UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK PRAKT K KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DANDISTRIBUSI KEFARMASIANDIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIANDAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 17 MARET - 28 MARET 2014 LAPORAN PRAKTEK PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER TIA ERVIZA ULFA ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014

2 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK PRAKT K KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DANDISTRIBUSI KEFARMASIANDIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIANDAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014 LAPORAN PRAKTEK PRAKT K KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker TIA ERVIZA ULFA ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014

3 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan PKPA ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh kepada saya. Depok, Juli 2014 Tia Erviza Ulfa Laporan ini diajukan oleh : Nama : Tia Erviza Ulfa, S.Farm NPM : Program Studi Judul Laporan : Apoteker - Fakultas Farmasi UI :Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma No. 7, Jl. Ir. H. Juanda No.30, Bogor Periode 2 Januari - 14 Februari 2014 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi. DEWAN PENGedy Hidayat, Apt (... ) iii

4 HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS Laporan ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Tia Erviza Ulfa NPM : Tanda Tangan : Tanggal : 28 Juni (... ) iv

5 HALAMAN PENGESAHAN Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini diajukan oleh: Nama : Tia Erviza Ulfa, S.Farm NPM : Program Studi : Apoteker - Fakultas Farmasi UI Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 17 Maret - 28 Maret 2014 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi. DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Drs. Riza Sultoni, Apt., MM. (... ) Pembimbing II : Prof. Dr. Endang Hanani, Apt., MS. (... ) Penguji I : (... ) Penguji II : (... ) Penguji III : (... ) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 28 Juni 2014 v

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada periode 17 Maret - 28 Maret Kegiatan PKPA bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan. Laporan PKPA ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian akhir Apoteker pada Fakultas Farmasi UI. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yaitu kepada : 1. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D, selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2. Dra. R. Dettie Yuliati, M.Si., Apt., selaku Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 3. Anwar Wahyudi, SE., S.Farm., Apt., MKM, selaku Kepala Subbagian Tata Usaha. 4. Drs. Riza Sultoni, M.M., Apt., selaku Kepala Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotik, Psikotropik, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus dan pembimbing dalam penulisan tugas umum yang selalu memberi saran dan mendukung penulis 5. Prof. Dr. Endang Hanani, MS., Apt. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, saran serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan laporan PKPA. 6. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 7. Dr. Hayun, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi. 8. Seluruh staf dan karyawan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atas segala pengarahan dan bantuan selama penulis melaksanakan PKPA. vi

7 9. Seluruh dosen pengajar dan tata usaha program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi 10. Keluarga tercinta, Papa, Mama dan Adik-adikku (Doni, Yuda, Clara) atas semua dukungan, kasih sayang, perhatian, kesabaran, dorongan, semangat, dan doa yang tak pernah putus mengiringi setiap langkah perjalanan hidup penulis. 11. Seluruh teman-teman Apoteker angkatan 78 atas kebersamaan, kerjasama dan kesediaan berbagi suka dan duka, dukungan dan semangat yang diberkan kepada penulis. 12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungannya kepada penulis Penulis menyadari bahwa laporan PKPA ini jauh dari sempurna. Semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis dapatkan selama kegiatan PKPA ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Penulis 2014 vii

8 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Tia Erviza Ulfa NPM : Program Studi : Profesi Apoteker Fakultas Jenis karya : Farmasi : Laporan PKPA demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker Di Direktorat Bina Produksi dandistribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan AlatKesehatan Kementerian Kesehatan Republik IndonesiaPeriode 17 Maret 28 Maret 2014 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia /format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : Juli 2014 Yang menyatakan (Tia Erviza Ulfa) viii

9 ABSTRAK Nama : Tia Erviza Ulfa NPM : Program Studi : Profesi Apoteker Judul : Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker Di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 17 Maret 28 Maret 2014 Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan AlatKesehatan bertujuan untuk mengetahui fungsi apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian dan memahami tugas Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, khususnya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Tugas khusus yang diberikan berjudul peralatan dan proses ekstraksi terstandar untuk memproduksi bahan baku obat tradisional yang baik, tugas khusus ini bertujuan untuk mendukung perkembangan produksi bahan baku obat yang terstandarisasi. Kata Kunci : Produksi dan distribusi kefarmasian, bahan baku obat tradisional Tugas Umum : xv + 57 halaman; 4 gambar; 4 tabel; 8 lampiran Tugas Khusus : v + 33 halaman; 8 gambar; 4 tabel Daftar Acuan Tugas Umum : 5 ( ) Daftar Acuan Tugas Khusus : 8 ( ) ix

10 ABSTRACT Name : Tia Erviza Ulfa NPM : Program Study : Apothecary profession Title : Pharmacist Internship Report In Directorate Of Production and Distribution Of Pharmaceutical Directorate General Of Pharmaceutical and Medical Devices Ministry Of Health Of The Republic Of Indonesia Period 17 March - 28 March 2014 Pharmacists Professional Practice at Directorate Of Production and DistributionOf Pharmaceutical Directorate General Of Pharmaceutical and Medical Devices Ministry Of Health Of The Republic Of Indonesia aims to understand the dutiesand functions of pharmacists pharmacy in pharmacies and pharmacist understandthe activities in Pharmaceutical Directorate General of Pharmaceutical andmedical Devices Ministry of Helath at the Republic Indonesia, especially atdirectorate of production and distribution pharmaceutical. Given a specialassignment titled equipmentandstandardizedextractionprocesstoproducethe good rawmaterialsof traditionalmedicine, this particular taskaimstosupport thedevelopment of theproduction ofraw materials thatstandardized Keywords : Production and Distribution of Pharmaceutical, rawmaterialsof traditionalmedicine General Assignment : xv + 57 pages; 4 pictures; 4 tables; 8 appendices Specific Assignment : v + 33 pages; 8 pictures; 4 tables Bibliography of General Assignment: 5 ( ) Bibliography of Specific Assignment: 8 ( ) x

11 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... ii SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS... iv HALAMAN PENGESAHAN... v KATA PENGANTAR... vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii ABSTRAK... ix DAFTAR ISI... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 3 BAB 2. TINJAUAN UMUM Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan BAB 3. TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN Tugas Pokok dan Fungsi Tujuan Visi dan Misi Sasaran Indikator Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Stategi Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Subbagian Tata Usaha Strategi Pelaksanaan Sumber Daya...34 BAB 4. PEMBAHASAN Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat...44 xi

12 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN...49 LAMPIRAN...50 xii

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Penampilan Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Tahun Rekapitulasi Perizinan Sub Direktorat Produksi dan Makanan Tahun Proses Penyelesaian Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri xiii

14 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Jumlah Pegawai di Lingkungan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun Tabel 4.1 Perizinan Bidang Obat dan Obat Tradisional Tahun Tabel 4.2 Izin Impor/Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Tahun 2013 yang diterbitkan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus...43 Tabel 4.3 Target, Realisasi dan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negri Tahun Tabel 4.4 Perbandingan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negri Tahun xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Struktu Organisasi Kementrian Kesehatan RI Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kefarmasian Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Lampiran 6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian...56 Lampiran 8. Daftar Nama Bahan Baku Obat dan Bahan Baku Obat Tradisional yang Telah Siap Diproduksi Didalam Negeri...57 xv

16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Definisikesehatanmenurut UU No. 36 tahun 2009 adalahkeadaansehat, baiksecarafisik, mental, spiritual maupunsosial yang memungkinkansetiap orang untukhidupproduktifsecarasosialdanekonomis.kesehatanmerupakanfaktor yang sangatpentingdalamkehidupan, halinidikarenakandengantubuh yang sehatsetiapindividudapatmenjalankansegalaaktivitaskehidupannyadenganbaikdanb erkualitas.kesehatanmerupakanhakasasimanusiadanmerupakansalahsatuunsurkese jahteraan yang harusdiwujudkansesuaidengancita-citabangsa Indonesia sebagaimanadimaksuddalampancasiladanundang-undangdasar Negara Republik Indonesia.Olehkarenaitupembangunankesehatanmerupakanhal yang sangatpentinguntukmeningkatkankualitaskesehatanrakyat Indonesia halinidikarenakandenganmeningkatnyaderajatkesehatanmasyarakat, jugaberartiinvestasibagipembangunannegara. Pembangunan kesehatanadalahupaya yang dilaksanakanolehsemuakomponenbangsa yang bertujuanuntukmeningkatkankesadaran, kemauan, dankemampuanhidupsehatbagisetiap orang agar terwujudderajatkesehatanmasyarakat yang setinggi-tingginya, sebagaiinvestasibagipembangunansumberdayamanusia yang produktifsecarasosialdanekonomis (KementerianKesehatan RI, 2009). MenurutUndang-UndangRepublik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentangkesehatan, pembangunankesehatandibangundenganasasperikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatanterhadaphak, dankeadilanbagiseluruhrakyat Indonesia. Pemerintahbertanggungjawabdalampembangunankesehatan, yaitumerencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, danmengawasipenyelenggaraanupayakesehatan yang meratadanterjangkauolehmasyarakatgunatercapinyaderajatkesehatan yang setinggi-tingginya. 1

17 2 Pemerintahjugabertanggungjawabatasketersediaansegalasumberdaya yang dibutuhkanuntukmendukungpembangunankesehatan RI. Hal inidikarenakanseluruhrakyatindonesia berhakmemilikihak yang samadalammemperolehaksesatassumberdaya di bidangkesehatandalammemperolehpelayanankesehatan yang aman, bermutu, danterjangkau (KementerianKesehatan RI,2009). Kesehatanmerupakanhak yang fundamental, olehkarenaituuntukpemerintahmelaluikementeriankesehatanterusberupaya agar pelayanankesehatanmemilikikualitas yang semakinbaik. Salah satuupayauntukmeningkatkanpelayanankesehatanadalahdenganpelayanankefarma sian yang profesional.terwujudnyapelayanankefarmasian yang mumpunimerupakantanggungjawabdariberbagaipihak, salahsatunyaadalahapoteker.apotekerselakutenagakesehatan yang bertanggungjawabataspelayanankefarmasiandituntutuntukdapatmeningkatkanpen getahuandanketerampilanmelaluipembinaanpelayanankefarmasian.untukmenunja nghaltersebut, makapemerintahmelaluikeputusanmenterikesehatanno. 1277/MENKES/SK/2001 membentukdirektoratjenderalpelayanankefarmasiandanalatkesehatan (DitjenYanfardanAlkes) yang selanjutnyabergantinamamenjadidirektoratjenderalbinakefarmasiandanalatkese hatan (DitjenBinfardanAlkes) berdasarkanperaturanmenterikesehatan RI No. 1575/MENKES/PER/XI/2005. BerdasarkanPeraturanMenteriKesehatanRepublik Indonesia No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentangorganisasidan Tata KerjaKementerianKesehatan, DirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlatKesehatandibagimenjadiempatdirekto rat, salahsatunyaadalahdirektoratbinaproduksidandistribusikefarmasian. Direktoratinibertugasmelaksanakanpenyiapan, perumusan, danpelaksanaankebijakandanpenyusunannorma, standar, prosedur, dankriteriasertabimbinganteknisdanevaluasi di bidangproduksidandistribusikefarmasian. Peranapoteker di

18 3 pemerintahanberkaitandalampenanganansediaanfarmasidanalatkesehatan, halinimerupakanhal yang sangatpenting,olehkarenaitudiperlukanadanyapembekalanbagiparacalonapotekerm engenaitugasdanfungsiapotekerdalambidangkefarmasian yang bertujuanmemperkenalkan program pemerintahdalammeningkatkanperanapoteker di masyarakat. Olehkarenaitu, diselenggarakanpraktkkerjaprofesiapoteker (PKPA) di KementerianKesehatan, denganharapancalonapotekerdapatmemperolehgambarannyatatentangperanapotek er di masyarakatsecaraumumdan di DirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlatKesehatansecarakhusus, terutama di DirektoratBinaProduksidanDistribusiKefarmasian. 1.2 Tujuan PraktikKerjaProfesiApoteker (PKPA) di DirektoratJenderalBina KefarmasiandanAlatKesehatanbertujuan agar calonapoteker : a. MengetahuidanmemahamitugasDirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlat KesehatanKementerianKesehatan RI, khususnya di DirektoratBinaProduksidanDistribusiKefarmasian. b. Memahamiperandanfungsiprofesiapotekerdalammelaksanakanpekerjaankefa rmasian di DirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlatKesehatanKementerianKesehata n RI, khususnya di DirektoratBinaProduksidanDistribusiKefarmasian.

