Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya"

Transkripsi

1

2 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2012 ISBN Nomor Publikasi Nomor Katalog Ukuran Buku Jumlah Halaman : : : : 25,7 Cm x 18,2 Cm : 81 + viii Naskah : Seksi Statistik Sosial Gambar kulit dan seting : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Diterbitkan : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya

3

4

5 Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2012 i

6 Kata Pengantar Atas perkenan Allah SWT edisi ketujuh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bandung Tahun 2012 dapat dipublikasikan. Kegiatan ini terwujud atas kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung. Pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Bandung dibahas berdasarkan masing-masing indikator pembentuknya, yaitu pengukuran pencapaian di bidang kesehatan; pengukuran keberhasilan di bidang pendidikan; dan penghitungan pencapaian di bidang ekonomi. Beberapa penyesuain terkait metodologi penghitungan terus dilakukan. Salah satunya adalah penghitungan indeks kesehatan yang mengggunakan metode yang digunakan pada tahun 2010 dan sebelumnya, sedangkan indeks daya beli menggunakan metode yang disesuaikan pada tahun Kepada semua pihak di lingkup Pemerintah Kabupaten Bandung yang telah mendukung penyusunan publikasi ini disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Disadari bahwa sajian publikasi ini masih perlu disempurnakan. Oleh karena itu, tanggapan serta saran-saran sangat kami harapkan. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung. Soreang, Desember KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG, Ir. R. BASWORO WAHYU UTOMO NIP Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2012 ii

7 DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii iii v vi BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Ruang Lingkup dan Sumber Data BAB II. METODOLOGI Metode Pengumpulan Data 2.2. Kerangka Sampel 2.3. Pengertian Indikator 2.4. Indikator Pembangunan manusia 2.5. Metode Penghitungan IPM 2.6. Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM 2.7. Ukuran Perkembangan IPM 2.8. Beberapa Definisi Operasional Indikator Terkait BAB III. PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN Kondisi Kesehatan 3.2. Capaian Derajat Kesehatan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2012 iii

8 BAB IV. PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG PENDIDIKAN Kondisi Pendidikan 4.2. Capaian Pendidikan Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah BAB V. PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG EKONOMI Kondisi Ekonomi Masyarakat 5.2. Capaian Daya Beli BAB VI. PENCAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BANDUNG 6.1. Capaian IPM Kabupaten 6.2. Capaian IPM Kecamatan BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 7.2. Saran LAMPIRAN Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2012 iv

9 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP) 9 Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM 10 Tabel 3.1. Angka kematian bayi (AKB) dan Rata rata Umur Parkawinan Pertama Wanita di Kabupaten Bandung tahun Tabel 5.1. Persentase Lapangan Pekerjaan Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas di kabupaten Bandung Tahun Tabel 6.1. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Tahun Lampiran 1 Indikator Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Menurut Kecamatan, Tahun Lampiran 2 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Menurut Kecamatan, Tahun Lampiran 3 Indikator Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Menurut Kecamatan, Tahun Lampiran 4 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Menurut Kecamatan, Tahun Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2012 v

10 DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 3.2. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 3.3. Presentase Balita Menurut Lamanya diberi ASI di Kabupaten Bandung tahun 2012 Gambar 3.4. Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 3.5. Persentase Lamanya Sakit Penduduk Kabupaten Bandung Tahun Gambar 3.6. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup(AHH) di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 3.7. Analisis Derajat Kesehatan 28 Gambar 3.8. Perubahan Angka Harapan Hidup di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 3.9. Pencapaian Angka Harapan Hidup di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.1. Angka Partisipasi Kasar (APK) Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.2. Angka Partisipasi Kasar (APK) Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.3. Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2012 vi

11 Gambar 4.4. Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.5. Perbandingan APK dan APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.6. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.7. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.8. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.9. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.10 Pencapaian Angka Melek Huruf Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 4.11 Pencapaian Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 5.1 Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Tahun Gambar 5.2 Angka Beban Ketergantungan Penduduk Kabupaten Bandung Tahun Gambar 5.3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Kesempatan Kerja, dan Pengangguran Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung Tahun Gambar 5.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Kesempatan Kerja, dan Pengangguran di Kabupaten Bandung Tahun Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2012 vii

12 Gambar 5.5 Daya Beli Penduduk Kabupaten Bandung Tahun Gambar 5.6 Pertumbuhan Indeks Daya Beli Penduduk Kabupaten Bandung Tahun Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2012 viii

13 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan yang seimbang antara pembangunan fisik dan pembangunan sumber daya manusia merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kabupaten Bandung. Hal tersebut didorong oleh keinginan untuk percepatanpeningkatan derajat SDM Kabupaten Bandung, sehinggamasyarakat Kabupaten Bandung akan mampu bersaing secara regional maupun nasional baikdibidang pendidikan, kesehatan, maupun daya beli masyarakat. Pencapaian angka IPM Kabupaten Bandungmasih mungkin untuk ditingkatkan, bahkan mampu bersaing dengan kabupaten/kota sekitarnya. Langkah yang harus diambil adalah denganarah kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Bandung yang mampu menjawab permasalahan regional yang telah terpetakan. Keberhasilan pencapaian pembangunan di wilayah Kabupaten Bandung secara bersamaan akan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan pembangunan manusia. Capaian hasil pembangunan baik secara fisik maupun pembangunan manusia harus terus menerus dipantau dan dievaluasi. Untuk mengukur keberhasilan peningkatan pembangunan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas hidup manusia, maka diperlukan pengukuran menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Munculnya pengukuran IPM karena terjadi pergeseran dalam kebijakan pembangunan yang menyebabkan pengukuran hasil-hasil pembangunan perlu disesuaikan dan terukur terhadap upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Keberhasilan pembangunan bukan hanya sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih jauh lagi terjadinya pembangunan menjadikan manusia kearah hidup yang lebih baik. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

14 1.2. TUJUAN IPM atau Human Development Index (HDI) telah dikembangkan oleh United Nations Development Program (UNDP).IPM sangat perlu dievaluasi dalam pembangunan suatu daerahkarena IPM dapat memberikan informasi sampai seberapa besar setiap pencapaian peningkatan hasil pembangunan memberikan kontribusi positifterhadapkesejahteraan masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonominya. IPM merupakan suatu indeks yang menunjukkan tentang aspek-aspek: peluang hidup panjang dan sehat,mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai, serta hidup layak. Secara tegas IPM tersebut menggambarkan kemudahan dalam memperoleh akses terhadap aspek sosial, budaya, dan aspek ekonomi. Pembangunan manusia harus dipahami sebagai salah satu output penting dalam suatu proses perencanaan pembangunankarena IPM merupakan urutan skala kualitas pembangunan manusia yang mengukur keberhasilan pembangunan. Indikator IPM Kabupaten Bandung per kecamatan akan dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan dan sebagai bahan perencanaan pembangunan dengan segenap intervensinya agar pencapaian pembangunan memiliki sinergi terhadap peningkatan kualitas masyarakatnya RUANG LINGKUP DAN SUMBER DATA Data yang digunakan dalam penghitungan IPM merupakan data primer. Salah satu data pokok yang sangat penting dalam penghitungan IPM adalah data hasil Survei Khusus IPM. Selain itu dilakukan perbandingan terukur terhadap data sekunder dan diperkuat dengan pengumpulan hasil survei lainnya, termasuk survei harga di Jakarta Selatan yang telah distandarisasi UNDP. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

15 BAB II METODOLOGI 2.1. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dari rumahtangga terpilih dilakukan melalui survei dengan wawancara langsung antara petugas dengan responden. Keterangan mengenai rumahtangga dapat dikumpulkan melalui wawancara dengan kepala rumahtangga, suami/istri kepala rumahtangga atau anggota rumahtangga lain yang mengetahui karakteristik yang ditanyakan Kerangka Sampel Kerangka sampel yang digunakan dalam IPM yaitu dilakukan secara bertahap, dengan tahapan sebagai berikut: a. Pertama; dilakukan pemilihan sampel kecamatan dan desa/kelurahan (seluruh kecamatan dan desa/kelurahan yang berada di Kabupaten Bandung terpilih sebagai sampel). Selanjutnya dilakukan pengurutan nomor blok sensus (wilayah pencacahan)yang ada di seluruh desa/kelurahan. Pengurutan ini dilakukan untuk menjamin bahwa setiap blok sensus yang ada dalam suatu desa/kelurahan mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. b. Kedua; memilih blok sensus. Pemilihan blok sensus ini dilakukan dengan cara probability sampling (penarikan sampel berpeluang). Adapun yang menjadi sampling frame untuk penarikan sampel blok sensus ini adalah jumlah penduduk hasil sensus penduduk tahun c. Ketiga; pemilihan rumahtangga pada kelompok blok sensus yang terpilih sampel. Pemilihan rumahtangga dilakukan secara proposional terhadap lima strata pendidikan kepala rumahtangga, sehingga rumahtangga yang terpilih diharapkan merupakan sampel yang representatif dari seluruh rumahtangga. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

16 2.3. Pengertian Indikator Petunjuk yang memberikan indikasi tentang sesuatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut disebut juga sebagai Indikator. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabelvariabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: a. Sahih (Valid); indikator harus dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut. b. Objektif; untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda. c. Sensitif; perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator. d. Spesifik; indikator hanya mengukur perubahan situasi yang dimaksud. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benarbenar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat. Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) yang isinya terdiri dari satu indikator, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) dan bersifat jamak (indikator komposit) yang merupakan gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu Angka Melek Huruf (AMH), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Harapan Hidup dari anak usia 1 tahun (e 1). Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok indikator, yaitu: a. Indikator Input; yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program, seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio puskesmas. b. Indikator Proses; yang menggambarkan bagaimana proses pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), ratarata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

17 c. Indikator Output/Outcome; yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SLTA ke atas, Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Harapan Hidup (AHH), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), dan lain-lain Indikator-IndikatorPembangunan Manusia Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah, tentunya diperlukan data-data yang up to date dan akurat. Data-data yang disajikan diharapkan sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut. Dalam konteks tersebut diperlukan ukuran-ukuran yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu perlu kiranya diketengahkan mengenai berbagai ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan. Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan, dan peningkatan kegiatan olahraga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Namun demikian, seperti dikatakan Azwini, Karomo, dan Prijono (1988:469), tolok ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, tidak termasuk kualitas non fisik. Kesulitan muncul terutama karena untuk menilai keberhasilan pembangunan nonfisik indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit. Salah satu pengukuran taraf kualitas fisik penduduk yang banyak digunakan adalah Indeks Mutu Hidup (IMH). Ukuran ini sebenarnya banyak mendapat kritik (Hicks and Streeten, 1979; Rat, 1982; Holidin, 1993a dan Holidin 1993b) karena mengandung beberapa kelemahan, terutama yang menyangkut aspek statistik dari keterkaitan antar variabel yang digunakannya. Terlepas dari kelemahan tersebut, ada nilai lebih dari IMH yang Indeks Pembangunan Manusia Tahun

18 membuat indikator ini banyak digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan program pembangunan pada satu wilayah. Nilai lebih dari IMH ini adalah kesederhanaan didalam penghitungannya. Disamping itu, data yang digunakan untuk menghitung IMH ini pada umumnya sudah banyak tersedia. IMH bisa dihitung dengan mudah setiap tahun untuk setiap wilayah (nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota), sehingga dapat dilakukan perbandingan antar wilayah. Sejalan dengan makin tingginya intensitas dalam permasalahan pembangunan, kesederhanaan IMH pada akhirnya kurang mampu untuk menjawab tuntutan perkembangan pembangunan yang semakin kompleks. Untuk itu perlu indikator lain yang lebih reprensentatif dengan tuntutan permasalahan. Dalam kaitan ini, indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu alternatif yang bisa diajukan. Indikator ini, disampaing mengukur kualitas fisik tercermin dari Angka Harapan Hidup; juga mengukur kualitas non fisik (intelektualitas) melalui lamanya rata-rata penduduk bersekolah dan angka melek huruf; juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat di wilayah itu tercermin dari nilai purcashing power parity index(ppp). Jadi, indikator IPM terasa lebih komprehensif dibandingkan dengan IMH Metode Penghitungan IPM Perkembangan pembangunan manusia secara berkelanjutan diperlukan satu set indikator komposit yang cukup representatif. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; serta hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang Indeks Pembangunan Manusia Tahun

19 didasarkan pada purchasing power parity (paritas daya beli dalam rupiah). Usia hidup diukur dengan Angka Harapan Hidup atau e 0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Sebagai catatan, UNDP dalam publikasi tahunan Human Development Report(HDR). Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara. Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut: a. Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita (=A). b. Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) ibukota propinsi yang sesuai (=B). c. Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP) /unit ). Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara. d. Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi. e. Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C). f. Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C. Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus: Indeks Pembangunan Manusia Tahun

