UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 21 JANUARI 04 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANDISTI RIZKY MARSELINA, S.Farm ANGKATAN LXXVI PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JUNI 2013

2 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 21 JANUARI 4 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker ANDISTI RIZKY MARSELINA, S.Farm ANGKATAN LXXVI PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JUNI 2013 ii

3

4 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa mencurahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada periode 21 Januari 4 Februari Kegiatan PKPA bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan. Laporan PKPA ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian akhir Apoteker pada Fakultas Farmasi UI. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yaitu kepada: 1. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D. selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengenal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada umumnya, serta Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada khususnya; 2. Dra. Engko Sosialine, Apt., M.Biomed. selaku Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengenal direktorat ini; 3. Dra. Nur Ratih Purnama, Apt., M.Si. selaku pembimbing dan Kasubdit Produksi Kosmetika dan Makanan beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis; 4. Dra. Nadirah Rahim, Apt., M.Kes. selaku Kasubdit Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis; 5. Drs. Riza Sultoni, Apt., MM. selaku Kasubdit Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis; iv

5 6. Dita Novianti S.A, S.Si., Apt., MM. selaku Kasubdit Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis; 7. Drs. Hayun, M.Si. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI; 8. Dr. Harmita, Apt. selaku ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi yang selalu sabar membimbing, memberi saran, dan mendukung penulis; 9. Dr. Amarila Malik, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang selalu sabar membimbing, memberi saran, dan mendukung penulis; 10. Seluruh staf dan karyawan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan atas segala keramahan, pengarahan, dan bantuan selama penulis melaksanakan PKPA; 11. Seluruh dosen pengajar dan tata usaha program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI yang telah membantu kelancaran dalam perkuliahan dan penyusunan laporan ini; 12. Keluarga tercinta atas semua dukungan, kasih sayang, perhatian, kesabaran, dorongan, semangat, dan doa yang tidak henti-hentinya; 13. Teman-teman Apoteker Angkatan 76 Fakultas Farmasi UI atas dukungan dan kerjasama selama ini; 14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah turut serta membantu selama penyusunan laporan ini. Penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini. Semoga laporan PKPA ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia farmasi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Penulis v 2013

6

7 ABSTRAK Nama : Andisti Rizky Marselina, S. Farm NPM : Program Studi : Apoteker Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 21 Januari 04 Februari 2013 Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bertujuan memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai tugas dan fungsi serta peranan seorang apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari empat subdirektorat, yaitu Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional; Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan; Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus; serta Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. Kemudian, tugas khusus yang diberikan berjudul Pemberdayaan Masyarakat (Wanita) Terhadap Penggunaan Kosmetik Pemutih Melalui Media Gimmick. Tugas khusus ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan wanita usia produktif (20-35 tahun) dan mengingatkan wanita tentang cara pemilihan dan pentingnya penggunaan kosmetik yang aman. Pemberdayaan wanita dapat dilakukan melalui berbagai media komunikasi, salah satunya ialah media gimmick dalam bentuk tas kosmetik agar lebih menarik dan mudah diingat. Kata Kunci : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Kosmetika, Gimmick Tugas Umum : xi + 51 halaman; 4 gambar; 5 tabel, 7 lampiran Tugas Khusus : iii + 21 halaman; 1 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 5 ( ) Daftar Acuan Tugas Khusus : 22 ( ) vii

8 ABSTRACT Name : Andisti Rizky Marselina, S.Farm NPM : Program Study : Apothecary profession Title : Pharmacist Internship Program at Directorate of Production and Distribution Pharmaceutical Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices Health Ministry Republic of Indonesia Period January 21 th Februari 4 th 2013 Professional Practice Pharmacists in Directorate of Production and Distribution Pharmaceutical Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices Health Ministry Republic of Indonesia aims to acquire knowledge and insight about duties and functions of Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices and gains knowledge and insight about the duties, functions and role of a pharmacist in Directorate of Production and Distribution Pharmaceutical. Directorate of Production and Distribution Pharmaceutical consists of four Sub, the Subdirectorate of Production and Distribution of Drugs and Traditional Medicine; Subdirectorate Cosmetics and Food Production; Subdirectorate Production and Distribution of Narcotic Drugs, Psychotropic Substances, Precursors, and Specialty Pharmaceutical Supply, and Subdirectorate Independence Drugs and Raw Materials. Then, given a special assignment called Community Empowerment (Women) Against the Use of Cosmetic Whitening Through Gimmick Media. Special assignment aims to improve the health of women of reproductive age (20-35 years) and remind women about the importance of election and use of safe cosmetics. Women empowerment can be done through a variety of communication media, one of which is in the form of gimmick media cosmetic bag to make it more attractive and easy to remember. Keywords : Health Ministry Republic of Indonesia, Production and Distribution Pharmaceutical, Cosmetics, Gimmick General Assignment : xi + 51 pages; 4 figures; 5 tables, 7 appendices Specific Assignment : iii + 21 pages, 1 appendices Bibliography of General Assignment: 5 ( ) Bibliography of Specific Assignment: 22 ( ) viii

9 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN i ii iii iv vi vii viii ix 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan 3 2 TINJAUAN UMUM Profil Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Profil Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 10 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN Visi dan Misi Tugas Pokok dan Fungsi Tujuan Sasaran Strategi Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Sub Bagian Tata Usaha Komponen Kegiatan Sumber Daya PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN PEMBAHASAN Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 43 DAFTAR ACUAN 44 ix

10 DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Diagram Batang Jumlah Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Berdasarkan Golongan Gambar 3.2 Diagram Lingkaran Jumlah Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Berdasarkan Golongan Gambar 3.3 Diagram Batang Jumlah Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Berdasarkan Jenjang Pendidikan Gambar 3.4 Diagram Lingkaran Jumlah Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Berdasarkan Jenjang Pendidikan x

11 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Jumlah Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tabel 3.2 Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian berdasarkan Golongan Tabel 3.3 Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Berdasarkan Jenjang Pendidikan Tabel 4.1 Jadwal Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Fakultas Farmasi Tbel 5.1 Angka Harapan Hidup Indonesia Tahun xi

12 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Lampiran 2 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lampiran 3 Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lampiran 4 Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kefarmasian Lampiran 5 Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Lampiran 6 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Lampiran 7 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.. 52 xii

13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal (Soejoeti, 2005). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pembangunan kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kesamaan akan hak asasi manusia, yakni setiap orang berhak atas kesehatan. Pembangunan kesehatan dibangun dengan asas perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak, dan keadilan bagi seluruh rakyat indonesia. Oleh karena itu, setiap orang memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sejalan dengan tujuan pembangunan yang berwawasan kesehatan dan kesejahteraan, maka pemerintah telah menetapkan pola dasar pembangunan, yaitu pembangunan mutu SDM di berbagai sektor serta masih menitikberatkan pada program-program upaya kuratif dan rehabilitatif yang didukung oleh informasi kesehatan secara berkesinambungan sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berperilaku hidup sehat, lingkungan sehat, dan memiliki kemampuan untuk menolong dirinya sendiri serta dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas (Endra, 2010). Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) dalam tahap kedua ( ), kondisi pembangunan kesehatan diharapkan telah mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan berbagai indikator pembangunan sumber daya manusia, seperti meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, meningkatnya kesehatan gender, meningkatnya tumbuh 1

14 2 kembang optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak, terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, serta menurunnya kesenjangan antar individu, antar kelompok masyarakat, dan antar daerah (Peraturan Presiden RI No. 5, 2010). Salah satu kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan yang dilakukan untuk mendukung pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia adalah dengan mencanangkan program teknis. Salah satu program teknis yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan adalah Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI membentuk Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1144/Per/VIII/2010 tanggal 19 Agustus 2010 yang merupakan salah satu dari empat Direktorat yang terdapat pada Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat ini memiliki tugas melakukan penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Sasaran hasil program kefarmasian dan alat kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah presentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100% (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Dasar keilmuan yang dimiliki oleh apoteker ikut berperan dalam pencapaian sasaran program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Dalam fungsi pemerintahan, apoteker memiliki peran dalam penanganan sediaan farmasi dan alat kesehatan, namun seringkali peran apoteker dalam bidang pemerintahan belum memadai. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan apoteker akan pentingnya peran dalam pemerintahan. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan yang lebih dalam mengenai peran dan fungsi apoteker di bidang pemerintahan agar upaya peningkatan derajat kesehatan lebih optimal, salah satunya dengan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Apoteker bagi para calon apoteker yang kelak akan turut berkontribusi dalam peningkatan derajat kesehatan di Indonesia. Dengan dilakukannya praktek kerja ini, diharapkan calon apoteker dapat mengetahui perannya dalam pemerintahan untuk bidang kesehatan dengan lebih dalam.

15 3 1.2 Tujuan Tujuan dari kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini adalah : 1. Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2. Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai tugas dan fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian 3. Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai peranan seorang apoteker dalam Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian

16 BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Gedung Kementerian Kesehatan terletak di Jl. HR. Rasuna Said Blok X.5 Kavling 4-9 Kuningan, Jakarta Selatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) Dasar hukum Dasar hukum terbentuknya organisasi ini adalah 1. Perpres RI No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara 2. Perpres RI No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. 3. Permenkes RI No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan Visi dan misi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b) Visi yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan RI adalah Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Dalam rangka mendukung visi tersebut, maka Kementerian Kesehatan memiliki misi: 1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. 2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan. 3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. 4. Menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. 4

17 Nilai-nilai (Kementerian Kesehatan RI, 2010b) Untuk mewujudkan visi dan misi rencana strategis pembangunan kesehatan, maka Kementerian Kesehatan RI menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai, yaitu: 1. Pro rakyat Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan selalu berpihak pada rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggitingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. UUD 1945 juga menetapkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kefarmasian. 2. Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak, karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Dengan demikian, seluruh komponen masyarakat harus berpartisipasi aktif, yang meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat pengusaha, masyarakat madani dan masyarakat akar rumput. 3. Responsif Program kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat, serta tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor ini menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda sehingga diperlukan penanganan yang berbeda pula. 4. Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan dan bersifat efisien. 5. Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), transparansi, dan akuntabel.

18 Kedudukan, tugas, dan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) Kementerian kesehatan dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden. Kementerian Kesehatan RI mempunyai tugas membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Kesehatan menyelenggarakan fungsi antara lain: 1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan. 2. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya. 3. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan. 4. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah. 5. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional Tujuan (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) Terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya Strategi (Kementerian Kesehatan RI, 2011a) Kementerian Kesehatan memiliki strategi sebagai berikut: 1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global. 2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti, dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. 3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. 4. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu.

