BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Sekolah Menengah Atas Bina Bangsa Sejahtera Sekolah Menengah Atas Bina Bangsa Sejahtera (SMA BBS) terletak di jalan Raya Darmaga Km. 7 Kelurahan Marga Jaya, Bogor Barat. SMA Swasta di bawah Dinas Pendidikan ini berdiri tahun SMA BBS menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan penambahan materi Al-Qur an dan Hadits dengan sistem responsi serta penggalian Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL). Pendekatan belajar yang digunakan adalah pendekatan active learning dengan kegiatan pembelajaran berupa contextual teaching and learning, stadium general, audio-video presentation serta praktek dan studi lapang. Selain itu, siswa SMA BBS diwajibkan melaksanakan beberapa kegiatan kerohanian selama KBM, antara lain shalat dhuha, tadarus, kajian tafsir, pembacaan asmaul husna, shalat dzuhur berjama ah dan shalat jumat bagi siswa laki-laki. Beberapa prestasi yang telah diraih SMA BBS selama dua tahun terakhir antara lain: 1. Juara Musikalisasi Puisi Se-Jabodetabek. 2. Juara Futsal, baik Tingkat Kota dan Provinsi serta menjuarai peringkat II tingkat Nasional. 3. Finalis berturut lomba Penelitian Bahaya Narkoba. 4. Juara II Baca Berita. 5. Juara III Olimpiade Marketing Se-Jawa Barat, DKI dan Banten. 6. Juara III Festival Akustik Se-Jawa Barat, DKI dan Banten. 7. Juara I Liga Pendidikan Indonesia Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bogor Pada awalnya SMA Negeri 2 Bogor didirikan dengan nama SMA Negeri Bogor dan hanya satu-satunya Sekolah Menengah Atas di Bogor dengan menempati lokasi di Jalan Ir. Djuanda 16 Bogor. Sekolah ini memiliki tiga jurusan yaitu: "Paket A" (jurusan Ilmu Bahasa), "Paket B" (jurusan Ilmu Pasti dan

2 37 Alam), dan "Paket C" (jurusan Ilmu Sosial). Sejak Bulan Agustus 1958, SMA Negeri Bogor dipecah menjadi dua sekolah yaitu: 1. SMA Negeri 1 Bogor di bawah kepemimpinan Bapak Khusaeri sebagai Kepala Sekolahnya, dengan spesialis "Paket A"(jurusan ilmu bahasa) dan "Paket C" (jurusan ilmu sosial). 2. SMA Negeri 2 Bogor di bawah kepemimpinan Bapak R. Yatmo sebagai Kepala Sekolahnya, dengan spesialis "Paket B" (ilmu pasti alam). Lokasi SMA Negeri 1 Bogor dan SMA Negeri 2 Bogor sama-sama di Jalan Ir. Djuanda No.16 Bogor (sekarang SMA Negeri 1 Bogor) dengan waktu belajar bergantian antara ke dua SMA Negeri tersebut tiga hari pagi dan tiga hari siang. Akibat terjadinya perubahan kurikulum 1968, menyebabkan SMA Negeri 1 Bogor dan SMA Negeri 2 Bogor harus memiliki semua jurusan, sehingga SMA Negeri 2 Bogor lokasi belajarnya di beberapa tempat (karena tidak cukup menempati satu lokasi) yaitu di Paledang (sekarang SMP Negeri 7 Bogor), Jalan Pakuan (sekarang SMA Negeri 3 Bogor), Jalan Ciremai Ujung (sekarang SMP Negeri 3 Bogor). Pada masa kepemimpinan Bapak Duyeh Effendi, BA. lokasi SMA Negeri 2 dipindahkan ke sebuah gedung tua kosong peninggalan sekolah China bernama Chen Chung di Jalan Mantarena no. 9. Akhir masa pimpinan Kepala Sekolah Bapak Yusuf selesai pembuatan gedung baru di Jalan Keranji Ujung no.1 Budi Agung Bogor, namun kepindahan penuh ke Budi Agung dilakukan pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H. Zainal Abidin sehingga SMA Negeri 2 Bogor memiliki dua lokasi yaitu di Jalan Mantarena No. 9 untuk kegiatan pembelajaran kelas XII dan Jalan Keranji Ujung No. 1 Budi Agung untuk semua urusan kegiatan administrasi sekolah dan kegiatan pembelajaran kelas X dan kelas XI. Sampai sekarang tempat belajar SMA Negeri 2 Bogor masih menempati dua lokasi yaitu Jalan Mantarena no. 9 dan Jalan Keranji Ujung No. 1 Budi Agung Bogor. SMA Negeri 2 Bogor melaksanakan program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (RSBI). SMA Negeri 2 Bogor menambah masing-masing dua jam pelajaran pada mata pelajaran Fisika, Biologi, Kimia dan Ekonomi serta menambah 1 jam pelajaran mata pelajaran Geografi. Mulai tahun pelajaran 2009/2010, SMA Negeri 2 Bogor melakukan uji coba proses pembelajaran dengan

3 38 sistem Moving Class. Apabila sistim ini lebih efektif maka sistem ini akan dilanjutkan, apabila kurang efektif maka sistem ini akan ditinjau kembali Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bogor Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 terletak di jalan Pakuan No. 4, Bogor. SMA Negeri 3 merupakan salah satu dari tiga SMA yang menerapkan program RSBI pada tahun pelajaran 2010/2011. Visi SMA Negeri 3 adalah menjadi yang terbaik di Jawa Barat pada tahun 2013 dan mampu berkompetisi di dunia internasional. Misi SMA Negeri 3 adalah membentuk manusia Indonesia menjadi warga negara yang baik dan mampu bersaing di forum internasional. Proses belajar mengajar yang digunakan oleh SMA Negeri 3 adalah dengan pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menarik (PAIKEM) baik bagi siswa maupun guru. Proses pembelajaran menggunakan dwibahasa (bilingual) untuk semua mata pelajaran kecuali bahasa Indonesia. Khusus pada mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris didampingi oleh dua orang guru (team teaching) yang ahli di bidangnya. Sumber belajar yang digunakan bervariasi, antara lain: literatur, jurnal, media pembelajaran, internet, interaktif dan software pembelajaran. Untuk mengembangkan pengalaman belajar, siswa diberi kesempatan untuk mengalami secara langsung melalui studi lapang dan kegiatan studi wisata yang sejalan dengan tujuan pembelajaran, diantaranya kunjungan ke IPB, ITB, pabrik, pusat kesenian Sunda dan lain-lain. SMA Negeri 3 menyediakan kelas remedial teaching bagi siswa yang membutuhkan dan kelas akselerasi bagi siswa yang mempunyai nilai raport SMP semester satu sampai lima minimal 80 dan IQ lebih besar dari Gambaran Umum Sekolah Menengah Atas Budi Mulia Sekolah Menengah Atas Budi Mulia (SMA Budi Mulia) terletak di jalan Kapten Muslihat No. 22, Paledang, Bogor Tengah, Jawa Barat. Letak SMA Budi Mulia berdekatan dengan sekolah setingkat lainnya yaitu SMA Regina Pacis dan SMA Negeri 1 Bogor, yaitu sekitar 0,5 kilometer. SMA Budi Mulia diselenggarakan oleh Yayasan Budi Mulia di jalan Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Jakarta Pusat. SMA Budi Mulia merupakan sekolah Swasta di bawah

4 39 Dinas Pendidikan. SMA yang dibuka pada tahun 1988 ini mempunyai status disamakan dengan akreditasi A. Proses pembelajaran SMA Budi Mulia berbasis lingkungan hidup Green School dan bernuansa keagamaan. SMA Budi Mulia merupakan sekolah dengan berbudaya disiplin. Beberapa prestasi yang pernah diraih antara lain: 1. Juara 1 Lomba Desain Nasional. 2. Juara 1 Lomba Cheer Leaders Jabodetabek. 3. Juara 1 Lomba Modern Dance Jabodetabek. 4. Juara 1 Lomba Paduan Suara Se-Bogor. 5. Juara 1 Lomba Cheer Leaders Se-Bogor. 6. Juara 1 Festival Band Kota Bogor 7. Juara 1 dan Juara 2 Lomba Nyanyi Solo Se-Bogor. 8. Juara 1 dan Juara 3 Lomba Akuntasi Kota Bogor. 9. Juara 1 dan Juara 3 Bola Basket Putra Se-Bogor. 10. Juara 2 Leader Challenge Jabodetabek 11. Juara 2 Speech Contest Kota Bogor. 12. Juara 2 Lomba Pidato Se-Kota Bogor. 13. Juara 2 Lomba Modern Dance Kota Bogor. 14. Juara 3 Graphic Design Competition Se-Jabodetabek. 15. Juara 3 Lomba Biologi Kota Bogor. 16. Juara 3 Lomba Bahasa Inggris Kota Bogor. 17. Juara 3 Lomba Akustik Seni Sunda Kota Bogor. 18. Juara 3 Bola Basket Putri Se-Bogor. 4.2 Karakteristik Individu Karakteristik individu adalah identitas yang dimiliki individu dan berbeda satu sama lain. Responden dalam penelitian ini adalah siswa kelas X dan kelas XI di SMA Bina Bangsa Sejahtera, SMA Negeri 2 Bogor, SMA Negeri 3 Bogor dan SMA Budi Mulia. Total seluruh responden adalah 96 siswa. Dalam penelitian ini, karakteristik individu terdiri dari jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi. Sebaran responden menurut karakteristik individu tersaji dalam Tabel 2.

5 40 Tabel 2. Distribusi responden menurut karakteristik individu SMA Negeri SMA Swasta Total Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah (orang) (%) (orang) (%) (orang) Karakteristik Individu Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-Laki 17 31, , ,20 Perempuan 38 69, , ,80 Tingkat Pendidikan Kelas X 26 47, , ,00 Kelas XI 29 52, , ,00 Tingkat Prestasi Rendah 18 32, , ,40 Sedang 22 40, , ,60 Tinggi 15 27, , ,00 Tingkat Ekonomi Rendah 24 43, , ,30 Sedang 15 27, , ,50 Tinggi 16 29, , , Jenis Kelamin Hasil penelitian terhadap jenis kelamin ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu laki-laki dan perempuan. Dari Tabel 2 terlihat bahwa di SMA Negeri responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 31,00% sedangkan jenis kelamin perempuan 69,00%. Jumlah responden laki-laki di SMA Swasta sebanyak 29,30% dan 70,70% untuk responden perempuan. Jumlah responden perempuan lebih banyak dua kali lipat daripada jumlah responden laki-laki. Perbedaan jumlah ini dipengaruhi oleh jumlah siswa laki-laki dan perempuan di masing-masing SMA, yaitu jumlah siswa perempuan lebih banyak daripada jumlah siswa laki-laki. Selain itu, siswa perempuan lebih terbuka dibandingkan siswa laki-laki. Hal ini terlihat pada ketersediaan siswa dalam mengisi kuesioner saat penelitian dilakukan Tingkat Pendidikan Dalam penelitian ini, pendidikan adalah jenjang kelas di sekolah formal responden saat penelitian dilaksanakan yang dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kelas X dan kelas XI (kelas I dan II SMA). Pada Tabel 2 terlihat bahwa jumlah responden kelas X dan kelas XI adalah sama, yaitu 49% siswa kelas X dan 51% siswa kelas XI. Demikian pula untuk jumlah siswa kelas X dan kelas XI, baik SMA Negeri maupun Swasta. Jumlah siswa kelas X dan kelas XI yaitu 47,30% dan 52,70% untuk SMA Negeri serta 51,30% dan 48,70% untuk SMA

6 41 Swasta. Hal ini dikarenakan pengambilan jumlah responden untuk masing-masing kelas dilakukan secara proporsional yaitu sebanyak lima persen Tingkat Prestasi Tingkat prestasi dalam penelitian ini adalah kejuaraan yang pernah diraih oleh responden, baik akademik maupun non-akademik, sejak masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Penentuan masa kejuaraan, yaitu sejak SMP hingga SMA, ditentukan secara sengaja karena masa remaja dimulai sejak masa SMP (yaitu remaja awal) kemudian SMA (yaitu remaja tengah). Sebaran data responden berdasarkan tingkat prestasi didapatkan dengan membagi data yang diperoleh ke dalam tiga kelas yaitu tinggi, sedang dan rendah (Tabel 2). Tabel 2 memperlihatkan bahwa paling banyak responden dari SMA Negeri, yaitu sebanyak 40,40%, mencapai tingkat sedang. Begitu juga dengan responden terbanyak di SMA Swasta yaitu sebanyak 41,50% memiliki tingkat prestasi yang sedang pula. Baik responden dari SMA Swasta maupun Negeri, sebagian besar mendapat kejuaraan sejak SMP sebanyak satu sampai dua kejuaraan. Persentase jumlah responden dari SMA Negeri yang mencapai tingkat prestasi tinggi lebih banyak daripada responden dari SMA Swasta. Prestasi yang paling banyak diraih oleh responden dari SMA Negeri adalah enam kejuaraan, sedangkan untuk SMA Swasta hanya empat. Penelitian ini membagi jenis prestasi menjadi dua jenis, yaitu prestasi akademik dan non-akademik. Berdasarkan hasil penelitian, prestasi yang paling banyak diraih oleh responden adalah prestasi akademik, baik dari SMA Negeri maupun Swasta. Prestasi akademik yang paling banyak diraih oleh responden dari SMA Negeri antara lain juara kelas I (19,80%), II (19,80%) dan III (15,63%), sedangkan prestasi non-akademiknya adalah di bidang seni (10,42%) dan ekstrakurikuler (9,38%) yaitu Palang Merah Remaja (PMR) dan paskibra. Prestasi akademik yang paling banyak diraih oleh responden dari SMA Swasta adalah juara kelas III (19,61%) dan sains (4%) sedangkan prestasi non-akademiknya adalah di bidang olahraga (13,73%) dan ekstrakurikuler (17,65%) yaitu paskibra. Secara keseluruhan SMA, prestasi yang paling banyak diraih adalah prestasi akademik yang diraihnya di kelas, yaitu juara I (15%), juara II (17,01%) dan juara III (17,01%). Prestasi non-akademik yang paling banyak diraih keseluruhan SMA

7 42 di bidang non-akademik yaitu di bidang ekstrakurikuler (11,57%), seni (10,21%) dan olahraga (7,50%) Tingkat Ekonomi Tingkat ekonomi dalam penelitian ini diukur dengan pendekatan pendapatan dan pengeluaran. Pendapatan yaitu sejumlah uang yang diterima responden selama satu bulan yang berasal dari orang tua, bekerja sendiri, dan sumber lainnya seperti pemberian dari nenek dan saudara. Dalam penelitian ini, pengeluaran yaitu sejumlah uang yang digunakan responden untuk keperluan membeli pulsa, makan, jajan, pakaian/aksesoris, hiburan, berlibur, dan transportasi. Sebaran data responden berdasarkan tingkat ekonomi didapatkan dengan membagi data yang diperoleh ke dalam tiga kelas yaitu tinggi, sedang dan rendah (Tabel 2). Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa mayoritas responden dari SMA Negeri bertingkat ekonomi rendah (43,70%), sedangkan pada tingkat sedang dan tinggi cenderung sama. Sebagian besar responden dari SMA Swasta berekonomi sedang cenderung tinggi. Meskipun berasal dari keluarga menengah ke atas, tingkat ekonomi responden dari SMA Swasta paling banyak adalah sedang (48,70%). Hal ini dikarenakan responden membawa bekal dari rumah sehingga tidak sering membeli makan di sekolah. Selain dari orang tuanya, responden dari SMA Negeri mendapatkan uang saku dari bekerja sendiri (2,67%) dengan berjualan pulsa dan sumber lain (2,89%), yaitu dari pemberian saudara serta nenek. Begitu pun dengan responden dari SMA Swasta, selain dari orang tuanya juga mendapat uang saku dari bekerja sendiri (1,94%) yaitu berjualan pulsa dan sumber lain (0,54%) yaitu modeling dan gereja. Seluruh responden, baik dari SMA Negeri maupun Swasta, menggunakan sebagian besar uangnya untuk tranportasi (23,64%), jajan (18,05%), membeli pakaian (12,66%) dan pulsa (12,11%). Responden dari SMA Swasta menggunakan sebagian besar uangnya untuk transportasi (23,50%), jajan (18,23%) dan membeli pulsa (13,65%). Responden dari SMA Negeri menggunakan sebagian besar uangnya untuk transportasi (23,75%), jajan (17,90%) dan membeli pakaian (13,86%). Hal ini sesuai dengan salah satu ciri-ciri remaja yang diungkapkan oleh Soekanto dalam Polii (2003) bahwa remaja mulai memikirkan kehidupan secara mandiri terutama dalam hal ekonomi.

8 Minat Menonton Sinetron Minat menonton sinetron dalam penelitian ini adalah keinginan dan perhatian penonton dalam menonton sinetron. Minat menonton sinetron meliputi kesukaan dan ketertarikan responden terhadap sinetron. Rataan skor dari minat responden dalam menonton sinetron tertera pada Tabel 3. Total rataan skor yang terlihat pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa responden dari SMA Negeri mempunyai minat menonton sinetron yang rendah, dengan rataan skor 1,91. Minat menonton sinetron untuk responden dari SMA Swasta juga rendah, yaitu dengan rataan skor 2,38. Dilihat dari masing-masing nilai rataan skornya, responden dari SMA Swasta mempunyai minat menonton sinetron yang lebih tinggi daripada responden dari SMA Negeri. Hal ini dikarenakan responden dari SMA Negeri tidak mempunyai banyak waktu untuk menonton sinetron serta lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Secara keseluruhan responden mempunyai minat menonton sinetron yang rendah pula yaitu dengan rataan skor 2,11. Tabel 3. Rataan skor minat responden dalam menonton sinetron Minat Menonton Rataan Skor* Sinetron SMA Negeri SMA Swasta Keseluruhan SMA Kesukaan 2,03 2,51 2,23 Ketertarikan 1,71 2,15 1,90 Total Rataan Skor 1,91 2,38 2,11 Keterangan: *1-1,75=sangat rendah; 1,76-2,50=rendah; 2,51-3,25=tinggi; 3,26-4=sangat tinggi Kesukaan terhadap Tayangan Sinetron Kesukaan terhadap tayangan sinetron adalah seberapa besar tingkat kesukaan responden terhadap sinetron yang ditontonnya. Dari Tabel 3 terlihat bahwa rataan skor responden dari SMA Negeri adalah 2,03 sedangkan dari SMA Swasta adalah 2,51. Dapat dikatakan bahwa responden dari SMA Negeri adalah rendah sedangkan responden dari SMA Swasta adalah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa responden dari SMA Swasta lebih menyukai menonton sinetron dibandingkan dengan responden dari SMA negeri. Kesukaan ini didasarkan pada theme song dan cerita sinetron tersebut. Berdasarkan isi pesannya, sinetron disukai karena sesuai dengan realita sosial dan mengangkat permasalahan yang terjadi dalam kehidupan (Kuswandi dalam Nurfalah, 2007). Total rataan skor untuk kesukaan keseluruhan SMA adalah 2,23. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaannya adalah rendah.

9 Ketertarikan terhadap Tayangan Sinetron Ketertarikan terhadap tayangan sinetron adalah tingkat ketertarikan responden terhadap sinetron yang ditontonnya. Tingkat ketertarikan responden dari SMA Negeri adalah sangat rendah sedangkan dari SMA Swasta adalah rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, rataan skor ketertarikan untuk responden dari SMA Swasta adalah 2,15 dan 1,71 untuk responden dari SMA Negeri. Total rataan skor ketertarikan untuk keseluruhan SMA adalah 1,90 sehingga dikatakan rendah. Sama halnya dengan kesukaan terhadap tayangan sinetron, ketertarikan terhadap tayangan sinetron oleh responden dari SMA Swasta lebih tinggi dibandingkan dengan responden dari SMA Negeri. Hal ini didasarkan pada ketertarikan responden terhadap pemain sinetron dan ketertarikan responden terhadap dunia hiburan (sinetron). Perbedaan ini dipengaruhi oleh penerimaan pesan oleh penonton yaitu instinct selective attention (Rakhmat, 2005). 4.4 Motif Menonton Sinetron Motif menonton sinetron merupakan dorongan atas kebutuhan penonton dalam menonton sinetron. Motif menonton sinetron diukur dengan tiga peubah, yaitu (a) motif kognitif, (b) diversiti dan (c) personal. Masing-masing dibagi menjadi empat kelas seperti yang tersaji dalam Tabel 4 dan penentuan tingkatan tersebut dengan rataan skor. Tabel 4. Rataan skor motif responden dalam menonton sinetron Motif Menonton Rataan Skor* Sinetron SMA Negeri SMA Swasta Keseluruhan SMA Kognitif 2,14 2,29 2,20 Diversiti 2,53 2,72 3,06 Personal 2,07 2,17 2,11 Total Rataan Skor 2,36 2,52 2,43 Keterangan: *1-1,75=sangat rendah; 1,76-2,50=rendah; 2,51-3,25=sedang; 3,26-4=tinggi Tabel 4 menjelaskan bahwa motif menonton sinetron bagi SMA Negeri adalah rendah sedangkan SMA Swasta adalah sedang, yaitu dengan rataan skor 2,36 dan 2,52. Hasil penelitian mengenai motif ini sejalan dengan minat menonton sinetron. Responden dari SMA Swasta mempunyai lebih banyak waktu untuk menonton sinetron, terutama pada waktu utama (prime time) dan sore hari. Hal ini sesuai dengan teori kegunaan dan keuntungan sebagai aspek penting dalam

10 45 televisi (Hoffman, 1999). Responden dari SMA Negeri menggunakan waktu di luar jam sekolah untuk les tambahan. Secara keseluruhan, motif menonton sinetron bagi seluruh responden adalah rendah, yaitu dengan rataan skor 2, Motif Kognitif Motif kognitif adalah dorongan atau kebutuhan akan informasi. Peubah ini mengukur seberapa tinggi motif kognitif remaja dalam menonton sinetron. Tabel 4 menjelaskan bahwa rataan skor motif kognitif dalam menonton sinetron bagi responden dari SMA Negeri adalah 2,14 dan 2,29 untuk responden dari SMA Swasta. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat motif kognitif untuk SMA Negeri maupun Swasta tergolong rendah. Motif kognitif untuk keseluruhan SMA juga rendah yaitu dengan nilai rataan skor 2,20. Mayoritas responden memenuhi kebutuhan akan informasi mengenai politik, berita selebriti maupun gaya hidup atau mode dengan menonton berita dan infotainment serta membaca majalah atau surat kabar Motif Diversiti Motif diversiti adalah dorongan atau kebutuhan akan hiburan. Peubah ini mengukur seberapa tinggi motif diversiti responden dalam menonton sinetron. Pada umumnya, penonton televisi menikmati sinetron sebagai hiburan. Sesuai dengan Tabel 4, motif diversiti untuk responden dari SMA Negeri adalah 2,53 dan untuk SMA Swasta adalah 2,72. Sehingga dapat dikatakan bahwa motif diversiti bagi responden dari SMA Negeri maupun Swasta adalah sedang. Rataan skor untuk keseluruhan SMA adalah 3,06. Rataan ini tergolong sedang. Dibandingkan dengan jenis motif lainnya, motif diversiti mempunyai rataan skor yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa responden memanfaatkan sinetron sebagai media hiburan. Menurut Hofmann (1999), McQuail (2003) dan Suharto (2006) hasil penelitian ini sesuai dengan salah satu fungsi televisi, yaitu sebagai hiburan Motif Personal Motif personal adalah dorongan atau kebutuhan untuk menguatkan identitas pribadi. Motif personal mengukur seberapa tinggi kebutuhan akan penguatan identitas diri. Tabel 4 menjelaskan bahwa rataan skor untuk responden dari SMA

11 46 Negeri adalah rendah, yaitu dengan skor 2,07. Skor untuk responden di SMA Swasta adalah 2,17 dan dapat dikategorikan rendah pula. Secara keseluruhan, motif personal responden terhadap sinetron adalah rendah (2,11). Siswa menghabiskan banyak waktunya di sekolah dan mengerjakan tugas serta les sehingga mereka menguatkan identitasnya sebagai pelajar. Sekolah negeri yang dijadikan sebagai tempat penelitian adalah dua dari tiga sekolah yang menerapkan Rintisan SMA Bertaraf Internasional (RSBI), dan salah satu dari lokasi penelitian ini juga menyelenggarakan program akselerasi. 4.5 Pola Menonton Sinetron Pola menonton sinetron adalah tindakan menonton sinetron yang dilakukan secara terus-menerus sehingga membentuk pola tertentu. Pola menonton sinetron diukur dengan mengukur peubah intensitas menonton sinetron, durasi menonton sinetron dan jumlah sinetron yang ditonton. Rataan skor yang menggambarkan pola menonton sinetron disajikan pada Tabel 5. Rataan skor ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tabel 5. Rataan skor pola menonton sinetron responden Pola Menonton Rataan Skor* Sinetron SMA Negeri SMA Swasta Keseluruhan SMA Intensitas 1,44 2,20 1,76 Durasi 1,46 1,93 1,66 Jumlah sinetron 1,35 1,93 1,60 Total Rataan Skor 1,55 2,30 1,87 Keterangan: *1,00-1,67= rendah; 1,68-2,33=sedang; 2,34-3,00=tinggi Berdasarkan Tabel 4, total rataan skor pola menonton untuk di SMA Negeri tergolong rendah (1,55) sedangkan untuk di SMA Swasta tergolong sedang (2,30). Ketersediaan waktu luang dan minimnya kegiatan sehari-hari mendorong responden untuk menonton sinetron. Kegiatan ini didukung oleh perilaku keluarga terhadap sinetron. Keluarga yang melakukan pendampingan cenderung menonton sinetron bersama. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiman dan Abdullah (2000), yaitu menonton televisi membawa kebersamaan dan keakraban serta mempererat jalinan komunikasi. Secara keseluruhan, pola menonton sinetron untuk seluruh SMA adalah sedang (1,87).

12 Intensitas Menonton Sinetron Intensitas menonton sinetron merupakan tingkat keseringan responden menonton sinetron dalam satu minggu. Tabel 5 memperlihatkan bahwa intensitas menonton sinetron untuk responden dari SMA Negeri adalah rendah (1,44). Rataan skor untuk responden di SMA Swasta adalah 2,20 sehingga dapat dikatakan tergolong sedang. Secara keseluruhan, responden mempunyai intensitas menonton sinetron yang sedang (1,76). Responden memiliki intensitas menonton sinetron yang rendah, yaitu satu sampai dua kali menonton sinetron dalam satu minggu. Hal ini dikarenakan responden menghabiskan enam hari dalam seminggu di sekolah dan keperluan lainnya. Salah satu teori yang menekankan aspek terpenting dari televisi adalah teori pengatur jadwal harian (Hofmann, 1999). Hanya 18,75% dari keseluruhan SMA yang menggunakan sinetron sebagai pengatur jadwal harian. Responden tersebut menonton sinetron sinetron lima sampai tujuh kali dalam satu minggu Durasi Menonton Sinetron Durasi menonton sinetron merupakan waktu dalam jam yang biasa digunakan responden untuk menonton sinetron setiap satu hari atau setiap satu kali menonton sinetron. Tabel 5 menunjukkan bahwa durasi menonton sinetron bagi responden dari SMA Negeri adalah rendah dan untuk SMA Swasta adalah sedang, yaitu dengan rataan skor 1,46 dan 1,93. Durasi menonton sinetron bagi keseluruhan SMA adalah rendah (1,66). Setiap satu kali menonton televisi, responden menggunakan waktunya sebanyak 15 menit sampai satu jam untuk menonton sinetron. Hal ini karena responden lebih menyukai menonton acara gosip dan musik di televisi daripada sinetron dalam waktu yang lama. Sinetron pada umumnya bercerita mengenai realitas kehidupan sehari-hari dan dapat ditebak alur ceritanya sehingga responden sering mengganti saluran dengan acara lainnya Jumlah Sinetron yang Ditonton Jumlah sinetron yang ditonton merupakan banyaknya judul sinetron yang ditonton oleh responden. Jumlah judul sinetron yang ditonton untuk responden dari SMA Negeri tergolong rendah (1,35) dan Swasta tergolong sedang (1,93).

13 48 mayoritas responden dari SMA Negeri menonton satu judul sinetron sedangkan dari SMA Swasta menonton dua judul sinetron. Secara keseluruhan SMA, jumlah judul yang sering ditonton tergolong rendah (1,60), yakni hanya satu judul saja. Setiap satu judul sinetron masa kini umumnya ditayangkan hampir setiap hari. Oleh karena itu responden merasa cukup mengikuti hanya satu judul sinetron saja. Judul sinetron yang paling banyak ditonton oleh responden dari SMA Negeri adalah Cinta Fitri (27,28%), Safa dan Marwah (19,70) dan Kemilau Cinta Kamila (15,15%). Responden dari SMA Swasta paling banyak menonton sinetron berjudul Cinta Fitri (30,11%), Mawar Melati (17,21%) dan Safa dan Marwah (9,68%). Secara keseluruhan SMA, mayoritas responden menonton sinetron berjudul Cinta Fitri (29%), Safa dan Marwah (13,84%) dan Mawar Melati (13,21%). Sinetron yang paling banyak ditonton oleh responden ini menurut episodenya merupakan sinetron serial karena mempunyai hubungan sebab akibat, sedangkan menurut jenis ceritanya adalah sinetron drama keluarga karena mengangkat permasalahan keluarga dengan pemeran seluruh anggota keluarga. Haryatmoko (2007) menyatakan bahwa adegan yang mendongkrak rating sinetron adalah seks, ciuman, perkosaan, kata-kata kasar, adegan telanjang dan seks menyimpang. Mengacu pada pernyataan tersebut, berdasarkan hasil penelitian ini judul sinetron yang menjadi favorit adalah sinetron drama keluarga dan remaja bernuansa percintaan dan persaingan. 4.6 Perilaku Hedonis Remaja Perilaku hedonis adalah tindakan yang bersifat keduniawian. Perilaku hedonis remaja diukur dengan tiga indikator, yaitu (a) perilaku konsumtif, (b) perilaku hura-hura dan (c) perilaku malas bekerja keras. Masing-masing indikator tersebut dibagi menjadi empat kelas, yaitu sangat rendah, rendah, tinggi dan sangat tinggi seperti yang tertera di Tabel 6. Tabel 6. Rataan skor perilaku hedonis responden Perilaku Hedonis Rataan Skor* SMA Negeri SMA Swasta Keseluruhan SMA Konsumtif 2,09 2,18 2,13 Hura-hura 2,10 2,31 2,19 Malas bekerja keras 2,13 2,25 2,18 Total Rataan Skor 2,11 2,25 2,17 Keterangan: *1-1,75=sangat rendah; 1,76-2,50=rendah; 2,51-3,25=sedang; 3,26-4=tinggi

14 49 Berdasarkan rataan skor tersebut, dapat dikatakan bahwa responden mempunyai perilaku hedonis yang rendah. Perilaku hedonis untuk responden dari SMA Negeri, SMA Swasta maupun secara keseluruhan SMA mempunyai selisih rataan skor yang sangat tipis. Rataan skor untuk responden dari SMA Negeri 2,11, dari SMA Swasta 2,25 dan secara keseluruhan SMA adalah 2, Perilaku Konsumtif Dalam penelitian ini, perilaku konsumtif merupakan perilaku ingin memiliki barang-barang yang digunakan orang lain meskipun sebenarnya responden tidak membutuhkannya. Rataan skor perilaku konsumtif untuk responden dari SMA Negeri dan Swasta adalah 2,09 dan 2,18 dengan total rataan skor 2,13. Dapat dikatakan bahwa perilaku konsumtif responden dari SMA Negeri, Swasta maupun keseluruhan adalah rendah. Responden menyisakan uangnya untuk ditabung dan menggunakan uangnya sesuai dengan kebutuhan serta mengecek harga terlebih dahulu sebelum membelinya Perilaku Hura-hura Perilaku hura-hura merupakan perilaku yang cenderung ingin selalu bersenang-senang dan bernuansa glamour, misalnya sering pergi ke pusat perbelanjaan, kafe, club atau diskotik dan lain-lain. Sama halnya dengan perilaku konsumtif, perilaku hura-hura untuk responden dari SMA Negeri dan Swasta adalah rendah, dan secara keseluruhan juga tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari rataan skor perilaku hura-hura untuk responden dari SMA Negeri dan Swasta serta keseluruhannya masing-masing adalah 2,10; 2,31; dan 2,19. Dari rataan skor tersebut, responden dari SMA Swasta mempunyai rataan yang paling tinggi di antara semuanya. Hal ini dikarenakan responden lebih senang berkumpul dengan teman-temannya dan bersenang-senang seperi pergi ke pusat perbelanjaan, nonton di bioskop, berkumpul dengan teman di J.Co atau Starbuck. Bahkan responden memberanikan diri pergi ke diskotik meskipun belum berumur 18 tahun agar dapat berkumpul bersama teman-temannya. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri remaja yang diungkapkan oleh Soekanto dalam Polii (2003), yaitu remaja mempunyai keinginan yang kuat untuk berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa.

15 Perilaku Malas Bekerja Keras Malas bekerja keras merupakan perilaku enggan menjalankan kewajiban dan selalu menuntut hak atau melanggar kewajibannya, misalnya bolos sekolah, tidak mengerjakan tugas, menyontek dan lain-lain. Sebagai pelajar, kewajiban responden adalah belajar dengan tekun dan mengerjakan tugas sekolah. Masingmasing rataan skor perilaku malas bekerja keras untuk responden dari SMA Negeri dan Swasta adalah 2,13 dan 2,25. Hal ini tergolong rendah untuk masingmasing SMA. Secara keseluruhan, responden berperilaku malas bekerja keras dalam tingkat yang rendah (2,18). Responden adalah siswa yang rajin ke sekolah, mengikuti proses belajar-mengajar, datang dan pulang sekolah tepat waktu serta selalu mengerjakan tugas. 4.7 Hubungan Karakteristik Individu dengan Minat dan Motif Menonton Sinetron di Televisi Minat dan motif menonton sinetron berhubungan dengan kerakteristik individu. Minat menonton sinetron meliputi kesukaan dan ketertarikan. Motif menonton sinetron meliputi motif kognitif, diversiti dan personal. Karakteristik individu meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat prestasi dan tingkat ekonomi. Hasil penelitian mengenai hubungan karakteristik individu dengan minat dan motif menonton sinetron berdasarkan nilai koefisien korelasinya tersaji dalam tabel 7. Tabel 7. Hubungan ksaraktersistik individu dengan minat menonton sinetron Sekolah Ko- Nilai Koefisien Korelasi rela- si Sinetron Minat Menonton Motif Menonton Sinetron Karakteristik Individu uji Kesuka Keterta Kognitif Diversiti Personal an rikan SMA Jenis Kelamin 2 0,068 0,237 0,354* 0,228 0,040 Negeri Tingkat Pendidikan r s -0,041 0,005 0,132 0,212 0,181 Tingkat Prestasi r s -0,009-0,170 0,158 0,102 0,257 SMA Swasta Keseluru han SMA Tingkat Ekonomi r s -0,162-0,096-0,068-0,251 0,151 Jenis Kelamin 2 0,261 0,433* 0,258 0,352 0,334 Tingkat Pendidikan r s 0,117 0,137 0,143 0,285 0,170 Tingkat Prestasi r s -0,354* -0,037-0,210-0,320* -0,128 Tingkat Ekonomi r s 0,172 0,290 0,415** 0,263 0,259 Jenis Kelamin 2 0,097 0,268 0,246 0,193 0,136 Tingkat Pendidikan r s 0,027 0,075 0,117 0,214* 0,261* Tingkat Prestasi r s -0,176-0,159 0,000-0,075 0,109 Tingkat Ekonomi r s 0,051 0,166 0,140-0,009 0,079 Keterangan: *berhubungan nyata pada α 0,05; 2 =koefisien Chi-Square; r s =koefisien rank-spearman

16 51 Tabel 7 mamperlihatkan bahwa untuk SMA Negeri terdapat hubungan negatif yang tidak nyata (p>0,05) antara tingkat ekonomi dengan kesukaan dan ketertarikan terhadap sinetron. Semakin tinggi tingkat ekonomi responden dari SMA Negeri maka semakin rendah tingkat kesukaan dan ketertarikan terhadap sinetron. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di SMA Swasta. Tingkat ekonomi responden dari SMA Swasta berhubungan positif dengan tingkat kesukaan dan ketertarikan terhadap sinetron. Tabel 7 juga mamperlihatkan bahwa untuk SMA Negeri terdapat hubungan negatif yang tidak nyata (p>0,05) antara tingkat prestasi dengan kesukaan dan ketertarikan terhadap sinetron dan untuk SMA Negeri, tingkat prestasi berhubungan negatif dan nyata dengan kesukaan dan berhubungan negatif dengan ketertarikan. Semakin tinggi tingkat prestasi responden dari SMA Negeri dan Swasta maka semakin rendah minat menonton sinetron. Responden bersaing secara sehat untuk meningkat prestasinya sehingga minat terhadap sinetron pun rendah karena lebih menyukai kegiatan yang menunjang prestasinya. Tabel 7 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, karakteristik individu tidak berhubungan nyata dengan minat menonton sinetron. Tingkat prestasi berhubungan negatif atau berhubungan terbalik dengan minat menonton sinetron, namun hubungan ini tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock dalam Suharto (2006) bahwa tingkat prestasi mempunyai hubungan negatif dengan minat remaja terhadap televisi. Semakin tinggi tingkat prestasi, semakin rendah minat menonton sinetron. Dalam penelitian ini, tingkat prestasi berhubungan negatif dengan minat menonton sinetron namun hubungan tersebut tidak nyata (p<0,05). Secara keseluruhan, hipotesis pertama yang berbunyi terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan minat menonton sinetron di televisi, ditolak. Berbeda dengan dengan minat menonton sinetron, hanya tingkat ekonomi saja yang berhubungan dengan motif menonton sinetron untuk responden dari SMA Negeri. Tingkat ekonomi responden dari SMA Negeri berhubungan negatif dengan motif kognitif dan motif diversiti dalam menonton sinetron. Responden yang bertingkat ekonomi tinggi memenuhi kebutuhan akan hiburan dengan membaca majalah dan media cetak lain, sehingga motif diversiti dalam menonton sinetron semakin rendah. Lalu untuk responden dari SMA Swasta, sama seperti minat menonton sinetron, bahwa hanya tingkat prestasi saja yang berhubungan negatif dengan motif menonton sinetron dan hanya motif diversiti yang

17 52 berhubungan nyata negatif (p<0,05). Semakin tinggi tingkat prestasi responden dari SMA Swasta maka motif diversiti dalam menonton sinetron semakin rendah. Responden bersaing secara sehat untuk meningkat prestasinya sehingga minat terhadap sinetron pun rendah karena lebih tertarik dengan kegiatan yang menunjang prestasinya Pada Tabel 7 tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang nyata (p<0,05) dengan motif diversiti dan personal yaitu dengan nilai korelasi 0,214 dan 0,261. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka motif diversiti dan personal dalam menonton sinetron semakin meningkat. Begitu juga, semakin rendah tingkat pendidikan maka motif diversiti dan personal dalam menonton sinetron juga semakin rendah. Data yang didapatkan di lapangan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka tingkat kesulitan mata pelajaran makin tinggi sehingga responden membutuhkan hiburan yang lebih banyak yang dalam penelitian ini adalah hiburan terhadap sinetron. Tabel 7 juga memperlihatkan bahwa karakteristik individu tidak berhubungan dengan motif kognitif responden dalam menonton sinetron. Responden memenuhi kebutuhan akan informasinya dengan menonton berita dan gosip serta membaca majalah dan informasi dari internet. Dengan demikian, hipotesis kedua yang berbunyi terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan motif menonton sinetron, diterima hanya untuk hubungan tingkat pendidikan dengan motif diversiti dan personal. 4.8 Hubungan Minat dan Motif Menonton Sinetron dengan Pola Menonton Sinetron di Televisi Minat dan motif menonton sinetron berhubungan dengan pola menonton sinetron di televisi. Minat menonton sinetron meliputi kesukaan dan ketertarikan. Motif menonton sinetron meliputi motif kognitif, diversiti dan personal. Dan pola menonton televisi meliputi intensitas dan durasi menonton sinetron serta jumlah judul sinetron yang ditonton. Hasil penelitian mengenai hubungan minat dan motif dengan pola menonton sinetron berdasarkan nilai korelasi rank Spearman tersaji dalam Tabel 8. Terlihat pada Tabel 8 bahwa ketertarikan menonton sinetron oleh responden dari SMA Negeri dan Swasta mempunyai hubungan yang nyata (p<0,05) dan positif dengan jumlah sinetron yang ditonton. Semakin tinggi tingkat ketertarikan dalam menonton sinetron maka jumlah sinetron yang ditonton semakin banyak.

18 53 Ketertarikan ini didasarkan pada artis yang menjadi tokoh utama. Responden dari SMA Swasta mempunyai ketertarikan menonton sinetron yang lebih tinggi daripada responden dari SMA Negeri. Begitu pula, responden dari SMA Swasta mempunyai lebih banyak jumlah judul sinetron yang ditonton dibandingkan dengan responden dari SMA Negeri. Tabel 8. Hubungan minat dan motif dengan pola menonton sinetron Nilai Koefisien Korelasi rank Spearman (r s ) Pola Menonton Sinetron Sekolah Peubah Intensitas Durasi SMA Negeri SMA Swasta Keselu ruhan SMA Jumlah Sinetron Minat Menonton Sinetron Kesukaan 0,450** 0,291* 0,292* Ketertarikan 0,365** 0,134 0,306* Motif Menonton Sinetron Kognitif 0,265 0,254 0,271* Diversiti 0,369** 0,204 0,238 Personal 0,059 0,141 0,241 Minat Menonton Sinetron Kesukaan 0,358* 0,437** 0,373* Ketertarikan 0,163 0,242 0,312* Motif Menonton Sinetron Kognitif 0,252 0,522** 0,364* Diversiti 0,339* 0,583** 0,540** Personal 0,092 0,282 0,281 Minat Menonton Sinetron Kesukaan 0,601 ** 0,457** 0,433** Ketertarikan 0,498 ** 0,382** 0,446** Motif Menonton Sinetron Kognitif 0,391 ** 0,394** 0,402** Diversiti 0,477 ** 0,409** 0,421** Personal 0,233 * 0,296** 0,340** Keterangan: *berhubungan nyata pada α 0,05 **berhubungan sangat nyata pada α 0,01 Tabel 8 memperlihatkan bahwa minat menonton sinetron berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan pola menonton sinetron. Semakin tinggi minat menonton sinetron maka pola menonton pun semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Subiakto dalam Suharto (2006) bahwa minat menonton televisi mempengaruhi pola menonton tayangan televisi. Dengan demikian hipotesis ketiga yang berbunyi terdapat hubungan nyata antara minat menonton sinetron dengan pola menonton sinetron diterima. Motif diversiti dalam menonton sinetron untuk responden dari SMA Negeri berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan intensitas menonton sinetron. Semakin rendah kebutuhan akan hiburan dalam menonton sinetron maka semakin rendah pula tingkat keseringan dalam menonton sinetron. Responden yang membutuhkan

19 54 sinetron untuk menghibur dirinya maka akan sering menonton sinetron tersebut. Responden dari SMA Swasta mempunyai motif diversiti yang berhubungan nyata (p<0,05) dengan intensitas menonton sinetron serta berhubungan sangat nyata dengan durasi dan jumlah sinetron yang ditonton. Responden yang membutuhkan sinetron sebagai media hiburan maka akan sering dan lebih lama menonton sinetron tersebut serta mempunyai lebih banyak judul yang ditonton. Hubungan yang nyata antara motif menonton sinetron dengan pola menonton sinetron terlihat pada Tabel 8. Motif menonton sinetron yang terdiri dari motif kognitif, diversiti dan personal mempunyai hubungan yang sangat nyata (p<0,01) dengan pola menonton sinetron kecuali untuk hubungan motif personal dan intensitas menonton sinetron yang mempunyai hubungan nyata (p<0,05). Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Subiakto dalam Suharto (2006) bahwa pola menonton tayangan televisi dipengaruhi oleh motif menonton. Dengan demikian, hipotesis keempat yang berbunyi terdapat hubungan nyata antara motif dan pola menonton sinetron diterima. DeFleur dalam Daisiwan (2007) mengutarakan bahwa jenis kelamin mempengaruhi pola penggunaan televisi. Dalam penelitian ini, jenis kelamin berhubungan nyata (p<0,05) dengan pola menonton. Kemudian, jenis kelamin juga berhubungan nyata (p<0,05) dengan jumlah judul sinetron yang ditonton dan berhubungan sangat nyata (p<0,01) dengan durasi menonton sinetron, namun tidak berhubungan nyata dengan intensitas menonton sinetron (Lampiran 3). Menurut hasil penelitian Apollo dan Ancok (2003), tingkat pendidikan mempengaruhi pola menonton televisi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan nyata (p<0,05) dengan jumlah judul sinetron yang ditonton dan pola menonton sinetron (Lampiran 12). 4.9 Hubungan Pola Menonton Sinetron di Televisi dengan Perilaku Hedonis Remaja Pola menonton meliputi intensitas dan durasi menonton sinetron serta jumlah judul sinetron yang ditonton. Pola menonton sinetron diduga berhubungan dengan perilaku hedonis remaja. Dalam penelitian ini, perilaku hedonis remaja meliputi perilaku konsumtif, hura-hura dan malas bekerja keras. Hasil penelitian

20 55 mengenai hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja berdasarkan nilai korelasi rank Spearman tersaji dalam Tabel 9. Tabel 9. Hubungan pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja Sekolah Nilai Koefisien Korelasi rank Spearman (r s ) Pola Menonton Perilaku Hedonis Sinetron Malas Bekerja Konsumtif Hura-hura Keras SMA Intensitas -0,282* -0,153 0,180 Negeri Durasi -0,124-0,187 0,120 SMA Swasta Keselu ruhan SMA Jumlah Sinetron 0,180 0,120 0,079 Intensitas 0,000-0,11 0,187 Durasi -0,061 0,107 0,328* Jumlah Sinetron -0,192 0,055 0,204 Intensitas -0,142-0,002 0,203* Durasi -0,084 0,009 0,138 Jumlah Sinetron -0,099 0,012 0,105 Keterangan: *berhubungan nyata pada α 0,05 Tabel 9 memperlihatkan bahwa intensitas menonton sinetron responden dari SMA Negeri berhubungan negatif dan nyata (p<0,05) dengan perilaku konsumtif. Semakin sering menonton sinetron maka semakin rendah perilaku konsumtif responden. Responden menonton sinetron di rumahnya masing-masing. Semakin sering manonton sinetron maka responden semakin jarang pergi ke luar rumah dan berbelanja dengan berlebihan. Kemudian untuk responden dari SMA Swasta, durasi menonton sinetron berhubungan nyata positif (p<0,05) dengan perilaku malas bekerja keras. Semakin lama menonton sinetron maka semakin sedikit kegiatan yang dikerjakannya karena malas beranjak dari depan televisi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Apollo dan Ancok (2003) mengenai agresivitas remaja yaitu terdapat hubungan yang nyata (p<0,05) antara intensitas menonton televisi berisi kekerasan dengan kecenderungan agresivitas remaja. Responden yang melihat tayangan kekerasan lebih sering akan menirukan adegan tersebut. Sama halnya dengan sinetron. Sinetron yang menampilkan perilaku hedonis dann kemewahan dapat membuat penonton menirukan perilaku tersebut. Secara keseluruhan, penelitian ini menghasilkan bahwa intensitas menonton sinetron tidak berhubungan nyata (p<0,05) dengan perilaku hedonis remaja. Sinetron yang menjadi favorit adalah sinetron drama keluarga, bukan sinetron yang menampilkan perilaku hedonis dan kemewahan. Tabel 9 memperlihatkan bahwa intensitas dan pola menonton sinetron mempunyai hubungan yang nyata (p<0,05) dengan perilaku malas bekerja keras.

21 56 Semakin sering individu menonton sinetron maka perilaku malas bekerja keras pun meningkat, responden semakin malas belajar dan mengerjakan tugasnya. Pola menonton sinetron berhubungan negatif dengan perilaku konsumtif remaja. Pola menonton sinetron yang tinggi mendorong responden untuk tetap tinggal di rumah menikmati sinetron tersebut sehingga waktu untuk ke luar rumah sedikit dan perilaku konsumtif pun rendah. dengan demikian, hipotesis kelima yang berbunyi terdapat hubungan nyata antara pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja, diterima hanya untuk hubungan intensitas dan pola menonton sinetron dengan perilaku malas bekerja keras. Menurut Marjohan (2009), gaya hidup hedonis dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, pendidikan dan waktu luang. Seperti yang tertera pada Lampiran 3, jenis kelamin berhubungan nyata (p<0,05) dengan perilaku konsumtif dan tidak berhubungan nyata dengan perilaku hura-hura, malas bekerja keras maupun perilaku hedonis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (p<0,05) antara pola menonton sinetron dengan perilaku hedonis remaja. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh lingkungan sosial lain. Lingkungan sosial tersebut meliputi keluarga, teman sebaya, tetangga rumah dan media massa lain yang dalam penelitian ini tidak dikaji.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif ini menggunakan desain survei deskriptif

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR EKSTERNAL DENGAN EFEK KOMUNIKASI DALAM PEMASARAN LANTING UBI KAYU

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR EKSTERNAL DENGAN EFEK KOMUNIKASI DALAM PEMASARAN LANTING UBI KAYU 68 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR EKSTERNAL DENGAN EFEK KOMUNIKASI DALAM PEMASARAN LANTING UBI KAYU 6.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Efek Komunikasi dalam Pemasaran Lanting Ubi Kayu

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Televisi merupakan satu media penyiaran suara dan gambar yang paling banyak digunakan di seluruh pelosok dunia. Priyowidodo (2008) menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB V TERPAAN TAYANGAN JIKA AKU MENJADI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB V TERPAAN TAYANGAN JIKA AKU MENJADI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 62 BAB V TERPAAN TAYANGAN JIKA AKU MENJADI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 5.1 Terpaan Tayangan Jika Aku Menjadi Berdasarkan hasil full enumeration survey, diketahui sebanyak 113 (49,6 persen)

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU MENONTON. Kurt Lewin dalam Azwar (1998) merumuskan suatu model perilaku yang

BAB V ANALISIS HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU MENONTON. Kurt Lewin dalam Azwar (1998) merumuskan suatu model perilaku yang BAB V ANALISIS HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU MENONTON Motivasi menonton menurut McQuail ada empat jenis, yaitu motivasi informasi, identitas pribadi, integrasi dan interaksi sosial, dan motivasi hiburan.

Lebih terperinci

BAB V KETERDEDAHAN, PENILAIAN RESPONDEN TERHADAP PROGRAM SIARAN RADIO, DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB V KETERDEDAHAN, PENILAIAN RESPONDEN TERHADAP PROGRAM SIARAN RADIO, DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA BAB V KETERDEDAHAN, PENILAIAN RESPONDEN TERHADAP PROGRAM SIARAN RADIO, DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 5.1 Karakteristik Responden Karakteristik responden merupakan faktor yang diduga mempengaruhi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keterdedahan Berita Kriminal di Televisi Keterdedahan berita kriminal di televisi merupakan beragam penerimaan khalayak remaja terhadap siaran berita kriminal di televisi, meliputi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. pembangunan negara yang Baldarun Toibatun Warrobbun Ghofur suatu

IV. GAMBARAN UMUM. pembangunan negara yang Baldarun Toibatun Warrobbun Ghofur suatu IV. GAMBARAN UMUM A. Sejarah Berdirinya SMA Al-Kautsar Berdasarkan tuntutan umat islam untuk berperan serta mendidik generasi muda islam yang siap untuk berkiprah dalam pembangunan dunia menuju pembangunan

Lebih terperinci

Karakteristik Laki-Laki Perempuan Rata-rata SD Rata-rata SD. Pendidikan Ayah (tahun) 3,94 1,43 3,82 1,30. Pendidikan Ibu (tahun) 3,64 1,70 3,40 1,56

Karakteristik Laki-Laki Perempuan Rata-rata SD Rata-rata SD. Pendidikan Ayah (tahun) 3,94 1,43 3,82 1,30. Pendidikan Ibu (tahun) 3,64 1,70 3,40 1,56 LAMPIRAN 80 Lampiran 1 Nilai rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga, karakteristik remaja, karakteristik peer-group, pengorganisasian waktu, stimulasi musikal, aktivitas ekstrakurikuler,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab I ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,

I. PENDAHULUAN. Bab I ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, I. PENDAHULUAN Bab I ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian. Untuk lebih jelasnya peneliti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN 40 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Identitas Responden Sebelumnya akan dijelaskan dahulu karakteristik responden yang meliputi usia, jumlah anak yang dimiliki, dan pendidikan terakhir.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1, tabel 4.2 dan tabel 4.3 sebagai berikut: Tabel 4.1 Sampel penelitian dilihat dari usia (N=134)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1, tabel 4.2 dan tabel 4.3 sebagai berikut: Tabel 4.1 Sampel penelitian dilihat dari usia (N=134) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian SMP Mardi Rahayu Ungaran terletak di jalan Diponegoro No. 741, Ungaran, Kabupaten Semarang. Subjek dalam penelitian ada 134 siswa

Lebih terperinci

BAB VI MOTIVASI KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS TRANS TV DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB VI MOTIVASI KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS TRANS TV DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA BAB VI MOTIVASI KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS TRANS TV DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 6.1 Motivasi Khalayak Langsung Acara Musik Derings Motivasi merupakan suatu alasan atau dorongan yang

Lebih terperinci

BAB VII OPINI KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS TRANS TV DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB VII OPINI KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS TRANS TV DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA BAB VII OPINI KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS TRANS TV DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 7.1 Opini Khalayak Langsung Acara Musik Derings Opini responden sebagai khalayak langsung acara musik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Siswa SMA Negeri 5 Bogor Tabel 1. Karakteristik Siswa SMA Negeri 5 Bogor Jenis kelamin - Tempat tinggal -

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Siswa SMA Negeri 5 Bogor Tabel 1. Karakteristik Siswa SMA Negeri 5 Bogor Jenis kelamin  - Tempat tinggal  - HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Siswa SMA Negeri 5 Bogor Karakteristik siswa adalah ciri-ciri yang melekat pada diri siswa, yang terdiri dari jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan orang tua, pendidikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berdiri di Gorontalo. Terletak persis di tengah-tengah Kota Gorontalo atau

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berdiri di Gorontalo. Terletak persis di tengah-tengah Kota Gorontalo atau 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian SMA Negeri 1 Gorontalo adalah sekolah menengah atas yang pertama berdiri di Gorontalo. Terletak persis di tengah-tengah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Disain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan dan Jumlah Contoh

METODE PENELITIAN Disain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan dan Jumlah Contoh 27 METODE PENELITIAN Disain, Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di dalam lingkungan SMA, yaitu dari SMA Negeri 10 sebagai SMA negeri dan SMA Kesatuan sebagai SMA swasta yang ada di Kota Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan dengan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Sumba Barat beribukota Waikabubak, mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PENDIDIKAN FULL DAY SCHOOL. DI MTs MUHAMMADIYAH KEBONAN KECAMATAN BATANG

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PENDIDIKAN FULL DAY SCHOOL. DI MTs MUHAMMADIYAH KEBONAN KECAMATAN BATANG BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PENDIDIKAN FULL DAY SCHOOL DI MTs MUHAMMADIYAH KEBONAN KECAMATAN BATANG A. Analisis Pelaksanaan Pendidikan Full Day School di MTs Muhammadiyah Kebonan Kecamatan Batang Berdasarkan

Lebih terperinci

Keterangan: ** berhubungan sangat nyata pada (p <0,01) * berhubungan nyata pada (p <0,05)

Keterangan: ** berhubungan sangat nyata pada (p <0,01) * berhubungan nyata pada (p <0,05) 59 BAB VIII FAKTOR-FAKTOR YA G BERHUBU GA DE GA PERSEPSI KHALAYAK TE TA G PROGRAM ACARA REALITY SHOW JIKA AKU ME JADI 8.1. Hubungan Faktor Intrinsik Khalayak dengan Persepsi Khalayak tentang Program Acara

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI UMUM PROGRAM DAN SMA NEGERI 1 DRAMAGA

BAB IV DESKRIPSI UMUM PROGRAM DAN SMA NEGERI 1 DRAMAGA 52 BAB IV DESKRIPSI UMUM PROGRAM DAN SMA NEGERI 1 DRAMAGA 4.1 Profil Tayangan Jika Aku Menjadi Jika Aku Menjadi adalah salah satu program Trans TV yang menayangkan informasi tentang lika-liku kehidupan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 17 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai pengaruh pola penggunaan jejaring sosial terhadap motivasi dan alokasi waktu belajar siswa SMPN 1 Dramaga, menggunakan desain

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. keadaan dari obyek yang erat kaitannya dengan penelitian. 1. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 26 Surabaya

BAB IV HASIL PENELITIAN. keadaan dari obyek yang erat kaitannya dengan penelitian. 1. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 26 Surabaya BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Obyek Penelitian Yang dimaksud dengan gambaran umum obyek penelitian adalah gambaran yang menerangkan tentang keberadaan situasi dan kondisi atau keadaan dari obyek

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Usia contoh berkisar antara 14 sampai 18 tahun dan dikategorikan ke dalam kelompok remaja awal (14 sampai 16 tahun) dan remaja akhir (17 sampai 18 tahun). Dari jenis

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 3 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Komunikasi Massa Menurut McQuail (1987) pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman saat ini telah ditandai adanya proses Globalisasi. kemudian berkembang menjadi teknologi dan informasi.

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman saat ini telah ditandai adanya proses Globalisasi. kemudian berkembang menjadi teknologi dan informasi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman saat ini telah ditandai adanya proses Globalisasi. Proses globalisasi lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian berkembang menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah serta tujuan dari penelitian ini.

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah serta tujuan dari penelitian ini. BAB 1 PENDAHULUAN Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah serta tujuan dari penelitian ini. 1.1 Latar Belakang Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Berdirinya SMA Negeri 1 Gorontalo

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Berdirinya SMA Negeri 1 Gorontalo BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.. Sejarah Singkat Berdirinya SMA Negeri Gorontalo SMA Negeri Gorontalo adalah Sekolah Menengah Atas yang pertama berdiri di Grorontalo.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat pengetahuan masyarakat. Sekarang ini, media memiliki andil yang. budaya yang bijak untuk mengubah prilaku masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tingkat pengetahuan masyarakat. Sekarang ini, media memiliki andil yang. budaya yang bijak untuk mengubah prilaku masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Media massa berperan sebagai sumber rujukan di bidang pendidikan dan penyebaran informasi yang cepat. Dalam hal ini, media dapat meningkatkan tingkat pengetahuan

Lebih terperinci

PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK

PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK Oleh : Lukman Aryo Wibowo, S.Pd.I. 1 Siapa yang tidak kenal dengan televisi atau TV? Hampir semua orang kenal dengan televisi, bahkan mungkin bisa dibilang akrab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Analisis Situasi

BAB I PENDAHULUAN A. Analisis Situasi BAB I PENDAHULUAN Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh seluruh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan

Lebih terperinci

Nama Sekolah : SMA Negeri 5 Bukittinggi NSS : NPSN : Propinsi : Sumatera Barat : Bukittinggi Kecamatan : Mandiangin Koto

Nama Sekolah : SMA Negeri 5 Bukittinggi NSS : NPSN : Propinsi : Sumatera Barat : Bukittinggi Kecamatan : Mandiangin Koto Nama Sekolah : SMA Negeri 5 Bukittinggi NSS : 301086002005 NPSN : 10307527 Propinsi : Sumatera Barat Kota : Bukittinggi Kecamatan : Mandiangin Koto Selayan Desa / Kelurahan : Koto Selayan Jalan : Jl. Nj.

Lebih terperinci

Menjadi Sekolah Berprestasi, Berkarakter, Religius, dan Berwawasan Lingkungan. Humas78

Menjadi Sekolah Berprestasi, Berkarakter, Religius, dan Berwawasan Lingkungan. Humas78 Berdiri sejak tahun 1975, semula adalah SMPP-35 menjadi SMA Negeri 78 sejak tahun 1984. Pada tahun 2002 SMA negeri 78 membuka layanan Akselerasi Pada Tahun 2005 ditetapkan sebagai Sekolah Nasional Plus/Internasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fenomena penyimpangan perilaku remaja merupakan bagian dari masalah sosial yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi faktor

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM RESPONDEN HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS MENONTON FTV BERTEMAKAN CINTA DAN INTENSITAS

BAB II GAMBARAN UMUM RESPONDEN HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS MENONTON FTV BERTEMAKAN CINTA DAN INTENSITAS BAB II GAMBARAN UMUM RESPONDEN HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS MENONTON FTV BERTEMAKAN CINTA DAN INTENSITAS KOMUNIKASI ORANG TUA & ANAK DENGAN PERILAKU PACARAN REMAJA Pada masa perkembangan teknologi seperti

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam proses perkembangan peserta didik. Pendidikan juga sebagai sebuah upaya untuk mempersiapkan peserta didik

Lebih terperinci

MOTIF DAN KEPUASAN AUDIENCE TERHADAP PROGRAM ACARA SEKILAS BERITA DI BANTUL RADIO 89.1 FM YOGYKARTA YUNIATI PATTY / YOHANES WIDODO

MOTIF DAN KEPUASAN AUDIENCE TERHADAP PROGRAM ACARA SEKILAS BERITA DI BANTUL RADIO 89.1 FM YOGYKARTA YUNIATI PATTY / YOHANES WIDODO MOTIF DAN KEPUASAN AUDIENCE TERHADAP PROGRAM ACARA SEKILAS BERITA DI BANTUL RADIO 89.1 FM YOGYKARTA YUNIATI PATTY / YOHANES WIDODO PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan informasi dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan informasi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan informasi dan hiburan menjadi begitu penting bagi kita. Hampir setiap orang selalu menyediakan waktunya

Lebih terperinci

KETERDEDAHAN IKLAN LAYANAN MASYARAKAT KELUARGA BERENCANA VERSI SHIREEN SUNGKAR DAN TEUKU WISNU

KETERDEDAHAN IKLAN LAYANAN MASYARAKAT KELUARGA BERENCANA VERSI SHIREEN SUNGKAR DAN TEUKU WISNU KETERDEDAHAN IKLAN LAYANAN MASYARAKAT KELUARGA BERENCANA VERSI SHIREEN SUNGKAR DAN TEUKU WISNU Keterdedahan adalah terkenanya khalayak terhadap satu atau beberapa pesan dari media televisi. Dalam penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN MOTIVASI BELAJAR PADA SISWA KELAS X DI SMA NEGERI 8 PURWOREJO

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN MOTIVASI BELAJAR PADA SISWA KELAS X DI SMA NEGERI 8 PURWOREJO HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN MOTIVASI BELAJAR PADA SISWA KELAS X DI SMA NEGERI 8 PURWOREJO Abstrak Memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, menuntut siswa untuk mampu menyesuaikan dirinya

Lebih terperinci

BAB IV PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB IV PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN BAB IV PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN A. Orientasi Kancah Penelitian Langkah awal yang harus dikerjakan sebelum melakukan penelitian yaitu menentukan tempat penelitian. Tempat penelitian yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Sumber: Data primer Profil Kelurahan Lenteng Agung 2009.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Sumber: Data primer Profil Kelurahan Lenteng Agung 2009. 41 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Letak Geografis dan Keadaan Wilayah Kelurahan Lenteng Agung merupakan salah satu kelurahan dari enam kelurahan di Kecamatan Jagakarsa termasuk dalam

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Penelitian METODOLOGI Desain Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan teknik survei dalam bentuk penelitian deskriptif korelasional. Penelitian ini berusaha menggambarkan karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan orang lain. Kehidupan manusia mempunyai fase yang panjang, yang di dalamnya selalu mengalami

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN TINGKAT KETERDEDAHAN

BAB VI HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN TINGKAT KETERDEDAHAN 47 BAB VI HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN TINGKAT KETERDEDAHAN 6.1 Keterdedahan Rubin (2005) mengartikan terpaan media sebagai suatu aktivitas khalayak dalam memanfaatkan atau menggunakan

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISTIK INDIVIDU, INTERAKSI SOSIAL TEMAN SEBAYA, KREATIVITAS DAN KOMPETENSI

BAB V KARAKTERISTIK INDIVIDU, INTERAKSI SOSIAL TEMAN SEBAYA, KREATIVITAS DAN KOMPETENSI BAB V KARAKTERISTIK INDIVIDU, INTERAKSI SOSIAL TEMAN SEBAYA, KREATIVITAS DAN KOMPETENSI 5.1 Karakteristik Responden Karakteristik responden merupakan salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan kompetensi

Lebih terperinci

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17 54 BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17 5.1 Faktor Individu Sesuai dengan pemaparan pada metodologi, yang menjadi responden pada penelitian ini adalah warga belajar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. 4.1 Gambaran Tayangan Berita Liputan 6 Siang di SCTV

BAB IV HASIL PENELITIAN. 4.1 Gambaran Tayangan Berita Liputan 6 Siang di SCTV BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Tayangan Berita Liputan 6 Siang di SCTV Tayangan Berita Liputan 6 Siang merupakan salah satu program berita di SCTV. Liputan 6 Siang tayang pada pukul 12.00 12.30 WIB,

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI SMAN 10 TANGERANG Sejarah Berdirinya SMAN 10 Tangerang Seiring dengan otonomi daerah yang digulirkan pemerintah pusat maka

BAB II DESKRIPSI SMAN 10 TANGERANG Sejarah Berdirinya SMAN 10 Tangerang Seiring dengan otonomi daerah yang digulirkan pemerintah pusat maka 20 BAB II DESKRIPSI SMAN 10 TANGERANG 2.1. Sejarah Berdirinya SMAN 10 Tangerang Seiring dengan otonomi daerah yang digulirkan pemerintah pusat maka kota Tangerang berbenah terutama dalam bidang pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah jenjang pendidikan pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di Indonesia, SMP berlaku sebagai

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Menengah Atas Negeri yang ada di ProvinsiRiau, Indonesia. Terletak di jalan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Menengah Atas Negeri yang ada di ProvinsiRiau, Indonesia. Terletak di jalan BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis SMA Negeri (SMAN) 9 Pekanbaru merupakan salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri yang ada di ProvinsiRiau, Indonesia. Terletak di jalan Simeru kecamatan

Lebih terperinci

BAB V PROFIL KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS DI TRANS TV

BAB V PROFIL KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS DI TRANS TV BAB V PROFIL KHALAYAK LANGSUNG ACARA MUSIK DERINGS DI TRANS TV 5.1 Profil Khalayak Langsung Acara Musik Derings Khalayak langsung acara musik Derings adalah khalayak yang berada dilokasi penayangan acara

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG SEDANG BERJALAN

BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG SEDANG BERJALAN BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG SEDANG BERJALAN 3.1 Gambaran Umum Sekolah Pada sub bab ini akan membahas mengenai sejarah sekolah, visi, misi, tujuan, struktur organisasi, dan tugas-tugas wewenang. 3.1.1 Sejarah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, LINGKUNGAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI RESPONDEN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, LINGKUNGAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI RESPONDEN BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, LINGKUNGAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI RESPONDEN 4.1 Gambaran Umum Lokasi SDN 04 Dramaga terletak di jalan Sawah baru RT 01/ 08 Desa Babakan Dramaga, Bogor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kotak yang bernama televisi, seseorang dapat melihat peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kotak yang bernama televisi, seseorang dapat melihat peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri televisi telah menimbulkan berbagai dampak terhadap kehidupan masyarakat. Salah satu dampak positifnya yaitu masyarakat semakin mudah dan cepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi adalah hal yang mendasar yang diperlukan manusia dalam hidupnya. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan

Lebih terperinci

BAB VIII SIKAP PEMILIH PEMULA DI PEDESAAN TERHADAP PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 2009

BAB VIII SIKAP PEMILIH PEMULA DI PEDESAAN TERHADAP PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 2009 BAB VIII SIKAP PEMILIH PEMULA DI PEDESAAN TERHADAP PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 2 Sikap pemilih pemula di pedesaan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2 adalah kecenderungan seorang pemilih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ke komunikan. Media massa yang terdiri dari media cetak dan elektronik dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. ke komunikan. Media massa yang terdiri dari media cetak dan elektronik dapat 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa adalah sarana untuk menyebarkan pesan dari komunikator ke komunikan. Media massa yang terdiri dari media cetak dan elektronik dapat membantu kita untuk

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISA SISTEM YANG BERJALAN

BAB 3 ANALISA SISTEM YANG BERJALAN BAB 3 ANALISA SISTEM YANG BERJALAN 3.1 Latar Belakang Berdirinya SMP Islam Al Azhar 3 Bintaro SMP Islam Al Azhar 3 didirikan tahun 1992 dengan menempati gedung SD Islam Al Azhar 4 Kebayoran Lama sebagai

Lebih terperinci

Landasan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)

Landasan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Lampiran 1 Landasan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Lampiran 2 Landasan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN 50 BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1 Faktor Internal Faktor internal dalam penelitian ini merupakan karakteristik individu yang dimiliki responden yang berbeda satu sama lain. Responden dalam penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERILAKU MENONTON DAN KEPUASAN MENONTON REPORTASE INVESTIGASI

HUBUNGAN PERILAKU MENONTON DAN KEPUASAN MENONTON REPORTASE INVESTIGASI 69 HUBUNGAN PERILAKU MENONTON DAN KEPUASAN MENONTON REPORTASE INVESTIGASI merupakan terpenuhinya kebutuhan individu. dapat diperoleh setelah seseorang melakukan sesuatu yang dapat mendukung dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Ibu menjadi tokoh sentral dalam keluarga. Seorang manajer dalam mengatur keuangan, menyediakan makanan, memperhatikan kesehatan anggota keluarga dan memperhatikan

Lebih terperinci

SIKAP PETANI TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN

SIKAP PETANI TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN 55 SIKAP PETANI TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN terhadap konversi lahan adalah penilaian positif atau negatif yang diberikan oleh petani terhadap adanya konversi lahan pertanian yang ada di Desa Cihideung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. yang strategis bagi pendidikan karena jauh dari kebisingan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. yang strategis bagi pendidikan karena jauh dari kebisingan dan 49 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek 1. Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo (MANSDA) terletak di Jalan Jenggolo No. 2 Sidoarjo. Lokasi MAN Sidoarjo

Lebih terperinci

BAB III Analisa Masalah

BAB III Analisa Masalah BAB III Analisa Masalah 3.1. Analisa SWOT 3.1.1. Strength Kekuatan pada film pendek ini adalah yang membedakannya dengan kampanye biasa. Bila pada kampanye biasa, informan menyampaikan pesan secara langsung,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum SMP Walisongo 1 Semarang SMP Walisongo 1 Semarang berdiri pada tahun 1979, yang merupakan sekolah Yayasan Al-Jami

Lebih terperinci

Pengaruh Intensitas Menonton Sinetron terhadap Perilaku Bullying di Kalangan Remaja

Pengaruh Intensitas Menonton Sinetron terhadap Perilaku Bullying di Kalangan Remaja KOPI - Televisi adalah sebuah media telekomunikasi terkenal yang berfungsi sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom (hitam-putih) maupun berwarna. Televisi telah memainkan

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB 3 GAMBARAN UMUM RESPONDEN BAB 3 GAMBARAN UMUM RESPONDEN 3.1 Profil Responden 3.1.1 Sejarah Singkat SMP Negeri 127 Jakarta terletak di Jl. Raya Kebon Jeruk No. 126 A, Kecamatan Kebon Jeruk, Kota Jakarta Barat, Propinsi DKI Jakarta.

Lebih terperinci

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS. yang dimiliki SMAN 2 Tanjung adalah sebagai berikut: a. Nama Sekolah : SMAN 2 Tanjung

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS. yang dimiliki SMAN 2 Tanjung adalah sebagai berikut: a. Nama Sekolah : SMAN 2 Tanjung BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Profil Sekolah Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 2 Tanjung Kecamatan Murung Pudak Kabupaten Tabalong. Secara umum keadaan sekolah, sarana dan prasarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (http://abstrak.digilib.upi.edu/direktori/tesis/administrasi_pendidikan/ ISAK_TOROBI/T_ADP _Chapter1.pdf).

BAB I PENDAHULUAN. (http://abstrak.digilib.upi.edu/direktori/tesis/administrasi_pendidikan/ ISAK_TOROBI/T_ADP _Chapter1.pdf). BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan suatu bangsa. Isjoni (2006) menyatakan bahwa pendidikan adalah ujung tombak suatu negara. Tertinggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempercepat modernisasi di segala

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempercepat modernisasi di segala BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempercepat modernisasi di segala bidang. Berbagai perkembangan itu semakin kuat sejalan dengan tuntutan reformasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya media massa masyarakat pun bisa dapat terpuaskan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya media massa masyarakat pun bisa dapat terpuaskan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam komunikasi, tentu kita mengenal tentang komunikasi massa. Dalam hal ini faktor keserempakan merupakan ciri utama dalam komunikasi massa. Adapun hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dalam kehidupan bermasyarakat adalah interaksi atau komunikasi. Komunikasi memiliki peran yang sangat pnting pada era sekarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Televisi adalah media massa yang sangat diminati dan tetap menjadi favorit masyarakat. Kekuatan audio dan visual yang diberikan televisi mampu merefleksikan kehidupan

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS PERUSAHAAN

BAB 3 ANALISIS PERUSAHAAN BAB 3 ANALISIS PERUSAHAAN 3.1 Data Perusahaan Westin School adalah sekolah yang mengajarkan siswa dari Kelompok Bermain sampai Sekolah Menengah Atas pelajaran dengan kurikulum pemerintah dan Singapura.Sekolah

Lebih terperinci

KUESIONER. No. Responden : Kepada Yth. Siswa/siswi SMU Swasta GBKP Kabanjahe di Tempat

KUESIONER. No. Responden : Kepada Yth. Siswa/siswi SMU Swasta GBKP Kabanjahe di Tempat KUESIONER No. Responden : Kepada Yth. Siswa/siswi SMU Swasta GBKP Kabanjahe di Tempat 1 2 Dengan hormat, Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Eddy Suranta Brahmana Nim : 050922045 Fakultas :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran media massa sangat membantu masyarakat dalam memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran media massa sangat membantu masyarakat dalam memperoleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehadiran media massa sangat membantu masyarakat dalam memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan, sehingga media massa memiliki peran penting bagi masyarakat terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi di bidang komunikasi semakin maju pada era globalisasi

I. PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi di bidang komunikasi semakin maju pada era globalisasi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi di bidang komunikasi semakin maju pada era globalisasi saat ini. Kemajuan teknologi komunikasi ditandai dengan semakin luasnya jaringan televisi,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN. SMA 65 merupakan salah satu SMA Negeri di Jakarta Barat, di dirikan pada

BAB 4 HASIL PENELITIAN. SMA 65 merupakan salah satu SMA Negeri di Jakarta Barat, di dirikan pada BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Latar Belakang Sekolah 4.1.1 Sejarah Sekolah SMA 65 merupakan salah satu SMA Negeri di Jakarta Barat, di dirikan pada tahun 1981, sesuai dengan Keputusan Mendikbud Nomor : 0230

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap usaha dan tindakan manusia selalu berlandaskan motif. Motif menjadi alasan untuk mengerjakan atau melakukan sesuatu, seperti kegiatan belajar, bekerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam proses pendidikan di sekolah, untuk mengembangkan potensi peserta didik. Keberhasilan kegiatan

Lebih terperinci

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis merasa perlu untuk mengungkapkan gambaran umum lokasi penelitian yang isinya antara lain: Sejarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi kini semakin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi kini semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi kini semakin pesat. Terjadi juga dengan sebagian orang, yang selalu membuat tren-tren terbarunya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB V DESKRIPSI DATA KARAKTERISTIK PENDENGAR, PENGGUNAAN MEDIA RADIO, DAN KESENJANGAN KEPUASAN (GRATIFICATION DISCREPANCY)

BAB V DESKRIPSI DATA KARAKTERISTIK PENDENGAR, PENGGUNAAN MEDIA RADIO, DAN KESENJANGAN KEPUASAN (GRATIFICATION DISCREPANCY) BAB V DESKRIPSI DATA KARAKTERISTIK PENDENGAR, PENGGUNAAN MEDIA RADIO, DAN KESENJANGAN KEPUASAN (GRATIFICATION DISCREPANCY) 5.1 Karakteristik Karakteristik pendengar merupakan salah satu faktor yang diduga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN ANALISIS DATA MINAT SISWA TERHADAP. PELAJARAN PKN (di KELAS X SMA PGRI 4 BANJARMASIN)

BAB IV HASIL PENELITIAN ANALISIS DATA MINAT SISWA TERHADAP. PELAJARAN PKN (di KELAS X SMA PGRI 4 BANJARMASIN) BAB IV HASIL PENELITIAN ANALISIS DATA MINAT SISWA TERHADAP PELAJARAN PKN (di KELAS X SMA PGRI 4 BANJARMASIN) Dalam bab IV ini akan dijabarkan tentang hasil penelitian terkait dengan gambaran umum SMA PGRI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Media massa cetak dan elektronik merupakan salah satu unsur penting dalam proses komunikasi. Setiap media mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kekurangan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Era globalisasi ini, melihat realitas masyarakat baik kaum muda maupun tua banyak melakukan perilaku menyimpang dan keluar dari koridor yang ada, baik negara, adat

Lebih terperinci

KUESIONER. Tayangan Sinetron India dan Pemenuhan Kebutuhan akan Hiburan

KUESIONER. Tayangan Sinetron India dan Pemenuhan Kebutuhan akan Hiburan 100 KUESIONER Tayangan Sinetron India dan Pemenuhan Kebutuhan akan Hiburan (Studi Korelasional Pengaruh Sinetron India terhadap Pemenuhan Kebutuhan Hiburan pada Ibu Rumah Tangga di Dusun V, Graha Tanjung

Lebih terperinci

BAB II HASIL SURVEY. 2.1 Gambaran Umum SMK Prapanca 2 Surabaya oleh Drs. H.Suwandi di bawah kepengurusan Yayasan Pendidikan

BAB II HASIL SURVEY. 2.1 Gambaran Umum SMK Prapanca 2 Surabaya oleh Drs. H.Suwandi di bawah kepengurusan Yayasan Pendidikan 7 BAB II HASIL SURVEY 2.1 Gambaran Umum SMK Prapanca 2 Surabaya Sekolah Menengah Kejuruan Prapanca 2 Surabaya adalah salah satu lembaga satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Televisi juga dikenal sebagai media hiburan, informasi dan juga media edukasi.

BAB I PENDAHULUAN. Televisi juga dikenal sebagai media hiburan, informasi dan juga media edukasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Televisi merupakan teknologi yang sudah di kenal akrab oleh masyarakat luas. Televisi juga dikenal sebagai media hiburan, informasi dan juga media edukasi.

Lebih terperinci

BAB III PEMILIHAN DAN PENGGUNAAN BAHASA ARAB

BAB III PEMILIHAN DAN PENGGUNAAN BAHASA ARAB BAB III PEMILIHAN DAN PENGGUNAAN BAHASA ARAB Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa yaitu variasi pertama disebut dengan dialek tinggi dan yang kedua disebut dengan

Lebih terperinci

INFORNASI AKADEMIK SMA NEGERI 78 TAHUN PELAJARAN 2014/2015

INFORNASI AKADEMIK SMA NEGERI 78 TAHUN PELAJARAN 2014/2015 A. Layanan Akademik SMA Negerri 78 Jakarta INFORNASI AKADEMIK SMA NEGERI 78 TAHUN PELAJARAN 0/05. Kelas Reguler a. Menggunakan Kurikulum 0. b. Proses Pembelajaran menggunakan Sistem Kredit Semester (SKS)

Lebih terperinci

Pengaruh Tayangan Sinetron Ftv Bagi Perkembangan Psikis Remaja Indonesia Saat Ini

Pengaruh Tayangan Sinetron Ftv Bagi Perkembangan Psikis Remaja Indonesia Saat Ini Pengaruh Tayangan Sinetron Ftv Bagi Perkembangan Psikis Remaja Indonesia Saat Ini Oleh : Ni Kadek Wina Ferninaindis Mahasiswa Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Denpasar ABSTRAK Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara audivisual. Dengan tampilan yang audiovisual membantu dengan

BAB I PENDAHULUAN. secara audivisual. Dengan tampilan yang audiovisual membantu dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Televisi adalah salah satu alat media penyiaran yang ditampilkan secara audivisual. Dengan tampilan yang audiovisual membantu dengan mudah untuk para penonton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Balakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Balakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Pendidikan anak usia dini adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam esensi pendidikan sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam esensi pendidikan sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan menduduki posisi penting dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN AKSESIBILITAS TERHADAP MEDIA KOMUNIKASI CYBER EXTENSION

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN AKSESIBILITAS TERHADAP MEDIA KOMUNIKASI CYBER EXTENSION 69 HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN AKSESIBILITAS TERHADAP MEDIA KOMUNIKASI CYBER EXTENSION Aksesibilitas terhadap media komunikasi cyber extension adalah peluang memanfaatkan media komunikasi cyber

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif adalah metode tradisional yang data penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN ANALISIS SITUASI

BAB I PENDAHULUAN ANALISIS SITUASI BAB I PENDAHULUAN Universitas Negeri Yogyakarta sebagai salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang dikhususkan bagi mereka pemuda indonesia yang ingin mengabdikan dirinya sebagai guru dan bagi mereka

Lebih terperinci