VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO"

Transkripsi

1 VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO Pada bab sebelumnya, telah dilakukan analisis dampak kebijakan Gernas dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri hilir dan penerimaan petani kakao. Kebijakan yang disimulasikan tersebut merupakan kebijakan yang sudah diterapkan oleh pemerintah. Sementara itu, skenario alternatif kebijakan pengembangan agribisnis kakao dalam bab ini adalah alternatif kebijakan yang berpeluang untuk diterapkan dalam upaya pengembangan agribisnis kakao, terutama yang terkait dengan industri hilir dan penerimaan petani. Skenario alternatif kebijakan yang disimulasikan dalam penelitian ini seperti yang telah disajikan pada Bab IV adalah sebagai berikut: 1. Skenario 4: Skenario 2 plus peningkatan produktivitas dan mutu kakao rakyat non Gernas sebesar 50 persen. Dengan demikian, dalam skenario ini diasumsikan terjadi peningkatan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao sebesar 50 persen dari kondisi awal, namun program Gernas kakao dan bea ekspor kakao tetap diterapkan dengan tingkat pencapaian target sebesar 60 persen. 2. Skenario 5: Skenario 2 minus bea ekspor kakao. Asumsi yang digunakan adalah kebijakan penghapusan bea ekspor kakao dengan tetap melaksanakan program Gernas kakao dengan tingkat pencapaian target sebesar 60 persen. 3. Skenario 6: Skenario 5 plus peningkatan kapasitas industri sama dengan dampak bea ekspor. Asumsi yang digunakan dalam skenario ini adalah kebijakan penghapusan bea ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan insentif fiskal dan moneter terhadap industri pengolahan serta memperbaiki iklim usaha dan infrastruktur sehingga diasumsikan mampu mendorong industri pengolahan sama seperti penerapan bea ekspor kakao dengan tingkat pencapaian target sebesar 60 persen. Di sisi lain, pelaksanaan program Gernas kakao tetap dilaksanakan dengan tingkat pencapaian target sebesar 60 persen. 4. Skenario 7: Penggabungan skenario 4, 5 dan 6, yaitu alternatif kebijakan dengan meningkatkan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao, serta kebijakan penghapusan bea ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan

2 114 insentif fiskal dan moneter terhadap industri pengolahan serta memperbaiki iklim usaha sehingga diasumsikan mampu mendorong industri pengolahan sama seperti penerapan bea ekspor kakao dengan target pencapaian 60 persen. 5. Skenario 8: Skenario 7 plus peningkatan kapasitas industri 10 persen per tahun. Pada skenario ini, asumsi yang digunakan sama seperti skenario 7, namun kebijakan pemerintah terhadap pengembangan industri pengolahan kakao meningkat sebesar 10 persen per tahun. 8.1 Skenario 4: Skenario 2 Plus Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao Rakyat Non Gernas sebesar 50 Persen Asumsi yang digunakan dalam skenario 4 ini adalah adanya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao sebesar 50 persen dari kondisi awal. Pertimbangan penerapan asumsi ini adalah penerimaan pemerintah dari penerapan bea ekspor dikembalikan kepada petani yang tidak mengikuti program Gernas kakao melalui subsidi input seperti benih unggul, pupuk, obat-obatan serta kelembagaan pendukung sehingga mampu meningkatkan produktivitas dan mutu usahatani kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao. Di sisi lain, pelaksanaan Gernas dan penerapan bea ekspor kakao tetap dilaksanakan dengan asumsi tingkat pencapaian target sebesar 60 persen Aktual: Daya serap biji oleh industri Skenario 4: Daya serap biji oleh industri Gambar 52 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual dan skenario 4, Tahun

3 115 Hasil simulasi terhadap kemampuan industri pengolahan dalam menyerap produksi biji kakao nasional menunjukkan bahwa dengan skenario 4, daya serap industri pengolahan lebih rendah dari kondisi aktual sebelum tahun (Gambar 52). Adanya peningkatan produktivitas kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao mampu sebesar 50 persen mampu meningkatkan produksi biji kakao dengan sangat signifikan, sehingga pertumbuhan industri pengolahan tidak mampu mengimbanginya. Pada tahun 25, industri pengolahan dalam negeri diperkirakan hanya mampu menyerap 38,78 persen produksi biji kakao dalam negeri Aktual: Pangsa Nilai Kakao Olahan Aktual: Pangsa Volume Kakao Olahan Skenario 4: Pangsa Nilai Kakao Olahan Skenario 4: Pangsa Volume Kakao Olahan Gambar 53 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual dan skenario 4, Tahun Rendahnya daya serap industri pengolahan menyebabkan terjadinya surplus biji kakao dalam negeri yang semakin tinggi. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya ekspor biji kakao ke pasar internasional. Dari Gambar 53 dapat dilihat bahwa terjadinya peningkatan volume ekspor biji kakao menyebabkan pangsa ekspor kakao olahan mengalami penurunan yang cukup drastis. Selama periode analisis, pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan selalu lebih rendah dibandingkan kondisi aktual. Pada tahun 25, pangsa volume ekspor kakao olahan dari total volume ekspor kakao hanya sebesar 24,39 persen, masih lebih tinggi dibandingkan kondisi aktual sebesar 22,58

4 116 persen. Sedangkan pangsa nilai ekspor kakao olahan hanya sebesar 32,11 persen, juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aktual yang mencapai 29,9 persen. Alternatif kebijakan pemerintah dengan skenario 4 memberikan dampak positif terhadap penerimaan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao. Penurunan harga di tingkat petani akibat penerapan bea ekspor kakao mampu diimbangi oleh peningkatan produktivitas dan mutu biji kakao. Dari Gambar 54 dapat dilihat bahwa penerimaan petani yang tidak terlibat dalam Gernas kakao meningkat secara signifikan dibandingkan dengan kondisi aktual. Sedangkan penerimaan petani yang mengikuti program Gernas kakao tidak mengalami perubahan seperti skenario 2. Pada tahun 25, penerimaan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao mencapai Rp. 9,9 juta per ha, sedangkan pada kondisi aktual hanya Rp. 4,18 juta per ha. ( Rp.0 0 0,- ) 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 - Aktual: Penerimaan petani Skenario 4: Penerimaan petani Gernas Skenario 4: Penerimaan petani Non-Gernas Gambar 54 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 4, Tahun Dari kriteria-kriteria yang diukur di atas, alternatif kebijakan dengan skenario 4 mampu meningkatkan penerimaan petani, khususnya yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao secara signifikan. Skenario ini juga menyebabkan produksi biji kakao meningkat tajam dan tidak mampu diimbangi

5 117 peningkatan kapasitas industri sehingga daya serap biji kakao oleh industri pengolahan domestik menjadi rendah. Kondisi ini juga berdampak pada menurunnya pangsa ekspor kakao olahan baik dari sisi volume maupun nilai. 8.2 Skenario 5: Skenario 2 Minus Bea Ekspor Kakao Skenario 5 merupakan hasil modifikasi terhadap skenario 2 dengan mengasumsikan tidak ada bea ekspor kakao sehingga variabel bea ekspor pada model skenario 2 dihilangkan. Program Gernas kakao tetap dilaksanakan dengan asumsi pencapaian produktivitas dan mutu biji kakao sebesar 60 persen dari dampak yang diharapkan. Dengan demikian, dampak yang diakibatkan oleh penerapan bea ekspor seperti peningkatan kapasitas terpasang dan utilisasi industri, penurunan harga di tingkat petani serta penurunan luas areal perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao tidak terjadi. Dasar yang digunakan untuk menempatkan skenario ini sebagai salah satu bahan analisis adalah penerapan bea ekspor hanya menguntungkan bagi industri pengolahan, sedangkan petani kakao khususnya yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao mengalami kerugian berupa penurunan penerimaan. Selain itu, penerapan bea ekspor kakao juga menyebabkan penurunan luas areal perkebunan kakao. Skenario ini digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan Gernas kakao terhadap sistem agroindustri kakao. Hasil simulasi menunjukkan bahwa alternatif kebijakan dengan skenario 5 menyebabkan kemampuan industri pengolahan dalam menyerap produksi biji kakao menurun dibandingkan dengan kondisi aktual (Gambar 55). Selama periode analisis, daya serap industri pengolahan selalu lebih rendah dibandingkan kondisi aktual. Pada tahun 25, industri pengolahan diperkirakan hanya mampu menyerap 27,81 persen produksi biji kakao, sedangkan pada kondisi aktual mampu menyerap sebesar 30,41 persen. Perubahan perilaku daya serap industri yang mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi aktual pada skenario 5 ini disebabkan oleh kapasitas terpasang dan utilisasi kapasitas terpasang industri pengolahan kakao tidak mengalami perubahan. Di sisi lain, terjadi peningkatan produksi biji kakao akibat pelaksanaan program Gernas dibandingkan dengan kondisi aktual, sehingga kemampuan industri pengolahan untuk menyerap produksi biji kakao domestik mengalami penurunan.

6 Aktual: Daya serap biji oleh industri Skenario 5: Daya serap biji oleh industri Gambar 55 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual dan skenario 5, Tahun Aktual: Pangsa Nilai Kakao Olahan Aktual: Pangsa Volume Kakao Olahan Skenario 5: Pangsa Nilai Kakao Olahan Skenario 5: Pangsa Volume Kakao Olahan Gambar 56 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual dan skenario 5, Tahun

7 119 Rendahnya daya serap industri menunjukkan peningkatan produksi kakao olahan lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan produksi biji kakao. Kondisi tersebut berdampak pada pertumbuhan ekspor biji kakao lebih tinggi dibandingkan kakao olahan sehingga pangsa ekspornya mengalami penurunan. Gambar 56 menunjukkan bahwa pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan cenderung mengalami penurunan selama periode analisis. Pangsa tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan kondisi aktual. Pada tahun 25, pangsa ekspor volume dan nilai kakao olahan diperkirakan masing-masing sebesar 19,55 persen dan 26,26 persen. Dampak alternatif kebijakan dengan skenario 5 terhadap penerimaan petani mampu meningkatkan penerimaan petani yang terlibat dalam program Gernas kakao. Sedangkan petani yang tidak terlibat memiliki tingkat penerimaan yang sama dengan kondisi aktual (Gambar 57). Namun, penerapan alternatif kebijakan dengan skenario 5, mampu meningkatkan penerimaan petani, baik yang mengikuti Gernas maupun tidak jika dibandingkan dengan skenario 2. Peningkatan ini terjadi karena petani dapat memperoleh harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario 2 akibat tidak adanya penerapan bea ekspor. ( Rp.0 0 0,- ),000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 - Aktual: Penerimaan petani Skenario 5: Penerimaan petani Gernas Skenario 5: Penerimaan petani Non-Gernas Gambar 57 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 5, Tahun

8 1 8.3 Skenario 6: Skenario 5 Plus Peningkatan Kapasitas Industri Sama dengan Dampak Bea Ekspor Alternatif strategi kebijakan pengembangan sistem agroindustri kakao dengan skenario 6 adalah pengembangan skenario 5 dengan pemberian insentif oleh pemerintah yang mampu mendorong perkembangan industri pengolahan kakao. Pada skenario ini, insentif yang diberikan pemerintah seperti keringanan pajak, subsidi suku bunga pinjaman, perbaikan infrastruktur, perbaikan iklim usaha dan lain-lain diasumsikan mampu mendorong industri pengolahan sama seperti penerapan bea ekspor kakao dengan tingkat pencapaian target sebesar 60 persen. Dengan demikian asumsi pada skenario 6 adalah program Gernas kakao dilaksanakan dengan pencapaian dampak sebesar 60 persen dari target, bea ekspor dihapuskan dan diganti dengan pemberian insentif terhadap pelaku industri yang mampu mendorong industri pengolahan sama seperti penerapan bea ekspor kakao dengan tingkat pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target. Skenario ini disusun untuk menghilangkan dampak negatif pelaksanaan bea ekspor kakao terhadap penerimaan petani akibat adanya penurunan harga. Sedangkan kebijakan pengganti bea ekspor digunakan berdasarkan beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa ada beberapa insentif yang dapat diberikan oleh pemerintah dalam upaya pengembangan agroindustri. Insentif tersebut antara lain kebijakan pajak (Sinaga dan Susilowati, 07), insentif investasi; kebijakan harmonisasi tarif bagi produk hilir dan bahan bakunya (Suprihatini, 04); pengendalian nilai tukar, penetapan tingkat suku bunga (Munandar, et al., 08; Sukmananto, 07). Selain itu, kebijakan pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif juga mampu mendorong industri hilir seperti jaminan keamanan investasi, supply chain management dan infrastruktur (Suprihatini, 04), layanan dan kemudahan dalam melakukan bisnis (Christy, et al., 09). Pemberian insentif dan penciptaan iklim usaha tersebut diasumsikan mampu mendorong perkembangan industri pengolahan kakao juga didasarkan pada hasil penelitian Syam (06) yang menyebutkan bahwa beberapa kendala utama dalam program pengembangan agroindustri kakao adalah keterbatasan modal usaha, buruknya mekanisme birokrasi seperti perizinan dan pajak, serta infrastruktur yang belum memadai.

9 Aktual: Daya serap biji oleh industri Skenario 6: Daya serap biji oleh industri Gambar 58 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual dan skenario 6, Tahun Hasil simulasi terhadap skenario 6 menunjukkan bahwa selama periode analisis, kemampuan industri pengolahan kakao dalam menyerap produksi biji kakao lebih tinggi dibandingkan kondisi aktual (Gambar 58). Kondisi ini menunjukkan bahwa alternatif kebijakan dengan skenario 6, mampu mendorong pertumbuhan industri lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan produksi biji kakao. Dengan skenario ini, pada tahun 25, daya serap industri pengolahan mencapai 83,07 persen. Alternatif kebijakan dengan skenario 6 juga mampu meningkatkan pangsa ekspor kakao olahan menjadi lebih baik dibandingkan dengan kondisi aktual selama periode analisis (Gambar 59). Kondisi ini disebabkan oleh tingginya daya serap biji kakao oleh industri pengolahan sehingga biji kakao yang tersedia untuk diekspor semakin berkurang. Di sisi lain, volume kakao olahan yang tersedia untuk diekspor mengalami peningkatan. Pada tahun 25, dari ,7 ton ekspor kakao Indonesia, 67,69 persen di antaranya merupakan kakao olahan. Sedangkan jika dilihat dari sisi nilai, pangsa nilai ekspor kakao olahan 75,44 persen.

10 122 Gambar 59 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual dan skenario 6, Tahun Gambar 60 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 6, Tahun Dilihat dari sisi penerimaan petani, alternatif kebijakan dengan skenario 6 tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan skenario 5 (Gambar 60). Hal ini terjadi karena skenario 5 dan 6 hanya berbeda pada kapasitas dan

11 123 utilisasi industri pengolahan. Namun jika dibandingkan dengan kondisi aktual, skenario 6 mampu meningkatkan penerimaan petani yang terlibat dalam program Gernas kakao, sedangkan penerimaan petani yang tidak terlibat dalam program tersebut memiliki penerimaan yang sama dengan kondisi aktual. 8.4 Skenario 7: Penggabungan Skenario 4, 5 dan 6 Skenario 7 merupakan penggabungan alternatif strategi kebijakan yang disimulasikan pada skenario 4, 5 dan 6. Dengan demikian, asumsi yang digunakan dalam skenario ini adalah dengan menggunakan alternative kebijakan sebagai berikut: 1. Meningkatkan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao sebesar 50 persen dari kondisi pada tahun awal analisis 2. Kebijakan penghapusan bea ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan insentif fiskal dan moneter seperti keringanan pajak dan subsidi suku bunga pinjaman terhadap industri pengolahan serta memperbaiki iklim usaha dan infrastruktur sehingga diasumsikan mampu mendorong industri pengolahan sama seperti penerapan bea ekspor kakao dengan tingkat pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target. 3. Tetap melaksanakan program Gernas kakao dengan tingkat pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target Aktual: Daya serap biji oleh industri Skenario 7: Daya serap biji oleh industri Gambar 61 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual dan skenario 7, Tahun

12 124 Hasil simulasi terhadap skenario 7 menunjukkan bahwa sebelum tahun 17, kemampuan industri pengolahan menyerap produksi biji kakao masih lebih rendah dibandingkan kondisi aktual (Gambar 61). Namun setelah tahun 17, daya serap industri pada skenario 7 lebih tinggi dibandingkan kondisi aktual karena pada kondisi aktual terjadi tren penurunan daya serap industri walaupun daya serap industri pengolahan pada skenario 7 relatif stagnan sejak tahun 11. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas dan utilisasi produksi industri pengolahan relatif sama dengan pertumbuhan produksi biji kakao. Dengan skenario 7, produksi biji kakao yang dapat diserap oleh industri pengolahan pada tahun 25 diperkirakan sebesar 38,96 persen. Daya serap industri pengolahan kakao yang relatif stagnan juga diikuti oleh pangsa ekspor kakao olahan baik volume maupun nilai. Dari Gambar 62 dapat dilihat bahwa pangsa ekspor kakao olahan relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak tahun 15. Pangsa ekspor kakao olahan baik volume maupun nilai dengan skenario 7 baru bisa melampaui kondisi aktual pada tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja ekspor industri pengolahan pada skenario 7 masih lebih rendah dibandingkan kondisi aktual. Pada tahun 25, pangsa volume ekspor kakao olahan diperkirakan sebesar 24,41 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor kakao olahan adalah sebesar 32,13 persen Aktual: Pangsa Nilai Kakao Olahan Aktual: Pangsa Volume Kakao Olahan Skenario 7: Pangsa Nilai Kakao Olahan Skenario 7: Pangsa Volume Kakao Olahan Gambar 62 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual dan skenario 7, Tahun

13 125 ( Rp.0 0 0,- ),000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 - Aktual: Penerimaan petani Skenario 7: Penerimaan petani Gernas Skenario 7: Penerimaan petani Non-Gernas Gambar 63 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 7, Tahun Alternatif kebijakan dengan menggunakan skenario 7 menyebabkan penerimaan petani menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi aktual (Gambar 63). Peningkatan penerimaan petani tersebut disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (i) peningkatan produktivitas perkebunan rakyat, baik yang mengikuti program Gernas maupun tidak; (ii) peningkatan produksi biji kakao fermentasi yang memiliki tingkat harga yang lebih baik pada perkebunan rakyat; dan (iii) penghapusan bea ekspor kakao menyebabkan tingkat harga yang diterima petani menjadi lebih tinggi. Pada tahun 25, penerimaan petani Gernas diperkirakan mencapai Rp. 15,01 juta, dan petani yang tidak terlibat dalam Gernas sebesar Rp. 10,84 juta. 8.5 Skenario 8: Skenario 7 Plus Peningkatan Kapasitas Industri 10 Persen per Tahun Alternatif kebijakan dengan skenario 8 merupakan pengembangan dari skenario 7 dimana kapasitas terpasang industri pengolahan diasumsikan meningkat sebesar 10 persen per tahun, sedangkan utilisasinya meningkat sebesar persen dari kondisi aktual menjadi 79,9 persen. Pertimbangan dari penggunaan skenario ini adalah rendahnya daya serap industri pengolahan

14 126 terhadap produksi biji kakao serta masih rendahnya pangsa ekspor volume dan biji kakao olahan yang dihasilkan dengan skenario 7. Dengan demikian, secara keseluruhan asumsi yang digunakan pada skenario 8 adalah: 1. Meningkatkan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao sebesar 50 persen dari kondisi pada tahun awal analisis 2. Kebijakan penghapusan bea ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan insentif fiskal dan moneter seperti keringanan pajak dan subsidi suku bunga pinjaman terhadap industri pengolahan serta memperbaiki iklim usaha dan infrastruktur sehingga kapasitas terpasang industri pengolahan diasumsikan meningkat sebesar 10 persen per tahun, sedangkan utilisasinya meningkat sebesar persen dari kondisi aktual menjadi 79,9 persen. 3. Tetap melaksanakan program Gernas kakao dengan tingkat pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target Aktual: Daya serap biji oleh industri Skenario 8: Daya serap biji oleh industri Gambar 64 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual dan skenario 8, Tahun Hasil simulasi terhadap skenario 8 menunjukkan bahwa kinerja sistem agroindustri kakao lebih baik dari kondisi aktual. Dinamika daya serap biji kakao oleh industri pengolahan menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, bertolak belakang dengan kondisi aktual (Gambar 64). Penerapan alternatif

15 127 kebijakan dengan skenario 8, industri pengolahan kakao diperkirakan akan mampu mengolah 84,27 persen produksi biji kakao Indonesia pada tahun 25. Dengan demikian, biji kakao yang tersedia untuk diekspor masih tersedia sebesar 15,73 persen atau sebesar 622 ribu ton. Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan dengan penerapan alternative kebijakan skenario 8 juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dan nilainya selalu lebih tinggi dibandingkan kondisi aktual (Gambar 65). Dengan skenario ini, pertumbuhan ekspor kakao olahan lebih tinggi dibandingkan ekspor biji kakao sehingga pangsanya mengalami peningkatan. Pada tahun 25, pangsa volume ekspor kakao olahan mencapai 68,03 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor kakao olahan sebesar 75,73 persen. Gambar 65 Pangsaa volume dan nilai ekspor kakao olahan padaa kondisi aktual dan skenario 8, Tahun Selain memberikan dampak positif terhadap industri pengolahan kakao, alternatif kebijakan dengan skenario 8 juga mampu meningkatkan penerimaan petani, baik yang terlibat dalam program Gernas kakao maupun tidak. Hal ini dapat dilihat dari tingkat penerimaan petani dibandingkan dengan kondisi aktual, dimana dengan skenario 8, penerimaan petani lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aktual (Gambar 66). Pada akhir periode analisis, penerimaan petani Gernas diperkirakan mencapai Rp. 15,01 juta per ha, sedangkan penerimaan

16 128 petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao mencapai Rp. Rp. 10,84 juta. Gambar 66 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 8, Tahun Secara keseluruhan, alternatif kebijakan dengan skenario 8 relatif mampu mendorong industri pengolahan dan usahatani kakao menjadi lebih baik. Skenario ini dapat meningkatkan kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai industri pengolahan sehingga produksi kakao olahan meningkat. Upaya tersebut juga tidak mengorbankann usahatani kakao sebagaimana dengan adanya penerapan bea ekspor yang menyebabkan penurunan harga di tingkat petani yang mendorong penurunan luas areal perkebunan rakyat. 8.6 Perbandingan Antar Skenario Alternatif Hasil simulasi dari berbagai skenario di atas dapat dibandingkan satu sama lain untuk merumuskan alternatif kebijakan yang paling baik dalam upaya pengembangan sistem agroindustri kakao sekaligus peningkatan penerimaan petani. Dalam analisis ini, dilakukan membandingkan kinerja model pada kondisi aktual dengan hasil penerapan kebijakan pengembangan agroindustri kakao dengan skenario 2 serta alternatif kebijakan dengan skenario 4, 5, 6, 7 dan 8,

17 129 sehingga dapat diperoleh alternatif kebijakan yang memiliki kinerja yang paling baik. Perbandingan simulasi yang terkait dengan output model sistem agroindustri kakao yaitu daya serap industri pengolahan, pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan serta penerimaan petani disajikan pada Gambar 67, 68, 69 dan 70 serta Lampiran 5, 6, 7, 8 dan 9. Sedangkan perbandingan simulasi yang terkait dengan output submodel pengolahan kakao, penyediaan bahan baku, konsumsi dan perdagangan disajikan pada Lampiran 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan 17. ( % ) Aktual Skenario 2 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8 Gambar 67 Perbandingan daya serap industri pengolahan kakao pada kondisi aktual, skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun Perbandingan perilaku daya serap industri antar skenario pada Gambar 67, dapat dilihat bahwa daya serap industri pengolahan kakao tertinggi pada akhir periode analisis diperoleh melalui skenario 8, sedangkan daya serap terendah diperoleh pada skenario 5. Hal ini mengindikasikan bahwa skneario 8 memiliki pertumbuhan daya serap industri yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya. Namun, jika dianalisis selama periode analisis, alternatif kebijakan dengan skenario 6 memiliki rata-rata daya serap tertinggi yaitu sebesar 68 persen, diikuti skenario 8 sebesar 65 persen. Kondisi ini terjadi karena pada skenario 8, produksi biji kakao lebih tinggi dibandingkan dengan skenario 6

18 130 akibat adanya peningkatan produktivitas perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao. ( % ) Aktual Skenario 2 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8 Gambar 68 Perbandingan pangsa volume ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun Pangsa volume ekspor kakao olahan tertinggi pada akhir periode analisis juga diperoleh dari alternatif kebijakan dengan skenario 8 (Gambar 68), diikuti oleh skenario 6, skenario 2, skenario 7, skenario 4, aktual dan skenario 5 dengan pangsa masing-masing sebesar 68,03 persen, 67,70 persen, 56,32 persen, 32,13 persen, 24,39 persen, 22,54 persen dan 19,55 persen. Hal ini menunjukkan bahwa alternative kebijakan dengan skenario 8 mampu meningkatkan produksi kakao olahan dengan sangat signifikan sehingga mendorong volume ekspor kakao olahan jauh melebihi volume ekspor biji kakao yang hanya memiliki pangsa sebesar 24,27 persen. Sejalan dengan pangsa volume ekspor kakao olahan, alternatif kebijakan dengan skenario 8 juga memiliki pangsa tertinggi untuk nilai ekspor kakao olahan (Gambar 69). Pada akhir periode analisis, pangsa nilai ekspor kakao olahan dengan skenario 8 mencapai 75,73 persen. Sedangkan pangsa terendah juga diperoleh dari skenario 5 dengan nilai 26,27 persen.

19 131 ( % ) Aktual Skenario 2 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8 Gambar 69 Perbandingan pangsa nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun Jika dilihat dari sisi penerimaan petani, skenario 8, 7, 6 dan 5 memiliki tingkat penerimaan petani tertinggi untuk petani yang mengikuti program Gernas kakao pada akhir periode analisis (Gambar 70). Sedangkan untuk petani yang tidak terlibat dalam program Gernas, penerimaan tertinggi diperoleh dari skenario 8 dan 7. Adanya kesamaan penerimaan petani pada skenario-skenario tersebut disebabkan oleh adanya kesamaan kebijakan yang terkait dengan penerimaan petani. Pada skenario 5, 6, 7, dan 8, kesamaan penerimaan petani yang terlibat dalam program Gernas kakao disebabkan oleh asumsi tingkat keberhasilan Gernas kakao yang sama yaitu sebesar 60 persen ditambah dengan peningkatan harga di tingkat petani akibat penghapusan bea ekspor kakao. Sedangkan skenario 7 dan 8 mampu mendorong penerimaan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya akibat adanya kebijakan peningkatan produktivitas perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao.

20 132 ( Rp ,- ) 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 - Aktual Skenario 2: Gernas Skenario 2: Non-Gernas Skenario 4: Gernas Skenario 4: Non-Gernas Skenario 5: Gernas Skenario 5: Non-Gernas Skenario 6: Gernas Skenario 6: Non-Gernas Skenario 7: Gernas Skenario 7: Non-Gernas Skenario 8: Gernas Skenario 8: Non-Gernas Gambar 70 Perbandingan penerimaan petani pada kondisi aktual, skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun Hasil perbandingan antar skenario alternatif kebijakan di atas, secara keseluruhan menunjukkan bahwa skenario 8 mampu mendorong kinerja sistem agroindustri kakao lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya. Dengan demikian, dalam upaya pengembangan agroindustri kakao, diperlukan kebijakan yang mampu meningkatkan kinerja industri pengolahan kakao melalui insentif fiskal dan moneter yang tidak memberikan dampak negatif terhadap usahatani kakao seperti penerapan bea ekspor kakao. Sementara itu, program Gernas kakao memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan penerimaan petani di samping peningkatan produktivitas dan mutu kakao. Perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao seharusnya juga tidak luput dari perhatian pemerintah dengan melakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu. Hal ini penting karena adanya kecenderungan penurunan produktivitas perkebunan rakyat, sehingga menurunkan penerimaan petani.

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI Agribisnis kakao memiliki permasalahan di hulu sampai ke hilir yang memiliki

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia Kebijakan agribisnis kakao yang diterapkan oleh pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan perkebunan seperti yang tertuang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industrialisasi komoditas komoditas pertanian terutama komoditas ekspor seperti hasil perkebunan sudah selayaknya dijadikan sebagai motor untuk meningkatkan daya saing

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekunder. Data diperoleh dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan

Lebih terperinci

Tahun Harga Kakao Harga Simulasi

Tahun Harga Kakao Harga Simulasi Validasi Harga Harga Biji kakao = 374 US$ tiap ton Hipotesa untuk uji validasi ini, yaitu: H : μ d = μ (tidak ada perbedaan data) H 1 : μ d μ (terdapat perbedaan data) Tahun Harga Kakao Harga Simulasi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KAKAO (SUATU PENDEKATAN SISTEM DINAMIS)

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KAKAO (SUATU PENDEKATAN SISTEM DINAMIS) ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KAKAO (SUATU PENDEKATAN SISTEM DINAMIS) Policy Analysis of Cocoa Downstream Industry Development (A System Dynamic Approach) Abdul Muis Hasibuan 1, Rita Nurmalina

Lebih terperinci

Abdul Muis Hasibuan 1, Rita Nurmalina 2 dan Agus Wahyudi 3 ABSTRAK ABSTRACT

Abdul Muis Hasibuan 1, Rita Nurmalina 2 dan Agus Wahyudi 3 ABSTRAK ABSTRACT ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KAKAO (SUATU PENDEKATAN SISTEM DINAMIS) POLICY ANALYSIS OF COCOA DOWNSTREAM INDUSTRY DEVELOPMENT (A SYSTEM DYNAMIC APPROACH) Abdul Muis Hasibuan 1, Rita Nurmalina

Lebih terperinci

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA MUFID NURDIANSYAH (10.12.5170) LINGKUNGAN BISNIS ABSTRACT Prospek bisnis perkebunan kelapa sawit sangat terbuka lebar. Sebab, kelapa sawit adalah komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA OLEH : RIZA RAHMANU H

ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA OLEH : RIZA RAHMANU H ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA OLEH : RIZA RAHMANU H14052235 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN RIZA

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Akselerasi Sektor Industri yang Berdaya Saing

Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Akselerasi Sektor Industri yang Berdaya Saing KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kebijakan Fiskal untuk Mendukung Akselerasi Sektor Industri yang Berdaya Saing Andin Hadiyanto Kementerian Keuangan RI Tantangan Utama Sektor Industri Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN Agar pangsa pasar susu yang dihasilkan peternak domestik dapat ditingkatkan maka masalah-masalah di atas perlu ditanggulangi dengan baik. Revolusi putih harus dilaksanakan sejak

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun 2012... 5 2. Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2012... 6 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi manggis

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Tarif Bawang Merah Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO, setiap negara yang tergabung sebagai anggota WTO harus semakin membuka pasarnya. Hambatan perdagangan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL Pada bagian analisis kebijakan, terlebih dahulu akan dilakukan analisis pada model dasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan skenario kebijakan yang telah

Lebih terperinci

Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu

Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu 1. Kelapa Luas areal, produksi dan produktivitas kelapa Indonesia dalam dua tahun terakhir cenderung stabil. Jumlah kelapa yang terserap

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Pembangunan pertanian diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju,

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam 219 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan 8.1.1. Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil bahwa guncangan ekspor nonagro berpengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia, dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal berikut ini. 1. Faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi

Lebih terperinci

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT Sebagai Sektor Utama Ekonomi Rakyat: Prospek dan 16Agribisnis Pemberdayaannya Pendahuluan Satu PELITA lagi, Indonesia akan memasuki era perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas Sektor industri merupakan salah satu sektor yang mampu mendorong percepatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI BHINEKA TUNGGAL IKA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga C. Program PERKREDITAN PERMODALAN FISKAL DAN PERDAGANGAN KEBIJAKAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERBAIKAN JALAN DESA KEGIATAN PENDUKUNG PERBAIKAN TATA AIR INFRA STRUKTUR (13.917 ha) Intensifikasi (9900 ha) Non

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

There is nothing more important than agriculture in governing people and serving the Heaven. Lao Tze Taode Jing (Abad 6 BC)

There is nothing more important than agriculture in governing people and serving the Heaven. Lao Tze Taode Jing (Abad 6 BC) There is nothing more important than agriculture in governing people and serving the Heaven Lao Tze Taode Jing (Abad 6 BC) PERANAN PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN Harianto KARAKTERISTIK PERTANIAN A. Petani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI B A B BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berbagai upaya ditempuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah Dalam konteks pembanguan saat ini,

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao I. PENDAHULUAN

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena analisis dalam metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agroindustri suatu daerah diarahkan untuk menjamin pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah melalui keterkaitan antara budidaya,

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa: 1. Penawaran output jagung baik di Jawa Timur maupun di Jawa Barat bersifat elastis

Lebih terperinci

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi. HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg) 12393.5 13346.3 7.688 VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil pendugaan model pengembangan biodiesel terhadap produk turunan kelapa sawit

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 104 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kehidupan modern tidak terlepas dari berbagai macam makanan olahan salah satunya adalah cokelat. Cokelat dihasilkan dari biji buah kakao yang telah mengalami

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan beberapa kesimpulan: 1. Model ekonomi tanaman pangan Indonesia yang dibangun dengan pendekatan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.1.1 Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Serta Proyeksinya 5.1.1.1 Produksi Produksi rata - rata ubi kayu di sampai dengan tahun 2009 mencapai

Lebih terperinci

8 ANALISIS KESEIMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI DAN PEMERATAAN DISTRIBUSI KEUNTUNGAN

8 ANALISIS KESEIMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI DAN PEMERATAAN DISTRIBUSI KEUNTUNGAN 145 8 ANALISIS KESEIMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI DAN PEMERATAAN DISTRIBUSI KEUNTUNGAN Agroindustri kerapu budi daya terdiri atas rangkaian kegiatan usaha yang saling bergantung satu dengan yang lainnya,

Lebih terperinci

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN - 6.1. Ramalan Harga Minyak Nabati di Pasar Dunia Pergerakan harga riil minyak kelapa sawit, minyak kedelai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

UMKM & Prospek Ekonomi 2006

UMKM & Prospek Ekonomi 2006 UMKM & Prospek Ekonomi 2006 Oleh : B.S. Kusmuljono Ketua Komite Nasional Pemberdayaan Keuangan Mikro Indonesia (Komnas PKMI) Komisaris BRI Disampaikan pada : Dialog Ekonomi 2005 & Prospek Ekonomi Indonesia

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Industri agro memiliki arti penting bagi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh beberapa fakta yang mendukung. Selama kurun waktu 1981 1995, industri agro telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan adalah subsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor yang penting dalam sektor pertanian,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA Pada bab V ini dikemukakan secara ringkas gambaran umum ekonomi kelapa sawit dan karet Indonesia meliputi beberapa variabel utama yaitu perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor industri mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN

PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN 1. Pemerintah atas permintaan sebagian perusahaan pengolah kakao yang tergabung dalam Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) sedang mempertimbangkan untuk

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu kegiatan yang berperan penting dalam perekonomian suatu negara adalah kegiatan perdagangan internasional. Sehingga perdagangan internasional harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumberdaya alam, terutama dari hasil pertanian. Sektor pertanian menjadi sektor penting sebagai penyedia

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA 36 III. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian terdahulu menunjukkan perkembangan yang sistematis dalam penelitian kelapa sawit Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, penelitian kelapa sawit berfokus pada bagian hulu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan berbagai dampak yang serius. Dampak yang timbul akibat krisis ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 6.1 Kesimpulan Perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak pada perekonomian dan sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan iklim

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. kesejahteraan, serta dampak kuota impor terhadap kesejahteran.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. kesejahteraan, serta dampak kuota impor terhadap kesejahteran. 19 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Komponen utama perdagangan bawang merah di Indonesia mencakup kegiatan produksi, konsumsi, dan impor. Berikut ini dipaparkan teori dari fungsi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) Oleh : Prajogo U. Hadi Adimesra Djulin Amar K. Zakaria Jefferson Situmorang Valeriana Darwis PUSAT ANALISIS SOSIAL

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Perkebunan Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya Pemerintah menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar 5,1% dan 8,2% dan penurunan

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Selain sebagai sumber utama minyak nabati, kelapa sawit

Lebih terperinci