19 7 5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan. 6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdaya guna dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab Sasaran strategis kementerian kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2010b) Sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan tahun , yaitu: 1. Meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat, dengan cara: a. Meningkatnya umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun; b. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per kelahiran hidup; c. Menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per kelahiran hidup; d. Menurunnya angka kematian neonatal dari 19 menjadi 15 per kelahiran hidup; e. Menurunnya prevalensi kekurangan gizi (terdiri dari gizi kurang dan gizi buruk) pada anak balita dari 18,4% menjadi dibawah 15%; f. Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (cakupan PN) sebesar 90%; g. Persentase Puskesmas rawat inap yang mampu melaksanakan Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Dasar (PONED) sebesar 100%; h. Persentase Rumah Sakit Kabupaten Kota yang melaksanakan Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Komprehensif (PONEK) sebesar 100%; i. Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN lengkap) sebesar 90%. 2. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular, dengan: a. Menurunnya prevalensi tuberkulosis dari 235 menjadi 224 per penduduk; b. Menurunnya kasus malaria (Annual Paracite Index-API) dari 2 menjadi per penduduk;

20 8 c. Terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa dari 0,2 menjadi di bawah 0,5%; d. Meningkatnya cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan dari 80% menjadi 90%; e. Persentase Desa yang mencapai UCI dari 80% menjadi 100%; f. Angka kesakitan DBD dari 55 menjadi 51 per penduduk. 3. Menurunnya disparitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender dengan menurunnya disparitas separuh dari tahun Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi risiko finansial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin. 5. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70 persen. 6. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). 7. Seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular. 8. Seluruh Kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Wewenang kementerian kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2011b) Dalam menyelenggarakan fungsinya, Kementerian Kesehatan RI memiliki kewenangan antara lain: 1. Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan secara makro 2. Penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota di bidang kesehatan 3. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan 4. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan

21 9 5. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan 6. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara di bidang kesehatan 7. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan 8. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan. 9. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan 10. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan 11. Penyelesaian perselisihan antar provinsi di bidang kesehatan 12. Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, anak 13. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat 14. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan 15. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan 16. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan 17. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi 18. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan 19. Surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa 20. Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat esensial (buffer stock nasional) 21. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : a. Penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu. b. Pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan.

22 Struktur organisasi kementerian kesehatan Susunan organisasi Kementerian Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/Menkes/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan terdiri atas : 1. Sekretariat Jenderal 2. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan 3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 4. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak 5. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 6. Inspektorat Jenderal 7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 8. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan 9. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi 10. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat 11. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan 12. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi 13. Staf Ahli Bidang Mediko Legal 14. Pusat Data dan Informasi 15. Pusat Kerja Sama Luar Negeri 16. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan 17. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan 18. Pusat Komunikasi Publik 19. Pusat Promosi Kesehatan 20. Pusat Inteligensia Kesehatan 21. Pusat Kesehatan Haji 2.2 Profil Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) Kedudukan, tugas, dan fungsi Direktorat Jenderal merupakan unsur pelaksana yang dipimpin oleh Direktur Jenderal di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan

23 11 serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi antara lain: 1. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. 3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. 5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tujuan (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) Menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, serta keterjangkauan obat, dan perbekalan kesehatan, termasuk obat tradisional, perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika Susunan Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/PER/VIII/2010 Pasal 528, struktur organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri atas: 1. Sekretariat Direktorat Jenderal. 2. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 3. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. 4. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan. 5. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Sekretariat Direktorat Jenderal Sekretariat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal. Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi antara lain:

24 12 1. Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran. 2. Pengelolaan data dan informasi. 3. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional, dan hubungan masyarakat. 4. Pengelolaan urusan keuangan. 5. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata perusahaan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan. 6. Evaluasi dan Penyusunan laporan. Sekretariat Jenderal terdiri atas : 1. Bagian Program dan Informasi. 2. Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat. 3. Bagian Keuangan. 4. Bagian Kepegawaian dan Umum. 5. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi antara lain: 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. 2. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. 3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.

25 13 4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. 5. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. 6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas: 1. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat. 2. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 3. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 4. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 5. Subbagian Tata Usaha. 6. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi antara lain: 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. 2. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. 3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.

26 14 4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. 5. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. 6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri atas : 1. Subdirektorat Standardisasi. 2. Subdirektorat Farmasi Komunitas. 3. Subdirektorat Farmasi Klinik. 4. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional. 5. Subbagian Tata Usaha. 6. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi antara lain: 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. 2. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. 3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. 4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.

27 15 5. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. 6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri atas: 1. Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan. 2. Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. 3. Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. 4. Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi. 5. Subbagian Tata Usaha. 6. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi antara lain: 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 2. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian, dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 5. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 6. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 7. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.

28 16 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri atas: 1. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. 2. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan. 3. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. 4. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. 5. Subbagian Tata Usaha. 6. Kelompok Jabatan Fungsional.

29 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN 3.1 Visi dan Misi Visi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian adalah Industri Farmasi dan Makanan yang Memenuhi Syarat dan Mampu Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri serta Bersaing di Era Globalisasi. Dalam mendukung visi tersebut, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki misi (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2011): 1. Menciptakan iklim industri yang kondusif melalui penyusunan regulasi, standar dan pedoman yang dapat mengakomodir pengembangan di bidang farmasi dan makanan. 2. Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. 3. Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan makanan. 4. Menciptakan kemandirian di bidang kefarmasian. 3.2 Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Kementerian Kesehatan RI, 2010a). Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki fungsi antara lain: 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 2. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 17

30 18 4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian, dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 5. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 6. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 7. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. 3.3 Tujuan Tujuan Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian tahun adalah sebagai arah dalam penyelenggaraan program produksi dan distribusi kefarmasian serta pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2011). 3.4 Sasaran Sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2011), yaitu: 1. Tersedianya bahan baku obat dan obat tradisional. 2. Tersusunnya standar kefarmasian di bidang obat, obat tradisional, kosmetik, dan makanan. 3. Industri farmasi prakualifikasi WHO. 3.5 Strategi (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, 2011) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki strategi sebagai berikut: 1. Menyusun dan mengembangkan standar dan persyaratan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. 2. Melaksanakan koordinasi dan pembinaan yang terpadu. 3. Meningkatkan kapasitas SDM yang kompeten dan profesional. 4. Membentuk aliansi strategis dan mengintegrasikan sumber daya.

31 Struktur Organisasi Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari (Kementerian Kesehatan RI, 2010a): 1. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional 2. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan 3. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus 4. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat 5. Subbagian Tata Usaha 6. Kelompok Jabatan Fungsional 3.7 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) Tugas dan fungsi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi: 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. 3. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. 4. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. 5. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.

32 Struktur organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional terdiri atas: 1. Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. 2. Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi. Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. 3.8 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) Tugas dan fungsi Subdirektorat Poduksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan dibidang produksi kosmetika dan makanan. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menyelenggarakan fungsi: 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang produksi kosmetika dan makanan. 2. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi kosmetika dan makanan. 3. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi kosmetika. 4. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi kosmetika dan makanan.

33 21 5. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan Struktur organisasi Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan terdiri atas: 1. Seksi Standardisasi Produksi Kosmetika dan Makanan Seksi Standardisasi Produksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi kosmetika dan makanan. 2. Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan dibidang sarana produksi kosmetika. 3.9 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) Tugas dan fungsi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus menyelenggarakan fungsi antara lain: 1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika prekursor, dan sediaan farmasi khusus.

34 22 3. Pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. 4. Penyiapan bahan bimbingan dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. 5. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus Struktur organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus terdiri atas: 1. Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi. 2. Seksi Sediaan Farmasi Khusus Seksi Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang sediaan farmasi khusus dan makanan Subdirektorat Kemandirian Obat Dan Bahan Baku Obat (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) Tugas dan fungsi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat.

35 23 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat menyelenggarakan fungsi antara lain: 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. 2. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. 3. Penyiapan bahan koordinasi serta pelakasanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. 4. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. 5. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang kemandirian obat dan bahan baku obat Struktur organisasi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat terdiri atas: 1. Seksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. 2. Seksi Kerjasama Seksi Kerjasama mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan koordinasi, pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor, pengendalian serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kerjasama di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat Subbagian Tata Usaha Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat dengan perincian sebagai berikut:

36 Umum 1. Pencatatan surat-menyurat (surat masuk dan surat keluar) dengan sistem arsip untuk keperluan. 2. Distribusi surat masuk dan surat keluar ke Subdit-Subdit maupun eksternal Direktorat. 3. Pengetikan (komputerisasi) surat-surat terutama untuk keperluan pimpinan. 4. Menyusun daftar kepustakaan untuk keperluan Direktorat. 5. Kearsipan dengan pola atau sistem arsiparis Kepegawaian Membuat data dan informasi kepegawaian antara lain: 1. Daftar nama-nama pejabat berdasarkan nomor urut kepangkatan berikut nama jabatan, eselon, dan golongan. 2. Daftar seluruh pegawai berdasarkan nomor urut kepangkatan dan nama jabatan serta alamat. 3. Informasi tentang kenaikan pangkat maupun memasuki masa pensiun. 4. Menyusun dan menyimpan berkas-berkas yang berkaitan dengan pegawai untuk seluruh pegawai. 5. Menyusun dan menyimpan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) seluruh pegawai berdasarkan urutan tahun penilaian. 6. Menyusun dan menyimpan data KP4 (Surat Keterangan Untuk Mendapat Tunjangan Keluarga) maupun daftar riwayat hidup seluruh pegawai. 7. Mengurus kenaikan pangkat pegawai. 8. Membantu pengurusan kenaikan pangkat berkala. 9. Membantu pengurusan pembuatan SIMKA (Sistem Informasi Kepegawaian) Kerumahtanggaan direktorat 1. Melakukan inventarisasi barang-barang inventaris milik negara. 2. Melakukan pendataan yang berkaitan dengan pemeliharaan barang-barang inventaris kerjasama dengan bagian umum dan kepegawaian Setditjen (Sekertaris Direktorat Jenderal) Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

37 25 3. Melakukan pendataan barang-barang inventaris yang akan diusulkan penghapusannya secara administratif yang selanjutnya diteruskan ke Bagian Umum dan Kepegawaian Setditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 4. Menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan rapat atau tamu-tamu Direktur. 5. Menata dan mengatur ruang penyimpanan berkas/barang inventaris di Gudang Direktorat. 6. Membantu penyelesaian secara administrasi untuk pembayaran telepon Direktorat Komponen Kegiatan Capacity building 1. Komponen output Peningkatan kemampuan dan kompetensi petugas pusat dan daerah. 2. Detail kegiatan a. Harmonisasi dan peningkatan kemampuan dalam rangka pembinaan produksi dan distribusi (Produksi dan Distribusi) kefarmasian. b. Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. c. Training of Trainer (TOT) pembinaan bidang produksi dan makanan. d. TOT pembinaan bidang obat dan obat tradisional. e. TOT pembinaan bidang kosmetik/makanan. f. TOT penyuluh keamanan pangan dan TOT pengawas pangan bagi petugas kabupaten/kota. g. TOT tentang bahan berbahaya. h. Refreshing training system pelaporan dinamika obat PBF Pembinaan Industri 1. Komponen output Peningkatan kemampuan pelaku usaha di bidang kefarmasian dan makanan dalam memenuhi persyaratan dan daya saing. 2. Detail kegiatan a. Bimbingan teknis sistem pelaporan dinamika obat PBF.

38 26 b. Peningkatan kemampuan industri obat tradisional. c. Peningkatan kemampuan industri obat. d. Peningkatan kemampuan industri kosmetika dan makanan. e. Coaching/pendampingan bagi KUKM obat tradisional. f. Pembinaan industri farmasi dalam rangka dukungan akselerasi pelaksanaan prakualifikasi Aliansi strategi 1. Komponen output Terlaksananya pembinaan secara terpadu untuk seluruh stakeholder pada bidang kefarmasian dan makanan. 2. Detail kegiatan a. Penyusunan roadmap/blueprint bidang bahan baku obat. b. Penyusunan roadmap/blueprint bidang kosmetika dan makanan. c. Aliansi strategis dalam kemandirian di bidang obat. d. Aliansi strategis dalam kemandirian di bidang obat tradisional. e. Aliansi strategis bidang narkotika, psikotropika, dan prekursor. f. Aliansi strategis di bidang prakualifikasi. g. Koordinasi lintas sektor di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. h. Rapat konsultasi bina produksi dan distribusi kefarmasian Bahan Baku Obat 1. Komponen output Tersedianya masterplan pengembangan kemandirian bahan baku dan uji coba pembuatan bahan baku eksipien. 2. Detail kegiatan a. Studi kelayakan produksi antibiotika (kemandirian di bidang obat). b. Rapat koordinasi dalam rangka persiapan produksi bahan baku obat. c. Studi kelayakan pengembangan bahan baku obat. d. Penyusunan masterplan dan AMDAL unit produksi. e. Desain dan rancang bangun peralatan. f. Pemantapan regulasi dalam rangka kemandirian bahan baku obat.

39 27 g. Persiapan produksi bahan baku obat (bimtek). h. Uji coba pemanfaatan bahan baku obat pada produksi dalam negeri (subsidi pembiayaan) Penyusunan pedoman/standar 1. Komponen output Tersedianya standar yang dapat digunakan untuk pembinaan, pengawasan, dan pelayanan di bidang kefarmasian dan makanan. 2. Detail kegiatan a. Penyusunan dan pengembangan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) obat tradisional. b. Penyusunan dan pengembangan NSPK obat dan bahan baku obat. c. Pengembangan kodex kosmetika Indonesia. d. Penilaian komponen perizinan impor/ekspor narkotika, psikotropika dan Special Access Scheme (SAS). e. Sertifikasi ISO 9001:2008 untuk 5 jenis pelayanan perizinan. f. Kajian monografi baru Farmakope Herbal Indonesia. g. Penyusunan pedoman penilaian SAS Penguatan regulasi dan sosialisasi 1. Komponen output Tersedianya dan tersosialisasikannya NSPK di bidang kefarmasian dan makanan. 2. Detail kegiatan a. Penyebaran informasi tentang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) bermutu, aman, dan bergizi. b. Dukungan narasumber produksi dan distribusi kefarmasian. c. Sosialisasi pedoman pelaksanaan pembinaan produksi obat dan bahan baku obat. d. Pemberdayaan masyarakat di bidang kosmetika dan makanan melalui media cetak. e. Pameran/bursa peneliti dan industri Indonesia.

40 28 f. Sosialisasi pedoman penggunaan bahan tambahan pangan Penguatan Infrastruktur/Sarana 1. Komponen output Tersedianya dukungan sarana dan prasarana pelaksanaan tugas dan fungsi produksi dan distribusi kefarmasian. 2. Detail kegiatan a. Penyelenggaraan operasional dan pemeliharaan perkantoran. b. Pemeliharaan software Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dan sistem pelaporan dinamika obat Pedagang Besar Farmasi (PBF). c. Evaluasi kinerja dan monitoring kegiatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. d. Pemantapan sistem pelaporan dinamika PBF. e. Penyusunan program dan kegiatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. f. Penyusunan laporan akuntabilitas kinerja Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. g. Alat pengolah data Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. h. Review penerapan SIPNAP dan sistem pelaporan dinamika obat PBF. i. Implementasi SIPNAP dan sistem pelaporan dinamika obat PBF. j. Penerapan E-Licensing dalam rangka pelayanan dinamika obat PBF. k. Penerapan sistem pelaporan industri farmasi. l. Evaluasi pelaksanaan SAS. m. Penyelesaian sistem pelaporan dinamika obat PBF dengan sistem registrasi obat Reposisi dan revitalisasi obat generik 1. Komponen output Peningkatan penggunaan obat generik yang rasional.

41 29 2. Detail kegiatan a. Peningkatan kapasitas SDM dalam rangka pengembangan kebijakan di bidang revitalisasi dan reposisi obat generik. b. Peningkatan kapasitas SDM provinsi dan kabupaten dalam pembinaan industri kabupaten dalam pembinaan industri farmasi. c. Pertemuan peningkatan kapasitas industri farmasi dalam penetapan bioekuivalensi dan bioavailabilitas obat generik. d. Penyusunan daftar pemasukan terekomendasi dalam menjamin kualitas bahan baku obat generik. e. Pembinaan industri farmasi dalam implementasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) terkini. f. Sosialisasi dan promosi obat generik. g. Bimbingan teknis pada industri dan advokasi percepatan izin edar obat generik. h. Pertemuan pembekalan mengenai hak atas kekayaan intelektual terkait obat generik. i. Pembuatan profil spesifikasi obat generik Sumber Daya Sumber daya manusia Sumber daya manusia yang bertugas di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sampai akhir tahun 2012 berjumlah 34 orang. Tabel 3.1 Jumlah pegawai direktorat bina produksi dan distribusi kefarmasian Jabatan Jumlah sumber daya manusia Struktural 12 Fungsional - Staf 22 Total 34

42 30 Tabel 3.2 Pegawai direktorat bina produksi dan distribusi kefarmasian berdasarkan golongan No Golongan Jumlah 1 I 0 2 II 4 3 III 23 4 IV 7 Jumlah JUMLAH I II III IV PENDIDIKAN Gambar 3.1 Diagram batang jumlah pegawai direktorat bina produksi dan distribusi kefarmasian berdasarkan golongan I II III IV Gambar 3.2 Diagram lingkaran jumlah pegawai direktorat bina produksi dan distribusi kefarmasian berdasarkan golongan 23

43 31 Berdasarkan tingkat pendidikan, pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dapat dikelompokkan menurut tabel di bawah ini. Tabel 3.3 Pegawai Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Berdasarkan Jenjang Pendidikan No Jenjang Pendidikan Jumlah 1 SD 0 2 SLTP 1 3 SLTA 3 4 D3 2 5 S1 4 6 APOTEKER 16 7 DOKTER 0 8 S2 8 JUMLAH 34 JUMLAH PENDIDIKAN Gambar 3.3 Diagram batang jumlah pegawai direktorat bina produksi dan distribusi kefarmasian berdasarkan jenjang pendidikan

44 SD SLTP 0 4 SLTA D3 S1 16 APOTEKER DOKTER S2 Gambar 3.4 Diagram lingkaran jumlah pegawai direktorat bina produksi dan distribusi kefarmasian berdasarkan jenjang pendidikan Sarana dan Prasarana Laporan Barang Milik Negara (BMN) pada Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menggunakan data yang berasal dari Sistem Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN).

45 BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Fakultas Farmasi Universitas Indonesia dilaksanakan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Kegiatan PKPA dilaksanakan pada tanggal 21 Januari - 04 Februari 2013, yang dilakukan setiap hari kerja, yaitu Senin hingga Jum at pada pukul WIB. Berikut jadwal kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang dirangkum dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1 Jadwal Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Fakultas Farmasi No Hari dan Tanggal Jam Uraian Kegiatan 1 Senin, Penerimaan mahasiswa PKPA Fakultas 21 Januari 2013 Farmasi di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2. Penjelasan umum mengenai struktur organisasi dan tata kerja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan oleh Bapak Kamit Waluyo, SH. 3. Pembagian mahasiswa PKPA menjadi empat kelompok dan ditempatkan di empat direktorat yang berada di bawah Direktorat 4. Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, yaitu : a. Kelompok I (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan) b. Kelompok II (Direktorat Bina

46 34 2 Selasa, 22 Januari Rabu, 23 Januari 2013 Pelayanan Kefarmasian) c. Kelompok III (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan) d. Kelompok IV (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian) ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) 6. Penerimaan mahasiswa PKPA UI oleh staf Tata Usaha Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 7. Penjelasan umum tentang struktur organisasi dan tata kerja Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian oleh Bapak Drs. Suhata. 8. Pretest mengenai antibiotik dan obat generik Penjelasan dan pengarahan mengenai Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Sediaan Farmasi Khusus oleh Bapak Drs. Riza Sultoni, Apt., MM. selaku Kasubdit. 2. ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) Penjelasan dan pengarahan tentang Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan oleh Ibu Dra. Nur Ratih Purnama, M.Si., Apt. selaku Kasubdit. 4. Pemberian tugas umum 5. Pemberian tugas harian mengenai Undang-undang terkait kesehatan, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan, Harmonisasi ASEAN, dan Codex Alimentarius Membaca dan mendiskusikan tugas harian mengenai Undang-undang terkait kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan,

47 35 4 Jum at, 25 Januari Senin, 28 Januari Selasa, 29 Januari Rabu, 30 Januari Kamis, 31Januari Jumat, 1 Februari Peraturan Pemerintah, Harmonisasi ASEAN, dan Codex Alimentarius. 2. Mengerjakan tugas umum 3. ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) 4. Melanjutkan pengerjaan tugas umum 5. Posttest hasil diskusi tugas harian dan pemberian tugas khusus dari Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan oleh Ibu Dra. Nur Ratih Purnama, Apt., MM. 1. Penyerahan tugas umum kepada pembimbing Ibu Dra. Nur Ratih Purnama, M.Si., Apt. 2. ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) 3. Penjelasan dan pengarahan tentang Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional oleh Ibu Dra. Nadirah Rahim, Apt., M.Kes selaku Kasubdit. 1. Pengerjaan tugas khusus 2. ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) 3. Melanjutkan pengerjaan tugas khusus 4. Penyerahan tugas umum ke Bu Ratih 1. Pengerjaan tugas khusus 2. ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) 3. Melanjutkan pengerjaan tugas khusus 1. Pengerjaan tugas khusus 2. ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) 3. Melanjutkan pengerjaan tugas khusus 4. Diskusi mengenai Subdit Kemandirian Bahan Baku Obat bersama staf 1. Pengerjaan tugas khusus 2. ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) 3. Melanjutkan pengerjaan tugas khusus 1. Pengerjaan tugas khusus 2. ISHOMA (istirahat, sholat dan makan)

48 BAB 5 PEMBAHASAN Kesehatan masyarakat merupakan salah satu tolak ukur kesejahteraan suatu negara sehingga upaya peningkatan derajat kesehatan menjadi fokus utama pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dengan visinya adalah Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Tabel 5.1 Angka Harapan Hidup Indonesia tahun 2010 dan 2011 Tahun Laki-laki (tahun) Perempuan (tahun) Sumber: Biro Pusat Statistik Berdasarkan data angka harapan hidup masyarakat Indonesia tahun 2010 dan 2011 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Kemenkes RI telah melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Dalam usaha mencapai visi tersebut, Kemenkes RI melaksanakan tugas dan fungsinya dalam empat Direktorat Jenderal (Ditjen), salah satunya adalah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Binfar Alkes) yang didirikan pada tanggal 5 Desember Sebelum Ditjen ini terbentuk, segala tugas dan fungsi yang berkaitan dengan kefarmasian ditangani oleh Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) yang kemudian memisahkan diri menjadi Badan POM dan dibawahi oleh Sekretaris Negara. Namun, dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, Ditjen Binfar Alkes tetap menjalin kerjasama dengan Badan POM. Ditjen Binfar Alkes terdiri dari empat direktorat, antara lain Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, serta Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Kami sebagai mahasiswa yang mengikuti praktek kerja profesi apoteker ditempatkan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian untuk mengetahui lebih dalam mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi direktorat ini. 36

49 37 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari empat subdirektorat, yaitu Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional; Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan; Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus; serta Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. 5.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional yang memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional (Kementerian Kesehatan RI, 2010a). Subdirektorat produksi dan distribusi obat dan obat tradisional bertugas dalam mengatur perizinan untuk izin bagi Industri Farmasi (IF), Industri Obat Tradisional (IOT), dan Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA). Bila industri sudah memiliki izin, maka industri tersebut dapat melakukan produksi. Selain mengatur perizinan industri, Subdirektorat ini juga bertugas melakukan pembinaan terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional (IOT) Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA), serta usaha-usaha lainnya yang berkaitan dengan produksi Obat Tradisional seperti Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) dan Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT). Pembinaan juga dilakukan terhadap UKOT dan UMOT agar produk yang dihasilkan tetap memenuhi persyaratan seperti yang telah ditentukan. Pembinaan pada umumnya dilakukan berdasarkan standar dan pedoman tertentu, namun dikarenakan subdirektorat ini baru dibentuk, maka pedoman dalam melakukan pembinaan masih dalam proses pembuatan. Oleh karena itu, pembinaan yang dilakukan hanya berdasarkan acuan standar seperti yang sudah ada, seperti PERMENKES No.006 dan PERMENKES No.007 tahun Buku-buku pedoman yang telah diterbitkan oleh direktorat ini antara lain Farmakope Indonesia, termasuk suplemen Farmakope Indonesia edisi I-III, Farmakope Herbal Indonesia, termasuk suplemen Farmakope Herbal Indonesia

50 38 edisi I-II, Pedoman Pelayanan Perizinan Industri Farmasi, Pedoman Pelayanan Perizinan Industri Obat Tradisional, Pedoman Pelayanan Perizinan Pedagang Besar Farmasi, dan Pedoman Pembinaan Pedagang Besar Farmasi. 5.2 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan merupakan subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yang bertanggung jawab dalam melakukan pembinaan terhadap industri kosmetik dan makanan untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Peraturan kosmetik di Indonesia disesuaikan dengan harmonisasi ASEAN tahun Indonesia mulai menerapkan harmonisasi ASEAN pada tahun 2011 dalam bentuk notifikasi kosmetika. Perubahan proses registrasi menjadi notifikasi bertujuan untuk meningkatkan kerjasama dalam rangka menjamin mutu, keamanan, dan klaim manfaat produk; meghapus hambatan perdagangan dengan memberlakukan satu standar; serta meningkatkan daya saing produk tanpa mengabaikan mutu dan keamanan produk. Kosmetik di Indonesia diatur dalam Permenkes Nomor 1175 tahun 2010 dan Permenkes Nomor 1176 tahun Permenkes Nomor 1175 tahun 2010 membahas mengenai izin produksi kosmetik dengan tujuan untuk menjamin mutu, keamanan, dan manfaat dari kosmetik dan menyesuaikan perizinan produksi kosmetik dan alat kesehatan dengan pengembangan pengetahuan dan teknologi. Izin produksi kosmetik berlaku selama 5 tahun. Perizinan produksi kosmetik dibedakan berdasarkan golongan industri kosmetik yaitu golongan A dan golongan B. Industri kosmetik golongan A ialah industri yang memproduksi semua bentuk dan jenis sediaan kosmetik dengan syarat harus memiliki minimal satu orang apoteker, laboratorium, dan menerapkan cara pembuatan kosmetik yang baik (CPKB). Industri kosmetik golongan B ialah industri yang memproduksi bentuk dan jenis sediaan tertentu dengan teknologi sederhana dengan syarat memiliki tenaga teknis kefarmasian dan tidak perlu menerapkan cara pembuatan kosmetik yang baik, tetapi cukup menjamin sanitasi dan higienitasnya.

51 39 Permenkes nomor 1176 tahun 2010 membahas tentang notifikasi kosmetik dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari peredaran dan penggunaan kosmetik yang tidak memenuhi mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Notifikasi merupakan izin edar suatu kosmetik dan berlaku selama 3 tahun. Notifikasi dilakukan secara online dengan mengisi formulir/template pada situs Badan POM. Keamanan produk kosmetik dapat dilihat dari komposisi kosmetik dan Dokumen Informasi Produk (DIP). DIP disimpan oleh pihak produsen dan tanggungjawab penuh terhadap klaim diserahkan kepada produsen. Permenkes No. 033 tahun 2010 adalah peraturan yang menjamin keamanan makanan di Indonesia. Permenkes ini menjelaskan tentang bahan-bahan yang diizinkan dan dilarang ditambahkan ke dalam makanan. Jaminan akan keamanan makanan diatur dalam Codex Alimentarius yang merupakan suatu organisasi dunia yang mengatur dan menyusun pedoman standar mutu makanan internasional. Standar mutu yang ditetapkan sifatnya bisa diterapkan ataupun tidak di negara-negara anggota (Voluntary). Tujuan dari terbentuknya organisasi ini adalah untuk menjamin kualitas keamanan makanan dan menjaga perdagangan industri makanan dunia yang sehat. Hal ini berarti, selain menjamin bahwa makanan yang beredar di masyarakat bermutu baik dan aman, juga dapat menghindari dari persaingan industri makanan yang tidak baik di tingkat dunia. Struktur organisasi ini meliputi negara-negara anggota WHO dan FAO dari masing-masing benua. Organisasi ini juga terdiri dari beberapa komite, diantaranya komite food additive, dan setiap komite diwakili dari masing-masing negara anggota. Jika terjadi suatu permasalahan yang berhubungan dengan makanan, maka akan diadakan pertemuan negara-negara anggota untuk membahas penyelesaiannya. 5.3 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus memiliki dua seksi, yaitu Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dan Seksi Sediaan Farmasi Khusus. Seksi

52 40 Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap importir dan eksportir produsen narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Seksi ini mengatur perizinan dan kebijakan dalam penanganan narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. Dalam proses impor, produksi, dan distribusi narkotika, pemerintah menunjuk satu industri milik negara, yaitu PT Kimia Farma. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan narkotika di Indonesia. Pengawasan tersebut mulai dari narkotika masuk sampai diedarkan di Indonesia. Dalam bidang psikotropika dan prekursor, pemerintah memberikan izin impor, produksi, dan distribusi kepada semua industri farmasi dan pedagang besar farmasi (PBF), namun tetap disertai dengan pengawasan. Prekursor memerlukan pengawasan seperti narkotik dan psikotropik karena prekursor merupakan bahan yang dapat diubah menjadi narkotik hanya dengan satu tahap reaksi sehingga berisiko tinggi terjadi penyalahgunaan, terutama karena sediaan yang mengandung prekursor sangat mudah didapatkan dipasaran dengan harga yang terjangkau dan pembeliannya tanpa pembatasan. Izin untuk importir psikotropika dan prekursor digolongkan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Izin importir produsen, yaitu izin yang diberikan kepada produsen untuk mengimpor bahan baku psikotropik yang digunakan untuk proses produksi sediaan psikotropik. Izin ini hanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi industri itu sendiri sehingga bahan yang telah diimpor tidak diizinkan untuk dialihkan kepada industri lain. Jumlah dan jenis bahan baku psikotropik yang diimpor harus disesuaikan dengan daftar perencanaan kebutuhan tahunan yang telah disetujui oleh Kemenkes. 2. Izin importir terdaftar, yaitu izin yang diberikan kepada PBF untuk mengimpor bahan baku psikotropik sesuai dengan permintaan produsen. PBF tidak diizinkan untuk mengimpor bahan baku psikotropik melebihi jumlah permintaan produsen. Jumlah dan jenis narkotika, psikotropika, dan prekursor yang akan diimpor setiap tahunnya wajib dilaporkan kepada Kemenkes untuk kemudian

53 41 direkapitulasi dan dilaporkan kepada badan narkotika dunia. Laporan ini digunakan sebagai kontrol oleh badan narkotika dunia dalam mengawasi impor bahan baku narkotika, psikotropika, dan prekursor. Dalam rangka pengawasan impor bahan baku narkotika, psikotropika, dan prekursor, subdirektorat ini mengembangkan suatu sistem yang terintegrasi dengan Divisi Bea Cukai, Badan POM, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Perindustrian dan Perdagangan yang disebut National Single Window (NSW). Dalam sistem ini, semua data impor oleh setiap PBF telah tersimpan dalam sistem database untuk mengontrol kesesuaian jumlah dan jenis bahan yang diimpor. Di sisi lain, Seksi Sediaan Farmasi Khusus mengurus perizinan sediaan farmasi khusus melalui jalur khusus yang disebut Special Access Scheme (SAS). Sediaan farmasi khusus merupakan sediaan farmasi yang belum mempunyai izin edar, namun sangat dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Sediaan tersebut diberi izin untuk digunakan karena ditujukan bagi pengobatan penyakit langka. Kurangnya nilai komersial pada sediaan ini menyebabkan tidak ada importir atau produsen yang bersedia mengurus registrasi dan izin edarnya. Seksi Sediaan Farmasi khusus juga mengurus perizinan obat bantuan, seperti donasi dari luar negeri, misalnya apabila terjadi bencana alam. Obat donasi dari luar negeri ini juga belum mempunyai izin edar, namun sangat dibutuhkan untuk keadaan darurat apaila terjadi bencana alam. Sebelum tahun 2008, izin sediaan khusus masih diurus oleh Badan POM, namun setelah tahun 2008 menjadi bagian tugas dari subdirektorat ini, kecuali untuk produk biologi, vaksin dan serum yang masih diurus di Badan POM. Selain mengurus perizinan dari obat jalur khusus yang telah disebutkan, SAS juga mengurus perizinan bahan-bahan untuk penelitian dan obat-obatan yang sangat dibutuhkan namun bahan bakunya telah habis sehingga tidak dapat diproduksi oleh industri obat lokal. Dalam penggunaan, obat yang diimpor melalui jalur SAS harus mendapatkan informed consent dari pasien yang akan menggunakannya karena obat ini belum teruji keamanannya di Indonesia.

54 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Tugas dari Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat adalah melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan; penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis; pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat.

55 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah dilakukan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia didapatkan kesimpulan bahwa: 1. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. 2. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. 3. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari empat subdirektorat dan satu sub bagian tata usaha. Subdirektorat-subdirektorat tersebut antara lain: Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional; Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan; Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus; serta Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku. 6.2 Saran 1. Perlu dibuat regulasi mengenai pembatasan penjualan obat bebas dan obat bebas terbatas yang mengandung prekursor di tempat-tempat selain apotek dan menerapkan sistem pencatatan riwayat pembelian obat pasien secara online. 43

56 DAFTAR ACUAN Endra, Febri. (2010). Paradigma Sehat. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. Kementerian Kesehatan RI. (2010a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. (2010b). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Januari 23, Peraturan Presiden RI No. 5. Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun Soejoeti S.Z. (2005). Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya. Januari 23,

57 Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan 45

58 Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN 46

59 Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL BAGIAN PROGRAM DAN INFORMASI BAGIAN HUKUM, ORGANISASI, DAN HUBUNGAN MASYARAKAT BAGIAN KEUANGAN BAGIAN KEPEGAWAIAN DAN UMUM SUBBAGIAN PROGRAM BAGIAN HUKUM SUBBAGIAN ANGGARAN SUBBAGIAN KEPEGAWAIAN SUBBAGIAN DATA DAN PROGRAM SUBBAGIAN EVALUASI DAN PELAPORAN SUBBAGIAN ORGANISASI SUBBAGIAN HUBUNGAN MASYARAKAT SUBBAGIAN PERBENDAHARAAN SUBBAGIAN VERIFIKASI DAN AKUNTANSI SUBBAGIAN TATA USAHA DAN GAJI SUBBAGIAN RUMAH TANGGA 47

60 Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT ANALISIS DAN STANDARDISASI HARGA OBAT SUBDIT PENYEDIAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBDIT PENGELOLAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBDIT PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI ANALISIS HARGA OBAT SEKSI STANDARDISASI HARGA OBAT SEKSI PERENCANAAN PENYEDIAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI PEMANTAUAN KETERSEDIAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI STANDARDISASI PENGELOLAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI BIMBINGAN DAN PENGENDALIAN OBAT UBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI PEMANTAUAN PROGRAM OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI EVALUASI PROGRAM OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN 48

61 Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT STANDARDISASI SUBDIT FARMASI KOMUNITAS SUBDIT FARMASI KLINIK SUBDIT PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI STANDARDISASI PELAYANAN KEFARMASIAN SEKSI PELAYANAN FARMASI KOMUNITAS SEKSI PELAYANAN FARMASI KLINIK SEKSI PROMOSI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI STANDARDISASI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI FARMASI KOMUNITAS SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI FARMASI KLINIK SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL 49

62 Lampiran 6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT PENILAIAN ALAT KESEHATAN SUBDIT PENILAIAN PRODUK DIAGNOSTIK INVITRO DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA SUBDIT INSPEKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA SUBDIT STANDARDISASI DAN SERTIFIKASI SEKSI ALAT KESEHATAN ELEKTROMEDIK SEKSI PRODUK DIAGNOSTIK INVITRO SEKSI INSPEKSI PRODUK SEKSI STANDARDISASI PRODUK SEKSI ALAT KESEHATAN NON ELEKTROMEDIK SEKSI PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA SEKSI INSPEKSI SARANA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI SEKSI STANDARDISASI DAN SERTIFIKASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI 50

63 Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI OBAT DAN OBAT TRADISIONAL SUBDIT PRODUKSI KOSMETIKA DAN MAKANAN SUBDIT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, PREKURSO R DAN SEDIAAN FARMASI KHUSUS SUBDIT KEMANDIRIAN OBAT DAN BAHAN BAKU OBAT SEKSI STANDARDISASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI SEKSI STANDARDISASI PRODUKSI KOSMETIKA DAN MAKANAN SEKSI NARKOTIKA, PSIKOTROPI KA, DAN PREKURSOR FARMASI SEKSI ANALISIS OBAT DAN BAHAN BAKU OBAT SEKSI PERIZINAN SARANA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI SEKSI PERIZINAN SARANA PRODUKSI KOSMETIKA SEKSI SEDIAAN FARMASI KHUSUS SEKSI KERJA SAMA 51 43

64 UNIVERSITAS INDONESIA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (WANITA) TERHADAP PENGGUNAAN KOSMETIK PEMUTIH MELALUI MEDIA GIMMICK TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANDISTI RIZKY MARSELINA, S.Farm ANGKATAN LXXVI PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JUNI 2013

65 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR LAMPIRAN... ii iii BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan Masyarakat Komunikasi dalam Masyarakat Hubungan Wanita dan Kosmetik Kosmetik Pemutih Wajah... 9 BAB 3 PEMBAHASAN BAB 4 KESIMPULAN DAFTAR ACUAN ii

66 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Gimmick mengenai Kosmetik Pemutih sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat (wanita) iii

67 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat atau komunitas merupakan salah satu dari strategi global promosi kesehatan pemberdayaan sehingga pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk dilakukan agar masyarakat sebagai target primer memiliki kemauan dan kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan (Badan Pelatihan Kesehatan Cikarang, 2011; Departemen Kesehatan, 2004). Wanita sangat dekat hubungannya dengan kosmetik karena umumnya wanita lebih peduli terhadap penampilan. Wanita senang mempercantik diri dengan menggunakan berbagai macam kosmetik. Selain itu, produk perawatan kulit lebih banyak ditujukan kepada wanita dan iklan juga banyak menggunakan wanita sebagai modelnya. Oleh sebab itu, target pemberdayaan masyarakat ini lebih dikhususkan kepada wanita (Menteri Perindustrian RI, 2013; Sari, 2012). Komunikasi sangat diperlukan dalam pemberdayaan masyarakat. Komunikasi harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan jelas. Pada saat ini, banyak media komunikasi yang dapat digunakan yaitu media cetak, media elektronik, dan media luar (Paramita & Lestari, 2008; Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB, 2002). Media komunikasi merupakan salah satu bagian terpenting bagi terciptanya akses informasi sehingga informasi semakin mudah didapatkan dari berbagai belahan dunia. Pemilihan saluran dan media pengiriman pesan komunikasi merupakan faktor yang perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap efektivitas penyampaian pesan. Efektivitas komunikasi melalui media komunikasi tercermin dari kemampuan media tersebut untuk mempengaruhi kelompok sasaran sesuai dengan yang diinginkan. Salah satu media cetak yang menarik, murah, mudah untuk dibuat dan langsung ke target sasaran adalah gimmick. Gimmick adalah usaha untuk menarik perhatian khalayak melalui objek atau cara yang dianggap sebagai hal baru dan luar biasa. Selain itu, gimmick juga dibuat atas dasar sebagai media pengingat. 1

68 2 Gimmick dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk yang memiliki kegunaan tertentu, salah satunya ialah tas kosmetik. Tas kosmetik dipilih karena menyesuaikan dengan sasaran dan informasi yang akan disampaikan dan kemudahan untuk dibawa kemana saja dan dilihat setiap hari oleh wanita ketika berhias. Informasi yang akan disampaikan ialah berupa cara memilih dan menggunakan kosmetik pemutih wajah yang aman dan tepat bagi tiap wanita. Hal ini dikarenakan banyak terjadi penyebaran dan penjualan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yang dilarang oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM, 2012). Target pemberian informasi ini ialah wanita berusia produktif (20-35 tahun) karena pada usia ini banyak wanita yang menggunakan kosmetik pemutih wajah. Banyak wanita yang tidak mengetahui bahwa kosmetik yang mereka gunakan mengandung bahan berbahaya sehingga diharapkan dengan gimmick ini wanita dapat memilih kosmetik yang tepat dan benar terutama kosmetik pemutih. 1.2 Tujuan Tujuan dilakukan pemberdayaan masyarakat khususnya wanita melalui media komunikasi gimmick adalah sebagai berikut : 1. Untuk meningkatkan kesehatan wanita usia produktif (20-35 tahun). 2. Untuk mengingatkan wanita tentang cara pemilihan dan pentingnya penggunaan kosmetik yang aman.

69 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemberdayaan Masyarakat Pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahannya dengan mengoptimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki secara mandiri (Widjajanti, 2011). Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah upaya untuk memampukan masyarakat sehingga mereka mempunyai daya atau kekuatan untuk hidup mandiri di bidang kesehatan. Upaya pemberdayaan tersebut dilakukan dengan menumbuhkan kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat disertai dengan pengembangan iklim yang mendukung (Paramita dan Lestari, 2008). Kemandirian masyarakat di bidang kesehatan maksudnya ialah dapat mengenali tingkat kesehatan dan masalah kesehatannya sendiri, merencanakan dan mengatasinya, memelihara, dan meningkatkan serta melindunginya (Depkes RI, 2002 dan Notoatmodjo, 2007). Menurut United Nations (1956), dalam Tampubolon (2004), mengemukakan bahwa proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut : a. Mengetahui karakteristik masyarakat yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik antar masyarakat. Hubungan timbal balik antara pemberi pemberdaya dengan masyarakat diperlukan dalam memberdayakan masyarakat. b. Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai masyarakat yang diberdayakan, meliputi informasi mengenai distribusi penduduk menurut umur, seks, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, sikap dan budaya, serta jenis pengelompokan. 3

70 4 c. Melakukan pendekatan persuasif untuk menyadarkan masyarakat bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan dan kebutuhan yang perlu dipenuhi. d. Membantu masyarakat untuk mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan (Paramita dan Lestari, 2008). Konsep pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan atau proses, sedangkan output yang diperoleh ialah kemandirian masyarakat di bidang kesehatan. Pola pendekatan yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat ialah pendekatan yang mendalam terhadap sumber. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengindentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi peduli akan pemenuhan dan pemecahan masalah yang dihadapi dengan menggunakan potensi yang mereka miliki dimana perbedaan aspek ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan lainnya dipandang sebagai suatu potensi positif (Paramita dan Lestari, 2008) Peran petugas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat 1) Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan maupun programprogram pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian masyarakat. 2) Memberikan motivasi kepada masyarakat untuk bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan agar masyarakat mau berkontribusi terhadap program tersebut. 3) Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat vokasional. Upaya melibatkan masyarakat dalam pengertian yang benar adalah memberi masyarakat kewenangan untuk memutuskan sendiri apa-apa yang menurut mereka penting dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, diperlukan akses informasi agar masyarakat tidak salah dalam mengambil keputusan. Akses informasi adalah aliran informasi yang tidak tersumbat antara masyarakat dengan

71 5 masyarakat lain dan antara masyarakat dengan pemerintah. Informasi meliputi ilmu pengetahuan, program dan ketentuan tentang kesehatan. Masyarakat pedesaan terpencil tidak mempunyai akses terhadap semua informasi tersebut, karena hambatan bahasa, budaya dan jarak fisik sehingga butuh sumber informasi yang lebih mudah untuk diakses (Darwanto, 2003). 2.2 Komunikasi dalam Masyarakat Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau prilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media. Macam-macam komunikasi dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Komunikasi Verbal, adalah komunikasi yang berasal dari bunyi atau ucapanucapan dengan bahasa lain yang dapat dimengerti. Komunikasi verbal ini dapat berarti kegiatan pertukaran lambang-lambang yang mengandung arti melalui penggunaan bahasa. 2. Komunikasi Non-verbal, adalah komunikasi yang merupakan bagian dari komunikasi visual yang disampaikan secara visual melalui tulisan tanpa kata. Komunikasi non verbal mencakup semua rangsang dalam suatu setting atau keadaan komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim pesan atau penerima pesan. Fungsi media komunikasi adalah sebagai alat yang dipakai untuk melakukan komunikasi, sedangkan pelaku komunikasi itu sendiri terdiri dari komunikator dan komunikan melalui pesan yang disampaikan. Komunikator dapat mengetahui apakah tugasnya telah dinilai berhasil atau tidak dengan melakukan suatu evaluasi. Pekerjaan evaluasi dalam proses komunikasi penting sekali. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk melakukan evaluasi adalah mengevaluasi umpan balik dari komunikasi yang telah dilakukan. Umpan balik dari komunikan ke komunikator ini dapat bersifat langsung atau bersifat tidak langsung. Berdasarkan teknik komunikasinya, metode promosi kesehatan dibagi menjadi dua yaitu :

72 6 a. Metode penyuluhan langsung. Dalam hal ini para penyuluh langsung berhadapan atau bertatap muka dengan sasaran. Termasuk di sini antara lain: kunjungan rumah, pertemuan diskusi (FGD), pertemuan di balai desa, pertemuan di Posyandu, dll. b. Metode yang tidak langsung. Para penyuluh tidak langsung berhadapan secara tatap muka dengan sasaran, tetapi ia menyampaikan pesannya dengan perantara (media), misalnya publikasi dalam bentuk media cetak dan melalui pertunjukan film. Media menjadi penghubung semua elemen masyarakat, media memiliki arti penting dalam kehidupan bermasyarakat seperti dikemukakan oleh Althaeide dalam Wisnu (2006) media dapat menjembatani kesenjangan informasi antar pihak, mengurangi jumlah informasi asimetris. Kesenjangan informasi sendiri erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat. Salah satu cara memberdayakan suatu masyarakat adalah dengan membuka akses informasi seluas-luasnya agar mereka bisa mendapatkan informasi yang berguna dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup. Media massa ialah media komunikasi massa, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan serentak kepada khalayak banyak yang berbeda-beda dan tersebar di berbagai tempat. Media massa sebagai alat penyampai pesan dalam proses komunikasi, juga disebut saluran pesan atau penyaluran pesan. Kemampuan media massa sebagai penyalur pesan kepada khalayak yang berbeda-beda, berjumlah besar dan tersebar diberbagai tempat, disebabkan oleh penggunaan mesin yang mampu menggandakan lambang-lambang pesan tersebut. Lambang-lambang itu umumnya dapat ditangkap oleh panca indera telinga. Oleh karena itu, media massa sering dibedakan menjadi media massa bentuk tampak (visual), media massa bentuk dengar (audio), dan media massa bentuk gabungan tampak dengar atau audio-visual. Saluran media massa adalah semua alat penyampaian pesan-pesan yang melibatkan mekanisme untuk mencapai audien yang luas dan tidak terbatas. Surat kabar, radio, film dan televisi merupakan alat yang memungkinkan sumber informasi menjangkau audien dalam jumlah yang besar dan tersebar luas. Pesan-

73 7 pesan dalam media massa memang kurang kuat dalam merubah sikap, kecuali pesan-pesan tersebut justru memperkuat nilai-nilai dan kepercayaan audien, sedangkan pesan-pesan yang bertentangan akan disaring audien melalui tingkat selektivitas mereka. Saluran komunikasi yang tepat harus dipilih berdasarkan tujuan dari sumber komunikasi serta pesan yang akan disampaikan pada audien. Seringkali melalui pemanfaatan berbagai jenis media massa dan menggabungkannya dengan saluran komunikasi antar pribadi. Hal ini terjadi apabila sumber informasi bertujuan untuk mencapai audien dalam jumlah besar dan mengharapkan suatu perubahan yang meluas (IPB, 2011). Untuk saluran yang lebih kecil namun masih tergolong dalam saluran komunikasi massa biasanya masih menggunakan media massa tradisional seperti meneriakkan berita-berita dan pengumumanpengumuman publik di jalan-jalan dengan menggunakan juru bicara atau pendongeng. Media sekunder adalah media yang berwujud, baik media massa, misalnya surat kabar, televisi atau radio, maupun media surat, telepon, poster atau gimmick. Dalam komunikasi interpersonal, sumber informasi dapat dilihat sebagai seseorang yang bersahabat, hangat, dapat diterima, dan berpengetahuan. Jadi, komunikator pada komunikasi interpersonal hanya menggunakan satu media saja, misalnya bahasa. Dalam saluran dengan khalayak massa yang baru, mereka yang membangun pesan jarang mengetahui atau melihat para pendengarnya, akan tetapi berusaha menarik dan memikat para khalayaknya. Untuk mencapai hal ini mereka melakukan banyak hal, mereka berusaha untuk memberikan apa yang orang-orang inginkan dalam cara-cara yang sangat menarik. Mereka banyak menggunakan gimmick untuk memikat dan menarik perhatian para audiennya. Polling dilakukan secara berkesinambungan untuk menentukan apakah orang-orang membaca, mendengar, atau melihat dan apakah mereka bereaksi terhadap yang sudah disuguhkan. Pada pemograman informasi, seperti pada saluran massa, pesan harus disusun agar menarik dan dapat memenuhi kebutuhan pendengar istimewa. Pesan juga harus disuguhkan pada waktu yang tepat, di mana para pendengarnya dapat

74 8 mendengar atau melihat pesan tersebut. Ketertarikan khalayak sangat penting karena melihat, membaca atau mendengarkan merupakan hal yang dilakukan secara sukarela, dan juga karena kompetisi dalam hal menarik perhatian sangat ramai dilakukan, terutama di negara-negara yang dapat mengembangkan pemograman saluran (Institut Pertanian Bogor, 2011) Media Gimmick Gimmick menurut kamus bahasa Inggris adalah tipu muslihat atau alat, tetapi menurut kamus istilah periklanan Indonesia gimmick adalah usaha untuk menarik perhatian khalayak melalui objek atau cara yang dianggap sebagai hal baru dan luar biasa sehingga menimbulkan minat untuk membeli produk tersebut. Selain itu, gimmick juga dibuat atas dasar sebagai media pengingat setelah menggunakan media utama. Gimmick yang diberikan mempunyai hubungan dengan tema dan informasi yang ada di media utama. Tujuan dari merchandise ini ialah agar masyarakat dapat mengingat visual yang terdapat di media utama. Media ini digunakan karena biayanya lebih rendah serta media ini langsung ke target sasaran. Diaplikasikan melalui media-media yang memiliki kegunaan seperti, t-shirt, topi, payung, sendal, mug, pin, kalender, stiker, tempat tisu, jam dinding, gantungan kunci, dan lain-lain. 2.3 Hubungan Wanita dan Kosmetik Wanita adalah makhluk yang identik dengan keindahan, wanita selalu ingin tampil cantik dalam berbagai keadaan dan selalu ingin menjadi pusat perhatian bagi sekelilingnya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa wanita senang mempercantik diri dengan menggunakan berbagai macam kosmetik yang digunakan (Menteri Perindustrian RI, 2013). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, beragam kosmetik muncul di pasaran. Namun, tidak semua kosmetik itu memenuhi kaidah farmasetika yaitu aman, berkhasiat, dan berkualitas. Melalui siaran pers No : KH Tanggal : 7 September 2006, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan peringatan kepada

75 9 masyarakat tentang kosmetik yang mengandung bahan dan zat warna yang dilarang (BPOM, 2006). Dalam kehidupan sehari-hari, wanita banyak digunakan dalam iklan. Keterlibatan tersebut didasari oleh dua faktor utama, yaitu: pertama bahwa wanita adalah pasar yang sangat besar dalam industri. Faktanya lebih banyak produk industri diciptakan bagi wanita. Contohnya adalah produk personal care, bagi pria produk yang dimaksudkan untuk perawatan pribadi tidaklah sebanyak produk yang dikhususkan bagi wanita. Ribuan kosmetik diciptakan untuk wanita, maka tidaklah mengherankan apabila pada gilirannya, wanita selalu menjadi target iklan. Majalah perempuan dijual lebih banyak dibanding majalah pria. Tidak ada majalah pria yang mempunyai tiras sebanyak majalah wanita (Sari, 2012). Faktor kedua adalah bahwa perempuan luas dipercaya mampu menguatkan pesan iklan ( Rendra Widyatama&Siswanta,1997). Perempuan merupakan elemen agar iklan mempunyai unsur menjual, menurut Martadi dalam Jurnal Diskomfis tahun Karena mampu sebagai unsur menjual sehingga menghasilkan keuntungan, maka penggunaan perempuan dalam iklan tampaknya merupakan sesuatu yang sejalan dengan ideologi kapitalisme. Bagi laki-laki, kehadiran perempuan merupakan syarat penting dalam kemapanannya. Sementara bila target market-nya perempuan, kehadiran perempuan merupakan wajah aktualisasi yang mewakili jati dirinya/ eksistensinya. Hal-hal yang berkaitan dengan visual inilah yang menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda-beda pula terhadap citra seorang perempuan (Sari, 2012). 2.4 Kosmetik Pemutih Wajah Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/Menkes/Permenkes/ 1998, kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakkan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.

76 10 Pada tahun 1955 Lubowe menciptakan istilah Cosmedics yang merupakan gabungan dari kosmetik dan obat yang dapat mempengaruhi faal kulit secara positif, namun bukan obat (Tranggono, Latifah, 2007). Pada tahun 1980, Albert Kligman menyebutnya dengan istilah Cosmeceuticals yaitu suatu produk kosmetik yang mengandung bahan aktif biologis, tetapi bukan obat yang memberikan efek menguntungkan dengan pemberiaan secara topikal dan istilah ini yang digunakan hingga sekarang (Draelos, & Thaman, 2006). Bahan ini sebagaimana kosmetika boleh diperdagangkan bebas tetapi perlu pengawasan dan pemahaman pemakaiannya oleh karena mempunyai potensi untuk memberikan efek samping. Akhir-akhir ini dengan meningkatnya penggunaan kosmeseutikal, sering pula terjadi efek samping seperti dermatitis kontak, fotosensitisasi, akne kosmetika, kelainan pigmentasi dan sebagainya. Bahkan oleh orang atau industri kosmetik tertentu yang hanya mencari keuntungan besar, beberapa bahan yang berbahaya bagi kesehatan ditambahkan untuk mempercepat khasiat yang diharapkan. Sebagai contoh merkuri (Hg) dan rhodamin B untuk pemutih kulit dan pemoles bibir banyak ditemukan di beberapa merk kosmetika, padahal keduanya dilarang digunakan didalam sediaan kosmetika. Temuan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) Departemen Kesehatan RI diberbagai daerah ternyata banyak kosmetik yang dijual bebas mengandung kedua bahan tersebut. Umumnya kosmetik yang mengandung merkuri, hodrokinon, dan rhodamin B merupakan produk impor illegal dari Cina (BPOM, 2011). Tujuan utama penggunaan kosmetik pada masyarakat modern ialah untuk kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui make up, meningkatkan rasa percaya diri, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan sinar UV, polusi, dan faktor lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum membantu seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup (Tranggono & Latifah, 2007). Kita ketahui bahwa kosmetik sangat beragam jenisnya, mulai dari kosmetik untuk wajah, kulit, rambut, hingga kuku. Namun diantara ragam jenis kosmetik tersebut, yang sering menjadi perhatian adalah kosmetik untuk kulit. Ditinjau dari struktur dan fungsinya, kulit merupakan bagian penting bagi tubuh dimana efek yang muncul pada kulit tidak hanya di permukaan kulit namun juga

77 11 pada bagian dalam kulit. Efek yang muncul dapat permanen atau temporer tergantung dari jenis bahan aktif yang digunakan pada produk kosmetik tersebut. Produk kosmetik untuk mempercantik kulit terdiri dari berbagai jenis tergantung pada fungsinya, antara lain pelembut kulit, pembersih, pelembab, tabir surya, dan pencerah atau pemutih kulit (skin bleaching). Pemutih atau pencerah kulit adalah produk yang ditujukan untuk mencerahkan atau menghilangkan pewarnaan kulit yang tidak diinginkan. Produk ini didesain untuk bekerja dengan cara berpenetrasi ke dalam kulit dan mengganggu produksi pigmen oleh sel kulit. Di beberapa negara produk ini digolongkan sebagai obat dan bukan sebagai kosmetik yang digunakan dengan bebas. Sedangkan di negara Asia seperti di Jepang, kosmetik yang berfungsi sebagai pemutih atau pencerah kulit masih beredar sebagai kosmetik yang digemari, oleh karena itu bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pemutih atau pencerah banyak diteliti dan dikembangkan. Salah satu bahan pemutih atau pencerah yang terkenal dan telah banyak digunakan adalah hidrokinon (BPOM, 2011). Seiring dengan perkembangan peradaban manusia di zaman modern, hubungan antar manusia semakin dekat dan mudah dilakukan baik hubungan kerja, sosial dan budaya. Oleh karena itu, manusia memerlukan penampilan kulit yang sehat, menarik dan terlihat muda. Gangguan pigmentasi dan penuaan dini yang biasanya menyerang kulit wajah sangat mengganggu penampilan. Dilain pihak perhatian para pakar atau spesialis kulit pada bidang dermatologi kosmetik dan aging sangat besar sehingga banyak dilakukan penelitian dan pengembangan. Sejalan dengan itu pula perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan bermacam kosmetika untuk mengatasi kelainan yang mengganggu penampilan seperti jerawat, gangguan pigmentasi dan penuaan dini diproduksi secara luas. Gangguan pigmentasi pada kulit dapat diklasifikasikan menjadi:(1) hipomelanosis atau leukoderma, seperti pada vitiligo, albinisme; (2) hypermelanosis coklat atau melanoderma yang disebabkan oleh meningkatnya pigmen melanin atau jumlah melanosit di epidermis, seperti pada freckles, melasma atau lentigo dan (3) ceruloderma atau hypermelanosis keabuan atau kebiruan disebabkan oleh

78 12 peningkatan melanin atau jumlah melanosit di dermis, seperti pada Mongolian spot. Warna kulit manusia ditentukan oleh campuran beberapa kromofor yaitu oxyhemoglobin (memberikan warna merah), deoxygenated hemoglobin (biru), carotene suatu pigmen eksogen (kuning-oranye), melanin (coklat). Melanin merupakan komponen utama pada pembentukan warna kulit, baik epidermal pigmentation maupun dermal pigmentation. Spektrum warna kulit manusia berdasar respon terhadap sinar matahari ada 6 tipe yang disebut Skin Phototypes (SPT). Respons kulit terhadap paparan sinar matahari dapat terjadi akut, seperti timbulnya reaksi terbakar dan pigmentasi, maupun kronis yang dapat menyebabkan penuaan dini dan pertumbuhan tumor. Reaksi terbakar biasanya diikuti dengan warna kemerahan sampai coklat atau dikenal dengan Tanning. Pembentukan melanin terjadi di dalam melanosit, suatu sel berdendrit yang terletak pada lapisan basal epidermis. Produk melanin yang dihasilkan akan menentukan warna kulit. Biosintesis melanin terjadi di dalam melanosome, dibawah pengaruh genetik dan dapat dipengaruhi pula oleh stimulus dari luar seperti sinar matahari. Ada dua bentuk melanin yaitu eumelanin yang memberikan warna gelap (hitam-cokelat) dan pheomelanin memberi warna cerah (kuningkemerahan). Keduanya di sintesis dari oksidasi tirosin oleh enzim tirosinase. Tirosin dirubah menjadi DOPA dan DOPA quinon lebih dahulu sebelum menjadi eumelanin atau pheomelanin. Hipermelanosis yang banyak dijumpai dan sangat menonjol di masyarakat adalah melasma karena kelainan ini cukup banyak terjadi dan dapat memberikan penampilan yang kurang baik bagi penderita terutama kaum perempuan. Penderita menjadi kurang percaya diri oleh karena wajahnya dirasa terlihat kusam; seorang wanita yang menderita flek hitam sedikit saja di wajah akan berusaha kemana mana dan mencoba obat apa saja untuk menghilangkannya. Definisi melasma adalah hipermelanosis ireguler berwarna coklat terang sampai coklat gelap pada daerah yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah, terutama di dahi kedua pipi, hidung, diatas bibir, dagu dan kadang kadang leher. Khusus hidrokinon yang banyak digunakan sebagai pemutih kulit, selain dapat menyebabkan hipermelanosis, justru berperan sebagai sumber ROS yang

79 13 dapat merusak sel dan DNA. Maka tidak heran apabila penderita yang diberi obat pemutih kadang dapat terjadi reaksi sebaliknya, kulit menjadi lebih hitam. Namun yang lebih berbahaya adalah dengan penggunaan pemutih untuk mencegah sintesis melanin, fungsi melanin sebagai proteksi hilang dan pada tingkat seluler terjadi kerusakan DNA yang apabila mekanisme perbaikan tak berhasil maka sangat beresiko menghasilkan gen mutan yang pada akhirnya timbul keganasan atau kanker kulit. Sejalan dengan telah diberlakukannya notifikasi kosmetik pada Januari 2011, Badan POM mengeluarkan peraturan terkait pengawasan kosmetik yaitu: Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK tahun 2011 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetika; Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika; Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika (BPOM)

80 BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Selama Tahun 2011 Badan POM telah menerima pengaduan/permintaan informasi mengenai obat dan makanan sejumlah Dibandingkan data tahun sebelumnya (2010), jumlah pengaduan/permintaan informasi ke ULPK Badan POM mengalami kenaikan sebesar 10,48% yaitu dari menjadi Berdasarkan jenis komoditi, dapat dilihat bahwa kelompok pengaduan/permintaan informasi yang paling banyak adalah berkaitan dengan produk pangan sebanyak (51,85%), disusul oleh kosmetik sebanyak (15,69%). Dari penandaan kosmetika yang diawasi ditemukan sebanyak (32,86%) tidak memenuhi ketentuan, yaitu produk tidak mencantumkan nama kosmetika sesuai dengan yang disetujui, nomor bets, netto, nama dan alamat produsen/importir/distributor/pemberi lisensi, komposisi, kegunaan dan cara penggunaan yang jelas, peringatan/perhatian, batas kadaluarsa untuk kosmetika ternotifikasi, nomor izin edar tidak sesuai dengan persetujuan; mencantumkan klaim seolah-olah sebagai obat/berlebihan dan nomor izin edar telah habis masa berlakunya (BPOM, 2012). Menurut Media Konsumen (2006), belakangan ini jenis kosmetik yang banyak digunakan oleh wanita Indonesia adalah produk bleaching cream yang dikenal sebagai kosmetik pemutih. Produk ini banyak diminati karena menjanjikan dapat memutihkan atau menghaluskan wajah secara singkat. Hasil sampling dan pengujian kosmetik tahun 2005 terhadap sampel kosmetik menunjukkan, terdapat 124 sampel (1,24%) tidak memenuhi syarat, diantaranya produk ilegal atau tidak terdaftar, mengandung bahan-bahan dilarang terutama hidroquinon, merkuri, asam retinoat dan rhodamin B yang digunakan untuk memutihkan kulit wajah. Selanjutnya, berdasarkan hasil pengawasan BPOM RI pada tahun 2005 dan 2006 di beberapa provinsi ditemukan 27 merek kosmetik pemutih yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kosmetik yaitu: merkuri (Hg), hidroquinon >2%, zat warna rhodamin B dan merah K.3 (Deviana, 2009). Khususnya mengenai produk pemutih, berbagai penelitian menunjukkan 14

81 15 bahwa 55% dari 85% wanita Indonesia yang berkulit gelap ingin agar kulitnya menjadi lebih putih. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 70%-80% perempuan di Asia (yaitu: Cina, Thailand, Taiwan, dan Indonesia) ingin mempunyai kulit yang lebih putih. Pada suatu laporannya, Kompas (2001) menyajikan suatu artikel mengenai produk kosmetik pemutih wajah. Kompas menuliskan dalam laporannya bahwa kulit putih merupakan dambaan bagi banyak perempuan Asia. Walaupun tidak semua perempuan Asia berkulit sawo matang (Nandityasari, 2009). Penelitian lain yang dilakukan di salah satu pusat kebugaran kota Medan menunjukkan sebanyak 46,31% responden ternyata menggunakan kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya yaitu merkuri. Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan pada 15 orang mahasiswa Universitas Wangsa Manggala, pada bulan Oktober 2006 mengenai pengambilan keputusan membeli produk kosmetika pemutih, menyatakan bahwa mahasiswa cenderung percaya pada produk yang telah dipakai oleh temannya. Mahasiswa cenderung membeli produk yang memiliki kemampuan membuat kulit lebih bersih dan putih dalam waktu yang relatif cepat. Jarang meneliti tanggal kadaluarsa, komposisi bahan kosmetika, dan efek samping produk kosmetika pemutih kulit yang akan dibelinya (Yuniarsih dan Sahrah, 2010). Peran masyarakat sebagai pengguna produk sangatlah besar. Masyarakat adalah penentu akhir apakah suatu produk akan dikonsumsinya atau tidak. Pengawasan oleh masyarakat merupakan salah satu pilar dari 3 pilar pengawasan. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat juga sangat diprioritaskan oleh Badan POM. Masyarakat yang cerdas akan mampu melindungi dirinya sendiri dan memilih produk yang memenuhi syarat dan sesuai dengan kebutuhannya. Di samping itu, pemberdayaan masyarakat/konsumen terus dilakukan melalui berbagai cara, seperti membuka akses langsung melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) dan Pusat Informasi Obat dan Makanan (PIOM), mengeluarkan Peringatan Publik, penyuluhan langsung ke berbagai lapisan masyarakat, serta berbagai tulisan di media cetak (BPOM).

82 16 Selain itu, informasi yang dimiliki konsumen akan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan membeli produk kosmetik pemutih. Informasi yang dimiliki konsumen merupakan salah satu faktor yang melindungi konsumen saat mengambil keputusan untuk membeli agar tidak merugikan (Engel, 1995). Menurut Loundon (1993), informasi diartikan sebagai atimulus yang memberi pengetahuan dan pemahaman berdasarkan suatu fenomena yang diamati. Informasi mengandung pengetahuan tambahan yang disampaikan dari sebuah pesan sebagai stimulus yang akan mempengaruhi konsep berpikir (kognitif) seseorang dan memberi arah pada individu dalam mengambil keputusan. Hal ini berlaku juga pada informasi yang diberikan berupa informasi tentnag hak-hak konsumen sebagaimana diamanahkan oleh UU No. 8 Tahun Media komunikasi adalah sebagai alat yang dipakai untuk melakukan komunikasi (Soekartawi, 2005). Ada berbagai macam bentuk media komunikasi yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi, Salah satunya ialah media cetak dalam bentuk gimmick. Komunikasi dengan media gimmick pada tulisan ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat mengingat tentang penggunaan kosmetik yang tepat dan aman, terutama kosmetik pemutih karena didesain dalam bentuk yang menarik. Pemberdayaan masyarakat melalui media gimmick ini akan diberikan kepada wanita berusia produktif yaitu sekitar tahun karena pengguna kosmetik pemutih banyak diminati oleh mereka. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Miho Saitoh dari Universitas Waseda Jepang yang menggunakan responden mahasiswi menunjukkan kebanyakan responden ingin memiliki kulit yang lebih putih. Ada beberapa alasan mengapa perempuan Asia dan khususnya Indonesia ingin mempunyai kulit putih, anggapan kulit putih lebih baik dari kulit yang gelap, dan anggapan kulit yang cantik adalah kulit yang putih. Hal ini semakin dipertegas dengan digunakannya para model dalam iklan-iklan kecantikan dimana model tersebut umumnya adalah perempuan yang berkulit putih. Kulit putih telah menjadi citra kecantikan yang disebarkan oleh industri kosmetik (Nandit yasari, 2009). Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan di Jepang bahwa 60% wanita Jepang dan 75% perempuan Cina masih menginginkan warna kulit

83 17 yang lebih putih/cerah dari warna kulit aslinya, meskipun mereka telah memiliki kulit yang putih. Menurut Indarti (2002), mengutip Shannon (1997) hasil test yang dilakukan di Amerika menggambarkan bahwa 88% perempuan yang berusia 18 tahun ke atas berusaha mempercantik diri dengan menggunakan kosmetik. Mereka merasa bahwa kosmetik tersebut membuat mereka lebih cantik dan percaya diri (Purnamawati, 2009). Gimmick diberikan dalam bentuk tas kosmetik. Tas kosmetik dipilih dengan alasan kemudahan untuk dibawa kemana saja dan dapat dilihat setiap hari oleh wanita ketika merias wajahnya sehingga mengingatkan wanita secara intensif tentang informasi penggunaan kosmetik pemutih yang tepat dan aman. Gimmick tas kosmetik ini berisi informasi: 1. Cermat dalam memilih dan membeli kosmetik Konsumen lebih rasional dan selektif dalam memilih kosmetik dan tidak mudah terbujuk iklan atau promosi yang berlebihan. Pilihlah kosmetik yang sesuai fungsi, tujuan dan manfaatnya. 2. Cermat dalam menggunakan kosmetik Konsumen memperhatikan dengan baik cara penggunaan produk. Jika konsumen sedang hamil, konsultasikan pemilihan kosmetik yang aman ke dokter kulit. Jika terjadi reaksi pada kulit menyebabkan kemerahan, gatal, melepuh atau nyeri maka hentikan penggunaan. Jangan gunakan kosmetik milik orang lain, yang belum tentu cocok dengan jenis kulit kita. Simpan kosmetik dengan baik. 3. Cermat membaca informasi yang tercantum pada label/kemasan kosmetik Konsumen memperhatikan informasi yang tersedia pada label seperti cara penggunaan, kegunaan, komposisi, dan tanggal kadaluarsa Dianjurkan pula untuk mencari informasi lengkap mengenai produk kosmetika yang digunakan. Periksa produk kosmetik yang ternotifikasi pada website BPOM.

84 BAB 4 KESIMPULAN 1. Pemberdayaan wanita dapat dilakukan melalui berbagai media komunikasi, salah satunya ialah media gimmick dalam bentuk tas kosmetik agar lebih menarik dan mudah diingat. 2. Tujuan pemberdayaan yang dikhususkan bagi para wanita ini ialah untuk mengubah paradigma wanita bahwa cantik itu tidah harus putih sehingga mengurangi penyalahgunaan kosmetik pemutih berbahaya dengan memberikan informasi yang berisi cara memilih dan menggunakan kosmetik yang aman. 18

85 19 DAFTAR ACUAN Darwanto, Herry. (2003). Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Berbasiskan Masyarakat Terpencil. Deviana, Nina. (2009). Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Mengenai Kosmetik Mengandung Merkuri (Hg) di Akademi Kebidanan Hafsyah Medan Tahun Medan : USU. Draelos, Z.D., & Thaman, L.A. (Ed.). (2006). Cosmetic Formulation of Skin Care Products. Vol. 30. New York: Taylor and Francis Group, LLC. Departemen Kesehatan RI. (2004). Panduan Ringkas Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan, Pusat Promkes. Jakarta. Engel, James F, R.D. Blackwell and Paul W. Miniard. (1992). Perilaku Konsumen Edisi Keenam. Jilid 1. Terjemahan oleh F.X. Budiyanto Jakarta: Binarupa Aksara Menteri Kesehatan RI. (2011). Modul Pelatihan Jabatan Fungsional Sanitarian Jenjang Terampil-Pelaksana. Jakarta. Menteri Perindustrian RI. (2013). Indonesia Lahan Subur Industri Kosmetik. Jakarta. Nandityasari, Ika. (2009). Hubungan Antara Ketertarikan Iklan Pond s di Televisi dengan Keputusan Membeli Produk Pond s Pada Mahasiswa. Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Notoatmojo, Soekijo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Paramita, A dan Lestari, W. (2006). Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan di Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan Surabaya. Purnamawati, S.S. (2009). Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih di Kota Medan Tahun Medan : Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU Medan. Sari, Irawira. (2012). Citra Perempuan. Bandung : STIS Telkom.

86 20 Syafnir, L dan Putri, A.P. (2011). Pengujian Kandungan Merkuri dalam Sediaan Kosmetik dengan Spektrofotometri Serapan Atom. Prosiding SNaPP Sains, Teknologi, dan Kesehatan, Tampubolon, M. (2004). Pendidikan Pola Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sesuai Tuntutan Otonomi Daerah. Jurnal Pendidikan, Edisi 32. Tranggono, R.I., & Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Widjajanti, Kesi. (2011). Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volum 12, Yuniarsih, R.A dan Sahrah, A Pengambilan Keputusan Membeli Produk Kosmetika Pemutih Kulit ditinjau dari Citra Produk dan Pemberin Informasi Hak-Hak Konsumen. unikom_f-i.pdf auan%20pustaka.pdf?sequence=5

87 LAMPIRAN

88 Lampiran 1. Gimmick mengenai Kosmetik Pemutih sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat (wanita) Depan Belakang

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DITJEN BINFAR DAN ALKES KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JL. H.R. RASUNA SAID

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BIA PRODUKSI DA DISTRIBUSI KEFARMASIA DIREKTORAT JEDERAL BIA KEFARMASIA DA ALAT KESEHATA KEMETERIA KESEHATA REPUBLIK IDOESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI APOTEK SAFA DI PT. TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA, TBK LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL (RSUPN) Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 50 BOGOR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALANKESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANITA HASAN,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK KIMIA FARMA MENTENG HUIS JALAN CIKINI RAYA NO. 2 JAKARTA PUSAT PERIODE 13 FEBRUARI 22 MARET 2012 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. No.585, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1144/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN IV.1. IV.2. VISI Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu dari penyelenggara pembangunan kesehatan mempunyai visi: Masyarakat Jawa

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Daerah Dalam Rencana Strategis Dinas Kesehatan 2016-2021 tidak ada visi dan misi, namun mengikuti visi dan misi Gubernur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat, bangsa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELANYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK PRAKT K KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DANDISTRIBUSI KEFARMASIANDIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIANDAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bid. Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 2. Staf Ahli Bid. Pembiayaan & Pemberdayaan Masyarakat; 3. Staf Ahli Bid. Perlindungan Faktor Resiko Kesehatan; 4. Staf Ahli Bid Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANATRIA KHOLIYAH,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Anita Karlina, S.Farm.

Lebih terperinci

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan.

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan. KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT dan atas berkat dan karunianya Buku Laporan Tahunan Pelaksanaan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN SALINAN NOMOR 26/2016 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta BAB IX DINAS KESEHATAN Bagian Kesatu Susunan Organisasi Pasal 158 Susunan Organisasi Dinas Kesehatan, terdiri dari: a. Kepala Dinas; b. Sekretaris, membawahkan: 1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; 2. Sub

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan; 2. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 3. Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan; dan 4. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan STAF AHLI STRUKTUR

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORATT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

-2- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN.

-2- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN. GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 103 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN 2.1. Sejarah Organisasi Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 15 TAHUN 2003 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS UNIT DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Jenis ini digunakan dengan pertimbangan bahwa hasil penelitian diharapkan akan mampu memberikan informasi

Lebih terperinci

BAB II PROFIL DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN. Dinas Kesehatan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kota Medan dalam

BAB II PROFIL DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN. Dinas Kesehatan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kota Medan dalam BAB II PROFIL DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN A. Sejarah Singkat Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kota Medan dalam bidang kesehatan yang dipimpin oleh seorang kepala dinas yang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 DENGAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA,

WALIKOTA TASIKMALAYA, WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS UNIT DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang

Lebih terperinci

Kepala Dinas mempunyai tugas :

Kepala Dinas mempunyai tugas : Kepala Dinas mempunyai tugas : a. menyelenggarakan perumusan dan penetapan program kerja Dinas; d. menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis di bidang kesehatan; e. menyelenggarakan urusan pemerintahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/497/2016 TENTANG PANITIA PENYELENGGARA PERINGATAN HARI KESEHATAN NASIONAL KE-52 TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PEMERINTAH. 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional.

PEMERINTAH. 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional. B. PEMBAGIAN URUSAN AN KESEHATAN - 15-1. Upaya 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional. 1. Penyelenggaraan survailans epidemiologi,

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN

RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN 2005 2009 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI [Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp.JP(K)] NOMOR 331/MENKES/SK/V/2006 RENCANA STRATEGI DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN 2005

Lebih terperinci

BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD Berdasarkan visi dan misi pembangunan jangka menengah, maka ditetapkan tujuan dan sasaran pembangunan pada masing-masing

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2009 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Rencana Aksi Kegiatan

Rencana Aksi Kegiatan Rencana Aksi Kegiatan 2015-2019 DUKUNGAN MANAJEMEN DAN PELAKSANAAN TUGAS TEKNIS LAINNYA PADA PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

B. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN

B. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN - 12 - B. PEMBAGIAN URUSAN AN KESEHATAN 1. Upaya 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional. 2. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK SURAT PENGESAHAN NOMOR SP DIPA--0/AG/2014 DS 7003-9134-1092-0094 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 23 Tahun

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN DAN KEBIJAKAN

BAB III TUJUAN, SASARAN DAN KEBIJAKAN BAB III TUJUAN, SASARAN DAN KEBIJAKAN 3.1. TUJUAN UMUM Meningkatkan pemerataan, aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat terutama kepada masyarakat miskin dengan mendayagunakan seluruh

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 17 /PER/M.KOMINFO/10/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci