Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis"

Transkripsi

1

2 Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-nya sehingga Publikasi Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini dapat terselesaikan. Publikasi ini tersaji atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bandung dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung. Data yang perkembangan memuat informasi masyarakat khususnya yang mengenai kondisi berkaitan dengan pembangunan manusia sangat berguna sebagai bahan analisis dan evaluasi program pembangunan serta sebagai bahan perencanaan pembangunan. Publikasi Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini sesuai dengan maknanya merupakan data dasar yang memuat gambaran secara makro hasil pembangunan yang telah dicapai Pemerintah Kota Bandung dalam upaya meningkatkan pemberdayaan manusia di Kota Bandung. Publikasi ini diharapkan akan sangat berguna sebagai kerangka konsep pembangunan yang menjadi dasar kebijakan pembangunan manusia. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan publikasi ini kami ucapkan terima kasih. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi banyak pihak. Bandung, Oktober 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Kota Bandung Ir. Hj. Sri Daty NIP i

3 KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii iv vi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan 1.3 Ruang Lingkup dan Sumber Data BAB II. METODOLOGI Pengertian Indikator 2.2 Indikator Pembangunan Manusia 2.3 Metode Penghitungan IPM 2.4 Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM 2.5 Status Pembangunan Manusia 2.6 Ukuran Perkembangan IPM 2.7 Beberapa Definisi Operasional Indikator Terpilih BAB III. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANDUNG TAHUN Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Di Kota Bandung 3.2 Perkembangan Komponen IPM di Kota Bandung Angka Harapan Hidup (AHH) Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (MYS) Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP) ii

4 BAB IV. DIMENSI UMUR PANJANG DAN SEHAT 4.1 Kondisi Input Fasilitas Tempat Buang Air Besar (BAB) Sumber Air Minum yang Digunakan Ketersediaan Sarana Kesehatan Tenaga Kesehatan Penolong Kelahiran 4.2 Kondisi Proses Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Lamanya Pemberian ASI BAB V. DIMENSI PENGETAHUAN 5.1 Kondisi Input Pendidikan Kepala Rumah Tangga 5.2 Kondisi Proses Angka Partsisipasi Sekolah (APS) Angka Partisipasi Murni (APM) BAB VI. DIMENSI STANDAR HIDUP LAYAK 6.1 Kemiskinan 6.2 PDRB Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi PDRB Per Kapita Pertumbuhan Ekonomi iii

5 Tabel 2.1 Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP) 21 Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM 25 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Persentase Rumah Tangga Menurut Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar di Kota Bandung, Tahun * Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum di Kota Bandung, Tahun 2014* Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan Sumber Air Minum dan Jarak ke Tempat Penampungan Kotoran/Tinja di Kota Bandung, Tahun 2014* Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Bandung, Tahun 2013 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kota Bandung, Tahun 2013 Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kota Bandung, Tahun * iv

6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut Tempat Berobat, Tahun * Persentase Balita Menurut Jenis Kelamin dan Lamanya Pemberian ASI di Kota Bandung, Tahun * Persentase Ijazah yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga di Kota bandung, Tahun 2014* Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Bandung, Tahun 2014* Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Kota Bandung, Tahun 2014* Tabel 6.1 PDRB Per Kapita Kota Bandung Tahun ** 51 v

7 Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia 9 Gambar 3.1 Perkembangan IPM dan Komponennya di Kota Bandung, Tahun * 20 Gambar 3.2 Reduksi Shortfall Kota Bandung Periode * Gambar 3.3 Perkembangan Angka Harapan Hidup Kota Bandung, Tahun * (dalam tahun) Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 4.1 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah di Kota Bandung, Tahun * (dalam tahun) Perkembangan Angka Melek Huruf Kota Bandung, Tahun * (dalam %) Perkembangan Paritas Daya Beli Kota Bandung, Tahun * (dalam ribu rupiah) Persentase Penolong Kelahiran (Terakhir) Balita di Kota Bandung, Tahun 2014* Persentase Penduduk Miskin di Kota bandung, Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung, Tahun ** vi

8 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional adalah usaha untuk meningkatkan kualitas manusia seutuhnya, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Pembangunan nasional merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai sebuah proses perubahan dan transformasi menuju kondisi yang lebih baik khususnya pada aspek kualitas sumber daya manusia. Setiap pembangunan yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan semangat otonomi daerah dalam perencanaan pembangunan dewasa ini, pembangunan manusia menjadi fokus utama atau titik sentral dari setiap tahapan dan proses pembangunan. Manusia tidak lagi hanya sebagai objek pembangunan, melainkan juga sebagai subjek dari pembangunan itu sendiri. Seluruh upaya pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia berdasarkan pada ukuran kualitas kehidupan dan lingkungan, yang pada akhirnya mewujudkan manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat Data Basis Pembangunan Manusia Kota BandungTahun

9 dan kegiatan ekonomi). Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat; pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu gender. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari semua sektor. Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (empat) komponen utama, yaitu : (1) Produktivitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas secara penuh berupah. dalam mereka dan berpartisipasi proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, (2) Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam pembangunan dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini, (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi permodalan juga generasi yang akan hanya Segala bentuk fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi, (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan bukan datang. d i l a k u k a n untuk oleh masyarakat. masyarakat Masyarakat dan harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Alat ukur yang lazim digunakan dalam memantau tingkat pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini dibentuk dari empat indikator, yaitu angka Data Basis Pembangunan Manusia Kota BandungTahun

10 harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Indonesia beserta provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sejak tahun 1998 menggunakan indeks ini untuk memantau kemajuan dari pembangunan manusia di wilayah masing-masing. Tantangan mendasar untuk perbaikan indeks ini terletak pada kemampuan memperbaiki mutu pembangunan di sektor-sektor penopang IPM dan sektor-sektor yang berkaitan dengan itu. Atas dasar tersebut maka kegiatan penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 menjadi penting guna mendukung dan sekaligus memberikan arah bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Kota Bandung dan kecamatan-kecamatan di bawahnya. 1.2 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia di Kota Bandung Tahun 2014 ini adalah sebagai berikut : a. Untuk melihat perkembangan pembangunan manusia di Kota Bandung tahun b. Memberikan gambaran yang lebih sederhana dan lengkap dalam melihat dampak pembangunan yang dilaksanakan dan implikasinya terhadap peningkatan kualitas penduduk. c. Memberikan rekomendasi implementasi program dalam rangka meningkatkan komponen Indeks Pembangunan Manusia Kota Bandung. 1.3 Ruang Lingkup dan Sumber Data Perencanaan bagi program-program pelaksanaan pembangunan memerlukan informasi yang dapat menyajikan gambaran sebenarnya di Data Basis Pembangunan Manusia Kota BandungTahun

11 lapangan (represent reality). Semua informasi yang ada tersebut berguna sebagai penunjang bagi analisis, monitoring dan evaluasi suatu kebijakan. Oleh karena itu, kecermatan dan konsistensi data sangat diperlukan untuk mencegah kekeliruan kesimpulan yang dapat terjadi di kemudian hari secara dini. Ruang lingkup penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini adalah mencakup seluruh wilayah administratif Kota Bandung. Sedangkan rentang isu yang dibahas mencakup aspek kependudukan, sosial budaya, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan perumahan. Sumber data yang digunakan dalam penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini sebagian besar berasal dari hasil Survei Data Basis Pembangunan Manusia Tahun 2014 dan data-data lain yang berkaitan. Data Basis Pembangunan Manusia Kota BandungTahun

12 Program pembangunan yang sedang maupun telah dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Salah satu alat pengukur taraf kesejahteraan masyarakat dapat dipantau melalui indikator sosial serta indikator ekonomi. Dengan menggabungkan indikator-indikator tersebut, maka terbentuklah suatu indeks komposit yang menggambarkan berbagai aspek pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia dapat menunjukkan tingkat pembangunan manusia melalui pengukuran keadaan penduduk menurut usia hidup, pengetahuan, dan hidup layak. IPM merupakan salah satu indikator penting yang dapat digunakan dalam perencanaan kebijakan dan evaluasi pembangunan. 2.1 Pengertian Indikator Indikator adalah petunjuk yang memberikan indikasi tentang sesuatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: 1. sahih (valid), indikator harus dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut; 5

13 2. objektif, untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda; 3. sensitif, perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator; 4. spesifik, indikator hanya mengukur perubahan situasi yang dimaksud. Namun demikian perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat. Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) maupun bersifat jamak (indikator komposit). Indikator tunggal hanya berisi satu indikator saja, salah satu contoh dari pada indikator tunggal adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi adalah banyaknya kematian bayi yang berumur kurang dari 1 (satu) tahun per seribu kelahiran hidup. Indikator jamak (komposit) adalah gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu angka melek huruf (IMH), angka kematian bayi (AKB) dan angka harapan hidup dari anak usia 1 tahun (e 1 ). Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Indikator Input, yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program, seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio puskesmas. 2. Indikator Proses, yang menggambarkan bagaimana proses pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun. 6

14 3. Indikator Output/Outcome, yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SMTA ke atas, AKB, angka harapan hidup, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), dan lain-lain. 2.2 Indikator Pembangunan Manusia Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah serta sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah tentunya diperlukan data yang up to date dan akurat. Apakah pembangunan di bidang kesehatan telah secara nyata meningkatkan derajat kesehatan masyarakat? Apakah pembangunan di bidang pendidikan telah mampu meningkatkan tingkat partisipasi sekolah dan tingkat pendidikan masyarakat? Apakah program Paket Kejar telah mampu meningkatkan kemampuan baca tulis penduduk secara umum? Dalam konteks tersebut di atas diperlukan pula ukuran-ukuran yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu diperlukan berbagai ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan. Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan dan peningkatan kegiatan olah raga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Namun demikian seperti dikatakan Azwini, Karomo dan Prijono (1988:469), tolok ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, tidak termasuk kualitas non fisik. Kesulitan muncul terutama karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit. 7

15 Indikator Indeks Pembangunan merupakan salah satu indikator untuk mengukur taraf kualitas fisik dan non fisik penduduk. Kualitas fisik tercermin dari angka harapan hidup; sedangkan kualitas non fisik (intelektualitas) melalui rata-rata lamanya penduduk bersekolah dan angka melek huruf. Indeks Pembangunan Manusia juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat yang tercermin dari nilai Purchasing Power Parity Index (PPP). 2.3 Metode Penghitungan IPM IPM adalah suatu indikator pembangunan manusia yang diperkenalkan UNDP pada tahun IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalam rupiah). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel 8

16 secara simultan, yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia Kesehatan Angka Harapan Hidup Pendidikan Angka Melek Huruf Indeks Melek Huruf Indeks Peluang Hidup Rata-rata Lama Sekolah Pendapatan Konsumsi Riil Perkapita Indeks Ratarata Lama Sekolah Indeks Pengetahuan Indeks Standar Hidup Layak Indeks Pembangunan Manusia 9

17 Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara. Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut: Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita dari Susenas Modul (=A). Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Ibukota Provinsi yang sesuai (=B). Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP)/unit). Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara. Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu paket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul (Tabel 2.1). Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C). Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C. Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus : dimana, PPP/Unit = (, ) ( (, ). (, )) 10

18 (, ): pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i (, ) : harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan) (, ) : jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di kabupaten ke-i Tabel 2.1 Daftar Komoditi Terpilih Untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP) Komoditi Unit Sumbangan thd Total Konsumsi (%)* (1) (2) (3) Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Butir 397 gram Kg Kg Kg Kg Kg Kg Butir Ons Ons Ons Ons 80 gram 10 batang Kwh M3 Liter Liter Unit 7,25 0,10 0,22 0,50 0,32 0,78 0,65 1,48 0,48 0,30 0,32 0,22 0,79 0,39 0,18 0,56 1,61 0,60 0,15 0,13 0,79 2,86 2,06 0,46 1,02 1,74 11, Beras lokal Tepung terigu Ketela pohon Ikan tongkol/tuna/cakalang Ikan teri Daging sapi Daging ayam kampung Telur ayam Susu kental manis Bayam Kacang panjang Kacang tanah Tempe Jeruk Pepaya Kelapa Gula pasir Kopi bubuk Garam Merica/lada Mie instant Rokok kretek filter Listrik Air minum Bensin Minyak tanah Sewa rumah Total *) Berdasarkan data Susenas 1996 Sumber: Badan Pusat Statistik 11

19 Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut : Lantai: keramik, marmer, atau granit = 1,lainnya=0 Luas lantai per kapita : > 10 m 2 = 1, lainnya = 0 Dinding : tembok = 1, lainnya = 0 Atap : kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0 Fasilitas penerangan : listrik = 1, lainnya = 0 Fasilitas air minum : leding = 1, lainnya = 0 Jamban : milik sendiri = 1, lainnya = 0 Skor awal untuk setiap rumah = 1 Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit. Rumus Atkinson (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;129) yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : C (i)* = C(i) jika C(i) < Z = Z + 2(C(i) Z) (1/2) jika Z < C(i)< 2Z = Z + 2(Z) (1/2) + 3(C(i) 2Z) (1/3) jika 2Z < C(i)< 3Z 12

20 = Z + 2(Z) (1/2)+ 3(Z) (1/3)+4(C(i) 3Z) (1/4) jika 3Z < C(i)< 4Z di mana, 2.4 C(i) = Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 5) Z = Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp ,per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari. Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf dkk (1998;129) yaitu sebagai berikut : IPM = Dimana, X(1) : X(2) : X(3) : ) ( ( ) ( ) Indeks harapan hidup Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata lama sekolah) Indeks standar hidup layak Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut : Indeks Xi Dimana, = () () () () 13

21 X(i) X(i)maks : Indikator ke-i (i = 1,2,3) : Nilai maksimum X(i) X(i)min : Nilai minimum X(i) Nilai maksimum dan minimum indikator X(i) disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator Komponen IPM (=X(I)) Nilai Maksimum Nilai Minimum Catatan (1) (2) (3) (4) Angka Harapan Hidup Sesuai standar global (UNDP) Angka Melek Huruf Sesuai standar global (UNDP) Rata-rata Lama Sekolah 15 0 Sesuai standar global (UNDP) Konsumsi per kapita yang disesuaikan a) b) UNDP menggunakan PDB per kapita riil yang disesuaikan Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk provinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua. 2.5 Status Pembangunan Manusia Meningkatnya pembangunan manusia dapat dilihat berdasarkan besaran IPM. Tingkatan status pembangunan manusia suatu wilayah oleh 14

22 UNDP dibagi ke dalam tiga golongan yaitu rendah (kurang dari 50), sedang atau menengah (antara 50-80), dan tinggi (80 ke atas). Sedangkan untuk keperluan perbandingan antar kabupaten/kota, tingkatan status menengah dipecah lagi menjadi dua, yaitu menengah bawah dan menengah atas. Dengan demikian kriteria tingkatan status pembangunan manusia sebagai berikut : 2.6 Nilai IPM Status Pembangunan Manusia < 50 Rendah 50 IPM < 60 Menengah Bawah 60 IPM < 80 Menengah Atas Tinggi Ukuran Perkembangan IPM Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM = 100). Nilai reduksi shortfall yang lebih besar menandakan peningkatan IPM yang lebih cepat. Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;141) dapat dirumuskan sebagai berikut: R= dimana: ( ( ) ) ( ( ) ) / 15

23 R ( ( 2.7 ( = reduksi shortfall per tahun ) = IPM tahun awal ) = IPM tahun terakhir; dan ) = IPM acuan atau ideal yang dalam hal ini sama dengan 100 Beberapa Definisi Operasional Indikator Terpilih Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimplementasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah : Rasio Jenis Kelamin Perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100. Rata-rata Lama Sekolah Lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun ke atas. Angka Melek Huruf Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya) Angka Partisipasi Murni SD Proporsi penduduk usia 7-12 yang sedang bersekolah di SD Angka Partisipasi Murni SMP Proporsi penduduk usia tahun yang sedang bersekolah di SMP Angka Partisipasi Murni SMA Proporsi penduduk usia tahun yang sedang bersekolah di SMA Angka Harapan Hidup waktu lahir Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok tahun 16

24 penduduk Angka Kematian Bayi Persentase rumah berlantai tanah Persentase rumah tangga beratap layak Persentase rumah tangga berpenerangan Listrik Persentase rumah tangga bersumber air minum leding Persentase rumah tangga bersumber air minum bersih Persentase rumah tangga berjamban dengan tangki septik Pengeluaran Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup. Proporsi rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan lantai tanah Proporsi rumah tangga yang menempati rumah dengan atap layak (atap selain dari dedaunan ). Proporsi rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan listrik Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum pompa / sumur / mata air yang jaraknya lebih besar dari 10 meter dengan tempat penampungan limbah / kotoran terdekat Proporsi rumah tangga yang mempunyai jamban dengan tangki septik Pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang, 17

25 biaya kesehatan, pendidikan dan sebagainya. 18

26 3.1 Perkembangan Bandung Indeks Pembangunan Manusia di Kota Pembangunan manusia adalah proses agar mampu memiliki lebih banyak pilihan dalam hal pendapatan, kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan sebagainya. Namun perlu disadari bahwa investasi pembangunan dalam rangka pembangunan manusia hasilnya tidak berdampak langsung secara instan karena investasi pembangunan manusia merupakan pembangunan jangka panjang. Konsep Indeks Pembangunan Manusia adalah mengukur pencapaian pembangunan keseluruhan suatu negara. Dengan demikian IPM mengukur pencapaian kemajuan pembangunan sosial maupun ekonomi. IPM dapat digunakan untuk mengklasfikasikan apakah suatu wilayah dikategorikan maju, berkembang, atau terbelakang, dan digunakan untuk mengukur pengaruh dari kebijakan pembangunan terhadap kualitas hidup Terciptanya IPM yang tinggi hendaknya menjadi pemacu peran serta yang nyata dari segenap komponen masyarakat Kota Bandung, dan tidak bisa ditawar lagi harus adanya optimalisasi dan sinergitas pola dan sasaran pembangunan manusia yang melibatkan semua pihak. Pencapaian IPM di Kota Bandung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Peningkatan IPM setiap tahunnya merupakan dampak dari meningkatnya komponen-komponen penyusun IPM. Peningkatan tersebut tidak dapat dilepaskan dari hasil kerja keras para unsur pemerintah, swasta, akademisi serta masyarakat. 19

27 Pada tahun 2012, capaian IPM Kota Bandung berada pada posisi 79,32 dan secara perlahan naik mencapai 79,47 atau naik sekitar 0,15 poin pada tahun Kemudian pada tahun 2014 IPM Kota Bandung kembali mengalami peningkatan sebesar 0,19 poin dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 79,66. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di lampiran 4. Dengan angka IPM yang dicapai sebesar 79,66, status pembangunan manusia Kota Bandung masih termasuk dalam klasifikasi menengah ke atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan yang telah dilaksanakan berhasil meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik diukur dari indikator kesejahteraan rakyat, yang meliputi indikator kesehatan, indikator pendidikan serta daya beli masyarakat yang meningkat. Secara visual trend perkembangan IPM serta komponen- komponennya dapat dilihat pada gambar 3.1. Gambar 3.1 Perkembangan IPM dan Komponennya di Kota Bandung, Tahun * 95 90,25 90,44 90,53 81,35 81,38 81, ,32 79,47 79,66 Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan Indeks Daya Beli 66,35 66,59 67,05 IPM * * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun

28 Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM=100). Dengan demikian keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pembangunan manusia pada suatu kurun waktu tidak sekedar dilihat dari posisi nilai IPM-nya, tetapi lebih tepat dilihat dari reduksi shortfall pada kurun waktu tersebut. Kecepatan perkembangan IPM sangat tergantung dari tinggi rendahnya angka IPM yang dicapai. Jadi, sebenarnya yang membuat tingginya capaian shortfall terletak pada selisih antara IPM tahun sebelumnya dan IPM yang dicapai saat ini. Gambar 3.2 Reduksi Shortfall Kota Bandung Periode * 1 0,95 0,9 0,85 0,8 0,75 0,7 0,65 0,6 0,55 0,5 0,96 0,92 0, * * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Dari gambar 3.2 terlihat bahwa selama kurun waktu tahun nilai Reduksi shortfall Kota Bandung mengalami fluktuasi. Pada 21

29 periode tahun , reduksi shortfall Kota Bandung sebesar 0,96, kemudian turun menjadi 0,73 pada periode Pada periode tahun nilai reduksi shortfall kembali naik menjadi 0,92. Nilai 0,92 pada tahun menunjukkan bahwa dalam kurun waktu satu tahun tersebut, pergerakan Kota Bandung dalam mengurangi jarak dari IPM yang dicapai dengan nilai idealnya (IPM=100), yaitu sebesar 0,92 per tahun. Selama periode tersebut IPM semakin mendekati dari nilai idealnya yang berarti kualitas hidup penduduk pada periode tersebut membaik. Semakin besar persentase reduksi shortfall, semakin cepat ketertinggalan yang diposisikan dengan daerah lainnya dapat dikejar dan selanjutnya semakin cepat pula nilai IPM mendekati nilai yang ideal. Besar kecilnya kecepatan perkembangan IPM tersebut sangat tergantung dari komitmen penyelenggara pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dasar penduduk yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. 3.2 Perkembangan Komponen IPM di Kota Bandung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terdiri dari tiga komponen penting yaitu komponen kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. Untuk komponen pendidikan diperoleh dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Ketiga komponen ini bersinergi dalam IPM sehingga bisa diketahui apakah suatu daerah itu termasuk daerah maju, berkembang atau terbelakang. Pada tahun 2014, ketiga komponen penyusun IPM di Kota Bandung mengalami peningkatan. Berikut akan dijabarkan dari masing-masing komponen tersebut. 22

30 3.2.1 Angka Harapan Hidup (AHH) Aspek kesehatan merupakan unsur penting yang berkaitan dengan kapabilitas penduduk. Derajat kesehatan pada dasarnya dapat dilihat dari seberapa lama harapan hidup yang mampu dicapai. Semakin lama harapan hidup yang mampu dicapai merefleksikan semakin tinggi derajat kesehatannya. Angka harapan hidup menunjukkan kualitas kesehatan masyarakat yaitu mencerminkan lamanya hidup sekaligus hidup sehat suatu masyarakat. Trend perkembangan angka harapan hidup di Kota Bandung selama kurun waktu tahun 2011 hingga 2014 dapat dilihat pada gambar 3.3 berikut. Gambar 3.3 Perkembangan Angka Harapan Hidup Kota Bandung, Tahun * (dalam tahun) 73,85 73,84 73,84 73,83 73,83 73,82 73,81 73,81 73,8 73,79 73,79 73,78 73,77 73, * * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Pada gambar 3.3 terlihat bahwa pencapaian angka harapan hidup di Kota Bandung selama kurun waktu menunjukkan trend naik. Angka Harapan Hidup di Kota Bandung selalu meningkat, meskipun 23

31 peningkatannya tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2014, Angka Harapan Hidup penduduk Kota Bandung adalah sebesar 73,84 tahun atau naik sebesar 0,01 poin dibandingkan tahun Angka Harapan Hidup sebesar 73,84 menunjukkan bahwa pada tahun 2014, rata-rata penduduk Kota Bandung dapat bertahan hidup yaitu sampai usia tahun. Peningkatan angka harapan hidup tersebut bisa menjadi suatu indikasi bahwa ada peningkatan akses masyarakat Kota Bandung terhadap sarana dan fasilitas kesehatan. Ini bisa dikatakan bahwa Kota Bandung telah berhasil dalam meningkatkan kuantitas maupun kualitas dari sarana, fasilitas maupun tenaga kesehatan sehingga segala akses kesehatan bisa sampai ke pelosok-pelosok. Di samping itu, upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan melalui penyuluhan- penyuluhan cukup berhasil sehingga bisa mengubah sedikit demi sedikit pola pikir masyarakat yang mengesampingkan tentang kesehatan Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (MYS) Komponen pendidikan pada tahun 2014 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun Indeks pendidikan meningkat sebesar 0,09 poin dari tahun 2013 ke Indeks pendidikan ini terdiri dari dua komponen penyusun, yaitu indeks melek huruf dan indeks rata-rata lama sekolah. Kedua indeks ini dihitung secara bersama-sama dengan pembobotan, dimana angka melek huruf diberi bobot dua pertiga, sedangkan rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga. Gambar 3.4 menunjukkan bahwa selama kurun waktu Rata-rata Lama Sekolah di Kota Bandung tidak banyak mengalami peningkatan atau mengalami kenaikan relatif lambat. Pada tahun 2011 Rata 24

32 rata Lama Sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Kota Bandung adalah sebesar 10,70 tahun, kemudian meningkat sedikit demi sedikit menjadi sebesar 10,85 tahun pada Gambar 3.4 Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah di Kota Bandung, Tahun * (dalam tahun) 10,90 10,80 10,81 10,70 10,85 10,74 10,70 10, * * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Rata-rata Lama Sekolah sebesar 10,85 tahun menunjukkan bahwa secara rata-rata penduduk Kota Bandung yang berusia 15 tahun ke atas sudah mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Umum meskipun belum sampai tamat. Jika dikaitkan dengan target minimal yang diusulkan UNDP, yaitu rata-rata lama sekolah 15 tahun, maka rata-rata pendidikan penduduk Kota Bandung masih relatif kurang. Komitmen dan kesadaran semua pihak akan pentingnya tetap bersekolah perlu terus ditingkatkan agar tercipta Sumber Daya Manusia yang semakin berkualitas. Indikator lainnya untuk melihat tingkat pendidikan adalah angka melek huruf (AMH). AMH diberi bobot lebih tinggi dari MYS karena ukuran yang sangat mendasar dari tingkat pendidikan adalah kemampuan 25

33 baca tulis penduduk dewasa. Gambar 3.5 menunjukkan perkembangan kemampuan baca tulis penduduk Kota Bandung yang berusia 15 tahun ke atas. Gambar 3.5 Perkembangan Angka Melek Huruf Kota Bandung, Tahun * (dalam %) 99,65 99,60 99,55 99,58 99,62 99,63 99,55 99, * * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Gambar 3.5 memperlihatkan bahwa perkembangan AMH penduduk usia 15 tahun ke atas di Kota Bandung relatif lambat. Hal tersebut terjadi karena AMH di Kota Bandung memang sudah cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lain, dimana selama periode AMH Kota Bandung sudah berada di atas 99 persen. Namun meskipun begitu, AMH harus tetap diperhatikan karena target yang harus dicapai adalah AMH = 100 persen. Pada tahun 2014, AMH di Kota Bandung hanya mengalami sedikit peningkatan dibanding tahun sebelumnya, yaitu hanya meningkat sebesar 0,01 poin, yaitu menjadi 99,63 persen. AMH sebesar 99,63 persen 26

34 mempunyai arti bahwa ada sekitar 99,63 persen penduduk Kota Bandung yang berumur 15 tahun ke atas dapat membaca dan menulis huruf latin dan lainnya, sedangkan sisanya sebesar 0,37 persen penduduk Kota Bandung masih buta huruf. Masih adanya penduduk yang buta huruf di Kota Bandung salah satunya diperkirakan akibat adanya penduduk lanjut usia yang masih belum bisa membaca dan menulis namun tidak dapat diperbaiki karena faktor usia Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP) Komponen penyusun IPM lainnya yang tidak kalah penting yaitu paritas daya beli yang juga mengalami peningkatan pada tahun 2014.Indeks paritas daya beli ini menunjukkan kemampuan masyarakat untuk mengakses perekonomian. Pada tahun 2014 indeks paritas daya beli di Kota Bandung sebesar 67,05, meningkat sebesar 0,46 poin dibandingkan tahun 2013 yang hanya sebesar 66,59. Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh harga-harga riil antar wilayah, karena nilai tukar yang digunakan dapat menurunkan atau menaikkan nilai daya beli. Paritas daya beli merupakan ukuran ekonomi yang telah distandarkan dengan tujuan agar dapat membandingkan kualitas serta kemampuan daya beli antar daerah bahkan antar negara. Trend perkembangan paritas daya beli di Kota Bandung untuk kurun waktu dapat dilihat pada gambar 3.6. Dari gambar 3.6 terlihat bahwa selama tahun kemampuan daya beli masyarakat Kota Bandung terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 PPP Kota Bandung sebesar 645,15 ribu rupiah dan terus meningkat menjadi 650,15 ribu rupiah pada tahun

35 Gambar 3.6 Perkembangan Paritas Daya Beli Kota Bandung, Tahun * (dalam ribu rupiah) , ,1 648,13 645, * * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Kota Bandung yang dilihat dari sisi geografis termasuk daerah yang dekat dengan ibukota negara, sudah tentu sektor perekonomian menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam rencana pembangunan daerah. Dengan jumlah penduduk yang besar, perlu dipikirkan pula bagaimana dan upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, terutama di daerah yang masih minim sarana dan prasarananya serta tingkat ekonomi masyarakatnya yang masih cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas dari semua pihak terkait untuk mengatasi permasalahan ini dan menjadi pekerjaan rumah bagi penentu kebijakan, karena daya beli masyarakat bisa menunjukkan sampai seberapa besar tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri yang nantinya akan berpengaruh pada naik turunnya Indeks Pembangunan Manusia. 28

36 4.1 Kondisi Input Fasilitas Tempat Buang Air Besar (BAB) Tingkat kesehatan rumah dan lingkungan tempat tinggal dapat tercermin dari fasilitas tempat buang air besar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Idealnya fasilitas BAB dimiliki oleh masing-masing rumah tangga. Dengan menggunakan fasilitas BAB milik sendiri maka kemungkinan penularan penyakit akan berkurang. Risiko seseorang yang menggunakan jamban bersama dalam kehidupan sehari-harinya untuk tertular suatu penyakit tertentu yang bisa ditularkan melalui feses, jauh lebih besar daripada seseorang yang menggunakan jamban sendiri. Tabel 4.1 Persentase Rumah Tangga Menurut Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar di Kota Bandung, Tahun * Tahun Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar Sendiri Bersama Umum Tidak Ada (1) (2) (3) (4) (5) ,11 23,61 3,07 0, * 73,96 23,74 2,30 - * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Pada tahun 2014, rumah tangga di Kota Bandung sudah tidak ada lagi yang tidak memiliki fasilitas BAB. Seluruh rumah tangga sudah 29

37 memiliki fasilitas BAB meskipun masih terdapat sebanyak 26,04 persen rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB secara bersama maupun umum. Jika dibandingkan dengan tahun 2013, rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri di Kota Bandung pada tahun 2014 telah mengalami peningkatan yaitu menjadi sebesar 73,96 persen (naik sebesar 0,85 persen) Sumber Air Minum yang Digunakan Salah satu perilaku hidup sehat yang memiliki andil dalam penentuan derajat kesehatan atau status kesehatan seseorang adalah bagaimana penggunaan air bersih untuk keperluan hidup sehari-harinya. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Ketersediaan dalam jumlah yang cukup terutama untuk minum dan memasak merupakan tujuan dari program penyediaan air bersih. Jenis sumber air minum merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk, baik dilihat dari segi kesehatan maupun ekonomi. Kebersihan air minum merupakan salah satu kebutuhan utama yang harus dipenuhi secara layak. Apabila air minum yang digunakan tidak bersih tentunya akan mempengaruhi kondisi kesehatan manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, kriteria sumber air minum bersih adalah air kemasan bermerk, air isi ulang, leding, serta sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat 10m2. Pada tahun 2014 rumah tangga yang mengkonsumsi air minum bersih di Kota Bandung mencapai 99,67 persen, mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 99,3 persen. Lebih dari 30

38 dua pertiga dari keseluruhan rumah tangga yang ada di Kota Bandung (79,73 persen) sudah menggunakan air kemasan dan air leding untuk keperluan minumnya. Kemudian rumah tangga yang mengkonsumsi air minum bersih dari pompa dan sumur/mata air terlindung pada tahun 2014 ada sebanyak 19,94 persen. Tabel 4.2 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum di Kota Bandung, Tahun 2014* Sumber Air Minum (4) Sumur Tak Terlindung (5) Mata Air Terlindung (6) Air Sungai dan Lainnya (7) 4,32-1,05 0,33 Air Kemasan Leding Pompa Sumur Terlindung (1) (2) (3) 65,75 13,98 14,57 Jumlah (8) 100,00 * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Mengingat masih terdapat 19,94 persen rumah tangga di Kota Bandung yang mengakses fasilitas air minum bersih selain air leding/air kemasan, peranan sumber air minum bersih lainnya (pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung) cukup vital dan harus dijaga/dihindari dari pencemaran lingkungan agar kebutuhan air minum bersih sehari-hari bagi sebagian warga Kota Bandung dapat terpenuhi. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sumber air minum bersih dan dinyatakan sehat (bebas dari pencemaran lingkungan) adalah jika sumber air minum yang digunakan berasal dari sumur bor/pompa, sumur terlindung atau mata air terlindung dengan jarak dari dalam tanah ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat harus lebih dari 10 meter. Jika jarak sumber air minum dari dalam tanah ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat kurang dari atau sama dengan 10 meter, maka akan 31

39 mempengaruhi tingkat higienitas air minum tersebut karena dimungkinkan terjadi kontaminasi dengan bakteri-bakteri sumber penyakit. Pada tahun 2014, persentase rumah tangga di Kota Bandung yang menggunakan sumber air minum bersih (berasal dari pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung) yang berjarak ke tempat penampungan kotoran/tinja lebih dari 10 meter terdapat sebanyak 39,83 persen. Namun persentase rumah tangga yang tidak mengetahui secara pasti berapa jarak sumber air minum bersih ke tempat penampungan kotoran/tinja dan persentase rumah tangga yang masih menggunakan sumber air minum bersih dengan jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja kurang dari 10 meter juga masih cukup tinggi yaitu sebesar 37,71 persen dan 22,46 persen. Tabel 4.3 Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Sumber Air Minum dan Jarak ke Tempat Penampungan Kotoran/Tinja di Kota Bandung, Tahun 2014* Jarak Sumber Air Minum ke Tempat Penampungan Tinja Jumlah 10 m > 10 m Tidak Tahu (1) (2) (3) (4) 22,46 39,83 37,71 100,00 * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Masih tingginya persentase rumah tangga yang jarak sumber air minum ke tempat penampungan tinjanya 10 meter atau kurang, salah satunya disebabkan karena pada masa sekarang ini jarak antar rumah penduduk terlalu berdekatan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. 32

40 4.1.3 Ketersediaan Sarana Kesehatan Salah satu peran pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat adalah dengan meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan. Dengan tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang cukup memadai akan sangat mendukung pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penggunaan layanan kesehatan yang rendah akan mengakibatkan terhambatnya pembangunan kesehatan ke arah yang lebih baik. Rumah Sakit (1) 16 Tabel 4.4 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Bandung Tahun 2013 Sarana Kesehatan Rumah Rumah Puskesmas Sakit PolikliPuskesPraktik Sakit Keliling Khusus nik mas Dokter Bersalin Roda 4 Lainnya (2) (3) (4) (5) (6) (7) Praktik Bidan (8) Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2014 Pada tabel 4.4 diketahui bahwa ketersediaan sarana kesehatan di Kota Bandung cukup memadai dengan 16 rumah sakit negeri maupun swasta, 73 puskesmas ditambah 25 puskesmas keliling roda 4. Disamping kedua fasilitas kesehatan tersebut, di Kota Bandung terdapat juga fasilitas kesehatan lainnya yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta seperti p o l i k l i n i k, praktik dokter, praktik bidan, dan lainnya Tenaga Kesehatan Pada tahun 2013, di Kota Bandung terdapat tenaga kesehatan yang tersebar di 30 kecamatan yang terdiri dari dokter, bidan, dan tenaga 33

41 kesehatan lainnya (tenaga farmasi, ahli gizi dan tenaga keteknisan medis lainnya) yang memberikan pelayanan kepada sekitar 2,48 juta penduduk. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.5 bahwa di Kota Bandung terdapat sekitar orang dokter (dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi), 960 orang bidan, dan orang tenaga medis yang lain. Jika dihitung rasio tenaga dokter terhadap penduduk maka diperoleh angka 9,44, yang berarti bahwa untuk setiap penduduk di Kota Bandung maka terdapat sekitar 9-10 orang dokter. Jumlah tersebut masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kearah yang lebih baik lagi maka ke depannya upaya yang harus dilakukan adalah peningkatan tenaga kesehatan baik dari sisi jumlah maupun penyebarannya. Tabel 4.5 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kota Bandung Tahun 2013 Tenaga Kesehatan Dokter Spesialis Dokter Umum Dokter Gigi Bidan Tenaga Kesehatan Lain (1) (2) (3) (4) (5) Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung, Penolong Kelahiran Angka kematian bayi baru lahir terutama disebabkan oleh infeksi dan berat bayi lahir rendah. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan pertolongan persalinan yang aman, dan perawatan bayi baru lahir. Pada tahun 2014, masih terdapat 7,56 persen balita yang lahir hanya mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga non medis seperti dukun. Masih adanya balita yang dibantu oleh dukun dalam proses kelahirannya 34

42 dimungkinkan karena masih adanya masyarakat yang percaya pada dukun daripada tenaga kesehatan. Faktor lainnya mengapa masyarakat lebih memilih dukun dibanding tenaga kesehatan adalah biaya, karena jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan biaya untuk membayar dukun jauh lebih murah. Gambar 4.1 Persentase Penolong Kelahiran (Terakhir) Balita di Kota Bandung Tahun 2014* 70,00 60,00 50,00 65,35 40,00 30,00 20,00 26,54 10,00 0,55 0,00 Dokter Bidan Tenaga Medis 7,56 Dukun * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Pengetahuan yang minim tentang cara persalinan dan perawatan pasca persalinan yang sehat dan aman, misalnya mengenai perawatan tali pusar, perlakuan saat membersihkan bayi yang baru lahir, serta sangat minimnya alat-alat bantu penolong persalinan merupakan beberapa faktor penyebab kematian bayi. Selain itu minimnya biaya yang dimiliki memaksa masyarakat yang tidak mampu untuk bergantung kepada penolong kelahiran non medis. Situasi tersebut tidak saja membawa kerawanan terhadap bayi yang baru dilahirkan, tetapi juga keselamatan ibu yang melahirkan. 35

43 4.2 Kondisi Proses Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan hidup sehat merupakan gambaran dari pola pikir masyarakat tentang arti pentingnya kesehatan. Salah satu indikator untuk mengukur kepedulian masyarakat tersebut adalah akses masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan. Semakin tingginya frekuensi masyarakat melakukan konsultasi atau pengobatan/perawatan ke fasilitas kesehatan, maka semakin tinggi pula kepedulian atau kesadaran masyarakat terhadap masalah kesehatan. Namun di satu sisi semakin tinggi angka kunjungan ke fasilitas kesehatan tersebut berarti semakin tinggi juga tingkat keluhan masyarakat daerah tersebut. Tabel 4.6 Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kota Bandung Tahun * Jenis Kelamin * Ada Keluhan Tidak Ada Ada Keluhan Tidak Ada Laki-laki 26,70 73,30 50,23 49,77 Perempuan 27,07 72,93 47,42 52,58 Total 26,88 73,12 48,83 51,17 * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Tabel 4.6 memperlihatkan bahwa selama tahun persentase penduduk Kota Bandung yang mengaku pernah mengalami keluhan kesehatan masih cukup tinggi dan menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2013 penduduk yang mengalami keluhan kesehatan sekitar 26,88 persen dan pada tahun 2014 menjadi sekitar 48,83 persen. 36

44 Jika dirinci menurut jenis kelamin akan terlihat bahwa pada tahun 2013 penduduk perempuan cenderung lebih memiliki keluhan kesehatan dibandingkan laki-laki tetapi pada tahun 2014 justru penduduk laki-laki yang lebih memiliki keluhan kesehatan. Pola pikir masyarakat yang tidak memprioritaskan kesehatan dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan diduga sebagai penyebab cukup tingginya penduduk Kota Bandung yang mengalami keluhan kesehatan tersebut. Tabel 4.7 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut Tempat Berobat Tahun * Fasilitas Kesehatan * (1) (2) (3) Rumah Sakit 17,42 18,20 Praktik Dokter/Poliklinik 53,10 50,51 Puskesmas 31,62 35,58 Petugas Kesehatan 2,37 1,89 Tradisional 3,44 3,91 * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Penduduk di Kota Bandung yang memiliki keluhan kesehatan melakukan usaha pengobatan baik dengan cara mengobati sendiri maupun dengan berobat jalan ke fasilitas kesehatan tertentu. Untuk penduduk yang berobat jalan, selama tahun fasilitas kesehatan yang paling banyak dikunjungi adalah praktik dokter/poliklinik meskipun pada tahun 2014 persentasenya menurun dibandingkan tahun

45 Seiring dengan menurunnya pemanfaatan fasilitas praktik dokter/poliklinik, maka pemanfaatan fasilitas rumah sakit dan puskesmas pada tahun 2014 mengalami peningkatan. Untuk pemanfaatan rumah sakit, dari 17,42 persen pada tahun 2013 naik menjadi sebesar 18,20 persen pada tahun Kemudian untuk pemanfaatan puskesmas dari 31,62 persen pada tahun 2013 naik menjadi 35,58 persen pada tahun Meningkatnya pemanfaatan puskesmas dalam pengobatan di masyarakat menunjukkan bahwa puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah telah lebih dipercaya oleh masyarakat. Disamping itu, dari tahun ke tahun puskesmas terus melakukan perbaikan baik fasilitas maupun pelayanan sehingga masyarakat dapat dengan mudah menjangkau dan memanfaatkan sebagai pusat kesehatan di masyarakat. Jika dibandingkan dengan pemanfaatan puskesmas dan praktik dokter/poliklinik, persentase pemanfaatan rumah sakit adalah yang paling rendah. Rendahnya jumlah kunjungan masyarakat ke rumah sakit bisa disebabkan beberapa hal, diantaranya mungkin dikarenakan pelayanan khususnya dari tenaga medis yang ada kurang memuaskan. S elai n itu b isa juga karena peralatan medis yang tersedia kurang lengkap, ataupun ruang perawatan yang kurang nyaman, serta t idak menutup kemungkinan biaya perawatan yang cukup mahal tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Ini semua perlu menjadi perhatian dari rumah sakit itu sendiri maupun dari pemerintah. Pihak rumah sakit diharapkan memperbaiki manajemennya sehingga bisa meningkatkan pelayanan yang diberikan pada masyarakat, sedangkan untuk pemerintah bisa turut serta membantu rumah sakit dalam hal sarana prasarana dan tenaga kesehatan yang ada sehingga pelayanan yang diberikan bisa optimal. Selain itu, perlu adanya pendekatan ke masyarakat bahwa berobat ke rumah sakit bisa menggunakan jamkesmas/askeskin/bpjs bagi masyarakat 38

46 kurang mampu. Untuk mewujudkan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan rumah sakit sebagai salah satu unit pelayanan kesehatan, diperlukan kerjasama dari semua pihak Lamanya Pemberian ASI Masalah pemberian ASI dapat dikatakan merupakan hal yang strategis dan mendasar dalam rangka pembangunan sumber daya manusia. Pemenuhan gizi balita sedini mungkin dan selama masa pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pengalaman ibu dalam menyusui bayinya. Air Susu Ibu (ASI) mengandung semua bahan yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi. Bahkan bahan tersebut bernilai gizi tinggi dan serasi untuk kebutuhan bayi seperti laktosa serta bermacam bahan lemak dan protein. Didalamnya terdapat pula bermacam bahan lain yang sangat dibutuhkan. Selain itu ASI mengandung zat penolak/pencegah penyakit serta dapat memberikan kedekatan batin antara ibu dengan anak. Kesadaran ibu untuk memberikan gizi baik pada anaknya (balita) secara kuantitatif dapat ditunjukkan oleh angka persentase tertinggi dalam masa pemberian ASI sampai bayi berusia 24 bulan. Lamanya balita disusui secara tidak langsung berpengaruh pada faktor kesehatan. Tabel 4.6 menunjukkan persentase balita menurut jenis kelamin dan lamanya pemberian ASI. Dari tabel 4.8 diketahui bahwa pada tahun 2014 jumlah balita baik laki-laki maupun perempuan yang diberi ASI kurang dari 1 tahun persentasenya berkurang dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 25,95 persen menjadi 23,79 persen atau turun sebesar 2,16 persen. Adanya penurunan persentase balita yang diberi ASI kurang dari 1 tahun tentu saja diikuti dengan peningkatan persentase balita yang diberi ASI lebih dari 1 tahun, dimana pada tahun 2013 sebesar 74,07 persen menjadi 76,21 persen pada 39

47 tahun Hal tersebut menunjukkan bahwa orang tua mulai memahami peran ASI untuk ketahanan balitanya. Tabel 4.8 Persentase Balita Menurut Jenis Kelamin dan Lamanya Pemberian ASI di Kota Bandung Tahun * Lamanya Pemberian ASI Tahun Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan (1) (2) (3) (4) (5) ,06 9,35 18, * 7,73 12,20 9,86 5 Bulan 6-11 Bulan Bulan Bulan 24 Bulan ke atas ,91 2,62 7, * 12,30 15,71 13, ,71 10,85 22, * 23,99 20,18 22, ,58 11,22 21, * 16,21 20,81 18, ,24 13,47 29, * 39,77 31,10 35,64 * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Kondisi di atas menunjukan semakin berkembangnya kesadaran para orang tua terutama ibu untuk memberikan asupan gizi terbaik bagi si kecil. Dengan kata lain semakin panjang usia pemberian ASI terutama ASI ekslusif 6 bulan pertama akan menjamin tercapainya pertumbuhan otak secara optimal, sehingga diharapkan pengembangan potensi anak dapat berjalan baik dan semakin optimal pula. Namun demikian pemberian ASI kadang terpaksa tidak dilakukan dengan optimal. Hal ini terjadi karena meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar ataupun jika keluar tapi tidak memenuhi kebutuhan bayi dan anak, atau karena alasan pekerjaan dan penampilan. 40

48 BAB V DIMENSI PENGETAHUAN 5.1 Kondisi Input Pendidikan Kepala Rumah Tangga Ada idiom yang menyatakan bahwa kemiskinan dapat diberantas dengan pendidikan, yang menyiratkan makna bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi untuk menghindarkan diri dari kemiskinan. Semakin tinggi seseorang mencapai pendidikannya maka semakin terbuka pula kesempatan dia untuk terhindar dari kemiskinan, karena pendidikan merupakan salah satu bekal untuk dapat bersaing dalam era globalisasi sekarang ini. Kecenderungan semakin membaiknya kualitas penduduk selain terlihat dari meningkatnya angka melek huruf juga terlihat dari semakin tingginya rata-rata tingkat pendidikan yang ditamatkan. Kepala rumah tangga (KRT) sebagai penganggung jawab utama dalam rumah tangga memiliki peranan sangat besar dalam pendidikan anggota rumah tangga. Cara pandang KRT dalam menilai arti penting pendidikan akan berpengaruh terhadap keputusan untuk menyekolahkan anaknya atau tidak. Hal ini tidak terlepas pula dari latar belakang pendidikan KRT yang berpengaruh terhadap wawasan dan pola pikir dalam menentukan setiap keputusan yang diambil, dalam hal ini khususnya untuk pendidikan. Semakin tinggi pendidikan KRT diasumsikan bahwa pola pikirnya luas dan memiliki visi jauh ke depan. Selain itu diharapkan bisa mendorong keberlangsungan pendidikan bagi anakanaknya. Pada tahun 2014, lebih dari separuh kepala rumah tangga di Kota 41

49 Bandung telah mencapai jenjang pendidikan SLTA Sederajat ke Atas yaitu sekitar 54,29 persen. Kemudian untuk kepala rumah tangga yang mencapai jenjang SLTP Sederajat ada sekitar 17,30 persen. Sisanya sekitar 28,41 persen kepala rumah tangga hanya mencapai jenjang pendidikan SD Sederajat ke bawah. Salah satu hal yang diperkirakan menyebabkan masih banyaknya kepala rumah tangga yang memiliki ijazah SD Sederajat ke bawah adalah karena mahalnya biaya pendidikan dan ketidakmerataan kesempatan pendidikan. Masalah mahalnya pendidikan menjadikan kesempatan memperoleh pendidikan untuk sebagian besar penduduk hanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Kemudian untuk masyarakat menengah ke bawah dengan situasi keuangan yang sulit pada umumnya hanya akan menyekolahkan anaknya sampai tingkat SD Sederajat, karena setelah itu mereka dipaksa untuk bekerja untuk membantu perekonomian keluarga untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Tabel 5.1 Persentase Ijazah yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga di Kota Bandung Tahun 2014* Ijasah Yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga Tidak Punya SD Sederajat SLTP Sederajat Ijasah SLTA Sederajat Ke Atas Total (1) (2) (3) (4) (5) 6,14 22,27 17,30 54,29 100,00 * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun

50 5.2 Kondisi Proses Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada satu kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. Angka ini berguna untuk mengetahui tingkat partisipasi pendidikan menurut kelompok umur tertentu. Partisipasi sekolah pada semua kelompok umur sekolah menggambarkan aktivitas pendidikan. Adanya pembangunan sarana dan prasarana pendidikan yang menjangkau sampai ke pelosok daerah serta adanya program wajib belajar telah mendorong peningkatan partisipasi sekolah penduduk. Upaya untuk memperluas jangkauan pelayanan pendidikan bertujuan meningkatkan pemerataan fasilitas pendidikan, sehingga akan semakin banyak penduduk yang dapat bersekolah. Sehingga angka partisipasi sekolah dapat dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan keadaan proses pendidikan atau bagaimana program pendidikan yang diimplementasikan terjadi dimasyarakat. Tabel 5.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Bandung Tahun 2014* Umur Angka Partisipasi Sekolah (1) Perempuan (2) Laki-laki (3) Total (4) ,91 97,56 97, ,29 95,07 96, ,01 67,80 71,28 * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun

51 Dari tabel 5.2 diketahui bahwa semakin tinggi kelompok umur sekolah, maka APS nya justru semakin rendah. Untuk kelompok umur 7-12 tahun, APS nya sebesar 97,27 persen dan turun menjadi 96,32 persen pada kelompok umur tahun. Kemudian untuk kelompok umur tahun, APS nya paling sedikit yaitu hanya sekitar 71,28 persen. APS sebesar 71,28 persen pada kelompok umur tahun berarti bahwa dari total anak berumur tahun di Kota Bandung, hanya sekitar 71,28 persen yang masih bersekolah dan sekitar 28,72 persen yang sudah tidak bersekolah lagi (putus sekolah). Hal tersebut harus dievaluasi kenapa semakin tinggi kelompok umur maka APS semakin kecil padahal program BOS sudah digulirkan dan jika dikaitkan dengan target minimal yang diusulkan UNDP, yaitu rata-rata lama sekolah 15 tahun, maka seluruh anak umur 7-18 tahun seharusnya masih tetap bersekolah dan tidak ada yang putus sekolah Angka Partisipasi Murni (APM) Angka Partisipasi Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai. Semakin tinggi APM berarti s e m a k i n banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu. Nilai ideal APM adalah sebesar 100 persen. Sebagaimana halnya angka partisipasi kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) juga dikelompokkan kedalam 4 tingkatan yaitu 44

52 APM SD/Sederajat, APM SMP/Sederajat, APM SMA/Sederajat dan APM Perguruan Tinggi. APM SD/Sederajat merupakan perbandingan antara jumlah siswa SD berumur 7-12 tahun dengan jumlah total penduduk umur 7-12 tahun. APM SMP/Sederajat merupakan perbandingan antara jumlah siswa SMP berumur tahun dengan jumlah total penduduk umur tahun. APM SMA/Sederajat merupakan perbandingan antara jumlah siswa SMA berumur tahun dengan jumlah total penduduk umur tahun. APM Perguruan Tinggi merupakan perbandingan antara jumlah mahasiswa berumur tahun dengan jumlah total penduduk umur tahun. Indikator APM merupakan indikator yang lebih baik dibanding dengan indikator APK, sebab APM membandingkan dua karakteristik yang sesuai, sedangkan APK membandingkan dua karakteristik yang tidak sesuai. APK dapat mencapai lebih dari 100 persen, sedangkan APM semestinya maksimal 100 persen. Dari tabel 5.3 dapat terlihat bahwa ternyata APM di Kota Bandung pada tahun 2014 belum ada yang mencapai angka 100 persen untuk semua jenjang pendidikan. Kemudian juga terlihat bahwa APM juga menunjukkan nilai cenderung kecil untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pada tahun 2014, APM untuk jenjang pendidikan SD baru mencapai 87,17 persen, untuk jenjang SMP baru mencapai 73,84 persen, untuk jenjang SMA baru mencapai 55,49 persen sedangkan untuk jenjang Perguruan Tinggi baru mencapai 30,56 persen. Bila dibandingkan menurut jenis kelamin, ternyata APM siswa perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan APM laki-laki di semua jenjang pendidikan. 45

53 Tabel 5.3 Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Kota Bandung Tahun 2014* Indikator Laki-laki Perempuan Total (1) (2) (3) (4) 85,24 89,53 87,17 68,36 78,14 73,84 52,24 59,91 55,49 28,46 32,37 30,56 APM SD/Sederajat APM SMP/Sederajat APM SMA/Sederajat APM Perguruan Tinggi * Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 APM SD sebesar 87,17 persen mengandung makna bahwa pada tahun 2014 sebanyak 87,17 persen anak di Kota Bandung yang berumur 7-12 tahun telah memperoleh pendidikan di SD dan sisanya sebanyak 12,83 persen anak yang berumur 7-12 tahun belum memperoleh pendidikan SD. APM tersebut mengindikasikan tingkat pemerataan, dalam arti belum semua anak kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tertentu memperoleh pendidikan yang sesuai dengan umurnya. 46

54 6.1 Kemiskinan Kemiskinan merupakan hal yang kompleks baik dari penyebab hingga akibat yang ditimbulkan. Kemiskinan bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab dan implikasi yang ditimbulkan juga beragam. Kurangnya pendapatan, kurangnya akses informasi dan komunikasi, serta minimnya infrastruktur suatu daerah bisa menyebabkan kemiskinan. Kemudian, tingginya angka kriminalitas, angka gizi buruk, putus sekolah dan lain-lain merupakan akibat dari kemiskinan. Untuk itulah kemiskinan seperti tidak pernah ada habisnya untuk diperbincangkan dan didiskusikan. Berbagai konsep dan definisi serta pemecahannya sudah pernah digelontorkan oleh para ahli dan pimpinan negeri ini, tetapi seperti kata pepatah, terentaskan satu muncul berbagai masalah kemiskinan lainnya. Masalah kemiskinan muncul karena ada sekelompok anggota masyarakat yang secara struktural tidak mempunyai peluang dan kemampuan yang memadai untuk mencapai tingkat kehidupan yang layak lainnya sehingga pada akhirnya mereka harus mengakui kelompok dalam persaingan mencari nafkah dan pemilikan asset produktif. Ketidakmampuan ini lebih didasarkan oleh kemampuan individu masyarakat itu sendiri, diantaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan sehingga kurang bisa bersaing dalam pasar kerja dan sektor pekerjaan yang dimasuki oleh individu tersebut juga kurang bisa memberikan hasil yang dapat meningkatkan kesejahteraan rumahtangga, seperti bekerja di sektor informal atau bekerja disektor pertanian. 47

2.1. Konsep dan Definisi

2.1. Konsep dan Definisi 2.1. Konsep dan Definisi Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (0 tahun) yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi (AKB) Banyaknya kematian bayi

Lebih terperinci

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0)

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0) Lampiran 1. Penjelasan Singkat Mengenai IPM dan MDGs I. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 1 Sejak 1990, Indeks Pembangunan Manusia -IPM (Human Development Index - HDI) mengartikan definisi kesejahteraan secara

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. Analisis Pembangunan Sosial Kabupaten Bandung Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. Analisis Pembangunan Sosial Kabupaten Bandung Latar Belakang Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Informasi statistik merupakan salah satu bahan evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah, serta sebagai bahan masukan dalam proses perumusan kebijakan perencanaan

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2012

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2012 Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Semarang 2011 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2010

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2010 Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Semarang 2009 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Manusia merupakan harta atau aset yang sangat berharga bagi kelanjutan ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu negara, pengembangan kualitas akan

Lebih terperinci

Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya

Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2012 ISBN Nomor Publikasi Nomor Katalog Ukuran Buku Jumlah Halaman : 979.486.6199 : 3204.12.70 : 1413.3204 : 25,7 Cm x 18,2 Cm : 81 + viii Naskah

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2011 ISBN Nomor Publikasi Nomor Katalog Ukuran Buku Jumlah Halaman : 979.486.6199 : 3204.1137 : 4716 3204 : 25,7 Cm x 18,2 Cm : 70 + vi Naskah :

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANJAR TAHUN 2012 Nomor Publikasi : 3279.1103 Katalog BPS : 4102002.3279 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 16,5 cm x 21,5 cm : ix rumawi + 117 halaman Naskah : Seksi Statistik

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Katalog BPS: 1413.3204 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2009 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG DENGAN BAPPEDA KABUPATEN BANDUNG INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN

Lebih terperinci

Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun

Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun Penyusunan Data Basis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2011 Nomor Publikasi : 32520.1208 Katalog BPS : 4102002.32 Jumlah Halaman : 253 halaman NASKAH : Bidang Statistik Sosial

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar di masyarakat tersebut

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA:

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA: INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 KERJASAMA: Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Bandung Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009 No. Katalog BPS : 4102002.05 Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : x + 70 Naskah : Badan Pusat Statistik Propinsi Kepulauan Riau

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN MANOKWARI TAHUN 2013 ISSN : No. Publikasi/Publication Number : 9105.1104 No. Katalog BPS/Catalogue Number: 1101001.9105 Ukuran Buku/Book Size : 16,5 cm x 21,5 cm Jumlah

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 Katalog BPS: 1413.3523 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 BADAN PUSAT STATISTIK DAN BAPPEDA KABUPATEN TUBAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2009 No. Publikasi : 35230.0310 Katalog

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI Konsep dan Definisi. Angka Harapan Hidup 0 [AHHo]

BAB II METODOLOGI Konsep dan Definisi. Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] BAB II METODOLOGI 2.1. Konsep dan Definisi Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (0 tahun) yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi (AKB) Banyaknya

Lebih terperinci

Bupati Kepulauan Anambas

Bupati Kepulauan Anambas Bupati Kepulauan Anambas KATA SAMBUTAN Assalammulaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Untuk Kita Semua Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya kepada kita semua dan tak lupa dihaturkan

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii i DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan dan Sasaran... 3 I.3 Sumber Data... 4 I.4 Sistematika Penulisan... 5 BAB II Metodologi...

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2007-2008 ISBN : Nomor Publikasi : Katalog : Ukuran buku Jumlah halaman : 17.6 x 25 cm : x + 100 halaman Naskah : Sub Direktorat Konsistensi Statistik Diterbitkan oleh : Badan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN 4.1 Pendidikan di Banten Pemerintah Provinsi Banten sejauh ini berupaya melakukan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat salah satunya

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 4102002.3523 Katalog BPS: 4102002.3523 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN TAHUN 2011 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN TUBAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TUBAN 2011 No. Publikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan penting yang menjadi prioritas utama pemerintah Kabupaten Bandung adalah pembangunan yang seimbang antara pembangunan fisik dan pembangunan sumber

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BOGOR Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor Tahun Anggaran 2014 Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun Anggaran 2014 i Penyusunan

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii

DAFTAR TABEL HALAMAN. iii SAMBUTAN i DAFTAR ISI HALAMAN SAMBUTAN... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan dan Sasaran... 3 I.3 Sumber Data... 4 I.4 Sistematika Penulisan... 5 BAB II Metodologi...

Lebih terperinci

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi)

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol.1, No.7 April 2013 ANALISIS INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERIODE 2007-2011 H. Syamsuddin. HM ABSTRACT

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 07/01/62/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67 RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS 2015 Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan, meningkatnya derajat kesehatan penduduk di suatu wilayah, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Manusia Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN SORONG TAHUN 2010 Nomor Publikasi : 9107.11.03 Katalog BPS : 1413.9107 Ukuran Buku : 16,5 x 21,5 cm Jumlah Halaman : v rumawi + 111 halaman Naskah : Seksi Statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini pembangunan bukan hanya ditujukan dalam wujud pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana infrastruktur, tetapi dalam cakupan yang lebih luas seperti yang

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BADAN PUSAT STATISTIK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BPS KABUPATEN WONOSBO Visi: Pelopor Data Statistik Terpercaya Untuk Semua Nilai-nilai Inti BPS: Profesional Integritas Amanah Pelopor Data Statistik

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Tingkat Kemiskinan di DKI Jakarta Maret 2017 No. 35/07/31/Th.XIX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2017 sebesar 389,69 ribu

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

Katalog BPS : KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN

Katalog BPS : KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN Katalog BPS : 4102002.1404 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Pelalawan Tahun 2008 ISBN : 979 484 930 8

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii v viii I. PENDAHULUAN 1 7 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rasional 4 1.3. Perumusan Masalah 5 1.4. Tujuan dan Manfaat Studi 5 1.4.1.

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014

ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 ANALISIS HASIL INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA JAKARTA SELATAN 2014 (Oleh Endah Saftarina Khairiyani, S.ST) 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan era globalisasi menuntut setiap insan untuk menjadi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI DKI JAKARTA Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2014 sebesar 412,79 ribu orang (4,09 persen). Dibandingkan dengan Maret 2014 (393,98 ribu orang atau 3,92 persen), jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 07/01/62/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER TAHUN 2012 Ukuran buku : 21 cm x 28 cm Jumlah halaman : 62 halaman Naskah : Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser Penyunting : Badan Pusat Statistik Kabupaten

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Paser 2014 i INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN PASER TAHUN 2014 Ukuran buku : 21 cm x 28 cm Jumlah halaman : 56 halaman Naskah : Tim Penyusun Publikasi Penyunting

Lebih terperinci

ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011

ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011 ANALISIS SITUASI PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KUDUS 2011 No. Publikasi /Publication Number : 3319.0612 Katalog BPS / BPS Catalogue : 1413.3319 Ukuran Buku/Book Size : 14.8 x 21 cm Jumlah Halaman/Number

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah

BAB II STUDI PUSTAKA. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Pengertian Indeks Pembangunan manusia Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah dikembangkan oleh United Nations for Develpment Program

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013 No. 04/01/31/Th. XVI/ 2 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2013 sebesar 375,70 ribu orang (3,72 persen).

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 No. 05/01/17/IX, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 316,50 RIBU ORANG - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2014 MENURUN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: Katalog BPS: 4103.1409 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT (INKESRA) KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 2013 No. Katalog : 4103.1409 Ukuran Buku Jumlah Halaman Naskah Gambar Kulit dan Setting Diterbitkan Oleh Kerjasama

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 No. 34/07/31/Th. XVI, 1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 28,59 JUTA ORANG Pada bulan September 2012, jumlah penduduk

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 No. 66/09/33/Th. IX, 15 ember 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 4,577 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 30/07/31/Th XVIII, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen).

Lebih terperinci

KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN

KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2005-2013 KAJIAN DAN ANALISIS SUMBER DAYA MANUSIA (TINJAUAN IPM) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2005-2013 Ukuran Buku

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 21/07/31/Th. XII, 1 Juli 2010 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017 No. 06/07/62/Th. XI, 17 Juli 2017 1. PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 No. 05/01/33/Th. VII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 4,863 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 No. 07/07/62/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI DKI JAKARTA TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2016 No.04/01/31/Th. XIX, 03 Januari 2017 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2016 sebesar 385,84 ribu orang

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 28/07/31/Th.XIII, 1 Juli 2011 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011 RINGKASAN Garis Kemisknan (GK) tahun 2011 sebesar Rp 355.480 per kapita per bulan, lebih tinggi dibanding

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VII, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. No. 55/09/17/Th.IX, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013 No. 07/01/62/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 No. 05/01/17/XI, 3 Januari 2017 KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 325.600 ORANG (17,03 PERSEN) PERSENTASE KEMISKINAN SEPTEMBER 2016 TURUN JIKA DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2015 BPS PROVINSI DKI JAKARTA Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2015 sebesar 368,67 ribu orang (3,61 persen). Dibandingkan dengan Maret 2015 (398,92 ribu orang atau 3,93 persen), jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 No. 07/07/62/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG 1. Metodologi No. 03/6474/Th. VI, 07 Desember 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA BONTANG Tahun 2015 Secara nasional Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2015 berdasarkan metode baru Tahun 2010

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM Pada bab IV ini penulis akan menyajikan gambaran umum obyek/subyek yang meliputi kondisi geografis, sosial ekonomi dan kependudukan Provinsi Jawa Tengah A. Kondisi Geografis Provinsi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013 No. 07/07/62/Th. VII, 1 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

Indeks Pembangunan Manusia IPM KABUPATEN TELUK BINTUNI 2012 BPS Kabupaten Teluk Bintuni menerbitkan publikasi IPM Kabupaten Teluk Bintuni secara berkala sejak tahun 2005. BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O14

PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O14 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 02/10/Th. VII, 05 Oktober 2015 PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN 2010-2O14 (PENGHITUNGAN DENGAN MEMAKAI METODE BARU) Selama kurun

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 58/07/64/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2017 R I N G K A S A N Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Utara pada Maret 2017 sebanyak

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 07/01/64/Th.XIX, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA SEPTEMBER TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O15

PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O15 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 0/07/Th. VIII, 1 Juli 016 PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN 011 - O15 Selama kurun waktu 011-015, IPM Kabupaten Ngada meningkat dari

Lebih terperinci

Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012

Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012 Kata pengantar Publikasi Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012 merupakan publikasi perdana yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan indikator keuangan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 05 /01/32/Th. XVII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG No. 03/6474/Th. V, 07 Desember 2015 1. Metodologi INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA BONTANG Tahun 2014 Secara nasional Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2014

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: Katalog BPS: 4102002.1118 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DENGAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN PIDIE JAYA KATA SAMBUTAN Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Pidie Jaya ini disusun

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 08/01/64/Th.XX, 3 Januari 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA SEPTEMBER TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KAUR 2013

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KAUR 2013 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Kaur 2013 Halaman i INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KAUR 2013 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Kaur 2013 Halaman i INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KAUR

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 57/07/21/Th. XI, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014 No. 40/07/33/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 4,836 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015 No. 05/01/33/Th. X, 4 Januari 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 13,32 PERSEN Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 SEBANYAK 154,20 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015 No. 06/01/51/Th. X, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015 Terjadi kenaikan persentase penduduk miskin di Bali pada September 2015 jika dibandingkan dengan 2015. Tingkat kemiskinan pada

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan review dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2016 No. 08/07/18/TH.IX, 3 Januari 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 59/07/64/Th.XIX, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 39/07/16/ Th. XIX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA SELATAN MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KEADAAN MARET 2017 MENCAPAI 13,19 PERSEN Keadaan Maret

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2015 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 44/09/31/Th XVII, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2015 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2015 sebesar 398,92 ribu orang (3,93

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2010

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2010 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2010 No. Katalog BPS : 4102002.05 Ukuran Buku : 16,5 cm x 22 cm Jumlah Halaman : xi + 76 Naskah : Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/09/53/Th.XVIII, 15 Sept 2015 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 1.159,84 RIBU ORANG (22,61PERSEN) Jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 No. 05/01/36/Th.X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 690,67 RIBU ORANG Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017 No. 47/07/33/Th. XI, 17 Juli 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 13,01 PERSEN Pada bulan 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci