UNIVERSITAS INDONESIA MODEL POINT-KOPLING DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS TESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA MODEL POINT-KOPLING DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS TESIS"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA MODEL POINT-KOPLING DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS TESIS SYAEFUDIN JAELANI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA FISIKA MURNI DAN TERAPAN DEPOK JANUARI 2015

2 UNIVERSITAS INDONESIA MODEL POINT-KOPLING DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains SYAEFUDIN JAELANI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA FISIKA MURNI DAN TERAPAN KEKHUSUSAN FISIKA NUKLIR DAN PARTIKEL DEPOK JANUARI 2015

3

4

5

6 Abstrak Nama : Syaefudin Jaelani Program Studi : Magister Fisika Judul : Model Point-Coupling dengan Konstanta Kopling Bergantung Densitas Kuantisasi Lagrangian model point-coupling bergantung densitas menghasilkan Lagrangian Hartree-Fock yang terdiri atas suku direct dan exchange. Identitas Fierz diaplikasikan pada suku exchange agar bisa disusun bersama dengan suku direct membentuk Lagrangian efektif. Dengan menggunakan persamaan Euler-Lagrange akan didapat persamaan gerak dan massa efektif sistem. Dari Hamiltonian sistem diperoleh energi ikat sistem per nukleon, massa efektif, tekanan dan kompresibilitas. Dari hasil yang diperoleh, kontribusi suku exchange kecil pada massa efektif nukleon materi nuklir simetrik. Namun pada keadaan lain, kontribusi yang signifikan terlihat pada energi ikat per nukleon di materi nuklir simetrik dan materi netron, massa efektif materi netron, dan energi ikat per nukleon pada densitas rendah dari materi netron. Kata kunci : Identitas Fierz, Lagrangian efektif, massa efektif, energi ikat per nukleon, tekanan, kompresibilitas. x+64 halaman : 8 gambar; 3 tabel Daftar Pustaka : 26 ( ) v

7 Abstract Name : Syaefudin Jaelani Program Study : Magister Fisika Title : Point-Coupling Model Density Dependent Coupling Constants Point-coupling model Lagrangian is quantized to obtain the Hartree-Fock Lagrangian which contained direct and exchange terms. Fierz identity applied to the exchange term to be rearranged together with the direct term to obtain the effective Lagrangian. By using the Euler-Lagrange equation, we will obtain the equation of motion and the effective mass of the system. From the Hamiltonian will obtain the binding energy per nucleon, effective mass, pressure and compressibility. The results show that the exchange term contribution is small on nucleon effective mass of symmetric nuclear matter. But in the other conditions, the significant contribution are observed on binding energy per nucleon of asymmetric nuclear matter, neutron effective mass, and binding energy per nucleon in asymmetric nuclear matter in low density. Keywords : Fierz identity, effective Lagrangian, effective mass, binding energy per nucleon, pressure, compressibility. x+64 pages : 8 pictures; 3 tables Bibliography : 26 ( ) vi

8 Daftar Isi HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii iii iv v vi ix x 1 Pendahuluan Latar Belakang Perumusan Masalah Metode Penelitian Tujuan Penelitian Model Point-Coupling Hartree Hartree-Fock Diskusi 19 4 Kesimpulan 28 vii

9 Lampiran 28 A Transformasi Lagrangian 29 B Identitas Fierz 47 DAFTAR ACUAN 56 viii

10 Daftar Tabel 2.1 Invariansi Lagrangian terhadap paritas dan inversi waktu Parameter set kopling konstan PC-F Model Point-Coupling pada kerapatan saturasi, 0,15 fm 3 34].. 25 ix

11 Daftar Gambar 3.1 Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materi nuklir simetrik. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materi nuklir simetrik; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon pada materi nuklir simetrik Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materi netron. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materi netron; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon di materi netron Energi ikat per nukleon terhadap rasio kerapatan netron dan kerapatan saturasi Tekanan pada materi nuklir simetrik Kompresibilitas pada materi nuklir simetrik Tekanan dan kompresibilitas pada materi netron terhadap rasio kerapatan. Gambar sebelah kiri: tekanan terhadap rasio kerapatan; gambar sebelah kanan: kompresibilitas terhadap rasio kerapatan Tekanan terhadap rasio kerapatan pada materi netron dengan memperhitungkan kontribusi setiap suku tambahan Massa efektif terhadap rasio kerapatan pada materi netron dengan memperhitungkan setiap suku exchange pada massa efektif. 26 x

12 Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Percobaan yang dilakukan oleh Ernest Rutherford pada tahun 1911, dengan menembakkan partikel α ke lapisan emas tipis, membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan model atom, karena mengoreksi model yang sudah ada saat itu. Hasil dari percobaan tersebut yakni inti memiliki massa, bermuatan positif dan terletak tepat ditengah-tengah atom. Elektron didalam atom bergerak mengelilingi inti seperti gerak planet mengelilingi Matahari dalam sistem tata surya. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1919, Rutherford menemukan proton (partikel bermuatan positif) yang merupakan salah satu penyusun inti. Tidak lama kemudian, seorang ilmuwan bernama James Chadwick, berhasil menemukan netron, yang merupakan partikel tidak bermuatan (netral), yang berikatan bersama proton membentuk inti. Kedua partikel penyusun inti tersebut dikenal dengan sebutan nukleon. Penemuan oleh kedua ilmuwan tersebut, membawa para fisikawan untuk membuat suatu model untuk memahami fenomena dan hasil percobaan yang berhubungan dengan inti atom. Beberapa hal yang berkaitan dengan inti yang ingin dijelaskan oleh fisikawan antara lain peluruhan, kestabilan inti yang berkaitan dengan bilangan ajaib (magic number), radioaktivitas, deformasi inti dan energi potensial permukaan pada inti berat. Dengan begitu banyak fenomena yang bisa diamati di laboratorium, mendorong mereka untuk membuat model inti yang konsisten dengan data-data eksperimen. Model inti diperlukan untuk menjelaskan fenomena inti, baik sifat-sifat inti, maupun proses-proses yang melibatkan inti. Model memang tidak dapat menggantikan hal yang sebenarnya. Meskipun demikian, model dapat digunakan untuk memahami beberapa hal yang terkait dengan inti, meskipun tidak 1

13 2 untuk semua hal. Yang terpenting dari model adalah ia berfungsi menjelaskan beberapa hal mengenai objek yang dimodelkan. Selain itu, model yang baik adalah model yang sederhana, mudah dimengerti dan efisien 1]. Model inti yang pertama adalah model tetes cairan. Menurut model tersebut, inti mempunyai sifat seperti setetes cairan. Model yang merupakan termasuk model kolektif, dimana nukleon didalam inti saling berinteraksi satu sama lain. Model yang berasal dari ide rumus semi empiris tersebut menyatakan, energi ikat inti sebanding dengan jumlah nukleon dan ada pengaruh efek permukaan. Model tersebut cukup baik dalam menjelaskan fenomena resonansi pada reaksi nukleon dan inti. Kelemahan model tetes cairan adalah tidak diperhitungkannya efek koreksi kuantum dari interaksi antar nukleon didalam inti. Untuk mengatasi masalah tersebut, dikembangkan model lain untuk mengatasi kelemahan tersebut, yakni model gas Fermi. Model tersebut merupakan model independen, yakni nukleon dalam inti dianggap seperti molekul-molekul gas yang berdiri sendiri yang berada dalam pengaruh suatu potensial. Meskipun model tetes cairan dan gas Fermi bisa menjelaskan suatu fenomena dalam inti, namun fenomena lain mengenai kestabilan inti yang ada di alam, yang berhubungan dengan bilangan ajaib (magic number), tidak dapat dijelaskan oleh kedua model tersebut. Maka diusulkan model lain, yakni model kulit, untuk menjelaskan fenomena terkait dengan bilangan ajaib tersebut. Model kulit hanya memperhatikan dinamika nukleon pada kulit terluar saja, sedangkan pada kulit terdalam diabaikan. Model lain yang termasuk kedalam model kulit adalah model kluster α. Model tersebut menyatakan bahwa nukleon-nukleon didalam inti dikelompokkan membentuk kluster-kluster yang terdiri dari partikel α. Model kluster alfa cukup berhasil dalam menjelaskan fenomena pada inti-inti ringan ( 8 Be, 20 Ne, 28 Si), dan juga proses peluruhan α 1]. Sifat inti yang teramati sebagai penanda adanya gerak kolektif nukleonnukleon dalam inti adalah adanya perubahan bentuk inti dari bentuk semula. Untuk menjelaskan mengenai hal tersebut, dibuat model rotasi dan vibrasi. Model rotasi bertujuan untuk menjelaskan deformasi permanen, sedangkan model vibrasi menjelaskan deformasi lunak. Beberapa model yang sudah dibahas sebelumnya, baik model kolektif maupun independen, dapat menjelaskan sifat-sifat inti dengan baik. Dari kedua jenis model tersebut, dikembangkan model yang dapat mengakomodasi ide model kolektif dan independen. Nilsson, merupakan fisikawan yang mengembangkan model inti yang menggabungkan

14 3 kedua ide tersebut yang dikenal dengan model Nilsson. Ide dari model Nilsson adalah berawal dari model kulit (model independen), kemudian ditambahkan dengan potensial yang mengandung faktor deformasi inti (model kolektif). Penelitian para fisikawan untuk menjelaskan sifat-sifat inti tidak berhenti sampai disitu. Pengembangan model inti terus dilakukan agar bisa menjelaskan hal-hal yang belum bisa dijelaskan oleh model sebelumnya. John Walecka, pada tahun ], memperkenalkan teori kuantum hadrodinamika (Quantum Hadrodynamics, QHD). Teori tersebut menjelaskan mengenai quantisasi medan pada inti dan materi nuklir, berdasarkan derajat kebebasan dari hadron. QHD memang bukan merupakan teori fundamental, namun cukup berhasil dan efektif mengingat hadron merupakan partikel komposit yang tersusun atas beberapa quark. Meskipun demikian, permasalahan menggunakan teori tersebut adalah kesulitan dalam masalah komputasi. Sehingga diperlukan pendekatan dalam melakukan perhitungan, yang kemudian dikenal dengan pendekatan medan rata-rata relativistik (relativistic mean-field, RMF) 3]. Model medan rata-rata merupakan model yang dikembangkan oleh Walecka sendiri untuk menjelaskan fenomena inti. Model Medan rata-rata merupakan model yang menjelaskan nukleon sebagai sistem partikel Dirac, yang berinteraksi satu sama lain melalui pertukaran medan meson rata-rata 4-10]. Model ini cukup berhasil dalam menjelaskan materi nuklir dan sifat-sifat keadaan dasar pada inti yang berhingga 11-18]. Apikasi dari model tersebut antara lain perhitungan deformasi inti 18-21], inti ganjil 18], energi potensial permukaan pada inti berat 18] dan prediksi inti berat 18,22-23]. Model Walecka, merupakan model relativistik berdasarkan medan rata-rata (RMF) yang pertama, dimana interaksi dimodelkan dalam bentuk pertukaran meson 4,5,13]. Model tersebut menjelaskan interaksi antara nukleon dalam inti terjadi pada jangkauan yang berhingga (finite range). Sehingga model tersebut dikenal dengan nama RMF-FR (Relativistic Mean-Field Finite Range). Model RMF-FR melibatkan tiga meson pada Lagrangiannya. Mereka adalah medan isoskalar-skalar yang direpresentasikan melalui pertukaran σ meson, isoskalar-vektor yang direpresentasikan melalui pertukaran ω meson dan isovektor-skalar yang direpresentasikan sebagai pertukaran ρ meson 9]. Model tersebut dapat diaplikasikan untuk menjelaskan materi nuklir, struktur dan sifat inti berhingga, dinamika tumbukan ion berat dan evolusi bintang. Model lain yang serupa dengan Walecka adalah model point-coupling (point-coupling model). Perbedaan dengan model Walecka adalah terletak pada potensial yang digunakan, yakni mengganti potensial meson pada model Walecka dengan potensial yang bergantung

15 4 densitas 8]. Ditinjau dari jangkaun interaksi, model yang bergantung densitas tersebut menerapkan interaksi kontak (jangkauan interaksi nol). Model yang dikenal dengan RMF-PC (Relativistic Mean-Field Point Coupling), cukup baik dalam menjelaskan sifat-sifat inti yang berhingga. Kedua model tersebut sering digunakan pada pendekatan Hartree. Dalam perhitungan pendekatan medan rata-rata pada Lagrangian model RMF-PC, kita akan memperoleh Lagrangian Hartree-Fock yang terdiri atas suku langsung (direct term) dan suku pertukaran (exchange term). Perhitungan dengan memasukkan suku exchange masih jarang dilakukan, terutama untuk model RMF-PC dengan kopling yang bergantung densitas. Dengan memperhitung suku tersebut diharapkan dapat mendapatkan hasil baru, yang dapat diaplikasikan pada materi nuklir dan inti yang berhingga. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian ini menggunakan model Lagrangian point-coupling yang bergantung densitas, dengan memperhitungkan suku pertukaran (exchange) untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada materi nuklir. 1.3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan melakukan perhitungan komputasi untuk memperoleh besaran fisis seperti energi ikat, massa efektif, tekanan dan kompresibilitas dari materi nuklir. 1.4 Tujuan Penelitian Mempelajari pengaruh suku pertukaran (exchange) pada Lagrangian pointcoupling yang bergantung densitas pada materi nuklir dan membandingkan dengan model dengan pendekatan Hartree.

16 Bab 2 Model Point-Coupling 2.1 Hartree Pada bab ini kami diskusikan model yang kami gunakan dan perhitungan yang kami lakukan. Lagrangian yang digunakan pada model ini adalah sebagai berikut L = ψ(iγ µ µ m)ψ 1 2 α S( ψψ)( ψψ) 1 2 α V ( ψγ µ ψ)( ψγ µ ψ) 1 2 α T S( ψ τψ) ( ψ τψ) 1 2 α T V ( ψ τγ µ ψ)( ψ τγ µ ψ) 1 2 δ S µ ( ψψ) µ ( ψψ) 1 2 δ T V ν ( ψγ µ ψ) ν ( ψγ µ ψ) 1 2 δ T S µ ( ψ τψ) µ ( ψ τψ) 1 2 α T V ν ( ψ τγ µ ψ) ν ( ψ τγ µ ψ). (2.1) Suku kinetik dari Lagrangian tersebut dapat ditulis dalam bentuk lain dengan menggunakan Hukum Gauss, sehingga bentuk Lagrangian pada persamaan (2.1) menjadi L = ψ( i 2 / m)ψ 1 2 α S( ψψ)( ψψ) 1 2 α V ( ψγ µ ψ)( ψγ µ ψ) 1 2 α T S( ψ τψ) ( ψ τψ) 1 2 α T V ( ψ τγ µ ψ)( ψ τγ µ ψ) 1 2 δ S µ ( ψψ) µ ( ψψ) 1 2 δ T V ν ( ψγ µ ψ) ν ( ψγ µ ψ) 1 2 δ T S µ ( ψ τψ) µ ( ψ τψ) 1 2 δ T V ν ( ψ τγ µ ψ) ν ( ψ τγ µ ψ). (2.2) Lagrangian pada persamaan (2.2) akan dikuantisasi untuk memperoleh harga 5

17 6 rata-rata sistem pada keadaan dasar. Namun, masalah yang akan dihadapi dengan mengkuantisasi secara formal adalah pada Lagrangian tersebut akan muncul suku turunan terhadap waktu pada persamaan kerapatan Hamiltonian kanonik dari sistem. Hal tersebut terjadi karena pada Lagrangian sistem mengandung suku turunan orde kedua terhadap waktu. Dengan keberadaan suku turunan orde kedua terhadap waktu tersebut, akan menyulitkan kita ketika melakukan proses kuantisasi, yakni tidak bisa melakukan perhitungan relasi Poisson braket antara variabel dinamik sistem seperti yang telah dibahas pada Ref. 24]. Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan transformasi atau field redefinition pada Lagrangian sistem. Transformasi yang digunakan yakni ψ = Uψ, U = e is(x), (2.3) dengan pemelihan S adalah S δ S 2 F 1γ 0 + δ V 2 F 2 + δ V 2 F 3 ᾱ + δ T S 2 F 4 τγ 0 + δ T V 2 F 5 τ + δ T V 2 F 6 ᾱ τ, (2.4) dengan F merupakan fungsi sembarang, yang merupakan fungsi waktu, t dan posisi, x. Kami menggunakan pendekatan δ << 1, sehingga ekspansi infinitesimal yang dipilih menjadi ( e is δs 1+i 2 F 1γ 0 + δ V 2 F 2 + δ V 2 F 3 ᾱ + δ T S 2 F 4 τγ 0 + δ T V 2 F 5 τ + δ ) T V 2 F 6 ᾱ τ. Dengan demikian, transformasi yang digunakan ialah (2.5) ψ ψ + iδ S 2 F 1γ 0 ψ + iδ V 2 F 2ψ + iδ V 2 F 3 ᾱψ + iδ T S 2 F 4 τγ 0 ψ + iδ T V 2 F 5 τψ + iδ T V 2 F 6 ᾱ τψ, ψ ψ iδ S 2 F 1 ψγ 0 iδ V 2 F 2 ψ + iδ V 2 ψᾱ F 3 iδ T S 2 F 4ᾱ τγ 0 iδ T V 2 F 5 τ + iδ T V 2 ψᾱ τ F 6, (2.6) dimana transformasi tersebut memenuhi relasi

18 7 ψ ψ ψψ, (2.7) dengan ψ merupakan fungsi waktu dan posisi. Untuk mempermudah penulisan, Kami hanya akan menuliskan notasi F dan ψ saja, yang merupakan fungsi posisi dan waktu. Lagrangian yang akan ditransformasi yakni L = ψ ( i /)ψ m 2 ψ 1 2 α S( ψ ψ )( ψ ψ ) 1 2 α V ( ψ γ µ ψ )( ψ γ µ ψ ) 1 2 α T S( ψ τψ ) ( ψ τψ ) 1 2 α T V ( ψ τγ µ ψ )( ψv τγ µ ψ ) 1 2 δ S µ ( ψ ψ ) µ ( ψ ψ ) 1 2 δ T V ν ( ψ γ µ ψ ) ν ( ψ γ µ ψ ) 1 2 δ T S µ ( ψ τψ ) µ ( ψ τψ ) 1 2 α T V ν ( ψ τγ µ ψ ) ν ( ψ τγ µ ψ ). (2.8) Untuk memudahkan penulisan, Kami melakukan transformasi tiap suku pada Lagrangian tersebut 1. Setelah dilakukan transformasi pada Lagrangian, akan didapat Lagrangian hasil transformasi yakni L = L kinetik + L interaksi, L kinetik = ψ(iγ µ µ m)ψ, L int = L nonretardasi + L retardasi, (2.9) dimana suku non-retardasi (suku lama) yakni L nonretardasi = α S 2 ( ψψ) 2 α V 2 ( ψγ µ ψ) 2 α T S 2 ( ψτψ) 2 α T V 2 ( ψγ µ τψ) 2 + δ S 2 ( ψψ) ( ψψ) + δ V 2 ( ψγ µ ψ) ( ψγ µ ψ) + δ T S 2 ( ψτψ) ( ψτψ) + δ T V 2 ( ψγ µ τψ) ( ψγ µ τψ), dan suku retardasi (suku baru yang diperoleh dari transformasi) 1 lihat lampiran A untuk penurunan detailnya (2.10)

19 8 L retardasi = δ S 2 ( ψᾱ ψ ψ ᾱψ)( ψᾱ ψ ψ ᾱψ) + δ V i( ψσij γ 0 j ψ j ψσij γ 0 ψ) 2im( 2 ψα i ψ) ] 2 δ T S 2 ( ψᾱτ ψ ψ ᾱτψ)( ψᾱτ ψ ψ ᾱτψ) + δ T V i( ψσij γ 0 τ j ψ j ψσ ij γ 0 τψ) 2im( 2 ψα i ψ) ] 2 δ V 2 ( ψ γψ) ( ψ γψ) δ T S 2 ( ψ γτψ) ( ψ γτψ). (2.11) Pada penelitian ini, Kami hanya fokus pada Lagrangian non-retardasi saja karena efek dari suku retardasi sangat kecil, yakni kurang dari 1 persen pada energi ikat seperti yang telah dibahas pada Ref ]. Sehingga Lagrangian yang digunakan pada penelitian ini adalah L L kinetik + L nonretardasi = ψ(iγ µ µ m)ψ α S 2 ( ψψ) 2 α V 2 ( ψγ µ ψ) 2 α T V 2 ( ψγ µ τψ) 2 + δ S 2 ( ψψ) ( ψψ) + δ V 2 ( ψγ µ ψ) ( ψγ µ ψ) + δ T V 2 ( ψγ µ τψ) ( ψγ µ τψ). (2.12) Pada penelitian ini Kami menggunakan parameter set PC-F1, dimana nilai kopling konstan α T S, dan δ T S nol 10]. 2.2 Hartree-Fock Untuk mengkuantisasi suatu sistem, kita merubah variabel sistem menjadi operator, L ˆL, yakni ˆL = ˆ ψ(iγ µ µ m) ˆψ α S 2 ( ˆ ψ ˆψ) 2 α V 2 ( ˆ ψγ µ ˆψ) 2 α T V 2 ( ˆ ψγ µ τ ˆψ) 2 + δ S 2 ( ˆ ψ ˆψ) ( ˆ ψ ˆψ) + δ V 2 ( ˆ ψγ µ ˆψ) ( ˆ ψγµ ˆψ) + δ T V 2 ( ˆ ψγ µ τ ˆψ) ( ˆ ψγµ τ ˆψ). (2.13)

20 9 Relasi Dirac braket antara operator memenuhi ˆψα (x), ˆψ β (y)] ˆψα (x), ˆψ β (y) ] + + = 0 = ˆψ α(x), ˆψ β (y) ] + = δ αβ δ 3 (x y). (2.14) Relasi anti-komutasi terpenuhi, jika dan hanya jika, bentuk eksplisit operator pada persamaan tersebut adalah, ˆψ = ˆψ = ψ α (x)c α, α=1 ψ α(x)c α, (2.15) α=1 dengan relasi anti-komutasi ] ĉ α, ĉ β = δ αβ, (2.16) + dimana ĉ dan ĉ merupakan operator anihilasi dan kreasi. Keadaan dasar dari A Fermion dinyatakan dengan determinan Slater Φ 0 = A c α 0. (2.17) α=1 Dengan menggunakan determinan Slater dan dengan mensubstitusikan persamaan (2.13), dan relasi berikut, Φ0 ĉ α ĉ β Φ0 = δαβ θ(α A), ĉ Φ 0 α ĉ γ ĉ βĉδ Φ 0 = δ αγ δ βδ δ αδ δ βγ ] θ(α A), (2.18) kita akan memperoleh harga ekspektasi (rata - rata) dari kerapatan Lagrangian yakni Φ 0 ˆL HartreeF ock Φ 0 = L kinetik + L direct + L exchange, (2.19) dengan suku kinetik, direct, dan exchange sebagai berikut

21 10 L kinetik = A ψ α (iγ µ µ m)ψ α, αβ L direct = + + L exchange = + A αβ A αβ α S 2 ( ψ α ψ α )( ψ β ψ β ) A αβ α T V 2 ( ψ α γ µ τψ α )( ψ β γ µ τψ β ) + A δ V ( 2 ψ α γ µ ψ α ) ( ψ β γ µ ψ β ) αβ A αβ A αβ A αβ α V 2 ( ψ α γ µ ψ α )( ψ β γ µ ψ β ) A δ S ( 2 ψ α ψ α ) ( ψ β ψ β ) αβ δ T V 2 ( ψ α γ µ τψ α ) ( ψ β γ µ τψ β ), α S 2 ( ψ α ψ β )( ψ β ψ α ) + A αβ α T V 2 ( ψ α γ µ τψ β )( ψ β γ µ τψ α ) A δ V ( 2 ψ α γ µ ψ β ) ( ψ β γ µ ψ α ) αβ A αβ α V 2 ( ψ α γ µ ψ β )( ψ β γ µ ψ α ) A δ S ( 2 ψ α ψ β ) ( ψ β ψ α ) δ T V 2 ( ψ α γ µ τψ β ) ( ψ β γ µ τψ α ). (2.20) Penulis mengaplikasikan identitas Fierz pada Lagrangian exchange, untuk menyusun (re-order) fungsi gelombang supaya berurutan. Kami mengasumsikan sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, yang sesuai dengan tabel berikut αβ S(x) V µ (x) T µν (x) A µ (x) P (x) Paritas S( x) V µ ( x) T µν ( x) A µ ( x) P ( x) Inversi Waktu S( x) V µ ( x) T µν ( x) A µ ( x) P ( x) Tabel 2.1: Invariansi Lagrangian terhadap paritas dan inversi waktu. dimana S, V µ, T µν, A µ dan P adalah:

22 11 S(x) = ψ(x)ψ(x), V µ = ψ(x)γ µ ψ(x), T µν = ψ(x)σ µν ψ(x), A µ = i ψ(x)γ 5 ψ(x). (2.21) Karena sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, maka suku yang tidak invarian (sesuai tabel diatas) harus nol. Suku yang mengandung komponen ruang, misal γ i, tidak invarian terhadap paritas, dan suku yang mengandung komponen, misal γ 5, tidak invarian terhadap inversi waktu. Setelah mengaplikasikan identitas Fierz 2, akan didapat gabungan suku nonderivatif Lagrangian direct dengan Lagrangian exchange dari hasil identitas Fierz, yakni L HartreeF ock α S 2 ρ2 S α V 2 ρ2 V α T S 2 ρ2 T S α T V 2 ρ2 T V, (2.22) dengan definisi densitas ρ S (x) = ρ V (x) = ρ T S (x) = ρ T V (x) = A ψ α (x)ψ α (x), α=1 A ψ α (x)γ µ ψ α (x), α=1 A ψ α (x)τψ α (x), α=1 A ψ α (x)γ µ τψ α (x), (2.23) α=1 dan redefinisi dari kopling konstan adalah: 2 lihat lampiran B untuk detailnya α S 7 8 α S 1 2 α V 3 2 α T V, α V 1 8 α S α V 3 4 α T V,

23 12 α T S 1 8 α S 1 2 α V α T V, α T V 1 8 α S α V α T V. (2.24) Untuk suku derivatif L exchange, suku yang invarian setelah dikelompokkan menjadi δ 2 θ ( ψ α ψ α )( ψ β ψβ ), 2. 1δ 2 θ ( ψ α ψ α )( ψ β ψβ ), 3. 1δ 2 γ ( ψ α τψ α )( ψ β τ ψ β ), 4. 1δ 2 λ ( ψ α γ µ ψ α )( ψ β γ µ ψβ ), 5. 1δ 2 ϕ ( ψ α τγ µ ψ α )( ψ β τγ µ ψβ ), 6. 1δ 2 Φ ( ψ α γ 5 γ µ ψα )(ψ β γ 5 γ µ ψβ ), 7. 1δ 2 Φ ( ψ α γ 5 γ µ ψ α )( ψ β γ 5 γ µ ψ β ), 8. 1δ 2 ɛ ( ψ α τγ 5 γ µ ψ α )( ψ β τγ 5 γ µ ψ β ), 9. 1δ 2 ɛ ( ψ α τγ 5 γ µ ψα )(ψ β τγ 5 γ µ ψβ ), dengan definisi kopling konstannya adalah sebagai berikut δ θ = δ γ = δ λ = δ ϕ = δ Φ = δ ɛ = ] δs 4 + δ V + 3δ T V, ] δs 4 + δ V δ T V, δs 4 δ V 2 3δ ] T V, 2 δs 4 δ V 2 + δ ] T V, 2 δ ] S 8 δ V 4 3δ T V 4 δ S 8 δ V 4 + δ T V 4, ]. (2.25) Dengan demikian, Lagrangian yang diperoleh setelah mengaplikasikan identitas Fierz menjadi 3 lihat lampiran B untuk detailnya.

24 13 L HartreeF ock = L kinetik + L direct + L exchange, L exchange = L symmetry + L nonsymmetry. (2.26) Suku non-symmtery merupakan suku yang tidak invarian terhadap paritas dan inversi waktu, dan kontribusinya diabaikan. Suku symmetry adalah suku yang invarian terhadap paritas dan inversi waktu (sesuai dengan tabel 2.1). Suku symmetry yang mengandung γ 5 diabaikan karena kontribusinya sangat kecil dibandingkan dengan suku yang lain. Transformasi yang dilakukan pada Lagrangian didekati hingga orde (v/c) saja, sedangkan untuk orde yang lebih tinggi (orde ketiga, (v/c) 2 dan seterusnya) diabaikan karena kontribusinya kecil. Suku yang mengandung γ 5 berada pada orde ketiga terhadap kecepatan, sehingga kontribusinya bisa diabaikan. Dengan demikian Lagrangian sistem yang diperoleh yakni L HartreeF ock = A α=1 δ S ψ α (iγ µ µ m)ψ α α S 2 ρ2 S α V 2 ρ2 V α T S 2 ρ2 T S α T V 2 ρ2 T V 2 ρ S ρ S + δ V 2 ρ V ρ V + δ T V 2 ρ T V ρ T V δ θ 2 ρ S ρ S δ γ 2 ρ T S ρ T S δ λ 2 ρ V ρ V δ ϕ 2 ρ T V ρ T V, (2.27) dengan ρ S (x) = ρ V (x) = A ( ψ β ψβ ), α=1 A ( ψ β γ µ ψβ ), α=1 ρ T S (x) = ρ p S ρn S, ρ T V (x) = ρ p V ρn V, (2.28) disini digunakan tetapan isospin τ 3, untuk proton (p) bernilai +1 dan netron (n) bernilai -1. Materi nuklir adalah keadaan hipotetik dimama jumlah nukleon, A, sangat banyak dan menempati ruang yang luas. Dengan jumlah nukleon, A, dan volume, sistem invarian terhadap translasi. Sehingga dengan demikian,

25 14 kita dapat menggunakan limit termodinamika sebagai: A α=1 kf 0 ν (2π) 3 d3 k, (2.29) dimana ν merupakan faktor degenerasi, ν = (2s + 1)(2I + 1), dengan s adalah spin dan I adalah isospin. Untuk kasus umum, dimana jumlah proton, z, tidak sama dengan jumlah netron, n, degenerasi hanya spin saja, ν = 2. Seperti kita ketahui, fungsi gelombang pada Lagrangian mempunyai bentuk eksplisit dengan U k adalah isospinor dengan bentuk matriks ψ k (x) = U k e ikx, (2.30) ] U k = U p k Uk n, ] U p k = Uup p Udw n. (2.31) Dengan mensubstitusikan persamaan (2.29) dan (2.30), kita dapat menuliskan Lagrangian sistem sebagai berikut L HartreeF ock = 2 kf d 3 k (2π) Ū p 3 k (k/ m)u p k + 2 kf d 3 k 0 (2π) Ū 3 k n (k/ m)uk n 0 α S 2 ρ2 S α 0 2 ρ2 V α S3 2 ρ2 T S α T V ρ δ θ 2 ρ S ρ S δ λ 2 ρ 0 ρ 0 δ γ 2 ρ S3 ρ S3 δ ϕ 2 ρ 3 ρ 3, (2.32) dengan ρ 0 (x) = ρ p 0 + ρ n 0 = 2 (2π) 3 ρ S3 = ρ p s ρ n s, ρ 3 = ρ p 0 ρ n 0, ρ S (x) = ρ p S + ρn S = 2 (2π) 3 kf 0 kf 0 d 3 k Ū p k γ 0U p k + 2 kf d 3 k (2π) Ū 3 k n γ 0 Uk n, 0 d 3 k k 2 Ū p k U p k + 2 kf d 3 k k 2 Ū (2π) 3 k n Uk n, 0

26 15 ρ 0 (x) = ρ p 0 + ρ n 0 = 2 (2π) 3 ρ S3 (x) = ρ p S ρn S, kf 0 d 3 k k 2 Ū p k γ 0U p k + 2 kf d 3 k k 2 Ū (2π) 3 k n γ 0 Uk n, 0 ρ 3 (x) = ρ p 0 ρ n 0. (2.33) Suku turunan ( ψψ), ( ψγ µ ψ), ( ψτψ), dan ( ψγ µ τψ) berharga nol karena konstan terhadap turunan posisi, x. Sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, sehingga komponen ruang pada Lagrangian tersebut (γ i ) harus nol, dan suku yang bertahan hanya γ 0 saja. Untuk memperoleh persamaan gerak sistem, kita aplikasikan persamaan Euler-Lagrange pada Lagrangian tersebut L Ū p k L µ ( µū p k ) = 0, (2.34) misal untuk proton terlebih dahulu, akan didapat (k/ m)u p k α SU p k ρp S α V γ 0 U p k ρp 0 α T S U p k ρp S3 α T V γ 0 U p k ρp 3 δ θ 2 U p k ρp S δ λ 2 γ 0U p k ρp 0 δ γ 2 U p k ρp S3 δ ϕ 2 γ 0U p k ρp 3 = 0, (k 0 γ 0 γ k m)u p k α SU p k ρp S α V γ 0 U p k ρp 0 α T S U p k ρp S3 α T V γ 0 U p k ρp 3 δ θ 2 U p k ρp S δ λ 2 γ 0U p k ρp 0 δ γ 2 U p k ρp S3 δ ϕ 2 γ 0U p k ρp 3 = 0. (2.35) Kalikan dengan γ 0, dan k 0 = E k maka diperoleh dengan k 0 U p k = ᾱ k U p k + γ 0 ( m + α S ρ p S + α T S ρ p S3 + δ θ 2 ρp S + δ ) γ 2 ρp S3 U p k + α V U p k ρp 0 + α T V U p k ρp 3 + δ λ 2 U p k ρp 0 + δ ϕ 2 U p k ρp 3 = 0, ( E k α V ρ p 0 α T V ρ p 3 δ λ 2 ρp 0 δ ) ϕ 2 ρp 3 U p k = ( ᾱ k + γ 0 m ) U p k ẼU p k = ( ᾱ k ) + γ 0 m p U p k, (2.36)

27 16 m p = m + α S ρ p S + α T S ρ p S3 + δ θ 2 ρp S + δ γ 2 ρp S3, Ẽ k = E k α V ρ p 0 α T V ρ p 3 δ λ 2 ρp 0 δ ϕ 2 ρp 3. (2.37) Dengan demikian, kita juga bisa menuliskan persamaan gerak untuk netron yakni Kita tahu bahwa ẼU n k = ( ᾱ k + γ 0 m n) U n k, m n = m + α S ρ n S α T S ρ n S3 + δ θ 2 ρn S δ γ 2 ρn S3, Ẽ k = E k α V ρ n 0 α T V ρ n 3 δ λ 2 ρn 0 δ ϕ 2 ρn 3. (2.38) T µν = ν (2π) 3 d 3 k L ( ν ψ k ) µψ k g µν L. (2.39) Dengan menggunakan persamaan tersebut, kita dapat memperoleh kerapatan Hamiltonian sistem H = T 00 = ν (2π) 3 H = + 2 (2π) 3 2 (2π) 3 kf 0 kf 0 d 3 k ψ k iγ 0 0 ψ k L, d 3 k U p k (ᾱ k + γ 0 m p)u p k d 3 k U n k (ᾱ k + γ 0 m n)uk n 1 2 α S ρ 2 S 1 2 α T Sρ 2 S α V ρ α T V ρ δ λ ρ 0 ρ δ ϕ ρ 3 ρ 3, H = ɛ = 2 (2π) 3 kf 0 d 3 kẽp(k) + 2 (2π) 3 kf 0 d 3 k Ẽn(k) 1 2 α S ρ 2 S 1 2 α T Sρ 2 S α V ρ α T V ρ δ λ ρ 0 ρ δ ϕ ρ 3 ρ 3, ɛ = ɛ p kin + ɛn kin 1 2 α S ρ 2 S 1 2 α T S ρ 2 S α V ρ α T V ρ δ λ ρ 0 ρ δ ϕ ρ 3 ρ 3. (2.40)

28 17 Dengan menggunakan relasi Ẽ = k 2 F + m 2, (2.41) dan normalisasi spinor, U k U k = 1, maka diperoleh ɛ p,n kin = 1 k 8π 2 F kf 2 + m 2 (2kF 2 + m 2 ) m 4 ln k F + ] kf 2 + m 2, m ρ p,n 0 = k3 F 3π, 2 ρ p,n S = m 2π 2 ρ S3 = ρ p S ρn S, ρ 3 = ρ p 0 ρ n 0, ρ p,n 0 = k5 F 5π 2 = (3π2 ) 5/3 5π 2 ρ 5/3 0, k F k 2 F + m 2 m 2 ln k F + k 2 F + m 2 m ρ p,n S = 3 4 (0, 6m)2 ρ (3π2 ) 3/2 ρ 5/ (0, 6m)2 ρ S, ρ S3 = ρ p S ρn S, ρ 3 = ρ p 0 ρ n 0, (2.42) disini digunakan pendekatan pada suku ρ S yakni nilai massa pada saturasi m 0, 6m. Dengan demikian, kita dapatkan persamaan energi ikat sistem ], dengan E A = ɛ m, ρ 0 E A = ɛp kin + ɛn kin 1 ρ 0 ρ 0 2 α S ρ 2 S 1 ρ 0 2 α ρ 2 S3 T S + 1 ρ 0 2 α V ρ α T V ρ δ λ ρ δ ϕ ρ 0 m, (2.43) m p = m + α S ρ S + α T S ρ S3 + δ θ 2 ρ S + δ γ 2 ρ S3, m n = m + α S ρ S α T S ρ S3 + δ θ 2 ρ S δ γ 2 ρ S3. (2.44) Kita juga dapat menghitung tekanan dan kompresibilitas sistem

29 18 ] P = ρ 2 ɛ 0, ρ 0 ρ 0 ] K = g ρ 2 2 ɛ 0. (2.45) 2 ρ 0 ρ 0 dimana pada saturasi E = -16 MeV, tekanan bernilai nol (P = 0). A Untuk materi nuklir simetrik dimana jumlah proton sama dengan jumlah netron (z = n) U p k = U k n = U k ρ p 0 = ρ n 0, ρ p S = ρn S, ρ S = ρ p S + ρn S = 2ρ p S, ρ 0 = ρ p 0 + ρ n 0 = 2ρ p 0, ρ S3 = ρ p S ρn S = 0, ρ 3 = ρ p 0 ρ n 0 = 0. (2.46) Sehingga persamaan energi ikat sistem menjadi dengan E A = ɛ m, ρ 0 E A = ɛ kin 1 ρ 0 2 α S ρ 2 S ρ α V ρ δ λ ρ 0 m, (2.47) m = m + α S ρ S + δ θ 2 ρ S. (2.48) Pada bab berikutnya akan kami diskusikan efek suku exchange secara kuantitatif.

30 Bab 3 Diskusi Pada penelitian ini penulis membandingkan model point-coupling dengan konstanta kopling bergantung kerapatan dengan memperhitungkan suku exchange (diperoleh dari pendekatan Hartree-Fock), dengan model point-coupling standar (pendekatan Hartree). Suku exchange tersebut muncul ketika melakukan kuantisasi pada Lagrangian (Hartree) untuk memperoleh harga rata-rata dari Lagrangian pada keadaan dasar (Hartree-Fock), baik dari suku non-derivatif (isoskalar-skalar, isoskalar-vektor dan isovektor-vektor) maupun dari suku derivatif. Dalam penelitian ini diasumsikan tidak ada kontribusi anti partikel. Hal yang dibandingkan antara lain pada kasus materi nuklir simetrik (symmetric nuclear matter) dan materi nuklir asimetrik (asymmetric nuclear matter), yang paling ekstrim yakni pada materi netron. Disamping itu, penulis memeriksa pada keadaan kerapatan tinggi dan rendah, serta memeriksa seberapa besar pengaruh suku tambahan yang muncul jika dibandingkan dengan model yang sudah ada. Disini penulis menggunakan konstanta kopling dari parameter set PC-F1 10]. Kopling konstan Nilai Dimensi α S MeV 2 β S MeV 5 γ S MeV 8 δ S MeV 4 α V MeV 2 γ V MeV 8 δ V MeV 4 α T V MeV 2 δ T V MeV 4 Tabel 3.1: Parameter set kopling konstan PC-F1. 19

31 20 Konsekuensi memperhitungkan suku exchange, yang diperoleh melalui transformasi Fierz, ialah muncul suku tambahan dengan kopling konstan baru pada Lagrangian Hartree-Fock. Konstanta kopling yang muncul setelah dilakukan transformasi Fierz pada suku exchange yakni α T S, δ θ, δ γ, δ λ dan δ ϕ, dengan masing-masing definisi α T S = 1 8 α S 1 2 α V α T V, δ θ = δ S 4 + δ V + 3δ T V, δ γ = δ S 4 + δ V δ T V, δ λ = δ S 4 δ V 2 3δ T V 2, δ ϕ = δ S 4 δ V 2 + δ T V 2. (3.1) Jika kita perhatikan, kopling konstan yang baru (hasil dari pendekatan Hartree- Fock) merupakan kombinasi dari kopling konstan yang ada. Apabila kita melihat tabel set PC-F1, jelas untuk kopling konstan isovektor-skalar (berhubungan dengan meson δ) adalah nol. Selain itu, kontribusi suku tambahan pada massa efektif nukleon juga diperhitungkan, seberapa besar kontribusinya pada materi nuklir simetrik dan materi netron ditunjukan pada gambar-gambar Gambar 3.1: Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materi nuklir simetrik. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materi nuklir simetrik; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon pada materi nuklir simetrik.

32 21 Gambar (3.1) menunjukkan energi ikat per nukleon dan massa efektif sebagai fungsi kerapatan. Kurva warna merah (baik pada kurva energi ikat per nukleon dan massa efektif) merupakan hasil yang diperoleh dari model pointcoupling dengan pendekatan Hartree dengan parameter set PC-F1 10]. Pada kasus materi nuklir simetrik, kontribusi suku exchange pada energi ikat per nukleon terlihat mulai sekitar kerapatan 0,15 fm 3, dan terlihat cukup jelas pada kerapatan 0,4 fm 3 pada Gambar 3.1. Pada kerapatan rendah hingga keadaan saturasi, kurva keduanya saling bersinggungan pada daerah yang sama (warna merah dan biru). Dari perhitungan didapat energi ikat pada materi nuklir simetrik pada keadaan saturasi dengan pendekatan Hartree-Fock (dengan suku exchange) ialah -16,59 MeV. Nilai tersebut sedikit lebih kecil 0.42 MeV dari model standar dengan pendekatan Hartree, yakni -16,17 MeV. Untuk massa efektif nukleon, baik model dengan pendekatan Hartree maupun Hartree-Fock, hasil yang didapat dari keduanya sama. Sehingga jika dilihat pada Gambar (3.1) sebelah kanan, hanya kurva warna biru saja yang terlihat karena kurva keduanya saling berhimpit. Kita dapat menyimpulkan kontribusi dari suku exchange pada massa efektif nukleon sangat kecil sekali, sehingga bisa diabaikan. Gambar 3.2: Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materi netron. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materi netron; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon di materi netron. Gambar 3.2 merupakan kurva energi ikat per nukleon pada materi netron (sebelah kiri) dan massa efektif nukleon (sebelah kanan). Pada kurva energi ikat per nukleon, warna hijau adalah hasil dari model standar, dan warna hitam adalah model dengan memperhitungkan suku exchange. Dari kedua kurva tersebut, ketika kerapatan netron mulai naik dari nol, keduanya masih

33 22 bersinggungan. Namun saat kerapatan semakin membesar, kenaikan energi ikat pada pendekatan Hartree-Fock terlihat lebih cepat dari model dengan pendekatan Hartree saja. Pada ρ n bernilai sekitar 0,04 fm 3, energi ikat per nukleon model Hartree bernilai sekitar 4 MeV sedangkan model Hartree-Fock bernilai sekitar 16 MeV. Apabila kita meninjau massa efektif dari kedua model, baik model standar maupun model dengan memperhitungkan suku tambahan menunjukkan perbedaan yang jelas. Untuk model point-coupling dengan konstanta kopling bergantung kerapatan standar dengan pendekatan Hartree, massa efektif netron dan proton tidak bisa dibedakan (garis warna merah). Hal tersebut dapat terlihat dari persamaan massa efektif model standar dengan pendekatan Hartree m n,p = m + α S ρ S. (3.2) Namun untuk model dengan memperhitungkan suku exchange, terlihat perbedaan yang jelas antara massa efektif netron (warna biru) dan massa efektif proton (warna hijau). Hal tersebut bisa terlihat dengan jelas dari persamaan massa efektif dengan pendekatan Hartree-Fock berikut m n,p = m + α S ρ S α T S ρ S3 + δ θ 2 ρ S δ γ 2 ρ S3. (3.3) Gambar 3.3: Energi ikat per nukleon terhadap rasio kerapatan netron dan kerapatan saturasi. Pada Gambar 3.3 menunjukkan hubungan energi ikat per nukleon pada materi netron terhadap rasio kerapatan netron dan kerapatan saturasi. Saat

34 23 nilai rasio kerapatan mulai membesar, nilai energi ikat per nukleon semakin meningkat. Namun kenaikan energi ikat terhadap rasio kerapatan pada model dengan pendekatan Hartree-Fock (warna hijau) lebih cepat dibandingkan dengan pendekatan Hartree (warna merah). Disini terlihat dengan jelas kontribusi dari suku exchange. Gambar 3.4: Tekanan pada materi nuklir simetrik. Pada Gambar 3.4 menunjukkan tekanan pada materi nuklir simetrik. Gambar sebelah kiri, kurva warna merah, merupakan hasil plot tekanan terhadap rasio kerapatan sesuai dengan yang didapat oleh Ref. 27]. Sedangkan kurva berwarna biru merupakan plot yang diperoleh dengan memasukkan suku exchange pada Lagrangian efektif. Kontribusi dari suku tambahan tersebut pada tekanan terlihat jelas pada rasio kerapatan 1. Namun apabila dihitung pada rasio kerapatan yang lebih besar, kurva keduanya terlihat hampir berhimpit tetapi masih bisa dibedakan. Denggan demikian, efek suku tambahan pada tekanan di materi nuklir simetrik lebih terlihat jelas pada rasio kerapatan rendah (rasio kerapatan 1 pada Gambar 3.4) jika dibandingkan dengan pada rasio kerapatan tinggi, yakni lebih besar dari 1. Selain menyelidiki pengaruh dari pendekatan Hartree-Fock pada energi ikat per nukleon, massa efektif dan tekanan, penulis juga menghitung kompresibilitas (perubahan volume terhadap tekanan pada temperatur tetap). Gambar 3.5 merupakan hasil plot dari kompresibilitas terhadap rasio kerapatan pada materi nuklir simetrik. Kurva warna merah adalah perhitungan dengan pendekatan Hartree sedangkan kurva warna biru adalah perhitungan dengan pendekatan Hartree-Fock. Pada rasio kerapatan rendah, efek dari suku exchange tidak begitu terlihat hingga pada rasio kerapatan sekitar 0,8. Efek dari pendekatan Hartree-Fock sedikit terlihat pada rasio kerapatan antara 0,8 dan

35 24 Gambar 3.5: Kompresibilitas pada materi nuklir simetrik. 1, walaupun tidak terlalu besar. Dengan memperhitungkan suku exchange, perubahan volume terhadap tekanan di materi nuklir simetrik tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan model tanpa suku exchange. Gambar 3.6: Tekanan dan kompresibilitas pada materi netron terhadap rasio kerapatan. Gambar sebelah kiri: tekanan terhadap rasio kerapatan; gambar sebelah kanan: kompresibilitas terhadap rasio kerapatan. Pada Gambar 3.6 terlihat kurva tekanan dan kompresibilitas terhadap rasio kerapatan. Untuk kurva tekanan, gambar sebelah kiri, pada rasio kerapatan rendah, hasil yang diperoleh dari model dengan memperhitungkan suku exchange (warna hijau) dan tanpa suku exchange (warna merah) masih sama, ditunjukkan dengan kurva keduanya masih berhimpit. Pada rasio kerapatan semakin besar, hingga kurva keduanya bertemu kembali pada rasio kerapatan 4, pada tekanan 45 MeV/fm 3. Pada kurva kompresibilitas, gambar sebelah kanan, efek suku tambahan terlihat jelas dari kedua kurva. Warna merah

36 25 merupakan hasil perhitungan kompresibilitas dengan pendekatan Hartree, sedangkan kurva warna biru merupakan hasil yang didapat dengan pendekatan Hartree-Fock. Pada rasio kerapatan rendah, kurva keduanya masih berhimpit. Namun saat rasio kerapatan semakin besar, terlihat perbedaan yang signifikan antara model tanpa suku tambahan diibandingkan dengan model dengan suku tambahan (exchange). Berikut ini merupakan tabel hasil perhitungan kedua pendekatan, Hartree dan Hartree-Fock, di materi nuklir simetrik. Hartree Hartree-Fock Hasil Eksperimen Satuan E/A -16,17-16,59-16,3 31] MeV K ± 40 32] MeV E Symmetry ,5 ± 0,5 33] MeV Tabel 3.2: Model Point-Coupling pada kerapatan saturasi, 0,15 fm 3 34]. Tabel 3.2 menjelaskan hasil perhitungan yang dihasilkan oleh model dengan pendekatan Hartree dan Hartree-Fock dibandingkan dengan data eksperimen. Untuk energi ikat per nukleon dengan pendekatan Hartree diperoleh -16,17 MeV, dengan pendekatan Hartree-Fock -16,59 MeV. Hasil tersebut masih konsisten dengan data percobaan yakni -16,3 MeV. Untuk tekanan, baik dengan pendekatan Hartree dan Hartree-Fock dibandingkan dengan hasil percobaan masih konsisten, yakni nilainya mendekati nol pada kerapatan saturasi. Untuk kompresibilitas dengan pendekatan Hartee dan Hartree-Fock masih konsisten dengan hasil eksperimen, yakni dengan pendekatan Hartree 252 MeV, Hartree-Fock 248 MeV dan data eksperimen 234 MeV. Perhitungan simetri energi dengan pendekatan Hartree dan Hartree-Fock konsisten dibandingkan dengan hasil percobaan. Hasil yang diperoleh yakni untuk pendekatan Hartree 37,8 MeV, pendekatan Hartree-Fock 35,6 MeV dan 34 MeV untuk hasil eksperimen. Pada Gambar 3.7 menunjukkan kurva tekanan terhadap rasio kerapatan dengan memperhitungkan efek dari setiap suku exchange (seperti pada persamaan (2.45)). Penulis menghitung efek dari setiap suku tambahan yang ada pada persamaan (2.45). Kurva warna merah adalah model dengan pendekatan Hartree, sedangkan kurva lainnya adalah model dengan memperhitungkan suku exchange, dengan memeriksa pengaruh dari setiap suku. Untuk suku pertama, kurva warna hijau, terlihat perbedaan yang jelas dengan kurva warna merah (model standar). Ketika rasio kerapatan semakin membesar, kenaikan tekanan dari kontribusi suku tambahan yang pertama terlihat jelas, hingga kemudian bertemu pada nilai tekanan yang sama pada 45 MeV/fm 3. Untuk

37 26 Gambar 3.7: Tekanan terhadap rasio kerapatan pada materi netron dengan memperhitungkan kontribusi setiap suku tambahan. kontribusi suku tambahan yang kedua dan ketiga, warna biru dan kuning, terlihat berbeda dari model standar, maupun model dengan suku tambahan pertama. Namun kurva yang dihasilkan dari model dengan suku kedua dan ketiga saling berhimpitan (warna biru dan kuning). Hal tersebut dikarenakan nilai tekanan yang diperoleh dari suku tambahan kedua dan ketiga sama. Akan tetapi jika dibandingkan dengan model standar dan model dengan koreksi suku pertama, terlihat tekanan yang didapat berbeda. Gambar 3.8: Massa efektif terhadap rasio kerapatan pada materi netron dengan memperhitungkan setiap suku exchange pada massa efektif. Gambar 3.8 merupakan massa efektif terhadap rasio kerapatan untuk setiap suku tambahan pada massa efektif pada persamaan (2.45). Kurva warna merah adalah massa efektif model standar (pendekatan Hartree), sedangkan

38 27 kurva yang lain merupakan hasil yang diperoleh dengan memperhitungkan setiap suku tambahan (untuk setiap kopling konstan yang baru). Kurva warna hitam merupakan massa efektif dengan suku tambahan pertama. Terlihat kontribusi massa efektif dengan memperhitungkan koreksi suku pertama ( α T S ) sangat signifikan. Saat rasio kerapatan semakin membesar, massa efektif materi netron menurun. Massa efektif dengan memperhitungan suku pertama terlihat lebih kecil daripada model dengan pendekatan Hartree. Sedangkan untuk kontribusi suku kedua dan ketiga berhimpit dengan perhitungan pendekatan Hartree (warna merah). Hal tersebut diakibatkan karena kontribusi suku kedua dan ketiga sangat kecil sekali sehingga kurva keduanya berhimpit dengan kurva model standar.

39 Bab 4 Kesimpulan Dalam penelitian ini penulis mempelajari kontribusi suku exchange pada materi nuklir simetrik dan materi netron. Kontribusi dari suku tersebut diperiksa pada beberapa keadaan, antara lain energi ikat per nukleon pada materi nuklir simetrik dan materi netron, massa efektif nukleon, tekanan dan kompresibilitas. Setelah dilakukan perhitungan, kontribusi suku exchange terlihat pada beberapa keadaan. Namun pada keadaan yang lain, kontribusi suku tersebut terlihat sangat kecil, yakni pada massa efektif nukleon materi nuklir simetrik. Kontribusi yang terlihat dari suku tersebut antara lain pada energi ikat per nukleon di materi nuklir simetrik dan materi netron, massa efektif materi netron, energi ikat per nukleon pada densitas rendah dari materi netron. Dari gambar terlihat bahwa kontribusi suku exchange terlihat dalam beberapa kasus, namun juga tidak terlihat pada kasus yang lain. Kita bisa memperlajari kontribusi suku tersebut pada beberapa keadaan, baik di materi nuklir simetrik maupun materi netron. Kita juga bisa melihat kontribusi suku tersebut tidak selamanya kecil, pada keadaan tertentu kontribusinya terlihat cukup besar. Meskipun demikian, banyak hal yang masih bisa dipelajari lebih lanjut dari penelitian ini. Disini penulis belum memperhitungkan suku retardasi, yang memang diabaikan diawal sehingga tidak di perhitungkan pada Lagrangian sistem, kemudian munculnya suku γ 5 saat melakukan transformasi Fierz pada suku exchange, yang juga diabaikan kontribusinya pada penelitian ini. 28

40 Lampiran A Transformasi Lagrangian Lagrangian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut L = ψ i 2 /ψ m ψψ 1 2 α S( ψψ)( ψψ) 1 2 α V ( ψγ µ ψ)( ψγ µ ψ) 1 2 α T S( ψ τψ) ( ψ τψ) 1 2 α T V ( ψ τγ µ ψ)( ψ τγ µ ψ) 1 2 δ S µ ( ψψ) µ ( ψψ) 1 2 δ T V ν ( ψγ µ ψ) ν ( ψγ µ ψ) 1 2 δ T S µ ( ψ τψ) µ ( ψ τψ) 1 2 δ T V ν ( ψ τγ µ ψ) ν ( ψ τγ µ ψ). (A.1) Masalah yang akan kita hadapi apabila langsung mengkuantisasi Lagrangain tersebut ialah munculnya suku turunan terhadap waktu pada persamaan kerapatan Hamiltonian sistem. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut dilakukan transformasi pada Lagrangian (A.1), L L, dengan mensubstitusikan persamaan (2.6), dimana transformasi tersebut harus memenuhi relasi seperti pada persamaan (2.7). Untuk mempermudah perhitungan, kami melakukan proses transformasi untuk setiap suku dari sepuluh suku yang ada pada persamaan (A.1). Pertama kami melakukan transformasi pada suku pertama, ψ i 2 /ψ, yakni ψ ( i 2 /)ψ ψ iδ S 2 F ψγ 1 0 iδ V 2 F ψ 2 + iδ V 2 ψᾱ F 3 iδ T S 2 F 4ᾱ τγ 0 iδ T V 2 F 5ᾱ τ + iδ ] T V ψᾱ τ 2 F 6 ( i /) ψ + iδ S 2 2 F 1γ 0 ψ + iδ V 2 F 2ψ + iδ V 2 F 3 ᾱψ + iδ T S 2 F 4 τγ 0 ψ + iδ T V 2 F 5 τψ + iδ ] T V F 6 ᾱ τψ. (A.2) 2 29

41 30 Jika kita kalikan semua suku yang ada pada dalam kurung persamaan (A.2), aka diperoleh hasil sebagai berikut ψ ( i 2 /)ψ ψ( i δ S /)ψ 2 4 ψ /(F 1 γ 0 ψ) δ V 4 ψ /(F 2 ψ) δ V 4 ψ /( F 3 ᾱψ) δ T S 4 ψ /(F 4 τγ 0 ψ) δ T V 4 ψ /(F 5 τψ) δ T V 4 ψ /( F 6 ᾱ τψ) + δ S 4 (F 1 ψγ 0 ) /ψ + δ V 4 (F 2 ψ) /ψ δ V 4 ( ψᾱ F 3 ) /ψ + δ T S 4 (F 4 ψ τγ 0 ) /ψ + δ T V 4 (F 5 ψ τ) /ψ δ T V 4 ( ψᾱ τ F 6 ) /ψ. (A.3) Dengan menggunakan definisi A B = µ B A µ, (A.4) pada persamaan (A.3), maka transformasi pada persamaan (A.3) menjadi ψ ( i 2 /)ψ ψ( i 2 δ V /)ψ δ S 4 ψγ µ ( µ F 1 )γ 0 ψ δ S 4 ψγ µ F 1 γ 0 ( µ ψ) 4 ψγ µ ( µ F 2 )ψ δ V 4 ψγ µ F 2 ( µ ψ) + δ V 4 ( ψ µ )γ µ F 2 ψ δ V 4 ψγ µ ( F 3 ᾱ)( µ ψ) + δ V 4 ( ψ µ )γ µ ( F 3 ᾱ)ψ δ T S 4 ψγ µ F 4 τγ 0 ( µ ψ) + δ T S 4 ( ψ )γ µ (F 4 τγ 0 ψ) + δ S 4 ( ψ µ )γ µ F 1 γ 0 ψ δ V 4 ψγ µ ( µ F3 ᾱψ) δ T S 4 ψγ µ ( µ F 4 ) τγ 0 ψ δ T V 4 ψγ µ ( µ F 5 ) τψ δ T V 4 ψγ µ F 5 τ( µ ψ) + δ T V 4 ( ψ µ )γ µ (F 5 τψ) δ T V 4 ψγ µ ( F 6 ᾱ τ)( µ ψ) + δ T V 4 ( ψ µ )γ µ ( F 6 ᾱ τ)ψ δ T V 4 ψγ µ ( µ F6 ᾱ τψ) + δ S 4 (F ψγ 1 0 )γ µ ( µ ψ) δ S 4 F 1( ψ )γ 0 γ µ ψ δ S 4 ( µf 1 ) ψγ 0 γ µ ψ δ V 4 F 2( ψ µ )γ µ ψ δ V 4 ( µf 2 ) ψγ µ ψ

42 31 + δ V 4 ψ(ᾱ µ F3 )γ µ ψ + δ V 4 ( ψ µ )(ᾱ F 3 )γ µ ψ δ T S 4 F 4( ψ ) τγ 0 γ µ ψ δ T S 4 ( µf 4 ) ψ τγ 0 γ µ ψ δ T V 4 F 5( ψ ) τγ µ ψ δ T V 4 ( µf 5 ) ψ τγ µ ψ + δ T S 4 (F 4 ψ τγ 0 )γ µ ( µ ψ) + δ T V 4 (F 5 ψ τ)γ µ ( µ ψ) + δ T V 4 ψ(ᾱ τ µ F6 )γ µ ψ + δ T V 4 ( ψ µ )(ᾱ τ F 6 )γ µ ψ δ T V 4 ( ψᾱ τ F 6 )γ µ ( µ ψ) δ V 4 ( ψᾱ F 3 )γ µ ( µ ψ). (A.5) Suku yang mengandung konstanta kopling dengan bentuk δ 2 diabaikan dengan asumsi awal yakni, δ << 1, sehingga bentuk transformasi suku pertama menjadi ψ ( i 2 /)ψ ψ( i 2 /)ψ δ S 4 F 1 ψψ δ S 4 ( F 1 ψ γγ 0 ψ) δ V 4 F ψγ 2 0 ψ δ V 4 F ψ γ 2 ψ + δ V 4 F 2 ψγ0 ψ δ S 4 F ψ ψ 1 δ V 4 F 2 ψ γψ + δ V 4 F ψ 2 γψ δ V F 3 ( 4 ψγ 0 ᾱψ) δ V 4 F 3 ( ψ γᾱψ) δ V 4 F 3 ( ψγ 0 ᾱ ψ) + δ V 4 F 3 ( ψγ0 ᾱψ) + δ V 4 F 3 ( ψ γᾱψ) δ T S F 4 4 ψγ0 τγ 0 ψ δ S 4 F 1( ψ γγ 0 ψ) δ T S 4 F 4 ψ γ τγ 0 ψ δ V 4 F 3 ( ψ γᾱ ψ) + δ T V 4 F ψ 5 γ τψ + δ S 4 F ψψ δ V 1 F 4 2 ψγ0 ψ δ T S 4 F ψγ 4 0 τγ 0 ψ δ T S 4 F 4( ψ γ τγ 0 ψ) + δ T S 4 F ψγ0 τγ 4 0 ψ + δ T S 4 F ψ 4 γ τγ 0 ψ δ T V F 5 ψγ0 τψ δ T V 4 4 F 5 ψ γ τψ δ T V 4 F ψγ 5 0 τ ψ δ T V 4 F 5( ψ γ τ ψ) + δ T V 4 F ψγ0 τψ 5 δ T V F 6 ( 4 ψγ 0 ᾱ τψ) δ T V 4 F 6 ( ψ γᾱ τψ) δ T V 4 F 6 ( ψγ 0 ᾱ τ ψ) δ T V 4 F 6 ( ψ γᾱ τ ψ) + δ T V 4 F 6 ( ψγ0 ᾱ τψ) + δ T V 4 F 6 ( ψ γᾱ τψ) + δ S 4 F 1 ψ ψ + δ S 4 F 1( ψγ 0 γ ψ) δ S 4 F 1 ψψ δ S 4 F 1 ψ γ 0 γψ

43 32 δ S F 4 δ S 1 ψψ 4 F 1 ψγ 0 γψ + δ V 4 F ψγ 2 0 ψ + δ V 4 F ψ γ 2 ψ δ V 4 F 2 ψγ0 ψ δ V 4 F ψ 2 γψ δ V F 4 2 ψγ0 ψ δ V 4 F 2 ψ γψ δ V 4 F 3 ( ψᾱγ 0 ψ) δ V 4 F 3 ( ψᾱ γ ψ) + δ V F 3 ( 4 ψᾱγ 0 ψ) + δ V 4 F 3 ( ψᾱγ0 ψ) + δ V 4 F 3 ( ψᾱ γψ) + δ T S 4 F 4 ψ τγ 0 γ 0 ψ + δ T S 4 F ψ τγ 4 0 γ ψ + δ V 4 F 3 ( ψᾱ γψ) + δ S 4 F 1( ψ γγ 0 ψ) δ T S 4 F ψ τψ δ T S 4 4 F 4( ψ τγ 0 γψ) δ T S F 4 4 ( ψ τψ) + δ T V 4 F ψ τγ 5 0 ψ + δ T V 4 F ψ τ 5 γ ψ δ T V 4 F 5 ψ τγ0 ψ δ T S + δ T V 4 4 F 4 ψ τγ 0 γψ δ T V 4 F ψ 5 τ γψ + δ T V 4 F 6 ( ψᾱ τγ0 ψ) δ T V F 5 ψ τγ0 ψ δ T V 4 4 F 5 ψ τ γψ δ T V 4 F 6 ( ψᾱγ 0 τ ψ) F 6 ( ψᾱγ 0 τψ) + δ T V 4 F 6 ( ψᾱ τ γψ) + δ T V 4 F 6 ( ψᾱ τ γψ) δ T V 4 F 6 ( ψᾱ γ τ ψ). (A.6) Kita susun persamaan (A.6) sedemikian hingga transformasinya menjadi sebagai berikut ψ ( i 2 /)ψ ψ( i δ S /)ψ F ( ψψ) δ S 4 F 1 ψ( γγ 0 + γ 0 γ)ψ δ S 4 F ψ( γγ 1 0 γ 0 γ) ψ δ V F 2 2 ( ψγ 0 ψ) δ V 2 F 2 ψ γψ + δ V F 3 4 ψ(ᾱγ 0 γ 0 ᾱ)ψ δ V 4 F 3 ψ(γ 0 ᾱ + ᾱγ 0 ) ψ δ V 4 F 3 ψ( γᾱ + ᾱ γ) ψ + δ V 4 F 3 ψ(ᾱ γ γᾱ)ψψ + δ S 4 F ψ 1 ( γγ 0 γ 0 γ)ψ + δ V 4 F 3 ψ(γ0 ᾱ + ᾱγ 0 )ψ δ T S F 2 4 ( ψ τψ) δ T S 4 F 4( ψ τ γγ 0 ψ) + δ T S 4 F 4( ψ τγ 0 γ ψ) + δ T S 4 F 4( ψ γγ 0 τψ) δ T S 4 F 4( ψ γ 0 γ τψ) δ T V F 5 ( 2 ψγ 0 τψ) δ T V 2 F 5 ( ψ γ τψ) + δ T V F 6 4 ψ(ᾱγ 0 τ γ 0 ᾱ τ)ψ δ T V 4 F 6 ψ(γ 0 ᾱ τ + ᾱγ 0 τ) ψ + δ T V 4 F 6 ψ(γ0 ᾱ τ + ᾱγ 0 τ)ψ

44 33 + δ T V 4 F 6 ψ(ᾱ γ τ γᾱ τ)ψ + δ T V 4 F 6 ψ( γᾱ τ + ᾱ γ τ)ψ + δ V 4 F 3 ψ( γᾱ + ᾱ γ) δ T V 4 F 6 ψ( γᾱ τ + ᾱ γ τ) ψ. (A.7) Dengan menggunakan sifat matriks Dirac γγ 0 = γ 0 γ, ᾱ γ = γᾱ, (A.8) maka kita peroleh transformasi suku pertama yakni ψ ( i 2 /)ψ ψ( i 2 /)ψ + δ S 2 F 1 ψᾱ ψ ψ ᾱψ] + δ S 2 F 1 0 ( ψψ) + δ V 2 F 2 0 ( ψγ 0 ψ) + ( ψ γψ)] + δ T S 2 F 4 0 ( ψ τψ) + ( ψ τᾱ ψ ψ τᾱψ)] + δ V 2 F 3 0 ( ψ γψ) + i( ψσ ij γ 0 ψ ψσij γ 0 ψ)] + δ T V 2 F 5 0 ( ψγ 0 τψ) + ( ψ γ τψ)] + δ T V 2 F 6 0 ( ψ γ τψ) + i( ψσ ij γ 0 τ ψ ψσ ij γ 0 τψ)]. (A.9) Untuk transformasi suku berikutnya, penulis menggunakan asumsi δ 2 jauh lebih kecil dari 1. Transformasi suku kedua, m ψ ψ (dalam perhitungan notasi massa m tidak dituliskan), yakni ψ ψ ψ i δ S 2 F ψγ 1 0 i δ V 2 F ψ 2 + i δ V 2 ψᾱ F 3 i δ T S 2 F ψ τγ 4 0 i δ T V 2 F ψ τ 5 + i δ ] T V 2 ψᾱ τ F 6 ψ + i δ S 2 F 1γ 0 ψ + i δ V 2 F 2ψ + i δ V 2 F 3 ᾱψ + i δ T S 2 F 4 τγ 0 ψ + i δ T V 2 F 5 τψ + i δ ] T V 2 F 6 ᾱ τψ

45 34 ψ ψ ψψ + i δ S 2 F 1 ψγ 0 ψ + i δ V 2 F 2 ψψ + i δ V 2 F 3 ( ψᾱψ) + i δ T V 2 F 5( ψ τψ) + i δ T V 2 F 6 ( ψᾱ τψ) i δ S 2 F 1( ψγ 0 ψ) + i δ V 2 F 3 ( ψᾱψ) i δ T S 2 F 4( ψ τγ 0 ψ) i δ T V 2 F 5( ψ τψ) + i δ T S 2 F 4( ψ τγ 0 ψ) i δ V 2 F 2( ψψ) + i δ T V 2 F 6 ( ψᾱ τψ) ψψ + iδ V F3 ( ψᾱψ) + iδ T V F6 ( ψᾱ τψ). (A.10) Transformasi suku kedua, ( ψ ψ ) 2, bisa didapat dengan cara mengkuadratkan persamaan (A.10), yakni ( ψ ψ) 2 ( ψψ) 2 + 2iδ V F3 ( ψᾱψ)( ψψ) + 2iδ T V F6 ( ψᾱ τψ)( ψψ). (A.11) Untuk transformasi suku ketiga, ( ψ γ µ ψ ) 2, kami menguraikan bentuk tersebut sebagai berikut ( ψ γ µ ψ ) 2 = ( ψ γ µ ψ )( ψ γ µ ψ ) = ( ψ γ 0 ψ )( ψ γ 0 ψ ) ( ψ γ i ψ )( ψ γ i ψ ), (A.12) supaya lebih mudah dalam perhitungan. Untuk transformasi bentuk, ( ψ γ 0 ψ ), yakni ψ γ 0 ψ ψ i δ S 2 F ψγ 1 0 i δ V 2 F ψ 2 + i δ V 2 ψᾱ F 3 i δ T S 2 F ψ τγ 4 0 ] i δ T V 2 F 5 ψ τ + i δ T V 2 ψᾱ τ F 6 γ 0 ψ + i δ S 2 F 1γ 0 ψ + i δ V 2 F 2ψ + i δ V 2 F 3 ᾱψ + i δ T S 2 F 4 τγ 0 ψ + i δ T V 2 F 5 τψ + i δ ] T V 2 F 6 ᾱ τψ

46 35 ψ γ 0 ψ ψγ 0 ψ + i δ S 2 F 1 ψψ + i δ V 2 F 2 ψγ 0 ψ + i δ V 2 F 3 ψγ 0 ᾱψ + i δ T V 2 F 5 ψγ 0 τψ i δ S 2 F 1 ψψ i δ V 2 F 2 ψγ 0 ψ + i δ V 2 F 3 ( ψᾱγ 0 ψ) i δ T S 2 F 4 ψ τψ i δ T V 2 F 5 ψ τγ 0 ψ + i δ T S 2 F ψγ 4 0 τγ 0 ψ + i δ T V 2 F 6 ψγ 0 ᾱ τψ + i δ T V 2 F 6 ( ψᾱγ 0 τψ) ψγ 0 ψ. (A.13) Jika kita kuadratkan persamaan (A.13), didapat transformasi bentuk, ( ψ γ 0 ψ ) 2, yakni Untuk transformasi bentuk, ( ψ γ i ψ ), yakni ( ψ γ 0 ψ ) 2 ( ψγ 0 ψ) 2. (A.14) ψ γ i ψ ψ i δ S 2 F ψγ 1 0 i δ V 2 F ψ 2 + i δ V 2 ψᾱ F 3 i δ T S 2 F ψ τγ 4 0 ] i δ T V 2 F 5 ψ τ + i δ T V 2 ψᾱ τ F 6 γ i ψ + i δ S 2 F 1γ 0 ψ + i δ V 2 F 2ψ + i δ V 2 F 3 ᾱψ + i δ T S 2 F 4 τγ 0 ψ + i δ T V 2 F 5 τψ + i δ ] T V 2 F 6 ᾱ τψ. (A.15) Dengan mengalikan suku yang ada didalam kurung pada persamaan (A.15), maka didapat transformasi bentuk, ( ψ γ i ψ ), yakni ψ γ i ψ ψγ i ψ + i δ S 2 F 1 ψγ i γ 0 ψ + i δ V 2 F 2 ψγ i ψ + i δ V 2 F 3 ψγ i ᾱψ + i δ T S 2 F 4 ψγ i τγ 0 ψ + i δ T V 2 F 5 ψγ i τψ + i δ T V 2 F 6 ψγ i ᾱ τψ i δ V 2 F 2 ψγ i ψ + i δ V 2 F 3 ψᾱγ i ψ i δ T S 2 F 4 ψ τγ 0 γ i ψ + i δ T V 2 F 6 ψᾱ τγ i ψ i δ T V 2 F ψ τγ 5 i ψ i δ S 2 F ψγ 1 0 γ i ψ ψγ i ψ iδ S F 1 ψαi ψ + δ V F 3j ψσij γ 0 ψ iδ T S F 4 ψταi ψ + δ T V F 6j ψσij γ 0 τψ. (A.16)

KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN

KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN UNIVERSITAS INDONESIA KUANTISASI DIRAC PADA SISTEM KUANTUM TERKONSTRAIN SYAEFUDIN JAELANI 07066810 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK MEI 011 UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL

KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL KARAKTERISTIK SYMMETRIC NUCLEAR MATTER PADA TEMPERATUR NOL Annisa Fitri 1, Anto Sulaksono 2 1,2 Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424 1 annisa.fitri11@sci.ui.ac.id 2 anto.sulaksono@sci.ui.ac.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.4. Hipotesis 1. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki perbedaan mulai kisaran energi 0.3 sampai 1.0. 2. Model penampang hamburan Galster dan Miller memiliki kesamaan pada kisaran energi

Lebih terperinci

EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON

EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON DOI: doi.org/10.21009/0305020501 EFEK MESON σ PADA PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON Alrizal 1), A. Sulaksono 2) 1,2 Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 16424 1) alrizal91@gmail.com, 2) anto.sulaksono@sci.ui.ac.id

Lebih terperinci

PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) PROTON DRIPLINE PADA ISOTON N = 28 DALAM MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) J. P. Diningrum *), A. M. Nugraha, N. Liliani, A. Sulaksono Departemen Fisika Murni dan Terapan, FMIPA, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah informasi dan referensi mengenai interaksi nukleon-nukleon di dalam inti atom yang menggunakan potensial Yukawa. 2. Dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Telah banyak model fisika partikel yang dikembangkan oleh fisikawan untuk mencoba menjelaskan keberadaan partikel-partikel elementer serta interaksi yang menyertainya.

Lebih terperinci

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF)

FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) FENOMENA HALO BERDASARKAN MODEL RELATIVISTIC MEAN FIELD (RMF) A. M. Nugraha 1*), J. P. Diningrum 1 ), N. Liliani 1 ), T. Sumaryada 2 ), A. Sulaksono 1 ) 1 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

ENERGETIKA KESTABILAN INTI. Sulistyani, M.Si.

ENERGETIKA KESTABILAN INTI. Sulistyani, M.Si. ENERGETIKA KESTABILAN INTI Sulistyani, M.Si. Email: sulistyani@uny.ac.id PENDAHULUAN Apakah inti yang stabil itu? Apakah inti yang tidak stabil? Bagaimana menyatakan kestabilan U-238 berdasarkan reaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alam tersusun atas empat jenis komponen materi yakni padat, cair, gas, dan plasma. Setiap materi memiliki komponen terkecil yang disebut atom. Atom tersusun atas inti

Lebih terperinci

Sifat-sifat Bintang Neutron Berotasi Lambat

Sifat-sifat Bintang Neutron Berotasi Lambat Sifat-sifat Bintang Neutron Berotasi Lambat Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains dalam Ilmu Fisika Kasmudin 7617168 Program Magister Ilmu Fisika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s)

DAFTAR SIMBOL. : permeabilitas magnetik. : suseptibilitas magnetik. : kecepatan cahaya dalam ruang hampa (m/s) : kecepatan cahaya dalam medium (m/s) DAFTAR SIMBOL n κ α R μ m χ m c v F L q E B v F Ω ħ ω p K s k f α, β s-s V χ (0) : indeks bias : koefisien ekstinsi : koefisien absorpsi : reflektivitas : permeabilitas magnetik : suseptibilitas magnetik

Lebih terperinci

Superfluiditas pada Materi Nuklir

Superfluiditas pada Materi Nuklir Superfluiditas pada Materi Nuklir Skripsi Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains Yunita Umniyati 030002079Y Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini. Fisika Atom & Inti

Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini. Fisika Atom & Inti Fisika Umum (MA 301) Topik hari ini Fisika Atom & Inti 8/14/2007 Fisika Atom Model Awal Atom Model atom J.J. Thomson Bola bermuatan positif Muatan-muatan negatif (elektron)) yang sama banyak-nya menempel

Lebih terperinci

Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n

Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan!! n Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan n L dy Mascow Abdullah, Imam Fachruddin, Agus Salam 1. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Fisika, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akibat dari interaksi di antara penyusun inti tersebut. Penyusun inti meliputi

BAB I PENDAHULUAN. akibat dari interaksi di antara penyusun inti tersebut. Penyusun inti meliputi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem inti dapat dipelajari melalui kesatuan sistem penyusun inti sebagai akibat dari interaksi di antara penyusun inti tersebut. Penyusun inti meliputi proton

Lebih terperinci

BAB I INTI ATOM 1. STRUKTUR ATOM

BAB I INTI ATOM 1. STRUKTUR ATOM BAB I INTI ATOM 1. STRUKTUR ATOM Untuk mengetahui distribusi muatan positif dan negatif dalam atom, maka Rutherford melakukan eksperimen hamburan partikel alpha. Adapun eksperimen tersebut adalah sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Atom Pion Atom pion sama seperti atom hidrogen hanya elektron nya diganti menjadi sebuah pion negatif. Partikel ini telah diteliti sekitar empat puluh tahun yang lalu, tetapi

Lebih terperinci

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D

PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D PERSAMAAN SCHRÖDINGER TAK BERGANTUNG WAKTU DAN APLIKASINYA PADA SISTEM POTENSIAL 1 D Keadaan Stasioner Pada pembahasan sebelumnya mengenai fungsi gelombang, telah dijelaskan bahwa potensial dalam persamaan

Lebih terperinci

Pendahuluan Fisika Inti. Oleh: Lailatul Nuraini, S.Pd, M.Pd

Pendahuluan Fisika Inti. Oleh: Lailatul Nuraini, S.Pd, M.Pd Pendahuluan Fisika Inti Oleh: Lailatul Nuraini, S.Pd, M.Pd Biodata Email: lailatul.fkip@unej.ac.id No hp: 085 236 853 668 Terdapat 6 bab. Produk matakuliah berupa bahan ajar. Tugas mandiri 20%, tugas terstruktur

Lebih terperinci

Chap 7a Aplikasi Distribusi. Fermi Dirac (part-1)

Chap 7a Aplikasi Distribusi. Fermi Dirac (part-1) Chap 7a Aplikasi Distribusi Fermi Dirac (part-1) Teori Bintang Katai Putih Apakah bintang Katai Putih Bintang yg warnanya pudar/pucat krn hanya memancarkan sedikit cahaya krn supply hidrogennya sudah tinggal

Lebih terperinci

Chap 7. Gas Fermi Ideal

Chap 7. Gas Fermi Ideal Chap 7. Gas Fermi Ideal Gas Fermi pada Ground State Distribusi Fermi Dirac pada kondisi Ground State (T 0) memiliki perilaku: n p = e β ε p μ +1 1 ε p < μ 1 0 jika ε p > μ Hasil ini berarti: Seluruh level

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang W. Baade dan F. Zwicky pada tahun 1934 berpendapat bahwa bintang neutron terbentuk dari ledakan besar (supernova) dari bintang-bintang besar akibat tekanan yang dihasilkan

Lebih terperinci

VI. Teori Kinetika Gas

VI. Teori Kinetika Gas VI. Teori Kinetika Gas 6.1. Pendahuluan dan Asumsi Dasar Subyek termodinamika berkaitan dengan kesimpulan yang dapat ditarik dari hukum-hukum eksperimen tertentu, dan memanfaatkan kesimpulan ini untuk

Lebih terperinci

Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul

Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul Kimia Fisik III, Struktur Molekul:, Dr. Parsaoran Siahaan, November/Desember 2014, 1 Pokok Bahasan 3 Struktur Molekul:Teori Orbital Molekul Oleh: Dr. Parsaoran Siahaan Pendahuluan: motivasi/review pokok

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron PENDAHUUAN Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Gas elektron bebas yang mencakup: Elektron bebas dalam satu dimensi dan elektron bebas dalam tiga dimensi. Oleh karena itu, sebelum mempelajari modul

Lebih terperinci

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas Teori Relativitas Mirza Satriawan December 7, 2010 Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus Quiz 1 Tuliskan perumusan kelestarian jumlah partikel dengan memakai vektor-4 fluks jumlah partikel. 2 Tuliskan

Lebih terperinci

BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET. Hani Nurbiantoro Santosa, PhD.

BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET. Hani Nurbiantoro Santosa, PhD. BINOVATIF LISTRIK DAN MAGNET Hani Nurbiantoro Santosa, PhD hanisantosa@gmail.com 2 BAB 1 PENDAHULUAN Atom, Interaksi Fundamental, Syarat Matematika, Syarat Fisika, Muatan Listrik, Gaya Listrik, Pengertian

Lebih terperinci

Efek Relativistik Pada Hamburan K + n

Efek Relativistik Pada Hamburan K + n Efek Relativistik Pada Hamburan K + n Putu Adi Kusuma Yudha l, Dr. Agus Salam 2, Dr. Imam Fachruddin 3 1. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Fisika, Universitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur atom Struktur atom merupakan satuan dasar materi yang terdiri dari inti atom beserta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom mengandung campuran

Lebih terperinci

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR

BAB V PERAMBATAN GELOMBANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR A V PERAMATAN GELOMANG OPTIK PADA MEDIUM NONLINIER KERR 5.. Pendahuluan erkas (beam) optik yang merambat pada medium linier mempunyai kecenderungan untuk menyebar karena adanya efek difraksi; lihat Gambar

Lebih terperinci

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu:

KB.2 Fisika Molekul. Hal ini berarti bahwa rapat peluang untuk menemukan kedua konfigurasi tersebut di atas adalah sama, yaitu: KB.2 Fisika Molekul 2.1 Prinsip Pauli. Konsep fungsi gelombang-fungsi gelombang simetri dan antisimetri berlaku untuk sistem yang mengandung partikel-partikel identik. Ada perbedaan yang fundamental antara

Lebih terperinci

BAB 16. MEDAN LISTRIK

BAB 16. MEDAN LISTRIK DAFTAR ISI DAFTAR ISI... BAB 6. MEDAN LISTRIK... 6. Muatan Listrik... 6. Muatan Listrik dalam Atom... 6.3 Isolator dan Konduktor...3 6.4 Hukum Coulomb...3 6.5 Medan Listrik dan Kondusi Listrik...5 6.6

Lebih terperinci

Buku Ajar Fisika Inti MAP4217. Fisika Inti: Teori dan Penerapannya

Buku Ajar Fisika Inti MAP4217. Fisika Inti: Teori dan Penerapannya Buku Ajar Fisika Inti MAP4217 Fisika Inti: Teori dan Penerapannya Abdurrouf Fisika UB 2015 ii Prakata Fisika Inti (MAP4217) adalah salah satu mata kuliah wajib di Program Studi S1 Fisika UB dengan bobot

Lebih terperinci

Lembar Pengesahan JURNAL. Telaah Fundamental Weak Interaction dan Nambu-Goldstone. ( Suatu Penelitian Teori Berupa Studi Pustaka )

Lembar Pengesahan JURNAL. Telaah Fundamental Weak Interaction dan Nambu-Goldstone. ( Suatu Penelitian Teori Berupa Studi Pustaka ) Lembar Pengesahan JURNAL Telaah Fundamental Weak Interaction dan Nambu-Goldstone ( Suatu Penelitian Teori Berupa Studi Pustaka ) Oleh La Sabarudin 4 4 97 Telah diperiksa dan disetujui oleh TELAAH FUNDAMENTAL

Lebih terperinci

Perumusan Ensembel Mekanika Statistik Kuantum. Part-1

Perumusan Ensembel Mekanika Statistik Kuantum. Part-1 Perumusan Ensembel Mekanika Statistik Kuantum Part-1 Latar Belakang Untuk system yang distinguishable maka teori ensemble mekanika statistic klasik dapat dipergunakan. Tetapi bilamana system partikel bersifat

Lebih terperinci

CATATAN KULIAH ATOM, INTI DAN RADIOAKTIF. Diah Ayu Suci Kinasih Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016

CATATAN KULIAH ATOM, INTI DAN RADIOAKTIF. Diah Ayu Suci Kinasih Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016 CATATAN KULIAH ATOM, INTI DAN RADIOAKTIF Diah Ayu Suci Kinasih -24040115130099- Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016 FISIKA NUKLIR Atom, Inti dan Radioaktif 1. Pekembangan Teori Atom

Lebih terperinci

Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50

Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50 Jurnal Fisika Indonesia Tri Sulistyani dan Candra Dewi Vol. 19 2015) No. 57 p.76-81 ARTIKEL RISET Kaji Ulang Model Nilsson untuk Proton atau Neutron dengan Z, N 50 Eko Tri Sulistyani * dan Nilam Candra

Lebih terperinci

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam

Elektron Bebas. 1. Teori Drude Tentang Elektron Dalam Logam Elektron Bebas Beberapa teori tentang panas jenis zat padat yang telah dibahas dapat dengan baik menjelaskan sifat-sfat panas jenis zat padat yang tergolong non logam, akan tetapi untuk golongan logam

Lebih terperinci

: Dr. Budi Mulyanti, MSi. Pertemuan ke-16

: Dr. Budi Mulyanti, MSi. Pertemuan ke-16 MATA KULIAH KODE MK Dosen : FISIKA DASAR II : EL-122 : Dr. Budi Mulyanti, MSi Pertemuan ke-16 CAKUPAN MATERI 1. INTI ATOM 2. BILANGAN ATOM DAN BILANGAN MASSA 3. MASS DEFECT 4. RADIOAKTIVITAS 5. WAKTU PARUH

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII

SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII SOAL LATIHAN PEMBINAAN JARAK JAUH IPhO 2017 PEKAN VIII 1. Tumbukan dan peluruhan partikel relativistik Bagian A. Proton dan antiproton Sebuah antiproton dengan energi kinetik = 1,00 GeV menabrak proton

Lebih terperinci

KIMIA INTI DAN RADIOKIMIA. Stabilitas Nuklir dan Peluruhan Radioaktif

KIMIA INTI DAN RADIOKIMIA. Stabilitas Nuklir dan Peluruhan Radioaktif KIMIA INTI DAN RADIOKIMIA Stabilitas Nuklir dan Peluruhan Radioaktif Oleh : Arif Novan Fitria Dewi N. Wijo Kongko K. Y. S. Ruwanti Dewi C. N. 12030234001/KA12 12030234226/KA12 12030234018/KB12 12030234216/KB12

Lebih terperinci

BAB IV OSILATOR HARMONIS

BAB IV OSILATOR HARMONIS Tinjauan Secara Mekanika Klasik BAB IV OSILATOR HARMONIS Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. F () =

Lebih terperinci

ENERGI TOTAL KEADAAN DASAR ATOM BERILIUM DENGAN TEORI GANGGUAN

ENERGI TOTAL KEADAAN DASAR ATOM BERILIUM DENGAN TEORI GANGGUAN Jurnal Ilmu dan Inovasi Fisika Vol. 0, No. 02 (207) 28 33 Departemen Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran ENERGI TOTAL KEADAAN DASAR ATOM BERILIUM DENGAN TEORI GANGGUAN LIU KIN MEN *, SETIANTO, BAMBANG

Lebih terperinci

PELURUHAN RADIOAKTIF

PELURUHAN RADIOAKTIF PELURUHAN RADIOAKTIF Inti-inti yang tidak stabil akan meluruh (bertransformasi) menuju konfigurasi yang baru yang mantap (stabil). Dalam proses peluruhan akan terpancar sinar alfa, sinar beta, atau sinar

Lebih terperinci

2.7 Ensambel Makrokanonik

2.7 Ensambel Makrokanonik 22 BAB 2. TEORI ENSAMBEL 2.7 Ensambel Makrokanonik Dalam bagian ini kita akan menjabarkan rapat ruang fase untuk sistem terbuka, sistem yang berada dalam keadaan kesetimbangan termal dengan lingkungan

Lebih terperinci

Pendahuluan. Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan

Pendahuluan. Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan 1 Pendahuluan Tujuan perkuliahan Setelah mempelajari bab 1 ini, mahasiswa diharapkan 1. Mengetahui gambaran perkuliahan. Mengerti konsep dari satuan alamiah dan satuan-satuan dalam fisika partikel 1.1.

Lebih terperinci

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI

EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI EFEK PAIRING PADA ISOTOP Sn (N>82) DALAM TEORI BCS MENGGUNAKAN SEMBILAN TINGKAT ENERGI ALPI MAHISHA NUGRAHA alpi.mahisha@gmail.com Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI

PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI PARTIKEL DALAM SUATU KOTAK SATU DIMENSI Atom terdiri dari inti atom yang dikelilingi oleh elektron-elektron, di mana elektron valensinya bebas bergerak di antara pusat-pusat ion. Elektron valensi geraknya

Lebih terperinci

STRUKTUR ATOM. Perkembangan Teori Atom

STRUKTUR ATOM. Perkembangan Teori Atom STRUKTUR ATOM Perkembangan Teori Atom 400 SM filsuf Yunani Demokritus materi terdiri dari beragam jenis partikel kecil 400 SM dan memiliki sifat dari materi yang ditentukan sifat partikel tersebut Dalton

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2.

BAB II DASAR TEORI. A. Kemagnetan Bahan. Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet. seperti terlihat pada Gambar 2. BAB II DASAR TEORI A. Kemagnetan Bahan Secara garis besar, semua bahan dapat dikelompokkan ke dalam bahan magnet seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2: Diagram pengelompokan bahan magnet (Stancil &

Lebih terperinci

BAB I BESARAN DAN SISTEM SATUAN

BAB I BESARAN DAN SISTEM SATUAN 1.1. Pendahuluan BAB I BESARAN DAN SISTEM SATUAN Fisika berasal dari bahasa Yunani yang berarti Alam. Karena itu Fisika merupakan suatu ilmu pengetahuan dasar yang mempelajari gejala-gejala alam dan interaksinya

Lebih terperinci

Bab 2. Persamaan Einstein dan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann

Bab 2. Persamaan Einstein dan Ricci Flow. 2.1 Geometri Riemann Bab 2 Persamaan Einstein dan Ricci Flow 2.1 Geometri Riemann Sebuah himpunan M disebut sebagai manifold jika tiap titik Q dalam M memiliki lingkungan terbuka S yang dapat dipetakan 1-1 melalui sebuah pemetaan

Lebih terperinci

BAB II RADIASI PENGION

BAB II RADIASI PENGION BAB II RADIASI PENGION Salah satu bidang penting yang berhubungan dengan keselamatan radiasi pengukuran besaran fisis radiasi terhadap berbagai jenis radiasi dan sumber radiasi. Untuk itu perlu perlu pengetahuan

Lebih terperinci

JURNAL INFORMATIKA HAMZANWADI Vol. 2 No. 1, Mei 2017, hal. 20-27 ISSN: 2527-6069 SOLUSI PERSAMAAN DIRAC UNTUK POTENSIAL POSCH-TELLER TERMODIFIKASI DENGAN POTENSIAL TENSOR TIPE COULOMB PADA SPIN SIMETRI

Lebih terperinci

APLIKASI TEORI THOMAS-FERMI UNTUK MENENTUKAN PROFIL KERAPATAN DAN ENERGI ATOM HIDROGEN, ATOM LITIUM, DAN MOLEKUL!!

APLIKASI TEORI THOMAS-FERMI UNTUK MENENTUKAN PROFIL KERAPATAN DAN ENERGI ATOM HIDROGEN, ATOM LITIUM, DAN MOLEKUL!! APLIKASI TEORI THOMAS-FERMI UNTUK MENENTUKAN PROFIL KERAPATAN DAN ENERGI ATOM HIDROGEN, ATOM LITIUM, DAN MOLEKUL 1 Renny Anwariyati, Irfan Wan Nendra, Wipsar Sunu Brams Dwandaru Laboratorium Fisika Teori

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Teori Relativitas Umum Einstein BAB II DASAR TEORI Sebagaimana telah diketahui dalam kinematika relativistik, persamaanpersamaannya diturunkan dari dua postulat relativitas. Dua kerangka inersia yang bergerak relatif satu dengan yang

Lebih terperinci

EFEK SEBARAN BOSON INHOMOGEN PADA BINTANG BOSON

EFEK SEBARAN BOSON INHOMOGEN PADA BINTANG BOSON EFEK SEBARAN BOSON INHOMOGEN PADA BINTANG BOSON M. Fitrah Alfian R. S. *), Anto Sulaksono Departemen Fisika FMIPA UI, Kampus UI Depok, 1644 *) fitrahalfian@sci.ui.ac.id Abstrak Bintang boson statis dengan

Lebih terperinci

2.11 Penghitungan Observabel Sebagai Rerata Ensambel

2.11 Penghitungan Observabel Sebagai Rerata Ensambel 2.11. PENGHITUNGAN OBSERVABEL SEBAGAI RERATA ENSAMBEL33 2.11 Penghitungan Observabel Sebagai Rerata Ensambel Dalam pendahuluan ke teori ensambel, kita mengasumsikan bahwa semua observabel dapat dituliskan

Lebih terperinci

STRUKTUR INTI ATOM DAN BINDING ENERGY RIDA SNM

STRUKTUR INTI ATOM DAN BINDING ENERGY RIDA SNM STRUKTUR INTI ATOM DAN BINDING ENERGY RIDA SNM RIDA@UNY.AC.ID TUJUAN PERKULIAHAN Ø Mampu mendefinisikan konsep nomor massa, nomor atom dan isotop dan mengaplikasikannya Ø Mampu menghitung defek massa dan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSAMAAN SCHRODINGER TIGA DIMENSI UNTUK POTENSIAL NON-SENTRAL ECKART DAN MANNING- ROSEN MENGGUNAKAN METODE ITERASI ASIMTOTIK

PENYELESAIAN PERSAMAAN SCHRODINGER TIGA DIMENSI UNTUK POTENSIAL NON-SENTRAL ECKART DAN MANNING- ROSEN MENGGUNAKAN METODE ITERASI ASIMTOTIK PENYELESAIAN PERSAMAAN SCHRODINGER TIGA DIMENSI UNTUK POTENSIAL NON-SENTRAL ECKART DAN MANNING- ROSEN MENGGUNAKAN METODE ITERASI ASIMTOTIK Disusun oleh : Muhammad Nur Farizky M0212053 SKRIPSI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia

Prosiding Seminar Nasional Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia ANALISIS SIFAT-SIFAT PION DALAM REAKSI INTI DALAM TERAPI PION R. Yosi Aprian Sari Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY; ryosia@uny.ac.id, 081578010933 Abstrak Pion dapat dihasilkan dari interaksi proton

Lebih terperinci

= = =

= = = = + + + = + + + = + +.. + + + + + + + + = + + + + ( ) + ( ) + + = + + + = + = 1,2,, = + + + + = + + + =, + + = 1,, ; = 1,, =, + = 1,, ; = 1,, = 0 0 0 0 0 0 0...... 0 0 0, =, + + + = 0 0 0 0 0 0 0 0 0....

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Kristal Semikonduktor yang mencakup:

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Kristal Semikonduktor yang mencakup: PENDAHULUAN Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Kristal Semikonduktor yang mencakup: kristal semikonduktor intrinsik dan kristal semikonduktor ekstrinsik. Oleh karena itu, sebelum mempelajari modul

Lebih terperinci

Partikel Elementer dan Interaksi Alamiah

Partikel Elementer dan Interaksi Alamiah Partikel Elementer dan Interaksi Alamiah By. Agus Mulyono Atom adalah partikel kecil dengan ukuran jari-jari 1 Amstrong. Atom bukanlah partikel elementer. John Dalton (1766-1844) pada tahun 1803 memberikan

Lebih terperinci

Chap. 8 Gas Bose Ideal

Chap. 8 Gas Bose Ideal Chap. 8 Gas Bose Ideal Model: Gas Foton Foton adalah Boson yg tunduk kepada distribusi BE. Model: Foton memiliki frekuensi ω, rest mass=0, spin 1ħ Energi E=ħω dan potensial kimia =0 Momentum p = ħ k, dengan

Lebih terperinci

Penentuan Polarisasi Spin Λ 0 pada Peluruhan Λ 0 p + π

Penentuan Polarisasi Spin Λ 0 pada Peluruhan Λ 0 p + π Penentuan Polarisasi Spin Λ 0 pada Peluruhan Λ 0 p + π JA Simanullang 039900454 Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Fisika Depok Penentuan Polarisasi Spin Λ 0 pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Medan Bila bicara tentang partikel-partikel, maka akan selalu terkait dengan apa yang disebut dengan medan. Medan adalah sesuatu yang muncul merambah ruang waktu, tidak

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga

MATERI PERKULIAHAN. Gambar 1. Potensial tangga MATERI PERKULIAHAN 3. Potensial Tangga Tinjau suatu partikel bermassa m, bergerak dari kiri ke kanan pada suatu daerah dengan potensial berbentuk tangga, seperti pada Gambar 1. Pada daerah < potensialnya

Lebih terperinci

BAB II PROSES-PROSES PELURUHAN RADIOAKTIF

BAB II PROSES-PROSES PELURUHAN RADIOAKTIF BAB II PROSES-PROSES PELURUHAN RADIOAKTIF 1. PROSES PROSES PELURUHAN RADIASI ALPHA Nuklida yang tidak stabil (kelebihan proton atau neutron) dapat memancarkan nukleon untuk mengurangi energinya dengan

Lebih terperinci

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase Bab 2 Teori Ensambel 2. Rapat Ruang Fase Dalam bagian sebelumnya, kita telah menghitung sifat makroskopis dari suatu sistem terisolasi dengan nilai E, V dan N tertentu. Sekarang kita akan membangun suatu

Lebih terperinci

PELATIHAN OSN JAKARTA 2016 LISTRIK MAGNET (BAGIAN 1)

PELATIHAN OSN JAKARTA 2016 LISTRIK MAGNET (BAGIAN 1) PLATIHAN OSN JAKATA 2016 LISTIK MAGNT (AGIAN 1) 1. Partikel deuterium (1 proton, 1 neutron) dan partikel alpha (2 proton, 2 neutron) saling mendekat dari jarak yang sangat jauh dengan energi kinetik masing-masing

Lebih terperinci

KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC)

KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC) KAJIAN BAURAN NEUTRINO TRI-BIMAKSIMAL- CABIBBO (TBC) Muhammad Taufiqi Dosen Pembimbing Agus Purwanto, D.Sc JURUSAN FISIKA Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

REAKSI NUKLIR NANIK DWI NURHAYATI,S.SI, M.SI

REAKSI NUKLIR NANIK DWI NURHAYATI,S.SI, M.SI REAKSI NUKLIR NANIK DWI NURHAYATI,S.SI, M.SI nanikdn.staff.uns.ac.id nanikdn.staff.fkip.uns.ac.id 081556431053 / (0271) 821585 REAKSI INTI Reaksi Inti adalah proses perubahan yang terjadi dalam inti atom

Lebih terperinci

2. Deskripsi Statistik Sistem Partikel

2. Deskripsi Statistik Sistem Partikel . Deskripsi Statistik Sistem Partikel Formulasi statistik Interaksi antara sistem makroskopis.1. Formulasi Statistik Dalam menganalisis suatu sistem, kombinasikan: ide tentang statistik pengetahuan hukum-hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, teori dan observasi mengenai benda-benda langit seperti bintang, planet, galaksi serta benda

Lebih terperinci

Nama Anggota Kelompok: 1. Ahmad Samsudin 2. Aisyah Nur Rohmah 3. Dudi Abdu Rasyid 4. Ginanjar 5. Intan Dwi 6. Ricky

Nama Anggota Kelompok: 1. Ahmad Samsudin 2. Aisyah Nur Rohmah 3. Dudi Abdu Rasyid 4. Ginanjar 5. Intan Dwi 6. Ricky Nama Anggota Kelompok: 1. Ahmad Samsudin 2. Aisyah Nur Rohmah 3. Dudi Abdu Rasyid 4. Ginanjar 5. Intan Dwi 6. Ricky A. Aplikasi Statistik Bose-Einstein 1.1. Kondensasi Bose-Einstein Gambar 1.1 Salah satu

Lebih terperinci

16 Mei 2017 Waktu: 120 menit

16 Mei 2017 Waktu: 120 menit OLIMPIADE NASIONAL MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PERGURUAN TINGGI 2017 (ONMIPA-PT) Tingkat Nasional Bidang Fisika: FISIKA MODERN & MEKANIKA KUANTUM (Tes 4) 16 Mei 2017 Waktu: 120 menit Petunjuk

Lebih terperinci

6. Mekanika Lagrange. as 2201 mekanika benda langit

6. Mekanika Lagrange. as 2201 mekanika benda langit 6. Mekanika Lagrange as 2201 mekanika benda langit 6.1 Pendahuluan Bab ini menjelaskan tentang reformulasi mekanika Newtonian yang dipelopori oleh ilmuwan asal Perancis-Italia Joseph Louis Lagrange. Khususnya,

Lebih terperinci

Analisis Kestabilan Linear dan Simulasi

Analisis Kestabilan Linear dan Simulasi Bab 4 Analisis Kestabilan Linear dan Simulasi Pada Bab ini kita akan membahas mengenai ketidakstabilan dari lapisan kondensat. Analisis kestabilan linier kita gunakan untuk melihat kondisi serta parameterparameter

Lebih terperinci

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN

Getaran Dalam Zat Padat BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Getaran atom dalam zat padat dapat disebabkan oleh gelombang yang merambat pada Kristal. Ditinjau dari panjang gelombang yang digelombang yang digunakan dan dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena optik dapat mendeskripsikan sifat medium dalam interaksinya dengan gelombang elekromagnetik. Hal tersebut ditentukan oleh beberapa parameter optik, yaitu indeks

Lebih terperinci

Bab 2. Magnetohidrodinamika. 2.1 Persamaan Gerak Plasma

Bab 2. Magnetohidrodinamika. 2.1 Persamaan Gerak Plasma Bab 2 Magnetohidrodinamika Pada bab ini akan dibahas secara umum persamaan gerak dari plasma yang dinyatakan oleh persamaan momen dan secara singkat tentang quark dan plasma quark-gluon. 2.1 Persamaan

Lebih terperinci

Analisis Dimensi 1. Oleh : Abdurrouf Tujuan. 0.2 Ringkasan

Analisis Dimensi 1. Oleh : Abdurrouf Tujuan. 0.2 Ringkasan Analisis Dimensi 1 Oleh : Abdurrouf 2 0.1 Tujuan Setelah mempelajari topik ini, diharapkan peserta dapat memahami pengertian dimensi, mengenal dimensi besaran pokok, dapat menurunkan dimensi besaran satuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Fisika partikel dibangun dari mekanika kuantum relativistik yang kemudian dikembangkan menjadi teori medan kuantum (Quantum Field Theory) disertai

Lebih terperinci

4 Metoda untuk sistem atom banyak dan penerapannya

4 Metoda untuk sistem atom banyak dan penerapannya 4 Metoda untuk sistem atom banyak dan penerapannya Jika atom adalah sebuah bola yang padat, mereka tidak dapat berikatan satu dengan yang lainnya. tom yang sebenarnya dapat membuat ikatan kimia dan mereka

Lebih terperinci

3. Termodinamika Statistik

3. Termodinamika Statistik 3. Termodinamika Statistik Pada bagian ini akan dibahas pemanfaatan postulat statistik yang berdasarkan sistem dalam keadaan keseimbangan untuk menjelaskan besaran makroskopis. Disiplin ini disebut Mekanika

Lebih terperinci

Momen Inersia. distribusinya. momen inersia. (karena. pengaruh. pengaruh torsi)

Momen Inersia. distribusinya. momen inersia. (karena. pengaruh. pengaruh torsi) Gerak Rotasi Momen Inersia Terdapat perbedaan yang penting antara masa inersia dan momen inersia Massa inersia adalah ukuran kemalasan suatu benda untuk mengubah keadaan gerak translasi nya (karena pengaruh

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS FAKTOR. berfungsi untuk mereduksi dimensi data dengan cara menyatakan variabel asal

BAB III ANALISIS FAKTOR. berfungsi untuk mereduksi dimensi data dengan cara menyatakan variabel asal BAB III ANALISIS FAKTOR 3.1 Definisi Analisis faktor Analisis faktor adalah suatu teknik analisis statistika multivariat yang berfungsi untuk mereduksi dimensi data dengan cara menyatakan variabel asal

Lebih terperinci

Dinamika Magnetofluida Abelian dan non-abelian dengan Lagrangian Gauge

Dinamika Magnetofluida Abelian dan non-abelian dengan Lagrangian Gauge Dinamika Magnetofluida Abelian dan non-abelian dengan Lagrangian Gauge Tugas Akhir Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains Andrias Fajarudin 0304027021 Departemen Fisika Fakultas

Lebih terperinci

Persamaan Poisson. Fisika Komputasi. Irwan Ary Dharmawan

Persamaan Poisson. Fisika Komputasi. Irwan Ary Dharmawan (Pendahuluan) 1D untuk syarat batas Robin 2D dengan syarat batas Dirichlet Fisika Komputasi Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran http://phys.unpad.ac.id/jurusan/staff/dharmawan email : dharmawan@phys.unpad.ac.id

Lebih terperinci

PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN

PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN PENDAHULUAN RADIOAKTIVITAS TUJUAN Maksud dan tujuan kuliah ini adalah memberikan dasar-dasar dari fenomena radiaktivitas serta sumber radioaktif Diharapkan agar dengan pengetahuan dasar ini kita akan mempunyai

Lebih terperinci

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase Bab 2 Teori Ensambel 2.1 Rapat Ruang Fase Dalam bagian sebelumnya, kita telah menghitung sifat makroskopis dari suatu sistem terisolasi dengan nilai E, V dan N tertentu. Sekarang kita akan membangun suatu

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT INTI. PERTEMUAN KEEMPt

SIFAT-SIFAT INTI. PERTEMUAN KEEMPt SIFAT-SIFAT INTI PERTEMUAN KEEMPt Sifat-sifat inti atom Tidak Bergantung pada waktu: Muatan inti (electric charge) Massa inti (mass) Jari-jari (radius) Momentum sudut (angular momentum) Momen magnetik

Lebih terperinci

ENERGI TOTAL KEADAAN EKSITASI ATOM LITIUM DENGAN METODE VARIASI

ENERGI TOTAL KEADAAN EKSITASI ATOM LITIUM DENGAN METODE VARIASI Jurnal Ilmu dan Inovasi Fisika Vol 01, No 01 (2017) 6 10 Departemen Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran ENERGI TOTAL KEADAAN EKSITASI ATOM LITIUM DENGAN METODE VARIASI LIU KIN MEN* DAN SETIANTO Departemen

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensial Coulomb untuk Partikel yang Bergerak Dalam bab ini, akan dikemukakan teori-teori yang mendukung penyelesaian pembahasan pengaruh koreksi relativistik potensial Coulomb

Lebih terperinci

Jumlah Proton = Z Jumlah Neutron = A Z Jumlah elektron = Z ( untuk atom netral)

Jumlah Proton = Z Jumlah Neutron = A Z Jumlah elektron = Z ( untuk atom netral) FISIKA INTI A. INTI ATOM Inti Atom = Nukleon Inti Atom terdiri dari Proton dan Neutron Lambang Unsur X X = nama unsur Z = nomor atom (menunjukkan banyaknya proton dalam inti) A = nomor massa ( menunjukkan

Lebih terperinci

BAB III. KECEPATAN GRUP DAN RAPAT KEADAAN BAB IV. SUHU KRITIS...52 BAB VI. DAFTAR PUSTAKA...61

BAB III. KECEPATAN GRUP DAN RAPAT KEADAAN BAB IV. SUHU KRITIS...52 BAB VI. DAFTAR PUSTAKA...61 DAFTAR ISI HALAMAN PERNYATAAN...i HALAMAN PERSEMBAHAN...ii PRAKATA...iii DAFTAR ISI...v DAFTAR GAMBAR...vii DAFTAR SINGKATAN...xi DAFTAR LAMBANG...xii INTISARI...xiv ABSTRACT...xv BABI. PENDAHULUAN...16

Lebih terperinci

TEORI PERKEMBANGAN ATOM

TEORI PERKEMBANGAN ATOM TEORI PERKEMBANGAN ATOM A. Teori atom Dalton Teori atom dalton ini didasarkan pada 2 hukum, yaitu : hukum kekekalan massa (hukum Lavoisier), massa total zat-zat sebelum reaksi akan selalu sama dengan massa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN

UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN UNIVERSITAS INDONESIA LINTASAN BEBAS RATA-RATA NEUTRINO DI BINTANG QUARK SKRIPSI SAIPUDIN 0706262741 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK NOPEMBER 2012 UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci