VI. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL"

Transkripsi

1 52 VI. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL Model klaster agroindustri aren dirancang dan dibangun sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan pengembangan di Sulawesi Utara terdiri atas 3 (tiga) blok model yaitu (1) model pengembangan klaster agroindustri aren, yang terdiri atas sub model lokasi pengembangan, sub model industri inti, dan sub model kelembagaan klaster, (2) model pengembangan teknologi pada agroindustri aren berbasis industri inti, yang terdiri atas sub model pemilihan produk, sub model pemilihan penentuan kapasitas, dan sub model pemilihan teknologi proses pengolahan, (3) model prediksi kinerja klaster agroindustri aren, yang terdiri atas sub model kriteria teknis teknologi dan sub model kriteria finansial. Hasil verifikasi menunjukan bahwa model konseptual pengembangan klaster memiliki kesesuaian dengan model yang dirancang dan dibangun. Selaras dengan itu, validasi terhadap model pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukan bahwa keluaran model yang dibangun memiliki kesesuaian dengan kondisi nyata. Proses pengujian dilakukan melalui expert judgement (uji pendapat pakar) serta membandingkan dengan bukti-bukti empiris Model Pengembangan Klaster Agroindustri Aren Sub Model Lokasi Pengembangan Penentuan lokasi pengembangan klaster agroindustri aren dilakukan dengan menggunakan metode LQ. Berdasarkan analisis (Tabel 5) diperoleh bahwa dari lima belas daerah di Sulawesi Utara, terdapat 5 (lima) daerah yang memiliki koefisien relatif yang lebih besar dari pada satu, yakni: 1) Kabupaten Minahasa (1,146), 2) Kabupaten Minahasa Utara (1,149) 3) Kabupaten Minahasa Tenggara (1,164), 4) Kabupaten Minahasa Selatan (1,472), dan 5) Kota Tomohon (1,435). Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memiliki keunggulan relatif dibandingkan dengan daerah-daerah lain baik dalam hal konsentrasi sumber bahan baku maupun tenaga kerja yang terlibat. Hasil analisis lokasi dengan menggunakan LQ tersebut tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi unggulan pengembangan klaster agroindustri aren karena kriteria yang dipakai sebagai pertimbangan dalam analisis hanya terbatas pada satu faktor yaitu jumlah tenaga kerja. Walaupun

2 53 demikian keluaran model yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai alternatif lokasi yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Oleh karena itu, untuk menguatkan pengambilan keputusan lokasi pengembangan klaster aren maka analisis kemudian dikembangkan dengan menggunakan teknik AHP yang mempertimbangkan sejumlah kriteria penting yang diperoleh dari proses identifikasi. Tabel 5 Koefisien LQ agrondustri aren di Sulawesi Utara TK Industri Aren (org) TK Agroindustri (org) Koefisien LQ No. Kabupaten/Kota 1 Kepulauan Talaud Kepulauan Sangihe Kepulauan Sitaro Minahasa Minahasa Utara Minahasa Selatan Minahasa Tenggara Bolaang Mongondow Bolaang Mongondow Utara Bolaang Mongondow Timur Bolaang Mongondow Selatan Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Kota Kotamobagu Jumlah Berdasarkan hasil identifikasi tersebut kemudian dilakukan pengembangan model lokasi unggulan dengan menggunakan teknik AHP dimana struktur model terdiri atas 3 tingkatan hirarki yaitu tujuan, kriteria, dan alternatif lokasi (Lampiran 2). Kriteria-kriteria yang digunakan dalam penentuan lokasi adalah: a) konsentrasi geografis, b) ketersediaan bahan baku, c) potensi sumberdaya manusia, d) kapasitas dan kemampuan teknologi, e) industri pendukung, f) ketersediaan infrastuktur fisik, g) ketersediaan lembaga pendukung, h) dukungan pemerintah daerah dan pusat, i) budaya kerja, dan j) jangkauan pasar. Berdasarkan tujuan dan kriteria-kriteria tersebut, keluaran model menunjukan bahwa lokasi prioritas pengembangan klaster agroindustri di Sulawesi Utara adalah Kabupaten Minahasa Selatan (Tabel 6) dengan skor keputusan 0,307. Peringkat kedua sampai kelima berturut-turut Kota Tomohon

3 54 (0,293), Kabupaten Minahasa (0,172), Kabupaten Minahasa Utara (0,130) dan terakhir Kabupaten Minahasa Tenggara (0,098). Tabel 6 Keluaran sub model lokasi pengembangan Sub Model Industri Inti Klaster Agroindustri Aren Struktur hirarki yang dibangun dalam model terdiri atas tujuan, kriteria dan alternatif industri inti (Lampiran 3). Berdasarkan identifikasi diperoleh 9 (sembilan) jenis agroindustri inti, yaitu: a) industri nira segar, b) industri gula aren, c) industri bioetanol, d) industri minuman beralkohol, e) industri alat rumah tangga, f) industri meubel, g) industri kerajinan, h) industri atap, dan i) industri kolang kaling. Berdasasarkan hasil identifikasi juga disepakati 11 (sebelas) kriteria yang dapat dipakai untuk menilai industri inti yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pengembangan klaster agroindustri aren. Kriteria-kriteria tersebut adalah 1) sebaran agroindustri, 2) potensi bahan baku, 3) potensi sumberdaya manusia, 4) kemampuan pengetahuan dan teknologi, 5) kapasitas produksi, 6) infrastruktur fisik, 7) keterkaitan industri, 8) keberadaan lembaga pendukung, 9) dukungan pemerintah, 10) eksternalitas negatif, dan (11) jangkauan pasar. Keluaran model dengan menggunakan metode AHP (Tabel 7) menunjukan bahwa agroindustri aren yang paling berpotensi untuk dikembangkan di Sulawesi Utara adalah industri gula aren, dengan skor keputusan 0,306 (Tabel 7), kemudian diikuti oleh industri bioetanol (0,251), industri nira segar (0,227), industri minuman beralkohol (0,116) dan industri kerajinan (0,101). Keluaran

4 55 model industri inti menjadi input pada model struktur sistem kelembagaan dan model pengembangan dan pemilihan teknologi pengolahan. Tabel 7 Keluaran sub model pemilihan industri inti 6.2. Model Struktural Kelembagaan Pengembangan Strukturisasi sistem dan pengembangan kelembagaan klaster agroindustri aren dengan kasus gula aren (hasil analisis dari model industri inti) terdiri atas lima elemen penting, yaitu : (1) tujuan pengembangan, (2) pelaku, (3) kendala utama, (4) aktivitas pengembangan, dan (5) indikator keberhasilan pengembangan. Penentuan sub elemen dan tingkat kepentingan setiap sub elemen didalam sistem dilakukan melalui masukan dan pendapat ahli. Sedangkan hubungan kontekstual diantara sub elemen didalam elemen sistem merujuk pada model perencanaan sistem yang dibangun oleh Saxena et al (1992). Hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen sistem pengembangan klaster agroindustri gula aren dipresentasikan pada Tabel 8. Informasi penting dalam rangka memahami struktur sistem pengembangan adalah hirarki dari sub-elemen, klasifikasi sub-elemen, dan identifikasi subelemen kunci. Klasifikasi dilakukan berdasarkan karakteristik yang dinyatakan dengan tingkat driver-power dan tingkat dependency masing-masing sub-elemen. Sub-elemen kunci dari setiap elemen sistem diidentifikasi berdasarkan struktur hirarki dan jumlah lintasan pada struktur hirarki yang keluar dari sub-elemen yang bersangkutan.

5 56 Tabel 8 Hubungan kontekstual elemen kelembagaan No Elemen Hubungan Kontekstual Antar Sub Elemen 1 Tujuan Pengembangan Sub elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub elemen tujuan lainnya 2 Pelaku/Lembaga terkait Sub elemen pelaku/lembaga terkait yang satu mendukung sub elemen pelaku/lembaga terkait lainnya 3 Kendala Utama Sub elemen kendala yang satu mempengaruhi sub elemen kendala lainnya 4 Aktivitas Pengembangan Sub elemen aktivitas yang satu mempengaruhi sub elemen aktivitas pengembangan lainnya 5 Indikator Keberhasilan Sub elemen indikator keberhasilan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub elemen indikator keberhasilan lainnya Sub Model Elemen Tujuan Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem tujuan pengembangan diperoleh 11 (sebelas) sub elemen penting yang memberikan kontribusi pada tercapainya tujuan pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan keluaran model (Tabel 9) diperoleh bahwa sub-elemen kunci yang memiliki daya dorong (driver power) paling besar dalam pencapaian tujuan pengembangan klaster adalah meningkatkan pendapatan petani/penyadap aren (T3), meningkatkan nilai tambah agroindustri aren (T7), dan meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi T8. Hasil ini memberikan arti bahwa ketiga sub elemen ini akan memberikan kontribusi yang paling besar dalam rangka pencapaian tujuan pengembangan. Dalam hirarki sistem ditunjukan bahwa ketiga sub-elemen kunci tersebut merupakan sub elemen yang berada pada tingkatan pertama dari 4 (empat) tingkatan hirarki. Pada tingkatan kedua, sub elemen meningkatkan mutu produk agroindustri aren (T2) dan memperluas lapangan kerja (T4). Tingkatan ketiga, meningkatkan produktifitas agroindustri aren (T1), memperluas jangkauan pasar (T5), meningkatkan volume pasokan ke pasar (T6), dan meningkatkan minat investasi (T10). Tingkatan keempat, mewujudkan agroindustri aren yang berkelanjutan (T9) dan meningkatkan pendapatan daerah (T11). Hasil ini

6 57 memberikan arti bahwa jalur pencapaian tujuan pengembangan melewati empat tahapan atau tingkatan tersebut. Tabel 9 Keluaran sub model elemen sistem tujuan pengembangan Sub Elemen Dependency Driver Dependent Kategori Power T1 Meningkatkan produktifitas 6 8 Linkage agroindustri aren T2 Meningkatkan mutu produk 9 3 Independent agroindustri aren T3 Meningkatkan pendapatan petani 10 4 Dependent /penyadap aren T4 Memperluas lapangan kerja 9 4 Dependent T5 Memperluas jangkauan pasar 6 8 Linkage T6 Meningkatkan volume pasokan 6 8 Linkage ke pasar T7 Meningkatkan nilai tambah 10 6 Linkage agroindustri aren T8 Meningkatkan kemampuan 10 4 Independent inovasi dan teknologi T9 Mewujudkan agroindustri aren 4 9 Dependent yang berkelanjutan T10 Meningkatkan minat investasi 6 8 Linkage T11 Meningkatkan pendapatan daerah 4 9 Dependent Sub-elemen kunci: T3, T7, dan T8 Hirarki T9 T11 T1 T5 T6 T10 T2 T4 T3 T7 T8 Berdasarkan pengelompokan sub-elemen, yang termasuk pada kategori independent adalah sub-elemen meningkatkan mutu produk (T2) dan meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi (T8). Sub elemen meningkatkan produktifitas agroindustri aren (T1), memperluas jangkauan pasar (T5), meningkatkan volume pasokan ke pasar (T6), meningkatkan nilai tambah agroindustri aren (T7) dan meningkatkan minat investasi (T10) masuk pada kelompok linkage. Sedangkan sub-elemen meningkatkan pendapatan petani dan penyadap aren (T3), memperluas lapangan kerja (T4), mewujudkan agroindustri aren yang berkelanjutan (T9), dan sub-elemen meningkatkan pendapatan daerah (T11) dikategorikan sebagai dependent. Tujuan-tujuan atau faktor-faktor pada kelompok independent dan kelompok linkage berperan besar dalam mencapai tujuan pengembangan klaster namun tujuan pada kelompok linkage harus dikaji lebih mendalam karena apakah bersifat berpengaruh atau dipengaruhi oleh tujuan-tujuan lain. Tujuan pada kelompok dependent merupakan faktor-faktor yang bersifat tidak bebas atau

7 58 dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, dengan kata lain faktor-faktor tersebut merupakan entitas dari tujuan pengembangan klaster Sub Model Elemen Pelaku Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem pelaku pengembangan diperoleh 14 (empat belas) sub elemen atau pelaku penting yang mendukung sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan keluaran model (Tabel 10) diperoleh bahwa sub-elemen atau pelaku kunci yang memiliki daya dorong terbesar pada sistem pengembangan klaster adalah pemilik lahan (P1), petani penyadap (P2), agroindustri aren (P3), industri terkait/pendukung (P4), pedagang perantara (P6), kelompok tani dan gapoktan (P9), dan koperasi (P10). Tabel 10 Keluaran sub model elemen pelaku pengembangan Sub Elemen Dependency Driver Dependence Kategori Power P1 Pemilik lahan 14 7 Linkage P2 Penyadap 14 7 Linkage P3 Industri aren 14 7 Linkage P4 Industri terkait/ pendukung 14 7 Linkage P5 Produsen peralatan 1 8 Dependent P6 Pedagang perantara 14 7 Linkage P7 Asosiasi dagang 1 8 Dependent P8 Pemerintah daerah dan pusat 1 11 Dependent P9 Kelompok tani dan gapoktan 14 7 Linkage P10 Koperasi 14 7 Linkage P11 Lembaga keuangan dan donor 1 11 Dependent P12 Lembaga penelitian dan 4 10 Dependent pengembangan P13 Inkubator 5 8 Dependent P14 Badan standarisasi produk 4 10 Dependent Sub-elemen kunci: P1, P2, P3, P4, P6, P9, dan P10 Hirarki P5 P7 P8 P11 P12 P14 P13 P10 P9 P6 P4 P1 P2 P3 Hirarki sub elemen pelaku pengembangan terdiri atas 4 (empat) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh sub-sub elemen kunci pelaku pengembangan. Tingkatan kedua ditempati oleh sub elemen inkubator (P13). Tingkatan ketiga ditempati oleh sub elemen lembaga penelitian dan pengembangan (P12) dan badan standarisasi produk (P14). Sedangkan tingkatan

8 59 keempat ditempati oleh sub elemen produsen peralatan (P5), asosiasi dagang (P7), pemerintah daerah dan pusat (P8), lembaga keuangan dan donor (P11). Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa tidak satupun sub elemen pelaku yang termasuk dalam kategori independent dan autonomous. Kelompok linkage ditempati oleh sub-sub elemen kunci yaitu pemilik lahan (P1), petani penyadap (P2), agroindustri aren (P3), industri terkait/pendukung (P4), pedagang perantara (P6), kelompok tani dan gapoktan (P9), dan koperasi (P10). Sedangkan pada kelompok dependent terdiri atas sub elemen produsen peralatan (P5), asosiasi dagang (P7), pemerintah daerah dan pusat (P8), lembaga keuangan dan donor (P11), lembaga penelitian dan pengembangan (P12), inkubator (P13) dan badan standarisasi produk (P14). Hasil strukturisasi memberikan pengertian bahwa pelaku penting yang harus menggerakkan aktivitas klaster agroindustri aren adalah pemilik lahan, petani penyadap, agroindustri aren, industri pendukung dan industri terkait, pedagang perantara, kelompok tani dan gapoktan, dan koperasi. Berdasarkan pengelompokan, pelaku-pelaku tersebut juga mempunyai ketergatungan terhadap pelaku-pelaku lain. Pelaku-pelaku penting lain yang terlibat dalam sistem pengembangan adalah produsen peralatan, asosiasi dagang, pemerintah daerah dan pusat, lembaga keuangan dan donor, lembaga penelitian dan pengembangan, inkubator dan badan standarisasi produk. Pelaku-pelaku pengembangan yang disebutkan terakhir bersifat tidak bebas (dependent) karena dipengaruhi oleh pelaku-pelaku lain namun memiliki kekuatan besar dalam pengembangan sistem Sub Model Elemen Kendala Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem kendala pengembangan diperoleh 16 (enam belas) sub elemen atau kendala penting yang mempengaruhi sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 6. Berdasarkan keluaran model (Tabel 11) diperoleh bahwa sub elemen kunci yang memiliki daya dorong terbesar pada sistem pengembangan adalah kurangnya dukungan dari pemerintah (K7). Keadaan ini memberikan arti bahwa sub elemen tersebut merupakan kendala utama dalam sistem pengembangan klaster.

