UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE JANUARI 2012 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER AGATHA DWI SETIASTUTI, S.Farm ANGKATAN LXXIV FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPARTEMEN FARMASI DEPOK JUNI 2012

2 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE JANUARI 2012 Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker AGATHA DWI SETIASTUTI, S.Farm ANGKATAN LXXIV FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPARTEMEN FARMASI DEPOK JUNI 2012 ii

3 iii

4 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Angkatan LXXIV, yang diselenggarakan pada tanggal Januari 2012 di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kegiatan PKPA dan penyusunan laporan PKPA merupakan bagian dari kegiatan perkuliahan program pendidikan profesi apoteker yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan mahasiswa. Setelah mengikuti kegiatan PKPA, diharapkan apoteker yang lulus nantinya dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki kepada masyarakat pada saat memasuki dunia kerja. Dalam pelaksanaan kegiatan PKPA ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2. Dr. Setiawan Soeparan, MPH. selaku Direktur Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, atas pengarahannya selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker. 3. Drs. M. Taufik S., M.M., Apt. selaku Kepala Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker. 4. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS., Apt. selaku Ketua Departemen Farmasi FMIPA. 5. Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Departemen Farmasi FMIPA atas segala ilmu, nasihat, dan dukungan yang telah diberikan. 6. Prof. Dr. Atiek Soemiati, M.S., Apt. selaku pembimbing dari Departemen iv

5 Farmasi FMIPA UI, yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan laporan ini. 7. Seluruh staf Departemen Farmasi FMIPA dan seluruh staf Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 8. Keluarga tercinta yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan doa selama masa Praktek Kerja Profesi Apoteker berlangsung. 9. Teman-teman Apoteker angkatan 74 yang telah berjuang bersama, teristimewa untuk sahabat tercinta, Veto, atas dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis. 10. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan laporan ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis peroleh selama menjalani Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dapat memberikan manfat bagi rekan-rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkan. Depok, Juni 2012 Penulis v

6 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2 TINJAUAN UMUM Tinjauan Umum Kementerian Kesehatan Tinjauan Tentang Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan... 5 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN Tugas Pokok dan Fungsi Tujuan Sasaran Strategi Intervensi Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Sumber Daya Manusia BAB 4 PEMBAHASAN Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan vi

7 4.3 Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN vii

8 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 3.1 Sumber Daya Manusia (SDM) Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan viii

9 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian ix

10 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu kesejahteraan umum yang harus diwujudkan oleh Pemerintah Indonesia. Untuk mewujudkannya maka Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berupaya agar kualitas pelayanan kesehatan semakin baik karena pemerintah bertanggung jawab dalam merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang harus ditingkatkan. Pelayanan kefarmasian seperti penyediaan obat dan vaksin, serta penyediaan perbekalan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan mudah diperoleh berperan dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit yang ada di masyarakat. Untuk menunjang hal tersebut maka Departemen Kesehatan membentuk Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada tahun 2002 kemudian pada tahun 2010 Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki satu Sekretariat Direktorat Jenderal dan empat direktorat. Salah satu diantaranya adalah Direktorat Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yang menjamin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatansecara merata dan terjangkau oleh masyarakat pada pelayanan kesehatan dasar (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010b). Untuk menjamin ketersediaan dan terjangkaunya obat dan perbekalan kesehatan maka diperlukan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang profesional salah satunya adalah apoteker. Apoteker merupakan profesi yang diperkenankan dalam penyediaan obat karena apoteker mempunyai kompetensi 1

11 2 dan pengetahuan di bidang obat dan perbekalan kesehatan (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2007). Mengingat pentingnya peran apoteker dalam menjamin obat dan perbekalan kesehatan maka calon apoteker perlu melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sehingga calon apoteker memperoleh gambaran nyata tentang peran apoteker di masyarakat secara umum dan di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan secara khusus, terutama di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertujuan agar calon apoteker : 1. Memahami mekanisme kerja, tugas pokok, dan fungsi dari Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2. Memahami ruang lingkup kerja, tugas pokok, dan fungsi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.

12 BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Tinjauan Umum Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai visi dan misi sebagai berikut Visi dan Misi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Visi Visi Kementerian Kesehatan adalah Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan Misi Misi Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. 2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. 3. Menjamin ketersediaan dam pemerataan sumber daya kesehatan. 4. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik Kedudukan, Tugas dan Fungsi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010b) Kementerian Kesehatan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kementerian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kesehatan. Kementerian Kesehatan mempunyai tugas membantu menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Kesehatan menyelenggarakan fungsi: 1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan; 2. Pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan; 3

13 4 3. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan; 4. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah; dan 5. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional Nilai-Nilai (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Kementerian Kesehatan memiliki nilai-nilai yang merupakan satu keseluruhan dalam melaksanakan program-program yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan. Nilai-nilai tersebut yaitu pro rakyat, inklusif, responsif, efektif, dan bersih Rencana Strategis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Untuk mewujudkan visi Kementerian Kesehatan periode tahun dan sesuai dengan misi yang telah ditetapkan, maka pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut: 1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global; 2. Meningkatkan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, pelayanan, dan berkeadilan, serta berbasis bukti, dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif; 3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional; 4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan sumber daya manusia kesehatan yang merata dan bermutu; 5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan; dan 6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdayaguna, dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.

14 Struktur Organisasi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010b) Kementerian Kesehatan yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan terdiri atas (Lampiran 1) : 1. Sekretariat Jenderal; 2. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan; 3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 4. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak; 5. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 6. Inspektorat Jenderal; 7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 8. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan; 9. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 10. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat; 11. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan; 12. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi; 13. Staf Ahli Bidang Mediko Legal; 14. Pusat Data dan Informasi; 15. Pusat Kerja Sama Luar Negeri; 16. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan; 17. Pusat pembiayaan dan Jaminan Kesehatan; 18. Pusat Komunikasi Publik; 19. Pusat Promosi Kesehatan; 20. Pusat Inteligensia Kesehatan; dan 21. Pusat Kesehatan Haji. 2.2 Tinjauan Tentang Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tugas dan Fungsi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010b) Tugas Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasiaan dan alat kesehatan.

15 Fungsi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi: 1. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; 3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan criteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; dan 5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tujuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) 1. Terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan; 2. Terlindunginya masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan kerasionalan; dan 3. Meningkatnya mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang didukung oleh tenaga farmasi yang profesional Sasaran dan Indikator (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Sasaran hasil program kefarmasian dan alat kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100% Kegiatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Untuk mencapai sasaran tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi: 1. Peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan;

16 7 2. Peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; 3. Peningkatan pelayanan kefarmasian; dan 4. Peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian Struktur Organisasi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010b) Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dipimpin oleh Direktur Jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri (Lampiran 2) : Sekretariat Direktorat Jenderal 1. Tugas dan Fungsi Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal. Dalam melaksanakan tugas, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi : a. Koordinasi dan penyusunan rencana, program, anggaran; b. Pengelolaan data dan informasi; c. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional dan hubungan masyarakat; d. Pengelolaan urusan keuangan; e. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan; dan f. Evaluasi dan penyusunan laporan 2. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal terdiri dari (Lampiran 3) : a. Bagian Program dan Informasi; b. Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat; c. Bagian Keuangan; d. Bagian Kepegawaian dan Umum; dan e. Kelompok Jabatan Fungsional.

17 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 1. Tugas dan Fungsi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; d. Pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; e. Penyiapan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 2. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri dari (Lampiran 4) : a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat; b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan;

18 9 c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 1. Tugas dan Fungsi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi,farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; d. Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; e. Penyiapan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; dan f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 2. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri dari (Lampiran 5) : a. Subdirektorat Standardisasi; b. Subdirektorat Farmasi Komunitas; c. Subdirektorat Farmasi Klinik;

19 10 d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional; e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan 1. Tugas dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 2. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri dari (Lampiran 6) : a. Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan;

20 11 b. Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga; c. Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga; d. Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi; e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian 1. Tugas dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan criteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; dan g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 2. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari (Lampiran 7) : a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional;

21 12 b. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan; c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Sediaan Farmasi Khusus; d. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat; e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional

22 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN 3.1 Tugas Pokok dan Fungsi Tugas Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yaitu melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; 2. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; 3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; 4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan Standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan, dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; 5. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan 6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. 13

23 Tujuan Tujuan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan adalah penyediaan obat dan perbekalan kesehatan di sektor publik yang lengkap, jumlah cukup, dan mudah diperoleh setiap saat dengan harga terjangkau dan kualitas terjamin, serta menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan. Dengan mewujudkan suatu pedoman, standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar, sesuai peraturan yang berlaku. 3.3 Sasaran Sasaran hasil Program Obat Publik dan Pebekalan Kesehatan adalah meningkatnya ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan dasar. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%, persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 80%, dan persentase instalasi farmasi Kab/Kota sesuai standar sebesar 80%. 3.4 Strategi Intervensi Dalam rangka mencapai sasaran, maka Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan memiliki strategi dalam menjalankan kebijakannya antara lain : a. Meningkatkan cakupan dan kuantitas pelayanan dengan beberapa strategi yang dijalankan, antara lain: 1. Ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan mencakup jenis, jumlah cukup dan mudah diperoleh setiap saat, harga terjangkau dan kualitas terjamin; dan 2. Manajemen logistik obat dan perbekalan kesehatan. b. Membangun kemitraan dengan pemerintah daerah, dinas/instansi lintas sektor dan perguruan tinggi profesi terkait dalam hal : 1. Perumusan kebijakan di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan di unit pelayanan kesehatan dasar.

24 15 2. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur dalam hal pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; dan 3. Melaksanakan advokasi dalam rangka terwujudnya kebijakan, program atau proyek atau kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasarannya. 3.5 Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri dari : 1. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat; 2. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; 3. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; 4. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; 5. Subbagian Tata Usaha; dan 6. Kelompok Jabatan Fungsional Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang analisis dan Standardisasi harga obat Tugas dan Fungsi Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat; 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat; 3. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat; dan

25 16 4. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat Struktur Organisasi Subdit Analisis dan Standardisasi Harga Obat Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat terdiri atas : a. Seksi Analisis Harga Obat Seksi Analisis Harga Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan analisis, kajian, dan pemantauan harga obat. b. Seksi Standardisasi Harga Obat Seksi Standardisasi Harga Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria harga obat Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan Tugas dan Fungsi Subdit Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 3. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan; dan 4. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan.

26 Struktur Organisasi Subdit Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas : a. Seksi Perencanaan Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Perencanaan Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Seksi Pemantauan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Pemantauan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan Tugas dan Fungsi Subdit Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 3. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; dan

27 18 4. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan Struktur Organisasi Subdit Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas : a. Seksi Standardisasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Standardisasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Seksi Bimbingan dan Pengendalian Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Bimbingan dan Pengendalian Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang program obat publik dan perbekalan kesehatan Tugas dan Fungsi Subdit Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan bahan pemantauan pelaksanaan kebijakan di bidang program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan b. Penyiapan bahan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang program obat publik dan perbekalan kesehatan.

28 Struktur Organisasi Subdit Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas : a. Seksi Pemantauan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Pemantauan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pemantauan pelaksanaan program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Seksi Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan evaluasi pelaksanaan program obat publik dan perbekalan kesehatan Subbagian Tata Usaha Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Tugas subbagian ini adalah melakukan urusan Tata Usaha dan rumah tangga Direktorat. Uraian tugas subbagian ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan penyiapan rancangan kegiatan Subbagian Tata Usaha berdasarkan rencana jangka panjang, menengah, dan pendek sesuai program dan referensi terkait; 2. Melakukan penyiapan rancangan rencana pelaksanaan kegiatan Subbagian Tata Usaha berdasarkan rencana tahunan; 3. Membimbing pelaksanaan tugas/kegiatan Subbagian Tata Usaha dengan memberi petunjuk dan membagi tugas agar pelaksanaan tugas/kegiatan dapat berjalan dengan lancar, tepat waktu, dan tepat guna; 4. Melakukan manajemen layanan ketatausahaan dan kerumahtanggaan dengan cara merencanakan, mengatur, dan mengevaluasi sumber daya yang ada di lingkungan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan agar pelaksanaan program/kegiatan sesuai dengan rencana; 5. Melakukan penyiapan rancangan usulan kebutuhan tenaga dan kebutuhan diklat pegawai di lingkungan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan

29 20 Kesehatan berdasarkan kebutuhan pelaksanaan program serta masukan dari unit kerja di lingkungan Direktorat; 6. Melakukan penyiapan rancangan usulan kebutuhan peralatan/ perlengkapan/fasilitas kerja di lingkungan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dan kebutuhan biaya pemeliharaannya berdasarkan kebutuhan pelaksanaan program serta masukan dari unit kerja di lingkungan Direktorat; 7. Melakukan penyiapan rancangan usulan kenaikan pangkat, Kejadian Luar Biasa (KLB), pemindahan, pemberhentian dan pensiun/cuti dan lain-lain di lingkungan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dengan cara menelaah/mengolah bahan/data kepegawaian yang ada dan usulan dari pegawai yang bersangkutan; 8. Melaporkan secara berkala pelaksanaan kegiatan layanan ketatausahaan dan kerumahtanggaan baik lisan maupun tertulis kepada Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dengan cara menyusun laporan sesuai dengan hasil pelaksanaan kegiatan; dan 9. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh atasan dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas. 3.6 Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang terdapat pada Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan berjumlah 35 orang dengan perincian sebagai berikut

30 21 Tabel 3.1 Sumber Daya Manusia (SDM) Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Organisasi Jumlah SDM Direktur Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 1 Subdirektorat Analisis Obat dan Standardisasi Harga Obat 5 Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 7 Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 7 Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 6 Subbagian Tata Usaha 9 Total 35

31 BAB 4 PEMBAHASAN Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memiliki tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/III/2010, kementerian kesehatan RI terdiri dari Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dan Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan dipimpin oleh Direktur Jenderal yang membawahi empat direktorat yaitu Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, dan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berupa Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2009 yang menetapkan bahwa tujuan dari pelayanan kefarmasian adalah tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang bermutu, bermanfaat, terjangkau untuk meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya. Hal tersebut diwujudkan oleh Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dalam sebuah misi yaitu terjaminnya ketersediaan, kemerataan, keterjangkauan obat perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010b). Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri dari empat subdirektorat yaitu subdirektorat analisis dan standardisasi harga obat, subdirektorat penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan, subdirektorat pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, subdirektorat pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. Pembagian tersebut dilakukan untuk dapat menjalani tugas dan fungsi secara maksimal agar tujuan tercapai. 22

32 Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat Subdirektorat ini berperan dalam keterjangkauan obat bagi masyarakat yang didukung dengan pelaksanaan tugas dalam subdirektorat analisis dan standardisasi harga obat sehingga diperoleh harga obat rasional yang terjangkau bagi masyarakat luas dan menguntungkan bagi pihak produsen. Output atau keluaran utama dari subdirektorat ini adalah berupa Surat Keputusan Harga Obat yang umum dikeluarkan tiap tahun baik berupa SK Harga Eceran tertinggi (HET), SK Harga Obat untuk Pengadaan Pemerintah, dan SK Harga Vaksin dan Serum. Harga obat yang ditentukan atau dkendalikan adalah harga obat generik, baik untuk pengadaan pemerintah, maupun yang langsung ke masyarakat melalui penjualan di apotek agar tercapai upaya kesehatan dasar. Penetapan harga obat generik dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi Harga Obat yang beranggotakan pejabat Kementerian Kesehatan, Badan POM, akademisi, lembaga konsumen, dan para pakar di bidang terkait. Perumusan rekomendasi harga obat generik tersebut dilakukan dengan pendekatan struktur harga obat dan kelayakan harga dalam kondisi nyata Indonesia Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat ini dibagi menjadi dua seksi yaitu seksi Perencanaan Penyediaan dan Seksi Pemantauan Ketersediaan Perencanaan Penyediaan Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan salah satu fungsi yang menentukan dalam proses pengadaan obat dan perbekalan kesehatan. Tujuan perencanaan adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar. Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan melalui jalur dari bawah ke atas (bottom-up), yaitu data kebutuhan diperoleh dari data pemakaian oleh Puskesmas setiap bulan yang kemudian dikompilasi dan dibuat suatu rencana kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan selama satu tahun. Dalam proses perencanaan kebutuhan obat per tahun, Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan LPLPO (Laporan Pemakaian dan

33 24 Lembar Permintaan Obat). Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas diwilayah kerjanya. Kemudian Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota melapor ke Dinas Kesehatan Propinsi setiap tiga bulan sekali, dan selanjutnya Dinas Kesehatan Propinsi membuat laporan ke Direktorat Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan. Ketepatan dan kebenaran data di Puskesmas akan berpengaruh terhadap ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan secara keseluruhan di Kabupaten/Kota (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota dilakukan oleh Tim Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Terpadu di Kabupaten/Kota yang dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota. Pembentukan tim perencanaan obat terpadu merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi yang terkait dengan perencanaan obat di setiap Kabupaten/Kota (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Proses perencanaan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama yaitu proses kompilasi, proses ini dilakukan pengisian Formulir Kompilasi pemakaian obat (IFK-1) dari masing-masing jenis obat untuk seluruh Puskesmas. Data pemakaian obat di Puskesmas diperoleh dari LPLPO dan pola penyakit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Tahap selanjutnya yaitu melakukan perhitungan kebutuhan obat yang dapat dilakukan dengan metoda konsumsi dan metoda morbiditas. Metoda konsumsi didasarkan atas data pemakaian obat tahun sebelumnya. Untuk memperoleh data pemakaian obat yang mendekati ketepatan, maka perlu dilakukan analisa trend (regresi linear) pemakaian obat tiga tahun sebelumnya atau lebih. Metode morbiditas didasarkan atas pola penyakit dengan memperhatikan perkembangan pola penyakit dan lead time. Perhitungan morbiditas diperoleh dari pengisian formulir IFK-2. Setelah melakukan perhitungan kebutuhan obat, selanjutnya adalah memproyeksikan kebutuhan obat. Pada tahap tersebut akan dibuat rancangan stok akhir untuk periode yang akan datang dan dihitung rancangan kebutuhan obat untuk tahun yang akan datang dengan mengisi Lembar Kerja

34 25 Perencanaan Pengadaan Obat dengan menggunakan formulir IFK-3. Kemudian dilakukan tahap penyesuaian rencana pengadaan obat dengan dana yang tersedia. Pada perencanaan kebutuhan obat, apabila dana tidak mencukupi, perlu dilakukan analisa kebutuhan sesuai anggaran yang ada (dengan menggunakan metode perhitungan ABC) dan untuk seleksi obat perlu dilakukan analisa VEN. Anggaran untuk pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan di unit PKD berasal dari APBN, APBD I, Dana Alokasi Umum (DAU) / APBD II, dan sumber-sumber lain, seperti Asuransi Kesehatan (ASKES). Sebelum tahun 2010, pengadaan obat berasal dari pusat (APBN) berupa obat dan perbekkes yang didistribusikan ke tiap Kabupaten/Kota dan berasal dari APBD dan Dana Alokasi Umum (DAU) berupa dana untuk pembelian atau pengadaan obat. Akan tetapi setelah 2010, pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan dari pusat dialihkan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK tersebut diberikan untuk Kabupaten/Kota tertentu, tergantung kemampuan keuangan dan letak geografis Kabupaten/Kota tersebut. Daerah yang tidak mendapatkan DAK maka pengadaan obatnya berasal dari APBD. Biasanya pemberian DAK dapat berbedabeda tiap tahun baik jumlah maupun lokasi daerahnya, tergantung perkembangan dari Kabupaten/Kota tersebut. Saat ini pusat bertindak sebagai pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan untuk stok pengaman nasional. Stok pengaman nasional merupakan cadangan obat yang dimiliki pemerintah pusat yang harus selalu ada pada saat dibutuhkan jika sewaktu-waktu terjadi kejadian luar biasa (KLB), seperti wabah penyakit, memenuhi kebutuhan obat ketika terjadi bencana alam dan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan obat pada Kabupaten/Kota, termasuk Kabupaten/Kota yang baru terbentuk. Pengadaan stok pengaman dilakukan satu tahun sekali oleh Kementerian Kesehatan RI. Obatobat yang termasuk dalam stok pengaman, meliputi obat untuk PKD, seperti obatobat golongan analgetik-antipiretik, antasida, antidiare, antibiotik, obat batuk, obat luka, dan obat kulit; obat-obat program seperti obat TB Paru, obat filariasis, obat penyakit kelamin, obat Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), obat perbaikan gizi dan obat polio; obat-obat yang digunakan pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB), termasuk juga obat-obat yang diperlukan pada saat terjadi bencana (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010a).

35 26 Agar kegiatan dalam perencanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan, dalam hal ini ditetapkan jadwal kegiatan yang disajikan dalam Rencana Kerja Operasional untuk perencanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota yang dimulai dari persiapan perencanaan, pelaksanaan perencanaan dan pengendalian perencanaan yang dilanjutkan dengan penyusunan rencana kerja operasional untuk pengadaan juga dimulai dari persiapan pengadaan, pelaksanaan pengadaan dengan menggunakan formulir IFK-4. Untuk pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota dan Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/ jasa Instansi pemerintah melalui lelang, pemilihan langsung, penunjukan langsung (untuk pengadaan skala kecil, telah dilakukan lelan ulang, pengadaan yang sifatnya mendesak, penyediaan barang/ jasa tunggal) dan swakelola. Adapun untuk pengadaan di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yang juga bertanggung jawab terhadap pengadaan obat program pemerintah yang dilakukan melalui proses lelang, hal ini ditujukan untuk memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi pada pelaksanaan lelang dan juga diharapkan akan diperoleh penawaran harga yang lebih bersaing. Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan adalah mencapai tersedianya jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan dengan mutu obat yang terjamin dan obat dapat diperoleh pada saat diperlukan. Maka perlu di perhatikan beberapa hal dalam pengadaan obat yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas obat, seperti kriteria obat dan perbekalan kesehatan/ memilih metode pengadaan, persyaratan pemasok, penentuan waktu kedatangan obat, penerimaan dan periksaan obat, dan pemantauan status pesanan. Pada kriteria umum dilakukan pemeriksaan admistratif dari obat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pada kriteria mutu obat dilakukan pemeriksaan secara organoleptik oleh Apoteker penanggung jawab Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. Persyaratan pemasok dapat mempengaruhi

36 27 kualitas dan kuantitas obat. Penetuan waktu pengadaan dan kedatangan obat ditetapkan berdasarkan hasil analisis data berupa sisa stok dengan memperhatikan waktu, jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran, ratarata pemakaian, waktu tunggu/lead time. Dan dari hasil data tersebut dapat dibuat profil pemakaian obat, penetapan waktu pesan dan waktu kedatangan obat. Penerimaan dan pemeriksaan obat harus sesuai dengan jenis dan jumlah serta sesuai dengan dokumen yang menyertainya. Selama proses pengadaan perlu dilakukan pemantauan status pesanan untuk mempercepat pengiriman sehingga efisiensi dapat ditingkatkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008) Pemantauan Ketersediaan Tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang bermutu, bermanfaat, terjangkau untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat tercapai dengan dilakukan pemantauan secara rutin. Pemantauan ketersediaan obat dilakukan menggunakan aplikasi software Sistem Informasi Obat. Input data penerimaan dan pengeluaran obat dikirimkan oleh pihak Puskesmas ke Instalasi Farmasi kabupaten/kota setiap tiga bulan sekali. Pihak Instalasi Farmasi kabupaten/kota akan memasukkan data tersebut ke software Sistem Informasi Obat untuk di proses. Pemantauan ketersediaan dilakukan berdasarkan obat indikator. Obat indikator tersebut dipilih berdasarkan kesepakatan dari pertemuan nasional dan biasanya merupakan obat dari sepuluh penyakit terbanyak atau obat yang banyak digunakan. Kelebihan penggunaan aplikasi software Sistem Informasi Obat adalah Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dapat melakukan pengawasan secara real time. Dengan demikian dapat diketahui jumlah pemakaian obat serta permintaan obat pada setiap Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang tersebar di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Sedangan kekurangan aplikasi Sistem Informasi Obat ini adalah diperlukan SDM yang terlatih dalam penggunaannya, serta software Sistem Informasi Obat tersebut tidak dapat digunakan sebagai parameter dalam melakukan perencanaan obat di periodeperiode berikutnya. Sehingga harus tetap dilakukan perencanaan yang matang berdasarkan data-data sebelumnya.

37 Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010). Obat publik adalah obat yang digunakan untuk pelayanan kesehatan dasar sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Tahapan pengelolaan antara lain perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi,hingga penggunaan. Salah satu tujuan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit Pelayanan Kesehatan Dasar atau Puskesmas. Pada proses pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan terdapat pembagian tugas dan peran di Tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Pada tahun 2011 Subdirektorat Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan memiliki program untuk melakukan harmonisasi pengadaan obat di Tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten /Kota. Harmonisasi ini diperlukan untuk mensinergiskan obat program dengan obat pelayanan kesehatan dasar (PKD) pada pelayanan kesehatan dasar. Obat PKD adalah obat-obat untuk pelayanan kesehatan dasar yang termasuk dalam obat DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional) dan obat program adalah obat yang disediakan untuk program kesehatan khusus yang diadakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan seperti TBC, malaria, dan AIDS. Permasalahan muncul ketika terdapat beberapa obat program yang termasuk dalam obat PKD seperti amoksisilin. Hal ini dapat memungkinkan terjadinya pemesanan ganda. Oleh karena itu diperlukan harmonisasi dalam pengadaannya. Hambatan yang dialami saat pelaksanaan adalah sulitnya menyatukan pemahaman mengenai pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan melalui satu pintu, hal ini disebabkan karena belum adanya pedoman pendistribusian khusus

38 29 obat publik dan perbekalan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut maka direncanakanlah pembuatan pedoman pendistribusian obat yang baik. Pedoman distribusi yang akan disusun diharapkan dapat menjaga mutu dan stabilitas obat. Selain itu pedoman tersebut harus bersifat applicable yaitu mudah dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi lapangan karena proses distribusi dilakukan oleh pihak ketiga yaitu pihak penyedia jasa pengantaran. Program yang direncanakan untuk tahun 2012 adalah memperbaiki pedoman pemusnahan, distribusi, perencanaan yang terpadu, buffer stock, dan pedoman instalasi farmasi yang lebih bertenaga. Terdapat beberapa tantangan yang dapat menghambat terlaksananya program di tahun 2012 antara lain tidak semua pihak menyetujui konsep yang dibuat, dalam membuat peraturan harus mudah diikuti, serta pencatatan dan pelaporan agar obat tersebut tepat penggunaan. Pedoman-pedoman yang disusun bersifat mengharuskan. Namun, jika terdapat kekurangan atau kesalahan dalam pelaksanaannya, instansi pelayanan kesehatan yang terlibat tidak diberikan hukuman namun diberikan bimbingan teknis agar pedoman dapat diterapkan secara keseluruhan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Proram Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Tugas utama dari subdit ini adalah memantau dan mengevaluasi apakah kegiatan atau program obat publik dan perbekalan kesehatan yang dilakukan dapat mendukung pencapaian sasaran hasil yaitu meningkatnya ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan dasar. Indikator pencapaian sasaran tersebut pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%, persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 80%, dan persentase instalasi farmasi kab/kota sesuai standar sebesar 80%. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Dari pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan akan diperoleh output berupa profil pencapaian indikator berdasarkan pengambilan data secara bottom up. Profil ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk menentukan langkah kedepan dan menentukan solusi terhadap kendala-kendala yang dihadapi. Pengambilan data tersebut dilakukan dari struktur

39 30 terendah kemudian di rekapitulasi ke sektor diatasnya. Data diserahkan oleh Instalasi Farmasi Kabupaten /Kota melalui format laporan pemantauan, kemudian di laporkan setiap dua bulan sekali ke Dinas Kesehatan Propinsi (secara berjenjang) atau ke Pusat (secara langsung). Saat ini pemantauan dan evaluasi dilakukan setiap satu tahun sekali. Idealnya ketersediaan obat dipantau setiap tiga bulan (triwulan) untuk mengetahui dinamika logistik di Instalasi Farmasi. Pemantauan dan evalausi ini baru dapat dilaksanakan di 3 kabupaten/kota tiap provinsi di Indonesia. Hal ini dikarenakan minimnya anggaran untuk pelaksanaan pemantauan dan evaluasi (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010). Untuk proses pemantauan dan evaluasi harus didukung dengan ketersediaan dana yang dibutuhkan dan sumber daya manusia yang kompeten di bidangnya, sehingga proses pemantauan dan evaluasi tersebut dapat berlangsung dengan baik, efektif, dan efisien (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi, maka pemerintah pusat akan memberikan bimbingan teknis kepada pihak yang dipantau dan dievaluasi, yaitu dinas kesehatan propinsi, kabupaten/kota maupun puskesmas. Agar pihak tersebut dapat mengetahui kekurangannya selama melakukan kegiatan atau program obat publik dan perbekalan kesehatan dan dapat meningkatkan kinerjanya. Untuk menjaga konsistensi pelaksanaan kegiatan/program perlu adanya dukungan dari berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan obat baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota.

40 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada bagian Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Adapun fungsi dari Direktorat tersebut adalah merumuskan kebijakan; pelaksanaan kebijakan; penyusunan norma, standard, prosedur, dan kriteria; pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan, serta pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standard, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Adapun fungsi dari Direktorat tersebut adalah penyiapan perumusan kebijakan; pelaksanaan kegiatan; penyiapan penyusunan norma, standard, prosedur, dan kriteria; penyiapan pemberian bimbingan teknis; evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; serta pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 3. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan telah melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan. 31

41 32 4. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan telah berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang diindikasikan dengan ketersediaan obat dan vaksin mencapai lebih dari 85% dan penggunaan obat generik di atas 65%. 5. Mahasiswa tidak dilibatkan secara langsung dalam teknis pelaksanaan kerja di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan sehingga mahasiswa kurang mengetahui teknis pelaksanaan kerja yang sebenarnya Saran Saran yang dapat diberikan dari kesimpulan di atas adalah sebagai berikut: 1. Pedoman-pedoman yang telah direncanakan sebaiknya segera disahkan, disosialisasikan, dan dilaksanakan pada tahun 2012 agar dapat meningkatkan pemenuhan terhadap kesehatan masyarakat. 2. Mahasiswa sebaiknya dilibatkan secara langsung dalam teknis pelaksanaan kerja di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.

42 33 DAFTAR REFERENSI Departemen Kesehatan RI. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1121/MENKES/SK/XII/2008 tentang Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI. (2009). Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tentang Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Departemen Kesehatan RI. (2010a). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1810/ MENKES/SK/XII/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan Tahun Anggaran Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI. (2010b). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. (2006). Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. (2010). Laporan hasil Manajemen Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Instansi pemerintah Tahun Jakarta : Departemen Kesehatan RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

43 LAMPIRAN

44 34 Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan

45 35 Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT BINA PELAYANAN KESEHATAN DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL BAGIAN PROGRAM DAN INFORMASI BAGIAN HUKUM, ORGANISASI, DAN HUBUNGAN MASYARAKAT BAGIAN KEUANGAN BAGIAN KEPEGAWAIAN DAN UMUM SUBBAGIAN PROGRAM INFORMASI SUBBAGIAN HUKUM SUBBAGIAN ANGGARAN SUBBAGIAN KEPEGAWAIAN SUBBAGIAN DATA DAN INFORMASI SUBBAGIAN ORGANSASI SUBBAGIAN PERBENDAHARAAN SUBBAGIAN TATA USAHA DAN GAJI SUBBAGIAN EVALUASI DAN PELAPORAN SUBBAGIAN HUBUNGAN MASYARAKAT SUBBAGIAN VERIFIKASI DAN AKUNTANSI SUBBAGIAN RUMAH TANGGA

46 36 Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT ANALISIS DAN STANDARDISASI HARGA OBAT SUBDIT PENYEDIAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBDIT PENGELOLAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBDIT PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI ANALISIS HARGA OBAT SEKSI PERENCANAAN PENYEDIAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI STANDARDISASI PENGELOLAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBBAGIAN KEPEGAWAIAN SEKSI STANDARDISASI HARGA OBAT SEKSI PEMANTAUAN KETERSEDIAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI BIMBINGAN DAN PENGENDALIAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SEKSI EVALUASI PROGRAM OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT STANDARDISASI SUBDIT FARMASI KOMUNITAS SUBDIT FARMASI KLINIK SUBDIT PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI STANDARDISASI PELAYANAN KEFARMASIAN SEKSI PELAYANAN FARMASI KOMUNITAS SEKSI PELAYANAN FARMASI KLINIK SEKSI PROMOSI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI STANDARDISASI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI FARMASI KOMUNITAS SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI FARMASI KLINIK SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL

47 37 Lampiran 6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT PENILAIAN ALAT KESEHATAN SUBDIT PENILAIAN PRODUK DIAGNOSTIK INVITRO DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBDIT INSPEKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA SUBDIT STANDARDISASI DAN SERTIFIKASI SEKSI ALAT KESEHATAN ELEKTROMEDIK SEKSI PRODUK DIAGNOSTIK INVITRO SEKSI INSPEKSI PRODUK SEKSI STANDARDISASI PRODUK SEKSI ALAT KESEHATAN NON ELEKTROMEDIK SEKSI PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA SEKSI INSPEKSI SARANA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI SEKSI STANDARDISASI DAN SERTIFIKASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan distribusi kefarmasian DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI OBAT DAN OBAT RASIONAL SUBDIT PRODUKSI KOSMETIKA DAN MAKANAN SUBDIT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, PREKURSOR, DAN SEDIAAN FARMASI KSUSUS SUBDIT KEMANDIRIAN OBAT DAN BAHAN BAKU OBAT SEKSI STANDARDISASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI SEKSI STANDARDISASI PRODUKSI KOSMETIKA DAN MAKNAN SEKSI NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI SEKSI ANALISIS OBAT DAN BAHAN BAKU OBAT SEKSI PERIZINAN SARANA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI SEKSI PERIZINAN SARANA PRODUKSI KOSMETIKA SEKSI SEDIAAN FARMASI KHUSUS SEKSI KERJA SAMA

48 UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE JANUARI 2012 RASIO HARGA OBAT NAMA DAGANG TERHADAP HET OBAT GENERIK DARI BEBERAPA SEDIAAN ANTIHIPERLIPIDEMIA AGATHA DWI SETIASTUTI, S.Farm ANGKATAN LXXIV FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPARTEMEN FARMASI DEPOK JUNI 2012

49 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL DAFTAR RUMUS... DAFTAR LAMPIRAN. i ii iii iv v BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat Pengertian Obat Kebijakan Pemerintah tentang Harga Obat Generik Akuntansi Biaya Komponen Harga Obat Antihiperlipidemia. 12 BAB 3. METODOLOGI PENGKAJIAN Waktu dan Tempat Pengkajian Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan Data 15 BAB 4. PEMBAHASAN Harga Obat Harga Eceran Tertinggi (HET) Analisis Rasio Beberapa Harga Obat Antihiperlipidemia.. 18 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 23 DAFTAR ACUAN.. 24 ii

50 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Perbandingan efektivitas beberapa antihiperlipidemia golongan statin iii

51 DAFTAR RUMUS Rumus 3.1. Rumus perhitungan rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik 15 iv

52 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Struktur organisasi direktorat bina obat publik dan perbekalan kesehatan.. 26 Cara perhitungan rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Pravastatin 10 mg. 27 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 5 mg. 28 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 10 mg 29 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 20 mg 30 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 40 mg 30 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Gemfibrozil 300 mg. 31 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Gemfibrozil 600 mg. 32 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Gemfibrozil 450 mg. 33 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Gemfibrozil 900 mg. 33 Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Pravastatin 10 mg 34 Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 5 mg. 34 Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 10 mg Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 20 mg Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Gemfibrozil 300 mg 37 Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Gemfibrozil 600 mg 38 v

53 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Dasar 1945, sumber-sumber yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak dikendalikan oleh negara, salah satunya adalah kesehatan. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang utuh dan meningkatkan ketahanan serta daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Salah satu aspek yang mempengaruhi akses pelayanan kesehatan dasar oleh masyarakat adalah harga obat. Oleh karena itu, harga obat menjadi hal yang penting untuk dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah, melalui Sub Direktorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat yang berada di bawah Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, melakukan pengaturan terhadap harga obat dengan penetapan harga eceran tertinggi (HET). HET merupakan harga jual tertinggi yang boleh diterapkan oleh fasilitas penyedia obat generik, seperti apotek maupun rumah sakit. Harga obat yang diatur oleh pemerintah adalah harga obat yang sering digunakan oleh masyarakat, salah satunya berupa obat generik. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik, terdapat 499 obat yang diatur harganya oleh pemerintah. Salah satu jenis obat generik yang diatur harganya oleh pemerintah melalui mekanisme HET adalah sediaan antihiperlipidemia. Sediaan antihiperlipidemia merupakan salah satu obat yang dibutuhkan secara luas oleh masyarakat karena 1

54 2 prevalensi hiperlipidemia di Indonesia cukup tinggi. Pasien dengan kondisi hiperlipidemia cenderung mengonsumsi antihiperlipidemia secara terus-menerus karena kondisi tersebut bersifat kronis. Jika tidak mendapatkan terapi yang berkesinambungan, pasien hiperlipidemia dapat mengalami komplikasi lebih lanjut sehingga menurunkan derajat kesehatan pasien. Oleh karena itu, pemerintah bertanggung jawab dalam mengontrol ketersediaan dan keterjangkauan sediaan antihiperlipidemia. Harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah di tingkat pusat terkadang tidak sejalan dengan harga obat yang ditemukan di pasaran. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah monitoring untuk mengevaluasi rasionalitas harga obat nama dagang yang beredar di pasaran dibandingkan dengan HET obat generik. 1.2 Tujuan Penyusunan tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami tentang perhitungan rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari beberapa sediaan antihiperlipidemia.

55 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat berada di bawah Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Subdirektorat tersebut mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang analisis dan standardisasi harga obat. Struktur organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran Tugas dan Fungsi Subdit Analisis dan Standardisasi Harga Obat (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010, 2010) Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat; 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat; 3. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat; dan 4. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat Struktur Organisasi Subdit Analisis dan Standardisasi Harga Obat (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010, 2010) Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat terdiri atas : 1. Seksi Analisis Harga Obat Seksi Analisis Harga Obat bertugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan, analisis, kajian, dan pemantauan harga obat. 3

56 4 2. Seksi Standardisasi Harga Obat Seksi Standardisasi Harga Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria harga obat (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010, 2010). 2.2 Pengertian obat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, obat adalah bahan yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit atau menyembuhkan seseorang dari penyakit (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990). Dari pengertian tersebut, dapat dilihat obat hanya digunakan pada proses penyembuhan saja. Dalam pengertian yang luas, obat bukan hanya digunakan untuk penyembuhan terhadap penyakit saja, tetapi juga dapat digunakan untuk mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan, dan memulihkan kesehatan, bahkan seringkali obat digunakan untuk mendiagnosis suatu penyakit (Bahfen, 2006). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43/MENKES/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), obat adalah tiap bahan atau campuran bahan yang dibuat, ditawarkan untuk dijual atau disajikan untuk digunakan (1) dalam pengobatan, peredaran, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, suatu kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; atau (2) dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organis pada manusia atau hewan. Beberapa istilah yang perlu diketahui tentang obat, antara lain : 1. Obat Paten adalah obat yang masih memiliki hak paten. 2. Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. 3. Obat Generik Bermerek/Bernama Dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan. 4. Obat Esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan

57 5 tercantum dalam Daftar Obat Esensial yang ditetapkan oleh Menteri (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010, 2010). 2.3 Kebijakan Pemerintah tentang Harga Obat Generik Dalam kurun waktu 5 tahun belakangan ini ( ), terdapat 4 kebijakan pemerintah yang dituang dalam keputusan menteri kesehatan tentang harga obat generik, yaitu : 1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 336/ MENKES/SK/V/2006 tentang harga obat generik. 2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 521/ MENKES/SK/IV/2007 tentang harga obat generik. 3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 302/MENKES/SK/III/2008 tentang harga obat generik. 4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.01/MENKES/146/I/2010 tentang harga obat generik. 5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik tahun Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 633/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Obat Untuk Pengadaan Pemerintah tahun Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik tahun 2011 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tersebut mengandung beberapa poin, yaitu : 1. Keputusan Menteri Kesehatan tentang harga eceran tertinggi obat generik tahun Harga eceran tertinggi obat generik tahun 2011 sebagaimana dimaksud Diktum kesatu, selanjutnya disingkat HET adalah harga jual tertinggi obat generik di apotek, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan

58 6 lainnya yang berlaku untuk seluruh Indonesia. 3. Rincian jenis obat, satuan kemasan, dan HET sebagaimana dimaksud Diktum kedua tercantum dalam lampiran keputusan ini. 4. Apotek, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang melayani penyerahan obat generik hanya dapat menjual pada harga maksimal sama dengan HET. 5. Pada saat keputusan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/MENKES/146/I/2010 tentang Harga Obat Generik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 6. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan Pengendalian Harga Obat Generik Akses terhadap obat esensial dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti penggunaan obat rasional (POR), hak asasi, sistem pengadaan dan pengendalian persediaan pada fasilitas pelayanan kesehatan, dan harga obat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan harga obat. Obat yang dikendalikan harganya oleh pemerintah adalah obat esensial, yaitu obat yang penting dan sering digunakan oleh masyarakat, salah satunya berupa obat generik. Penetapan harga obat generik dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi Harga Obat. Tim tersebut beranggotakan pejabat Kementerian Kesehatan, Badan POM, akademisi, lembaga perlindungan konsumen (YLKI), beberapa pakar di bidang terkait (IAI), dan perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik, terdapat 499 obat yang diatur harganya oleh pemerintah. Contoh obat tersebut adalah anti tuberkulosis (Rifampisin, Isoniazid, Etambutol, dan Pirazinamid), antidiabetik oral (Glibenklamid, Glimepiride, Glipizid, Gliquidon, dan Metformin HCl), anti hiperlipidemia (Pravastatin, Simvastatin, dan Gemfibrozil), serta anti hipertensi (Kaptopril, Atenolol, Bisoprolol, Furosemid, Lisinopril, Metildopa, Propranolol, Ramipril, Reserpin, dan Spironolakton). Perumusan rekomendasi harga obat generik dilakukan dengan pendekatan struktur harga obat dan kelayakan harga dalam kondisi nyata Indonesia. Mulamula Tim Evaluasi Harga Obat mengumpulkan daftar obat-obat esensial yang

59 7 digunakan dalam pelayanan kesehatan dasar. Harga obat-obat tersebut disesuaikan dengan harga bahan baku obat maupun biaya produksi dari obat tersebut untuk menetapkan tingkat rasionalitas dari harga obat. 2.4 Akuntansi Biaya Biaya Produksi dan Harga Pokok Produksi Kegiatan produksi merupakan penunjang utama dari penjualan artinya memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan penjualan serta pada kebijaksanaan persediaan produk. Biaya produksi adalah biaya yang terjadi pada fungsi produksi, dimana fungsi produksi merupakan fungsi yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi (Riwayadi, 2006). Adapun jenis-jenis biaya produksi dapat dikatagorikan sebagai berikut: 1. Biaya manufaktur langsung (Direct Manufacturing Cost) Biaya-biaya yang terjadi pada fungsi produksi yang dapat mudah dan akurat ditelusuri ke produk. Fungsi produksi adalah fungsi yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Dua jenis biaya manufaktur langsung yaitu: a. Bahan baku langsung (direct raw material cost) Semua bahan yang membutuhkan bagian-bagian integral dari barang jadi dan dapat dimasukkan langsung dalam kalkulasi produk. Bahan baku langsung adalah bahan yang dapat secara mudah dan akurat ditelusuri ke produk jadi. b. Tenaga kerja langsung (direct labor) Tenaga kerja yang dikerahkan untuk mengubah bahan baku langsung menjadi barang jadi dan diberikan upah atas pekerjaan tersebut. Tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang dapat ditelusuri pada barang atau jasa yang sedang diproduksi (Riwayadi, 2006). 2. Biaya manufaktur tidak langsung (Indirect manufacturing cost) Biaya yang terjadi pada fungsi produksi yang tidak dapat secara mudah dan akurat ditelusuri ke objek biaya karena biayanya dikonsumsi secara bersama oleh beberapa objek biaya. Yang terdiri dari: a. Overhead variabel, yaitu biaya yang jumlahnya berubah-ubah tergantung pada fluktuasi produksi atau pembelian.

60 8 b. Overhead tetap, yaitu biaya yang jumlahnya tidak berubah Biaya produksi membentuk harga pokok produksi, yang digunakan untuk menghitung harga pokok produk jadi dan harga pokok produk yang pada akhir periode akuntansi masih dalam proses. Secara garis besar, cara memproduksi produk dapat dibagi menjadi dua macam: produksi atas dasar pesanan, mengumpulkan harga pokok produksinya dengan menggunakan metode harga pokok pesanan (job order cost method) dan produksi massa, mengumpulkan harga pokok produksinya dengan menggunakan metode harga pokok proses (process cost method) (Mulyadi, 2000) Harga Pokok Penjualan Harga pokok penjualan adalah nilai yang ditetapkan oleh perusahaan terhadap barang dan jasa dalam hubungannya dengan penetapan harga yang didasarkan pada besarnya biaya produksi ditambahkan dengan keuntungan yang diharapkan. Terdapat 2 metode dalam menentukan harga pokok penjualan, yaitu : 1. Full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik, baik yang berperilaku variabel maupun tetap. 2. Variable costing, merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik variabel (Mulyadi, 2000) Keuntungan Keuntungan atau laba kontribusi merupakan kelebihan pendapatan penjualan diatas biaya variabel. Informasi laba kontribusi memberikan gambaran jumlah yang tersedia untuk menutup biaya tetap dan untuk menghasilkan laba. Semakin besar keuntungan atau laba kontribusi, semakin besar kesempatan yang diperoleh perusahaan untuk menutup biaya tetap dan untuk menghasilkan keuntungan (Mulyadi, 2000). Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keuntungan merupakan kelebihan pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha atau penjualan yang dikurangi dengan harga pokok penjualan.

61 Harga Jual Harga jual adalah suatu harga yang memberikan laba pada perusahaan yang menuntut adanya pengertian tentang biaya-biaya produksi dalam hubungannya dengan volume (Mulyadi, 2000). Penetapan harga jual merupakan suatu masalah yang rumit dan bukanlah merupakan tugas satu orang atau satu kegiatan. Dalam prakteknya, pemecahan masalah penetapan harga jual merupakan karya penelitian yang memerlukan kerja sama dan koordinasi diantara para ahli ekonomi, ahli statistik, spesialis pemasaran, ahli teknik industri, dan akuntan. Dalam suatu perusahaan manajer senantiasa memerlukan informasi biaya produksi dalam pengambilan keputusan terhadap harga jual. Menurut Zaki Baridwan, ada tiga bentuk penetapan harga jual, yaitu: 1. Penetapan harga jual oleh pasar. Harga ini betul-betul ditetapkan oleh mekanisme penawaran dan permintaan, dalam arti penjual tidak bisa menentukan harga. 2. Penetapan harga jual oleh pemerintah. Pemerintah berwenang untuk menetapkan harga barang atau jasa yang menyangkut kepentingan umum. 3. Penetapan harga jual yang dapat dikontrol oleh perusahaan. Harga ditetapkan oleh keputusan dan kebijaksanaan yang terdapat dalam suatu perusahaan walaupun faktor-faktor mekanisme penawaran dan permintaan serta ketetapan dari pemerintah tetap diperhatikan (Noviardy, 2011). 2.5 Komponen Harga Obat Menurut Soewarta Kosen (2003), health system specialist, komponen harga obat meliputi : 1. Harga produksi 2. Profit margin distributor 3. Profit margin pengecer 4. Pajak (import + PPN) 5. Biaya distribusi 6. Pajak bahan baku Berdasarkan survei harga obat di Indonesia tahun 2004, komponen harga obat meliputi :

62 10 1. Bahan baku obat 2. Manufacturing cost 3. Marketing 4. Distribution cost 5. Gross margin 6. Research and development 7. Harga jual dasar 8. Profit 9. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10. Diskon ke apotek/toko obat Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan (Idris dan Widjajarta, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, komponen harga obat generik meliputi : 1. Bahan aktif 2. Bahan pembantu 3. Bahan Kemasan 4. Biaya Produksi dan Biaya QC Biaya produksi adalah semua pengeluaran perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi oleh perusahaan tersebut. Untuk analisis biaya produksi perlu diperhatikan dua jangka waktu, yaitu : a. Jangka panjang, yaitu jangka waktu di mana semua faktor produksi dapat mengalami perubahan. b. Jangka pendek, yaitu jangka waktu dimana sebagian faktor produksi dapat berubah dan sebagian lainnya tidak dapat berubah. Dalam bab ini hanya dibahas biaya produksi jangka pendek. Biaya QC adalah biaya yang dikeluarkan selama proses quality control.

63 11 Tujuan Pengusaha menjalankan QC adalah untuk menperoleh keuntungan dengan cara yang fleksibel dan untuk menjamin agar pelanggan merasa puas, investasi bisa kembali, serta perusahaan mendapat keuntungan untuk jangka panjang. Bagian pemasaran dan bagian produksi tidak perlu melaksanakan, tetapi perlu kelancaran dengan memanfaatkan data, penelitian dan testing dengan analisa statistik dari bagian QC yang disampaikan kepada pihak produksi untuk mengetahui bagaimana hasil kerjanya sebagai langkah untuk perbaikan. Saat pelaksanaan pengujian QC dan testing bila ditemukan beberapa masalah khusus, perlu dibuat suatu studi agar dapat digunakan untuk mengatasi masalah di bagian produksi tersebut. Di samping tersebut di atas tugas bagian QC yaitu jika terjadi komplain, mengadakan cek ulang dan menyatakan kebenaran untuk bisa diterima secara terpisah lalu dilaporkan kepada departemen terkait untuk perbaikan proses selanjutnya. 5. Biaya Umum Biaya umum adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan secara keseluruhan dan tidak dapat dibebankan langsung ke setiap produk, departemen, atau segmen bisnis tertentu. 6. Biaya Modal Biaya modal merupakan konsep penting dalam analisis investasikarena dapat menunjukkan tingkat minimum laba investasi yang harus diperoleh dari investasi tersebut. Jika investasi itu tidak dapat menghasilkan laba investasi sekurangkurangnya sebesar biaya yang ditanggung maka investasi itu tidak perlu dilakukan. Lebih mudahnya, biaya modal merupakan rata-rata biaya dana yang akan dihimpun untuk melakukan suatu investasi. Dapat pula diartikan bahwa biaya modal suatu perusahaan adalah bagian (suku rate) yang harus dikeluarkan perusahaan untuk memberi kepuasan pada para investornya pada tingkat risiko tertentu. 7. Biaya Distribusi Biaya distribusi adalah biaya-biaya yang lazim berada di bawah pengendalian eksekutif pemasaran atau penjualan, tidak termasuk biaya administrasi umum dan biaya finansial. 8. Keuntungan sebelum pajak

64 Antihiperlipidemia (Ganiswarna et al., 1995 dan Sukandar et al., 2008) Golongan Statin Antihiperlipidemia golongan statin bekerja dengan cara menginhibisi secara kompetitif 3-hidroksi-3-metilglutaril KoA Reduktase (HMG KoA) reduktase, yaitu enzim yang mengkatalisis perubahan HMG KoA menjadi mevalonat yang dibutuhkan dalam biosintesis kolesterol. Akibatnya, terjadi penurunan kadar kolesterol, terutama LDL dalam plasma. Selain menghambat HMG KoA reduktase dan menghasilkan penurunan kolesterol, statin juga memiliki efek farmakologis lain yang disebut efek pleiotropik, yang mencakup memperbaiki fungsi endotel, mengurangi koagulasi darah, mengurangi inflamasi, dan meningkatkan stabilitas plak. Statin mampu menurunkan kadar LDL hingga 25-55%, TG 10-25%, serta meningkatkan HDL 5%. Statin dikontraindikasikan untuk pasien dengan penyakit hati, wanita hamil dan menyusui, serta kondisi hipersensitif. Efek samping statin di antaranya peningkatan transaminase hepatik hingga tiga kali lipat serta miopati dan rhabdomiolisis (insiden 0,01%). Dosis lazim statin yaitu mg/hari, sedangkan dosis maksimalnya 80mg/hari. Perbandingan efektivitas beberapa antihiperlipidemia golongan statin dapat dilihat pada Tabel 2.1. Beberapa contoh sediaan antihiperlipidemia golongan statin yaitu Zocor (simvastatin 5 dan 10 mg), Pravachol (pravastatin natrium 10 dan 20 mg), Lipovas (lovastatin 20 mg), Lipitor (kalsium atorvastatin 10, 20, dan 40 mg), Lescol XL (fluvastatin Na 40 mg), dan Crestor (kalsium rosuvastatin 10 dan 20 mg). Tabel 2.1. Perbandingan efektivitas beberapa antihiperlipidemia golongan statin Statin Trigliserida (TG) Kolesterol total VLDL LDL HDL Lovastatin Pravastatin Simvastatin Atorvastatin Fluvastatin Bile Acid Resin Mekanisme kerja Bile Acid Resin adalah dengan mengikat empedu dalam lumen usus untuk dikeluarkan melalui feses sehingga mencegah empedu kembali

65 13 ke hati melalui sirkulasi enterohepatik. Hal tersebut menyebabkan penurunan jumlah empedu sehingga merangsang sintesis empedu dari kolesterol. Biosintesis kolesterol menjadi empedu menyebabkan penurunan jumlah kolesterol di hati sehingga terjadi peningkatan ambilan kolesterol dari plasma. Peningkatan kebutuhan akan kolesterol oleh hati juga menyebabkan peningkatan ambilan kolesterol dari jaringan oleh HDL untuk dibawa ke hati dan disintesis menjadi empedu. Bile Acid Resin diindikasikan untuk hiperkolesterolemia primer dan untuk menurunkan kadar LDL. Obat tersebut dikontraindikasikan untuk pasien dengan kondisi hipersensitif atau gangguan saluran empedu. Efek samping yang timbul antara lain gangguan saluran cerna, seperti konstipasi, ketidaknyamanan abdomen, heartburn, flatulensi, mual, anoreksia, dan diare. Selain itu, Bile Acid Resin diduga dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia akibat terjadinya gangguan pada absorpsi vitamin D. Kolestiramin resin tidak boleh diminum dalam bentuk kering, melainkan harus dicampur dengan air atau cairan lain karena dapat mengikat obat lain yang diberikan bersamaan. Beberapa contoh sediaan Bile Acid Resin yaitu Questran (kolestiramin anhidrat 4g), Cholybar (kolestiramin 4g resin/batang), dan Colestid (kolestipol HCl serbuk 5 g/kemasan) Niasin (Asam Nikotinat) Niasin merupakan komponen vitamin B kompleks larut air yang hanya berfungsi sebagai vitamin dalam bentuk amida. Hanya niasin yang bukan dalam bentuk amida mempunyai efek penurunan lipid. Niasin menghambat adenilil siklase di adeposit dan menurunkan produksi camp sehingga mengurangi aktivitas lipase sensitif hormon, menghambat lipolisis TG, dan menurunkan kadar asam lemak bebas di plasma. Niasin dapat meningkatkan waktu paruh Apo-A HDL sehingga konsentrasi HDL plasma meningkat. Niasin adalah obat terbaik untuk meningkatkan HDL. Peningkatan HDL mencapai 30-40%. Selain itu, niasin menurunkan TG sebesar 35-45% dan LDL sebesar 20-30%. Niasin diindikasikan untuk hipertrigliseridemia dan hiperkolesterolemia dengan HDL rendah. Namun, niasin dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi hati, penyakit tukak peptik aktif, gout, serta

66 14 perdarahan arteri pada anak dan remaja. Dosis awal niasin adalah mg/hari, kemudian ditingkatkan perlahan sebesar mg/hari tiap 7 hari hingga mencapai dosis total 1,5-2 gram/hari. Efek samping yang timbul antara lain flushing dan pruritus, dispepsia, bersifat hepatotoksik, terjadi resistensi insulin, dan hiperurisemia. Contoh sediaan niasin yaitu Niaspan (Asam nikotinat 375, 500, 750, dan 1000 mg) Asam Fibrat Obat-obat golongan fibrat bekerja dengan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase sehingga meningkatkan hidrolisis triasilgliserida pada kilomikron dan VLDL. Akibatnya, terjadi penurunan kadar triasilgliserida dalam plasma. Obat-obat turunan asam fibrat merupakan pilihan untuk kondisi Trigliserida dan LDL yang tinggi, atau Trigliserida yang tinggi dan HDL yang rendah. Fibrat dikontraindikasikan terhadap pasien dengan gagal ginjal atau hati yang parah, wanita hamil, dan menyusui. Dosis lazim fibrat yaitu 600 mg (2x sehari) diminum 30 menit sebelum makan dengan dosis maksimum 1,5 g/hari. Efek samping obat golongan fibrat yang umum terjadi antara lain nyeri abdomen, diare, nyeri otot, dan rash. Contoh sediaan antihiperlipidemia golongan fibrat adalah Lopid (300mg/kapsul) Cholesterol Absorption Inhibitor Cholesterol Absorption Inhibitor bekerja secara selektif menghambat absorpsi kolesterol di brush border usus halus sehingga menurunkan kadar kolesterol plasma. Obat ini dapat menurunkan kadar kolesterol total, LDL, apob, dan trigliserida, serta memfasilitasi peningkatan HDL dalam darah. Dosis lazimnya yaitu 10 mg/hari). Obat tersebut dikontraindikasikan untuk pasien dengan kondisi hipersensitif dan pasien dengan penyakit hati sedang sampai parah. Wanita hamil dan menyusui, serta pasien dengan intoleransi galaktosa atau malabsorpsi glukosa-galaktosa tidak dianjurkan menggunakan obat ini. Efek samping yang timbul antara lain miopati, sakit kepala, nyeri dada, diare, hepatitis, pankreatitis, dan trombositopenia. Contoh sediaan Cholesterol Absorption Inhibitor yaitu Ezetrol Zetia (Ezetimibe 10 mg/tablet).

67 BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian Perhitungan rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dilakukan pada tanggal Januari 2012 di Sub Direktorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat yang berada di bawah Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 3.2 Metode Pengumpulan Data Data mengenai harga obat nama dagang yang digunakan dalam tugas khusus ini diperoleh dari Buku ISO (Informasi Spesialite Obat) volume 46 (Ikatan Apoteker Indonesia, 2011). Data HET obat generik diperoleh dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik. Kriteria inklusi yang digunakan dalam tugas khusus ini, yaitu : 1. Sediaan generik antihiperlipidemia yang diatur harga eceran tertingginya dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik 2. Sediaan nama dagang antihiperlipidemia yang mengandung zat aktif, serta memiliki bentuk dan kekuatan sediaan sesuai dengan yang terkandung dalam sediaan generik antihiperlipidemia pada nomor (1) 3. Sediaan nama dagang antihiperlipidemia tersebut tercantum dalam Buku ISO (Informasi Spesialite Obat) volume 46 (Ikatan Apoteker Indonesia, 2011). 3.3 Metode Pengolahan Data Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rasio = harga obat nama dagang per satuan HET obat generik per satuan (3.1.) 15

68 BAB 4 PEMBAHASAN Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang mutlak untuk dipenuhi oleh masyarakat. Di samping sebagai kebutuhan yang hakiki, kesehatan juga merupakan salah satu hak asasi setiap individu. Oleh karena itu, hal-hal yang menyangkut pelayanan kesehatan dasar dikendalikan oleh pemerintah. Salah satu aspek dalam pelayanan kesehatan dasar yang diatur oleh pemerintah adalah mengenai obat publik. Obat publik adalah obat-obatan yang digunakan dalam pelayanan kesehatan dasar, salah satunya berupa obat generik. Namun, pemanfaatan obat generik di Indonesia masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah masih tingginya mis-persepsi dalam masyarakat mengenai obat generik. Sebagian masyarakat dan tenaga kesehatan masih menganggap bahwa obat generik adalah obat yang kurang bermutu. Selain itu, penyediaan obat generik di apotek masih terbatas. Berdasarkan Surat Edaran dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, setiap apotek wajib menyediakan obat generik. Namun, praktik di lapangan tidak demikian. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh minimnya keuntungan yang dapat diperoleh dari penjualan obat generik. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatur penyediaan, pengelolaan, dan pemantauan obat generik masih sangat dibutuhkan. 4.1 Harga Obat Salah satu hal mendasar yang perlu untuk dikendalikan menyangkut obat generik adalah masalah harga obat. Obat merupakan suatu komoditas yang membutuhkan perlakuan khusus. Faktor- faktor yang mempengaruhi harga obat antara lain harga bahan baku obat, faktor teknologi dalam memproduksi sediaan obat tersebut, biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan/riset suatu sediaan obat, biaya yang dibutuhkan untuk prosedur registrasi, dan faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam proses produksi (listrik, sumber daya manusia, perawatan mesin produksi, dan lain-lain). Bahan baku obat yang digunakan di Indonesia 96% berasal dari luar negeri. Tingginya pemakaian bahan baku obat impor tersebut disebabkan oleh berbagai kondisi dan regulasi yang membatasi riset dan 16

69 17 penggunaan bahan baku obat produksi Indonesia. Oleh karena itu, harga bahan baku obat sangat bergantung dari kurs mata uang asing. Harga bahan baku obat yang mahal menyebabkan tingginya biaya produksi. Di samping itu, riset/pengembangan obat dan pengadaan teknologi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 4.2 Harga Eceran Tertinggi (HET) Pengaturan harga obat generik yang dilakukan oleh pemerintah berupa penetapan harga eceran tertinggi (HET). HET merupakan harga jual tertinggi yang boleh diterapkan oleh fasilitas penyedia obat generik, seperti apotek maupun rumah sakit. HET juga harus dicantumkan pada kemasan sediaan obat oleh pihak produsen obat tersebut. Pemerintah berkewajiban dalam merasionalisasikan harga obat supaya harga obat yang ditetapkan dapat memberikan keuntungan bagi pihak pengusaha dan tetap dapat terjangkau oleh masyarakat. Harga obat yang diatur oleh pemerintah adalah harga obat yang sering digunakan oleh masyarakat, salah satunya berupa obat generik. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik, terdapat 499 obat yang diatur harganya oleh pemerintah. Pemerintah menetapkan HET melalui Sub Direktorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat yang berada di bawah Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kegiatan yang dilakukan oleh Subdir tersebut antara lain membantu menetapkan harga obat dan perbekalan kesehatan serta pemantauan dan pembinaan mengenai harga obat ke tiap regional daerah HET. Penetapan HET dibagi dalam 4 regional, yaitu : 1. Regional I, meliputi Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali 2. Regional II, meliputi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka-Belitung, Kepulauan Riau, dan NTB 3. Regional III, meliputi Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,

70 18 Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Gorontalo 4. Regional IV, meliputi NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat Penetapan harga obat generik dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi Harga Obat. Tim tersebut beranggotakan pejabat Kementerian Kesehatan, Badan POM, akademisi, lembaga perlindungan konsumen (YLKI), beberapa pakar di bidang terkait (IAI), dan perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Perumusan rekomendasi harga obat generik dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengumpulan daftar obat-obat esensial yang digunakan dalam pelayanan kesehatan dasar, kemudian harga obat-obat tersebut disesuaikan dengan harga bahan baku obat maupun biaya produksi dari obat tersebut untuk menetapkan tingkat rasionalitas dari harga obat. 4.3 Analisis Rasio Beberapa Harga Obat Antihiperlipidemia Penetapan harga obat generik yang dilakukan di tingkat pemerintah pusat (sebagai regulator) terkadang tidak sejalan dengan praktik yang ditemukan di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah pemantauan secara berkala mengenai penerapan harga obat generik di masyarakat. Berdasarkan hasil pemantauan tersebut, dilakukan suatu analisis untuk menentukan rasio antara harga obat nama dagang, yang diperoleh dari hasil monitoring, terhadap HET obat generik. Dalam laporan ini, penulis membandingkan harga obat nama dagang dengan HET obat generik dari beberapa antihiperlipidemia, yaitu Pravastatin 10 mg, Simvastatin (5, 10, dan 20 mg), dan Gemfibrozil (300 dan 600 mg). HET yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632 tahun 2011 adalah untuk obat generik dengan bentuk sediaan konvensional. Oleh karena itu, analisis rasio harga hanya dilakukan terhadap beberapa obat nama dagang dengan bentuk sediaan konvensional yang memiliki kekuatan sediaan tertentu, seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan tersebut Pravastatin Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Pravastatin 10 mg berkisar antara 2,89-5,52. Obat dengan rasio tertinggi yaitu

71 19 Pravachol yang diproduksi oleh Bristol Myers Squibb, sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Cholespar yang diproduksi oleh Pharos. Pravinat (produksi Interbat) dan Gravastin (produksi Molex Ayus) tidak dapat ditentukan rasionya karena harga obat-obat tersebut tidak tercantum dalam ISO Indonesia Volume 46. Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Simvastatin Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik, terdapat 3 kekuatan sediaan untuk Simvastatin, yaitu 5 mg, 10 mg, dan 20 mg. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Simvastatin 5 mg berkisar antara 7,17-13,4. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Sinova yang diproduksi oleh Combiphar, sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Phalol yang diproduksi oleh Phapros. Simcor (produksi Medikon Prima) dan Statkoles (produksi Harsen) tidak dapat ditentukan rasionya karena harga obat-obat tersebut tidak tercantum dalam ISO Indonesia Volume 46. Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 12. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Simvastatin 10 mg berkisar antara 0,68-10,4. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Valemia yang diproduksi oleh Sanbe Farma, sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Simvastatin yang diproduksi oleh Hexpharm. Lesvatin (produksi Gracia Pharmindo), Selvim (produksi Ifars), Simcor (produksi Medikon Prima), dan Statkoles (produksi Harsen) tidak dapat ditentukan rasionya karena harga obat-obat tersebut tidak tercantum dalam ISO Indonesia Volume 46. Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 13. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Simvastatin 20 mg berkisar antara 0,85-3,48. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Lipinorm yang diproduksi oleh Dankos, sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Valansim yang diproduksi oleh Landson. Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 14. Dalam ISO Indonesia Volume 46, terdapat Simvastatin dengan kekuatan sediaan 40 mg, yaitu Lipinorm yang diproduksi oleh Dankos. Namun, HET obat generik untuk Simvastatin 40 mg tidak tercantum dalam Keputusan Menteri

72 20 Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik sehingga rasio harga obat tersebut terhadap HET obat generik tidak dapat ditentukan Gemfibrozil Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik, terdapat 2 kekuatan sediaan untuk Gemfibrozil, yaitu 300 mg dan 600 mg. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Gemfibrozil 300 mg berkisar antara 2,41-14,8. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Lopid yang diproduksi oleh Pfizer, sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Lipidan yang diproduksi oleh Dankos. Carlipid (produksi Sampharindo Perdana), Dubrozil (produksi Alpharma), Kolenin (produksi Heroic), Lowlip (produksi Medikon Prima), dan Lypicam (produksi First Medipharma) tidak dapat ditentukan rasionya karena harga obat-obat tersebut tidak tercantum dalam ISO Indonesia Volume 46. Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 15. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Gemfibrozil 600 mg berkisar antara 1,65-7,8. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Nufalemzil yang diproduksi oleh Nufarindo, sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Mersikol yang diproduksi oleh Mersi. Dubrozil (produksi Alpharma), Grospid (produksi Gratia Husada Farma), dan Lypicam (produksi First Medipharma) tidak dapat ditentukan rasionya karena harga obat-obat tersebut tidak tercantum dalam ISO Indonesia Volume 46. Data hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 16. Dalam ISO Indonesia Volume 46, terdapat Gemfibrozil dengan kekuatan sediaan 450 dan 900 mg. Gemfibrozil 450 mg berupa Lopid (Pfizer) dan Zenibroz (Zenith). Gemfibrozil 900 mg berupa Inobes (Prafa), Lopid (Pfizer), dan Mersikol (Mersi). Namun, HET obat generik untuk Gemfibrozil 450 maupun 900 mg tidak tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik sehingga rasio harga obat-obat tersebut terhadap HET obat generik tidak dapat ditentukan.

73 21 Berdasarkan hasil perhitungan, terdapat rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dengan nilai kurang dari 1. Hal tersebut berarti harga obat nama dagang lebih rendah dibandingkan HET obat generik. Obat nama dagang dengan rasio terhadap HET obat generik lebih kecil dari 1 yaitu : 1. Simvastatin (produksi Hexpharm) yang mengandung simvastatin 10 mg, dengan nilai rasio 0,68 2. Valansim (produksi Landson) yang mengandung simvastatin 20 mg, dengan nilai rasio 0,85 3. Valansim (produksi Landson) yang mengandung simvastatin 10 mg, dengan nilai rasio 0,91 Harga beberapa obat nama dagang yang berada di bawah HET obat generik tersebut diduga disebabkan oleh : 1. Simvastatin (produksi Hexpharm) merupakan salah satu obat generik berlogo yang beredar di Indonesia sehingga dapat dipahami jika harga obat tersebut lebih rendah daripada HET obat generik yang ditentukan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik. 2. Mekanisme harga obat ditentukan oleh berbagai faktor, seperti biaya produksi, biaya pemasaran, pajak, maupun biaya distribusi. Jika terdapat harga obat nama dagang yang lebih rendah daripada HET obat generik, kemungkinan produsen obat tersebut telah melakukan efisiensi di berbagai bidang sehingga menurunkan biaya-biaya yang mempengaruhi harga obat.

74 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesehatan merupakan hak asasi setiap masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah bertanggung jawab dalam mengendalikan upaya-upaya penyelenggaraan kesehatan dasar. Salah satu aspek yang mempengaruhi akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar adalah harga obat. Oleh karena itu, pemerintah melalui Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat yang berada di bawah Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melakukan pengaturan dan pemantauan terhadap harga obat. Harga obat yang dikendalikan oleh pemerintah adalah obat yang sering digunakan oleh masyarakat. Pengaturan tersebut dilakukan dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Pengaturan harga obat diperlukan untuk mencapai harga obat yang rasional sehingga dapat memberikan keuntungan kepada pihak produsen dan terjangkau oleh masyarakat. Harga obat yang ditetapkan oleh pemerintah terkadang tidak sejalan dengan harga obat yang ditemukan di pasaran. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pemantauan dan penilaian terhadap rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik. Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Pravastatin 10 mg berkisar antara 2,89-5,52. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Pravachol (Bristol Myers Squibb), sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Cholespar (Pharos). 2. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Simvastatin 5 mg berkisar antara 7,17-13,4. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Sinova (Combiphar), sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Phalol (Phapros). 3. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Simvastatin 10 mg berkisar antara 0,68-10,4. Obat dengan rasio tertinggi yaitu 22

75 23 Valemia (Sanbe Farma), sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Simvastatin (Hexpharm). 4. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Simvastatin 20 mg berkisar antara 0,85-3,48. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Lipinorm (Dankos), sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Valansim (Landson). 5. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Gemfibrozil 300 mg berkisar antara 2,41-14,8. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Lopid (Pfizer), sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Lipidan (Dankos). 6. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik untuk Gemfibrozil 600 mg berkisar antara 1,65-7,8. Obat dengan rasio tertinggi yaitu Nufalemzil (Nufarindo), sedangkan obat dengan rasio terendah adalah Mersikol (Mersi). 5.2 Saran Untuk mencapai harga obat yang rasional, dapat diupayakan langkahlangkah sebagai berikut : 1. Sebaiknya dilakukan penyesuaian antara nama, bentuk, dan kekuatan sediaan antara obat nama dagang yang beredar di pasaran dengan obat generik yang tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik agar analisis harga obat menjadi lebih sinergis 2. Diperlukan pengaturan terhadap harga obat nama dagang agar dapat terjangkau oleh masyarakat 3. Sebaiknya direncanakan pengadaan sistem ISO (Informasi Spesialite Obat) Indonesia secara on line untuk mempermudah pengendalian dan pemantauan terhadap harga obat nama dagang

76 DAFTAR ACUAN Bahfen, F. (2006). Peraturan Dalam Produksi dan Peredaran Obat. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka. Ganiswarna, et al. (1995). Farmakologi dan terapi (edisi ke-4). Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran. Idris, F. dan Widjajarta, M. (2007). Obat Generik, Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah. generik/. Diunduh pada tanggal 20 Januari 2012 pukul 15:30. Ikatan Apoteker Indonesia. (2011). Informasi Spesialite Obat (ISO) Volume 46. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 43/MENKES/SK/II/1988. (1988). Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 632/MENKES/SK/III/ (2011). Harga Eceran Tertinggi Obat Generik tahun Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kosen, S. (2003). Komponen Harga Obat Secara Umum. Jakarta: Badan LitBang Kesehatan. Mulyadi. (2000). Akuntansi Biaya. Yogyakarta: Aditya Media. Noviardy, A. (2011). Analisis Penetuan Harga Pokok Produksi Pupuk Urea dan Keuntungan yang Ingin Dicapai dalam Menetapkan Harga Jual di PT.Pupuk Sriwijaya Palembang. Diunduh pada tanggal 20 Januari 2012 pukul 10:15. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/ (2010). Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/ 068/I/2010. (2010). Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas 24

77 25 Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riwayadi. (2006). Akuntansi Biaya. Padang: Andalas University Press. Sukandar, E.Y., et al. (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI Penerbitan.

78 LAMPIRAN

79 26 Lampiran 1. Perbekalan Kesehatan Struktur organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan

80 27 Lampiran 2. Cara perhitungan rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik Rasio = harga obat nama dagang per satuan HET obat generik per satuan Lampiran 3. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung pravastatin 10 mg No. Nama obat Produsen Harga obat per satuan HET generik Rasio 1. Pravachol 10 mg Bristol Myers Squibb Rp 12616,67 5,52 2. Cholespar 10 mg Pharos Rp 6600,00 2,89 3. Mevachol Meprofarm Rp 8000,00 3,50 Pravastatin 4. Pravinat 10 Interbat - - tablet 10 mg: 5. Koleskol 10 mg tab Mestika Farma Rp 7250,00 3,17 Rp 2286,90 Sankyo, Kimia 6. Mevalotin Rp 8873,33 3,88 Farma 7. Gravastin (10 mg/60 s) Molex Ayus - - Keterangan : : Rasio tertinggi : Rasio terendah

81 28 Lampiran 4. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung simvastatin 5 mg No. Nama obat Produsen Harga obat HET generik Rasio 1. Detrovel Fahrenheit Rp 3500,00 9,75 2. Phalol Phapros Rp 2573,33 7,17 3. Rendapid Bernofarm Rp 4000,00 11,1 Simvastatin 4. Simbado Lapi Rp 2800,00 7,8 tablet 5 mg : 5. Simcor (5 mg/30 s) Medikon Prima - - Rp 359,10 6. Sinova Combiphar Rp 4810,00 13,4 7. Statkoles (5 mg/100 s) Harsen Valemia Sanbe Farma Rp 4400,00 12,3 9. Vaster Nicholas Rp 4033,33 11,2 Keterangan : : Rasio tertinggi : Rasio terendah

82 29 Lampiran 5. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung simvastatin 10 mg No. Nama obat Produsen Harga obat HET generik Rasio 1. Cholestat Kalbe Farma Rp 7150,00 9,96 2. Detrovel Fahrenheit Rp 5800,00 8,08 3. Ethicol Ethica Rp 3300,00 4,59 4. Lesvatin Gracia Pharmindo Lipinorm Dankos Rp 3000,00 4,18 6. Mersivas Mersi Rp 6600,00 9,19 7. Normofat Soho Rp 4500,00 6,27 8. Phalol Phapros Rp 5250,00 7,31 9. Pontizoc Nufarindo Rp 762,00 1, Preschol 10 Promedrahardjo Rp 4000,00 5, Rechol Pharos Rp 3316,67 Simvastatin 4, Rendapid Bernofarm Rp 6800,00 tablet 10 mg : 9, Rocoz Pyridam Rp 6600,00 Rp 718,20 9, Selvim (10 mg/ 50 s) Ifars Simbado Lapi Rp 5300,00 7, Simcor (10 mg/ 30 s) Medikon Prima Simvastatin Hexpharm Rp 490,00 0, Sinova Combiphar Rp 6000,00 8, Statkoles (10 mg/ 100 s) Harsen Valansim Landson Rp 650,00 0, Valemia Sanbe Farma Rp 7500,00 10,4 22. Vaster Nicholas Rp 7333,33 10,2 Keterangan : : Rasio tertinggi : Rasio terendah

83 30 Lampiran 6. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung simvastatin 20 mg No. Nama obat Produsen Harga obat HET generik Rasio 1. Lipinorm Dankos Rp 5000,00 Simvastatin 3,48 2. Valansim Landson Rp 1216,67 tablet 20 mg : Rp 1436,40 0,85 Keterangan : : Rasio tertinggi : Rasio terendah Lampiran 7. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung simvastatin 40 mg No. Nama Obat Produsen Harga obat HET Generik Rasio 1. Lipinorm Dankos Rp 9000,00 - -

84 31 Lampiran 8. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung gemfibrozil 300 mg No. Nama obat Produsen Harga per HET satuan obat generik Rasio 1. Carlipid 300 Sampharindo mg/100 s Perdana Dubrozil 300 mg/100 s Alpharma Fetinor Otto Rp 1400,00 3,75 4. Hypofil Sanbe Farma Rp 1800,00 4,82 5. Inobes Prafa Rp 1785,00 4,78 6. Kolenin 300 mg/100 s Heroic Lifibron Metiska Farma Rp 1625,00 4,35 8. Lipidan Dankos Rp 900,00 2,41 Gemfibrozil 9. Lipira Combiphar Rp 1705,00 4, mg : 10. Lipres Coronet Crown Rp 2000,00 5,35 Rp 373, Lokoles Corsa Rp 1440,00 3, Lopid Pfizer Rp 5517,96 14,8 13. Lowlip 300 Medikon mg/100 s Prima Lypicam 300 First mg/100 s Medipharma Mersikol Mersi Rp 1675,00 4, Progemzal Sandoz Rp 1600,00 4, Scantipid Tempo Scan Pacific Rp 1700,00 4, Zilop Nicholas Rp 1815,00 4,86 Keterangan : : Rasio tertinggi : Rasio terendah

85 32 Lampiran 9. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung gemfibrozil 600 mg No. Nama obat Produsen Harga per satuan obat HET generik Rasio 1. Dubrozil 600 mg/50 s Alpharma Fibralip Tunggal Idaman Abadi Rp 2420,00 3,63 3. Grospid 600 mg/100 s Gratia Husada Farma Inobes Prafa Rp 3200,00 4,81 5. Lapibroz Lapi Rp 2500,00 3,75 6. Lifibron Metiska Farma Rp 3097,50 4,65 7. Lipidan Dankos Rp 1750,00 Gemfibrozil 2,63 8. Lipira Combiphar Rp 3000, mg : 4,51 9. Lipitrop Tropica Mas Rp 4500,00 Rp 665,92 6, Lokoles Corsa Rp 2760,00 4, Lopid Pfizer Rp 2140,00 3, Lypicam 600 mg/100 s First Medipharma Mersikol Mersi Rp 1100,00 1, Nufalemzil Nufarindo Rp 5197,50 7,8 15. Renabrazin Fahrenheit Rp 2860,00 4, Zilop Nicholas Rp 3190,00 4,79 Keterangan : : Rasio tertinggi : Rasio terendah

86 33 Lampiran 10. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung gemfibrozil 450 mg No. Nama obat Produsen Harga per HET satuan obat generik Rasio 1. Lopid Pfizer Rp 1800, Zenibroz 450 mg/30 s Zenith Lampiran 11. Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung gemfibrozil 900 mg No. Nama obat Produsen Harga per HET satuan obat generik Rasio 1. Inobes Prafa Rp 6500, Lopid Pfizer Rp 13035, Mersikol Mersi Rp 1500,00 - -

87 34 Lampiran 12. Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung pravastatin 10 mg Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Pravastatin 10 mg Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik Pravachol Cholespar Mevachol Koleskol Mevalotin Obat nama dagang Lampiran 13. Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung simvastatin 5 mg Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 5 mg Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik Obat nama dagang

88 35 Lampiran 14. Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung simvastatin 10 mg 12 Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 10 mg 10 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik Obat nama dagang 35

89 36 Lampiran 15. Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung simvastatin 20 mg Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Simvastatin 20 mg Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik Lipinorm Valansim Obat nama dagang

90 37 Lampiran 16. Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung gemfibrozil 300 mg Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Gemfibrozil 300 mg Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik Obat nama dagang 37

91 38 Lampiran 17. Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung gemfibrozil 600 mg Grafik rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik dari sediaan yang mengandung Gemfibrozil 600 mg 8 Rasio harga obat nama dagang terhadap HET obat generik Obat nama dagang 38

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALANKESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DITJEN BINFAR DAN ALKES KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JL. H.R. RASUNA SAID

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANITA HASAN,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANATRIA KHOLIYAH,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Anita Karlina, S.Farm.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK KIMIA FARMA MENTENG HUIS JALAN CIKINI RAYA NO. 2 JAKARTA PUSAT PERIODE 13 FEBRUARI 22 MARET 2012 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BIA PRODUKSI DA DISTRIBUSI KEFARMASIA DIREKTORAT JEDERAL BIA KEFARMASIA DA ALAT KESEHATA KEMETERIA KESEHATA REPUBLIK IDOESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. No.585, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1144/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELANYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 DENGAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORATT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan; 2. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 3. Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan; dan 4. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan STAF AHLI STRUKTUR

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bid. Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 2. Staf Ahli Bid. Pembiayaan & Pemberdayaan Masyarakat; 3. Staf Ahli Bid. Perlindungan Faktor Resiko Kesehatan; 4. Staf Ahli Bid Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 17 /PER/M.KOMINFO/10/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan.

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan. KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT dan atas berkat dan karunianya Buku Laporan Tahunan Pelaksanaan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Kebijakan Obat dan Pelayanan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Kebijakan Obat dan Pelayanan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Kebijakan Obat dan Pelayanan Kesehatan Menurut Kemenkes RI (2006), Obat adalah bahan atau paduan bahanbahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyedilidki

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN 2.1. Sejarah Organisasi Pada tanggal 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai

Lebih terperinci

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006 KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006 Oleh : Drs. Richard Panjaitan, Apt., SKM DISAMPAIKAN PADA WORKSHOP KETERSEDIAAN, KETERJANGKAUAN DAN PEMERATAAN OBAT ESENSIAL GENERIK

Lebih terperinci

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RANCANGAN REVISI PP 38/2007 DAN NSPK DI LINGKUNGAN DITJEN BINFAR DAN ALKES Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DISAMPAIKAN PADA SEMILOKA REVISI PP38/2007 DAN NSPK : IMPLIKASINYA TERHADAP

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/XI/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KESEHATAN MENTERI

Lebih terperinci

PERAN APOTEKER DI DALAM PENGELOLAAN OBAT DAN ALKES DI INSTALASI FARMASI PROVINSI, KABUPATEN/ KOTA. Hardiah Djuliani

PERAN APOTEKER DI DALAM PENGELOLAAN OBAT DAN ALKES DI INSTALASI FARMASI PROVINSI, KABUPATEN/ KOTA. Hardiah Djuliani PERAN APOTEKER DI DALAM PENGELOLAAN OBAT DAN ALKES DI INSTALASI FARMASI PROVINSI, KABUPATEN/ KOTA. Hardiah Djuliani LANDASAN HUKUM UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan PP 51 Th. 2009 tentang pekerjaan

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang penting dan menjadi hak semua orang. Kesehatan yang dimaksud tidak hanya sekedar sehat secara fisik atau jasmani, tetapi juga secara mental,

Lebih terperinci

Kepala Dinas mempunyai tugas :

Kepala Dinas mempunyai tugas : Kepala Dinas mempunyai tugas : a. menyelenggarakan perumusan dan penetapan program kerja Dinas; d. menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis di bidang kesehatan; e. menyelenggarakan urusan pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN SALINAN NOMOR 26/2016 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL (RSUPN) Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 50 BOGOR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian

Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Rapat Koordinasi Nasional Palu, 31 Maret 2015 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLATEN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLATEN, BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KLATEN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN SUSUNAN ORGANISASI TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KLATEN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : bahwa sebagai

Lebih terperinci

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 DIREKTORAT PELAYANAN KEFARMASIAN Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan KEMENTERIAN KESEHATAN RI KATA PENGANTAR Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan Provinsi Kepulauan dengan jumlah pulau 1.192, 305 kecamatan dan 3.270 desa/kelurahan. Sebanyak 22 Kabupaten/Kota di Provinsi

Lebih terperinci

URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MADIUN

URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MADIUN URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MADIUN No 1 Kepala Dinas membantu Walikota melaksanakan Urusan Pemerintahan di bidang kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGADAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN UNTUK PELAYANAN KESEHATAN DASAR

PEDOMAN TEKNIS PENGADAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN UNTUK PELAYANAN KESEHATAN DASAR LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 1121/MENKES/SK/XII/2008 TANGGAL : 1 DESEMBER 2008 PEDOMAN TEKNIS PENGADAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN UNTUK PELAYANAN KESEHATAN DASAR I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

nasional. Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa

nasional. Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa 73 I.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengawasan Obat dan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta BAB IX DINAS KESEHATAN Bagian Kesatu Susunan Organisasi Pasal 158 Susunan Organisasi Dinas Kesehatan, terdiri dari: a. Kepala Dinas; b. Sekretaris, membawahkan: 1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; 2. Sub

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 55 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/497/2016 TENTANG PANITIA PENYELENGGARA PERINGATAN HARI KESEHATAN NASIONAL KE-52 TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN

RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN 2005 2009 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI [Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp.JP(K)] NOMOR 331/MENKES/SK/V/2006 RENCANA STRATEGI DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN 2005

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Rencana Aksi Kegiatan

Rencana Aksi Kegiatan Rencana Aksi Kegiatan 2015-2019 DUKUNGAN MANAJEMEN DAN PELAKSANAAN TUGAS TEKNIS LAINNYA PADA PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN

Lebih terperinci