IV. METODOLOGI 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. METODOLOGI 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual"

Transkripsi

1 IV. METODOLOGI 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Pendekatan klaster industri telah ditetapkan sebagai strategi pengembangan industri nasional dalam Undang-undang Program Pembangunan Nasional Tahun (Propenas), dan penjabarannya dalam subbab 4.2 menyatakan bahwa kegiatan pokok yang dilakukan adalah perumusan strategi peningkatan daya saing global dengan prioritas pada klaster industri berbasis sumber daya alam. Penetapan pendekatan klaster sebagai strategi pengembangan industri nasional sejalan dengan kecenderungan dibanyak negara industri maju yang telah memilih pendekatan klaster industri guna meningkatkan daya saing dalam rangka menghadapi era globalisasi. Sementara itu Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah Tahun 1999 dalam Pasal 10 ayat 1 menetapkan bahwa Daerah (dalam hal ini: Kabupaten) berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya masing-masing. Oleh karena itu berbagai daerah otonom yang memiliki potensi sumber daya alam perlu menyusun strategi pengembangan klaster agroindustri dengan memperhatikan potensi agroindustri dan kompetensi inti yang dimiliki daerah untuk mendukung agroindustri tersebut. Klaster agroindustri ini diharapkan dapat mengolah sumber daya alam menjadi produk agroindustri bernilai tambah tinggi yang dapat dijual di pasar dalam negeri dan luar negeri sehingga dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi setempat. Strategi pengembangan tersebut harus berlandaskan perhitungan-perhitungan yang realistis dengan memperhatikan kompetensi inti daerah otonom dan potensi kelompok agroindustri yang ada, serta kapasitas dan kemampuan wilayah untuk mengimplementasikan rencana, kebijakan, dan program di bawah suatu kordinasi. Pendekatan klaster industri akan menentukan dan menuntut peranan yang baru dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, institusi terkait lainnya dan perusahaan -perusahaan dalam klaster industri. Disamping kebijakan-kebijakan makro ekonomi untuk membantu peningkatan daya saing, diperlukan pula peranan dan pengaruh Pemerintah pada level mikro. Peranan dan pengaruh Pemerintah untuk menghilangkan hambatan yang mengganggu pertumbuhan

2 81 klaster industri dan peningkatan kemampuan dari klaster yang sedang bertumbuh merupakan hal yang perlu diprioritaskan. Pendekatan klaster industri diharapkan akan memberikan tambahan lapangan kerja, peningkatan pendapatan daerah, peningkatan produktivitas, peningkatan ekspor, tumbuhnya usaha-usaha baru dan berkembangnya inovasi yang akan membantu terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat berdaya saing, sejahtera dan maju. Dengan banyaknya pelaku yang terlibat dengan kepentingan yang beragam maka diperlukan pendekatan sistem yang selalu mencari keterpaduan antar bagian. Dengan pemikiran ini, maka pola pikir konseptual model strategi pengembangan klaster agroindustri pada daerah otonom disajikan dalam Gambar 4.1 : Propenas (UU No.25/2000) Otonomi Daerah (UU No.22/1999) Arah Kebijakan a.l : - Industri Berbagai Keunggulan Sumber Daya Alam - Pendekatan Klaster Industri Trend di Negara Industri Maju Potensi Agroindustri Daerah Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Daerah Pengembangan Industri dengan Pendekatan Klaster Pengembangan Agroindustri Menggunakan Kompetensi Inti Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti Daerah Hasil yang diharapkan : - Penambahan lapangan kerja - Peningkatan pendapatan daerah - Peningkatan produktivitas - Peningkatan ekspor - Tumbuhnya usaha-usaha baru - Berkembangnya inovasi Tujuan pembangunan : - Masyarakat berdaya saing dan berdaya tahan - Masyarakat sejahtera - Masyarakat Maju Gambar 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti Daerah

3 82 Penyusunan model strategi pengembangan klaster agroindustri di daerah otonom dilakukan dengan mengacu pada model manajemen yang diperkenalkan oleh Hamel dan Prahalad (1994). Model Hamel dan Prahalad ini terdiri dari 3 komponen dasar untuk penyusunan suatu strategi (Roberts dan Stimson 1998), yaitu : (1) Identifikasi dan pengembangan kompetensi inti. (2) Mendefinisikan strategic architecture. (3) Menetapkan strategic intent. Kompetensi inti adalah kombinasi dari teknologi, keterampilan, pemanfaatan sumber daya dan manajemen, yang apabila dikombinasikan dengan cara-cara tertentu akan membuat suatu perusahaan atau wilayah mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki daya saing untuk pasar ekspor dan domestik. Strategic architecture menjelaskan mengenai cara-cara untuk memanfaatkan kompetensi inti, memobilisasi sumber daya dan menciptakan pasar untuk mencapai tujuan, sedang Strategic intent menguraikan hal-hal yang ingin dicapai (Roberts & Stimson 1998). Penelitian ini akan mengidentifikasi kompetensi inti daerah dan kelompokkelompok agroindustri yang ada di daerah tersebut, dan sebagai strategic architecture-nya adalah pendekatan klaster agroindustri menggunakan kompetensi inti. Sebagai Strategic intent-nya adalah klaster agroindustri yang dapat: 1) Meningkatkan pendapatan Pemerintah Daerah; 2) Memperluas lapangan kerja dan pembentukan usaha baru; 3) Memperluas pasar domestik dan ekspor; 4) Meningkatkan produktivitas usaha. Dalam merumuskan kebijakan pengembangannya, klaster agroindustri harus dilihat sebagai suatu sistem karena ia merupakan suatu kesatuan atau gugus yang utuh, yang memiliki kompleksitas permasalahan yang tinggi. Kompleksitas yang tinggi timbul dari banyaknya pihak yang terkait, yang memiliki kepentingankepentingan dan tujuan berbeda yang mungkin berbenturan. Pendekatan sistem diperlukan untuk mendapatkan kebijakan strategi pengembangan yang menyeluruh, efektif dan berkelanjutan.

4 Tahapan Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, maka pelaksanaan penelitian untuk pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti daerah dilakukan melalui tahapan: (1) Identifikasi kompetensi inti daerah untuk mendukung pengembangan berbagai kelompok agroindustri yang ada di daerah, (2) Identifikasi atribut yang dimiliki setiap kelompok agroindustri yang diperlukan untuk pembentukan klaster, (3) Pemilihan kelompok agroindustri yang dapat dikembangkan sebagai klaster agroindustri unggulan daerah, (4) Pemetaan klaster agroindustri dan identifikasi unsur klaster yang masih perlu dikembangkan, (5) Strukturisasi sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan, (6) Formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan, (7) Perancangan kelembagaan klaster agroindustri unggulan, sebag aimana disajikan pada Gambar 4.2. Identifikasi kompetensi inti daerah dimaksudkan untuk mengetahui potensi daerah dalam mendukung pengembangan masing-masing kelompok agroindustri yang terdapat di daerah tersebut. Identifikasi atribut yang dimiliki kelompok agroindustri dimaksudkan untuk mengetahui kelompok agroindustri yang lebih memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai klaster agroindustri. Atribut yang ditetapkan mencakup faktor-faktor: konsentrasi industri, pertumbuhan kelompok, jumlah tenaga kerja, nilai tambah, kompetensi inti daerah untuk kelompok agroindustri, keterkaitan dengan usaha lain, dan kemampuan ekspor. Pemilihan klaster agroindustri unggulan daerah dimaksudkan untuk mendapatkan kelompok agroindustri yang perlu didukung untuk menjadi penggerak pembangunan ekonomi daerah. Strukturisasi sistem pengembangan dimaksudkan untuk mengidentifikasi keterkaitan antara elemen program pengembangan klaster agroindustri unggulan. Formulasi kebijakan pengembangan dimaksudkan untuk merumuskan kegiatan pengembangan yang dapat meningkatkan keunggulan bersaing melalui pendekatan klaster agroindustri. Perancangan model strategi pengembangan klaster agroindustri dimaksudkan untuk mendapatkan model strategi pengembangan klaster agroindustri yang memiliki keunggulan bersaing.

5 84 Metode : - Data Statistik - Wawancara - Kuesioner Pengumpulan Data Metode : - MSQA Identifikasi Kompetensi Inti Daerah Metode : - LQ - Shift Share - Heuristic Identifikasi Atribut Kelompok Agroindustri Metode : - AHP Pemilihan Agroindustri Unggulan Metode : - Pendapat Ahli - Model Porter Pemetaan Klaster Agroindustri Unggulan dan Identifikasi Unsur Klaster yang Belum Terbentuk Peran Pemerintah (Model Porter) Strukturisasi Sistem Pengembangan Agroindustri Peran Swasta (Model Porter) Metode : - ISM dan IPE Formulasi Kebijakan Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Analisa Kelembagaan pada Klaster Agroindustri Unggulan Gambar 4.2 Tahapan Penelitian 4.3 Kerangka Pemikiran Rekayasa Model Secara diagram, kerangka pemikiran pemodelan sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti disajikan dalam Gambar 4.3 dengan penjelasan sebagai berikut : 1) Rekayasa model identifikasi kompetensi inti agroindustri di daerah untuk masing-masing kelompok agroindustri (selanjutnya disebut dengan kompetensi inti kelompok agroindustri), dengan metode Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA) dari Roberts dan Stimson (1998) dengan

6 85 penyesuaian yang diperlukan pada kriteria-kriteria yang digunakan. Output dari model ini adalah Indeks Kompetensi Inti Daerah dan bobotnya untuk masing-masing kelompok agroindustri. 2) Rekayasa model identifikasi konsentrasi kelo mpok agroindustri dengan teknik Location Quotient. Output dari model ini adalah nilai Location Quotient (LQ) dan Indeks Konsentrasi Industri dan bobotnya untuk masing-masing kelompok agroindustri. 3) Rekayasa model identifikasi tingkat pertumbuhan kelompok agroindustri dengan teknik Shift Share Analysis. Output dari model ini adalah Indeks Tingkat Pertumbuhan Industri dan bobotnya untuk masing-masing kelompok agroindustri. 4) Rekayasa model identifikasi kemampuan ekspor kelompok agroindustri dengan metode heuristic. Output dari model ini adalah Indeks Kemampuan Ekspor dan bobotnya untuk masing-masing kelompok agroindustri. 5) Rekayasa model identifikasi keterkaitan kelompok agroindustri dengan sektor atau usaha lain dengan metode heuristic. Output dari model ini adalah Indeks Keterkaitan dan bobotnya untuk masing-masing kelompok. 6) Rekayasa model identifikasi nilai tambah pada setiap kelompok agroindustri yang diteliti. Output dari analisa ini adalah Bobot Nilai Tambah untuk masing-masing kelompok agroindustri. 7) Rekayasa model identifikasi jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri. Output dari analisa ini adalah Bobot Jumlah Tenaga Kerja untuk masing-masing kelompok agroindustri. 8) Rekayasa model pemilihan calon klaster agroindustri unggulan. Pemilihan dilakukan dengan menggunakan analisa Analytical Hierarchy Process (AHP). Output dari model ini adalah peringkat kelompok agroindustri untuk dikembangkan sebagai klaster unggulan daerah. 9) Rekayasa model strukturisasi sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan. Rekayasa dilakukan dengan bantuan alat analisa Interpretive Structural Modelling (ISM) dengan input pendapat para ahli yng dipilih. Output dari model ini adalah struktur sistem pengembangan agroindustri.

7 86 10) Rekayasa model hubungan antar subelemen sistem pengembangan dengan teknik Multi Expert Multi Criteria Decision Making. Outputnya adalah tingkat kepentingan hubungan antar subelemen. 11) Formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan, untuk merumuskan kegiatan pengembangan. Juga dilakukan analisa mengenai kelembagaan yang perlu dikembangkan untuk peningkatan kinerja klaster dan penetapan indikator untuk pengukuran kinerja klaster. - Kriteria Kompetensi Inti Daerah - Kelompok Agroindustri - Tenaga Kerja - Nilai Ekspor - Nilai Tambah Mulai - Bobot Kompetensi Inti Kelompok AI - Bobot Konsentrasi Kelompok AI - Bobot Pertumbuhan Kelompok AI - Bobot Potensi Ekspor Kelompok AI - Bobot Potensi Keterkaitan Industri - Bobot Nilai Tambah - Bobot Jumlah Tenaga Kerja 1. Identifikasi Kompetensi Inti Kelompok AI dengan Teknik MSQA 2. Identifikasi Konsentrasi Kelompok AI dengan Metode LQ 3. Identifikasi Pertumbuhan Kelompok AI dengan Metode Shift Share 4. Identifikasi Potensi Ekspor dengan Metode Heuristik 5. Identifikasi Potensi Keterkaitan Kelompok AI dengan Metode Heuristik 6. Identifikasi Nilai Tam bah 7. Identifikasi Jumlah Tenaga Kerja Pemilihan Calon Klaster AI Unggulan dengan Metode AHP Calon Klaster AI Unggulan Identifikasi Industri Inti A Industri Inti Gambar 4.3 Kerangka Pemikiran Rekayasa Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan

8 87 A Pendapat Ahli Tentang Sistem Pengembangan Klaster AI Strukturisas i Sistem dan identifikasi hubungan antar subelemen, Metode ISM - Klasifikasi Elemen - Elemen Kunci Penegmbangan - Hubungan antar subelemen Tingkat Kepentingan Sub Elemen Terhadap Elemen Tujuan Formulasi Kebijakan Pengembangan Klaster AI Unggulan Pemeringkatan Tingkat Kepentingan Sub Elemen (Metode IPE) Skenario Pengembangan : - Kelembagaan Klaster AI - Implikasi Kebijakan - Sistem Pengukuran Kinerja Pendapat Ahli Tentang Tingkat Kepentingan Antar Sub Elemen Selesai Gambar 4.3 (Lanjutan) Kerangka Pemikiran Rekayasa Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan 4.4 Validasi dan Verifikasi Model Validasi dan Verifikasi model dilakukan dengan cara yang dianjurkan oleh Rykiel (1996) dengan melakukan: 1) Review oleh ahli yang independen mengenai ketepatan (soundness) dari logika dan konsep model; 2) Memasukkan data empiris ke dalam model; 3) Membandingkan hasil keluaran model dengan keadaan nyata melalui pendapat ahli. 4.5 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi: (1) Kriteria kompetensi inti daerah; (2) Jumlah perusahaan, tenaga kerja, nilai tambah, untuk masing-masing kelompok agroin dustri makanan, minuman, kulit, kayu rotan dan bambu, kertas dan barang dari kertas, karet dan barang dari karet; (3) Pendapat ahli untuk Analytical Hierarchy Process tentang pemilihan kelompok agroindustri unggulan

9 88 daerah; (4) Pendapat ahli tentang struktur sistem pengembangan klaster agroindustri; (5) Pendapat ahli tentang tingkat kepentingan subelemen dari elemen Peranan Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha terhadap elemen Tujuan. 4.6 Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui pengumpulan data yang tersedia pada Badan Pusat Statistik (Nasional, Propinsi dan Kabupaten) dan instansi lainnya, studi-studi serta laporan-laporan mengenai industri dan perdagangan, survei lapangan dan wawancara. Survei lapangan dilakukan terhadap pihak yang memahami perihal agroindustri dan pihak terkait lainnya, antara lain: instansi Pemerintah, pelaku agroindustri dan industri terkait,, institusi pelatihan dan pendidikan, institusi penelitian dan pengembangan, lembaga keuangan, pakar di bidang industri dan perdagangan, dan pakar di bidang agroindustri. Survei lapangan dilakukan melalui wawancara, pengiriman kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Responden dipilih secara purposive sampling. 4.7 Pengolahan Data Pengolahan data di dalam penelitian ini dilakukan berbagai macam analisa sebagaimana yang diuraikan berikut ini : 1) Identifikasi kompetensi inti daerah untuk kelompok agroindustri daerah. Analisa yang digunakan adalah metode MSQA yang disesuaikan, yang selanjutnya disebut Metode Kualitatif Multi Kelompok Agrondustri (MKMKA). Kolom dari matriks MKMKA terdiri dari tujuh kelompok agroindustri yang anggota kelompoknya terdiri dari satu atau beberapa industri pada tingkat 3-digit pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI 2000), sedang baris pada matriks MKMKA terdiri dari 16 kompetensi yang dimiliki daerah (kriteria). Dari pengolahan matriks ini akan diperoleh dua macam indeks, yaitu Indeks Kompetensi Inti Daerah untuk Kelompok Agroindustri (IKIDKA) untuk masing-masing kelompok agroindustri yang ada di daerah tersebut dan Indeks Kriteria Kompetensi Inti Daerah (IKKID). IKIDKA secara relatif menggambarkan dukungan sumber daya daerah terhadap kelompok

10 89 agroindustri tertentu. Indeks yang lebih besar berarti dukungan sumber daya daerah terhadap agroindustri tersebut lebih besar dibandingkan dengan agroindustri yang indeksnya lebih kecil, demikian pula sebaliknya. IKKID menggambarkan tingkatan dukungan suatu kompetensi (kriteria) daerah terhadap pembangunan agroindustri di daerah tersebut. Makin tinggi indeks IKKID suatu kompetensi, berarti makin besar dukungan kompetensi tersebut untuk pengembangan agroindustri daerah. Dari hasil analisa ini akan diperoleh output berupa urutan kelompok agroindustri yang paling mendapat dukungan dari sumber daya dan kemampuan yang dimiliki daerah. Data yang digunakan untuk analisa ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik, wawancara pakar, serta pengolahan data dari laporan dan studi mengenai perekonomian daerah. Dengan metode MKMKA ini, dilakukan pengamatan atas hubungan-hubungan antara variabel-variabel ekonomi yang merupakan kompetensi daerah dengan berbagai kelompok agroindustri yang ditetapkan, sehingga dapat diketahui kelompok agroindustri daerah yang berpotensi membentuk klaster agroindustri. Masing-mas ing kelompok agroindustri yang dikaji, terdiri dari satu atau beberapa agroindustri 3-digit dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2000 (KBLI 2000), Kategori D (Industri Pengolahan) dengan memperhatikan kesamaan dan kemiripan diantara industri 3-digit yang bersangkutan. Dengan mengolah data dari BPS dan mengeliminasi golongan industri yang bukan agroindustri serta memperhatikan kedekatan serta keterkaitan antara kelompok 3-digit tersebut, maka agroindustri yang dikaji dikelompokkan menjadi 7 kelompok yaitu : Kelompok-1 : Agroindustri Makanan. 151 : Pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak. 153 : Industri penggilingan padi-padian, tepung dan makanan ternak. 154 : Industri makanan lainnya. Kelompok-2 : Agroindustri Minuman. 155 : Industri minuman.

11 90 Kelompok-3 : Agroindustri Tembakau. 160 : Industri pengolahan tembakau. Kelompok-4 : Agroindustri Kulit. 181 : Industri pakaian jadi atau barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu. 191 : Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan). 192 : Industri alas kaki. Kelompok-5 : Agroindustri Kayu, Rotan dan Bambu. 201 : Industri penggergajian dan pengawetan kayu, rotan, bambu dan sejenisnya. 202 : Industri barang-barang dari kayu, dan barang-barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya. 361 : Industri Furnitur. Kelompok-6 : Agroindustri Kertas dan Barang dari Kertas. 210 : Industri kertas, barang dari kertas dan sejenisnya. Kelompok-7 : Agroindustri Karet dan Barang dari Karet. 251 : Industri Karet dan Barang dari Karet. Dengan memperhatikan kegiatan ekonomi di daerah dan keterbatasan data serta informasi di daerah, maka kriteria atau kompetensi yang digunakan dalam MKMKA adalah sebagai berikut: (1) Peraturan di bidang investasi, (2) Peraturan di bidang perdagangan, (3) Fasilitas penunjang bisnis, (4) Kegiatan investasi, (5) Ketersediaan tenaga kerja, (6) Ketersediaan tenaga ahli, (7) Fasilitas pendidikan dan pelatihan, (8) Fasilitas penelitian dan pengembangan, (9) Keberadaan jaringan asosiasi bisnis, (10) Ketersediaan infrastruktur fisik, (11) Dukungan permodalan, (12) Tingkat upah, (13) Pasar domestik, (14) Daya tarik bagi investor asing, (15) Sumber daya alam setempat, (16) Jarak ke pasar utama ekspor. Penilaian terhadap masin g-masing kriteria untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan melalui pengumpulan pendapat ahli atau secara subyektif oleh peneliti berdasarkan data statistik dari BPS, kajian dan studi serta laporan-laporan yang menyangkut kegiatan industri dan perdagangan, wawancara dengan para ahli dari dunia usaha maupun akademisi, serta pejabat Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.

12 91 Mengacu pada Roberts dan Stimson (1998), maka untuk melakukan analisa kompetensi inti ini, setiap kriteria untuk masingmasing kelompok agroindustri akan diberi peringkat (rank) dan akan diukur secara ordinal dalam tiga skor sebagai berikut : Baik (B) = 5 Cukup (C) = 3 Kurang (K) = 1 Selanjutnya, skor pada setiap kolom kelompok agroindustri dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah skor maksimum yang mungkin untuk setiap kelompok agroindustri sehingga diperoleh indeks relatif masing-masing kelompok agroindustri tersebut yang disebut sebagai Indeks Kompetensi Inti Daerah untuk Kelompok Agroindustri (IKIDKA) yang mencerminkan kekuatan ataupun kelemahan kelompok agroindustri di daerah itu. Dari hasil perhitungan indeks IKIDKA dapat disusun ranking agroindustri yang paling didukung oleh kompetensi inti daerah. Indeks Kriteria Kompetensi Inti Daerah (IKKID) diperoleh dengan menjumlahkan skor pada setiap baris dan kemudian dibagi dengan jumlah skor maksimum yang mungkin sehingga diperoleh indeks relatif untuk masing-masing kompetensi yang mencerminkan kekuatan relatif suatu kompetensi di daerah tersebut untuk mendukung pengembangan berbagai kelompok agroindustri. 2) Identifikasi konsentrasi kelompok agroindustri. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode Location Quotient. Data yang digunakan dalam analisa ini adalah data jumlah pekerja dalam setiap kelompok agroindustri yang dikaji untuk tahun Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan Location Quotient dalam penelitian ini adalah rasio antara proporsi jumlah tenaga kerja pada masing-masing kelompok agroindustri yang diteliti pada daerah penelitian dengan jumlah total tenaga kerja pada seluruh agroindustri di daerah penelitian, dengan proporsi antara jumlah tenaga kerja secara nasional pada masing-masing

13 92 kelompok agroindustri yang diteliti dengan jumlah tenaga kerja pada seluruh agroindustri nasional. Analisa Location Quotient akan memberikan hasil berupa besaran location quotient untuk masing-masing kelompok agroindustri di daerah dan urutan peringkatnya. Location Quotient yang lebih tinggi berarti kelompok tersebut lebih terkonsentrasi daripada kelompok yang location quotientnya lebih rendah. Location Quotient yang lebih besar dari 1 dapat berarti bahwa industri yang bersangkutan menghasilkan produksi barang melebihi kebutuhan lokal, sehingga dapat menjual produksinya keluar daerah dan ekspor. Location quotient, berdasarkan jumlah tenaga kerja, yang lebih besar dari 1 belum berarti bahwa industri tersebut merupakan industri yang kompetitif. Harus dilakukan analisa lain seperti Shift-Share analysis untuk memastikan bahwa industri tersebut memang kompetitif dan memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi. 3) Identifikasi pertumbuhan kelompok agroindustri. Metode yang digunakan untuk identifikasi ini adalah analisa Shift-Share, yang dapat memberikan informasi mengenai pertumbuhan suatu kelompok agroindustri pada tahun tertentu dibandingkan dengan tahun referensi sebelumnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jumlah tenaga kerja dalam masing-masing kelompok agroindustri untuk dua tahun referensi (1997 dan 2002), sehingga akan kelihatan apakah terjadi pertumbuhan pada periode tersebut. Yang digunakan untuk analisa pertumbuhan ini adalah komponen differential shift dari rumus Shift-Share (Blakely & Bradshaw 2002), atau disebut juga sebagai komponen regional share (Dinc 2002). Angka differential shift dapat dikonversi menjadi differential shift quotient. Angka yang positif dari differential shift berarti kelompok industri tersebut mengalami pertumbuhan dari tahun referensi sebelumnya. Makin tinggi angka differential shift berarti makin baik pertumbuhannya, yang berarti kelompok ini lebih kompetitif. Output dari analisa ini adalah besarnya differential shift quotient untuk setiap kelompok agroindustri yang dikaji, yang dalam penelitian ini disebut sebagai indeks pertumbuhan industri. Differential shift quotient atau

14 93 indeks pertumbuhan industri yang tinggi berarti bahwa kelompok agroindustri yang bersangkutan mengalami pertumbuhan yang tinggi. 4) Identifikasi kemampuan ekspor kelompok agroindustri. Analisa mengenai potensi ekspor kelompok agroindustri tidak dapat dilakukan dengan menggunakan angka realisasi ekspor pada tingkat Kabupaten, karena tidak terdapat statistik untuk hal tersebut. Kemampuan ekspor kelompok agroindustri Kabupaten Bogor dilakukan dengan mengumpulkan pendapat 3 orang ahli. Setiap ahli diminta untuk memberikan penilaian dengan peringkat B= Baik (skor=5), C= Cukup (skor=3) dan K= Kurang (skor=1) untuk kemampuan ekspor Kabupaten Bogor ke setiap negara atau kawasan mitra dagang. Pendapat dari ketiga ahli akan diagregasi untuk mendapatkan indeks kemampuan ekspor untuk masing-masing kelompok agroindustri. Negara atau Kawasan mitra dagang Kabupaten Bogor tersebut adalah: 1) Singapura, 2) Malaysia, 3) Asean lainnya, 4) Korea Selatan, 5) China, 6) Taiwan, 7) Jepang, 8) Australia dan New Zealand, 9) Uni Eropa, 10) Amerika Serikat dan Canada, 11) Timur Tengah dan Afrika, 12) Wilayah Indonesia diluar Kabupaten Bogor. 5) Identifikasi keterkaitan kelompok agroindustri dengan industri lain. Analisa keterkaitan ini tidak dapat dilakukan dengan analisa input-output pada tingkat Kabupaten, karena tidak tersedia data untuk maksud ini. Keterkaitan antara kelompok agroindustri dan lapangan usaha lain dilakukan dengan memintakan pendapat 3 (tiga) orang ahli. Setiap ahli akan memberi penilaian dengan peringkat T=Tinggi (skor=5), S=Sedang (skor=3) atau R=Rendah (skor=1), untuk setiap keterkaitan skor dari ketiga ahli akan diagregasi untuk mendapatkan indeks keterkaitan untuk masing-masing kelompok agroindustri. Keterkaitan yang dikaji adalah keterkaitan antar kelompok agroindustri dan antara kelompok agroindustri dengan lapangan usaha lain yang terdiri dari: 1) Pertanian, 2) Peternakan, 3) Kehutanan, 4) Perikanan, 5) Penerbitan dan Percetakan, 6) Kimia, 7) Perdagangan, 8) Mesin dan Perlengkapan, 9) Transportasi dan Pergudangan, 10) Jasa Keuangan, 11) Jasa Pendidikan dan Pelatihan, 12) Jasa Penelitian dan Pengembangan.

15 94 6) Identifikasi nilai tambah pada setiap kelompok agroindustri. Analisa dilakukan dengan menggunakan data nilai tambah untuk setiap kelompok agroindustri untuk tahun referensi Pembobotan antar kelompok agroindustri dilakukan berd asarkan perbandingan besarnya nilai tambah. 7) Identifikasi jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri. Analisa dilakukan dengan menggunakan data jumlah tenaga kerja untuk setiap kelompok agroindustri untuk tahun referensi Pembobotan antar kelompok agroindustri dilakukan berdasarkan besarnya jumlah tenaga kerja. 8) Pemilihan Klaster Agroindustri Ungggulan. Pemilihan klaster agroindustri unggulan dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Pada analisa ini ditetapkan 4 tingkatan hierarki. Tingkat- 1 : Fokus, yaitu Memilih Klaster Agroindustri Unggula Daerah. Tingkat- 2 : Tujuan, terdiri dari 4 elemen, yaitu : 1) Meningkatkan Pendapatan Pemerintah Daerah, 2) Memperluas Lapangan Kerja dan Pembentukan Usaha Baru, 3) Memperluas Pasar Domestik dan Ekspor, dan 4) Meningkatkan Produktivitas Usaha. Tingkat-3: Kriteria, yang terdiri dari 7 elemen, yaitu: 1) Kompetensi Inti, 2) Konsentrasi Industri, 3) Pertumbuhan Kelompok, 4) Kemampuam Ekspor, 5) Keterkaitan dengan Usaha Lain, 6) Nilai Tambah, dan 7) Jumlah Tenaga Kerja. Tingkat-4: Alternatif, yang terdiri dari tujuh kelompok agroindustri yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu : (1) Kelompok Agroindustri Makanan, (2) Kelompok Agroindustri Minuman, (3) Kelompok Agroindustri Tembakau, (4) Kelompok Agroindustri Kulit, (5) Kelompok Agroindustri Kayu, Rotan dan Bambu, (6) Kelompok Agroindustri Kertas dan Barang dari Kertas, (7) Kelompok Agro industri Karet dan Barang dari Karet. Output dari proses ini adalah terpilihnya peringkat kelompok agroindustri yang akan dikembangkan menjadi klaster agroindustri unggulan daerah. 9) Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri. Strukturisasi dilakukan dengan metode Interpretive Structural Modelling (ISM). Masukan diambil dari hasil identifikasi elemen penting sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah, yang dalam

16 95 penelitian ini terdiri dari 5 elemen, yaitu: (1) Tujuan; (2) Pelaku; (3) Kendala; (4) Aktivitas Dunia Usaha yang dibutuhkan; (5) Peran Pemerintah. Setiap elemen diuraikan lagi atas subelemen yang penting berdasarkan masukan dari para ahli. Terhadap setiap elemen dilakukan proses sesuai dengan metode ISM sehingga diperoleh output untuk setiap elemen. Keluaran dari analisa ini untuk setiap elemen adalah klasifikasi elemen sistem pengembangan yang terdiri dari: (1) Struktur sistem pada setiap elemen, (2) Rank dan hierarki dari subelemen pada setiap elemen, (3) Klasifikasi subelemen pada empat kategori peubah (Eriyatno 1999). 10) Pendapat gabungan mengenai tingkat kepentingan antar subelemen pada elemen Aktivitas Dunia Usaha dan subelemen pada elemen Peran Pemerintah dengan subelemen pada elemen Tujuan dilakukan dengan teknik Independent Preference Evaluation (IPE). Hasil analisa ini memperlihatkan tingkat kepentingan dari masing-masing subelemen pada elemen Aktivitas Dunia Usaha dan elemen Peran Pemerintah berdasarkan agregasi sub elemen Tujuan. 11) Formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri. Berdasarkan klasifikasi elemen sistem pengembangan yang merupakan output dari proses ISM tersebut dan tingkat kepentingan subelemen yang merupakan output pendapat gabungan melalui teknik IPE, dapat dilakukan tahap penyelesaian lanjutan berupa formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah termasuk analisa mengenai kelembagaan dan penetapan indikator pengukuran kinerja klaster, yang akan memberikan output berupa Skenario Pengembangan Klaster Agroindustri di daerah.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan sistem menghasilkan Model Strategi Pengembangan

Lebih terperinci

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini V. ANALISA SISTEM 5. Agroindustri Nasional Saat Ini Kebijakan pembangunan industri nasional yang disusun oleh Departemen Perindustrian (5) dalam rangka mewujudkan visi: Indonesia menjadi Negara Industri

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 62 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri sutera alam merupakan industri pengolahan yang mentransformasikan bahan baku kokon (hasil pemeliharaan ulat sutera) menjadi benang, kain sutera,

Lebih terperinci

VIII. PEMBAHASAN 8.1 Kebijakan Pengembangan Klaster

VIII. PEMBAHASAN 8.1 Kebijakan Pengembangan Klaster VIII. PEMBAHASAN 8.1 Kebijakan Pengembangan Klaster Intervensi pemerintah pada kebijakan pengembangan klaster menurut Raines (2002), dapat terdiri dari: (1) Tindakan yang difokuskan pada keterkaitan spesifik,

Lebih terperinci

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 83 BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 5.1. Konfigurasi Model Analisis sistem pada Bab IV memperlihatkan bahwa pengembangan agroindustri sutera melibatkan berbagai komponen dengan kebutuhan yang beragam,

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 67 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan non-migas yang bernilai ekonomi tinggi dan tercatat sebagai penyumbang devisa bagi perekonomian nasional. Ekspor produk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian. 3.2 Jenis, Sumber dan Metode Analisis Data

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian. 3.2 Jenis, Sumber dan Metode Analisis Data 13 3 METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah Kabupaten yang mencakup 10 kecamatan. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 6 bulan yaitu dari bulan Mei sampai Oktober

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri FEBRUARI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Februari 2017 Pendahuluan Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,02%, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan ilmiah dengan kerangka berfikir logis. Pemodelan sistem kelembagaan pasokan bahan baku agroindustri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORI. Tabel 3.1 Matriks Model Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA)

III. LANDASAN TEORI. Tabel 3.1 Matriks Model Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA) III. LANDASAN TEORI 3.1 Multi Sectoral Qualitative Analysis Teknik Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA) yang dikembangkan oleh Roberts dan Stimson (1998) digunakan untuk mengevaluasi daya saing dan

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

w tp :// w ht.b p w s. go.id PERKEMBANGAN INDEKS PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG 2011 2013 ISSN : 1978-9602 No. Publikasi : 05310.1306 Katalog BPS : 6102002 Ukuran Buku : 16 x 21 cm Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN jiwa (Central Intelligence Agency (CIA),2017). Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN jiwa (Central Intelligence Agency (CIA),2017). Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia adalah salah satu negara berkembang di Asia Tenggara. Negara dengan jumlah penduduk ke empat terbesar di dunia yaitu dengan 258.316.051 jiwa (Central Intelligence

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Impian pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhan daging Sapi dan Kerbau domestik tidak pernah berhenti. Tercatat bahwa telah tiga kali ini pemerintah mengupayakan supaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 49 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Dalam penelitian ini dipelajari upaya-upaya agar agroindustri halal di Indonesia mampu bersaing secara global dan mampu memenuhi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN 2013 BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 10/02/34/Th.XVI, 3 Februari 2014 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang berkembang, memiliki jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang berkembang, memiliki jumlah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berkembang, memiliki jumlah penduduk yang besar, dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Tentunya untuk memajukan perekonomian

Lebih terperinci

Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Triwulan III Provinsi Riau

Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Triwulan III Provinsi Riau Hasil Survei Industri Manufaktur Besar Sedang dan Industri Manufaktur Menengah Kecil No.50/11/14/Th.XX, 1 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI RIAU Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Triwulan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 42 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Pemerintah daerah Sumatera Barat dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah melakukan upaya memperbaiki perekonomian dengan menfokuskan pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada umumnya mempunyai corak atau cirinya sendiri yang berbeda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA OLEH MUHAMMAD MARDIANTO 07114042 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN IV TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN IV TAHUN 2016 No. 11/02/51/Th. VIII, 1 Februari 2017 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN IV TAHUN Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2014

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2014 No. 08/ 02/ 94/ Th. V, 2 Februari 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2014 Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori strategi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sumber daya yang tak terlihat (intangible resources) seperti pengetahuan, keahlian, motivasi, budaya, teknologi, kompetensi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR TRIWULAN III TAHUN 2015

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR TRIWULAN III TAHUN 2015 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No.51./11/31/Th. XVII, 02 November 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR TRIWULAN III TAHUN 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI IBS NAIK 11,30 PERSEN DAN IMK NAIK 13,20 PERSEN PADA

Lebih terperinci

Oleh: Putri Narita Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Udisubakti Ciptomulyono, M. Eng. Sc

Oleh: Putri Narita Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Udisubakti Ciptomulyono, M. Eng. Sc PEMILIHAN PRIORITAS PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI KECIL MENENGAH POTENSIAL DI KABUPATEN BANGKALAN PASCA PEMBANGUNAN JEMBATAN SURAMADU DENGAN METODE DELPHI DAN ANP Oleh: Putri Narita 2505 100 117 Pembimbing:

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN III TAHUN 2016 No. 73/11/51/Th. VII, 1 November PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN III TAHUN Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko. RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, 2005. Analisis Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Agribisnis di Kabupaten Dompu Propinsi Nusa Tenggara Barat. Di Bawah bimbingan E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN I TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN I TAHUN 2016 No. 31/05/51/Th. X, 2 Mei PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN I TAHUN Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri Manufaktur

Lebih terperinci

I.1. Latar Belakang strategi Permasalahan Dari sisi pertanian

I.1. Latar Belakang strategi  Permasalahan Dari sisi pertanian 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagai industri yang mengolah hasil pertanian, yang menggunakan dan memberi nilai tambah pada produk pertanian secara berkelanjutan maka agroindustri merupakan tumpuan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN III TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 62/11/34/Th.XVIII, 1 November 2016 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN III TAHUN 2016 Pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dapat diatasi dengan industri. Suatu negara dengan industri yang

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dapat diatasi dengan industri. Suatu negara dengan industri yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Di era globalisasi ini, industri menjadi penopang dan tolak ukur kesejahteraan suatu negara. Berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara berkembang lainnya, diawali dengan strategi substitusi impor yang berlangsung mulai akhir dekade 1960-an

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2015

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2015 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 28/05/34/Th.XVII, 4 Mei 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2015 Pertumbuhan produksi Industri

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN II TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN II TAHUN 2016 No. 53/08/51/Th. VII, 1 Agustus PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN II TAHUN Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Provinsi Papua Triwulan III 2015

Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Provinsi Papua Triwulan III 2015 No. 61/11/94/Th.V, 2 November 2015 Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Provinsi Papua Triwulan III 2015 Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum (WEF) 1 Tulus Tambunan Kadin Indonesia Tanggal 8 Oktober 2008 World Economic Forum (WEF), berkantor pusat di Geneva (Swis), mempublikasikan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN IV TAHUN 2011

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN IV TAHUN 2011 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 13/02/21/Th. VII, 1 Februari 2012 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN IV TAHUN 2011 Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN 2015

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 45/08/34/Th.XVII, 3 Agustus 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama dari pembangunan ekonomi Indonesia adalah terciptanya masyarakat adil dan sejahtera. Pembangunan yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA AIDIL JUZAR

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA AIDIL JUZAR MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA AIDIL JUZAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS Formatted: Swedish (Sweden) Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 menunjukkan bahwa sistem kemitraan setara usaha agroindustri

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 44/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN 2016 Pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016 Ringkasan Eksekutif Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Bulan Desember 2016 A. Pertumbuhan Ekspor Impor Industri Pengolahan 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 Perkembangan Nilai Ekspor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam perjalanan menuju negara maju, Indonesia memerlukan dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar disebabkan

Lebih terperinci

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN BERBASIS KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DI KABUPATEN JOMBANG

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN BERBASIS KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DI KABUPATEN JOMBANG MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN BERBASIS KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DI KABUPATEN JOMBANG PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

Lebih terperinci

Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster

Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster 200 Lampiran 1 Profil Usahatani, Industri Kecil Penyulingan dan Pedagang/Pengumpul Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 18 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September-November 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Pemerintahan Aceh

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Pertumbuhan Produksi IBS dan IMK Triwulan III 2017 Nomor : 64/11/34/Th. XIX, 1 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI D.I YOGYAKARTA PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR

Lebih terperinci

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016 Ringkasan Eksekutif Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Bulan Oktober 2016 A. Pertumbuhan Ekspor Impor Industri Pengolahan 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 Perkembangan Nilai Ekspor

Lebih terperinci

BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No.09/05/53/Th. XVIII, 4 Mei 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TRIWULAN I 2015 1. Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar

Lebih terperinci

Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan

Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan KATALOG BPS : 6104008 Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan INDUSTRI MIKRO DAN KECIL 2012-2014 BADAN PUSAT STATISTIK KATALOG BPS : 6104008 Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan INDUSTRI MIKRO DAN

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN I TAHUN 2017

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN I TAHUN 2017 No. 30/05/51/Th. XI, 2 Mei PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN I TAHUN Penyajian ( release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri Manufaktur

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT No. 30/05/52/Th.III, 2 Mei 2017 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TRIWULAN I TAHUN 2017 Pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2015

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2015 No. 26 / 05 / 94 / V, 4 Mei 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2015 Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

No. 43/08/94/ Th. V, 3 Agustus 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN II-2015

No. 43/08/94/ Th. V, 3 Agustus 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN II-2015 No. 43/08/94/ Th. V, 3 Agustus 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI PAPUA TRIWULAN II-2015 Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN 2017

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN 2017 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 45/08/34/Th.XIX, 1 Agustus 2017 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN II TAHUN 2017 Pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN 2014

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN 2014 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 10/02/34/Th.XVII, 2 Februari 2015 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN 2014 Pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2017

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2017 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 25/05/34/Th.XIX, 2 Mei 2017 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2017 Pertumbuhan produksi Industri

Lebih terperinci

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Ringkasan Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak sangat ketatnya persaingan, dan cepatnya terjadi perubahan lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren.

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren. 44 V. PEMODELAN SISTEM Dalam analisis sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dan berperan didalam sistem tersebut. Pihak-pihak

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2014 BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 26/05/34/Th.XV, 2 Mei 2014 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN I TAHUN 2014 Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan adalah suatu proses yang mengalami perkembangan secara cepat dan terus-merenus demi tercapainya kesejahteraan masyarakat sampai

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 10/02/34/Th.XIX, 1 Februari 2017 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN IV TAHUN 2016 Pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

PERUMUSAN STRATEGI PENINGKATAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERBASIS SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN SIDOARJO

PERUMUSAN STRATEGI PENINGKATAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERBASIS SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN SIDOARJO PERUMUSAN STRATEGI PENINGKATAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERBASIS SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN SIDOARJO Nida Farikha 1),Erwin Widodo 2), Ketut Gunarta 3) 1),2),3 ) Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini memiliki konsekuensi seluruh daerah di wilayah nasional menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi secara langsung

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN I TAHUN 2013

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN I TAHUN 2013 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 31/05/21/Th.VIII, 1 Mei 2013 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN I TAHUN 2013 Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Mikro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Entrepreneurship capital..., Eduardus Chrismas P., FE UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Entrepreneurship capital..., Eduardus Chrismas P., FE UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran entrepreneurship dalam perekonomian selalu menjadi kontroversi. Menurut Schumpeter (1934), entrepreneurship memegang peranan yang vital dalam pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN III TAHUN 2014 BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 63/11/34/Th.XVI, 3 November 2014 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG (IBS) DAN INDUSTRI MIKRO KECIL (IMK) TRIWULAN III TAHUN

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu. 1. Sektor industri pengolahan memiliki peranan penting terhadap perekonomian Jawa Barat periode

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN III TAHUN 2015

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN III TAHUN 2015 No. 75/11/51/Th. VI, 2 November PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN III TAHUN Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN IV TAHUN 2015

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN IV TAHUN 2015 No. 12/02/51/Th. VII, 1 Februari 2016 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN IV TAHUN Penyajian (release) Berita Resmi Statistik untuk industri manufaktur dibedakan menjadi Industri

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sistem pasokan bahan baku dalam suatu agroindustri merupakan salah satu faktor yang penting untuk menjaga kelangsungan proses produksi. Sistem pasokan ini merupakan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN II TAHUN 2013

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN II TAHUN 2013 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 54/08/21/Th. VIII, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN II TAHUN 2013 Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN 140 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN Model kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam dirancang melalui pendekatan sistem dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Gambar 47 menunjukkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR SEDANG DAN PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN IV TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR SEDANG DAN PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN IV TAHUN 2016 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 10/02/16 Th.XIX, 1 Februari 2017 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR SEDANG DAN PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN IV TAHUN 2016

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR SEDANG DAN PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR SEDANG DAN PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN III TAHUN 2016 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 63/11/16 Th.XVIII, 1 November 2016 PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR SEDANG DAN PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR MIKRO KECIL TRIWULAN III TAHUN 2016

Lebih terperinci

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI : Identifikasi Dan Pengembangan Komoditi Pangan Unggulan di Humbang Hasundutan Dalam Mendukung Ketersediaan Pangan Berkelanjutan Hotden Leonardo Nainggolan Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci