UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 21 JANUARI 4 FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER EDI KURNIAWAN, S. Farm. ( ) ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013

2 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 21JANUARI 4FEBRUARI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker EDI KURNIAWAN, S. Farm. ( ) ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013 ii

3 HALAMAN PENGESAHAN Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini diajukan oleh : Nama : Edi Kurniawan, S. Farm NPM : Program Studi : Apoteker Fakultas Farmasi Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 21 Januari 4 Februari 2013 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Desko Irianto, SH., MM. ( ) Pembimbing II : Pharm, Dr. Joshita Djajadisastra, MS, PhD. ( ) Penguji I :... Penguji II :... Penguji III :... Ditetapkan di : Depok Tanggal : iii

4 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada periode 21 Januari 4 Februari Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Apoteker, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan. Dalam ruang yang terbatas ini dan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada: 1. Desko Irianto, S. H., MM. selaku Kasubbag Tata Usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan Pembimbing atas bantuan, bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Pharm., Dr. Joshita Djajadisastra, Ms,PhD., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan laporan ini. 3. Dra. Maura Linda Sitanggang, PhD., Apt. selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengenal Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 4. Dra. Dettie Yuliati, Apt., M. Si. selaku Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian atas bantuan, bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengenal direktorat ini. 5. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 6. Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi. 7. Dr. Zorni Fadia selaku Kepala Subdirektorat Standardisasi, Dra. Dara Amelia, MM., Apt. selaku Kepala Subdirektorat Farmasi Komunitas, Drs. Bon Sirait, Apt., M. Sc. PH. selaku Kepala Subdirektorat Farmasi Klinik, Ibu Dra. Hidayati Mas ud, Apt selaku Kepala Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional, beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis. iv

5 8. Seluruh staf dan karyawan Kementrian Kesehatan Republlik Indonesia atas segala keramahan, pengarahan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan PKPA. 9. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 10. Orang tua, saudara dan seluruh keluarga atas segala kasih sayang, dukungan, kesabaran, perhatian, semangat, dorongan dan doa yang tiada henti-hentinya. 11. Teman-teman Apoteker Angkatan 76 atas semangat, dukungan dan kerjasama sselama ini. 12. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penyusunan laporan ini. Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan pihak yang telah membantu penulis selama ini. Penulis menyadari penyusunan laporan PKPA ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk laporan ini. Semoga laporan PKPA ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia farmasi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Penulis 2013 v

6 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2. TINJAUAN UMUM Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian BAB 3. TINJAUAN KHUSUS Tugas dan Fungsi Struktur Organisasi Kegiatan BAB 4. PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN BAB 5. PEMBAHASAN Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Standardisasi Persiapan Dalam Implementasi SJSN BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR REFERENSI vi

7 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.Struktur Organisasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.. 37 Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian vii

8 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak dasar setiap individu dan setiap individu dan salah satu unsur kesejahteraan yang dapat diwujudkan melalui upaya kesehatan. Pembangunan kesehatan nasional pada hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya kesehatan diselenggarakan melalui peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (Presiden Republik Indonesia, 2009b). Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif akan berkaitan dengan obat-obatan. Oleh karena itu salah satu upaya dalam bidang pelayanan kesehatan adalah peningkatan mutu pelayanan obat melalui peningkatan ketepatan, rasionalisasi, efisiensi penggunaan dan informasi obat. Peran apoteker harus secara maksimal dapat dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, Kementerian Kesehatan RI sebagai regulator memiliki Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat ini bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan, standarisasi teknis dan regulasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan yang mendorong peningkatan peran apoteker dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan kefarmasian yang pada awalnya berorientasi ke obat (drug oriented) berubah menjadi orientasi kepada pasien (patient oriented) sesuai dengan tujuan dari Pharmaceutical Care, yaitu tanggung jawab profesi apoteker dalam mengoptimalkan terapi obat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Presiden Republik Indonesia, 2009a). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang komprehensif menuntut apoteker dan calon apoteker untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku viii

9 2 agar dapat berinteraksi aktif dengan pasien secara langsung. Bentuk interaksi yang dapat dilakukan antara lain melaksanakan pemberian informasi, konseling dan monitoring penggunaan obat. Tercapainya terapi obat yang optimal maka apoteker harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk menyadari dan mengawasi kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan serta mampu berkomunikasi dengan pasien dan tenaga kesehatan lain dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Program Profesi Apoteker menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Tujuan diselenggarakan PKPA ini agar para calon apoteker dapat mengetahui dan memahami peran, tugas, dan fungsi dari Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Selain itu, diharapkan mahasiswa apoteker mengetahui, mempelajari, dan memahami kebijakankebijakan, penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur, dan bimbingan teknis serta evaluasi di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. 1.2 Tujuan Tujuan dilaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sebagai berikut : a. Memahami ruang lingkup kerja, tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. b. Memahami program kerja yang sedang dijalankan oleh masing-masing subdirektorat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, yakni : 1) memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Farmasi Komunitas 2) memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Farmasi Klinik 3) memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) c. Memahami kerjasama subdirektorat dalam Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dalam rangka persiapan implementasi SJSN

10 2 BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) merupakan badan pelaksana pemerintah di bidang kesehatan, dipimpin oleh Menteri Kesehatan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden (Menteri Kesehatan RI, 2010). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, nama Kementerian Kesehatan digunakan untuk mengganti nama sebelumnya yaitu Departemen Kesehatan. Tugas Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden (Menteri Kesehatan RI, 2010) Dasar Hukum a. Peraturan Presiden RI No. 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan organisasi kementerian negara b. Peraturan Presiden RI No. 24 tahun 2010 tentang kedudukan, tugas dan fungsi kementerian negara serta susunan organisasi, tugas dan fungsi eselon I kementerian negara c. Peraturan Menteri Kesehatan RI no.1144/menkes/per/viii/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan Visi dan Misi Kemenkes RI periode memiliki visi Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan (Menteri Kesehatan RI, 2011a). Untuk mencapai visinya maka Kementerian Kesehatan menetapkan misi sebagai berikut (Menteri Kesehatan RI, 2011a) :

11 4 a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik Tujuan Tujuan Kementerian Kesehatan adalah Terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Menteri Kesehatan RI, 2011a) Nilai-Nilai Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah dirumuskan maka nilai-nilai yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut (Menteri Kesehatan RI, 2011a) : a. Prorakyat Kementerian kesehatan selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Hal tersebut dimaksudkan agar tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. b. Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Oleh sebab itu, seluruh komponen masyarakat (meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat, pengusaha, masyarakat madani, dan masyarakat bawah) harus ikut berpartisipasi secara aktif. c. Responsif Program kesehatan yang dirancang Kementerian Kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat. Kementerian Kesehatan harus tanggap

12 5 dalam mengatasi permasalahan di daerah, disesuaikan dengan situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor tersebut menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda sehingga penanganan yang diberikan dapat berbeda pula. d. Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan, dan bersifat efisien. e. Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan memiliki susunan organisasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Struktur organisasi Kementerian Kesehatan terdiri atas (Menteri Kesehatan RI, 2010) : a. Sekretariat Jenderal. b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. f. Inspektorat Jenderal. g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi. j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat. k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi. m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi. o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan.

13 6 q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r. Pusat Komunikasi Publik. s. Pusat Promosi Kesehatan. t. Pusat Inteligensia Kesehatan. u. Pusat Kesehatan Haji. Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran Fungsi Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut (Menteri Kesehatan RI, 2010): a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan. b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan. d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah. e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional Strategi Untuk mewujudkan visi Kementerian Kesehatan periode tahun dan sesuai dengan misi yang telah ditetapkan maka pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut (Menteri Kesehatan RI, 2011a): a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta, dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global. b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan, serta berbasis bukti dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. c. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu.

14 7 e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan. f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna, dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab. 2.2 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tugas Pokok dan Fungsi Tugas pokok Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan Standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2010). Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melaksanakan tugas dan menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) : a. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. b. Pelaksanaan kebijakan bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Sasaran Kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian memiliki Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sasaran hasil program yang tersusun dalam RENSTRA Kementerian Kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi:

15 8 a. Peningkatan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Luaran: Meningkatnya ketersediaan Obat Esensial Generik di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. - Persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 80%. - Persentase instalasi farmasi Kab/Kota sesuai standar sebesar 80%. b. Peningkatan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Luaran: Meningkatnya mutu dan keamanan alat kesehatan dan Peralatan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT). Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang beredar memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat sebesar 95%. - Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi persyaratan cara produksi yang baik sebesar 60%. - Persentase sarana distribusi alat kesehatan yang memenuhi persyaratan distribusi sebesar 70%. c. Peningkatan Pelayanan Kefarmasian Luaran: Meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasiaan sesuai standar sebesar 45%. - Persentase Puskesmas Perawatan yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 15%. - Persentase penggunanaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan dasar pemerintah sebesar 60%. d. Peningkatan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Luaran:

16 9 - Meningkatnya produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian. - Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian. - Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri sebanyak 45 jenis. - Jumlah standar produk kefarmasian yang disusun dalam rangka pembinaan produksi dan distribusi sebanyak 10 standar Struktur Organisasi Ditjen Binfar dan Alkes dipimpin oleh Direktur Jenderalyang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2010). Struktur Ditjen Binfar dan Alkes terdiri atas (Menteri Kesehatan RI, 2010): a. Sekretariat Direktorat Jenderal b. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan c. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian d. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan e. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Bagan struktur organisasi dapat dilihat di Lampiran Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tugas Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki tugas untuk melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Ditjen Binfar dan Alkes (Menteri Kesehatan RI, 2010) Fungsi Fungsi Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes terdiri dari (Menteri Kesehatan RI, 2010): a. Koordinasi dan penyusunan rencana, program dan anggaran.

17 10 b. Pengelolaan data dan informasi. c. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional dan hubungan masyarakat. d. Pengelolaan urusan keuangan. e. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan gaji, rumah tangga dan perlengkapan. f. Evaluasi dan penyusunan laporan Struktur Organisasi Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes terdiri atas (Menteri Kesehatan RI, 2010): a. Bagian Program dan Informasi. b. Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat c. Bagian Keuangan d. Bagian Kepegawaian dan Umum e. Kelompok Jabatan Fungsional. 2.4 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Tugas Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK), serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2010) Fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.

18 11 c. Penyiapan penyusunan NSPK di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan,serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan, dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan, dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas (Menteri Kesehatan RI, 2010): a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat. b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional. 2.5 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Tugas Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian (Menteri Kesehatan RI, 2010).

19 Fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan penyusunan NSPK di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. d. Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri atas (Menteri Kesehatan RI 2010): a. Subdirektorat Standardisasi b. Subdirektorat Farmasi Komunitas c. Subdirektorat Farmasi Klinik d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional e. Subbagian Tata Usaha f. Kelompok Jabatan Fungsional. Bagan struktur organisasi dapat dilihat di Lampiran Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Tugas Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan serta perbekalan kesehatan rumah tangga (Menteri Kesehatan RI, 2010).

20 Fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. c. Penyusunan NSPK di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat Struktur Organisasi (Menteri Kesehatan RI, 2010) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri atas : a. Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan b. Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik In Vitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga c. Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga d. Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi e. Subbagian Tata Usaha f. Kelompok Jabatan Fungsional. 2.7 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tugas Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan

21 14 NSPK, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Menteri Kesehatan RI, 2010) Fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan NSPK di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat Struktur Organisasi (Menteri Kesehatan RI, 2010) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri atas: a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. b. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan. c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. d. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional.

22 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah direktorat baru yang berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat ini adalah gabungan dari Direktorat Farmasi Klinik dan Direktorat Penggunaan Obat Rasional. Adapun Dasar hukum perubahan struktur organisasi tersebut ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 (Menteri Kesehatan RI, 2010; Menteri Kesehatan RI, 2005). Dalam peraturan tersebut diatur fungsi dan tugas Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. 3.1 Tugas dan Fungsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 568, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 568, Direktorat Pelayanan Kefarmasian menyelengarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan penyusunan NSPK di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas,farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. 15

23 16 e. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 3.2 Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri atas: a. Subdirektorat Standardisasi b. Subdirektorat Farmasi Komunitas c. Subdirektorat Farmasi Klinik d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional e. Subbagian Tata Usaha f. Kelompok Jabatan Fungsional Tiap subdirektorat dan subbagian dipimpin oleh seorang kepala subdirektorat dan Kepala Subbagian untuk bagian Tata Usaha. Setiap subdirektorat memiliki dua seksi, seperti Subdirektorat Standardisasi yang memiliki Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian dan Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional. Kemudian, Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas. Subdirektorat Farmasi Klinik memiliki seksi Pelayanan Farmasi Klinik dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik. Serta yang terakhir Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional yang terdiri atas Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Selanjutnya, tiap subdirektorat tersebut membawahi empat staf untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

24 Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Standardisasi menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010): a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. b. Penyiapan bahan penyusunan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian dan pedoman di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan bahan evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Subdirektorat Standardisasi terdiri atas: a. Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian. b. Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan NSPK di bidang penggunaan obat rasional Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat Farmasi Komunitas mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Dalam melaksanakan tugas tersebut Subdirektorat Farmasi Komunitas menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi komunitas.

25 18 b. Penyiapan bahan penyusunan NSPK dan pedoman di bidang farmasi komunitas. c. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi komunitas. d. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas: a. Seksi pelayanan Farmasi Komunitas Seksi pelayanan Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang farmasi komunitas. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam melaksanakan tugas tersebut Subdirektorat Farmasi Klinik menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010): a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi klinik. b. Penyiapan bahan penyusunan NSPK dan pedoman di bidang farmasi klinik. c. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi klinik. d. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas: a. Seksi Pelayanan Farmasi Klinik

26 19 Seksi pelayanan Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang farmasi klinik. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi klinik Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010): a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penggunaan obat rasional. b. Penyiapan bahan bimbingan teknis promosi dan pemberdayaan masyarakat di bidang penggunaan obat rasional. c. Penyiapan bahan pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional terdiri atas: a. Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang penggunaan obat rasional. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional.

27 Kegiatan Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi memiliki kegiatan sebagai berikut : a. Penyusunan daftar obat esensial nasional (DOEN) b. Penyusunan formularium nasional 2013 c. Review data obat berdasarkan bukti ilmiah d. Pencetakan buku pedoman dan standar e. Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah barat f. Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah tengah g. Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah timur Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat Farmasi Komunitas memiliki kegiatan sebagai berikut : a. Penyusunan konsep peraturan perizinan toko obat b. Koordinasi lintas sektor dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian c. Updating software PIO d. Advokasi pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS kepada mahasiswa program profesi apoteker e. Revisi pedoman pelayanan informasi obat (PIO) f. Revisi modul TOT pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS g. Pembuatan audiovisual tentang pelayanan kefarmasian di komunitas h. Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS perawatan wilayah timur i. Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS perawatan wilayah tengah j. Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS perawatan wilayah barat Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik memiliki kegiatan sebagai berikut : a. Penyusunan pedoman evaluasi penggunaan obat b. Pencetakan buku standar pelayanan kefarmasian di RS

28 21 c. Penyusunan pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi HIV AIDS d. Sosialisasi standar dan pedoman pelayanan kefarmasian e. Peningkatan kemampuan SDM Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional I - Jawa Timur f. Peningkatan kemampuan SDM IFRS dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional II - Jawa Timur g. Peningkatan kemampuan SDM IFRS dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional III - Jawa Timur h. Peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian apoteker dalam menghadapi Universal Coverage untuk meningkatkan Patient Safety -Jakarta i. Peningkatan kapasitas SDM Instalasi Farmasi Rumah Sakit dalam rangka menghadapi akreditasi Rumah Sakit versi 2012 j. Joint training tenaga kesehatan (dokter/apoteker/perawat) k. Sosialisasi sistem pelaporan pelayanan kefarmasian secara elektronik l. Health technology assesment (HTA) terkait kajian aplikasi Indonesian Case Base Groups (INA CBGs) Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) memiliki kegiatan sebagai berikut : a. Penggerakan POR di provinsi Papua b. Evaluasi implementasi penggerakan POR di 12 provinsi c. Penggerakan POR di provinsi Bengkulu d. Peningkatan kapasitas teknik tenaga kesehatan (KAPTEK NAKES) di PUSKESMAS melalui implementasi modul pelaksanaan penggunaan obat rasional (PPOR) dan sistem pelaporan e-yanfar di Puskesmas. e. Sosialisasi modul POR di Puskesmas (Jambi) f. Sosialisasi modul POR di Puskesmas (Kalimantan Selatan) g. Evaluasi penggerakan POR di provinsi Kep. Riau h. Evaluasi penggerakan POR di provinsi Sulawesi Barat i. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan POR di provinsi Lampung

29 22 j. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan POR di provinsi Bali k. Rapat koordinasi lintas sektor dalam rangka pemantapan program pemberdayaan masyarakat l. Penyebaran informasi POR dan obat generik (OG) m. Sosialisasi modul POR dan sistem pelaporan e-yanfar di Puskesmas (Sulawesi Selatan) n. Workshop penggunaan antibiotik yang tepat bagi tenaga kesehatan di Kalimantan Tengah

30 23 BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) UI angkatan LXXVI di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dilaksanakan pada tanggal 21 Januari hingga 04 Februari Hari pertama kegiatan PKPA dimulai pada pukul WIB diawali dengan acara perkenalan antara pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan pihak program profesi apoteker UI. Acara perkenalan ini dilaksanakan di ruang 805 yaitu ruang rapat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan diwakili oleh Bapak Kamit Waluyo, SH. selaku perwakilan dari sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Pada acara perkenalan ini para peserta PKPA diberikan pengantar umum dan pengarahan yang berkaitan dengan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Peserta PKPA diberikan pembekalan berupa penjelasan mengenai visi, misi, kedudukan, tugas, fungsi, dan struktur organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI oleh Bapak Kamit Waluyo, SH. Selaku Kepala Subbagian Kepegawaian. Pembekalan ini dilakukan agar para peserta PKPA dapat menjalankan tugas selama berlangsungnya kegiatan PKPA di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan baik. Pada pelaksanaan PKPA ini, peserta dibagi menjadi empat kelompok yang masing-masing terdiri dari 6-7 orang, dan dibagi ke dalam empat direktorat di bawah koordinasi Ditjen Binfar Alkes. Kelompok peserta PKPA yang ditempatkan di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dibimbing oleh Bapak Desko Irianto SH., MM. selaku Kasubbag Tata Usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pada hari pertama pelaksanan PKPA, peserta belum berkenalan dengan Direktur, Kepala Subdirektorat dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha karena sedang tidak ada di tempat (tugas dinas). Para peserta hanya diperkenalkan

31 24 dengan sebagian staf Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pada hari kelima peserta PKPA mendapatkan pengarahan dari Ibu Fachriah selaku Kepala Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas dari subdirektorat Farmasi Komunitas yang menjadi salah satu subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Ibu Fachriah memberikan penjelasan umum singkat mengenai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan memberikan pemaparan panjang mengenai hal-hal yang dilakukan pada bagian pekerjaannya yakni di subdirektorat Farmasi Komunitas. Kegiatan PKPA dilanjutkan dengan pemberian materi oleh subdirektorat lainnya yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Materi subdirektorat Penggunaan Obat Rasional diberikan oleh Ibu Erie Gusnellyanti, S.Si., Apt. selaku Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Materi subdirektorat Farmasi Klinik diberikan oleh Bapak Candra Lesmana, S.Farm. Selanjutnya, peserta PKPA mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Dua orang peserta PKPA mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat Farmasi Komunitas berupa analisa perbandingan good pharmacy practice (GPP) di India dan Afrika Selatan dengan GPP Indonesia. Dua orang peserta PKPA lainnya mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat Farmasi Klinik berupa daftar obat-obat yang diperlukan di ruang ICU (Intensive Care Unit) dan Drug Related Problems (DRP) yang terjadi di ruang ICU. Sisa peserta PKPA lainnya mendapat tugas khusus dari subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) berupa pemantauan dan evaluasi POR di fasilitas pelayanan kesehatan, pengendalian biaya obat melalui penggunaan obat rasional, dan seleksi obat yang cost-effective untuk mendukung SJSN. Kegiatan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian berlangsung selama dua pekan. Dalam pekan pertama, peserta PKPA diberikan kesempatan untuk menyelesaikan laporan umum kegiatan PKPA. Peserta PKPA mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang dilakukan di setiap subdirektorat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Penyusunan laporan umum dilakukan melalui observasi dan diskusi dengan pembimbing pembimbing beberapa subdirektorat dari pemaparan materi yang diberikan. Selain itu, penyusunan juga dilakukan dengan menelusuri beberapa literatur yang disarankan pembimbing seperti

32 25 Permenkes No.1144 Tahun Pada pekan kedua, peserta PKPA diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan pembimbing dalam penyelesaian tugas khusus yang diberikan oleh subdirektorat. Penyusunan laporan khusus dilakukan dengan mendalami literatur yang ditelusuri secara individual disertai diskusi intensif antar individu dengan pembimbing masing-masing. Pada pertemuan akhir PKPA, peserta mempresentasikan hasil dari tugas yang telah dikerjakan.

33 26

34 BAB 5 PEMBAHASAN Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian merupakan gabungan dari Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dengan Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional yang dibentuk sesuai Permenkes No tahun Jam kerja operasional direktorat ini pada hari senin hingga kamis dimulai pukul WIB sedangkan hari jumat dimulai pada pukul Direktorat ini terdiri dari 38 orang personil (14 struktural dan 24 staf). Jabatan struktural terdiri dari seorang Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, seorang Kepala Subbagian Tata Usaha, empat orang Kepala Subdirektorat dan dua kepala seksi yang masing-masing berada di bawah Kepala Subdirektorat. Staf yang berada di bawah Kepala Subbagian Tata Usaha sebanyak 5 orang ditambah 4 orang staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Farmasi Klinik sebanyak 3 orang ditambah 1 staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Standardisasi sebanyak 3 orang ditambah 2 orang staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Farmasi Komunitas sebanyak 4 orang, dan staf yang berada di bawah Subdirektorat POR sebanyak 1 orang ditambah 1 orang staf honorer. Staf-staf yang ada tersebut berasal dari latar belakang pendidikan yang beragam, yakni apoteker, ahli madya farmasi, dokter, sarjana komputer dan hukum Subdirektorat Farmasi Komunitas Salah satu subdirektorat yang berada di bawah Direkorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah bidang farmasi komunitas. Subdirektorat ini mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Salah satu program yang sedang di fokuskan adalah peningkatan peran dan fungsi Apoteker di puskemas. Puskesmas merupakan unit pelayanan teknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang berada di wilayah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional di bidang kesehatan. Peningkatan sumber daya manusia di puskemas memiliki peran yang 26

35 27 sangat penting dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam rangka memelihara kesehatan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan upaya seperti pelatihan-pelatihan bagi tenaga kesehatan di puskesmas. Masalah yang dihadapi oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas dalam menjalankan program ini adalah pada saat ini diketahui bahwa penyebaran apoteker di puskesmas masih belum merata, hanya sekitar 18%. Setelah dilakukan pemantauan, ternyata masalah ini timbul dikarenakan banyaknya apoteker yang tidak bekerja sesuai bidang profesi pendidikannya dan beralih bekerja di bidang lain. Kurangnya pengaturan penyebaran kerja apoteker di sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas serta ketidaktahuan peran apoteker di puskesmas juga berkontribusi menimbulkan terjadinya masalah ini. Hal ini memberikan dorongan untuk dilakukannya pemerataan distribusi apoteker di Indonesia agar semua puskesmas di Indonesia memiliki apoteker sehingga pelayanan kefarmasian untuk masyarakat dapat terlaksana dan lebih terjangkau khususnya di sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah. Subdirektorat Farmasi Komunitas pun banyak menjalankan advokasi ke perguruan tinggi mengenai peran dan fungsi apoteker di Puskesmas. Program lain yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas yaitu melakukan advokasi mengenai peran dan fungsi apoteker di apotek. Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah bergeser, semula hanya berorientasi pada pelayanan produk (product oriented) menjadi pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (patient oriented). Advokasi mengenai peran dan fungsi apoteker di apotek bertujuan untuk pemerataan distribusi pelayanan kesehatan dimana apotek sebagai salah satu tempat pelayanan informasi obat kepada masyarakat. Dalam hal ini berlaku bahwa tidak ada pelayanan bila tidak ada apoteker. Subdirektorat Farmasi Komunitas juga membuat Software PIO (Pelayanan Informasi Obat) yang diupdate setiap dua tahun sekali. Software PIO dalam bentuk compact disc dan online melalui website ini dikembangkan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian yang lebih baik menuju pelayanan kesehatan yang paripurna. Pelayanan informasi obat adalah salah satu bentuk pekerjaan kefarmasian yang diberikan kepada konsumen selaku pengguna obat

36 28 berdasarkan kepada konsep pharmaceutical care. Software PIO ini juga melengkapi buku-buku, leaflet, poster, standar dan pedoman pelayanan kefarmasian yang sudah ada Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Klinik serta Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik. Salah satu tujuan dari Subdirektorat Farmasi Klinik adalah meningkatkan peran dan fungsi apoteker di instalasi farmasi rumah sakit dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian. Subdirektorat Farmasi Klinik melakukan upaya peningkatan pelayanan farmasi klinik melalui program seperti advokasi kepada manajemen rumah sakit, training atau pelatihan untuk apoteker dan tenaga kefarmasian tentang pelayanan farmasi klinik, penyusunan NSPK, dan program lain yang dapat meningkatkan kompetensi tenaga kefarmasian. Salah satu program yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Klinik adalah penyusunan pedoman pelayanan kefarmasian di ruang ICU. Pelayanan Farmasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan lain di rumah sakit, oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengarahkan kesatuan pandang para apoteker menuju terwujudnya peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan guna mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pasien yang di rawat diruang perawatan intensif rentan terhadap permasalahan yang terkait dengan terapi obat karena umumnya polifarmasi. Polifarmasi dapat meningkatkan resiko terjadinya interaksi obat sehingga menimbulkan masalah baru bagi pasien. Peranan apoteker pada pasien perawatan intensif masih terbatas. Oleh karena itu perlu diidentifikasi terlebih dahulu frekuensi dan jenis masalah terkait obat, serta intervensi apoteker untuk menurunkan jumlah masalah terkait dengan obat yang bermanfaat meminimalkan resiko yang timbul oleh terapi obat. Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien

37 29 untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep, pengeluaran dan memberikan terapi obat yang optimal harus dibentuk, untuk mengurangi morbiditas terkait obat Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) terdiri dari Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Salah satu program dari subdirektorat ini yaitu membuat kebijakan-kebijakan tentang penggunaan obat rasional di puskesmas dan rumah sakit. Penggunaan obat rasional penting untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya pengobatan, mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga yang terjangkau, mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat membahayakan pasien dan meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan. WHO memperkirakan bahwa lebih dari 50% dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Permasalahan tentang pemberian obat yang berlebihan pada pasien ISPA merupakan masalah umum di Indonesia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah obat yang diberikan cenderung berlebih terutama obat antibiotik dan steroid (Dwiprahasto, 2006). Dalam kenyataannya, masih banyak terdapat praktek penggunaan obat yang tidak rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak disadari oleh para klinisi, misalnya asam mefenamat diresepkan untuk mengatasi demam padahal tersedia parasetamol yang jelas lebih aman. Dalam rangka meningkatkan penggunaan obat rasional agar tercapai pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan penggerakan penggunaan obat rasional. Penggerakan penggunaan obat rasional merupakan kegiatan pembinaan POR yang terarah, sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan dengan menyertakan wilayah atau daerah dan lembaga atau perorangan untuk melaksanakan POR bersamasama dengan mengembangkan pelaksanaannya pada pelayanan kesehatan dasar,

38 30 rujukan, maupun kepada masyarakat. Prioritas pengembangannya yaitu dengan melakukan pembinaan kepada tenaga kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar Pemerintah dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Pemerintah serta dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan melakukan edukasi mengenai POR. Keberhasilan program penggerakan POR sangat bergantung kepada penerapan langkah-langkah program penggerakan POR yang didukung oleh puskesmas dan rumah sakit serta seluruh upaya berbagai pemangku kepentingan terkait (Kementerian Kesehatan, 2012). Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan membina kader-kader disetiap puskesmas di daerah sebagai wujud usaha pendekatan pemerintah kepada masyarakat. Promosi penggunaan obat rasional dilaksanakan secara gencar sebagai antisipasi penanggulangan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap penggunaan obat rasional. Penggunaan obat tidak rasional dapat berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat dan apabila tidak ditanggulangi dapat mempengaruhi generasi yang akan datang. Penggunaan obat rasional (POR) tidak dapat dipisahkan dari Pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas karena tercapainya POR merupakan hasil dari kualitas pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas yang baik Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi menyusun standar dan pedoman sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik dan komunitas sehingga mewujudkan pengobatan yang rasional. Subdirektorat Standardisasi terdiri dari Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian dan Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional. Program kerja Subdirektorat Standardisasi pada tahun 2013 antara lain penyusunan daftar obat esensial nasional (DOEN), penyusunan formularium nasional 2013, review data obat berdasarkan bukti ilmiah, pencetakan buku pedoman dan standar serta advokasi implementasi pedoman dan standar Persiapan Dalam Implementasi SJSN Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Kebutuhan dasar hidup yang layak yang dimaksud oleh UU SJSN adalah

39 31 kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep dasar jamkesnas telah diatur dalam dua UU yaitu UU SJSN nomor 40/2004 dan UU BPJS nomor 24/2011. Program jamkesnas diatur oleh UU SJSN sedangkan UU BPJS mengatur tatalaksana badan penyelenggaranya. Walaupun UU sudah ditetapkan sejak tahun 2004 namun untuk mengimplementasikannya tidak mudah. Pemerintah yang berfungsi sebagai regulator harus menetapkan peraturanperaturan dan standar-standar terkait SJSN. Pemerintah harus mengatur sistem pelayanan kesehatan, mengatur standarisasi kualitas pelayanan kefarmasian, obat, dan alat kesehatan, mengatur tarif pelayanan kesehatan. Untuk itu Dalam rangka menghadapi SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sedang bekerja keras untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang terkait dengan SJSN. Semua subdirektorat yang berada di bawah Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sedang menyusun kebijakan dan program yang nantinya diharapkan dapat digunakan dalam implementasi SJSN. Fokus persiapan implementasi SJSN antara lain fasilitas kesehatan, sistem rujukan dan infrastruktur, pembiayaan, tranformasi kelembagaan dan program, regulasi, kefarmasian dan alat kesehatan, SDM, sosialisasi dan advokasi. Subdirektorat farmasi komunitas misalnya sedang bekerja keras membuat peraturan dimana pada nantinya setiap puskesmas harus memiliki apoteker. Hal ini penting karena pada era SJSN nantinya setiap pasien yang sakit pertama kali akan dirujuk terlebih dahulu ke sistem pelayanan kesehatan dasar yaitu puskesmas. Sehingga kebutuhan tenaga apoteker dalam manajemen pengadaan obat dan pelayanan informasi obat kepada pasien sangat diperlukan. Saat ini tidak semua puskesmas sudah memiliki apoteker. Penyebabnya antara lain kurang meratanya penyebaran apoteker itu sendiri di Indonesia dan juga kurangnya informasi bagi para apoteker untuk bisa bekerja di puskesmas. Bila SJSN sudah diterapkan maka pengobatan segala jenis penyakit akan dijamin oleh BPJS. Akan tetapi pengobatan untuk satu jenis penyakit saja terdapat banyak pilihan. Oleh karena itu BPJS akan menjamin pengobatan yang paling cost

40 32 effective. Namun bila peserta ingin mendapatkan pengobatan yang terbaik dan lebih mahal maka peserta dapat membayar sendiri selisih biaya yang tidak dijamin oleh BPJS. Walaupun pengobatan yang dijamin oleh BPJS adalah yang paling cost effective tapi bukan berarti pengobatan tersebut dibawah standar dan tidak rasional. Untuk menjamin hal tersebut tidak terjadi maka subdirektorat standarisasi dan penggunaan obat rasional harus menjamin bahwa masyarakat memperoleh obat yang aman, bermutu, dan efektif dengan biaya yang terjangkau. Adapun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan penggunaan obat rasional antara lain melalui penetapan DOEN dan formularium nasional yang memuat daftar obat yang akan digunakan dan dijamin oleh BPJS, pedoman penggunaan obat berbasis bukti ilmiah (EBM), monitoring dan evaluasi peresepan dan kepatuhan terhadap formularium nasional, advokasi, sosialisasi dan promosi penggunaan obat generik dan penggunaan antibiotik secara rasional, peningkatan mutu pelayanan kefarmasian melalui pembinaan dan peningkatan kapasitas SDM (apoteker), penerapan farmasi klinik dalam pelayanan yang sesuai standar, pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan obat rasional.

41 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan a. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. b. Program peningkatan peran dan fungsi apoteker di puskesmas dan apotek yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas bertujuan untuk pemerataan distribusi pelayanan kesehatan dimana puskesmas dan apotek sebagai salah satu tempat pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan informasi obat kepada masyarakat. c. Penyusunan pedoman pelayanan kefarmasian di ruang ICU yang merupakan salah satu program Subdirektorat Farmasi Klinik bertujuan bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional melakukan program penggerakan penggunaan obat rasional agar tercapainya pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan. e. Dalam rangka persiapan implementasi SJSN berbagai subdirektorat bekerjasama dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang terkait SJSN yaitu mengatur sistem pelayanan kesehatan, mengatur standarisasi kualitas pelayanan kefarmasian, obat, dan alat kesehatan, mengatur tarif pelayanan kesehatan. 6.2 Saran a. Sebaiknya kegiatan PKPA di Kemenkes RI dilaksanakan dengan waktu yang lebih lama agar peserta mendapat bekal pengetahuan yang lebih mendalam. 33

42 34 b. Sebaiknya penempatan peserta PKPA sesuai dengan peminatan studi yang diambil, misalnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ditempatkan peserta PKPA yang memiliki peminatan di bidang yang sama, seperti peminatan pelayanan. c. Sosialisasi program pemerintah mengenai pelayanan informasi obat lebih ditingkatkan agar masyarakat bisa memperoleh penjelasan yang akurat mengenai obat dan pengobatan terutama masyarakat di pedalaman. d. Pedoman-pedoman yang telah dibuat sebaiknya didistribusikan ke sarana pelayanan kesehatan dan institusi pendidikan.

43 DAFTAR REFERENSI Menteri Kesehatan RI. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1575/Menkes/PER/XI/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2011a). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2011b). Profile Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2012). Modul Penggerakan Penggunaan Obat Rasional. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Presiden Republik Indonesia. (2009a). Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 nomor 144 tentang pembentukan dan organisasi kementerian negara. Presiden Republik Indonesia. (2009b). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 35

44 LAMPIRAN 35

45 Lampiran 1.StrukturOrganisasiKementrianKesehatanRepublik Indonesia 35

46 37 Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

47 38 Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

48 UNIVERSITAS INDONESIA PELAYANAN KEFARMASIAN DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU) TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER EDI KURNIAWAN, S. Farm ANGKATAN LXXVI FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013

49 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR LAMPIRAN... iv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Intensive Care Unit Ruang Lingkup Pelayanan di ICU Kriteria pasien Alur Pelayanan ICU Indikasi Masuk dan Keluar ICU Pelayanan Kefarmasian di ICU Prinsip Peresepan Obat di Ruang ICU Obat- Obat yang diperlukan di Ruang ICU BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian Metode Pengkajian BAB 4 PEMBAHASAN 16 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN ii

50 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1Alur Pelayanan ICU di RS... 5 iii

51 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Obat-obat kardiovaskular Lampiran 2. Obat-obat saluran pernapasan Lampiran 3. Sedatif, Analgetik, dan Delirum Lampiran 4. Relaksan Otot Lampiran 5. Antikoagulan Lampiran 6. Obat-obat Endokrin Lampiran 7. Obat-obat gastrointestinal Lampiran 8. Antibiotik Lampiran 9. Cairan Elektrolit iv

52 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Peningkatan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) di Rumah Sakit secara terus menerus ditingkatkan sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran. Pengembangan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit juga diarahkan guna meningkatkan mutu dan keselamatan pasien serta efisiensi biaya dan kemudahan akses segenap masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2010b). Ruang Perawatan Intensif (ICU=Intensive Care Unit) adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat darurat. Ruang Perawatan Intensif merupakan instalasi pelayanan khusus di rumah sakit yang menyediakan pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan selama 24 jam. Dalam rangka mewujudkan Ruang Perawatan Intensif yang memenuhi standar pelayanan dan persyaratan mutu, keamanan dan keselamatan perlu didukung oleh bangunan dan prasarana (utilitas) yang memenuhi persyaratan teknis (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Rumah sakit sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan yang mempunyai fungsi rujukan harus dapat memberikan pelayanan ICU yang profesional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien. Pada unit perawatan intensif (ICU), perawatan untuk pasien dilaksanakan dengan melibatkan berbagai tenaga profesional yang terdiri dari multidisiplin ilmu yang bekerja sama dalam tim. Pengembangan tim multi disiplin yang kuat sangat penting dalam meningkatkan keselamatan pasien. Selain itu dukungan sarana, prasarana serat peralatan juga diperlukan dalam rangka meningkatkan pelayanan ICU (Menteri Kesehatan RI, 2010a). Pelayanan Farmasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan lain di rumah sakit, oleh karena itu diperlukan upaya untuk 1

53 2 mengarahkan kesatuan pandang para apoteker menuju terwujudnya peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan guna mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep, pengeluaran dan memberikan terapi obat yang optimal harus dibentuk, untuk mengurangi morbiditas terkait obat Tujuan Tujuan dari tugas khusus ini adalah: a. Mengetahui peran apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian di ICU. b. Mengetahui pelayanan apa saja yang dapat diberikan apoteker di ICU. c. Mengetahui manfaat apoteker dalam memberikan pelayanan di ICU.

54 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Intensive Care Unit Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyakit-penyakit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat, dan staf lain yang berpengalaman dalam mengelola keadaan tersebut (Menteri Kesehatan RI, 2010) Ruang Lingkup Pelayanan ICU (Menteri Kesehatan RI, 2010) Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU adalah sebagai berikut: a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari. b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan pelaksanaan spesifik problema dasar. c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit atau iatrogenik. d. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat tergantung pada alat/mesin dan orang lain Kriteria Pasien Pada dasarnya pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang diharapkan pulih kembali mengingat ICU adalah tempat perawatan yang memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan tenaga. Pasien yang dirawat di ICU adalah (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2011): a. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care. 3

55 4 b. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi. c. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekomposisi fisiologis. Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang dapat memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang dipimpin oleh seorang dokter intensivis sebagai ketua tim. Kegiatan pelayanan pasien di ICU di samping multi disiplin juga antar profesi, yaitu profesi medik, profesi perawat, dan profesi lain. Agar dicapai hasil optimal maka perlu peningkatan mutu SDM secara berkelanjutan, menyeluruh, dan mencakup semua profesi (Menteri Kesehatan RI, 2010). Kebutuhan pelayanan kesehatan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan napas), breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak), dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif (Menteri Kesehatan RI, 2010) Alur Pelayanan ICU (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2011) Pasien yang memerlukan pelayanan ICU dapat berasal dari: a. Pasien dari IGD b. Pasien dari HCU c. Pasien dari kamar operasi atau kamar tindakan lain, seperti kamar bersalin, ruang endoskopi, ruang dialisis, dan sebagainya. d. Pasien dari bangsal (ruang rawat inap)

56 5 Gambar 2.1 Alur Pelayanan ICU di RS (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2011) 2.5. Indikasi Masuk dan Keluar ICU (Menteri Kesehatan RI, 2010) Tujuan dari pelayanan adalah memberikan pelayanan medik tertitrasi dan berkelanjutan serta mencegah fragmentasi pengelolaan. Pasien sakit kritis meliputi: a. Pasien-pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan dokter, perawat, profesi lain yang terkait secara terkoordinasi dan berkelanjutan, serta memerlukan perhatian yang teliti, agar dapat dilakukan pengawasan yang ketat dan terus menerus serta terapi titrasi; b. Pasien-pasien yang dalam bahaya mengalami dekompensasi fisiologis sehingga memerlukan pemantauan ketat dan terus menerus serta dilakukan intervensi segera untuk mencegah timbulnya penyulit yang merugikan. Sebelum pasien dimasukkan ke ICU, pasien dan/atau keluarganya harus mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai dasar pertimbangan mengapa pasien harus mendapatkan perawatan di ICU, serta tindakan kedokteran yang mungkin akan dilakukan selama pasien dirawat di ICU. Penjelasan tersebut diberikan oleh Kepala ICU atau dokter yang bertugas. Atas penjelasan tersebut pasien dan/atau keluarganya dapat menerima/menyatakan persetujuan untuk

57 6 dirawat di ICU. Persetujuan dinyatakan dengan menandatangani formulir informed consent. Pada keadaan sarana dan prasarana ICU yang terbatas pada suatu rumah sakit diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas apabila kebutuhan atau permintaan akan pelayanan ICU lebih tinggi daripada kemampuan pelayanan yang dapat diberikan. Kepala ICU akan bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU. Bila kebutuhan masuk ICU melebihi tempat tidur yang tersedia, kepala ICU menentukan berdasarkan prioritas medik, pasien mana yang akan dirawat di ICU. Prosedur untuk melaksanakan kebijakan ini harus dijelaskan secara rinci untuk tiap ICU. a. Kriteria masuk ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Dalam keadaan kebutuhan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk ke ICU. 1) Pasien prioritas 1 (satu) Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/bantuan ventilasi dan alat bantu suportif organ sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif kontinyu, obat anti aritmia kontinyu, pengobatan kontinyu tertitrasi, dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain, pasca bedah kardiotoksik, pasien sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektroit yang mengancam nyawa. Institusi setempat dapat membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Terapi pada pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak mempunyai batas. 2) Pasien prioritas 2 (dua) Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Contoh

58 7 pasien seperti ini antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung paru, gagal ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan major. Terapi pada pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya senantiasa berubah. 3) Pasien prioritas 3 (tiga) Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai penyakit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru. 4) Pengecualian Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU, indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas ICU yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1,2,3 (satu, dua, tiga). Pasien yang tergolong demikian antara lain : Pasien yang memenuh kriteria masuk tetapi menolak terapi penunjangan hidup yang agresif dan hanya demi perawatan yang aman saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah DNR (Do Not Resuscitate). Sebenarnya pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya. Pasien dalam keadan vegetatif permanen Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak. Pasien-pasien seperti itu dapat dimasukan ke ICU untuk menunjang fungsi organ hanya untuk kepentingan donor organ.

59 8 b. Kriteria Keluar Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis oleh kepala ICU dan tim yang merawat pasien Pelayanan Kefarmasian di Ruang ICU Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep, pengeluaran dan memberikan terapi obat yang optimal harus dibentuk, untuk mengurangi morbiditas terkait obat (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001). Pelayanan primer (essensial) di ruang ICU terdiri dari: a. Distribusi obat dan pengawasan inventori b. Monitoring terapi obat c. Manajemen terapi obat d. Evaluasi penggunaan obat e. Monitoring dan pelaporan reaksi obat yang merugikan f. Pelayanan nutrisi penunjang g. Informasi obat h. Konsultasi farmakokinetik Pelayanan optimal harus dilakukan dan tergantung dari sumber daya dan besarnya institusi tersebut. Adapun hal-hal yang sebaiknya ada: a. Spesialis farmasi yang praktik full time di ICU b. Pendidikan c. Penelitian obat d. Dokumentasi aktivitas klinik Distribusi obat dan pengawasan inventori (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001) Kesesuaian, akurasi, dan penyaluran obat-obatan kepada pasien tepat waktu harus menjadi tanggung jawab farmasis. Preparasi dan distribusi obat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Metode yang dipilih tergantung dari adanya

60 9 pilihan dan kebutuhan dari dokter, farmasis dan staf perawat, dan ketersediaan sumber daya. Hal yang sudah umum dilakukan pada semua metode adalah mengurangi waktu yang dibutuhkan oleh perawat dan staf medis dalam mengumpulkan dan mempersiapkan medikasi dan memaksimalkan keselamatan pasien melalui pembatasan pemilihan obat, jumlah, dan jenis sediaan. Preparasi dan distribusi obat tidak harus selalu dilakukan oleh apoteker. Petugas teknis pun dapat melakukan preparasi dan distribusi obat namun harus berada dibawah pengawasan seorang apoteker. Farmasis, bersama-sama dengan profesi kesehatan lainnya mengembangkan kriteria dalam menentukan produk obat dan jumlah yang akan disimpan dan perbedaan akses terhadap obat tersebut ketika dibutuhkan. Sehingga inventori dapat dikurangi dalam jumlah yang seminimal mungkin dengan mempertimbangkan profil penggunaan obat dan tren terapi. Farmasis harus menetapkan kriteria eksklusi berdasarkan kondisi penyimpanan khusus atau preparasi khusus yang diperlukan, waktu kadaluarsa, atau resiko terhadap pasien dan profesi kesehatan. Obat-obatan dikemas dan diadministrasikan dalam kemasan single unit atau unit dose, obat-obatan harus diserahkan dalam bentuk yang siap untuk digunakan. Pengecekan terhadap keamanan harus dilakukan setiap hari oleh teknisi farmasis untuk memastikan penyimpanan, distribusi, akses, identifikasi, dan integritas produk yang benar. Sistem yang digunakan harus mendukung apoteker dalam menyediakan informasi tentang rute dan metode administrasi yang direkomendasikan, pemilihan cairan, konsentrasi maksimum, dan lain sebagainya. Profil pengobatan pasien harus menjadi perhatian apoteker untuk tiap masing-masing pasien. Apoteker juga harus dapat mengindentifikasi, mencegah, dan mengatasi masalah terkait pengobatan Monitoring Terapi Obat Monitoring terapi obat mencakup pengkajian kesesuaian regimen pengobatan dengan kondisi klinis pasien. Hal ini terdiri dari pemilihan obat, ketepatan dosis, rute pemberian obat, pemilihan waktu pengulangan pemberian obat untuk mendapatkan hasil yang tepat dalam menentukan kadar obat dalam

61 10 serum, pemilihan pengencer dan jumlah volume infus yang dibutuhkan oleh pasien, interaksi obat dengan obat, obat dengan penyakit dan obat dengan nutrisi, efek samping obat yang potensial, pemilihan terapi dengan biaya yang efisien, tingkat kepatuhan pasien dengan regimen pengobatan serta mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan obat (drug related problems) (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001) Manajemen Terapi Obat Menurut keputusan MenKes RI No.1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit bahwa manajemen obat rumah sakit harus dievaluasi secara periodik agar tujuan dapat tercapai yaitu tersedianya obat pada saat dibutuhkan. Evaluasi dalam manajemen obat digunakan untuk melihat gambaran keefisienan suatu sistem manajemen dengan memanfaatkan indikatorindikator yang khas untuk sistem tersebut sehingga dapat dilihat apakah tiap tahap manajemen obat berlangsung dengan selaras, serasi dan seimbang atau tidak (Menteri Kesehatan RI, 2004). Untuk mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah permasalahan terapi obat, farmasis harus memastikan bahwa hal-hal berikut telah dipenuhi (Jones, R. M. and Raylene M. R. 2008): a. Pasien memiliki indikasi yang tepat untuk setiap obat yang mereka minum. b. Terapi obat pasien efektif c. Terapi obat pasien aman d. Pasien dapat patuh pada terapi obat dan aspek lain dalam rencana asuhan mereka. e. Pasien memiliki seluruh terapi obat yang diperlukan untuk mengatasi berbagai indikasi yang tidak ditangani Untuk memenuhi berbagai tanggung jawab dan mencapai tujuan-tujuan terapi (yaitu: terapi obat yang tepat, efektif, aman, nyaman, dan ekonomis), farmasis harus menggunakan suatu proses yang konsisten, sistematis, dan menyeluruh. Proses dimulai dari memprakarsai hubungan dengan pasien. Pada tahap selanjutnya, farmasis mengumpulkan seluruh informasi yang berkaitan untuk mengevaluasi permasalahan kesehatan pasien dan terapi obat secara tepat.

62 11 Informasi yang diperoleh dapat bersifat subjektif maupun objektif. Informasi subjektif adalah gejala-gejala yang dialami atau keluhan utama pasien, kondisi kesehatan umum dan tingkat aktivitas, riwayat atau penyakit yang sedang dialami, riwayat medis masa lampau, dan riwayat sosial. Sedangkan data objektif seperti tanda-tanda vital dan hasil uji laboratorium (Jones, R. M. and Raylene M. R. 2008) Evaluasi Penggunaan Obat Kegiatan evaluasi penggunaan obat di ruang ICU terdiri dari mengumpulkan data, menganalisis data, membuat rekomendasi dan melakukan tindak lanjut. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan tenaga kesehatan lainnya (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001) Monitoring dan Pelaporan Reaksi Obat yang Merugikan (Menteri Kesehatan RI, 2004) Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi. Tujuan monitoring dan pelaporan efek samping obat yaitu: a. Menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang. b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yanng sudah dikenal sekali yang baru saja ditemukan. c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi timbulnya ESO atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO Pelayanan Nutrisi Penunjang Pelayanan gizi klinik dan asuhan gizi merupakan bagian dari pelayanan medis untuk penyembuhan pasien yang diselenggarakan secara terpadu dengan upaya pelayanan gizi promotif, preventif dan rehabilitatif. Tujuannya yaitu tercapainya pelayanan gizi yang optimal sebagai bagian terapi dalam pelayanan holistik kepada pasien sehingga dapat mengurangi morbiditas, mortalitas dan lama rawat yang panjang (Depkes RI,2009).

63 Informasi Obat Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuannya yaitu menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit serat menunjang terapi obat yanng rasional (Menteri Kesehatan RI, 2004) Manajemen Farmakokinetik dan konsultasi Menentukan dosis obat menggunakan prinsip farmakokinetik merupakan fungsi penting dari apoteker ICU. Apoteker mampu menyediakan pelayanan farmakokinetik yang komprehensif. Hal ini berarti sebelum mengambil sampel serum, apoteker dapat berdiskusi mengenai saran yang akan diberikan dengan dokter. Melalui review kondisi pasien sebelumnya (bila ada) dan memperkirakan waktu paruh obat, memperhatikan apakah kondisi pasien dapat mempengaruhi distribusi obat didalam tubuh, dan pada akhirnya memberikan rekomendasi regimen dosis kepada pasien (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001) Ronde Apoteker dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan ronde dengan tim kesehatan ICU setiap hari. Selama kegiatan ronde apoteker dapat memberikan saran dan rekomendasi kepada dokter mengenai terapi obat (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001) Dokumentasi aktivitas klinik Apoteker harus mendokumentsikan akitvitas klinik dan mengidentifikasi aktivitas yang mengarah kepada peningkatan kondisi pasien dan meminimalkan biaya. Informasi diperlukan oleh apoteker untuk membuktikan peranannya dan kebutuhan akan apoteker dalam pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan satusatunya cara yang dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh apoteker

64 13 terhadap kondisi pasien dan dapat memberikan informasi kepada dokter dan perawat (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001) Prinsip peresepan obat di ruang ICU Prinsip dalam peresepan obat di ruang ICU antara lain (Royal Adelaide Hospital, 2012) : a. Obat-obatan harus diresepkan berdasarkan protokol dan pedoman yang berlaku. b. Kondisi kritis pasien dihubungkan dengan farmakokinetik dan farmakodinamik, dengan potensial toksisitas dan interaksi obat. c. Pertimbangan pemilihan: 1) Gunakan obat yang dapat dengan mudah untuk diresepkan 2) Gunakan obat yang dapat dimonitor efek terapi nya 3) Hindari obat dengan efek terapi sempit, terutama pada pasien dengan disfungsi renal dan hati 4) Berhenti menggunakan obat yang efek nya tidak jelas 5) Jika dua obat mempunya efek terapi yang sama, pilih obat dengan harga yang murah d. Peresepan sebaiknya menggunakan obat generic e. Jika ada perubahan pengobatan (e.g. mengganti antibiotik dengan yang lain, alterasi dosis obat, penghentian obat) kemudian beberapa indikasi berubah juga harus dicatat dalam medical records atau catatan penggunaan obat. f. Apoteker harus mereview setiap hari data penggunaan obat di ICU, lakukan ronde ke ruangan dan bersedia bila ada konsultasi Obat-Obat yang Diperlukan di Ruang ICU(Royal Adelaide Hospital. 2012) Obat-obat yang diperlukan di ruang ICU antara lain: a. Obat-obat kardiovaskuler (lampiran 1) 1) Inotrop 2) Agen vasopressor 3) Antihipertensi dan vasodilator

65 14 4) Trombolitik 5) Antiplatelet b. Obat-obat Respiratory (Bronkodilator) (lampiran 2) c. Sedativ, Analgetik dan Delirium (lampiran 3) d. Relaksan otot (lampiran 4) e. Antikoagulan (lampiran 5) f. Obat-obat endokrin (lampiran 6) 1) Manajemen glukosa darah di ICU 2) Diuretik g. Obat Gastrointestinal (lampiran 7) h. Antibiotik (lampiran 8) 1) Jadwal pemberian vankomisin 2) Jadwal pemberian infus antibiotik 3) Perioperatif profilaksis antibiotik 4) Antibiotik empiris 5) Antibiotik untuk organisme spesifik i. Cairan elektrolit (lampiran 9)

66 BAB III METODE PENGKAJIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pengkajian Pengkajian dilakukan pada tanggal 21 Januari Februari 2013 yang bertempat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Metode Pengkajian Metode yang digunakan dalam pengkajian mengenai peran apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian di ruang ICU dengan melakukan studi literatur (studi pustaka). Pustaka yang digunakan dalam penyusunan kajian ini bersumber dari peraturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta artikel dan jurnal yang berasal dari internet. 15

67 BAB IV PEMBAHASAN Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi telah berkembang orientasinya pada pelayanan kepada pasien (pharmaceutical care). Apoteker di rumah sakit diharapkan memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien, yang memastikan bahwa pengobatan yang diberikan pada setiap individu pasien adalah pengobatan yang rasional. Selain mampu menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat agar mampu memberikan manfaat bagi kesehatan dan berbasis bukti (evidence based medicines), pelayanan kefarmasian juga diharapkan mampu mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah masalah terkait pengunaan obat yang aktual dan potensial (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2011). Pasien yang berada di ruang ICU adalah pasien yang menderita penyakit serius. Pasien tersebut menerima obat dalam jumlah banyak dari berbagai macam kelas farmakologi. Oleh karena itu terapi obat di ruang ICU menjadi lebih rumit. Penggunaan obat yang tepat dapat menyelamatkan hidup pasien. Namun penggunaan regimen dosis obat yang sudah umum seringkali dapat menjadi masalah terkait obat seperti kegagalan terapi, interaksi obat, dan resiko tinggi terhadap reaksi obat yang tidak diinginkan. Penentuan regimen dosis harus dilakukan secara hati-hati untuk mendapatkan hasil terapi yang ideal (John, J. Lisha, Padmini Devi, Jenny John, Shoba Guido, 2011). Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep dan terapi obat yang optimal harus dibentuk untuk mengurangi morbiditas terkait obat (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001). Salah satu masalah yang sering ditemui di ICU adalah interaksi obat. Terjadinya interaksi obat yang potensial di ICU dipengaruhi oleh faktor seperti banyaknya jumlah obat yang diterima oleh pasien, kondisi klinis pasien yang 16

68 17 serius, banyaknya jumlah dokter yang menulis resep, dan rute intravena untuk obat injeksi (Rafiei, H., 2012). Selain itu kejadian obat yang merugikan (adverse drug events) sering terjadi di ICU. Penelitian menunjukkan dokter terkadang melakukan kesalahan dalam menulis resep obat. Walaupun ada kesalahan yang tidak beresiko tinggi namun ada juga beberapa kesalahan yang dapat menjadi kejadian obat yang merugikan. Pasien yang berada di ruang ICU lebih rentan terhadap kejadian obat yang merugikan. Penting untuk diingat pasien-pasien dengan kondisi kritis di ICU memiliki pertahanan yang lebih lemah untuk melawan efek obat yang merugikan dibandingkan dengan pasien lain. Pada umumnya pasien di ruang ICU memiliki kemampuan yang terbatas dalam berpartisipasi pada perawatan medis dan secara psikologis tidak mampu mentoleransi mengatasi cidera tambahan (Nirmeen A. Sabry et al. 2009) Identifikasi masalah terkait obat pada pasien penting tidak hanya untuk meningkatkan kualitas pelayanan tetapi juga mencegah kemungkinan munculnya penyakit baru pada pasien, mencegah penggunaan obat yang tidak tepat, dan memberikan pelayanan yang lebih murah (Cretikos, M. A., Parr M. J. A. 2003). Lebih baik mencegah terjadinya kemungkinan kejadian yang merugikan karena obat daripada mengatasi komplikasi yang fatal yang timbul akibat kesalahan penggunaan obat. Penelitian menunjukkan peran apoteker di ICU dengan tim multidisiplin tenaga kesehatan lain menurunkan kejadian obat yang merugikan akibat kesalahan peresepan. Penelitian ini menunjukkan intervensi apoteker dalam peresepan menurunkan kejadian obat merugikan sebanyak 66%. Peran apoteker disini meliputi klarifikasi peresepan, informasi obat yang tepat, dan rekomendasi untuk terapi alternatif (ACCP, 2000). Apoteker dapat menurunkan prescribing errors dan memonitor proses penggunaan obat. Apoteker dapat mengidentifikasi penggunaan obat dengan indikasi yang sama dalam satu resep, kemungkinan timbulnya alergi, interaksi obat, dan ketepatan dosis (Sharma, B, et al. 2008). Meskipun banyak bukti sudah menunjukkan pentingnya peran apoteker terhadap pasien di ruang ICU namun kebanyakan rumah sakit belum memaksimalkan peranan apoteker di ruang ICU (ACCP, 2000). Praktek

69 18 kefarmasian di ruang ICU sangat kompleks karena kondisi pasien dan polifarmasi. Oleh karena itu banyak apoteker, terutama yang belum familiar dengan pelayanan di ruang ICU mungkin merasakan kesulitan karena belum adanya SOP dan panduan terstruktur yang dapat membantu apoteker tersebut untuk melakukan pelayanan kefarmasian di ICU. Untuk itu tugas rutin seperti mengidentifikasi masalah terkait obat lebih sulit dilakukan dan terapi obat tidak selalu optimal (Mabasa, H. Vencent, et al., 2011). Apoteker tunggal tidak mungkin dapat mengatasi semua pasien setiap hari. Untuk itu aktifitas pelayanan farmasi memerlukan level yang bervariasi yang melibatkan multipel farmasis dan teknisi terlatih sebagai tim didukung oleh kebijakan rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya (ACCP, 2000).

70 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan a. Pelayanan Kefarmasian di ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. b. Pelayanan kefarmasian yang dapat dilakukan di ICU antara lain distribusi obat dan pengawasan inventori, monitoring terapi obat, manajemen terapi obat, evaluasi penggunaan obat, monitoring dan pelaporan reaksi obat yang merugikan, pelayanan nutrisi penunjang, informasi obat, konsultasi farmakokinetik c. Intervensi Apoteker pada pelayanan di ICU dapat menurunkan kejadian merugikan akibat penggunaan obat dan meningkatkan pengobatan yang rasional pada pasien. 5.2 Saran Perlunya dilakukan pelayanan kefarmasian di ICU pada seluruh Rumah Sakit oleh apoteker agar meningkatkan pengobatan rasional pada pasien. Agar apoteker mau melakukan pelayanan kefarmasian dan meningkatkan pelayanannya maka dapat dilakukan pelatihan-pelatihan dan pembuatan pedoman-pedoman terkait pelayanan kefarmasian di ICU. 19

71 19

72 DAFTAR ACUAN ACCP Position Paper on Critical Care Pharmacy Services. USA: Society of Critical Care medicine and the American College of Clinical Pharmacy. Cretikos, M. A., Parr M. J. A Drug Related Admissions to ICU: The Role of Illicit Drugs and Self Poisoning. Critical Care and Resuscitation 2003; 5: Departemen Kesehatan RI Pedoman Penyelenggaraan Tim Terapi Gizi Di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Nomor HK.02.04/I/1966/11 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Intensiva Care Unit (ICU) di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. John, J. Lisha, Padmini Devi, Jenny John, Shoba Guido, Drug Utilization Study of Antimicrobial Agents in Medical Intensive Care Unit of A Tertiary Care Hospital. Vol. 4, Issue 2. India. Jones, R. M. and Raylene M. R Patient Assestment In Pharmacy Parctice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Menteri Kesehatan RI Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit. Jakarta. Menteri Kesehatan RI. 2010a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 20

73 Menteri Kesehatan RI, 2010b. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 834/MENKES/SK/VII/2010. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI Pedoman Teknis Ruang Perawatan Intensif Rumah Sakit. Jakarta. Mabasa, H. Vencent, et al., A Standardized, Structure Approach to Identifying Drug-rRelated Problems in the ICU: FASTHUG-MAIDENS. Pharmacy Practice. CJHP Vol. 64, No. 5. USA. Marti, M. C., and N. V. J. Torres Pharmaceutical Services In The Intensive Care Unit. EHP-June 2001 Volume 7 No. 2. Nirmeen A. Sabry et al Role of the Pharmacist in Identification of Medication related Problems in the ICU: A Preliminary Screening Study in an Egyptian teaching Hospital. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 3(2): , 2009 ISSN Rafiei, H., The prevalence of potential drug interactions in Intensive Care Units. Iranian Journal of Critical Care Nursing, Volume 4, Issue 4, Pages: Iran Royal Adelaide Hospital Royal Adelaide Hospital Intensive Care Unit Medical Manual 2012 Edition. 21

74 LAMPIRAN

75 23 Lampiran 1. Obat-Obat Kardiovaskuler Inotrop Obat Standar Infus Kegunaan Noradrenalin 6 mg/100 ml 5% dektrosa Obat lini pertama untuk syok septik (ml/jam=µg/menit) Menjaga tekanan darah Adrenalin 6 mg/100 ml 5% dektrosa Resusitasi jantung paru-paru (ml/jam=µg/menit) Asma akut Anafilaksis Syok kardiogenik Menjaga tekanan darah Dobutamin Dopamin Isoprenalin Levosimendan Milrinon 500 mg/100 ml 5% dektrosa (ml/jam atau µg/kg/menit) 400 mg/100 ml 5% dektrosa (ml/jam atau µg/kg/menit) 6 mg/100 ml 5% dektrosa (ml/jam = µg/menit) 12,5 mg/250 ml 5% dektrosa Loading dose: 6-12 µg/kg/10 menit Infus: 0,05-0,2 µg/kg/ menit NB: Loading dose dapat menyebabkan hipotensi, dosis dapat dihilangkan/dikurangi 10 mg/100 ml 5% dektrosa Loading dose: 50 µg/kg/20 menit Infus: 0,5 µg/kg/menit* *Dosis standar milrinone pada pasien dengan berat badan 70 kg: Loading dose: 3500 µg = 35 ml lebih dari 20 menit Dosis pemeliharaan: 2100 µg/jam = 20 ml/jam Medical pacing Terutama digunakan sebagai vasodilator, dengan efek inotrop yang lemah Biasa digunakan pada shock kardiogenik Sering dikombinasikan dengan noradrenalin Menjaga tekanan darah Tidak lebih baik dibandingkan adrenalin/noradrenalin Dosis untuk pasien pada gagal ginjal tidak digunakan Memiliki efek samping pada kelenjar endokrin Vasodilator, kronotropik (jarang digunakan) Gejala bradikardi Calcium sensitizer Meningkatkan kontraktilitas miokard dan dilatasi pembuluh darah koroner dan sistemik Peran dalam intensive care belum ditentukan Syok kardiogenik karena disfungsi diastolik Hipertensi pulmonary setelah penggantian katup Induksi katekolamin diluar aturan

76 24 Agen Vasopressor Obat Standar Infus/Dosis Kegunaan Metaraminol 10 mg/10 ml 5% dektrosa Vasokonstriktor short acting Efedrin 30 mg/10 ml 5% dektrosa Synthetic indirect sympathomimetic Biasa digunakan sebagai anestesi dengan sedikit keuntungan dibandingkan adrenalin Vasopresin 20 unit/20 ml 5% dektrosa: 1,8 ml/jam (0,03 u/menit) Noradrenaline resistant hypotension Bermanfaat digunakan pada kondisi syok septik dan post cardiac bypass pada keadaan catecholamine resistant hypotension Antihipertensi dan Vasodilator Obat Infus dan dosis Kegunaan Gliseril trinitrat 300 mg/100 ml 5% dekstrosa (tidak dalam wadah PVC) 2-25ml/jam Berguna dalam iskemia jantung Kurang dapat diprediksi kontrol BP dari SNP Tachyphylaxis berkembang dalam waktu 24-48hr akan membutuhkan Natrium Nitroprusid (SNP) 50 mg/250 ml 5% dekstrosa 3-40 ml/jam agen tambahan untuk BP persisten Kontrol cepat krisis hipertensi. Tachyphylaxis dan asidosis metabolik mungkin menyiratkan toksisitas sianida (dosis total>1.5mg/kg/24jam) ReoPro (abciximab) Bolus : 0.25 mg/kg IV lebih dari 1 menit, 10 menit sebelum PTCA Infus : 0.125µg/kg /min IV selama 12 jam. (max rate = 10 µg/min) Hanya digunakan oleh kardiologi Berikatan dengan reseptor platelet glikoprotein iib/iiia, menginhibisi agregasi platelet dan formasi trombus Pada umumnya digunakan dengan PTCA Digunakan bersama aspirin dan heparin Meningkatkan resiko pendarahan dan trombositopenia Phentozolamin 10mg/10 ml 5% dekstrosa Blokade α, antihipertensi kerja Hidralazin 5-10 mg sebagai bolus mg 6-8 per jam pendek. Agen jangka pendek hingga menengah IV. Sering digunakan dengan -blocker untuk mengontrolrefleks takikardia Berguna dalam hipertensi renovascular

77 25 Amilodipin 5-10 mg per oral Ca antagonist kerja lama Perhatian pada pasien gangguan ginjal Captopril Perindopril Phenoxybenzamin Prazosin Metorpolol Esmolol Dimulai dengan dosis rendah 5-6,25 mg naikan hingga 50 mg per oral per 8 jam Sirup: 5 mg/ml Hipertensi akut 5-25 mg sub lingual Dimulai 2,5 mg per hari hingga 10 mg per hari per oral Oral : 10 mg/hari dan meningkat hingga postural hipertensi IV : 1mg./kg./hari Mulai dengan 0,5 mg dan naikkan hingga 5 mg per oral Oral mg 2 kali sehari IV : 1-2 mg bolus tiap 2-3 menit hingga 10 mg Loading dose 0,5 mg/kg Infus : 100 mg/10ml Clonidin 25 µg bolus dari hingga 150 µg/24jam Oral : 75µg dua kali sehari Naikkan hingga µg tiga kali sehari Dexmedetomidin 400 µg dalam 40 ml Dosis awal 1 µg/kg lebih dari 20 menit Infus 1-5 ml/jam Pengobatan hipertensi Disfungsi ventrikel kiri Kegagalan ventrikel kiri Diabetes nefropati Perhatian pada penyakit renovascular dan gagal ginjal Kerja lama, non-kompetitif - blocker Preoperative persiapan phaeochromcytoma Hipotensi I diosyncratic dapat terjadi -blocker Agen antihipertensi Potensi Simpatik tinggi Drive: neurogenicbp Semua tingkat hipertensi. Iskemia Jantung Pengendalian refleks takikardia dengan vasodilator Krisis Tiroid Perhatian pada asma Terutama dihilangkan oleh metabolisme hati Ultra-short acting -blocker Berguna sebagai percobaan untuk pasiendengan fungsi LV buruk. tambahan untuk vasodilator setelah operasi jantung Berguna pascaoperasi jantung Perawatan dengan disfungsi hati atau ginjal Rebound hipertensi dengan penggunaan kronis Sedasi, terutama dosis pertama Alpha-2-agonis Selektif Hipertensi akut Bukan oba lini pertama. Dipilihhanya oleh stafmedis senior Sedasi

78 26 Magnesium sulfat Propanolol 5-10 mmol dosis awal Infus 4-12 mmol/jam Target plasma 1,5-2 mmol/l Pre eklampsia/eklampsia Phaechromocytoma Portal hipertensi Antiaritmia Obat Standar Infus/Dosis Kegunaan Amiodaron Akut: 900 mg/250 ml 5%D: Load 100 ml/1 jam (5 mg/kg) Infus 10 ml/jam selama jam (15 mg/kg/hari Magnesium Verapamil Digoxin IV : mg Kronik: mg iv/oral/hari 5-10 mmol IV bolus disuntikkan secara perlahanlahan Infus 2-5 mmol/jam. 2,4 g MgSo 4 =10 mmol Mg mmol IV bolus disuntikkan perlahan-lahan Loading dose: 0,5-1 mg iv Dosis Pemeliharaan: 62,5-250 µg iv/hari Setara: 0,6-1 mmol/l Metoprolol 1-2 mg IV bolus(sampai 10 mg) AF/flutter atau MAT Monomorfik ventrikel takikardia Umumnya tidak menekan kontraktilitas Kurang proaritmik dibandingkan dengan obat yang lain Menyebabkan QTc tetapi jarang menyebabkan Torsade de pointes Ekskresi pada ginjal minimal, tidak perla melakukan penyesuaian dosis pada pasien dengan gagal ginjal Efek samping jang panjang pada penggunaan jangka pendek Mengganggu penetapan kinetik digoxin Mengganggu tes fungsi tiroid Berfungsi terutama sebagai calcium blocker Untuk kondisi SVT dan Torsade de pointes Konversi AF SR SVT Mengontrol laju ventrikular pada kondisi AF (merupakan obat lini kedua setelah amiodaron pada kondisi kritis) Obat dengan index terapi sempit terutama pada gagal ginjal dan kelainan metabolik ( K +, Mg, PO 4, alkalosis) Merupakan proaritmik potensial pada kondisi kritis Memiliki efek inotrop yang minimal pada kondisi kritis Berpotensi menyebabkan efek hipokalemia Digunakan pada kondisi high sympathetic drive: neurogenik,

79 27 Sotolol Oral mg 2xsehari mg iv bolus disuntikkan secara perlahanlahan (10-15 menit) hipertensi, hipertiroid Mengontrol refleks takikardia dengan vasoldilator Dimetabolisme di hati Golongan kelas III dan bekerja menghambat reseptor β Supraventrikular Takiaritmia konversi AF/flutter SR Proaritmik berpotensi rendah Adenosin 6-12 mg IV push Diagnosis / konversi dari SVT Lignocain Larutan 0,4% = 4 mg /ml: 60 ml/jam (4 mg/menit) selama 1-2 jam 45 ml/jam selama 2-4 jam 30 ml/jam selama 2-4 jam Fiecanaide Fenitoin 1 mg/kg iv disuntikkan secara perlahan-lahan Oral 100 mg 2xsehari (maks 300 mg/hari) 15 mg/kg loading /1 jam 300 mg/hari (setara mmol/l) Obat lini kedua setelah amiodaron VT yang berulang Tidak lagi digunakan secara rutin untuk mencegah terjadinya VT Resisten VF terhadap defibrilasi Inotrop negatif yang potensial, prokonvulsan SVT takikardia WPW Venrikular disritmia Toksisitas digoxin Trycyclic induced malignant arrythmias Trombolitik Obat Dosis Protokol Dosis tunggal: Aspirin 150 mg diawal, kemudian mg/kg lebih dari tiap hari 10 detik Enoxaparine 30 mg IV untuk TNK 2. Non glukosa Enoxaparin 1 mg/kg sc (jika fungsi containing line renal normal) 3. Bersihkan dengan normal salin sebelum dan sesudah Dosis maksimum =50 mg (10,000U) Tenecteplase (TNK) Alteplase Alteplase untuk pulmonary Dosis bolus = 15 mg Infus (1)= 0.75 mg/kg > 30 menit (maks. 50 mg) Infus (2) = 0.5 mg/kg > 60 min (max 35 mg) Infusi terapi heparin 0.9 mg/kg intravena (max 90 mg) 10% sebagai bolus. Selanjutnya diingatkan >60 Amat tanda vital dan neurological tiap 30 menit untuk 6 jam pertama setelah infus kemudian per jam untuk tiap 16 jam selanjutnya Jaga TD <180/105 Heparin 5000 U IV pre TNK Infus Heparin : APTT >50-80 detik

80 28 embolus Protokol perdarahan menit Monitor: APTT PT/INR Fibrinogen level Berikan tekanan lokal jika memungkinkan Reverse heparin dengan protamine Cryoprecipitate 10 unit + FFP 2 unit Defebrinasi atau pendarahan intrakranial: Asam traneksamat 10 mg/kg selama 20 menit kemudian infus 1 mg/kg/jam Antiplatelet Obat Dosis Lazim Indikasi/Keterangan Aspirin mg Sindrom post akut koroner Kejadian kardiak trombotik lain Post TIA/Stroke Clopidogrel ReoPro (abciximab) Tirofiban (aggrastat) 75 mg per oral/hari 300 mg oral loading dose pre PTCA (selanjutnya 75 mg/hari) Bolus : 0.25 mg/kg IV lebih dari 1 menit, 10 menit sebelum PTCA Infus : 0.125µg/kg /min IV selama 12 jam. (max rate = 10 µg/min) Bolus : 0.4 µg/kg/min selama 30 menit Maintenance : 0.1 µg/kg/min selama paling tidak 48 jam NB: dosis diturunkan hingga 50% dengan penyakit insufisiensi ginjal Irreversibel modifies platelet ADP reseptor, inhibisi agregasi Pencegahan kejadian vaskular iskemia Hanya digunakan oleh kardiologi Berikatan dengan reseptor platelet glikoprotein iib/iiia, menginhibisi agregasi platelet dan formasi trombus Pada umumnya digunakan dengan PTCA Digunakan bersama aspirin dan heparin Meningkatkan resiko pendarahan dan trombositopenia Hanya digunakan oleh kardiologi Memblock resptor glikoprotein Iib/IIIa reseptor Waktu paruh pendek ( jam) Untuk angina tidak stabil, non Q wave MI Digunakan bersama heparin dan aspirin Cek jumlah platelet 6 jam setelah bolus, kemudian lakukan tiap hari. Jika < hubungi kardiologi Pendarahan (1.4%), trombositopenia, demam.

81 29 Lampiran 2. Obat-Obat saluran pernapasan Bronkodilator Obat Infus dan Dosis Kegunaan Salbutamol (MDI) Dosis lazim 2 hisap per 4 jam Maksimum dosis 10 hisap tiap 15 menit Bronkodilator lini pertama Salbutamol (nebulised) Dosis lazim 5 mg tiap 1-4 jam Maksimum dosis 20 mg tiap jam Bronkospasm Hiperkalemia Ipratropium (MDI) Ipratorium nebulised Adrenalin (nebulised) Salbutamol (IV) Dosis lazim 2 hisap per 6 jam Dosis maksimum 4 hisap per jam sesua dengan kebutuhan Dosis lazim 500 µg per 8 jam Dosis maksimum 500 µg per jam sesuai kebutuhan Maksimum dosis 1 mg tiap 15 menit 6 mg/100 ml 5% dekstrosa (ml/jam=µg/min) Infusion = 5-20 µg/min Adrenalin (IV) 6 mg/100 ml 5% dekstrosa (ml/jam=µg/min) Infus 1-20 ug/min Aminofilin 100 mg/100 ml 5 % dekstrosa Infus 2-4 ml/jam (1gm/hari) Asma akut Kronik obstruktif pulmonary desease Penderita bronkospams non responsif. Asma akut Asma akut Belum terbukti dalam terapi untuk asma akut Indeks terapi sempit

82 30 Lampiran 3. Sedativ, Analgetik dan Delirium Obat Infus/Dosis Kegunaan Propofol 10 mg/ml (neat solution) Pemberian awal 3-5 ml/jam Fentanil Morfin dan Midazolam Morfin Diazepam Epidural cocktail (APS protokol) Dexmedetomi din Maksimun 4 mg/kg*/jam (*dihitung berdasarkan berat badan) µg IV bolus Infus: µg/jam (neat solution) Morfin 60 mg + midazolam 30 mg per 50 ml 5% dextrosa Laju: 1-10 ml/jam 1-5 mg iv, sc bila perlu atau PCA per protokol IV: 2-10 mg bila perlu Oral: 5-20 mg 2-4 kali sehari Fentanil 5 µg/ml dan Bupivakain 0,1% atau Ropivakain 400 µg dalam 40 ml Permulaan 1 µg/kg lebih dari 20 menit Infus 0,2-0,7 µg/kg/jam Obat sedativ lini pertama yang dikombinasi dengan fentanil Anestesi prosedur minor dimana pengembalian kesadaran yang cepat diperlukan (seperti trakeostomi, CVC) Miokardial depresan / vasodilator Tidak memiliki efek analgetik Analgesik lini pertama Analgesik narkotik medium acting dengan stabilitas hemodinamik relatif Biasa digunakan pada prosedur ICU Obat sedativ lini kedua pertimbangkan jika dikontraindikasikan dengan propofol atau menyebabkan efek yang merugikan (seperti hipertensi) Memiliki efek yang panjang pada pasein gagal ginjal Analgesik alternatif untuk fentanil Hati-hati pada penderita gagal ginjal Obat lini pertama untuk penderita alkohol akut atau benzodiazepin withdrawal Dosis yang lebih besar mungkin diperlukan pada kondisi delirium tremens Pencegahan kodisi delirium tidak berhubungan dengan kondisi alkoholism atau benzodiazepin withdrawal Standard epidural analgesik regimen Bupivakain dapat digunakan 0,25% Durasi maksimal 4 hari kecuali ada indikasi Dosis tergantung pada usia (APS) Selektif sentral α 2 -agonis Sedativ short acting/delirium/kondisi withdrawal Hanya digunakan oleh staff medis senior

83 31 Obat yang umumnya digunakan pada kondisi Agitasi/Delirium Haloperidol 0,5-2,5 mg IV bila perlu Dosis maks 10 mg Mayor tranquilizer lini pertama Delirium, agitasi Khususnya pada opioid/ benzodiazepin withdrawal α blocker: dapat menyebabkan hipotensi QTc, kejang, ekstrapiramidal efek Klorpromazin 2,5-5 mg IV bila perlu Obat lini kedua/ketiga untuk delirium Memiliki efek sedativ dan long acting Vasodilator Olanzapin (off-label) Quetiapin (off-label) 5-10 mg SL atau oral (2,5-5 mg pada orang tua) Dosis maks 10 mg 2x sehari Meningkatkan delirium (efek sentral kolinergik) Memperpanjang QTc Mengurangi kejang Efek ekstrapiramidal Ciprofloksasin dapat mengurangi metabolisme (CYP-1A2) mg 2xsehari Memperpanjang QTc Mengurangi kejang Flukonazol, eritromisin dapat mengurangi metabolisme (CYP- 3A4) Lampiran 4. Relaksan Otot Obat Dosis Keterangan Suksametonium mg atau 1-2 mg/kg Obat lini pertama untuk Rapid Sequence Induction (RSI) Pertimbangkan pra-pengobatan dengan atropin (0,6-1,2 mg) jika bradikardia potensial Dikontraindikasikan pada luka bakar (>3 hari), chronic spinal, penyakit neuromuskular, hiperkalemia, (K + > 5,5) Hati-hati pada penderita kelemahan otot pusat atau perifer Rokuronium 0,6 mg/kg 1 mg/kg pada RSI Agen non-depolarisasi lini pertama di ICU Onset cepat (60 detik) Obat lini kedua pada RSI = alternatif dari suksamethonium

84 32 Durasi kerja menit Vekuronium 4-10 mg IV bila perlu Agen non-depolarisasi lini kedua di ICU Durasi sama dengan rokuronium Cardiostable, insiden alergi rendah Obat Warfarin Lampiran 5. Antikoagulan Heparin (infus) Heparin (subkutan) Enoxaparin Prostasiklin Natrium Danaparoid infus Danaparoid sub kutan Lepirudin Infus/dosis Variable dose setara dengan INR harian NB. Ini hanya digunakan sebagai panduan, dan dikembangkan bukan untuk pasien kritis, yang farmakodinamik kemungkinan berbeda secara signifikan dari populasi pasien di ruang ICU u/50 ml=500u/ml 5000 u subkutan dua kali sehari <70 kg 5000 u sub kutan tiap 8 jam >70 kg resiko tinggi DVT Propilaksis: 40 mg subkutan perhari 20 mg subkutan perhari jika kreatinin klirens < 30 ml/min Perawatan 1 mg/kg subkutan 2x sehari 1 mg/kg subkutan 1x sehari jika kreatinin klirens < 30ml/min Dosis: µg/kg/jam 500 µg (+ pelarut 10 ml): tambahkan hingga 40 ml normal salin=10µg/ml larutan Mulai pada 2 ml/jam dan monitor jumlah platelet Mungkin dapat enyebabka hipotensi IV loading dose <60 kg 1500 U kg 2250 U kg 3000 U >90 kg 3750 U Infus : 2250 U dari danaparoid dalam 250 ml 5% dekstrosa : 44 ml/jam (400 U/jam) x 4 jam 33 ml/jam (300 U/jam) x 4 jam 22 ml/jam (200 U/jam) 750 U 8-12 per jam Keterangan di bawah

85 33 Tabel 5.1 Protokol infus heparin Berat (kg) >95 Bolus (U) 3,500 4,200 4,900 5,600 6,300 7,000 Infus (U/jam) 900 1,100 1,250 1,400 1,600 1,800 Pengaturan Infus APTT IV bolus Hentikan infus Rate change Ulangi APTT < 37 5,000 unit 6 jam jam Tidak ada Perhari perubahan U/jam 6 jam menit 100 U/jam 6 jam > menit 150 U/jam 6 jam 120min/ APTT< U/jam 2 jam Ket : APTT = activated partial tromboplastin time Infusion 25,000 unit dalam 50 ml syringe = 500 U/ml Periksa dahulu APTT 6 jam setelah dosis bolus Tabel 5.2 Lepirudin Infusion protocol Kreatinin klirens (ml/min) Dosis bolus Maintanance infus ml/kg/jam % dosis asli > mg/kg 0.1 (max % (max.44mg) mg/jam mg/kg % % None % < % CVVHDF

86 34 Lampiran 6. Obat-Obat Endokrin Flowchart : manajemen glukosa darah di ICU Tabel protokol infus insulin BGL Bolus Infus awal Infus berikutnya Ulangi BGL mmol/l Unit IV Unit/jam Unit/jam Jam > Naikan Naikan Jika BGL menurun lanjutkan tetesan. Jika tetap 1 atau meningkat Lanjutkan tetesan jika BGL menurun selama 2 jam turunkan hingga Hentikan 1 < 3.5 Call MO 0 Hentikan 1 1 (2/jam jika BGL stabil selama 6 jam) Tabel : Dosis Steroid / Potensi Relatif Obat Dosis ekivalen (mg) Aktifitas glukokortikoid Aktifitas mineralokortikoid Hidrokortison Prednison Metilprednisolon Deksametason Kortison asetat Fluokortison

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK KIMIA FARMA MENTENG HUIS JALAN CIKINI RAYA NO. 2 JAKARTA PUSAT PERIODE 13 FEBRUARI 22 MARET 2012 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DITJEN BINFAR DAN ALKES KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JL. H.R. RASUNA SAID

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BIA PRODUKSI DA DISTRIBUSI KEFARMASIA DIREKTORAT JEDERAL BIA KEFARMASIA DA ALAT KESEHATA KEMETERIA KESEHATA REPUBLIK IDOESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL (RSUPN) Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 50 BOGOR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELANYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALANKESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RANCANGAN REVISI PP 38/2007 DAN NSPK DI LINGKUNGAN DITJEN BINFAR DAN ALKES Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DISAMPAIKAN PADA SEMILOKA REVISI PP38/2007 DAN NSPK : IMPLIKASINYA TERHADAP

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 DIREKTORAT PELAYANAN KEFARMASIAN Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan KEMENTERIAN KESEHATAN RI KATA PENGANTAR Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah

Lebih terperinci

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan.

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan. KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT dan atas berkat dan karunianya Buku Laporan Tahunan Pelaksanaan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang penting dan menjadi hak semua orang. Kesehatan yang dimaksud tidak hanya sekedar sehat secara fisik atau jasmani, tetapi juga secara mental,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak paling mendasar yang harus dipenuhi setiap orang dalam mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORATT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian

Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Rapat Koordinasi Nasional Palu, 31 Maret 2015 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan merupakan visi dari Kementerian Kesehatan RI dan telah dirumuskan dalam UU RI No. 36 tahun 2009

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Anita Karlina, S.Farm.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Menurut Undang-undang Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia adalah kesehatan. Berdasarkan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas kehidupan manusia. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang sangat penting bagi setiap orang. Tanpa adanya kesehatan yang baik, setiap orang akan mengalami kesulitan

Lebih terperinci

Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian

Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Rapat Koordinasi Nasional Padang, 16 Maret 2015 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan yang esensial dari setiap individu, keluarga, dan masyarakat. Kesehatan juga merupakan perwujudan dari tingkat kesejahteraan suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN 2.1. Sejarah Organisasi Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN PERIODE 17 MARET 28 MARET 2014

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan menentukan mutu kehidupan dalam pembangunan nasional. Menurut World Health Organization (WHO),

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. No.585, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1144/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Berkembangnya ilmu pengetahuan tentang kesehatan di kehidupan masyarakat terutama perkembangan teknologi farmasi yang inovatif yang telah dikenal masyarakat luas dan banyaknya

Lebih terperinci

Rencana Aksi Kegiatan Tahun

Rencana Aksi Kegiatan Tahun Rencana Aksi Kegiatan Tahun 2015-2019 DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI KATA PENGANTAR Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhaanahu Wa Ta ala, Tuhan Yang Maha Kuasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu tujuan dari pembangunan suatu bangsa. Kesehatan sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANITA HASAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang salah satunya adalah kesehatan. Pengertian dari kesehatan tidak hanya sebatas sehat secara jasmani dan rohani, namun sehat

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya perkembangan dan perubahan pola hidup pada manusia (lifestyle) dapat berdampak langsung salah satunya pada kesehatan, sehingga kesehatan menjadi salah satu hal

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN ARAH KEBIJAKAN Program peningkatan pelayanan kefarmasian diarahkan untuk

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANATRIA KHOLIYAH,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat semakin menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan menjadi salah satu prioritas yang perlu diperhatikan untuk bertahan hidup dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia dalam melakukan segala aktivitas dengan baik dan maksimal yang harus diperhatikan salah satu hal yaitu kesehatan. Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No.36 tahun 2009 yaitu keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI DIY DINAS KESEHATAN DIY

KEBIJAKAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI DIY DINAS KESEHATAN DIY KEBIJAKAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI DIY DINAS KESEHATAN DIY 3 DIMENSI PEMBANGUNAN: PEMBANGUNAN MANUSIA, SEKTOR UNGGULAN, PEMERATAAN DAN KEWILAYAHAN VISI DAN MISI PRESIDEN TRISAKTI: Mandiri di bidang ekonomi;

Lebih terperinci