Superfluiditas pada Materi Nuklir

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Superfluiditas pada Materi Nuklir"

Transkripsi

1 Superfluiditas pada Materi Nuklir Skripsi Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains Yunita Umniyati Y Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Depok 2004

2 Lembar Persetujuan Judul Skripsi : Superfluiditas pada Materi Nuklir Nama : Yunita Umniyati NPM : Y Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui Depok, 6 Agustus 2004 Mengesahkan Pembimbing I Dr. Anto Sulaksono Penguji I Penguji II Dr. Imam Fachrudin Dr. Agus Salam

3 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah tak lupa penulis haturkan kepada Yang Maha Kuasa atas izin-nya lah penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Akhirnya pada bagian yang PALING TIDAK PENTING ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat baik secara langsung atau tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Dan tak lupa, special thanks to gank teori depok Angga Darmawan, Anton Wiranata, Ardy Mustofa, (pak) Ayung, Chandi Wijaya, Freddy Simanjuntak, Julio, (pak) L. T. Handoko, Mulyadi Tjoa, Nofirwan, Nowo Riveli, dan (pak) Terry Mart atas kebersamaannya selama ini. Yunita Umniyati iii

4 Abstrak Fenomena superfluiditas pada sistem nuklir banyak-benda dapat dijelaskan berdasarkan teori medan kuantum. Sifat-sifat pasangan 1 S 0 materi nuklir simetris dipelajari dengan menggunakan formalisme Dirac-Hartree-Bogoliubov. Model nuklir yang digunakan adalah model Walecka linear. Penyelidikan difokuskan pada keterbergantungan gap pasangan ( ) terhadap cutoff dan parameter set dari model nuklir yang digunakan. Kata kunci: persamaan gap, superfluiditas, materi nuklir. Abstract Superfluidity behavior of nuclear many-body system can be described by quantum field theory. The pairing properties of symmetric nuclear matter can be studied by of Dirac-Hartree-Bogoliubov formalism ( 1 S 0 pairing). Linear Walecka models are used to describe matter. The investigation is focused to wheather or not the pairing gap ( ) depend strongly on parameter set of nuclear model and cutoff. Keywords: gap equation, superfluidity, nuclear matter. iv

5 Daftar Isi Kata Pengantar Abstrak Daftar Isi Daftar Gambar Lampiran iii iv v vii vii 1 Pendahuluan Latar Belakang Masalah Tujuan Sistematika Materi Nuklir Materi Nuklir Simetrik Pendekatan Medan Rata-Rata Teori Dirac-Hartree-Bogoliubov Relativistik (RHB) Pendekatan BCS Hasil dan Pembahasan Pengaruh Cut Off pada (k) Massa Efektif M Kesimpulan 21 A Parameter Set yang Digunakan 22 v

6 B Alur Program 23 B.1 Inisialisasi B.2 Iterasi Daftar Acuan 25 vi

7 Daftar Gambar 2.1 Hubungan M terhadap ρ B berdasarkan pendekataan medan ratarata relativistik. Parameter dari L-W, L-HS, dan L1 dapat dilihat pada lampiran Hubungan pairing gap pada permukaan Fermi (k) terhadap momentum Fermi k F Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda Hubungan pairing gap terhadap momentum k Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda Hubungan potensial terhadap momentum k Perbandingan potensial V pp (k,k F ) untuk 3 parameter yang berbeda Relasi M dengan ρ vii

8 Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Superfluiditas pada materi nuklir menarik perhatian fisikawan selama 40 tahun terakhir. Hal ini terutama disebabkan fenomena ini memberikan konsekuensi penting terhadap bintang neutron, seperti menjelaskan laju pendinginan bintang neutron dan pulsar glitches [1]. Oleh karena itu perhitungan Hartree-Bogoliubov diperlukan. Perlu dicatat di sini superfluiditas pada materi neutron dan materi nuklir berdasarkan model-model nonrelativistik sudah banyak dipelajari, tetapi sejauh ini ekstensi ke model relativistik dan perhitungan kualitatif dari gap pasangan untuk jenis baryon lain masih belum banyak dikerjakan. Di sisi lain model relativistik mempunyai keunggulan terhadap model nonrelativistik dalam hal deskripsi interaksi nukleon-nukleus dan sifat-sifat saturasi materi nuklir. Untuk itulah di sini digunakan pendekatan relativistik. Adapun pada skripsi ini dipergunakan model nuklir relativistik Walecka linear. Berbeda dengan model lain, model ini dapat mengakomodasi kelakuan materi nuklir pada momentum Fermi yang besar dengan baik. Seperti diketahui, pada materi superfluida apabila jumlah seluruh momentum berhingga, kontribusi komponen momentum yang besar dari interaksi dan energi kuasi-partikel yang letaknya jauh dari permukaan Fermi tidak dapat diabaikan. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada materi nuklir atau materi neutron biasa dimana tidak terdapat cutoff pada momentum [2]. Oleh karena itu, di sini yang akan dipelajari keterbergantungan pasangan gap terhadap cutoff. Tetapi karena skripsi ini merupakan studi awal, untuk sementara 1

9 dibatasi hanya dengan menggunakan model nuklir yang linear. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mereproduksi persamaan gap pada superfluiditas di materi nuklir dengan menggunakan model nuklir relativistik Walecka yang linear. Hasil yang diperoleh nantinya akan dibandingkan dengan hasil yang telah diperoleh berdasarkan perhitungan-perhitungan sebelumnya. Hal ini digunakan untuk menyelidiki keterbergantungan terhadap cutoff dan parameter set dari model nuklir serta kelakuan M sebagai fungsi ρ Sistematika Sistematika penulisan skripsi ini adalah pada bab dua diberikan bahasan mengenai materi nuklir berdasarkan pendekatan medan rata-rata (mean field) dan pendekatan BCS. Sedangkan pada bab tiga akan diberikan hasil-hasil perhitungan beserta penjelasannya. Kesimpulan akan diberikan di bab empat. 2

10 Bab 2 Materi Nuklir Pada nuklir berhingga diketahui A = N +Z, dalam hal ini Z menunjukkan jumlah proton dan N menunjukkan jumlah neutron, jika A dilimitkan menuju maka sifat-sifat permukaan dapat diabaikan. Keadaan ini disebut materi nuklir. Jika N = Z sehingga energi simetris hilang, maka tidak ada interaksi Coulomb dan isovektor. Dalam hal ini materi nuklir menjadi uniform (proton dan neutron tak terbedakan). Keadaan ini disebut sebagai materi nuklir simetrik. Pada materi nuklir terdapat faktor degenerasi yang bernilai 4. Hal ini dihubungkan dengan spin-up dan spin-down dari proton dan neutron. Di sini hanya akan dibahas materi nuklir simetrik yaitu interaksi nukleon hanya terjadi dengan medan skalarisoskalar (φ) dan medan vektor-isoskalar (V µ ). 2.1 Materi Nuklir Simetrik Pada bab ini akan dijelaskan materi nuklir simetrik berdasarkan model Walecka linear. Lagrangian model Walecka dikonstruksi dengan memperkenalkan medanmedan berikut [3] Medan baryon untuk neutron dan proton ψ = ( p n ) (2.1) Medan skalar φ yang dipasangkan dengan kerapatan skalar ψψ untuk mensimulasikan interaksi yang atraktif. 3

11 Medan vektor V µ yang dipasangkan dengan arus baryon terkonservasi ψγ µ ψ untuk mensimulasikan interaksi yang repulsif. Pada materi nuklir simetrik diasumsikan medan ψ hanya berinteraksi dengan medan skalar φ dan medan vektor V µ, sehingga lagrangian efektifnya adalah L = 1 4 F µνf µν 1 2 m2 vvµ 2 1 ( ) 2 φ + m 2 2 x sφ 2 µ [ ( ) ] ψ γ µ ig v V µ + (M g s φ) ψ, (2.2) x µ dimana, medan tensor F µν didefinisikan sebagai F µν V ν x µ V µ x ν. (2.3) Adapun persamaan medan diturunkan dari prinsip variasi sebagai berikut ( ) q δ L q, d 4 x = 0, (2.4) x µ dengan q adalah variabel medan ψ, φ, dan V µ. Persamaan ini dapat disederhanakan menjadi x µ L ( q/ x µ ) L q = 0. (2.5) Dengan memasukkan variabel medan V µ, φ, dan ψ secara eksplisit akan dihasilkan persamaan medan sebagai berikut F µν + m 2 x vv µ = ig v ψγ µ ψ (2.6) ν Persamaan ini merupakan bentuk relativistik dari persamaan Maxwell dengan kuanta massive V µ (persamaan Proca), sedangkan arus baryon terkonservasi B µ = iψγ µ ψ berperan sebagai sumbernya. m v adalah massa ω meson V µ dan g v adalah konstanta kopling antara nukleon dengan ω meson. ( ) 2 m 2 s φ = g s ψψ (2.7) x µ Persamaan ini adalah persamaan Klein-Gordon untuk medan skalar φ dengan kerapatan skalar baryon ψψ sebagai sumbernya. m s adalah massa meson sigma φ dan g s adalah konstanta kopling antara nukleon dengan sigma meson. 4

12 [ ( ) ] γ µ ig v V µ + (M g s φ) ψ = 0 (2.8) x µ Persamaan ini adalah persamaan Dirac untuk medan nukleon ψ dan M adalah massa nukleon. Perlu diingat setelah kuantisasi, medan klasik V µ, φ, dan ψ menjadi operator ˆV µ, ˆφ, dan ˆψ Pendekatan Medan Rata-Rata Untuk mempermudah perhitungan biasanya dilakukan pendekatan. Pendekatan yang banyak dilakukan adalah pendekatan medan rata-rata yang justifikasi fisis pendekatan ini adalah sebagai berikut. Bayangkan terdapat sebuah kotak yang besar dengan volume V terisi baryon B secara uniform. Jika jumlah baryon terkonservasi, maka demikian pula dengan kerapatan ρ B B/V. Jika ukuran kotak diperkecil, maka kerapatan baryon menjadi besar, maka demikian pula bagian sumber pada sisi kanan persamaan medan meson pada persamaan (2.6) dan (2.7). Saat sumber bernilai besar dan timbul beberapa kuanta, dapat ditempatkan untuk mengganti medan meson dengan medan klasik dari sumber dengan nilai ekspektasinya. Pada limit ρ B yang besar ˆφ ˆφ = φ 0, (2.9) ˆV λ ˆˆVλ = iδ λ4 V 0. (2.10) Untuk sistem yang uniform pada keadaan diam medan klasik φ 0 dan V 0 konstan atau tidak bergantung ruang dan waktu. Sebagai contoh, persamaan medan meson vektor pada (2.6) direduksi menjadi V 0 = g v ˆρ m 2 B. (2.11) v Lagrangian Density dalam pendekatan medan rata-rata L = 1 2 m2 vv m2 sφ 2 0 ˆψ[γ µ x µ + γ 4 g v V 0 + M ] ˆψ, (2.12) 5

13 yang mana φ 0 dan V 0 adalah medan konstan. Massa efektif nukleon didefinisikan sebagai M M g s φ 0. (2.13) Hamiltonian density diperoleh dari persamaan (2.12), kemudian setelah ortonormalisasi dari fungsi gelombang, dan menggunakan relasi antikomutasi kanonik maka diperoleh dimana Hamiltonian ĤMF T nya adalah Ĥ = ĤMF T + δh, (2.14) Ĥ MF T = 1 2 m2 sφ m2 vv g v V 0 ˆρ B dengan ˆρ B = 1 V Σ kλ(a kλ A kλ B kλ B kλ), Sedangkan bagian δh didefinisikan sebagai + 1 V Σ kλ(k 2 + M 2 ) 1/2 (A kλ A kλ + B kλ B kλ), (2.15) δh 1 V Σ kλ[(k 2 + M 2 ) 1/2 (k 2 + M 2 ) 1/2 ]. (2.16) Dari persamaan (2.15) diketahui bahwa keadaan dasar materi nuklir dalam pendekatan medan rata-rata diperoleh dengan mengisi penuh level-level dengan nukleon secara penuh sampai momentum Fermi k F, dengan faktor degenerasi untuk materi nuklir adalah γ = 4. Adapun ρ B dan ρ s dalam teori medan rata-rata dapat dihitung yang hasilnya adalah ρ B = ρ s γ (2π) 3 γ (2π) 3 kf 0 kf 0 d 3 k = γ 6π 2 k3 F (2.17) M d 3 k (2.18) (k 2 + M 2 ) 1/2 Persamaan (2.8) dan persamaan (2.13) dapat diselesaikan secara self consistent untuk menghitung M. Hasil perhitungan M sebagai fungsi ρ B dapat dilihat pada gambar Gambar menunjukkan hubungan M terhadap ρ [4]. Terlihat bahwa kecenderungannya menurun. Semakin besar nilai ρ maka semakin kecil nilai M. Dapat dilihat pada gambar 2.1.1, penurunannya tidaklah linear. Kami catat bahwa M adalah besaran yang sangat menentukan pada persamaan keadaan dari bintang neutron dan jalan bebas rata-rata (mean-free-path) dari neutrino di bintang neutron. 6

14 950 LW LHS L M * RH0 Gambar 2.1: Hubungan M terhadap ρ B berdasarkan pendekataan medan ratarata relativistik. Parameter dari L-W, L-HS, dan L1 dapat dilihat pada lampiran 1. 7

15 2.2 Teori Dirac-Hartree-Bogoliubov Relativistik (RHB) Perbaikan dari model medan rata-rata relativistik adalah adalah model relativistik Hartree-Bogoliubov. Dalam pendekatan ini memungkinkan adanya keadaan materi nuklir dalam bentuk superfluid. Keadaan superfluid adalah keadaan yang nonviscous. Hal ini dikarenakan efek berpasangannya nukleon-nukleon pada sistem, dimana tiap-tiap pasangan mempunyai energi gap (k). Pada subbab ini akan diberikan perhitungan RHB dalam kerangka model Walecka linear untuk materi nuklir simetrik. Lagrangian density pada persamaan (2.2) juga dapat dituliskan sebagai L = L N + L M + L int (2.19) yang mana L N menjelaskan nukleon bebas sebagai partikel titik relativistik, L M merepresentasikan meson bebas, dan L int menjelaskan interaksi antara nukleon dan meson. Dalam hal ini, meson dibatasi pada meson skalar (σ) dan meson vektor (ω). Sehingga pada materi nuklir simetrik L σ = 1 2 ( µσ µ σ m 2 σσ 2 ), (2.20) L ω = 1 4 Ω µνω µν m2 ωω µ ω µ, (2.21) yang mana m σ dan m ω adalah massa diam σ meson dan ω meson. Ω µν = µ ω ν ν ω µ, (2.22) adalah tensor medan meson ω. Interaksi antara nukleon dan meson juga dapat dituliskan sebagai L int = g σ ψσψ g ω ψγ µ ω µ ψ, (2.23) yang mana konstanta g σ dan g ω adalah konstanta kopling dari interaksi nukleon dengan σ dan ω meson. Untuk sistem nuklir, operator Hamiltoniannya adalah H = H N + H M + H int, (2.24) 8

16 bagian nukleon H N = d 3 xψ + (αp + βm)ψ, (2.25) sedangkan bagian meson dengan kontribusi meson σ H σ = 1 2 H M = H σ + H ω, (2.26) d 3 x(π 2 σ + [ σ] 2 + m 2 σσ 2 ), (2.27) dan meson ω H ω = 1 2 d 3 x(π µ ωπ ωµ + Πω µ Πω µ + m 2 ωω µ ω µ ), (2.28) dan interaksi antara nukleon dan meson H int = d e xψ α (x)γ µ αβ ψ β(x)φ µ (x), (2.29) yang terdiri dari verteks nukleon-nukleon-meson Γ µ αβ σ Γ αβ = g σ δ αβ (2.30) ω Γ µ αβ = g ωγ µ αβ (2.31) Seperti sebelumnya σ, ω, dan ψ setelah kuantisasi adalah operator medan. Pada pendekatan ini harga ekspektasi dari kombinasi 4 buah operator ψ dapat ditulis dalam bentuk persamaan gerak fungsi Green 4-titik G dan F A T ˆψ e ˆψd ˆψc ˆψb A G ed G cb + G cd G eb + F ec F db, (2.32) A + 2 T ˆψ e ˆψd ˆψc ˆψb A G ed F cb + G ec F db G eb F dc, (2.33) Dalam hal ini G ab didefinisikan sebagai G ab = i A T ˆψ a ˆψb A, (2.34) yang mana A adalah keadaan dasar sistem A nukleon. Sedangkan F ab didefinisikan sebagai F ab = i A + 2 T ˆψ a ˆψb A. (2.35) Bagian pertama dan kedua pada (2.32) dan (2.33) adalah suku Hartree dan suku Fock. Bagian ketiga dikenal sebagai suku Gorkov. Jika suku Fock dan Gorkov 9

17 diabaikan maka hasilnya akan kembali ke hasil dengan pendekatan medan ratarata. Jika Hamiltonian Dirac h didefinisikan sebagai h = αp + βσ (2.36) dimana Σ adalah operator massa dan p adalah momentum, maka persamaan Dirac-Hartree-Fock-Bogoliubov menjadi ( h λ ) ( ) Uν h + λ V ν = e ν ( Uν V ν ) (2.37) yang mana adalah pairing potensial, ε ν adalah potensial kimia (ε F ). adalah energi kuasi partikel, dan λ Pendekatan BCS Model mikroskopik diperkenalkan oleh Bardeen, Cooper, dan Schrieffer (BCS) pada tahun Model ini telah berhasil menghubungkan dan menjelaskan sifat-sifat superkonduktor simpel dalam hubungan dengan parameter-parameter eksperimen. Kita akan memperoleh persamaan gap BCS dengan mendiagonalisasi persamaan (2.37). Penurunan selengkapnya dapat dilihat pada [5]. Pada subbab ini hanya dituliskan kembali hasil akhirnya sebagai berikut. Pada perhitungan berikut suku Fock diabaikan karena kontribusinya dianggap tidak signifikan. Operator massa memiliki bentuk sederhana sebagai dimana Σ = S + βv, (2.38) S = g2 σ ρ m 2 s dan V = g2 ω ρ σ m 2 v, (2.39) ω yang nilainya ditentukan dengan menghitung kerapatan skalar ρ s = A ψψ A, (2.40) dan kerapatan vektor ρ v = A ψ + ψ A. (2.41) 10

18 Energi kinetik adalah nilai eigen dari operator (2.36) ε k = V ± E (k), (2.42) dimana E (k) = k 2 + M 2, dan M = M +S adalah massa efektif dari nukleon. Fungsi eigennya adalah spinor Dirac untuk energi positif dan negatif. Sedangkan matriks diagonal untuk densitas skalar dan vektor adalah ρ s (ks, k s ) = δ(k k )δ ss v 2 (k) M E (k), (2.43) dan ρ v (ks, k s ) = δ ss δ(k k )v 2 (k), (2.44) sehingga setelah dijumlahkan untuk semua k dan s skalar sebagai dan kerapatan vektor Sedangkan massa efektif menjadi kita dapatkan kerapatan ρ s = 4 M 2π 2 0 E (k) v2 (k)k 2 dk, (2.45) M = M g2 σ m 2 σ ρ v = 4 v 2 (k)k 2 dk. (2.46) 2π π 2 0 M E (k) v2 (k)k 2 dk (2.47) Perhatikan di sini jika v 2 diset sama dengan satu dan batas atas integrasi digantikan dengan k F maka ρ s, ρ v, dan M kembali ke ρ s, ρ v, dan M berdasarkan pendekatan medan rata-rata yang mana occupation numbers didefinisikan sebagai dan nilai eigen e(k) adalah v 2 (k) = 1 ε(k) λ 1 (2.48) 2 (ε(k) λ) (k) e(k) = (V + k 2 + M λ) (k) (2.49) parameter gap ditentukan dengan persamaan gap non-linear sebagai (k) = 1 4π 2 0 (p) v pp (k, p) (ε(p) λ) (p) p2 dp (2.50) 11

19 Persamaan ini merupakan hasil utama pada perhitungan ini. Interaksi dalam particle-particle channel v pp memiliki kontribusi dari pertukaran meson yang berbeda [5] yang mana kontribusi medan σ adalah [5] g 2 σ v pp = v σ pp + v ω pp (2.51) vpp(k, σ p) = (2.52) 2E (p)e (k) { 1 + 4M 2 m 2 σ (E (p) E (k)) 2 ( (p + k) 2 + m 2 )} σ ln, 4pk (p k) 2 + m 2 σ dan kontribusi medan ω adalah vpp(k, ω p) = gω 2 M 2 + p 2 + k 2 (E (p) E (k)) 2 ( (p + k) 2 + m 2 ) ω ln 2E (p)e (k)pk (p k) 2 + m 2 ω (2.53) Perlu juga dicatat di sini untuk perhitungan untuk sistem asimetrik seperti materi neutron, kontribusi dari meson π dan ρ harus pula diperhitungkan dan faktor degenerasi γ menjadi 2. 12

20 Bab 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Pengaruh Cut Off pada (k) Pada bab ini akan dihitung secara numerik secara silmultan (self consistent) persamaan (2.45) sampai (2.53) untuk memperoleh (k). Untuk memperoleh hasil yang berhingga pada persamaan (2.50), integral 0 diganti dengan c 0 yang mana c adalah cutoff. Untuk melihat keterbergantungan gap ( ) terhadap c pada subbab berikut akan dihitung dengan variasi c. Hasilnya ada pada gambar Gamma=240 Gamma=260 Gamma=280 Gamma= delta(k F )(MeV) k F (fm -1 ) Gambar 3.1: Hubungan pairing gap pada permukaan Fermi (k) terhadap momentum Fermi k F. 13

21 Gambar (3.1) menjelaskan hubungan antara momentum Fermi k F dengan gap ( ), yang mana persamaan gap merupakan fungsi eksplisit dari k F. Adapun parameter set yang digunakan adalah parameter linear L-W. Harga kopling konstannya dapat dilihat pada lampiran 1. Yang ingin kita amati di sini adalah pengaruh cutoff terhadap gap, dimana dalam hal ini kita membandingkan hasil dari 4 nilai cutoff yaitu 240, 260, 280, dan 300. Pengaruh cutoff terlihat dari besarnya nilai peak dari gap dan pada nilai k F berapa terjadinya peak tersebut. Terlihat bahwa nilai-nilai yang dihasilkan tidak memiliki selisih yang terlalu besar, dengan kata lain pengaruh cutoff terhadap gap untuk keempat nilai tersebut tidak lah terlalu besar. Hal yang sama berlaku pula untuk nilai cutoff diatas 300, namun tidak demikian untuk nilai cutoff di bawah 240. Pada nilai cutoff dibawah 240 yang terjadi adalah kita memperoleh 2 peak yang nilainya berbeda pada nilai k F yang berbeda. Dalam hal ini untuk nilai k F yang lebih kecil diperoleh peak yang lebih besar dibandingkan dengan peak pada k F yang lebih besar. Hal lain yang dapat kita amati dari grafik ini adalah sempitnya lebar gap. Hal ini diduga muncul akibat kasarnya pendekatan integral secara numerik yang digunakan (titik yang kita gunakan dalam ekspansi integral hanya tiga buah). Studi lebih lanjut dalam bentuk penghalusan perhitungan numerik tampaknya perlu di sini. Pendekatan cutoff yang lebih baik, misalnya dengan memberikan faktor bentuk pada verteks interaksi juga perlu diselidiki. Untuk melihat keterbergantungan gap terhadap parameter (kopling konstan) yang digunakan maka studi lebih lanjut dengan menggunakan model yang lebih realistis (model Walecka nonlinear) tampaknya perlu dilakukan. 14

22 5 Gamma=240, L-HS Gamma=240, L-W Gamma=240, L1 4 3 Delta(k F )(MeV) k F (fm -1 ) Gambar 3.2: Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda Pada gambar 3.2 diberikan perbandingan gap untuk parameter set yang berbeda. Terlihat bahwa peak terjadi untuk nilai k F yang sama. Hal ini disebabkan massa meson vektor sama untuk ketiga parameter yang digunakan. Dari sini diketahui bahawa parameter set tidak terlalu mempengaruhi nilai dari gap. 15

23 6 Gamma=200 Gamma=250 Gamma=260 Gamma= Delta(k)(MeV) k(fm -1 ) Gambar 3.3: Hubungan pairing gap terhadap momentum k Pada gambar 3.3 dan 3.4 diberikan hubungan (k) terhadap momentum k untuk variasi c dan parameter set. Gambar 3.3 menjelaskan hubungan gap sebagai fungsi momentum k untuk meson skalar dan meson vektor. Terlihat bahwa gap mencapai nilai maksimum pada harga momentum 0, dan nilainya semakin menurun untuk nilai k yang semakin besar. Saat k diatas 2 (fm), nilai gap mulai negatif dan Nilai minimun dicapai untuk harga momentum antara 4-5 (fm), kemudian nilainya naik perlahan-lahan hingga mendekati nilai 0. Hal ini menunjukkan interaksi partikel-partikel atraktif terjadi pada nilai momentum yang besar. 16

24 6 Gamma=200, L1 Gamma=200, L-W Gamma=200, L-HS 4 2 Delta(k)(MeV) k(fm -1 ) Gambar 3.4: Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda Perbandingan nilai gap sebagai fungsi momentum k untuk parameter yang berbeda terlihat dari gambar 3.4. Terlihat bahwa kecenderungan grafik untuk ketiganya adalah sama yakni nilai maksimum dicapai saat k berharga nol, kemudian gap terus menurun hingga saat k dibawah 2 (fm) mulai negatif, mencapai nilai minimum pada nilai k antara 4-5 (fm), dan kemudian nilainya naik kembali hingga mendekati 0. Hal ini menunjukkan interaksi partikel-partikel atraktif pada momentum yang besar (k 2)m. 17

25 30 Gamma=200 Gamma=200, omega Gamma=200, sigma V pp (fm 2 ) K(fm -1 ) Gambar 3.5: Hubungan potensial terhadap momentum k Pada gambar 3.5 ditunjukkan bagaimana interplay antara kontribusi σ dan ω meson (kanselasi dari potensial yang atraktif dan repulsif) pada potensial pairing V pp (k,k F ). Gambar 3.5 menjelaskan hubungan potensial partikel-partikel sebagai fungsi k. Terlihat bahwa meson skalar memberikan kontribusi atraktif dan meson vektor memberikan kontribusi repulsif. Bagian meson skalar potensial partikelpartikelnya memiliki nilai yang terus naik hingga mendekati nilai nol. Sedangkan meson vektor nilainya terus turun hingga mendekati nilai nol. Gabungan dari meson skalar dan meson vektor memberikan bagian atraktif sampai batas k sekitar 1.5 (fm) dan diatas itu memberikan bagian repulsif. Terlihat bahwa bagian repulsif mencapai nilai yang besar yakni 6 (fm 2 ) pada nilai k sekitar 3 (fm) dan diatas itu nilainya terus turun dimana turunnya tidaklah drastis (secara perlahanlahan). 18

26 30 Gamma=200, L-HS Gamma=200, L-W Gamma=200, L V pp (fm 2 ) K(fm -1 ) Gambar 3.6: Perbandingan potensial V pp (k,k F ) untuk 3 parameter yang berbeda Efek parameter set yang digunakan pada V pp (k,k F ) dapat dilihat pada gambar 3.6. Pada perbandingan potensial dengan 3 parameter, data yang diambil sudah merupakan gabungan meson skalar dan meson vektor. Terlihat bahwa hasil yang diperoleh memiliki kecenderungan yang sama. Maksimum repulsif dicapai pada k sekitar 3 (fm) dengan nilai potensial sekitar 6 (fm 2 ). Demikian pula pada bagian atraktif terjadi sampai nilai k sekitar 1.5 (fm) dengan nilai maksimum atraktif sekitar -6 (fm 2 ). Sehingga dapat disimpulkan pada model linear Walecka, V pp tidak terlalu bergantung parameter yang digunakan. 19

27 3.2 Massa Efektif M Pada subbab ini akan dihitung efek superfluiditas pada massa efektif M. Pada 950 Gamma=200, L-W medan rata-rata, L-W Gamma=380, L-W M * RH0 Gambar 3.7: Relasi M dengan ρ 0 gambar 3.7 diberikan relasi M terhadap ρ 0. Tampak hasilnya linear. Hal ini tampaknya tidak terlalu sesuai dengan yang diharapkan, yang mana M (ρ 0 ) seharusnya tidak terlalu berbeda dengan M (ρ 0 ) berdasarkan perhitungan medan rata-rata. Tampaknya studi lebih lanjut dibutuhkan di sini. Diduga kasarnya pendekatan yang digunakan dalam pengintegralan numerik sebagai penyebabnya. 20

28 Bab 4 Kesimpulan Pairing gap sebagai fungsi k F sangat dipengaruhi oleh nilai cutoff, sedangkan sebagai fungsi k tidak terlalu bergantung pada cutoff (pengaruh cutoffnya kecil). Pairing gap sebagai fungsi k F dan sebagai fungsi k tidak terlalu bergantung pada parameter set yang digunakan. Potensial V pp akan bersifat atraktif untuk momentum yang kecil. Sedangkan untuk momentum yang besar akan diperoleh potensial V pp yang repulsif. M sebagai fungsi ρ 0 seharusnya tidak memberikan hubungan yang linear, dengan kata lain hasilnya harusnya tidak terlalu berbeda dengan pendekatan medan rata-rata. Untuk itu dibutuhkan studi lebih lanjut pada bagian ini. 21

29 Lampiran A Parameter Set yang Digunakan Parameter set yang digunakan di sini dapat dilihat pada tabel di bawah ini [6]. Set M m σ m ω g σ g ω L-W L-HS L

30 Lampiran B Alur Program B.1 Inisialisasi konstanta awal Konstanta awal diperlukan sebagai input pada program. Adapun konstanta yang kita masukkan adalah sebagai berikut: k 1 = 0, k 2 = c 2, k 3 = c, k F V0 2 (0) = 1, 2 v2 0( c 2 ) = 1, V ( c ) = 1 2 Dapat dilihat bahwa di sini kita hanya menggunakan 3 titik. Menghitung M Konstanta yang diperlukan disini adalah k dan V 2 0 yang nilainya telah ditentukan diatas. M yang dituliskan disini sudah merupakan penjabaran integral sampai suku ke-3, sesuai dengan jumlah titik yang ditentukan. ( ) [ M c /2 M = M V 2 k M 2 0 (k 1 )(k 1 ) 2 M V k M 2 0 (k 2 )(k 2 ) 2 M 2 ] + V k M 2 0 (k 3 )(k 3 ) 2 (B.1) dari sini dihasilkan M awal yang kita beri nama M 0 Menghitung Ek dan E k Yang pertama dihitung adalah Ek yang hasilnya akan dijadikan input untuk menghitung E k. Ek = k 2 + M 2 (B.2) 23

31 dari Ek inilah kita peroleh Ek 0 (Ek awal). E k = E k + V (B.3) di mana: V = g2 ω ρ m 2 v, ω ρ v = 4 2π V 2 (k)k 2 dk, 2 ρ v = c/2 [V (k 1 )(k 1 ) 2 + 2V0 2 (k 2 )(k 2 ) 2 + V0 2 (k 3 )(k 3 ) 2 ]. dari sini dihasilkan E k yang kita beri nama Ek 0 Menghitung (k) (k) = ) 2 Ek E ( kf (E 1 2V 2 k E kf ) 2 (k) 1/2 (B.4) dari sini dihasilkan (k) yang kita beri nama 0 (k) Semua nilai yang diperoleh dari penghitungan diatas, akan dijadikan konstanta dalam menghitung V (p, k) dan (p) awal. B.2 Iterasi Menghitung V (p, k): Besarnya momentum p yang dimasukkan di sini adalah sama dengan k. Maka E p besarnya juga sama dengan E k. V (p, k) = g2 σ [1 + 2(E pek + M 2 ( (p + k) 2 + m 2 )] σ ln 2EpE k 4pk (p k) 2 + m 2 σ g 2 ( ω (p + k) + 2EpE k pk (2E pek M m 2 ) ω )ln (B.5) (p k) 2 + m 2 ω dari sini dihasilkan V (p, k) yang kita beri nama V 0 (p, k) Menghitung (p) Besaran terakhir yang dihitung di sini adalah (p) yang mana pada persamaan (B.6) sudah dalam bentuk penjabaran integralnya sebagai 24

32 (p) = [ c/2 (k 1 ) V (p, k 1 ) 2 (E k E kf ) (k 1 ) (k 1) 2 (k 2 ) + 2V (p, k 2 ) (E k E kf ) (k 2 ) (k 2) 2 ] (k 3 ) + V (p, k 3 ) (E k E kf ) (k 3 ) (k 3) 2 (B.6) Dari sini dihasilkan (p) yang selanjutnya diperlakukan sebagai (k) Menghitung V 2 (k): Terakhir dihitung V 2 (k) yang merupakan bagian terpenting karena akan dijadikan input dalam program secara menyeluruh. V 2 (k) = 1 E k E kf 1 2 (E k E kf ) (k) Dari sini dihasilkan V 2 (k) yang kita jadikan sebagai input V 2 0 (B.7) Kemudian dilakukan iterasi berulang dimana iterasi akan berhenti saat kondisi V 2 (k) = V 2 0 dipenuhi. Dari sini dapat dihitung (k), V pp, dan M akhir. 25

33 Daftar Acuan [1] Isaac Vidana and Laura Tolos, Superfluidity of Σ Hyperons in β- Stable Neutron Star Matter, Phys. Rev. Lett C 70, (2004) [2] F. Matera, G. Fabbri and A. Dellafiore, Relativistic Approach to Superfluidity in Nuclear Matter, Phys. Rev. Lett C 56, 1 (1997) [3] John Dirk Walecka, Theoritical Nuclear and Subnuclear Physics, Oxford University Press, 1995 [4] Parada T. P. Hutahuruk, Lintasan Bebas Rata-Rata Neutrino di Bintang Neutron, Tesis, 2004 [5] H. Kucharek and P. Ring, Relativistik Field Theory of Superfluidity in Nuclei, Hadrons and Nuclei 339, (1991) [6] K. C. Chung, C. S. Wang, A. J. Santiago, and J. W. Zhang, Nuclear Matter Properties and Relativistic Mean-Field Theory, Eur. Phys. J. A9 (2000), [7] F. B. Guimaraes, B. V. Carlson and T. Frederico, Hartree-Fock- Bogoliubov Approximation to Relativistic Nuclear Matter, Phys. Rev. Lett C 54, 5 (1996) [8] Alexander L. Fetter and John Dirk Walecka, Quantum Theory of Many- Particle Systems, McGraw-Hill Book Company, 1971 [9] A. Bouyssy, S. Marcos and Pham Van Thieu, Systematics of Nuclear Matter and Finite Nuclei Properties in A Non-Linear Relativistic Mean Field Approach, Phys. Rev. Lett C 50, 541 (1984) 26

34 [10] F. Montani, C. May, and H. Muther, Mean Field and Pairing Properties in The Crust of Neutron Stars, Phys. Rev. Lett C 09 (2004) [11] Xian-Rong Zhou, H. J. Schule, En-Guang Zhao, Feng Pan, and J. P. Draayer, Pairing Gap in Neutron Stars, Phys. Rev. Lett C 70, (2004) [12] Isaac Vidana and Laura Tolos, Superfluidity of Σ Hyperons in β- Stable Neutron Star Matter, Phys. Rev. Lett C 70, (2004) 27

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL Annisa Fitri 1, Anto Sulaksono 2 1,2 Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424 1 annisa.fitri11@sci.ui.ac.id 2 anto.sulaksono@sci.ui.ac.id

Lebih terperinci

PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) J. P. Diningrum *), A. M. Nugraha, N. Liliani, A. Sulaksono Departemen Fisika Murni dan Terapan, FMIPA, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) A. M. Nugraha 1*), J. P. Diningrum 1 ), N. Liliani 1 ), T. Sumaryada 2 ), A. Sulaksono 1 ) 1 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON

EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON DOI: doi.org/10.21009/0305020501 EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON Alrizal 1), A. Sulaksono 2) 1,2 Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424 1) alrizal91@gmail.com, 2) anto.sulaksono@sci.ui.ac.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.4. Hipotesis 1. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki perbedaan mulai kisaran energi 0.3 sampai 1.0. 2. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki kesamaan pada kisaran energi

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s)

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s) DAFTAR SIMBOL n κ α R μ m χ m c v F L q E B v F Ω ħ ω p K s k f α, β s-s V χ (0) : indeks bias : koefisien ekstinsi : koefisien absorpsi : reflektivitas : permeabilitas magnetik : suseptibilitas magnetik

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA MODEL POINT-KOPLING DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA MODEL POINT-KOPLING DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS TESIS UNIVERSITAS INDONESIA MODEL POINT-KOPLING DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS TESIS SYAEFUDIN JAELANI 1206306312 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA FISIKA MURNI

Lebih terperinci

Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n

Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan n L dy Mascow Abdullah, Imam Fachruddin, Agus Salam 1. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Fisika, Universitas

Lebih terperinci

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI ALPI MAHISHA NUGRAHA alpi.mahisha@gmail.com Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

Sifat-sifat Bintang Neutron Berotasi Lambat

Sifat-sifat Bintang Neutron Berotasi Lambat Sifat-sifat Bintang Neutron Berotasi Lambat Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains dalam Ilmu Fisika Kasmudin 7617168 Program Magister Ilmu Fisika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

Efek Relativistik Pada Hamburan K + n

Efek Relativistik Pada Hamburan K + n Efek Relativistik Pada Hamburan K + n Putu Adi Kusuma Yudha l, Dr. Agus Salam 2, Dr. Imam Fachruddin 3 1. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Fisika, Universitas

Lebih terperinci

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D Keadaan Stasioner Pada pembahasan sebelumnya mengenai fungsi gelombang, telah dijelaskan bahwa potensial dalam persamaan

Lebih terperinci

PENGARUH TEKANAN ANISOTROPIK PADA BINTANG NEUTRON

PENGARUH TEKANAN ANISOTROPIK PADA BINTANG NEUTRON Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal) SNF016 http://snf-unj.ac.id/kumpulan-prosiding/snf016/ VOLUME V, OKTOBER 016 p-issn: 339-0654 e-issn: 476-9398 DOI: doi.org/10.1009/030500503 PENGARUH TEKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Atom Pion Atom pion sama seperti atom hidrogen hanya elektron nya diganti menjadi sebuah pion negatif. Partikel ini telah diteliti sekitar empat puluh tahun yang lalu, tetapi

Lebih terperinci

EFEK SEBARAN BOSON INHOMOGEN PADA BINTANG BOSON

EFEK SEBARAN BOSON INHOMOGEN PADA BINTANG BOSON EFEK SEBARAN BOSON INHOMOGEN PADA BINTANG BOSON M. Fitrah Alfian R. S. *), Anto Sulaksono Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 1644 *) fitrahalfian@sci.ui.ac.id Abstrak Bintang boson statis dengan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein BAB II DASAR TEORI Sebagaimana telah diketahui dalam kinematika relativistik, persamaanpersamaannya diturunkan dari dua postulat relativitas. Dua kerangka inersia yang bergerak relatif satu dengan yang

Lebih terperinci

KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN

KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN UNIVERSITAS INDONESIA KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN SYAEFUDIN JAELANI 07066810 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK MEI 011 UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

Chap 7a Aplikasi Distribusi. Fermi Dirac (part-1)

Chap 7a Aplikasi Distribusi. Fermi Dirac (part-1) Chap 7a Aplikasi Distribusi Fermi Dirac (part-1) Teori Bintang Katai Putih Apakah bintang Katai Putih Bintang yg warnanya pudar/pucat krn hanya memancarkan sedikit cahaya krn supply hidrogennya sudah tinggal

Lebih terperinci

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon di dalam inti atom yang menggunakan potensial Yukawa. 2. Dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron PENDAHUUAN Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron bebas dalam satu dimensi dan elektron bebas dalam tiga dimensi. Oleh karena itu, sebelum mempelajari modul

Lebih terperinci

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2 1. (25 poin) Dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H ditembakkan sebuah bola kecil bermassa m (Jari-jari R dapat dianggap jauh lebih kecil daripada H) dengan kecepatan awal horizontal v 0. Dua buah

Lebih terperinci

Chap. 8 Gas Bose Ideal

Chap. 8 Gas Bose Ideal Chap. 8 Gas Bose Ideal Model: Gas Foton Foton adalah Boson yg tunduk kepada distribusi BE. Model: Foton memiliki frekuensi ω, rest mass=0, spin 1ħ Energi E=ħω dan potensial kimia =0 Momentum p = ħ k, dengan

Lebih terperinci

Chap 7. Gas Fermi Ideal

Chap 7. Gas Fermi Ideal Chap 7. Gas Fermi Ideal Gas Fermi pada Ground State Distribusi Fermi Dirac pada kondisi Ground State (T 0) memiliki perilaku: n p = e β ε p μ +1 1 ε p < μ 1 0 jika ε p > μ Hasil ini berarti: Seluruh level

Lebih terperinci

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR A V PERAMATAN GELOMANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR 5.. Pendahuluan erkas (beam) optik yang merambat pada medium linier mempunyai kecenderungan untuk menyebar karena adanya efek difraksi; lihat Gambar

Lebih terperinci

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan . (5 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan dengan H). Kecepatan awal horizontal bola adalah v 0 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang W. Baade dan F. Zwicky pada tahun 1934 berpendapat bahwa bintang neutron terbentuk dari ledakan besar (supernova) dari bintang-bintang besar akibat tekanan yang dihasilkan

Lebih terperinci

Setelah Anda mempelajari KB-1 di atas, simaklah dan hafalkan beberapa hal penting di. dapat dihitung sebagai beriktut: h δl l'

Setelah Anda mempelajari KB-1 di atas, simaklah dan hafalkan beberapa hal penting di. dapat dihitung sebagai beriktut: h δl l' Rangkuman: bawah ini! Setelah Anda mempelajari KB-1 di atas, simaklah dan hafalkan beberapa hal penting di 1. Elemen-elemen matrik L lm,l'm' = h l ( l +1) δ ll' L l m, l 'm' dapat dihitung sebagai beriktut:

Lebih terperinci

JURNAL INFORMATIKA HAMZANWADI Vol. 2 No. 1, Mei 2017, hal. 20-27 ISSN: 2527-6069 SOLUSI PERSAMAAN DIRAC UNTUK POTENSIAL POSCH-TELLER TERMODIFIKASI DENGAN POTENSIAL TENSOR TIPE COULOMB PADA SPIN SIMETRI

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII

SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII 1. Tumbukan dan peluruhan partikel relativistik Bagian A. Proton dan antiproton Sebuah antiproton dengan energi kinetik = 1,00 GeV menabrak proton

Lebih terperinci

Pendahuluan. Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan

Pendahuluan. Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan 1 Pendahuluan Tujuan perkuliahan Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan 1. Mengetahui gambaran perkuliahan. Mengerti konsep dari satuan alamiah dan satuan-satuan dalam fisika partikel 1.1.

Lebih terperinci

PERHITUNGAN ARAS-ARAS TENAGA PARTIKEL TUNGGAL INTI BOLA DENGAN POTENSIAL SAXON-WOODS

PERHITUNGAN ARAS-ARAS TENAGA PARTIKEL TUNGGAL INTI BOLA DENGAN POTENSIAL SAXON-WOODS PTNBR BATAN Bandung, 7 Juli 007 PERHITUNGAN ARAS-ARAS TENAGA PARTIKEL TUNGGAL INTI BOLA DENGAN POTENSIAL SAXON-WOODS Raden Oktova dan Slamet Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Kampus

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2.

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2. BAB II DASAR TEORI A. Kemagnetan Bahan Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2: Diagram pengelompokan bahan magnet (Stancil &

Lebih terperinci

FOTOPRODUKSI MESON-ETA PADA PROTON

FOTOPRODUKSI MESON-ETA PADA PROTON FOTOPRODUKSI MESON-ETA PADA PROTON Alhidayatuddiniyah T.W. Program Studi Informatika, Universitas Indraprasta PGRI alhida.dini@gmail.com Abstrak Telah diinvestigasi reaksi fotoproduksi γp ηp dengan tujuan

Lebih terperinci

Dualisme Partikel Gelombang

Dualisme Partikel Gelombang Dualisme Partikel Gelombang Agus Suroso Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi, Institut Teknologi Bandung agussuroso10.wordpress.com, agussuroso@fi.itb.ac.id 19 April 017 Pada pekan ke-10 kuliah

Lebih terperinci

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON

FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON FUNGSI GELOMBANG DAN RAPAT PROBABILITAS PARTIKEL BEBAS 1D DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRANK-NICOLSON Rif ati Dina Handayani 1 ) Abstract: Suatu partikel yang bergerak dengan momentum p, menurut hipotesa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena optik dapat mendeskripsikan sifat medium dalam interaksinya dengan gelombang elekromagnetik. Hal tersebut ditentukan oleh beberapa parameter optik, yaitu indeks

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KOMPUTASI KUANTISASI SEMIKLASIK VIBRASI MOLEKULER SISTEM DIBAWAH PENGARUH POTENSIAL LENNARD-JONES (POTENSIAL 12-6)

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KOMPUTASI KUANTISASI SEMIKLASIK VIBRASI MOLEKULER SISTEM DIBAWAH PENGARUH POTENSIAL LENNARD-JONES (POTENSIAL 12-6) LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KOMPUTASI KUANTISASI SEMIKLASIK VIBRASI MOLEKULER SISTEM DIBAWAH PENGARUH POTENSIAL LENNARD-JONES (POTENSIAL 1-6) Oleh : Warsono, M.Si Supahar, M.Si Supardi, M.Si FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Listrik Magnet Listrik berkaitan dengan teknologi modern: komputer, motor dsb. Bukan hanya itu

I. Pendahuluan Listrik Magnet Listrik berkaitan dengan teknologi modern: komputer, motor dsb. Bukan hanya itu I. Pendahuluan Listrik Magnet Listrik berkaitan dengan teknologi modern: komputer, motor dsb. Bukan hanya itu 1 Muatan Listrik Contoh klassik: Penggaris digosok-gosok pada kain kering tarik-menarik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akibat dari interaksi di antara penyusun inti tersebut. Penyusun inti meliputi

BAB I PENDAHULUAN. akibat dari interaksi di antara penyusun inti tersebut. Penyusun inti meliputi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem inti dapat dipelajari melalui kesatuan sistem penyusun inti sebagai akibat dari interaksi di antara penyusun inti tersebut. Penyusun inti meliputi proton

Lebih terperinci

MODUL 4 IMPULS DAN MOMENTUM

MODUL 4 IMPULS DAN MOMENTUM MODUL 4 IMPULS DAN MOMENTUM A. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Menjelaskan definisi impuls dan momentum dan memformulasikan impuls dan momentum 2. Memformulasikan hukum kekekalan momentum 3. Menerapkan konsep kekekalan

Lebih terperinci

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu:

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu: KB.2 Fisika Molekul 2.1 Prinsip Pauli. Konsep fungsi gelombang-fungsi gelombang simetri dan antisimetri berlaku untuk sistem yang mengandung partikel-partikel identik. Ada perbedaan yang fundamental antara

Lebih terperinci

Simulasi Geometri Nanoserat Hasil Pemintalan Elektrik

Simulasi Geometri Nanoserat Hasil Pemintalan Elektrik Jurnal Nanosains & Nanoteknologi ISSN 1979-0880 Edisi Khusus, Agustus 2009 Simulasi Geometri Nanoserat Hasil Pemintalan Elektrik Sahrul Saehana (a), Mikrajuddin Abdullah, dan Khairurrijal (b) Kelompok

Lebih terperinci

KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC)

KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC) KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC) Muhammad Taufiqi Dosen Pembimbing Agus Purwanto, D.Sc JURUSAN FISIKA Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia

Prosiding Seminar Nasional Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia ANALISIS SIFAT-SIFAT PION DALAM REAKSI INTI DALAM TERAPI PION R. Yosi Aprian Sari Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY; ryosia@uny.ac.id, 081578010933 Abstrak Pion dapat dihasilkan dari interaksi proton

Lebih terperinci

BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET. Hani Nurbiantoro Santosa, PhD.

BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET. Hani Nurbiantoro Santosa, PhD. BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET Hani Nurbiantoro Santosa, PhD hanisantosa@gmail.com 2 BAB 1 PENDAHULUAN Atom, Interaksi Fundamental, Syarat Matematika, Syarat Fisika, Muatan Listrik, Gaya Listrik, Pengertian

Lebih terperinci

TRANSISI FASA MATERI HADRONIK KE MATERI KUARK PADA INTI BINTANG NEUTRON EFENDI

TRANSISI FASA MATERI HADRONIK KE MATERI KUARK PADA INTI BINTANG NEUTRON EFENDI TRANSISI FASA MATERI HADRONIK KE MATERI KUARK PADA INTI INTANG NEUTRON EFENDI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN OGOR OGOR 217 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB III. KECEPATAN GRUP DAN RAPAT KEADAAN BAB IV. SUHU KRITIS...52 BAB VI. DAFTAR PUSTAKA...61

BAB III. KECEPATAN GRUP DAN RAPAT KEADAAN BAB IV. SUHU KRITIS...52 BAB VI. DAFTAR PUSTAKA...61 DAFTAR ISI HALAMAN PERNYATAAN...i HALAMAN PERSEMBAHAN...ii PRAKATA...iii DAFTAR ISI...v DAFTAR GAMBAR...vii DAFTAR SINGKATAN...xi DAFTAR LAMBANG...xii INTISARI...xiv ABSTRACT...xv BABI. PENDAHULUAN...16

Lebih terperinci

PENGOPTIMUMAN MATRIKS POTENSIAL INTERAKSI PASANGAN PADA ISOTOP Sn MENGGUNAKAN ALGORITMA PARTICLE SWARM OPTIMIZATION MIKO SAPUTRA

PENGOPTIMUMAN MATRIKS POTENSIAL INTERAKSI PASANGAN PADA ISOTOP Sn MENGGUNAKAN ALGORITMA PARTICLE SWARM OPTIMIZATION MIKO SAPUTRA PENGOPTIMUMAN MATRIKS POTENSIAL INTERAKSI PASANGAN PADA ISOTOP Sn MENGGUNAKAN ALGORITMA PARTICLE SWARM OPTIMIZATION MIKO SAPUTRA DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

Teori Dasar Gelombang Gravitasi

Teori Dasar Gelombang Gravitasi Bab 2 Teori Dasar Gelombang Gravitasi 2.1 Gravitasi terlinearisasi Gravitasi terlinearisasi merupakan pendekatan yang memadai ketika metrik ruang waktu, g ab, terdeviasi sedikit dari metrik datar, η ab

Lebih terperinci

Perumusan Ensembel Mekanika Statistik Kuantum. Part-1

Perumusan Ensembel Mekanika Statistik Kuantum. Part-1 Perumusan Ensembel Mekanika Statistik Kuantum Part-1 Latar Belakang Untuk system yang distinguishable maka teori ensemble mekanika statistic klasik dapat dipergunakan. Tetapi bilamana system partikel bersifat

Lebih terperinci

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam Elektron Bebas Beberapa teori tentang panas jenis zat padat yang telah dibahas dapat dengan baik menjelaskan sifat-sfat panas jenis zat padat yang tergolong non logam, akan tetapi untuk golongan logam

Lebih terperinci

Kumpulan soal-soal level Olimpiade Sains Nasional: solusi:

Kumpulan soal-soal level Olimpiade Sains Nasional: solusi: Kumpulan soal-soal level Olimpiade Sains Nasional: 1. Sebuah batang uniform bermassa dan panjang l, digantung pada sebuah titik A. Sebuah peluru bermassa bermassa m menumbuk ujung batang bawah, sehingga

Lebih terperinci

PENGARUH PAIRING PADA ISOTOP Sn MENGGUNAKAN PEMODELAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI ALPI MAHISHA NUGRAHA

PENGARUH PAIRING PADA ISOTOP Sn MENGGUNAKAN PEMODELAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI ALPI MAHISHA NUGRAHA PENGARUH PAIRING PADA ISOTOP Sn MENGGUNAKAN PEMODELAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI ALPI MAHISHA NUGRAHA DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN

Lebih terperinci

2. Deskripsi Statistik Sistem Partikel

2. Deskripsi Statistik Sistem Partikel . Deskripsi Statistik Sistem Partikel Formulasi statistik Interaksi antara sistem makroskopis.1. Formulasi Statistik Dalam menganalisis suatu sistem, kombinasikan: ide tentang statistik pengetahuan hukum-hukum

Lebih terperinci

PERHITUNGAN PENAMPANG LINTANG DIFERENSIAL PROSES PRODUKSI HIPERON-SIGMA TAK BERMUATAN PADA HAMBURAN ELEKTRON-NETRON

PERHITUNGAN PENAMPANG LINTANG DIFERENSIAL PROSES PRODUKSI HIPERON-SIGMA TAK BERMUATAN PADA HAMBURAN ELEKTRON-NETRON PERHITUNGAN PENAMPANG LINTANG DIFERENSIAL PROSES PRODUKSI HIPERON-SIGMA TAK BERMUATAN PADA HAMBURAN ELEKTRON-NETRON TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister SIDIKRUBADI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Telah banyak model fisika partikel yang dikembangkan oleh fisikawan untuk mencoba menjelaskan keberadaan partikel-partikel elementer serta interaksi yang menyertainya.

Lebih terperinci

Penentuan Polarisasi Spin Λ 0 pada Peluruhan Λ 0 p + π

Penentuan Polarisasi Spin Λ 0 pada Peluruhan Λ 0 p + π Penentuan Polarisasi Spin Λ 0 pada Peluruhan Λ 0 p + π JA Simanullang 039900454 Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Fisika Depok Penentuan Polarisasi Spin Λ 0 pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensial Coulomb untuk Partikel yang Bergerak Dalam bab ini, akan dikemukakan teori-teori yang mendukung penyelesaian pembahasan pengaruh koreksi relativistik potensial Coulomb

Lebih terperinci

ILMU FISIKA. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT.

ILMU FISIKA. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT. ILMU FISIKA Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT. DEFINISI ILMU FISIKA? Ilmu Fisika dalam Bahasa Yunani: (physikos), yang artinya alamiah, atau (physis), Alam

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN 0706262741

UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN 0706262741 UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN 0706262741 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK NOPEMBER 2012 UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul

Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul Kimia Fisik III, Struktur Molekul:, Dr. Parsaoran Siahaan, November/Desember 2014, 1 Pokok Bahasan 3 Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul Oleh: Dr. Parsaoran Siahaan Pendahuluan: motivasi/review pokok

Lebih terperinci

PENERAPAN PERSAMAAN PROCA DAN PERSAMAAN MAXWELL PADA MEDAN ELEKTROMAGNETIK UNTUK ANALISIS MASSA FOTON

PENERAPAN PERSAMAAN PROCA DAN PERSAMAAN MAXWELL PADA MEDAN ELEKTROMAGNETIK UNTUK ANALISIS MASSA FOTON PENERAPAN PERSAMAAN PROCA DAN PERSAMAAN MAXWELL PADA MEDAN ELEKTROMAGNETIK UNTUK ANALISIS MASSA FOTON Disusun oleh: OKY RIO PAMUNGKAS M0213069 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan

Lebih terperinci

ENERGETIKA KESTABILAN INTI. Sulistyani, M.Si.

ENERGETIKA KESTABILAN INTI. Sulistyani, M.Si. ENERGETIKA KESTABILAN INTI Sulistyani, M.Si. Email: sulistyani@uny.ac.id PENDAHULUAN Apakah inti yang stabil itu? Apakah inti yang tidak stabil? Bagaimana menyatakan kestabilan U-238 berdasarkan reaksi

Lebih terperinci

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas Teori Relativitas Mirza Satriawan December 7, 2010 Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus Quiz 1 Tuliskan perumusan kelestarian jumlah partikel dengan memakai vektor-4 fluks jumlah partikel. 2 Tuliskan

Lebih terperinci

ANALISA KELAKUAN PARTIKEL BERDASARKAN STATISTIK MAXWELL-BOLZTMANN BOSE-EINSTEIN DAN FERMI-DIRAC SKRIPSI. Rio Tambunan

ANALISA KELAKUAN PARTIKEL BERDASARKAN STATISTIK MAXWELL-BOLZTMANN BOSE-EINSTEIN DAN FERMI-DIRAC SKRIPSI. Rio Tambunan i ANALISA KELAKUAN PARTIKEL BERDASARKAN STATISTIK MAXWELL-BOLZTMANN BOSE-EINSTEIN DAN FERMI-DIRAC SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Rio Tambunan 040801024

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN

UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN 0706262741 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK NOPEMBER 2012 UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

PELATIHAN OSN JAKARTA 2016 LISTRIK MAGNET (BAGIAN 1)

PELATIHAN OSN JAKARTA 2016 LISTRIK MAGNET (BAGIAN 1) PLATIHAN OSN JAKATA 2016 LISTIK MAGNT (AGIAN 1) 1. Partikel deuterium (1 proton, 1 neutron) dan partikel alpha (2 proton, 2 neutron) saling mendekat dari jarak yang sangat jauh dengan energi kinetik masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Medan Bila bicara tentang partikel-partikel, maka akan selalu terkait dengan apa yang disebut dengan medan. Medan adalah sesuatu yang muncul merambah ruang waktu, tidak

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA MODEL PERTUKARAN HYPERON DAN SIGMA UNTUK HAMBURAN KAON-NUKLEON TESIS. Agus Jarwanto

UNIVERSITAS INDONESIA MODEL PERTUKARAN HYPERON DAN SIGMA UNTUK HAMBURAN KAON-NUKLEON TESIS. Agus Jarwanto UNIVERSITAS INDONESIA MODEL PERTUKARAN HYPERON DAN SIGMA UNTUK HAMBURAN KAON-NUKLEON TESIS Agus Jarwanto 07067655 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

Pemodelan Matematika dan Metode Numerik

Pemodelan Matematika dan Metode Numerik Bab 3 Pemodelan Matematika dan Metode Numerik 3.1 Model Keadaan Tunak Model keadaan tunak hanya tergantung pada jarak saja. Oleh karena itu, distribusi temperatur gas sepanjang pipa sebagai fungsi dari

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA

PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA PENYELESAIAN MASALAH STURM-LIOUVILLE DARI PERSAMAAN GELOMBANG SUARA DI BAWAH AIR DENGAN METODE BEDA HINGGA oleh FIQIH SOFIANA M0109030 SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh

Lebih terperinci

VI. Teori Kinetika Gas

VI. Teori Kinetika Gas VI. Teori Kinetika Gas 6.1. Pendahuluan dan Asumsi Dasar Subyek termodinamika berkaitan dengan kesimpulan yang dapat ditarik dari hukum-hukum eksperimen tertentu, dan memanfaatkan kesimpulan ini untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Sumber Data

METODE PENELITIAN Sumber Data 13 METODE PENELITIAN Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil simulasi melalui pembangkitan dari komputer. Untuk membangkitkan data, digunakan desain model persamaan struktural

Lebih terperinci

Lembar Pengesahan JURNAL. Telaah Fundamental Weak Interaction dan Nambu-Goldstone. ( Suatu Penelitian Teori Berupa Studi Pustaka )

Lembar Pengesahan JURNAL. Telaah Fundamental Weak Interaction dan Nambu-Goldstone. ( Suatu Penelitian Teori Berupa Studi Pustaka ) Lembar Pengesahan JURNAL Telaah Fundamental Weak Interaction dan Nambu-Goldstone ( Suatu Penelitian Teori Berupa Studi Pustaka ) Oleh La Sabarudin 4 4 97 Telah diperiksa dan disetujui oleh TELAAH FUNDAMENTAL

Lebih terperinci

Dinamika Pertukaran Partikel Pada Interaksi Nukleon-Nukleon Dalam Potensial Lokal

Dinamika Pertukaran Partikel Pada Interaksi Nukleon-Nukleon Dalam Potensial Lokal ISSN:89 133 Indonesian Journal of Applied Physics (1) Vol. No.1 halaman 15 April 1 Dinamika Pertukaran Partikel Pada Interaksi Nukleon-Nukleon Dalam Potensial Lokal R. Yosi Aprian Sari 1, Supardi 1, Agung

Lebih terperinci

Pengujian Parametrisasi Baru Potensial Woods-Saxon dengan Perhitungan Spektrum Tenaga Keadaan Dasar Inti Pb 208

Pengujian Parametrisasi Baru Potensial Woods-Saxon dengan Perhitungan Spektrum Tenaga Keadaan Dasar Inti Pb 208 17 ISSN 3-79 ol. No. 1, Oktober 13 Pengujian Parametrisasi Baru Potensial Perhitungan Spektrum Tenaga Keadaan Dasar Inti Pb 8 (Test of a Newly Parametrized Potential by Calculation of the Ground State

Lebih terperinci

PROBABILITAS PARTIKEL DALAM KOTAK TIGA DIMENSI PADA BILANGAN KUANTUM n 5. Indah Kharismawati, Bambang Supriadi, Rif ati Dina Handayani

PROBABILITAS PARTIKEL DALAM KOTAK TIGA DIMENSI PADA BILANGAN KUANTUM n 5. Indah Kharismawati, Bambang Supriadi, Rif ati Dina Handayani PROBABILITAS PARTIKEL DALAM KOTAK TIGA DIMENSI PADA BILANGAN KUANTUM n 5 Indah Kharismawati, Bambang Supriadi, Rif ati Dina Handayani Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Jember email: schrodinger_risma@yahoo.com

Lebih terperinci

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Getaran atom dalam zat padat dapat disebabkan oleh gelombang yang merambat pada Kristal. Ditinjau dari panjang gelombang yang digelombang yang digunakan dan dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. klasik dan mempunyai dua cabang utama yaitu mekanika klasik Newtonian dan teori

BAB I PENDAHULUAN. klasik dan mempunyai dua cabang utama yaitu mekanika klasik Newtonian dan teori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fisika yang berkembang sampai akhir abad yang ke 19 dikenal sebagai fisika klasik dan mempunyai dua cabang utama yaitu mekanika klasik Newtonian dan teori medan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Hukum gravitasi Newton mampu menerangkan fenomena benda-benda langit yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi antar benda. Namun, hukum gravitasi Newton ini tidak sesuai dengan teori

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI, FUNGSI GELOMBANG, DAN INFORMASI SHANNON ENTROPI PARTIKEL BERSPIN-NOL UNTUK POTENSIAL PӦSCHL-TELLER TRIGONOMETRI DAN KRATZER

ANALISIS ENERGI, FUNGSI GELOMBANG, DAN INFORMASI SHANNON ENTROPI PARTIKEL BERSPIN-NOL UNTUK POTENSIAL PӦSCHL-TELLER TRIGONOMETRI DAN KRATZER ANALISIS ENERGI, FUNGSI GELOMBANG, DAN INFORMASI SHANNON ENTROPI PARTIKEL BERSPIN-NOL UNTUK POTENSIAL PӦSCHL-TELLER TRIGONOMETRI DAN KRATZER HALAMAN JUDUL TESIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 1911 fisikawan Belanda H.Kamerlingh-Onnes menemukan fenomena alam baru yang dinamakan Superkonduktivitas. Pada saat itu Onnes ingin mengukur resistansi listrik

Lebih terperinci

Metrik Reissner-Nordström dalam Teori Gravitasi Einstein

Metrik Reissner-Nordström dalam Teori Gravitasi Einstein JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA VOLUME 13, NOMOR 1 JANUARI 17 Metrik Reissner-Nordström dalam Teori Gravitasi Einstein Canisius Bernard Program Studi Fisika, Fakultas Teknologi Informasi dan Sains, Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI RELATIVISTIK DAN FUNGSI

ANALISIS ENERGI RELATIVISTIK DAN FUNGSI ANALISIS ENERGI RELATIVISTIK DAN FUNGSI GELOMBANG PERSAMAAN DIRAC UNTUK POTENSIAL RADIAL ECKART PLUS MANNING ROSEN YANG DIKOPLING DENGAN POTENSIAL TENSOR TIPE- COULOMB UNTUK EXACT SPIN SIMETRI DAN EXACT

Lebih terperinci

Perhitungan Nilai Eigen Sistem Quantum Dots Dengan Teori Kerapatan Fungsional Menggunakan Pendekatan Densitas Lokal. Fathi Fadhlur Rabbani

Perhitungan Nilai Eigen Sistem Quantum Dots Dengan Teori Kerapatan Fungsional Menggunakan Pendekatan Densitas Lokal. Fathi Fadhlur Rabbani Perhitungan Nilai Eigen Sistem Quantum Dots Dengan Teori Kerapatan Fungsional Menggunakan Pendekatan Densitas Lokal Fathi Fadhlur Rabbani 1104100021 Motivasi Quantum dots banyak digunakan pada teknologi

Lebih terperinci

Agus Suroso. Pekan Kuliah. Mekanika. Semester 1,

Agus Suroso. Pekan Kuliah. Mekanika. Semester 1, Agus Suroso 14 Pekan Kuliah B Mekanika ( C a t a t a n K u l i a h F I 2 1 0 4 M e k a n i k a B ) Semester 1, 2017-2018 Sistem Partikel (2) 10 10 1 Gerak relatif pada sistem dua partikel 10 2 Tumbukan

Lebih terperinci

Atau dengan menginverse S = S(U), menjadi U=U(S), kemudian menghitung:

Atau dengan menginverse S = S(U), menjadi U=U(S), kemudian menghitung: ISTITUT TEKOLOGI BADUG FAKULTAS MATEMATIKA DA ILMU PEGETAHUA ALAM PROGRAM STUDI FISIKA UJIA TEGAH SEMESTER - FI-5 Mekanika Statistik SEMESTER/ Sem. - 6/7 Hari/Tgl. : Senin 3 Maret 7 Waktu :.-3. Sifat :

Lebih terperinci

1BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak pertama kali diisolir pada tahun 2004, kristal atom karbon dua dimensi berbentuk sarang lebah yang dikenal sekarang sebagai Graphene telah menarik minat banyak

Lebih terperinci

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI Atom terdiri dari inti atom yang dikelilingi oleh elektron-elektron, di mana elektron valensinya bebas bergerak di antara pusat-pusat ion. Elektron valensi geraknya

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga MATERI PERKULIAHAN 3. Potensial Tangga Tinjau suatu partikel bermassa m, bergerak dari kiri ke kanan pada suatu daerah dengan potensial berbentuk tangga, seperti pada Gambar 1. Pada daerah < potensialnya

Lebih terperinci

KAJIAN TEORITIK PERSAMAAN DIRAC DALAM PENGARUH MEDAN MAGNETIK HOMOGEN SKRIPSI

KAJIAN TEORITIK PERSAMAAN DIRAC DALAM PENGARUH MEDAN MAGNETIK HOMOGEN SKRIPSI KAJIAN TEORITIK PERSAMAAN DIRAC DALAM PENGARUH MEDAN MAGNETIK HOMOGEN SKRIPSI ELDA DESI D P 080801074 DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

Lebih terperinci

tak-hingga. Lebar sumur adalah 4 angstrom. Berapakah simpangan gelombang elektron

tak-hingga. Lebar sumur adalah 4 angstrom. Berapakah simpangan gelombang elektron Tes Formatif 1 Petunjuk: Jawablah semua soal di bawah ini pada lembar jawaban yang disediakan! =============================================================== 1. Sebuah elektron ditempatkan dalam sebuah

Lebih terperinci

Theory Indonesian (Indonesia) Sebelum kalian mengerjakan soal ini, bacalah terlebih dahulu Instruksi Umum yang ada pada amplop terpisah.

Theory Indonesian (Indonesia) Sebelum kalian mengerjakan soal ini, bacalah terlebih dahulu Instruksi Umum yang ada pada amplop terpisah. Q3-1 Large Hadron Collider (10 poin) Sebelum kalian mengerjakan soal ini, bacalah terlebih dahulu Instruksi Umum yang ada pada amplop terpisah. Pada soal ini, kita akan mendiskusikan mengenai fisika dari

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA STOPPING POWER PARTIKEL BERMUATAN DENGAN EFEK PENTALAN INTI SKRIPSI INDRIAS ROSMEIFINDA

UNIVERSITAS INDONESIA STOPPING POWER PARTIKEL BERMUATAN DENGAN EFEK PENTALAN INTI SKRIPSI INDRIAS ROSMEIFINDA UNIVERSITAS INDONESIA STOPPING POWER PARTIKEL BERMUATAN DENGAN EFEK PENTALAN INTI SKRIPSI INDRIAS ROSMEIFINDA 0906529905 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK DESEMBER

Lebih terperinci

Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 16, No., Oktober 15 Analisis Persamaan Dirac untuk Potensial Pöschl-Teller Trigonometrik dan Potensial Scarf Trigonometrik pada Kasus Spin Simetri Bagian Radial

Lebih terperinci

Dinamika Magnetofluida Abelian dan non-abelian dengan Lagrangian Gauge

Dinamika Magnetofluida Abelian dan non-abelian dengan Lagrangian Gauge Dinamika Magnetofluida Abelian dan non-abelian dengan Lagrangian Gauge Tugas Akhir Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains Andrias Fajarudin 0304027021 Departemen Fisika Fakultas

Lebih terperinci

PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON

PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON PERHITUNGAN MASSA KLASIK SOLITON ALHIDAYATUDDINIYAH T.W. alhida.dini@gmail.com Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indraprasta PGRI Abstrak.

Lebih terperinci

Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini. Fisika Atom & Inti

Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini. Fisika Atom & Inti Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini Fisika Atom & Inti 8/14/2007 Fisika Atom Model Awal Atom Model atom J.J. Thomson Bola bermuatan positif Muatan-muatan negatif (elektron)) yang sama banyak-nya menempel

Lebih terperinci

Persamaan Poisson. Fisika Komputasi. Irwan Ary Dharmawan

Persamaan Poisson. Fisika Komputasi. Irwan Ary Dharmawan (Pendahuluan) 1D untuk syarat batas Robin 2D dengan syarat batas Dirichlet Fisika Komputasi Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran http://phys.unpad.ac.id/jurusan/staff/dharmawan email : dharmawan@phys.unpad.ac.id

Lebih terperinci

OPTIMASI PARAMETER POTENSIAL NUKLIR BAGI REAKSI FUSI ANTAR INTI-INTI BERAT

OPTIMASI PARAMETER POTENSIAL NUKLIR BAGI REAKSI FUSI ANTAR INTI-INTI BERAT JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 13 NOMOR 2 JUNI 2017 OPTIMASI PARAMETER POTENSIAL NUKLIR BAGI REAKSI FUSI ANTAR INTI-INTI BERAT Viska Inda Variani 1, Vivin Fitrya Ningsih 1, Muhammad Zamrun F. 1, 1 Jurusan

Lebih terperinci