19 BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merupakan badan pelaksana pemerintah di bidang kesehatan yang dipimpin oleh Menteri dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 nama Kementerian Kesehatan digunakan untuk menggantikan nama sebelumnya yaitu Departemen Kesehatan Dasar Hukum Kementrian Kesehatan dibentuk berdasarkan dasar hukum, berikut adalah dasar hukum yang dimiliki oleh kementrian kesehatan : a. Perpres RI No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. b. Perpres RI No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. c. Permenkes RI No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan Visi dan Misi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia memiliki sebuah Visi, yaitu Sehat Yang Mandiri,dan Berkeadilan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Oleh karena itu agar visi tersebut tercapai,kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan beberapa misi, dimana misi tersebut yaitu sebagai berikut: a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. 4

20 5 b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata bermutu dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik Strategi Untuk mewujudkan Visi dan Misi yang telah ditetapkan guna untuk meningkatkan pembangunan kesehatan, maka Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah menyusun beberapa strategi. Adapun strategi tersebut adalah : a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global. b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. c. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu. e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan. f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggungjawab Nilai-Nilai Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia membuat beberapa strategi guna tercapainya visi dan misi tersebut, akan tetapi strategi tersebut harus menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai berikut berikut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) :

21 6 a. Pro Rakyat Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan haruslah menghasilkan yang terbaik untuk rakyat.diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. b. Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja.dengan demikian, seluruh komponen masyarakat harus berpartisipasi aktif, yang meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat pengusaha, masyarakat madani dan masyarakat akar rumput. c. Responsif Program kesehatan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat, serta tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis.faktor-faktor ini menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda, sehingga diperlukan penanganan yang berbeda pula. d. Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan dan bersifat efisien. e. Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel Tujuan Sebagai penjabaran dari Visi Kementrian Kesehatan, maka tujuan yang akan dicapai adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasilguna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Kementrian Kesehatan repuplik Indonesia, 2011). Tujuan tersebut dicapai melalui pembinaan, pengembangan,

22 7 danpelaksanaan, serta pemantapan fungsi-fungsi administrasi kesehatan yang didukung oleh system informasi kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, serta hukum kesehatan Sasaran Strategis Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud.pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan pada perikemanusiaan,pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, lanjut usia (lansia), dan keluarga miskin. Oleh sebab itu diperlukan sasaran-sasaran starategis guna meningkatkan pembangunan kesehatan di Indonesia, berikut adalah sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan tahun , yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011): a. Meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat, dengan: 1) Meningkatnya umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun 2) Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per kelahiran hidup 3) Menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per kelahiran hidup 4) Menurunnya angka kematian neonatal dari 19 menjadi 15 per kealahiran hidup 5) Menurunnya prevalensi anak balita yang pendek (stunting) dari 36,8 persen menjadi kurang dari 32 persen 6) Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh naskes terlatih (cakupan PN) sebesar 90% 7) Persentase puskesmas rawat inap yang mampu melaksanakan Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar (PONED) sebesar 100% 8) Persentase Rumah Sakit Kabupaten Kota yang melaksanakan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komperhensif (PONEK) sebesar 100% 9) Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN lengkap) sebesar 90%.

23 8 b. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular, dengan : 1) Menurunnya prevalensi Tuberculosis dari 235 menjadi 224 per penduduk 2) Menurunnya kasus malaria (Annual Paracite Index-API dari 2 menjadi 1 per penduduk 3) Terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa dari 0,2 menjadi di bawah 0,5% 4) Meningkatnya cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan dari 80% menjadi 90% 5) Persentase desa yang mencapai Universal Child Immunization (UCI) dari 80% menjadi 100% 6) Angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) dari 55 menjadi 51 per penduduk c. Menurunnya disparasitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender, dengan menurunnya disparasitas separuh dari tahun d. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi resiko financial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin. e. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70 persen. f. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). g. Seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular. h. Seluruh Kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rencana Strategis (Renstra) Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka sebagai salah satu pelaku pembangunan kesehatan, Kementrian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Kesehatan periode

24 9 Renstra Kementrian Kesehatan merupakan dokumen perencanaan yang bersifat indikatif dan memuat berbagai program pembangunan kesehatan yang akan dilaksanakn langsung oleh Kementrian Kesehatan untuk kurun waktu , dengan penekanan pada penetapan sasaran Prioritas Nasional, Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan Millenium Development Goals s (MDG S). Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui beberapa upaya untuk peningkatan : 1. Upaya kesehatan 2. Pembinaan kesehatan 3. Sumber daya manusia kesehatan 4. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan 5. Manajemen dan informasi kesehatan 6. Pemberdayaan masyarakat Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) dalam tahap ke-2 ( ), kondisi pembangunan kesehatan diharapkan telah mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan dengan membaiknya berbagai indikator pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), seperti meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, meningkatnya kesetaraan gender, meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak, terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, serta menurunnya kesenjangan antar individu, antar kelompok masyarakat, dan antar daerah Arah Kebijakan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesis, 2011) Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama yang diarahkan untuk mencapai sasaran peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ditandai dengan meningkatnya IPM dan Indeks Pembangunan Gender (IPG), yang didukung oleh tercapainya penduduk tumbuh seimbang, serta semakin kuatnya jati diri dan karakter bangsa. Sesuai visi misi Presiden, kebijakan pembangunan kesehatan periode 5

25 10 tahun ke depan ( ) diarahkan pada tersedianya akses kesehatan dasar yang murah dan terjangkau terutama pada kelompok menengah ke bawah guna mendukung pencapainya MDG s pada tahun Tema Prioritas Pembangunan Kesehatan pada tahun adalah Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan melalui : 1. Program Kesehatan Masyarakat 2. Program Keluarga Berencana (KB) 3. Sarana Kesehatan 4. Obat 5. Asuransi Kesehatan Nasional Prioritas Pembangunan Kesehatan pada tahun difokuskan pada delapan fokus prioritas, yaitu : 1. Peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita, dan Keluarga Berencana (KB) 2. Perbaikan status gizi masyarakat 3. Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular diikuti penyehatan lingkungan 4. Pemenuhan, pengembangan, dan pemberdayaan SDM kesehatan 5. Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, keamanan, mutu, dan penggunaaan obat serta pengawasan obat dan makanan 6. Pengembangan sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) 7. Pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan 8. Peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier Arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan didasarkan pada arah kebijakan dan strategi nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan memperhatikan permasalahan kesehatan yang telah diindentifikasi melalui hasil review pelaksanaan pembangunan kesehatan sebelumnya. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan periode tahun Perencanaan program dan kegiatan secara keseluruhan telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan.Namun untuk menjamin terlaksanannya berbagai upaya kesehatan yang dianggap prioritas dan mempunyai

26 11 daya ungkit besar di dalam pencapaian hasil pembangunan kesehatan, dilakukan upaya yang bersifat reformatif dan akseleratif. Upaya tersebut meliputi pengembangan Jaminan Kesehatan Masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan di DTPK, ketersediaan, keterjangkauan obat di seluruh fasilitas kesehatan, saintifikasi jamu, pelaksanaan reformasi birokrasi, pemenuhan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Penanganan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK), pengembangan pelayanan untuk Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia (World Class Hospital). Langkah-langkah pelaksanaan upaya reformasi tersebut disusun di dalam dokumen tersendiri, dan menjadi dokumen yang tidak terpisahkan dengan dokumen Rencana Strategis Kementerian Kesehatan ini. Upaya kesehatan tersebut juga ditujukan untuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antar wilayah, gender, dan antar tingkat sosial ekonomi, melalui: pemihakan kebijakan yang lebih membantu kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengalokasikan sumber daya yang lebih memihak kepada kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengembangan instrument untuk memonitor kesenjangan antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi, dan peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah yang tertinggal. Selain itu, untuk dapat meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, kedelapan fokus prioritas pembangunan nasional bidang kesehatan didukung oleh peningkatan kualitas manajemen dan pembiayaan kesehatan, sistem informasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, melalui: a. Peningkatan kualitas perencanaan, penganggaran dan pengawasan pembangunan kesehatan b. Pengembangan perencanaan pembangunan kesehatan berbasis wilayah c. Penguatan peraturan perundangan pembangunan kesehatan d. Penataan dan pengembangan sistem informasi kesehatan untuk menjamin ketersediaan data dan informasi kesehatan melalui pengaturan sistem informasi yang komprehensif dan pengembangan jejaring e. Pengembangan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi

27 12 kesehatan dalam bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, rancang bangun alat kesehatan dan penyediaan bahan baku obat f. Peningkatan penapisan teknologi kesehatan dari dalam dan luar negeri yang cost effective g. Peningkatan pembiayaan kesehatan untuk kegiatan preventif dan promotif; h. Peningkatan pembiayaan kesehatan dalam rangka pencapaian sasaran luaran dan sasaran hasil i. Peningkatan pembiayaan kesehatan di daerah untuk mencapai indikator SPM j. Penguatan advokasi untuk peningkatan pembiayaan kesehatan k. Pengembangan kemitraan dengan penyedia pelayanan masyarakat dan swasta l. Peningkatan efisiensi penggunaan anggaran m. Peningkatan biaya opersional Puskesmas dalam rangka peningkatan kegiatan preventif dan promotif dengan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Struktur Organisasi Struktur organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/ MENKES/PER/VIII/2010 pasal 4 menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010a) : a. Sekretariat Jenderal. b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. f. Inspektorat Jenderal. g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi. j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat. k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi.

28 13 m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi. o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r. Pusat Komunikasi Publik. s. Pusat Promosi Kesehatan. t. Pusat Inteligensia Kesehatan. u. Pusat Kesehatan Haji. Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada lampiran Kedudukan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 1, kedudukan dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia adalah (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : 1. Kementrian Kesehatan berada di bawah dan beranggung jawab kepada Presiden. 2. Kementrian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kesehatan Tugas Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 2, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Fungsi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 3 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik

29 14 Indonesia, 2010) : a. Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan. b. Pengelolaan barang milik atau kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di daerah. e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional Kewenangan Dalam menyelenggarakan fungsinya, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai kewenangan, berikut adalah kewenangan Kementrian Kesehatan RI : a. Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan secara makro b. Penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota di bidang Kesehatan c. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan d. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan e. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan f. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama Negara di bidang kesehatan g. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan h. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan i. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan j. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan k. Penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan

30 15 l. Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak m. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat n. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan o. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan p. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan q. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi r. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan s. Surveilan epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa t. Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat esensial (buffer stock nasional) u. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : 1) Penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu 2) Pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan 2.2. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kedudukan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Direktorat Jenderal adalah unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.Direktorat Jenderal dipimpin oleh Direktur Jenderal Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Direkorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.

31 16 b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tujuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) a. Terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan; b. Terlindunginya masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan kerasionalan; dan c. Meningkatnya mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang didukung oleh tenaga farmasi yang profesional Sasaran dan Indikator ( Ditjen Binfar dan Alkes,2013) Sasaran hasil program kefarmasian dan alat kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100% Kegiatan (Ditjen Binfar dan Alkes,2013) Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, maka diperlukan dilakukan upaya kegiatan untuk mencapai sasaran tersebut. kegiatan yang akan dilakukan meliputi: a. Peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan; b. Peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; c. Peningkatan pelayanan kefarmasian; dan d. Peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian.

32 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dipimpin oleh Direktur Jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan.Struktur Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 2. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri dari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Sekretariat Direktorat Jenderal. b. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. c. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. d. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan. e. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Sekretariat Direktorat Jenderal Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan. Struktur Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 3. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi, berikut adalah fungsinya ((Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran. b. Pengelolaan data dan informasi. c. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional, dan hubungan masyarakat. d. Pengelolaan urusan keuangan. e. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan. f. Evaluasi dan penyusunan laporan. Sekretariat Direktorat Jendral terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010): 1) Bagian Program dan Informasi. 2) Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat.

33 18 3) Bagian Keuangan. 4) Bagian Kepegawaian dan Umum. 5) Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

34 19 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Lampiran 4): a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat. b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas,farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. d. Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai struktur organisasi yang terdiri atas (Lampiran 5):

35 20 1) Subdirektorat Standarisasi 2) Subdirektorat Farmasi Komunitas 3) Subdirektorat Farmasi Klinik 4) Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional 5) Subbagian Tata Usaha 6) Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 588, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyaistruktur organisasi Direktorat Bina Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri atas (Lampiran 6):

36 21 1) Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan. 2) Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. 3) Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. 4) Subdirektorat Standarisasi dan Sertifikasi. 5) Subbagian Tata Usaha. 6) Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Struktur organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi kefarmasian terdiri atas (Lampiran 7): 1) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. 2) Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan.

37 22 3) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus. 4) Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. 5) Subbagian Tata Usaha. 6) Kelompok Jabatan Fungsional.

38 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN 3.1 Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempuyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunannorma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan perizinan dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. 3.2 Tujuan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tujuan yaitu : industri Farmasi dan Makanan Yang Memenuhi Syarat dan Mampu Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri Serta Bersaing di Era Globalisasi (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013). 23

39 Visi dan Misi Agar tujuan yang telah ditetapkan oleh direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dapat tercapai, aktivitas operasional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian beradasarkan Visi dan Misi sebagai berikut (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013): 1. Visi Industri farmasi dan Makanan yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bersaing di era globalisasi. 2. Misi a. Menyusun dan mengembangkan standar dan persyaratan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. b. Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. c. Membentuk aliansi strategis dalam bidang obat, obat tradisonal, sediaan farmasi khusus, kosmetik dan makanan. d. Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan makanan. 3.4 Sasaran Guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah menetapkan beberapa sasaran, berikut adalah sasarannya :(Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) a. Menciptakan iklim industri yang kondusif melalui penyusunan regulsi, standar dan pedoman yang dapat mengakomodir pengembangan di bidang farmasi dan makanan. b. Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan dsitribusi kefarmasian dan makanan c. Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan makanan d. Menciptakan kemandirian di bidang kefarmasian

40 Indikator Kegiatan Peningkatan produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki luaran sebagai berikut : a. Meningkatnya produks bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian b. Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian c. Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri. 3.6 Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dilaksanakan melalui 10 program, meliputi (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) : a. Menyusun norma, standar, persyaratan serta regulasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan; b. Mengupayakan kemandirian di bidang obat, bahan baku obat dan obat tradisional Indonesia melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati; c. Meningkatkan pelaksanaan pelayanan prima didalam perijinan di bidang obat, narkotika, psikotropika, prekursor dan obat tradisional dan sediaan farmasi khusus, dan kosmetika; d. Membentuk aliansi strategis dalam rangka meningkatkan kemandirian obat, obat tradisional, kosmetika dan makanan; e. Menintegrasikan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal; f. Meningkatkan daya saing industri farmasi dan makanan; g. Meningkatkan keamanan, khasiat dan mutu sediaan farmasi dan makanan yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah danpenyalahgunaan sediaan farmasi dan makanan; h. Melaksanakan pembinaan terhadap sarana dan prasarana kefarmasiaan dan makanan; i. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan;

41 26 j. Monitoring dan evaluasi program Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian 3.7 Strategi Strategi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran Direkorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dengan cara sebagai berikut(direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) : a. Menyusun regulasi, standar dan pedoman yang dapat mengakomodir pengembangan di bidang farmasi dan makanan. b. Membentuk aliansi strategis dan mengintegrasikan sumber daya. c. Melaksanakan koordinasi dan pembinaan yang terpadu. d. Meningkatkan kapasitas SDM yang kompeten dan profesional. 3.8 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki Struktur Organisasi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. b. Sudirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan. c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. d. Subdirekorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional. 3.9 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan

42 27 di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan dan pelak sanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional Struktur Organisasi (Kementerian Kesehatan RI, 2010) Struktur Organisai Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional terdiri atas : a. Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. b. Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menangani penerbitan usaha industri farmasi, pedagang besar farmasi, pedagang besar bahan baku farmasi, industri obat tradisional dan penyusunan standar dan pedoman di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.

43 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010) Subdirektorat Poduksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang produksi kosmetika dan makanan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang produksi kosmetika dan makanan. b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kosmetika dan makanan. c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi kosmetika. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi kosmetika dan makanan. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan terdiri atas(kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Seksi Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi kosmetika dan makanan. b. Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang sarana produksi kosmetika. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menangani penerbitan

44 29 izin usaha di bidang produksi kosmetika dan makanan dan penyusunan standar dan pedoman di bidang produksi ksometika dan makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI,2010) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. c. Pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. d. Penyiapan bahan bimbingan dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus terdiri dari

45 30 atas(kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi. b. Seksi Sediaan Farmasi Khusus Seksi Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sediaan farmasi khusus dan makanan. Subdirekorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Sediaan Farmasi Khusus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, maka dalam hal ini Subdirektorat tersebut menangani/menerbitkan izin import/eksport prekusor, psikotropika Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Tugas dan Fungsi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat menyelengarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. c. Penyiapan bahan koordinasi serta pelakasanaan kerjasama lintas program

46 31 dan lintas sektor di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang kemandirian obat dan bahan baku obat Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat terdiri atas(kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. b. Seksi Kerjasama Seksi Kerjasama mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan koordinasi, pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor, pengendalian serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kerjasama di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat Subbagian Tata Usaha Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas untuk melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat sebagai berikut (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) : Umum a. Pencatatan surat menyurat (surat masuk dan surat keluar) dengan sistem arsiparis. b. Distribusi surat masuk dan surat keluar ke subdit maupun eksternal Direktorat c. Pengetikan (komputerisasi) surat terutama untuk keperluan pimpinan d. Penyusunan daftar kepustakaan Direktorat e. Kearsipan dengan pola atau sistem arsiparis.

47 Kepegawaian Tugas Subbagian Tata Usaha Kepegawaian adalah membuat data dan informasi kepegawaian. Data dan informasi tersebut antara lain: a. Daftar nama-nama pejabat berdasarkan nomor urut kepangkatan berikut nama jabatan, eselon dan golongan. b. Daftar seluruh pegawai berdasarkan nomor urut kepangkatan dan nama jabatan serta alamat. c. Informasi tentang kenaikan pangkat maupun memasuki masa pensiun. d. Menyusun dan menyimpan berkas-berkas data KP4 (Surat Keterangan Untuk Mendapat Tunjangan Keluarga) maupun daftar riwayat hidup seluruh pegawai. e. Menyusun dan menyimpan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) seluruh pegawai berdasarkan urutan tahun penilaian. f. Menyusun dan menyimpan berkas-berkas yang berkaitan dengan pegawai untuk seluruh pegawai. g. Mengurus data kenaikan pangkat pegawai yang mau naik pangkat. h. Membantu pengurusan pembuatan SIMKA (Sistem Informasi Kepegawaian) Kerumahtanggaan Direktorat Tugas Subbagian Tata Usaha kerumahtangaan adalah sebagai berikut : a. Melakukan inventarisasi barang-barang inventaris milik negara. b. Melakukan pendataan yang berkaitan dengan pemeliharaan barang-barang inventaris dan bekerjasama dengan bagian umum dan kepegawaian Setditjen (Sekertaris Direktorat Jenderal) Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. c. Melakukan pendataan barang-barang inventaris yang akan diusulkan penghapusannya secara administratif yang selanjutnya diteruskan ke Bagian Umum dan Kepegawaian Setditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. d. Menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan rapat atau tamu-tamu Direktur. e. Menata dan mengatur ruang penyimpanan berkas/barang inventaris di Gudang Direktorat.

48 Strategi Pelaksanaan Strategi yang dilaksanakan oleh masing masing Subdirektorat untuk mencapai target indikator adalah sebagai berikut (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013): Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional a. Aliansi strategis dalam kemandirian di bidang obat tradisional b. Penyusunan NSPK di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional c. Pembinaan kepada sarana di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di bidang pembinaan obat dan obat tradisional e. Membangun jejaring kerja dengan pemangku kepentingan nasional di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan a. Aliansi strategi di bidang produksi kosmetik dan makanan b. Penyusunan NSPK di bidang produksi kosmetik dan makanan c. Pembinaan kepada produsen kosmetik dan makanan d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, kabupaten/kota di bidang pembinaan produksi makanan e. Membangun jejaring kerja dengan pemangku kepentingan nasional di bidang produksi kosmetik dan makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus a. Membangun jejaring kerjasama dengan stake holder terkait melalui aliansi strategi di bidang produksi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus b. Penyusunan NSPK di bidang produksi narkotik, psilotropik, prekursor dan sediaan farmasi khusus

49 34 c. Pembinaan terhadap industri farmasi dan PBF yang melakukan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, kabupaten/kota di bidang pembinaan produksi dan distibusi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus dan pelaporan Narkotika dan Psikotropika Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat a. Pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat. Kelompok kerja kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kemandirian dan stakeholder terkait lain dengan kementrian kesehatan sebagai koordinator b. Kerjasama dan fasilitas penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT dan LIPI) di bidang pengembangan bahan baku obat c. Pembentukan jejaring kerja dengan berbagai stake holder diantaranya institusi penelitian, kalangan indutri dan asosiasi pengusaha 3.15 Sumber Daya(Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2014) Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang bertugas di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sampai akhir tahun 2013 berjumlah 47 orang yang terdiri dari 34 PNS dan 13 Non PNS. Berdasarkan jabatan, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari 14 orang dengan jabatan struktural dan 20 orang dengan jabatan fungsional umum/staf. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Jumlah pegawai di lingkungan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun 2013 No Jabatan Jumlah 1 Menurut Jabatan Jabatan Struktural Jabatan Fungsional Umum/Staf 14 orang 20 orang

50 Menurut Golongan Golongan II Golongan III Golongan IV 4 orang 23 orang 7 orang Menurut Pendidikan S2 24 orang S1 4 orang D3 2 orang SLTA 2 orang SLTP 1 orang Menurut Jenis Kelamin Pria 9 orang Wanita 25 orang Menurut Kelompok Usia < 30 tahun 9 orang tahun 12 orang tahun 5 orang tahun 8 orang Total SDM Sarana dan Prasarana (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) Sarana dan prasarana yang tersedia di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian sesuai dengan Laporan Barang Milik Negara (BMN) pada Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menggunakan data yang berasal dari Sistem Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN).

51 BAB 4 PEMBAHASAN Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan suatu Direktorat yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan yang terdiri dari 4 subdirektorat yaitu Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional, Subdirektorat Produksi Kosmetika Dan Makanan, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus Dan Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. 4.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Berdasarkan pengamatan selama PKPA di Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional, subdirektorat telah melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Kerja nyata yang telah dilaksanakan oleh Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional antara lain: 36

52 37 a. Pemetaan industri farmasi, industri obat tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. b. Perizinan industri farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. c. Penyusunan Farmakope Indonesia d. Penyusunan Kurikulum Modul Pembinaan di bidang Obat dan Obat Tradisional e. Penyusunan Pedoman Pembinaan IOT dan IEBA. f. Penyusunan Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan di Bidang Obat dan Obat Tradisional g. Sosialisasi perizinan dalam mewujudkan pelayanan perizinan terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional telah mengeluarkan izin terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat telah mengeluarkan izin sebanyak 577 selama tahun 2013 yang terbagi dalam 7 jenis. Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.1 Tabel 4.1 Daftar Perizinan Bidang Obat dan Obat Tradisional Tahun 2013 No. Jenis Kategori Izin yang Dikeluarkan 1. Izin IF Persetujuan Prinsip IF 6 3. Izin IOT Persetujuan Prinsip IOT 1 5. Izin IEBA 2 6. Izin PBF Izin PBF Bahan Obat 43

53 38 JUMLAH IZIN REKAPITULASI PERIZINAN SUBDIREKTORAT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI OBAT DAN OBAT TRADISIONAL TAHUN 2013 IF Prinsip IF IOT Prinsip IOT IEBA PBF PBFBO JENIS IZIN Gambar 4.1 Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obatdan ObatTradisional Tahun 2013 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional melakukan sosialisasi perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Obat dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat secara berkesinambungan. Sosialisasi yang telah dilakukan dalam bentuk : 1. Aliansi strategis di bidang obat dan obat tradisional, 2. Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Obat Tradisional melalui media cetak 3. Pendampingan tenaga kesehatan Provinsi terhadap perizinan dalam rangka pelayanan prima 4. Pembekalan terhadap sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional 5. Pendampingan bagi KUMKM bidang obat tradisional 6. Pembekalan tenaga kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka pembinaan industri dan usaha obat tradisional Sosialisasi ini terus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan pemahaman industri farmasi, industri obat tradisional, Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat (PBFBO) agar mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Menurut pengamatan yang dilakukan selama Praktik Kerja Profesi Apoteker mengenai proses pengajuan perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat

54 39 yang dilakukan di loket 1 Unit Layanan Terpadu, masih banyak berkas perizinan yang belum lengkap sehingga pemohon harus datang berulang-kali. Perizinan yang ditangani Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian ini merupakan suatu perizinan yang kompleks dan melibatkan juga instansi lainnya seperti Dinas Kesehatan Propinsi, Badan Pengawas Obat dan Makanan dan BKPM. Rekomendasi dari instansi lain tersebut merupakan salah satu persyaratan dari permohonan perizinan, sehingga tertundanya pengeluaran surat rekomendasi menyebabkan proses perizinan menjadi lebih lama. Selain itu, dari sekian banyak kegiatan pelayanan perizinan sarana produksi dan distribusi yang ditangani oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, baru perizinan ekspor/impor narkotika saja yang menerapkan sistem online registration. Perizinan lainnya masih dilakukan pemeriksaan secara manual saja, namun akan diarahkan menjadi pelayanan online ke depannya. Dengan adanya sistem online registration ini, diharapkan proses akan lebih cepat dan efisien. 4.2 Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan Subdirektorat produksi kosmetika dan makanan bertanggung jawab dalam mengatur regulasi produksi kosmetik dan makanan yaitu penyiapan bahanperumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan, serta bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap industri kosmetik dan makanan untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Berdasarkan Pemenkes RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang izin produksi kosmetika, diatur mengenai tata cara perizinan produksi kosmetika. Syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin produksi kosmetika adalah industri kosmetika harus menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB) dalam produksinya.cpkb bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Izin produksi diberikan sesuai bentuk dan jenis kosmetik yang akan dibuat. Izin produksi dibedakan atas dua golongan sebagai berikut,

55 40 industri kosmetik golongan A yaitu izin produksi yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetik dan wajib menerapkan seluruh aspek CPKB. Pada industri kosmetik golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetik yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetik tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana, namun harus mampu menerapkan hygiene sanitasi dan dokumentasi sesuai dengan CPKB.Hal ini bertujuan untuk menjaminmutu, keamanan dan kemanfaatan kosmetika yang beredar di masyarakat. Di Indonesia peraturan kosmetik disesuaikan dengan harmonisasi ASEAN tahun 1998.Penerapkan harmonisasi ASEAN di Indonesia pada tahun 2011 dalam bentuk notifikasi kosmetika.tujuan perubahan alur registrasi menjadi notifikasi ialah agar masyarakat dilindungi dari peredaran dan penggunaan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, klaim manfaat produk serta mempermudah perolehan izin edar kosmetik. Notifikasi kosmetik, menetapkan aturan mengenai tata cara untuk memperoleh notifikasi dari suatu produk kosmetik sebelum diedarkan kemasyarakat yang diatur dalam Permenkes RI No. 1175Menkes/Per/VIII/2010 dan di bawah kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Penerapan sistem online dalam melakukan notifikasi mempermudah industri kosmetik dalam mendaftarkan produknya melalui website memiliki kelemahan, yaitukonsumen sulit untuk mengetahui apakah produk yang beredar tersebut telah ternotifikasi atau belum ternotifikasi.hal ini disebabkan karena dalam notifikasi tidak wajib mencantumkan nomor notifikasi di dalam kemasan produk kosmetik.pada subdit ini juga dilakukan standarisasi kosmetik yang beredar dengan menyusun Formularium Kosmetik Indonesia. Pada pengaturan produksi makanan, kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan regulasi, pembinaan, pengawasan terhadap industri makanan yang ada di Indonesia. Pada subdit ini, dilakukan penetapan standar terhadap bahan tambahan dalam pangan yang diatur dalam Permenkes RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), serta pembinaan terhadap Industri Rumah Tangga (IRT). Diharapkan produk yang sampai ke konsumen memenuhi

56 41 syarat mutu dan keamanan. Subdirektorat produksi kosmetik dan makanan melaksanakan perizinan di bidang produksi kosmetik sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.selama tahun 2013, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Kosmetika dan Makanan telah memberikan izin di bidang Kosmetika dan melakukan pembinaan pada Industri Rumah Tangga yang memproduksi makanan.pada tahun 2013, jumlah izin produksi kosmetika yang masuk adalah sebanyak 106 buah, ditambah dengan jumlah izin yang masuk di tahun sebelumnya sehingga jumlah yang diterbitkan adalah sebanyak 118 buah izin, dengan rincian 113 izin (95,76%) diselesaikan tepat waktu dan izin (4,24%) tidak tepat waktu. Dinyatakan tepat waktu apabila waktu penyelesaian izin kurang dari 14 hari kerja, yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika.Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dilihat pada Grafik dan Diagram di bawah ini. REKAPITULASI PERIZINAN SUB DIREKTORAT PRODUKSI KOSMETIK DAN MAKANAN TAHUN 2013 JUMLAH IZIN IZIN PRODUKSI KOSMETIK 16 PERGANTIAN PJ PENAMBAHAN BENTUK SEDIAAN JENIS IZIN 4 3 PERUBAHAN Gambar 4.2 Rekapitulasi Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun 2013

57 42 4% 14 HK (Sesuai Permenkes 1175) 14 HK (Tidak Sesuai Permenkes 1175) 96% Gambar Proses Penyelesaian Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun Subdirektorat ektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus merupakan subbagian dari Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yang khusus menangani hal-hal hal hal yang terkait perizinan di bidang impor/ekspor narkotika, narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi seperti Surat Persetujuan Impor (SPI), Surat Persetujuan Ekspor (SPE), Importir Produsen (IP), Importir Terdaftar (IT), Eksportir Produsen (EP) dan Eksportir Terdaftar (ET). Selain menangani perizinan narkotika, Subdirektorat Subdirektorat ini juga menangani pengadaan sediaan farmasi khusus melalui jalur SAS ((Special Access Scheme) untuk sediaan farmasi yang belum memiliki izin edar di Indonesia. Pemberian izin sebagai IP narkotika, psikotropika maupun prekursor farmasi serta Surat urat Persetujuan impor/ekspor narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dapat diberikan atas persetujuan Menteri Kesehatan. Dalam hal impor/ekspor narkotika, PT Kimia Farma ditunjuk sebagai Industri tunggal yang memiliki izin sebagai IP (Importir Produsen) Produsen) dan PBF tunggal sebagai IT (Importir Terdaftar) narkotika di mana impor/ekspor psikotropika dan prekursor farmasi dapat dilakukan oleh industri farmasi maupun PBF lainnya.

58 43 Narkotika dan Psikotropika memerlukan penanganan khusus terkait produksi dan distribusinya mulai dari pengadaan bahan baku hingga dalam bentuk produk jadi yang siap diedarkan. Selain narkotika dan psikotropika, dikenal istilah prekursor atau bahan kimia yang dengan reaksi sederhana dapat diubah menjadi narkotika dengan penambahan senyawa lain. Prekursor farmasi juga memiliki tingkat resiko penyalahgunaan yang tinggi sehingga memerlukan pengawasan khusus seperti Narkotika dan Psikotropika. Sediaan Farmasi Khusus merupakan sediaan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia tetapi belum memiliki izin edar di Indonesia yang dapat diperoleh dari sumbangan negara lain. Obat tersebut digunakan untuk pengobatan penyakit langka atau menyangkut keselamatan jiwa manusia seperti obat untuk penyakit Hemofilia. Kurangnya nilai komersial dari sediaan farmasi khusus menyebabkan tidak ada importir atauprodusen yang bersedia menangani registrasi dan izin edarnya. Pengadaan sediaan farmasi khusus ini melalui jalur khusus yang dikenal dengan istilah SAS (Special Access Scheme). Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun 2013, Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus yang telah diterbitkan dapat dilihat pada grafik di bawah ini : Tabel 4.2.Izin Impor/Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Tahun 2013 yang diterbitkan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. No Jumlah SPI SPE IP EP IT 1. Narkotika Psikotropika Prekursor

59 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat melaksanakan tugasnya yang bertujuan menjadikan negara Indonesia dapat mandiri dalam hal pengadaan obat dan bahan baku obat karena hampir 96% kebutuhan produk obat tersebut tergantung pada bahan baku obat (BBO) impor. Ada beberapa faktor yang menghambat kemandirian obat dan bahan baku obat dalam negeri diantaranya bahan baku hasil penelitian tidak sesuai kebutuhan bahan baku obat di industri dan tingginya pajak yang dikenakan untuk komponen pembuatan bahan baku obat. Hal ini mengakibatkan harga bahan baku hasil produksi dalam negeri menjadi lebih tinggi daripada harga bahan baku impor. Kemandirian yang dimaksud adalah industri farmasi mudah mendapatkan bahan baku obat hasil produksi dalam negeri sehingga tidak terpengaruh dengan kondisi pasar global. Keadaan ini akan menjaga kestabilan harga obat dalam negeri. Untuk mencapai tujuan kemandirian obat dan dan ketersediaan bahan baku obat, pemerintah melakukan beberapa hal, dimulai dengan pengalokasian dana riset bekerjasama dengan lembaga terkait dan industri farmasi, menstimulasi berdirinya industri bahan baku obat, dan mengupayakan kerjasama distribusi bahan baku obat produksi dalam negeri ke pasar internasional. Definisi operasional dari bahan baku obat dan obat tradisional yang diproduksi di dalam negeri yaitu : bahan awal penyusun sediaan farmasi (obat dan obat tradisional) dapat berupa bahan berkhasiat maupun bahan tambahan yang merupakan hasil penerapan teknologi maupun bahan alam yang siap diproduksi. Untuk memenuhi bahan baku obat dalam negeri, pemerintah menyusun roadmap pengembangan bahan baku. Dengan roadmap ini diharapkan terjalin kerjasama antara instansi/lembaga terkait dengan industri farmasi. Dalam roadmap tersebut telah ditetapkan strategi yaitu mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku obat; meningkatkan sinergitas Academic Business Goverment (ABG); menguatkan riset di bidang bahan baku obat yang berorientasi pada kebutuhan; meningkatkan kemampuan iptek; dan meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumber daya alam, dan bioteknologi. Untuk pengembangan bahan baku obat yang lebih efektif, saat ini telah dibentuk POKJANAS pengembangan bahan baku yang terdiri dari

60 45 beberapa lembaga, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan POM, Kemenkokesra, BPPT, LIPI, universitas, dan industri farmasi. Pada tahun 2013, jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri yang tersedia mencapai 39 jenis dari target yang telah ditetapkan, seperti yang tertera pada tabel 4.4 Tabel 4.3. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Tahun 2013 INDIKATOR KINERJA TARGET 2013 REALISASI 2013 CAPAIAN (%) Jumlah bahan baku obat ,43 dan obat tradisional produksi di dalam negeri Upaya yang dilakukan adalah dengan pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kementrian dan stakeholder terkait lainnya dengan Kementrian Kesehatan sebagai koordinator. Pencapaian kemandirian obat dan bahan baku obat juga terutama dilakukan melalui kerjasama dan fasilitasi penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT, LIPI dan Perguruan Tinggi) di bidang pengembangan bahan baku obat serta pembentuk jejaring dengan berbagai stakeholder diantaranya institusi penelitian, kalangan industri dan asosiasi pengusaha. Optimalisasi koordinasi dengan pihak terkait dilakukan melalui perluasan jaringan kerja sama dengan universitas negeri yang memiliki basis riset dan bermitra dengan industri farmasi dan atau industri obat tradisional. Pada tahun 2012 kerja sama ini baru dilakukan dengan Kementrian Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada tahun 2013 dilakukan optimalisasi dengan kementrian terkait yaitu Kementrian Keuangan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Negara Ristek, dan Kementrian Perekonomian.

61 46 Juga telah dilakukan perbaikan skema kerja pengembahan bahan baku dan bahan baku obat tradisional yang tidak hanya berorientasi pada produk, tetapi juga pada proses produksi lebih lanjut. Hal ini diperkuat dengan adanya Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku dan Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional di Indonesia. Untuk mencapai kemandirian di bidang obat tradisional, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah melaksanakan pembangunan berupa: a. Fasilitasi peralatan untuk Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) diempat tempat yaitu Kabupaten Kaur (Bengkulu), Kabupaten Bangli (Bali), Kabupaten sukoharjo (Jawa Tengah) dan Kabupaten Tegal (Jawa Tengah). b. Fasilitasi peralatan untuk Pusat Ekstrak Daerah (PED) di Kota Pekalongan (Jawa Tengah). c. Fasilitasi peralatan Laboratorium Mikrobiologi untuk tiga daerah penerima P4TO tahun 2012, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera Utara dan Kota Pekalongan. Tiga puluh sembilan jenis bahan baku obat dan obat tradisional yang telah siap diproduksi di dalam negeri (kumulatif ) dapat terlihat pada Lampiran 8. Kinerja pemerintah untuk meningkatkan jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negri guna meningkatkan kemandirian bahan baku terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Persentase peningkatannya dapat dilihat pada tabel 4.5 dan gambar 4.4. Tabel 4.4. Perbandingan capaian indikator kinerja jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri tahun INDIKATOR Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 KINERJA T R C T R C T R C Jumlah bahan ,67 % ,00 % ,43 % baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri

62 47 Ket : T = Target R = Realisasi C = Capaian Jumlah BBO dan BBOT Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Target Realisasi Tahun Gambar 4.4. Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Jika bahan baku obat berhasil diproduksi secara mandiri di dalam negeri, maka pemerintah akan turut serta membantu dalam hal pemasaran bahan baku dengan menjalin kerja sama internasional untuk memperluas pasar bahan baku obat di luar negeri. Hal tersebut dilakukan jika hasil produksi dari industri bahan baku obat lokal telah memenuhi standar internasional. Dengan adanya pemasaran bahan baku obat ke luar negeri, diharapkan industri bahan baku obat akan mendapatkan profit yang lebih besar.

63 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah dilaksanakan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Kementerian Kesehatan dapat disimpulkan bahwa : 1. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki tugas melaksanakan penyimpanan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis dan evaluasi dibidang Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 2. Peran dan fungsi profesi apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yaitu berkaitan dengan pembuatan regulasi, pembinaan, serta mengawasi produsen dan distributor di bidang farmasi, kosmetika, dan makanan yang bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan serta terjamin mutu dan keamanannya. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan dari kesimpulan di atas adalah sebagai berikut: a. Kebijakan dan regulasi yang sudah ditetapkan segera disosialisasikan kepada semua pihak yang terkait. b. Disarankan setiap subdit menyusun protap pelaksanaan kegiatannya, agar pemantauan lebih mudah dilaksanakan dalam rangka antisipasi untuk melakukan perbaikan dan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan. c. Mahasiswa sebaiknya dilibatkan secara langsung dalam teknis pelaksanaan kerja di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian 48

64 DAFTAR ACUAN Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian RI. (2013). Laporan Tahunan Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI. (2014). Laporan Tahunan 2013 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor021/MENKES/SK/1/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta. 49

65 LAMPIRAN

66 2 Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementrian Kesehatan

67 51 Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

68 52 Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

69 53 Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

70 54 Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

71 55 Lampiran 6. Struktur Organisasi Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan

72 56 Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian

73 UNIVERSITAS INDONESIA PERALATAN DAN PROSES EKSTRAKSI TERSTANDAR UNTUK MEMPRODUKSI BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL YANG BAIK TUGAS KHUSUS PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014 TIA ERVIZA ULFA ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK MARET 2014

74 UNIVERSITAS INDONESIA PERALATAN DAN PROSES EKSTRAKSI TERSTANDAR UNTUK MEMPRODUKSI BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL YANG BAIK TUGAS KHUSUS PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014 Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker TIA ERVIZA ULFA ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK MARET 2014 ii

75 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... i ii iii iv BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Indonesia Ekstrak Ekstraksi Standarisasi Ekstrak Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat BAB 3. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tugas Khusus Metode Pengumpulan Data BAB 4. PROSEDUR DAN PERALATAN EKSTRAKSI Penggilingan Ekstraksi Pemurnian Ekstrak Pemekatan Ekstrak Pengeringan Standarisasi Ekstrak Pengemasan BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN ii

76 DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Hammer Mill Gambar 4.2 Perkolator Gambar 4.3 Alat Vacuum Fulter Gambar 4.4 Rotary Evaporator Gambar 4.5 Penetapan Susut Pengeringan Gambar 4.6 Penentuan Bobot Jenis Gambar 4.7 Mesin Pengemas Serbuk Gambar 4.8 Mesin Pengemas Cairan iii

77 DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Spesifikasi Hammer Mill Tabel 4.2 Spesifikasi Perkolator Tabel 4.3 Spesifikasi Rotary Evaporator Tabel 4.4 Spesifikasi Mesin Pengemas Cairan iv

78 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya hayati kedua terbesar yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Di Indonesia terdapat lebih kurang jenis tumbuh-tumbuhan, lebih kurang jenis diantaranya termasuk tanaman berkhasiat obat (Dirjen Binfar dan Alkes, 2007), lebih dari jenis tanaman telah diidentifikasi dari beberapa formasi hutan, namun hingga saat ini pemanfaatannya belum optimal. Jumlah tanaman obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat baru sekitar hingga jenis, dan yang digunakan secara rutin dalam industri obat tradisional baru sekitar 300 jenis. Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan pengobatan modern. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan kemajuan tekhnologi juga dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat obat tradisional tersebut. Pengembangan obat tradisional juga didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, tentang fitofarmaka, yang berarti diperlukan adanya pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik (BPOM, 2005; Tjitrosoepomo,G., 1994). Ekstrak merupakan bentuk-bentuk hasil proses sederhana herba tanaman obat yangbanyak digunakan dalam industri obat. Penggunaan simplisia danekstrak memiliki keunggulan dibandingkan bahan baku segar, dimanasimplisia maupun ekstrak tahan disimpan untuk waktu yang lamatanpa mengalami kerusakan. Khusus untuk ekstrak kandungan bahanaktif didalamnya jauh lebih tinggi dibanding bahan baku asalnya.pemilihan pelarut sangat penting dalam proses ekstraksi sehinggabahan berkhasiat yang akan ditarik dapat tersari sempurna.departemen Kesehatan merekomendasikan air, alkohol dan air denganalkohol untuk cairan penyari ekstrak untuk keperluan bahan baku obattradisional (Farouq, 2003). 1

79 2 Sekitar 3 dasawarsa terakhir, teknologi pembuatan Obat Tradisional mengalami banyak perubahan sejalan dengan meningkatnya permintaan pembuktian khasiat dan keamanan secara ilmiah. Penggunaan bahan Obat Tradisionalbentuk serbuk mulai diganti dengan ekstrak. Untuk mengantisipasi peredaran dan penggunaan ekstrak tumbuhan obat yang tidak memenuhi persyaratan, pada sehingga tahun 2000, Departemen Kesehatan membuat parameter standar umum untuk ekstrak Tumbuhan Obat (Meteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Salah satu cara untuk mengendalikan mutu ekstrak adalah dengan melakukan standarisasi ekstrak. Standarisasi diperlukan agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin efek farmakologi tanaman tersebut (BPOM, 2005).Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melakukan fasilitasi Pembangunan Pusat Ekstrak Daerah (PED) dan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) dalam rangka mendukung kemandirian obat dan bahan baku obat. Pendirian PED dan P4TO dimaksudkan sebagai upaya pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT) yang memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku di Indonesia sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan mutu obat tradisional yang secara luas digunakan untuk tujuan preventif, promotif dan kuratif dan juga dapat digunakan untuk mendukung program saintifikasi Jamu (Dirjen Binfar dan Alkes Kemenkes RI. 2013). 1.2 Tujuan a. Mengetahui dan memahami tahapan dalam pembuatan simplisia untuk menghasilkan simplisia yang memenuhi standar mutu. b. Mengetahui peralatan yang digunakan dalam setiap tahapan pembuatan simplisiadan pengaruhnya terhadap mutu simplisia yang dihasilkan.

80 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Obat Indonesia Tumbuhan obat Indonesia atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama obat bahan awal Indonesia, telah semakin banyak dimanfaatkan baik sebagai obat tradisional Indonesia (Jamu). Obat Herbal Terstandar ataupun Fitofarmaka. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan kemajuan teknologi juga dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat obat bahan alam tersebut (Badan POM RI, 2005). Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku. Keamanan dan mutu obat tradisional tergantung dari bahan baku, bangunan, prosedur, dan pelaksanaan pembuatan, peralatan yang digunakan, pengemasan termasuk bahan serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional (Dirjen POM, 1994). Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah pembuatan ekstrak tumbuhan berkhasiat obat yang dilanjutkan dengan standarisasi kandungannya untuk memelihara keseragaman mutu, keamanan dan khasiat (Badan POM RI, 2005). 2.2 Ekstrak Definisi Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan 3

81 4 sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditentukan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan menggunakan tekanan (Depkes RI, 1995). Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia dapat digunakan sebagai (BPOM RI, 2005) : 1. Bahan awal 2. Bahan antara atau 3. Bahan produk jadi Ekstrak sebagai bahan awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku yang dengan teknologi fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Sedangkan ekstrak sebagai bahan antara merupakan bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak tersebut bisa dalam bentuk ekstrak kering, ekstrak kental dan ekstrak cair yang proses pembuatannya disesuaikan dengan bahan aktif yang dikandung serta maksud penggunaannya, apakah nantinya akan dibuat menjadi sediaan dalam bentuk kapsul, pil, tablet, cairan, obat-obat topikal (krim, salep). Terpenuhinya standar mutu produk/bahan ekstrak tidak terlepas dari pengendalian proses, artinya bahwa proses yang terstandar dapat menjamin produk yang terstandar. Untuk itu perlu dilakukan standarisasi baku dan proses yang terkendali dan terstandar, sehingga dapat diperoleh produk atau bahan ekstrak terstandar tanpa penerapan pengujian dan pemeriksaan. Padahal pengujian atau pemeriksaan persyaratan parameter standar umum ekstrak mutlak harus dilakukan dengan berpegang pada manajemen pengendalian mutu eksternal oleh badan formal dan atau bahan independen. Keuntungan penggunaan ekstrak dibandingkan dengan simplisia asalnya adalah penggunaannya lebih mudah dan bobot pemakainya lebih sedikit dibandinkan bobot tumbuhan asalnya.

82 Jenis-jenis Ekstrak Terdapat beberapa jenis ekstrak baik ditinjau dari segi pelarut yang digunakan ataupun hasil akhir dari ekstrak tersebut. Adapun jenis-jenis ekstrak adalah sebagai berikut : a. Ekstrak air Menggunakan pelarut air sebagai cairan pengekstraksi. Pelarut air merupakan pelarut yang mayoritas digunakan dalam proses ekstraksi. Ekstrak yang dihasilkan dapat langsung digunakan atau diproses kembali seperti melalui pemekatan atau proses pengeringan. b. Tinktur Sediaan cari yang dibuat dengan cara maserasai ataupun perkolasi simplisia. Pelarut yang umum digunakan dalam proses produksi tinktur adalah etanol. Satu bagian simplisia diekstrak dengan menggunakan 2-10 bagian menstrum/ekstraktan. c. Ekstrak cair Bentuk dari ekstrak cair mirip dengan tinktur namun telah melalui pemekatan hingga diperoleh ekstrak yang sesuai dengan ketentuan farmakope. d. Ekstrak encer Dikenal sebagai ekstrak tenuis, dibuat seperti halnya ekstrak cair. Namun kadang masih perlu diproses lebih lanjut. e. Ekstrak kental Ekstrak ini merupakan ekstrak yang telah mengalami proses pemekatan. Ekstrak kental sangat mudah untuk menyerap lembab sehingga mudah untuk ditumbuhi oleh kapang. Pada proses industri ekstrak kental sudah tidak lagi digunakan, hanya merupakan tahap perantara sebelum diproses kembali menjadi ekstrak kering. f. Ekstrak kering (extract sicca) Ekstrak kering merupakan ekstrak hasil pemekatan yang kemudian dilanjutkan ke tahap pengeringan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu: 1) Menggunakan bahan tambahan seperti laktosa, aerosil

83 6 2) Menggunakan proses kering beku, proses ini mahal 3) Menggunakan proses proses semprot kering atau fluid bed drying g. Ekstrak minyak Dilakukan dengan cara mensuspensikan simplisia dengan perbandingan tertentu dalam minyak yang telah dikeringkan, dengan cara seperti maserasi. h. Oleoresin Merupakan sediaan yang dibuat dengan cara ekstraksi bahan oleoresin (misalnya Capsicum fructus dan Zingiberis rhizom) dengan pelarut tertetu umumnya etanol. 2.3 Ekstraksi Pengertian Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat didalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Sedangkan ekstrak adalah hasil dari proses ekstraksi, bahan yang diekstraksi merupakan bahan alam. Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Zat aktif yang terdapat dalam simplisia yang diekstraksi tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Depkes, 2000). Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006) Prinsip Ekstraksi Pada prinsipnya ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa dengan menggunakan pelarut yang tepat. Ada tiga tahapan proses pada waktu ekstraksi yaitu: 1. Penetrasi pelarut kedalam sel tanaman dan pengembangan sel 2. Disolusi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel 3. Difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel

84 7 Proses diatas diharapkan terjadinya kesetimbangan antara linarut dan pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, ph, ukuran partikel dan gerakan partikel. Prinsip yang utama adalah yang berkaitan dengan kelarutan, yaitu senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar Metode Ekstraksi Ada beberapa macam cara untuk melakukan ekstraksi berdasarkan bahan yang akan kita ambil diantaranya : a. Berdasarkan energi yang digunakan Terbagi menjadi ekstraksi cara panas dan ekstraksi cara dingin.ekstraksi cara panas entara lain reflux, soxhlet, destilasi, infusa, dekokta. Sedangkan ekstraksi cara dingin antara lain pengocokan, maserasi, perkolasi. Ekstraksi cara panas lebih cepat untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan karena panas akan memperbesar kelarutan suatu senyawa. Sedangkan untuk ekstraksi cara dingin dikhususkan untuk senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahan ekstraksi cara panas terkadang akan terbentuk suatu senyawa baru akibat peningkatan suhu menjadi senyawa yang berbeda. Makadaripada itu untuk senyawa yang diperkirakan tidak stabil maka digunakanlah ekstraksi cara dingin. b. Berdasarkan bentuk fase Ekstraksi ini didasarkan berdasarkan pada larutan yang bercampur dan pelarut yang tidak bercampur. Berdasarkan bentuk fasenya ekstraksi dibagi menjadi beberapa golongan yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair-padat. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : a. Cara Dingin 1. Maserasi Maserasi berasal dari kata macerare artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah penarikan cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia

85 8 tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006) dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode maserasi yaitu prosedur dan peralatannya sederhana (Agoes, 2007). 2. Perkolasi Percolare berasal dari kata colare, artinya menyerkai dan per = through, artinya menembus (Syamsuni, 2006). Dengan demikian, perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan (Syamsuni, 2006). Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode perkolasi ini adalah proses penarikan zat berkhasiat dari tumbuhan lebih sempurna, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang digunakan mahal (Agoes, 2007). b. Cara Panas 1. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan kembali ke labu (Depkes, 2000). 2. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet, setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi, demikian berulang-ulang (Depkes, 2000).

86 9 3. Infus Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90 0 C) selama 15 menit (Depkes, 2000). 4. Digesti Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar yaitu pada C (Depkes RI, 2000). 5. Dekok Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90 0 C selama 30 menit (Depkes RI, 2000) Parameter Yang Mempengaruhi Ekstraksi Beberapa parameter atau faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi yaitu: a. Pengembangan/Pemelaran Bahan Tanaman Hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah perlakuan awal tanaman yang akan diekstraksi dengan menggunakan pelarut. Berikut adalah beberapa alasannya : 1. Untuk mencegah pemelaran atau pembengkakkan tanaman di dalam kemasan tertutup (wadah proses ekstraksi) secara tiba-tiba. Hal ini terjadi jika pelarut yang digunakan adalah air, maka simplisia dapat memelar atau membengkak 2-3 kali dari volume awal yang akan menyebabkan peledakan (pecahnya) alat ekstraksi yang mengakibatkan ekstraksi tidak berlangsung dengan baik. 2. Untuk menjamin proses pembasahan secara merata dari tanaman yang akan diekstraksi, dan juga meningkatkan kontak dan aliran pelarut dalam alat ekstraksi, serta mencegah timbulnya gelembung udara penyebab timbulnya saluran udara. 3. Untuk meningkatkan porositas dinding sel yang akan mempermudah difusi zat aktif yang akan diekstraksi dari sel menuju pelarut atau penentrasi sel oleh pelarut.

87 10 Pengembangan atau pembengkakan bahan tanaman dalam hal ini akan menjamin permeasi pelarut, dan konsekuensinya akan menghilangkan zat terlarut didalam secara sederhana dan selektif. b. Difusi, ph, Ukuran Partikel, dan Temperatur 1. Difusi Dalam mengekstraksi bahan aktif dari simplisia, pelarut harus berdifusi ke dalam sel. Dan selanjutnya zat aktif harus cukup larut dalam pelarutnya. Sehingga kesetimbangan akan tercapai antara solute dan solvent. 2. ph ph berperan dalam selektifitas 3. Ukuran Partikel Ukuran partikel biasanya disesuaikan dengan komposisi senyawa yang akan diekstraksi. Secara umum serbuk yang lebih halus akan mudah di ekstraksi. 4. Temperatur Temperatur dan gerakan cairan dalam proses ekstraksi akan akan mempengaruhi kesetimbangan dan mengubahnya menuju saturasi pelarut. Gerakan cairan dapat dicapai dengan membuat bahan tanaman tetap dan melakukan sirkulasi pelarut baik itu menggunakan pompa atau pengadukan mekanik. c. Pilihan Pelarut Ekstraksi Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik/ terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut yaitu : 1. Pelarut polar Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-

88 11 senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Contoh pelarut polar adalah : air, metanol, etanol, asam asetat. 2. Pelarut semipolar Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawasenyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah: aseton, etil asetat, kloroform. 3. Pelarut nonpolar Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh: heksana, eter Kriteria Pemilihan Pelarut Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit sekunder) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah sifat kepolaran, dapat dilihat dari gugus polar senyawa tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut. Kepolaran dan kelarutan memiliki dasar teori yaitu: a. Kepolaran terjadi apabila ada dipolmomen, kepolaran suatu senyawa merupakan jumlah seluruh dipole momen yang ada. b. Asosiasi pelarut dengan zat terlarut disebut solvent, terjadi bila ada analogi struktur. Kelarutan terjadi bila energi solvatasi lebih besar dari energi Kristal. c. Untuk molekul yang tidak terionisasi terjadi mekanisme pembentukan pasanga ion dengan pelarut sebagai donor atau akseptor pelarut. d. Dalam hal dua senyawa berstruktur berdekatan kelarutannya merupakan fungsi dari tekanan uap dari titik lelehnya.

89 12 Penggolongan pelarut berdasarkan polaritas, berdasarkan gugus fungsi, dan berdasarkan bahan organik dan non organiknya. Syarat-syarat pelarut adalah sebagai berikut: a. Kapasitas besar b. Selektif, mampu mengekstrak semua senyawa dalam simplisia c. Volabilitas cukup rendah (kemudahan menguap atau titik didihnya cukup rendah) Cara memperoleh penguapannya adalah dengan cara penguapan diatas penangas air dengan wadah lebar pada temperature 60 0 C, destilasi, dan penyulingan vakum. d. Harus dapat diregenerasi e. Relatif tidak mahal f. Non toksik, non korosif, tidak memberikan kontaminasi serius dalam keadaan uap g. Viskositas cukup rendah h. Mudah untuk dihilangkan dari ekstrak i. Tidak bereaksi dengan senyawa-senyawa dalam simplisia yang diekstrak Dalam melakukan ekstraksi zat aktif tertentu secara sempurna digunakan pelarut ideal yang mempunyai selektifitas maksimum, kapasitas terbaik ditinjau dari koefisien saturasi produk dalam medium dan kompatibel dengan sifat-sifat bahan yang diekstraksi. Parameter ini untuk setiap tanaman biasanya didapatkan dari eksperimental karena pilihan pelarut ini akan bergantung pada stabilitas senyawa yang diekstrask serta adanya kemungkinan antaraksi antara pelarut dengan zat lain yang terdapat dalam proses ekstraksi. Menurut farmakope, etanol merupakan pelarut pilihan untuk memperoleh ekstrak secara klasik seperti tinktur, ekstrak cair, kental, dan kering yang masih digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi. Pelarut tersebut disamping mempunyai daya ekstraktif yang tinggi, minimal harus bersifat selektif dan dapat digunakan tidak hanya untuk ekstraksi klasik, tapi dapat juga digunakan untuk ekstraksi tanaman yang bahan aktifnya belum diketahui dengan baik, dan inginkan ekstrak yang paling lengkap.

90 13 Dalam proses ekstraksi pilihan pelarut yang digunakan akan mempengaruhi selektivitas pelarut terhadap senyawa aktif dari tanaman obat tersebut Urutan Ekstraksi Secara umum, ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksan) lalu dengan pelarut yang kepolarannya menengah (diklormetan, kloroform) kemudian dengan pelarut polar (etanol atau metanol). Dengan demikian, akan dieroleh ekstrak awal (crude extract) yang secara berturut-turut mengandung senyawa nonpolar, kepolaran menengah, dan senyawa polar. Pengekstraksian dengan senyawa nonpolar biasanya diperlukan juga sebagai pengawalemakan (deffating) sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai (ekstrak yang diperoleh bersifat bebas lemak). Selanjutnya adalah penghilangan pelarut organik atau pelarut air yang digunakan, pelarut tersebut harus dihilangkanatau diperkecil volumenya. Untuk pelarut organik biasanya dilakukan dengan penguapan putar vakum. Sedangkan untuk pelarut air biasanya dilakukan dengan pengeringbekuan (freeze-drying). Mula-mula ekstrak dihilangkan pelarut organiknya kemudian dibekukan dalam wadah kaca khusus dan bahan yang beku. 2.4 Standarisasi Ekstrak Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur yang memenuhi standar dan jaminan stabilitas produk. Untuk menjaga kualitas bahan baku obat alam perlu dilakukan usaha budidaya dan standarisasi terhadap bahan baku tersebut, baik dalam bentuk simplisia maupun yang berbentuk ekstrak. Dalam rangka standarisasi ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah melakukan penelitian bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian serta lembaga terkait guna menetapkan bilangan parameter eksrak tumbuhan obat.

91 14 Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Dengan standarisasi, pemerintah melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan serta melindungi konsumen dan untuk menjamin mutu, keamanan dan manfaat produk akhir. Standarisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan. Khasiat ekstrak dengan simplisia asalnya belum tentu sama persis, karena simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda akan mempengruhi kelarutan serta stabilitas senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia, akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ektraksi yang tepat. Dalam memperoleh ekstraksi yang baik harus diperhatikan parameterparameter sebagai berikut : Parameter Nonspesifik a. Parameter susut pengeringan Adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperature C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nila prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka. Tujuannya adalah untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. b. Parameter bobot jenis Adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertenru (25 0 C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.

92 15 c. Kadar air Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetri. Tujuannya untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air didalam bahan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. d. Kadar abu Bahan dipanaskan pada temperature dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga menyisakan unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbantuk ekstrak. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. e. Sisa pelarut Menentukan kandungan sisa pelarut tertenru (yang memang ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlahh pelarut (alkohol) sesuai denngan yang ditetapkan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. f. Residu pestisida Menentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuat ekstrak. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.

93 16 g. Cemaran logam berat Menentukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. h. Cemaran mikroba Menentukan adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ektrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. Parameter Spesifik a. Identitas Meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama tumbuhan indonesia) dan dapat mempunyai senyawa identitas. Tujuannya untuk memberikan identitas objektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas. b. Organoleptik Meliputi penggunaan panca indra untuk mendeskripsikan bentuk (padat, serbuk-kering, kental, cair, dll), warna (kuning, coklat, dll), bau (aromatik, tidak berbau, dll), rasa (pahit, manis, kelat, dll). Tujuannya untuk pengenalan awal yang sederhana. c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu Melarutkan pelarut ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditetapkan jumlah solute yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam palarut lain misalnya heksana, diklormetan, metanol.

94 17 Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah kandungan. senyawa d. Uji Kandungan Kimia Ekstrak 1. Pola kromatogram Ekstrak ditimbang, diektraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Tujuannya adalah memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi (KLT, KCKT, KG). 2. Kadar total golongan kandungan kimia Dengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetric, gravimetric atau lainnya. Dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linieritas. Ada beberapa golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan dan ditetapkan metodenya, yaitu golongan: minyak atsiri, steroid, tannin, flavonoid, triterpenoid (saponin), alkaloid, antrakinon. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis. 3. Kadar kandungan kimia tertentu Dengan tersedianya suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identis atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tertentu. Instrument yang dapat digunakan adalah Densitometer, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrument lain yang sesuai. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linieritas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggungjawab pada efek farmakologi.

95 18 Contohnya adalah penetapan kadar andrografolid dalam ekstrak sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostorbin dalam ekstrak temu kunci secara densitometri Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Saat ini kebutuhan dalam negeri maupun internasional terhadap obatobatan yang terstandarisasi untuk obat program semakin tinggi. Dengan adanya produk farmasi Indonesia yang terstandarisasi diharapkan dapat menjamin ketersediaan obat program dalam penanggulangan penyakit di Indonesia serta dapat menjadi sumber pendapatan yang besar bagi negara. Selain itu dengan penerapan standarisasi maka produk farmasi Indonesia dapat bersaing di pasar regional maupun internasional. Pada tahun 2012, telah dilakukan kegiatan Evaluasi Penerapan dan Sosialisasi Penerapan standarisasi bahan baku obat. Langkah lainnya dalam menciptakan kemandirian obat dan bahan baku obat adalah fasilitasi penelitian bahan baku obat. Pada tahun 2012, telah dilaksanakan fasilitasi penelitian bahan baku obat melalui kerjasama dengan lembaga penelitian seperti BPPT dan LIPI. Langkah menuju kemandirian juga diwujudkan dengan mendorong pemanfaatan potensi bahan alam Indonesia, yaitu dengan pembangunan Pusat Penanganan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO). Pelaksanaan pembangunan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) melalui kerjasama Kemenkes dengan pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Pusat pengolahan pasca panen ini diharapkan dapat menjadi fasilitas pengolahan yang terstandar sehingga produk pasca panen tanaman obat Indonesia dapat semakin berdaya saing disertai kualitas, keamanan dan manfaat yang baik (Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2013).

96 BAB 3 METODOLOGI EVALUASI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tugas Khusus Tugas khusus dilaksanakan selama Praktek Kerja Profesi Apoteker pada periode 17 Maret - 28 Maret 2014 di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 3.2 Metode Pengumpulan Data Dilakukan studi literatur untuk mengetahui peralatan dan proses ekstraksi yang benar sehingga dapat menghasilkan ekstrak yang memenuhi standar mutu sehingga nantinya dapat digunakan untuk memproduksi bahan bahu obat yang baik. Proses ekstraksi ini dimulai dari penggilingan simplisia yang telah dikeringkan hingga pengemasan. Peralatan yang digunakan mengacu kepada alat yang digunakan pada pusat pengolahan pasca panen tanaman obat (P4TO) tahun

97 BAB 4 PEMBAHASAN Terdapat beberapa tahapan dalam proses ekstraksi skala industri, meliputi: 1. Penghalusan/ penggilingan simplisia 2. Ekstraksi tanaman obat 3. Pemurnian ekstrak 4. Pemekatan ekstrak 5. Pengeringan ekstrak 6. Standardisasi ekstrak 7. Pengemasan 4.1 Penggilingan a. Konsep umum dan tujuan penggilingan Penggilingan atau penghalusan tanaman obat adalah penurunan ukuran atau penghalusan secara mekanik dari bahan tanaman tertentu menjadi unit sangat kecil. Tahap ini merupakan tahap pertama dari pengolahan tanaman obat. Dalam proses penggilingan/penghalusan, homogenitas ukuran partikel merupakan parameter utama karena akan mempengaruhi keseragaman tahapan ekstraksi bahan aktif, yang tergantung pada kecepatan difusi zat aktif dari granul (serbuk) tanaman obat menuju pelarut, waktu kontak, kecepatan pelarut melewati bahan serbuk tanaman obat, dan aspek lainnya. b. Peralatan untuk penggilingan (penghalusan) tanaman obat. Diantara alat penggiling standar yang luas digunakan adalah jenis alat standar yang dikenal dengan nama alat mesin penggiling palu (Hammer Mill). Gambar 3.1. Hammer Mill 20

98 21 Tabel 4.1. Spesifikasi Hammer Mill Munson Hammer Mill, dapat mengecilkan ukuran partikel menjadi material halus yang seragam dengan ukuran 20 hingga 300 mesh. Standar Oprasional Prosedur Hammer Mill : 1. Operator harus memakai pelindung mata dan telinga serta masker sepanjang waktu saat mengoperasikan mesin. 2. Sebelum digunakan, periksa pendingin dan oli dari motor diesel. Periksa dan pastikan bahwa semua baut dikencangkan pada frame dan belt dengan erat. 3. Ikat kantong ke tabung output dan tutupi bagian atas pembuka mesin dengan kantong lain untuk meminimalkan hilangnya material halus. 4. Hati-hati terkena tangan. Semua bahan harus kering, bahan lembab akan membuat sumbatan. 5. Jauhkan jari dan lengan dari hopper. 6. Masukkan bahan dimana mesin dapat mengolah material. 7. Jika mesin tampaknya tidak beroperasi seperti biasa, matikan dan laporkan masalah ini ke pimpinan. 8. Seorang pekerja harus memantau isi kantong yang menampung semua material. Ketika kantong penuh, operator harus menghentikan memasukkan bahan kedalam mesin. Kemudian keluarkan kantong yang telah penuh dan diganti dengan kantong baru, Ketika mengganti kantong, cobalah untuk menjaga agar kehilangan material halus seminimal mungkin. 9. Setelah menyelesaikan pekerjaan, matikan mesin, bersihkan tempat kerja, dinginkan mesin dan kembalikan mesin ke lokasi penyimpanan.

99 Ekstraksi Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik, antara lain : 1. Maserasi Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simpisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya dipotong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalis oleh cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang-ulang (kirakira 3 kali sehari). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari (Voight, 1995). 2. Perkolasi Perkolasi dilakukan dalam wadah berbentuk silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan pengekstraksi yang dialirkan secara kontinu dari atas, akan mengalir turun secara lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Jumlah bahan yang dapat diekstraksi mencapai 95% (Voight, 1995). Gambar 4.2. Perkolator (sumber :

100 23 Tabel 4.2. Spesifikasi Perkolator 3. Sokletasi Sokletasi dilakukan dengan cara bahan yang akan diekstraksi diletakkan dalam kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya) di bagian dalam alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinu. Wadah gelas yang mengandung kantung diletakkan diantara labu penyuling dengan pendingin aliran balik dan dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi bahan pelarut yang menguap dan mencapai kedalam pendingin aliran balik melalui pipet yang berkondesasi didalamnya. Menetes keatas bahan yang diekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul didalam wadah gelas dan setelah mencapai tinggi maksimalnya, secara otomatis dipindahkan kedalam labu. Dengan demikian zat yang terekstraksi terakumulasi melalui penguapan bahan pelarut murni berikutnya (Voight, 1995). 4.3 Pemurnian Ekstrak Pemurnian ekstrak adalah perlakuan ekstraksi cairan untuk menghilangkan residu simplisia atau bahan yang tidak diperlukan selama proses. Untuk mempercepat proses filtrasi, dapat digunakan alat filtrasi sistem vakum (proses filtrasi dalam keadaan vakum atau dengan menggunakan pompa). Penggunaan filterpenyaring bisa dipasang berapa mikron yang akan dipakai, menyesuaikan bahan baku yang diekstraksi. Kemudian filtrat yang diperoleh selanjutya dievaporasi atau diuapkan agar diperoleh ekstrak murni.

101 24 Gambar 4.3. Alat Vacuum Filter 4.4 Pemekatan Ekstrak Sesudah dilakukan ekstraksi simplisia, akan dihasilkan larutan yang mengandung fraksi terlarut. Jika tahap selanjutnya bertujuan untuk mendapat komponen tertentu, lazimnya dilakukan proses pemekatan atau proses ekstraksi cair/cair. Pemekatan ekstrak di industri, untuk larutan berjumlah besar, salah satu alat konsentrator yang digunakan adalah Evaporator. (a) (b) Gambar 4.4. Rotary Evaporator (Rotavapor), (a) Rotavapor R-210 (b) Rotavapor R-215

102 25 Tabel 4.3. Spesifikasi Rotary Evaporator 4.5 Pengeringan Jika ekstrak kering dibuat secara benar maka ekstrak kering sangat sesuai untuk pembuatan sediaan farmasi. Bila produk terkontaminasi dapat disterilkan dengan penyinaran dengan sinar gamma. Ada beberapa macam alat untuk memperoleh ekstrak kering, mulai dari pengering vakum dingin (vacuum freeze dryers) untuk produk yang termolabil sampai alat pengering vakum tradisional. 4.6 Standarisasi Ekstrak Penentuan parameter-parameter Standarisasi, berdasarkan parameter spesifik dan parameter nonspesifik Parameter spesifik (Depkes RI, 1980) 1. Penetapan organoleptik ekstrak, meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa. 2. Penetapan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu. a. Kadar senyawa yang larut dalam air. Sejumlah 5 g ekstrak disari selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform LP, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, saring. Diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada

103 26 suhu 105 C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal. b. Kadar senyawa yang larut dalam etanol. Sejumlah 5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil berkali kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditara, residu dipanaskan pada suhu C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal Parameter Non Spesifik (Depkes RI, 1980) 1. Susut Pengeringan Ditimbang seksama 1 g ekstrak dalam krus porselen bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105 C selama 30 menit dan telah ditara. Ratakan dengan menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal (5 mm 10 mm) dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap, buka tutupnya, biarkan krus dalam keadaan tertutup dan mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh untuk menghitung persentase susut pengeringannya. Gambar 4.5. Penetapan Susut Pengeringan

104 27 2. Penetapan Kadar Air Metode Gravimetri, prosedur : 10 gram ektrak timbang dalam wadah, kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam, stelah itu timbang dan lanjutkan pengeringan, timbang setelah 1 jam (hingga selisih < 0,25%). Metode Karl Fischer, prosedur : Larutkan 63 gram iodium P dalam 100 ml piridina, dinginkan dalam air es, alirkan belerang dioksida P hingga 32,3 gram, kemudian tambahkan metanol mutlak P hingga 500 ml, biarkan selama 24 jam. 3. Penetapan Kadar Abu Ditimbang 2 g ekstrak dengan seksama ke dalam krus yang telah ditara, dipijarkan perlahan lahan. Kemudian suhu di naikkan secara bertahap hingga C sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta timbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal. Kadar abu yang tidak larut dalam asam Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, disaring dan ditimbang, ditentukan kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal. 4. Penentuan Bobot Jenis (Depkes RI, 2000) Bobot jenis ekstrak ditentukan terhadap hasil pengenceran ekstrak (5% dan 10%) dalam pelarut tertentu (etanol) dengan alat piknometer.

105 28 Gambar 4.6. Penentuan Bobot Jenis 5. Penentuan total bakteri dan total kapang (Depkes RI, 2000) a. Penetuan total bakteri Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-4, ditanamkan dalam medium NA, lalu diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran. b. Penentuan total kapang Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-4 ditanam dalam medium PDA, lalu diinkubasi pada suhu 25 C selama tiga hari. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran. 6. Penentuan Batas Logam Timbal (Pb). Penentuan batas logam Pb di dalam ekstrak dilakukan secara destruksi basah ekstrak dengan asam nitrat dan hydrogen peroksida, kadar Pb ditentukan dengan spektrofotometri serapan atom (Depkes RI, 1995; Raimon, 1992; Slavi, 1978; Haswell, 1991).

106 Uji Kandungan Kimia Ekstrak 1. Pola kromatogram Ekstrak ditimbang, diektraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram (KLT, KCKT, KG) yang khas.. 2. Kadar total golongan kandungan kimia Dengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetri, gravimetri atau lainnya. Dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linieritas. 3. Kadar kandungan kimia tertentu Instrument yang dapat digunakan adalah Densitometer, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrument lain yang sesuai. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linieritas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain. 4.7 Pengemasan Setelah semua tahapan ekstraksi dilalui, langkah terakhir adalah pengemasan. Ekstrak yang diperoleh dapat berupa serbuk atau ekstak kental yang telah terstandarisasi. Gambar 4.7. Mesin Pengemas dalam Bentuk Serbuk

107 30 Spesifikasi Mesin Pengemas Nama Alat Tipe Nama Dagang Model Dimensi (L x W x H) Berat Sertifikasi Tipe Kemasan Bahan Kemasan Automatic Grade Driven Type Voltage Power Particle content Working Pressure : Powder Packing Machine : Filling Machine : Jieswisu : CJTBP-40 : 1100 x 578 x 1358 mm : 145KG : CE ISO : Karton, Kaleng, Botol, Barrel, kantung, Case : Plastik, kertas, logam, kaca, nylonplastic. : Automatic : Electric : 380V 220V 110V : 0.15 KW : 2 ± 0.5g / kantung (dapat diatur) : MPa Sealing accuracy : ±1% Kapasitas Produksi Sealing the form Kapasitas Pengemasan Ukuran Kemasan : kantung/jam : ml : 3000 kantug/jam (tergantung bahan pengemas). : 1000 x 590 x 160 mm, 180 kg

108 31 Gambar 4.8. Mesin Pengemas dalam Bentuk Cairan atau Ekstrak Kental Tabel 4.4. Spesifikasi Mesin Pengemas Cairan Machine name Model Metering methods Mode of operation Filling container Filling range Filling speed Vertical automatic piston liquid filling machine HP-CD Pistons quantitative Foot or automatic Arbitrary shape ml, ml, ml, ml, ml 40 bottles/min (according to the material characteristics an d filling volume set) Filling precision <1% Air pressure Voltage Power Dimension Weight Mpa 220v/50hz 20w 1000*410*880mm 50Kg (50-500ml)

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DITJEN BINFAR DAN ALKES KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JL. H.R. RASUNA SAID

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI APOTEK SAFA DI PT. TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA, TBK LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BIA PRODUKSI DA DISTRIBUSI KEFARMASIA DIREKTORAT JEDERAL BIA KEFARMASIA DA ALAT KESEHATA KEMETERIA KESEHATA REPUBLIK IDOESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Daerah Dalam Rencana Strategis Dinas Kesehatan 2016-2021 tidak ada visi dan misi, namun mengikuti visi dan misi Gubernur

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL (RSUPN) Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 50 BOGOR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK KIMIA FARMA MENTENG HUIS JALAN CIKINI RAYA NO. 2 JAKARTA PUSAT PERIODE 13 FEBRUARI 22 MARET 2012 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan.

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan. KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT dan atas berkat dan karunianya Buku Laporan Tahunan Pelaksanaan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELANYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat, bangsa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALANKESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bid. Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 2. Staf Ahli Bid. Pembiayaan & Pemberdayaan Masyarakat; 3. Staf Ahli Bid. Perlindungan Faktor Resiko Kesehatan; 4. Staf Ahli Bid Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN KEMENTERIAN/ LEMBAGA : KEMENTERIAN KESEHATAN 1 Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian Kesehatan Meningkatnya koordinasi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORATT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RANCANGAN REVISI PP 38/2007 DAN NSPK DI LINGKUNGAN DITJEN BINFAR DAN ALKES Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DISAMPAIKAN PADA SEMILOKA REVISI PP38/2007 DAN NSPK : IMPLIKASINYA TERHADAP

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Anita Karlina, S.Farm.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. No.585, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1144/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN IV.1. IV.2. VISI Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu dari penyelenggara pembangunan kesehatan mempunyai visi: Masyarakat Jawa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANITA HASAN,

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Jenis ini digunakan dengan pertimbangan bahwa hasil penelitian diharapkan akan mampu memberikan informasi

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

B A B I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 B A B I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggaranya tata Instansi Pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance dan Clean Governance) merupakan syarat bagi setiap pemerintahan dalam

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. RENCANA STRATEGI 1. Visi Visi 2012-2017 adalah Mewujudkan GorontaloSehat, Mandiri dan Berkeadilan dengan penjelasan sebagai berikut : Sehat, adalah terwujudnya

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2011

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2011 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2011 KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2012 KATA PENGANTAR MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Puji syukur ke hadirat Allah yang Maha Kuasa karena atas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental spritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN TENAGA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA

KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN TENAGA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN TENAGA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA 1 st INDONESIAN PUBLIC HEALTH STUDENT SUMMIT (IPHSS) FKM UI DEPOK 15 JULI 2011 1 UUD 1945 SETIAP ORANG BERHAK MEMPERTAHANKAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA

PENGEMBANGAN TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA PENGEMBANGAN TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA DR. BAMBANG GIATNO RAHARDJO, MPH KEPALA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SDM KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERTEMUAN NASIONAL LINTAS PROGRAM DAN LINTAS

Lebih terperinci

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta BAB IX DINAS KESEHATAN Bagian Kesatu Susunan Organisasi Pasal 158 Susunan Organisasi Dinas Kesehatan, terdiri dari: a. Kepala Dinas; b. Sekretaris, membawahkan: 1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; 2. Sub

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANATRIA KHOLIYAH,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 DENGAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR

Lebih terperinci

Rencana Aksi Kegiatan

Rencana Aksi Kegiatan Rencana Aksi Kegiatan 2015-2019 DUKUNGAN MANAJEMEN DAN PELAKSANAAN TUGAS TEKNIS LAINNYA PADA PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN SALINAN NOMOR 26/2016 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Rumah Sakit Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Pacitan sebagai pusat rujukan layanan

Lebih terperinci

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 DIREKTORAT PELAYANAN KEFARMASIAN Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan KEMENTERIAN KESEHATAN RI KATA PENGANTAR Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan dengan amanat Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINAKEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan; 2. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 3. Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan; dan 4. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan STAF AHLI STRUKTUR

Lebih terperinci

B A B P E N D A H U L U A N

B A B P E N D A H U L U A N 1 B A B P E N D A H U L U A N I A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pemerintah yang berdayaguna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab telah diterbitkan Instruksi Presiden No.

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK SURAT PENGESAHAN NOMOR SP DIPA--0/AG/2014 DS 7003-9134-1092-0094 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 23 Tahun

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA (BIDANG KESEHATAN) Disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI Jakarta, 23 November 2005 AGENDA PEMBANGUNAN AGENDA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/XI/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KESEHATAN MENTERI

Lebih terperinci