Model Simplektik. Anton Wiranata

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Model Simplektik. Anton Wiranata"

Transkripsi

1 Model Simplektik Anton Wiranata Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Fisika Depok 2004

2 Model Simplektik Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh: Anton Wiranata Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Fisika Depok 2004

3 Halaman Persetujuan Skripsi : Model Simplektik Nama : Anton Wiranata NPM : Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui Pembimbing I Pembimbing II Dr. Chairul Bahri Dr. Terry Mart Penguji I Penguji II Dr. L.T.Handoko Dr. Anto Sulaksono i

4 Persembahanku Untuk Yang selalu memperhatikan ku Walau kadang aku melupakan Nya Yang selalu membimbing ku menyelami dalam ilmu Nya ii

5 Kata Pengantar Semakin banyaknya fenomena-fenomena yang terjadi di dalam suatu nukleus, yang mana tidak dapat dijelaskan lagi dengan menggunakan pemodelan yang ada saat ini, maka menuntut adanya suatu pemodelan yang bersifat lebih umum lagi dari model sebelumnya. Dengan memperumum suatu teori maka akan muncul berberapa obsevable baru yang tidak terlihat sebelumnya dengan menggunakan model yang lama. Model baru ini akan berbasis pada Teori Grup, adapun grup yang digunakan disini adalah grup Sp(3,R) yang merupakan grup dinamis. Karena luasnya cakupan grup yang akan dibahas dan juga keterbatasan waktu dan kemampuan yang dimiliki penulis, penulis hanya akan menentukan dua operator dan juga relasi komutasi yang terjadi antara dua operator tersebut. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Chairul Bahri dan Dr. Terry Mart yang sudah mau menjadi pembimbing skripsi. Penulis juga tak lupa akan ide-ide, dorongan semagat, dan peminjaman buku, serta jawaban dari pertanyaan yang saya tidak mengerti yang diberikan oleh Dr. LT Handoko dan juga Dr. Anto Sulaksono. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu yang namanya tidak bisa disebutkan satu-persatu. Hasil karya ini tidaklah sempurna. Penulis menerima saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca. Depok, Anton Wiranata iii

6 Intisari Abstrak Model Simplektik adalah suatu model mikroskopik yang berdasarkan atas Aljabar Lie (Lie Algebra) sp(3,r) yang berasal dari group non-compact lengkap Symplectic Group Sp(3,R). Salah satu kegunaan grup Sp(3,R) adalah sebagai suatu grup dinamik untuk Model Kolektif (Collective Model). Model Simplektik diusulkan sebagai suatu model aljabar terkecil yang memiliki momen kuadrupol Q ij dan energi kinetik total. Karena Model Simplektik mampu menghubungkan model fenomonologis dan formulasi secara teori, maka model ini merupakan suatu teori yang penting dalam mempelajari struktur nuklir, dan model ini juga mampu menjelaskan fenomonologis model kolektif secara mikroskopik. Hal ini bahkan lebih baik lagi dijelaskan dengan menggunakan Model Shell Simplektik Abstract Symplectic model is a microscopic collective model whose basic observables belong to Lie Algebra sp(3,r) of the non-compact symplectic group Sp(3,R). The Symplectic model can be used as a dynamical group for collective model. The Symplectic model was proposed as the smallest algebraic model whose Lie Algebra contains both the quadrupole moment Q ij and total kinetic energy. It is because of its relationships, both phenomenological models and microscopic theory, that the symplectic model is important in the theory of Nuclear structure, and also can interpret and defect the phenomenological collective model in microscopic terms. This is even more true of the symplectic shell model. iv

7 Daftar Isi Halaman Persetujuan Kata Pengantar Intisari Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel i iii iv v vi vii 1 Pendahuluan Latar Belakang Metode Penelitian Tujuan Penelitian Sistematika Penulisan Tinjauan Pustaka Teori Grup Definisi Grup Subgrup Isomorpisme dan Homomorpisme Grup Simpel dan Semi-Simpel Grup Simetri Grup Lie Generator Kekompakan(Compactness) v

8 2.3 Grup Dinamis Model ROT(3) Model SU(3) Model U(3)-Phonon Hasil dan Pembahasan Simplektik Grup Arti Fisis Limit Kontraksi dari Model Simplektik Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Saran A Pembuktian Matematis 24 A.1 Relasi komutasi B dan A A.2 Relasi Komutasi C dan B A.3 Relasi Komutasi C dan A A.4 Relasi Komutasi Tambahan A.5 Komutasi X 3 dan X A.6 Beberapa Relasi Komutasi Tambahan A.7 X 3 dan X 4 Pada Saat Kontraksi Bibliografi 38 vi

9 Daftar Gambar vii

10 Daftar Tabel viii

11 Bab 1 Pendahuluan Seperti kita ketahui di dalam Mekanika Kuantum, fungsi gelombang suatu partikel mengandung semua informasi tentang partikel tersebut (misalnya kecepatan, momentum, energi dan yang lainnya). Jadi apabila kita ingin mengetahui karakteristik suatu nukleus yang terdiri dari banyak nukleon-nukleon penyusun, kita harus mengetahui fungsi gelombang dari masing-masing nukleon tersebut. Tapi hal ini dapat dilakukan dengan baik hanya untuk nukleus ringan (jumlah nukleonnya sedikit), sedangkan untuk nukleus berat, kita harus menggunakan berbagai pendekatan dan juga banyak asumsi yang dipakai, hal ini dikarenakan kita harus mendefinisikan semua fungsi gelombang untuk masing-masing nukleon, hal ini menyulitkan dikarenakan adanya interaksi banyak partikel. Dalam hal inilah diperlukan adanya suatu pemodelan nukleus, yang akan menjelaskan tentang sifat-sifat dari nukleus dengan menganalogikan nukleus dengan sesuatu yang sudah kita kenal dengan baik dan memiliki sifat menyerupai nukleus. Dalam membuat suatu model, hampir tidak ada suatu model yang dapat menjelaskan keseluruhan sifat nukleus, suatu model hanya dapat dengan baik menjelaskan sebagian kecil dari sifat nukleus tersebut. Dalam penjelasan tentang sifat dari nukleus tersebut, terdapat dua penjelasan utama tentang model nuklir tersebut, ada model yang menganalogikan nukleon di dalam nukleus menyerupai partikel bebas (independent partikel) sebagai contoh Model Fermi dan Model Shell. Model yang kedua menganggap nukleon yang terdapat di dalam nukleus memiliki sifat-sifat kolektif, sebagai contoh Model Tetes Cairan, Model Rotasi, Model Vibrasi dan lain-lain. Tentu saja kedua cara pendekatan ini memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. 1

12 1.1 Latar Belakang Dengan adanya kedua model yang menjelaskan nukleus dengan pendekatan yang berbeda (dengan pemodelan partikel bebas dan dengan pemodelan sifat kolektip nukleon), dimungkinkan adanya suatu model yang lebih umum, yang dapat mengakomodir kedua model tersebut sebagai submodelnya. Muncullah suatu model yang disebut dengan Model Simplektik yang merupakan model gabungan (unified model), yang berbasiskan grup Sp(3,R). Dengan menggunakan model ini, dimungkinkan menjelaskan sifat-sifat suatu nukleus dengan menggunakan aljabar. Aljabar didapat dengan menggunakan relasi komutasi masing-masing elemen grup. Keuntungan menggunakan aljabar adalah suatu model akan dapat menjelaskan permasalahan mikroskopis suatu nukleus 1.2 Metode Penelitian Penelitian yang dikerjakan ini bersifat teoritis, sehingga kita memerlukan kerangka teoritis yang sudah diakui kebenarannya, yaitu model-model standar yang telah ada. Model-model standar ini yang merupakan submodel dari model simplektik. Model Simplektik akan menjadi submodelnya apabila terjadi kontraksi dari variabel-variabel tertentu. Karena penelitian ini bersifat teoritis, maka diperlukan sumber informasi yang langsung tepat mengenai sasaran topik penelitian. Sumber informasi ini diperoleh dari buku dan jurnal. 1.3 Tujuan Penelitian Karena grup yang dipakai disini adalah bukanlah grup simetri tetapi adalah grup dinamis Sp(3,R) yang bersifat tidak kompak. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut. Kita mencari a complete set of commuting operators (CSCO) dari struktur grup yang kita minati. Proyek ini sendiri tentu akan memakan waktu yang lama, oleh karena itu kita mencari sekurang-kurangnya dua dari CSCO (jadi nggak complete lagi) yang tidak trivial dari model simplektik. Lebih khususnya akan dibuktikan bahwa [X 4, X 3 = 0 2

13 setelah mengetahui relasi komutasi antara kedua operator tersebut, akan dicari pengertian fisis dari kedua operator tersebut. 1.4 Sistematika Penulisan Tulisan ini terbagi menjadi empat bab. Bab 1 berisikan latar belakang penelitian ini serta metode penelitian yang digunakan. Tinjauan pustaka terdapat pada Bab 2. Pada bab ini berisi tentang apa itu Teori grup, grup simetri dan grup dinamis, disini juga akan dijelaskan beberapa model aljabar yang terdahulu. Pada bab 3 dibahas mengenai hasil dan pembahasan, akan terdapat perhitungan komutasi antara operator X 3 dan X 4, serta bagaimana batasan-batasan yang berlaku pada keduanya. Pada bab 4, diberikan mengenai kesimpulan dari perhitungan yang didapat dan saran untuk penelitian lebih lanjut. 3

14 Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Teori Grup Teori Grup adalah suatu cabang dalam fisika yang mempelajari tentang simetri. Simetri adalah sifat alami yang ada dalam fisika. Sifat simetri yang dimiliki suatu sistem fisika dapat diketahui dari invarian tidak nya lagrangian dan hamiltonian nya terhadap suatu transformasi. Ketika tranformasi yang digunakan membentuk suatu grup, maka akan lebih menguntungkan mempelajari sistem tersebut dengan menggunakan Teori Grup Definisi Grup Suatu himpunan G dari transformasi g akan membentuk suatu grup, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1. Terdapat relasi tertutup (closure) g 1 ɛ G, g 2 ɛ G g 1 g 2 = g ɛ G (2.1) 2. Terdapat relasi associative; untuk semua g 1, g 2, g 3 ɛ G, (g 1 g 2 )g 3 = g 1 (g 2 g 3 ) (2.2) 3. Memiliki elemen identitas e, yang juga merupakan anggota dari grup itu juga g e = e g = g (2.3) 4

15 4. Memiliki elemen inverse g 1 yang juga merupakan anggota dari grup itu juga gg 1 = g 1 g = e (2.4) Sifat komutative bukanlah suatu keharusan dalam grup, tapi apabila ada suatu grup yang memiliki sifat komutatip dengan ab = ba (dengan a, b merupakan elemen dari grup) maka grup tersebut adalah grup abelian, sedangkan suatu grup yang memenuhi persyaratan 1 sampai 4 disebut sebagai grup abstract Subgrup Elemen dari grup diskrit atau kontinu G dapat diambil suatu subset H yang dapat ditulis dengan H G atau G H (2.5) yang menunjukan bahwa H adalah subset yang berada dalam G. Jika H itu juga membentuk grup maka H disebut sebagai subgrup dari G. Setiap grup memiliki dua subgrup yang disebut dengan subgrup Improper, pertama adalah elemen identitas, dan yang kedua adalah grup itu sendiri secara keseluruhan. Subgrup yang lain disebut dengan grup proper. Secara umum, suatu grup terhingga G yang berorde N memiliki subgrup H yang berorde N h maka N = hn h (2.6) dengan h adalah suatu bilangan bulat positip yang disebut dengan index dari subgrup H Isomorpisme dan Homomorpisme Dua buah grup G dan G dikatakan Isomorfisme jika terdapat relasi satu-satu antara elemen-elemen kedua grup tersebut. Grup-grup yang isomorfisme memiliki struktur yang sama satu sama lain. Sedangkan suatu grup G dikatan homomorpisme dengan grup G jika untuk setiap g G terdapat sebuah g G, dan untuk setiap G terdapat paling sedikit satu g sehingga untuk g 1 g 2 = g terdapat relasi g 1 g 2 = g. Lambang yang dipakai adalah G G. 5

16 2.1.4 Grup Simpel dan Semi-Simpel Jika H adalah subgrup dari G, H G. Maka H adalah subgrup invariant dari G jika memiliki semua elemen konjugasi berada dalam H ghg H untuk semua g G dan h H (2.7) hal ini sama, jika dituliskan dalam bentuk gh = Hg (2.8) nama lain yang dapat dipakai untuk H adalah self-conjugate subgrup, normal subgrup, atau normal divisor. Salah satu sifat suatu subgrup invarian adalah elemen-elemennya menjadi juga elemen dari satu atau beberapa kelas yang lenkap (kelas adalah sekumpulan dari konjugasi elemen untuk suatu elemen tertentu dari suatu grup, yang mana setiap elemen dari kelas saling konjugate satu sama lain). Dengan kata lain kelas-kelas dari gabungan G = C 1 C 2... C K (2.9) yang membentuk suatu grup yang akan memberikan suatu subgrup yang invarian H dari G. Suatu grup dikatakan simpel jika grup tersebut bukan abelian dan tidak memiliki proper invarian subgrup. Karena setiap grup abelian adalah invarian, suatu grup abelian dikatakan simpel jika dan hanya jika tidak memiliki subgrup proper. Suatu grup dikatakan semi-simpel jika tidak satupun dari invarian subgrupnya yang abelian. Jadi dapat dilihat bahwa suatu grup yang simpel juga merupakan grup semi-simpel Grup Simetri Sifat simetri dari suatu sistem fisika dapat diketahui dari sifat lagrangian atau hamiltonian atau bisa juga dibilang persamaan gerak dari sistem tersebut terhadap suatu transformasi. Apabila hamiltonian dari sistem tersebut ternyata invarian terhadap suatu transformasi dan transformasi tersebut ternyata membentuk grup maka grupnya disebut dengan grup simetri. Perlu dibedakan bahwa grup simetri berbeda dengan grup simetrik. grup simetrik ini digunakan untuk membahas partikel yang identik, tidak bisa dibedakan. 6

17 Hal ini dikarenakan dalam mekanika kuantum, partikel identik, ini berarti harga ekspektasi dari sistem tidak berubah apabila terjadi pertukaran partikel. Pertukaran partikel ini dilambangkan dengan permutasi dari partikel. Semua kemungkinan permutasi partikel yang bisa terjadi membentuk suatu grup yang disebut dengan grup simetrik. 2.2 Grup Lie Grup kontinu memainkan peranan penting dalam fisika. Mereka memilki elemen grup yang tak berhingga, berbeda halnya dengan grup terbatas (finite grup) Grup yang memiliki elemen tak berhingga dibagi menjadi dua jenis : diskrit dan kontinu. Pada jenis yang pertama, elemen grupnya dapat dihitung. Sedangkan jenis yang kedua, elemen grupnya tidak dapat dihitung. Untuk dapat memahami jenis yang kedua, maka perlu dikaitkan dengan grup diskrit, karena yang aljabarnya diketahui dengan baik adalah grup diskrit. Untuk keperluan tersebut maka diperkenalkanlah suatu konsep ruang abstrak (grup manifold), dimana setiap titik a berhubungan tepat dengan satu elemen grup g a a g a (2.10) atau dapat dikatakan bahwa perkalian g c = g a g b akan mendefinisikan suatu fungsi phi dari ruang abstrak, dengan c = φ(a; b) (2.11) dengan nilai a, b, c,... memiliki nilai yang diskrit Suatu grup kontinu dimana elemen-elemen grupnya dapat dilabelkan sebagai suatu kumpulan parameter real terhingga yang secara kontinu bervariasi maka grup tersebut adalah Grup Lie. Ide dasar dari Shopus Lie adalah dengan menganggap suatu transformasi terhingga dapat terjadi dari suatu urutan transformasi yang tak berhingga. Karena adanya transformasi dengang tetangga terdekat, maka grup kontinu dapat dipelajari secara keseluruhan dapat dilakukan dengan menggunakan transformasi infinitesimal, dimana struktur dari seluruh grup dapat ditentukan dengan mempelajari struktur lokal dekat elemen identitas. Maka dapat dituliskan x = f(x 0 ; a) dan x = f(x; 0) (2.12) 7

18 jika terdapat suatu transformasi x + dx = f(x 0 ; a + da) (2.13) diperkenalkan suatu parameter transformasi δa maka persamaan diatas dapat dituliskan kemudian dapat dituliskan persamaan ( ) f(x; a) dx = a σ x + dx = f(x; δa) (2.14) a=0 akan diperkenalkan suatu notasi baru ( ) f(x; a) u i σ(x) = a σ a σ (2.15) a=0 maka kita dapat menuliskan persamaan (2.15) dengan Generator (2.16) dx i = u i σ (x) aσ (2.17) Generator adalah suatu elemen yang sangat penting dari Grup Lie. Misalnya terdapat suatu fungsi F dari koordinat x i, yang memiliki transformasi infinitesimal x i x i + dx i akan mengubah F menjadi df = F x i dxi = δa σ u i F σ x = i δaσ X σ F (2.18) dengan X σ = u i σ (2.19) x i parameter inilah yang disebut dengan operator infinitesimal atau generator dari transformasi grup Generator dari grup memenuhi relasi komutasi sebagai berikut [X κ, X δ = c τ κδ X τ (2.20) dengan c τ κδ adalah struktur konstan dari grup. 8

19 2.2.2 Kekompakan(Compactness) Transformasi infinitesimal yang memparameterisasi elemen grup tetangga dengan elemen identitas merupakan sifat lokal dari grup. Terdapat juga sifat global dari grup yang juga sangat penting adalah kekompakan(compactness). Untuk mengetahui jenis dari Grup Lie berdasarkan sifat ini, maka digunakan teori Heine-Bowel, yang mengatakan bahwa suatu subset dari titik-titik yang berada dalam suatu dimensi ruang Euclidian adalah kompak jika dan hanya jika ini tertutup dan terikat. Suatu himpunan dikatakan terikat jika himpunan tersebut berada dalam suatu bagian terhingga dari suatu ruang. Sehingga dalam ruang Euclidian setiap himpunan yang memiliki daerah terbatas adalah kompak, dan yang memiliki daerah yang tak terbatas adalah tidak kompak. Suatu himpunan titik yang berada dalam suatu interval [a, b dikatakan tertutup jika dan hanya jika kedua ujung dari inteval (a, b) dapat dicapai. Dengan menggunakan bahasa grup teori suatu grup terhubung (connected grup) berarti bahwa kita dapat mencapai elemen identitas dari grup tersebut dengan menggunakan parameterisasai dari parameter real. Kesimpulannya suatu grup Lie dikatakan kompak jika parameter-parameternya a 1, a 2, a 3,..., a r terrentang pada daerah atau interval yang terbatas. Kebanyakan grup dalam fisika adalah grup yang kompak. Suatu grup Lie dikatakan tidak kompak karena grup tersebut memiliki himpunan dari parameter-parameter yang terrentang pada interval yang tak terbatas dan makanya dia tak terikat. Perbedaan sifat grup Lie berdasarkan kompak dan tidak kompaknya ini akan menimbulkan perbedaan teori pada representasi dari kedua grup tersebut. Suatu grup Lie yang kompak akan memiliki sifat yang hampir sama dengan grup terhingga, sehingga representasi dari grup Lie yang kompak akan memiliki representasi yang berdimensi berhingga dan besifat unitary, sedangkan untuk grup Lie yang tidak kompak akan memiliki representasi yang berdimensi tak berhingga dan tidak lagi bersifat unitary. 9

20 2.3 Grup Dinamis Grup dinamis berbeda dengan grup simetri dalam hal yang mana mengalami invariant apabila dilakukan suatu transformasi. Jika pada grup simetri yang invariant adalah hamiltonian dari sistemnya, sedangkan pada grup dinamis yang invarian adalah casimir operator dari sistem tersebut. Grup dinamis juga mempunyai aljabar Lie yang disebut dengan spectrum generating algebra atau aljabar dinamis. Suatu aljabar Lie g dapat dikatakan sebagai suatu spektrum generating aljabar untuk suatu hamiltonian H jika H dinyatakan dalam suatu polynomial elemen grup g. Terdapat beberapa keuntungan alasan mengapa digunakan grup dinamis dan aljabar dinamis adalah karena model ini mudah dihitung, dapat menentukan fungsi basis, dan menghitung elemen matriknya. Sifat-sifat fisika suatu sistem dapat ditentukan dengan menggunakan Grup Dinamis G. Sering juga G merupakan grup Lie berdimensi terhingga, yang mana Aljabar Lie dibentuk oleh sekumpulan operator X i dengan i = 1, 2,..., n, = dim(g), yang merupakan generator dari G. Sifat dinamis dari suatu sistem ditentukan dengan menentukan suatu hamiltonian. Hamiltonian tersebut merupakan fungsi X, yang mana hamiltonian tersebut dapat dinyatakan dalam H(X) = A (0) I + A (1) i X i + 1 2! A(2) ij X ix j + 1 3! A(3) ijk X ix j X k +... (2.21) Jika suatu sistem memiliki grup simetri H G maka hamiltoniannya akan simetri jika dilakukan transformasi dengan menggunakan H. Hamiltonian haruslah merupakan penjumlahan skalar-skalar H dari U(G);yaitu adalah operator yang bertransformasi oleh operator identitas γ e (H) dari H. penentuan skalar H dalam U(G) dapat ditentukan dengan menggunakan algoritma sederhana : 1. Tentukan Γ d (G), representasi G yang ada dalam U(G). 2. Tentukan jumlah berapa kali γ e (H) terjadi dalam Γ d (G) dengan pembatasan dari G ke H. 3. Operator basis untuk setiap γ e (H) adalah skalar H dalam U(G). Jika suatu subgrup dari grup dinamis memiliki simetri grup di dalamnya (H G i G), operator invarian G i (casimir invariant) adalah skalar H yang berada dalam U(G). 10

21 Algoritma yang digunakan di dalam perhitungan grup dinamis sangat susah untuk dilakukan dalam kenyataannya, maka diperlukan beberapa penyederhanaan dan pendekatan 2.4 Model ROT(3) Salah satu keuntungan menyatakan model kollektip dengan menggunakan sukusuku aljabar adalah untuk mendapatkan interpretasi mikroskopiknya. Hal inilah yang tidak dapat dipenuhi oleh model sebelumnya, karena terdapat beberapa parameter yang tidak memiliki gambaran mikroskopiknya. Dalam model phenomonologis permasalahan tersebut dapat diatas dengan mudah, karena parameter yang tidak diketahui diberlakukan sebagai suatu suku yang dapat disesuaikan. Sedangkan untuk mendapatkan gambaran mikroskopisnyan, perlu diketahui fungsi gelombangnya, untuk mengetahui fungsi gelombangnya diperlukan gambaran parameter tersebut sebagai operator. Adapun operator yang membentuk aljabar dari model rot(3) adalah operator momentum angular dan operator quadrupole, yang memenuhi relasi komutasi [ˆL k, ˆL k = 2(1k, 1k 1k + 1k )L 1k+1k (2.22) [ˆL k, ˆQ 2ν = 2(1k, 2ν 2ν + k)q ν+k (2.23) [ ˆQ 2ν, ˆQ 2ν = 0 (2.24) 2.5 Model SU(3) Model ini merupakan model nuklir pertama yang dijelaskan dengan aljabar, dan menggunakan grup dinamis. Model SU(3) merupakan salah satu dari tiga model mikroskopik model rotor, dimana yang lainnya adalah model ROT(3) oleh Ui, dan Model SL(3,R) oleh Wiever dan Biedenharn. Sebenarnya spektrum generating aljabarnya dari ketiga model tersebut sama, masing-masing dibentuk oleh operator momemtum angular{l k ; k = 0, ±1} dan operator quadrupole {Q 2ν ; ν = 0, ±1, ±2} dan semua memenuhi relasi komutasi sebagai berikut [ˆL k, ˆL k = 2(1k, 1k 1k + 1k )L 1k+1k (2.25) [ˆL k, ˆQ 2ν = 2(1k, 2ν 2ν + k)q ν+k (2.26) 11

