DAFTAR TABEL HALAMAN. iii

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR TABEL HALAMAN. iii"

Transkripsi

1

2

3 SAMBUTAN i

4 DAFTAR ISI HALAMAN SAMBUTAN... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan dan Sasaran... 3 I.3 Sumber Data... 4 I.4 Sistematika Penulisan... 5 BAB II Metodologi Konsep Pembangunan Manusia Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia... 7 BAB III GAMBARAN UMUM Profil Kabupaten Ponorogo Gambaran Umum Sosial Ekonomi Kabupaten Ponorogo Bidang Pendidikan Bidang Kesehatan Masyarakat Bidang Perekonomian Bidang Ketenagakerjaan Bidang Perumahan BAB IV STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PONOROGO Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Perkembangan Komponen IPM Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan Indeks Daya Beli Reduksi Shortfall BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran ii

5 DAFTAR TABEL HALAMAN Tabel 1 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM... 9 Tabel 2 Tingkatan Status Nilai IPM Tabel 3 Jenjang Pendidikan & Tahun Konversi (Skor) Yang Digunakan Untuk Menghitung Rata-rata Lama Sekolah Tabel 4 Komoditi Terpilih Susenas Untuk Standar Penghitungan PPP Tabel 5 Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan Tahun Tabel 6 Persentase Penduduk Kabupaten Ponorogo Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Tabel 7 Rasio Murid-Guru & Murid-Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun Ajaran 2012/ Tabel 8 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran di Kabupaten Ponorogo Tahun Tabel 9 Persentase Penduduk Menurut Keluhan Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun Tabel 10 Banyaknya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun Tabel 11 PDRB Per Kapita (ADHB) Kabupaten Ponorogo Tahun Tabel 12 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Variabel Ketenagakerjaan di Kabupaten Ponorogo Tahun Tabel 13 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tabel 14 Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tabel 15 Angka Melek Huruf Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tabel 16 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun iii

6 Tabel 17 Indeks Pendidikan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tabel 18 Pengeluaran Riil Perkapita se-eks Karesidenan Madiun dan Provinsi Jawa Timur Tahun (000 rupiah) Tabel 19 Indeks Daya Beli Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun iv

7 DAFTAR GAMBAR HALAMAN Gambar 1 Diagram Penghitungan IPM... 8 Gambar 2 Peta Kabupaten Ponorogo Gambar 3 Luas Wilayah Per Kecamatan Gambar 4 Angka Melek Huruf Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 5 Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan Di Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 6 Angka Melanjutkan Sekolah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2011 dan Gambar 7 Angka Kematian Bayi Per 1000 Kelahiran Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 8 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum Di Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 9 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Penerangan di Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 10 Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Lantai Terluas di Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 11 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar di Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 12 Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 13 IPM Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tahun Gambar 14 Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun (Tahun) Gambar 15 Perkembangan Angka Melek Huruf Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 16 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun Gambar 17 Reduksi Shortfall IPM Kabupaten Ponorogo Tahun v

8 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting yang perlu menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan. SDM yang berkualitas akan menjadi potensi suatu wilayah. Sebaliknya bila SDM tidak berkualitas maka akan menjadi beban dalam pembangunan. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya, oleh karena itu rancangan pembangunan manusia yang sesungguhnya adalah menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Kualitas manusia (SDM yang tangguh) di suatu wilayah memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan pembangunan di wilayahnya. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah menyejahterakan seluruh penduduk. Bertitik tolak dari tujuan ini, maka manusia ditempatkan sebagai titik sentral dalam pembangunan yang mempunyai ciri dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah berupaya meningkatkan kualitas penduduk sebagai kekayaan sumber daya baik dari aspek kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, serta aspek moralitas (iman dan ketaqwaan). Hal ini merupakan suatu kenyataan yang sederhana, namun seringkali terlupakan oleh kesibukan jangka pendek yang berorientasi pada hal-hal yang bersifat materi. Berbagai ukuran telah banyak digunakan untuk menilai kinerja pembangunan, namun tidak semua ukuran yang dibuat dapat digunakan sebagai ukuran standart yang dapat dibandingkan antar daerah. Oleh karena itu United Nation Development 1

9 Programme (UNDP) menetapkan suatu ukuran standart pembangunan manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). IPM dibentuk melalui pendekatan tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Setiap dimensi direpresentasikan oleh masing-masing indikator. Dimensi umur panjang dan sehat direpresentasikan oleh indikator Angka Harapan Hidup (e 0 ); dimensi pengetahuan direpresentasikan oleh indikator angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS); dan dimensi kehidupan yang layak direpresentasikan oleh indikator kemampuan daya beli (DB). Dengan demikian peningkatan dari IPM sebagai manifestasi pembangunan manusia dapat ditafsirkan sebagai keberhasilan meningkatkan kemampuan dalam memperluas pilihan-pilihan penduduk yang mencakup pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Untuk meningkatkan IPM, tidak hanya tergantung pada pertumbuhan ekonomi belaka namun juga peningkatan di bidang pendidikan dan kesehatan. Agar pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pembangunan manusia maka harus disertai dengan pemerataan pendapatan dan alokasi belanja publik. Kedua hal tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa seluruh penduduk dapat menikmati hasil pembangunan. Selain itu faktor pendidikan dan kesehatan merupakan faktor penting yang sangat efektif dalam pembangunan manusia. Kedua faktor ini adalah kebutuhan dasar yang perlu dimiliki oleh penduduk agar mampu meningkatkan kapabilitas dasarnya. Semakin tinggi kapabilitas dasar yang dimiliki suatu daerah, semakin tinggi pula peluang untuk meningkatkan potensi daerah tersebut. Hal ini pada gilirannya akan menaikkan indikator/komponen IPM. 2

10 Isu pembangunan manusia saat ini menjadi perhatian pemerintah, hal ini ditandai dengan diikutkannya IPM sebagai salah satu alokator dana alokasi umum (DAU) untuk mengatasi kesenjangan keuangan wilayah (fiscal gap). Alokator lainnya adalah luas wilayah, jumlah penduduk, produk domestik bruto, dan indeks kemahalan konstruksi. Melalui hal ini diharapkan agar wilayah dengan IPM rendah secara perlahan dapat mengejar ketertinggalannya karena memperoleh alokasi dana yang berlebih. Dalam konteks perencanaan pembangunan yang baik, maka diperlukan data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dan informasi menjadi mutlak diperlukan sebagai bahan untuk mengevaluasi sasaran pembangunan yang telah dicapai. Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran tentang pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo, disusunlah publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Ponorogo Tahun Dengan diterbitkannya publikasi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai alat evaluasi atas pembangunan yang telah dilakukan serta dapat dijadikan masukan dalam penentuan kebijakan pembangunan di Kabupaten Ponorogo Tujuan dan Sasaran Tujuan dari penulisan ini adalah menyajikan data dan informasi tentang kondisi penduduk dan permasalahannya sebagai dampak dari pembangunan yang telah dilaksanakan di Kabupaten Ponorogo. Selanjutnya diharapkan dapat menjadi masukan dalam perencanan dan pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan sumberdaya manusia di Kabupaten Ponorogo, termasuk penentuan sektor-sektor prioritas dalam pembangunan manusia. Publikasi ini menyajikan data dan analisis IPM 3

11 selama tahun Selain itu publikasi ini juga menganalisis perkembangan masing-masing komponen IPM. Sasaran yang ingin dicapai dalam publikasi ini meliputi: a. Teridentifikasinya kondisi beberapa variabel sektoral dalam pembangunan manusia, meliputi sektor-sektor: kesehatan, pendidikan, dan ekonomi di Kabupaten Ponorogo. b. Memberikan gambaran permasalahan yang ada di bidang pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo c. Diperolehnya gambaran tentang perkembangan ukuran pembangunan manusia (IPM) dan indikator-indikator sosial lainnya di Kabupaten Ponorogo. d. Terumuskannya implikasi masalah dan kebijakan untuk menangani berbagai masalah yang merupakan bagian dari perencanaan dan penanganan pembangunan manusia Sumber Data Dalam penyusunan publikasi ini, sumber data utama berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) disamping data sensus maupun survei BPS lainnya. Sumber data lain berasal dari publikasi-publikasi BPS kabupaten, BPS provinsi maupun BPS RI, antara lain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Makro (Inmakro). 4

12 1.4. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan buku Tahun 2012 ini mencakup 5 bab dengan perincian sebagai berikut : Bab I merupakan bab pendahuluan yang mencakup latar belakang, tujuan dan sasaran, sumber data, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang metodologi penghitungan IPM secara rinci dari masing-masing komponen IPM. Bab III membahas mengenai gambaran umum keadaan di Kabupaten Ponorogo yang mencakup keadaan sosial ekonomi masyarakat Ponorogo.. Bab IV membahas mengenai analisis IPM beserta komponen-komponennya dan dikaitkan dengan beberapa indikator tunggal seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Bab V merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari uraian pada bab-bab sebelumnya. 5

13 BAB II METODOLOGI 2.1. Konsep Pembangunan Manusia Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sudut manusianya, bukan hanya dari pertumbuhan ekonominya. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (kapabilitas) manusia, tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan manusia tersebut secara optimal. Paradigma pembangunan lama menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang menempatkan pendapatan sebagai acuan, dan yang menjadi alat ukurnya adalah GNP atau GDP per kapita. Alat ukur ini dirasa kurang komprehensip karena hanya melihat satu sisi kehidupan manusia. Sejak tahun 1990, UNDP mengadopsi suatu paradigma baru mengenai pembangunan. Paradigma ini melihat manusia dari sisi yang lebih baik dan komprehensip karena disamping memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek ekonomi, juga memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek non-ekonomi. Paradigma pembangunan yang dimaksud tersebut mengandung empat komponen utama yaitu : a. Produktivitas. Manusia harus berkemampuan untuk meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam mencari penghasilan dan lapangan kerja. Oleh karena itu pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan manusia. b. Pemerataan. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapuskan, 6

14 sehingga semua orang dapat berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari peluang yang sama. c. Berkelanjutan. Akses terhadap peluang/kesempatan harus tersedia bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Semua sumber daya harus dapat diperbaharui. d. Pemberdayaan. Semua orang diharapkan berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dalam proses aktivitasnya. Penyertaan konsep pembangunan manusia dalam kebijakan-kebijakan pembangunan sama sekali tidak berarti meninggalkan berbagai strategi pembangunan terdahulu, antara lain mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan mencegah perusakan lingkungan. Namun perbedaannya adalah bahwa dari sudut pandang pembangunan manusia, semua tujuan tersebut diletakkan dalam kerangka untuk memperluas pilihan-pilihan bagi manusia Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah variabel tak bebas yang bersifat state, yaitu suatu variabel yang perubahannya berlangsung lambat dan akan meningkat/menurun sedikit demi sedikit sebagai respon terhadap perubahan berbagai kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Agar mudah dipahami, maka variabelvariabel sosial dan ekonomi tersebut disusun menjadi indeks komposit yang digabung menjadi indeks tunggal. Angka IPM sangat penting untuk melihat sampai seberapa jauh pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan mampu secara nyata memberikan output berupa peningkatan kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk 7

15 melakukan pilihan-pilihan. Diagram di bawah ini menyajikan gambar indeks-indeks yang disajikan pada Indeks Pembangunan Manusia yang dihitung dan diperlihatkan secara jelas persamaan dan perbedaan antara masing-masing indeks. Gambar 1. Diagram Penghitungan IPM DIMENSI UMUR PANJANG DAN SEHAT PENGETAHUAN KEHIDUPAN YANG LAYAK INDIKATOR Angka Harapan Hidup pada saat lahir Angka Melek Huruf (Lit) Rata-rata Lama Sekolah (MYS) Pengeluaran per Kapita Riil yang Disesuaikan (PPP Rupiah) INDEKS Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Pendapatan INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) Secara umum metode penghitungan IPM yang digunakan di Indonesia sama dengan metode penghitungan yang digunakan oleh UNDP. IPM di Indonesia disusun berdasarkan tiga komponen indeks, yaitu: 1) Indeks angka harapan hidup ketika lahir; 2) Indeks pendidikan, yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah (rata-rata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang dijalani) dan angka melek huruf (Latin atau lainnya pada penduduk usia 15 tahun atau lebih); serta 8

16 3) Indeks standar hidup layak, yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP-Purchasing Power Parity / paritas daya beli dalam rupiah). Masing-masing terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga bernilai 0 (buruk) dan 1 (terbaik). Untuk memudahkan analisa biasanya dikalikan 100. Teknik penyusunan indeks tersebut pada dasarnya mengikuti rumus sebagai berikut: dimana: I (i) IPM i 1 I ( i) dimana : Indeks komponen IPM ke i (i=1,2,3) X (i) : Nilai indikator komponen IPM ke i I ( i) { X ( i) Min. X ( i) } { Max. X Min. X ( i) ( i) } Max.X (i) Min. X (i) : Nilai maksimum X (i) : Nilai minimum X (i) Berdasarkan nilai IPM yang diperoleh, kita dapat melakukan analisis lebih lanjut, diantaranya tingkat status pembangunan manusia dan tingkat pertumbuhan IPM. Nilai maksimum dan minimum yang digunakan dalam penghitungan IPM menurut BPS sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator Komponen IPM Nilai Minimum Nilai Maksimum Catatan Angka Harapan Hidup 25,0 85,0 Standart UNDP Angka Melek Huruf Standart UNDP Rata-rata Lama Sekolah 0 15 Standart UNDP Purchasing Power Parity *) a) b) Disesuaikan Catatan * a) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki tingkat konsumsi per kapita terendah pada tahun 1990 (daerah pedesaan di Sulawesi Selatan). Untuk tahun 1999, nilai minimum disesuaikan menjadi Rp Penyesuaian ini dilakukan karena krisis ekonomi telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat secara drastis sebagimana terlihat dari peningkatan angka kemiskinan dan penurunan upah riil. Penambahan sebesar 9

17 Rp didasarkan pada perbedaan antara garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru yang jumlahnya Rp per bulan (= Rp per tahun). b) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi di Indonesia yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan tingkat pertumbuhan daya beli sebesar 6,5 persen pertahun selama Hasil penghitungan IPM akan memberikan gambaran seberapa jauh suatu wilayah telah mencapai sasaran yang ditentukan. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, maka semakin dekat pula wilayah tersebut dengan sasaran yang ingin dicapai. Untuk memahami makna nilai IPM, maka PBB malalui UNDP memberikan kriteria sebagai berikut: Tabel 2. Tingkatan Status dan Kriteria Nilai IPM Tingkatan Status Rendah Menengah bawah Menengah Atas Tinggi Kriteria IPM < IPM < IPM < 80 IPM 80 IPM juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pencapaian terhadap sasaran ideal (IPM=100) yang biasanya disebut reduksi shortfall per tahun. Angka tersebut mengukur rasio pencapaian kesenjangan antara jarak yang sudah ditempuh dengan yang harus ditempuh untuk mencapai kondisi yang ideal. Dalam pengertian sehari-hari reduksi shortfall dikatakan sebagai suatu kepekaan terhadap perlakuan yang diberikan berkaitan dengan pembangunan manusia. Semakin tinggi nilai reduksi shortfall di suatu wilayah, maka semakin cepat pula kenaikan IPM yang dicapai dalam suatu periode. Berikut cara penghitungan reduksi shortfall per tahun yang dinyatakan dengan rumus : IPM t1 - IPM to 1/n R = X 100 IPM ref IPM to 10

18 dimana : R : reduksi short fall per tahun IPM t 0 : IPM tahun awal observasi IPM t 1 : IPM tahun akhir IPM ref : IPM acuan atau ideal yang dalam hal ini sama dengan 100 n : tahun akhir tahun awal. Ada 4 kategori reduksi shortfall per tahun, yaitu sangat lambat jika < 1,3; lambat jika 1,3 1,5; menengah jika 1,5 1,7; dan cepat jika > 1,7. Semakin besar reduksi shortfall per tahun maka semakin besar kemajuan yang dicapai daerah tersebut dalam periode itu. berikut : Sedangkan untuk menghitung masing-masing komponen IPM adalah sebagai a. Angka Harapan Hidup (e 0 ) Pembangunan manusia harus lebih mengupayakan agar penduduk dapat mencapai usia hidup yang panjang dan sehat. Sebenarnya banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur usia hidup, tetapi dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara global, UNDP memilih indikator angka harapan hidup waktu lahir (e 0 ). Angka harapan hidup adalah rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Di Indonesia angka harapan hidup dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Prosedur penghitungan angka harapan hidup yang diperoleh dengan metode tidak langsung ini merujuk pada keadaan 3-4 tahun dari tahun survei. 11

19 Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara (175 negara di dunia). Pada komponen ini, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini diambil sesuai standart. b. Rata-rata Lama Sekolah (MYS) dan Angka Melek Huruf (Lit) Pengetahuan diakui secara luas sebagai unsur mendasar dari pembangunan manusia. Dua indikator yang digunakan untuk menghitung komponen indeks pendidikan, yaitu Angka Melek Huruf penduduk dewasa (Lit) dan Rata-Rata Lama Sekolah (MYS). Angka Melek Huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya. Sedangkan Rata-Rata Lama Sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Untuk penghitungan indeks pendidikan ini, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara. Batas maksimum untuk Angka Melek Huruf (Lit) adalah 100 dengan batas minimum 0. Hal ini menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai 0 mencerminkan kondisi sebaliknya. Sementara itu batas maksimum untuk Rata-Rata Lama Sekolah (MYS) adalah 15 tahun dan batas minimum adalah 0 tahun. Batas maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan maksimum yang ditargetkan adalah setara lulus Sekolah Menengah Atas. Populasi yang digunakan dalam penghitungan MYS dibatasi pada penduduk berumur 15 tahun ke atas, dengan alasan penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun masih dalam proses sekolah 12

20 sehingga angka lebih mencerminkan pada kondisi yang sebenarnya, dengan asumsi bahwa program wajib belajar 9 tahun dianggap sudah tuntas. Langkah penghitungannya adalah pertama-tama memberi bobot variabel pendidikan yang ditamatkan (jenjang pendidikan). Tabel di bawah menyajikan faktor konversi dari tiap-tiap jenjang pendidikan yang ditamatkan. Tabel 3. Jenjang Pendidikan dan Tahun Konversi (Skor) Yang Digunakan Untuk Menghitung Rata-rata Lama Sekolah No. Jenjang Pendidikan Tahun Konversi (Skor) 1. Tidak/belum pernah sekolah 0 2. SD 6 3. SLTP 9 4. SLTA/SMU Diploma I Diploma II Akademi/Diploma III Diploma IV/Sarjana Magister (S2) Doktor (S3) 21 Langkah selanjutnya adalah menghitung rata-rata tertimbang dari variabel tersebut sesuai dengan bobotnya, dengan rumus sebagai berikut : MYS fi fi si di mana : MYS : rata-rata lama sekolah (dalam tahun) fi : frekuensi penduduk yang berumur 15 tahun ke atas untuk jenjang pendidikan ke-i si : skor masing-masing jenjang pendidikan i i : jenjang pendidikan (i=1,2,...), lihat tabel di atas 13

21 Setelah mendapatkan nilai Lit dan MYS, maka dilakukan penyesuaian dengan memberi bobot pada masing-masing indikator tersebut. Rata-rata Lama Sekolah diberi bobot sepertiga, sedangkan Angka Melek Huruf diberi bobot dua pertiga. Adapun Indeks Pendidikan tersebut dihitung dengan rumus sebagai berikut: IP = 2/3 Indeks Lit + 1/3 Indeks MYS c. Standar Hidup Layak Untuk mengukur indikator Standart Hidup Layak, UNDP menggunakan GDP per kapita yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita). Namun dalam penghitungan IPM sub nasional (propinsi dan kabupaten/kota) tidak dapat menggunakan data PDRB per kapita yang kurang lebih setara dengan ukuran UNDP. Hal ini dikarenakan PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu wilayah dan tidak mampu menggambarkan daya beli riil dari masyarakat yang merupakan fokus dari IPM. Sedangkan data pengeluaran per kapita yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) merupakan pendekatan dari daya beli masyarakat lokal yang lebih baik. Untuk mengukur daya beli masyarakat antar kabupaten/kota, digunakan rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari hasil Susenas yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat dan telah distandarkan agar dapat dibandingkan antar daerah dan antar waktu serta disesuaikan dengan indeks PPP. Adapun 27 jenis komoditi standart dapat dilihat pada daftar dibawah ini: 14

22 Tabel 4. Komoditi Terpilih Susenas Untuk Standar Penghitungan PPP Komoditi Unit Proporsi dari total konsumsi (%) 1 Beras Kg 7,25 2 Tepung Terigu Kg 0,10 3 Ketela Pohon Kg 0,22 4 Ikan Tongkol Kg 0,50 5 Ikan Teri Ons 0,32 6 Daging Sapi Kg 0,78 7 Daging Ayam Kampung Kg 0,65 8 Telur Ayam Butir 1,48 9 Susu Kental Manis 397 Gram 0,48 10 Bayam Kg 0,30 11 Kacang Panjang Kg 0,32 12 Kacang Tanah Kg 0,22 13 Tempe Kg 0,79 14 Jeruk Kg 0,39 15 Pepaya Kg 0,18 16 Kelapa Butir 0,56 17 Gula Pasir Ons 1,61 18 Kopi Bubuk Ons 0,60 19 Garam Ons 0,15 20 Merica/Lada Ons 0,13 21 Mie Instan 80 Gram 0,79 22 Rokok Kretek Filter 10 Batang 2,86 23 Listrik Kwh 2,06 24 Air Minum M3 0,46 25 Bensin Liter 1,02 26 Minyak Tanah Liter 1,74 27 Sewa Rumah Unit 11,56 PPP dihitung berdasarkan pengeluaran per kapita setelah disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan penurunan utilitas marginal yang dihitung dengan formula Atkinson. Penghitungan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang telah disesuaikan dilakukan melalui 5 (lima) tahapan sebagai berikut : 1) Menghitung rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dengan menggunakan data Susenas. Hasil penghitungan dikali 12 untuk memperoleh angka tahunan (misal A). 15

23 2) Menghitung nilai pengeluaran riil (B) yaitu dengan membagi rata-rata pengeluaran (A) dengan IHK pada tahun yang bersangkutan. 3) Menghitung PPP (unit) semacam faktor pengali (misal C) untuk menghilangkan perbedaan antar daerah. 4) Menghitung nilai PPP dalam rupiah (Y*) dengan cara membagi B dengan C. 5) Menghitung penyesuaian PPP (rupiah) atau rata-rata konsumsi riil dengan menggunakan formula Atkinson (Y**) : Y** = Y* jika Y* Z = Z + 2(Y* - Z) (1/2) jika Z < Y * 2Z = Z + 2Z (1/2) + 3 (Y* -2Z) (1/3) jika 2Z < Y* 3Z = Z + 2Z (1/2) + 3 (Y*-2Z) (1/3) + 4 (Y*-3Z) (1/4) jika 3Z < Y* 4Z) dimana: Y* : konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dengan PPP/unit Z : Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp per kapita setahun atau Rp per kapita per hari. 16

24 BAB III GAMBARAN UMUM 3.1. Profil Kabupaten Ponorogo Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.371,78 km 2 yang terletak antara 111 7' ' Bujur Timur dan 7 49' ' Lintang Selatan dengan ketinggian antara 92 sampai dengan meter di atas permukaan laut. Kabupaten Ponorogo secara langsung berbatasan dengan Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Nganjuk di sebelah Utara. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah). Wilayah Kabupaten Ponorogo terbagi habis atas 21 Kecamatan yang terdiri dari 305 desa/kelurahan. Gambar 2. 17

25 Kondisi topografi Kabupaten Ponorogo bervariasi mulai dari dataran rendah hingga pegunungan. Berdasarkan data yang ada, sebagian besar wilayah Kabupaten Ponorogo, yaitu sebesar 79% terletak di ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut, 14,8% berada di antara meter, dan sisanya 6,2% berada pada ketinggian di atas 700 meter. Bila dilihat secara klimatologis, Kabupaten Ponorogo merupakan dataran rendah dengan iklim tropis yang mengalami dua musim yaitu kemarau dan penghujan dengan suhu berkisar C. Wilayah Kecamatan Ngrayun mempunyai wilayah terluas dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Ponorogo, sementara wilayah terkecil adalah Kecamatan Ponorogo. Sumber : Ponorogo Dalam Angka 2013, BPS Berdasarkan hasil proyeksi BPS tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo sebesar jiwa, yang terdiri dari jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan dengan kepadatan penduduk mencapai 625 jiwa/km 2. Komposisi penduduk laki-laki dan perempuan di Kabupaten Ponorogo hampir seimbang. Tercatat rasio jenis kelamin (Sex Ratio) sebesar 99,44 yang berarti bahwa secara rata-rata pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki. 18

26 Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan 2012 No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio 1 Ngrayun ,35 2 Slahung ,01 3 Bungkal ,47 4 Sambit ,95 5 Sawoo ,02 6 Sooko ,73 7 Pudak ,69 8 Pulung ,50 9 Mlarak ,88 10 Siman ,03 11 Jetis ,48 12 Balong ,21 13 Kauman ,74 14 Jambon ,49 15 Badegan ,72 16 Sampung ,38 17 Sukorejo ,34 18 Ponorogo ,57 19 Babadan ,18 20 Jenangan ,58 21 Ngebel ,74 Jumlah ,44 Sumber : Ponorogo Dalam Angka 2013, BPS Dari 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Ponorogo, Kecamatan Ponorogo merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar jiwa/km 2, diikuti oleh Kecamatan Babadan jiwa (1.429 jiwa/km 2 ) dan Kecamatan Jetis jiwa (1.300 jiwa/km 2 ). Jika dilihat dari sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur, penduduk Kabupaten Ponorogo merupakan penduduk produktif dengan persentase terbesar penduduk usia tahun sebesar 67,92%. Sedangkan penduduk usia di bawah 15 tahun sebesar 21,32% dan penduduk usia 65 tahun ke atas sebesar 10,76%. 19

27 3.2 Gambaran Umum Sosial Ekonomi Kabupaten Ponorogo Sebagaimana paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai titik sentral dari pembangunan itu sendiri, maka upaya-upaya peningkatan kualitas manusia baik secara fisiologis, ekonomis, maupun spiritual perlu diupayakan. Dalam menggambarkan upaya-upaya pembangunan manusia tersebut biasanya digunakan indikator-indikator sosial ekonomi yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, ketenagakerjaan, maupun pertumbuhan ekonomi Bidang Pendidikan Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar manusia untuk mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Pemerintah sampai saat ini dan di masa-masa mendatang akan terus meningkatkan pendidikan bangsanya agar cita-cita kemerdekaan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat menjadi kenyataan. Begitu pula dengan Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang salah satu misinya adalah mewujudkan kepastian pelayanan dasar masyarakat secara optimal yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur baik pedesaan maupun perkotaan. Pendidikan yang berbasis pengetahuan dan moral sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi abad globalisasi dimana berbagai pengaruh dari luar masuk dengan bebas ke negeri ini. Melalui pendidikan pula diharapkan penanggulangan kemiskinan dan berkurangnya pengangguran dapat tercapai. 20

28 Kemampuan baca tulis adalah kemampuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia. Diharapkan dengan meningkatnya kemampuan baca tulis maka akan meningkat pula akses terhadap berbagai informasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan pengetahuan. Kemampuan baca tulis tercermin dari tinggi rendahnya angka melek huruf. Dalam hal ini merupakan persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya. Gambar 4. Angka Melek Huruf Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Kabupaten Ponorogo Tahun Sumber : Inmakro Jawa Timur 2012, BPS Dari grafik Angka Melek Huruf penduduk Usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo Tahun di atas terlihat bahwa persentase angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 88,99 persen pada tahun Selama 2012 terjadi peningkatan angka melek huruf sebesar 1,67 persen poin dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pencapaian program wajib belajar 9 tahun dapat dilakukan dengan cara mengakses seluruh fasilitas pendidikan yang ada bagi penduduk usia sekolah. Untuk mengetahui seberapa 21

29 besar tingkat pemanfaatan atau jangkauan pendidikan, maka digunakan indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang memberi gambaran secara umum tentang banyaknya anak sekolah umur tertentu yang sedang bersekolah tanpa memperhatikan jenjang pendidikan yang sedang diikuti. Angka tersebut memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Angka APS yang ideal adalah 100. Semakin tinggi APS suatu daerah, berarti semakin banyak pula anak usia sekolah yang bersekolah pada tingkat pendidikan tertentu di daerah tersebut. Gambar 5. Angka Partisipasi Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 Sumber : Inmakro Jawa Timur 2012, BPS Dari grafik di atas diketahui bahwa Angka Partisipasi Sekolah Kabupaten Ponorogo untuk anak-anak usia 7-12 tahun adalah 98,84 persen, anak usia tahun sebesar 97,55 persen, dan usia tahun sebesar 65,72 persen. Ini memberikan gambaran bahwa di Kabupaten Ponorogo pada setiap 100 anak usia 7-12 tahun (SD/MI) sekitar 2 anak diantaranya sedang tidak bersekolah, sementara untuk setiap 100 anak usia tahun (SMP/MTs) dan usia tahun (SLTA 22

30 sederajat) masing-masing terdapat 3 anak dan 35 anak yang sedang tidak bersekolah. Angka APS tersebut menunjukkan tren penurunan seiring dengan kenaikan usia, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah persentase penduduk yang sedang bersekolah. Dengan semakin meningkatnya APS di tingkat pendidikan dasar (SD SMP sederajat) maka program wajar 9 tahun juga akan segera tercapai. Tabel 6. Persentase Penduduk Kabupaten Ponorogo Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan No Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Sumber : Susenas 2012, BPS Tidak/Belum Pernah Sekolah 11,03 7,83 5,83 2 Tidak/Belum Tamat SD 20,12 22,42 24,01 3 SD/MI sederajat 32,57 29,20 30,46 4 SLTP/MTs sederajat 18,61 19,87 19,45 5 SMU sederajat 9,69 11,02 10,79 6 SMK sederajat 4,39 5,70 4,96 7 Perguruan Tinggi 3,61 3,96 4,50 Total 100,00 100,00 100,00 Apabila dilihat menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, pada tahun 2012 hampir 49,91 persen penduduk usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Ponorogo telah menamatkan pendidikan tingkat dasar. Sementara penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat tingkat pendidikan menengah 15,75 persen dan tingkat pendidikan tinggi 4,5 persen. Selama tiga tahun terakhir persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak/belum tamat SD menunjukkan kecenderungan menurun dari 31,15 persen pada tahun 2010 menjadi 29,84 persen pada tahun

31 Penduduk yang telah tamat pada suatu jenjang pendidikan tertentu diharapkan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan melanjutkan sekolah dari jenjang yang rendah ke jenjang diatasnya pada akhirnya akan meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat. Sejalan dengan tingginya pendidikan masyarakat akan membawa kemajuan pada wilayah tersebut. Gambar 6. Angka Melanjutkan Sekolah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2011 dan 2012 Sumber : Inmakro Jawa Timur 2012, BPS Angka melanjutkan sekolah dari SD/MI ke SMP/MTs di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2012 meningkat meskipun kecil, yaitu pada tahun 2011 sebesar 99,17 persen menjadi 99,21 persen. Hal ini memberikan gambaran bahwa setiap 100 anak lulusan SD/MI terdapat sekitar 1 anak yang tidak melanjutkan sekolah ke SMP/MTs. Sedangkan angka melanjutkan sekolah SMP/MTs ke SMA/SMK/MA jauh lebih rendah dibanding pada SD/MI ke SMP/MTs yaitu pada tahun 2011 sebesar 87,88 persen dan 87,93 persen pada tahun Kondisi ini menggambarkan bahwa setiap 100 anak lulusan SMP/MTs terdapat sekitar 13 anak tidak melanjutkan ke jenjang SMA sederajat. 24

32 Informasi tentang banyaknya sarana pendidikan, tenaga pengajar, kelas, perpustakaan dan lain-lain mutlak diperlukan guna mengetahui sejauh mana ketersediaan fasilitas pendidikan yang ada, walaupun informasi ini belum dapat mendeteksi kualitas dari sarana pendidikan tersebut. Untuk menggambarkan ketersediaan fasilitas pendidikan paling tidak digunakan dua indikator, yaitu rasio murid-guru dan rasio murid-sekolah. Rasio murid guru diperoleh dari perbandingan antara jumlah murid dan jumlah guru. Angka rasio ini digunakan untuk menggambarkan beban kerja guru dalam mengajar. Sedangkan rasio murid sekolah didapat dari perbandingan jumlah murid dan jumlah sekolah, dimana angka rasio ini dapat digunakan untuk memantau daya tampung sekolah. Pada tahun ajaran 2012/2013, angka rasio murid guru di Kabupaten Ponorogo cukup rendah. Secara rata-rata 1 orang guru mengajar 10 murid untuk SD, 11 murid untuk SMP, 10 murid untuk SMA, dan 13 murid untuk SMK. Melalui hal ini diharapkan pengawasan dan perhatian guru terhadap siswa didiknya dapat lebih fokus sehingga pada akhirnya mutu pengajaran di kelas akan meningkat. Tabel 7. Rasio Murid-Guru dan Murid-Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun Ajaran 2012/2013 Jenjang Pendidikan Rasio Rasio Murid-Guru Murid-Sekolah (1) (2) (3) SD SMP SMA SMK Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo 25

33 Tabel 7 menginformasikan bahwa rasio murid sekolah cukup besar terutama pada jenjang pendidikan menengah atas. Untuk SD rata-rata satu sekolah menampung 114 murid, SMP 286 murid, SMA 365 murid, dan untuk SMK sebanyak 421 murid. Rasio murid-sekolah merupakan cerminan perhatian pemerintah dalam menyediakan sarana belajar bagi anak usia sekolah. Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk tentunya juga harus diiringi penambahan fasilitas belajar berupa sekolah selain juga perlu diperhatikan tingkat penyebaran guru dan sekolah yang seimbang antara daerah perkotaan dan perdesaan Bidang Kesehatan Masyarakat Kualitas kesehatan yang dimiliki seseorang juga menggambarkan kualitas manusianya. Manusia yang sehat rohani dan jasmani dapat dikatakan bahwa kualitas gizi yang dikonsumsinya relatif baik. Disamping itu, agar kondisi tetap sehat tubuh juga perlu dijaga. Jika kondisi tubuh baik dan sehat diharapkan angka harapan hidup meningkat pula. Angka kematian bayi merupakan indikator yang secara langsung berkaitan dengan angka harapan hidup atau dengan kata lain indikator ini bisa memberikan gambaran mengenai derajat kesehatan penduduk. Sumber : Inmakro Jawa Timur 2012, BPS 26

34 Angka kematian bayi adalah jumlah kematian bayi usia dibawah 1 tahun dalam kurun waktu setahun per kelahiran hidup pada tahun yang sama. Selama periode lima tahun terakhir angka kematian bayi menunjukkan kecenderungan menurun, dari 30 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2008 menjadi 27 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun Indikator yang juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bayi dan balita adalah penolong pada saat kelahiran. Penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan/paramedis yang berpengalaman tentunya dapat meminimalisir angka kematian bayi terkait dengan proses persalinan. Tabel 8. Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 Penolong Kesehatan Kelahiran Pertama Kelahiran Terakhir (1) (2) (3) Dokter 9,23 19,71 Bidan 87,19 77,83 Tenaga Medis Lain - - Dukun 3,58 2,47 Famili/Lainnya - - Jumlah 100,00 100,00 Sumber : Susenas 2012, BPS Di tahun 2012 mayoritas kelahiran di Kabupaten Ponorogo ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter/bidan/paramedis) yaitu sebesar 96,42 persen pada awal kelahiran dan 97,54 persen pada tahap akhir kelahiran. Sedangkan persentase kelahiran balita yang ditolong oleh dukun sebesar 3,58 persen di awal kelahiran dan 2,47 persen di akhir kelahiran. 27

35 Tabel 9. Persentase Penduduk Menurut Keluhan Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun Keluhan Kesehatan (1) (2) (3) (4) Tidak ada keluhan kesehatan 71,85 72,58 73,64 Ada keluhan kesehatan dan menyebabkan terganggunya pekerjaan, sekolah dan kegiatan sehari-hari Ada keluhan kesehatan tetapi tidak menyebabkan terganggunya pekerjaan, sekolah dan kegiatan sehari-hari Sumber: Susenas , BPS 12,90 12,86 10,55 15,25 14,56 15,80 Indikator lain yang terkait dengan kesehatan masyarakat yaitu keluhan kesehatan yang dialami oleh penduduk. Berdasarkan hasil Susenas, persentase penduduk Kabupaten Ponorogo yang mengalami keluhan kesehatan selama tiga tahun terakhir cenderung menurun dari 28,15 persen pada tahun 2010 menjadi 26,35 persen di tahun Membaiknya kondisi kesehatan masyarakat juga ditunjukkan oleh menurunnya persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dan menyebabkan terganggunya pekerjaan, sekolah dan kegiatan seharihari selama 2010 hingga Peningkatan status dan derajat kesehatan masyarakat tentunya harus didukung dengan ketersediaan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dokter, dan paramedis lainnya karena pelayanan kesehatan kepada masyarakat terkait erat dengan jumlah fasilitas kesehatan. Di Kabupaten Ponorogo terdapat 6 rumah sakit umum, 31 puskesmas, 57 puskesmas pembantu, 46 puskesmas keliling, posyandu dan sejumlah fasilitas kesehatan lainnya. Adapun untuk jumlah tenaga medis terdapat dokter sebanyak 140 orang, dan paramedis (perawat dan bidan) sekitar orang. 28

36 Tabel 10. Banyaknya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 Fasilitas Kesehatan Jumlah (1) (2) Sarana Kesehatan Rumah Sakit Umum 6 Puskesmas 31 Puskesmas Pembantu 57 Puskesmas Keliling 46 Balai Pengobatan 20 Posyandu Dokter Praktek 162 Apotik 51 Tenaga Kesehatan Dokter 140 Perawat dan Bidan Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo Dengan jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo yang mencapai jiwa, maka dapat diketahui bahwa secara rata-rata setiap puskesmas (termasuk pustu dan pusling) harus siap melayani sekitar penduduk, setiap dokter praktek melayani hampir penduduk, dan setiap apotik harus melayani sekitar penduduk. Terlihat bahwa angka-angka tersebut masih tidak sebanding dengan beban yang harus dilayani terutama ketersediaan sarana apotik, sehingga biasanya akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan yang diberikan. Yang perlu menjadi perhatian adalah tingkat penyebaran dari sarana kesehatan tersebut, karena masih terdapat beberapa kecamatan yang sama sekali tidak memiliki apotik dan dokter praktek yang ada tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang harus dilayani. Apalagi rumah sakit yang ada seluruhnya berada di Kecamatan Ponorogo, padahal pasien yang dilayani tidak hanya berasal dari Kabupaten Ponorogo tetapi juga daerah sekitar Ponorogo. 29

37 Bidang Perekonomian Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Tingkat pertumbuhan ekonomi haruslah lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk, agar peningkatan pendapatan perkapita dapat tercapai. Pada tahun 2012 ini perekonomian Kabupaten Ponorogo menunjukkan tren pertumbuhan yang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Kemajuan perekonomian Kabupaten Ponorogo ini dapat dilihat dari PDRB, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), investasi, inflasi, PAD dan pelayanan di bidang ekonomi. Menurut beberapa ahli, perekonomian daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi daerah dan penciptaan lapangan kerja. Besarnya pertumbuhan ekonomi tergantung dari nilai PDRB setiap tahunnya. Sedangkan penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan setelah terjadi akumulasi aliran modal. Aliran modal masuk akan berdampak pada tersedianya lapangan kerja yang seluas-luasnya. PDRB sebagai salah satu indikator makro ekonomi di Kabupaten Ponorogo dalam lima tahun terakhir ini selalu menunjukkan peningkatan. Dengan membagi PDRB atas dasar harga berlaku dengan jumlah penduduk pertengahan tahun akan menghasilkan PDRB per kapita yang merupakan indikator dalam melihat tingkat kesejahteraan penduduk secara makro. Jumlah penduduk dapat dijadikan penimbang karena jumlah penduduk merupakan pelaku pembangunan yang menghasilkan output. 30

38 Tabel 11. PDRB Per Kapita (ADHB) Kabupaten Ponorogo Tahun No Uraian (1) (2) (3) (4) (5) 1 PDRB ADHB (Juta Rupiah) , , ,08 2 Penduduk Pertengahan Tahun (Jiwa) PDRB Per Kapita (Rupiah) , , ,40 Sumber : PDRB Kabupaten Ponorogo 2013, BPS Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari tahun ke tahun PDRB per kapita penduduk Kabupaten Ponorogo mengalami kenaikan. PDRB per kapita penduduk Kabupaten Ponorogo tahun 2010 adalah Rp ,58 per tahun dan terus meningkat menjadi Rp ,40 di tahun Bila dilihat dari persentase kenaikannya, maka terdapat kenaikan sebesar 12,65 persen dari tahun 2010 ke tahun 2011, dan terdapat kenaikan sebesar 12,73 persen dari tahun 2011 dan Bidang Ketenagakerjaan Dalam tinjauan makro ekonomi, salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari sejauh mana angkatan kerja di daerah tersebut terserap ke dalam lapangan kerja yang ada. Penyerapan angkatan kerja ke dalam lapangan kerja yang tersedia di daerah tertentu nantinya akan berhubungan dengan tingkat pengangguran di daerah tersebut. Penduduk yang termasuk dalam kategori angkatan kerja adalah penduduk yang secara ekonomis berpotensi menghasilkan output atau pendapatan, baik yang sudah bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan pengangguran 31

39 meliputi penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan, atau mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (putus asa), atau sudah diterima bekerja namun belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran merupakan perbandingan antara jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja. Tabel 12. Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Variabel Ketenagakerjaan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 No Variabel Ketenagakerjaan Agustus 2012 (1) (2) (3) 1 Angkatan Kerja (Jiwa) Bekerja (Jiwa) Pengangguran (Jiwa) Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 3,26 Sumber : Sakernas 2011, BPS Dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dapat diketahui bahwa jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2012 di Kabupaten Ponorogo mencapai jiwa atau sebesar 57,68 persen dari total penduduk di Kabupaten Ponorogo. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja sebesar jiwa atau 96,73 persen dari total angkatan kerja dan tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 3,26 persen, lebih rendah dibanding tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2011 yang mencapai 4,37 persen. Angka tingkat pengangguran terbuka Kabupaten Ponorogo ini masih lebih rendah dibanding angka Jawa Timur yang mencapai 4,12 persen, namun masih lebih tinggi dibanding Kabupaten Pacitan (1,16 persen) dan Kabupaten Ngawi (3,05 persen). Namun kedepannya pemerintah harus terus berupaya menciptakan lapangan kerja serta memaksimalkan serta menggunakan seefisien mungkin segala 32

40 sumber daya yang ada, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia di Kabupaten Ponorogo agar angka TPT dapat dipertahankan di level yang rendah Bidang Perumahan Perumahan merupakan salah satu indikator kesejahteraan rakyat yang cukup penting karena peumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Fasilitas-fasilitas perumahan seperti sumber penerangan, sumber air minum, jenis lantai dan tempat buang air besar yang digunakan rumah tangga dapat mencerminkan tingkat kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Ketersediaan air bersih di rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi sangat penting karena berdampak terhadap tingkat kesehatan. Semakin tinggi persentase rumah tangga yang menggunakan air bersih, semakin baik kondisi kesehatan rumah tangga di daerah tersebut. Oleh sebab itu air yang diperlukan rumahtangga harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu mencakup fisik, kimia dan bakteriologis. Sumber air yang masuk dalam kelompok air bersih adalah berasal dari, air kemasan, ledeng, sumur bor/pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung. Pada tahun 2012 di Kabupaten Ponorogo terdapat sekitar 94,14 persen rumah tangga menggunakan sumber air bersih untuk minum, dan sekitar 5,86 persennya menggunakan sumber air tidak bersih untuk minum. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Ponorogo sudah menggunakan air bersih sebagai sumber air minumnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat relatif sudah baik. 33

41 Gambar 8. Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 Sumber : Susenas 2012, BPS Penggunaaan listrik juga menjadi salah satu indikator perumahan yang cukup penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Penggunaan listrik dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan umum dan kemampuan masyarakat untuk membeli pelayanan tersebut. Penyediaan tenaga listrik bertujuan untuk meningkatkan perekonomian serta memajukan kesejahteraan masyarakat. Tersedianya listrik misalnya, dapat berpeluang memperpanjang waktu belajar anak sekolah dan membuka kesempatan anggota rumah tangga untuk berproduksi. Saat ini ketersediaan energi listrik menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting untuk mendukung aktivitas rumah tangga, baik untuk keperluan penerangan maupun mengakses berbagai kebutuhan lain. Semakin berkembangnya sektor kelistrikan akan sangat memberikan pengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Ponorogo. 34

42 Gambar 9. Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Penerangan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 Sumber : Susenas 2012, BPS Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa sebesar 99,63 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo sudah menggunakan listrik PLN sebagai penerangan. Sementara sebanyak 0,37 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo masih ada yang menggunakan penerangan bukan listrik seperti petromaks, pelita, atau sentir. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Kabupaten Ponorogo untuk menjalin kerjasama yang lebih nyata dengan seluruh pemangku kepentingan kelistrikan seperti PT. PLN dan lainnya untuk meningkatkan akses listrik PLN bagi masyarakat Kabupaten Ponorogo. Komponen perumahan lainnya yang cukup penting untuk dilihat kaitannya dengan kesejahteraan rakyat yaitu jenis lantai terluas. Jenis lantai terluas dibedakan menjadi dua yaitu tanah dan bukan tanah. Kriteria ini dibedakan berdasarkan syarat minimal rumah sehat. Rumah yang memiliki jenis lantai tanah dapat menyebabkan mudahnya terjangkit berbagai penyakit. Dari segi sosial ekonomi jika jenis lantai terluas adalah tanah dapat menggambarkan tingkat sosial 35

43 ekonomi penghuninya lebih rendah dibandingkan penghuni rumah yang jenis lantai terluasnya bukan tanah. Gambar 10. Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Lantai Terluas Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 Sumber : Susenas 2012, BPS Dari gambar di atas yang menginformasikan mengenai persentase rumah tangga menurut jenis lantai terluas di Kabupaten Ponorogo, dapat diketahui bahwa sebanyak 79,48 persen rumah tangga di Kabupaten Ponorogo memiliki jenis lantai terluasnya adalah bukan tanah sedangkan rumah tangga yang lantai terluasnya tanah sebanyak 20,52 persen. Pola hidup bersih akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Oleh karena itu keberadaan sanitasi menjadi sangat penting di dalam setiap rumah tangga. Bahan buangan (limbah) yang dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti tinja manusia atau binatang, dapat dicegah dengan menggunakan teknologi sederhana seperti membuat kakus dan tangki septik. Derajat kesehatan masyarakat akan meningkat bila penyediaan sarana sanitasi dibarengi dengan perbaikan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sanitasi tersebut. 36

44 Gambar 11. Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2012 Sumber : Susenas 2012, BPS Berdasarkan data Susenas 2012, rumah tangga di Kabupaten Ponorogo yang menggunakan fasilitas tempat buang air besar sendiri sebesar 75,28 persen, mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Dengan demikian secara keseluruhan persentase rumah tinggal yang bersanitasi (mempunyai fasilitas tempat buang air besar sendiri, bersama, umum) ada peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya dari 90,35 persen tahun 2011 menjadi 92,08 persen pada tahun Peningkatan persentase rumah tangga yang bersanitasi ini tentunya akan meningkatan pula tingkat kesehatan masyarakat. 37

45 BAB IV STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN PONOROGO 4.1. Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, IPM merupakan indeks komposit yang disusun melalui tiga dimensi dasar dengan cakupan yang sangat luas. Selanjutnya, ketiga dimensi tersebut terangkum dalam satu nilai tunggal yaitu angka IPM. Angka IPM tidak memiliki makna apabila dalam analisis tidak menyertakan angka IPM tahun sebelumnya dan dibandingkan dengan angka IPM daerah lain untuk melihat posisi relatif IPM suatu daerah dengan daerah lain. Data IPM digunakan sebagai rujukan dalam berbagai kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan penentuan dana perimbangan daerah melalui DAU. IPM juga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia yang terkait dengan peningkatan kapasitas dasar penduduk yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, serta ekonomi. Untuk itu, pemerintah sangat berkepentingan dengan data IPM sebagai bahan perencanaan, evaluasi, dan monitoring. Berdasarkan skala internasional, capaian IPM dapat dikategorikan menjadi empat kategori yaitu kategori tinggi (IPM>80), kategori menengah ke atas (66<IPM<80), kategori menengah ke bawah (50<IPM<66), dan kategori rendah (IPM<50). Jika diukur berdasarkan skala internasional, maka selama tahun IPM Kabupaten Ponorogo masuk dalam kategori menengah ke atas. 38

46 Gambar 12. Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun Dari grafik di atas diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Ponorogo selama tahun terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 IPM Kabupaten Ponorogo sebesar 69,07 naik menjadi 69,75 di tahun Angka IPM naik kembali menjadi 70,29 di tahun 2010 dan terus mengalami kenaikan di tahun 2011 menjadi 71,15. Di tahun 2012 IPM Kabupaten Ponorogo mencapai 71,91 atau naik sebesar 0,76 poin dibanding tahun sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenaikan angka IPM menandakan pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik. 39

47 Meskipun menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya, namun angka IPM Kabupaten Ponorogo masih rendah bila dibandingkan dengan angka IPM Provinsi Jawa Timur. Nilai yang meningkat tidak serta merta menaikkan peringkat IPM Kabupaten Ponorogo di Provinsi Jawa Timur. Bila dibandingkan dengan angka IPM se- Karesidenan Madiun, angka IPM Kabupaten Ponorogo menempati posisi ke empat setelah Kota Madiun, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Pacitan. Secara umum, IPM Kabupaten Ponorogo dibanding kabupaten lain se-eks Karesidenan Madiun berada diatas Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ngawi, tetapi lebih rendah daripada IPM Provinsi Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo masih perlu ditingkatkan dengan terus memaksimalkan segala potensi sumber daya yang ada di Kabupaten Ponorogo Perkembangan Komponen IPM Perkembangan IPM yang terjadi dipengaruhi oleh perubahan pada komponenkomponen pembentuk IPM. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan atau penurunan indeks dari setiap komponen penyusun IPM, yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Perubahan pada komponen-komponen ini sangat dipengaruhi oleh optimalisasi terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah Indeks Kesehatan Indikator penyusun indeks kesehatan adalah Angka Harapan Hidup. Angka harapan hidup adalah perkiraan banyaknya tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup (secara rata-rata). Angka harapan hidup merupakan salah 40

48 satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan. Dalam usaha meningkatkan nilai indeks kesehatan ini, pemerintah daerah perlu mengupayakan kemudahan bagi masyarakat untuk dapat mengakses sarana kesehatan, peningkatan kualitas dan pembangunan sarana kesehatan yang memadai. Capaian komponen angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo selama periode mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meski tidak terlalu signifikan. Gambar 14. Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun (Tahun) Dari grafik di atas terlihat bahwa angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan dari periode 2008 hingga Tahun 2008 tercatat angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo adalah 69,31 tahun. Tahun 2009 naik menjadi 69,62 tahun. Tahun 2010 dan 2011 terus mengalami kenaikan dari 69,93 tahun menjadi 70,24 tahun. Pada tahun 2012 angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo mencapai 70,4 tahun. Angka ini masih jauh dibawah standar global atau selisih 14,6 tahun, dimana standar harapan hidup ideal adalah 85 tahun. 41

49 Jika dibandingkan dengan angka harapan hidup dengan kabupaten/kota lain se-eks Karesidenan Madiun, angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo pada tahun 2012 berada pada urutan kelima setelah Kabupaten Pacitan (71,69 tahun), Kabupaten Magetan (71,66 tahun), Kota Madiun (71,42 tahun) dan Kabupaten Ngawi (70,57 tahun). Namun bila dilihat secara umum, angka harapan hidup tahun 2012 dari seluruh kabupaten/kota se-eks Karesidenan Madiun mengalami peningkatan dibanding tahun 2010 dan Hal ini mengindikasikan bahwa derajat kesehatan penduduk di eks Karesidenan Madiun mengalami peningkatan. Tabel 13. Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota Madiun ,26 69,93 68,90 71,17 69,91 71, ,48 70,24 69,07 71,41 70,24 71, ,69 70,40 69,25 71,66 70,57 71,42 Dari angka harapan hidup tersebut dapat disusun indeks kesehatan, dimana pada tahun 2012 indeks kesehatan Kabupaten Ponorogo berada pada angka 75,67 diatas indeks kesehatan Provinsi Jawa Timur yang sebesar 75,16. Tabel 14. Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota Madiun ,10 74,88 73,16 76,95 74,85 76, ,47 75,40 73,45 77,35 75,40 77, ,82 75,67 73,75 77,77 75,95 77,37 42

50 Indeks Pendidikan Indeks pendidikan disusun oleh komponen angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Kemampuan baca tulis merupakan kemampuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia. Diharapkan dengan meningkatnya kemampuan baca tulis maka akan meningkatkan pula akses terhadap berbagai informasi. Kemampuan baca tulis yang dimiliki setiap individu memiliki peluang untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Angka melek huruf menunjukkan persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis. Semakin rendah angka melek huruf di suatu daerah menunjukkan semakin banyak penduduk yang tidak bisa membaca dan menulis, artinya semakin banyak pula penduduk yang tidak mampu mengakses perkembangan informasi yang mengindikasikan kualitas SDM di daerah tersebut rendah. Gambar 15. Perkembangan Angka Melek Huruf Kabupaten Ponorogo Tahun

51 Angka Melek Huruf Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 angka melek huruf tercatat 84,93 persen. Tahun 2009 mulai mengalami kenaikan menjadi 85,72 persen. Pada tahun 2010 dan 2011 angka ini kembali mengalami kenaikan menjadi 85,73 persen dan 87,32 persen serta 88,99 persen pada tahun Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012 penduduk yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya sebesar 88,99 persen. Namun bila dibandingkan dengan angka ideal untuk angka melek huruf, angka untuk Kabupaten Ponorogo masih dibawah standar internasional atau selisih 11,01 persen, dimana standar angka melek huruf yang ideal adalah 100 persen. Tabel 15. Angka Melek Huruf Kabupaten/Kota se-eks Karesidenan Madiun Tahun Tahun Pacitan Ponorogo Madiun Magetan Ngawi Kota Madiun ,58 85,73 89,53 90,54 85,14 97, ,60 87,32 89,55 90,56 85,54 97, ,63 88,99 89,61 91,08 85,58 97,84 Bila dibandingkan dengan angka melek huruf dengan kabupaten/kota seeks Karesidenan Madiun pada tahun 2012, angka Melek Huruf untuk Kabupaten Ponorogo menduduki peringkat ke-5 dari 6 kabupaten yang ada. Sedangkan untuk angka melek huruf tertinggi kabupaten/kota se-eks Karesidenan Madiun adalah Kota Madiun dengan angka sebesar 97,84 persen. Bila dibandingkan dengan angka melek huruf se-provinsi Jawa timur yang tercatat sebesar 89,28 persen, angka melek huruf di Kabupaten Ponorogo masih lebih rendah. 44

52 Angka ini mengindikasikan bahwa pemerintah Kabupaten Ponorogo harus memberikan prioritas dan pemantauan secara terus menerus akan program pemberantasan buta huruf. Dalam hal ini, pemerintah dapat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan angka melek huruf, antara lain melalui pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, peningkatan sarana dan prasarana yang menunjang proses belajar mengajar, serta peningkatan kualitas tenaga pengajar. SDM yang berkualitas merupakan aset paling penting bagi pembangunan. SDM yang berkualitas adalah manusia yang mempunyai kualitas intelektual, watak, moral, akhlak, dan fisik yang prima. Keadaan ini dapat terbentuk apabila setiap warga dapat memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan yang merata dan bermutu. Rata-rata lama sekolah dapat digunakan sebagai indikator SDM yang berkualitas serta salah satu komponen penyusun IPM. Indikator ini menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk berumur 15 tahun ke atas dalam menempuh semua jenis pendidikan formal. Gambar 16. Rata-Rata Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun (Tahun) 45

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii i DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan dan Sasaran... 3 I.3 Sumber Data... 4 I.4 Sistematika Penulisan... 5 BAB II Metodologi...

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan dan Sasaran... 3 I.3 Sumber Data... 4 I.4 Sistematika

Lebih terperinci

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0)

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0) Lampiran 1. Penjelasan Singkat Mengenai IPM dan MDGs I. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 1 Sejak 1990, Indeks Pembangunan Manusia -IPM (Human Development Index - HDI) mengartikan definisi kesejahteraan secara

Lebih terperinci

2.1. Konsep dan Definisi

2.1. Konsep dan Definisi 2.1. Konsep dan Definisi Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (0 tahun) yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi (AKB) Banyaknya kematian bayi

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar di masyarakat tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Manusia merupakan harta atau aset yang sangat berharga bagi kelanjutan ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu negara, pengembangan kualitas akan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009 No. Katalog BPS : 4102002.05 Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : x + 70 Naskah : Badan Pusat Statistik Propinsi Kepulauan Riau

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 Katalog BPS: 1413.3523 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 BADAN PUSAT STATISTIK DAN BAPPEDA KABUPATEN TUBAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 No. Publikasi : 35230.0310 Katalog

Lebih terperinci

Bab IV Ulasan Ringkas Disparitas Wilayah 18

Bab IV Ulasan Ringkas Disparitas Wilayah 18 ii Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar...... ii iii v vi Bab I Pendahuluan... 1 1.1 Latar Belakang..... 2 1.2 Tujuan Penulisan...... 4 1.3 Manfaat........ 5 Bab II Konsep dan

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 4102002.3523 Katalog BPS: 4102002.3523 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN TAHUN 2011 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN TUBAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2011 No. Publikasi

Lebih terperinci

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini dapat terselesaikan.

Lebih terperinci

Bupati Kepulauan Anambas

Bupati Kepulauan Anambas Bupati Kepulauan Anambas KATA SAMBUTAN Assalammulaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Untuk Kita Semua Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua dan tak lupa dihaturkan

Lebih terperinci

Bab IV Ulasan Ringkas Disparitas Wilayah 18

Bab IV Ulasan Ringkas Disparitas Wilayah 18 ii Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar...... ii iii v vi Bab I Pendahuluan... 1 1.1 Latar Belakang..... 2 1.2 Tujuan Penulisan...... 4 1.3 Manfaat........ 5 Bab II Konsep dan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii v viii I. PENDAHULUAN 1 7 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rasional 4 1.3. Perumusan Masalah 5 1.4. Tujuan dan Manfaat Studi 5 1.4.1.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM Pada bab IV ini penulis akan menyajikan gambaran umum obyek/subyek yang meliputi kondisi geografis, sosial ekonomi dan kependudukan Provinsi Jawa Tengah A. Kondisi Geografis Provinsi

Lebih terperinci

Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012

Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012 Kata pengantar Publikasi Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012 merupakan publikasi perdana yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan indikator keuangan

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. Analisis Pembangunan Sosial Kabupaten Bandung Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. Analisis Pembangunan Sosial Kabupaten Bandung Latar Belakang Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Informasi statistik merupakan salah satu bahan evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah, serta sebagai bahan masukan dalam proses perumusan kebijakan perencanaan

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: Katalog BPS: 4103.1409 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT (INKESRA) KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 2013 No. Katalog : 4103.1409 Ukuran Buku Jumlah Halaman Naskah Gambar Kulit dan Setting Diterbitkan Oleh Kerjasama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 (Oleh Endah Saftarina Khairiyani, S.ST) 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan era globalisasi menuntut setiap insan untuk menjadi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN 4.1 Pendidikan di Banten Pemerintah Provinsi Banten sejauh ini berupaya melakukan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat salah satunya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Manusia Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau Kata pengantar Publikasi Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2013 merupakan publikasi kedua yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan indikator keuangan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER IPM (INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA) KABUPATEN PASER TAHUN 2011 Pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Paser pada kurun 2007 2011 terus mengalami peningkatan.

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG 4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau

Lebih terperinci

KOMPONEN IPM 5.1 INDIKATOR KESEHATAN. Keadaan kesehatan penduduk merupakan salah satu modal

KOMPONEN IPM 5.1 INDIKATOR KESEHATAN. Keadaan kesehatan penduduk merupakan salah satu modal KOMPONEN IPM Pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia (masyarakat). Di antara berbagai pilihan, yang terpenting yaitu berumur panjang dan sehat,

Lebih terperinci

Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Berdasarkan Data Susenas 2013 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Nomor Publikasi : 35522.1402

Lebih terperinci

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi)

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol.1, No.7 April 2013 ANALISIS INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERIODE 2007-2011 H. Syamsuddin. HM ABSTRACT

Lebih terperinci

Katalog BPS : KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN

Katalog BPS : KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN Katalog BPS : 4102002.1404 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Pelalawan Tahun 2008 ISBN : 979 484 930 8

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH... II Aspek Geografi Dan Demografi... II-2

DAFTAR ISI. BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH... II Aspek Geografi Dan Demografi... II-2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI Hal DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xix BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-4 1.3. Hubungan Antar Dokumen RPJMD

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian visi dan misi walikota dan wakil walikota pada akhir periode masa jabatan, maka ditetapkanlah beberapa indikator

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR DAERAH Untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian visi dan misi bupati dan wakil bupati pada akhir periode masa jabatan, maka ditetapkanlah beberapa indikator kinerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2007-2008 ISBN : Nomor Publikasi : Katalog : Ukuran buku Jumlah halaman : 17.6 x 25 cm : x + 100 halaman Naskah : Sub Direktorat Konsistensi Statistik Diterbitkan oleh : Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat suatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau meningkat.

Lebih terperinci

Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Mamuju

Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Mamuju Katalog BPS: 4102002.7604 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Mamuju Human Development Index of Mamuju Regency 2012 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAMUJU Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Mamuju

Lebih terperinci

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN 2013 Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 Statistik Dasar UU NO. 16 TAHUN 1997 (TENTANG STATISTIK) Statistik yang pemanfaatannya

Lebih terperinci

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS : 4102004.1111 Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Jl. T. Chik Di Tiro No. 5 Telp/Faks. (0645) 43441 Lhokseumawe 24351 e-mail : bpsacehutara@yahoo.co.id, bps1111@bps.go.id BADAN PUSAT

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67 RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS 2015 Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan, meningkatnya derajat kesehatan penduduk di suatu wilayah, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA PALU DT - TAHUN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA PALU DT - TAHUN DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Palu Menurut Kecamatan Tahun 2015.. II-2 Tabel 2.2 Banyaknya Kelurahan Menurut Kecamatan, Ibu Kota Kecamatan Dan Jarak Ibu Kota Kecamatan Dengan Ibu Kota Palu Tahun

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR 4. 1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur membentang antara 111 0 BT - 114 4 BT dan 7 12 LS - 8 48 LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian utara

Lebih terperinci

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU 21 Analisis Gambaran Umum Kondisi Daerah 211 Aspek Geografi dan Demografi 2111 Aspek Geografi Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, maksud tujuan dan sasaran, ruang lingkup, serta sistematika pembahasan, yang menjadi penjelasan dasar

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI ACEH 2016 Nomor Publikasi : 11522.1605 Katalog BPS : 4102004.11 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : xvii + 115 Halaman Naskah Gambar Kulit Diterbitkan

Lebih terperinci

Kabupaten Ponorogo Data Agregat per Kecamatan

Kabupaten Ponorogo Data Agregat per Kecamatan Kabupaten Ponorogo Data Agregat per Kecamatan BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN PONOROGO Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan sejalan dengan rekomendasi

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 01/11/Th.I, 21 November 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2015

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Syukur alhamdulilah, tahun ini buku DATA DEMOGRAFI, EKONOMI, DAN SOSIAL BUDAYA KOTA MADIUN 2017 dapat diselesaikan dengan

KATA PENGANTAR. Syukur alhamdulilah, tahun ini buku DATA DEMOGRAFI, EKONOMI, DAN SOSIAL BUDAYA KOTA MADIUN 2017 dapat diselesaikan dengan KATA PENGANTAR Syukur alhamdulilah, tahun ini buku DATA DEMOGRAFI, EKONOMI, DAN SOSIAL BUDAYA KOTA MADIUN 2017 dapat diselesaikan dengan baik. Dalam publikasi ini disajikan data-data demografi, ekonomi,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-2 1.3 Hubungan RPJMD dengan Dokumen Perencanaan Lain... I-4 1.4 Sistematika Penulisan... I-5

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG 2015 No Publikasi : 2171.15.27 Katalog BPS : 1102001.2171.060 Ukuran Buku : 24,5 cm x 17,5 cm Jumlah Halaman : 14 hal. Naskah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang harus dicapai dalam pembangunan. Adapun salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan dalam pembangunan adalah

Lebih terperinci

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA 1. Gambaran Umum Demografi DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA Kondisi demografi mempunyai peranan penting terhadap perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah karena faktor demografi ikut mempengaruhi pemerintah

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN SORONG TAHUN 2010 Nomor Publikasi : 9107.11.03 Katalog BPS : 1413.9107 Ukuran Buku : 16,5 x 21,5 cm Jumlah Halaman : v rumawi + 111 halaman Naskah : Seksi Statistik

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX)

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX) INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX) 2009 Kerjasama BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH dengan BPS KABUPATEN GUNUNGKIDUL INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Lebih terperinci

INDIKATOR PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PULAU MOROTAI 2015

INDIKATOR PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PULAU MOROTAI 2015 INDIKATOR PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PULAU MOROTAI Kata Pengantar merupakan publikasi yang menyajikan data terkait indikator ekonomi, sosial, infrastruktur dan pelayanan publik, lingkungan, dan teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN

KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2005-2013 KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2005-2013 Ukuran Buku

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 SEBANYAK 154,20 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

RPJMD KABUPATEN LINGGA DAFTAR ISI. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

RPJMD KABUPATEN LINGGA DAFTAR ISI. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar i ii vii Bab I PENDAHULUAN I-1 1.1 Latar Belakang I-1 1.2 Dasar Hukum I-2 1.3 Hubungan Antar Dokumen 1-4 1.4 Sistematika Penulisan 1-6 1.5 Maksud dan Tujuan 1-7 Bab

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pembangunan manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada tahun 1990 UNDP (United Nations Development Programme) dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pembangunan manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada tahun 1990 UNDP (United Nations Development Programme) dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan definisi dan teori pembangunan manusia, pengukuran pembangunan manusia, kajian infrastruktur yang berhubungan dengan pembangunan manusia, dan kajian empiris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat

Lebih terperinci

Kata pengantar. Tanjungpinang, September 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Kata pengantar. Tanjungpinang, September 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau Kata pengantar Publikasi Statistik Sosial Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014 merupakan publikasi yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan Indeks Demokrasi Indonesia

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 05 /01/32/Th. XVII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan

Lebih terperinci

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU. 2.1 Analisis Gambaran Umum Kondisi Daerah Aspek Geografi dan Demografi

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU. 2.1 Analisis Gambaran Umum Kondisi Daerah Aspek Geografi dan Demografi BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU 21 Analisis Gambaran Umum Kondisi Daerah 211 Aspek Geografi dan Demografi 2111 Aspek Geografi Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang dinamis dalam mengubah dan meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Ada tiga indikator keberhasilan suatu pembangunan dalam

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 07/01/62/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... Halaman PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2016-2021... 1 BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG A. GEOGRAFI Kota Bandung merupakan Ibu kota Propinsi Jawa Barat yang terletak diantara 107 36 Bujur Timur, 6 55 Lintang Selatan. Ketinggian tanah 791m di atas permukaan

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G /

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G / Katalog BPS : 4103.5371 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G 2 0 0 5 / 2 0 0 6 BADAN PUSAT STATISTIK KOTA KUPANG INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA KUPANG 2005/2006 No. Publikasi : 5371.0612

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG

BPS PROVINSI LAMPUNG BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/01/18/TH.VII, 2 Januari 2015 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2014 Angka kemiskinan Lampung pada September 2014 sedikit mengalami penurunan dibanding Maret 2014 yakni dari

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar Rp 321.056,-

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Tingkat Kemiskinan di DKI Jakarta Maret 2017 No. 35/07/31/Th.XIX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2017 sebesar 389,69 ribu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

Series Data Umum Kota Semarang Data Umum Kota Semarang Tahun

Series Data Umum Kota Semarang Data Umum Kota Semarang Tahun Data Umum Kota Semarang Tahun 2007-2010 I. Data Geografis a. Letak Geografis Kota Semarang Kota Semarang merupakan kota strategis yang beradadi tengah-tengah Pulau Jawa yang terletak antara garis 6 0 50

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH DAN ISU STRATEGIS... II-1

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH DAN ISU STRATEGIS... II-1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1 LATAR BELAKANG... I-1 2.1 MAKSUD DAN TUJUAN... I-2 1.2.1 MAKSUD... I-2 1.2.2 TUJUAN... I-2 1.3 LANDASAN PENYUSUNAN...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan merupakan suatu masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian di setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau berkembang adalah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Majalengka GAMBAR 4.1. Peta Kabupaten Majalengka Kota angin dikenal sebagai julukan dari Kabupaten Majalengka, secara geografis terletak

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2016 No. 08/07/18/TH.IX, 3 Januari 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RPJMD KOTA LUBUKLINGGAU 2008-2013 VISI Terwujudnya Kota Lubuklinggau Sebagai Pusat Perdagangan, Industri, Jasa dan Pendidikan Melalui Kebersamaan Menuju Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development)

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perencanaan pembangunan dewasa ini, pembangunan manusia senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development) dirumuskan sebagai perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan pada indikator sosial maupun ekonomi menuju kearah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. perubahan pada indikator sosial maupun ekonomi menuju kearah yang lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses untuk melakukan perubahan pada indikator sosial maupun ekonomi menuju kearah yang lebih baik dan berkesinambungan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BADAN PUSAT STATISTIK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BPS KABUPATEN WONOSBO Visi: Pelopor Data Statistik Terpercaya Untuk Semua Nilai-nilai Inti BPS: Profesional Integritas Amanah Pelopor Data Statistik

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 1101002.6409010 Statistik Daerah Kecamatan Babulu 2015 Statistik Daerah Kecamatan Babulu No. Publikasi : 6409.550.1511 Katalog BPS : 1101002.6409010 Naskah : Seksi Statistik Neraca Wilayah

Lebih terperinci