknik Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa definisi dan teorema dengan atau tanpa bukti yang akan digunakan untuk menentukan regularisasi sistem singular linier. Untuk itu akan diberikan terlebih

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) Nama Mata Kuliah : Metode Numerik Kode Mata Kuliah : TI 016 Bobot Kredit : 3 SKS Semester Penempatan : III Kedudukan Mata Kuliah : Mata Kuliah Keilmuan Keterampilan Mata

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Efektivitas Efektivitas berasal dari kata efektif, yang merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu effective yang artinya berhasil. Menurut kamus ilmiah popular, efektivitas

Lebih terperinci

PERBANDINGAN BEBERAPA METODE NUMERIK DALAM MENGHITUNG NILAI PI

PERBANDINGAN BEBERAPA METODE NUMERIK DALAM MENGHITUNG NILAI PI PERBANDINGAN BEBERAPA METODE NUMERIK DALAM MENGHITUNG NILAI PI Perbandingan Beberapa Metode Numerik dalam Menghitung Nilai Pi Aditya Agung Putra (13510010)1 Program Studi Teknik Informatika Sekolah Teknik

Lebih terperinci

MATRIKS Matematika Industri I

MATRIKS Matematika Industri I MATRIKS TIP FTP UB Mas ud Effendi Pokok Bahasan Matriks definisi Notasi matriks Matriks yang sama Panambahan dan pengurangan matriks Perkalian matriks Transpos suatu matriks Matriks khusus Determinan suatu

Lebih terperinci

MATRIKS Matematika Industri I

MATRIKS Matematika Industri I MATRIKS TIP FTP UB Mas ud Effendi Pokok Bahasan Matriks definisi Notasi matriks Matriks yang sama Panambahan dan pengurangan matriks Perkalian matriks Transpos suatu matriks Matriks khusus Determinan suatu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 21 Analisis Regresi Perubahan nilai suatu variabel tidak selalu terjadi dengan sendirinya, namun perubahan nilai variabel itu dapat disebabkan oleh berubahnya variabel lain yang berhubungan

Lebih terperinci

Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial

Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Metode Beda Hingga untuk Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Ikhsan Maulidi Jurusan Matematika,Universitas Syiah Kuala, ikhsanmaulidi@rocketmail.com Abstract Artikel ini membahas tentang salah satu

Lebih terperinci

UJIAN AKHIR SEMESTER METODE NUMERIS I

UJIAN AKHIR SEMESTER METODE NUMERIS I PETUNJUK UJIAN AKHIR SEMESTER METODE NUMERIS I DR. IR. ISTIARTO, M.ENG. KAMIS, 8 JUNI 017 OPEN BOOK 150 MENIT 1. Saudara tidak boleh menggunakan komputer untuk mengerjakan soal ujian ini.. Tuliskan urutan/cara/formula

Lebih terperinci

MATRIKS. Dapat disimpan secara linier dan kontigu dengan dua alternatif sebagai berikut : a. Per baris

MATRIKS. Dapat disimpan secara linier dan kontigu dengan dua alternatif sebagai berikut : a. Per baris MATRIKS Matriks adalah sekumpulan informasi yang setiap individu elemennya terdefinisi berdasarkan dua buah indeks (yang biasanya dikonotasikan dengan baris dan kolom). Setiap elemen matriks dapat diakses

Lebih terperinci

Bagian 2 Matriks dan Determinan

Bagian 2 Matriks dan Determinan Bagian Matriks dan Determinan Materi mengenai fungsi, limit, dan kontinuitas akan kita pelajari dalam Bagian Fungsi dan Limit. Pada bagian Fungsi akan mempelajari tentang jenis-jenis fungsi dalam matematika

Lebih terperinci

BAB IV MENGHITUNG AKAR-AKAR PERSAMAAN

BAB IV MENGHITUNG AKAR-AKAR PERSAMAAN 1 BAB IV MENGHITUNG AKAR-AKAR PERSAMAAN Dalam banyak usaha pemecahan permasalahan, seringkali harus diselesaikan dengan menggunakan persamaan-persamaan matematis, baik persamaan linier, persamaan kuadrat,

Lebih terperinci

Operasi Eliminasi Gauss. Eliminasi Gauss adalah suatu cara mengoperasikan nilai-nilai di dalam

Operasi Eliminasi Gauss. Eliminasi Gauss adalah suatu cara mengoperasikan nilai-nilai di dalam Operasi Eliminasi Gauss Eliminasi Gauss adalah suatu cara mengoperasikan nilai-nilai di dalam matriks sehingga menjadi matriks yang lebih sederhana (ditemukan oleh Carl Friedrich Gauss). Caranya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 3) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan invers matriks. 4) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan determinan matriks

BAB I PENDAHULUAN. 3) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan invers matriks. 4) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan determinan matriks 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Teori matriks merupakan salah satu cabang ilmu aljabar linier yang menjadi pembahasan penting dalam ilmu matematika. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, aplikasi

Lebih terperinci

Bab 2 LANDASAN TEORI

Bab 2 LANDASAN TEORI 17 Bab 2 LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Matriks 2.1.1 Definisi Matriks Matriks adalah suatu kumpulan angka-angka yang juga sering disebut elemen-elemen yang disusun secara teratur menurut baris dan kolom sehingga

Lebih terperinci

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd Qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM METODE NUMERIK (MT318)

PETUNJUK PRAKTIKUM METODE NUMERIK (MT318) PETUNJUK PRAKTIKUM METODE NUMERIK (MT38) Oleh : Dewi Rachmatin, S.Si., M.Si. JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 9 Dewi Rachmatin PRAKTIKUM

Lebih terperinci

METODE ITERASI KSOR UNTUK MENYELESAIKAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR ABSTRACT

METODE ITERASI KSOR UNTUK MENYELESAIKAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR ABSTRACT METODE ITERASI KSOR UNTUK MENYELESAIKAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR Adek Putri Syafriani, Syamsudhuha 2, Zulkarnain 2 Mahasiswa Program Studi S Matematika 2 Dosen Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Matriks 1 Pengertian Matriks Definisi 21 Matriks adalah kumpulan bilangan bilangan yang disusun secara khusus dalam bentuk baris kolom sehingga membentuk empat persegi panjang

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan Metode Numerik Secara Umum

Bab 1. Pendahuluan Metode Numerik Secara Umum Bab 1. Pendahuluan Metode Numerik Secara Umum Yuliana Setiowati Politeknik Elektronika Negeri Surabaya 2007 1 Topik Pendahuluan Persoalan matematika Metode Analitik vs Metode Numerik Contoh Penyelesaian

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM METODE NUMERIK NAZARUDDIN

MODUL PRAKTIKUM METODE NUMERIK NAZARUDDIN MODUL PRAKTIKUM METODE NUMERIK NAZARUDDIN JURUSAN INFORMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2012 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 KATA PENGANTAR... 2 PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

8 MATRIKS DAN DETERMINAN

8 MATRIKS DAN DETERMINAN 8 MATRIKS DAN DETERMINAN Matriks merupakan pengembangan lebih lanjut dari sistem persamaan linear. Oleh karenanya aljabar matriks sering juga disebut dengan aljabar linear. Matriks dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

MOTIVASI. Secara umum permasalahan dalam sains dan teknologi digambarkan dalam persamaan matematika Solusi persamaan : 1. analitis 2.

MOTIVASI. Secara umum permasalahan dalam sains dan teknologi digambarkan dalam persamaan matematika Solusi persamaan : 1. analitis 2. KOMPUTASI NUMERIS Teknik dan cara menyelesaikan masalah matematika dengan pengoperasian hitungan Mencakup sejumlah besar perhitungan aritmatika yang sangat banyak dan menjemukan Diperlukan komputer MOTIVASI

Lebih terperinci

4. SISTEM PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN

4. SISTEM PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN 4. SISTEM PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN 4.1 Persamaan Garis a. Bentuk umum persamaan garis Garis lurus yang biasa disebut garis merupakan kurva yang paling sederhana dari semua kurva. Misalnya titik A(2,1)

Lebih terperinci

BAB IV. METODE SIMPLEKS

BAB IV. METODE SIMPLEKS BAB IV. METODE SIMPLEKS Penentuan solusi optimal menggunakan simpleks didasarkan pada teknik eliminasi Gauss Jordan. Penentuan solusi optimal dilakukan dengan memeriksa titik ekstrim (ingat kembali solusi

Lebih terperinci

(Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, / 66

(Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, / 66 MATRIKS Departemen Matematika FMIPA-IPB Bogor, 2012 (Departemen Matematika FMIPA-IPB) Matriks Bogor, 2012 1 / 66 Topik Bahasan 1 Matriks 2 Operasi Matriks 3 Determinan matriks 4 Matriks Invers 5 Operasi

Lebih terperinci

oleh : Edhy Suta tanta

oleh : Edhy Suta tanta ALGORITMA TEKNIK PENYELESAIAN PERMASALAHAN UNTUK KOMPUTASI oleh : Edhy Sutanta i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga buku

Lebih terperinci

Solusi Numerik Sistem Persamaan Linear

Solusi Numerik Sistem Persamaan Linear Solusi Numerik Sistem Persamaan Linear Modul #2 Praktikum AS2205 Astronomi Komputasi Oleh Dr. Muhamad Irfan Hakim Program Studi Astronomi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan, polusi yang ada di sungai disebabkan oleh limbah dari pabrikpabrik dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk

Lebih terperinci

KAJIAN DISKRETISASI DENGAN METODE GALERKIN SEMI DISKRET TERHADAP EFISIENSI SOLUSI MODEL RAMBATAN PANAS TANPA SUKU KONVEKSI

KAJIAN DISKRETISASI DENGAN METODE GALERKIN SEMI DISKRET TERHADAP EFISIENSI SOLUSI MODEL RAMBATAN PANAS TANPA SUKU KONVEKSI KAJIAN DISKRETISASI DENGAN METODE GALERKIN SEMI DISKRET TERHADAP EFISIENSI SOLUSI MODEL RAMBATAN PANAS TANPA SUKU KONVEKSI Suhartono dan Solikhin Zaki Jurusan Matematika FMIPA UNDIP Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

Pendahuluan Metode Numerik Secara Umum

Pendahuluan Metode Numerik Secara Umum Pendahuluan Metode Numerik Secara Umum Umi Sa adah Politeknik Elektronika Negeri Surabaya 2012 Pendahuluan Persoalan yang melibatkan model matematika banyak muncul dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan

Lebih terperinci