BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teori relativitas khusus (TRK) yang diperkenalkan Einstein tahun 1905 menyatukan ruang dan waktu menjadi entitas tunggal ruang-waktu (misalnya dalam Hidayat, 2010). Dalam teori ini, hukum-hukum fisika dirumuskan secara kovarian, sehingga berbentuk sama untuk sembarang kerangka acuan inersial dan mengikuti kaidah transformasi Lorentz. Hanya saja, konsep-konsep fisika dalam teori ini berlaku terbatas pada kerangka acuan inersial. TRK hanya berlaku dalam ketidakhadiran gravitasi sehingga tidak mampu menjelaskan fenomena fisis dalam medan gravitasi. Selama sepuluh tahun sejak publikasi TRK, Einstein berjuang keras untuk memahami struktur ruang-waktu yang lebih mendalam. Pada tahun 1916, Einstein berhasil menyelesaikan sebuah teori baru. Teori ini lebih umum daripada teori gravitasinya Newton karena dapat berlaku baik pada benda yang bergerak mendekati kecepatan cahaya maupun pada benda diam. Dalam teori ini, Einstein menunjukkan bahwa ruang-waktu bukanlah sesuatu yang kaku, tetapi fleksibel dan merupakan arena fisis yang dinamis (misalnya dalam Hidayat, 2010). Teori ini dikenal sebagai teori relativitas umum (TRU). TRU memberikan sebuah pandangan baru yang radikal, yakni gravitasi tidak lagi dipandang sebagai sebuah gaya, melainkan merupakan manifestasi dari kelengkungan (geometri) ruang-waktu. TRU menggambarkan geometri ruang-waktu beraksi pada materi untuk memanifestasikan dirinya sebagai gravitasi, dan tenagamomentum mempengaruhi ruang-waktu untuk menciptakan kelengkungan. Kesahihan prediksi teori ini pertama kali diuji oleh Eddington melalui pengamatan pembelokan cahaya bintang saat terjadi gerhana matahari total pada tahun TRU direpresentasikan dalam bentuk persamaan yang disebut persamaan medan Einstein (PME). PME menghubungkan geometri ruang-waktu (ruas kiri) dengan sebaran tenaga-momentum (ruas kanan). Salah satu metode untuk memperoleh persamaan ini adalah dengan merumuskan sebuah fungsional aksi (aksi Hilbert-Einstein) dan menerapkan prinsip variasional. Aksi Hilbert-Einstein bersifat unik, yakni jika aksi yang diberikan berbeda, maka akan diperoleh persamaan medan yang berbeda pula. 1

2 2 Cakupan TRU sangat luas sehingga mampu memprediksi dan menjelaskan fenomena-fenomena fisis yang luput dari teori gravitasi Newton maupun TRK. Misalnya dalam aspek astonomi, TRU mampu memprediksi dan menjelaskan fenomena presesi orbit planet-planet, khususnya planet Merkurius. Dalam astrofisika, TRU mampu menjelaskan gerakan dan struktur benda-benda masif, yakni benda-benda yang memiliki rapat massa sangat tinggi, seperti lubang hitam, bintang Neutron, bintang katai putih dan quasar serta fenomena pembelokan cahaya. Dalam kosmologi, TRU mampu memprediksi dan menjelaskan struktur jagad raya hampir secara keseluruhan, misalnya komposisi dan evolusi jagad raya serta gelombang gravitasi yang baru terkonfirmasi tahun Singkatnya cakupan TRU sangat luas meliputi aspek astronomi, astrofisika dan kosmologi. TRU berperan penting dalam pengembangan model kosmologi modern. Teori ini memberikan fondasi matematis dan fisis bagi kosmologi sebagai modal untuk mempelajari struktur jagad raya (Hidayat, 2010). Teori ini mengubah kosmologi dari subjek kualitatif menjadi subjek kuantitatif. TRU membawa kosmologi menjadi salah satu riset yang melibatkan lintas disiplin keilmuan terutama fisika partikel, termodinamika, astronomi dan matematika. Peranan TRU dalam kosmologi modern diawali dengan keberhasilan Einstein dan Willem de Sitter dalam membangun suatu model kosmologi. Model kosmologi Einstein merupakan model jagad raya statis yang diperoleh dengan memasukkan suku Λ 1 pada PME. Sementara model kosmologi de Sitter merupakan model kosmologi hampa, yang tidak berisi materi. Model ini sekaligus memupus harapan Einstein bahwa relativitas umum hanya dapat memberikan ruang-waktu yang berisi materi sebagai satu-satunya solusi persamaan medan. Lima tahun setelah makalah Einstein, Alexander Friedmann mengusulkan suatu model jagad raya mengembang, yang akhirnya mengantarkan pada hipotesis bahwa jagad raya diawali oleh ledakan besar (big bang). Model jagad raya mengembang didukung oleh data pengamatan yang kemudian diungkapkan dalam hukum Hubble (v = H 0 d). Hukum Hubble menyatakan bahwa seluruh galaksi menjauh dari pengamat dengan kecepatan sebanding dengan suatu konstanta yang disebut konstanta Hubble H 0. Hasil pengamatan Hubble serta dapat diperolehnya suatu solusi nonstatik dari PME tanpa suku Λ oleh Friedmann menggugurkan model kosmologi Einstein. Penyertaan konstanta kosmologi pada PME diakui Einstein sebagai kesalahan terbesar dalam hidupnya. 1 suku Λ kemudian disebut sebagai konstanta kosmologi yang diintrepretasikan memberikan efek repulsif yang melawan ekspansi jagad raya sehingga berada dalam kesetimbangan.

3 3 Model jagad raya mengembang yang diperkenalkan Friedmann merupakan jagad raya homogen dan isotropik yang dideduksi dari PME. Model ini sesuai dengan metrik yang diperkenalkan Robertson dan Walker tahun 1930 (misalnya dalam Gron dan Naes, 2011). Metrik ini lazim disebut metrik Robertson-Walker (RW) yang dideduksi dari prinsip kosmologis. Metrik ini mengandung suatu fungsi yang bergantung pada waktu yang memberikan uraian model jagad raya mengembang yang disebut jagad raya Friedmann-Robertson-Walker (FRW). Model FRW dengan mekanisme big bang, lebih spesifik lagi model ΛCDM (model kosmologi ruang datar dengan materi gelap dan tenaga gelap) dikenal sebagai model standar dan merupakan dasar bagi kosmologi modern. Pada model ini, persamaan medan Einstein tidak hanya memuat metrik, melainkan juga tetapan kosmologis Λ tetapi dengan pemaknaan baru. Kecepatan pengembangan jagad raya diyakini tidak tetap dari waktu ke waktu. Pengembangan jagad raya dipercepat secara eksponensial pada fase inflasi, yakni fase sesaat setelah (big bang). Fase ini berlangsung selama s dengan ukuran jagad raya meningkat dengan faktor (misalnya dalam Hidayat, 2010). Fase selanjutnya terkait dengan perlambatan jagad raya dengan materi dan radiasi lebih dominan terhadap medan skalar (misalnya dalam Saha, 2014). Saat ini jagad raya berada pada fase ekspansi dipercepat. Dalam model standar, tetapan kosmologis Λ digadang-gadang sebagai penyebab munculnya percepatan pengembangan jagad raya. Indikasi pertama bahwa jagad raya dalam keadaan berekspansi dipercepat atau mengembang dalam laju yang dipercepat diberikan oleh J.E. Solheim tahun Dengan menggunakan data pengamatan luminositas beberapa gugus galaksi, Solheim menunjukkan bahwa model ekspansi ini paling sesuai dengan persamaan medan disertai konstanta kosmologi dan parameter perlambatan negatif (Alnes, dkk., 2006). Indikasi yang diberikan Solheim baru terkonfirmasi ketika Riess dkk. (1998) dan Perlmutter dkk. (1999) melakukan pengamatan supernova tipe Ia (SNIA) dan menemukan bahwa, dimasa lalu, alam semesta mengembang lebih lambat dari saat ini. Penemuan ini mengejutkan karena sebelum penemuan ini diperkirakan bahwa gravitasi dari materi-materi di jagad raya akan memperlambat ekspansi, atau bahkan menyebabkan jagad raya berkontraksi (mengerut dan kemudian runtuh). Sejauh ini, mekanisme fisis yang mendorong jagad raya berekspansi dipercepat masih merupakan pertanyaan terbuka. Dalam model kosmologi standar, salah satu model yang diusulkan untuk menjelaskan mekanisme ini adalah energi gelap (dark energy), yakni suatu komponen yang mengisi jagad raya yang memiliki tekanan negatif (seakan-akan memiliki kekuatan yang mendorong kosmos terpisah dengan

4 4 kecepatan yang terus meningkat) yang bekerja berlawanan dengan gravitasi, tetapi energi ini tidak terdeteksi dan masih diselimuti misteri. Komposisi energi gelap sangat mendominasi jagad raya, yakni sekitar (71, 4%), dibandingkan materi tampak yang disebut Baryon (4, 6%) dan materi gelap (24%) 2. Akibatnya meski banyaknya Baryon dan materi gelap tidak memungkinkan untuk membuat alam semesta berekspansi dipercepat, keberadaan energi gelap memungkinkan hal tersebut terjadi. Adanya kesenjangan antara fakta pengamatan kosmologis dan perhitungan yang disandarkan pada persamaan medan Einstein mendorong munculnya beberapa gagasan baru. Gagasan pertama terkait dengan persamaan medan yang dianggap tidak kompatibel dengan fakta pengamatan (persamaan medan Einstein salah) sehingga perlu dirumuskan persamaan baru. Gagasan kedua terkait dengan modifikasi ruas kiri persamaan medan dengan asumsi tidak ada massa selain massa yang tampak. Gagasan ketiga terkait dengan modifikasi ruas kanan persamaan medan, dengan asumsi keberadaan materi gelap dan energi gelap. Dalam model kosmologi standar, secara spesifik model ΛCDM, pada skala besar agihan materi jagad raya dianggap bersifat homogen dan isotropik dan direfresentasikan oleh metrik RW. Model ini sangat berhasil dalam menjabarkan struktur jagad raya. Prediksi-prediksi dari model ini sudah banyak yang terbukti keabsahannya. Walaupun demikian, dalam model ini masih terdapat banyak kesenjangan dengan data pengamatan, khususnya masalah energi gelap yang menjadi teka-teki utama yang belum terpecahkan (misalnya dalam Fanizza dan Tedesco, 2015). Selain energi gelap, masih terdapat tiga problem penting yaitu, kurvatur jagad raya, horizon dan prinsip kosmologis (homogen-isotropik) (misalnya dalam Hidayat, 2010). Model kosmologi standar dibangun berdasarkan prinsip kosmologis, yakni homogen dan isotropik. Homogen artinya ruang tampak sama dimanapun pengamat berada, sementara isotropik artinya ruang tampak sama ke arah manapun pengamat memandang. Model standar memandang jagad raya sebagai fluida sempurna tanpa rotasi, padahal galaksi-galaksi tampak berkelompok dan terlokalisasi secara homogen spasial (Labini, 2011). Pada skala lokal, model Jeans menyatakan bintang terbentuk akibat adanya variasi dalam kerapatan fluida kosmik. Bahkan dalam skala sebesar supergugus galaksi, jagad raya masih tidak homogen, distribusi materi pada semua skala tidak homogen pada segala arah. Intinya jagad raya tidak homogen pada skala dibawah jari-jari Hubble, yakni 100 Mpc. Sementara dalam skala lebih besar dari jari-jari Hubble, jagad raya masih tetap tidak homogen, setidaknya ada dua data 2 data WMAP yang diupdate 2012

5 5 pengamatan yang membantah kehomogenan dan keisotropikan jagad raya. Pertama terkait temperatur radiasi CMB yang ternyata tidak isotropik dengan amplitudo 10 5 K. Kedua terkait adanya anomali sudut yang besar terkait dengan momen quadropole dan octopole (Bennett, dkk dalam Russell, 2014) dan (MacCallum, 2009). Salah satu alternatif energi gelap sebagai faktor ekspansi jagad raya dipercepat adalah ketidakhomogenan agihan materi jagad raya. Alternatif yang diusulkan oleh Alnes dkk. ini jelas belum populer. Dengan menggunakan metrik Lemaître-Tolman- Bondi (LTB), mereka berhasil mendapatkan kurva modulus jarak vs pergeseran merah supernova yang mirip dengan model standar (Alnes, dkk. 2006). Sementara itu, Russel dkk. mengusulkan sebuah model kosmologi alternatif, yakni model kosmologi Bianchi tipe I. Model ini merupakan perumuman dari model standar dengan faktor skala yang berbeda untuk masing-masing arah. Perbedaan faktor skala menyebabkan parameter Hubble juga berbeda pada setiap arah. Dengan menggunakan batas atas ketidakisotropikan komponen kuadrupol dan oktupol dari spektrum data observasional Plank diperoleh nilai shear sebesar dan rambatan sebesar Nilai shear ini menunjukkan adanya ketidakisotropikan yang sangat kecil yang mewakili penyimpangan kecil dari model standar FRW. Model kosmologi Bianchi merupakan model jagad raya yang homogen secara spasial tetapi tidak isotropik. Model ini dinamakan model kosmologi Bianchi karena dibangun berdasarkan metrik yang disusun oleh Bianchi. Dalam model kosmologi Bianchi, persamaan medan Einstein yang pada dasarnya merupakan persamaan differensial parsial orde dua non-linier tereduksi menjadi persamaan differensial biasa dengan waktu sebagai variabel independen karena derajat kebebasan yang tidak homogen telah dibekukan (misal dalam Hawking dan Israel 1979 dan Ellis dan van Elst 1998). Penulis, melalui tesis ini, mencoba untuk memberikan gambaran tentang model kosmologi Bianci melalui sifat-sifat geomertinya serta menyelesaikan PME dalam model tersebut. Tinjauan model kosmologi Bianchi dilakukan secara intens sejak tahun 50-an. Dalam tesis ini akan diberikan perhitungan terhadap fitur-fitur yang sudah cukup familier dalam kosmologi dengan menyertakan tensor shear dan vortisitas serta suku tambahan pada tensor tenaga-momentum. Selain itu, dalam tesis juga akan ditinjau pergeseran merah kosmologi pada model Bianchi.

6 6 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang patut untuk dipelajari dan dipahami. Permasalahan yang dimaksud mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Fenomena apa saja yang terjadi dalam model kosmologi Bianchi? 2. Bagaimanakah solusi persamaan medan dalam model kosmologi Bianchi? 3. Bagaimanakah bentuk pergeseran merah dalam model kosmologi Bianchi? 1.3 Batasan Masalah Untuk lebih mempertegas batas-batas pembicaraan dalam kajian yang hendak dilakukan, permasalahan dibatasi pada beberapa hal berikut: 1. Jagad raya dipandang sebagai debu. 2. Model kosmologi Bianchi yang ditinjau hanya kelas A. 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah-masalah di atas maka cakupan tujuan penelitian ini secara rinci dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam model Bianchi kelas A; 2. Perhitungan solusi persamaan medan dalam model kosmologi Bianchi; dan 3. Perumusan bentuk pergeseran merah kosmologis dalam model Bianchi. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang peranan topologi dan teori grup dalam kosmologi modern serta menjadi wawasan awal bagi calon kosmologiwan Indonesia untuk mempelajari model jagad raya alternatif di luar model standar sehingga diperoleh pemahaman yang lebih utuh.

7 7 1.6 Tinjauan Pustaka Model kosmologi Bianchi merupakan model kosmologi homogen sacara spasial, tetapi tidak isotropik. Model ini dibangun di atas metrik yang disusun Bianchi berdasarkan klasifikasi aljabar Lie. Bianchi mengklasifikasikan aljabar Lie berdasakan keberadaan medan vektor Killing dan sifat-sifat konstanta struktur yang menyertainya menjadi 9 kelas (Bianchi, 1898). Model kosmologi Bianchi mulai dikaji secara serius sejak Kasner merumuskan metriknya tahun 1921 dan Taub merumuskan model jagad raya melalui tinjauan grup Lie berdimensi 3 tahun Metrik Kasner diberikan sebagai ds 2 = x 2a 1 1 dx x 2a 2 2 dx x 2a 3 3 dx x 2a 4 4 dx 2 4 dengan syarat a 2 + a 3 + a 4 = a dan a a a 2 4 = (a 1 + 1) 2 (Kasner, 1921). Taub (1951) meninjau jagad raya kosong melalui klasifikasi aljabar Lie pada grup Lie. Tinjauannya menggunakan persamaan Killing dan diperoleh beberapa solusi analitik persamaan medan. Taub secara khusus mengkaji kasus grup Eulid pada Bianchi tipe I dan solusinya untuk R µν = 0. Hasil dari tinjauan Taub adalah 3 teorema ruang-waktu untuk R µν = 0 (Taub, 1951). Behr (1962) mendekomposisikan konstanta struktur pada aljabar Lie dari C k ij menjadi ε lij n kl + δ k ja i δ k ia j (Behr, 1962). Dekomposisi ini menyederhanakan dan memudahkan untuk mengetahui kelas dan tipe model kosmologi Bianchi. Sebagai contoh apabila a i = 0, maka model kosmologinya adalah kelas A dan jika a i 0 model kosmologinya adalah kelas B. Dengan dekomposisi ini, sembilan komponen C k ij dikodekan menjadi enam komponen n kl dan tiga komponen a i (Ashtekar dan Samuel, 1991). Model kosmologi Bianchi dikaji dengan tiga pendekatan, yakni pendekatan metrik, pendekatan automorfisma grup isometri dan pendekatan kerangka (Ellis dan van Elst, 2008). Pada pendekatan metrik, variabel dasarnya adalah metrik g αβ (t) relatif terhadap grup isometri G 3 dengan kerangka bebas waktu. Pendekatan ini diprakarsai oleh Behr (1962), Heckmann dan Schücking (1962). Selain metrik, ternyata model kosmologi Bianchi mengakomodasi struktur tambahan, yaitu grup automorfisme, yakni himpunan transformasi linier gayut waktu pada kerangka spasial yang mempertahankan konstanta struktur pada aljabar Lie (Jantzen, 1979). Grup ini digunakan untuk mengganti g µν (t) dengan variabel automorfisme baru, yang mengha-

8 8 silkan penyederhanaan persamaan medan (Collins dan Hawking 1973). Selanjutnya, Rosquist dan Jantzen menggunakan variabel grup automorfisme untuk menurunkan persamaan evolusi yang tereduksi untuk model Bianchi (Rosquist dan Jantzen, 1988). Ellis dan MacCallum mengkaji solusi persamaan medan untuk fluida sempurna dengan aliran fluida tegak lurus pada hypersurface homogen spasial (Ellis dan MacCallum, 1968). Dalam paper tersebut diberikan pula solusi untuk model Bianchi kelas A dan kelas B serta tinjauan beberapa subgrup isotropik. Pendekatan yang dikerjakan Ellis dan MacCallum ini dikenal sebagai pendekatan kerangka ortonormal. Dalam pendekatan kerangka ortonormal, variabel dasarnya adalah fungsi komutasi γ c ab yang terkait dengan kerangka ortonormal orbit grup. Ciri lain dari pendekatan ini adalah pemilihan vektor satuan, yakni e 0 = n, normal terhadap orbit grup atau lembaran hypersurface. Persamaan medan Einstein untuk model kosmologi Bianchi tereduksi menjadi persamaan parsial orde satu. Komponen utama untuk membangun persamaan ini adalah identitas Ricci yang tersusun dari tensor Riemann dan turunan kovarian dua kali medan vektor kecepatan. Dalam model ini persamaan medan Einstein tereduksi dan dipecah menjadi beberapa persamaan diantaranya persamaan Raychaudhuri dengan suku tambahan shear dan vortisitas (bagian tt), persamaan Friedmann diperumum dan persamaan perambatan shear (bagian ab) dan persamaan konstrain (bagian ta). Keberadaan komponen shear dan vortisitas menjadi hal menarik yang tampak membedakan dengan model standar. King dan Ellis (1973) mengkaji jagad raya tilted. Jagad raya dipandang tersusun atas fluida yang bergerak dengan kecepatan u yang tidak sejajar dengan n. Ketidaksejajaran u dengan n mengubah tensor tenaga-momentum. Karena fluida bergerak tidak tegak lurus hypersurface, maka turunan vektor kecepatan, shear dan vortisitas tidak lenyap. Massara (2013) mencari solusi persamaan medan Einstein untuk model kosmologi Bianchi kelas A. Massara mengkaji model kosmologi Bianchi dengan memandang bahwa jagad raya tersusun atas debu. Model kosmologi Bianchi yang dikaji Massara adalah model non-tilted, yakni debu bergerak tanpa rotasi searah dengan vektor n, normal hypersurface. Karena u searah n, maka suku vortisitas dan turunan medan kecapatan lenyap. Perbedaan tinjauan yang dilakunan penulis dengan kajian King dan Ellis terkait dengan materi jagad raya dan basis yang digunakan. King dan Ellis memandang jagad raya sebagai fluida dengan basis fluida ternormalisasi. Sementara penu-

9 9 lis memandang jagad raya sebagai debu dan menggunakan basis tilted ternomalisai. Sedangkan perbedaan penulis dengan kajian Massara terkait dengan model, yakni Massara mengkaji model non-tilted, sementara penulis mengkaji jagad raya tilted. Sedikitnya ada dua artikel yang memotivasi penulis dalam mengkaji model kosmologi Bianchi. Pertama artikel yang ditulis oleh Alnes, dkk., (2008) dalam artikel tersebut disebutkan bahwa percepatan ekspansi jagad raya diakibatkan oleh sebaran materi yang tidak homogen bukan energi gelap. Artikel kedua adalah tulisan Russel,. dkk., (2014) dalam artikel tersebut Russel mengajukan model kosmologi Bianchi tipe I sebagai arternatif model jagad raya masa kini. Dengan menggunakan batas atas ketidakisotropikan data Planck diperoleh model Bianchi I yang hampir FRW, dan konsisten dengan data observasional CMB terbaru. 1.7 Metode penelitian Penelitian ini merupakan suatu telaah teoritis-metematis secara analitik. Sebagai penelitian yang bersifat telaah teoritis, tentu saja dilakukan tinjauan terhadap beberapa pustaka mengenai perhitungan-perhitungan yang telah dikembangkan sebelumnya. Perhitungan simbol Christoffel untuk model Bianchi tipe I dilakukan secara manual dan selanjutnya dipadukan dengan hasil perhitungan dari Maple 15. Teori yang menjadi landasan adalah teori grup secara khusus grup Lie dan aljabar Lie serta teori relativitas umum yang kemudian diterapkan ke kosmologi. Model kosmologi yang digunakan untuk menjelaskan jagad raya adalah model kosmologi Bianchi. 1.8 Sistematika Penulisan Tesis ini disusun menjadi enam bab dengan uraian singkat sebagai berikut: 1. Bab I merupakan pendahuluan yang mengulas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan, dan kebaruan penelitian. 2. Bab II berjudul Grup Lie dan Kesetangkupan, berisi tentang teori grup, grup Lie, aljabar Lie dan homogenitas ruang. 3. Bab III berjudul Teori Relativitas Einstein berisi teori relativitas khusus, teori relativitas umum dan tensor tenaga momentum 4. Bab IV berjudul Model Kosmologi Bianchi berisi tentang klasifikasi model kosmologi, model kosmologi Bianchi dan persamaan medan.

10 10 5. Bab V berjudul solusi persamaan medan pada model kosmologi Bianchi miring (tilted) berisi deskripsi model kosmologi Bianchi miring dan solusi persamaan medan pada model Bianchi kelas A yang meliputi perhitungan skalar ekspansi, shear, vortisitas, persamaan Raychaudhuri, dan persamaan Friedmann. Pada bagian akhir dari bab ini dijelaskan tentang pergeseran merah kosmologis dalam model kosmologi Bianchi. 6. Bab VI merupakan simpulan dan saran bagi penelitian yang mungkin dilakukan pada masa mendatang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fisika adalah upaya menemukan kaidah-kaidah atau pola-pola keteraturan yang ditaati oleh alam. Pola-pola keteraturan itu sering pula disebut hukum alam (Rosyid,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan fisika teoritik melalui Teori Relativitas Umum (TRU) yang dikemukakan oleh Albert Einstein sudah sangat pesat dan cukup baik dalam mendeskripsikan ataupun memprediksi fenomena-fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Upaya para fisikawan, khususnya fisikawan teoretik untuk mengungkap fenomena alam adalah dengan diajukannya berbagai macam model hukum alam berdasarkan

Lebih terperinci

Bahan Minggu XV Tema : Pengantar teori relativitas umum Materi :

Bahan Minggu XV Tema : Pengantar teori relativitas umum Materi : Bahan Minggu XV Tema : Pengantar teori relativitas umum Materi : Teori Relativitas Umum Sebelum teori Relativitas Umum (TRU) diperkenalkan oleh Einstein pada tahun 1915, orang mengenal sedikitnya tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fisika merupakan upaya menemukan pola-pola keteraturan alam dan membingkainya menjadi bagan berpikir yang runtut, yakni berupa kaitan logis antara konsepkonsep

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 3 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 3 (2013), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. I, No. (01), Hal. 1-17 ISSN : 7-804 Aplikasi Persamaan Einstein Hyperbolic Geometric Flow Pada Lintasan Cahaya di Alam Semesta Risko 1, Hasanuddin 1, Boni Pahlanop Lapanporo 1, Azrul

Lebih terperinci

sangat pesat adalah kosmologi, yaitu studi tentang asal-mula, isi, bentuk, dan

sangat pesat adalah kosmologi, yaitu studi tentang asal-mula, isi, bentuk, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bidang kajian fisika yang paling menarik dan berkembang sangat pesat adalah kosmologi, yaitu studi tentang asal-mula, isi, bentuk, dan evolusi alam semesta.

Lebih terperinci

Teori Dasar Gelombang Gravitasi

Teori Dasar Gelombang Gravitasi Bab 2 Teori Dasar Gelombang Gravitasi 2.1 Gravitasi terlinearisasi Gravitasi terlinearisasi merupakan pendekatan yang memadai ketika metrik ruang waktu, g ab, terdeviasi sedikit dari metrik datar, η ab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dari mana datangnya dunia? Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pertanyaan di atas selalu ada dan setiap zaman memiliki caranya masing-masing dalam menjawab.

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. II, No. 1 (2012), Hal ISSN : Efek Reaksi Balik Gelombang Gravitasi pada Lensa Gravitasi

POSITRON, Vol. II, No. 1 (2012), Hal ISSN : Efek Reaksi Balik Gelombang Gravitasi pada Lensa Gravitasi Efek Reaksi Balik Gelombang Gravitasi pada Lensa Gravitasi Imamal Muttaqien 1) 1)Kelompok Keahlian Astrofisika, Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati,

Lebih terperinci

Skenario Randal-Sundrum dan Brane Bulk

Skenario Randal-Sundrum dan Brane Bulk Bab VI Skenario Randal-Sundrum dan Brane Bulk VI.1 Pendahuluan Bab ini bertujuan untuk menggeneralisasi hasil yang diperoleh untuk sistem dua buah brane, dengan memperluas skema perturbasi yang telah dibahas

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Pada salah satu cabang ilmu fisika yaitu kosmologi merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Kosmologi merupakan ilmu yang mengulas alam semesta beserta dinamikanya.

Lebih terperinci

Pengaruh Konstanta Kosmologi Terhadap Model Standar Alam Semesta

Pengaruh Konstanta Kosmologi Terhadap Model Standar Alam Semesta B-8 JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5 No. (6) 7-5 (-98X Print) Pengaruh Konstanta Kosmologi Terhadap Model Standar Alam Semesta Muhammad Ramadhan dan Bintoro A. Subagyo Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut

Lebih terperinci

Bab 2. Persamaan Einstein dan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann

Bab 2. Persamaan Einstein dan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann Bab 2 Persamaan Einstein dan Ricci Flow 2.1 Geometri Riemann Sebuah himpunan M disebut sebagai manifold jika tiap titik Q dalam M memiliki lingkungan terbuka S yang dapat dipetakan 1-1 melalui sebuah pemetaan

Lebih terperinci

Bab IV Gravitasi Braneworld IV.1 Pendahuluan

Bab IV Gravitasi Braneworld IV.1 Pendahuluan Bab IV Gravitasi Braneworld IV.1 Pendahuluan Pada Bab III, telah diperoleh sebuah deskripsi teori efektif 4-dimensi dari teori 5- dimensi dengan cara mengkompaktifikasi pada orbifold dalam kerangka kerja

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal. 1-7 ISSN : Visualisasi Efek Relativistik Pada Gerak Planet

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal. 1-7 ISSN : Visualisasi Efek Relativistik Pada Gerak Planet PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (13), Hal. 1-7 ISSN : 337-8 Visualisasi Efek Relativistik Pada Gerak Planet Nurul Asri 1, Hasanuddin 1, Joko Sampurno 1, Azrul Azwar 1 1 Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Gravitasi Newton Mengapa planet, bulan dan matahari memiliki bentuk mendekati bola? Mengapa satelit bumi mengelilingi bumi 90 menit, sedangkan bulan memerlukan waktu 27

Lebih terperinci

PENENTUAN MEDAN GRAVITASI EINSTEIN DALAM RUANG MINKOWSKI MENGGUNAKAN SIMBOL CHRISTOFFEL JENIS I DAN II SKRIPSI MELLY FRIZHA

PENENTUAN MEDAN GRAVITASI EINSTEIN DALAM RUANG MINKOWSKI MENGGUNAKAN SIMBOL CHRISTOFFEL JENIS I DAN II SKRIPSI MELLY FRIZHA PENENTUAN MEDAN GRAVITASI EINSTEIN DALAM RUANG MINKOWSKI MENGGUNAKAN SIMBOL CHRISTOFFEL JENIS I DAN II SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains MELLY FRIZHA

Lebih terperinci

BAB III. Proses Fisis Penyebab Fluktuasi Temperatur CMB

BAB III. Proses Fisis Penyebab Fluktuasi Temperatur CMB BAB III Proses Fisis Penyebab Fluktuasi Temperatur CMB III.1 Penyebab Fluktuasi Struktur di alam semesta berasal dari fluktuasi kuantum di awal alam semesta. Akibat pengembangan alam semesta, fluktuasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengetahuan manusia tentang benda-benda di luar angkasa terus meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu benda angkasa yang menarik perhatian adalah bintang.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Relativitas Einstein Relativitas merupakan subjek yang penting yang berkaitan dengan pengukuran (pengamatan) tentang di mana dan kapan suatu kejadian terjadi dan bagaimana

Lebih terperinci

Teori Big Bang. 1. Awalnya, bumi masih merupakan planet homogen dan belum mengalami perlapisan atau

Teori Big Bang. 1. Awalnya, bumi masih merupakan planet homogen dan belum mengalami perlapisan atau Teori Big Bang Berdasarkan Theory Big Bang, proses terbentuknya bumi berawal dari puluhan milyar tahun yang lalu. Pada awalnya terdapat gumpalan kabut raksasa yang berputar pada porosnya. Putaran tersebut

Lebih terperinci

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas Teori Relativitas Mirza Satriawan December 7, 2010 Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus Quiz 1 Tuliskan perumusan kelestarian jumlah partikel dengan memakai vektor-4 fluks jumlah partikel. 2 Tuliskan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN : Analisis Lintasan Foton Dalam Ruang-Waktu Schwarzschild

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN : Analisis Lintasan Foton Dalam Ruang-Waktu Schwarzschild Analisis Lintasan Foton Dalam Ruang-Waktu Schwarzschild Urai astri lidya ningsih 1, Hasanuddin 1, Joko Sampurno 1, Azrul Azwar 1 1 Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura; e-mail: nlidya14@yahoo.com

Lebih terperinci

JAGAD RAYA TEORI TERBENTUKNYA JAGAD RAYA TEORI LEDAKAN BESAR

JAGAD RAYA TEORI TERBENTUKNYA JAGAD RAYA TEORI LEDAKAN BESAR JAGAD RAYA TEORI TERBENTUKNYA JAGAD RAYA TEORI LEDAKAN BESAR Menurut teori ini dijelaskan bahwa jagat raya terbentuk dari ledakan dahsyat yang terjadi kira-kira 13.700 juta tahun yang lalu. Akibat ledakan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein BAB II DASAR TEORI Sebagaimana telah diketahui dalam kinematika relativistik, persamaanpersamaannya diturunkan dari dua postulat relativitas. Dua kerangka inersia yang bergerak relatif satu dengan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teori mengenai gravitasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Dipelopori oleh Newton dalam buku Principia Mathematica, gravitasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Hukum gravitasi Newton mampu menerangkan fenomena benda-benda langit yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi antar benda. Namun, hukum gravitasi Newton ini tidak sesuai dengan teori

Lebih terperinci

TEST KEMAMPUAN DASAR FISIKA

TEST KEMAMPUAN DASAR FISIKA TEST KEMAMPUAN DASAR FISIKA Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan pernyataan BENAR atau SALAH. Jika jawaban anda BENAR, pilihlah alasannya yang cocok dengan jawaban anda. Begitu pula jika

Lebih terperinci

Stephen Hawking. Muhammad Farchani Rosyid

Stephen Hawking. Muhammad Farchani Rosyid Stephen Hawking Muhammad Farchani Rosyid Kelompok Penelitian Kosmologi, Astrofisika, Partikel, dan Fisika Matematik (KAMP), Laboratorium Fisika Atom dan Inti, Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Gadjah Mada,

Lebih terperinci

ILMU FISIKA. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT.

ILMU FISIKA. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT. ILMU FISIKA Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT. DEFINISI ILMU FISIKA? Ilmu Fisika dalam Bahasa Yunani: (physikos), yang artinya alamiah, atau (physis), Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Energi-diri sebuah elektron adalah energi total elektron tersebut di dalam ruang bebas ketika terisolasi dari partikel-partikel lain (Majumdar dan Gupta, 1947).

Lebih terperinci

indahbersamakimia.blogspot.com Soal Olimpiade Astronomi Tingkat Provinsi 2011, Waktu : 150 menit

indahbersamakimia.blogspot.com Soal Olimpiade Astronomi Tingkat Provinsi 2011, Waktu : 150 menit Soal Olimpiade Astronomi Tingkat Provinsi 2011, Waktu : 150 menit Pilihan Berganda, 20 Soal 1. Jika jarak rata-rata planet Mars adalah 1,52 SA dari Matahari, maka periode orbit planet Mars mengelilingi

Lebih terperinci

Asal-usul dan Evolusi Alam Semesta Julieta Fierro, Susana Deustua, Beatriz Garcia

Asal-usul dan Evolusi Alam Semesta Julieta Fierro, Susana Deustua, Beatriz Garcia Asal-usul dan Evolusi Alam Semesta Julieta Fierro, Susana Deustua, Beatriz Garcia International Astronomical Union, Universidad Nacional Autónoma de México, México Universidad Tecnológica Nacional, Mendoza,

Lebih terperinci

UM UGM 2017 Fisika. Soal

UM UGM 2017 Fisika. Soal UM UGM 07 Fisika Soal Doc. Name: UMUGM07FIS999 Version: 07- Halaman 0. Pada planet A yang berbentuk bola dibuat terowongan lurus dari permukaan planet A yang menembus pusat planet dan berujung di permukaan

Lebih terperinci

Prinsip relativtas (pestulat pertama): Hukum-hukum fisika adalah sma untuk setiap kerangka acuan

Prinsip relativtas (pestulat pertama): Hukum-hukum fisika adalah sma untuk setiap kerangka acuan Konsep teori relativitas Teori relativitas khusus Einstein-tingkah laku benda yang terlokalisasi dalam kerangka acuan inersia, umumnya hanya berlaku pada kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya. Transforasi

Lebih terperinci

FISIKA XI SMA 3

FISIKA XI SMA 3 FISIKA XI SMA 3 Magelang @iammovic Standar Kompetensi: Menerapkan konsep dan prinsip mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah Kompetensi Dasar: Merumuskan hubungan antara konsep torsi,

Lebih terperinci

BAB IV. Analisis Power spectrum CMB dan Power spectrum Galaksi. IV.1 Model Concordance

BAB IV. Analisis Power spectrum CMB dan Power spectrum Galaksi. IV.1 Model Concordance BAB IV Analisis Power spectrum CMB dan Power spectrum Galaksi IV.1 Model Concordance Fisikawan teoritis hanya dapat menduga bentuk power spectrum dari pemodelan berdasarkan alam semesta mengembang dengan

Lebih terperinci

Oleh : Chatief Kunjaya. KK Astronomi, ITB

Oleh : Chatief Kunjaya. KK Astronomi, ITB Oleh : Chatief Kunjaya KK Astronomi, ITB Kompetensi Dasar XI.3.10 Menganalisis gejala dan ciri-ciri gelombang secara umum XII.3.1 Menerapkan konsep dan prinsip gelombang bunyi dan cahaya dalam teknologi

Lebih terperinci

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR A V PERAMATAN GELOMANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR 5.. Pendahuluan erkas (beam) optik yang merambat pada medium linier mempunyai kecenderungan untuk menyebar karena adanya efek difraksi; lihat Gambar

Lebih terperinci

SP FISDAS I. acuan ) , skalar, arah ( ) searah dengan

SP FISDAS I. acuan ) , skalar, arah ( ) searah dengan SP FISDAS I Perihal : Matriks, pengulturan, dimensi, dan sebagainya. Bisa baca sendiri di tippler..!! KINEMATIKA : Gerak benda tanpa diketahui penyebabnya ( cabang dari ilmu mekanika ) DINAMIKA : Pengaruh

Lebih terperinci

EINSTEIN DAN TEORI RELATIVITAS

EINSTEIN DAN TEORI RELATIVITAS EINSTEIN DAN TEORI RELATIVITAS Freddy Permana Zen, M.Sc., D.Sc. Laboratorium Fisika Teoretik, THEPI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG I. PENDAHULUAN Fisika awal abad

Lebih terperinci

Bab 2. Geometri Riemann dan Persamaan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann Manifold Riemannian

Bab 2. Geometri Riemann dan Persamaan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann Manifold Riemannian Bab 2 Geometri Riemann dan Persamaan Ricci Flow 2.1 Geometri Riemann Geometri Riemann pertama kali dikemukakan secara general oleh Bernhard Riemann pada abad ke 19. Pada bagian ini akan diberikan penjelasan

Lebih terperinci

SOLUSI STATIK PERSAMAAN MEDAN EINSTEIN UNTUK RUANG VAKUM BERSIMETRI SILINDER DAN PERSAMAAN GERAK PARTIKEL JATUH BEBAS DARI SOLUSI TERSEBUT

SOLUSI STATIK PERSAMAAN MEDAN EINSTEIN UNTUK RUANG VAKUM BERSIMETRI SILINDER DAN PERSAMAAN GERAK PARTIKEL JATUH BEBAS DARI SOLUSI TERSEBUT SOLUSI STATIK PERSAMAAN MEDAN EINSTEIN UNTUK RUANG VAKUM BERSIMETRI SILINDER DAN PERSAMAAN GERAK PARTIKEL JATUH BEBAS DARI SOLUSI TERSEBUT SKRIPSI Oleh A.Syaiful Lutfi NIM 081810201005 JURUSAN FISIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Gravitasi Newton Beberapa teori dapat membandingkan ketelitian ramalannya dengan teori gravitasi universal Newton. Ramalan mekanika benda angkasa untuk posisi planet sesuai

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR MODUL 5 MOMEN INERSIA

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR MODUL 5 MOMEN INERSIA LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR MODUL 5 MOMEN INERSIA Nama : Lukman Santoso NPM : 240110090123 Tanggal / Jam Asisten : 17 November 2009/ 15.00-16.00 WIB : Dini Kurniati TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN

Lebih terperinci

VEKTOR. Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3. Liduina Asih Primandari, S.Si., M.Si.

VEKTOR. Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3. Liduina Asih Primandari, S.Si., M.Si. VEKTOR 1 A. Definisi vektor Beberapa besaran Fisika dapat dinyatakan dengan sebuah bilangan dan sebuah satuan untuk menyatakan nilai besaran tersebut. Misal, massa, waktu, suhu, dan lain lain. Namun, ada

Lebih terperinci

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 23, Pengantar Kelengkungan. M. Satriawan Teori Relativitas

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 23, Pengantar Kelengkungan. M. Satriawan Teori Relativitas Teori Relativitas Mirza Satriawan December 23, 2010 Pengantar Kelengkungan Quiz 1 Apakah basis vektor dalam sistem koordinat melengkung selalu konstan? 2 Dalam sistem koordinat apakah basis vektornya selalu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. 1. Vektor

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. 1. Vektor BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Vektor Ada beberapa besaran fisis yang cukup hanya dinyatakan dengan suatu angka dan satuan yang menyatakan besarnya saja. Ada juga besaran fisis yang tidak

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Hak Cipta Dilindungi Undang-undang SOAL OLIMPIADE SAINS NASIONAL TAHUN 2015 ASTRONOMI RONDE ANALISIS DATA Waktu: 240 menit KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH

Lebih terperinci

Teori Relativitas Khusus

Teori Relativitas Khusus Teori Relativitas Khusus Agus Suroso Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi, Institut Teknologi Bandung agussuroso102.wordpress.com, agussuroso@fi.itb.ac.id 19 April 2017 Daftar Isi 1 Relativitas,

Lebih terperinci

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Getaran atom dalam zat padat dapat disebabkan oleh gelombang yang merambat pada Kristal. Ditinjau dari panjang gelombang yang digelombang yang digunakan dan dibandingkan

Lebih terperinci

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB Medan Magnet Benda Angkasa Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB Kompetensi Dasar XII.3.4 Menganalisis induksi magnet dan gaya magnetik pada berbagai produk teknologi XII.4.4 Melaksanakan pengamatan induksi

Lebih terperinci

10. Mata Pelajaran Fisika Untuk Paket C Program IPA

10. Mata Pelajaran Fisika Untuk Paket C Program IPA 10. Mata Pelajaran Fisika Untuk Paket C Program IPA A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bukan hanya kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi

Lebih terperinci

TOPIK 8. Medan Magnetik. Fisika Dasar II TIP, TP, UGM 2009 Ikhsan Setiawan, M.Si.

TOPIK 8. Medan Magnetik. Fisika Dasar II TIP, TP, UGM 2009 Ikhsan Setiawan, M.Si. TOPIK 8 Medan Magnetik Fisika Dasar II TIP, TP, UGM 2009 Ikhsan Setiawan, M.Si. ikhsan_s@ugm.ac.id Pencetak sidik jari magnetik. Medan Magnetik Medan dan Gaya Megnetik Gaya Magnetik pada Konduktor Berarus

Lebih terperinci

PR ONLINE MATA UJIAN: FISIKA (KODE A07)

PR ONLINE MATA UJIAN: FISIKA (KODE A07) PR ONLINE MATA UJIAN: FISIKA (KODE A07) 1. Gambar di samping ini menunjukkan hasil pengukuran tebal kertas karton dengan menggunakan mikrometer sekrup. Hasil pengukurannya adalah (A) 4,30 mm. (D) 4,18

Lebih terperinci

3. (4 poin) Seutas tali homogen (massa M, panjang 4L) diikat pada ujung sebuah pegas

3. (4 poin) Seutas tali homogen (massa M, panjang 4L) diikat pada ujung sebuah pegas Soal Multiple Choise 1.(4 poin) Sebuah benda yang bergerak pada bidang dua dimensi mendapat gaya konstan. Setelah detik pertama, kelajuan benda menjadi 1/3 dari kelajuan awal benda. Dan setelah detik selanjutnya

Lebih terperinci

BESARAN VEKTOR. Gb. 1.1 Vektor dan vektor

BESARAN VEKTOR. Gb. 1.1 Vektor dan vektor BAB 1 BESARAN VEKTOR Tujuan Pembelajaran 1. Menjelaskan definisi vektor, dan representasinya dalam sistem koordinat cartesius 2. Menjumlahkan vektor secara grafis dan dengan vektor komponen 3. Melakukan

Lebih terperinci

SOAL UJIAN SELEKSI CALON PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2016 TINGKAT PROVINSI

SOAL UJIAN SELEKSI CALON PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2016 TINGKAT PROVINSI HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG SOAL UJIAN SELEKSI CALON PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2016 TINGKAT PROVINSI BIDANG ASTRONOMI Waktu : 180 Menit KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA SOLUSI SCHWARZSCHILD UNTUK PERHITUNGAN PRESISI ORBIT PLANET-PLANET DI DALAM TATA SURYA DAN PERGESERAN MERAH GRAVITASI SKRIPSI

UNIVERSITAS INDONESIA SOLUSI SCHWARZSCHILD UNTUK PERHITUNGAN PRESISI ORBIT PLANET-PLANET DI DALAM TATA SURYA DAN PERGESERAN MERAH GRAVITASI SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA SOLUSI SCHWARZSCHILD UNTUK PERHITUNGAN PRESISI ORBIT PLANET-PLANET DI DALAM TATA SURYA DAN PERGESERAN MERAH GRAVITASI SKRIPSI SALMAN FARISHI 0304020655 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB 1 BESARAN VEKTOR. A. Representasi Besaran Vektor

BAB 1 BESARAN VEKTOR. A. Representasi Besaran Vektor BAB 1 BESARAN VEKTOR TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Menjelaskan definisi vektor, dan representasinya dalam sistem koordinat cartesius 2. Menjumlahan vektor secara grafis dan matematis 3. Melakukan perkalian vektor

Lebih terperinci

PENENTUAN MEDAN GRAVITASI EINSTEIN DALAM RUANG MINKOWSKI MENGGUNAKAN SIMBOL CHRISTOFFEL JENIS I DAN II

PENENTUAN MEDAN GRAVITASI EINSTEIN DALAM RUANG MINKOWSKI MENGGUNAKAN SIMBOL CHRISTOFFEL JENIS I DAN II Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor PENENTUAN MEDAN GRAVITASI EINSTEIN DALAM RUANG MINKOWSKI MENGGUNAKAN SIMBOL

Lebih terperinci

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17,

3. ORBIT KEPLERIAN. AS 2201 Mekanika Benda Langit. Monday, February 17, 3. ORBIT KEPLERIAN AS 2201 Mekanika Benda Langit 1 3.1 PENDAHULUAN Mekanika Newton pada mulanya dimanfaatkan untuk menentukan gerak orbit benda dalam Tatasurya. Misalkan Matahari bermassa M pada titik

Lebih terperinci

LATIHAN UJIAN NASIONAL

LATIHAN UJIAN NASIONAL LATIHAN UJIAN NASIONAL 1. Seorang siswa menghitung luas suatu lempengan logam kecil berbentuk persegi panjang. Siswa tersebut menggunakan mistar untuk mengukur panjang lempengan dan menggunakan jangka

Lebih terperinci

Kajian Konstanta Kosmologi Einstein pada Solar System Effect di ruang waktu Schwarzschild de Sitter

Kajian Konstanta Kosmologi Einstein pada Solar System Effect di ruang waktu Schwarzschild de Sitter Kajian Konstanta Kosmologi Einstein pada Solar System Effect di ruang waktu Schwarzschild de Sitter Philin Yolanda Dwi Sagita 1, Bintoro Anang Subagyo 2 1 Program Studi Fisika FMIPA Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK Tujuan Instruksional Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat: 1. Menjelaskan cara penyelesaian soal dengan

Lebih terperinci

Pengembangan Alam Semesta

Pengembangan Alam Semesta Pengembangan Alam Semesta Ricardo Moreno, Susana Destua, Rosa M. Ros, Beatriz García Colegio Retamar de Madrid, España Space Telescope Science Institute, Estados Unidos Universidad Politécnica de Cataluña,

Lebih terperinci

FISIKA 2014 TIPE A. 30 o. t (s)

FISIKA 2014 TIPE A. 30 o. t (s) No FISIKA 2014 TIPE A SOAL 1 Sebuah benda titik dipengaruhi empat vektor gaya masing-masing 20 3 N mengapit sudut 30 o di atas sumbu X positif, 20 N mnegapit sudut 60 o di atas sumbu X negatif, 5 N pada

Lebih terperinci

OLIMPIADE SAINS NASIONAL TAHUN 2009 TINGKAT KABUPATEN/KOTA FISIKA SMP

OLIMPIADE SAINS NASIONAL TAHUN 2009 TINGKAT KABUPATEN/KOTA FISIKA SMP OLIMPIADE SAINS NASIONAL TAHUN 2009 TINGKAT KABUPATEN/KOTA FISIKA SMP Materi Pokok 1. Besaran Satuan dan Pengukuran Sub Materi Indikator Pokok 1.1. Besaran dan mengklasifikasi besaranbesaran fisika Membedakan

Lebih terperinci

BAB 1 Keseimban gan dan Dinamika Rotasi

BAB 1 Keseimban gan dan Dinamika Rotasi BAB 1 Keseimban gan dan Dinamika Rotasi titik berat, dan momentum sudut pada benda tegar (statis dan dinamis) dalam kehidupan sehari-hari.benda tegar (statis dan Indikator Pencapaian Kompetensi: 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel

BAB I PENDAHULUAN. Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel (plasma) dari permukaan atmosfer bintang dengan kecepatan cukup besar sehingga mampu melawan tarikan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. Gambar 2.1 Lenturan Gelombang yang Melalui Celah Sempit

BAB II PEMBAHASAN. Gambar 2.1 Lenturan Gelombang yang Melalui Celah Sempit BAB II PEMBAHASAN A. Difraksi Sesuai dengan teori Huygens, difraksi dapat dipandang sebagai interferensi gelombang cahaya yang berasal dari bagian-bagian suatu medan gelombang. Medan gelombang boleh jadi

Lebih terperinci

Bab III INTERAKSI GALAKSI

Bab III INTERAKSI GALAKSI Bab III INTERAKSI GALAKSI III.1 Proses Dinamik Selama Interaksi Interaksi merupakan sebuah proses saling mempengaruhi yang terjadi antara dua atau lebih obyek. Obyek-obyek yang saling berinteraksi dapat

Lebih terperinci

FISIKA MODERN. Staf Pengajar Fisika Departemen Fisika,, FMIPA, IPB

FISIKA MODERN. Staf Pengajar Fisika Departemen Fisika,, FMIPA, IPB FISIKA MODERN Staf Pengajar Fisika Departemen Fisika,, FMIPA, IPB 1 MANFAAT KULIAH Memberikan pemahaman tentang fenomena alam yang tidak dapat dijelaskan melalui fisika klasik Fenomena alam yang berkaitan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nyata (fenomena-fenomena alam) ke dalam bagian-bagian matematika yang. disebut dunia matematika (mathematical world).

II. TINJAUAN PUSTAKA. nyata (fenomena-fenomena alam) ke dalam bagian-bagian matematika yang. disebut dunia matematika (mathematical world). 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Matematika Definisi pemodelan matematika : Pemodelan matematika adalah suatu deskripsi dari beberapa perilaku dunia nyata (fenomena-fenomena alam) ke dalam bagian-bagian

Lebih terperinci

BAB II PERAMBATAN GELOMBANG SEISMIK

BAB II PERAMBATAN GELOMBANG SEISMIK BAB II PERAMBATAN GELOMBANG SEISMIK.1 Teori Perambatan Gelombang Seismik Metode seismik adalah sebuah metode yang memanfaatkan perambatan gelombang elastik dengan bumi sebagai medium rambatnya. Perambatan

Lebih terperinci

dan penggunaan angka penting ( pembacaan jangka sorong / mikrometer sekrup ) 2. Operasi vektor ( penjumlahan / pengurangan vektor )

dan penggunaan angka penting ( pembacaan jangka sorong / mikrometer sekrup ) 2. Operasi vektor ( penjumlahan / pengurangan vektor ) 1. 2. Memahami prinsipprinsip pengukuran dan melakukan pengukuran besaran fisika secara langsung dan tidak langsung secara cermat, teliti, dan obyektif Menganalisis gejala alam dan keteraturannya dalam

Lebih terperinci

BAHAN AJAR FISIKA GRAVITASI

BAHAN AJAR FISIKA GRAVITASI BAHAN AJAR FISIKA GRAVITASI OLEH SRI RAHMAWATI, S.Pd SMA NEGERI 5 MATARAM Pernahkah kalian berfikir, mengapa bulan tidak jatuh ke bumi atau meninggalkan bumi? Mengapa jika ada benda yang dilepaskan akan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Gelombang dan klasifikasinya. Gelombang adalah suatu gangguan menjalar dalam suatu medium ataupun tanpa medium. Dalam klasifikasinya gelombang terbagi menjadi yaitu :. Gelombang

Lebih terperinci

Jawaban Soal OSK FISIKA 2014

Jawaban Soal OSK FISIKA 2014 Jawaban Soal OSK FISIKA 4. Sebuah benda bergerak sepanjang sumbu x dimana posisinya sebagai fungsi dari waktu dapat dinyatakan dengan kurva seperti terlihat pada gambar samping (x dalam meter dan t dalam

Lebih terperinci

POK O O K K O - K P - OK O O K K O K MAT A ERI R FISIKA KUANTUM

POK O O K K O - K P - OK O O K K O K MAT A ERI R FISIKA KUANTUM POKOK-POKOK MATERI FISIKA KUANTUM PENDAHULUAN Dalam Kurikulum Program S-1 Pendidikan Fisika dan S-1 Fisika, hampir sebagian besar digunakan untuk menelaah alam mikro (= alam lelembutan micro-world): Fisika

Lebih terperinci

Bintang Ganda DND-2006

Bintang Ganda DND-2006 Bintang Ganda Bintang ganda (double stars) adalah dua buah bintang yang terikat satu sama lain oleh gaya tarik gravitasi antar kedua bintang tersebut. Apabila sistem bintang ini lebih dari dua, maka disebut

Lebih terperinci

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013 Soal-Jawab Fisika Teori OSN 0 andung, 4 September 0. (7 poin) Dua manik-manik masing-masing bermassa m dan dianggap benda titik terletak di atas lingkaran kawat licin bermassa M dan berjari-jari. Kawat

Lebih terperinci

Mengukur Kebenaran Konsep Momen Inersia dengan Penggelindingan Silinder pada Bidang Miring

Mengukur Kebenaran Konsep Momen Inersia dengan Penggelindingan Silinder pada Bidang Miring POSDNG SKF 16 Mengukur Kebenaran Konsep Momen nersia dengan Penggelindingan Silinder pada Bidang Miring aja Muda 1,a), Triati Dewi Kencana Wungu,b) Lilik Hendrajaya 3,c) 1 Magister Pengajaran Fisika Fakultas

Lebih terperinci

r 21 F 2 F 1 m 2 Secara matematis hukum gravitasi umum Newton adalah: F 12 = G

r 21 F 2 F 1 m 2 Secara matematis hukum gravitasi umum Newton adalah: F 12 = G Gaya gravitasi antara dua benda merupakan gaya tarik menarik yang besarnya berbanding lurus dengan massa masing-masing benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya Secara matematis

Lebih terperinci

Riwayat Bintang. Alexandre Costa, Beatriz García, Ricardo Moreno, Rosa M Ros

Riwayat Bintang. Alexandre Costa, Beatriz García, Ricardo Moreno, Rosa M Ros Riwayat Bintang Alexandre Costa, Beatriz García, Ricardo Moreno, Rosa M Ros International Astronomical Union - Comm. 46 Escola Secundária de Loulé, Portugal Universidad Tecnológica Nacional, Argentina

Lebih terperinci

Momen Inersia. distribusinya. momen inersia. (karena. pengaruh. pengaruh torsi)

Momen Inersia. distribusinya. momen inersia. (karena. pengaruh. pengaruh torsi) Gerak Rotasi Momen Inersia Terdapat perbedaan yang penting antara masa inersia dan momen inersia Massa inersia adalah ukuran kemalasan suatu benda untuk mengubah keadaan gerak translasi nya (karena pengaruh

Lebih terperinci

KONSEPSI AWAL MAHASISWA FISIKA TERHADAP MATERI BINTANG DAN EVOLUSI BINTANG DALAM PERKULIAHAN ASTROFISIKA

KONSEPSI AWAL MAHASISWA FISIKA TERHADAP MATERI BINTANG DAN EVOLUSI BINTANG DALAM PERKULIAHAN ASTROFISIKA KONSEPSI AWAL MAHASISWA FISIKA TERHADAP MATERI BINTANG DAN EVOLUSI BINTANG DALAM PERKULIAHAN ASTROFISIKA L. Aviyanti a, * dan J.A. Utama b a Jurusan Pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Indonesia

Lebih terperinci

A. Pendahuluan. Dalam cabang ilmu fisika kita mengenal MEKANIKA. Mekanika ini dibagi dalam 3 cabang ilmu yaitu :

A. Pendahuluan. Dalam cabang ilmu fisika kita mengenal MEKANIKA. Mekanika ini dibagi dalam 3 cabang ilmu yaitu : BAB VI KESEIMBANGAN BENDA TEGAR Standar Kompetensi 2. Menerapkan konsep dan prinsip mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah Kompetensi Dasar 2.1 Menformulasikan hubungan antara konsep

Lebih terperinci

Disusun oleh : MIRA RESTUTI PENDIDIKAN FISIKA (RM)

Disusun oleh : MIRA RESTUTI PENDIDIKAN FISIKA (RM) Disusun oleh : MIRA RESTUTI 1106306 PENDIDIKAN FISIKA (RM) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2013 Kompetensi Dasar :

Lebih terperinci

BAB III TENSOR. Berdasarkan uraian bab sebelumnya yang telah menjelaskan beberapa

BAB III TENSOR. Berdasarkan uraian bab sebelumnya yang telah menjelaskan beberapa BAB III TENSOR Berdasarkan uraian bab sebelumnya yang telah menjelaskan beberapa istilah dan materi pendukung yang berkaitan dengan tensor, pada bab ini akan dijelaskan pengertian dasar dari tensor. Tensor

Lebih terperinci

Jenis dan Sifat Gelombang

Jenis dan Sifat Gelombang Jenis dan Sifat Gelombang Gelombang Transversal, Gelombang Longitudinal, Gelombang Permukaan Gelombang Transversal Gelombang transversal merupakan gelombang yang arah pergerakan partikel pada medium (arah

Lebih terperinci

Jika sebuah sistem berosilasi dengan simpangan maksimum (amplitudo) A, memiliki total energi sistem yang tetap yaitu

Jika sebuah sistem berosilasi dengan simpangan maksimum (amplitudo) A, memiliki total energi sistem yang tetap yaitu A. TEORI SINGKAT A.1. TEORI SINGKAT OSILASI Osilasi adalah gerakan bolak balik di sekitar suatu titik kesetimbangan. Ada osilasi yang memenuhi hubungan sederhana dan dinamakan gerak harmonik sederhana.

Lebih terperinci

D. 30 newton E. 70 newton. D. momentum E. percepatan

D. 30 newton E. 70 newton. D. momentum E. percepatan 1. Sebuah benda dengan massa 5 kg yang diikat dengan tali, berputar dalam suatu bidang vertikal. Lintasan dalam bidang itu adalah suatu lingkaran dengan jari-jari 1,5 m Jika kecepatan sudut tetap 2 rad/s,

Lebih terperinci

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 1 BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN Pada bab ini akan dibahas pengaruh dasar laut tak rata terhadap perambatan gelombang permukaan secara analitik. Pengaruh dasar tak rata ini akan ditinjau melalui simpangan

Lebih terperinci

PROGRAM PERSIAPAN OLIMPIADE SAINS BIDANG ASTRONOMI 2014 SMA 2 CIBINONG TES 20 MEI 2014

PROGRAM PERSIAPAN OLIMPIADE SAINS BIDANG ASTRONOMI 2014 SMA 2 CIBINONG TES 20 MEI 2014 PROGRAM PERSIAPAN OLIMPIADE SAINS BIDANG ASTRONOMI 2014 SMA 2 CIBINONG TES 20 MEI 2014 NAMA PROVINSI TANGGAL LAHIR ASAL SEKOLAH KABUPATEN/ KOTA TANDA TANGAN 1. Dilihat dari Bumi, bintang-bintang tampak

Lebih terperinci

52. Mata Pelajaran Fisika untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang B. Tujuan

52. Mata Pelajaran Fisika untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang B. Tujuan 52. Mata Pelajaran Fisika untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis,

Lebih terperinci

MISTERI JAGAT BAYI (BABY UNIVERSES), LUBANG HITAM DAN JAGAT GAIB

MISTERI JAGAT BAYI (BABY UNIVERSES), LUBANG HITAM DAN JAGAT GAIB MISTERI JAGAT BAYI (BABY UNIVERSES), LUBANG HITAM DAN JAGAT GAIB AGUS SISWANTO Jagat Raya berawal dari singularitas (titik awal) yang kemudian terjadi Big Bang (Dentuman Besar). Namun teori ini tidak menjawab

Lebih terperinci

PETA KONSEP ELEKTROSTATIS ENERGI KUAT MEDAN LISTRIK KEPING SEJAJAR HUKUM GAUSS POTENSIAL LISTRIK KAPASITOR POTENSIAL LISTRIK MEDAN LISTRIK DUA KEPING

PETA KONSEP ELEKTROSTATIS ENERGI KUAT MEDAN LISTRIK KEPING SEJAJAR HUKUM GAUSS POTENSIAL LISTRIK KAPASITOR POTENSIAL LISTRIK MEDAN LISTRIK DUA KEPING PETA KONSEP ELEKTROSTATIS ELEKTROSTATIS KUAT MEDAN LISTRIK HUKUM GAUSS ENERGI POTENSIAL LISTRIK POTENSIAL LISTRIK KEPING SEJAJAR KAPASITOR MEDAN LISTRIK DUA KEPING SEJAJAR POTENSIAL LISTRIK DUA KEPING

Lebih terperinci

Bab 2. Teori Gelombang Elastik. sumber getar ke segala arah dengan sumber getar sebagai pusat, sehingga

Bab 2. Teori Gelombang Elastik. sumber getar ke segala arah dengan sumber getar sebagai pusat, sehingga Bab Teori Gelombang Elastik Metode seismik secara refleksi didasarkan pada perambatan gelombang seismik dari sumber getar ke dalam lapisan-lapisan bumi kemudian menerima kembali pantulan atau refleksi

Lebih terperinci