BAB 5 MODEL HIDRODINAMIKA TIGA DIMENSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 5 MODEL HIDRODINAMIKA TIGA DIMENSI"

Transkripsi

1 BAB 5 MODEL HIDRODINAMIKA TIGA DIMENSI Model hidrodinamika ang disajikan dalam bab ini adalah model hidrodinamika tiga dimensi Princeton Ocean Model (POM) ang diterapkan pada perairan Pantai Semarang. Kajian terhadap arus pada perairan pantai Semarang dipisahkan atas dua bagian utama, akni: pertama, arus ang dibangkitkan oleh pasang surut, dan pasut digabung angin ang ditujukan sebagai bagian dari verifikasi model dan kedua, sirkulasi arus ang dibangkitkan oleh angin. Seperti ang sudah dinatakan di atas bahwa model sirkulasi arus ang diterapkan dalam penelitian ini adalah model hidrodinamika Princeton Ocean Model (POM) ang sedang dikembangkan oleh Mellor dan kawan-kawan dari Universitas Princeton USA. Penerapan model POM pada perairan pantai Semarang, terlebih dahulu dilakukan pengujian model POM terhadap beberapa sarat batas terbuka. Untuk domain model ang sederhana (misalna saluran sederhana), penerapan sarat batas terbuka gravit-wave radiation; eplicit (GWE), sarat batas terbuka gradien (GRD) dan sarat batas Orlanski Radiation Implisit (ORI). Secara ringkas tahapan dari kegiatan penelitian model hidrodinamika tiga dimensi disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 5.1. Prinsip-prinsip dasar dari model POM adalah sebagai berikut (Mellor,1998): Mengandung sub-model turbulensi tertutup untuk memberikan koefisien percampuran vertikal. Koordinat vertikalna menggunakan model koordinat sigma ang diskalakan terhadap kedalaman kolom air. Grid horizontal dimungkinkan untuk menggunakan koordinat kurvalinier orthogonal dan menerapkan pembaganan Arakawa C. Diferensial horizontal dari model dalam diskritisasina menggunakan skema eksplisit, sedangkan differensial 65 65

2 vertikalna menggunakan skema implisit. Digunakanna skema implisit untuk diferensial vertikal bertujuan untuk mengeliminasi keterbatasan ang disebabkan oleh langkah waktu dalam perhitunganna, sehingga dengan demikian dimungkinkan untuk menggunakan resolusi vertikal ang lebih halus pada lapisan batas permukaan dan dasar. Model memiliki permukaan bebas dan menggunakan metode pemisahan langkah waktu. Dalam perhitungan model dipisahkan menjadi dua bagian langkah waktu, akni eksternal dan internal. Bagian model eksternal dari model adalah dua-dimensi dan menggunakan langkah waktu pendek berdasarkan pada kondisi CFL (Courant Friedrichs Lev) dan laju gelombang eksternal. Model internal adalah tiga-dimensi dan menggunakan langkah waktu panjang bergantung pada kondisi CFL dan laju gelombang internal. Dalam model secara lengkap kondisi thermodinamik juga telah diimplementasikan. Mulai Penelitian Lapangan Uji Sensitivitas HidrodinamikaPOM Verifikasi HidrodinamikaPOM Sarat batas Kedalaman perairan Koefisien gesekan dasar Model Lain Data lapangan Pengembangan Model Untuk Perairan Pantai Semarang Analisa Selesai Gambar 5.1. Diagram alir penelitian pengembangan model hidrodinamika tiga dimensi 66 66

3 Sub-model turbulen tertutup merupakan salah satu komponen ang juga dimasukkan ke dalam model (Mellor,1973) dan secara signifikan telah dikembangkan dalam kolaborasina dengan Tesuji Yamada (Mellor dan Yamada,1974; Mellor dan Yamada,198). Model turbulen tertutup Mellor-Yamada dikembangkan berdasarkan pada hipotesis turbulen dari Rotta dan Kolmogorov ang diperluas untuk kasus aliran berstratifikasi. Dalam penerapan model di perairan Semarang, data elevasi dan kecepatan arus ang digunakan sebagai masukan dan verifikasi model adalah data lapangan Persamaan Dasar Arus Sistim koordinat ang diperlihatkan pada Gambar 5. dipakai dalam model POM sebagai dasar untuk menurunkan persamaan pengatur gerakan hidrodinamika dan angkutan aliran. Gambar 5.. Sistim koordinat. (Sumber: Mellor, 1998.) Transformasi koordinat dari koordinat kartesian menjadi koordinat sigma adalah sebagai berikut: * =, * =, z, t* = t H (5.1) dimana :,,z = koordinat Cartesian, D H, H(,) = topografi dasar perairan, (,, t ) = elevasi muka air, *, *,, t * = koordinat sigma

4 Koordinat sigma () memiliki kisaran dari = 0 pada z (permukaan perairan) hingga = -1 pada z = -H (dasar perairan). Melalui konversi kekoordinat tersebut selanjutna persamaan kontinuitas, persamaan momentum, persamaan keadaan dan persamaan konveksi-difusi dapat dinatakan sebagai berikut (Mellor, 1998): DU DV t 0 (5.) UD U D UVD U gd 0 ' ' D ' fvd gd d t t o D ' ' K M U D F (5.3) VD UVD V D V gd 0 ' ' D ' fud gd d t o D ' ' K M U D F (5.4) TD TUD TVD T KH T R FT t D z (5.5) SD SUD SVD S KH t D S FS (5.6) q D Uq D Vq D q Kq q t D 3 K M U V g ~ Dq K D B H Fq o 1l (5.7) 68 68

5 dan persamaan model turbulen: q ld Uq ld Vq ld q l Kq q l t s D K U V E l E g M ~ K ~ 1 3 H W Fl D o (5.8) Dalam persamaan (5.) merupakan transpormasi kecepatan vertikal, secara fisik merupakan komponen arah normal terhadap permukaan. Dalam koordinat kartesian kecepatan vertikal tersebut adalah: D D D W U V t t (5.9) Pada persamaan (5.3) dan (5.4) suku viskositas dan difusi horizontal dinatakan dengan: F H H (5.10) F H H (5.11) dimana : U AM ; (5.1) U V AM ; (5.13) V AM (5.14) Kemudian juga bila bisa mewakili T,S,q atau q l maka: F Hq Hq (5.15) dimana : q AH ; (5.16) q AH (5.17) 69 69

6 5.. Gelombang Permukaan Gelombang permukaan ini lebih sering dikatakan sebagai gelombang angin, dimana secara umum dicirikan oleh tinggi gelombang signifikan H s, perioda gelombang signifikan T s, dan panjang gelombang signifikan L s. Ketigana didefenisikan sebagai rata-rata tinggi, perioda dan panjang gelombang dari sepertiga tinggi gelombang ang lebih tinggi (Rivera, 1997). Tinggi gelombang signifikan H s menurut CERC (1984) dan Bouws (1986) dapat ditentukan berdasarkan hubungan empirisna dengan angin, akni : 0,4 gf 0,75 0,015 0,83W gh W H s tanh0,53 tanh 0,75 g W gh tanh 0,53 W (5.18) Dengan kaitanna dengan angin, perioda gelombang signifikan dapat ditentukan berdasarkan hubungan berikut : 0,5 gf 0,375 0,077 7,54W gh W T s tanh0,833 tanh 0,375 g W gh tanh 0,833 W (5.19) dimana F adalah jarak efektif angin W periode tertentu (fecth). Sedangkan panjang gelombang siginifikan dapat ditentukan berdasarkan hubungan eksplisit ang diberikan oleh Fenton dan McKee (1990) berikut: 3/ gt tanh / s L s h g (5.0) Ts Persamaan-persamaan gelombang permukaan ini akan digunakan dalam menentukan tegangan geser dasar ang disebabkan oleh gelombang ang akan digunakan pada perhitungan transpor sedimen pada bab berikutna. / 3 70

7 5.3. Nilai Awal dan Sarat Batas Nilai awal dan kondisi batas termasuk dua faktor utama ang perlu diperhatikan dalam sebuah model, karena kedua faktor tersebut akan mempengaruhi keakuratan hasil perhitungan. Akan tetapi, satu dari sekian banak permasalahan ang sulit dalam pemodelan hidrodinamika secara numerik adalah dalam menentukan sarat batas terbuka. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut beberapa penelitian telah melakukan dengan berbagai bentuk variasi formulasi sarat batas terbuka (Arnold, 1987). Pentingna sarat batas tersebut karena sangat menentukan keberhasilan pemodelan numerik. Dimana suatu model numerik akan dapat dikembangkan dan digunakan secara efisien untuk meneliti domain model regional dan pantai sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam pemberian sarat batas terbuka ang sempurna (Marchesiello et al., 001). Tahapan simulasi model ang dijelaskan dalam buku ini dilakukan atas dua tahapan ukuran model, ang disebut masingmasing model besar dengan ukuran grid m dan model kecil dengan ukuran grid 5050 m. Diskritisasi daerah model disajikan dalam Gambar 5.3 Gambar 5.3. Diskritisasi daerah model (sumber. Suprijo, 1999) 71

8 Nilai Awal dan Sarat Batas Horizontal Model Besar Saat awal simulasi model dilakukan kondisi perairan ang ditinjau dianggap dalam keadaan tenang, akni tanpa gangguan. u = v = w = = 0 (5.1) dalam bentuk numerik dapat dinatakan sebagai berikut: o o o o u v w 0 (5.) i,j,k i,j,k i,j,k ζ i,j,k Kecepatan aliran tegak lurus terhadap batas tertutup dapat diasumsikan sama dengan nol, dengan demikian pada batas tertutup tersebut dapat kita gunakan pendekatan sarat batas semi-slip sebagai berikut : n 0 (5.3) Berbeda dengan sarat batas tertutup, penentuan sarat batas terbuka lebih sulit. Sarat batas terbuka untuk model besar ini digunakan sarat batas berikut: a. Sarat batas elevasi () : η ς (5.4) dimana : merupakan nilai elevasi ang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan (data). Sarat batas elevasi ini digunakan untuk mencari nilai elevasi pada batas terbuka sebelah Utara dari model. b. Sarat batas Gravit-wave radiation : Eplicit (GWE): 0 (5.5) t bentuk nemurik dari persamaan GWE adalah : n1 n n n, (5.6) dimana : t c, c gh B B B B1 dimana: g = percepatan gravitasi, h = kedalaman perairan, t = langkah waktu dan = lebar grid horisontal Sarat Batas Horizontal Uji Model dan Model Kecil Sama dengan sarat batas model besar, untuk uji model dan model kecil juga diasumsikan bahwa kecepatan aliran normal 7 7

9 terhadap batas tertutup (darat) adalah nol (sarat batas semi-slip), maka secara matematis dapat dinatakan sebagai : n 0 (5.7) Untuk batas terbuka horisontal ang digunakan dalam uji model dan model kecil dibagi atas dua bagian, akni sarat batas untuk elevasi dan sarat batas kecepatan sebagai berikut : a. Sarat batas terbuka elevasi () : Untuk uji model, sarat batas elevasi diterapkan dalam bentuk suatu persamaan, sedangkan untuk model kecil diambil dari hasil simulasi model besar, akni : η ς, (5.8) dimana : merupakan nilai elevasi ang diperoleh dari hasil model besar. Karena ukuran grid model besar lebih besar dari grid model kecil, maka penerapan elevasi ang diperoleh dari model besar tersebut harus dilakukan interpolasi. b. Sarat batas terbuka kecepatan: Perhitungan batas terbuka untuk uji model dan horisontal dalam model kecil ini digunakan beberapa pendekatan perumusan sarat batas, akni: Sarat batas gradient (GRD) : 0, (5.9) bentuk numerik dari persamaan GRD adalah : n1 n1 B B 1 Sarat batas Gravit-wave radiation: Eplicit (GWE): 0 (5.30) t bentuk nemurik dari persamaan GWE adalah : n1 n n n B B B B 1, dimana : t c, c gh Sarat batas Orlanski Radiation Implicit (ORI) sebagai berikut: 0, (5.31) t 73 73

10 74 74 bentuk nemurik dari persamaan ORI adalah : 1 / n B n B n B, dimana : 0 C jika 0 C 1 C 0 jika C 1 C jika 1 L L L L L n B n B n B n B n B, Penggunaan perumusan perhitungan batas terbuka kecepatan untuk model kecil dipilih berdasarkan hasil analisa dari pengujian model Sarat Batas Vertikal Kondisi batas vertikal untuk persamaan (5.) adalah: 0 1 0,0 (5.3) Kondisi batas untuk persamaan (5.3) dan (5.4) adalah: 0, 0, 0, wv wu V U D K M,0 (5.33) dimana sisi sebelah kanan dari persamaan (5.33) merupakan nilai masukan dari fluk momentum turbulen permukaan (komponen gesekan berlawanan dalam tandana). Sehingga persamaan (5.33) dapat ditulis dalam bentuk berikut : M U D K (5.34a) M V D K (5.34b) dimana : H W W W C D (5.35) H W W W C D (5.36) ,66 0,63 D W W C (5.37) dan untuk sarat batas dasar : 1,,, 1/ V U V U C V U D K z M (5.38)

11 harga C z dapat diperoleh melalui beberapa pendekatan: k Cz MAX,0.005 ln 1 kb1 H / zo (5.39) g n C z 1/ 3 H (5.40) 1 C z 3log148H (5.41) dimana: k = 0,4 adalah konstanta von Karman dan z o adalah parameter kekasaran, n = koefisien meaning, g = gravitasi. Persamaan (5.39) s/d (5.41) digunakan untuk uji sensitifitas model, seperti akan disajikan dalam sub bagian uji sensitifitas model. Sarat batas untuk persamaan (5.5) dan (5.6) adalah: K M T S, w 0, D 0 (permukaan) (5.4) K M T S, 0, D 1 (dasar) (5.43) Sarat batas untuk persamaan (5.7) dan (5.8) adalah: q 0, q l 0 / 3 B 0,0 (5.44) 1 u 3 1, q l1 B / u q 1,0 (5.45) 1 dimana B 1 salah satu konstanta turbulen tertutup dan u adalah gesekan kecepatan pada puncak atau dasar Persamaan Integrasi Vertikal Persamaan pembangun dinamika sirkulasi perairan pantai, mengandung gelombang gravitasi eksternal ang bergerak cepat dan gelombang gravitasi internal ang bergerak lambat. Pemisahan ini diperlukan sekali dalam hubunganna dengan penghematan pemakaian komputer akni melalui pemisahan persamaan integrasi secara vertikal (mode eksternal) dari persamaan struktur vertikal (mode internal). Teknik ini dikenal sebagai splitting mode (Simons, 1974; Madala and Piacsek, 1977) membolehkan perhitungan elevasi permukaan bebas dengan mengorbankan sedikit waktu komputasi dengan menelesaikan transpor kecepatan secara terpisah dari perhitungan tiga dimensi kecepatan dan sifat termodinamika

12 Transpor kecepatan, persamaan mode eksternal didapatkan dengan pengintegrasian persamaan mode internal terhadap kedalaman. Dengan cara demikian dapat mengeliminasi seluruh struktur vertikal. Selanjutna melalui mengintegrasikan persamaan (5.) dari = -1 sampai = 0 dan menggunakan kondisi batas pers. (5.35) dan pers. (5.36), sebuah persamaan untuk elevasi permukaan dapat ditulis sebagai berikut (Mellor, 1998): UD VD 0, (5.46) t Setelah diintegrasikan, persamaan momentum (5.3) dan (5.4), menjadi: UD U D UVD ~ F f VD gd wu0 wu1 t gd o o ' D ' + G D ' d ' d 1 o (5.47) VD UVD V D ~ F f UD gd wu0 wu1 t gd o o ' D ' + G D ' d ' d 1 o (5.48) Obverbars menandakan integrasi kecepatan secara vertikal seperti: U o U d (5.49) 1 Komponen gesekan angin adalah u0 dan v0, dan komponen gesekan dasar adalah: u1 dan v 1. Kuantitas F ~ dan F ~ didefenisikan menurut: U U V F ~ H AM H AM (5.50) V U V F ~ H AM H AM (5.51) 76 76

13 Suku dispersi didefenisikan menurut: G U D UVD ~ F U D UVD F (5.5) UVD V D ~ UVD U D G F F (5.53) Jika A M konstan dalam arah vertikal, maka suku F dan (5.5) dan (5.53) diabaikan. Bagaimanapun, kita menghitung variabel vertikal ang mungkin dalam difusi horizontal; termasuk kasus jika tipe difusi Smagorinsk digunakan. Seluruh suku pada sisi kanan dari (5.47) dan (5.48) dievaluasi pada masing-masing langkah waktu internal dan dipertahankan konstan seluruh jumlah langkah waktu eksternal Perhitungan Mode Tiga Dimensi (Internal) Dalam perhitungan mode tiga dimensi (internal), variabelna dipisahkan ke dalam dua langkah waktu, akni: langkah waktu difusi vertikal dan langkah waktu adveksi ditambah difusi horizontal. Penelesaian numerik dari suku bentuk pertama (difusi vertikal) adalah dengan cara implisit. Hal ini bertujuan untuk mengakomodasi spasi vertikal ang kecil dekat dasar. Sedangkan suku ang terakhir (adveksi ditambah difusi horizontal) diselesaikan secara eksplisit. Untuk ilustrasi penelesaian tersebut di atas, diambil contoh penelesaian persamaan berikut: DT 1 T R AdvT Dif T K H (5.54) T D Adv(T) dan Dif(T) menatakan suku adveksi dan difusi horizontal. Penelesaianna dilakukan dalam dua langkah waktu. Bagian Adveksi dan difusi horizontal didefrensialkan menurut: n1 ~ n1 n1 D T D T n n1 AdvT Dif T (5.55) t Bagian difusi vertikal didefrensialkan menurut: n1 n1 n1 ~ n1 D T D T 1 T R K n H (5.56) 1 t D Akibat pembaganan diferensial waktu secara leap frog, akan timbul penimpang secara perlahan. Untuk mengatasi

14 permasalahan tersebut, maka penelesaianna diperhalus pada masing-masing langkah waktu melalui penerapan filter Asselin (197), akni berdasarkan persamaan berikut: n1 n n1 Ts T T T T (5.57) dimana T s adalah penelesaian ang telah diperhalus, digunakan = Teknik ini mengintrodusir sedikit peredaman pada solusi dengan teknik langkah Euler-bacward atau forward Susunan Grid Susunan grid (staggered grid) untuk mode eksternal diperlihatkan dalam Gambar.5.3, sedangkan Gambar.5.4 untuk grid internal. Operator advektif dalam persamaan (5.) sampai (5.8) dan (5.46) sampai (5.48) digambarkan dalam pengertian volume terbatas; seperti persamaan (5.5) atau, operator Adv dalam (5.55), dapat ditulis: T Advt T h h DhUT DhVT hh (5.58) Dh UT menggambarkan transpor T dan menatakan diferensial dalam kuantitas ini melalui bidang berlawanan dari elemen volume. Diferensial kecepatan diselesaikan dalam langkah serupa akan tetapi ditambahkan suku Coriolis dan lengkungan. U ~ Adv( U) hh Dh DhUV hh fvdhh (5.59) dimana: V h U h ~ f h h h h Persamaan (5.60) merupakan suku kurva. (5.60) VA(I,J+1) Y UA(I,J) (I,J) UA(I+1,J) VA(I,J) X Gambar 5.4. Grid mode eksternal Dua-Dimensi. Sumber: Mellor,

15 V(I,J+1,K) Y U(I,J,K) T(I,J,K) T(I,J, Q(I,J,K) U(I+1,J,K) X V(I,J,K) Tampak mendatar Y U(I,J,K) W(I,J+1,K) Q(I,J,K+1) T(I,J,K) U(I+1,J,K) Z(K) ZZ(K) X W(I,J,K ) Q(I,J,K+1) Z(K+1) Tampak vertikal Gambar 5.5. Grid mode internal tiga-dimensi. Q mewakili KM, KH, Q, atau QL. T mewakili T, S, atau RHO. Sumber: Mellor, Pembatasan Langkah Waktu Untuk model POM ini, langkah waktu ang digunakan dibagi atas dua langkah waktu, akni langkah waktu eksternal dan langkah waktu internal. Pada perhitungan persamaan integrasi secara vertikal (mode eksternal), langkah waktu dibatasi berdasarkan sarat stabilitas komputasi Courant-Friedrichs-Lev (CFL): 1/ t E (5.61) Ct dimana C t = (gh) 1/ + U ma ; U ma adalah kecepatan maksimum. Kriteria langkah waktu untuk mode internal adalah: 1/ t I (5.6) C T dimana: C T = C + U ma ; C adalah kecepatan gelombang gravitasi internal maimum umumna berorde m/dt, dan U ma adalah kecepatan advektif maksimum. Untuk kondisi perairan pantai khusus perbandingan langkah waktuna adalah t / t DTI / DTE, selalu memiliki faktor dari atau lebih I E 79 79

16 besar, namun untuk penerapan di perairan pantai Semarang faktor DTI/DTE ang digunakan adalah 10. Batasan tambahan ditentukan oleh difusi horizontal: dan rotasi: t I (5.63) 4A H 1 1 t I (5.64) f sin dimana: A H = difusi horizontal, = kecepatan sudut dari bumi, dan Φ = latitude Metoda Penelesaian Numerik Model hidrodinamika ang akan dikembangkan berdasarkan persamaan pengatur seperti ang disajikan pada subbagian terdahulu, merupakan persamaan parsial ang simultan. Untuk penerapanna ke dalam model, maka persamaan-persamaan tersebut mesti terlebih dahulu diselesaikan dalam bentuk persamaan numerik. Untuk penelesaian persamaan pembangun dilakukan melalui pendekatan beda hingga (finite difference). Operasi pengurangan dan penjumlahan berdasarkan metoda beda hingga didefenisikan seperti berikut (Blumberg dan Mellor, 1987): F Δ Δ F,,σ, F -,,σ, F,,σ, Δ Δ F,,σ, F -,,σ,,,σ, Δ F,,,t F F,,,t F -,,,t 80,,σ, F,,σ, F,,σ, (5.65) (5.66) (5.67) (5.68)

17 81 Operator bar dan delta menatakan pembentukan komutatif dan distributif aljabar. Variabel F(,,,t) dapat dituliskan dalam bentuk n j,k i, F, dan merupakan selang grid horisontal ang konstan. merupakan selang grid vertikal ang besarna bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan bertujuan untuk mengurangi tingkat kesalahan ang mungkin disebabkan oleh besarna nilai selang pada grid tertentu. Dengan demikian, sebagai contoh penggunaan, maka persamaan 5., 5.3 dan 5.4 dapat ditulis menjadi : 0 ) ( ) ( ) ( V D D U t (5.69) t t D V f U V D U D U U D ) ( ) ( ) ( 1 ) ( ) ( n M U D K gd U W 1 1 1/ 1/ ) ( n k m m m o F D g (5.70) t t D U f V V D V D U V D ) ( ) ( ) ( 1 ) ( ) ( n M V D K gd V W 1 1 1/ 1/ ) ( n k m m m o F D g (5.71) 5.9. Uji Sarat Batas, Verifikasi dan Penerapan Model Uji Sarat Batas dan Sensitifitas Model Pom Pada bagian ini akan dijelaskan hasil kegiatan pengujian sarat batas terbuka dan sensitifitas model POM terhadap kedalaman dan koefisien gesekan dasar. Domain model ang digunakan untuk seluruh uji ini adalah teluk sederhana (Gambar 5.6).

18 Gambar 5.6. Domain untuk Teluk sederhana Dalam pengujian, teluk sederhana ini dibuat untuk berbagai kedalaman akni: 50, 5, 10 dan,5 m. Pada bagian mulut teluk diberikan elevasi sinusoidal ( Acos t ) dengan amplitudo 1 m dan untuk kecepatan diterapkan sarat batas GRD, GWE dan ORI secara bergantian untuk diuji. Simulasi model dilakukan selama 36 hari dengan selang waktu (dt) satu (1) detik Uji Sarat Batas Terbuka Agar hasil simulasi pada daerah model ang dibatasi lebih realistis, maka pada batas terbuka dari domain komputasi harus dimodelkan secara benar. Berbeda dengan batas darat (batas tertutup) dimana aliran dapat dengan mudah dispesifikasikan melalui transpor air adalah nol, aliran pada batas terbuka tidak mudah untuk diprediksi. Transpor air masuk dan keluar dari batas terbuka selama pasang surut harus dispesifikasikan seakurat mungkin untuk memperoleh prediksi ang akurat pula (Rivera, 1997). Oleh karena itu maka diperlukan pengujian model terhadap penggunaan sarat batas terbuka ang berbeda. Pada bagian ini dilakukan pengujian penggunaan sarat batas terbuka pada domain teluk sederhana (Gambar 5.7) dan perairan pantai Semarang. Tiga sarat batas ang diuji masing-masing adalah sarat batas: Gradien (GRD), Gravit-wave radiation: Eplicit (GWE) dan Orlanski radiation Implicit (ORI). Berdasarkan hasil simulasi model pada domain model teluk sederhana dalam untuk pengujian sarat batas terbuka, terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan hasil perhitungan ang signifikan akibat penerapan ketiga sarat batas (GWE, GRD dan ORI) seperti ang diperlihatkan dalam Gambar 5.7 sampai dengan Gambar

19 Sedikit perbedaan hasil perhitungan terjadi saat penerapan model pada kedalaman,5 m (Gambar 5.10). Dimana dalam penerapan sarat batas GWE terjadi kenaikan mean sea level (MSL) setinggi lebih kurang 0, m, sedangkan melalui penerapan sarat batas GRD dan ORI hana terjadi kenaikan MSL setinggi lebih kurang 0,18 m. Hal ini berarti terjadi perbedaan melalui penerapan sarat batas GRD dan ORI sebesar 0,0 m dari sarat batas GWE. Oleh karena itu dapat dinatakan bahwa penerapan sarat batas GRD dan ORI pada daerah ang lebih dangkal lebih baik jika dibandingkan dari pada penerapan sarat batas GWE. Namun demikian secara keseluruhan untuk penerapan ketiga sarat batas pada kedalaman domain model,5 m telah terjadi kenaikan MSL, akan tetapi perbedaan kenaikan tersebut tidak terlalu signifikan. Oleh karena itu penerapan ketiga sarat batas untuk berbagai variasi kedalam domain tidak memberikan hasil ang berbeda, dengan pengertian lain kenaikan MSL bukan merupakan pengaruh sarat batas ang berbeda, tetapi disebabkan oleh kedalaman. Hasil pengujian pengaruh sarat batas terbuka pada kedalaman domain 50 m, pada semua titik pencuplikan dan untuk seluruh sarat batas ang diuji, diperoleh hasilna sama (Gambar 5.7). Selain itu, amplitudo elevasi muka air hasil simulasi sama dengan amplitudo elevasi pada sarat batas terbuka, akni 1,0 m. Dalam pengujian tiga sarat batas terbuka dengan kedalaman domain model 5 m, hasil simulasi memperlihatkan perbedaan amplitudo elevasi muka air, terutama sekali elevasi muka air pada bagian dekat batas terbuka dengan elevasi muka air pada bagian lebih jauh dari batas terbuka (Gambar 5.8.). Amplitudo elevasi muka air ang lebih jauh dari batas terbuka memberikan hasil ang lebih besar akni sekitar 1,75 m. Hal ini berarti terjadi kenaikan elevasi muka air sebesar 0,75 m. Kenaikan sebesar tersebut terjadi karena adana akumulasi antara gelombang datang dan gelombang pantul. Pengaruh gelombang pantul tersebut lebih kecil untuk daerah ang lebih dekat dengan batas terbuka

20 (a) (b) (c) Gambar 5.7. Elevasi muka air setelah simulasi model pada hari ke 36 dengan penerapan sarat batas (a) ORI, (b) GWE dan (c) GRD pada teluk sederhana dengan kedalaman 50 m. 84

21 (a) (b) (c) Gambar 5.8. Elevasi muka air setelah simulasi model pada hari ke 36 dengan penerapan sarat batas (a) ORI, (b) GWE dan (c) GRD pada teluk sederhana dengan kedalaman 5 m. 85

22 (a) (b) (c) Gambar 5.9. Elevasi muka air setelah simulasi model pada hari ke 36 dengan penerapan sarat batas (a) ORI, (b) GWE dan (c) GRD pada teluk sederhana dengan kedalaman 10 m. 86

23 (a) (b) (c) Gambar Elevasi muka air setelah simulasi model pada hari ke 36 dengan penerapan sarat batas (a) ORI, (b) GWE dan (c) GRD pada teluk sederhana dengan kedalaman,5 m

24 Pada pengujian tiga sarat batas terbuka dengan kedalaman model 10 m, hasil memperlihatkan tidak terjadi perbedaan amplitudo elevasi muka air ang berarti dari ketiga pendekatan sarat batas terbuka (Gambar 5.9.). Dalam kasus kedalaman domain model 10 m, ang terjadi untuk masing-masing pendekatan sarat batas terbuka adalah elevasi muka air dalam domain model lebih rendah dari elevasi muka air pada sarat terbuka. Dengan demikian dapat dinatakan pada kedalaman domain model 10 m ini, telah terjadi peredaman elevasi muka air oleh model. Pengujian penerapan sarat batas terbuka GRD dan GWE pada saluran terbuka ang memiliki dua jet di tengah-tengah pada kedua sisi darat saluran (Gambar 5.11). Hasil simulasi memperlihatkan bahwa terjadi perbedaan elevasi muka air ang nata. Dari hasil simulasi selama 4 jam dengan menerapkan sarat batas GRD diperlihatkan pada titik tertentu dalam saluran terjadi kenaikan MSL dari waktu ke waktu. Hasil tersebut dapat dinatakan bahwa penerapan sarat batas GWE akan memberikan hasil lebih baik dari pada penerapan sarat batas GRD. Untuk lebih jelasna perbedaan ang terjadi diperlihatkan oleh Gambar 5.1. Berdasarkan pengujian ketiga sarat batas terbuka ang diterapkan pada dua bentuk domain model dan beberapa kedalaman ang berbeda, terlihat bahwa sarat batas akan memberikan tingkat keakuratan hasil ang berbeda. Dengan pengertian lain, bahwa sarat batas ang sudah memberikan hasil ang baik diterapkan pada domain tertentu belum tentu akan memberikan hasil ang baik pada domain ang berbeda. Untuk itu, diperlukan pemilihan sarat batas ang cocok untuk domain ang menjadi daerah kajian, karena hal ini akan menentukan tingkat keberhasilan dan keakuratan dari model ang dikembangkan untuk memprediksi suatu permasalahan. Gambar Kanal dengan dua jet pada kedua sisi daratna 88 88

25 Simpangan hasil ang ditimbulkan oleh sarat batas dapat dikurangi dengan memberikan koefisien gesekan dasar ang cocok. Chapman (1985) memperlihatkan bahwa saat menerapkan sarat batas GRD dan ORI dengan koefisien gesekan dasar sebesar 0, timbul kesalahan rms masing-masing sebesar 1,95 untuk sarat batas GRD dan 0, untuk sarat batas ORI. Setelah nilai koefisien gesekan dasarna diganti menjadi 0,05, maka simpangan rms error na kurang menjadi 0,753 untuk sarat batas GRD dan 0,147 untuk sarat batas ORI. Gambar 5.1. Pengaruh perbedaan penggunaan sarat batas (GWE dan GRD) pada saluran terbuka Sensitivitas Model Terhadap Kedalaman Saat membahas hasil pengujian pengaruh sarat batas terbuka, dinatakan ada pengaruh kedalaman terhadap hasil simulasi model. Oleh karena itu maka pada bagian ini secara khusus akan dibahas sensitifitas model terhadap perubahan kedalaman. Dalam pengujian sensitifitas model terhadap perubahan kedalaman domain model, sarat batas terbuka model ang digunakan adalah sarat batas ORI. Pemilihan sarat batas ORI ini atas pertimbangan uji sarat batas terbuka ang telah dilakukan terdahulu, dimana telah diperlihatkan bahwa melalui penerapan sarat batas ang berbeda pada domain ang sama tidak memperlihatkan perbedaan hasil ang berarti, sehingga diasumsikan penerapan sarat batas ORI akan sama dengan sarat batas lainna. Hasil pengujian model untuk beberapa kedalaman, akni: 50, 5, 10 dan,5 m diperlihatkan dalam Gambar

26 Berdasarkan hasil simulasi model (Gambar 5.13) terlihat bahwa kedalaman dapat berpengaruh terhadap amplitudo elevasi muka air dan juga dapat menggeser MSL. Untuk kedalaman,5 m, hasil simulasi model memperlihatkan elevasi muka airna lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil pada pengujian kedalaman ang lainna. Selain itu, pada kedalaman,5 m hasil simulasi juga memberikan kenaikan MSL lebih kurang 0,5 m dari ang semula MSL na 0,0 m. Sedangkan untuk kedalaman ang diuji, kedalaman hana berpengaruh terhadap elevasi muka airna. Dari ketiga kedalaman (10, 5 dan 50 m) tidak terjadi konsistensi pengaruh kedalaman terhadap elevasi muka air, dimana untuk kedalaman 10 m, memberikan elevasi muka air lebih rendah dari hasil kedalaman 5 dan 50 m. Sedangkan kedalaman 5 m, memberikan hasil simulasi model elevasi muka airna lebih tinggi dari kedalaman 50 m. Gambar 5.13 juga memperlihatkan bahwa hasil simulasi model pada kedalaman 5 m terjadi peningkatan elevasi muka air dari sarat batas terbukana, hal ini memberikan gambaran bahwa akumulasi antara gelombang datang dan gelombang pantul telah membuat elevasi muka air semakin tinggi sebesar 0,75 m. Untuk mengurangi kesalahan ang ditimbulkan oleh kedalaman perairan terhadap hasil simulasi model salah satuna dapat dilakukan dengan merubah besarna grid. berikut diperlihatkan pengaruh perubahan ukuran grid terhadap magnitudo elevasi muka air. Gambar 5.13.Sensitifitas model POM terhadap perubahan kedalaman domain model. 90

27 5.11. Sensitivitas Model Terhadap Koefisien Gesekan Dasar Gambar memperlihatkan hasil simulasi model untuk tiga macam pendekatan perumusan koefisien gesekan dasar dengan besar grid horizontal 1080 m. Ketiga koefisien gesekan tersebut adalah persamaan (5.39), (5.40), dan (5.41). Elevasi muka air ang diperlihatkan dalam Gambar 5.14, mencerminkan bahwa pemakaian pendekatan koefisien gesekan dasar ang berbeda akan memberikan hasil ang berbeda. Hasil ang diberikan oleh persamaan 5.40 dan 5.41 hampir sama, namun berbeda dengan hasil dari persamaan Perbedaan tersebut dapat dikurangi dengan cara mengatur sedemikian rupa nilai dari tinggi kekasaran dasar (Z o ). Perbedaan ang terjadi inilah ang memperlihatkan bahwa model sensitif terhadap koefisien gesekan dasar. Oleh karena itu, dalam penerapan model ini penting sekali untuk mengatur sedemikian rupa koefisien gesekan dasarna, sehingga hasil simulasi model dapat diharapkan sama dengan fenomena alam ang sebenarna. Dari ketiga pendekatan persamaan koefisien gesekan tersebut di atas, dapat dinatakan bahwa persamaan 5.39 lebih baik penggunaanna, karena kita dapat mengatur nilai koefisien kekasaranna. Dengan demikian, melalui nilai koefisien kekasaran ini dapat mengatur nilai koefisien gesekan agar sesuai dengan nilai ang diharapkan. 0,35 0,3 0,5 0, 0,15 Elevasi (m) 0,1 0,05 0-0, Pers.IV _39 Pers.IV _40-0,1-0,15-0, Waktu (jam) Gambar Pola elevasi muka air dengan tiga macam pendekatan koefisien gesekan dasar dengan besar grid horizontal 1080 m. 91

28 5.1. Verifikasi Model Dengan Hasil Model Van Rijn Sebelum model hidrodinamika POM diterapkan di perairan pantai Semarang maka terlebih dahulu juga dilakukan uji model melalui verifikasi model pada saluran sederhana. Uji model ang dilakukan disini adalah dengan cara membandingkan hasil simulasi ang diperoleh dengan hasil model van Rijn (1987). Domain sintetik ang digunakan sebagai pembanding merupakan sebuah saluran terbuka ang memiliki sebuah jet pada salah satu sisi darat dari saluran, deskripsi lengkap dari domain model adalah sebagai berikut: lebar : 1000 m, panjang : 3100 m, panjang dam 400 m, grid numerik 0 40 titik grid, kedalaman 6 m, elevasi (inlet) 0,18 m, dan elevasi (outlet) 0,0 m, untuk lebih jelas deskripsi di atas diperlihatkan oleh Gambar Gambar Saluran sederhana (Sumber. Van Rijn, 1987) Penerapan model pada saluran terbuka seperti deskripsi dalam Gambar merupakan salah satu cara ang dilakukan untuk menguji apakah model ang akan diterapkan di perairan pantai sudah laak. Pengujian juga dilakukan dengan cara membandingkan dengan model van Rijn. Berdasarkan hasil simulasi model dan membandingkanna dengan model van Rijn, dapat dilihat bahwa pola sirkulasi arus hasil model (Gambar 5.15) telah menerupai model ang dibangun oleh Rijn (1987). Hasil simulasi memperlihatkan kecepatan maksimum terjadi di daerah ujung jet akni 1,76 m/dt dan disisi sebelah kanan jet terjadi sirkulasi arus. Nilai ang diperoleh ini sedikit berbeda jika dibandingkan dengan ang diberikan oleh van Rijn (1987) aitu 1,7 m/dt. Perbedaan ini diduga karena masih terdapat perbedaan data masukan, dimana data untuk koefisien gesekan dasar tidak disebutkan dalam tulisan van Rijn (1987) tersebut, sedangkan dalam simulasi kali ini diberikan koefisen 9 9

29 gesekan dasar sebesar Selain itu juga diduga karena perbedaan pendekatan penelesaian numerik dari persamaan hidrodinamika. Dimana dalam penelitian ini model hidrodinamika penelesaian numerikna dengan metoda beda hingga (finite different), sedangkan van Rijn (1987) diselesaikan dengan metoda finite element dan menggunakan grid kurva linier. (a) (b) Gambar Sirkulasi arus (a) Hasil simulasi model; (b) Hasil van Rijn (1987) Penerapan Model Pada Perairan Pantai Semarang Penerapan model di perairan pantai Semarang dilakukan dalam dua tingkatan grid model, masing-masing disebut sebagai domain model besar dan model kecil. Besar ukuran grid dari kedua model tersebut berbeda, dimana grid untuk model besar lebih besar dibandingkan dengan model kecil, masing-masing meter 93 93

30 dengan jumlah grid 705 untuk model besar dan 5050 meter dengan jumlah grid untuk model kecil. Domain komputasi untuk model besar dan model kecil masing-masing secara berurutan diperlihatkan oleh Gambar Berdasarkan data pengamatan di lapangan ang dimiliki diasumsikan mewakili dua musim (musim Barat dan musim Timur), maka model diterapkan untuk dua musim, akni musim Timur dan musim Barat. Musim Timur diwakili oleh data pengamatan pada survei tanggal 19 sampai dengan Agustus 1997, sedangkan musim Barat diwakili oleh data hasil pengamatan pada tanggal 4 Februari sampai 11 Maret Gambar Sketsa daerah penelitian; daerah keseluruhan merupakan model besar dan daerah ang dibatasi garis putus-putus merupakan model kecil. (Sumber : Supridjo, 1999) Model Besar Sarat Batas Untuk model besar pada bagian terbuka diberikan nilai batas pasang surut, akni nilai berdasarkan hasil interpolasi dari elevasi pasang surut di dua titik masing-masing pada Tanjung Korowelang dan Moro Demak. Elevasi pasang surut ang digunakan dalam model besar ini merupakan hasil prediksi. Prediksi dilakukan berdasarkan komponen-komponen ang diperoleh dari analisa elevasi muka air hasil pengamatan langsung di lapangan. Elevasi ang menjadi nilai batas dari kedua titik tersebut diperlihatkan dalam Gambar 5.18 dan Gambar Gambar merupakan hasil prediksi selama 19 hari untuk bulan Juli Agustus 1997, 94 94

31 sedangkan Gambar merupakan elevasi muka air untuk bulan Pebruari Maret Menurut Gambar dan Gambar disimpulkan bahwa pasang surut ang terjadi di daerah model (Perairan Pantai Semarang) jenis pasang surut semi diurnal. Gambar tersebut juga memperlihatkan elevasi muka air di Moro Demak dan Tanjung Korowelang memiliki sedikit perbedaan, dimana elevasi muka air Moro Demak lebih tinggi dari pada elevasi muka air Tanjung Korowelang. Simulasi model besar dilakukan hana dengan menggunakan pasut sebagai gaa pembangkit, sehingga dalam hal ini tidak dilakukan simulasi dengan pembedaan musim. Elevasi (m) 5,00E-01 4,00E-01 3,00E-01,00E-01 1,00E-01 0,00E+00-1,00E-01 -,00E-01-3,00E-01-4,00E Demak Kendal Waktu (Jam) Gambar Sarat batas model besar (elevasi) pasang surut untuk musim kemarau (15 Juli Agustus 1997). Sumber: Laporan survei TIM URGE BATCH III. Elevasi (m) 5,00E-01 4,00E-01 3,00E-01,00E-01 1,00E-01 0,00E+00-1,00E-01 -,00E-01-3,00E Waktu (Jam) Demak Kendal Gambar Sarat batas model besar (elevasi) pasang surut untuk musim hujan (1 Februari 11 Maret 1998). Sumber: Laporan survei TIM URGE BATCH III

32 Verifikasi Model Besar Untuk model besar hana dilakukan verifikasi elevasi muka air pada satu titik lokasi akni di muara Tambak Lorok Semarang. Data lapangan ang digunakan dalam verifikasi ini adalah data ang diperoleh berdasarkan hasil survei pada tanggal 19 Juli 3 Agustus 1997 dan hasil pengamatan pada tanggal 4 Februari 11 Maret Elevasi (m) 0,5 0,4 0,3 0, 0,1 0-0,1-0, -0,3-0, Observasi Model Waktu Jam Gambar 5.0. Verifikasi Model Besar untuk Musim Kemarau pada titik C (Muara Bajir Kanal Timur). Elevasi Muka Air (m) 0,5 0,4 0,3 0, 0,1 0-0,1-0, -0,3-0, Observasi Model Waktu (Jam) Gambar 5.1. Verifikasi Model Besar untuk Musim Hujan pada titik C (Muara Bajir Kanal Timur). Hasil verifikasi ang dilakukan pada titik C memperlihatkan hasil ang cukup sempurna, dimana elevasi muka air ang diperoleh dari hasil simulasi model memiliki kecocokan ang 96 96

33 cukup baik dengan data berdasarkan pengamatan di lapangan pada dua periode waktu tersebut. Pada periode musim kemarau kondisi perairan relatif tenang, sehingga verifikasi ang dilakukan sangat baik (cocok). Sedikit penimpangan terjadi pada musim hujan antara hasil simulasi model dengan data lapangan. Diduga perbedaan ini terjadi pada musim hujan gelombang pendek sedikit berpengaruh. Namun perbedaan ang terjadi tersebut tidak terlalu signifikan Pola Sirkulasi Arus Model Besar Sirkulasi arus ang diperoleh dari simulasi model besar pada perairan pantai Semarang dan sekitarna diperlihatkan dalam Gambar Gambar ini memperlihatkan arus pasang surut pada tiga lapisan, akni: lapisan permukaan, tengah dan dasar serta mewakili empat kondisi pasut masing-masingna : saat menuju surut perbani, saat menuju pasang perbani, saat menuju pasang purnama dan saat menuju surut purnama. Saat kondisi pasut menuju surut perbani (Gambar 5.) arus bergerak dari arah Timur ke Barat dengan kisaran amplitudo kecepatan pada masing-masing lapisan 0,0309 0,510 m/dt (permukaan), 0,063-0,1919 m/dt (tengah) dan 0,004-0,1154 m/dt (dasar). Ketika kondisi pasut menuju pasang perbani (Gambar 5.3) arus bergerak dari arah Barat ke Timur dengan kisaran amplitudo kecepatan pada masing-masing lapisan 0,0455 0,417 m/dt (permukaan), 0,0309-0,3184 m/dt(tengah) dan 0,010-0,1909 m/dt (dasar). Pola sirkulasi arus pasang surut purnama diperlihatkan dalam Gambar 5.4. dan 5.5. Saat pasut menuju pasang, arus bergerak dari arah Barat menuju Timur (Gambar 5.4) dengan kisaran kecepatan 0,036-0,414 m/dt (permukaan), 0,0113-0,3373 m/dt (tengah) dan 0,0048-0,069 m/dt (dasar). Sedangkan sirkulasi arus saat pasut menuju surut arus bergerak dari arah Timur menuju Barat (Gambar 5.5) dengan kisaran kecepatan 0,068-0,3980 m/dt (permukaan), 0,0597-0,3536 m/dt (tengah) dan 0, m/dt (dasar). Jika diperhatikan magnitudo kecepatan pada kedua kondisi pasang-surut tersebut di atas, terlihat bahwa magnitudo kecepatan saat pasang menuju surut lebih besar dibandingkan saat surut menuju pasang. Informasi lain ang juga terlihat dari hasil model 97

34 adalah stratifikasi vertikal kecepatan arus dari permukaan ke arah dasar semakin kecil. Dimana kejadian ini disebabkan pada bagian dasar perairan dipengaruhi oleh adana gesekan dasar, sehingga dengan demikian menebabkan kecepatan aliran menjadi lambat. Hasil ang diperoleh ini memiliki kemiripan kualitatif dengan ang dihasilkan oleh Suprijo (1999) dan hana memiliki sedikit (tidak terlalu signifikan) perbedaan dalam hal magnitudo kecepatanna). Adana perbedaan tersebut diduga karena terdapat perbedaan pada koefisien-koefisien ang dipakai, misalna koefisien kekasaran permukaan laut. Dimana Suprijo (1999) menghasilkan saat kondisi pasang menuju surut perbani menunjukkan bahwa arus pasang-surut di perairan Teluk Semarang bergerak dari Timur ke Barat. Kisaran magnitudo kecepatanna untuk kondisi ini adalah 0,03-0,8 m/dt (lapisan permukaan), 0,0-0, m/dt (lapisan tengah) dan 0,05-0,1 m/dt (lapisan dekat dasar). Pada kondisi surut menuju pasang dinatakanna bahwa arus bergerak dari dari Barat / Baratlaut menuju Timur / Timurlaut dengan kisaran magnitudo kecepatan 0,03-0,3 m/dt (lapisan permukaan), 0,03-0,5 m/dt (lapisan tengah) dan 0,05-0,1 m/dt (lapisan dekat dasar). Pada saat kondisi pasang surut purnama Suprijo (1999) mengungkapkan bahwa kondisi arus di perairan Teluk Semarang saat surut menuju pasang arus bergerak dari Barat / Baratlaut menuju Timur / Timurlaut dengan magnitudo kecepatan 0,03-0,3 m/dt (lapisan permukaan), 0,03-0,5 m/dt (lapisan tengah) dan 0,05-0,1 m/dt (lapisan dekat dasar). Sedangkan pada kondisi surut menuju pasang, arus bergerak dari arah Timur / Timurlaut menuju Barat / Barat laut dengan kisaran magnitudo kecepatan 0,04-0,3 m/dt (lapisan permukaan), 0,03-0,5 (lapisan tengah) dan 0,08-0,15 m/dt (lapisan dekat dasar)

35 (a) (b) (c) Gambar 5.. Sirkulasi arus menuju surut (perbani) pada musim hujan (saat waktu simulasi 196,5 jam); (a) permukaan, (b) tengah dan (c) dasar. Satuan dalam 10-4 m/dt

36 (a) (b) (c ) Gambar 5.3. Sirkulasi arus menuju pasang (perbani) pada musim hujan (saat waktu simulasi 03 jam); (a) permukaan, (b) tengah dan (c) dasar. Satuan dalam 10-4 m/dt

37 (a) (b) (c ) Gambar 5.4. Sirkulasi arus menuju pasang (purnama) pada musim hujan (saat waktu simulasi 77 jam); (a) permukaan, (b) tengah dan (c) dasar. Satuan dalam 10-4 m/dt

38 (a) (b) (c ) Gambar 5.5. Sirkulasi arus menuju surut (purnama) pada musim hujan (saat waktu simulasi 84 jam) ; (a) permukaan, (b) tengah dan (c) dasar. Satuan dalam 10-4 m/dt. 10

39 5.15. Model Kecil Nilai batas pada daerah terbuka ang digunakan pada model kecil ini ada dua bagian akni: elevasi permukaan air, diberikan berupa elevasi permukaan ang diperoleh dari hasil simulasi model besar, dan untuk kecepatan adalah sarat batas persamaan ORI diterapkan pada sisi sebelah Barat, Timur dan Utara.Dalam simulasi model kecil ini dilakukan untuk dua kelompok kondisi berdasarkan pembangkitna, akni: pasut dan pasut digabungkan angin. Untuk kondisi dengan pembangkit gabungan antara pasut dan angin dilakukan simulasi model untuk dua musim, akni monsun Barat dan Monsun Timur. Verifikasi model kecil dilakukan dengan cara membandingkan hasil simulasi model dengan data pengamatan pada dua titik pengamatan, masing-masing adalah titik C1 dan C. Pada titik C1 verifikasi hana dilakukan untuk kecepatan saja, sedangkan pada titik C dilakukan untuk elevasi muka air dan kecepatan. Verifikasi juga dilakukan dalam beberapa macam pendekatan, akni : amplitudo elevasi muka air dan kecepatan, serta juga dilakukan pembadingan dengan data sebaran kecepatan pada waktu-waktu tertentu. Pada sarat batas terbuka, elevasi muka air ang digunakan adalah elevasi muka air dari jenis pasut semidiurnal, dengan demikian hasil simulasi model ang diperoleh juga merupakan jenis pasut semidiurnal. Dari hasil ini terlihat adana kecocokan dan logika ang benar dari jenis pasut ang dihasilkan simulasi model dengan jenis pasut ang merupakan sarat batas terbuka model. Hasil verifikasi elevasi muka air pada titik C disajikan dalam Gambar 5.6. Gambar tersebut memperlihatkan kecocokan ang cukup bagus antara elevasi muka air hasil simulasi model dan data pengamatan, baik itu fasa pasang surut, maupun magnitudo elevasi muka air, walaupun masih terjadi sedikit perbedaan pada ketinggian elevasi muka airna. Diduga sedikit perbedaan tersebut karena titik C berada pada perairan ang cukup dangkal (1,5 m), sehingga memberikan hasil ang kurang baik terhadap hasil model, seperti ang telah dibuktikan dalam bagian pengujian sensitivitas model pada bagian terdahulu. Dugaan lain juga dikarenakan belum begitu sesuaina koefisien gesekan dasar ang diterapkan dengan ang semestina. Dengan demikian model ang diterapkan untuk

40 perairan pantai Semarang, berdasarkan hasil verifikasi elevasi muka air, telah memperlihatkan hasil ang cukup baik. Elevasi muka air hasil simulasi model pada titik C1 dan C tidak memperlihatkan perbedaan, sehingga dengan demikian diharapkan juga bahwa kondisi lapanganna juga memiliki kondisi ang sama. Oleh karena itu, maka dapat dianggap bahwa verifikasi ang dilakukan pada titik C sudah cukup mewakili verifikasi elevasi muka air daerah lainna ang ada dalam domain model. VERIFIKASI ELEVASI PERMUKAAN AIR LOKASI : BKT (model kecil) Elevasi Muka Air (m) 0,5 0,4 0,3 0, 0,1 0-0,1-0, simulasi -0,3-0,4 pengamatan Waktu (Jam) Gambar 5.6. Verifikasi Elevasi Permukaan Air di Muara Banjir Kanal Timur Semarang Pada Tanggal 4 Pebruari s/d 10 Maret ELEVASI PERMUKAAN AIR LOKASI : C1 DAN C 0,4 0,3 Elevasi Muka Air (m) 0, 0,1 0-0,1-0, -0, Waktu (Jam) Gambar 5.7. Perbandingan Elevasi Permukaan Air di Muara Banjir Kanal Timur (C) dan stasiun C1 Pada Tanggal 4 Pebruari s/d 10 Maret

41 Verifikasi kecepatan dipisahkan atas komponenkomponenna, akni komponen kecepatan u dan komponen kecepatan v. Komponen kecepatan u merupakan komponen kecepatan ang sejajar dengan sumbu dan komponen kecepatan v merupakan komponen kecepatan ang sejajar dengan sumbu dalam sistim koordinat kartesian. Verifikasi komponen kecepatan dibagi atas dua bagian, akni arus pasut dan arus pasut ditambah angin (arus total). Hasil verifikasi masing-masing komponen kecepatan arus pasut pada titik C1 dan C secara berurutan diperlihatkan dalam Gambar 5.8 dan 5.9. Verifikasi pada titik C1 untuk komponen kecepatan arus pasut u dan v terlihat cukup bagus kesesuaian antara hasil simulasi model dengan data pengamatan lapangan (Gambar 5.8). Pada awal-awal hasil simulasi model terlihat masih adana sedikit pergeseran fasa komponen kecepatan arus pasut u antara hasil simulasi model dan data pengamatan, namun perbedaan tersebut untuk waktu-waktu lebih lanjut makin berkurang. Pergeseran fasa tersebut dikarenakan kestabilan numerik model belum tercapai. Hasil ang lebih baik diperlihatkan oleh komponen kecepatan arus pasut v (Gambar 5.9), dimana terlihat kecocokan fasa antara hasil simulasi model dan data lapangan. Amplitudo kedua komponen kecepatan hasil verifikasi memperlihatkan adana sedikit perbedaan. Sama halna dengan verifikasi elevasi muka air, maka diduga perbedaan ini disebabkan belum dihasilkan koefisien gesekan ang semestina. Namun demikian berdasarkan tinjauan hasil verifikasi komponen kecepatan arus pasut pada titik C1, walaupun masih ada sedikit perbedaan dengan data pengamatan langsung dilapangan model ang diterapkan ini relatif cukup bagus, akurat dan dapat dipercaa. Berbeda dengan hasil verifikasi komponen kecepatan pada titik C1, dimana hasil verifikasi kecepatan arus pasut pada titik C relatif kurang baik, karena antara hasil simulasi model dan data pengamatan terdapat perbedaan ang signifikan, terutama sekali dalam hal amplitudo komponen kecepatanna. Amplitudo komponen kecepatan arus pasut u dan v hasil simulasi model jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan data lapangan (Gambar 4.8). Komponen kecepatan arus pasut u hasil simulasi model memiliki amplitudona rata-rata sekitar 67% lebih kecil dari amplitudo komponen kecepatan u data pengamatan, sedangkan amplitudo 105

42 komponen kecepatan v hasil simulasi memiliki rata-rata sekitar 36% lebih kecil dari amplitudo komponen kecepatan v data pengamatan. Verifikasi Komponen Kecepatan (u) Arus Pasut Lokasi: C1 (Musim Hujan) Kecepatan (m/det) 0,06 0,04 0,0 0,00-0,0-0,04-0,06-0, Waktu (jam) pengamatan simulasi (a) Verifikasi Komponen Kecepatan (v) Arus Pasut Lokasi: C1 (Musim hujan) Kecepatan (m/det) 0,03 0,0 0,0 0,01 0,01 0,00-0,01-0,01-0,0-0,0-0,03-0,03 pengamatan Simulasi Waktu (jam) (b) Gambar 5.8. Verifikasi Komponen Kecepatan (a) U dan (b) V Arus Pasut di Stasiun C1 Pada Tanggal 4 Pebruari s/d 10 Maret Titik C berada di depan muara Banjir Kanal Timur ang memiliki kedalaman lebih kurang 1,5 m dan berada dalam zona pecah gelombang. Dengan demikian dapat diduga faktor gelombang pendek tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi perairan dititik tersebut, sedangkan dalam simulasi model pengaruh 106

43 gelombang pendek tidak dipertimbangkan. Suprijo (1999) menatakan bahwa pada zona gelombang pecah arus tidak linier, sehingga sangat kecil kemungkinanna akan diperoleh kecocokan antara hasil simulasi model dengan data lapangan jika pengaruh gelombang pecah tersebut tidak dimasukkan, seperti ang dilakukan dalam penelitian ini. Verifikasi Komponen Kecepatan (u) Arus Pasut Lokasi: C (Musim Hujan) Kecepatan (m/det) 0,06 0,04 0,0 0,00-0,0-0,04 pengamatan -0,06 simulasi -0, Waktu (jam) (a) Verifikasi Komponen Kecepatan (v) Arus Pasut Lokasi: C (Musim Hujan) Kecepatan (m/det) 0,15 0,10 0,05 0,00-0,05-0,10-0,15 pengamatan -0,0 Simulasi Waktu (jam) (b) Gambar 5.9. Verifikasi Komponen Kecepatan (a) U dan (b) V Arus Pasut di Stasiun C (Muara BKT ) Pada Tanggal 4 Pebruari s/d 10 Maret Verifikasi komponen kecepatan arus arus total (pasut + angin) dilakukan dengan cara memasukkan koefisien gesekan

44 permukaan (angin). Angin ang digunakan dalam verifikasi model ini adalah data angin ang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan lapangan dengan resultan anginna seperti ang diperlihatkan dalam Gambar 5.30 dan Gambar Data angin hasil pengamatan pada tanggal 19 Juli s/d 3 Agustus 1997 Gambar Data angin hasil pengamatan pada tanggal 4 Pebruari s/d 10 Meret

45 Apabila dibandingkan antara hasil simulasi model arus pasut dengan hasil simulasi model arus total, secara keseluruhan terlihat pengaruh angin terhadap hasil simulasi model cukup signifikan. Verifikasi Komponen Kecepatan (u) Arus Total Lokasi: C1 (Musim Hujan) 0,5 0,0 Kecepatan (m/det) 0,15 0,10 0,05 0,00-0,05-0,10 pengamatan -0,15-0,0 simulasi -0, Waktu (jam) (a) Verifikasi Komponen Kecepatan (v) Arus Total Lokasi: C1 (Musim hujan) Kecepatan (m/det) 0,08 0,06 0,04 0,0 0,00-0,0-0,04-0,06-0,08-0,10-0, Waktu (jam) pengamatan Simulasi Gambar 5.3. Verifikasi Komponen Kecepatan (a) U dan (b) V Arus Total di Stasiun C1 Pada Tanggal 4 Pebruari s/d 10 Maret (b) 109

46 Verifikasi Komponen Kecepatan (u) Arus Total Lokasi: C (Musim Hujan) 0,30 0,5 0,0 0,15 0,10 0,05 0,00-0,05-0,10-0,15-0,0-0, Kecepatan (m/det) Waktu (jam) pengamatan simulasi (a) Verifikasi Komponen Kecepatan (v) Arus Total Lokasi: C (Musim Hujan) Kecepatan (m/det) 1,00 0,80 0,60 0,40 0,0 0,00-0,0-0, Waktu (jam) pengamatan Simulasi Gambar Verifikasi Komponen Kecepatan (a) U dan (b) V Arus Total di Stasiun C pada Tanggal 4 Pebruari s/d 10 Maret Verifikasi model untuk arus total diperlihatkan dalam Gambar 5.3. sampai dengan Gambar Berdasarkan hasil verifikasi tercermin bahwa kecepatan arus total terdapat perbedaan antara hasil simulasi model dengan hasil data lapangan. Arah arus total pada titik C1 memperlihatkan kecenderungan sepanjang waktu mengarah ke pantai (menuju Selatan). Hasil simulasi model arah arusna lebih variatif, namun kecepatan dan frekuensi arus ang mengarah ke pantai lebih besar jika dibandingkan dengan ang mengarah ke laut (ke arah Utara). Sehingga dengan demikian (b)

47 secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa arah arus hasil simulasi model dan arah arus berdasarkan data pengamatan memiliki kecenderungan kesamaan (Gambar 5.34(a) dan (b)). (a) (b) (c) (d) Gambar Verifikasi Arah Kecepatan Arus Pasut di Stasiun C1 dan C (Depan Muara BKT) pada Tanggal 4 Pebruari s/d 10 Maret (a) Pengamatan C1, (b) Simulasi C1, (c) Pengamatan C dan (d) Simulasi C

BABm METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilakukan di dua tempat, yakni di Laboratorium Fakultas

BABm METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilakukan di dua tempat, yakni di Laboratorium Fakultas BABm METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian dilakukan di dua tempat, yakni di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau dengan kegiatan pengembangan model matematik

Lebih terperinci

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI Transpor sedimen pada bagian ini dipelajari dengan menggunakan model transpor sedimen tersuspensi dua dimensi horizontal. Dimana sedimen yang dimodelkan pada penelitian

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. IV, No. 02 (2016), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. IV, No. 02 (2016), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. IV, No. (1), Hal. 5 3 ISSN : 337- Aplikasi Metode Beda Hingga rank-nicholson Implisit untuk Menentukan Kasus Adveksi-Difusi D pada Sebaran Polutan Di Suatu Perairan Holand Sampera a,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Bone, Perairan Sulawesi dan sekitarnya, Indonesia (Gambar 6). Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian Teluk Bone,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi model penjalaran gelombang ST-Wave berupa gradien stress radiasi yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan parameter gelombang yang menjalar memasuki perairan

Lebih terperinci

BAB 7 MODEL TRANSPOR SEDIMEN TIGA DIMENSI

BAB 7 MODEL TRANSPOR SEDIMEN TIGA DIMENSI BAB 7 MODEL TRANSPOR SEDIMEN TIGA DIMENSI Mempelajari fenomena transpor sedimen di perairan pantai merupakan suatu hal yang penting, karena langsung maupun tidak langsung akan terkait dengan pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS TIGA DIMENSI DI PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONDE KABUPATEN PANGKEP, SULAWESI SELATAN

PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS TIGA DIMENSI DI PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONDE KABUPATEN PANGKEP, SULAWESI SELATAN PEMOELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS TIGA IMENSI I PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONE KABUPATEN PANGKEP, SULAWESI SELATAN Andi Galsan Mahie * Abstrak Sirkulasi arus tiga dimensi di perairan Kepulauan Spermonde Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penerapan model arus pada saluran terbuka pada bagian hulu dan hilir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penerapan model arus pada saluran terbuka pada bagian hulu dan hilir 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Model Hidrodinamika Penerapan model arus pada saluran terbuka pada bagian hulu dan hilir seperti yang telah diterapkan pada Van Rijn (1987) bertujuan untuk menguji

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi penyusunan basis data, pemodelan dan simulasi pola sebaran suhu air buangan

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN DENGAN METODE VOLUME HINGGA

BAB III PEMODELAN DENGAN METODE VOLUME HINGGA A III PEMODELAN DENGAN METODE VOLUME HINGGA 3.1 Teori Dasar Metode Volume Hingga Computational fluid dnamic atau CFD merupakan ilmu ang mempelajari tentang analisa aliran fluida, perpindahan panas dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI

MODUL MATEMATIKA II. Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI MODUL MATEMATIKA II Oleh: Dr. Eng. LILYA SUSANTI DEPARTEMEN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL KATA PENGANTAR Puji sukur kehadirat Allah SWT

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN DAN ANALISIS

BAB IV PEMODELAN DAN ANALISIS BAB IV PEMODELAN DAN ANALISIS Pemodelan dilakukan dengan menggunakan kontur eksperimen yang sudah ada, artificial dan studi kasus Aceh. Skenario dan persamaan pengatur yang digunakan adalah: Eksperimental

Lebih terperinci

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam perkembangan teknologi perangkat keras yang semakin maju, saat ini sudah mampu mensimulasikan fenomena alam dan membuat prediksinya. Beberapa tahun terakhir sudah

Lebih terperinci

BAB II TEORI TERKAIT

BAB II TEORI TERKAIT II. TEORI TERKAIT BAB II TEORI TERKAIT 2.1 Pemodelan Penjalaran dan Transformasi Gelombang 2.1.1 Persamaan Pengatur Berkenaan dengan persamaan dasar yang digunakan model MIKE, baik deskripsi dari suku-suku

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan di Kabupaten Bekasi yang terletak pada posisi 06 0 00 06 0 05 lintang selatan dan 106 0 57-107 0 02 bujur timur. Secara

Lebih terperinci

BAB IV PRINSIP-PRINSIP KONVEKSI

BAB IV PRINSIP-PRINSIP KONVEKSI BAB IV PRINSIP-PRINSIP KONVEKSI Aliran Viscous Berdasarkan gambar 1 dan, aitu aliran fluida pada pelat rata, gaa viscous dijelaskan dengan tegangan geser τ diantara lapisan fluida dengan rumus: du τ µ

Lebih terperinci

Model Hidrodinamika Tiga-Dimensi (3-D) Arus Pasang Surut di Laut Jawa

Model Hidrodinamika Tiga-Dimensi (3-D) Arus Pasang Surut di Laut Jawa JMS Vol. 3 No. 2, hal. 79-96, Oktober 1998 Model Hidrodinamika Tiga-Dimensi (3-D) Arus Pasang Surut di Laut Jawa Nining Sari Ningsih ) Program Studi Oseanografi, Jurusan Geofisika & Meteorologi, Institut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muara Sungai Muara sungai adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan dengan laut. Permasalahan di muara sungai dapat ditinjau dibagian mulut sungai (river mouth) dan estuari.

Lebih terperinci

PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS AKIBAT PENGARUH ANGIN DI SELAT MAKASSAR

PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS AKIBAT PENGARUH ANGIN DI SELAT MAKASSAR PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS AKIBAT PENGARUH ANGIN DI SELAT MAKASSAR Andi Galsan Mahie* *Jurusan Matematika FMIPA Universitas Hasanuddin Makassar andi_galsan.yahoo.com Abstract Wind driven ocean circulation

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga November 2011.

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga November 2011. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga November 2011. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan kegiatan, yaitu tahapan pertama kegiatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan grafik serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk mempresentasikan data kecepatan angin dalam bentuk mawar angin sebagai

Lebih terperinci

Model Refraksi-Difraksi Gelombang Air Oleh Batimetri

Model Refraksi-Difraksi Gelombang Air Oleh Batimetri Hutahaean ISSN 0853-98 Jurnal Teoretis dan Terapan idang Rekaasa Sipil Model Refraksi-Difraksi Gelombang ir Oleh atimetri Sawaluddin Hutahaean Pusat Studi Teknik Kelautan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan

Lebih terperinci

PEMODELAN NUMERIK UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH UPWELLING SEBAGAI KRITERIA LOKASI PENANGKAPAN IKAN (FISHING GROUND) DI SELAT MAKASSAR

PEMODELAN NUMERIK UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH UPWELLING SEBAGAI KRITERIA LOKASI PENANGKAPAN IKAN (FISHING GROUND) DI SELAT MAKASSAR PEMODELAN NUMERIK UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH UPWELLING SEBAGAI KRITERIA LOKASI PENANGKAPAN IKAN (FISHING GROUND) DI SELAT MAKASSAR Andi Galsan Mahie (*) Jurusan Matematika Fakultas MIPA UNHAS Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT PROSES DAN TIPE PASANG SURUT MATA KULIAH: PENGELOLAAN LAHAN PASUT DAN LEBAK SUB POKOK BAHASAN: PROSES DAN TIPE PASANG SURUT Oleh: Ir. MUHAMMAD MAHBUB, MP PS Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNLAM Pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai Ada dua istilah tentang kepantaian dalam bahasa indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai kepantaian

Lebih terperinci

BAB III 3. METODOLOGI

BAB III 3. METODOLOGI BAB III 3. METODOLOGI 3.1. Pasang Surut Pasang surut pada umumnya dikaitkan dengan proses naik turunnya muka laut dan gerak horizontal dari massa air secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong Pemodelan ini menghasilkan dua model yaitu model uji sensitifitas dan model dua musim. Dalam model uji sensitifitas

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 80 BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 5.1 Tinjauan Umum Bagian hilir muara Kali Silandak mengalami relokasi dan menjadi satu dengan Kali Jumbleng yang menyebabkan debit hilirnya menjadi lebih besar

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Pembangkitan Gelombang Angin yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin tersebut akan menimbulkan tegangan pada permukaan laut,

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN DISPERSI POLUTAN

BAB III PEMODELAN DISPERSI POLUTAN BAB III PEMODELAN DISPERSI POLUTAN Salah satu faktor utama ang mempengaruhi dispersi polutan adalah kecenderungan molekul-molekul polutan untuk berdifusi. Pada Bab II telah dijelaskan bahwa proses difusi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan dan intensifikasi penggunaan air, masalah kualitas air menjadi faktor yang penting dalam pengembangan sumberdaya air di berbagai belahan bumi. Walaupun

Lebih terperinci

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT MATA KULIAH: PENGELOLAAN LAHAN PASUT DAN LEBAK SUB POKOK BAHASAN: PROSES DAN TIPE PASANG SURUT Oleh: Ir. MUHAMMAD MAHBUB, MP PS Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNLAM Pengertian Pasang Surut Pasang surut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam kehidupan, polusi yang ada di sungai disebabkan oleh limbah dari pabrikpabrik dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS IV.1 Uji Sensitifitas Model Uji sensitifitas dilakukan dengan menggunakan 3 parameter masukan, yaitu angin (wind), kekasaran dasar laut (bottom roughness), serta langkah waktu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 6 BAB LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas beberapa konsep dasar ang akan digunakan sebagai landasan berpikir seperti beberapa teorema dan definisi ang berkaitan dengan penelitian ini. Dengan begitu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian perlu dilakukan pemgumpulan data untuk diproses, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk analisis. Pengadaan data untuk memahami

Lebih terperinci

KAJIAN ARUS PERAIRAN PANTAI SEMARANG PENDEKATAN PEMODELAN NUMERIK TIGA DIMENSI DISERTASI

KAJIAN ARUS PERAIRAN PANTAI SEMARANG PENDEKATAN PEMODELAN NUMERIK TIGA DIMENSI DISERTASI KAJIAN ARUS PERAIRAN PANTAI SEMARANG PENDEKATAN PEMODELAN NUMERIK TIGA DIMENSI DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung Oleh FATHURRAZIE

Lebih terperinci

SOBEK Hidrodinamik 1D2D (modul 2C)

SOBEK Hidrodinamik 1D2D (modul 2C) SOBEK Hidrodinamik 1D2D (modul 2C) 1 Konten Mengapa pemodelan? Gelombang Aspek aliran 1 dimensi di Sobek Aspek numerik Aspek aliran 2 dimensi di Sobek 2 (mengapa?) pemodelan 3 Mengapa pemodelan? - Tidak

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Dari pemodelan yang telah dilakukan, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil. 1. Pemodelan rambatan gelombang dilakukan dengan menggunakan 2 persamaan pengatur

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

BAB IV KAJIAN CFD PADA PROSES ALIRAN FLUIDA

BAB IV KAJIAN CFD PADA PROSES ALIRAN FLUIDA BAB IV KAJIAN CFD PADA PROSES ALIRAN FLUIDA IV. KAJIAN CFD PADA PROSES ALIRAN FLUIDA 4.1. Penelitian Sebelumna Computational Fluid Dnamics (CFD) merupakan program computer perangkat lunak untuk memprediksi

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pembangkitan Gelombang Angin yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin tersebut akan menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga

Lebih terperinci

Transpor Volume Massa Air Di Selat Sunda Akibat Interaksi Enso, Monsun dan Dipole Mode

Transpor Volume Massa Air Di Selat Sunda Akibat Interaksi Enso, Monsun dan Dipole Mode Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 013 Transpor Volume Massa Air Di Selat Sunda Akibat Interaksi Enso, Monsun dan Dipole Mode Muhammad Ishak Jumarang 1), Nining Sari Ningsih ) 1) Jurusan Fisika

Lebih terperinci

Pola Sirkulasi Arus Dan Salinitas Perairan Estuari Sungai Kapuas Kalimantan Barat

Pola Sirkulasi Arus Dan Salinitas Perairan Estuari Sungai Kapuas Kalimantan Barat Pola Sirkulasi Arus Dan Salinitas Perairan Estuari Sungai Kapuas Kalimantan Barat Muh.Ishak Jumarang 1), Muliadi 1), Nining Sari Ningsih ), Safwan Hadi ), Dian Martha ) 1) Program Studi Fisika FMIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB 2 DATA DAN METODA BAB 2 DATA DAN METODA 2.1 Pasut Laut Peristiwa pasang surut laut (pasut laut) adalah fenomena alami naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi bendabenda-benda

Lebih terperinci

BAB 1 PERSAMAAN DIFERENSIAL ORDER SATU

BAB 1 PERSAMAAN DIFERENSIAL ORDER SATU BAB PERSAAA DIFERESIAL ORDER SATU PEDAHULUA Persamaan Diferensial adalah salah satu cabang ilmu matematika ang banak digunakan dalam memahami permasalahan-permasalahan di bidang fisika dan teknik Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1 BAB I PENDAHULUAN Pantai merupakan suatu sistem yang sangat dinamis dimana morfologi pantai berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu baik secara lateral maupun vertikal yang dapat dilihat dari proses akresi

Lebih terperinci

Respect, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 205. Analisis Penampang. Pertemuan 4, 5, 6

Respect, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 205. Analisis Penampang. Pertemuan 4, 5, 6 Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 05 SKS : SKS nalisis Penampang Pertemuan 4, 5, 6 TU : Mahasiswa dapat menghitung properti dasar penampang, seperti luas, momen statis, momen inersia TK : Mahasiswa

Lebih terperinci

DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG h Bab 3 DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 3.1 Persamaan Gelombang untuk Dasar Sinusoidal Dasar laut berbentuk sinusoidal adalah salah satu bentuk dasar laut tak rata yang berupa fungsi sinus

Lebih terperinci

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab Definisi Arus Pergerakkan horizontal massa air Penyebab Fakfor Penggerak (Angin) Perbedaan Gradien Tekanan Perubahan Densitas Pengaruh Pasang Surut Air Laut Karakteristik Arus Aliran putaran yang besar

Lebih terperinci

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 36

Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 36 Ringkasan Kalkulus 2, Untuk dipakai di ITB 36 Irisan Kerucut animation 1 animation 2 Irisan kerucut adalah kurva ang terbentuk dari perpotongan antara sebuah kerucut dengan bidang datar. Kurva irisan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No.27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

Lebih terperinci

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral Sudaratno Sudirham Studi Mandiri Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral ii Darpublic BAB Fungsi Linier.. Fungsi Tetapan Fungsi tetapan bernilai tetap untuk rentang nilai x dari sampai +. Kita tuliskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uji Sensitifitas Sensitifitas parameter diuji dengan melakukan pemodelan pada domain C selama rentang waktu 3 hari dan menggunakan 3 titik sampel di pesisir. (Tabel 4.1 dan

Lebih terperinci

Darpublic Nopember 2013

Darpublic Nopember 2013 Darpublic Nopember 1 www.darpublic.com 1. Turunan Fungsi Polinom 1.1. Pengertian Dasar Kita telah melihat bahwa apabila koordinat dua titik ang terletak pada suatu garis lurus diketahui, misalna [ 1, 1

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE I. Nurdinintya Athari

PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE I. Nurdinintya Athari PERSAMAAN DIFFERENSIAL ORDE I Nurdininta Athari Definisi PERSAMAAN DIFERENSIAL Persamaan diferensial adalah suatu persamaan ang memuat satu atau lebih turunan fungsi ang tidak diketahui. Jika persamaan

Lebih terperinci

KAJIAN SEBARAN PANAS PADA OUTLET PLTU BOLOK KUPANG. Remigildus Cornelis *)

KAJIAN SEBARAN PANAS PADA OUTLET PLTU BOLOK KUPANG. Remigildus Cornelis *) KAJIAN SEBARAN PANAS PADA OTLET PLT BOLOK KPANG Remigildus Cornelis *) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rambatan panas akibat temperatur air ang keluar dari out let PLT Batu bara Bolok

Lebih terperinci

Bab III Metode Penelitian

Bab III Metode Penelitian Bab III Metode Penelitian 3.1 Tahapan Penelitian Studi penelitian yang telah dilakukan bersifat eksperimental di Kolam Gelombang Laboratorium Lingkungan dan Energi Laut, Jurusan Teknik Kelautan FTK, ITS

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square 1 Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square Miftakhul Ulum dan Khomsin Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Peta batimetri Labuan

Gambar 2.1 Peta batimetri Labuan BAB 2 DATA LINGKUNGAN 2.1 Batimetri Data batimetri adalah representasi dari kedalaman suatu perairan. Data ini diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan suatu proses yang disebut

Lebih terperinci

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG

Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai dasar laut sinusoidal sebagai reflektor gelombang. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan masalah dasar

Lebih terperinci

ANALISIS LINTASAN BOLA TENDANGAN BEBAS

ANALISIS LINTASAN BOLA TENDANGAN BEBAS ANAISIS INTASAN BOA TENDANGAN BEBAS Imran Rusana, Yuda Farid, Ahmad Ridwan Kelompok Studi Mahasiswa 10 FM Program Studi Fisika, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung 401 Indonesia Abstrak

Lebih terperinci

Simulasi Model Gelombang Pasang Surut dengan Metode Beda Hingga

Simulasi Model Gelombang Pasang Surut dengan Metode Beda Hingga J. Math. and Its Appl. ISSN: 1829-605X Vol. 2, No. 2, Nov 2005, 93 101 Simulasi Model Gelombang Pasang Surut dengan Metode Beda Hingga Lukman Hanafi, Danang Indrajaya Jurusan Matematika FMIPA ITS Kampus

Lebih terperinci

BAB 4 LOGICAL VALIDATION MELALUI PEMBANDINGAN DAN ANALISA HASIL SIMULASI

BAB 4 LOGICAL VALIDATION MELALUI PEMBANDINGAN DAN ANALISA HASIL SIMULASI BAB 4 LOGICAL VALIDATION MELALUI PEMBANDINGAN DAN ANALISA HASIL SIMULASI 4.1 TINJAUAN UMUM Tahapan simulasi pada pengembangan solusi numerik dari model adveksidispersi dilakukan untuk tujuan mempelajari

Lebih terperinci

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95.

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95. Tabel 4.4 Debit Bulanan Sungai Jenggalu Year/Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 1995 3.57 3.92 58.51 25.35 11.83 18.51 35.48 1.78 13.1 6.5 25.4 18.75 1996 19.19 25.16 13.42 13.21 7.13

Lebih terperinci

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral Sudaratno Sudirham Studi Mandiri Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral ii Darpublic BAB 9 Turunan Fungsi-Fungsi (1 (Fungsi Mononom, Fungsi Polinom 9.1. Pengertian Dasar Kita telah melihat bahwa apabila

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

B. Pengertian skalar dan vektor Dalam mempelajari dasar-dasar fisika, terdapat beberapa macam kuantitas kelompok besaran yaitu Vektor dan Skalar.

B. Pengertian skalar dan vektor Dalam mempelajari dasar-dasar fisika, terdapat beberapa macam kuantitas kelompok besaran yaitu Vektor dan Skalar. ANALISIS VEKTOR A. Deskripsi Materi ini akan membahas tentang pengertian, sifat, operasi dan manipulasi besaran fisik scalar dan vector. Pada pembahasan materi medan elektromagnetik berikutna akan melibatkan

Lebih terperinci

Sudaryatno Sudirham. Integral dan Persamaan Diferensial

Sudaryatno Sudirham. Integral dan Persamaan Diferensial Sudaratno Sudirham Integral dan Persamaan Diferensial Bahan Kuliah Terbuka dalam format pdf tersedia di www.buku-e.lipi.go.id dalam format pps beranimasi tersedia di www.ee-cafe.org Bahasan akan mencakup

Lebih terperinci

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menjelaskan cara penyelesaian soal dengan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pantai Teritip hingga Pantai Ambarawang kurang lebih 9.5 km dengan koordinat x = 116 o 59 56.4 117 o 8 31.2

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Perpindahan panas adalah perpindahan energi yang terjadi pada benda atau material yang bersuhu tinggi ke benda atau material yang bersuhu rendah, hingga tercapainya kesetimbangan

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal Linier (Linier Shallow Water Equation)

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal Linier (Linier Shallow Water Equation) Bab 2 Landasan Teori Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai Persamaan Air Dangkal linier (Linear Shallow Water Equation), metode beda hingga, metode ekspansi asimtotik biasa, dan metode ekspansi asimtotik

Lebih terperinci

TURUNAN DALAM RUANG DIMENSI-n

TURUNAN DALAM RUANG DIMENSI-n TURUNAN DALAM RUANG DIMENSI-n A. Fungsi Dua Variabel atau Lebih Dalam subbab ini, fungsi dua variabel atau lebih dikaji dari tiga sudut pandang: secara verbal (melalui uraian dalam kata-kata) secara aljabar

Lebih terperinci

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS A. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Menerapkan Hukum I Newton untuk menganalisis gaya-gaya pada benda 2. Menerapkan Hukum II Newton untuk menganalisis gerak objek 3. Menentukan pasangan

Lebih terperinci

Tujuan Pembelajaran Umum Setelah membaca modul mahasiswa memahami kegunaan Energi Spesifik.

Tujuan Pembelajaran Umum Setelah membaca modul mahasiswa memahami kegunaan Energi Spesifik. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah membaa modul mahasiswa memahami kegunaan Energi Spesifik. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah membaa modul dan menelesailkan ontoh soal, mahasiswa mampu menjelaskan penggunaan

Lebih terperinci

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20 Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-2 IV.7 Gelombang Menabrak Suatu Struktur Vertikal Pemodelan dilakukan untuk melihat perilaku gelombang ketika menabrak suatu struktur vertikal. Suatu saluran

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA. Propagated wave area. Shallow water. Area of study. Gambar II-1. Ilustrasi Tsunami

BAB II STUDI PUSTAKA. Propagated wave area. Shallow water. Area of study. Gambar II-1. Ilustrasi Tsunami BAB II STUDI PUSTAKA II.1 Rambatan Tsunami Gelombang tsunami terbentuk akibat adanya pergesaran vertikal massa air. Pergeseran ini bisa terjadi oleh gempa, letusan gunung berapi, runtuhan gunung es, dan

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. A : sebuah konstanta, pada Persamaan (5.1)

DAFTAR NOTASI. A : sebuah konstanta, pada Persamaan (5.1) DAFTAR NOTASI A : sebuah konstanta, pada Persamaan (5.1) a c a m1 / 3 a m /k s B : Koefisien-koefisien yang membentuk elemen matrik tridiagonal dan dapat diselesaikan dengan metode eliminasi Gauss : amplitudo

Lebih terperinci

2. Fungsi Linier x 5. Gb.2.1. Fungsi tetapan (konstan):

2. Fungsi Linier x 5. Gb.2.1. Fungsi tetapan (konstan): Darpublic Nopember 3 www.darpublic.com. Fungsi Linier.. Fungsi Tetapan Fungsi tetapan bernilai tetap untuk rentang nilai dari sampai +. Kita tuliskan = k [.] dengan k bilangan-nata. Kurva fungsi ini terlihat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Model ADCIRC Model ADCIRC ialah model elemen hingga dua dan tiga dimensi yang digunakan pada permasalahan sirkulasi hidrodinamika. ADCIRC didasarkan pada kode elemen hingga

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Erosi adalah lepasnya material dasar dari tebing sungai, erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a. Quarrying, yaitu pendongkelan batuan

Lebih terperinci

Tinjauan Aliran Fluida dengan Menggunakan Metode Homotopi

Tinjauan Aliran Fluida dengan Menggunakan Metode Homotopi Tinjauan Aliran Fluida dengan Menggunakan Metode Homotopi Abd. Djabar Mohidin Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo Abstrak Dalam makalah ini, akan dibahas tinjauan matematis mengenai

Lebih terperinci

Bab. Persamaan Garis Lurus. Pengertian Persamaan Garis Lurus Gradien Menentukan Persamaan Garis lurus

Bab. Persamaan Garis Lurus. Pengertian Persamaan Garis Lurus Gradien Menentukan Persamaan Garis lurus Bab Sumb er: Scien ce Enclopedia, 997 Persamaan Garis Lurus Dalam suatu perlombaan balap sepeda, seorang pembalap mengauh sepedana dengan kecepatan tetap. Setiap 5 detik, pembalap tersebut menempuh jarak

Lebih terperinci

BAB VIII PERSAMAAN DIFERENSIAL (PD)

BAB VIII PERSAMAAN DIFERENSIAL (PD) BAB VIII PERSAMAAN DIFERENSIAL (PD) Banak masalah dalam kehidupan sehari-hari ang dapat dimodelkan dalam persamaan diferensial. Untuk menelesaikan masalah tersebut kita perlu menelesaikan pula persamaan

Lebih terperinci

Methode Aplikasi Bangunan Krib Sebagai Pelindung terhadap Bahaya Erosi Tebing Sungai ABSTRAK

Methode Aplikasi Bangunan Krib Sebagai Pelindung terhadap Bahaya Erosi Tebing Sungai ABSTRAK Jurnal APLIKASI Volume 5, Nomor 1, Agustus 008 Methode Aplikasi Bangunan Krib Sebagai Pelindung terhadap Bahaa Erosi Tebing Sungai Suharjoko Staft Pengajar Program Studi D-III Teknik Sipil FTSP ITS email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana banjir seakan telah dan akan tetap menjadi persoalan yang tidak memiliki akhir bagi umat manusia di seluruh dunia sejak dulu, saat ini dan bahkan sampai di masa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN KALKULUS

PENDAHULUAN KALKULUS . BILANGAN REAL PENDAHULUAN KALKULUS Ada beberapa jenis bilangan ang telah kita kenal ketika di bangku sekolah. Bilangan-bilangan tersebut adalah bilangan asli, bulat, cacah, rasional, irrasional. Tahu

Lebih terperinci

Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga

Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.2, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print) A-13 Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga Vimala Rachmawati dan Kamiran Jurusan

Lebih terperinci

Persamaan Diferensial Orde Satu

Persamaan Diferensial Orde Satu Modul Persamaan Diferensial Orde Satu P PENDAHULUAN Prof. SM. Nababan, Ph. ersamaan Diferensial (PD) adalah salah satu cabang matematika ang banak digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah fisis. Masalahmasalah

Lebih terperinci