22 yang membedakan hanyalah relasi komutasi pada [ ˆQ 2ν, ˆQ 2ν = 3 3α 2 (2µ, 2ν 1µ + ν)l µ+ν (2.27) dimana [ ˆQ 2ν, ˆQ 2ν = 0 untuk rot(3) (2.28) sedangkan [ ˆQ 2ν, ˆQ 2ν = 3 3α 2 (2µ, 2ν 1µ + ν)l µ+ν untuk su(3) (2.29) sedangkan [ ˆQ 2ν, ˆQ 2ν = 3 3α 2 (2µ, 2ν 1µ + ν)l µ+ν untuk sl(3,r) (2.30) dan juga su(3) bersifat compact, tapi rot(3) dan sl(3,r) bersifat noncompact, hal ini berarti bahwa representasi dari su(3) berdimensi berhingga, sedangkan untuk rot(3) dan sl(3,r) berdimensi tak berhingga. ROT(3) adalah model yang memiliki hubungan paling dekat dengan model phenomonologis, secara prinsip model ini menyediakan suatu mekanisme unuk menggabungkan model rotor phenomonologis dengan fungsi gelombang mikroskopik, sehingga nantinya akan didapat parameter-parameter dari teori mikroskopiknya. Karena ROT(3) bersifat non-compact jadi memiliki dimensi tak berhingga, maka bisa dilakukan pendekatan dengan memotong model perhitungannya menjadi dimensi terhingga. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan proyeksi ROT(3) SU(3) 2.6 Model U(3)-Phonon Model U(3)phonon merupakan model aljabar yang juga menggunakan grup dinamis yang sama yang digunakan oleh model Bohr ([HW(6)U(3)), tapi model ini memiliki representasi yang lebih umum Peredaannya dengan model Bohr adalah pada penggunaan fungsi keadaan dasarnya. Jika pada model Bohr fungsi keadaan dasarnya adalah 0, maka pada model U(3) menggunakan σα dengan σ adalah bilangan quantum U(3), yang terdiri dari σ = {σ 1, σ 2, σ 3 } Fungsi keadaan dasar akan sama dengan nol, jika dikerjakan padanya operator pemusnah a lm σα = 0 (2.31) 12

23 Dalam model U(3)-phonon terdapat operator pemusnah dan pencipta monopole (s, s ), serta juga terdapat operator pemusnah dan pencipta qudropole (d 2ν, d 2ν ). Kedua operator tersebut memenuhi relasi komutasi sebagai berikut [s, s = 1 (2.32) dan [d 2ν, d 2µ = δ νµ (2.33) operator pencipta dan pemusnah quadrupole didefinisikan sebagai berikut Bω d 2µ = 2 h (ˆq µ i Bω ˆπ µ) (2.34) Bω d 2µ = 2 h (ˆq µ + i Bω ˆπ µ) (2.35) dengan ˆq µ adalah operator koordinat kolektip, dan ˆπ µ adalah operator momentum, yang didefinisikan sebagai ˆq µ = q µ, ˆπ µ = i q µ (2.36) yang memenuhi relasi komutasi [ˆq µ, ˆπ ν = i hδ µν (2.37) sedangkan B adalah parameter inertia yang kalau diperhatikan menyerupai suku massa pada osilator harmonik, dan nilai B adalah B = ρmr5 0 λ (2.38) 13

24 Bab 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Simplektik Grup Grup Simplektik Sp(3,R) adalah suatu grup non-compact. Kegunaan dari Sp(3,R) sebagai suatu grup dinamik dari kolektip model susah diselidiki dikarenakan berkerja dengan representasi ruang yang memiliki dimensi yang tak berhingga dan juga karena ini merupakan grup yang non-compact. Dalam bentuk sederhana, Model Simplektik adalah suatu model kolektip dengan sembilan derajat kebebasan yang terdiri dari enam vibrasi giant monopolequadrupole ditambah dengan tiga derajat kebebasan vortek spin. Di dalam Model simplektik terdapat model irrotational-flow sebagai suatu submodelnya, berbeda halnya dengan Bohr-Mottelson-Frankfurt yang memiliki lima derajat kebebasan vibrasi quadrupole yang digunakan untuk menjelaskan rotasi dan vibrasi beta dan gamma. Untuk menjelaskan vibrasi beta dan gamma di dalam model simplektik, harus diperhatikan beberapa pita dari berbagai keadaan dan membiarkannya becampur. Model simplektik adalah memiliki kemampuan untuk menghubungkan model penomenologis dengan perhitungan mikroskopik, model simplektik adalah suatu teori yang penting dalam mempelajari Struktur Nuklir, dan juga model ini mampu menjelaskan penomonologis model kolektip secara mikroskopik, hal ini bahkan lebih baik lagi dijelaskan dengan menggunakan Simplectic Shell Model Dengan menggunakan Model Shell Simplectic terdapat banyak keuntungan, diantaranya kita dapat secara kasar memfaktorkan enam derajat kebebasan dari kolektip model dan mendefinisikan ruang intrinsik dari Shell Model tanpa harus memperkenalkan banyak variabel lain,dan juga ini dapat memberikan interpretasi 14

25 fisika secara lansung sifat-sifat kolektip pada Shell Model, secara khusus ini menjelaskan stuktur dari Shell Model yang disebut dengan vibrasi beta dan gamma dari inti deformasi Seperti diketahui bahwa Simplektik grup memiliki memiliki beberapa operator sebagai elemen grupnya. Yang akan dibahas disini hanya dua operator saja, yaitu X 3 dan X 4. Dua operator tersebur disusun oleh generator-generator grup simplektik A ij, B ij, C ij, akan ditentukan relasi komutasi antara kedua operator tersebut apakah keduanya saling commute,hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kedua operator tersebut termasuk dalam Complete Set Comuting Operator [X 3, X 4 = 0 (3.1) dengan X 3 = ijk B ij C jk A ki (3.2) dan X 4 = ijkl (αb ij C jk C kl A li + βb ij C jk C il A lk ) (3.3) dengan α dan β adalah konstanta tertentu dan A,B, C adalah A ij = b si b sj operator peningkat (3.4) B ij = C ij = 1 2 b si b sj operator penurun (3.5) (b si b sj + b sj b si ) operator u(3) (3.6) yang mana seperti kita ketahui bahwa b dan b adalah operator peningkat dan pemusnah yang ada didalam representasi Heisenberg-Weyl serupa dengan yang ada pada osilator harmonik, dimana seperti yang telah diketahui bahwa dari hamiltonian osilator harmonik [x si, p tj = i hδ st δ ij (3.7) H = p2 2m mω2 x 2 (3.8) 15

26 maka dari persamaan di atas akan didapat operator peningkat b + dan operator pemusnah b H 0 = 1 2 hω (b si b si + b si b si ) (3.9) si maka akan didapat definisi untuk b si dan b si ( mω b si = x si ip ) si 2 h mω ( mω b sl = x si + ip ) si 2 h mω yang mana akan memenuhi relasi komutasi sebagai berikut (3.10) [b si, b tj = δ stδ ij (3.11) dan dengan menggunakan hasil eksperimen dan grafik percobaan, maka hasil yang didapat dari percobaan tersebut juga menunjukan bahwa hamiltonian tersebut juga dapat dituliskan sebagai H 0 = hω ( ) N 0 + 2s s + 2d νd ν (3.12) dengan d ν, d ν adalah quadropole operator pencipta dan pemusnah. Dengan menggunakan relasi komutasi persamaan (3.11) maka akan didapat persamaan [A kl, B ij = (b si b si + δ jkb si b sl + δ ilb sk b sj + δ ik b sl b sj) (3.13) juga untuk serta dan sedangkan untuk jika dibalik [B ij, A kl = b si b si + δ jkb si b sl + δ ilb sk b sj + δ ik b sl b sj (3.14) [C ij, B lk = (δ ik B jl + δ il B jk ) (3.15) [B lk, C ij = δ ik B jl + δ il B jk (3.16) [C ij, A lk = δ jl A ik + δ jk A il (3.17) [A lk, C ij = (δ jl A ik + δ jk A il ) (3.18) 16

27 akan ditentukan hubungan antara α dan β dengan menggunakan relasi komutasi X 3 dan X 4, dimana relasi komutasinya adalah [X 3, X 4 = 0 (3.19) maka apabila relasi komutasi ini diuraikan akan didapatkan [X 3, X 4 = [ B ij C jk A ki, (αb mn C no C op A pm + βb mn C no C mp A po ) = } {[B ij C jk A ki, αb mn C no C op A pm + [B ij C jk A ki, βb mn C no C mp A po = {αb ij [C jk A ki, B mn C no C op A pm + α [B ij, B mn C no C op A pm C jk A ki [ } +βb ij C jk A ki, B mn C no C mp A po + β [B ij, B mn C no C mp A po C jk A ki (3.20) setelah melalui perhitungan panjang dengan menggunakan hubungan relasi komutasi pada apendiks maka akan didapat [X 3, X 4 = α { B ij B mn C no C jk A oi A km B ij B mn C no C jk A ok A im +B ij B mn C no C op A jm A pi + B ij B mn C no C op A jp A mi B ij C jk B mn A ni C kp A pm B ij C jk B mn A nk C ip A pm B in B km C no A ki C op A pm B im B kn C no A ki C op A pm +C nj B pi C jk A ki + B pj C ip C jk A ki B ij C jk (δ ni b sm b sk ) +δ nk b sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn C no C op A pm + B mn C no C op (δ jm b si b sp + δ jpb si b sm + δ imb sp b sj + δ ip b sm b } sj)c jk A ki + β { B ij B mn C no C jk A mi A ko B ij B mn C no C jk A mk A io +B ij B mn C no C mp A jo A pi + B ij B mn C no C mp A jp A oi B ij C jk B mn A ni C mp A pk B ij C jk B mn A nk C mp A pi B in B km C no A ki C mp A po B im B kn C no A ki C mp A po +C no B pi C jk A ki + B pj C mp C jk A ki B ij C jk (δ ni b sm b sk ) +δ nk b sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn C no C mp A po + B mn C no C mp ( δjo b si b sp + δ jpb si b so + δ iob sp b sj + δ ip b so b } sj) Cjk A ki (3.21) untuk hasil yang lebih lengkap dapat dilihat di Appendiks 17

28 Jika dikerjakan diambil suku kedua dari α dan suku pertama dari β, maka akan didapat αb ij B mn C no C jk A oi A km βb ij B mn C no C jk A mk A io = 0 B ij B mn C no C jk ( αa oi A km βa mk A io ) = 0 αa oi A km βa mk A io = 0 (3.22) untuk mempertukarkan indeks suatu operator perlu diketahui apakah operator tersebut bersifat simetri ataukah anti simetri, jika suatu operator bersifat simetri maka A km = A mk (3.23) sedangkan jika suatu operator bersifat anti-simetri maka A km = A mk (3.24) Jika diperhatikan persamaan diatas, nampaknya dalam penentuan sifat α dan β, tidak perlu diketahui apakah operator tersebut bersifat simetri ataukah antisimetri, karena akan memberikan hasil yang sama, jadi akan didapatkan αa io A mk + βa mk A io = 0 (3.25) nah jika diperhatikan lagi, nampak persamaan diatas membutuhkan relasi α = β atau α = β, tapi karena tidak diketahui sebelumnya relasi mereka berdua, jadi dapat digunakan sifat dari A mk yang bersifat comute dengan A io, jadi posisinya dapat dipertukarkan, sehingga akan didapat persamaan A io A mk (α + β) = 0 (3.26) sehingga akan didapat relasi α = β (3.27) 3.2 Arti Fisis Setelah diketahui bahwa kedua operator X 3 dan X 4 ternyata saling comute, perlu diketahui kedua operator tersebut menunjukan apa? Simplektik grup merupakan rangkaian grup yang bersifat umum, yang dibentuk dari grup-grup lain Sp(3,R) U(3) U(1) SU(3) (3.28) 18

29 maka dalam menjelaskan model suatu nukleus model ini bersifat lebih umum jika dibanding dengan model-model sebelumnya Untuk mengetahui arti fisisnya, dapat dilakukan dengan dua cara 1. Dengan menggunakan Vector Coherent States Theory 2. Dengan menggunakan representasi kontraksi limit Adapun metode yang akan digunakan disini adalah dengan menggunakan representasi kontraksi limit Limit Kontraksi dari Model Simplektik Bilangan quantum yang melambangkan representasi dari Sp(3,R) adalah N 0 (λ 0 µ 0 ), dimana N 0, λ 0, µ 0 adalah bilangan quantum dari U(1) SU(3) dalam notasi Elliot, yang didefinisikan sebagai N 0 = σ 1 + σ 2 + σ 3 λ 0 = σ 1 σ 2 µ 0 = σ 2 σ 3 (3.29) dan jika diingat kembali bahwa σ adalah bilangan quantum untuk U(3) yang memiliki tiga komponen. Untuk nilai N 0 dan λ 0 yang besar maka aljabar dari grup simplektik akan berkontraksi menjadi dua kontraksi limit. Kontraksi yang pertama terjadi ketika nilai N 0, di sini model simplektik akan berkontraksi menjadi model U(3)- phonon. Sedangkan kontraksi yang kedua terjadi pada saat 2λ 0 + µ, pada limit kontraksi ini model su(3) berkontraksi menjadi model rot(3) sehingga model simplektik akan berkontraksi menjadi model koupel rotor-vibrator. Pada kontraksi pertama (model simplektik menjadi model U(3)-phonon model). Pada saat L = 0(monopole), maka A o = 1 A ii B o = 1 B ii 6 6 C o = 1 C ii 6 (3.30) i i i dengan masing-masing persamaan hampir sama dengan persamaan (3.4)-(3.6) kecuali pada indeks nya saja, dan ketiganya memenuhi persamaan [B 0, A 0 = 2 3 C 0 (3.31) 19

30 dimana operator C 0 dapat dianggap memiliki nilai C 0 N 0 I + 2ˆn 0 + 2ˆn d (3.32) dengan ˆn 0 = s s dan ˆn d = d 2ν d 2ν (3.33) jika dilakukan sedikit modifikasi pada persamaan (3.31) maka persamaan (3.31) tersebut dapat dituliskan kembali dalam bentuk [ 3 3 B 0, A 0 = I + 2 (ˆn 0 + ˆn d ) (3.34) 2N 0 2N 0 N 0 apabila nilai N 0 maka nilai relasi komutasi persamaan (3.34), akan menjadi [ 3 3 B 0, A 0 = I (3.35) 2N 0 2N 0 jika diingat kembali pada model U(3)-phonon model terdapat relasi komutasi [s, s = I (3.36) maka dapat dianggap untuk nilai N 0, akan didapat 2N0 2N0 A 0 3 s, B 0 3 s (3.37) sedangkan untuk yang quadrupole (L = 2), maka akan didapat hal yang sama, dengan operatornya adalah dimana relasi komutasi untuk U(3) adalah yang akan memenuhi relasi komutasi yang sama A 20 = 1 12 (2A 33 A 11 A 22 ) (3.38) B 20 = 1 12 (2B 33 B 11 B 22 ) (3.39) C 20 = 1 12 (2C 33 C 11 C 22 ) (3.40) [d 2ν, d 2µ = δ νµ (3.41) [B 0, A 0 C 0 (3.42) 20

31 dengan melakukan hal sama seperti diatas, maka akan didapatkan juga untuk N 0 2N0 2N0 A 0 3 d 20, B 0 3 d 20 (3.43) Kontraksi yang dilakukan ini adalah kontraksi orde kenolnya, jika ingin meingkatkan ketelitian lagi dalam perhitungan, maka dapat dilakukan lagi dengan menggunakan teori VCS, dengan mengekspansikan hamiltonian dari sistem yang dimaksud. Sedangkan limit kontraksi yang kedua adalah model simplektik menjadi model kopel rotor-vibrator. Sebenarnya yang berkontraksi disini adalah su(3) menjadi rot(3), karena su(3) adalah subgrup dari sp(3,r) maka model simplektik juga ikut berkontraksi menjadi kopel model rotor-vibrator Seperti diketahui bahwa SU(3) adalah grup yang compact, yang memiliki representasi berdimensi berhingga, berbeda dengan rot(3) model yang bersifat noncompat. Tapi ketika nilai 2λ 0 + µ 0 maka su(3) model akan menjadi model rot(3) Aljaar SU(3) dibentuk oleh dua operator utama, yaitu ˆQ 2ν (operator quadropole) dan ˆL k (operator momentum angular). Operator quadropole mimiliki nilai ekspektasi Q 2ν Λ (3.44) dengan Λ adalah kasimir ivariant dari grup SU(3), dengan bentuk Λ = 2λ 0 + µ (3.45) maka ketika nilai 2λ 0 + µ 0 maka nilai Λ, maka jika dilakukan definisi baru operator, dengan bentuk q 2ν = Λ 1 2 Q2ν (3.46) dan dilakukan kembali relasi komutasi maka akan didapatkan [ˆq 2ν, ˆq 2ν = Λ 1 [ ˆQ 2ν, ˆQ 2ν = 3 3α 2 (2µ, 2ν 1µ + ν)λ 1 L µ+ν (3.47) maka apabila nilai Λ = (3.48) maka relasi komutasi akan menjadi [ˆq 2ν, ˆq 2ν = 0 (3.49) 21

32 maka akan terjadi kontraksi dari su(3) menjadi rot(3), apabila nilai λ 0 (3.50) dengan batasan tersebut SU(3) ROT(3) Pada saat terjadi kontraksi pada model simplektik, maka operator X 3 dan X 4 juga mengalami kontraksi menjadi bentuk baru, namun setelah melalui perhitungan yang mudah, ternyata kedua operator tersebut tetap saling komute satu dengan yang lain. 22

33 Bab 4 Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Grup simplektik memiliki elemen X 3 dan X 4, kedua operator tersebut merupakan anggota dari suatu CSCO(Complete Set Comuting Operator). Hal ini diketahui dari relasi komutasi keduanya yang ternyata sama dengan nol, dan apabila suatu operator berada dalam suatu CSCO maka dia akan memiliki nilai eigen yang tidak tergenerasi dan masing masing memiliki fungsi keadaan yang unik. Adapun yang paling penting di sini adalah untuk menunjukan adanya suatu bilangan yang kekal dalam suatu CSCO tersebut. Model simplektik adalah model yang lebih umum dan elegan, karena dengan batasan-batasan tertentu akan dapat berubah menjadi submodel-submodelnya. Untuk memodelkan inti yang berat maka model simplektik akan berkontraksi menjadi dua model, yaitu model u(3)-phonon (ketika N 0 ), dan menjadi model kopel rotor-vibrator (ketika nilai λ 0 ) X 3 dan X 4 akan tetap saling komute satu dengan yang lain, meskipun keduanya mengalami kontraksi 4.2 Saran Untuk meningkatkan ketelitian hasil yang didapat maka perlu digunakan perhitungan yang melibatkan orde yang lebih tinggi lagi 23

34 Lampiran A Pembuktian Matematis A.1 Relasi komutasi B dan A Seperti diketahui definisi dari operator A dan B adalah A ij = b si b sj operator peningkat (A.1) B ij = b si b sj operator penurun (A.2) maka jika dilakukan komutasi pada keduanya akan dihasilkan [B ij, A kl = [b si b sj, b tk b tl = = + ( ) b si [b sj, b tk b tl + [b si, b tk b tl b sj ( ) b si b tk [b sj, b tl + b si[b sj, b tk b tl (b tk [b si, b tl b sj + [b si, b tk b tl b sj) (A.3) jika digunakan relasi komutasi pada persamaan (3.11) maka akan didapat = (δ st δ jl b si b tk + δ stδ jk b si b tl ) + (δ st δ il b tk b sj + δ st δ ik b tl b sj) = δ jl b si b sk + δ jkb si b sl + δ ilb sk b sj + δ ik b sl b sj (A.4) 24

35 A.2 Relasi Komutasi C dan B Telah diketahui definisi untuk operator B, sedangkan definisi untuk operator C adalah C ij = 1 (b si 2 b sj + b sj b si ) operator u(3) (A.5) [C ij, B lk = [ 1 2 (b si b sj + b sj b si ), b tl b tk [(b sib sj + b sj b si), b tlb tk = 1 2 = 1 2 = 1 2 = 1 2 [b sib sj, b tl b tk + [b sj b si, b tlb tk b si +b sj [ b si, b tlb tk + [b sj, b tl b tk + b tl [b si, b tk +b sj b tl [b si, b tk [b si, b tlb tk b sj [b sj, b tl b tk b si [ b sj + b si, b tl b tk b sj [ + b sj b si, b tl b tk (A.6) dan dengan menggunakan relasi yang sama akan didapat [C ij, B lk = 1 (δ st δ ik b tl b sj + δ st δ il b tk b sj + δ st δ ik b sj b tl + δ st δ il b sj b tk ) 2 = 1 2 (δ ikb tl b tj + δ il b tk b tj + δ ik b tj b tl + δ il b tj b tk ) = (δ ik b tj b tl + δ il b tj b tk ) = (δ ik B jl + δ il B jk ) (A.7) 25

36 A.3 Relasi Komutasi C dan A Relasi komutasi nya adalah [C ij, A lk = [ 1 2 (b si b sj + b sj b si ), [ b tl b tk = 1 (b si 2 b sj + b sj b si ), b tl b tk = 1 [ b si 2 b sj, b tl b tk + = 1 [ b si b sj, b tl 2 b tk + [ +b sj [b si, b tl b tk + b sj, b tl b tk b si = [ b sj b si, b tl b tk [b sj, b tl b tk b si { [ [ } b si b tl b sj, b tk + b si b sj, b tl b tk { [ [ } b tl b sj, b tk b si + b sj, b tl b tk b si (A.8) dan dengan menggunakan relasi yang sama akan didapat [C ij, A lk = 1 (δ st δ jk b si 2 b tl + δ stδ jl b si b tk + δ stδ jk b tl b si + δ stδ jl b tk b si ) = 1 2 (δ jkb si b sl + δ jlb si b sk + δ jkb sl b si + δ jlb sk b si ) = δ jk A il + δ jl A ik (A.9) 26

37 A.4 Relasi Komutasi Tambahan ini adalah relasi komutasi tambahan yang diperlukan dalam perhintungan untuk relasi komutasi tambahan [C jk A ki, C op A pm ijk mnop = } {C jk [A ki, C op A pm + [C jk, C op A pm A ki = {C jk C op [A ki, A pm + C jk [A ki, C op A pm [ } +C op C jk, A pm A ki + [C jk, C op A pm A ki = } {C jk [A ki, C op A pm + C op [C jk, A pm A ki = {C jk ( δ pk A oi δ pi A ok )A pm + C op (δ kp A jm +δ km A jp )A ki } = { δ pk C jk A oi A pm δ pi C jk A ok A pm + δ kp C op A jm A ki +δ km C op A jp A ki } (A.10) dan [B ij, C no C op = ijk = ijk } {C no [B ij, C op + [B ij, C no C op mnop {δ oj C no B pi + δ oi B pj C op } mnop dan [C jk A ki, B mn C no = = = δ oj C no B pi + δ oi B pj C op = C nj B pi + B pj C ip (A.11) } {C jk [A ki, B mn C no + [C jk, B mn C no A ki ) {C jk (B mn [A ki, C no + [A ki, B mn C no } + [C jk, B mn C no A ki = { δ ok C jk B mn A ni δ oi C jk B mn A nk } +{ C jk (δ ni b sm b sk + δ nkb sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn)c no } {δ jn B km C no A ki + δ jm B kn C no A ki } (A.12) 27

38 A.5 Komutasi X 3 dan X 4 [X 3, X 4 = ijk = ijk = ijk mnop [ B ij C jk A ki, (αb mn C no C op A pm + βb mn C no C mp A po ) } {[B ij C jk A ki, αb mn C no C op A pm + [B ij C jk A ki, βb mn C no C mp A po mnop {αb ij [C jk A ki, B mn C no C op A pm mnop + α [B ij, B mn C no C op A pm C jk A ki [ } +βb ij C jk A ki, B mn C no C mp A po + β [B ij, B mn C no C mp A po C jk A ki agar lebih sederhana, dikerjakan persuku, dimulai dari suku pertama, tapi yang dikerjakan hanya yang ada dalam relasi komutasi saja [C jk A ki, B mn C no C op A pm {B mn C no [C jk A ki, C op A pm (A.13) ijk mnop = } + [C jk A ki, B mn C no C op A pm = B mn C no ( δ pk C jk A oi A pm δ pi C jk A ok A pm +δ kp C op A jm A ki + δ km C op A jp A ki ) + { δ ok C jk B mn A ni C op A pm ijk mnop δ oi C jk B mn A nk C op A pm } + ( { C jk δ ni b sm b sk + δ nkb sm b si ijk mnop ) } +δ mi b sk b sn + δ mk b si b sn C no C op A pm + {δ jn B km C no A ki C op A pm + ijk mnop δ jm B kn C no A ki C op A pm } (A.14) 28

39 sedangkan untuk suku yang keduanya adalah [B ij, B mn C no C op A pm = [ B mn B ij, C no C op A pm = { [ } B mn C no C op B ij, A pm + [B ij, C no C op A pm = { B mn C no C op δjm b si b sp + δ jpb si b sm + δ imb sp b sj+ δ ip b sm b } sj + {δ oj C no B pi + δ oi B pj C op } (A.15) ijk mnop sedangkan untuk relasi komutasi suku ketiga dan keempat memiliki kesamaan dengan suku kedua dan pertama, berbeda hanya pada indeks jadi ini tidak akan susah untuk dilakukan lagi [C jk A ki, B mn C no C mp A po {B mn C no [C jk A ki, C mp A po ijk mnop = } + [C jk A ki, B mn C no C mp A po = B mn C no ( δ pk C jk A mi A po δ pi C jk A mk A po +δ kp C mp A jo A ki + δ ko C mp A jp A ki ) + { δ ok C jk B mn A ni C mp A po ijk mnop δ oi C jk B mn A nk C mp A po } + ( { C jk δ ni b sm b sk + δ nkb sm b si + δ mib sk b sn+ ijk mnop ) } δ mk b si b sn C no C mp A po + {δ jn B km C no A ki C mp A po + ijk mnop δ jm B kn C no A ki C mp A po } (A.16) 29

40 sedangkan untuk suku terakhirnya adalah [B ij, B mn C no C mp A po = [ B mn B ij, C no C mp A po = { [ } B mn C no C mp B ij, A po + [B ij, C no C mp A pm = { B mn C no C mp δjo b si b sp + δ jpb si b so + δ iob sp b sj+ δ ip b so b } sj + {δ mj C no B pi + δ oi B pj C mp } (A.17) ijk mnop 30

41 [X 3, X 4 = α B ij B mn C no ( δ pk C jk A oi A pm δ pi C jk A ok A pm + δ kp C op A jm A ki + δ km C op A jp A ki ) + α { δ ok B ij C jk B mn A ni C op A pm δ oi B ij C jk B mn A nk C op A pm } + α { B ij C jk (δ ni b sm b sk + δ nkb sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn) C no C op A pm } + α {δ jn B ij B km C no A ki C op A pm + δ jm B ij B kn C no A ki C op A pm } + α { } B mn C no C op δjm b si b sp + δ jp b si b sm + δ im b spb sj + δ ip b smb sj Cjk A ki + α {δ oj C no B pi C jk A ki + δ oi B pj C op C jk A ki } + β B ij B mn C no ( δ pk C jk A mi A po δ pi C jk A mk A po +δ kp C mp A jo A ki + δ ko C mp A jp A ki ) + β { δ ok B ij C jk B mn A ni C mp A po δ oi B ij C jk B mn A nk C mp A po } + β { B ij C jk (δ ni b sm b sk + δ nkb sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn) C no C mp A po } + β {δ jn B ij B km C no A ki C mp A po + δ jm B ij B kn C no A ki C mp A po } + β { } B mn C no C mp δjo b si b sp + δ jp b si b so + δ io b spb sj + δ ip b sob sj Cjk A ki + β {δ mj C no B pi C jk A ki + δ oi B pj C mp C jk A ki } (A.18) Alhamdulillah nah sekarang tinggal menghilangkan somasinya untuk menen- 31

42 tukan nilai α dan β [X 3, X 4 = α { δ pk B ij B mn C no C jk A oi A pm δ pi B ij B mn C no C jk A ok A pm + maka [X 3, X 4 = ijk = ijk = ijk δ kp B ij B mn C no C op A jm A ki + δ km B ij B mn C no C op A jp A ki δ ok B ij C jk B mn A ni C op A pm δ oi B ij C jk B mn A nk C op A pm δ jn B ij B km C no A ki C op A pm δ jm B ij B kn C no A ki C op A pm + δ oj C no B pi C jk A ki + δ oi B pj C op C jk A ki B ij C jk (δ ni b sm b sk + δ nkb sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn)c no C op A pm + B mn C no C op (δ jm b si b sp + δ jpb si b sm + δ imb sp b sj + δ ip b sm b sj)c jk A ki } + β { δ pk B ij B mn C no C jk A mi A po δ pi B ij B mn C no C jk A mk A po + δ kp B ij B mn C no C mp A jo A ki + δ ko B ij B mn C no C mp A jp A ki δ ok B ij C jk B mn A ni C mp A po δ oi B ij C jk B mn A nk C mp A po δ jn B ij B km C no A ki C mp A po δ jm B ij B kn C no A ki C mp A po + δ mj C no B pi C jk A ki + δ oi B pj C mp C jk A ki B ij C jk (δ ni b sm b sk + δ nkb sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn)c no C mp A po + ( B mn C no C mp δjo b si b sp + δ jpb si b so + δ iob sp b sj + δ ip b so b ) } sj Cjk A ki (A.19) mnop [ B ij C jk A ki, (αb mn C no C op A pm + βb mn C no C mp A po ) } {[B ij C jk A ki, αb mn C no C op A pm + [B ij C jk A ki, βb mn C no C mp A po mnop {αb ij [C jk A ki, B mn C no C op A pm mnop + α [B ij, B mn C no C op A pm C jk A ki [ } +βb ij C jk A ki, B mn C no C mp A po + β [B ij, B mn C no C mp A po C jk A ki setelah melalui perhitungan panjang dengan menggunakan hubungan relasi komu- (A.20) 32

43 tasi pada persamaan diatas maka akan didapat [X 3, X 4 = α { B ij B mn C no C jk A oi A km B ij B mn C no C jk A ok A im +B ij B mn C no C op A jm A pi + B ij B mn C no C op A jp A mi B ij C jk B mn A ni C kp A pm B ij C jk B mn A nk C ip A pm B in B km C no A ki C op A pm B im B kn C no A ki C op A pm +C nj B pi C jk A ki + B pj C ip C jk A ki B ij C jk (δ ni b sm b sk ) +δ nk b sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn C no C op A pm + B mn C no C op (δ jm b si b sp + δ jpb si b sm + δ imb sp b sj + δ ip b sm b } sj)c jk A ki + β { B ij B mn C no C jk A mi A ko B ij B mn C no C jk A mk A io +B ij B mn C no C mp A jo A pi + B ij B mn C no C mp A jp A oi B ij C jk B mn A ni C mp A pk B ij C jk B mn A nk C mp A pi B in B km C no A ki C mp A po B im B kn C no A ki C mp A po +C no B pi C jk A ki + B pj C mp C jk A ki B ij C jk (δ ni b sm b sk ) +δ nk b sm b si + δ mib sk b sn + δ mk b si b sn C no C mp A po + B mn C no C mp ( ) } δjo b si b sp + δ jp b si b so + δ io b spb sj + δ ip b sob sj Cjk A ki (A.21) A.6 Beberapa Relasi Komutasi Tambahan Berikut adalah beberapa hasil komutasi yang lainnya [ 1 1 [B 0, A 0 = 6 B ii, A jj 6 = 1 6 i [B ii, A jj i j j (A.22) [B ii, A jj = + ( ) δ st δ ij b si b tj + δ stδ ij b si b tj (δ st δ ij b tj b si + δ st δ ij b tj b si) = (δ ij b si b sj + δ ijb si b sj + δ ijb sj b si + δ ij b sj b si) = δ ij (b si b sj + b sib sj + b sj b si + b sj b si) (A.23) 33

44 [ 1 1 [B 0, A 0 = 6 B ii, A jj 6 i j = 1 [B ii, A jj 6 i j = 1 (δ ij (b si b sj 6 + b sib sj + b sj b si + b sj b si)) i j = 1 6 (b sib si + b sib si + b si b si + b si b si) = 1 3 (b si b si + b si b si ) (A.24) sedangkan untuk operator C ij C ij = 1 (b si 2 b sj + b sj b si ) (A.25) jadi untuk C ii Cii = 1 2 (b si b si + b si b si ) (A.26) [B 0, A 0 = 1 3 (b si b si + b si b si ) sedangkan untuk yang quadrupole maka = 2 3 C 0 (A.27) A 20 = 1 12 (2A 33 A 11 A 22 ), B 20 = 1 12 (2B 33 B 11 B 22 ) C 20 = 1 12 (2C 33 C 11 C 22 ) (A.28) (A.29) jika dilakukan relasi komutasi [B 20, A 20 = [(2B 33 B 11 B 22 ), (2A 33 A 11 A 22 ) = [(2B 33 B 11 B 22 ), 2A 33 [(2B 33 B 11 B 22 ), A 11 [(2B 33 B 11 B 22 ), A 22 = [2B 33, 2A 33 [B 11, 2A 33 [B 22, 2A 33 [2B 33, A 11 [B 11, A 11 [B 22, A 11 [2B 33, A 22 [B 11, A 22 [B 22, A 22 (A.30) 34

45 dengan menggunakan relasi komutasi yang telah ada di atas maka B ij = b si b sj (A.31) A kl = b tk b tl (A.32) maka relasi komutasinya [B 33, A 33 = [b s3 b s3, b t3b t3 = = + (b s3 [b s3, b t3b t3 + [b s3, b t3b t3b s3 ) (b s3 b t3[b s3, b t3 + b s3 [b s3, b t3b t3) (b t3 [b s3, b t3 b s3 + [b s3, b t3 b t3 b s3) = b s3 b s3 + b s3b s3 + b s3 b s3 + b s3 b s3 (A.33) [B 33, A 11 = [b s3 b s3, b t1 b t1 = = + (b s3 [b s3, b t1b t1 + [b s3, b t1b t1b s3 ) (b s3 b t1[b s3, b t1 + b s3 [b s3, b t1b t1) (b t1[b s3, b t1b s3 + [b s3, b t1b t1b s3 ) = 0 (A.34) A.7 X 3 dan X 4 Pada Saat Kontraksi Jika terjadi kontraksi apa yang terjadi pada operator tersebut. Seperti yang diketahui pada L = 0 operator A, B, C menjadi seperti berikut A o = 1 A ii B o = 1 B ii C o = 1 (A.35) i i i 35 C ii

46 maka operator X 3 dan X 4 akan menjadi dua operator baru yang bentuk nya menjadi X n = B ij [A ij, B kl n 2 A kl (A.36) apakah setelah terjadi kontraksi, kedua operator tersebut akan tetap berada dalam suatu CSCO Untuk L = 0, maka A o = 1 A ii B o = 1 B ii C o = i i i C ii (A.37) yang masing masing operator memenuhi relasi komutasi [B 0, A 0 C 0 (A.38) sedangkan jika diabaikan angka-angka didepannya, maka akan didapat [ 1 1 [B 0, C 0 = 6 B ii, C jj 6 = i i [B ii, C jj j j (A.39) maka akan didapatkan hasil [B ii, C jj = 1 2 = 1 2 = = 1 2 [b si b si, (b tj b tj + b tj b tj ) b si [b si, (b tj b tj + b tj b tj ) + [b si, (b tj b tj + b tj b tj )b si b si ( [b si, b tj b tj + [b si, b tj b tj ) + ([b si, b tj b tj + [b si, b tj b tj ) b si {(b si [b si, b tj b tj + b si b tj [b si, b tj ) + [b si, b tj b tjb si + b tj [b si, b tj b si } (A.40) 36

47 dengan menggunakan relasi komutasi (3.11) maka akan didapat [B ii, C jj = 1 2 (b sib si + b si b si + b si b si + b si b si ) = 2b si b si = 2 B ii (A.41) sedangkan untuk relasi komutasi [C ii, A jj = 1 2 = 1 2 = 1 2 [(b si b si + b si b si ), b tj b tj ) ([b sib si, b tjb tj + [b sib si, b tj b tj {( ) b si b tj [b si, b tj + b si [b si, b tj b tj + ( )} b tj [b si, b tj b si + [b si, b tj b tj b si (A.42) dengan menggunakan relasi komutasi (3.11), maka akan didapat [C ii, A jj = 2 A jj (A.43) selanjutnya operator X 3 = B 0 C 0 A 0 dan X 4 = (αb 0 2C 0 A 0 + βb 0 2C 0 A 0 ) (A.44) relasi komutasinya setelah di kontraksi adalah [X 3, X 4 = [B 0 C 0 A 0, (αb 0 2C 0 A 0 + βb 0 2C 0 A 0 ) = ([B 0 C 0 A 0, αb 0 2C 0 A 0 + [B 0 C 0 A 0, βb 0 2C 0 A 0 ) = (2α[B 0 C 0 A 0, B 0 C 0 A 0 + 2β[B 0 C 0 A 0, B 0 C 0 A 0 ) (A.45) jika kita melihat pada persamaan (3.27) maka persama diatas akan menghasilkan relasi komutasi yang [X 3, X 4 = 0 (A.46) 37

2. Deskripsi Statistik Sistem Partikel

2. Deskripsi Statistik Sistem Partikel . Deskripsi Statistik Sistem Partikel Formulasi statistik Interaksi antara sistem makroskopis.1. Formulasi Statistik Dalam menganalisis suatu sistem, kombinasikan: ide tentang statistik pengetahuan hukum-hukum

Lebih terperinci

16 Mei 2017 Waktu: 120 menit

16 Mei 2017 Waktu: 120 menit OLIMPIADE NASIONAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PERGURUAN TINGGI 2017 (ONMIPA-PT) Tingkat Nasional Bidang Fisika: FISIKA MODERN & MEKANIKA KUANTUM (Tes 4) 16 Mei 2017 Waktu: 120 menit Petunjuk

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s)

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s) DAFTAR SIMBOL n κ α R μ m χ m c v F L q E B v F Ω ħ ω p K s k f α, β s-s V χ (0) : indeks bias : koefisien ekstinsi : koefisien absorpsi : reflektivitas : permeabilitas magnetik : suseptibilitas magnetik

Lebih terperinci

Diktat Kuliah. Oleh:

Diktat Kuliah. Oleh: Diktat Kuliah TEORI GRUP Oleh: Dr. Adi Setiawan UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 Kata Pengantar Aljabar abstrak atau struktur aljabar merupakan suatu mata kuliah yang menjadi kurikulum nasional

Lebih terperinci

PERTEMUAN 2 STATISTIKA DASAR MAT 130

PERTEMUAN 2 STATISTIKA DASAR MAT 130 PERTEMUAN 2 STATISTIKA DASAR MAT 130 Data 1. Besaran Statistika berbicara tentang data dalam bentuk besaran (dimensi) Besaran adalah sesuatu yang dapat dipaparkan secara jelas dan pada prinsipnya dapat

Lebih terperinci

Grup Permutasi dan Grup Siklis. Winita Sulandari

Grup Permutasi dan Grup Siklis. Winita Sulandari Grup Permutasi dan Grup Siklis Winita Sulandari Grup Permutasi Suatu Permutasi dari suatu himpunan berhingga S yang tidak kosong, dinyatakan sebagai suatu pemetaan bijektif dari himpunan S pada dirinya

Lebih terperinci

PENGANTAR PADA TEORI GRUP DAN RING

PENGANTAR PADA TEORI GRUP DAN RING Handout MK Aljabar Abstract PENGANTAR PADA TEORI GRUP DAN RING Disusun oleh : Drs. Antonius Cahya Prihandoko, M.App.Sc, Ph.D e-mail: antoniuscp.ilkom@unej.ac.id Staf Pengajar Pada Program Studi Sistem

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein BAB II DASAR TEORI Sebagaimana telah diketahui dalam kinematika relativistik, persamaanpersamaannya diturunkan dari dua postulat relativitas. Dua kerangka inersia yang bergerak relatif satu dengan yang

Lebih terperinci

Keterkaitan Grup Spesial Uniter dengan Grup Spesial Ortogonal

Keterkaitan Grup Spesial Uniter dengan Grup Spesial Ortogonal Jurnal Matematika Integratif Volume 12 No. 2, Oktober 2016, pp. 117-124 p-issn:1412-6184, e-issn:2549-903 doi:10.24198/jmi.v12.n2.11928.117-124 Keterkaitan Grup Spesial Uniter dengan Grup Spesial Ortogonal

Lebih terperinci

Bab 2. Geometri Riemann dan Persamaan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann Manifold Riemannian

Bab 2. Geometri Riemann dan Persamaan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann Manifold Riemannian Bab 2 Geometri Riemann dan Persamaan Ricci Flow 2.1 Geometri Riemann Geometri Riemann pertama kali dikemukakan secara general oleh Bernhard Riemann pada abad ke 19. Pada bagian ini akan diberikan penjelasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk mencapai tujuan penulisan penelitian diperlukan beberapa pengertian dan teori yang berkaitan dengan pembahasan. Dalam subbab ini akan diberikan beberapa teori berupa definisi,

Lebih terperinci

Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n

Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan n L dy Mascow Abdullah, Imam Fachruddin, Agus Salam 1. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Fisika, Universitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur atom Struktur atom merupakan satuan dasar materi yang terdiri dari inti atom beserta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom mengandung campuran

Lebih terperinci

Aljabar Linear Elementer

Aljabar Linear Elementer BAB I RUANG VEKTOR Pada kuliah Aljabar Matriks kita telah mendiskusikan struktur ruang R 2 dan R 3 beserta semua konsep yang terkait. Pada bab ini kita akan membicarakan struktur yang merupakan bentuk

Lebih terperinci

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas Teori Relativitas Mirza Satriawan December 7, 2010 Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus Quiz 1 Tuliskan perumusan kelestarian jumlah partikel dengan memakai vektor-4 fluks jumlah partikel. 2 Tuliskan

Lebih terperinci

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D Keadaan Stasioner Pada pembahasan sebelumnya mengenai fungsi gelombang, telah dijelaskan bahwa potensial dalam persamaan

Lebih terperinci

Bagian 2 Matriks dan Determinan

Bagian 2 Matriks dan Determinan Bagian Matriks dan Determinan Materi mengenai fungsi, limit, dan kontinuitas akan kita pelajari dalam Bagian Fungsi dan Limit. Pada bagian Fungsi akan mempelajari tentang jenis-jenis fungsi dalam matematika

Lebih terperinci

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI S1 MATEMATIKA Sekip Utara, Yogyakarta

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI S1 MATEMATIKA Sekip Utara, Yogyakarta UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI S1 MATEMATIKA Sekip Utara, Yogyakarta Bahan Ajar: BAB POKOK BAHASAN I MODUL ATAS RING Direncanakan

Lebih terperinci

BABAK PENYISIHAN SELEKSI TINGKAT PROVINSI BIDANG KOMPETISI

BABAK PENYISIHAN SELEKSI TINGKAT PROVINSI BIDANG KOMPETISI BABAK PENYISIHAN SELEKSI TINGKAT PROVINSI BIDANG KOMPETISI TIPE A Olimpiade Sains Nasional Pertamina 2012 Petunjuk : 1. Tuliskan secara lengkap Nama, Nomor Ujian dan data lainnya pada Lembar Jawab Komputer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alam tersusun atas empat jenis komponen materi yakni padat, cair, gas, dan plasma. Setiap materi memiliki komponen terkecil yang disebut atom. Atom tersusun atas inti

Lebih terperinci

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon di dalam inti atom yang menggunakan potensial Yukawa. 2. Dapat

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2.

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2. BAB II DASAR TEORI A. Kemagnetan Bahan Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2: Diagram pengelompokan bahan magnet (Stancil &

Lebih terperinci

STRUKTUR ALJABAR 1. Kristiana Wijaya

STRUKTUR ALJABAR 1. Kristiana Wijaya STRUKTUR ALJABAR 1 Kristiana Wijaya i ii Daftar Isi Judul Daftar Isi i iii 1 Himpunan 1 2 Partisi dan Relasi Ekuivalen 3 3 Grup 6 4 Koset Dan Teorema Lagrange, Homomorphisma Grup Dan Grup Faktor 11 Indeks

Lebih terperinci

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase Bab 2 Teori Ensambel 2.1 Rapat Ruang Fase Dalam bagian sebelumnya, kita telah menghitung sifat makroskopis dari suatu sistem terisolasi dengan nilai E, V dan N tertentu. Sekarang kita akan membangun suatu

Lebih terperinci

III. SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata kuliah : FISIKA KUANTUM Kode : FI 363 SKS : 3 Nama Dosen : Yuyu R.T, Parlindungan S. dan Asep S

III. SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata kuliah : FISIKA KUANTUM Kode : FI 363 SKS : 3 Nama Dosen : Yuyu R.T, Parlindungan S. dan Asep S III. SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata kuliah : FISIKA KUANTUM Kode : FI 363 SKS : 3 Nama Dosen : Yuyu R.T, Parlindungan S. dan Asep S Standar : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki

Lebih terperinci

II. KONSEP DASAR GRUP. abstrak (abstract algebra). Sistem aljabar (algebraic system) terdiri dari suatu

II. KONSEP DASAR GRUP. abstrak (abstract algebra). Sistem aljabar (algebraic system) terdiri dari suatu II KONSEP DASAR GRUP Suatu cabang matematika yang mempelajari struktur aljabar dinamakan aljabar abstrak abstract algebra Sistem aljabar algebraic system terdiri dari suatu himpunan obyek satu atau lebih

Lebih terperinci

STRUKTUR ALJABAR: GRUP

STRUKTUR ALJABAR: GRUP STRUKTUR ALJABAR: GRUP BAHAN AJAR Oleh: Rippi Maya Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) SILIWANGI Bandung 2016 1 A. Pendahuluan Ilustrasi 1.1: Perhatikan

Lebih terperinci

Bab 2. Persamaan Einstein dan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann

Bab 2. Persamaan Einstein dan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann Bab 2 Persamaan Einstein dan Ricci Flow 2.1 Geometri Riemann Sebuah himpunan M disebut sebagai manifold jika tiap titik Q dalam M memiliki lingkungan terbuka S yang dapat dipetakan 1-1 melalui sebuah pemetaan

Lebih terperinci

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya

BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya 1 BAB III OPERATOR 3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya Perhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu yaitu: d + V (x) ( x) E( x) m dx d ( x) m + (E V(x) ) ( x) 0 dx (3-1) (-4) Suku-suku

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL Annisa Fitri 1, Anto Sulaksono 2 1,2 Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424 1 annisa.fitri11@sci.ui.ac.id 2 anto.sulaksono@sci.ui.ac.id

Lebih terperinci

Kriptografi Kuantum dengan gagasan Bennet dan Bassard

Kriptografi Kuantum dengan gagasan Bennet dan Bassard Kriptografi Kuantum dengan gagasan Bennet dan Bassard Anwari Ilman (13506030) Jurusan Teknik Informatika ITB, Bandung 40132. Email: if16030@students.if.itb.ac.id Abstract Makalah ini membahas tentang penggunaan

Lebih terperinci

PENGANTAR GRUP. Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang

PENGANTAR GRUP. Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang PENGANTAR GRUP Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang email:ymcholily@gmail.com March 18, 2013 1 Daftar Isi 1 Tujuan 3 2 Pengantar Grup 3 3 Sifat-sifat Grup

Lebih terperinci

Matriks Simplektik dan Hubungannya Pada Sistem Linier Hamiltonian. Simplectic Matrix and It Relations to Linear Hamiltonian System

Matriks Simplektik dan Hubungannya Pada Sistem Linier Hamiltonian. Simplectic Matrix and It Relations to Linear Hamiltonian System Matriks Simplektik dan Hubungannya Pada Sistem Linier Hamiltonian 1 Artmo Dihartomo Laweangi, 2 Jullia Titaley, 3 Mans Lumiu Mananohas 1 Program Studi Matematika, FMIPA, UNSRAT, artmodihartomolaweangi@yahoo.com

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Ringkasan Relativitas Umum

LAMPIRAN A. Ringkasan Relativitas Umum LAMPIRAN A Ringkasan Relativitas Umum Besaran fisika harus invarian terhadap semua kerangka acuan. Kalimat tersebut merupakan prinsip relativitas khusus yang pertama. Salah satu besaran yang harus invarian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 18 BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dikemukakan metode-metode yang akan digunakan pada bab selanjutnya. Metode-metode pada bab ini yaitu metode Value at Risk dengan pendekatan distribusi normal

Lebih terperinci

Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50

Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50 Jurnal Fisika Indonesia Tri Sulistyani dan Candra Dewi Vol. 19 2015) No. 57 p.76-81 ARTIKEL RISET Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50 Eko Tri Sulistyani * dan Nilam Candra

Lebih terperinci

Silabus dan Rencana Perkuliahan

Silabus dan Rencana Perkuliahan Silabus dan Rencana Perkuliahan Mata kuliah : PEND.FISIKA KUANTUM Kode : FI 363 SKS : 3 Nama Dosen : Team Dosen Pend fisika Kuantum Yuyu R.T, Parlindungan S. dan Asep S Standar Kompetensi : Setelah mengikuti

Lebih terperinci

BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT. Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi

BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT. Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi BAB III OPERATOR LINEAR TERBATAS PADA RUANG HILBERT 3.1 Operator linear Operator merupakan salah satu materi yang akan dibahas dalam fungsi real yaitu suatu fungsi dari ruang vektor ke ruang vektor. Ruang

Lebih terperinci

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan.

BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. BAB V MOMENTUM ANGULAR Pengukuran Simultan Beberapa Properti Dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah konstan. Kriteria apa saa yang dapat digunakan untuk menentukan properti

Lebih terperinci

ELLIPTIC CURVE CRYPTOGRAPHY. Disarikan oleh: Dinisfu Sya ban ( )

ELLIPTIC CURVE CRYPTOGRAPHY. Disarikan oleh: Dinisfu Sya ban ( ) ELLIPTIC CURVE CRYPTOGRAPHY Disarikan oleh: Dinisfu Sya ban (0403100596) SEKOLAH TINGGI SANDI NEGARA BOGOR 007 A. Fungsi Elliptic Curves 1. Definisi Elliptic Curves Definisi 1. : Misalkan k merupakan field

Lebih terperinci

1.1 MATRIKS DAN JENISNYA Matriks merupakan kumpulan bilangan yang berbentuk segi empat yang tersusun dalam baris dan kolom.

1.1 MATRIKS DAN JENISNYA Matriks merupakan kumpulan bilangan yang berbentuk segi empat yang tersusun dalam baris dan kolom. Bab MATRIKS DAN OPERASINYA Memahami matriks dan operasinya merupakan langkah awal dalam memahami buku ini. Beberapa masalah real dapat direpresentasikan dalam bentuk matriks. Masalah tersebut antara lain

Lebih terperinci

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu:

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu: KB.2 Fisika Molekul 2.1 Prinsip Pauli. Konsep fungsi gelombang-fungsi gelombang simetri dan antisimetri berlaku untuk sistem yang mengandung partikel-partikel identik. Ada perbedaan yang fundamental antara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data A. Model Matematika BAB II KAJIAN TEORI Pemodelan matematika adalah proses representasi dan penjelasan dari permasalahan dunia real yang dinyatakan dalam pernyataan matematika (Widowati dan Sutimin, 2007:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Atom Pion Atom pion sama seperti atom hidrogen hanya elektron nya diganti menjadi sebuah pion negatif. Partikel ini telah diteliti sekitar empat puluh tahun yang lalu, tetapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini dibahas penelitian-penelitian tentang aljabar maks-plus yang telah dilakukan dan teori-teori yang menunjang penelitian masalah nilai eigen dan vektor eigen yang diperumum

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya dikarenakan faktor ketidakpasatian atau ketidaksempurnaan informasi saja. Namun masih terdapat penyebab

Lebih terperinci

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase Bab 2 Teori Ensambel 2. Rapat Ruang Fase Dalam bagian sebelumnya, kita telah menghitung sifat makroskopis dari suatu sistem terisolasi dengan nilai E, V dan N tertentu. Sekarang kita akan membangun suatu

Lebih terperinci

OPERATOR PADA RUANG BARISAN TERBATAS

OPERATOR PADA RUANG BARISAN TERBATAS OPERATOR PADA RUANG BARISAN TERBATAS Muslim Ansori *,Tiryono 2, Suharsono S 2,Dorrah Azis 2 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Lampung,2 Jln. Soemantri Brodjonegoro No Bandar Lampung email: ansomath@yahoo.com

Lebih terperinci

Grup USp(2n,C) 1. Definisi dan Parameterisasi Grup USp ( 2, C )

Grup USp(2n,C) 1. Definisi dan Parameterisasi Grup USp ( 2, C ) Grup USp(2n,C) Kevin Frankly Samuel Pardede 1 1 Institut Teknologi Bandung Definisi beserta pembuktian sifat grup USp(2n, C) akan diberikan. Untuk kasus n=1, pembuktian bahwa grup USp(2, C) adalah sebuah

Lebih terperinci

HOMOMORFISMA. Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang

HOMOMORFISMA. Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang HOMOMORFISMA Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang email:ymcholily@gmail.com May 19, 2013 1 Daftar Isi 1 Tujuan 3 2 Homomorfisma 3 3 Sifat-sifat Homomorfisma

Lebih terperinci

Aljabar Linear Elementer MA SKS. 07/03/ :21 MA-1223 Aljabar Linear 1

Aljabar Linear Elementer MA SKS. 07/03/ :21 MA-1223 Aljabar Linear 1 Aljabar Linear Elementer MA SKS 7//7 : MA- Aljabar Linear Jadwal Kuliah Hari I Hari II jam jam Sistem Penilaian UTS 4% UAS 4% Quis % 7//7 : MA- Aljabar Linear Silabus : Bab I Matriks dan Operasinya Bab

Lebih terperinci

Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan

Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan Barisan dan Deret Agus Yodi Gunawan Barisan. Definisi. Barisan tak hingga adalah suatu fungsi dengan daerah asalnya himpunan bilangan bulat positif dan daerah kawannya himpunan bilangan real. Notasi untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang

BAB II KAJIAN TEORI. definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang BAB II KAJIAN TEORI Pada Bab II ini berisi kajian teori. Di bab ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai grup, ring, dan lapangan serta teori-teori pengkodean yang mendasari teori kode BCH. A. Grup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena optik dapat mendeskripsikan sifat medium dalam interaksinya dengan gelombang elekromagnetik. Hal tersebut ditentukan oleh beberapa parameter optik, yaitu indeks

Lebih terperinci

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Analisis Fungsional. Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Analisis Fungsional Oleh: Dr. Rizky Rosjanuardi, M.Si Jurusan Pendidikan Matematika UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Lingkup Materi Ruang Metrik dan Ruang Topologi Kelengkapan Ruang Banach Ruang Hilbert

Lebih terperinci

KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC)

KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC) KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC) Muhammad Taufiqi Dosen Pembimbing Agus Purwanto, D.Sc JURUSAN FISIKA Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR

MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR MUH1G3/ MATRIKS DAN RUANG VEKTOR TIM DOSEN 1 Matriks dan Operasinya MATRIKS DAN OPERASINYA Sub Pokok Bahasan Matriks Jenis-jenis Matriks Operasi Matriks Operasi Baris Elementer Matriks Invers (Balikan)

Lebih terperinci

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) A. M. Nugraha 1*), J. P. Diningrum 1 ), N. Liliani 1 ), T. Sumaryada 2 ), A. Sulaksono 1 ) 1 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

BAB 1 Keseimban gan dan Dinamika Rotasi

BAB 1 Keseimban gan dan Dinamika Rotasi BAB 1 Keseimban gan dan Dinamika Rotasi titik berat, dan momentum sudut pada benda tegar (statis dan dinamis) dalam kehidupan sehari-hari.benda tegar (statis dan Indikator Pencapaian Kompetensi: 3.1.1

Lebih terperinci

STRUKTUR ALJABAR: RING

STRUKTUR ALJABAR: RING STRUKTUR ALJABAR: RING BAHAN AJAR Oleh: Rippi Maya Program Studi Magister Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) SILIWANGI - Bandung 2016 1 Pada grup telah dipelajari

Lebih terperinci

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menjelaskan cara penyelesaian soal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Telah banyak model fisika partikel yang dikembangkan oleh fisikawan untuk mencoba menjelaskan keberadaan partikel-partikel elementer serta interaksi yang menyertainya.

Lebih terperinci

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan

BAB 4 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN METODE PENELITIAN. 3.2 Peralatan 4 3.2 Peralatan..(9) dimana,, dan.(10) substitusi persamaan (10) ke persamaan (9) maka diperoleh persamaan gelombang soliton DNA model PBD...(11) agar persamaan (11) dapat dipecahkan sehingga harus diterapkan

Lebih terperinci

KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN

KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN UNIVERSITAS INDONESIA KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN SYAEFUDIN JAELANI 07066810 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK MEI 011 UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR A V PERAMATAN GELOMANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR 5.. Pendahuluan erkas (beam) optik yang merambat pada medium linier mempunyai kecenderungan untuk menyebar karena adanya efek difraksi; lihat Gambar

Lebih terperinci

Tinjauan Ulang 23 Juni 2013

Tinjauan Ulang 23 Juni 2013 Tinjauan Ulang 23 Juni 2013 Daftar Isi 1 Logika Matematika, Himpunan, Relasi, dan Pemetaan 3 1.1 Logika Matematika................................ 3 1.2 Formalisme Himpunan..............................

Lebih terperinci

PENDAHULUAN FISIKA KUANTUM. Asep Sutiadi (1974)/( )

PENDAHULUAN FISIKA KUANTUM. Asep Sutiadi (1974)/( ) PENDAHULUAN FISIKA KUANTUM FI363 / 3 sks Asep Sutiadi (1974)/(0008097002) TUJUAN PERKULIAHAN Selesai mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan pada kondisi seperti apa suatu permasalahan

Lebih terperinci

FI-5002 Mekanika Statistik SEMESTER/ Sem /2017 PR#1 : Review of Thermo & Microcanonical Ensemble Dikumpulkan :

FI-5002 Mekanika Statistik SEMESTER/ Sem /2017 PR#1 : Review of Thermo & Microcanonical Ensemble Dikumpulkan : ISTITUT TEKOLOGI BADUG FAKULTAS MATEMATIKA DA ILMU PEGETAHUA ALAM PROGRAM STUDI FISIKA FI-500 Mekanika Statistik SEMESTER/ Sem. - 016/017 PR#1 : Review of Thermo & Microcanonical Ensemble Dikumpulkan :

Lebih terperinci

Aplikasi Teorema Polya Pada Enumerasi Graf Sederhana

Aplikasi Teorema Polya Pada Enumerasi Graf Sederhana Aplikasi Teorema Polya Pada Enumerasi Graf Sederhana M. Faisal Baehaki Jurusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, Bandung 40135 e-mail: faisal.baihaki@comlabs.itb.ac.id Intisari Metode untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Matriks Matriks adalah himpunan bilangan real yang disusun secara empat persegi panjang, mempunyai baris dan kolom dengan bentuk umum : Tiap-tiap bilangan yang berada didalam

Lebih terperinci

ORDER UNSUR DARI GRUP S 4

ORDER UNSUR DARI GRUP S 4 Jurnal Matematika UNAND Vol. VI No. 1 Hal. 142 147 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND ORDER UNSUR DARI GRUP S 4 FEBYOLA, YANITA, MONIKA RIANTI HELMI Program Studi Matematika, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

MENENTUKAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN MATRIKS INTERVAL TUGAS AKHIR

MENENTUKAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN MATRIKS INTERVAL TUGAS AKHIR MENENTUKAN NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN MATRIKS INTERVAL TUGAS AKHIR Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Jurusan Matematika oleh DEVI SAFITRI 10654004470 FAKULTAS

Lebih terperinci

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Deret Tak Terhingga. Ayundyah. Barisan Tak Hingga. Deret Tak Terhingga

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Deret Tak Terhingga. Ayundyah. Barisan Tak Hingga. Deret Tak Terhingga Kesumawati Prodi Statistika FMIPA-UII April 29, 2015 Akar Barisan a 1, a 2, a 3, a 4,... adalah susunan bilangan-bilangan real yang teratur, satu untuk setiap bilangan bulat positif. adalah fungsi yang

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SATU PEUBAH ACAK

DISTRIBUSI SATU PEUBAH ACAK 0 DISTRIBUSI SATU PEUBAH ACAK Dalam hal ini akan dibahas macam-macam peubah acak, distribusi peluang, fungsi densitas, dan fungsi distribusi. Pada pembahasan selanjutnya, fungsi peluang untuk peubah acak

Lebih terperinci

ALJABAR ABSTRAK ( TEORI GRUP DAN TEORI RING ) Dr. Adi Setiawan, M. Sc

ALJABAR ABSTRAK ( TEORI GRUP DAN TEORI RING ) Dr. Adi Setiawan, M. Sc ALJABAR ABSTRAK ( TEORI GRUP DAN TEORI RING ) Dr. Adi Setiawan, M. Sc PROGRAM STUDI MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2011 0 KATA PENGANTAR Aljabar abstrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Beda Hingga Metode perbedaan beda hingga adalah metode yang sangat popular. Pada intinya metode ini mengubah masalah Persamaan Differensial Biasa (PDB) nilai batas dari

Lebih terperinci

Menghitung Jumlah Graf Sederhana dengan Teorema Polya

Menghitung Jumlah Graf Sederhana dengan Teorema Polya Menghitung Jumlah Graf Sederhana dengan Teorema Polya Hafni Syaeful Sulun NIM : 13505058 Program Studi Teknik Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha

Lebih terperinci

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk

Created By Aristastory.Wordpress.com BAB I PENDAHULUAN. Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori sistem dinamik adalah bidang matematika terapan yang digunakan untuk memeriksa kelakuan sistem dinamik kompleks, biasanya dengan menggunakan persamaan diferensial

Lebih terperinci

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI Atom terdiri dari inti atom yang dikelilingi oleh elektron-elektron, di mana elektron valensinya bebas bergerak di antara pusat-pusat ion. Elektron valensi geraknya

Lebih terperinci

FISIKA XI SMA 3

FISIKA XI SMA 3 FISIKA XI SMA 3 Magelang @iammovic Standar Kompetensi: Menerapkan konsep dan prinsip mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah Kompetensi Dasar: Merumuskan hubungan antara konsep torsi,

Lebih terperinci

MATERI ALJABAR LINEAR LANJUT RUANG VEKTOR

MATERI ALJABAR LINEAR LANJUT RUANG VEKTOR MATERI ALJABAR LINEAR LANJUT RUANG VEKTOR Disusun oleh: Dwi Lestari, M.Sc email: dwilestari@uny.ac.id JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Lebih terperinci

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 23, Pengantar Kelengkungan. M. Satriawan Teori Relativitas

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 23, Pengantar Kelengkungan. M. Satriawan Teori Relativitas Teori Relativitas Mirza Satriawan December 23, 2010 Pengantar Kelengkungan Quiz 1 Apakah basis vektor dalam sistem koordinat melengkung selalu konstan? 2 Dalam sistem koordinat apakah basis vektornya selalu

Lebih terperinci

BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN

BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN BAB II TEORI KODING DAN TEORI INVARIAN Pada bab 1 ini akan dibahas definisi kode, khususnya kode linier atas dan pencacah bobot Hammingnya. Di samping itu, akan dijelaskanan invarian, ring invarian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mekanika geometrik merupakan bidang kajian yang membahas subyek-subyek seperti persamaan diferensial, kalkulus variasi, analisis vektor dan tensor, aljabar

Lebih terperinci

SPECTRUM DETOUR GRAF n-partisi KOMPLIT

SPECTRUM DETOUR GRAF n-partisi KOMPLIT SPECTRUM DETOUR GRAF n-partisi KOMPLIT Desy Norma Puspita Dewi Jurusan Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang e-mail:phyta_3@yahoo.co.id ABSTRAK Matriks detour dari graf G adalah matriks yang elemen

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

BAB IV KURVA ELIPTIK DAN ID BASED CRYPTOSYSTEM

BAB IV KURVA ELIPTIK DAN ID BASED CRYPTOSYSTEM BAB IV KURVA ELIPTIK DAN ID BASED CRYPTOSYSTEM 4.1. Kurva Eliptik Misalkan p adalah bilangan prima yang lebih besar dari 3. Sebuah kurva eliptik atas lapangan hingga dengan ukuran p dinotasikan dengan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT

DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT DASAR-DASAR TEORI RUANG HILBERT Herry P. Suryawan 1 Geometri Ruang Hilbert Definisi 1.1 Ruang vektor kompleks V disebut ruang hasilkali dalam jika ada fungsi (.,.) : V V C sehingga untuk setiap x, y, z

Lebih terperinci

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI ALPI MAHISHA NUGRAHA alpi.mahisha@gmail.com Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

Pengantar Proses Stokastik

Pengantar Proses Stokastik Bab 1: Dasar-Dasar Probabilitas Statistika FMIPA Universitas Islam Indonesia Peluang Percobaan adalah kegiatan yang menghasilkan keluaran/hasil yang mungkin secara acak. Contoh: pelemparan sebuah dadu.

Lebih terperinci

SUBGRUP NORMAL. Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang

SUBGRUP NORMAL. Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang SUBGRUP NORMAL Yus Mochamad Cholily Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang email:ymcholily@gmail.com May 4, 2013 1 Daftar Isi 1 Tujuan 3 2 Subgrup Normal 3 3 Sifat-sifat Subgrup

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan beberapa teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta teorema-teorema

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. untuk setiap e G. 4. G mengandung balikan. Untuk setiap a G, terdapat b G sehingga a b =

BAB II TEORI DASAR. untuk setiap e G. 4. G mengandung balikan. Untuk setiap a G, terdapat b G sehingga a b = BAB II TEORI DASAR 2.1. Group Misalkan operasi biner didefinisikan untuk elemen-elemen dari himpunan G. Maka G adalah grup dengan operasi * jika kondisi di bawah ini terpenuhi : 1. G tertutup terhadap.

Lebih terperinci

Bab III Model Proses Deformasi Benang Viscoelastis Linear di Lingkungan Fluida Newton

Bab III Model Proses Deformasi Benang Viscoelastis Linear di Lingkungan Fluida Newton Bab III Model Proses Deformasi Benang Viscoelastis Linear di Lingkungan Fluida Newton III.1 Stress dan Strain Salah satu hal yang penting dalam pengkonstruksian model proses deformasi suatu fluida adalah

Lebih terperinci

BAB 4 MODEL RUANG KEADAAN (STATE SPACE)

BAB 4 MODEL RUANG KEADAAN (STATE SPACE) BAB 4 MODEL RUANG KEADAAN (STATE SPACE) KOMPETENSI Kemampuan untuk menjelaskan pengertian tentang state space, menentukan nisbah alih hubungannya dengan persamaan ruang keadaan dan Mengembangkan analisis

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ANALISIS MATEMATIKA

DASAR-DASAR ANALISIS MATEMATIKA (Bekal untuk Para Sarjana dan Magister Matematika) Dosen FMIPA - ITB E-mail: hgunawan@math.itb.ac.id. November 19, 2007 Secara geometris, f kontinu di suatu titik berarti bahwa grafiknya tidak terputus

Lebih terperinci

BAB III METODE BINOMIAL

BAB III METODE BINOMIAL BAB III METODE BINOMIAL Metode Binomial ialah metode sederhana yang banyak digunakan untuk menghitung harga saham. Metode ini berdasarkan pada percabangan pohon yang menerapkan aturan binomial pada tiap-tiap

Lebih terperinci

= (2) Persamaan (2) adalah persamaan diferensial orde dua dengan akar-akar bilangan kompleks yang berlainan, solusinya adalah () =sin+cos (3)

= (2) Persamaan (2) adalah persamaan diferensial orde dua dengan akar-akar bilangan kompleks yang berlainan, solusinya adalah () =sin+cos (3) 2. Osilator Harmonik Pada mekanika klasik, salah satu bentuk osilator harmonik adalah sistem pegas massa, yaitu suatu beban bermassa m yang terikat pada salah satu ujung pegas dengan konstanta pegas k.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.4. Hipotesis 1. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki perbedaan mulai kisaran energi 0.3 sampai 1.0. 2. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki kesamaan pada kisaran energi

Lebih terperinci

BABAK PENYISIHAN SELEKSI TINGKAT PROVINSI BIDANG KOMPETISI

BABAK PENYISIHAN SELEKSI TINGKAT PROVINSI BIDANG KOMPETISI LAMPIRAN 5 BABAK PENYISIHAN SELEKSI TINGKAT PROVINSI BIDANG KOMPETISI Laporan 2 Pelaksanaan OSN-PERTAMINA 2012 69 Olimpiade Sains Nasional Pertamina 2012 Petunjuk : 1. Tuliskan secara lengkap Nama, Nomor

Lebih terperinci