20 E ( i, j ) j PPP / unit = (p ( 9, j ). q ( i, j )) j Dimana, E ( i, j ) : pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut: a. Lantai: keramik, marmer, atau granit = 1, lainnya = 0. b. Luas lantai per kapita: > 10m 2 = 1, lainnya = 0. c. Dinding:tembok = 1, lainnya = 0. d. Atap: kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0. e. Fasilitas penerangan: listrik = 1, lainnya = 0. f. Fasilitas air minum: leding = 1, lainnya = 0. g. Jamban: milik sendiri = 1, lainnya = 0. h. Skor awal untuk setiap rumah = 1. Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh P ( 9, j ) : harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan) q ( i,j ) : jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di kabupaten ke-i suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit. Rumus Atkinson (dikutip dari Arizal Ahnaf, dkk; 1998: 129) yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut: C (i)* = C (i) jika C (i)< Z = Z + 2(C (i) Z) (1/2) jika Z < C (i ) < 2Z = Z + 2(Z) (1/2) + 3(C (i) 2Z) (1/3) jika 2Z < C (i) < 3Z = Z + 2(Z) (1/2) + 3(Z) (1/3) + 4(C (i) 3Z) (1/4) jika 3Z < C (i) < 4Z Indeks Pembangunan Manusia Tahun

21 Dimana, C (I) : Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 5) Z : Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp ,- per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari Tabel 2.1. Daftar Komoditi Terpilih Untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP) Komoditi Unit Sumbangan terhadap total konsumsi(%) *) [1] [2] [3] 1. Beras lokal Kg Tepung terigu Kg Ketela pohon Kg Ikan tongkol/tuna/cakalang Kg Ikan teri Ons Daging sapi Kg Daging ayam kampung Kg Telur ayam Butir Susu kental manis 397 gram Bayam Kg Kacang panjang Kg Kacang tanah Kg Tempe Kg Jeruk Kg Pepaya Kg Kelapa Butir Gula pasir Ons Kopi bubuk Ons Garam Ons Merica/lada Ons Mie instant 80 gram Rokok kretek filter 10 batang Listrik Kwh Air minum M Bensin Liter Minyak tanah Liter Sewa rumah Unit Total Sumber: Badan Pusat Statistik Indeks Pembangunan Manusia Tahun

22 2.6. Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf, dkk (1998: 129) dapat disajikan sebagai berikut : IPM = 1/3 (X (1) + X (2) + X (3)) Dimana, X (1) : Indeks Harapan Hidup X (2) : Indeks Pendidikan = 2/3 (Indeks Melek Huruf) + 1/3 (Indeks Rata-rata Lama Sekolah) X (3) : Indeks Standar Hidup Layak Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut: Indeks X(i) = (X (i) - X (i)min) / (X (i)maks - X (i)min) Dimana, X (i) : Indikator ke-i (i = 1,2,3) X (i)maks : Nilai maksimum X (i) X (i)min : Nilai minimum X (i) Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X (i) disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator Komponen Nilai Nilai Catatan IPM (=X(I)) maksimum Minimum [1] [2] [3] [4] Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata lama sekolah 15 0 Konsumsi per kapita yang disesuaikan a) b) Sesuai standar global (UNDP) Sesuai standar global (UNDP) Sesuai standar global (UNDP) UNDP menggunakan PDB per kapita riil yang disesuaikan Indeks Pembangunan Manusia Tahun

23 Catatan: a. Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun b. Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua Ukuran Perkembangan IPM Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM=100). Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) dikutip dari Arizal Ahnaf, dkk (1998: 141) dapat dirumuskan sebagai berikut: (IPM t+n IPM t) x 10 1/n r = (IPM ideal IPM t) Dimana, IPM t : IPM pada tahun t IPM t+n IPM ideal : 100 : IPM pada tahun t + n 2.8. Beberapa Definisi Operasional Indikator Terkait Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimplementasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah: Rasio jenis kelamin, Perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100. Angka ketergantungan, Perbandingan antara jumlah penduduk usia < 15 tahun ditambah Indeks Pembangunan Manusia Tahun

24 usia > 65 tahun terhadap penduduk usia tahun, dikalikan 100. Rata-rata Lama Sekolah, Lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun ke atas. Angka Melek Huruf, Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya). Angka Partisipasi Murni SD, Proporsi penduduk usia 7-12 tahun yang sedang bersekolah di SD. Angka Partisipasi Murni SLTP, Proporsi penduduk usia tahun yang sedang bersekolah di SLTP. Angka partisipasi Murni SLTA, Proporsi penduduk usia tahun yang sedang bersekolah di SLTA. Persentase penduduk dengan pendidikan SLTP ke atas, Proporsi penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jumlah penduduk usia sekolah, Banyaknya penduduk yang berusia antara 7-24 tahun. Bekerja, Melakukan kegiatan/pekerjaan paling sedikit 1 (satu) jam berturut-turut selama seminggu dengan maksud untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pekerja keluarga yang tidak dibayar termasuk kelompok penduduk yang bekerja. Angkatan Kerja, Penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Perbandingan angkatan kerja terhadap penduduk usia 10 tahun. Angka Pengangguran Terbuka, Perbandingan penduduk yang mencari kerja terhadap angkatan kerja. Persentase pekerja yang setengah menganggur, Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri, Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri. Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja tidak tetap, Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja tak dibayar. Persentase pekerja dengan status berusaha dengan buruh tetap, Indeks Pembangunan Manusia Tahun

25 Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang berusaha dengan buruh tetap. Persentase pekerja dengan status berusaha pekerja tak dibayar, Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas dengan status pekerja keluarga. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga medis, Proporsi balita yang kelahirannya ditolong oleh tenaga medis (dokter, bidan dan tenaga medis lainnya). Angka Harapan Hidup waktu lahir, Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi, Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup. Persentase rumah tangga berlantai tanah, Proporsi rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan lantai tanah. Persentase rumah tangga beratap layak, Proporsi rumah tangga yang menempati rumah dengan atap layak (atap selain dari dedaunan). Persentase rumah tangga berpenerangan listrik, Proporsi rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan listrik. Persentase rumah tangga bersumber air minum leding, Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding. Persentase rumah tangga bersumber air minum bersih, Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum pompa/sumur/mata air yang jaraknya lebih besar dari 10 meter dengan tempat penampungan limbah kotoran terdekat. Persentase rumah tangga berjamban dengan tangki septik, Proporsi rumah tangga yang mempunyai jamban dengan tangki septik. Pengeluaran, Pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Gini Rasio, Ukuran kemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Nilai Indeks Pembangunan Manusia Tahun

26 Gini Rasio terletak antara 0 yang mencerminkan kemerataan sempurna dan 1 yang menggambarkan ketidakmerataan sempurna. Penduduk miskin, Penduduk yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan setara 2100 kalori dan kebutuhan non makanan yang mendasar. Garis Kemiskinan, Suatu batas dimana penduduk dengan pengeluaran kurang dari batas tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu komponen batas kecukupan pangan (GKM) dan komponen batas kecukupan non makanan (GKNM). Indeks Pembangunan Manusia Tahun

27 BAB III PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN 3.1. Kondisi Kesehatan Kondisi kesehatan di Kabupaten Bandung mengalami perkembangan yang sangat berarti dalam beberapa tahun terakhir.perkembangan ini meperlihatkan dampak dari ekspansi penyediaan fasilitas kesehatan publik serta dampak dari program keluarga berencana. Meski demikian masih terdapat tantangan baru sebagai akibat perubahan sosial dan ekonomi. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai halhal yang memengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain. Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry Green dan para koleganya yang menulis bahwa pendidikan kesehatan adalah kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Departemen Kesehatan telah mencanangkan visi pembangunan kesehatan yaitu tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut ditetapkan arah kebijakan bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial yang dirangkum ke dalam sembilan butir kebijakan sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Indeks Pembangunan Manusia Tahun

28 (Propenas). Dari kesembilan butir tersebut salah satunya adalah meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, memelihara dan meningkatkan mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM). Selanjutnya kebijakan tersebut dijabarkan dalam tujuh program kesehatan pokok antara lain: peningkatan lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat, upaya kesehatan, perbaikan gizi masyarakat, peningkatan kemampuan dan pengadaan sumber daya kesehatan, dan lain-lain. Kabupaten Bandung mempunyai wilayah yang cukup luas sehingga upaya peningkatan derajat kesehatan untuk penurunan angka kematian bayi sangat membutuhkan perhatian lebih dan kerja keras. Terutama dalam melakukan intervensi problem-problem kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi, dan anak. Pada daerah-daerah yang memiliki persebaran AKB yang cukup tinggi, terutama terjadi di wilayah Bandung Selatan, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan harus tetap diprioritaskan. Kondisi yang cukup menggembirakan dapat dilihat pada gambar 3.1. mengenai persentase balita berdasarkan penolong pertama kelahiran. Pada tahun 2008 penanganan persalinan oleh tenaga non nakes sebesar 37,17 persen persalinan yang dibantu dukun bersalin dan 0,41 persen dibantu oleh non nakes lainnya. Pada tahun 2009 persalinan oleh dukun bersalin dapat diturunkan menjadi 36,18 persen dan 0,27 persen oleh tenaga non nakes lainnya. Pada tahun 2010 persalinan oleh dukun bersalin meningkat kembali menjadi 42,94 persen dan oleh non nakes lainnya sebesar 0,70 persen. Pada tahun 2011 persalinan oleh dukun bersalin dapat diturunkan menjadi 25,31 persen dan oleh non nakes lainnya tetap sebesar 0,70 persen. Pada tahun 2012 persalinan oleh dukun bersalin dapat diturunkan menjadi 22,01 persen dan oleh non nakes lainnya sebesar 0,19 persen. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

29 Gambar 3.1. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun Dokter Bidan Nakes Dukun Lainnya Lain ,42 57,57 0,43 37,17 0, ,59 57,51 0,45 36,18 0, ,88 47,87 0,61 42,94 0, ,08 68,91 0,00 25,31 0, ,88 70,59 1,33 22,01 0,19 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Gambar 3.2. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun Dokter Bidan Nakes Dukun Lainnya Lain ,98 60,54 0,63 31,86 1, ,94 59,01 0,45 34,43 0, ,80 48,46 0,41 41,80 1, ,40 72,41 0,31 21,88 0, ,21 69,26 1,71 21,63 0,19 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Indeks Pembangunan Manusia Tahun

30 Selain itu, mengenai persentase balita berdasarkan penolong terakhir kelahiran dapat dilihat pada gambar 3.2. Pada tahun 2008 penanganan persalinan oleh tenaga non nakes sebesar 31,86persen persalinan yang dibantu dukun bersalin dan 1,99 persen dibantu oleh non nakes lainnya. Pada tahun 2009 persalinan oleh dukun bersalin meningkat menjadi 34,43 persen dan oleh tenaga non nakes lainnya menurun menjadi 0,17 persen. Pada tahun 2010 persalinan oleh dukun bersalin meningkat menjadi 41,80 persen dan oleh non nakes lainnya sebesar 1,53 persen. Pada tahun 2011 persalinan oleh dukun bersalin dapat diturunkan menjadi 21,88 persen dan oleh non nakes lainnya sebesar 0,00 persen. Pada tahun 2012 persalinan oleh dukun bersalin dapat diturunkan menjadi 21,63 persen dan oleh non nakes lainnya sebesar 0,19 persen. Pada gambar 3.1. dan 3.2.juga terlihat bahwa pada lima tahun terakhir terlihat banyak terjadi kasus rujukan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi kepada bidan atau dokter. Pada tahun 2008penolong pertama kelahiran oleh dukun bayi sebesar 37,17 persen dan penolong terakhir kelahiran menurun menjadi 31,86 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 4,98 persen dari penolong pertama kelahiran 4,42 persen.penolong terakhir persalinan oleh bidan meningkat menjadi 60,54 persen dari penolong pertama kelahiran 57,57 persen. Pada tahun 2009 penolong pertama kelahiran oleh dukun bayi sebesar 36,18 persen dan penolong terakhir kelahiran menurun menjadi 34,43 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 5,94 persen dari penolong pertama kelahiran 5,59 persen. Penolong terakhir persalinan oleh bidan meningkat menjadi 59,01 persen dari penolong pertama kelahiran 57,51 persen. Pada tahun 2010 penolong pertama kelahiran oleh dukun bayi sebesar 42,94 persen dan penolong terakhir kelahiran menurun menjadi 41,80 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter menurun menjadi 7,80 persen dari penolong pertama kelahiran 7,88 persen. Penolong terakhir persalinan oleh bidan meningkat menjadi 48,46 persen dari penolong pertama kelahiran 47,87 persen. Pada tahun 2011 penolong pertama kelahiran oleh dukun bayi sebesar 25,31 persen dan penolong Indeks Pembangunan Manusia Tahun

31 terakhir kelahiran menurun menjadi 21,88 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 5,40 persen dari penolong pertama kelahiran 5,08 persen. Penolong terakhir persalinan oleh bidan meningkat menjadi 72,41 persen dari penolong pertama kelahiran 68,91 persen.pada tahun 2012penolong pertama kelahiran oleh dukun bayi sebesar 22,01 persen dan penolong terakhir kelahiran menurun menjadi 21,63 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 7,21 persen dari penolong pertama kelahiran 5,88 persen. Penolong terakhir persalinan oleh bidan meningkat menjadi 69,26 persen dari penolong pertama kelahiran 70,59 persen. Penanganan persalinan oleh non nakes memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan pasca persalinan yang kurang baik dibandingkan dengan persalinan yang ditolong oleh tenaga nakes seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis. Oleh karena itu, peranan tenaga medis dalam pertolongan persalinan harus terus ditingkatkan. Karena berbagai hal, masyarakat masih menggunakan bantuan dukun beranak pada proses persalinan. Maka upaya untuk meningkatkan kualitas penanganan persalinan agar dilakukan, baik dengan cara pelatihan bagi dukun beranak, maupun kemitraan dukun beranak dengan nakes. Dengan adanya program Jampersal (Jaminan Persalinan) diharapkan ibu dapat melahirkan dengan selamat di bidan atau tenaga kesehatan, sehingga bayi lahir dengan mendapatkan prosedur pelayanan yang standar dan lebih aman dalam penanganan ibu dan bayi baik sebelum, melahirkan maupun pasca melahirkan. Berdasarkan data Suseda dan Survei Khusus IPM selama lima tahun terakhir, dapat dilihat pada tabel 3.1. rata-rata umur perkawinan pertama wanita di Kabupaten Bandung adalah 22 tahun. Tahun 2008 rata-rata umur perkawinan pertama adalah 22,27 tahun. Tahun 2009 rata-rata umur perkawinan pertama meningkat menjadi 22,56 tahun. Tahun 2010 rata-rata umur perkawinan pertama menurun menjadi 22,35 tahun. Tahun 2011 rata-rata umur perkawinan pertama menurun menjadi 22,03 tahun. Tahun 2012 rata-rata umur perkawinan pertama menurun menjadi 21,64. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

32 Tabel 3.1. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Rata-rata Umur Perkawinan Pertama Wanita di Kabupaten Bandung, Tahun Tahun AKB Rata-rata Umur Perkawinan Pertama (tahun) [1] [2] [3] ,36 22, ,02 22, ,75 22, ,17 22, ,05 21,64 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Angka Kematian bayi selama lima tahun terakhir mengalami penurunan. Pada tahun 2008 Angka Kematian bayi sebesar 37 bayi. Pada tahun 2009 Angka Kematian bayi menurun menjadi 36 bayi. Pada tahun 2010, 2011, dan 2012 Angka Kematian bayi menurun menjadi 34 bayi. Pencapaian AHH dan AKB juga berkaitan erat dengan tingkat pendidikan keluarga terutama ibu. Usia perkawinan pertama yang semakin meningkat, akan membuat wanita semakin dewasa dalam membina rumahtangganya, termasuk dalam perilaku kesehatannya. Pada saat mempunyai keturunan, wanita dewasa dan berpendidikan cukup akan berusaha memberikan yang terbaik bagi bayinya, termasuk dalam pemberian ASI. Tinggi rendahnya AKB dapat disebabkan faktor penanganan pada saat persalinan dan pengaruh usia perkawinan pertama, juga dipengaruhi oleh kualitas gizi berupa pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan, serta pemberian imunisasi.berdasarkan data Survei Khusus IPM 2012 pada gambar 3.3. umumnya balita telah diberi ASI selama kurun waktu diatas satu tahun sebesar 87,40 persen. Dari balita yang pernah diberi ASI, sebanyak 6,20 persen diberi ASI kurang dari 6 bulan dan 12,60 persen diberi ASI hanya sampai berumur satu tahun. Sebagian besar balita diberi ASI sampai berumur diatas dua tahun sebesar 47,87 persen. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

33 Gambar 3.3. Persentase Balita Menurut Lamanya Diberi ASI di Kabupaten Bandung, Tahun 2012 > 24bulan 47,87% 1-5 bulan 6,20% 6-11 bulan 6,40% bulan 11,82% bulan 27,71% Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Pemberian ASI yang seharusnya didapat seorang anak dengan berbagai keunggulannya, mungkin saja tidak dapat dilakukan kerena bebagai alasan, seperti meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar, atau keluar tapi volumenya tidak mencukupi kebutuhan bayi. Asupan gizi lain bisa diberikan sebagai makanan pendamping ASI. Tubuh manusia memerlukan makanan untuk menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan gizi bervariasi sesuai dengan tingkatan umur. Seiring dengan perkembangan usia, semakin besar, anak membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak. Kebutuhan gizi remaja akan berbeda dengan bayi dan balita, sama halnya dengan kebutuhan gizi dewasa akan berbeda dengan kebutuhan gizi remaja maupun orang tua. Orang yang mengalami kekurangan zat gizi berpeluang besar mengalami hambatan dalam pertumbuhan, baik itu fisik maupun mental. Secara lahiriah salah satunya dapat terlihat dari ukuran tubuh dibawah rata-rata ukuran tubuh normal, kurangnya kecerdasan, selalu lesu, mata minus, dan berbagai permasalahan akibat kurang gizi lainnya. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

34 Pada gambar 3.4. terlihat bahwa penduduk yang mengalami keluhan kesehatan cenderung meningkat pada tahun 2012 apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 lakilaki yang mengalami keluhan kesehatan sebesar 19,56 persen kemudian meningkat pada tahun 2009 sebesar 25,36 persen dan terus meningkat pada tahun 2010 sebesar 27,72 persen kemudian mengalami penurunan pada tahun 2011 sebesar 21,43 persen dan meningkat kembali pada tahun 2012 sebesar 23,32 persen. Pada tahun 2008 perempuan yang mengalami keluhan kesehatan sebesar 22,09 persen kemudian meningkat pada tahun 2009 sebesar 27,84 persen dan terus meningkat pada tahun 2010 sebesar 28,66 persen kemudian mengalami penurunan pada tahun 2011 sebesar 22,57 persen dan meningkat kembali pada tahun 2012 sebesar 25,20 persen.pada tahun 2008 rata-rata penduduk yang mengalami keluhan kesehatan sebesar 20,81 persen kemudian meningkat pada tahun 2009 sebesar 26,60 persen dan terus meningkat pada tahun 2010 sebesar 28,19 persen kemudian mengalami penurunan pada tahun 2011 sebesar 21,99 persen dan meningkat kembali pada tahun 2012 sebesar 24,25 persen.selama lima tahun terakhir persentase perempuan yang mengalami keluhan kesehatan lebih tinggi daripada laki-laki.peningkatan kasus keluhan kesehatan terjadi baik terhadap penduduk laki-laki, maupun penduduk perempuan. Gambaran di atas memberikan indikasi bahwa kualitas kesehatan pada tahun 2012 mengalami penurunan. Hal ini dapat merupakan akibat dari perubahan cuaca yang cukup ekstrim. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

35 Gambar 3.4. Persentase Penduduk Yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung Tahun ,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Laki-laki+Perempuan 20,81 26,60 28,19 21,99 24,25 Perempuan 22,09 27,84 28,66 22,57 25,20 Laki-Laki 19,56 25,36 27,72 21,43 23,32 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Gambar 3.5. Persentase Lamanya Sakit Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun Hari 3,98 3,49 8,15 5,46 2, Hari 2,94 1,45 3,11 2,88 1, Hari 5,99 6,14 10,01 5,23 4, Hari 40,01 36,02 40,43 37,51 31,61 = < 3 Hari 47,09 52,90 38,30 48,92 59,78 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Indeks Pembangunan Manusia Tahun

36 Persentase penduduk berdasarkan lamanya menderita sakit menunjukkan perbaikan. Persentase lamanya hari menderita sakit cenderung bergeser menjadi semakin singkat. Umumnya proses penyembuhan penyakit disekitar seminggu bahkan kurang dari seminggu. Berdasarkan gambar 3.5. selama lima tahun terakhir persentase lamanya menderita sakit kurang dari 3 hari pada tahun 2008 sebesar 47,09 persen meningkat tahun 2009 sebesar 52,90 persen dan menurun tahun 2010 sebesar 38,30 persen kemudian meningkat kembali tahun 2011 sebesar 48,92 persen dan terus meningkat tahun 2012 sebesar 59,78 persen. Persentase lamanya menderita sakit 4-7 hari pada tahun 2008 sebesar 40,01 persen menurun tahun 2009 sebesar 36,02 persen dan meningkat kembali tahun 2010 sebesar 40,43 persen kemudian menurun kembali tahun 2011 sebesar 37,51 persen dan terus menurun tahun 2012 sebesar 31,61 persen. Persentase lamanya menderita sakit 8-14 hari pada tahun 2008 sebesar 5,99 persen meningkat tahun 2009 sebesar 6,14 persen dan meningkat kembali tahun 2010 sebesar 10,01 persen kemudian menurun kembali tahun 2011 sebesar 5,23 persen dan terus menurun tahun 2012 sebesar 4,80 persen. Persentase lamanya menderita sakit hari pada tahun 2008 sebesar 2,94 persen menurun tahun 2009 sebesar 1,45 persen dan meningkat kembali tahun 2010 sebesar 3,11 persen kemudian menurun kembali tahun 2011 sebesar 2,88 persen dan terus menurun tahun 2012 sebesar 1,00 persen. Persentase lamanya menderita sakit hari pada tahun 2008 sebesar 3,98 persen menurun tahun 2009 sebesar 3,49 persen dan meningkat kembali tahun 2010 sebesar 8,15 persen kemudian menurun kembali tahun 2011 sebesar 5,46 persen dan terus menurun tahun 2012 sebesar 2,81 persen Capaian Derajat Kesehatan Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo) / Expectation of Life at Birth (e 0), Angka Kematian Bayi (AKB) / Infant Mortality Rate (IMR), angka kematian kasar, dan status gizi merupakan indikator yang mencerminkan derajat kesehatan. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

37 Dari indikator-indikator tersebut yang disepakati digunakan sebagai acuan untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo). Gambar 3.6. memperlihatkan bahwa selama periode tahun Angka Harapan Hidup cenderung mengalami peningkatan. Angka Harapan Hidup Kabupaten Bandung pada tahun 2008 sebesar 68,42 tahun meningkat pada tahun 2009 menjadi 68,94tahun terus meningkat pada tahun 2010, 2011, 2012 masing-masing sebesar 69,40 tahun;70,06 tahun; dan 70,28 tahun. Seiring dengan teori yang ada, Angka Harapan Hidup berbanding terbalik dengan angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi dibawah 1 tahun, kematian anak dibawah lima tahun dan kematian ibu). Makin tinggi kualitas kesehatan menyebabkan makin rendahnya angka kematian dan berakibat kepada meningkatnya harapan untuk hidup. Angka Kematian Bayi selama lima tahun terakhir terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008 Angka Kematian Bayi sebesar 37,36 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2009 Angka Kematian Bayi sebesar 36,02 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2010 Angka Kematian Bayi sebesar 34,75 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2011 Angka Kematian Bayi sebesar 34,17 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2012 Angka Kematian Bayi dapat ditekan sampai 34,05 bayi per 1000 kelahiran hidup. Artinya sepanjang rentang waktu lima tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan disegala bidang, termasuk didalamnya intervensi program kesehatan yang dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Bandung. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

38 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Gambar 3.6. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung, Tahun AHH 68,42 68,94 69,40 70,06 70,28 AKB 37,36 36,02 34,75 34,17 34,05 AHH AKB Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Menurut "B-Pichart classification", Stan D'Souza (1984) dalam Brotowasisto (1990), Angka kematian Bayi dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yaitu: 1. Daerah dengan AKB diatas 100 per seribu kelahiran bayi hidup sebagai daerah soft-rock, di mana sebagian besar kejadian kematian bayi disebabkan oleh penyakit menular. 2. Daerah dengan AKB per seribu kelahiran hidup dikategorikan sebagai daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya. 3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hardrock, yaitu hanya sebagian kecil saja kematian yang disebabkan oleh penyakit menular dan sebagian besar disebabkan oleh kelahiran bawaan atau congenital. Berdasarkan kriteria diatas, maka dengan tingkat kematian bayi yang terjadi pada tahun 2012, Kabupaten Bandung termasuk kategori daerah intermediaterock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

39 Menurut pendapat Singarimbun (1988: vii-viii) ada beberapa faktor yang memiliki kekuatan dalam menurunkan angka kematian, khususnya kematian bayi dan anak, yaitu: a. Adanya kemajuan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup; b. Adanya kemajuan teknologi kesehatan; c. Adanya kesadaran perbaikan sanitasi dan higiena; dan d. Adanya peningkatan persediaan makanan dan perbaikan gizi. Resiko kematian bayi lebih besar bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi dibandingkan dengan ibu yang memiliki gizi cukup. Pada umumnya kekurangan gizi berkorelasi positif dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Penyebab tingginya angka kematian bayi selain karena masalah infeksi/penyakit dan berat bayi lahir rendah, juga berkaitan erat dengan kondisi pada fase kehamilan, pertolongan kelahiran yang aman, dan perawatan bayi pada saat dilahirkan. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dengan menurunkan angka kematian khususnya angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan angka kematian balita. Selain itu perlu ditargetkan pula upaya meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan dan perilaku sehat pada masyarakat. Tujuan dari pembangunan manusia di bidang kesehatan adalah untuk mencapai umur panjang yang sehat.peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat diukur dari tingkat mortalitas dan morbiditas penduduknya. Menurut Henrik L. Blum, peningkatan derajat kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor penentu yaitu: faktor lingkungan berpengaruh sebesar 45 persen, perilaku kesehatan sebesar 30 persen, pelayanan kesehatan sebesar 20 persen, dan kependudukan/keturunan berpengaruh sebesar 5 persen. Peningkatan kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan merupakan faktor yang sangat memungkinkan untuk diintervensi dengan cepat, dan kontribusinya mencapai 65 persen. Sedangkan perubahan perilaku, meskipun dapat diintervensi, namun perubahannya memerlukan waktu yang cukup lama. Hubungan derajat kesehatan dengan keempat faktornya dapat dilihat pada gambar 3.7. sebagai berikut: Indeks Pembangunan Manusia Tahun

40 Gambar 3.7. Analisis Derajat Kesehatan Lingkungan 45 persen Keturunan 5 persen DERAJAT KESEHATAN Morbiditas & mortalitas Pelayanan Kesehatan 20 persen Sumber: Depkes RI Perilaku 30 persen Gambar 3.8. Perubahan Angka Harapan Hidup Kabupaten Bandung ,52 0,52 0,46 0,66 0, Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Pada gambar 3.8. dapat dilihat adanya fluktuasi perubahan Angka Harapan Hidup selama lima tahun terakhir. Perubahan Angka Harapan Hidup tahun dan sebesar 0,52; tahun sebesar 0,46; tahun sebesar 0,66 dan tahun sebesar 0,22. Jika dilihat menurut kecamatan, sebaran pencapaian Angka Harapan Hidup di tiap-tiap kecamatan belum begitu menggembirakan.masih cukup banyak kecamatan yang memiliki pencapaian Angka Harapan Hidup dibawah rata-rata Kabupaten Bandung. Menurut data IPM 2012 dari 31 kecamatan di Kabupaten Bandung, terdapat sekitar tujuh belas Indeks Pembangunan Manusia Tahun

41 kecamatan yang memiliki Angka Harapan Hidup di atas rata-rata kabupaten sedangkan empat belas kecamatan lainnya memiliki Angka Harapan Hidup di bawah rata-rata kabupaten. Pada gambar 3.9. dapat dilihat kecamatan yang memiliki Angka Harapan Hidup diatas rata-rata Kabupaten Bandung terdapat di Kecamatan Cileunyi, Kecamatan Rancaekek, Kecamatan Majalaya, Kecamatan Ibun, Kecamatan Banjaran, Kecamatan Cilengkrang, Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Soreang, Kecamatan Cangkuang, Kecamatan Baleendah, Kecamatan Margaasih, Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan Ciparay, Kecamatan Nagreg, Kecamatan Cimaung, dan Kecamatan Dayeuhkolot. Sedangkan kecamatan yang memiliki Angka Harapan Hidup dibawah rata-rata Kabupaten Bandung terdapat di Kecamatan Margahayu, Kecamatan Kutawaringin, Kecamatan Ciwidey, Kecamatan Arjasari, Kecamatan Katapang, Kecamatan Rancabali, Kecamatan Cimenyan, Kecamatan Bojongsoang, Kecamatan Paseh, Kecamatan Cicalengka, Kecamatan Kertasari, Kecamatan Pacet, Kecamatan Solokanjeruk, dan Kecamatan Cikancung. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar 3.9. berikut ini: Indeks Pembangunan Manusia Tahun

42 Gambar 3.9. Pencapaian Angka Harapan Hidup menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung, Tahun 2012 Cileunyi Rancaekek Majalaya Ibun Banjaran Cilengkrang Pasirjambu Pangalengan Soreang Cangkuang Baleendah Margaasih Pameungpeuk Ciparay Nagreg Cimaung Dayeuhkolot Kab. Bandung Margahayu Kutawaringin Ciwidey Arjasari Katapang Rancabali Cimenyan Bojongsoang Paseh Cicalengka Kertasari Pacet Solokanjeruk Cikancung 65,63 72,81 72,47 72,21 72,14 71,38 71,28 71,25 71,21 71,10 71,09 70,97 70,96 70,92 70,81 70,80 70,79 70,71 70,28 70,19 70,14 69,85 69,82 69,44 69,40 69,35 69,32 69,13 68,53 67,77 67,65 67,60 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Indeks Pembangunan Manusia Tahun

43 BAB IV PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG PENDIDIKAN 4.1. Kondisi Pendidikan Salah satu tujuan berbangsa dan bernegarasebagaimana diamanatkanpadapembukaan UUD 1945 adalah untuk, Mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan mulia tersebut hanya akan dapat dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan dalam ayat 2 ditegaskan bahwa: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk mengaktualisasikan amanah UUD 1945 tersebut, maka pemerintah Indonesia mengatur penyelenggaraan pendidikan melalui Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). UU No. 2 tahun 1989 dipandang tidak memadai lagi, serta perlu disempurnakan sesuai amanat perubahan UUD 1945 menjadi dasar pendidikan di Indonesia diselenggarakan sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 2003 sebagai pengganti. Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan UUD dan Pancasila yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sisdiknas dimaksudkan sebagai arah dan strategi pembangunan nasional bidang pendidikan. Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-program pembangunan yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan kebutuhan yang penting, apalagi menjelang globalisasi. Sumber Daya Manusia (SDM) yang Indeks Pembangunan Manusia Tahun

44 berkualitaslah yang akan mampu bersaing dengan SDM negara lain. Berkaitan dengan hal tersebut, baik pemerintah maupun seluruh stakeholders, serta institusi terkecil seperti rumahtangga, hendaknya menjadikan pendidikan menjadi kebutuhan utama. Pemerintah berkewajiban memfasilitasi hal tersebut, karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang maju. Untuk memperoleh gambaran partisipasi penduduk Kabupaten Bandung terhadap pendidikan, ditunjukkan dengan beberapa indikator, yaitu: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Indikator-indikator tersebut menunjukkan seberapa besar anak berusia tingkat pendidikan tertentu berada dalam lingkup pendidikan dan penyerapan dunia pendidikan formal terhadap penduduk usia sekolah. Angka partisipasi kasar menunjukkan proporsi anak sekolah baik laki-laki maupun perempuan pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum mengenai jumlah anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu, dan biasanya tidak memperhatikan umur siswa. APK suatu jenjang pendidikan mungkin saja mempunyai nilai lebih dari 100. Hal ini disebabkan oleh adanya siswa yang berusia di luar batasan usia sekolah (baik lebih muda ataupun lebih tua), namun bersekolah pada jenjang sekolah usia tersebut. Pada gambar 4.1. terlihat bahwa APK SD laki-laki sebesar 104,14; APK SD perempuan sebesar 101,36; dan APK SD laki-laki+perempuan sebesar 103,17. APK SLTP laki-laki sebesar 80,46; APK SLTP perempuan sebesar 94,80; dan APK SLTP laki-laki+perempuan sebesar 85,48. APK SLTA laki-laki sebesar 48,96; APK SLTA perempuan sebesar 48,59; dan APK SLTA laki-laki+perempuan sebesar 48,83. APK PT laki-laki sebesar 15,42; APK PT perempuan sebesar 10,15; dan APK PT laki-laki+perempuan sebesar 13,58. Dari sudut kesetaraan jender, pada setiap jenjang pendidikan, APK murid perempuan relatif sama dengan APK lakilaki. Artinya tidak ada perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

45 Gambar 4.1. APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2012 SD SLTP SLTA PT Laki-laki 104,14 80,46 48,96 15,42 Perempuan 101,36 94,80 48,59 10,15 Laki-laki + Perempuan 103,17 85,48 48,83 13,58 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Pada gambar 4.2. terlihat bahwa APK dari tahun pada setiap jenjang pendidikan mengalami fluktuasi. Untuk jenjang SD, APK pada tahun berturut-turut adalah 94,35; 105,69; 99,91; 101,09; dan 103,17. Untuk jenjang SLTP, APK pada tahun berturut-turut adalah 75,45; 88,20; 72,62; 82,95; dan 85,48. Untuk jenjang SLTA, APK pada tahun berturut-turut adalah 47,24; 59,61; 55,22; 39,91; dan 48,83. Untuk jenjang PT, APK pada tahun berturut-turut adalah 8,18; 8,24; 13,57; 8,05; dan 13,58. Pada tahun 2009 terlihar bahwa APK SD untuk kedua jenis kelamin di Kabupaten Bandung adalah 105,69 persen (lebih dari 100 persen). Artinya masih terdapat sekitar 5,69 persen penduduk diluar usia 7-12 tahun yang berstatus murid SD. Pada tahun 2011 terlihat bahwa APK SD untuk kedua jenis kelamin di Kabupaten Bandung adalah 101,09 persen (lebih dari 100 persen). Artinya masih terdapat sekitar 1,09 persen penduduk diluar usia 7-12 tahun yang berstatus murid SD.Pada tahun 2012 terlihat bahwa APK SD untuk kedua jenis kelamin di Kabupaten Bandung adalah 103,17 persen (lebih dari 100 persen). Artinya masih terdapat sekitar 3,17 persen penduduk diluar usia 7-12 tahun yang berstatus murid SD. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

46 Gambar 4.2. APK Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0, PT SD SLTP SLTA PT 8,18 8,24 13,57 8,05 13,58 SLTA 47,24 59,61 55,22 39,91 48,83 SLTP 75,45 88,20 72,62 82,95 85,48 SD 94,35 105,69 99,91 101,09 103,17 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Gambar 4.3. APM Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2012 SD SLTP SLTA PT Laki-laki 94,62 61,69 32,14 5,57 Perempuan 90,73 75,35 31,34 6,42 Laki-laki + Perempuan 93,26 66,47 31,86 5,87 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Indeks Pembangunan Manusia Tahun

47 Proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya dapat ditunjukan oleh Angka Partisipasi Murni (APM). APM selalu lebih rendah dibandingkan APK karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. APM membatasi usia siswa sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil. APM adalah indikator yang menunjukkan proporsi penduduk yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan dan usianya sesuai dengan usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut. APM yang bernilai 100 menunjukkan bahwa semua penduduk bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. Pada gambar 4.3. terlihat bahwa APM SD laki-laki sebesar 94,62; APM SD perempuan sebesar 90,73; dan APM SD laki-laki+perempuan sebesar 93,26. APM SLTP laki-laki sebesar 61,69; APM SLTP perempuan sebesar 75,35; dan APM SLTP laki-laki+perempuan sebesar 66,47. APM SLTA laki-laki sebesar 32,14; APM SLTA perempuan sebesar 31,34; dan APM SLTA laki-laki+perempuan sebesar 31,86. APM PT laki-laki sebesar 5,57; APM PT perempuan sebesar 6,42; dan APM PT laki-laki+perempuan sebesar 5,87. Pada gambar 4.4. terlihat bahwa APM dari tahun pada setiap jenjang pendidikan mengalami fluktuasi. Untuk jenjang SD, APM pada tahun berturut-turut adalah 75,30; 93,17; 86,55; 91,99; dan 93,26. Untuk jenjang SLTP, APM pada tahun berturut-turut adalah 41,87; 72,63; 51,55; 66,18; dan 66,47. Untuk jenjang SLTA, APM pada tahun berturut-turut adalah 41,61; 43,27; 29,49; 26,03; dan 31,86. Untuk jenjang PT, APM pada tahun berturut-turut adalah 8,92; 6,20; 8,11; 0,40; dan 5,87. Pada gambar 4.4. terlihat bahwa APM SD di Kabupaten Bandung pada tahun 2012 adalah sebesar 93,26 persen; artinya sekitar 93 persen siswa usia sekolah SD bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM SLTP di Kabupaten Bandung pada tahun 2012 adalah sebesar 66,47 persen; artinya sekitar 66 persen siswa usia sekolah SLTP bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM SLTA di Kabupaten Bandung pada tahun 2012 adalah sebesar 31,86 persen; Indeks Pembangunan Manusia Tahun

48 artinya sekitar 32 persen siswa usia sekolah SLTA bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM PT di Kabupaten sebesar 5,87 persen; artinya sekitar 6 persen siswa usia sekolah PT bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. Bandung pada tahun 2012 adalah Gambar 4.4. APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0, PT SD SLTP SLTA PT 8,92 6,20 8,11 0,40 5,87 SLTA 41,61 43,27 29,49 26,03 31,86 SLTP 41,87 72,63 51,55 66,18 66,47 SD 75,30 93,17 86,55 91,99 93,26 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Pada gambar 4.5. terlihat bahwa Ketidaksesuaian usia dengan jenjang pendidikan yang diikuti dapat dilihat dengan jelas dari selisih antara APK dan APM. Pada jenjang pendidikan SD, capaian APK SD Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebesar 103,17 persen; masih relatif cukup besar disparitasnya dengan capaian APM SD yang sebesar 93,26 persen. Kondisi tersebut Indeks Pembangunan Manusia Tahun

49 menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 9,91 persen murid yang bersekolah di SD tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (7-12 tahun). Besarnya kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah ada anak usia pra sekolah (di bawah usia 7 tahun) sudah sekolah di SD, dan ada siswa yang berusia 12 tahun keatas masih bersekolah di SD. Pada jenjang pendidikan SLTP, capaian APK SLTP Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebesar 85,48 persen; masih relatif cukup besar disparitasnya dengan capaian APM SLTP yang sebesar 66,47 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 19,01 persen murid yang bersekolah di SLTP tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (13-15 tahun). Besarnya kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah ada siswa di bawah usia 13 tahun sudah sekolah di SLTP, dan ada siswa yang berusia 15 tahun keatas masih bersekolah di SLTP. Pada jenjang pendidikan SLTA, capaian APK SLTA Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebesar 48,83 persen; masih relatif cukup besar disparitasnya dengan capaian APM SLTA yang sebesar 31,86 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 16,97 persen murid yang bersekolah di SLTA tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (16-18 tahun). Besarnya kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah ada siswa di bawah usia 16 tahun sudah sekolah di SLTA, dan ada siswa yang berusia 18 tahun keatas masih bersekolah di SLTA. Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai kesenjangan tersebut terjadi karena cukup banyaknya murid yang mengulang kelas karena hal ini erat hubungannya dengan kualitas pendidikan, dan kondisi ini dapat mengakibatkan terhambatnya pencapaian rata-rata lama sekolah dan pendidikan yang ditamatkan di masa mendatang. Pencapaian rata-rata lama sekolah di suatu daerah dewasa ini masih sangat tergantung kemajuan partisipasi murid pada pendidikan formal, utamanya pada jenjang pendidikan SLTP keatas. Dengan besaran APK pada jenjang pendidikan SLTP keatas di Kabupaten Bandung yang masih belum begitu menggembirakan, tampaknya diperlukan langkah-langkah terobosan dan akseleratif oleh segenap komponen, baik jajaran dinas pendidikan, swasta, dan masyarakat agar anak-anak usia sekolah dapat menikmati pendidikan secara baik dan berkelanjutan Indeks Pembangunan Manusia Tahun

50 (sustainable). Perlu diingat, bahwa penghitungan angka rata-rata lama sekolah dihitung hanya untuk golongan usia dewasa (15 tahun keatas). Sehingga apabila partisipasi sekolahnya rendah, maka pertumbuhan angka rata-rata lama sekolahnya cenderung rendah. Gambar 4.5. Perbandingan APK dan APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 APK APM PT 13,58 5,87 SLTA 48,83 31,86 SLTP 85,48 66,47 SD 103,17 93,26 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Pendidikan yang sedang diikuti digambarkan secara umum oleh Angka Partisipasi Sekolah (APS). Pada gambar 4.6. terlihat bahwa APS SD laki-laki sebesar 98,78; APS SD perempuan sebesar 98,03; dan APS SD lakilaki+perempuan sebesar 98,52. APS SLTP laki-laki sebesar 81,89; APS SLTP perempuan sebesar 78,93; dan APS SLTP laki-laki+perempuan sebesar 80,85. APS SLTA laki-laki sebesar 42,44; APS SLTA perempuan sebesar 45,62; dan APS SLTA laki-laki+perempuan sebesar 43,55. APS PT laki-laki sebesar 6,36; APS PT perempuan sebesar 7,71; dan APS PT laki-laki+perempuan sebesar 6,83. Gambar 4.6. memperlihatkan bahwa pada tahun 2012 APS penduduk Indeks Pembangunan Manusia Tahun

51 perempuan relatif lebih rendah dibandingkan APS penduduk laki-laki pada kelompok umur pendidikan SD dan SLTP, namun untuk kelompok umur pendidikan yang lebih tinggi, angka partisipasi perempuan lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan karena perempuan di Kabupaten Bandung sudah banyak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Adalah tugas bersama untuk membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan.banyak alasan yang harus terjawab, salah satunya adalah apakah pendidikan yang lebih tinggi dapat menjanjikannya masa depan bagi putra putri mereka? Dan apakah berpendidikan tinggi akan menjamin untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah? Gambar 4.6. APS Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan SD 98,78 98,03 98,52 SLTP 81,89 78,93 80,85 SLTA 42,44 45,62 43,55 PT 6,36 7,71 6,83 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Pada gambar 4.7. terlihat bahwa APS dari tahun pada setiap jenjang pendidikan mengalami fluktuasi. Untuk jenjang SD, APS pada tahun berturut-turut adalah 96,32; 99,20; 94,92; 98,87; dan 98,52. Untuk jenjang Indeks Pembangunan Manusia Tahun

52 SLTP, APS pada tahun berturut-turut adalah 83,98; 87,16; 78,53; 78,53; dan 80,85.Untuk jenjang SLTA, APS pada tahun berturut-turut adalah 42,61; 50,38; 40,88; 43,63; dan 43,55. Untuk jenjang PT, APS pada tahun berturut-turut adalah 7,18; 9,77; 10,44; 6,07; dan 6,83. Gambar 4.7. APS Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0, SD 96,32 99,20 94,92 98,87 98,52 SLTP 83,98 87,16 78,53 78,53 80,85 SLTA 42,61 50,38 40,88 43,63 43,55 PT 7,18 9,77 10,44 6,07 6,83 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Dunia kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, seolah-olah menggambarkan bahwa kesempatan masuk ke dunia kerja masih terbuka lebar meskipun dengan tingkat pendidikan yang relatif terbatas. Sehingga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa pendidikan tinggi belum menjadi jaminan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya kesempatan kerja di Kabupaten Bandung tidak saja dirasakan oleh mereka yang berpendidikan rendah, namun juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya guna membantu usaha orang tua atau meringankan beban ekonomi keluarga daripada menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

53 Gambar 4.8. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan Belum/Tidak Tamat SD 12,01 14,47 13,22 SD 32,58 36,11 34,32 SLTP 24,15 24,74 24,44 SLTA 24,38 19,50 21,98 PT 6,87 5,18 6,04 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Pada gambar 4.8. terlihat dari sisi pemerataan pendidikan khususnya bagi penduduk perempuan sudah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk laki-laki sampai dengan jenjang pendidikan SLTP. Namun untuk jenjang pendidikan SLTA keatas penduduk lakilaki relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perempuan. Untuk penduduk laki-laki usia 10 tahun keatas berdasarkan pendidikan yang ditamatkan terlihat bahwa yang belum/tidak tamat SD 12,01 persen; tamat SD 32,58 persen; tamat SLTP 24,15 persen; tamat SLTA 24,38 persen; dan tamatpt 6,87 persen. Untuk penduduk perempuan usia 10 Indeks Pembangunan Manusia Tahun

54 tahun keatas berdasarkan pendidikan yang ditamatkan terlihat bahwa yang belum/tidak tamat SD 14,47 persen; tamatsd 36,11 persen; tamatsltp 24,74 persen; tamatslta 19,50 persen; dan tamatpt 5,18 persen. Kondisi ini dapat dimaklumi, karena pada umumnya lokasi sekolah SLTA relatif lebih jauh, sehingga ada kecenderungan orang tua untuk lebih berani mengirimkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan untuk bersekolah ke tempat yang relatif jauh. Juga karena ada pemikiran bahwa suatu saat setelah dewasa, anak laki-laki lebih berkewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sehingga perlu bekal pendidikan yang cukup sebagai bekal untuk mencari nafkah pada saat memasuki dunia kerja. Pendidikan merupakan elemen penting pembangunan dan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat. Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup individu, masyarakat dan bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin baik kualitas sumber dayanya. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan zaman. Penduduk yang berkemampuan tinggi diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam berbagai kegiatan, sehingga dimasa mendatang mereka dapat hidup lebih layak. Pada gambar 4.9. terlihat bahwa persentase penduduk usia 10 tahun keatas menurut pendidikan yang ditamatkan dari tahun Penduduk usia 10 tahun keatas yang belum/tidak tamat SD dari tahun berturut-turut adalah 17,27 persen; 15,17 persen; 10,25 persen; 15,52 persen; dan 13,22 persen. Penduduk usia 10 tahun keatas yang tamat SD dari tahun berturut-turut adalah 37,11 persen; 35,48 persen; 39,47 persen; 37,16 persen; dan 34,32 persen. Penduduk usia 10 tahun keatas yang tamat SLTP dari tahun berturut-turut adalah 24,03 persen; 25,09 persen; 23,28 persen; 21,90 persen; dan 24,44 persen. Penduduk usia 10 tahun keatas yang tamat SLTA dari tahun berturut-turut adalah 18,24 persen; 19,96 persen; 21,55 persen; 20,30 persen; dan 21,98 persen. Penduduk usia 10 tahun keatas yang tamat PT dari tahun berturut-turut adalah 3,35 persen; 4,30 persen; 5,45 persen; 5,12 persen; dan 6,04 persen. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

55 Gambar 4.9. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan di Kabupaten Bandung, Tahun ,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Belum/Tidak Tamat SD 17,27 15,17 10,25 15,52 13,22 SD 37,11 35,48 39,47 37,16 34,32 SLTP 24,03 25,09 23,28 21,90 24,44 SLTA 18,24 19,96 21,55 20,30 21,98 PT 3,35 4,30 5,45 5,12 6,04 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM Capaian Pendidikan Kontribusi bidang pendidikan dalam pencapaian IPM di Kabupaten Bandung selama lima tahun terakhir (periode tahun ) masih perlu ditingkatkan lagi.peranan komponen indeks pendidikan memang relatif paling tinggi dibandingkan dua komponen IPM lainnya yaitu kesehatan dan daya beli. Pencapaian IPM Kabupaten Bandung yang telah mencapai angka 75,24 di tahun 2012; ditopang olehindeks pendidikan yang mencapai 85,05. Kondisi pendidikan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan indeks kesehatan yang baru mencapai 75,46; maupun indeks daya beli yang baru mencapai 65,21. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan percepatan/akselerasi pembangunan Indeks Pembangunan Manusia Tahun

56 dibidang pendidikan dan perekonomian masyarakat guna mendukung peningkatan daya beli. Tingginya indeks pendidikan dibandingkan dengan dua komponen lainnya belum cukup menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan manusia Kabupaten Bandung di bidang pendidikan sudah baik. Bila dilihat dari laju perkembangannya, terlihat adanya penurunan pertumbuhan komponen pendidikan pada periode tahun dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya. Pembangunan di bidang pendidikan cenderung mengalami perlambatan pertumbuhan dari periode sebelumnya karena pada komponen ratarata lama sekolah sangat rentan dipengaruhi oleh perpindahan/mutasi penduduk. Undang-undang mengamanahkan kepada penyelenggara negara untuk menyediakan anggaran setidaknya 20 persen untuk dialokasikan bagi pembiayaan pendidikan. Hal ini masih sulit untuk dipenuhi, karena minimnya anggaran pemerintah secara keseluruhan maka besaran 20 persen baru terpenuhi untuk keseluruhan anggaran pendidikan (termasuk gaji). Pemerintah masih harus membiayai pembangunan disektor lain yang harus dilakukan secara sejalan. Namun hal ini setidaknya menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap arti penting pendidikan bagi warganya. Keadilan dalam memperoleh pendidikan memang belum merata. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan masih relatif mahal, sebab pemerintah baru mampu membebaskan biaya pendidikan yang mencakup BOS. Sedangkan biaya lainnya seperti pakaian, transportasi, dll, masih harus ditanggung siswa/orangtua Angka Melek Huruf Indikator melek huruf menggambarkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang diukur dari aspek pendidikan. Angka melek huruf yang digunakan pada bahasan berikut adalah dihitung pada penduduk dewasa (berumur 15 tahun keatas) yang dapat membaca dan menulis minimal kata-kata/kalimat sederhana aksara tertentu, baik mampu membaca dan menulis huruf latin atau maupun huruf lainnya. Indeks Pembangunan Manusia Tahun

57 Secara umum pembangunan pendidikan di Kabupaten Bandung sudah berjalan sesuai dengan arah pencapaian yang ditetapkan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya persentase penduduk yang melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Menurut data Suseda dan Survei Khusus IPM 2012, persentase penduduk dewasa (usia 15 tahun keatas) yang melek huruf di Kabupaten Bandung pada tahun 2008 mencapai 98,84 persen. Pada tahun 2009 Angka Melek Huruf mencapai 98,87 persen. Dan pada tahun 2010 Angka Melek Huruf terkoreksi berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 menjadi 98,41 persen. Pada tahun 2011 Angka Melek Huruf mencapai 98,48 persen. Pada tahun 2012 Angka Melek Huruf mencapai 98,69 persen. Peningkatan melek huruf di Kabupaten Bandung berjalan relatif lebih lambat, hal ini disebabkan karena penduduk buta huruf yang ada sudah sangat sedikit, dan kemungkinan sudah berada di luar usia produktif. Pada gambar dapat dilihat kecamatan yang memiliki Angka Melek Hurufdiatas rata-rata Kabupaten Bandung terdapat di Kecamatan Margahayu, Kecamatan Dayeuhkolot, Kecamatan Cileunyi, Kecamatan Katapang, Kecamatan Soreang, Kecamatan Rancaekek, Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan Cicalengka, Kecamatan Margaasih, Kecamatan Bojongsoang, Kecamatan Baleendah, Kecamatan Cangkuang, Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Solokanjeruk, dan Kecamatan Ciparay.Sedangkan kecamatan yang memiliki Angka Melek Huruf dibawah ratarata Kabupaten Bandung terdapat di Kecamatan Banjaran, Kecamatan Cimenyan, Kecamatan Cikancung, Kecamatan Nagreg, Kecamatan Ciwidey, Kecamatan Majalaya, Kecamatan Kutawaringin, Kecamatan Rancabali, Kecamatan Cilengkrang, Kecamatan Ibun, Kecamatan Paseh, Kecamatan Pacet, Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Kertasari, Kecamatan Arjasari, dan Kecamatan Cimaung. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut ini: Indeks Pembangunan Manusia Tahun

58 Gambar Pencapaian Angka Melek Huruf menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung, Tahun 2012 Margahayu Dayeuhkolot Cileunyi Katapang Soreang Rancaekek Pameungpeuk Cicalengka Margaasih Bojongsoang Baleendah Cangkuang Pasirjambu Solokanjeruk Ciparay Kab. Bandung Banjaran Cimenyan Cikancung Nagreg Ciwidey Majalaya Kutawaringin Rancabali Cilengkrang Ibun Paseh Pacet Pangalengan Kertasari Arjasari Cimaung 95,00 96,00 97,00 98,00 99,00 100,00 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Indeks Pembangunan Manusia Tahun

59 Rata-rata Lama Sekolah Pada awal tahun 1972, ketika program life long education disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini telah disuarakan oleh Edgar Faure, Ketua The International Commision for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan merupakan tugas negara yang paling penting. Hal senada oleh pemerintah telah dituangkan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV (Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat,dan Pemerintah) pasal 6 ayat 1,menyatakan bahwa: Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pasal 11 ayat 2, menyatakan bahwa: Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah,atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen. Bila kondisi tersebut dicapai, akan dapat dijadikan modal kuat untuk memperkuat daya saing dibidang pendidikan, sehingga di masa mendatang kualitas kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung, utamanya dibidang pendidikan tidak hanya berbicara pada skala provinsi tetapi juga ditingkat nasional. Kondisi capaian rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bandung pada tahun 2008 mencapai 8,86 tahun; meningkatpada tahun 2009 sebesar 8,87 tahun; meningkat pada tahun 2010 menjadi 9,02 tahun; menurun pada tahun 2011 menjadi 8,62 tahun;dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 8,67 tahunatau setara dengan telah menyelesaikan kelas 2 SLTP. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi pada tahun 2012 relatif sedikit meningkat. Beberapa alasan yang mungkin terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut: Rata-rata lama sekolah dihitung dari populasi penduduk dewasa (berumur 15 tahun atau lebih). Seperti kita ketahui, bahwa mobilitas penduduk dewasa cukup tinggi. Perpindahan penduduk dapat terjadi akibat mencari pekerjaan (umumnya pindah ke wilayah perkotaan /sentra-sentra industri/perekonomian), atau untuk melanjutkan pendidikan ke Indeks Pembangunan Manusia Tahun

60 jenjang yang lebih tinggi (karena umumnya di pedesaan, infrastrukturnya sangat terbatas) dan untuk alasan lain. Oleh karena itu, apalagi di beberapa wilayah/kecamatan di Kabupaten Bandung merupakan daerah tujuan mencari kerja atau tujuan melanjutkan pendidikan, maka fluktuasi pada angka rata-rata lama sekolah adalah sangat memungkinkan. Apabila diasumsikan di suatu daerah migrasi masuk dan migrasi keluar mempunyai kualitas pendatang yang seimbang, dari mutu SDM yang telah ada, di daerah perkotaan cenderung relatif lebih baik dibanding daerah perdesaan, hal ini terjadi karena akses ke berbagai fasilitas dan pelayanan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan pendidikan, lebih mudah diperoleh. Kondisi ekonomi juga cenderung lebih baik sehingga kesempatan untuk meningkatkan mutu SDM lebih terbuka bagi penduduk perkotaan. Telah ditentukan segmentasi usia yang harus mendapatkan kesempatan sekolah terletak pada selang usia 7-18 tahun.secara operasional kelompok umur tersebut dipilah menjadi tiga yaitu: usia 7-12 tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), usia tahun untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan umur tahun untuk tingkatsekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Pada penduduk kelompok umur 7-12 tahun secara umum perbedaan partisipasi sekolah antara penduduk perkotaan dengan perdesaan relatif tidak mencolok. Hal ini kemungkinan karena gencarnya promosi program pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh bermacam penyaluran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada kelompok masyarakat sangat miskin (seperti: Program Keluarga Harapan), hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maupun beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin. Setelah anggaran bidang pendidikan diperbesar, serta berbagai bantuan disalurkan, maka permasalahan putus sekolah di pendidikan dasar harus sudah dapat diselesaikan. Dengan kata lain, rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Bandung harus sudah stabil (tidak fluktuatif) dan dapat melewati angka 9 tahun. Untuk penduduk yang memiliki kemampuan secara ekonomi, harus terus didorong untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.memiliki ijazah Indeks Pembangunan Manusia Tahun

61 SLTP saja tidak cukup untuk bersaing memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih layak. Perkembangan pencapaian RLS yang belum begitu besar dan cenderung melambatlaju pertumbuhannya, kemungkinan disebabkan karena masih cukup besarnya penduduk yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan komposisi penduduk yang relatif besar diusia muda, tampaknya perlu dipersiapkan sarana penunjang pendidikan yang memadai, utamanya ditujukan bagi penduduk usia tahun. Intervensi dalam menaikkan RLS dengan program pendidikan dasar 9 tahun masih terus perlu dipacu. Salah satunya adalah dengan perluasan akses terhadap infrastruktur pendidikan. Disamping terus dijalankan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti program paket A, B, dan C untuk menanggulangi anak yang putus sekolah pada usia 15 tahun keatas. Banyak anggapan yang mengatakan bahwa hanya negara yang mempunyai SDM berkualitas sajalah yang akan mampu bersaing dengan negara lain dalam era globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya pemerintah daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-program yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang baik. Hampir separuh kecamatan di Kabupaten Bandung memiliki rata-rata lama sekolah diatas angka Kabupaten. Kondisi tersebut tentunya belum cukup membanggakan karena target pendidikan adalah untuk mencapai tuntas pendidikan dasar (RLS = 9 tahun). Dan disparitas/kesenjangan antara kecamatan yang memiliki rata-rata lama sekolah paling tinggi dengan kecamatan yang memiliki rata-rata lama sekolah terendah ternyata cukup besar yaitu mencapai sebesar 3,41 tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kesempatan menikmati pendidikan di beberapa wilayah masih begitu rendah dibandingkan wilayah lainnya. Dengan sebaran wilayah yang sangat luas, kabupaten Bandung memang akan memiliki kendala dalam membangun fasilitas pendidikan yang memadai dan mudah dijangkau oleh penduduknya. Peranan strategis guru dan pemuka masyarakat di daerah terpencil masih Indeks Pembangunan Manusia Tahun

62 sangat diperlukan dalam mempromosikan pentingnya mencapai pendidikan yang memadai untuk meningkatkan kualitas hidup. Pemerintah daerah tentunya memiliki komitmen kuat untuk secara terus-menerus mendorong peningkatan partisipasi sekolah di daerah terpencil sehingga terjamin kelangsungan proses belajar mengajar.pada akhirnya kesemuanya akan mampu meningkatkan indeks pendidikan di wilayahnya. Pada gambar dapat dilihat kecamatan yang memiliki Rata-rata Lama Sekolah diatas rata-rata Kabupaten Bandung terdapat di Kecamatan Cimenyan, Kecamatan Margahayu, Kecamatan Dayeuhkolot, Kecamatan Cileunyi, Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan Cicalengka, Kecamatan Rancaekek, Kecamatan Ciparay, Kecamatan Cikancung, Kecamatan Banjaran, Kecamatan Bojongsoang, dan Kecamatan Cangkuang. Sedangkan kecamatan yang memiliki Rata-rata Lama Sekolah diatas rata-rata Kabupaten Bandung adalah Kecamatan Cilengkrang, Kecamatan Majalaya, Kecamatan Solokanjeruk, Kecamatan Kertasari, Kecamatan Baleendah, Kecamatan Nagreg, Kecamatan Margaasih, Kecamatan Soreang, Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Katapang, Kecamatan Pacet, Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Rancabali, Kecamatan Paseh, Kecamatan Ibun, Kecamatan Cimaung, Kecamatan Arjasari, Kecamatan Ciwidey, dan Kecamatan Kutawaringin. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut ini: Indeks Pembangunan Manusia Tahun

63 Gambar Pencapaian Rata-rata Lama Sekolah menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung, Tahun 2012 Cimenyan Margahayu Dayeuhkolot Cileunyi Pameungpeuk Cicalengka Rancaekek Ciparay Cikancung Banjaran Bojongsoang Cangkuang Kab. Bandung Cilengkrang Majalaya Solokanjeruk Kertasari Baleendah Nagreg Margaasih Soreang Pangalengan Katapang Pacet Pasirjambu Rancabali Paseh Ibun Cimaung Arjasari Ciwidey Kutawaringin 10,14 10,13 9,87 9,70 9,60 9,42 9,26 9,09 8,91 8,91 8,89 8,88 8,67 8,61 8,60 8,59 8,56 8,34 8,29 8,27 8,11 8,05 8,01 7,95 7,92 7,80 7,67 7,53 7,52 7,41 7,39 6,73 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Indeks Pembangunan Manusia Tahun

64 BAB V PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG EKONOMI 5.1 Kondisi Ekonomi Masyarakat Faktor penting dalam pembangunan manusia selain pendidikan dan kesehatan adalah pembangunan manusia yang ditinjau dari sisi ekonomi. Pembangunan manusia yang dimaknai dengan meningkatnya taraf hidup manusia menempatkan kapasitas ekonomi sebagai prasyarat utamanya. Inti dari pembangunan manusia adalah berfokus pada manusia untuk memulihkan dan meningkatkan martabat manusia. Peningkatan taraf hidup manusia harus didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki kondisi kesehatan dan pendidikan yang baik sehingga dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif. Dengan berjalannya kegiatan ekonomi produktif, manusia akan memperoleh pendapatan untuk membiayai kehidupannya sehingga akan tercapai kesejahteraan. Berbagai kegiatan ekonomi dapat dijalankan secara produktif oleh penduduk yang memiliki rentang usia tahun. Penduduk yang berusia tahun merupakan penduduk produktif/aktif. Penduduk produktif dapat berperan secara maksimal dalam menyerap lapangan pekerjaan untuk menciptakan pendapatan. Gambaran mengenai penduduk produktif dapat dilihat melalui piramida penduduk. Piramida penduduk menunjukkan distribusi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, serta tingkat perkembangan penduduk pada setiap kelompok umur yang berbeda. Dari gambar piramida dapat disimpulkan bahwa penduduk Kabupaten Bandung masih termasuk golongan penduduk muda menuju transisi. Hal ini ditunjukkan oleh panjang batang piramida pada kelompok umur penduduk muda (0-9 dan tahun) yang sedikit lebih panjang (mencapai 29,80 % dari total penduduk) dari kelompok umur lainnya dan batang piramida untuk kelompok umur tua (60 tahun ke atas) yang cukup pendek (mencapai 6,75 % dari total penduduk). Suatu penduduk digolongkan penduduk IPM Kab. Bandung

65 muda apabila proporsi penduduk dibawah 15 tahun sekitar 40 persen dari total penduduk. Sedangkan apabila proporsi penduduk diatas 60 tahun mencapai 10 persen, maka digolongkan penduduk tua. Kondisi di atas akan berubah apabila ada upaya pengendalian penduduk, dengan perubahan terus menurunnya tingkat fertilitas. Disamping itu ada upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan, maka pada masa mendatang komposisi penduduk akan didominasi oleh usia produktif. Gambar 5.1 Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Tahun Laki-laki Perempuan Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 IPM Kab. Bandung

66 Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran kondisi penduduk dari sisi ekonomi adalah angka beban ketergantungan penduduk (Dependency Ratio) yang menunjukkan seberapa jauh penduduk yang berusia produktif/aktif secara ekonomi harus menanggung penduduk yang belum produktif dan pasca produktif. Angka beban ketergantungan merupakan perbandingan antara penduduk yang belum/tidak produktif (usia 0 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas) dibanding dengan penduduk usia produktif (usia tahun). Semakin tinggi angka beban ketergantungan menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Selama kurun waktu angka beban ketergantungan ini memperlihatkan kecenderungan berfluktuatif. Angka beban ketergantungan penduduk di Kabupaten Bandung pada tahun 2008 sebesar 52,19; pada tahun 2009 menurun menjadi 48,95; pada tahun 2010 kembali meningkat menjadi 54,10. Sementara itu sejak tahun 2011, angkanya menunjukkan tren menurun menjadi 53,17. Pada tahun 2012 angka beban ketergantungan kembali menurun menjadi 52,13 yang artinya pada setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sebanyak 52 penduduk tidak produktif. Hal ini menunjukkan semakin rendahnya beban yang harus ditanggung penduduk produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Untuk melihat angka beban ketergantungan penduduk dari tahun dapat dilihat pada Gambar 5.2 berikut ini. IPM Kab. Bandung

67 persen Gambar 5.2 Angka Beban Ketergantungan Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun ,00 54,00 53,00 52,00 51,00 50,00 49,00 48,00 47,00 46,00 Angka Beban Ketergantungan 54,10 53,17 52,19 52,13 48, ,19 48,95 54,10 53,17 52,13 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Capaian kesejahteran masyarakat suatu wilayah sangat tergantung kepada potensi sumber daya yang dimiliki dan bagaimana potensi SDA yang ada dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh sumber daya manusianya. Kualitas SDM akan sangat berperan untuk menciptakan dan menggerakkan aktivitas perekonomiannya. Peranan SDM dalam mengelola perekonomian suatu wilayah dapat ditunjukkan oleh indikator ketenagakerjaan. Salah satu indikator yang biasa dipakai dalam melihat atau menggambarkan tingkat perekonomian masyarakat adalah laju pertumbuhan angkatan kerja yang terserap di lapangan pekerjaan. Tingginya angkatan kerja di suatu daerah akan menggerakan perekonomian daerah tersebut. Gambaran kondisi ketenagakerjaan seperti persentase angkatan kerja yang bekerja, dan distribusi lapangan pekerjaan sangat berguna untuk melihat prospek ekonomi Kabupaten Bandung. Pertumbuhan IPM Kab. Bandung

68 ekonomi dapat dilihat apakah benarbenar digerakan oleh produksi yang melibatkan tenaga kerja daerah atau karena pengaruh faktor lain. Banyaknya penduduk yang bekerja akan berdampak pada peningkatan kemampuan daya beli dan peningkatan pendapatan penduduk sangat menentukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Secara sederhana untuk melihat kualitas pembangunan manusia dapat disandarkan kepada dua pendapat Ramirez dkk (1998): Pertama, bahwa kinerja ekonomi mempengaruhi pembangunan manusia, khususnya melalui aktivitas rumahtangga dan pemeritah, aktivitas rumahtangga yang memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan manusia antara lain kecenderungan rumahtangga untuk membelanjakan pendapatan bersih untuk memenuhi kebutuhan (pola konsumsi), tingkat dan distribusi pendapatan antar rumahtangga, dan makin tinggi tingkat pendidikan terutama pendidikan perempuan akan semakin positif bagi pembangunan manusia berkaitan dengan andil yang tidak kecil dalam mengatur pengeluaran rumahtangga. Kedua, pembangunan manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melalui produktifitas dan kreatifitas masyarakat. Pendidikan dan kesehatan penduduk sangat menentukan kemampuan untuk mengelola dan menyerap sumbersumber pertumbuhan ekonomi. Dari kedua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi berhubungan secara simultan, dengan kata lain tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang disertai pemerataan distribusi pendapatan, maka tingkat daya beli, kesehatan dan pendidikan akan lebih baik. Dan pada giliranya akan memperbaiki tingkat produktifitas tenaga kerja yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Karakteristik suatu wilayah dapat pula dilihat dari aspek pendidikan, dimana tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh seorang pekerja, maka pekerja tersebut akan memiliki produktivitas yang relatif lebih baik dan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. IPM Kab. Bandung

69 Target pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidak hanya untuk mencapai angka pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah pertumbuhan yang berkualitas dan digerakkan oleh peningkatan kapasitas produksi masyarakat. Walaupun angka pertumbuhannya tidak terlalu tinggi, namun apabila kualitas capaiannya jauh lebih tinggi, maka akan mempengaruhi capaian pembangunan manusia. Pertumbuhan yang berkualitas adalah yang dapat menggerakan pendapatan perkapita, dan menyerap tenaga kerja, yang pada akhirnya dapat memperbaiki pola distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas mengakibatkan banyak penduduk yang memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya untuk membiayai kebutuhan makanan, pendidikan, kesehatan dan perumahan sehingga dapat mempercepat pembangunan manusia. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama (principal means) bagi pembangunan manusia untuk dapat berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa tidak ada suatu negara pun yang dapat membangun manusia secara berkesinambungan tanpa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi pembangunan manusia. Antara keduanya tidak ada hubungan otomatis tetapi berlangsung melalui berbagai jalur antara lain yang cukup penting adalah ketenagakerjaan. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan dapat ditransformasikan menjadi peningkatan kapabilitas manusia, jika pertumbuhan itu berdampak secara positif terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha. Lapangan kerja yang diciptakan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan rumahtangga yang memungkinkannya membiayai peningkatan kualitas manusia anggota rumahtangganya. Kualitas manusia yang meningkat pada sisi lain akan berdampak pada peningkatan kualitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi permintaan (menciptakan lapangan IPM Kab. Bandung

70 kerja) dan sisi penawaran (meningkatkan kualitas tenaga kerja). Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebesar 54,76 persen, atau menurun dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 63,56 persen. Jika dilihat berdasarkan perspektif jender, TPAK perempuan pada tahun 2012 di Kabupaten Bandung yang mencapai 30,11 persen relatif jauh tertinggal dibandingkan dengan penduduk laki-laki yang mencapai 78,59 persen. Terdapat ketimpangan yang sangat tajam dalam pasar kerja, dimana perempuan cenderung kurang memiliki akses untuk memasuki dunia kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebagian besar perempuan usia produktif di kabupaten Bandung berada pada posisi sebagai ibu rumah tangga. Kondisi tersebut menunjukkan perempuan masih mengalami perlakuan tidak berimbang dengan laki-laki dalam dunia kerja, dimana laki-laki lebih diprioritaskan daripada perempuan, sehingga kesempatan kerja bagi perempuan cenderung sangat kompetitif. TPAK merupakan indikator yang menggambarkan seberapa banyak dari angkatan kerja yang aktif secara ekonomi. Pendapatan rumahtangga perlu diberi perhatian lebih, mengingat dampaknya yang luas terhadap taraf kesejahteraan termasuk kemiskinan. Kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga karena hampir semua rumahtangga mengandalkan upah/gaji (bagi yang berstatus buruh/karyawan) atau keuntungan usaha (bagi yang berstatus berusaha). Dengan demikian masalah ketenagakerjaan secara langsung berkaitan dengan masalah kemiskinan. Implikasi logisnya jelas : upaya pengentasan kemiskinan yang merupakan keprihatinan nasional bahkan global (tercermin dari sasaran pertama dan utama Millenimum Development Goals, MDG) mestinya harus ditempuh melalui upaya penyelesaian masalah ketenagakerjaan. Dalam hal ini masalah ketenagakerjaan, paling tidak mengandung dua aspek pokok: penyediaan lapangan kerja/usaha dan peningkatan produktifitas tenaga kerja. IPM Kab. Bandung

71 Gambar 5.3 Tingkat Kesempatan Kerja, Pengangguran dan TPAK Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2012 TPAK Kesempatan Kerja Pengangguran Laki-laki 78,59 91,04 8,96 Perempuan 30,11 85,79 14,21 Laki-laki+Perempuan 54,76 89,62 10,38 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012 Berdasarkan Survei IPM tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Bandung sebesar 10,38 persen atau sedikit menurun dibanding tahun 2011 dimana angkanya mencapai 10,69 persen. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka pengangguran ini juga cenderung mengalami tren menurun dimana tahun 2008 sebesar 13,19 persen, tahun 2009 sebesar 12,51 persen. Namun demikian angka pengangguran masih tergolong tinggi, sehingga harus terus diupayakan penyediaan lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2012 masih didominasi oleh penduduk perempuan yang mencapai 14,21 persen. Kondisi tersebut lebih banyak disebabkan karena lapangan kerja yang ada belum sesuai dengan ketersediaan kualitas tenaga kerja perempuan di Kabupaten Bandung. Untuk meningkatkan daya saing kaum perempuan, maka peningkatan kualitas pekerja perempuan menjadi mutlak terus dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun informal. IPM Kab. Bandung

72 Gambar 5.4 Tingkat Kesempatan Kerja, Pengangguran dan TPAK Kabupaten Bandung Tahun ,81 87,49 89,80 89,31 89,62 64,56 52,48 52,00 53,44 54,76 13,19 12,51 10,20 10,69 10, TPAK Kesempatan Kerja Pengangguran Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Pergeseran penyerapan lapangan pekerjaan ke sektor industri dapat menjadi indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Berdasarkan data pada Gambar 5.4 diperlihatkan bahwa lapangan pekerjaan penduduk 15 tahun ke atas mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan, dan jasa. Distribusi penduduk usia 15 tahun keatas atau angkatan kerja yang bekerja di sektor industri paling besar diantara sektorsektor lainnya. Perkembangan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri periode cukup fluktuatif. Pada tahun 2008 persentase angkatan kerja yang bekerja di sektor industri sebesar 27,08 persen. Pada tahun 2010 persentasenya meningkat cukup signifikan menjadi 29,87 persen. Sebaliknya pada tahun 2010 tenaga kerja yang terserap di sektor industri sedikit menurun menjadi sebesar 29,23 persen. Sementara itu, pada tahun 2011, persentasenya kembali meningkat IPM Kab. Bandung

73 cukup tajam menjadi sebesar 32,47 persen. Namun pada tahun 2012 persentasenya sedikit menurun menjadi 32,44 persen. Secara umum, perkembangan angkatan kerja yang bekerja di sektor industri pada periode tersebut mengalami peningkatan. Ada indikasi bahwa peningkatan pada sektor industri adalah pada usaha industri kecil dan mikro yang cukup mampu menyerap tenaga kerja. Tabel 5.1 Persentase Lapangan Pekerjaan Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas, Tahun Lapangan Pekerjaan [1] [2] [3] [4] [5] [6] Angkatan Kerja yang Bekerja Pertanian 20,66 21,87 18,91 22,20 18,01 Industri 27,08 29,87 29,23 32,47 32,44 Perdagangan 19,51 18,75 20,50 19,29 21,76 Jasa 10,21 12,49 14,14 10,79 13,48 Lainnya 22,54 17,02 17,22 15,24 14,31 Angkatan Kerja yang Menganggur 13,19 12,51 10,20 10,69 10,38 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Lapangan pekerjaan yang paling banyak menyerap tenaga kerja selain sektor industri, adalah sektor pertanian. Perkembangan tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian cukup fluktuatif. Pada tahun 2012, persentase angkatan kerja yang bekerja disektor pertanian mencapai 18,01 persen, atau menurun dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 22,20 persen. Proporsi angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian masih belum menunjukkan perubahan yang berarti, bahkan ada indikasi perpindahan IPM Kab. Bandung

74 lapangan usaha penduduk dari sektor pertanian ke sektor-sektor lainnya (terutama sektor perdagangan dan jasa). Sementara itu, sektor perdagangan mampu menyerap tenaga kerja pada urutan ketiga setelah sektor industri dan pertanian. Pada tahun 2011 proporsi angkatan kerja yang bekerja di sektor perdagangan masih sebesar 19,29 persen. Pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 21,76 persen. Sedangkan yang bekerja di sektor jasa mencapai 10,79 persen pada tahun 2011, dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 13,48 persen. 5.2 Capaian Daya Beli Determinasi utama dari tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk adalah tingkat daya beli. Kemajuan angka IPM Kabupaten Bandung selama beberapa periode ternyata sangat ditunjang oleh adanya peningkatan komponen kemampuan daya beli masyarakat. Menurut data IPM tahun 2008, kemampuan daya beli penduduk Kabupaten Bandung mencapai sebesar Rp ,-. Pada tahun 2009 daya beli mencapai Rp ,- dan pada tahun 2010 sebesar Rp ,-. Meskipun tingkat daya beli pada suatu wilayah juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian nasional maupun perekonomian global, namun kondisi krisis ekonomi global yang terjadi di eropa tidak terasa dampaknya di Kabupaten Bandung. Hal tercermin dari tingkat inflasi yang tidak berfluktuasi, juga perekonomian yang selalu bertumbuh positif. Pada tahun 2012, ada indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi dibandingkan kondisi tahun-tahun sebelumnya. Hal ini yang juga turut mendorong pertumbuhan daya beli masyarakat. Pada tahun 2011 kemampuan daya beli penduduk Kabupaten Bandung naik signifikan dari tahun sebelumnya hingga mencapai Rp ,-. Kondisi ini disamping akibat dari pengingkatan daya beli, juga dikarenakan adanya perubahan metode penghitungan (disesuaikan dengan metodologi penghitungan IPM Provinsi Jawa Barat). Pada tahun 2012, daya beli penduduk mengalami peningkatan hingga mencapai Rp ,-. IPM Kab. Bandung

75 Gambar 5.5 Daya Beli Penduduk Kabupaten Bandung Tahun Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 Perkembangan indeks daya beli penduduk di Kabupaten Bandung selama periode dapat dilihat pada Gambar 5.6. Pada tahun 2008, indeks daya beli penduduk sebesar 59,55, kemudian pada tahun 2009 naik sebesar 1,76 poin menjadi 61,31. Hal yang sama terjadi pada periode , dimana indeks daya beli meningkat 1,76 poin menjadi 61,31. Periode indeks daya beli meningkat sebesar 2,06 poin hingga mencapai 65,13. Demikian pula pada periode indeksnya mengalami peningkatan, namun cukup kecil yakni sebesar 0,08 poin hingga menjadi 65,21. Gambar 5.6 Pertumbuhan Indeks Daya Beli Penduduk Kabupaten Bandung Tahun ,5 2 1,5 1,76 1,76 2,06 1 0,5 0 0, Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda , Survei Khusus IPM 2012 IPM Kab. Bandung

2.1. Konsep dan Definisi

2.1. Konsep dan Definisi 2.1. Konsep dan Definisi Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (0 tahun) yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi (AKB) Banyaknya kematian bayi

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Katalog BPS: 1413.3204 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2009 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG DENGAN BAPPEDA KABUPATEN BANDUNG INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011 ISBN Nomor Publikasi Nomor Katalog Ukuran Buku Jumlah Halaman : 979.486.6199 : 3204.1137 : 4716 3204 : 25,7 Cm x 18,2 Cm : 70 + vi Naskah :

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA:

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA: INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA: Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Bandung Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2010

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2010 Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Semarang 2009 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini dapat terselesaikan.

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2012

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2012 Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Semarang 2011 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan penting yang menjadi prioritas utama pemerintah Kabupaten Bandung adalah pembangunan yang seimbang antara pembangunan fisik dan pembangunan sumber

Lebih terperinci

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0)

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0) Lampiran 1. Penjelasan Singkat Mengenai IPM dan MDGs I. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 1 Sejak 1990, Indeks Pembangunan Manusia -IPM (Human Development Index - HDI) mengartikan definisi kesejahteraan secara

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. Analisis Pembangunan Sosial Kabupaten Bandung Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. Analisis Pembangunan Sosial Kabupaten Bandung Latar Belakang Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Informasi statistik merupakan salah satu bahan evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah, serta sebagai bahan masukan dalam proses perumusan kebijakan perencanaan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012 Nomor Publikasi : 3279.1103 Katalog BPS : 4102002.3279 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 16,5 cm x 21,5 cm : ix rumawi + 117 halaman Naskah : Seksi Statistik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Manusia merupakan harta atau aset yang sangat berharga bagi kelanjutan ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu negara, pengembangan kualitas akan

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI Konsep dan Definisi. Angka Harapan Hidup 0 [AHHo]

BAB II METODOLOGI Konsep dan Definisi. Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] BAB II METODOLOGI 2.1. Konsep dan Definisi Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (0 tahun) yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi (AKB) Banyaknya

Lebih terperinci

Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun

Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2011 Nomor Publikasi : 32520.1208 Katalog BPS : 4102002.32 Jumlah Halaman : 253 halaman NASKAH : Bidang Statistik Sosial

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 Katalog BPS: 1413.3523 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 BADAN PUSAT STATISTIK DAN BAPPEDA KABUPATEN TUBAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 No. Publikasi : 35230.0310 Katalog

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2016

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2016 Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Semarang 2015 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN SORONG TAHUN 2010 Nomor Publikasi : 9107.11.03 Katalog BPS : 1413.9107 Ukuran Buku : 16,5 x 21,5 cm Jumlah Halaman : v rumawi + 111 halaman Naskah : Seksi Statistik

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009 No. Katalog BPS : 4102002.05 Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : x + 70 Naskah : Badan Pusat Statistik Propinsi Kepulauan Riau

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor Tahun Anggaran 2014 Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun Anggaran 2014 i Penyusunan

Lebih terperinci

Bupati Kepulauan Anambas

Bupati Kepulauan Anambas Bupati Kepulauan Anambas KATA SAMBUTAN Assalammulaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Untuk Kita Semua Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua dan tak lupa dihaturkan

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 4102002.3523 Katalog BPS: 4102002.3523 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN TAHUN 2011 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN TUBAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2011 No. Publikasi

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN MANOKWARI TAHUN 2013 ISSN : No. Publikasi/Publication Number : 9105.1104 No. Katalog BPS/Catalogue Number: 1101001.9105 Ukuran Buku/Book Size : 16,5 cm x 21,5 cm Jumlah

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii i DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan dan Sasaran... 3 I.3 Sumber Data... 4 I.4 Sistematika Penulisan... 5 BAB II Metodologi...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini pembangunan bukan hanya ditujukan dalam wujud pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana infrastruktur, tetapi dalam cakupan yang lebih luas seperti yang

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar di masyarakat tersebut

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER TAHUN 2012 Ukuran buku : 21 cm x 28 cm Jumlah halaman : 62 halaman Naskah : Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser Penyunting : Badan Pusat Statistik Kabupaten

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER IPM (INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA) KABUPATEN PASER TAHUN 2011 Pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Paser pada kurun 2007 2011 terus mengalami peningkatan.

Lebih terperinci

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI ACEH 2016 Nomor Publikasi : 11522.1605 Katalog BPS : 4102004.11 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : xvii + 115 Halaman Naskah Gambar Kulit Diterbitkan

Lebih terperinci

BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN

BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN 2006 2010 BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN 2006 2010 Nomor Publikasi: 16522.11.04 Katalog BPS: 3101017.16 Naskah: Seksi Statistik

Lebih terperinci

ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011

ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011 ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011 No. Publikasi /Publication Number : 3319.0612 Katalog BPS / BPS Catalogue : 1413.3319 Ukuran Buku/Book Size : 14.8 x 21 cm Jumlah Halaman/Number

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iii iv ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan review dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Tingkat Kemiskinan di DKI Jakarta Maret 2017 No. 35/07/31/Th.XIX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2017 sebesar 389,69 ribu

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Paser 2014 i INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER TAHUN 2014 Ukuran buku : 21 cm x 28 cm Jumlah halaman : 56 halaman Naskah : Tim Penyusun Publikasi Penyunting

Lebih terperinci

Beberapa prinsip dasar dalam penyusunan Indeks Pembanguan Manusia Kabupaten Banyuwangi tahun 2010 yaitu:

Beberapa prinsip dasar dalam penyusunan Indeks Pembanguan Manusia Kabupaten Banyuwangi tahun 2010 yaitu: BAB II METODOLOGI 2. 1 PRINSIP DASAR PENYUSUNAN Prinsip dasar penyusunan publikasi ini masih merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya, yaitu tetap melakukan pengukuran terhadap kinerja pembanguan manusia

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2007-2008 ISBN : Nomor Publikasi : Katalog : Ukuran buku Jumlah halaman : 17.6 x 25 cm : x + 100 halaman Naskah : Sub Direktorat Konsistensi Statistik Diterbitkan oleh : Badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Manusia Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii v viii I. PENDAHULUAN 1 7 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rasional 4 1.3. Perumusan Masalah 5 1.4. Tujuan dan Manfaat Studi 5 1.4.1.

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: Katalog BPS: 4103.1409 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT (INKESRA) KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 2013 No. Katalog : 4103.1409 Ukuran Buku Jumlah Halaman Naskah Gambar Kulit dan Setting Diterbitkan Oleh Kerjasama

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN TAMBRAUW 2009 Nomor Katalog / Catalog Number : 9105.9109 Nomor Publikasi / Publication Numbe r : 9109.10.01 Ukuran Buku / Book Size Jumlah Halaman / Page Number

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN 4.1 Pendidikan di Banten Pemerintah Provinsi Banten sejauh ini berupaya melakukan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat salah satunya

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 07/01/62/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi)

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol.1, No.7 April 2013 ANALISIS INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERIODE 2007-2011 H. Syamsuddin. HM ABSTRACT

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G /

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G / Katalog BPS : 4103.5371 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G 2 0 0 5 / 2 0 0 6 BADAN PUSAT STATISTIK KOTA KUPANG INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA KUPANG 2005/2006 No. Publikasi : 5371.0612

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 05 /01/32/Th. XVII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 05/01/82/Th. XVI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBANYAK 76,40 RIBU ORANG ATAU SEBESAR 6,41 PERSEN Jumlah

Lebih terperinci

Kata Sambutan. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kata Sambutan. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bupati Bandung Kata Sambutan Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ungkapan syukur kehadirat Illahi Rabbi, atas limpahan rahmat dan hidayah-nya kita masih diberi kesempatan untuk membangun Kabupaten

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 No. 05/01/17/IX, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 316,50 RIBU ORANG - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2014 MENURUN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah

BAB II STUDI PUSTAKA. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Pengertian Indeks Pembangunan manusia Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah dikembangkan oleh United Nations for Develpment Program

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 (Oleh Endah Saftarina Khairiyani, S.ST) 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan era globalisasi menuntut setiap insan untuk menjadi

Lebih terperinci

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS : 4102004.1111 Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Jl. T. Chik Di Tiro No. 5 Telp/Faks. (0645) 43441 Lhokseumawe 24351 e-mail : bpsacehutara@yahoo.co.id, bps1111@bps.go.id BADAN PUSAT

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 3205011.32 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2016 Katalog BPS : 3205011.32 No. Publikasi : 32520.1701 Ukuran Buku : 18,2 cm

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: Katalog BPS: 4102002.1118 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PIDIE JAYA KATA SAMBUTAN Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Pidie Jaya ini disusun

Lebih terperinci

Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2013

Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2013 Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2013 INDIKATOR SOSIAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 Jumlah Halaman : ix + 77 halaman Naskah : BPS Kabupaten Pulau Morotai Diterbitkan Oleh : BAPPEDA Kabupaten Pulau

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 No. 05/01/17/XI, 3 Januari 2017 KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 325.600 ORANG (17,03 PERSEN) PERSENTASE KEMISKINAN SEPTEMBER 2016 TURUN JIKA DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

Katalog BPS : KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN

Katalog BPS : KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN Katalog BPS : 4102002.1404 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Pelalawan Tahun 2008 ISBN : 979 484 930 8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan manusia dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar di masyarakat

Lebih terperinci

Ukuran Buku / Book Size : 16,50 cm x 21,59 cm Jumlah Halaman / Page Number : x + 56 Halaman / Page

Ukuran Buku / Book Size : 16,50 cm x 21,59 cm Jumlah Halaman / Page Number : x + 56 Halaman / Page INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAYAPURA Human Development Index Jayapura Municipality 2013 Nomor Katalog / Catalog Number : 1164.9471 Nomor Publikasi / Publication Number :9471.1303 Ukuran Buku / Book

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. No. 55/09/17/Th.IX, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 SEBANYAK 154,20 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 41/07/76/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 149,76 RIBU JIWA (11,30 PERSEN) Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 59/07/64/Th.XIX, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 07/01/64/Th.XIX, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA SEPTEMBER TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2010

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2010 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2010 No. Katalog BPS : 4102002.05 Ukuran Buku : 16,5 cm x 22 cm Jumlah Halaman : xi + 76 Naskah : Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Lebih terperinci

KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2012

KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2012 pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie jaya pidie

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA TANGERANG SELATAN 2 0 1 4 ISSN : 2089-4619 Katalog BPS : 4102004.3674 Ukuran Buku : 25 cm x 17,6 cm Jumlah Halaman : x + 76 Halaman / pages Naskah: Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

ungtimurkab INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN LAMPUNG TIMUR 2013 Nomor Publikasi : 18042.0828 Katalog BPS : Ukuran Buku Jumlah Halaman : 21 cm x 28 cm : 53 halaman Naskah : Seksi Statistik Sosial

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 07/01/62/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67 RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS 2015 Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan, meningkatnya derajat kesehatan penduduk di suatu wilayah, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 No. 34/07/31/Th. XVI, 1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii SAMBUTAN i DAFTAR ISI HALAMAN SAMBUTAN... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan dan Sasaran... 3 I.3 Sumber Data... 4 I.4 Sistematika Penulisan... 5 BAB II Metodologi...

Lebih terperinci

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau Kata pengantar Publikasi Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2013 merupakan publikasi kedua yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan indikator keuangan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 58/07/64/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2017 R I N G K A S A N Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Utara pada Maret 2017 sebanyak

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI DKI JAKARTA Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2014 sebesar 412,79 ribu orang (4,09 persen). Dibandingkan dengan Maret 2014 (393,98 ribu orang atau 3,92 persen), jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang

Lebih terperinci

KATALOG DALAM TERBITAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT TAHUN 2017

KATALOG DALAM TERBITAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT TAHUN 2017 KATALOG DALAM TERBITAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT TAHUN 2017 Nomor ISBN : 979-599-884-6 Nomor Publikasi : 52085.11.08 Ukuran Buku : 18.2 x 25.7cm Jumlah Halaman : 50 Halaman Naskah : Dinas Komunikais

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KAUR 2012

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KAUR 2012 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KAUR 2012 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Kaur 2012 Halaman i INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KAUR 2012 Nomor Publikasi : 1704.1335 Katalog BPS : 4102002.1704

Lebih terperinci

jayapurakota.bps.go.id

jayapurakota.bps.go.id INDEKS PEMBANGUNGAN MANUSIA DAN ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAYAPURA TAHUN 2015/2016 ISSN: Nomor Katalog : 2303003.9471 Nomor Publikasi : 9471.1616 Ukuran Buku Jumlah Halaman Naskah : : 16,5

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013 No. 04/01/31/Th. XVI/ 2 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2013 sebesar 375,70 ribu orang (3,72 persen).

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BADAN PUSAT STATISTIK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BPS KABUPATEN WONOSBO Visi: Pelopor Data Statistik Terpercaya Untuk Semua Nilai-nilai Inti BPS: Profesional Integritas Amanah Pelopor Data Statistik

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2016 No. 08/07/18/TH.IX, 3 Januari 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2016 No. 08/07/18/TH.VIII, 18 Juli 2016 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016 mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Situasi Pembangunan Manusia Kabupaten Temanggung

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Situasi Pembangunan Manusia Kabupaten Temanggung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang United Nation Development Program (UNDP) pada tanggal 24 Juli 2014 di Tokyo Jepang untuk pertama kalinya mempublikasikan Laporan pembangunan Manusia Tahun 2014 dengan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 30/07/31/Th XVIII, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen).

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015 No. 06/01/51/Th. X, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015 Terjadi kenaikan persentase penduduk miskin di Bali pada September 2015 jika dibandingkan dengan 2015. Tingkat kemiskinan pada

Lebih terperinci

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN 2013 Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 Statistik Dasar UU NO. 16 TAHUN 1997 (TENTANG STATISTIK) Statistik yang pemanfaatannya

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PIDIE JAYA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PIDIE JAYA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PIDIE JAYA 2014 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PIDIE JAYA 2014 Katalog BPS : 4102002.1118 Ukuran Buku Book Size : 15 x 21 cm Jumlah Halaman : l + 332 Halaman

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 08/01/64/Th.XX, 3 Januari 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA SEPTEMBER TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 01/11/Th.I, 21 November 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2015

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN RAJA AMPAT

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN RAJA AMPAT INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN RAJA AMPAT 2011 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN RAJA AMPAT 2011 Nomor Katalog / Catalog Number : 4102002.9108 Nomor Publikasi / Publication Numbe r : 91080.12.28

Lebih terperinci

Indeks Pembangunan Manusia IPM KABUPATEN TELUK BINTUNI 2012 BPS Kabupaten Teluk Bintuni menerbitkan publikasi IPM Kabupaten Teluk Bintuni secara berkala sejak tahun 2005. BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 No. 05/01/36/Th.X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 690,67 RIBU ORANG Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci