V. ANALISIS KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. ANALISIS KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 V. ANALISIS KEBIJAKAN 5.1. Pendekatan Kebijakan Kegiatan pertambangan mineral di Kabupaten Mimika secara signifikan telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, pemerintah daerah dan pusat serta bermanfaat secara global pada perekonomian nasional. Kehadiran pertambangan juga memberikan efek ganda pada kegiatan sosial kemasyarakatan. PDRB Kabupaten Mimika tanpa sub sektor pertambangan dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan sebesar 8 persen per tahun, sedangkan adanya sektor pertambangan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 mencapai 33 persen per tahun. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pertambangan mineral juga dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, dalam pengelolaan pertambangan mineral yang kompleks diperlukan strategi yang sistematis untuk mengurangi dampak negatifnya. Pendekatan sistem manajemen lingkungan yang terpadu berorientasi pada tujuan (sibernetik), keseimbangan aspek ekologi, ekonomi dan sosial kemasyarakatan (holistik) serta efektif digunakan untuk pelaksanaan program pengelolaan lingkungan secara tepat (Warfield 2003). Efektifitas kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral seyogyanya dilakukan pada lingkungan fisik dan biologik. Dalam pengelolaan kedua aspek lingkungan tersebut dikembangkan model pengelolaan lingkungan bio-fisik untuk mendukung RKL-RPL perusahaan pertambangan serta upaya pemberdayaan masyarakat sebagai implikasi arah pengembangan corporate social and environmental responsibility (CSER) untuk pelaksanaan CSR. Keterpaduan pelaksanaan pengelolaan lingkungan fisik-biologik dengan partisipasi masyarakat tersebut merupakan hasil perumusan stakeholders engagement untuk pengarahan sistem manajemen lingkungan (SML) pertambangan mineral. Keterkaitan antar aspek dalam pembangunan berkelanjutan diarahkan untuk menyelesaikan/menjawab kompleksitas permasalahan, sehingga dapat dirumuskan dalam model konseptual kebijakan. 102

2 EKOLOGI 1. Penerapan teknologi tepat guna dalam penanganan pasir sisa tambang 2. Reklamasi wilayah pengendapan untuk mempercepat suksesi alami 3. Alternatif pemanfaatan pasir sisa tambang sebagai bahan konstruksi 1. Pembatasan pertambangan informal dengan pembinaan rintisan usaha 2. Pemanfaatan hasil samping produk 1. Pertumbuhan potensi wilayah 2. Rencana pembiayaan kegiatan rehabilitasi dan revegetasi 3. Kegiatan bisnis yang terkait pertambangan dan program pengelolaan lingkungan SML pertambangan mineral yang berkelanjutan Pemberdayaan masyarakat dalam program reklamasi 1. Pembinaan dan peningkatan kepedulian lingkungan kepada masyarakat lokal 2. Peningkatan kualitas hidup masyarakat 1. Peranan aktif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan 2. Pendidikan berusaha dan kepedulian lingkungan untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat lokal 3. Pembangunan infrastruktur daerah EKONOMI SOSIAL KEMASYARAKATAN Gambar 32. Sistem Manajemen Lingkungan pertambangan mineral berkelanjutan. Keterkaitan aspek sosial dan ekonomi berupa tanggung jawab sosial perusahaan dalam rangka perwujudan keadilan sosial. Berdasarkan hasil FGD dan indepth interview keterkaitan kedua aspek tersebut diwujudkan dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui program reklamasi wilayah Mod-ADA. Dalam upaya peningkatan kualitas lingkungan (ekologi) dan pencapaian kemakmuran ekonomi masyarakat melalui pelayanan ekosistem dan pengolahan hasil 103

3 samping produk yang berupa pasir sisa tambang secara ekonomis. Keterkaitan aspek ekonomi dan lingkungan diwujudkan dalam pengendalian atau pembatasan aktivitas pertambangan informal melalui pembinaan rintisan usaha. Untuk pengendaliannya juga dapat dilakukan dengan pembinaan penerapan teknologi yang tepat guna dan penumbuhan kesadaran partisipasi lingkungan. (Gambar 32). Keterkaitan aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan diwujudkan dalam upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan peningkatan kualitas air serta upaya pembinaan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Keterkaitan aspek-aspek tersebut merupakan rekayasa keseimbangan persoalan lingkungan pertambangan mineral. Ketiga aspek tersebut sebagai penalaran kompleksitas kebijakan berdasarkan kerangka pikir sistem. Selain itu, juga dalam upaya mengakomodasi kebersamaan stakeholders, yaitu pemerintah, masyarakat dan perusahaan pertambangan untuk mengelola lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan. Untuk itu, seyogyanya diperlukan dana operasional dan kemitraan yang cukup, teknologi yang ramah lingkungan, kualitas SDM lokal yang baik, serta keterbukaan informasi program pengelolaan lingkungan oleh perusahaan dan pemerintah. Kebersamaan dalam pelaksanaan kebijakan diharapkan dapat mengurangi tingkat kerusakan lingkungan, menciptakan peluang usaha ekonomi lokal yang layak, pendidikan kepedulian lingkungan kepada masyarakat, serta peningkatan kemandirian masyarakat lokal. Oleh karena itu, alternatif kebijakannya diarahkan pada optimalisasi dana lingkungan yang sudah ada dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan fisik dan biologik dengan peraturan pemerintah yang jelas dan tidak tumpang-tindih dengan peraturan lainnya termasuk mengenai CSR. Kebijakan daerah terhadap aspek ekologi yang terkait dengan penerapan teknologi tepat guna dalam penanganan Sirsat, reklamasi wilayah pengendapan untuk mempercepat suksesi alami dan alternatif pemanfaatan Sirsat sebagai bahan konstruksi dilakukan kerjasama pemerintah daerah dengan perusahaan pertambangan. Pemanfaatan limbah sirsat sebagai bahan baku material konstruksi oleh pabrik semen sebelumnya diperlukan audit lingkungan dan AMDAL yang terintegrasi. Dari aspek ekonomi, tujuan pengelolaan pertambangan mineral adalah pertumbuhan ekonomi wilayah, rencana pembiayaan kegiatan rehabilitasi dan revegetasi, serta kegiatan bisnis yang terkait pertambangan dan program pengelolaan lingkungan. Sedangkan aspek 104

4 sosial kemasyarakatan melalui peran aktif masyarakat dalam pengelolaan dan kepedulian lingkungan serta pendidikan berusaha untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat lokal didukung oleh lembaga keuangan mikro untuk kegiatan lingkungan dan CSR (Kemp 2001; O Regan & Richard 2006) Asumsi Model Kebijakan Dalam pemodelan kebijakan, perihal yang tidak dapat diselesaikan digunakan sebagai asumsi, baik yang berupa kendala, faktor penghambat, kondisi yang tidak mungkin dapat dirubah serta perihal kesepakatan para stakeholder. Asumsi-asumsi dasar pengembangan kebijakan diperoleh dari FGD yang dilakukan dengan (1) praktisi pertambangan, (2) praktisi lingkungan, (3) pakar-pakar dari perguruan tinggi, (4) tim teknis manajemen lingkungan perusahaan pertambangan, serta (5) lembaga terkait dari pemerintah. Hasil identifikasi faktor pengembangan kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan dibahas dalam diskusi pakar untuk menyusun asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan model kebijakan. Asumsi-asumsi alternatif dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu aspek ekologi, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Dalam diskusi pakar ditentukan nilai kepentingan dan kepastian dengan mengacu pada pertanyaan yang meliputi: (1) seberapa penting pengaruh asumsi tersebut terhadap keberhasilan atau kegagalan, dan (2) seberapa besar keyakinan bahwa asumsi yang dimunculkan dapat dibenarkan dan dipastikan keberhasilannya. Hasil penilaian setiap partisipan digabungkan dengan menghitung rata-rata geometris dari setiap pernyataan sehingga diperoleh tingkat kepentingan dan kepastian asumsi dasar seperti disajikan pada tabel berikut. Hasil FGD terhadap asumsi model kebijakan pengelolaan pertambangan mineral dengan menggunakan teknik SAST diperoleh asumsi-asumsi dasar alternatif terkait aspek ekologi, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Gambar 33 menunjukkan tingkat pengaruh dan kepastian asumsi terhadap keberhasilan model, pada kuadran II dengan kepentingan dan kepastian yang tinggi disintesa lebih lanjut untuk identifikasi asumsi-asumsi yang paling strategis, yaitu: (1) Perusahaan pertambangan memiliki kegiatan pengelolaan lingkungan yang baku dan suksesi alami merupakan kegiatan pengelolaan lingkungan dalam reklamasi selama operasional pertambangan (sintesa A, B, D), serta (2) Keterbukaan informasi kegiatan pengelolaan lingkungan dan alokasi dananya serta adanya 105

5 kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan (sintesa C, F, J). Tabel 22. Asumsi-asumsi kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan Aspek Kode Alternatif Asumsi Tingkat Kepentingan (x) Ekologi A Perusahaan pertambangan memiliki kegiatan pengelolaan lingkungan yang baku B Suksesi alami juga merupakan kegiatan pengelolaan lingkungan Tingkat Kepastian (y) C D Adanya keterbukaan informasi kegiatan pengelolaan lingkungan Reklamasi dilakukan selama operasional pertambangan Ekonomi E Tersedia dana pengelolaan lingkungan yang cukup 3-2 F Adanya keterbukaan alokasi dana pengelolaan lingkungan 1 1 G Kondisi infrastruktur daerah yang baik Sosial H Kesiapan dan ketersediaan SDM lokal untuk terlibat dalam setiap program I Adanya jaminan keamanan pelaksanaan program J K Kesadaran masyarakat untuk selalu menjaga lingkungan Jaminan legalitas usaha oleh pemerintah pusat dan daerah Asumsi-asumsi yang terletak pada kuadran IV dengan tingkat kepentingan yang tinggi tetapi memiliki ketidakpastian dengan sintesa sebagai berikut: (1) Ketersediaan dana pengelolaan lingkungan dan kondisi infrastruktur daerah (sintesa E, G), (2) Kesiapan dan ketersediaan SDM lokal untuk terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat serta adanya jaminan legalitas usaha oleh pemerintah pusat dan daerah (sintesa H, K), dan (3) Jaminan keamanan dalam pelaksanaan program-program (sintesa I). 106

6 I Paling Pasti 3 II 2 A,B,D Paling Tidak Penting 1 C,F,J I H,K Paling Penting -2 E,G III -3 Paling Tidak Pasti IV Gambar 33. Peta kuadran asumsi Asumsi-asumsi dasar dengan tingkat kepentingan dan kepastiannya yang dimunculkan dalam FGD I tersebut digunakan sebagai dasar penyusunan model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan Strukturisasi Elemen Model Pengelolaan Lingkungan Fisik Pengendalian Sirsat pada daerah pengendapan harus diupayakan agar tidak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan bio-fisik. Terkait hal itu, upaya pengendalian lingkungan fisik diarahkan pada pengelolaan aliran air dan perluasan endapan di dataran rendah dengan river training melalui pembangungan tanggul-tanggul dan gabion (bronjong) serta pengendapan secara mekanis. Hasil wawancara pakar menggunakan teknik ISM diperoleh 5 (lima) elemen yang terdiri atas: (1) Sasaran program, (2) Kebutuhan program, (3) Perihal yang berubah dan dapat diubah, (4) Tolok ukur sasaran dan (5) Aktivitas yang diperlukan dalam pelaksanaan program. Kelima elemen tersebut masingmasing diuraikan dalam beberapa sub elemen. (1) Elemen sasaran program pengelolaan lingkungan fisik Elemen sasaran program pengelolaan lingkungan fisik di wilayah pengendapan pasir sisa tambang (Mod-ADA) terdiri atas 4 (empat) sub elemen, yaitu: (1) Optimalisasi biaya pengendalian lingkungan, (2) Stabilisasi tanggul dan sistem kanalisasi, (3) Minimalisasi tingkat kerusakan lahan dan aliran sungai, 107

7 dan (4) Peningkatan daya tampung pasir sisa tambang pada wilayah pengendapan. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen sasaran program dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 11). Pendekatan tersebut digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dan tingkat hirarki kontribusi sasaran program. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 23. Hasil ISM VAXO pada elemen sasaran model pengelolaan lingkungan fisik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi Hasil verifikasi sasaran model pengelolaan lingkungan fisik yang menjadi elemen kunci adalah stabilisasi tanggul dan sistem kanalisasi (2) karena memiliki daya pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen sasaran yang lainnya yang paling rendah. Gambar 34 menunjukkan klasifikasi elemen kunci sasaran program pada kuadran IV (independent). Stabilisasi tanggul dan sistem kanalisasi (2) mempengaruhi sub elemen sasaran lainnya dan bukan sebagai dampak pelaksanaan program. Sub elemen minimalisasi kerusakan lahan dan aliran sungai (3) berada pada sumbu ketergantungan (Dependence) dengan daya pendorong (Driver Power) lebih rendah sehingga cenderung bersifat dependent. Hal ini menunjukkan bahwa upaya minimalisasi kerusakan lahan dan aliran sungai tergantung pada sub elemen lain seperti stabilisasi tanggul dan kanalisasi. Demikian juga sub elemen peningkatan daya tampung pasir sisa tambang pada wilayah pengendapan (4) terletak pada sumbu Dependence dengan nilai lebih rendah. Sub elemen optimalisasi biaya pengendalian lingkungan (1) terletak pada kuadran II (dependent) yang berarti bahwa pencapaian sasaran tersebut sangat tergantung pada sub elemen sasaran lainnya. 108

8 [IV] Independent 5 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) [I] Autonomous 0 [II] Dependent Ketergantungan (Dependence) Gambar 34. Klasifikasi elemen sasaran berdasarkan Driver Power-Dependence Keluaran model struktural sasaran program dengan teknik ISM-VAXO pada Gambar 35 menunjukkan bahwa level 1 yaitu stabilisasi tanggul dan sistem saluran (2) pada aliran Sirsat berkontribusi dalam upaya minimalisasi tingkat kerusakan lahan dan aliran sungai (3), optimalisasi biaya pengendalian lingkungan (1), dan peningkatan daya tampung sirsat pada wilayah pengendapan (4). Sub elemen minimalisasi kerusakan lahan dan aliran sungai pada level 2 berkontribusi dalam pencapaian sasaran optimalisasi biaya pengendalian lingkungan. Level 3 1. Optimalisasi biaya pengendalian lingkungan 4. Peningkatan daya tampung pasir sisa tambang pada wilayah pengendapan Level 2 3. Minimalisasi tingkat kerusakan lahan dan aliran sungai Level 1 2. Stabilisasi tanggul dan sistem kanalisasi Gambar 35. Level hirarki dan hubungan elemen sasaran 109

9 (2) Elemen kebutuhan program pengelolaan lingkungan fisik Elemen kebutuhan program pengelolaan lingkungan fisik di wilayah pengendapan pasir sisa tambang (Mod-ADA) terdiri atas 4 (empat) sub elemen, yaitu: (1) Perbaikan konstruksi tanggul untuk menjaga stabilitas wilayah pengendapan, (2) Pemeliharaan tanggul secara kontinyu agar tidak terjadi banjir, (3) Pemantauan proses pengendapan tailing ditinjau dari kualitas limbah, dan (4) Petunjuk prosedur darurat terhadap kerusakan tanggul. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen kebutuhan program dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 12). Pendekatan tersebut digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dan tingkat hirarki dukungan terhadap kebutuhan program. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 24. Hasil ISM VAXO pada elemen kebutuhan pengelolaan lingkungan fisik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi Kebutuhan model pengolahan lingkungan fisik yang menjadi elemen kunci adalah petunjuk prosedur darurat terhadap kerusakan tanggul karena memiliki daya pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen kebutuhan yang lainnya yang paling rendah. Gambar 36 menunjukkan klasifikasi elemen kebutuhan program, pada kuadran IV (independent) terlihat sub elemen petunjuk prosedur darurat terhadap kerusakan tanggul. Hal ini menunjukkan daya pendorong tertinggi dan ketergantungan terendah. Oleh karena itu sub elemen tersebut sebagai pendukung sub elemen lainnya dan bukan sebagai dampak pelaksanaan program. Sub elemen perbaikan konstruksi tanggul untuk menjaga stabilitas wilayah pengendapan (1) dan pemeliharaan tanggul secara kontinyu agar tidak terjadi banjir (2) berada di kuadran III (linkage). Hal ini menunjukkan bahwa kedua sub 110

10 elemen kebutuhan tersebut saling terkait dalam mendukung program pengelolaan lingkungan fisik. Untuk sub elemen pemantauan endapan pasir sisa tambang yang ditinjau dari kualitas limbahnya (3) terletak di kuadran II (dependent) yang berarti sub elemen tersebut sangat tergantung dengan sub elemen lainnya dalam mendukung program. [IV] Independent 5 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) , [I] Autonomous 0 [II] Dependent Ketergantungan (Dependence) Gambar 36. Klasifikasi elemen kebutuhan berdasarkan Driver Power- Dependence Keluaran model struktural kebutuhan program dengan teknik ISM-VAXO pada Gambar 37 menunjukkan bahwa level 1 yaitu petunjuk prosedur darurat terhadap kerusakan tanggul (4) merupakan pendukung sub elemen perbaikan konstruksi tanggul untuk menjaga stabilitas wilayah pengendapan (1), pemeliharaan tanggul secara kontiny agar tidak terjadi banjir (2) serta pemantauan proses pengendapan pasir sisa tambang yang ditinjau dari kualitas limbahnya (3). Pada level 2 Sub elemen (1) dan (2) saling mendukung dan keduanya mendukung sub elemen pemantauan proses pengendapan pasir sisa tambang yang ditinjau dari kualitas limbahnya (3). 111

11 Level 3 3. Pemantauan proses pengendapan pasir sisa tambang ditinjau dari kualitas limbah Level 2 1. Perbaikan konstruksi tanggul untuk menjaga stabilitas wilayah pengendapan 2. Pemeliharaan tanggul secara kontinyu agar tidak terjadi banjir Level 1 4. Petunjuk prosedur darurat terhadap kerusakan tanggul Gambar 37. Level hirarki dan hubungan elemen kebutuhan (3) Elemen perihal yang dapat berubah dan diubah dalam pengelolaan lingkungan fisik Elemen perihal yang berubah dan dapat diubah dalam program yang terdiri atas 5 sub-elemen, yaitu: (1) Ketebalan dan penyebaran endapan Sirsat, (2) Kualitas air dan aliran arus sungai, (3) Jumlah aliran pasir sisa tambang dan kualitas limbah, (4) Peninggian dan pelebaran tanggul, dan (5) Jaringan kanalisasi. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen perihal yang berubah dan dapat diubah dalam program dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 13). Pendekatan tersebut digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dan tingkat hirarki akibat antar sub elemen. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 25. Hasil ISM VAXO pada elemen perihal yang berubah dan dapat diubah dalam pengelolaan lingkungan fisik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi 112

12 Sub-elemen peninggian dan pelebaran tanggul (4) merupakan elemen kunci perihal yang berubah dan dapat dirubah dalam pengelolaan lingkungan fisik, karena memiliki daya pendorong terbesar dengan ketergantungan terendah (Gambar 38). Sub elemen tersebut berada pada kuadran IV (independent) yang artinya sebagai penyebab perubahan sub elemen perihal lainnya. Sedangkan sub elemen ketebalan dan penyebaran endapan pasir sisa tambang (1), kualitas air dan aliran arus sungai (2), jumlah aliran pasir sisa tambang dan kualitasnya (3) dan jaringan saluran aliran atau kanalisasi (5) terletak di kuadran III (linkage). Hal ini menunjukkan keempat sub elemen tersebut sebagai dampak dari kegiatan peninggian dan pelebaran tanggul (4). Dampak yang ditimbulkan dari perubahan keempat sub elemen tersebut saling mempengaruhi. [IV] Independent 6 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) , 2, 3, [I] Autonomous 0 Ketergantungan (Dependence) [II] Dependent Gambar 38. Klasifikasi elemen perihal berdasarkan Driver Power-Dependence Keluaran model struktural perihal yang dapat berubah dan dapat diubah dalam program pengelolaan lingkungan fisik dengan teknik ISM-VAXO pada Gambar 39 menunjukkan bahwa level 1 dengan sub elemen peninggian dan pelebaran tanggul (4) mengakibatkan perubahan ketebalan dan penyebaran endapan pasir sisa tambang (1), kualitas air dan aliran arus sungai (2), jumlah aliran pasir sisa tambang dan kualitas limbahnya (3) dan jaringan saluran aliran atau kanalisasi (5). 113

13 Level 2 1. Ketebalan dan penyebaran endapan pasir sisa tambang 2. Kualitas air dan aliran arus sungai 3. Jumlah aliran pasir sisa tambang dan kualitas limbah 5. Jaringan saluran aliran (kanalisasi) Level 1 2. Peninggian dan pelebaran tanggul Gambar 39. Level hirarki dan hubungan elemen perihal (4) Elemen tolok ukur sasaran program pengelolaan lingkungan fisik Elemen tolok ukur sasaran program yang terdiri atas 5 sub-elemen, yaitu: (1) Karakteristik endapan tailing, (2) Luas wilayah pengendapan, (3) Biaya operisional dan pemeliharaan, (4) Ketinggian dan lebar tanggul, (5) Jenis dan jumlah jaringan kanal. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen tolok ukur program dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 14). Dengan teknik ISM dapat diketahui hubungan langsung dan tingkat hirarki setiap sub elemen. Nilai pendapat setiap pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 26. Hasil ISM VAXO pada elemen tolok ukur pengelolaan lingkungan fisik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi 114

14 Sub elemen tolok ukur yang ditunjukkan pada Gambar 40 terlihat bahwa karakteristik endapan pasir sisa tambang (1) sebagai elemen kunci memiliki nilai daya pendorong tertinggi dan ketergantungan yang rendah. Sub elemen tersebut berada di kuadran IV (independent) yang berarti karakteristik endapan pasir sisa tambang tidak dipengaruhi oleh sub elemen tolok ukur yang lainnya. Sub elemen luas wilayah pengendapan (4), jenis dan jumlah saluran air atau kanal (5) berada di kuadran III dan saling mempengaruhi, sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan (3) sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pelaksanaan pengelolaan lingkungan fisiknya. [IV] Independent 6 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) , 4, [I] Autonomous 0 Ketergantungan (Dependence) [II] Dependent Gambar 40. Klasifikasi elemen tolok ukur berdasarkan Driver Power-Dependence Gambar 41 menunjukkan struktur model pengelolaan lingkungan fisik dengan sub elemen karakteristik endapan sirsat (1) mempengaruhi luas wilayah pengendapan (2), ketinggian dan lebar tanggul, serta jenis dan jumlah jaringan saluran air (5) yang akhirnya berakibat pada biaya operasional dan pemeliharaan (3). Pada level 2 terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antar sub elemennya dan juga biaya operasional dan pemeliharaan (3). 115

15 Level 3 3. Biaya operasional dan pemeliharaan Level 2 2. Luas wilayah pengendapan 4. Ketinggian dan lebar tanggul 5. Jenis dan jumlah jaringan saluran air (kanal) Level 1 1. Karakteristik endapan pasir sisa tambang Gambar 41. Level hirarki dan hubungan elemen perihal (5) Elemen aktivitas yang diperlukan dalam pengelolaan lingkungan fisik Aktivitas yang diperlukan dalam pelaksanaan program terdapat 6 (enam) sub-elemen, yaitu: (1) Perancangan konstruksi dan pembuatan tanggul, (2) Pembuatan kanal dan mekanisme pengaliran endapan pasir sisa tambang, (3) Penanaman rumput penahan erosi yang sesuai lahannya, (4) Pembuatan permeable dikes untuk retensi sedimen, (5) Penyediaan dana pengendalian pasir sisa tambang, dan (6) Pengerahan tenaga kerja. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual sub elemen aktivitas yang diperlukan dalam program dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 15). Penilaian tersebut untuk melihat pengaruh langsung setiap sub elemen dan tingkat hirarkinya. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. 116

16 Tabel 27. Hasil ISM VAXO elemen aktivitas pengelolaan lingkungan fisik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi Sub-elemen 1, 2 dan 4 merupakan sub elemen kunci dari aktivitas yang diperlukan untuk pelaksanaan program. Ketiga sub elemen tersebut berada pada kuadran independen yang tidak dipengaruhi oleh pelaksanaan program (Gambar 42). Penanaman rumput penahan erosi sesuai kondisi lahannya (3) berada di kuadran III (dependent). Demikian juga dengan aktivitas penyediaan dana pengendalian pasir sisa tambang (5) dan pengerahan tenaga kerja berada di kuadran III, tetapi memiliki daya dorong terendah dan tingkat ketergantungan yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perancangan konstruksi dan pembuatan tanggul, pembuatan kanal (sistem saluran air) dalam mengendalikan aliran pasir sisa tambang, serta pembuatan permeable dikes untuk menahan endapan (sedimentasi) sangat mempengaruhi kebutuhan biaya dan tenaga kerja. [IV] Independent 7 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) 1, 62, , 6 [I] Autonomous 1 0 Ketergantungan (Dependence) [II] Dependent Gambar 42. Klasifikasi elemen aktivitas berdasarkan Driver Power-Dependence Pada struktur model pengelolaan lingkungan fisik dengan sub elemen perancangan konstruksi dan pembuatan tanggul (1), pembuatan kanal (sistem 117

17 saluran) dalam pengendalian aliran pasir sisa tambang (2) serta pembuatan permeable dikes untuk retensi sedimen (4), ketiganya mempengaruhi aktivitas penanaman rumput penahan erosi (3) yang berada pada level 2. Selain itu, ketiga sub elemen tersebut juga mempengaruhi sub elemen aktivitas pada level 3, yaitu penyediaan dana dan pengerahan tenaga kerja untuk pengendalian pasir sisa tambang (Gambar 43). Level 3 5. Penyediaan dana pengendalian pasir sisa tambang 6. Pengerahan tenaga kerja Level 2 3. Penanaman rumput penahan erosi yang sesuai kondisi lahannya Level 1 1. Perancangan konstruksi dan pembuatan tanggul 2. Pembuatan kanal dan mekanisme pengaliran endapan pasir sisa tambang 4. Pembuatan permeable dikes untuk retensi sedimen Gambar 43. Level hirarki dan hubungan elemen aktivitas yang diperlukan dalam program 5.4. Strukturisasi Elemen Model Pengelolaan Lingkungan Biologik Rehabilitasi lahan di wilayah pengendapan diupayakan untuk merubah lahan yang tidak digunakan untuk pengendapan menjadi lahan produktif. Selain itu, juga dilakukan pemulihan dan peningkatan kesuburan lahan agar dapat ditumbuhi tanaman asli setelah masa tambang berakhir. Kegiatan rehabilitasi juga merupakan wahana pembelajaran keterampilan berusaha dan pengetahuan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, pendekatan sistem dengan metode ISM digunakan untuk menganalisa hubungan langsung dan hirarki model pengelolaan lingkungan biologik. Hasil identifikasi elemen model ditemukan enam elemen program yang terdiri atas: (1) sasaran program, (2) kendala program, (3) perihal yang berubah dan dapat diubah dari program, (4) komponen masyarakat yang terlibat, (5) lembaga yang terkait, dan (6) tolok ukur pencapaian target program. 118

18 (1) Elemen sasaran dalam pengelolaan lingkungan biologik Elemen sasaran program yang terdiri atas 5 sub-elemen, yaitu: (1) Mengurangi kerusakan lahan sekitar pertambangan, (2) Memperbaiki kesuburan lahan endapan tailing, (3) Memberikan peluang usaha bagi masyarakat sekitar tambang, (4) Pendidikan kepedulian lingkungan kepada masyarakat, dan (5) Menumbuhkan kemandirian masyarakat setempat. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 16) untuk menentukan tingkat kontribusi sasaran program. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 28. Hasil ISM VAXO elemen sasaran pengelolaan lingkungan biologik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi Hasil analisis menunjukkan bahwa sub elemen sasaran program dengan elemen kuncinya adalah mengurangi tingkat kerusakan lahan sekitar pertambangan (1). Pada Gambar 44 terlihat bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dorong tertinggi dengan ketergantungan yang rendah (kuadran IV). Demikian juga sub elemen (2), yaitu memperbaiki kesuburan lahan endapan pasir sisa tambang berada di kuadran IV (independent), tetapi daya dorongnya lebih kecil dari sub elemen (1). Hal ini menunjukkan bahwa kedua sub elemen tersebut berkontribusi terhadap pencapaian sasaran dan tidak dipengaruhi oleh dampak program pengelolaan lingkungan biologik. Gambar 44 juga menunjukkan bahwa sub elemen sasaran program, yaitu pendidikan kepedulian lingkungan kepada masyarakat (4) terletak di kuadran I (autonomous), artinya sasaran tersebut tidak dipengaruhi oleh pelaksanaan program dengan kontribusi yang relatif rendah. Upaya untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat setempat tergantung pada keberhasilan pelaksanaan 119

19 program yang ditunjukkan pada Gambar 44, dimana sub elemen tersebut memiliki tingkat ketergantungan tertinggi dengan daya dorong yang kecil. Sedangkan sub elemen (3) memberikan peluang usaha bagi masyarakat sekitar tambang memiliki daya dorong dan ketergantungan sedang. Pada Gambar 44 ditunjukkan bahwa sub elemen tersebut berada pada sumbu driver power, tetapi dipengaruhi oleh sub elemen lainnya sehingga cenderung dalam kuadran III (dependent). [IV] Independent 5 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) [I] Autonomous 0 Ketergantungan (Dependence) [II] Dependent Gambar 44. Klasifikasi elemen aktivitas berdasarkan Driver Power-Dependence Hubungan langsung dan level hirarki sub elemen aktivitas pengelolaan lingkungan biologik ditunjukkan pada Gambar 45. Upaya mengurangi kerusakan lahan sekitar pertambangan merupakan elemen kunci berada di level 1. Sub elemen tersebut berkontribusi secara langsung pada aktivitas memperbaiki kesuburan lahan endapan pasir sisa tambang (2) yang terletak pada level 2. Selain itu, juga berkontribusi pada penciptaan peluang usaha bagi masyarakat sekitar pertambangan dan pada level tertinggi aktivitas program adalah menumbuhkan kemandirian masyarakat setempat. Pendidikan kepedulian lingkungan kepada masyarakat (4) sebagai sub elemen yang bersifat autonomous sehingga aktivitas pada kuadran tersebut tidak berkontribusi langsung terhadap program serta tidak dipengaruhi oleh sub elemen lainnya. Namun sub elemen aktivitas program ini dapat berkontribusi langsung pada upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat setempat (5) yang berada pada level

20 Level 4 5. Menumbuhkan kemandirian masyarakat setempat Level 3 3. Menciptakan peluang usaha bagi masyarakat sekitar pertambangan 4. Pendidikan kepedulian lingkungan kepada masyarakat Level 2 2. Memperbaiki kesuburan lahan endapan pasir sisa tambang Level 1 1. Mengurangi kerusakan lahan sekitar pertambangan Gambar 45. Level hirarki dan hubungan elemen aktivitas (2) Elemen kendala dalam program pengelolaan lingkungan biologik Elemen kendala dalam program yang terdiri atas 8 sub-elemen, yaitu: (1) Curah hujan yang tinggi, (2) Keterbatasan jenis tamanan yang bisa ditanam di daerah endapan tailing (pasir sisa tambang), (3) Pengkondisian pasir sisa tambang sebelum penanaman, (4) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan masih kurang, (5) Dukungan pemerintah masih kurang, (6) Ketergantungan yang tinggi terhadap perusahaan tambang, (7) Biaya kegiatan yang tinggi, dan (8) Sosialisasi dan pengaruh kepada masyarakat masih kurang. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen kendala program dengan pendekatan V, A, X dan O dalam teknik ISM (Lampiran 17). Hubungan kontekstualnya berupa dampak program atau penyebab terjadinya kegagalan. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. 121

21 Tabel 29. Hasil ISM VAXO elemen kendala pengelolaan lingkungan biologik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi Curah hujan yang tinggi (1) dan sosialisasi dan pengaruh kepada masyarakat masih kurang (8) adalah elemen kunci kendala program karena nilai driver power kedua sub elemen tersebut tertinggi dengan tingkat ketergantungan (dependent) terendah. Pada Gambar 46 juga ditunjukkan bahwa sub-elemen keterbatasan jenis tamanan yang dapat ditanam di daerah endapan pasir sisa tambang (2), pengkondisian pasir sisa tambang sebelum penanaman (3), serta dukungan pemerintah masih kurang (5) terletak pada kuadran IV (independent). Sub elemen ini berarti sebagai penyebab terjadinya kegagalan program dan bukan merupakan dampak pelaksanaannya. Partisipasi masyarakatan dalam pengelolaan lingkungan yang masih rendah (4) terletak di sumbu dependence dan mendekati kuadran II (dependent). Demikian juga sub elemen (6) dan (7) yang terletak di kuadran II dengan tingkat ketergantungan yang tinggi dan daya dorong paling rendah, sehingga kedua sub elemen tersebut dampaknya sangat tergantung pada keberhasilan pelaksanaan program. [IV] Independent 6 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) 1, , , 7 1 [I] Autonomous [II] Dependent 0 Ketergantungan (Dependence) Gambar 46. Klasifikasi elemen kendala berdasarkan Driver Power-Dependence 122

22 Level hirarki dan hubungan kontekstual elemen kendala ditunjukkan pada Gambar 47. Pada gambar tersebut terlihat bahwa curah hujan yang tinggi (1) dan sosialisasi dan pengaruh kepada masyarakat yang masih rendah (8) berada pada level 1. Hal ini menunjukkan kedua sub elemen tersebut menjadi penyebab keberhasilan pelaksanaan program. Keduanya berdampak pada sub elemen lain yang berada di level 2, 3 dan 4. Ketergantungan yang tinggi terhadap perusahaan tambang (6) dan biaya kegiatan pengelolaan lingkungan yang tinggi (7) pada level 4 merupakan dampak pelaksanaan program. Level 4 6. Ketergantungan yang tinggi terhadap perusahaan tambang 7. Biaya kegiatan yang tinggi Level 3 4. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan masih kurang Level 2 2. Keterbatasan jenis tanaman yang dapat ditanam di daerah endapan pasir sisa tambang 3. Pengkondisian pasir sisa tambang sebelum penanaman 5. Dukungan pemerintah masih kurang Level 1 1. Curah hujan yang tinggi 8. Sosialisasi dan pengaruh kepada masyarakat masih kurang Gambar 47. Level hirarki dan hubungan elemen kendala (3) Elemen perihal yang berubah dan dapat diubah dalam pengelolaan lingkungan biologik Elemen perihal yang berubah dan dapat diubah dalam program yang terdiri atas 5 sub-elemen, yaitu: (1) Tingkat daya guna lahan, (2) Kesuburan lahan endapan pasir sisa tambang, (3) Tingkat erosi lahan, (4) Keragaman jenis tanaman, dan (5) Kesesuaian lahan. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen perihal yang dapat berubah dan dapat diubah dalam pelaksanaan program dengan 123

23 pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 18). Hubungan kontekstual antar sub elemen berupa akibat dari perubahannya. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 30. Hasil ISM VAXO elemen perihal pengelolaan lingkungan biologik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi Analisis ISM menunjukkan bahwa tingkat erosi lahan (3) sebagai sub elemen kunci perihal yang berubah dan dapat diubah. Sub elemen tersebut berada di kuadran IV dengan nilai daya dorong tertinggi dan tingkat ketergantungan terendah (Gambar 48). Demikian juga sub elemen kesuburan lahan endapan pasir sisa tambang (2) berada di kuadran IV, tetapi daya dorongnya lebih rendah dan tingkat ketergantungan lebih tinggi dibandingkan dengan sub elemen (3). Gambar 48 juga menunjukkan klasifikasi sub elemen (1), (4) dan (5) yang berada di sumbu dependence dengan ketergantungan yang tinggi dan cenderung daya dorongnya juga tinggi. Oleh karena itu, ketiga sub elemen tersebut dapat dikelompokkan pada kuadran III (linkage). Berdasarkan hubungan kontekstual dan level hirarki seperti ditunjukkan pada Gambar 49, terlihat bahwa pengelompokkan sub elemen (1), (4) dan (5) dalam kuadran III (linkage) adalah sesuai. Gambar 49 menunjukkan bahwa tingkat daya guna lahan (1), keragaman jenis tanaman (4) dan kesesuaian lahan (5) saling mempengaruhi dan sebagai akibat perubahan tingkat erosi lahan (3) pada level 1 serta akibat perubahan kesuburan endapan pasir sisa tambang (2) pada level

24 [IV] Independent 6 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) , 4, [I] Autonomous 0 Ketergantungan (Dependence) [II] Dependent Gambar 48. Klasifikasi elemen perihal berdasarkan Driver Power-Dependence Level 3 1. Tingkat daya guna lahan 4. Keragaman jenis tanaman 5. Kesesuaian lahan Level 2 2. Kesuburan lahan endapan pasir sisa tambang Level 1 3. Tingkat erosi lahan Gambar 49. Level hirarki dan hubungan elemen perihal (4) Elemen komponen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan biologik. Sub elemen komponen masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan program terdiri atas: (1) Perusahaan pertambangan, (2) Tokoh agama/adat, (3) Masyarakat sekitar perusahaan tambang, (4) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), (5) Usaha Mikro dan Kecil, dan (6) Kelompok pakar lingkungan. 125

25 Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen komponen masyarakat yang terlibat dalam program dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 19). Hububungan kontekstualnya dalam teknik ISM dinyatakan sebagai peranannya mendukung pelaksanaan program. Dalam penilaiannya, setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan didasarkan pada matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan tabel berikut ini. Tabel 31. Hasil ISM VAXO elemen komponen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan biologik No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa elemen kunci komponen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan biologik adalah kelompok pakar lingkungan (6). Berdasarkan Gambar 50 terlihat bahwa sub elemen tersebut memiliki nilai ketergantungan terendah dan daya dorong yang tinggi sehingga berada di kuadran IV. Sub elemen (1), (2), (3), (4) dan (5) berada di kuadran III (linkage), karena memiliki nilai ketergantungan tinggi dan daya dorong yang tinggi. Hubungan kontekstual dan level hirarki elemen komponen masyarakat yang terlibat disajikan pada Gambar 51. Kelompok pakar lingkungan (6) pada level 1 peranannya mendukung program, sedangkan perusahaan pertambangan (1), tokoh agama/adat (2), masyarakat sekitar pertambangan (3), LSM (4) serta usaha mikro dan kecil lokal (5) peranannya saling mendukung. 126

26 [IV] Independent 7 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) , 2, 3, 4, [I] Autonomous [II] Dependent 0 Ketergantungan (Dependence) Gambar 50. Klasifikasi elemen komponen masyarakat berdasarkan Driver Power-Dependence Level 2 1. Perusahaan pertambangan 2. Tokoh agama/adat 3. Masyarakat sekitar pertambangan 4. LSM 5. Usaha mikro dan kecil lokal Level 1 6. Kelompok pakar lingkungan Gambar 51. Level hirarki dan hubungan elemen komponen masyarakat (5) Elemen lembaga yang terkait dalam pengelolaan lingkungan biologik Elemen komponen masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan program terdiri atas 7 (tujuh) sub elemen, yaitu: (1) Pemerintah daerah, (2) Pemerintah pusat, (3) Perusahaan pertambangan, (4) LSM HAM dan lingkungan, (5) 127

27 Lembaga pembiayaan, (6) Lembaga pengembangan masyarakat lokal/adat, dan (7) Lembaga penelitian dan pengembangan. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen lembaga yang terkait program dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 20). Hububungan kontekstualnya dalam teknik ISM dinyatakan sebagai peranannya mendukung pelaksanaan program. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 32. Hasil pengolahan ISM VAXO elemen lembaga yang terlibat No (a) Matrik reachibility No Drv Dep (b) Matrik revisi Berdasarkan analisis dengan teknik ISM, semua sub-elemen lembaga yang terkait dalam program merupakan elemen kunci dengan daya dorong dan tingkat ketergantungan yang tinggi. Gambar 52 menunjukkan bahwa keseluruhan sub elemen berada pada kuadran III (linkage). Daya Pendorong (Driver Power) [IV] Independent 1, 2, 3, 4, 5, 6, [III] Linkage 1, 2, 3, 4, 5, 6, [I] Autonomous 1 0 Ketergantungan (Dependence) [II] Dependent Gambar 52. Klasifikasi elemen lembaga berdasarkan Driver Power-Dependence 128

28 Hubungan kontekstual dan level hirarki elemen Lembaga yang terkait dengan pelaksanaan program yang terdiri atas (1) Pemerintah daerah, (2) Pemerintah pusat, (3) Perusahaan pertambangan, (4) LSM HAM dan lingkungan, (5) Lembaga pembiayaan, (6) Lembaga pengembangan masyarakat lokal/adat, dan (7) Lembaga penelitian dan pengembangan tersebut berada di level 1 (Gambar 53). Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan sub elemen peranannya mendukung dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu seluruh stakeholder dan lembaga yang terkait dilibatkan dalam pengelolaan lingkungan biologik agar berkelanjutan. (6) Elemen tolok ukur sasaran pengelolaan lingkungan biologik Tolok ukur sasaran untuk evaluasi setiap target program terdiri atas (1) Jenis tanaman yang dapat tumbuh di lahan pasir sisa tambang (unit/ha), (2) Lahan pasir sisa tambang yang dapat ditanami (ha), (3) Pendapatan usaha per kapita masyarakat (Rp/tahun), (4) Jumlah rintisan usaha (unit), dan (5) Keanekaragaman pola pendidikan lingkungan. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen tolok ukur program dengan pendekatan V, A, X dan O (Lampiran 21). Hubungan kontekstual elemen tolok ukur sasaran program berupa pengaruh antar sub elemennya. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat pakar gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matrik reachibility dan revisi matrik seperti ditunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 33. Hasil ISM VAXO elemen tolok ukur sasaran pengelolaan lingkungan biologik No No Drv Dep (a) Matrik reachibility (b) Matrik revisi 129

29 Level 1 1. Pemerintah Daerah 2. Pemerintah Pusat 3. Perusahaan Pertambangan 4. LSM HAM dan Lingkungan 5. Lembaga Pembiayaan 7. Lembaga Pengembangan Masyarakat Lokal/Adat 6. Lembaga Litbang Gambar 53. Level hirarki dan hubungan elemen lembaga yang terlibat 130

30 Gambar 54 menunjukkan bahwa jumlah tanaman yang dapat tumbuh (1) dan luas lahan yang dapat ditanami (2) merupakan elemen kunci tolok ukur sasaran program. Kedua sub elemen tersebut terletak di kuadran IV dengan nilai daya dorong tertinggi dan tingkat ketergantungan yang rendah. Jumlah rintisan usaha (4) dan pendapatan usaha per kapita (3) berada di kuadran II (dependent) karena memiliki ketergantungan yang tinggi dan daya dorong rendah. Sub elemen keanekaragaman pola pendidikan lingkungan (5) terletak di kuadran I (autonomous) dengan daya dorong terendah dan tingkat ketergantungan yang rendah. [IV] Independent 5 [III] Linkage Daya Pendorong (Driver Power) 1, [I] Autonomous 0 Ketergantungan (Dependence) [II] Dependent Gambar 54. Klasifikasi elemen tolok ukur berdasarkan Driver Power-Dependence Gambar 55 menunjukkan hubungan langsung sub elemen dan level hirarki tolok ukur sasaran program. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa jumlah jenis tanaman yang dapat tumbuh (1) dan luas lahan yang dapat ditanami (2) pada level 1 mempengaruhi jumlah rintisan usaha (4) dan pendapatan usaha per kapita (3). Sedangkan keanekaragaman pola pendidikan lingkungan terlihat tidak dipengaruhi oleh sub elemen lainya. Hal ini berarti pola pendidikan lingkungan bukan tolok ukur sasaran program dan dapat dibuat sebagai aktivitas dalam program. Pendapatan usaha per kapita (3) dipengaruhi oleh jumlah rintisan usaha (4) yang muncul sebagai akibat kegiatan pengelolaaan lingkungan biologik. 131

31 Level 3 3. Pendapatan usaha per kapita 5. Keanekaragaman pola pendidikan lingkungan Level 2 4. Jumlah rintisan usaha Level 1 1. Jumlah jenis tanaman yang dapat tumbuh 2. Luas lahan yang dapat ditanami Gambar 55. Level hirarki dan hubungan elemen tolok ukur 132

VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN Kebijakan publik merupakan kebutuhan setiap negara, khususnya dalam konteks pemerintahan yang dapat mendorong atau menekan aktivitas masyarakat pada satu negara. Kebijakan

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN 140 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN Model kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam dirancang melalui pendekatan sistem dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Gambar 47 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL Pencapaian sasaran tujuan pembangunan sektor perikanan dan kelautan seperti peningkatan produktivitas nelayan dalam kegiatan pemanfaatan

Lebih terperinci

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN 5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN Dalam bab ini akan membahas mengenai strategi yang akan digunakan dalam pengembangan penyediaan air bersih di pulau kecil, studi kasus Kota Tarakan. Strategi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix DAFTAR ISI DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Formulasi Permasalahan... 8 1.3.

Lebih terperinci

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DISAMPAIKAN PADA BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN MINERAL DAN BATUBARA DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan karena berhubungan erat dengan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 18 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September-November 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Pemerintahan Aceh

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING

VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING 86 VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING 6.1 Identifikasi Stakeholders dalam Pengelolaan Danau Rawa Pening Secara umum, stakeholders kunci yang terlibat dalam pengelolaan Danau Rawa

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bogor dan lingkungan industri Kota Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pembangunan daerah merupakan langkah yang ditempuh dalam mewujudkan visi dan misi yang ingin dicapai oleh Kota Depok, pembangunan daerah memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran.

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran. 104 VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK Abstrak Industri pengolahan minyak, transportasi kapal di pelabuhan serta input minyak dari muara sungai menyebabkan perairan Selat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA 5.1. KESIMPULAN Kawasan Strategis Pantai Utara yang merupakan Kawasan Strategis Provinsi DKI Jakarta sesuai

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

5.1 Kondisi dan Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan

5.1 Kondisi dan Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan V PEMBAHASAN UMUM Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), maka program pengembangan wilayahnya

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Kata Kunci: Analisis stuktur, kemitraan, agribisnis sayuran

Kata Kunci: Analisis stuktur, kemitraan, agribisnis sayuran ANALISIS STRUKTUR SISTEM KEMITRAAN PEMASARAN AGRIBISNIS SAYURAN (Studi Kasus di Kecamatan Nongkojajar Kabupaten Pasuruan) Teguh Sarwo Aji *) ABSTRAK Pemikiran sistem adalah untuk mencari keterpaduan antar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang melimpah dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang melimpah dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menjadi sebuah negara yang mempunyai banyak pulau, menjadikan Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang melimpah dengan berbagai macam keberagaman, dari keberagaman

Lebih terperinci

IX. STRUKTURISASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER

IX. STRUKTURISASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER IX. STUKTUISASI PENGEMBANGAN AGOINDUSTI KOPI AKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBE 9.1. Pendahuluan Sistem pengolahan kopi obusta rakyat berbasis produksi bersih yang diupayakan untuk diterapkan di

Lebih terperinci

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional Bab II Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG 2.1.1 Tinjauan Penataan Ruang Nasional Tujuan Umum Penataan Ruang; sesuai dengan amanah UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 tujuan penataan

Lebih terperinci

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN A. Tugas Pokok dan Fungsi PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN pengkajian, penyiapan perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan, dan pemantapan ketersediaan pangan, serta pencegahan dan penanggulangan kerawanan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN 39 III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Penelusuran data dan informasi dimulai dari tingkat provinsi sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman gelagah (Phragmites karka) merupakan tanaman yang dapat tumbuh di berbagai lingkungan baik di daaerah tropis maupun non tropis. Gelagah dapat berkembang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penatagunaan lahan belum dapat melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan yang memadukan unsur pembangunan infrastruktur, kesesuaian

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORETIS

III. LANDASAN TEORETIS III. LANDASAN TEORETIS 1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling) Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa dalam proses perencanaan strategik seringkali para penyusunnya terjebak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN 2012-2021 1 Oleh : Irfan B. Pramono 2 dan Paimin 3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

ProKlim Asdep Adaptasi Perubahan Iklim Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkugan dan Perubahan Ikllim Kementerian Lingkungan Hidup Maret 2012

ProKlim Asdep Adaptasi Perubahan Iklim Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkugan dan Perubahan Ikllim Kementerian Lingkungan Hidup Maret 2012 ProKlim Asdep Adaptasi Perubahan Iklim Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkugan dan Perubahan Ikllim Kementerian Lingkungan Hidup Maret 2012 Krisdinar.wordpress.com Latar belakang Bencana di Indonesia

Lebih terperinci

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan DIPRESENTASIKAN OLEH : 1. MAGDALENA ERMIYANTI SINAGA (10600125) 2. MARSAHALA R SITUMORANG (10600248) 3. SANTI LESTARI HASIBUAN (10600145) 4. SUSI MARIA TAMPUBOLON

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dengan lokasi meliputi kawasan DKI Jakarta dan Perairan Teluk Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Agustus 005-April 006. Teluk Jakarta,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN

CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN keberadaan UU No.32 Tahun 2009 KHLS (Kajian Lingkungan hidup Strategis) Tata ruang Baku mutu lingkungan Kreteria baku kerusakan lingkungan Amdal UKL-UPL Perizinan

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi 3. URUSAN LINGKUNGAN HIDUP a. Program dan Kegiatan. Program pokok yang dilaksanakan pada urusan Lingkungan Hidup tahun 2012 sebagai berikut : 1) Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam beserta lingkungan merupakan suatu kesatuan sistem ekologis atau ekosistem yang mempunyai manfaat langsung dan tak langsung bagi manusia. Dalam ekosistem

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

Rencana Strategis

Rencana Strategis kesempatan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017 BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA,

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Heri Apriyanto NRP. P062100201 Dadang Subarna NRP. P062100081 Prima Jiwa Osly NRP. P062100141 Program Studi

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi Misi SKPD Lingkungan yang baik sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

Modul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air

Modul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air vii B Tinjauan Mata Kuliah uku ajar pengelolaan sumber daya air ini ditujukan untuk menjadi bahan ajar kuliah di tingkat sarjana (S1). Dalam buku ini akan dijelaskan beberapa pokok materi yang berhubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga ketersediaannya harus terjamin dan terpenuhi. Pemenuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga ketersediaannya harus terjamin dan terpenuhi. Pemenuhan pangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar sehingga ketersediaannya harus terjamin dan terpenuhi. Pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

ProKlim sbg Penguatan Inisiatip Pengelolaan SDH Berbasis Masyarakat

ProKlim sbg Penguatan Inisiatip Pengelolaan SDH Berbasis Masyarakat ProKlim sbg Penguatan Inisiatip Pengelolaan SDH Berbasis Masyarakat Asdep Peningkatan Peran Organisasi Kemasyarakatan Deputi Bidang Komunikasi dan Peningkatan Peranserta Masyarakat Kementrerian Lingkungan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor yang memiliki derajat pengaruh terbesar adalah faktor kerentanan fisik dan faktor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR SINGKATAN... viii

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR SINGKATAN... viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR SINGKATAN... viii 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 -

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 - BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Dengan pembangunan dan industrialisasi, pemerintah berusaha mengatasi permasalahan yang timbul akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Dan dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 70 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening Danau Rawa Pening memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

BAB I PENDAHULUAN - 1 - BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

Lebih terperinci

SISTEM PENGEMBANGAN BUNGA HIAS DI BALI

SISTEM PENGEMBANGAN BUNGA HIAS DI BALI SISTEM PENGEMBANGAN BUNGA HIAS DI BALI I Putu Restu Wiana 1, I.A. Mahatma Tuningrat 2,A.A.P.Agung Suryawan Wiranatha 2 Email: restuwiana@ymail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk membuat model struktural

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan pengelolaan sumber daya air berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, mencakup empat aspek, yaitu:

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan? 1 P age Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan? SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 93

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 93 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... v ABSTRAK... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1

Lebih terperinci

V. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

V. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN V. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN 5.1. Landasan Kebijakan PLIKAB Agar kelembagaan pengelolaan lingkungan yang dibentuk melalui kemitraan antar industri komponen alat berat ini dapat berjalan secara optimal,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI XIX XX XX XXI XXIII 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 6 Tujuan Penelitian 7 Ruang Lingkup Penelitian 7 Manfaat

Lebih terperinci

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pengembangan sumber daya air merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang berbagai sektor pembangunan seperti pertanian, industri, penyediaan sumber energi disamping

Lebih terperinci

Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA

Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA TAHUN LOGO2013 VISI Terciptanya Kondisi Lingkungan Masyarakat yang Sehat dan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci