HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi Model Verifikasi Model KlasteRula dilakukan untuk memastikan bahwa model klaster industri rumput laut terbebas dari kekeliruan proses logis sehingga dapat berfungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Setiap submodel yang terdapat pada Model KlasteRula diverifikasi dengan cara menguji apakah program pada setiap submodel tersebut telah dapat berjalan dengan baik dan benar. Verifikasi model diawali cara penelisikan berulang (debugging) pada setiap setiap modul Model KlasteRula untuk menganalisis alur kerja program. Langkah ini dilakukan guna mengurangi kesalahan yang bersifat logika (logical errors). Hasil proses debug menunjukkan tidak terdapat kesalahan logika didalam program, sehingga dapat berperilaku seperti yang diharapkan. Untuk tujuan verifikasi, Model KlasteRula diujicobakan pada sistem klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep Madura sebagai studi kasus. Setiap modul dalam Model KlasteRula diverifikasi menggunakan data riil yang dikumpulkan dari lapangan sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan, baik data sekunder maupun data primer yang berasal dari pengetahuan pakar. Hasil verifikasi terhadap seluruh submodel didalam program KlateRula menunjukkan bahwa model telah dapat diimplementasikan dengan baik dan menghasilkan keluaran sesuai dengan output yang diharapkan. Hal ini didukung dengan tidak adanya penyimpangan antara output model dengan hasil-hasil perhitungan manual, sebagaimana diperlihatkan didalam lampiran-lampiran. Hasil-hasil implementasi tersebut mengindikasikan bahwa model telah terverifikasi dengan baik yang memberikan petunjuk bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan model konsepsional ke model matematik. Hal ini menunjukkan bahwa model telah sesuai dengan kerangka logika dan mampu melakukan simulasi dengan menggunakan program komputer. Selengkapnya hasil verifikasi model diuraikan lebih lanjut pada bagian Implementasi Model. 113

2 114 Validasi Model Pada proses verifikasi model KlasteRula telah dilakukan evaluasi terhadap proses komputasi, kerja logika, dan elemen-elemen substansi yang diakomodir model. Kondisi seperti ini mendorong proses validasi lebih ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan model mampu mewakili sistem yang sebenarnya. Proses validasi dilakukan dengan mempelajari seluruh komponen model dan keluaran yang dihasilkan. Validasi model makro pengembangan klaster industri rumput laut secara struktural dilakukan menggunakan face validity melalui diskusi dengan pakar. Hasil validasi menunjukkan bahwa model KlasteRula telah mengandung semua elemen, kejadian, dan hubungan input output dari sebuah sistem klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Model KlasteRula dianggap cukup akurat dan mempunyai nilai kegunaan yang besar peranannya dalam mendukung para pengambil keputusan melalui berbagai fasilitas analisis yang mudah digunakan. Kegunaan model ditunjukkan dari kelengkapan model untuk bisa diterapkan dan mampu menganalisis berbagai aspek, baik pada level input, proses, maupun output. Validasi model KlasteRula untuk setiap submodelnya secara umum telah dianggap mencukupi. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian antara output model dengan kondisi sistem yang sebenarnya yang merupakan petunjuk bahwa model yang dikembangkan adalah model yang valid. Logika model yang dikembangkan pada setiap submodel adalah benar dan hubungan antar input-output didalam model dianggap telah berkesesuaian (reasonable). Keluaran model dianggap sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Perilaku sistem dapat diprediksi melalui perbandingan dengan keluaran model. Selain diukur berdasarkan hasil validasinya, efektivitas model ditunjukkan dengan tercapainya tujuan sistem. Implementasi Model KlasteRula menghasilkan keluaran sebagaimana diharapkan dalam tujuan pemodelan yang telah ditetapkan. Selengkapnya hasil validasi model diuraikan lebih lanjut pada bagian hasil implementasi model.

3 115 Implementasi Model Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan direkayasa melalui Model KlasteRula yang ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan pemerintahan (pusat/daerah) maupun para praktisi usaha (stakeholders) yang bergerak dalam pengembangan klaster industri rumput laut. Penggunaan Model KlasteRula dirancang secara fleksibel. Model KlasteRula tidak hanya dapat digunakan pada suatu daerah tertentu, tetapi dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan karakteristik daerah, potensi wilayah, dan permasalahan yang ingin diselesaikan. Implementasi Model KlasteRula dilakukan di Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur. Hasil implementasi model disajikan secara berurutan, yang meliputi: (i) diagnosis persyaratan kelayakan pengembangan klaster; (ii) operasi pengembangan klaster; dan (iii) prediksi kinerja pengembangan klaster. Model Diagnosis Kelayakan Pengembangan Tahap awal yang merupakan aspek kunci dalam pengembangan klaster industri adalah melakukan diagnosis terhadap kelayakan pengembangan klaster. Menurut Bappenas (2006a), tahap diagnosis dilakukan dengan mengidentifikasi dan memetakan potensi klaster, termasuk menganalisis kekuatan dan kelemahan klaster. Penilaian klaster pada tahap diagnosis ini menurut EDA (1997) sangat diperlukan untuk mendukung kinerja klaster. Model diagnosis kelayakan pengembangan bertujuan untuk mengidentifikasi potensi pengembangan klaster. Hasil diagnosis bermanfaat untuk menilai kelayakan daerah untuk mengembangkan klaster industri rumput laut berdasarkan dimensidimensi dalam pembangunan yang berkelanjutan. Model ini tersusun atas submodel prasyarat ekologi, sub model prasyarat ekonomi, submodel prasyarat sosial, dan submodel prasyarat kelembagaan. Keempat submodel diagnosis ini selanjutnya diagregasi kedalam suatu model agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut.

4 116 Submodel Prasyarat Ekologi Submodel prasyarat ekologi bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian lokasi yang akan digunakan untuk budidaya rumput laut. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha budidaya rumput laut, maka perlu dicari lokasi yang sesuai dengan kondisi ekologi rumput laut (Deptan 1997; Deptan 1999). Kondisi ekologi perairan ini diperlukan untuk memenuhi persyaratan tumbuh rumput laut (Eucheuma cottonii). Metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan pada submodel prasyarat ekologi adalah metode heuristic yang dikembangkan oleh Deptan (1990) dan Amarullah (2007). Parameter penilaian yang digunakan didalam model mencakup 10 indikator kesesuaian lokasi yang untuk budidaya rumput laut, yang secara rinci tercakup dalam matriks kesesuaian lahan budidaya rumput laut. Data-data yang diperlukan untuk menilai kesesuaian lahan didasarkan pada item-item penilaian pada matriks kesesuaian lahan. Kebutuhan data untuk implementasi model diambil berdasarkan data potensi perairan pada 11 kecamatan pesisir di Kabupaten Sumenep yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumenep dan Stasiun Meteorologi Maritim Perak Surabaya. Hasil rata-rata penilaian kondisi ekologis perairan pada kecamatan-kecamatan yang dianalis disajikan pada Tabel 16. Hasil selengkapnya kondisi ekologi perairan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 16 Hasil penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut No. Parameter Satuan Rata-rata penilaian 1 Dasar perairan Kedalaman pada surut terendah meter 0,95 3 Kecepatan arus cm/detik 17,90 4 Suhu permukaan ⁰C 31,77 5 Salinitas 30,55 6 ph -- 7,71 7 Kecerahan % 61,06 8 DO mg/l 6,50 9 Nitrat mg/l 0,14 10 Amonium mg/l 0,35 Sumber: DKP Kabupaten Sumenep dan BMKG Surabaya (data diolah)

5 117 Ikhtisar hasil keseluruhan analisis kesesuaian lahan budidaya rumput laut yang dilakukan pada 11 kecamatan pesisir di Kabupaten Sumenep disajikan pada Tabel 17. Pada tabel terlihat bahwa rata-rata nilai indeks parameter adalah 100,45, atau >91,68, sehingga masuk dalam kategori kelas Sesuai. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa secara ekologis wilayah perairan Kabupaten Sumenep sesuai dengan persyaratan tumbuh Eucheuma cottonii sehingga sangat potensial untuk dilakukan usaha pembudidayaannya. Tabel 17 Analisis kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut No. Kecamatan Nilai indeks Kesimpulan 1 Ambunten 103 Sesuai 2 Batuputih 111 Sesuai 3 Batang-batang 111 Sesuai 4 Bluto 95 Sesuai 5 Dasuk 111 Sesuai 6 Dungkek 101 Sesuai 7 Gapura 95 Sesuai 8 Kalianget 93 Sesuai 9 Pragaan 79 Cukup Sesuai 10 Pasongsongan 111 Sesuai 11 Saronggi 95 Sesuai Agregat 100,45 Sesuai Kesesuaian secara ekologis wilayah perairan Kabupaten Sumenep untuk persyaratan tumbuh rumput laut Eucheuma sp. akan mendorong tingkat peningkatan jumlah dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan. Produksi rumput laut Kabupaten Sumenep tahun 2009 mencapai ,80 ton, atau meningkat sebanyak 14,19% dari produksi tahun Peningkatan jumlah produksi ini diimbangi dengan peningkatan jumlah pembudidaya dan jumlah rakit yang diusahakan untuk budidaya rumput laut. Gambaran kondisi seperti ini menunjukkan bahwa validasi terhadap submodel diagnosis prasyarat ekologi secara event validity menghasilkan keluaran model yang cukup akurat

6 , , , Jumlah Pembudidaya (orang) Jumlah Rakit (unit) Jumlah Produksi (ton) Gambar 41 Potensi pengembangan rumput laut di Kabupaten Sumenep. Submodel Prasyarat Ekonomi Submodel prasyarat ekonomi bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif ekonomi. Implementasi Model KlasteRula dilakukan dengan memberikan input data penilaian pakar kedalam modul submodel prasyarat ekonomi. Data penilaian pakar yang diinput berupa data bobot dan data skor berdasarkan kriteria prasyarat ekonomi yang telah ditetapkan. Hasil diagnosis kelayakan persyaratan ekonomi pengembangan klaster secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 2.1. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik. Ikhtisar keluaran model penilaian pakar pada diagnosis kelayakan prasyarat ekonomi pengembangan klaster disajikan pada Tabel 18. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif ekonomi Cukup Layak untuk dilakukan yang didukung oleh potensi pasar produk yang cukup tinggi. Pada Tabel 18 terlihat bahwa permintaan pasar dan ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan indikator-indikator yang mempunyai bobot Tinggi, sementara untuk indikator lainnya mempunyai bobot Sedang. Hal ini menunjukkan bahwa indikator permintaan pasar dan infrastruktur merupakan indikator yang harus menjadi perhatian utama dalam pengembangan klaster industri rumput laut.

7 119 Tabel 18 Penilaian prasyarat ekonomi No. Indikator Bobot Skor Nilai Indeks 1 Permintaan pasar T T T 2 Kemampuan teknologi S S S 3 Infrastruktur ekonomi T S S 4 Kemampuan SDM S S S 5 Kegiatan ekonomi lokal S S S 6 Iklim investasi S S S 7 Permodalan S S S 8 Pertumbuhan industri/usaha S S S Kesimpulan Cukup Layak Dari sisi infrastruktur, prasyarat yang sudah dimiliki Kabupaten Sumenep untuk pengembangan klaster industri rumput laut meliputi: Ketersediaan listrik dengan kapasitas daya mencapai VA. Dari jumlah kapasitas tersebut, hanya sekitar VA yang saat ini terpakai (BPS 2009). Kapasitas daya listrik ini cukup memadai mengingat kebutuhan listrik khusus untuk industri ATC hanya sebesar VA. Ketersediaan air PDAM dengan potensi produksi sebesar m 3, dengan tingkat konsumsi hanya mencapai m 3 (BPS 2009). Kebutuhan air untuk produksi hanya sebesar 263 m 3 /hari. Potensi ini masih belum memperhitungkan potensi air tanah yang cukup tersedia. Akses jalan cukup baik. Dari sekitar km panjang jalan, sekitar 84,81% dalam kondisi baik. Panjang jalan yang diaspal mencapai 92,79% (BPS 2009). Kondisi jalan yang cukup baik ini akan memudahkan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan transportasi dan distribusi barang. Ketersediaan pelabuhan. Selain transportasi darat, keberadaan transportasi laut sangat diperlukan mengingat wilayah Kabupaten Sumenep adalah kepulauan. Pelabuhan yang berada di Kecamatan Kalianget melayani rute Kalianget-Kangean dan Kalianget-Jangkar. Wilayah ini juga berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Perak yang berada di Kota Surabaya. Sumberdaya manusia secara kuantitas cukup tersedia di Kabupaten Sumenep. Jumlah angkatan kerja tahun 2009 mencapai orang. Namun, sekitar 22,0%

8 120 adalah angkatan kerja yang berpendidikan tidak tamat SD (BPS 2009). SDM yang terlibat dalam pengusahaan rumput laut di Kabupaten Sumenep cukup banyak. Pada tahun 2009, jumlah pembudidaya mencapai orang dengan jumlah rakit budidaya sebanyak rakit. Tabel 19 Potensi sumberdaya manusia di Kabupaten Sumenep No. Kecamatan Jumlah pembudidaya (orang) Giligenting Bluto Saronggi Talango Gapura Dungkek Ra as Sapeken Kangayan Arjasa Masalembu Batu Putih Jumlah Sumber: DKP Kabupaten Sumenep (2010) Submodel Prasyarat Sosial Submodel prasyarat sosial bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif sosial. Implementasi Model KlasteRula dilakukan dengan memberikan input data penilaian pakar kedalam modul submodel prasyarat sosial, baik berupa data bobot dan data skor, yang didasarkan pada kriteria prasyarat sosial yang telah ditetapkan. Hasil diagnosis kelayakan persyaratan sosial secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 2.2. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan yang dilakukan secara manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik. Ikhtisar hasil implementasi submodel diagnosis kelayakan prasyarat sosial disajikan pada Tabel 20. Hasil diagnosis menunjukkan bahwa secara sosial

9 121 pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep Cukup Layak untuk dilakukan. Hal ini didukung oleh kondisi sosial budaya yang kondusif untuk pengembangan klaster. Tabel 20 Penilaian prasyarat sosial No. Kriteria Bobot Skor Nilai Indeks 1 Dukungan stakeholders ST S S 2 Kondisi sosial budaya T T T 3 Motivasi stakeholders S S S 4 Ketersediaan tata ruang T S S 5 Keterlibatan masyarakat setempat T S S Agregasi Cukup Layak Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa indikator dukungan para pemangku kepentingan (stakeholders) mempunyai bobot yang Sangat Tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut harus mendapatkan dukungan penuh dari stakeholders terkait agar nantinya klaster dapat beroperasi secara optimal. Submodel Prasyarat Kelembagaan Submodel model prasyarat kelembagaan bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan persyaratan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif kelembagaan. Ikhtisar hasil penilaian prasyarat kelembagaan disajikan pada Tabel 21. Hasil perhitungan manual diagnosis kelayakan persyaratan kelembagaan pengembangan klaster di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Lampiran 2.3. Tabel 21 Penilaian prasyarat kelembagaan No. Kriteria Bobot Skor Nilai Indeks 1 Kelengkapan struktur kelembagaan ST S S 2 Mekanisme hubungan kelembagaan T S S 3 Mekanisme monitoring dan evaluasi S S S Agregasi Cukup Layak

10 122 Pada Tabel 21 terlihat bahwa indikator kelengkapan struktur kelembagaan mempunyai bobot Sangat Tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan pengembangan klaster industri sangat dipengaruhi oleh kelengkapan struktur kelembagaan yang terlibat dalam aktivitas pengembangan klaster di daerah. Semakin lengkap stakeholders yang terlibat dalam kelembagaan klaster industri, maka semakin besar kemungkinan keberhasilan pengembangan klaster. Agregasi prasyarat kelembagaan pengembangan klaster berdasarkan hasil penilaian pakar adalah Sedang. Artinya, pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif kelembagaan Cukup Layak untuk dilakukan, meskipun kelengkapan struktur kelembagaan klaster masih belum sepenuhnya terbentuk. Potensi kelengkapan struktur kelembagaan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep, meliputi: Pembudidaya. Pembudidaya merupakan produsen primer yang membudidayakan rumput laut. Pembudidaya umumnya tergabung dalam suatu kelompok usaha pembudidaya yang saat ini jumlahnya mencapai 214 kelompok. Koperasi. Koperasi merupakan wadah bagi para pembudidaya untuk berusaha di sektor rumput laut. Koperasi membina kelompok-kelompok pembudidaya. Koperasi sekaligus bertindak sebagai pengepul di tingkat desa dan kecamatan. Pengepul/pedagang besar. Pengepul/pedagang besar melakukan pembelian rumput laut dari pengepul di tingkat kecamatan. Ada 9 unit usaha yang melakukan pembelian rumput laut di Kabupaten Sumenep yang tergolong pengepul besar, yaitu: UD. Karang Baru, UD. Ladaina, UD. Beni Tanasa, UD. Harapan Jaya, CV. Delta Surya Prima, PT. Madura Prima Interna, PT. Indo Carragenan, dan PT. Sansiwita. Pengepul besar selanjutnya menjual rumput laut kering ke eksportir yang berkedudukan di Surabaya dan Malang. Insitusi pembiayaan. Lembaga pembiayaan, baik bank dan non bank, yaitu: BRI, BCA, BNI, Bank Jatim, BPR Syariah Bakti Sumekar, Pegadaian,

11 123 Koperasi dan LKM (KSP, USP, BMT). Menurut laporan BI (2008), jumlah total kredit yang telah dikucurkan oleh pihak BRI, BCA, dan Bank Jatim pada tahun 2008 untuk usaha rumput laut sebesar Rp ,- Institusi pendidikan. Institusi pendidikan yang mendukung pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep, meliputi: Universitas Wiraraja Sumenep, Universitas Negeri Trunojoyo Bangkalan, STM Perikanan Jurusan Budidaya Rumput Laut Sumenep, Pesantren Al-Amin Prenduan Sumenep, serta Balai Besar Air Payau (BBAP) Situbondo. Submodel Agregasi Prasyarat Kelayakan Pengembangan Submodel ini bertujuan untuk mengagregasi prasyarat-prasyarat kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan). Proses agregasi menggunakan teknik sistem pakar (expert system). Jumlah aturan yang digunakan dalam sistem pakar sebanyak 81 aturan. Aturan-aturan (rulebase) yang digunakan dalam sistem pakar dapat dilihat pada Lampiran 3. Konsultasi pada sistem pakar menggunakan input dari keluaran submodel ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Konsultasi pada sistem pakar dilakukan dengan memberikan data masukan pada modul formulir konsultasi pada sistem pakar. Berdasarkan hasil konsultasi ditemukan ada satu buah aturan yang tepat dengan kondisi aktual yang ditanyakan, yaitu Aturan 14. Tabel 22 Hasil agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster No. Prasyarat Hasil Diagnosis Agregasi 1 Ekologi Sesuai 2 Ekonomi Cukup Layak 3 Sosial Cukup Layak Cukup Layak 4 Kelembagaan Cukup Layak Hasil konsultasi pada sistem pakar menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut Cukup Layak dikembangkan di Kabupaten Sumenep. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa Kabupaten Sumenep mempunyai potensi yang cukup baik untuk pengembangan klaster industri rumput laut.

12 124 Saran yang diberikan dalam konsultasi dengan sistem pakar adalah mempertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster, yaitu dengan meningkatkan beberapa prasyarat yang dianggap belum menunjukkan kondisi ideal yang diharapkan seperti pada prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan sebagai faktor kunci keberhasilan dalam penilaiannya. Faktor-faktor tersebut menurut Porter (1990) merupakan penentu daya saing klaster industri rumput laut sebagaimana tercakup dalam model berlian Porter. Model Operasi Pengembangan Klaster Model operasi pengembangan klaster bertujuan untuk menganalisis operasi pengembangan klaster jika prasyarat pengembangan klaster telah dipenuhi. Model ini dikembangkan untuk menganalisis langkah-langkah operasional pengembangan yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan tercapainya klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Model operasi sistem pengembangan klaster meliputi submodel operasi ekonomi, operasi sosial, dan operasi lingkungan. Submodel Operasi Ekonomi Submodel operasi ekonomi digunakan untuk menentukan harga rumput laut pada rantai usaha rumput laut didalam klaster, baik di tingkat agroindustri ATC, koperasi, kelompok pembudidaya, dan pembudidaya. Harga rumput laut untuk produk ATC di pasaran sangat dipengaruhi oleh kekuatan gel (gel strength/gs). Kekuatan gel merupakan parameter utama yang menentukan kualitas ATC. ATC dengan kualitas GS yang tinggi diasumsikan akan mempunyai harga yang tinggi. Meningkatnya harga ATC dengan GS tinggi akan mendorong meningkatnya harga rumput laut didalam klaster. Implementasi model dilakukan dengan memberikan input data parameter GS, harga ATC, harga rumput laut pada berbagai tingkatan kedalam modul submodel operasi ekonomi. Hasil penentuan harga rumput laut secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik.

13 125 Harga rumput laut di tingkat agroindustri Harga rumput laut di tingkat agroindustri ditentukan oleh harga ATC di pasar internasional. Peningkatan harga ATC akan diikuti oleh peningkatan harga rumput laut sesuai dengan kualitas GS. Keluaran model penentuan harga beli rumput laut di tingkat agroindustri pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 23. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk menentukan harga rumput laut di tingkat agroindustri adalah sebagai berikut: Volume produksi ATC sebesar 472,5 ton/tahun Volume pembelian rumput laut ton/tahun Margin keuntungan 25% Nilai tukar mata uang dolar terhadap rupiah adalah Rp per 1 US$. Biaya produksi sebesar Rp /tahun (rincian perhitungan biaya produksi dapat dilihat pada Lampiran 4.1). Tabel 23 Skenario harga rumput laut di tingkat agroindustri Gel strength (gr/cm 2 ) Harga jual ATC (US$/kg) Harga beli rumput laut (Rp/kg) 500 3, , , , , , , , , , , , , , , , , Tabel 23 menunjukkan simulasi harga beli rumput laut di tingkat agroindustri yang didasarkan pada harga ATC di pasar internasional. Berdasarkan tabel dapat

14 126 diketahui secara interaktif pada tingkat berapa harga rumput laut harus dibeli oleh agroindustri dari pemasok bahan baku dengan margin keuntungan yang dikehendaki. Harga rumput laut merupakan salah satu parameter yang dianggap sensitif dalam pengembangan usaha agroindustri ATC. Perubahan nilai parameter tersebut sangat menentukan kelayakan usaha agroindustri ATC. Tabel 24 menunjukkan harga maksimum rumput laut yang dapat dibeli oleh agroindustri yang masih dalam kondisi kelayakan usaha. Pembelian rumput laut melebihi harga maksimum akan menyebabkan agroindustri akan mengalami kerugian. Tabel 24 Skenario harga maksimum rumput laut di tingkat agroindustri Gel strength Harga beli rumput laut Harga maksimum (gr/cm2) (Rp/kg) (Rp/kg) Keterangan Tidak layak Tidak layak Harga naik 0.7% Harga naik 2% Harga naik 4% Harga naik 5% Harga naik 5% Harga naik 6% Harga naik 7% Harga naik 7% Harga naik 8% Harga naik 8% Harga naik 8% Harga naik 9% Harga naik 9% Harga naik 10% 1, Harga naik 10% Harga rumput laut kering riil di tingkat agroindustri pada bulan Maret 2011 dengan kualitas GS 775 gr/cm2 adalah sebesar Rp /kg. Harga tersebut masih di sekitar rentang interval harga yang dianggap layak didalam model, yaitu tidak melebihi harga beli maksimum rumput laut di tingkat agroindustri. Harga maksimum rumput laut kering di tingkat agroindustri adalah Rp /kg, atau 6% dari harga normal.

15 127 Harga rumput laut di tingkat koperasi Harga rumput laut di tingkat koperasi mencakup harga jual rumput laut kepada agroindustri dan harga beli rumput laut yang dipasok dari kelompok pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat koperasi dipengaruhi oleh harga rumput laut di tingkat agroindustri. Keluaran model penentuan harga rumput laut di tingkat koperasi pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 25. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk menentukan harga di tingkat koperasi adalah sebagai berikut: Volume penjualan rumput laut sebesar ton/tahun Volume pembelian rumput laut ton/tahun Biaya produksi mencakup biaya transportasi dari koperasi ke pabrik pengolahan yang nilainya sebesar Rp. 30/kg rumput laut kering Tabel 25 Skenario harga rumput laut di tingkat koperasi Gel Strength (gr/cm 2 ) Harga jual (Rp/kg) Harga beli (Rp/kg) Margin (%) , , , , , , , , , , , , , , , , ,50 Tabel 25 menunjukkan simulasi harga beli maksimum rumput laut di tingkat koperasi yang dipasok oleh kelompok pembudidaya pada berbagai harga jual rumput laut kepada pihak agroindustri. Margin keuntungan koperasi diperoleh dari selisih

16 128 harga beli dan harga jual rumput laut di tingkat koperasi yang rata-rata nilainya sebesar 5,6% per kg. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya Kelompok pembudidaya berperan sebagai pengumpul rumput laut kering yang dihasilkan oleh pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya mencakup harga jual rumput laut kepada koperasi dan harga beli rumput laut yang dikumpulkan dari pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya dipengaruhi oleh harga rumput laut di tingkat koperasi. Biaya produksi yang dikeluarkan kelompok pembudidaya adalah biaya pengeringan dan pengemasan sebesar Rp. 50/kg, serta biaya transportasi dari tempat kelompok pembudidaya ke koperasi yang nilainya sebesar Rp. 20/kg rumput laut kering. Keluaran model penentuan harga di tingkat kelompok pembudidaya pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Skenario harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya Gel Strength (gr/cm 2 ) Harga jual (Rp/kg) Harga beli (Rp/kg) Margin (%) , , , , , , , , , , , , , , , , ,76 Tabel 26 menunjukkan simulasi harga beli rumput maksimal rumput laut yang dihasilkan pembudidaya pada berbagai variasi harga jual rumput laut yang akan dijual kepada koperasi. Margin keuntungan kelompok pembudidaya diperoleh dari

17 129 selisih harga beli dan harga jual rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya yang rata-rata nilainya sebesar 12,03% per kg. Harga rumput laut di tingkat pembudidaya Harga rumput laut di tingkat pembudidaya mengikuti harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya. Tingkat keuntungan pembudidaya ditentukan oleh harga jual rumput di tingkat kelompok dibandingkan dengan harga pokok produksi (HPP) usaha budidaya rumput laut. HPP dihitung berdasarkan jumlah biaya operasional budidaya rumput laut dibagi dengan jumlah produksi rumput laut yang dihasilkan. Keluaran model penentuan harga di tingkat koperasi pada berbagai skenario disajikan pada Tabel 27. Harga jual adalah harga rumput laut yang dijual kepada kelompok pembudidaya yang bertindak sebagai pengepul. Harga pokok produksi (HPP) adalah rata-rata HPP budidaya rumput laut dengan menggunakan skenario jumlah rakit sebanyak 1, 3, 5, 10, 15, dan 20 unit (Lampiran 5). Margin keuntungan pembudidaya adalah selisih harga jual dengan HPP. Semakin tinggi margin menunjukkan bahwa tingkat keuntungan yang diperoleh pembudidaya akan semakin tinggi pula. Tabel 27 Skenario harga rumput laut di tingkat pembudidaya Gel strength (gr/cm 2 ) Harga jual (Rp/kg) Harga pokok produksi (Rp/kg) Margin (%) , , , , , , , , , , , , , , , , ,26

18 130 Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa jika rumput laut mempunyai kualitas GS yang tidak baik, misalnya pada kisaran 500 gr/cm 2, maka pembudidaya akan mengalami kerugian karena harga jual rumput laut tidak bisa menutup biaya untuk produksinya. Sebaliknya, jika pembudidaya mampu menghasilkan rumput laut dengan kualitas GS sebesar gr/cm 2, maka margin keuntungan yang diperoleh pembudidaya mencapai 117,26%. Berdasarkan nilai-nilai pembelian bahan baku dan penjualan produk dalam rantai produksi rumput laut, maka selanjutnya dapat ditentukan besarnya nilai tambah yang diperoleh oleh masing-masing pelaku usaha didalam klaster industri rumput laut. Menurut Brown (1994), nilai tambah adalah perbedaan atau selisih antara biaya bahan dan nilai produk akhir dari suatu proses produksi. Perhitungan nilai tambah pada simpul-simpul pemasaran rumput laut didalam klaster mengikuti definisi yang disampaikan Brown. Rantai nilai usaha didalam klaster mulai budidaya hingga pemasaran dapat dilihat pada Gambar 42. Gambar 42 Rantai usaha klaster industri rumput laut. Pada Gambar 42 dapat dilihat bahwa nilai tambah terbesar dihasilkan oleh pembudidaya yang mencapai 61,12%, kemudian diikuti oleh pihak agroindustri sebesar 30,86%. Peningkatan nilai tambah yang cukup besar disebabkan oleh adanya proses pengolahan yang cukup panjang yang dilakukan baik oleh pembudidaya maupun agroindustri, sementara kelompok pembudidaya dan koperasi relatif tidak melakukan proses pengolahan produk. Semua elemen yang terlibat dalam rantai produksi didalam klaster harus mempunyai visi bersama untuk meningkatkan daya

19 131 saing produk sesuai peran dan fungsinya untuk mendapatkan keuntungan secara bersama. Submodel Operasi Teknologi Submodel operasi teknologi pada dasarnya dibangun dalam rangka mengatasi permasalahan ketidakseimbangan jumlah bahan baku yang tersedia dengan kapasitas produksi agroindustri rumput laut. Sulaeman (2006) menyatakan bahwa ketersediaan jumlah rumput laut kering sebagai bahan baku produksi sering tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dapat terjadi karena kapasitas terpasang industri pengolahan rumput laut yang ada umumnya lebih besar dari kapasitas suplai bahan baku. DKP (2005) menyebutkan bahwa jaminan pasokan baku merupakan salah satu faktor yang mendorong berkembangnya industri rumput laut. Submodel keseimbangan bahan baku bertujuan untuk mencari titik keseimbangan antara jumlah pasokan bahan baku rumput laut kering yang tersedia dengan kapasitas produksi agroindustri ATC. Model ini dirancang untuk mengatasi kurang seimbangnya antara jumlah kapasitas produksi ATC dengan jumlah pasokan bahan baku rumput laut. Model keseimbangan bahan baku menggunakan teknik heuristic. Dengan mengetahui titik keseimbangan bahan baku, maka dapat dicari secara interaktif berapa jumlah kapasitas produksi ATC yang optimal, luas lahan budidaya rumput laut yang diperlukan, serta berapa luas kebun bibit yang perlu disediakan untuk menunjang usaha budidaya rumput laut. Model ini dapat mengatasi permasalahan kurang seimbangnya antara jumlah pasokan bahan baku dengan kapasitas produksi. Model keseimbangan bahan baku dirancang dapat memprediksi kebutuhan bahan baku dan luas areal budidaya rumput laut secara interaktif dengan memasukkan data tingkat kapasitas produksi ATC yang ditetapkan. Kemampuan model dalam memprediksi keseimbangan antara tingkat produksi, kebutuhan bahan baku dan luas lahan, dapat dimanfaatkan untuk menjaga kontinuitas pasokan bahan baku yang terkendali. Hasil simulasi model keseimbangan bahan baku pada berbagai

20 132 skenario dapat dilihat pada Tabel 28. Simulasi menggunakan variasi kapasitas produksi ATC berkisar antara 1,35 2,03 ton/hari. Asumsi yang digunakan untuk menganalisis keseimbangan bahan baku adalah sebagai berikut: Rendemen ATC dari rumput laut kering adalah 30% Produktivitas budidaya rumput laut sebesar 1,5 ton/ha/siklus Jumlah siklus budidaya dalam satu tahun sebanyak 5 siklus Rasio luas kebun bibit dengan luas areal tanam budidaya adalah 1:3,5 dimana luas areal tanam budidaya adalah 3,5 kali luas kebun bibit yang digunakan. Tabel 28 merupakan hasil simulasi keluaran model yang memperlihatkan hubungan antara kebutuhan bahan baku, kebutuhan lahan budidaya, dan kebutuhan lahan pembibitan, pada berbagai skenario kapasitas produksi ATC yang telah ditetapkan. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jika kapasitas produksi agroindustri ATC sebesar 1,575 ton/hari, atau 472,5 ton/tahun, maka jumlah kebutuhan rumput laut kering yang diperlukan adalah ton/tahun. Untuk mendapatkan jumlah bahan baku sesuai dengan kapasitas produksi ATC, maka kebutuhan lahan untuk budidaya yang perlu disediakan adalah 210 ha dengan luasan kebun bibit mencapai 60 ha. Kapasitas produksi ATC (ton/hari) Tabel 28 Hasil simulasi keseimbangan bahan baku Kapasitas produksi ATC (ton/tahun) Kebutuhan bahan baku (ton/tahun) Kebutuhan lahan budidaya (Ha) Kebutuhan lahan pembibitan (Ha) 1, , ,0 180,0 51,4 1, , ,0 190,0 54,3 1, , ,0 200,0 57,1 1, , ,0 210,0 60,0 1, , ,0 220,0 62,9 1, , ,0 230,0 65,7 1, , ,0 240,0 68,6 1, , ,0 250,0 71,4 1, , ,0 260,0 74,3 2, , ,0 270,0 77,1 Sumber: Data diolah (2010)

21 133 Salah satu manfaat utama yang diperoleh dari klaster industri adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Porter 1998a; Desrochers dan Sautet 2004; Waits 2000). Parameter efisiensi dan produktivitas pada penelitian ini salah satunya didekati menggunakan model keseimbangan bahan baku. Model ini menggambarkan hubungan antara tingkat produksi ATC dengan pemenuhan rumput laut sebagai bahan baku. Hasil validasi model menunjukkan bahwa keluaran model menghasilkan hubungan yang linier antara tingkat produksi ATC dengan kebutuhan bahan baku. Hubungan ini bermanfaat untuk menetapkan estimasi tingkat kapasitas produksi ATC yang tepat sesuai dengan kapasitas bahan baku yang tersedia. Hal ini akan mendorong peningkatan tingkat utilisasi kapasitas produksi ATC pada kondisi optimal sehingga akan menghasilkan efisiensi penggunaan bahan baku dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Hasil ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan jaminan ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri sebagaimana dilaporkan oleh DKP (2005). 700 Produksi ATC (Ton/Tahun) Kebutuhan Bahan Baku (Ton/Tahun) Gambar 43 Hubungan antara produksi ATC dan kebutuhan bahan baku. Submodel Operasi Sosial Model operasi sosial dirancang untuk menstrukturisasi elemen-elemen yang berperan dalam sistem pengembangan klaster industri rumput laut. Model ini mencakup identifikasi elemen-elemen penting pembangun sistem pengembangan klaster dan strukturisasi sistem yang digunakan untuk menentukan klasifikasi

22 134 elemen-elemen sistem berdasarkan tingkat driver power dependence serta struktur hirarki elemen-elemen pengembangan sistem klaster industri rumput laut. Elemenelemen sistem yang dianalisis mencakup elemen kendala pengembangan, elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, elemen aktivitas pengembangan, serta elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan. Struktur elemen kendala pengembangan Kendala pengembangan merupakan kendala atau permasalahan yang harus diselesaikan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen kendala pengembangan klaster industri rumput laut, meliputi: (E1) Rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E2) Keterbatasan SDM yang berkualitas (E3) Keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran (E4) Keterbatasan infrastruktur usaha (E5) Keterbatasan teknologi (E6) Keterbatasan sarana produksi (E7) Rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E8) Kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E9) Lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E10) Rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E11) Belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E12) Terbatasnya tenaga pendamping (E13) Perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E14) Asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu (E15) Eksklusivisme antar pelaku klaster Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen kendala pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.2. Strukturisasi terhadap elemenelemen kendala pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen serta struktur hirarki.

23 135 Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster didasarkan pada nilai-nilai driver power (DP) dan dependence (D) pada matriks reachability (RM final), yang mencakup 4 (empat) sektor, yaitu sektor independent, linkage, dependent dan autonomous. Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster dapat dilihat pada Gambar E2, E3 14 D R I V E R Independent E9, E12 Linkage E1, E4, E5, E6, E10 P O W E R Autonomous E7, E8, E11, E13, E14, E15 Dependent DEPENDENCE Gambar 44 Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster. Gambar 44 menunjukkan bahwa keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Elemen-elemen lain yang termasuk dalam sektor independent adalah lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E9) dan terbatasnya tenaga pendamping (E12). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemenelemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya. Elemen rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E1), keterbatasan infrastruktur usaha (E4), keterbatasan teknologi (E5), keterbatasan sarana produksi (E6), dan rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E10) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai

24 136 kekuatan penggerak yang cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya. Elemen rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E7), kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E8), belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E11), perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E13), asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu (E14), dan eksklusivisme antar pelaku klaster (E15) termasuk dalam peubah tidak bebas (sektor dependent). Elemen-elemen ini merupakan elemen output karena sangat tergantung pada elemen-elemen lainnya. Hasil ini memberi makna bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang relatif kecil dan sangat tergantung dengan peubah-peubah lainnya. Hasil klasifikasi elemen-elemen kendala pengembangan klaster yang didasarkan pada matriks reachability menunjukkan bahwa keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) merupakan elemen kunci karena mempunyai daya dorong dengan nilai tertinggi serta tidak tergantung pada elemen-elemen kendala lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan kendala utama yang harus diprioritaskan penanganannya terlebih dahulu untuk mendorong berkembangnya klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil klasifikasi elemen-elemen kendala pengembangan, struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster terdiri dari 4 (empat) level. Strukturisasi terhadap hirarki elemen kendala pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 45. Berdasarkan struktur hirarki elemen kendala pengembangan, terlihat bahwa elemen keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) menempati hirarki tertinggi pada level 4. Elemen-elemen pada level tertinggi ini tidak bergantung pada elemen-elemen pada level lainnya. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 4 akan mendorong

25 137 terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 3, yaitu lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E9) dan terbatasnya tenaga pendamping (E12). Gambar 45 Struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster. Keberadaan elemen-elemen kendala pada hirarki level 3 ditentukan oleh elemen-elemen kendala pada level 4. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 3 akan mendorong terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 2, yaitu elemen rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E1), keterbatasan infrastruktur usaha (E4), keterbatasan teknologi (E5), keterbatasan sarana produksi (E6), dan rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E10). Elemen-elemen kendala pada level 2 keberadaannya tergantung pada elemen-elemen kendala pada level 3. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 2 akan mendorong terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 1, yaitu elemen rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E7), kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E8), belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E11), perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E13), asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu (E14), dan eksklusivisme antar pelaku klaster (E15). Elemen-elemen kendala pada level terendah ini keberadaannya sangat bergantung pada elemen-elemen kendala pada level lainnya. Struktur elemen tolok ukur tujuan pengembangan Tolok ukur tujuan pengembangan merupakan tolok ukur atau ukuran untuk menilai pencapaian tujuan pengembangan klaster industri rumput laut yang

26 138 berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen tolok ukur tujuan pengembangan klaster industri rumput laut, meliputi: (E1) Peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E2) Peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E3) Kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E4) Mutu produk sesuai spesifikasi (E5) Peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E6) Peningkatan akses dan jaringan pemasaran (E7) Peningkatan nilai produksi produk olahan (E8) Peningkatan diversifikasi produk olahan (E9) Tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR (E10) Tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E11) Peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap (E12) Peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E13) Peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial (E14) Peningkatan kapasitas inovasi (E15) Penurunan potensi pencemaran lingkungan (E16) Proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E17) Peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.3. Strukturisasi terhadap elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen serta struktur hirarki, sebagaimana disajikan pada Gambar 46 dan Gambar 47. Pada Gambar 46 dapat dilihat bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) termasuk dalam peubah bebas. Elemen-elemen lainnya dalam sektor independent adalah tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR (E9), tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E10), peningkatan jumlah tenaga

27 139 kerja yang terserap (E11), dan peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E12). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya. 17 E15, E E9, E10, E11, E12 D R I V E R Independent Linkage E1, E2, E3, E4, E5, E6 E7, E8, E13, E14, E17 8 P O W E R Autonomous Dependent DEPENDENCE Gambar 46 Klasifikasi elemen pencapaian tujuan pengembangan klaster. Elemen tolok ukur tujuan peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E1), peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E2), kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E3), mutu produk sesuai spesifikasi (E4), peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E5), peningkatan akses dan jaringan pemasaran (E6), peningkatan nilai produksi produk olahan (E7), peningkatan diversifikasi produk olahan (E8), peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial (E13), peningkatan kapasitas inovasi (E14), peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster (E17) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang

28 140 cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya. Pada Gambar 46 terlihat bahwa tidak ada satu pun elemen-elemen tolok ukur tujuan pengembangan yang termasuk dalam sektor dalam sektor dependent. Hasil ini memberi makna bahwa seluruh elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan mempunyai penggerak yang cukup tinggi, meskipun beberapa diantaranya mempunyai ketergantungan dengan elemen-elemen lainnya. Hasil klasifikasi elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster yang didasarkan pada matriks reachability menunjukkan bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) merupakan elemen kunci karena mempunyai daya dorong dengan nilai tertinggi serta tidak tergantung pada elemen-elemen tujuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan tujuan utama yang harus dicapai terlebih dulu untuk mendorong berkembangnya klaster industri rumput laut. Berdasarkan hasil klasifikasi elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, struktur hirarki elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster terdiri dari 3 (tiga) level. Strukturisasi terhadap hirarki elemen tujuan pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 47. Gambar 47 Struktur hirarki elemen pencapaian tujuan pengembangan. Berdasarkan struktur hirarki tersebut, terlihat bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) menempati hirarki tertinggi pada level 3. Elemen-elemen pada

29 141 level ini tidak bergantung pada elemen-elemen pada level lainnya. Tercapainya tujuan-tujuan pada level ini akan mendorong terwujudnya tujuan-tujuan pada level 2, yaitu tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR (E9), tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E10), peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap (E11), dan peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E12). Dengan tercapainya tujuan-tujuan pada level 2, akan mempengaruhi pula terhadap pencapaian tujuan pada level 1, yaitu tujuan peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E1), peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E2), kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E3), mutu produk sesuai spesifikasi (E4), peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E5), peningkatan akses dan jaringan pemasaran (E6), peningkatan nilai produksi produk olahan (E7), peningkatan diversifikasi produk olahan (E8), peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial (E13), peningkatan kapasitas inovasi (E14), serta peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster (E17). Struktur elemen aktivitas pengembangan Aktivitas pengembangan merupakan aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen aktivitas pengembangan klaster rumput laut, meliputi: (E1) (E2) (E3) (E4) (E5) (E6) (E7) (E8) (E9) Memberikan bimbingan dan pendampingan Melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Meningkatkan kerjasama dan kemitraan usaha antar pelaku klaster Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait secara lintas sektor Meningkatkan skala ekonomi usaha yang efisien Memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran Mengembangkan sistem manajemen mutu serta sistem sertifikasi keamanan produk Mendorong industri rumput laut menerapkan manajemen lingkungan Mendorong upaya pelestarian fungsi lingkungan melalui pembangunan instalasi pengolahan limbah

30 142 (E10) Mengembangkan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan (E11) Mengembangkan infrastruktur ekonomi (E12) Meningkatkan akses kepada sumber pembiayaan dan permodalan Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen aktivitas pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.4. Strukturisasi terhadap elemenelemen aktivitas pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen serta struktur hirarki, sebagaimana disajikan pada Gambar 48 dan Gambar 49. D R I V E R P O W E R E1, E6 E11 Independent Autonomous E2, E5, E10, E12 Linkage E3, E4, E7, E8, E9 Dependent DEPENDENCE Gambar 48 Klasifikasi elemen aktivitas pengembangan klaster. Pada Gambar 48 dapat dilihat bahwa memberikan bimbingan dan pendampingan (E1) dan memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran (E6) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Elemen-elemen lain yang termasuk dalam sektor independent adalah mengembangkan infrastruktur ekonomi (E11). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya. Elemen aktivitas melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (E2), meningkatkan skala ekonomi usaha yang efisien (E5), mengembangkan teknologi

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

METODOLOGI Kerangka Pemikiran METODOLOGI Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendorong pengembangan industri rumput laut secara berkelanjutan melalui pendekatan klaster. Penelitian ini bermaksud merancang suatu

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN 140 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN Model kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam dirancang melalui pendekatan sistem dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Gambar 47 menunjukkan

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 83 BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 5.1. Konfigurasi Model Analisis sistem pada Bab IV memperlihatkan bahwa pengembangan agroindustri sutera melibatkan berbagai komponen dengan kebutuhan yang beragam,

Lebih terperinci

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren.

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren. 44 V. PEMODELAN SISTEM Dalam analisis sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dan berperan didalam sistem tersebut. Pihak-pihak

Lebih terperinci

X. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Model Pengembangan Usaha Agroindustri Nenas AINI-MS yang dihasilkan

X. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Model Pengembangan Usaha Agroindustri Nenas AINI-MS yang dihasilkan X. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Model Pengembangan Usaha Agroindustri Nenas AINI-MS yang dihasilkan adalah model yang menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic versi 6.0. Model AINI-MS merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB IV ANALISA SISTEM 71 BAB IV ANALISA SISTEM 4.1. Analisa Situasional Agroindustri Sutera Agroindustri sutera merupakan industri pengolahan yang menghasilkan sutera dengan menggunakan bahan baku kokon yaitu kepompong dari

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 18 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September-November 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Pemerintahan Aceh

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

PROFIL DINAS PEKERJAAN UMUM PENGAIRAN KABUPATEN SUMENEP TAHUN 2010

PROFIL DINAS PEKERJAAN UMUM PENGAIRAN KABUPATEN SUMENEP TAHUN 2010 PROFIL DINAS PEKERJAAN UMUM PENGAIRAN KABUPATEN SUMENEP TAHUN 2010 SATUAN KERJA A. DASAR HUKUM SATUAN KERJA 1. Peraturan daerah Kabupaten Sumenep Nomor 02 Tahun 2006 tentang Pembentukan Organisasi Dinas

Lebih terperinci

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN 5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN Dalam bab ini akan membahas mengenai strategi yang akan digunakan dalam pengembangan penyediaan air bersih di pulau kecil, studi kasus Kota Tarakan. Strategi

Lebih terperinci

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

METODOLOGI Kerangka Pemikiran METODOLOGI Kerangka Pemikiran Semakin berkembangnya perusahaan agroindustri membuat perusahaanperusahaan harus bersaing untuk memasarkan produknya. Salah satu cara untuk memenangkan pasar yaitu dengan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 66 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian perancangan model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dilakukan berdasarkan sebuah kerangka berpikir logis. Gambaran kerangka

Lebih terperinci

Sekapur Sirih. Sumenep, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. Maryadi, SH, M.Hum

Sekapur Sirih. Sumenep, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. Maryadi, SH, M.Hum 1 Sekapur Sirih Sesuai dengan Undang undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggung jawab menyediakan data statistic dasar dengan menyelenggarakan kegiatan Sensus

Lebih terperinci

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL Pencapaian sasaran tujuan pembangunan sektor perikanan dan kelautan seperti peningkatan produktivitas nelayan dalam kegiatan pemanfaatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan ilmiah dengan kerangka berfikir logis. Pemodelan sistem kelembagaan pasokan bahan baku agroindustri

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 KERANGKA PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1 KERANGKA PENELITIAN III. METODOLOGI 3.1 KERANGKA PENELITIAN Bahan baku merupakan salah satu faktor penting dalam keberlangsungan suatu industri. Bahan baku yang baik menjadi salah satu penentu mutu produk yang dihasilkan.

Lebih terperinci

DIAGNOSIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN ABSTRACT

DIAGNOSIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN ABSTRACT AGROINTEK Volume 5, No. 1 Maret 2011 33 DIAGNOSIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN Yuli Wibowo 1, M. Syamsul Ma arif 2, Anas M. Fauzi 3, Luky Adrianto 4 1 Staf Pengajar

Lebih terperinci

Diagnosis Prasyarat Pengembangan Klaster. Prasyarat Ekologi Prasyarat Ekonomi Prasyarat Sosial Prasyarat Kelembagaan. Layak?

Diagnosis Prasyarat Pengembangan Klaster. Prasyarat Ekologi Prasyarat Ekonomi Prasyarat Sosial Prasyarat Kelembagaan. Layak? PEMODELAN SISTEM Sistem nyata pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan adalah sangat kompleks. Agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan kajian, maka dilakukan pemodelan sistem.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan

Lebih terperinci

VII. IMPLEMENTASI MODEL

VII. IMPLEMENTASI MODEL VII. IMPLEMENTASI MODEL A. HASIL SIMULASI Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data hipotetik berdasarkan hasil survey, pencarian data sekunder, dan wawancara di lapangan. Namun dengan tetap mempertimbangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009).

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 67 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan non-migas yang bernilai ekonomi tinggi dan tercatat sebagai penyumbang devisa bagi perekonomian nasional. Ekspor produk

Lebih terperinci

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO Pendahuluan Perkembangan perekonomian NTT tidak dapat hanya digerakkan oleh kegiatan perekonomian di Kota Kupang saja. Hal tersebut mengindikasikan

Lebih terperinci

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran.

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran. 104 VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK Abstrak Industri pengolahan minyak, transportasi kapal di pelabuhan serta input minyak dari muara sungai menyebabkan perairan Selat

Lebih terperinci

Kata Kunci: Analisis stuktur, kemitraan, agribisnis sayuran

Kata Kunci: Analisis stuktur, kemitraan, agribisnis sayuran ANALISIS STRUKTUR SISTEM KEMITRAAN PEMASARAN AGRIBISNIS SAYURAN (Studi Kasus di Kecamatan Nongkojajar Kabupaten Pasuruan) Teguh Sarwo Aji *) ABSTRAK Pemikiran sistem adalah untuk mencari keterpaduan antar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang paling potensial dikembangkan di Indonesia dan juga merupakan salah satu produk unggulan pemerintah dalam mencapai visi pembangunan

Lebih terperinci

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS Formatted: Swedish (Sweden) Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 menunjukkan bahwa sistem kemitraan setara usaha agroindustri

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 62 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri sutera alam merupakan industri pengolahan yang mentransformasikan bahan baku kokon (hasil pemeliharaan ulat sutera) menjadi benang, kain sutera,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pembangunan daerah merupakan langkah yang ditempuh dalam mewujudkan visi dan misi yang ingin dicapai oleh Kota Depok, pembangunan daerah memiliki

Lebih terperinci

IX. STRUKTURISASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER

IX. STRUKTURISASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER IX. STUKTUISASI PENGEMBANGAN AGOINDUSTI KOPI AKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBE 9.1. Pendahuluan Sistem pengolahan kopi obusta rakyat berbasis produksi bersih yang diupayakan untuk diterapkan di

Lebih terperinci

ANALISA SISTEM. Analisa Situasional

ANALISA SISTEM. Analisa Situasional ANALISA SISTEM Metodologi sistem didasari oleh tiga pola pikir dasar keilmuan tentang sistem, yaitu (1) sibernetik, atau berorientasi pada tujuan. Pendekatan sistem dimulai dengan penetapan tujuan melalui

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem 76 PEMODELAN SISTEM Pendekatan Sistem Analisis Sistem Sistem Rantai Pasok Agroindustri Minyak Nilam secara garis besar terdiri dari 3 (tiga) level pelaku utama, yaitu: (1) usahatani nilam, (2) industri

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 20 3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan agroindustri udang merupakan hal yang sangat penting dalam siklus rantai komoditas udang. Pentingnya keberadaan agroindustri udang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bogor dan lingkungan industri Kota Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMENEP

POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMENEP POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMENEP Ika Fatmawati P 1, dan Didik Wahyudi 2 Fakultas Pertanian Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Mengingat besarnya potensi wilayah peraiaran Indonesia untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari hasil penelitian ini dihasilkan 12 komoditas pertanian yang menjadi komoditas unggulan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013 Analisis Terhadap Kendala Utama Serta Perubahan yang Dimungkinkan dari Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Ziarah Umat Katholik Gua Maria Kerep Ambarawa Ari Wibowo 1) *, Boedi Hendrarto 2), Agus Hadiyarto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORETIS

III. LANDASAN TEORETIS III. LANDASAN TEORETIS 1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling) Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa dalam proses perencanaan strategik seringkali para penyusunnya terjebak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Semarang memiliki potensi yang besar dari sektor pertanian untuk komoditas sayuran. Keadaan topografi daerah yang berbukit dan bergunung membuat Kabupaten

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

Pengembangan Wilayah Berbasis Agroindustri di Kabupaten Sumenep

Pengembangan Wilayah Berbasis Agroindustri di Kabupaten Sumenep Pengembangan Wilayah Berbasis Agroindustri di Kabupaten Sumenep Oleh : Maulina Oktavia 3608100060 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian model pengelolaan energi berbasis sumberdaya alam di pulau kecil difokuskan kepada energi listrik. Penelitian dilaksanakan di gugus pulau

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Penelitian perancangan model pengukuran kinerja sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut dilakukan dengan berbagai dasar dan harapan dapat dijadikan sebagai perangkat bantuan untuk pengelolaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan 36 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan menciptakan data akurat yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 19 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATAKERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang

Lebih terperinci

V. ANALISIS KEBIJAKAN

V. ANALISIS KEBIJAKAN V. ANALISIS KEBIJAKAN 5.1. Pendekatan Kebijakan Kegiatan pertambangan mineral di Kabupaten Mimika secara signifikan telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, pemerintah daerah dan pusat

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan

Lebih terperinci

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli BAB V Pembangunan di Kabupaten Bangli Oleh: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli. Dewasa ini, permintaan kayu semakin meningkat, sementara kemampuan produksi kayu dari kawasan hutan

Lebih terperinci

Sistem Manajemen Basis Data

Sistem Manajemen Basis Data 85 KONFIGURASI MODEL Hasil analisis sistem menunjukkan bahwa sistem pengembangan Agrokakao bersifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat dalam

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP Kesimpulan BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan Industri rumput laut memiliki peran penting dalam penciptaan lapangan kerja yang terkait dengan pendapatan masyarakat, diantaranya melalui keterlibatan nelayan dalam budi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT DI KECAMATAN TALANGO KABUPATEN SUMENEP

STRATEGI PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT DI KECAMATAN TALANGO KABUPATEN SUMENEP STRATEGI PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT DI KECAMATAN TALANGO KABUPATEN SUMENEP Ribut Santoso 1, Didik Wahyudi 2 dan Arfinsyah Hafid A 3 Fakultas Pertanian Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Rumput laut masih

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual

IV. METODOLOGI 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual IV. METODOLOGI 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Pendekatan klaster industri telah ditetapkan sebagai strategi pengembangan industri nasional dalam Undang-undang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004

Lebih terperinci

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI Preview Sidang 3 Tugas Akhir ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KECAMATAN BANGOREJO, KABUPATEN BANYUWANGI Disusun: Nyimas Martha Olfiana 3609.100.049

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan juga termasuk produk yang tidak memiliki subtitusi (Suhelmi et al.,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan juga termasuk produk yang tidak memiliki subtitusi (Suhelmi et al., BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Garam merupakan komoditas yang keberadaannya sangat penting dan belum ada produk tertentu yang dapat menggantikannya berdasarkan aspek fungsi dan kegunaannya. Garam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6. Analisis Input-Output 6.. Analisis Keterkaitan Keterkaitan aktivitas antar

Lebih terperinci

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO Pada bab sebelumnya, telah dilakukan analisis dampak kebijakan Gernas dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu.

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu. 52 6 PENGEMBANGAN MODEL 6.1 Analisis model sistem dinamis agroindustri gula tebu Sesuai dengan metodologi, maka rancang bangun sistem dinamis bagi pengambilan keputusan kompleks pada upaya pengembangan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan 36 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat VII. PERANCANGAN PROGRAM 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat Mengacu pada Visi Kabupaten Lampung Barat yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah memberikan amanat bahwa prioritas pembangunan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 42 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Pemerintah daerah Sumatera Barat dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah melakukan upaya memperbaiki perekonomian dengan menfokuskan pengembangan

Lebih terperinci

SISTEM MANAJEMEN AHLI

SISTEM MANAJEMEN AHLI 201 SISTEM MANAJEMEN AHLI Konfigurasi model Pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem berbasis pengetahuan dikenal dengan istilah sistem manajemen ahli. (Eriyatno, 2009). Didalam sistem manajemen

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Industri karet remah di Indonesia sebagian besar merupakan industri yang melibatkan petani karet sebagai penghasil bahan baku berupa bokar dan pabrik karet sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO 1. Risiko Keuangan Dalam menjalankan usahanya Perseroan menghadapi risiko yang dapat mempengaruhi hasil usaha Perseroan apabila tidak di antisipasi dan dipersiapkan penanganannya dengan baik. Kebijakan

Lebih terperinci

VI. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL

VI. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL 52 VI. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL Model klaster agroindustri aren dirancang dan dibangun sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan pengembangan di Sulawesi Utara terdiri atas 3 (tiga) blok model

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 61 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem manajemen ahli model SPK agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit terdiri dari tiga komponen utama yaitu sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan

Lebih terperinci

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KEC. BANGOREJO KAB. BANYUWANGI

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KEC. BANGOREJO KAB. BANYUWANGI ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KEC. BANGOREJO KAB. BANYUWANGI Nyimas Martha Olfiana, Adjie Pamungkas Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan sistem menghasilkan Model Strategi Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ubikayu merupakan komoditi pertanian terbesar di Propinsi Lampung dibanding padi dan jagung dilihat dari nilai produksinya. Nilai produksi ubikayu pada tahun 2005 sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 BOKS REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 I. PENDAHULUAN Dinamika daerah yang semakin kompleks tercermin dari adanya perubahan

Lebih terperinci

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG Abstrak Strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster.

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL. Identifikasi kebutuhan stakeholder klaster agroindustri hasil laut

PENGEMBANGAN MODEL. Identifikasi kebutuhan stakeholder klaster agroindustri hasil laut PENGEMBANGAN MODEL Pembangunan model pengukuran kinerja komprehensif sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut dilakukan mengikuti beberapa tahapan yang sistematis. Secara skematis kerangka kerja logis

Lebih terperinci