9 60 Tabel 11 Keluaran sub model elemen kendala pengembangan Dependency Driver Dependence Sub-Elemen Power Kategori K1 Skala usaha kecil 1 14 Dependent K2 Keterbatasan teknologi 3 12 Dependent K3 Keterbatasan modal 8 10 Dependent K4 Rendahnya kualitas sumber daya 14 3 Independent manusia K5 Rendahnya kualitas bahan baku 1 13 Dependent K6 Kurangnya pemahaman mengenai 12 4 Independent manfaat klaster K7 Kurangnya dukungan dari 15 1 Independent pemerintah pusat dan daerah K8 Rendahnya kemampuan manajerial 14 3 Independent K9 Kurangnya inovasi baru 3 12 Dependent K10 Kesulitan akses pada pasar 1 13 Dependent K11 Kesulitan akses pada lembaga 8 10 Dependent keuangan K12 Kesulitan akses pada informasi 8 10 Dependent baru K13 Kurangnya keterlibatan lembaga 9 7 Independent penyedia jasa terkait K14 Rendahnya rasa saling percaya 12 1 Independent diantara pelaku K15 Kurangnya penelitian terkait 6 7 Autonomous yang dilakukan K16 Kurangnya kerjasama antar 11 6 Independent pelaku Sub-elemen kunci: K4, K7, dan K8 Hirarki K1 K5 K10 K2 K9 K3 K11 K12 K15 K13 K16 K6 K14 K4 K8 K7 Hirarki sub elemen pelaku pengembangan terdiri atas 8 (delapan) tingkatan. Pada tingkatan pertama ditempati oleh sub elemen kunci yaitu kurangnya dukungan dari pemerintah (K7). Tingkatan kedua adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (K4) dan rendahnya kemampuan manajerial (K8). Tingkatan ketiga adalah kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster (K6) dan rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku (K14). Tingkatan keempat adalah sub elemen kurangnya kerjasama antar pelaku (K16). Tingkatan kelima adalah kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait (K13). Tingkatan keenam ditempati oleh empat sub elemen kendala yaitu keterbatasan modal (K3), kesulitan akses pada lembaga keuangan (K11), kesulitan akses pada informasi baru (K12), dan kurangnya penelitian terkait yang dilakukan (K15). Tingkatan ketujuh adalah keterbatasan teknologi (K2) dan kurangnya inovasi baru (K9). Sedangkan pada tingkatan kedelapan atau terakhir ditempati oleh tiga sub elemen

10 61 yaitu skala usaha kecil (K1), rendahnya kualitas bahan baku (K5), dan kesulitan akses pada pasar (K10). Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa tujuh sub elemen kendala termasuk dalam kategori independent. Ketujuh sub-elemen tersebut adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (K4), kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster (K6), kurangnya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah (K7), rendahnya kemampuan manajerial (K8), kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait (K13), rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku (K14), dan sub-elemen kurangnya kerjasama antar pelaku (K16). Kelompok linkage terdiri atas tiga sub-elemen yaitu keterbatasan modal (K3), kesulitan akses pada lembaga keuangan (K11), dan kesulitan akses pada informasi baru (K12). Sementara itu, sub-elemen skala usaha kecil (K1), keterbatasan teknologi (K2), rendahnya kualitas bahan baku (K5), kurangnya inovasi baru (K9), dan sub-elemen kesulitan akses pada pasar (K10) termasuk pada kategori sub-elemen dependent. Sedangkan sub-elemen kurangnya penelitian terkait yang dilakukan (K15) masuk pada kategori autonomous. Hasil analisis diatas memberikan arti bahwa kendala yang harus menjadi prioritas untuk diatasi adalah bagaimana mendorong pemerintah, baik pusat maupun daerah, memberikan perhatian yang lebih intensif terhadap pengembangan agroindustri aren. Selain itu kendala penting yang harus menjadi prioritas untuk diatasi adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia dan rendahnya kemampuan manajerial. Solusi kendala-kendala tersebut menjadi dasar dalam menyelesaikan persoalan yang berada pada tingkatan diatasnya seperti pada hirarki sistem Sub Model Elemen Aktivitas Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem aktivitas pengembangan diperoleh 14 (empat belas) sub elemen penting yang mempengaruhi sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian hubungan antar sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan keluaran model (Tabel 12) diperoleh bahwa sub elemen kunci dari elemen aktivitas yang memiliki daya dorong terbesar dalam sistem

11 62 pengembangan adalah kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren (A1), pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung (A2), dan pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna (A3). Ketiga sub-elemen kunci ini merupakan kegiatan awal yang secara bersama-sama akan mempengaruhi kegiatan lain pada hirarki diatasnya. Tabel 12 Keluaran sub model elemen aktivitas pengembangan Sub Elemen A1 Pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren A2 Pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung A3 Pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna A4 Pendidikan dan pelatihan tenaga kerja A5 Perluasan jaringan dan jangkauan pasar A6 Pengembangan sistem manajemen pengetahuan A7 Keikutsertaan dalam pameran dagang A8 Pengembangan kapasitas produksi Dependency Driver Depen Kategori Power dence 14 6 Independent 14 6 Independent Linkage 9 12 Linkage 10 7 Independent 8 10 Linkage 9 6 Independent 5 14 Dependent A9 Pengembangan kualitas produk 5 14 Dependent A10 Pengembangan pemanfaatan 9 6 Independent sumberdaya lokal A11 Pengembangan sikap saling 9 6 Independent percaya diantara pelaku A12 Pengembangan kemampuan 8 12 Linkage manajerial dan kewirausahaan A13 Pengembangan alternatif 10 7 Independent sumber pembiayaan A14 Pengembangan investasi 5 13 Dependent Sub-elemen kunci: A1, A2, dan A3 Hirarki A8 A9 A14 A6 A12 A4 A7 A10 A11 A5 A13 A1 A2 A3 Hirarki sub elemen sistem aktivitas pengembangan terdiri atas 5 (lima) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh sub-sub elemen kunci. Tingkatan kedua adalah sub elemen perluasan jaringan dan jangkauan pasar (A5) dan pengembangan alternatif sumber pembiayaan (A13). Tingkatan ketiga adalah pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (A4), keikutsertaan dalam pameran dagang (A7), pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal (A10), dan pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku (A11). Tingkatan keempat adalah

12 63 pengembangan sistem manajemen pengetahuan (A6) dan pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan (A12). Sedangkan tingkatan kelima terdiri atas pengembangan kapasitas produksi (A8), pengembangan kualitas produk (A9), dan pengembangan investasi (A14). Hasil ini menunjukan bahwa sub-sub elemen yang berada pada tingkatan dibawah akan mendukung sub-sub elemen yang berada pada tingkatan diatasnya. Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa sub elemen aktivitas yang termasuk dalam kategori independent adalah pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren (A1), pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung (A2), perluasan jaringan dan jangkauan pasar (A5) keikutsertaan dalam pameran dagang (A7), pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal (A10), dan pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku (A11), dan pengembangan alternatif sumber pembiayaan (A13). Sub-sub elemen pada kelompok ini mempunyai kekuatan yang besar mempengaruhi sub elemen lain dalam pengembangan sistem. Kelompok linkage adalah pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna (A3), pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (A4), pengembangan sistem manajemen pengetahuan (A6), dan pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan (A12). Sub-sub elemen ini memiliki daya dorong yang tinggi terhadap pengembangan sistem namun juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen aktivitas lainnya. Kelompok dependent terdiri atas sub elemen pengembangan kapasitas produksi (A8), pengembangan kualitas produk (A9), dan pengembangan investasi (A14). Kegiatan-kegiatan ini berpengaruh terhadap pengembangan sistem namun sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan lain Sub Model Elemen Indikator Keberhasilan Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster diperoleh 14 (empat belas) sub elemen penting yang memberikan kontribusi pada sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian hubungan sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 8.

13 64 Berdasarkan keluaran model (Tabel 13) diperoleh 2 (dua) sub-elemen kunci yang memiliki daya dorong (driver power) paling besar dalam sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster yaitu peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama (I2) dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi (I12). Hirarki sub elemen indikator keberhasilan pengembangan terdiri atas 3 (tiga) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh kedua sub elemen kunci. Tingkatan kedua ditempati oleh peningkatan jumlah anggota klaster (I1), peningkatan skala usaha (I3), terciptanya efisiensi kolektif (I5), peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9), peningkatan jumlah tenaga kerja (I10), peningkatan investasi (I12), dan peningkatan kemampuan inovasi (I13). Sedangkan pada tingkatan ketiga ditempati oleh sub elemen tercapainya skala ekonomi (I4), peningkatan nilai tambah (I6), peningkatan produktivitas (I7), peningkatan mutu produk (I8), dan menguatnya hubungan sosial diantara pelaku (I11). Tabel 13 Keluaran sub model elemen indikator keberhasilan pengembangan Sub Elemen Dependency Driver Dependence Kategori Power I1 Peningkatan jumlah anggota Independent klaster I2 Peningkatan jumlah dan bentuk 13 4 Independent kerjasama I3 Peningkatan skala usaha Lingkage I4 Tercapainya skala ekonomi 4 12 Dependent I5 Terciptanya efisiensi kolektif 10 6 Independent I6 Peningkatan nilai tambah 4 12 Dependent I7 Peningkatan produktivitas 4 12 Dependent I8 Peningkatan mutu produk 4 12 Dependent I9 Peningkatan jangkauan dan 10 6 Independent pangsa pasar I10 Peningkatan jumlah tenaga kerja Linkage I11 Menguatnya hubungan sosial 4 5 autonomous diantara pelaku I12 Peningkatan investasi 10 4 Independent I13 Peningkatan kemampuan inovasi 10 6 Independent I14 Peningkatan kemampuan 13 4 Independent penguasaan teknologi Sub Elemen Kunci : I2 dan I14 Hirarki I4 I6 I7 I8 I11 I1 I3 I5 I9 I10 I12 I13 I2 I14 Pengelompokan sub elemen dalam sistem indikator keberhasilan menunjukan bahwa yang termasuk pada kategori independent adalah peningkatan jumlah anggota klaster (I1), peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama (I2),

14 65 terciptanya efisiensi kolektif (I5), peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9), peningkatan investasi (I12), peningkatan kemampuan inovasi (I13), dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi (I14). Sub-elemen peningkatan skala usaha (I3) dan peningkatan jumlah tenaga kerja (I10) masuk pada kategori linkage. Sementara itu, sub-elemen tercapainya skala ekonomi (I4), peningkatan nilai tambah (I6), peningkatan produktivitas (I7), dan peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9) masuk pada kelompok dependent. Sedangkan sub elemen menguatnya hubungan sosial diantara pelaku (I11) dikategorikan sebagai autonomous Model Pengembangan Teknologi Pengolahan Rancangan model pengembangan teknologi pada agroindustri aren dibatasi pada tahapan pasca panen yakni setelah nira aren disadap dan diolah menjadi produk-produk tertentu. Model tersebut terdiri atas sub model pemilihan produk unggulan, sub model pemilihan kapasitas olah mesin pengolahan dan sub model pemilihan teknologi proses pengolahan Sub Model Produk Unggulan Struktur hirarki yang dibangun dalam model terdiri atas alternatif produk unggulan agroindustri inti dan kriteria penilaian (Lampiran 9). Berdasarkan identifikasi diperoleh 9 (sembilan) jenis agroindustri inti. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa alternatif produk potensial agroindustri inti terdiri atas: 1) gula cetak, 2) gula semut, dan 3) gula cair. Sementara itu, kriteria pemilihan produk agroindustri inti potensial pada model ini adalah: 1) nilai tambah, 2) harga produk, 3) tingkat permintaan produk, 4) kualitas tenaga kerja, 5) ketersediaan alat dan mesin, 6) kondisi bahan baku, 7) biaya produksi, dan 8) kebiasaan masyarakat, Masing-masing kriteria memiliki parameter atau bobot tertentu yang menentukan dan meyakinkan pengambil keputusan penentuan produk agroindustri aren potensial. Kriteria nilai tambah, harga produk, dan tingkat permintaan produk merupakan kriteria kunci dimana memiliki tingkat kepentingan tertinggi dalam menentukan produk unggulan. Walaupun demikian kriteria-kritera lain seperti kualitas tenaga kerja, ketersediaan alat dan mesin, kondisi bahan baku, biaya

15 66 produksi, dan kebiasaan masyarakat, tetap harus dijadikan pertimbangan walaupun dengan nilai kepentingan yang relatif lebih rendah. Keluaran model (Tabel 14) menunjukan bahwa produk agroindustri inti yang memiliki keunggulan terbesar adalah gula semut, dengan skor keputusan 0,395; diikuti oleh gula cair (0,341) di peringkat kedua, dan di peringkat ketiga gula cetak (0,265). Urutan prioritas produk didasarkan pada pertimbangan nilai kepentingan kriteria yang ditentukan pada tahapan sebelumnya. Tabel 14 Keluaran sub model produk unggulan Prioritas pengembangan produk gula semut dipengaruhi oleh kenyataan bahwa potensi nilai tambah yang akan diperoleh adalah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif produk agroindustri gula aren lainnya. Perbedaan nilai tambah tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan harga gula semut dengan harga gula cetak dan gula cair. Berdasarkan data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dipublikasikan oleh BPS (2011), harga gula semut di pasar domestik mencapai Rp / kg, gula cair Rp / kg, sedangkan gula cetak berkisar Rp / kg. Disamping faktor harga, permintaan domestik maupun ekspor produk gula aren menunjukan peningkatan nyata pada beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut antara lain terlihat dari konsumsi per kapita gula merah di Indonesia yang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 8,7% pada selang (BPS, 2011), dimana permintaan terbesar terjadi pada komoditi gula semut. Kriteria yang memiliki tingkat kepentingan relatif yang lebih rendah umumnya bersumber dari sisi penawaran dimana secara kumulatif akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap produk yang dihasilkan. Faktorfaktor kualitas tenaga kerja, ketersediaan alat dan mesin, kondisi bahan baku,

16 67 biaya produksi, dan kebiasaan masyarakat dalam kenyataan memiliki kekuatan dalam perencanaan pengembangan agroindustri. Austin (1992) dan Tan (1994) menunjukan bahwa perencanaan pengembangan produksi harus menempatkan faktor-faktor tersebut sebagai faktor kritis dalam pengambilan keputusan Sub Model Kapasitas Olah Kapasitas agroindustri merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan pengembangan agroindustri aren di suatu wilayah karena akan berkaitan dengan kelayakan dan keberlanjutan usaha agroindustri itu sendiri. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh tiga alternatif kapasitas olah agroindustri aren gula semut yaitu: a) l nira b) l nira, dan c) l nira. Dasar pertimbangan penentuan ketiga alternatif tersebut disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan program pengembangan agroindustri nasional yang menitikberatkan pada pengembangan industri kecil dan menengah. Penentuan prioritas kapasitas olah dilakukan melalui dua tahapan: 1) merumuskan aturan-aturan (rules) dalam logika if then, dan 2) penentuan kapasitas olah dengan menggunakan teknik MPE. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam proses-proses tersebut adalah 1) ketersediaan bahan baku, 2) jarak sumber bahan baku, 3) mutu bahan baku, 4) ketersediaan alat dan mesin, 5) waktu pengangkutan, 6) kapasitas penampungan, 7) tenaga kerja yang tersedia, dan 8) biaya produksi. Berdasarkan kriteria dan aturan-aturan tersebut, penentuan kapasitas olah prioritas dilakukan dengan menggunakan teknik MPE. Berdasarkan analisis kepentingan masing-masing kriteria terhadap proses penentuan kapasitas olah diperoleh bahwa kriteria ketersediaan bahan baku, mutu bahan baku dan biaya produksi memiliki tingkat kepentingan yang lebih besar dibandingkan dengan kreteria-kriteria lainnya (Lampiran 12). Dengan kata lain, ketiga kriteria tersebut merupakan faktor-faktor kritis dalam penentuan kapasitas olah agroindustri aren dimana produk gula semut sebagai prioritas. Hasil keluaran model (Tabel 15) menunjukan bahwa prioritas kapasitas olah yang memiliki skor keputusan tertinggi adalah kapasitas olah 5000 liter nira dengan skor keputusan 42,8765, peringkat kedua adalah kapasitas olah l, sedangkan kapasitas olah l berada pada peringkat ketiga. Keputusan

17 68 kapasitas olah l merupakan pilihan yang tepat untuk dikembangkan di Kabupaten Minahasa Selatan karena memenuhi sebagian besar prasyarat prioritas pengembangan sebagaimana tercermin pada kriteria-kriteria utama yang umumnya ditetapkan pada tahapan awal perencanaan. Tabel 15 Peringkat Prioritas Kapasitas Olah No Alternatif Kapasitas Skor Keputusan Peringkat l 33, l 42, l 37, Apabila diasumsikan bahwa agroindustri aren yang akan dikembangkan harus memenuhi unsur peningkatan dan pemerataan nilai tambah maka alternatif kapasitas olah 5000 l menjadi prioritas keputusan. Berdasarkan sebaran jumlah penyadap dan potensi bahan baku yang dapat dihasilkan (Tabel 16) diperoleh bahwa sebagian besar kecamatan di Minahasa Selatan berpotensi untuk menghasilkan nira aren dengan jumlah lebih dari l per hari atau l per sekali olah. Pada kondisi ini sebenarnya alternatif pilihan kapasitas olah 1000 l per satu kali olah adalah cukup realistis namun jika pertimbangan lain dimasukan maka pilihan keputusan menjadi semu. Begitu juga dengan kriteria mutu bahan baku, dimana diketahui bahwa sampai pada kapasitas olah liter, kontrol terhadap mutu bahan baku dapat dijalankan dengan baik sampai pada tahap dimana nira tersebut siap untuk diproses lanjut pada tahapan pengolahan. Kondisi ini berkaitan erat dengan waktu maksimal yang digunakan untuk menampung nira tersebut dari setiap penyadap. Berdasarkan pengamatan lapangan diketahui bahwa sampai pada batas waktu maksimal (3 jam setelah disadap) volume nira yang dapat dikumpulkan pada suatu titik di lokasi produsen utama tidak akan mencapai l. Karena untuk menghasilkan gula, nira sudah harus sampai pada tangki penampungan pada proses pengolahan maksimum 3 jam setelah disadap. Jika melebihi batas waktu tersebut maka komposisi nira telah mengalami perubahan, khususnya ph dan

18 69 kadar sukrosa, sehingga tidak cocok untuk diolah menjadi gula. Perubahan komposisi tersebut diakibatkan oleh adanya proses fermentasi karena adanya aktivitas mikroba. Semakin lama nira tersebut didiamkan akan menyebabkan semakin tinggi derajat keasaamannya dan berbanding terbalik dengan kadar sukrosa didalam nira. Tabel 16 Sumber dan produksi nira aren Kabupaten Minahasa Selatan tahun 2010 No. Kecamatan Luas Jumlah Penyadap Produksi (ha) Pohon (org) Nira (l/hr) 1 Modoinding 66, Maesaan 94, Tompaso Baru 141, Ranoyapo 134, Motoling 67, Motoling Timur 48, Motoling Barat 39, Kumelembuai 97, Tenga 196, Sinonsayang 108, Amurang 170, Amurang Timur 53, Amurang Barat 122, Tumpaan 128, Tatapaan 55, Tareran 42, Suluun Tareran 45, Jumlah 1591, Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Minahasa Selatan (2011) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Minahasa (2011) Biaya produksi dikategorikan sebagai faktor kritis penentuan kapasitas olah berkaitan erat dengan tingkat penerimaan dan nilai tambah yang akan diperoleh. Pada kapasitas olah skala kecil, biaya produksi per satuan produk umumnya lebih besar dari nilai tambah per satuan produk yang dihasilkan. Dengan kata lain, usaha agroindustri yang dijalankan belum berada pada skala ekonomi. Konsekuensi tidak menguntungkan juga terjadi pada skala produksi yang relatif besar karena besarnya resiko yang dihadapi, terutama apabila terjadi perubahan faktor-faktor eksternal. Pertimbangan yang berkaitan dengan biaya

19 70 produksi inilah yang mengarahkan pengambilan keputusan kapasitas olah 5000 l yang memiliki keunggulan untuk dikembangkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Novarianto et al (2001) menunjukan bahwa kapasitas olah agroindustri gula aren skala menengah, l, memiliki tingkat keuntungan rata-rata jika dibandingkan dengan skala kapasitas olah yang lebih kecil atau lebih besar dari kapasitas tersebut. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh (a) sifat dari bahan baku yang cepat mengalami perubahan, (b) kemampuan dan ketrampilan tenaga kerja yang dimiliki, dan (3) kemampuan modal yang dimiliki Sub Model Teknologi Pengolahan Hasil identifikasi model teknologi pengolahan agroindustri aren inti, dalam hal ini gula aren, diperoleh tiga alternatif teknologi yang dapai digunakan pada proses pengolahan yaitu: 1) teknik tradisional (OP), 2) teknik open pan dan vacum evaporator (OP+VE), dan 3) kombinasi teknologi membran, open pan dan vacum evaporator (TM+OP+VE). Berdasarkan hasil identifikasi juga diperoleh 13 (tiga belas) kriteria penentuan prioritas teknologi, dimana berdasarkan tingkat kepentingan relatif diperoleh 5 (lima) kriteria yang memiliki bobot terbesar yaitu: 1) ketersediaan dan aksesibilitas, 2) harga satuan, 3) biaya operasi, 4) produksi per satuan waktu, dan 5) penggunaan alat dan bahan tambahan. Bobot dan penilaian kriteria dipresentasikan pada Lampiran 13. Keluaran model menunjukan bahwa proses pengolahan agroindustri gula semut yang memiliki nilai keputusan tertinggi adalah proses dengan menggunakan teknologi OP+VE. Nilai keputusan masing-masing alternatif teknologi proses pengolahan disajikan pada Tabel 17. Skor keputusan teknologi OP+VE berdasarkan keluaran model adalah 35,4256 diikuti oleh teknologi proses TM+OP+VE sebesar 29,8900; sedangkan alternatif teknologi tradisional (OP) berada pada peringkat terakhir dengan skor keputusan terkecil. Ditinjau dari aspek teknis, proses pengolahan yang dilakukan oleh agroindustri aren umumnya masih bersifat tradisional dimana selain penggunaan alat sederhana dan manual, proses pengolahan juga masih menggunakan metode konvensional. Padahal untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing tidak

20 71 dapat dicapai apabila teknik atau metode seperti itu masih terus dipertahankan. Aplikasi teknologi pengolahan gula aren dengan teknik open pan dan vacum evaporator (OP+VE) merupakan alternatif teknologi yang disarankan oleh model dengan beberapa pertimbangan yang ditetapkan berdasarkan tingkat kepentingan. Tabel 17 Peringkat prioritas teknologi proses pengolahan No Alternatif Proses Skor Keputusan Peringkat 1 Tradisional (OP) OP + VE TM + OP + VE Keterangan: OP = open pan ; VE = vacum evaporator; TM = Teknik Membran Alternatif teknik pengolahan nira aren pada unit produksi gula aren dengan menggunakan teknik OP+VE lebih baik jika dibandingkan dengan teknik-teknik lainnya. Implementasi penggunaan teknologi pengolahan tersebut memberi keuntungan dan manfaat antara lain karena: (a) waktu yang dibutuhkan pada proses evaporasi menjadi lebih singkat dan (b) meningkatnya efisiensi produksi sebagai akibat dari tingkat penggunaan tenaga kerja yang relatif lebih sedikit. Kajian yang dilakukan oleh Iskandar (1991) menunjukan bahwa peningkatan tekanan mengakibatkan peningkatan suhu penguapan (pemasakan) berakibat meningkatnya gula pereduksi. Lamanya proses penguapan (pemasakan) juga tergantung besarnya tekanan evaporator. Lama proses pengolahan gula merah cair dengan metoda evaporator kurang dari 120 menit. Semakin tinggi tekanan, semakin cepat proses evaporasi Proses pengolahan tradisional yang dilakukan oleh unit agroindustri di pedesaan umumnya menghasikan nilai tambah yang relatif rendah dibandingkan dengan yang diperoleh oleh unit pengolahan dengan menggunakan teknologi yang lebih baik. Rendahnya nilai tambah tersebut disebabkan oleh besarnya beban biaya tenaga kerja dan rendahnya tingkat produktivitas, sehingga pada gilirannya tidak memiliki daya saing yang kuat di pasar. Sementara itu,

21 72 Pengolahan gula aren dengan alternatif teknologi pengolahan kombinasi teknik membran dengan open pan dan vacum evaporator (TM+OP+VE) berdasarkan kajian empiris memberikan manfaat yang relatif sama dengan teknik OP+VE dimana efisiensi produksi berada pada kondisi maximum. Namun jika dilihat dari faktor-faktor lain maka keputusannya akan berdampak negatif terhadap indikator penting seperti nilai tambah dan daya saing. Teknologi pengolahan TM+OP+VE tidak dianjurkan dalam model karena biaya pengadaan dan operasi teknik ini adalah sangat besar dan membebani biaya produksi sehingga berdampak pada terjadinya inefisiensi usaha yang bermuara pada rendahnya nilai tambah dan daya saing Model Kelayakan Investasi Agroindusri Aren Penentuan kelayakan usaha menggunakan kriteria finansial yang terdiri dari (1) Net Present Value (NPV) yaitu nilai bersih yang diterima proyek selama umur ekonomis pada saat sekarang, (2) Internal Rate of Return (IRR) yaitu nilai suku bunga yang menjadikan NPV proyek sama dengan nol, atau tingkat suku bunga yang menunjukan bahwa nilai penerimaan bersih sama dengan jumlah seluruh biaya investasi sekarang, (3) Pay Back Period (PBP) yaitu nilai yang mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali, (4) Net Benefit Cost ratio (Net B/C) yaitu perbandingan nilai sekarang keuntungan bersih dengan nilai sekarang biaya bersih, dan (5) Break Event Point (BEP) yaitu analisis titik pulang pokok dimana tingkat volume penjualan akan impas untuk menutup biaya tetap dan biaya variabel. Input model prediksi kelayakan investasi usaha agroindustri gula semut didasarkan pada keluaran model terdahulu yaitu keluaran pada model industri inti, kelembagaan klaster dan keluaran pada model pengembangan teknologi. Keluaran model terdahulu dimaksud adalah: (1) jenis produk industri inti yang memiliki keunggulan untuk dikembangkan yaitu industri gula semut, (2) kapasitas bahan baku yang disarankan adalah skala II yaitu 5000 liter per satu kali olah, dan (3) teknologi proses yang digunakan adalah kombinasi teknik open pan dan vacum evaporator.

22 73 Analisis finansial yang dilakukan didasarkan pada beberapa asumsi dasar sesuai dengan kondisi aktual pada saat kajian dilakukan serta berdasarkan keluaran dari model yang dibangun terdahulu. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model penilaian kelayakan agroindustri gula aren semut adalah: (a) umur proyek 10 tahun, (b) kapasitas olah pabrik adalah liter nira aren (hasil analisis pada model penentuan kapasitas olah), (c) frekueensi olah dua kali dalam satu hari, (d) produksi gula aren rata-rata 1000 kg per hari, (e) umur ekonomis usaha adalah 10 tahun, (f) nilai investasi Rp ,00 (g) modal kerja Rp ,00, (h) jumlah hari kerja per tahun adalah 300 hari, (i) modal investasi bersumber dari kredit perbankan komersial dengan bunga pinjaman sebesar 18%, (j) tenor pinjaman 10 tahun, (k) harga nira aren di tingkat petani Rp1.000,00 per liter, dan (l) harga produk berupa gula semut di tingkat pabrik adalah Rp per kilogram. Neraca keuangan dan proyeksi kelayakan usaha agroindustri gula aren berturut-turut disajikan pada tabel Lampiran Keluaran model (Tabel 18) menunjukan bahwa pada kondisi normal, investasi usaha agroindustri gula semut dengan peralatan mesin kapasitas olah 5000 liter nira dan umur proyek 10 tahun layak untuk dijalankan. Hal ini terlihat dari nilai kriteria kelayakan investasi: (1) NPV bernilai positif, yaitu sebesar Rp ,00; (2) Nilai IRR sebesar 84,25% menunjukan nilai yang lebih besar dari tingkat suku bunga saat ini; (3) B/C ratio bernilai 1,41 yang lebih besar dari satu. Jika usaha agroindustri gula semut ini dijalankan maka akan diperoleh tingkat keuntungan bersih sebesar Rp ,00 dengan BEP (kondisi dimana tidak mengalami kerugian/titik impas) berada pada nilai Rp ,00 dan ROI sebesar 41,17% yang menunjukan bahwa penggunaan modal pada investasi yang dipilih adalah efisien. Sementara itu, jangka waktu pengembalian biaya investasi (BEP) akan terjadi pada tahun ke 2,83. Secara umum, hasil keluaran model kelayakan investasi yang diperoleh selaras dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 2008 dengan studi kasus usaha agroindustri yang sama (gula semut) di Lebak Banten keputusan investasi adalah selaras, walaupun beberapa asumsi yang digunakan relatif berbeda pada model yang dibangun.

23 74 Tabel 18 Koefisien indikator kelayakan investasi usaha agroindustri gula pada kondisi normal Kriteria Finansial Nilai / Koefisien Keterangan BEP Rp Layak Laba Bersih rata-rata Rp ,00 Layak NPV Rp Layak B/C Ratio 1,41 Layak ROI 41,17% Layak IRR 84,25% Layak PBP 2,80 Tahun Layak Keputusan Investasi LAYAK Ditinjau dari aspek empiris, operasionalisasi perusahan bisnis sering berhadapan dengan kenyataan berubahnya faktor internal dan eksternal (Porter 1998a; Porter 1998b). Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan analisis sensitivitas pada model kelayakan investasi dimana faktor-faktor yang diskenariokan adalah perubahan faktor endogen didalam sistem yaitu perubahan harga produk dan perubahan harga bahan baku. Dampak perubahan faktor endogen berdasarkan analisis sensitivitas menunjukan apabila harga produk mengalami penurunan sebesar 20%, maka usaha pengolahan produk agroindustri aren unggulan, dalam hal ini gula semut, secara finansial masih menguntungkan untuk dilaksanakan. Keluaran model (Tabel 19) menunjukan bahwa semua nilai koefisien parameter masih memenuhi syarat kelayakan, walaupun nilai koefisien tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan investasi pada kondisi aktual. Tabel 19 Dampak penurunan harga produk terhadap indikator kelayakan Kriteria Finansial Nilai / Koefisien Keterangan BEP Rp ,00 Layak Laba Bersih rata-rata Rp ,00 Layak NPV Rp ,00 Layak B/C Ratio 1,13 Layak ROI 12,94% Layak IRR 26,11% Layak PBP 4,61% Layak Keputusan Investasi LAYAK

24 75 Pada kondisi lain, jika terjadi kenaikan harga bahan baku nira sebesar 50% maka usaha agroindustri gula semut adalah tidak menguntungkan atau tidak layak untuk dilaksanakan. Hal tersebut ditunjukan oleh beberapa nilai koefisien parameter yang tidak memenuhi syarat kelayakan (Tabel 20). Tabel 20 Dampak kenaikan harga bahan baku terhadap indikator kelayakan Kriteria Finansial Nilai / Koefisien Keterangan BEP Rp ,00 Layak Laba Bersih rata-rata Rp ,00 Layak NPV Rp ,00 Tidak Layak B/C Ratio 1,02 Layak ROI 1,59% Layak IRR 3,04% Tidak Layak PBP 9,11 Tahun Layak Keputusan TIDAK LAYAK Secara umum, hasil analisis kelayakan investasi yang diperoleh menunjukan bahwa usaha agroindustri gula aren memiliki prospek ekonomi yang cukup besar khususnya dalam rangka peningkatan daya saing agroindustri aren dan peningktan nilai tambah dan kesejateraan pelaku dimana umumnya merupakan industri skala mikro dan kecil serta merupakan sumber pendapatan utama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Di pihak lain, keluaran model kelayakan investasi mampu mengarahkan setiap proses perencanaan pengembangan agroindustri yang berbasis pemanfaatan bahan baku yang berasal dari tanaman aren di wilayah tertentu dengan berbagai karakteristik yang dimiliki.

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren.

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren. 44 V. PEMODELAN SISTEM Dalam analisis sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dan berperan didalam sistem tersebut. Pihak-pihak

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tahap Pengumpulan Data dan Informasi

III. METODOLOGI. Tahap Pengumpulan Data dan Informasi 23 III METODOLOGI Penelitian ini dilakukan dalam empat tahapan penelitian yaitu tahap pengumpulan data dan informasi, tahap pengkajian pengembangan produk, tahap pengkajian teknologi, tahap uji coba dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual III. METODE PENELITIAN Nilai tambah yang tinggi yang diperoleh melalui pengolahan cokelat menjadi berbagai produk cokelat, seperti cokelat batangan merupakan suatu peluang

Lebih terperinci

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 83 BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 5.1. Konfigurasi Model Analisis sistem pada Bab IV memperlihatkan bahwa pengembangan agroindustri sutera melibatkan berbagai komponen dengan kebutuhan yang beragam,

Lebih terperinci

A. Kerangka Pemikiran

A. Kerangka Pemikiran III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengkaji studi kelayakan pendirian industri pengolahan keripik nangka di kabupaten Semarang. Studi kelayakan dilakukan untuk meminimumkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 62 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri sutera alam merupakan industri pengolahan yang mentransformasikan bahan baku kokon (hasil pemeliharaan ulat sutera) menjadi benang, kain sutera,

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis aspek finansial bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan.

Lebih terperinci

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS Formatted: Swedish (Sweden) Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 menunjukkan bahwa sistem kemitraan setara usaha agroindustri

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian 36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Definisi Proyek Menurut Kadariah et al. (1999) proyek merupakan suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORETIS

III. LANDASAN TEORETIS III. LANDASAN TEORETIS 1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling) Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa dalam proses perencanaan strategik seringkali para penyusunnya terjebak

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN 140 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN Model kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam dirancang melalui pendekatan sistem dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Gambar 47 menunjukkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli

III. METODE PENELITIAN. Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian pendirian agroindustri berbasis ikan dilaksanakan di Kabupaten Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan

Lebih terperinci

Sistem Manajemen Basis Data

Sistem Manajemen Basis Data 85 KONFIGURASI MODEL Hasil analisis sistem menunjukkan bahwa sistem pengembangan Agrokakao bersifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat dalam

Lebih terperinci

BAB IV KERANGKA PEMIKIRAN

BAB IV KERANGKA PEMIKIRAN 23 BAB IV KERANGKA PEMIKIRAN 4.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 4.1.1 Studi Kelayakan Usaha Proyek atau usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan manfaat (benefit) dengan menggunakan sumberdaya

Lebih terperinci

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit),

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI 5.1 PENDAHULUAN Pengembangan usaha pelayanan jasa pengeringan gabah dapat digolongkan ke dalam perencanaan suatu kegiatan untuk mendatangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Gula merah tebu merupakan komoditas alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula. Gula merah tebu dapat menjadi pilihan bagi rumah tangga maupun industri

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis finansial bertujuan untuk menghitung jumlah dana yang diperlukan dalam perencanaan suatu industri melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

A. Kerangka Pemikiran

A. Kerangka Pemikiran III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran Analisis kelayakan pendirian industri bioinsektisda Bta di Bogor merupakan analisis yang dilakukan sebagai bagian dari tahap pra invetasi pada proyek pembangunan industri

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Proyek Kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis mengemukakan teori-teori terkait penelitian. Teori-teori tersebut antara lain pengertian proyek, keterkaitan proyek dengan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek memiliki beberapa pengertian. Menurut Kadariah et al. (1999) proyek ialah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah : III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Pengertian Proyek pertanian menurut Gittinger (1986) adalah kegiatan usaha yang rumit karena penggunaan sumberdaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN

SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN 94 SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN Konfigurasi Model Hasil analisis sistem menunjukkan bahwa sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri bersifat kompleks, dinamis, dan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Penentuan Narasumber

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Penentuan Narasumber IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di peternakan milik Bapak Sarno yang bertempat di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa barat. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1 PROGRAM UTAMA mangosteen 1.0 Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Pengembangan Agroindustri Manggis dirancang dalam sebuah paket program bernaman mangosteen 1.0. Model mangosteen

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan mempergunakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 67 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan non-migas yang bernilai ekonomi tinggi dan tercatat sebagai penyumbang devisa bagi perekonomian nasional. Ekspor produk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Pada bagian ini dijelaskan tentang konsep yang berhubungan dengan penelitian kelayakan Usaha pembenihan dan pembesaran ikan lele Sangkuriang di

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Data dan Instrumentasi 4.3. Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Data dan Instrumentasi 4.3. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengambil tempat di kantor administratif Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Jawa Barat yang berlokasi di Kompleks Pasar Baru Lembang

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Studi Kelayakan Proyek Proyek merupakan suatu kegiatan untuk membangun sistem yang belum ada. Sistem dibangun dahulu oleh proyek, kemudian dioperasionalkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka pemikiran penelitian ini diawali dengan melihat potensi usaha yang sedang dijalankan oleh Warung Surabi yang memiliki banyak konsumen

Lebih terperinci

II. KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN II. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan kumpulan teori yang digunakan dalam penelitian. Teori-teori ini berkaitan erat dengan permasalahan yang ada

Lebih terperinci

KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SILO JAGUNG di GAPOKTAN RIDO MANAH KECAMATAN NAGREK KABUPATEN BANDUNG

KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SILO JAGUNG di GAPOKTAN RIDO MANAH KECAMATAN NAGREK KABUPATEN BANDUNG LAMPIRAN 83 Lampiran 1. Kuesioner kelayakan usaha KUESIONER PENELITIAN KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SILO JAGUNG di GAPOKTAN RIDO MANAH KECAMATAN NAGREK KABUPATEN BANDUNG SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

VII. RENCANA KEUANGAN

VII. RENCANA KEUANGAN VII. RENCANA KEUANGAN Rencana keuangan bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan. Untuk melakukan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014.

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. II. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Tempat Pengambilan sampel harga pokok produksi kopi luwak dilakukan di usaha agroindustri

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha pengolahan komoditi kelapa, dampaknya terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penurunan produktivitas hutan alam telah mengakibatkan berkurangnya suplai hasil hutan kayu yang dapat dimanfaatkan dalam bidang industri kehutanan. Hal ini mendorong

Lebih terperinci

A Modal investasi Jumlah (Rp) 1 Tanah Bangunan Peralatan Produksi Biaya Praoperasi*

A Modal investasi Jumlah (Rp) 1 Tanah Bangunan Peralatan Produksi Biaya Praoperasi* A Modal investasi Jumlah (Rp) 1 Tanah 150.000.000 2 Bangunan 150.000.000 3 Peralatan Produksi 1.916.100.000 4 Biaya Praoperasi* 35.700.000 B Jumlah Modal Kerja 1 Biaya bahan baku 7.194.196.807 2 Biaya

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Lidah buaya adalah tanaman yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh maupun perawatan kulit manusia. Tanaman ini juga memiliki kecocokan hidup dan dapat

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM. Konfigurasi Model. Data Pengetahuan Model. Perumusan Strategi Bauran Pemasaran MEKANISME INFERENSI SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT

PEMODELAN SISTEM. Konfigurasi Model. Data Pengetahuan Model. Perumusan Strategi Bauran Pemasaran MEKANISME INFERENSI SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rancang bangun model pengembangan industri kecil jamu dirancang dalam bentuk paket program komputer sistem manajemen ahli yang terdiri dari komponen : sistem manajemen

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK

III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK Teknik heuristik adalah suatu cara mendekati permasalahan yang kompleks ke dalam komponen-komponen yang lebih sederhana untuk mendapatkan hubungan-hubungan dalam

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM 6.1. KONFIGURASI MODEL

PEMODELAN SISTEM 6.1. KONFIGURASI MODEL VI. PEMODELAN SISTEM 6.1. KONFIGURASI MODEL Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Pengembangan Agroindustri Manggis dirancang dan dikembangkan dalam suatu paket perangkat lunak ng diberi nama mangosteen

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN III. 1. KERANGKA PEMIKIRAN Terbatasnya sumber daya minyak dan kemampuan kapasitas produksi minyak mentah di dalam negeri telah menjadikan sekitar 50% pemenuhan bahan bakar nasional

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengambilan Responden 3.5 Metode Pengumpulan Data

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengambilan Responden 3.5 Metode Pengumpulan Data 19 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian di lapangan dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat. Pengambilan data di lapangan dilakukan selama 1 bulan,

Lebih terperinci

Aspek Ekonomi dan Keuangan. Pertemuan 11

Aspek Ekonomi dan Keuangan. Pertemuan 11 Aspek Ekonomi dan Keuangan Pertemuan 11 Aspek Ekonomi dan Keuangan Aspek ekonomi dan keuangan membahas tentang kebutuhan modal dan investasi yang diperlukan dalam pendirian dan pengembangan usaha yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Definisi dan Batasan Operasional Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpamaham mengenai pengertian tentang istlah-istilah dalam penelitian ini maka dibuat definisi dan batasan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis mengemukakan teori-teori terkait penelitian. Teori-teori tersebut antara lain pengertian proyek, keterkaitan proyek dengan

Lebih terperinci

Proceeding Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, 6-7 Juli 2011

Proceeding Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, 6-7 Juli 2011 STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN UNIT PENGOLAHAN GULA SEMUT DENGAN PENGOLAHAN SISTEM REPROSESING PADA SKALA INDUSTRI MENENGAH DI KABUPATEN BLITAR Arie Febrianto M Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis bidang ini utamanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan produk-produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik agar penambangan yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian baik. dari segi materi maupun waktu. Maka dari itu, dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. baik agar penambangan yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian baik. dari segi materi maupun waktu. Maka dari itu, dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pertambangan membutuhkan suatu perencanaan yang baik agar penambangan yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian baik dari segi materi maupun waktu. Maka dari

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Bisnis Studi kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan teknologi pengolahan sagu Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB IV ANALISA SISTEM 71 BAB IV ANALISA SISTEM 4.1. Analisa Situasional Agroindustri Sutera Agroindustri sutera merupakan industri pengolahan yang menghasilkan sutera dengan menggunakan bahan baku kokon yaitu kepompong dari

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Studi Kelayakan Bisnis Bisnis adalah seluruh kegiatan yang diorganisasikan oleh orang-orang yang berkecimpung di dalam bidang perniagaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. A. Kerangka Pemikiran. B. Pendekatan Studi Kelayakan

III. METODOLOGI. A. Kerangka Pemikiran. B. Pendekatan Studi Kelayakan III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran Pengembangan industri tepung dan biskuit dari tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) harus mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu analisis pasar dan pemasaran,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Packing House Packing house ini berada di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi. Packing house dibangun pada tahun 2000 oleh petani diatas lahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Penelitian Usaha warnet sebetulnya tidak terlalu sulit untuk didirikan dan dikelola. Cukup membeli beberapa buah komputer kemudian menginstalnya dengan software,

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Studi kelayakan merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan

Lebih terperinci

VII. IMPLEMENTASI MODEL

VII. IMPLEMENTASI MODEL VII. IMPLEMENTASI MODEL A. HASIL SIMULASI Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data hipotetik berdasarkan hasil survey, pencarian data sekunder, dan wawancara di lapangan. Namun dengan tetap mempertimbangkan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Studi Kelayakan Bisnis Bisnis adalah seluruh kegiatan yang diorganisasikan oleh orang-orang yang berkecimpung di dalam bidang perniagaan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Industri karet remah di Indonesia sebagian besar merupakan industri yang melibatkan petani karet sebagai penghasil bahan baku berupa bokar dan pabrik karet sebagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. buah dan sayur termasuk produk yang cepat rusak (perishable).

1. PENDAHULUAN. buah dan sayur termasuk produk yang cepat rusak (perishable). 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui bersama, kita kaya sekali akan berbagai macam buah dan sayur. Hampir di setiap daerah menghasilkan komoditas ini, bahkan di beberapa daerah mempunyai

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Agrifarm, yang terletak di desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 61 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem manajemen ahli model SPK agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit terdiri dari tiga komponen utama yaitu sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Usaha Mi Ayam Bapak Sukimin yang terletak di Ciheuleut, Kelurahan Tegal Lega, Kota Bogor. Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN Definisi Operasional, dan Pengukuran Variabel

III. METODE PENELITIAN Definisi Operasional, dan Pengukuran Variabel 45 III. METODE PENELITIAN 3.1. Definisi Operasional, dan Pengukuran Variabel Penjelasan mengenai definisi operasional dan variabel pengukuran perlu dibuat untuk menghindari kekeliruan dalam pembahasan

Lebih terperinci

3.2 METODE PERBANDINGAN EKSPONENSIAL

3.2 METODE PERBANDINGAN EKSPONENSIAL III. LANDASAN TEORI 3.1 TEKNIK HEURISTIK Teknik heuristik adalah suatu cara mendekati suatu permasalahan yang kompleks ke dalam komponen-komponen yang lebih sederhana untuk mendapatkan hubungan-hubungan

Lebih terperinci

Gambaran Umum Wilayah

Gambaran Umum Wilayah Bab 2: Gambaran Umum Wilayah 2.1 Geogrfis, Administratif dan Kondisi Fisik Kabupaten Minahasa Selatan adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara. Ibukota Kabupaten Minahasa Selatan adalah Amurang,

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN WIRAUSAHA

ANALISIS KELAYAKAN WIRAUSAHA ANALISIS KELAYAKAN WIRAUSAHA Tahapan Analisis... Tahap penemuan ide Tahap formulasi tujuan Tahap analisis Tahap keputusan Tahap Penemuan Ide Memunculkan ide usaha dari... Hobi atau kesukaan Keahlian yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian kelayakan Usaha pembenihan dan pembesaran ikan lele Sangkuriang dilakukan di Perusahaan Parakbada, Katulampa, Kota Bogor, Provinsi Jawa

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PRODUK KOPI HERBAL INSTAN TERPRODUKSI OLEH UD. SARI ALAM

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PRODUK KOPI HERBAL INSTAN TERPRODUKSI OLEH UD. SARI ALAM ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PRODUK KOPI HERBAL INSTAN TERPRODUKSI OLEH UD. SARI ALAM Financial Feasibility Study of Herbal Instan Coffee Produced by UD. Sari Alam Hilda Rosmalia Saida 1), Nurhayati Nurhayati

Lebih terperinci

C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN

C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabe berasal dari Amerika Tengah dan saat ini merupakan komoditas penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Hampir semua rumah tangga

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2011, bertempat di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Maju Bersama, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

MATERI 7 ASPEK EKONOMI FINANSIAL

MATERI 7 ASPEK EKONOMI FINANSIAL MATERI 7 ASPEK EKONOMI FINANSIAL Analisis kelayakan finansial adalah alat yang digunakan untuk mengkaji kemungkinan keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman modal. Tujuan dilakukan analisis kelayakan

Lebih terperinci

BOKS 2 PENELITIAN POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA MIKRO KECIL INDUSTRI KECIL BATU BATA DI SULAWESI TENGGARA

BOKS 2 PENELITIAN POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA MIKRO KECIL INDUSTRI KECIL BATU BATA DI SULAWESI TENGGARA 2 PENELITIAN POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA MIKRO KECIL INDUSTRI KECIL BATU BATA DI SULAWESI TENGGARA Kesenjangan informasi (asymmetric information) antara produk perbankan beserta persyaratan yang

Lebih terperinci

industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, Peningkatan pengembangan sektor pertanian menuntut perhatian khusus dari

industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, Peningkatan pengembangan sektor pertanian menuntut perhatian khusus dari I. A. Latar Belakang dan Masalah Perioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN KONSEPTUAL Gambir merupakan salah satu produk ekspor Indonesia yang prospektif, namun hingga saat ini Indonesia baru mengekspor gambir dalam bentuk gambir asalan.

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang berhubungan dengan penelitian studi kelayakan usaha pupuk kompos pada Kelompok Tani

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan dan Investasi Studi kelayakan diadakan untuk menentukan apakah suatu usaha akan dilaksanakan atau tidak. Dengan kata lain

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Manfaat dan Biaya Dalam menganalisa suatu usaha, tujuan analisa harus disertai dengan definisi-definisi mengenai biaya-biaya dan manfaat-manfaat.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian. III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti, serta penting untuk memperoleh

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan sistem menghasilkan Model Strategi Pengembangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yang merupakan suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kota depok yang memiliki 6 kecamatan sebagai sentra produksi Belimbing Dewa. Namun penelitian ini hanya dilakukan pada 3 kecamatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tanaman kopi rakyat sebagian besar merupakan tanaman tua, tanaman semaian dari bibit tanaman lokal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan Teknologi Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu mengalami perkembangan

Lebih terperinci

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: IDENTIFIKASI LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN GULA MERAH LONTAR DI KABUPATEN JENEPONTO

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: IDENTIFIKASI LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN GULA MERAH LONTAR DI KABUPATEN JENEPONTO IDENTIFIKASI LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN GULA MERAH LONTAR DI KABUPATEN JENEPONTO SYAHMIDARNI AL ISLAMIYAH Email : syahmi1801@gmail.com Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci