UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER YUNI ARISTA NINGRUM KUMESAN, S. Farm ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014

2 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker YUNI ARISTA NINGRUM KUMESAN, S. Farm ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014 ii

3 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan praktek kerja profesi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh kepada saya. Depok, Juni 2014 Yuni Arista Ningrum Kumesan iii

4 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Laporan praktek kerja profesi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua baik yang dikutip atau dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Yuni Arista Ningrum Kumesan NPM : Tanda Tangan : Tanggal : Juni 2014 iv

5 v

6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada bulan Maret Penulisan laporan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Apoteker di Fakultas Farmasi. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan laporan ini, sangatlah sulit bagi Penulis untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 2) Dr. Hayun, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi. 3) Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D, selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 4) Dra. R. Dettie Yulianti, M.Si., Apt, selaku Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 5) Drs. Riza Sultoni, MM, Apt., selaku Kepala Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus dan pembimbing I dalam penulisan tugas umum yang selalu memberi saran dan mendukung penulis. 6) Dina Sintia Pamela, S.Si., Apt., M.Pharm., selaku Kepala Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional dan pembimbing lapangan dalam menyelesaikan penulisan tugas khusus. 7) Ikka Tjahyaningrum, S.Si., Apt., selaku Kepala Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional dan pembimbing lapangan dalam menyelesaikan penulisan tugas khusus. vi

7 8) Anwar Wahyudi, SE., S.Farm., Apt., MKM, selaku Kepala Subbagian Tata Usaha. 9) Santi Purna Sari, S.Si., M.Si., selaku pembimbing II dari Fakultas Farmasi. 10) Seluruh dosen pengajar dan tata usaha program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi yang telah membantu kelancaran dalam perkuliahan dan penyusunan laporan ini. 11) Keluarga tercinta atas semua dukungan, kasih sayang, perhatian, kesabaran, dorongan, semangat, dan doa yang tak pernah putus mengiringi setiap langkah perjalanan hidup penulis. 12) Seluruh teman-teman Apoteker angkatan 78 atas kebersamaan, kerjasama dan kesediaan berbagi suka dan duka, dukungan dan semangat yang diberkan kepada penulis. 13) Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungannya kepada penulis. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis peroleh selama menjalani Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkan. Penulis 2014 vii

8 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Yuni Arista Ningrum Kumesan NPM : Program Studi : Apoteker Fakultas : Farmasi Jenis Karya : Laporan Praktek Kerja demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universita Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya akhir saya yang berjudul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Periode 17 Maret 28 Maret 2014 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : Juni 2014 Yang menyatakan Yuni Arista Ningrum Kumesan viii

9 ABSTRAK Nama : Yuni Arista Ningrum Kumesan NPM : Program Studi : Profesi Apoteker Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Periode 17 Maret 28 Maret 2014 Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertujuan agar calon apoteker mengetahui dan memahami tugas Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, khususnya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dan memahami peran dan fungsi profesi apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, khususnya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Tugas khusus yang diberikan berjudul Penyusunan Pedoman Pembinaan Pedagang Besar Farmasi tentang Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dan Sistem Elektronik Pelaporan Pedagang Besar Farmasi yang bertujuan untuk membuat pedoman pembinaan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam mengimplementasikan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dan dalam melakukan pelaporan kegiatannya. Kata kunci : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) Tugas umum : xv + 59 halaman; 4 gambar; 5 tabel; 8 lampiran Tugas khusus : iv + 60 halaman; 2 tabel; 14 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 5 ( ) Daftar Acuan Tugas Khusus : 8 ( ) ix

10 ABSTRACT Nama : Yuni Arista Ningrum Kumesan NPM : Program Studi : Apothecary profession Judul : Pharmacist Internship Program at Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Period March 17th March 28th 2014 Pharmacists Professional Practice in Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan aims to know and understand the duties of the Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, particularly in Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian and understand the roles and functions of the Apothecary profession in performing work in the Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, particularly in Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. While the tittle of the special assignment is Preparation Guidelines for Development of Large Pharmacy Drugs on Good Distribution Practices (CDOB) and Electronic Reporting System Large Pharmacy which aims to create guidelines coaching Large Pharmacy (PBF) in the implementation of Good Distribution Practices (CDOB) and in reporting activities. Keywords : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Good Distribution Practices (CDOB) General Assignment : xv + 59 pages; 4 pictures; 5 table; 8 appendices Specific Assignment : iv + 60 pages; 2 tables; 14 appendices Bibliography of General Assignment : 5 ( ) Bibliography of Specific Assignment : 8 ( ) x

11 DAFTAR ISI JUDUL... HALAMAN JUDUL... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... LEMBAR PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iii iv v vi viii vix xi xiii xiv xv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN UMUM Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan TINJAUAN KHUSUS Tugas Pokok dan Fungsi Tujuan Visi dan Misi Sasaran Indikator Arah Program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Strategi Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Subbagian Tata Usaha Strategi Pelaksanaan Sumber Daya PEMBAHASAN Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat xi

12 Tradisional Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN LAMPIRAN xii

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1. Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Tahun Gambar 4.2. Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun Gambar 4.3. Proses Penyelesaian Perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun Gambar 4.4 Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri xiii

14 DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Jumlah Pegawai Di Lingkungan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun Tabel 4.1. Daftar Perizinan Bidang Obat Dan Obat Tradisional Tabel 4.2. Izin Impor / Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Tahun 2013 yang Diterbitkan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor Dan Sediaan Farmasi Khusus Tabel 4.3. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Tahun Tabel 4.4. Perbandingan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Tahun xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementrian Kesehatan RI Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Kesehatan Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Lampiran 6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Lampiran 8. Daftar Nama Bahan Baku Obat dan Bahan Baku Obat Tradisional yang Telah Siap Diproduksi di Dalam Negeri. 58 xv

16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Definisi kesehatan menurut UU No. 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan, hal ini dikarenakan dengan tubuh yang sehat setiap individu dapat menjalankan segala aktivitas kehidupannya dengan baik dan berkualitas. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu pembangunan kesehatan merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat Indonesia hal ini dikarenakan dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Kementerian Kesehatan RI, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pembangunan kesehatan dibangun dengan asas perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah bertanggung jawab dalam pembangunan kesehatan, yaitu merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat guna tercapinya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pemerintah juga bertanggung jawab atas ketersediaan segala sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan kesehatan RI. Hal ini dikarenakan seluruh rakyat 1

17 2 Indonesia berhak memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau (Kementerian Kesehatan RI,2009). Kesehatan merupakan hak yang fundamental, oleh karena itu untuk Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan terus berupaya agar pelayanan kesehatan memiliki kualitas yang semakin baik. Salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan adalah dengan pelayanan kefarmasian yang profesional. Terwujudnya pelayanan kefarmasian yang mumpuni merupakan tanggung jawab dari berbagai pihak, salah satunya adalah apoteker. Apoteker selaku tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas pelayanan kefarmasian dituntut untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui pembinaan pelayanan kefarmasian. Untuk menunjang hal tersebut, maka pemerintah melalui Keputusan Menteri KesehatanNo. 1277/MENKES/SK/2001 membentuk Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Yanfar dan Alkes) yang selanjutnya berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Binfar danalkes) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1575/MENKES/PER/XI/2005. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dibagi menjadi empat direktorat, salah satunya adalah Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Direktorat ini bertugas melaksanakan penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Peran apoteker di pemerintahan berkaitan dalam penanganan sediaan farmasi dan alat kesehatan, hal ini merupakan hal yang sangat penting, oleh karena itu diperlukan adanya pembekalan bagi para calon apoteker mengenai tugas dan fungsi apoteker dalam bidang kefarmasian yang bertujuan memperkenalkan program pemerintah dalam meningkatkan peran apoteker di masyarakat. Oleh karena itu, diselenggarakan Praktk Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan, dengan harapan calon apoteker dapat

18 3 memperoleh gambaran nyata tentang peran apoteker di masyarakat secara umum dan di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan secara khusus, terutama di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertujuan agar calon apoteker : a. Mengetahui dan memahami tugas Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, khususnya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. b. Memahami peran dan fungsi profesi apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, khususnya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.

19 BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merupakan badan pelaksana pemerintah di bidang kesehatan yang dipimpin oleh Menteri dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 nama Kementerian Kesehatan digunakan untuk menggantikan nama sebelumnya yaitu Departemen Kesehatan Dasar Hukum Kementerian Kesehatan dibentuk berdasarkan dasar hukum, berikut adalah dasar hukum yang dimiliki oleh Kementerian kesehatan : a. Perpres RI No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. b. Perpres RI No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. c. Permenkes RI No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan Visi dan Misi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memiliki sebuah Visi, yaitu Sehat Yang Mandiri,dan Berkeadilan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Oleh karena itu agar visi tersebut tercapai, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan beberapa misi, dimana misi tersebut yaitu sebagai berikut: a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata bermutu dan berkeadilan. 4

20 5 c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik Strategi Untuk mewujudkan Visi dan Misi yang telah ditetapkan guna untuk meningkatkan pembangunan kesehatan, maka Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menyusun beberapa strategi. Adapun strategi tersebut adalah : a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global. b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. c. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu. e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan. f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdaya guna dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggungjawab Nilai-Nilai Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membuat beberapa strategi guna tercapainya visi dan misi tersebut, akan tetapi strategi tersebut harus menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai berikut berikut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) : a. Pro Rakyat Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan haruslah menghasilkan yang terbaik

21 6 untuk rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. b. Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Dengan demikian, seluruh komponen masyarakat harus berpartisipasi aktif, yang meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat pengusaha, masyarakat madani dan masyarakat akar rumput. c. Responsif Program kesehatan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat, serta tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor ini menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda, sehingga diperlukan penanganan yang berbeda pula. d. Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan dan bersifat efisien. e. Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel Tujuan Sebagai penjabaran dari Visi Kementerian Kesehatan, maka tujuan yang akan dicapai adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasilguna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Tujuan tersebut dicapai melalui pembinaan, pengembangan, dan pelaksanaan, serta pemantapan fungsi-fungsi administrasi kesehatan yang didukung oleh system informasi kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, serta hukum kesehatan.

22 Sasaran Strategis Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan pada perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, lanjut usia (lansia), dan keluarga miskin. Oleh sebab itu diperlukan sasaran-sasaran starategis guna meningkatkan pembangunan kesehatan di Indonesia, berikut adalah sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan tahun , yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) : a. Meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat, dengan: 1) Meningkatnya umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun. 2) Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per kelahiran hidup. 3) Menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per kelahiran hidup. 4) Menurunnya angka kematian neonatal dari 19 menjadi 15 per kealahiran hidup. 5) Menurunnya prevalensi anak balita yang pendek (stunting) dari 36,8 persen menjadi kurang dari 32 persen. 6) Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh naskes terlatih (cakupan PN) sebesar 90%. 7) Persentase puskesmas rawat inap yang mampu melaksanakan Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar (PONED) sebesar 100%. 8) Persentase Rumah Sakit Kabupaten Kota yang melaksanakan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komperhensif (PONEK) sebesar 100%. 9) Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN lengkap) sebesar 90%. b. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular, dengan : 1) Menurunnya prevalensi Tuberculosis dari 235 menjadi 224 per penduduk.

23 8 2) Menurunnya kasus malaria (Annual Paracite Index-API dari 2 menjadi 1 per penduduk. 3) Terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa dari 0,2 menjadi di bawah 0,5%. 4) Meningkatnya cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan dari 80% menjadi 90%. 5) Persentase desa yang mencapai Universal Child Immunization (UCI) dari 80% menjadi 100%. 6) Angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) dari 55 menjadi 51 per penduduk. c. Menurunnya disparasitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender, dengan menurunnya disparasitas separuh dari tahun d. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi resiko financial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin. e. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70 persen. f. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). g. Seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular. h. Seluruh Kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rencana Strategis (Renstra) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka sebagai salah satu pelaku pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan periode Renstra Kementerian Kesehatan merupakan dokumen perencanaan yang bersifat indikatif dan memuat berbagai program pembangunan kesehatan yang akan dilaksanakn langsung oleh Kementerian Kesehatan untuk kurun waktu 2010

24 9 2014, dengan penekanan pada penetapan sasaran Prioritas Nasional, Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan Millenium Development Goals s (MDG S). Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui beberapa upaya untuk peningkatan : a. Upaya kesehatan b. Pembinaan kesehatan c. Sumber daya manusia kesehatan d. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan e. Manajemen dan informasi kesehatan f. Pemberdayaan masyarakat Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) dalam tahap ke-2 ( ), kondisi pembangunan kesehatan diharapkan telah mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan dengan membaiknya berbagai indikator pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), seperti meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, meningkatnya kesetaraan gender, meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak, terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, serta menurunnya kesenjangan antar individu, antar kelompok masyarakat, dan antar daerah Arah Kebijakan Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama yang diarahkan untuk mencapai sasaran peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ditandai dengan meningkatnya IPM dan Indeks Pembangunan Gender (IPG), yang didukung oleh tercapainya penduduk tumbuh seimbang, serta semakin kuatnya jati diri dan karakter bangsa. Sesuai visi misi Presiden, kebijakan pembangunan kesehatan periode 5 tahun ke depan ( ) diarahkan pada tersedianya akses kesehatan dasar yang murah dan terjangkau terutama pada kelompok menengah ke bawah guna

25 10 mendukung pencapainya MDG s pada tahun 2015 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Tema Prioritas Pembangunan Kesehatan pada tahun adalah Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan melalui : a. Program Kesehatan Masyarakat b. Program Keluarga Berencana (KB) c. Sarana Kesehatan d. Obat e. Asuransi Kesehatan Nasional Prioritas Pembangunan Kesehatan pada tahun difokuskan pada delapan fokus prioritas, yaitu : a. Peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita, dan Keluarga Berencana (KB) b. Perbaikan status gizi masyarakat c. Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular diikuti penyehatan lingkungan d. Pemenuhan, pengembangan, dan pemberdayaan SDM kesehatan e. Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, keamanan, mutu, dan penggunaaan obat serta pengawasan obat dan makanan f. Pengembangan sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) g. Pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan h. Peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier Arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan didasarkan pada arah kebijakan dan strategi nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan memperhatikan permasalahan kesehatan yang telah diindentifikasi melalui hasil review pelaksanaan pembangunan kesehatan sebelumnya. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan periode tahun Perencanaan program dan kegiatan secara keseluruhan telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan. Namun untuk menjamin terlaksanannya berbagai upaya kesehatan yang dianggap prioritas dan mempunyai daya ungkit besar di dalam pencapaian hasil pembangunan kesehatan, dilakukan upaya yang bersifat reformatif dan akseleratif.

26 11 Upaya tersebut meliputi pengembangan Jaminan Kesehatan Masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan di DTPK, ketersediaan, keterjangkauan obat di seluruh fasilitas kesehatan, saintifikasi jamu, pelaksanaan reformasi birokrasi, pemenuhan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Penanganan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK), pengembangan pelayanan untuk Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia (World Class Hospital). Langkah-langkah pelaksanaan upaya reformasi tersebut disusun di dalam dokumen tersendiri, dan menjadi dokumen yang tidak terpisahkan dengan dokumen Rencana Strategis Kementerian Kesehatan ini. Upaya kesehatan tersebut juga ditujukan untuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antar wilayah, gender, dan antar tingkat sosial ekonomi, melalui: pemihakan kebijakan yang lebih membantu kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengalokasikan sumber daya yang lebih memihak kepada kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengembangan instrument untuk memonitor kesenjangan antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi, dan peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah yang tertinggal. Selain itu, untuk dapat meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, kedelapan fokus prioritas pembangunan nasional bidang kesehatan didukung oleh peningkatan kualitas manajemen dan pembiayaan kesehatan, sistem informasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, melalui: a. Peningkatan kualitas perencanaan, penganggaran dan pengawasan pembangunan kesehatan. b. Pengembangan perencanaan pembangunan kesehatan berbasis wilayah. c. Penguatan peraturan perundangan pembangunan kesehatan. d. Penataan dan pengembangan sistem informasi kesehatan untuk menjamin ketersediaan data dan informasi kesehatan melalui pengaturan sistem informasi yang komprehensif dan pengembangan jejaring. e. Pengembangan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dalam bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, rancang bangun alat kesehatan dan penyediaan bahan baku obat.

27 12 f. Peningkatan penapisan teknologi kesehatan dari dalam dan luar negeri yang cost effective. g. Peningkatan pembiayaan kesehatan untuk kegiatan preventif dan promotif. h. Peningkatan pembiayaan kesehatan dalam rangka pencapaian sasaran luaran dan sasaran hasil. i. Peningkatan pembiayaan kesehatan di daerah untuk mencapai indikator SPM. j. Penguatan advokasi untuk peningkatan pembiayaan kesehatan. k. Pengembangan kemitraan dengan penyedia pelayanan masyarakat dan swasta. l. Peningkatan efisiensi penggunaan anggaran. m. Peningkatan biaya opersional Puskesmas dalam rangka peningkatan kegiatan preventif dan promotif dengan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Struktur Organisasi Struktur organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/ MENKES/PER/VIII/2010 pasal 4 menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Sekretariat Jenderal. b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. f. Inspektorat Jenderal. g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi. j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat. k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi. m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi.

28 13 o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r. Pusat Komunikasi Publik. s. Pusat Promosi Kesehatan. t. Pusat Inteligensia Kesehatan. u. Pusat Kesehatan Haji. Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada lampiran Kedudukan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 1, kedudukan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Kementerian Kesehatan berada di bawah dan beranggung jawab kepada Presiden. b. Kementerian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kesehatan Tugas Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 2, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Fungsi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 3 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan.

29 14 b. Pengelolaan barang milik atau kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di daerah. e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional Kewenangan Dalam menyelenggarakan fungsinya, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai kewenangan, berikut adalah kewenangan Kementerian Kesehatan RI (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan secara makro. b. Penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota di bidang Kesehatan. c. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan. d. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga professional / ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan. e. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan. f. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara di bidang kesehatan. g. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan. h. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan. i. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan. j. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan. k. Penyelesaian perselisihan antar propinsi di bidang kesehatan. l. Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak.

30 15 m. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. n. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan. o. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan. p. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan. q. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi. r. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan. s. Surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa. t. Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat esensial (buffer stock nasional). u. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : 1) Penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu. 2) Pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan. 2.2 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kedudukan Direktorat Jenderal adalah unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Direktorat Jenderal dipimpin oleh Direktur Jenderal (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Direkorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut : a. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.

31 16 c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tujuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) a. Terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan. b. Terlindunginya masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan kerasionalan. c. Meningkatnya mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang didukung oleh tenaga farmasi yang profesional Sasaran dan Indikator Sasaran hasil program kefarmasian dan alat kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100% (Ditjen Binfar dan Alkes, 2013) Kegiatan Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, maka diperlukan dilakukan upaya kegiatan untuk mencapai sasaran tersebut. kegiatan yang akan dilakukan meliputi (Ditjen Binfar dan Alkes, 2013) : a. Peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. c. Peningkatan pelayanan kefarmasian. d. Peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian.

32 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dipimpin oleh Direktur Jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan. Struktur Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat dilihat pada lampiran 2. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri dari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Sekretariat Direktorat Jenderal. b. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. c. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. d. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan. e. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Sekretariat Direktorat Jenderal Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan. Struktur Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat dilihat pada lampiran 3. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi, berikut adalah fungsinya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran. b. Pengelolaan data dan informasi. c. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional, dan hubungan masyarakat. d. Pengelolaan urusan keuangan. e. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan. f. Evaluasi dan penyusunan laporan. Sekretariat Direktorat Jendral terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Bagian Program dan Informasi. b. Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat.

33 18 c. Bagian Keuangan. d. Bagian Kepegawaian dan Umum. e. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

34 19 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari lampiran 4 : a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat. b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas,farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. d. Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai struktur organisasi yang terdiri atas lampiran 5 : a. Subdirektorat Standarisasi.

35 20 b. Subdirektorat Farmasi Komunitas. c. Subdirektorat Farmasi Klinik. d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 588, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai Struktur organisasi Direktorat Bina Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri atas lampiran 6 :

36 21 a. Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan. b. Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. c. Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. d. Subdirektorat Standarisasi dan Sertifikasi. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Struktur organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi kefarmasian terdiri atas lampiran 7 : a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. b. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan. c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus.

37 22 d. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional.

38 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS 3.1 Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempuyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan perizinan dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. 3.2 Tujuan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tujuan yaitu : Industri Farmasi dan Makanan Yang Memenuhi Syarat dan Mampu Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri Serta Bersaing di Era Globalisasi (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013). 3.3 Visi dan Misi Agar tujuan yang telah ditetapkan oleh direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dapat tercapai, aktivitas operasional Direktorat Bina 23

39 24 Produksi dan Distribusi Kefarmasian beradasarkan visi dan misi sebagai berikut (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013) : a. Visi Industri farmasi dan Makanan yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bersaing di era globalisasi. b. Misi 1) Menyusun dan mengembangkan standar dan persyaratan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. 2) Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. 3) Membentuk aliansi strategis dalam bidang obat, obat tradisonal, sediaan farmasi khusus, kosmetik dan makanan. 4) Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan makanan. 3.4 Sasaran Guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah menetapkan beberapa sasaran, berikut adalah sasarannya (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013) : a. Menciptakan iklim industri yang kondusif melalui penyusunan regulsi, standar dan pedoman yang dapat mengakomodir pengembangan di bidang farmasi dan makanan. b. Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan dsitribusi kefarmasian dan makanan. c. Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan makanan. d. Menciptakan kemandirian di bidang kefarmasian. 3.5 Indikator Kegiatan Peningkatan produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki luaran sebagai berikut (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013) :

40 25 a. Meningkatnya produks bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian. b. Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian. c. Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri. 3.6 Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dilaksanakan melalui 10 program, meliputi (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013) : a. Menyusun norma, standar, persyaratan serta regulasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. b. Mengupayakan kemandirian di bidang obat, bahan baku obat dan obat tradisional Indonesia melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati. c. Meningkatkan pelaksanaan pelayanan prima didalam perijinan di bidang obat, narkotika, psikotropika, prekursor dan obat tradisional dan sediaan farmasi khusus, dan kosmetika. d. Membentuk aliansi strategis dalam rangka meningkatkan kemandirian obat, obat tradisional, kosmetika dan makanan. e. Menintegrasikan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal. f. Meningkatkan daya saing industri farmasi dan makanan. g. Meningkatkan keamanan, khasiat dan mutu sediaan farmasi dan makanan yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah danpenyalahgunaan sediaan farmasi dan makanan. h. Melaksanakan pembinaan terhadap sarana dan prasarana kefarmasiaan dan makanan. i. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. j. Monitoring dan evaluasi program Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian

41 Strategi Strategi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran Direkorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dengan cara sebagai berikut (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013) : a. Menyusun regulasi, standar dan pedoman yang dapat mengakomodir pengembangan di bidang farmasi dan makanan. b. Membentuk aliansi strategis dan mengintegrasikan sumber daya. c. Melaksanakan koordinasi dan pembinaan yang terpadu. d. Meningkatkan kapasitas SDM yang kompeten dan profesional. 3.8 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki Struktur Organisasi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. b. Sudirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan. c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. d. Subdirekorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional. 3.9 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Tugas dan Fungsi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

42 27 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelak sanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional Struktur Organisasi Struktur Organisai Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. b. Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menangani penerbitan usaha industri farmasi, pedagang besar farmasi, pedagang besar bahan baku farmasi, industri obat tradisional dan penyusunan standar dan pedoman di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.

43 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan Tugas dan Fungsi Subdirektorat Poduksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang produksi kosmetika dan makanan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang produksi kosmetika dan makanan. b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kosmetika dan makanan. c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi kosmetika. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi kosmetika dan makanan. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Seksi Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi kosmetika dan makanan. b. Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang sarana produksi kosmetika.

44 29 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menangani penerbitan izin usaha di bidang produksi kosmetika dan makanan dan penyusunan standar dan pedoman di bidang produksi ksometika dan makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Tugas dan Fungsi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. c. Pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. d. Penyiapan bahan bimbingan dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan.

45 Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus terdiri dari atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi. b. Seksi Sediaan Farmasi Khusus Seksi Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sediaan farmasi khusus dan makanan. Subdirekorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Sediaan Farmasi Khusus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, maka dalam hal ini Subdirektorat tersebut menangani / menerbitkan izin import / eksport prekusor, psikotropika Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Tugas dan Fungsi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat menyelengarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat.

46 31 b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. c. Penyiapan bahan koordinasi serta pelakasanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang kemandirian obat dan bahan baku obat Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. b. Seksi Kerjasama Seksi Kerjasama mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan koordinasi, pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor, pengendalian serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kerjasama di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat Subbagian Tata Usaha Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas untuk melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat sebagai berikut (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013) : a. Umum 1) Pencatatan surat menyurat (surat masuk dan surat keluar) dengan sistem arsiparis. 2) Distribusi surat masuk dan surat keluar ke subdit maupun eksternal Direktorat.

47 32 3) Pengetikan (komputerisasi) surat terutama untuk keperluan pimpinan. 4) Penyusunan daftar kepustakaan Direktorat. 5) Kearsipan dengan pola atau sistem arsiparis. b. Kepegawaian Tugas Subbagian Tata Usaha Kepegawaian adalah membuat data dan informasi kepegawaian. Data dan informasi tersebut antara lain: 1) Daftar nama-nama pejabat berdasarkan nomor urut kepangkatan berikut nama jabatan, eselon dan golongan. 2) Daftar seluruh pegawai berdasarkan nomor urut kepangkatan dan nama jabatan serta alamat. 3) Informasi tentang kenaikan pangkat maupun memasuki masa pensiun. 4) Menyusun dan menyimpan berkas-berkas data KP4 (Surat Keterangan Untuk Mendapat Tunjangan Keluarga) maupun daftar riwayat hidup seluruh pegawai. 5) Menyusun dan menyimpan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) seluruh pegawai berdasarkan urutan tahun penilaian. 6) Menyusun dan menyimpan berkas-berkas yang berkaitan dengan pegawai untuk seluruh pegawai. 7) Mengurus data kenaikan pangkat pegawai yang mau naik pangkat. 8) Membantu pengurusan pembuatan SIMKA (Sistem Informasi Kepegawaian). c. Kerumahtanggaan Direktorat Tugas Subbagian Tata Usaha kerumahtangaan adalah sebagai berikut : 1) Melakukan inventarisasi barang-barang inventaris milik negara. 2) Melakukan pendataan yang berkaitan dengan pemeliharaan barang-barang inventaris dan bekerjasama dengan bagian umum dan kepegawaian Setditjen (Sekertaris Direktorat Jenderal) Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 3) Melakukan pendataan barang-barang inventaris yang akan diusulkan penghapusannya secara administratif yang selanjutnya diteruskan ke Bagian Umum dan Kepegawaian Setditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

48 33 4) Menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan rapat atau tamu-tamu Direktur. 5) Menata dan mengatur ruang penyimpanan berkas/barang inventaris di Gudang Direktorat Strategi Pelaksanaan Strategi yang dilaksanakan oleh masing-masing Subdirektorat untuk mencapai target indikator adalah sebagai berikut (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013) : Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional a. Aliansi strategis dalam kemandirian di bidang obat tradisional. b. Penyusunan NSPK di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. c. Pembinaan kepada sarana di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di bidang pembinaan obat dan obat tradisional. e. Membangun jejaring kerja dengan pemangku kepentingan nasional di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan a. Aliansi strategi di bidang produksi kosmetik dan makanan. b. Penyusunan NSPK di bidang produksi kosmetik dan makanan. c. Pembinaan kepada produsen kosmetik dan makanan. d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, kabupaten/kota di bidang pembinaan produksi makanan. e. Membangun jejaring kerja dengan pemangku kepentingan nasional di bidang produksi kosmetik dan makanan.

49 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus a. Membangun jejaring kerjasama dengan stake holder terkait melalui aliansi strategi di bidang produksi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus. b. Penyusunan NSPK di bidang produksi narkotik, psilotropik, prekursor dan sediaan farmasi khusus. c. Pembinaan terhadap industri farmasi dan PBF yang melakukan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus. d. Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, kabupaten/kota di bidang pembinaan produksi dan distibusi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus dan pelaporan Narkotika dan Psikotropika Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat a. Pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat. Kelompok kerja kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kemandirian dan stake holder terkait lain dengan kementrian kesehatan sebagai koordinator. b. Kerjasama dan fasilitas penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT dan LIPI) di bidang pengembangan bahan baku obat. c. Pembentukan jejaring kerja dengan berbagai stake holder diantaranya institusi penelitian, kalangan indutri dan asosiasi pengusaha 3.15 Sumber Daya Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang bertugas di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sampai akhir tahun 2013 berjumlah 47 orang yang terdiri dari 34 PNS dan 13 Non PNS (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI, 2014). Berdasarkan jabatan, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari 14 orang dengan jabatan struktural dan 20 orang dengan jabatan fungsional umum / staf. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 3.1.

50 35 Tabel 3.1 Jumlah pegawai di lingkungan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun 2013 No Jabatan Jumlah 1 Menurut Jabatan Jabatan Struktural Jabatan Fungsional Umum/Staf 14 orang 20 orang 2 Menurut Golongan Golongan II Golongan III Golongan IV 4 orang 23 orang 7 orang 3 Menurut Pendidikan S2 S1 D3 SLTA SLTP 24 orang 4 orang 2 orang 2 orang 1 orang 4 Menurut Jenis Kelamin Pria Wanita 9 orang 25 orang 5 Menurut Kelompok Usia < 30 tahun tahun tahun tahun 9 orang 12 orang 5 orang 8 orang Total SDM 34 orang Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang tersedia di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian sesuai dengan Laporan Barang Milik Negara (BMN) pada Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menggunakan data yang

51 36 berasal dari Sistem Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN) (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2013).

52 BAB 4 PEMBAHASAN Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan suatu Direktorat yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan yang terdiri dari 4 subdirektorat yaitu Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional, Subdirektorat Produksi Kosmetika Dan Makanan, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus Dan Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. 4.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Berdasarkan pengamatan selama PKPA di Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional, subdirektorat telah melaksanakan tugas dan 37

53 38 fungsinya dengan baik. Kerja nyata yang telah dilaksanakan oleh Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional antara lain : a. Pemetaan industri farmasi, industri obat tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. b. Perizinan industri farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. c. Penyusunan Farmakope Indonesia. d. Penyusunan Kurikulum Modul Pembinaan di bidang Obat dan Obat Tradisional. e. Penyusunan Pedoman Pembinaan IOT dan IEBA. f. Penyusunan Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan di Bidang Obat dan Obat Tradisional. g. Sosialisasi perizinan dalam mewujudkan pelayanan perizinan terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional telah mengeluarkan izin terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat telah mengeluarkan izin sebanyak 577 selama tahun 2013 yang terbagi dalam 7 jenis. Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.1 Tabel 4.1. Daftar Perizinan Bidang Obat dan Obat Tradisional Tahun 2013 No. Jenis Kategori Izin yang Dikeluarkan 1. Izin IF Persetujuan Prinsip IF 6 3. Izin IOT Persetujuan Prinsip IOT 1 5. Izin IEBA 2 6. Izin PBF Izin PBF Bahan Obat 43

54 39 REKAPITULASI PERIZINAN SUBDIREKTORAT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI OBAT DAN OBAT TRADISIONAL TAHUN 2013 JUMLAH IZIN IF Prinsip IF IOT Prinsip IOT IEBA PBF PBFBO JENIS IZIN Gambar 4.1. Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Tahun 2013 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional melakukan sosialisasi perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Obat dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat secara berkesinambungan. Sosialisasi yang telah dilakukan dalam bentuk : a. Aliansi strategis di bidang obat dan obat tradisional, Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Obat Tradisional melalui media cetak. b. Pendampingan tenaga kesehatan Provinsi terhadap perizinan dalam rangka pelayanan prima. c. Pembekalan terhadap sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. d. Pendampingan bagi KUMKM bidang obat tradisional. e. Pembekalan tenaga kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka pembinaan industri dan usaha obat tradisional. Sosialisasi ini terus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan pemahaman industri farmasi, industri obat tradisional, Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat (PBFBO) agar mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

55 40 Menurut pengamatan yang dilakukan selama Praktek Kerja Profesi Apoteker mengenai proses pengajuan perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat yang dilakukan di loket 1 Unit Layanan Terpadu, masih banyak berkas perizinan yang belum lengkap sehingga pemohon harus datang berulang-kali. Perizinan yang ditangani Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian ini merupakan suatu perizinan yang kompleks dan melibatkan juga instansi lainnya seperti Dinas Kesehatan Propinsi, Badan Pengawas Obat dan Makanan dan BKPM. Rekomendasi dari instansi lain tersebut merupakan salah satu persyaratan dari permohonan perizinan, sehingga tertundanya pengeluaran surat rekomendasi menyebabkan proses perizinan menjadi lebih lama. Selain itu, dari sekian banyak kegiatan pelayanan perizinan sarana produksi dan distribusi yang ditangani oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, baru perizinan ekspor/impor narkotika saja yang menerapkan sistem online registration. Perizinan lainnya masih dilakukan pemeriksaan secara manual saja, namun akan diarahkan menjadi pelayanan online ke depannya. Dengan adanya sistem online registration ini, diharapkan proses akan lebih cepat dan efisien. 4.2 Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan Subdirektorat produksi kosmetika dan makanan bertanggung jawab dalam mengatur regulasi produksi kosmetik dan makanan yaitu penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan, serta bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap industri kosmetik dan makanan untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Berdasarkan Pemenkes RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang izin produksi kosmetika, diatur mengenai tata cara perizinan produksi kosmetika. Syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin produksi kosmetika adalah industri kosmetika harus menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB) dalam produksinya. CPKB bertujuan untuk menjamin agar produk yang

56 41 dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Izin produksi diberikan sesuai bentuk dan jenis kosmetik yang akan dibuat. Izin produksi dibedakan atas dua golongan sebagai berikut, industri kosmetik golongan A yaitu izin produksi yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetik dan wajib menerapkan seluruh aspek CPKB. Pada industri kosmetik golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetik yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetik tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana, namun harus mampu menerapkan hygiene sanitasi dan dokumentasi sesuai dengan CPKB. Hal ini bertujuan untuk menjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan kosmetika yang beredar di masyarakat. Di Indonesia peraturan kosmetik disesuaikan dengan harmonisasi ASEAN tahun Penerapkan harmonisasi ASEAN di Indonesia pada tahun 2011 dalam bentuk notifikasi kosmetika. Tujuan perubahan alur registrasi menjadi notifikasi ialah agar masyarakat dilindungi dari peredaran dan penggunaan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, klaim manfaat produk serta mempermudah perolehan izin edar kosmetik. Notifikasi kosmetik, menetapkan aturan mengenai tata cara untuk memperoleh notifikasi dari suatu produk kosmetik sebelum diedarkan kemasyarakat yang diatur dalam Permenkes RI No. 1175Menkes/Per/VIII/2010 dan di bawah kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Penerapan sistem online dalam melakukan notifikasi mempermudah industri kosmetik dalam mendaftarkan produknya melalui website Notifikasi memiliki kelemahan, yaitu konsumen sulit untuk mengetahui apakah produk yang beredar tersebut telah ternotifikasi atau belum ternotifikasi. Hal ini disebabkan karena dalam notifikasi tidak wajib mencantumkan nomor notifikasi di dalam kemasan produk kosmetik. Pada subdit ini juga dilakukan standarisasi kosmetik yang beredar dengan menyusun Formularium Kosmetik Indonesia. Pada pengaturan produksi makanan, kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan regulasi, pembinaan, pengawasan terhadap industri makanan yang ada di Indonesia. Pada subdit ini, dilakukan penetapan standar terhadap bahan tambahan dalam pangan yang diatur dalam Permenkes RI No. 033 tahun 2012

57 42 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), serta pembinaan terhadap Industri Rumah Tangga (IRT). Diharapkan produk yang sampai ke konsumen memenuhi syarat mutu dan keamanan. Subdirektorat produksi kosmetik dan makanan melaksanakan perizinan di bidang produksi kosmetik sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Selama tahun 2013, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Kosmetika dan Makanan telah memberikan izin di bidang Kosmetika dan melakukan pembinaan pada Industri Rumah Tangga yang memproduksi makanan. Pada tahun 2013, jumlah izin produksi kosmetika yang masuk adalah sebanyak 106 buah, ditambah dengan jumlah izin yang masuk di tahun sebelumnya sehingga jumlah yang diterbitkan adalah sebanyak 118 buah izin, dengan rincian 113 izin (95,76%) diselesaikan tepat waktu dan izin (4,24%) tidak tepat waktu. Dinyatakan tepat waktu apabila waktu penyelesaian izin kurang dari 14 hari kerja, yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dilihat pada grafik dan diagram berikut ini. REKAPITULASI PERIZINAN SUB DIREKTORAT PRODUKSI KOSMETIK DAN MAKANAN TAHUN 2013 JUMLAH IZIN JENIS IZIN Gambar 4.2. Rekapitulasi Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun 2013

58 43 4% 14 HK (Sesuai Permenkes 1175) 14 HK (Tidak Sesuai Permenkes 1175) 96% Gambar 4.3. Proses Penyelesaian Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus merupakan subbagian dari Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yang khusus menangani hal-hal yang terkait perizinan di bidang impor / ekspor narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi seperti Surat Persetujuan Impor (SPI), Surat Persetujuan Ekspor (SPE), Importir Produsen (IP), Importir Terdaftar (IT), Eksportir Produsen (EP) dan Eksportir Terdaftar (ET). Selain menangani perizinan narkotika, Subdirektorat ini juga menangani pengadaan sediaan farmasi khusus melalui jalur SAS (Special Access Scheme) untuk sediaan farmasi yang belum memiliki izin edar di Indonesia. Pemberian izin sebagai IP narkotika, psikotropika maupun prekursor farmasi serta Surat Persetujuan impor/ekspor narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dapat diberikan atas persetujuan Menteri Kesehatan. Dalam hal impor/ekspor narkotika, PT Kimia Farma ditunjuk sebagai Industri tunggal yang memiliki izin sebagai IP (Importir Produsen) dan PBF tunggal sebagai IT (Importir Terdaftar) narkotika di mana impor / ekspor psikotropika dan prekursor farmasi dapat dilakukan oleh industri farmasi maupun PBF lainnya.

59 44 Narkotika dan Psikotropika memerlukan penanganan khusus terkait produksi dan distribusinya mulai dari pengadaan bahan baku hingga dalam bentuk produk jadi yang siap diedarkan. Selain narkotika dan psikotropika, dikenal istilah prekursor atau bahan kimia yang dengan reaksi sederhana dapat diubah menjadi narkotika dengan penambahan senyawa lain. Prekursor farmasi juga memiliki tingkat resiko penyalahgunaan yang tinggi sehingga memerlukan pengawasan khusus seperti Narkotika dan Psikotropika. Sediaan Farmasi Khusus merupakan sediaan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia tetapi belum memiliki izin edar di Indonesia yang dapat diperoleh dari sumbangan negara lain. Obat tersebut digunakan untuk pengobatan penyakit langka atau menyangkut keselamatan jiwa manusia seperti obat untuk penyakit Hemofilia. Kurangnya nilai komersial dari sediaan farmasi khusus menyebabkan tidak ada importir atau produsen yang bersedia menangani registrasi dan izin edarnya. Pengadaan sediaan farmasi khusus ini melalui jalur khusus yang dikenal dengan istilah SAS (Special Access Scheme). Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun 2013, Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus yang telah diterbitkan dapat dilihat pada grafik di bawah ini : Tabel 4.2. Izin Impor / Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Tahun 2013 yang diterbitkan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus No. Jumlah SPI SPE IP EP IT 1. Narkotika Psikotropika Prekursor Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat melaksanakan tugasnya yang bertujuan menjadikan negara Indonesia dapat mandiri dalam hal

60 45 pengadaan obat dan bahan baku obat karena hampir 96% kebutuhan produk obat tersebut tergantung pada bahan baku obat (BBO) impor. Ada beberapa faktor yang menghambat kemandirian obat dan bahan baku obat dalam negeri diantaranya bahan baku hasil penelitian tidak sesuai kebutuhan bahan baku obat di industri dan tingginya pajak yang dikenakan untuk komponen pembuatan bahan baku obat. Hal ini mengakibatkan harga bahan baku hasil produksi dalam negeri menjadi lebih tinggi daripada harga bahan baku impor. Kemandirian yang dimaksud adalah industri farmasi mudah mendapatkan bahan baku obat hasil produksi dalam negeri sehingga tidak terpengaruh dengan kondisi pasar global. Keadaan ini akan menjaga kestabilan harga obat dalam negeri. Untuk mencapai tujuan kemandirian obat dan dan ketersediaan bahan baku obat, pemerintah melakukan beberapa hal, dimulai dengan pengalokasian dana riset bekerjasama dengan lembaga terkait dan industri farmasi, menstimulasi berdirinya industri bahan baku obat, dan mengupayakan kerjasama distribusi bahan baku obat produksi dalam negeri ke pasar internasional. Definisi operasional dari bahan baku obat dan obat tradisional yang diproduksi di dalam negeri yaitu : bahan awal penyusun sediaan farmasi (obat dan obat tradisional) dapat berupa bahan berkhasiat maupun bahan tambahan yang merupakan hasil penerapan teknologi maupun bahan alam yang siap diproduksi. Untuk memenuhi bahan baku obat dalam negeri, pemerintah menyusun roadmap pengembangan bahan baku. Dengan roadmap ini diharapkan terjalin kerjasama antara instansi/lembaga terkait dengan industri farmasi. Dalam roadmap tersebut telah ditetapkan strategi yaitu mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku obat; meningkatkan sinergitas Academic Business Goverment (ABG); menguatkan riset di bidang bahan baku obat yang berorientasi pada kebutuhan; meningkatkan kemampuan iptek; dan meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumber daya alam, dan bioteknologi. Untuk pengembangan bahan baku obat yang lebih efektif, saat ini telah dibentuk POKJANAS pengembangan bahan baku yang terdiri dari beberapa lembaga, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan POM, Kemenkokesra, BPPT, LIPI, universitas, dan industri farmasi.

61 46 Pada tahun 2013, jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri yang tersedia mencapai 39 jenis dari target yang telah ditetapkan, seperti yang tertera pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Tahun 2013 INDIKATOR KINERJA Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri TARGET REALISASI CAPAIAN (%) ,43 Upaya yang dilakukan adalah dengan pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kementrian dan stakeholder terkait lainnya dengan Kementrian Kesehatan sebagai koordinator. Pencapaian kemandirian obat dan bahan baku obat juga terutama dilakukan melalui kerjasama dan fasilitasi penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT, LIPI dan Perguruan Tinggi) di bidang pengembangan bahan baku obat serta pembentuk jejaring dengan berbagai stakeholder diantaranya institusi penelitian, kalangan industri dan asosiasi pengusaha. Optimalisasi koordinasi dengan pihak terkait dilakukan melalui perluasan jaringan kerja sama dengan universitas negeri yang memiliki basis riset dan bermitra dengan industri farmasi dan atau industri obat tradisional. Pada tahun 2012 kerja sama ini baru dilakukan dengan Kementrian Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada tahun 2013 dilakukan optimalisasi dengan kementrian terkait yaitu Kementrian Keuangan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Negara Ristek, dan Kementrian Perekonomian. Juga telah dilakukan perbaikan skema kerja pengembahan bahan baku dan bahan baku obat tradisional yang tidak hanya berorientasi pada produk, tetapi juga pada proses produksi lebih lanjut. Hal ini diperkuat dengan adanya Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku dan Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional di Indonesia.

62 47 Untuk mencapai kemandirian di bidang obat tradisional, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah melaksanakan pembangunan berupa: a. Fasilitasi peralatan untuk Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) diempat tempat yaitu Kabupaten Kaur (Bengkulu), Kabupaten Bangli (Bali), Kabupaten sukoharjo (Jawa Tengah) dan Kabupaten Tegal (Jawa Tengah). b. Fasilitasi peralatan untuk Pusat Ekstrak Daerah (PED) di Kota Pekalongan (Jawa Tengah). c. Fasilitasi peralatan Laboratorium Mikrobiologi untuk tiga daerah penerima P4TO tahun 2012, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera Utara dan Kota Pekalongan. Tiga puluh sembilan jenis bahan baku obat dan obat tradisional yang telah siap diproduksi di dalam negeri (kumulatif ) dapat terlihat pada Lampiran 8. Kinerja pemerintah untuk meningkatkan jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negri guna meningkatkan kemandirian bahan baku terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Persentase peningkatannya dapat dilihat pada tabel 4.4 dan gambar 4.4. Tabel 4.4. Perbandingan capaian indikator kinerja jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri tahun INDIKATOR KINERJA Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 T R C T R C T R C ,67 % ,00 % ,43 % Keterangan : T = Target; R = Realisasi; C = Capaian

63 48 50 Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Jumlah BBO dan BBOT Tahun Target Realisasi Gambar 4.4. Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Jika bahan baku obat berhasil diproduksi secara mandiri di dalam negeri, maka pemerintah akan turut serta membantu dalam hal pemasaran bahan baku dengan menjalin kerja sama internasional untuk memperluas pasar bahan baku obat di luar negeri. Hal tersebut dilakukan jika hasil produksi dari industri bahan baku obat lokal telah memenuhi standar internasional. Dengan adanya pemasaran bahan baku obat ke luar negeri, diharapkan industri bahan baku obat akan mendapatkan profit yang lebih besar.

64 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah dilaksanakan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Kementerian Kesehatan dapat disimpulkan bahwa : a. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki tugas melaksanakan penyimpanan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis dan evaluasi dibidang Produksi dan Distribusi Kefarmasian. b. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan tempat bagi apoteker untuk menjalankan fungsi profesinya berkaitan dengan pembuatan regulasi, pembinaan, serta mengawasi produsen dan distributor di bidang farmasi, kosmetika, dan makanan yang bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan serta terjamin mutu dan keamanannya. 5.2 Saran a. Meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) setiap pegawai agar lebih baik lagi dalam pembinaan petugas pusat dan daerah, industri farmas, industri obat tradisional, pedagang besar farmasi, dan pedagang bahan baku obat. b. Menjalin kerja sama di bidang akademik dengan beberapa perguruan tinggi, pihak negeri maupun swasta berkaitan dengan pendidikan dan peningkatan kemandirian bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika, dan makanan. c. Memperbaiki program Aplikasi sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) sehingga dapat memperlancar impor data di program tersebut. d. Melakukan pengembangan sistem e-registration terhadap semua perizinan yang ditangani oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian sehingga dapat mempermudah proses pengajuan, penelusuran tahapan proses, dan percepatan proses sesuai janji hari kerja. 49

65 DAFTAR ACUAN Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian RI. (2013). Laporan Tahunan Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian RI. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI. (2014). Laporan Tahunan 2013 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Jakarta : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/1/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta : Presiden Republik Indonesia. 50

66 LAMPIRAN

67 51 Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

68 52 Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

69 53 Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal

70 54 Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Kesehatan

71 55 Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

72 56 Lampiran 6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan

73 57 Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian

74 58 Lampiran 8. Daftar Nama Bahan Baku Obat dan Bahan Baku Obat Tradisional yang Telah Siap Diproduksi di Dalam Negeri Nama 1. Fraksi bioaktif kayu manis (Cinamomum burmani) 2. Fraksi bioaktif bungur (Lagerstroemia speciosa) 3. Fraksi bioaktif mahkota dewa (Phaleria macrocara) 4. Fraksi protein bioaktif cacing tanah (Lumbricus Rubellus) 5. Ekstrak herba sambiloto ( Andrographis paniculata) 6. Ekstrak herba sambiloto terfraksinasi 7. Ekstrak pegagan (Centella asiatica) 8. Ekstrak pegagan terfraksinasi 9. Ekstrak herba meniran (Phylanthus niruri) 10. Ekstrak herba meniran tefraksinasi 11. Ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza) 12. Ekstrak rimapng jahe (Zingiber officinale) 13. Ekstrak Rimpang Kencur (Kaemferia galanga) 14. Difruktosa anhidra III 15. Pati ter-pragelatinasi 16. Ekstrak terstandar legundi (Vitex trifolia Linn.) 17. Ekstrak terstandar palisa (Kleinhovia hospita Linn.) 18. Ekstrak rumput laut (Eucheuma cottoni) 19. Karaginan rumput laut 20. Ekstrak terstandar pugun lano (Curanga fel-terrae) 21. Ekstrak terstandar daun jati belanda (Guazuma ulmifolia) 22. Ekstrak terstandar herba sidaguri (Sida rhombifolia) 23. Ekstrak terstandar daun sirsak (Annona muricata L.) 24. Ekstrak terstandar biji buah kedaung (Parkia timoriana) 25. Ekstrak tersandar daun salam (Syzygium polyanthum) Tahun

75 Tetrasiklin 27. Albumin 28. Ekstrak terstandar pegagan (Centella asiatica L.) 29. Fraksi triterpen Pegagan 30. Isolat pegagan (asiatikosida) 31. Isolat pegagan (asam madekasat) 32. Isolat pegagan (asam asiatat) 33. Ekstrak terstandar Ganoderma lucidum metoksi-isobutilisonitril (MIBI) 35. Amilum jagung pulut ter-pragelatinasi-hidrolisis enzimatik fosforilasi 36. Ekstrak terstandar kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) 37. Ekstrak terstandar herba tapaak dara (Catharanthus roseus) 38. Ekstrak terstandar umbi bawang putih (Allium sativum L.) 39. Ekstrak terstandar Biji mahoni (Swietenia mahagoni L.) Jacq.

76 UNIVERSITAS INDONESIA PENYUSUNAN PEDOMAN PEMBINAAN PEDAGANG BESAR FARMASI TENTANG CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK (CDOB) DAN SISTEM ELEKTRONIK PELAPORAN PEDAGANG BESAR FARMASI TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014 YUNI ARISTA NINGRUM KUMESAN, S.Farm ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014

77 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i DAFTAR ISI...ii DAFTAR TABEL...iii DAFTAR LAMPIRAN...iv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pedagang Besar Farmasi (PBF) Perizinan Pedagang Besar Farmasi (PBF) Pembinaan dan Pengawasan PBF METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Sumber Data Prosedur Penyusunan Pedoman HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil Penyusunan Pedoman Pembinaan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) Hasil Penyusunan Pedoman Pembinaan Sistem Elektronik Pelaporan Pedagang Besar Farmasi Pembahasan Pembahasan Penyusunan Pedoman Pembinaan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) Pembahasan Penyusunan Pedoman Pembinaan Sistem Elektronik Pelaporan Pedagang Besar Farmasi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN LAMPIRAN ii

78 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Persyaratan Permohonan Izin Pedagang Besar Farmasi... 3 Tabel 2.2. Pelaksana Kewenangan Pembinaan Sesuai dengan PP 38 tahun iii

79 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar VVM Lampiran 2. Kartu Persediaan Lampiran 3. Buku Pembelian Lampiran 4. Kartu Barang Lampiran 5. Surat Penolakan Pesanan Lampiran 6. Surat Penyerahan Barang Lampiran 7. Faktur Penjualan Lampiran 8. Kartu Gudang Lampiran 9. Buku Penjualan Lampiran 10. Buku Penerimaan Pengembalian Barang Lampiran 11. Buku Pengembalian Barang Lampiran 12. Laporan Pengembalian Barang yang Ditarik Dari Peredaran Lampiran 13. Berita Acara Pemusnahan Obat Lampiran 14. Contoh Pembuatan Standar Prosedur Operasional (SPO) iv

80 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya pembangunan nasional yang diselenggarakan pada semua bidang kehidupan. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dengan demikian, pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada gilirannya mendukung percepatan pencapaian sasaran pembangunan nasional. Permasalahan penting yang masih dihadapi dalam pembangunan kesehatan saat ini adalah dari aspek pengawasan obat dimana peredaran obat palsu dan obat illegal masih merupakan masalah yang dihadapi. Masalah ini terjadi pula di tingkat global, baik di negara berkembang maupun di negara maju. WHO memperkirakan bahwa peredaran obat palsu di dunia adalah sebesar 8-10 persen dari seluruh obat yang beredar dan di beberapa negara, hal ini meningkat hingga seperempat kali atau bahkan lebih dari estimasi tersebut. Sementara itu, pencampuran bahan kimia obat ke dalam obat tradisional juga telah menghambat perkembangan industri obat tradisional. Hal ini terjadi akibat menurunnya kepercayaan dunia internasional terhadap mutu dan keamanan obat tradisional Indonesia, yang pada gilirannya mengancam nilai ekspor komoditi ini. Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan terhadap peredaran produk obat yang tidak memenuhi persyaratan semakin meningkat. Oleh karena itu, pengawasan obat tidak dapat dilakukan hanya secara parsial pada produk akhir yang beredar di masyarakat, tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik, mulai dari kualitas bahan yang digunakan, cara-cara produksi, distribusi, penyimpanan, sampai produk tersebut siap dikonsumsi konsumen. Sarana yang memiliki peranan dalam pendistribusian obat agar terjamin ketersediaan, keamanan, dan mutunya adalah Pedagang Besar Farmasi (PBF). PBF dalam kegiatan pendistribusian obat harus selalu dipantau secara 1

81 2 komprehensif sehingga terjamin mutu, khasiat, keamanan, dan keabsahan obat sampai ke tangan konsumen. Program pemantauan dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah harus didukung dengan pedoman pembinaan pada sarana distribusi yang selalu dikaji dalam periode tertentu sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian membuat pedoman pembinaan PBF sehingga tercapai kesamaan pembinaan di setiap PBF yang ada di seluruh Indonesia. 1.2 Tujuan Tujuan tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini adalah untuk membuat pedoman pembinaan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam mengimplementasikan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dan dalam melakukan pelaporan kegiatannya.

82 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pedagang Besar Farmasi (PBF) Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). 2.2 Perizinan Pedagang Besar Farmasi Pedagang Besar Farmasi sebagai salah satu sarana distribusi obat dan bahan obat dalam pelaksanaan kegiatannya harus memiliki izin sesuai dengan Peraturan Menteri kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi Persyaratan Permohonan Izin Pedagang Besar Farmasi Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) : Tabel 2.1 Persyaratan Permohonan Izin Pedagang Besar Farmasi No Persyaratan Keterangan 1. Bentuk perusahaan Perseroan Terbatas/koperasi Akta Pendirian PT disahkan oleh Kumham 2. NPWP, TDP, SIUP, Keterangan domisili, Akta Notaris Sesuai dengan lokasi SIUP dan Akta Notaris harus mencantumkan jenis usaha di bidang farmasi/obat-obatan 3

83 4 No Persyaratan Keterangan 3. Penanggung Jawab Harus apoteker memiliki STRA dan SIKA KTP sesuai dengan domisili perusahaan. Perjanjian kerjasama Ada pernyataan tidak bekerja ditempat lain 4. Struktur Organisasi Sesuai dengan Akta Notaris Dewan komisaris/direksi tidak terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian 5. Bangunan dan Sarana Bukti kepemilikan sewa atau milik Lokasi sesuai peruntukannya Lokasi sesuai dengan permohonan Tata ruang yang memadai sesuai dengan peruntukannya Tersedianya peralatan keamanan keselamatan kerja (K3) Peta lokasi dan denah bangunan sesuai 6. Gudang Penyimpanan Bukti penguasaan gudang Lokasi sesuai peruntukannya Lokasi sesuai dengan permohonan Tata ruang yang memadai sesuai dengan peruntukannya Tersediannya kelengkapan penyimpanan sesuai produk yang didistribusikan Tersedianya peralatan keamanan keselamatan kerja (K3) 7. Administrasi pendukung dan Dokumentasi Kartu Stok (manual atau komputer) Faktur pemesanan Daftar Pustaka Software Pelaporan

84 5 2.3 Pembinaan dan Pengawasan PBF Pembinaan terhadap Pedagang Besar Farmasi dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan bagian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian baik secara mandiri maupun secara bekerja sama dengan instansi terkait, antara lain dengan organisasi pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan bidang kesehatan di provinsi (Dinas Kesehatan Provinsi) dan kabupaten / kota (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Pembinaan Pedagang Besar Farmasi mencakup berbagai aspek dalam rangka peningkatan kualitas pengelolaan obat dan bahan obat di sarana distribusi. Pembinaan dapat dilakukan secara berjenjang oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Tujuan dilakukannya pembinaan adalah untuk (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) : a. Menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan bahan obat untuk pelayanan kesehatan; dan b. Melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan obat atau bahan obat yang tidak tepat dan/atau tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan Kewenangan Pembinaan Kewenangan pembinaan Pedangang Besar Farmasi secara berjenjang adalah sebagai berikut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). 1) Penanggung jawab / Koordinator Pelaksana Urusan pemerintah Bidang Kesehatan di Pusat adalah Kementerian Kesehatan 2) Penanggung jawab / Koordinator Pelaksana Urusan Pemerintah bidang Kesehatan di Propinsi adalah Dinas Kesehatan Provinsi 3) Penanggung jawab / Koordinator Pelaksana Urusan Pemerintah Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota adalah Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota. Pelaksanaan kewenangan pembinaan sesuai dengan matrik pada tabel 2.2 berikut ini :

85 6 Tabel 2.2 Pelaksana Kewenangan Pembinaan Sesuai dengan PP 38 tahun 2007 No Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 1. Penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang sarana distribusi kefarmasian. 2. Pelaksanaan Pembinaan dalam rangka Pemantauan Pelaksanaan Cara Distribusi Yang Baik lingkup seluruh wilayah Indonesia. 3. Pembinaan dalam rangka pemantauan Pelaksanaan Praktik / Cara Penyimpanan Yang Baik lingkup seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah Daerah Provinsi Pelaksanaan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang sarana distribusi kefarmasian. Pelaksanaan Pembinaan dalam rangka Pemantauan Pelaksanaan Cara Distribusi Yang Baik lingkup wilayah provinsi. Pembinaan dalam rangka pemantauan Pelaksanaan Praktik / Cara Penyimpanan Yang Baik lingkup wilayah Provinsi. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Pelaksanaan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang sarana distribusi kefarmasian. Pelaksanaan Pembinaan dalam rangka Pemantauan Pelaksanaan Cara Distribusi Yang Baik lingkup wilayah Kabupaten / Kota. Pembinaan dalam rangka pemantauan Pelaksanaan Praktik / Cara Penyimpanan Yang Baik lingkup wilayah Kabupaten / Kota Aspek Pembinaan Personalia Pedagang Besar Farmasi memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Apoteker warga negara Indonesia sebagai penanggung jawab pada proses kegiatan pendistribusian obat dan atau bahan obat. Karyawan pada Pedagang Besar Farmasi harus memiliki pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kemampuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya, dan tersedia dalam jumlah yang cukup. Mereka harus dalam keadaan sehat dan mampu menangani tugas yang dibebankan kepadanya. Semua personalia yang terlibat di dalam kegiatan distribusi harus dilatih dengan berkualifikasi sesuai dengan Cara Distribusi yang Baik (CDOB).

86 Bangunan 1) Bangunan Kantor dan gudang pedagang Besar Farmasi harus berlokasi sesuai dengan peruntukannya. 2) Bangunan untuk penyimpanan harus dapat menjamin mutu dan keamanan obat dan bahan obat tersebut. 3) Bangunan harus cukup luas sesuai kebutuhan, tetap kering dan bersih, bebas dari barang-barang yang tidak diperlukan. 4) Bangunan harus memiliki sirkulasi udara yang baik dan penerangan yang cukup untuk dapat melaksanakan kegiatan dengan aman dan benar 5) Tersedia ruang terpisah dan terkunci untuk penyimpanan produk tertentu (narkotika, psikotropika). 6) Ruangan atau tempat yang digunakan untuk menyimpan obat dan bahan obat yang memerlukan kondisi khusus perlu ditambahkan sarana penunjang yang memadai Dokumentasi Dokumentasi pengelolaan pengadaaan dan penyaluran obat dan bahan obat merupakan bagian dari sistem informasi yang meliputi prosedur, metoda dan instruksi kerja, catatan, laporan serta jenis dokumentasi lain yang diperlukan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi seluruh rangkaian kegiatan pengadaan dan penyaluran obat. Sistem dokumentasi hendaklah menggambarkan secara lengkap asal-usul setiap jenis produk, serta penyalurannya sehingga memungkinkan apabila diperlukan penelusuran kembali. Sistem dokumentasi digunakan pula dalam pemantauan dan pengedalian untuk pelaksanaan pengelolaan yang berdayaguna dan berhasilguna. Dokumen hendaklah mencakup data penting dan dijaga agar selalu aktual. Tidak diperkenankan diadakan perubahanperubahan, semua koreksi untuk perubahan dan perbaikan harus dilakukan oleh atau atas sepengetahuan penanggung jawab. Dokumen yang dimaksud diatas adalah sebagai berikut : 1) Prosedur tetap atau SOP setiap tahapan distribusi 2) Dokumentasi pemesanan 3) Dokumentasi penerimaan untuk produk yang diterima dan ditolak

87 8 4) Dokumentasi penyimpanan 5) Dokumentasi pendistribusian

88 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Pembuatan laporan ini dilakukan pada tanggal 17 Maret 28 Maret 2014 di Direktorat Bina Produksi dan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 3.2 Sumber Data Kegiatan penyusunan pedoman pembinaan pedagang besar farmasi tentang cara distribusi obat yang baik dan sistem elektronik pelaporan pedagang besar farmasi dilakukan secara studi pustaka menggunakan data-data atau informasi yang diperoleh dari literatur-literatur. 3.3 Prosedur Penyusunan Pedoman Penetapan Literatur yang akan Digunakan Literatur yang digunakan adalah literatur yang terkait dengan pembinaan pedagang besar farmasi tentang cara distribusi obat yang baik dan sistem elektronik pelaporan pedagang besar farmasi yaitu : a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK tahun 2003 tentang Penerapan Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik. b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK TAHUN 2012 tentang Cara Distribusi Obat yang Baik. c. Pedoman Pembinaan Pedagang Besar Farmasi. Kementerian Kesehatan RI. d. Manual Book Aplikasi e-report PBF untuk PBF (Pedagang Besar Farmasi). e. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indoneisa Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi. 9

89 Penyusunan Pedoman Pedoman pembinaan pedagang besar farmasi tentang cara distribusi obat yang baik dan sistem elektronik pelaporan pedagang besar farmasi disusun berdasarkan literatur dengan menggunakan kalimat yang mudah dimengerti dan dengan informasi yang spesifik.

90 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil Penyusunan Pedoman Pembinaan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) Manajemen Mutu 1) Semua kegiatan untuk pemastian mutu harus memiliki Standar Prosedur Operasional (SPO) yang jelas dan tertulis. Semua kegiatan yang dilakukan harus didokumentasikan secara lengkap dan dipantau efektivitasnya. 2) Sistem mutu harus memastikan bahwa: a) Obat dan/atau bahan obat diperoleh, disimpan, disediakan, dikirimkan atau diekspor dengan cara yang sesuai dengan persyaratan CDOB; b) Tanggung jawab manajemen ditetapkan secara jelas; c) Obat dan/atau bahan obat dikirimkan ke penerima yang tepat dalam jangka waktu yang sesuai; d) Kegiatan yang terkait dengan mutu dicatat pada saat kegiatan tersebut dilakukan; e) Penyimpangan terhadap prosedur yang sudah ditetapkan didokumentasikan dan diselidiki; f) Tindakan perbaikan dan pencegahan yang tepat diambil untuk memperbaiki dan mencegah terjadinya penyimpangan sesuai dengan prinsip manajemen risiko mutu. 3) Sistem mutu perlu untuk dilakukan inspeksi, audit dan sertifikasi kepatuhan terhadap sistem mutu (misalnya seri ISO/International Organization for Standardization atau Pedoman Nasional dan Internasional lainnya) oleh Badan eksternal Organisasi, Manajemen, dan Personalia a. Penanggung Jawab 1) Penanggung jawab harus seorang Apoteker yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan. Disamping itu, 11

91 12 telah memiliki pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan CDOB yang memuat aspek keamanan, identifikasi obat dan/atau bahan obat, deteksi dan pencegahan masuknya obat dan/atau bahan obat palsu ke dalam rantai distribusi. 2) Keadaan dimana Apoteker penanggung jawab sarana distribusi tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam waktu yang ditentukan, maka harus dilakukan pendelegasian tugas kepada tenaga kefarmasian. Tenaga kefarmasian yang mendapat pendelegasian wajib melaporkan kegiatan yang dilakukan kepada penanggung jawab. 3) Penanggung jawab mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam hal pengambilan keputusan sesuai dengan tanggung jawabnya, menetapkan standar prosedur operasional, mengikuti perkembangan IPTEK (misalnya mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan yang terbaru, kebijakan pemerintah tentang kesehatan, dll) dan dalam dalam pelaksanaan tugasnya harus memastikan bahwa fasilitas distribusi telah menerapkan CDOB serta melakukan kendali mutu dan kendali biaya yang dilakukan melalui audit kefarmasian. b. Personil Lainnya Harus dipastikan personil bekerja harus kompeten dan dalam jumlah yang memadai di tiap kegiatan yang dilakukan di rantai distribusi, untuk memastikan bahwa mutu obat dan/atau bahan obat tetap terjaga Bangunan dan Peralatan Pedoman yang berhubungan dengan gedung, gudang dan prinsip umum penyimpanan dapat mengacu pada Good Storage Practice (GSP), WHO, Sistem yang digunakan dalam distribusi obat di gudang adalah First Expire First Out (FEFO) atau yang sering disebut juga First In First Out (FIFO). Obat obat yang tanggal kadaluarsanya lebih dekat dijual atau didistribusikan terlebih dahulu. 1) Kriteria spesifik mengenai ruang penyimpanan : a) Harus tetap bersih dan bebas dari tumpukan sampah dan barang-barang yang tidak diperlukan. b) Harus tetap kering (kelembaban tidak lebih dari 60%).

92 13 c) Suhu ruangan harus tetap terjaga ( C). d) Obat dan/atau bahan obat yang disimpan harus menggunakan palet, dan jangan langsung ke lantai. e) Harus ada jarak yang cukup antara obat dan/atau bahan obat yang disimpan agar memudahkan dalam pembersihan dan pengawasan. f) Palet harus selalu dalam keadaan yang baik dan terawat. g) Memiliki penerangan yang cukup untuk dapat melaksanakan kegiatan dengan aman dan benar. h) Jendela pada ruang penyimpanan harus dirancang untuk dapat mencegah obat dan/atau bahan obat terkena paparan sinar matahari langsung. i) Penyimpanan produk yang memerlukan pengamanan maupun kondisi penyimpanan khusus perlu disertai alat monitor yang tepat. Alat monitor harus dikalibrasi oleh lembaga yang berwenang dan dalam periode tertentu. 2) Tersedia ruang terpisah untuk : a) Bahan baku b) Bahan kemasan c) Produk setengah jadi d) Produk jadi e) Produk karantina f) Produk kembalian g) Obat dan/atau bahan yang memerlukan kondisi penyimpanan khusus (misalnya narkotika dan psikotropika) h) Obat dan/atau bahan obat yang mengandung bahan radioaktif dan bahan berbahaya lain yang dapat menimbulkan risiko kebakaran atau ledakan (misalnya gas bertekanan, mudah terbakar, cairan dan padatan mudah menyala) 3) Ruang istirahat, toilet dan kantin untuk personil harus terpisah dari area penyimpanan. 4) Pintu toilet tidak boleh langsung mengarah ke area penyimpanan.

93 Operasional a. Kualifikasi Pemasok 1) PBF harus memperoleh pasokan obat dan/atau bahan obat dari pemasok yang mempunyai izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2) PBF harus memastikan bahwa calon pemasok sesuai, kompeten, dan dapat dipercaya. b. Kualifikasi Pelanggan 1) PBF hanya dapat menyerahkan obat dan/atau bahan obat kepada fasilitas kesehatan (misalnya rumah sakit, puskesmas, dan apotek). Bukti kualifikasi pelanggan harus didokumentasikan dengan baik. 2) PBF harus memantau setiap transaksi yang dilakukan. c. Penerimaan 1) Proses penerimaan bertujuan untuk memastikan bahwa kiriman obat dan/atau bahan obat yang diterima benar (misalnya jumlah, nomor bets), berasal dari pemasok yang disetujui, tidak rusak atau tidak mengalami perubahan selama transportasi. 2) Obat dan/atau bahan obat tidak boleh diterima jika kadaluwarsa atau mendekati kadaluwarsa. 3) Obat dan/atau bahan obat yang memerlukan penyimpanan atau tindakan pengamanan khusus, harus segera dipindahkan ke tempat penyimpanan yang sesuai setelah dilakukan pemeriksaan. 4) Nomor bets dan tanggal kadaluwarsa obat dan/atau bahan obat harus dicatat pada saat penerimaan, untuk mempermudah penelusuran. 5) Keadaaan dimana ditemukan obat dan/atau bahan obat diduga palsu, bets tersebut harus segera dipisahkan dan dilaporkan ke instansi berwenang (BPOM) dan ke pemegang izin edar. d. Penerimaan Obat yang Memerlukan Penanganan Khusus 1) Penerimaan produk rantai dingin : a) Pada saat penerimaan, harus melakukan pengecekan terhadap: i. Nama produk rantai dingin yang diterima ii. Jumlah produk rantai dingin yang diterima iii. Kondisi fisik produk rantai dingin

94 15 iv. Nomor bets v. Tanggal kedaluwarsa vi. Kondisi alat pemantauan suhu vii. Kondisi Vaccine Vial Monitor (VVM) (khusus untuk vaksin yang telah dilengkapi VVM). Contoh gambar VVM dapat dilihat pada lampiran 1. b) Jika pada saat penerimaan vaksin diketahui kondisi VVM pada posisi C atau D dan/atau kondisi alat pemantauan suhu menunjukkan penyimpangan suhu, maka lakukan tindakan sebagai berikut : i. Produk rantai dingin tetap disimpan pada tempat dan suhu yang sesuai ketentuan dengan menggunakan label khusus ii. Segera melaporkan hal tersebut kepada pengirim produk rantai dingin untuk dilakukan proses penyelidikan dengan membuat Berita Acara. 2) Penerimaan Narkotika dan Psikotropika : Pada saat penerimaan harus dilakukan pemeriksaan terhadap: a) Kebenaran nama, jenis, nomor bets, tanggal kedaluwarsa, jumlah dan kemasan harus sesuai dengan surat pengantar / pengiriman barang dan/atau faktur penjualan; b) Kondisi kontainer pengiriman dan/atau kemasan termasuk segel, label dan/atau penandaan dalam kondisi baik; c) Kebenaran nama, jenis, jumlah dan kemasan dalam surat pengantar / pengiriman barang dan/atau faktur penjualan harus sesuai dengan arsip surat pesanan. e. Penyimpanan 1) Penyimpanan dan penanganan obat dan/atau bahan obat harus mematuhi peraturan perundang-undangan. 2) Obat dan/atau bahan obat harus disimpan terpisah dari produk selain obat dan/atau bahan obat; terlindung dari dampak yang tidak diinginkan akibat paparan cahaya matahari, suhu, kelembaban atau faktor eksternal lain. Perhatian khusus harus diberikan untuk obat dan/atau bahan obat yang membutuhkan kondisi penyimpanan khusus.

95 16 3) Suhu dalam ruang penyimpanan harus selalu dipantau. Alat pengukur suhu harus dikalibrasi secara berkala. 4) Obat dan/atau bahan obat harus ditangani dan disimpan sedemikian rupa untuk mencegah tumpahan, kerusakan, kontaminasi dan campur-baur. Obat dan/atau bahan obat tidak boleh langsung diletakkan di lantai. 5) Akurasi persediaan stok harus dijaga dengan dilakukan stock opname secara berkala. f. Penyimpanan Obat yang Memerlukan Penanganan Khusus 1) Penyimpanan produk rantai dingin a) PBF harus memiliki : i. Chiller atau cold room (suhu +2 s/d +8 C), untuk menyimpan vaksin dan serum dengan suhu penyimpanan 2 s/d 8 C, biasanya digunakan untuk penyimpaan vaksin campak, BCG, DPT, TT, DT, Hepatitis B, DPT-HB. ii. Freezer atau freezer room (suhu -15 s/d 25 C) untuk menyimpan vaksin OPV. b) Penyimpanan vaksin dalam chiller dan freezer tidak terlalu padat sehingga sirkulasi udara dapat dijaga, jarak antara kotak vaksin sekitar 1-2 cm. c) Harus berjarak minimal 15 cm antara chiller / freezer dengan dinding bangunan. d) Suhu minimal dimonitor 3 (tiga) kali sehari setiap pagi, siang dan sore serta harus didokumentasikan. e) Pelarut BCG dan pelarut campak serta penetes polio dapat disimpan pada suhu kamar dan tidak diperbolehkan terpapar sinar matahari langsung. f) Penanganan vaksin jika sumber listrik padam : i. Hidupkan generator. ii. Jika generator tidak berfungsi dengan baik, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : a) Jangan membuka pintu chiller / freezer / cold room / freezer room.

96 17 b) Periksa termometer, pastikan bahwa suhu masih di antara +2 C s/d +8 C untuk chiller / cold room atau -15 C untuk freezer / freezer room. c) Jika suhu chiller / cold room mendekati +8 C, masukkan cool pack (+2 C s/d +8 C) secukupnya. d) Jika suhu freezer / freezer room mendekati -15 C, masukkan cold pack (-20 C ) atau dry ice secukupnya. iii. Jika keadaan ini berlangsung lebih dari 1 hari, maka vaksin harus dievakuasi ke tempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan. 2) Penyimpanan Narkotika dan Psikotropika : a) Penyimpanan narkotika wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. b) Psikotropika harus disimpan dalam lemari atau gudang terkunci serta tidak boleh digunakan menyimpan barang selain psikotropika untuk menjamin keamanan. g. Pengambilan 1) Obat dan/atau bahan obat yang diambil harus dipastikan kebenarannya, harus memiliki masa simpan yang cukup sebelum kadaluwarsa dan berdasarkan FEFO. 2) Nomor bets obat dan/atau bahan obat harus dicatat Inspeksi Diri Inspeksi diri harus dilakukan dalam rangka memantau pelaksanaan dan kepatuhan terhadap pemenuhan CDOB dan untuk bahan tindak lanjut langkahlangkah perbaikan yang diperlukan. 1) Inspeksi diri harus dilakukan dengan cara yang independen dan rinci oleh personil yang kompeten dan ditunjuk oleh perusahaan. 2) Semua pelaksanaan inspeksi diri harus dicatat. Laporan harus berisi semua pengamatan yang dilakukan selama inspeksi. 3) Jika dalam pengamatan ditemukan adanya penyimpangan dan/atau kekurangan, maka penyebabnya harus diidentifikasi dan dibuat langkah-

97 18 langkah perbaikan. Tindak lanjut perbaikan yang dilakukan harus didokumentasikan Penanganan Keluhan, Obat dan/atau Bahan Obat Kembalian, Diduga Palsu, dan Penarikan Kembali 1) Semua keluhan, obat kembalian, diduga palsu dan penarikan kembali obat ditangani sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang ada dan informasi lain tentang obat dan/atau bahan obat berpotensi cacat harus dikumpulkan, dikaji dan diselidiki sesuai dengan prosedur tertulis. 2) Obat dan/atau bahan obat kembalian harus disimpan terpisah dari obat dan/atau bahan obat yang memenuhi syarat jual dan dalam area terkunci serta diberi label yang jelas. 3) Obat dan/atau bahan obat yang akan dijual kembali harus melalui persetujuan dari personil yang bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya. 4) Koordinasi dari setiap instansi, industri farmasi dan sarana distribusi diperlukan dalam menangani obat dan/atau bahan obat yang diduga palsu. 5) Harus tersedia dokumentasi untuk setiap proses penanganan keluhan termasuk pengembalian dan penarikan kembali serta dilaporkan kepada pihak yang berwenang Transportasi 1) Kendaraan, kontainer dan peralatan harus tetap bersih, kering dan bebas dari sampah. Harus ada personil yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kendaraan yang digunakan dibersihkan secara teratur. 2) Obat dan/atau bahan obat harus disimpan dan diangkut dalam kontainer pengiriman yang tidak mempengaruhi mutu, dapat memberi perlindungan memadai terhadap pengaruh eksternal, termasuk kontaminasi. 3) Kontainer harus mempunyai label dengan kriteria : a) Harus memberikan informasi yang jelas dan tidak ambigu. b) Tertempel dengan kuat pada kontainer dan tidak mudah terhapus.

98 19 c) Pelabelan kontainer pengiriman harus menggunakan nama, singkatan atau kode internasional dan/atau nasional. Penggunaan singkatan atau simbol harus dihindari. 4) Label pada kemasan sekunder harus mencakup informasi sekurang-kurangnya tentang : a) Nama dari bahan obat, termasuk tingkat mutu (grade) dan farmakope acuan; b) Nama International Non-proprietary (INN); c) Jumlah (berat atau volume); d) Nomor bets yang diberikan oleh industri farmasi bahan obat asal atau nomor bets yang diberikan oleh fasilitas distribusi yang mengemas ulang; e) Tanggal kadaluwarsa dan/atau tanggal tes ulang (jika berlaku); f) Kondisi penyimpanan khusus; g) Penanganan tindakan pencegahan (jika diperlukan); h) Nama dan alamat lengkap industri farmasi asal; dan i) Nama dan alamat lengkap PBF Fasilitas Distribusi Berdasarkan Kontrak Setiap kegiatan yang berkaitan dengan distribusi produk farmasi yang didelegasikan kepada orang harus dilakukan dalam hal kontrak tertulis yang disepakati oleh pemberi kontrak dan penerima kontrak. Kontrak harus mendefinisikan tanggung jawab masing-masing pihak termasuk ketaatan terhadap prinsip-prinsip CDOB Dokumentasi 1) Dokumentasi pengelolaan pengadaaan dan penyaluran obat dan bahan obat merupakan bagian dari sistem informasi yang meliputi prosedur, metoda dan instruksi kerja, catatan, laporan serta jenis dokumentasi lain. 2) Dokumen harus tertulis, disetujui, ditandatangani dan diberi tanggal oleh personil yang berwenang. Prosedur tertulis tidak ditulis tangan dan harus tercetak.

99 20 3) Tidak diperkenankan diadakan perubahan-perubahan, semua koreksi untuk perubahan dan perbaikan harus dilakukan oleh atau atas sepengetahuan penanggung jawab. 4) Dokumen harus disimpan selama minimal 3 tahun. 5) Dokumen harus dikaji ulang secara berkala dan dijaga agar selalu aktual. 6) Dokumen yang dimaksud diatas adalah sebagai berikut : a) Prosedur tetap atau SOP setiap tahapan distribusi b) Dokumentasi pemesanan c) Dokumentasi penerimaan untuk produk yang diterima dan ditolak d) Dokumentasi penyimpanan e) Dokumentasi pendistribusian 7) Dokumentasi harus dibuat pada saat kegiatan berlangsung, sehingga mudah untuk ditelusuri Hasil Penyusunan Pedoman Pembinaan Sistem Elektronik Pelaporan Pedagang Besar Farmasi Sistem Elektronik Pelaporan PBF Sistem elektronik pelaporan transaksi obat bagi Pedagang Besar Farmasi (PBF) dibangun untuk meningkatkan pelayanan publik prima sebagai bentuk komitmen reformasi birokrasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sistem pelaporan ini disebut e-report PBF. E-report PBF adalah sistem pelaporan online dinamika obat di sarana distribusi Sistem e-report telah diintegrasikan secara jaringan ke PBF di seluruh Indonesia Ketentuan Pelaporan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi, maka : 1) Setiap PBF dan cabangnya wajib menyampaikan laporan kegiatan setiap 3 (tiga) bulan sekali meliputi kegiatan penerimaan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, kepala dinas kesehatan provinsi dan Kepala Balai POM.

100 21 2) Setiap PBF dan PBF Cabang yang menyalurkan narkotika dan psikotropika wajib menyampaikan laporan bulanan penyaluran narkotika dan psikotropika sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini diaplikasikan melalui suatu sistem pelaporan secara elektronik yaitu melalui e-report PBF Cara Pelaporan Menggunakan Sistem E-Report 1) Aplikasi e-report PBF dapat diakses melalui komputer menggunakan browser Mozilla Firefox atau Google Chrome. Pastikan aplikasi tersebut sudah terinstal dan memiliki jaringan internet. 2) Masukan alamat website binfar.depkes.go.id/pbf pada browser. 3) Tunggu sampai halaman terbuka kemudian PBF dapat melakukan pendaftaran agar dapat menjadi user terlebih dahulu. 4) Isikan semua data-data yang diminta, kolom bertanda * wajib di isi, sedangkan untuk dropdown list Status, Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya, PBF dapat memilih langsung dari daftar yang muncul. 5) PBF mengisi semua data dan melampirkan Surat Pernyataan yang diberi materai, PBF mengklik tombol [Save] untuk menyimpan data-data tersebut. 6) PBF dapat memeriksa perusahaan yang telah didaftarkan untuk mendapatkan username dan password yang akan digunakan untuk login ke dalam aplikasi e-report PBF. Pesan akan terkirim dari KEMENKES RI, pada Inbox atau Spam perusahaan. 7) PBF menerima yang berisi Username dan Password, kemudian dapat melakukan login sebagai user. 8) User / PBF yang telah berhasil login maka user akan masuk ke dalam halaman utama aplikasi e-report PBF. 9) User selanjutnya memilih menu transaksi untuk melaporkan transaksi obat yang dilakukan pertriwulan. 10) User yang telah selesai, pilih menu keluar Untuk keluar dari halaman utama dan kembali ke halaman awal dari website e-report PBF.

101 Pembahasan Pembahasan Penyusunan Pedoman Pembinaan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) Suatu jaringan distribusi obat yang baik harus menyelenggarakan suatu sistem jaminan kualitas sehingga obat yang didistribusikan terjamin mutu, khasiat, keamanan dan keabsahannya sampai ke tangan konsumen. Jaringan distribusi obat harus menjamin bahwa obat yang didistribusikan mempunyai izin edar, dengan kondisi penyimpanan yang sesuai, terjaga mutunya, dan selalu dimonitor termasuk selama transportasi serta terhindar dari kontaminasi. Pembuatan pedoman pembinaan PBF dalam hal cara distribusi obat yang baik (CDOB) dimaksudkan agar tercapainya kesamaan persepsi bagi setiap petugas yang terlibat dalam proses distribusi obat dan dapat digunakan sebagai petunjuk teknis dalam melakukan proses distribusi obat. Pedoman pembinaan ini dibuat dengan lebih spesifik mengenai cara penyimpanan baik di gudang maupun pada saat didistribusikan dengan menggunakan alat transportasi, penyerahan obat, dan juga dokumentasi sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK Tahun 2012 tentang Cara Distribusi Obat yang Baik Pembahasan Penyusunan Pedoman Pembinaan Sistem Elektronik Pelaporan Pedagang Besar Farmasi Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku bahwa Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan setiap cabangnya terdapat beberapa kewajiban yang harus diikuti, diantaranya mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/PER/IX/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/SK/IX/2002, Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa Pedagang Besar Farmasi dan setiap cabangnya wajib menyampaikan laporan secara berkala sekali 3 (tiga) bulan mengenai usahanya yang meliputi jumlah penerimaan dan penyaluran masing-masing jenis obat kepada Menteri dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat dengan menggunakan formulir model PBF-9. Hal ini diaplikasikan

102 23 melalui suatu sistem pelaporan secara elektronik. Dalam rangka memfasilitasi pelaporan dinamika obat Pedagang Besar Farmasi tersebut diperlukan adanya sistem pelaporan yang komprehensif, terintegrasi dan mudah dikelola. Selama ini pihak PBF biasanya melaporkan distribusi obat tersebut melalui dokumen (hardcopy) yang dikirimkan lewat pos, dalam jumlah lembar kertas yang tidak sedikit. Sistem ini dinilai tidak efisien dan tidak efektif, oleh karena itu pihak Kementerian Kesehatan dalam hal ini Ditjen Binfar dan Alkes telah membuat sebuah sistem pelaporan dengan elektronik berbasis web agar pelaporan distribusi/penyaluran obat yang terpusat mudah dikelola, diakses dan didistribusikan. Dalam operasional penggunaan e-report PBF, masih banyak PBF yang belum terlalu paham mengenai cara penggunaannya sehingga dibuatlah pedoman pembinaan dalam penggunaan e-report pedagang besar farmasi ini. Pedoman cara penggunaan e-report PBF dapat digunakan sebagai petunjuk tertulis untuk mempermudah pelaksanaan pelaporan transaksi obat PBF. Dengan menggunakan e-report PBF, maka diharapkan meningkatnya jumlah PBF yang melapor tepat waktu serta mendukung dalam pengontrolan secara nasional kegiatan pelaporan bidang Pedagang Besar Farmasi (PBF), yang nantinya juga akan mempermudah PBF dalam mendapatkan informasi dengan meningkatkan accessibility dan sharing data PBF.

103 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penyusunan pedoman pembinaan Pedagang Besar Farmasi adalah pedoman ini dimaksudkan sebagai petunjuk teknis dalam pelaksanaan pembinaan pedagang besar farmasi bagi petugas di Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta pelaku usaha Pedagang Besar Farmasi. Pedoman ini diharapkan tercapai kesamaan pemahaman mengenai Cara Distribusi Obat yang Baik serta pelaporan PBF yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dan mampu menyediakan produk farmasi yang aman, berkhasiat / bermanfaat dan bermutu. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan adalah meningkatkan sosialisasi mengenai sistem elektronik pelaporan Pedagang Besar Farmasi sehingga dapat meningkatkan peran serta pelaku usaha Pedagang Besar Farmasi dalam melakukan pelaporannya secara tepat waktu. 24

104 DAFTAR ACUAN Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2003). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK tahun 2003 tentang Penerapan Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK TAHUN 2012 tentang Cara Distribusi Obat yang Baik. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. (2011). Pedoman Pembinaan Pedagang Besar Farmasi. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Manual Book Aplikasi e- report PBF untuk PBF (Pedagang Besar Farmasi). Jakarta : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indoneisa Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. (2013). Pedoman Praktik Apoteker Indonesia Bali :. Ikatan Apoteker Indonesia. United Arab Emirates Ministry Of Health Drug Control Department. (2006). Good Pharmaceutical Storage & Distribution Practices (GS&DP). Arab Saudi. World Health Organization. (2002). Getting Started with Vaccine Vial Monitors, Question and Answer on The Fields Operational. Buletin WHO V. 25

105 LAMPIRAN

106 26 Lampiran 1. Gambar VVM (Sumber : World Health Organization, 2002)

107 27 Lampiran 2. Kartu Persediaan (Sumber : BPOM, 2003)

108 28 Lampiran 3. Buku Pembelian (Sumber : BPOM, 2003)

109 29 Lampiran 4. Kartu Barang (Sumber : BPOM, 2003)

110 30 Lampiran 5. Surat Penolakan Pesanan (Sumber : BPOM, 2003)

111 31 Lampiran 6. Surat Penyerahan Barang (Sumber : BPOM, 2003)

112 32 Lampiran 7. Faktur Penjualan (Sumber : BPOM, 2003)

113 33 Lampiran 8. Kartu Gudang (Sumber : BPOM, 2003)

114 34 Lampiran 9. Buku Penjualan (Sumber : BPOM, 2003)

115 35 Lampiran 10. Buku Penerimaan Pengembalian Barang (Sumber : BPOM, 2003)

116 36 Lampiran 11. Buku Pengembalian Barang (Sumber : BPOM, 2003)

117 37 Lampiran 12. Laporan Pengembalian Barang yang Ditarik Dari Peredaran (Sumber : BPOM, 2003)

118 38 Lampiran 13. Berita Acara Pemusnahan Obat (Sumber : BPOM, 2003)

119 39 Lampiran 14. Contoh Pembuatan Standar Prosedur Operasional (SPO)

120 40 Lanjutan lampiran 14. Contoh Pembuatan Standar Prosedur Operasional (SPO) (Sumber : Pengurus Pusat IAI, 2013)

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DITJEN BINFAR DAN ALKES KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JL. H.R. RASUNA SAID

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK PRAKT K KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DANDISTRIBUSI KEFARMASIANDIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIANDAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BIA PRODUKSI DA DISTRIBUSI KEFARMASIA DIREKTORAT JEDERAL BIA KEFARMASIA DA ALAT KESEHATA KEMETERIA KESEHATA REPUBLIK IDOESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI APOTEK SAFA DI PT. TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA, TBK LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Daerah Dalam Rencana Strategis Dinas Kesehatan 2016-2021 tidak ada visi dan misi, namun mengikuti visi dan misi Gubernur

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL (RSUPN) Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 50 BOGOR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK KIMIA FARMA MENTENG HUIS JALAN CIKINI RAYA NO. 2 JAKARTA PUSAT PERIODE 13 FEBRUARI 22 MARET 2012 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat, bangsa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELANYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bid. Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 2. Staf Ahli Bid. Pembiayaan & Pemberdayaan Masyarakat; 3. Staf Ahli Bid. Perlindungan Faktor Resiko Kesehatan; 4. Staf Ahli Bid Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. No.585, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1144/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN KEMENTERIAN/ LEMBAGA : KEMENTERIAN KESEHATAN 1 Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian Kesehatan Meningkatnya koordinasi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALANKESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORATT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental spritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

Dinas Kesehatan Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN

Dinas Kesehatan Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Organisasi Berdasarkan Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 bahwa Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat

Lebih terperinci

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan.

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan. KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT dan atas berkat dan karunianya Buku Laporan Tahunan Pelaksanaan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

B A B I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 B A B I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggaranya tata Instansi Pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance dan Clean Governance) merupakan syarat bagi setiap pemerintahan dalam

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN IV.1. IV.2. VISI Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu dari penyelenggara pembangunan kesehatan mempunyai visi: Masyarakat Jawa

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN SALINAN NOMOR 26/2016 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta BAB IX DINAS KESEHATAN Bagian Kesatu Susunan Organisasi Pasal 158 Susunan Organisasi Dinas Kesehatan, terdiri dari: a. Kepala Dinas; b. Sekretaris, membawahkan: 1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; 2. Sub

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Anita Karlina, S.Farm.

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Jenis ini digunakan dengan pertimbangan bahwa hasil penelitian diharapkan akan mampu memberikan informasi

Lebih terperinci

Rencana Aksi Kegiatan

Rencana Aksi Kegiatan Rencana Aksi Kegiatan 2015-2019 DUKUNGAN MANAJEMEN DAN PELAKSANAAN TUGAS TEKNIS LAINNYA PADA PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

Lebih terperinci

B A B P E N D A H U L U A N

B A B P E N D A H U L U A N 1 B A B P E N D A H U L U A N I A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pemerintah yang berdayaguna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab telah diterbitkan Instruksi Presiden No.

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. RENCANA STRATEGI 1. Visi Visi 2012-2017 adalah Mewujudkan GorontaloSehat, Mandiri dan Berkeadilan dengan penjelasan sebagai berikut : Sehat, adalah terwujudnya

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan; 2. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 3. Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan; dan 4. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan STAF AHLI STRUKTUR

Lebih terperinci

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RANCANGAN REVISI PP 38/2007 DAN NSPK DI LINGKUNGAN DITJEN BINFAR DAN ALKES Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DISAMPAIKAN PADA SEMILOKA REVISI PP38/2007 DAN NSPK : IMPLIKASINYA TERHADAP

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2011

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2011 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2011 KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2012 KATA PENGANTAR MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Puji syukur ke hadirat Allah yang Maha Kuasa karena atas

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA

PENGEMBANGAN TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA PENGEMBANGAN TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA DR. BAMBANG GIATNO RAHARDJO, MPH KEPALA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SDM KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERTEMUAN NASIONAL LINTAS PROGRAM DAN LINTAS

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Rumah Sakit Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Pacitan sebagai pusat rujukan layanan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANITA HASAN,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, The linked image cannot be displayed. The file may have been moved, renamed, or deleted. Verify that the link points to the correct file and location. PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KESRA. Tenaga Kesehatan. Penyelenggaraan. Pengadaan. Pendayagunaan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298) I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 DIREKTORAT PELAYANAN KEFARMASIAN Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan KEMENTERIAN KESEHATAN RI KATA PENGANTAR Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Di masa yang lampau sistem kesehatan lebih banyak berorientasi pada penyakit, yaitu hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANATRIA KHOLIYAH,

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA (BIDANG KESEHATAN) Disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI Jakarta, 23 November 2005 AGENDA PEMBANGUNAN AGENDA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/XI/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KESEHATAN MENTERI

Lebih terperinci