UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Anita Karlina, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012

2 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT BINTANG TOEDJOE DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker Anita Karlina, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012

3 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Anita Karlina NPM : Tanda Tangan : Tanggal : 22 Desember 2012

4 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademika, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Anita Karlina NPM : Program Studi : Apoteker Fakultas : Farmasi Jenis karya : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: 1. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 18 Juni 29 Juni Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT. Bintang Toedjoe Jalan Rawa Sumur Barat II/K9 Kawasan Industri Pulogadung Periode 2 Juli 31 Agustus Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Atrika Jalan Kartini Raya No. 34 Jakarta Pusat Periode 13 September 24 Oktober beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan karya ilmiah saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 22 Desember 2012 Yang menyatakan, (Anita Karlina)

5 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE JUNI 2012 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Anita Karlina, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012

6 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE JUNI 2012 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker Anita Karlina, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012 ii

7 iii

8 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Angkatan LXXV, yang diselenggarakan pada tanggal Juni 2012 di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kegiatan PKPA dan penyusunan laporan PKPA merupakan bagian dari kegiatan perkuliahan program pendidikan profesi apoteker dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Setelah mengikuti kegiatan PKPA, diharapkan apoteker yang lulus nantinya dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki kepada masyarakat pada saat memasuki dunia kerja. Dalam pelaksanaan kegiatan PKPA ini penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D, selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2. Dr. Setiawan Soeparan, MPH, selaku Direktur Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, atas pengarahannya selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker. 3. Drs. Syafrizal, Apt., selaku Kepala Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan sekaligus pembimbing dari Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker. 4. Dr. Anton Bahtiar, M.Biomed., Apt. selaku pembimbing dari Fakultas Farmasi yang telah memberikan waktu, saran, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penulisan laporan PKPA ini. 5. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi. iv

9 6. Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi. 7. Seluruh staf Fakultas Farmasi dan seluruh staf Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 8. Teman teman Apoteker LXXV atas kebersamaannya selama setahun ini. 9. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi dukungan, doa, semangat dan kasih sayang yang tiada henti. 10. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan PKPA dan dalam penyusunan laporan ini. Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat kelak untuk semua pihak yang berkepentingan. Penulis memohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan laporan ini. Penulis 2012 v

10 ABSTRAK Nama : Anita Karlina Program Studi : Profesi Apoteker Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 18 Juni - 29 Juni 2012 Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan dan gambaran mengenai tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, meliputi kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Direktorat Bina Obat Publik terdiri dari empat subdirektorat yaitu subdirektorat analisis dan standarisasi harga obat, penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan, pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam tugas khusus, dijelaskan mengenai standar sarana penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan di instalasi farmasi kabupaten/kota. Penyimpanan merupakan bagian dari pengelolaan yang sangat penting untuk menjaga kualitas obat. Standar sarana penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan yang telah disusun oleh Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan kemudian dibandingkan dengan standar penyimpanan obat yang dikeluarkan oleh WHO yaitu Good Storage Practice for Pharmaceuticals. Kata Kunci : Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Good Storage Practice. Tugas Umum : viii + 48 halaman; 7 lampiran Tugas Khusus : ii + 21 halaman Daftar Acuan Tugas Umum : 13 ( ) Daftar Acuan Tugas Khusus: 8 ( ) vi

11 ABSTRACT Name : Anita Karlina Study Program : Apothecary Profession Title : Apothecary Internship Report at Directorate of Public Medicines and Medical Supplies General Directorate of Pharmaceutical and Medical Devices Indonesia s Health Ministry Period June 18 th - June 29 th 2012 Apothecary Internship at Directorate of Public Medicines and Medical Supplies General Directorate of Pharmaceutical and Medical Devices Indonesia s Health Ministry aims to gain knowledge and an overview of the duties and functions of Directorate of Public Medicines and Medical Supplies, includes policies, preparation of norms, standards, procedures, criterias, and providing technical guidance and evaluation of public medicines and medical supplies. This directorate has four sub-directorates: sub-directorate of analysis and standarization of prices, provisioning of public medicines and medical supplies, management of public medicines and medical supplies, and monitoring and evaluation of program of public medicines and medical supplies. In specific task, explained the standard storage medium of public medicines and medical supplies at pharmacy in the district/city. Storage is a part of drug management that is critical to maintain the drug quality. The standard storage medium that has been compiled by Directorate of Public Medicines and Medical Supplies is then compared with the standard storage medium that has been compiled by WHO, that is Good Storage Practice for Pharmaceuticals. Key words : Directorate of Public Medicines and Medical Supplies General Directorate of Pharmaceutical and Medical Devices Indonesia s Health Ministry, Good Storage Practice. vii

12 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iii iv vi vii viii ix x BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2 TINJAUAN UMUM Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan... 5 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN Tugas Pokok dan Fungsi Tujuan Sasaran Strategi Intervensi Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Sumber Daya Manusia BAB 4 PEMBAHASAN Subdirektorat Analisis dan Standarisasi Harga Obat Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehata Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN LAMPIRAN viii

13 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Sumber Daya Manusia (SDM) Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ix

14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Lampiran 2 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lampiran 3 Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lampiran 4 Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Lampiran 5 Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Lampiran 6 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Lampiran 7 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian x

15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Untuk mewujudkannya maka pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berupaya agar kualitas pelayanan kesehatan semakin baik. Kementerian Kesehatan memiliki misi yaitu melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tercapainya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Dengan misi tersebut maka pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, serta mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Dalam pelaksanaan tugas tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, terus-menerus berupaya agar kualitas pelayanan kesehatan semakin baik. Salah satu hal yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan adalah dengan cara meningkatkan pelayanan kefarmasian yang merupakan tanggung jawab dari pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat Jenderal ini mempunyai sasaran utama yaitu menjamin semua sediaan farmasi, makanan, dan perbekalan kesehatan memenuhi syarat serta menjamin ketersediaan obat esensial dan alat kesehatan dasar di setiap daerah (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Obat adalah bahan atau campuran bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Obat publik adalah kloramfenikol, antasida dan kodein. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang 1

16 2 diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Contoh perbekalan kesehatan adalah kapas dan masker (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010). Ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan hal yang sangat mendasar dan penting. Oleh karena itu, diperlukan penganturan mengenai pemenuhan ketersediaan kedua hal tersebut. Pelaksanaan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Bina Obat Publik dan Perbekalan Kefarmasian (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Peran apoteker menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 adalah melakukan pengadaan, produksi, distribusi dan pelayan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Pada direktorat ini apoteker memiliki fungsi dalam hal pengadaan, yaitu mengelola pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk menunjang pelayanan kefarmasian hingga sampai ke masyarakat dalam keadaan bermutu baik dan aman. Oleh karena itu, Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan perlu diadakan untuk lebih memahami mengenai proses pengadaan obat di Indonesia. 1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertujuan untuk agar calon apoteker memahami tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.

17 BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai visi dan misi sebagai berikut: Visi dan Misi (Kementerian Kesehatan, 2011) Visi Visi Kementerian Kesehatan adalah masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan Misi Misi Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dam pemerataan sumber daya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik Kedudukan, Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010b) Kementerian Kesehatan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kementerian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kesehatan. Kementerian Kesehatan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Kesehatan menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan; b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan; 3

18 4 c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan; d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah; dan e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional Nilai-Nilai (Kementerian Kesehatan, 2011) Kementerian Kesehatan memiliki nilai-nilai yang merupakan satu keseluruhan dalam melaksanakan program-program yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan. Nilai-nilai tersebut yaitu pro rakyat, inklusif, responsif, efektif, dan bersih Rencana Strategis (Kementerian Kesehatan, 2011) Untuk mewujudkan visi Kementerian Kesehatan periode tahun dan sesuai dengan misi yang telah ditetapkan, maka pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut: a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global; b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan, serta berbasis bukti, dengan pengutamaan pada upaya promotif - preventif; c. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional; d. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan yang merata dan bermutu; e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan; dan f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna, dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.

19 Struktur Organisasi (Kementerian Kesehatan, 2010b) Kementerian Kesehatan yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan terdiri atas (Lampiran 1): a. Sekretariat Jenderal; b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan; c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak; e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; f. Inspektorat Jenderal; g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan; i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat; k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan; l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi; m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal; n. Pusat Data dan Informasi; o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri; p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan; q. Pusat pembiayaan dan Jaminan Kesehatan; r. Pusat Komunikasi Publik; s. Pusat Promosi Kesehatan; t. Pusat Inteligensia Kesehatan; dan u. Pusat Kesehatan Haji. 2.2 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010b) Tugas Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasiaan dan alat kesehatan.

20 Fungsi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; dan e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tujuan (Kementerian Kesehatan, 2011) a. Terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan; b. Terlindunginya masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan kerasionalan; dan c. Meningkatnya mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang didukung oleh tenaga farmasi yang profesional Sasaran dan Indikator (Kementerian Kesehatan, 2011) Sasaran hasil program kefarmasian dan alat kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100% Kegiatan (Kementerian Kesehatan, 2011) Untuk mencapai sasaran tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi: a. Peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan; b. Peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan

21 7 rumah tangga; c. Peningkatan pelayanan kefarmasian; dan d. Peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian Struktur Organisasi (Kementerian Kesehatan, 2010b) Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dipimpin oleh Direktur Jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri dari (Lampiran 2) : Sekretariat Direktorat Jenderal 1. Tugas dan Fungsi Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal. Dalam melaksanakan tugas, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi : a. Koordinasi dan penyusunan rencana, program, anggaran; b. Pengelolaan data dan informasi; c. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional dan hubungan masyarakat; d. Pengelolaan urusan keuangan; e. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan; dan f. Evaluasi dan penyusunan laporan. 2. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal terdiri dari (Lampiran 3) : a. Bagian Program dan Informasi; b. Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat; c. Bagian Keuangan; d. Bagian Kepegawaian dan Umum; dan e. Kelompok Jabatan Fungsional.

22 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 1. Tugas dan Fungsi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; d. Pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; e. Penyiapan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 2. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri dari (Lampiran 4): a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat; b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan;

23 9 c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 1. Tugas dan Fungsi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; d. Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; e. Penyiapan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional; dan f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 2. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri dari (Lampiran 5) : a. Subdirektorat Standardisasi; b. Subdirektorat Farmasi Komunitas; c. Subdirektorat Farmasi Klinik; d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional;

24 10 e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan 1. Tugas dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 2. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri dari (Lampiran 6) : a. Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan; b. Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga;

25 11 c. Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga; d. Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi; e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian 1. Tugas dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; dan g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 2. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari (Lampiran 7) a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional; b. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan;

26 12 c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Sediaan Farmasi Khusus; d. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat; e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional

27 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN 3.1 Tugas Pokok dan Fungsi Tugas Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yaitu melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; 2. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; 3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; 4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan Standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan, dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; 5. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan 6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. 13

28 Tujuan Tujuan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan adalah penyediaan obat dan perbekalan kesehatan di sektor publik yang lengkap, jumlah cukup, dan mudah diperoleh setiap saat dengan harga terjangkau dan kualitas terjamin, serta menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan. Dengan mewujudkan suatu pedoman, standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar, sesuai peraturan yang berlaku. 3.3 Sasaran Sasaran hasil Program Obat Publik dan Pebekalan Kesehatan adalah terjaminnya kecukupan obat esensial generik bagi pelayanan kesehatan dasar disektor publik; tercapainya tujuan medis penggunaan obat, efektif, aman dan efisien pembiayaan obat; terjaminnya mutu pengelolaan obat di Kabupaten/Kota dalam rangka desentralisasi; dan di setiap desa tersedia cukup obat esensial dan alat kesehatan dasar 3.4 Strategi Intervensi Strategi untuk meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat melalui peningkatan akses obat bagi masyarakat luas serta pemberian dukungan untuk pengembangan industri farmasi di dalam negeri sebagai upaya kemandirian di bidang kefarmasian; penggunaan obat yang rasional dengan pelayanan kefarmasian yang bermutu; menetapkan Harga Eceran Tertinggi, utamanya pada obat generik untuk pengendalian harga obat; meningkatkan pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk mengembangkan industri obat herbal Indonesia; memantapkan kelembagaan dan meningkatkan koordinasi dalam pengawasan terhadap sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan untuk menjamin keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu dalam rangka perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat (SK Menkes RI No. 021/MENKES/SK/I/2011).

29 Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri dari : Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 1. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat; 2. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; 3. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; 4. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; 5. Subbagian Tata Usaha; dan 6. Kelompok Jabatan Fungsional Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang analisis dan standardisasi harga obat Tugas dan Fungsi Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat; 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat; 3. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat; dan 4. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat.

30 Struktur Organisasi Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat terdiri atas : a. Seksi Analisis Harga Obat Seksi Analisis Harga Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan analisis, kajian, dan pemantauan harga obat. b. Seksi Standardisasi Harga Obat Seksi Standardisasi Harga Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria harga obat Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan Tugas dan Fungsi Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 3. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan; dan 4. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan.

31 Struktur Organisasi Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan atas : Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri a. Seksi Perencanaan Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Perencanaan Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Seksi Pemantauan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Pemantauan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan Tugas dan Fungsi Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 2. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 3. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; dan

32 18 4. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan Struktur Organisasi Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan atas : Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri a. Seksi Standardisasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Standardisasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Seksi Bimbingan dan Pengendalian Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Bimbingan dan Pengendalian Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang program obat publik dan perbekalan kesehatan Tugas dan Fungsi Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan bahan pemantauan pelaksanaan kebijakan di bidang program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan b. Penyiapan bahan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang program obat publik dan perbekalan kesehatan.

33 Struktur Organisasi Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas : a. Seksi Pemantauan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Pemantauan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pemantauan pelaksanaan program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Seksi Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan evaluasi pelaksanaan program obat publik dan perbekalan kesehatan Subbagian Tata Usaha Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Tugas subbagian ini adalah melakukan urusan Tata Usaha dan rumah tangga Direktorat. Uraian tugas subbagian ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan penyiapan rancangan kegiatan Subbagian Tata Usaha berdasarkan rencana jangka panjang, menengah, dan pendek sesuai program dan referensi terkait; 2. Melakukan penyiapan rancangan rencana pelaksanaan kegiatan Subbagian Tata Usaha berdasarkan rencana tahunan; 3. Membimbing pelaksanaan tugas/kegiatan Subbagian Tata Usaha dengan memberi petunjuk dan membagi tugas agar pelaksanaan tugas/kegiatan dapat berjalan dengan lancar, tepat waktu, dan tepat guna; 4. Melakukan manajemen layanan ketatausahaan dan kerumahtanggaan dengan cara merencanakan, mengatur, dan mengevaluasi sumber daya yang ada di lingkungan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan agar pelaksanaan program/kegiatan sesuai dengan rencana; 5. Melakukan penyiapan rancangan usulan kebutuhan tenaga dan kebutuhan diklat pegawai di lingkungan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan

34 20 Kesehatan berdasarkan kebutuhan pelaksanaan program serta masukan dari unit kerja di lingkungan Direktorat; 6. Melakukan penyiapan rancangan usulan kebutuhan peralatan/ perlengkapan/ fasilitas kerja di lingkungan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dan kebutuhan biaya pemeliharaannya berdasarkan kebutuhan pelaksanaan program serta masukan dari unit kerja di lingkungan Direktorat; 7. Melakukan penyiapan rancangan usulan kenaikan pangkat, Kejadian Luar Biasa (KLB), pemindahan, pemberhentian dan pensiun/cuti dan lain -lain di lingkungan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dengan cara menelaah/mengolah bahan/data kepegawaian yang ada dan usulan dari pegawai yang bersangkutan; 8. Melaporkan secara berkala pelaksanaan kegiatan layanan ketatausahaan dan kerumahtanggaan baik lisan maupun tertulis kepada Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dengan cara menyusun laporan sesuai dengan hasil pelaksanaan kegiatan; dan 9. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh atasan dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas. 3.6 Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang terdapat pada Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan berjumlah 35 orang dengan perincian sebagai berikut: Tabel 3.1 Sumber Daya Manusia (SDM) Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Organisasi Jumlah SDM Direktur Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 1 Subdirektorat Analisis Obat dan Standardisasi Harga Obat 5 Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 7 Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 7 Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 6 Subbagian Tata Usaha 9

35 BAB 4 PEMBAHASAN Obat publik adalah obat yang digunakan untuk pelayanan kesehatan dasar sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2009). Tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang bermutu, bermanfaat, terjangkau oleh masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan setinggitingginya merupakan tujuan pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Untuk mewujudkannya maka Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan membentuk Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yang memiliki misi yaitu terjaminnya ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan obat perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Selain itu, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Tugas ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1144/MENKES/PER/III/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan memiliki empat subdirektorat yaitu subdirektorat analisis dan standardisasi harga obat, subdirektorat penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan, subdirektorat pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, subdirektorat pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. Pembagian tersebut dilakukan agar masing-masing subdirektorat dapat menjalani tugas dan fungsi secara maksimal sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. 21

36 Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat Subdirektorat ini berperan dalam mengendalikan harga obat generik secara rasional sehingga harga obat terjangkau oleh masyarakat dan menguntungkan bagi produsen. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat terdiri atas : a. Seksi Analisis Harga Obat Seksi Analisis Harga Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan analisis, kajian, dan pemantauan harga obat. b. Seksi Standardisasi Harga Obat Seksi Standardisasi Harga Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria harga obat. Untuk pengendalian harga pengadaan obat, dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Harga Obat Untuk Pengadaan Pemerintah yang dikeluarkan setiap tahunnya. Surat Keputusan ini melakukan regionalisasi wilayah Indonesia menjadi empat regional yaitu Regional I, Regional II, Regional III, dan Regional IV. Regional I meliputi Lampung, Banten, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Regional II meliputi Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Barat. Regional III meliputi Provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Regional-IV meliputi Provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Tiap-tiap regional tersebut memiliki ketetapan harga obat untuk pengadaan pemerintah yang berbeda-beda. Perbedaan harga pengadaan ini disebabkan adanya perbedaan faktor harga di tiap-tiap regionalnya. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah biaya distribusi, kekayaan regional, dan Upah Minimum Regional (UMR). Sedangkan untuk pengendalian harga obat, dikeluarkan SK Harga Eceran Tertinggi (HET) pada tiap tahunnya. SK tersebut disahkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi Harga Obat yang

37 23 beranggotakan pejabat Kementerian Kesehatan, Badan POM, akademisi, lembaga konsumen, dan organisasi profesi bidang terkait. Perumusan rekomendasi harga obat generik tersebut dilakukan dengan pendekatan struktur harga obat dan kelayakan harga dalam kondisi nyata Indonesia. Selain itu bahan pertimbangan dalam penetapan harga obat ini adalah hasil monitoring Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat dengan pengambilan data dari tiga apotek dan satu rumah sakit di tiap-tiap provinsi. Setelah dikeluarkannya SK HET, SK Harga Obat untuk Pengadaan Pemerintah, dan SK Harga Vaksin dan Serum, maka SK ini akan disosialisasikan ke tiap-tiap provinsi untuk kemudian diteruskan ke seluruh kabupaten/kota. Selain itu, SK ini juga dapat diunduh dari situs internet, sehingga pelayanan kesehatan dasar dapat melakukan pengadaan. Apabila SK ini belum dikeluarkan, maka pelayanan kesehatan dasar dapat melakukan pengadaan dengan standar harga pada SK sebelumnya. Dalam pengamatan mahasiswa selama melakukan praktek di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, direktorat ini tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan tugasnya, sehingga hal ini dapat memberikan hambatan bagi pegawai baru dalam melakukan tugas di direktorat ini. Selain dari itu, tidak adanya SOP ini juga mengakibatkan pemantauan kepatuhan terhadap proses kerja di direktorat ini sulit untuk dilakukan. 4.2 Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat ini dibagi menjadi dua seksi yaitu seksi Perencanaan Penyediaan dan Seksi Pemantauan Ketersediaan Perencanaan Penyediaan Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan awal yang menentukan dalam penyediaan obat. Tujuan perencanaan obat dan perbekalan kesehatan yaitu untuk menetapkan jenis serta jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar termasuk obat program kesehatan yang ditetapkan. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan keterpaduan dalam hal perencanaan kebutuhan obat dan

38 24 perbekalan kesehatan sehingga pembentukan tim perencanaan obat terpadu merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana melalui koordinasi integrasi dan sinkronisasi antar instansi yang terkait dengan perencanaan obat setiap kabupaten/kota. Perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan dengan menggunakan data kebutuhan yang diperoleh dari pemakaian oleh Puskesmas yang di kumpulkan dan dilaporkan oleh provinsi (bottom-up) setiap bulan yang kemudian dikompilasi dan dibuat suatu rencana kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan selama satu tahun. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang dalam hal ini Direktorat Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan melakukan perencanaan kebutuhan obat untuk program serta perencanaan kebutuhan stok pengaman (buffer stock) nasional dimana perencanaan tersebut dilakukan setahun sekali. Buffer stock berfungsi sebagai cadangan obat yang dimiliki Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang harus selalu ada. Buffer stock ini digunakan jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam dan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan obat pada Kabupaten/Kota. Penyediaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Perencanaan dilakukan berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Anggaran untuk pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan di unit Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) berasal dari APBN, APBD I, Dana Alokasi Umum (DAU)/APBD II, dan sumbersumber lain, seperti Asuransi Kesehatan (ASKES). Awalnya, pengadaan obat berasal dari pusat (APBN) berupa obat dan perbekalan kesehatan yang didistribusikan ke tiap Kabupaten/Kota dan berasal dari APBD dan DAU berupa dana untuk pembelian atau pengadaan obat namun setelah 2010, pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan dari pusat dialihkan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang diberikan untuk Kabupaten/Kota tertentu. Kabupaten/Kota yang dapat menerima DAK adalah Kabupaten/Kota yang memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:

39 25 a. Kriteria umum Pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata yang dihitung melalui indeks fiskal netto yang besarnya ditetapkan setiap tahun, daerah tersebut umumnya memiliki kemampuan keuangan daerah di bawah nilai rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah b. Kriteria khusus Daerah yang memiliki pengaturan otonomi khusus, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan misalnya UU Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD dan Papua. Selain itu juga dengan memperhatikan karakteristik daerah, antara daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah rawan banjir dan longsor, serta daerah yang termasuk kategori daerah ketahanan pangan yang ditetapkan setiap tahun. c. Kriteria teknis Kriteria ini dirumuskan melalui Indeks Teknis yang ditetapkan oleh Kementerian Negara/Departemen Teknis terkait yang disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan yang didanai dari DAK, antara lain standar kualitas/kuantitas konstruksi, dan perkiraan manfaat lokal dan nasional. Kabupaten/Kota tersebut dapat berubah tiap tahun jumlah maupun lokasi daerahnya tergantung perkembangan dari Kabupaten/Kota. Daerah yang tidak mendapatkan DAK maka pengadaan obatnya berasal dari APBD. Proses perencanaan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan melalui beberapa tahap : 1. Pemilihan obat berdasarkan pada obat generik terutama yang tercantum dalam Daftar Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dan Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku dengan patokan harga sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Daftar Harga Obat untuk PKD dan Obat Program Kesehatan. Pada perencanaan kebutuhan obat, apabila dana tidak mencukupi perlu dilakukan analisa kebutuhan sesuai anggaran yang ada. 2. Proses kompilasi, berfungsi untuk mengatahui pemakaian setiap bulan dari masing-masing jenis obat di Unit Pelayanan Kesehatan/Puskesmas selama setahun serta untuk menentukan stok optimum yang diperoleh dari LPLPO dan

40 26 Pola Penyakit. 3. Perhitungan kebutuhan obat, diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis, jumlah, dan waktu serta mutu yang terjamin. Kebutuhan obat dilakukan dengan cara pendekatan perhitungan melalui metoda konsumsi dan atau morbiditas. 4. Proyeksi kebutuhan obat, ditetapkan rancangan stok akhir periode dan rancangan pengadaan yang akan datang dengan rancangan anggaran yang ada. 5. Penyesuaian rencana pengadaan obat, dengan dilakukannya penyesuaian perencanaan obat dengan sumber anggaran, kebutuhan, stok akhir dan faktor esksternal, maka informasi yang didapat adalah jumlah rencana pengadaan, skala prioritas masing-masing jenis obat dan jumlah kemasan untuk rencana pengadaan obat tahun yang akan datang. Metode yang digunakan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi anggaran antara lain dengan menggunakan metode analisa ABC dan VEN. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perencanaan pengadaan antara lain: 1. Sumber anggaran, terbatasnya sumber anggaran menyebabkan pemilihan obat harus dilakukan seefektif dan seefisien mungkin agar obat yang tersedia tepat jenis, tepat jumlah dan tepat mutu yang akan mempengaruhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. 2. Kebutuhan. 3. Stok akhir, data stok akhir selanjutnya akan mempengaruhi jumlah pemesanan periode selanjutnya. Kesalahan pada stok akhir ini dapat menyebabkan penumpukan barang yang akan berimbas pada obat kadaluarsa dan kekurangan kebutuhan obat yang dapat menyebabkan tidak terpenuhinya pelayanan kesehatan. 4. Faktor eksternal, faktor luar yang mempengaruhi proses perencanaan misalnya waktu yang diperlukan untuk proses pengiriman obat, dengan mengetahui berapa lama atau untuk mencegah kekosongan obat maka dalam proses perencanaan perlu diperhitungkan berapa jumlah yang harus dipesan sampai obat tersedia kembali.

41 Pemantauan Ketersediaan Pemantauan (monitoring) ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses kajian (review) terhadap suatu persediaan yang sedang berlangsung untuk mengetahui jumlah dan tingkat kecukupan setiap jenis obat, pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat dan kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit. Pemantauan yang disusun secara sistematis berdasarkan tujuan program dan terkait dengan aktivitas spesifik sangat penting untuk peningkatan kinerja program dan pencapaian tujuan program jangka panjang (Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2011). Proses pengamatan dilakukan dari unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi Provinsi/Kabupaten/Kota) terhadap persediaan obat pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya). Data dikumpulkan dari dokumen yang ada di instalasi farmasi Kabupaten/Kota berupa jumlah persediaan obat yang tersedia, pemakaian rata-rata obat perbulan di Kabupaten/Kota, waktu kedatangan obat, dan total jenis obat yang tersedia. Laporan dibuat berdasarkan data/ informasi yang diperoleh dari instalasi farmasi di Kabupaten/Kota. 4.3 Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Pengelolaan bertujuan untuk menjamin tersedianya obat publik dan perbekalan kesehatan dengan mutu terjamin, tersebar secara merata dan teratur, sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat dengan biaya yang seefisien mungkin. Siklus pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan, pencatatan dan pelaporan obat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing tahap pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian yang terkait, dengan demikian pengelolaan obat dimulai dari perencanaan kebutuhan yang merupakan dasar pada tahap pengadaan obat di PKD. Pengelolaan didukung oleh beberapa sistem penunjang, yaitu : a. Organisasi b. Pembiayaan dan kesinambungan

42 28 c. Pengelolaan informasi d. Pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia Dalam pelaksanaan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan ditemukan beberapa permasalahan, diantaranya: a. Perencanaan Masalah yang muncul dalam perencanaan obat publik dan perbekalan kesehatan diantaranya adalah data yang diterima kurang akurat, pelaksanaan pengobatan yang tidak rasional, perbedaan persepsi antara penulis resep dengan pelaksana farmasi tentang pengobatan rasional, Puskesmas belum memahami tentang cara merencanakan kebutuhan obat yang tepat, standar pengobatan rasional di puskesmas belum diterapkan secara optimal. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan memberikan bimbingan intensif kepada Puskesmas agar pelaksana farmasi dan penulis resep dapat memahami dan menerapkan standar pengobatan. b. Pengadaan Dalam pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu kriteria obat publik dan perbekalan kesehatan, persyaratan pemasok, penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat, penerimaan dan pemeriksaan obat, dan pemantauan status pesanan. Permasalahan yang mungkin muncul dalam pengadaan adalah banyak Puskesmas yang mengacu pada kebutuhan tahun lalu dengan pertimbangan berdasarkan konsumsi tahun lalu dan penyakit; ketidakjelasan informasi pengadaan dari pusat dan provinsi sehingga dapat menyebabkan pengadaan ganda (dari pusat dan provinsi) atau tidak dari keduanya; sumber pembiayaan yang terbatas mengakibatkan lamanya waktu pelelangan pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta prosedurnya yang melewati beberapa tahapan baku menyebabkan pengadaan menjadi tidak efisien dan tidak efektif karena terjadi penumpukan obat, adanya obat rusak/kedaluarsa, jumlah obat yang tidak diresepkan tinggi, dan stok kosong. c. Penyimpanan Penyimpanan obat menjadi sangat penting karena terkait dengan pemeliharaan mutu obat, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga kelangsungan persediaan, dan memudahkan pencarian serta pengawasan.

43 29 Untuk itu diperlukan sarana dan prasarana penyimpanan yang memadai di unit pelayanan kesehatan; personalia dengan jumlah yang cukup dan memahami cara penyimpanan obat yang baik; dan memiliki standar pencatatan stok obat sehingga jumlah obat yang masuk dan keluar dapat dikontrol. d. Pendistribusian Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang pembangunannya tidak merata sehingga proses pendistribusian obat publik dan perbekalan kesehatan juga memerlukan cara yang berbeda pula. Daerah yang maju tidak mempunyai masalah yang berarti dalam proses distribusi, namun untuk daerah tertinggal sulit dijangkau karena letaknya yang jauh dipedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, pulau-pulau terpencil atau karena faktor geografis lainnya sehingga sulit terjangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi. e. Penggunaan Obat publik dan perbekalan kesehatan disediakan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat sehingga diharapkan dapat digunakan secara rasional, dalam artian tepat pasien, tepat indikasi, tepat jumlah, dosis dan lama pemakaian obat. Namun pada kenyataannya, masih sering ditemukan penggunaan obat yang tidak rasional, dimana pasien mendapatkan obat yang tidak dibutuhkannya atau malah sebaliknya, pasien tidak mendapatkan obat yang dibutuhkannya. Untuk itu perlu diadakan bimbingan dan pelatihan terhadap seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di unit pelayanan kesehatan mengenai cara penggunaan obat yang rasional. f. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan data obat di instalasi farmasi merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka pengelolaan obat secara tertib baik obat yang diterima, disimpan, dan didistribusikan. Pencatatan masih dilakukan secara manual, serta disiplin tenaga kerja untuk pencatatan masih kurang sehingga laporan yang diberikan dari daerah ke pusat tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Hal ini mempengaruhi proses perencanaan pengadaan obat untuk periode berikutnya.

44 30 Laporan hendaknya dapat dikirim tepat waktu, namun untuk beberapa daerah yang jauh dari pusat kota seringkali tidak tepat waktu sehingga dapat menyebabkan terhambatnya pengelolaan data untuk perencanaan berikutnya. Permasalahan-permasalahan di atas memungkinkan terjadinya stok obat kosong, obat berlebih, obat kurang, obat rusak dan obat kadaluarsa. Untuk itu perlu dilakukan beberapa strategi dalam pengelolaan obat, diantaranya : a. Peningkatan peran pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam sistem logistik obat khususnya obat program melalui One Gate Policy (Kebijakan Satu Pintu) b. Sinkronisasi dan harmonisasi proses perencanaan kebutuhan obat di kabupaten kota melali Tim Perencanaan Obat Terpadu (TPOT) c. Pengembangan On-line Logistic System dalam rangka mendukung pola pendistribusian obat di daerah khusunya untuk Puskesmas dan rumah sakit. d. Menerapkan ilmu farmakoekonomi dalam perencanaan pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan. 4.4 Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Untuk mendukung pencapaian program obat publik dan perbekalan kesehatan, perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi oleh Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Pemantauan bertujuan untuk menjaga agar pekerjaan pengelolaan obat yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Hasil dari pemantauan tersebut, kemudian dievaluasi sehingga dapat ditetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang berjalan, meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan memperbaikinya, mengukur kegunaan program-program yang inovatif, meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi serta kesesuaian tuntutan tanggung jawab. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang program obat publik dan perbekalan kesehatan yang dilakukan agar dapat mendukung pencapaian indikator. Indikator adalah alat

45 31 ukur untuk dapat membandingkan kinerja yang sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan atau sasaran telah berhasil dicapai. Penggunaan lain dari indikator adalah untuk penetapan prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian strategi dari sasaran yang ditetapkan. Hasil pengujian tersebut dapat digunakan oleh penentu kebijakan untuk meninjau kembali strategi atau sasaran yang lebih tepat. Indikator umumnya digunakan untuk memonitor kinerja yang esensial (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010) Pemantauan Ketersediaan Obat a. Tujuan Mengetahui hambatan & penetapan strategi yg efektif dalam penyediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah cukup, terjamin khasiatnya, terjamin keamanannya, terjamin mutunya, serta mudah diakses adalah merupakan amanah dari Kebiajksanaan Obat Nasional (KONAS), serta merupakan prasyarat dalam pelayanan kesehatan yang prima. Aksesibilitas kepada semua masyarakat yang membutuhkan diupayakan dengan pola penyediaan obat dalam dua jalur, yaitu jalur pelayanan sektor publik dan jalur sektor swasta. Di sektor publik pengelolaan obat yang efisien termasuk pengadaan, perencanaan terpadu di kabupaten/kota dan distribusi obat langsung di Gudang Farmasi Kabupaten/Kota (GFK) merupakan hal yang mutlak. Dalam hal ini kemampuan analisa kebutuhan obat esensial menggunakan pendekatan bottom up planning sesuai dengan pola penyakit merupakan masalah utama (Depkes c) b. Indikator Indikator pemantauan mengikuti pedoman WHO dan dapat bekerjasama dengan WHO atau pihak lain untuk membandingkan hasilnya dengan negara lain (Depkes, 2006). c. Cara (Depkes, 2004c) 1) Penyusunan pedoman supervisi pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan (Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/GFK);

46 32 2) Evaluasi kebijakan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan untuk daerah terpilih (Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten dan GFK); peserta 20 orang 3) Evaluasi kebijakan pengelolaan obat untuk daerah terpilih, peserta 20 orang; 4) Monitoring dalam rangka pembinaan pengadaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di 60 kabupaten/kota di 30 provinsi); 5) Perencanaan, pengawasan dan supervisi stok pengaman nasional 6) Penyusunan pedoman evaluasi pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan; 7) Pemantauan ketersediaan obat di 60 kabupaten/kota/30 provinsi Pemantauan Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah a. Tujuan Pemantauan merupakan metode yang digunakan untuk keperluan pengawasan/pengendalian serta bimbingan dan pembinaan. Melakukan pemantauan penggunaan obat mempunyai dua komponen aktif, yaitu : 1) Pengawasan dan pengendalian terhadap mutu penggunaan obat, pencatatan, serta pelaporannya (Kemenkes, 2010). 2) Membina dan membimbing pelaksana pengobatan agar senantiasa meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka dalam rangka pemakaian obat yang rasional, serta membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi di lapangan (Kemenkes, 2010).. 3) Menjamin ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan obat generik dan esensial yang bermutu bagi masyarakat (Depkes, 2004). 4) Mempromosikan penggunaan obat yang rasional dan obat generik (Depkes, 2004). 5) Meningkatkan pelayanan kefarmasian di farmasi komunitas dan klinis serta kesehatan dasar (Depkes, 2004).

47 33 b. Indikator Salah satu indikator monitoring kebijakan obat nasional yang dikeluarkan World Health Organitation (WHO) tahun 1999 adalah ketersediaan penggunaan obat generik dan esensial yang mencapai 100% (WHO, 1999). c. Cara Pemantauan penggunaan obat dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. 1) Pemantauan secara langsung Dilakukan dengan mengamati proses pengobatan mulai dari anamnesis, pemeriksaan, peresepan, hingga penyerahan obat ke pasien. Pemantauan dengan cara ini dapat dilakukan secara berkala pada waktu-waktu yang tidak diberitahukan sebelumnya, sehingga diperoleh gambaran nyata mengenai praktik pemakaian obat yang berlangsung pada saat itu. 2) Pemantauan secara tidak langsung Pemantauan secara tidak langsung dapat dilakukan melalui : a) Dari kartu status pasien : Kecocokan dan ketepatan antara gejala dan tanda yang ditemukan selama anamnesis dan pemeriksaan, dengan diagnosis yang dibuat dalam kartu status penderita, serta pengobatan (terapi) yang diberikan (termasuk jenis, jumlah, dan cara pemberian obat). b) Dari buku register pasien : Jumlah kasus yang pengobatannya tidak sesuai dengan standar dan over prescribing dari antibiotik dan pemakaian suntikan. Setelah pemantauan penggunan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dilakukan, maka dilakukan pula pemantauan pelaksanaan obat generik di Puskesmas dan jaringannya. Berdasarkan Permenkes Nomor. HK.02.02/ MenKes/068/ I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, dan Kepmenkes Nomor. HK.03.01/MenKes/159/I/2010 tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, pemantauan pelaksanaan obat generik di Puskesmas dan jaringannya dilaksanakan sebagai berikut (Kemenkes, 2010) :

48 34 a. Puskesmas dan jaringannya serta sarana pelayanan kesehatan lainnya melaporkan penulisan resep dan penyediaan obat generik ke Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK). b. IFK merekapitulasi hasil pemantauan Puskesmas dan melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan rekap IFK kepada Dinas Kesehatan Provinsi. d. Dinas Kesehatan Provinsi melaporkan rekap Dinas Kesehatan Kabupaten/kota kepada Menteri melalui Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui mekanisme dan sistem pelaporan yang berlaku Pemantauan Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Sesuai Standar (Profil Dirjen Binfar Alkes, 2011) Kebijakan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di kabupaten/kota dipusatkan pada Unit Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang lebih dikenal dengan one gate policy drug supply management. Adapun fungsi yang harus dijalankan meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan pelaporan, dan evaluasi yang terintegrasi dengan unit kerja terkait. Kebijakan ini didasarkan kepada efisiensi, efektifitas dan profesionalisme. Pengelolaan mencakup seluruh obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari semua sumber anggaran dan menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan di masing-masing kabupaten/kota. a. Tujuan Untuk mengetahui kualitas sarana prasarana di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah yang cukup, terjamin khasiatnya, aman, efektif dan bermutu dengan harga terjangkau serta mudah diakses. b. Pelaksanaan dan Indikator Pemantauan

49 35 Beberapa indikator dalam penilaian kualitas sarana prasarana di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yaitu sebagai berikut : 1) Struktur Organisasi IFK Didalam pembentukan organisasi kesehatan di daerah perlu dipertimbangkan keberadaan, kapasitas serta kesiapan dalam merumuskan/ melaksanakan kebijakan kesehatan. Organisasi tersebut juga harus mampu membuat perencanaan operasional, serta mengembangkan berbagai inisiatif baru untuk menyelaraskan visi Kementreian Kesehatan. 2) Sumber Daya Manusia Pengelola Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan Gambaran mengenai situasi sumber daya manusia pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan di instalasi farmasi dikelompokkan menjadi penanggung jawab Instalasi Farmasi dan proporsi tenaga berdasarkan latar belakang pendidikan. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 Pasal 63 Tentang Kesehatan, menjelaskan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Instalasi Farmasi di Kabupaten/Kota sebagian besar sudah dikelola oleh apoteker yang sesuai dengan keahliannya. Kepala Unit Pengelola Obat/Instalasi Farmasi sebaiknya dipimpin oleh apoteker dan didukung oleh tenaga berlatar belakang farmasi sebagai penanggung jawab perencanaan dan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran/pendistribusian, penanggung jawab pencatatan/ pelaporan dan evaluasi. Selain itu diperlukan tenaga non farmasi sebagai tenaga administrasi dan tenaga pembantu umum. 3) Sarana dan Prasarana Penyimpanan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan yang baik bertujuan untuk memelihara mutu obat, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga kelangsungan persediaan dan memudahkan pencarian dan pengawasan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya sarana dan prasarana yang ada di instalasi farmasi. Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai berikut : a) Gedung, dengan luas 300 m m 2 b) Kendaraan roda dua dan roda empat, dengan jumlah 1 3 unit

50 36 c) Komputer + printer, dengan jumlah 1 3 unit d) Telepon & faksimili, dengan jumlah 1 unit e) Sarana penyimpanan, seperti : rak, palet, lemari obat, dan lain-lain. Gambaran mengenai sarana dan prasarana penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan di instalasi farmasi dikelompokkan menjadi luas tanah, luas bangunan, status gedung dan kondisi bangunan. 4) Pengamanan Sarana pengamanan gedung sangat penting dimiliki oleh instalasi farmasi untuk menjaga obat dari pencurian dan bahaya kebakaran. Untuk jenis dan jumlah trails disesuaikan dengan bentuk bangunan termasuk pintu, jendela dan plafon dengan spesifikasi terbuat dari bahan besi dengan ketebalan 12 mm, untuk jenis pagar dibuat kombinasi tembok yang terbuat dari bata merah, batako atau bahan lain yang cukup kuat dan kawat berduri juga dapat digunakan pagar hidup dari tanaman yang mudah tumbuh dan mudah dipelihara serta mempunyai kerapatan yang dapat mencegah masuknya ternak dengan jumlah yang disesuaikan dengan luas tanah. Sedangkan untuk alat pemadam kebakaran selain digunakan jenis tabung CO 2 juga dapat digunakan pasir dan karung. 5) Penyimpanan dan Distribusi Kegiatan penyimpanan dan distribusi memegang peranan penting dalam pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sarana penyimpanan dan distribusi yang memadai. 6) Administrasi Sebagai penunjang terlaksananya suatu kegiatan perlu adanya sarana kantor atau administrasi. 7) Sumber Anggaran Pengadaan Obat Keputusan Menkes RI No. 922/Menkes/SK/X/2008 tentang Pedoman Teknis Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menegaskan bahwa Pemerintah Daerah kabupaten/kota mempunyai wewenang terhadap penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota. Sumber anggaran obat di

51 37 kabupaten/kota dapat diambil dari dana APBD II (DAU), APBD I, Askes, buffer stock kabupaten/kota, atau dari sumber anggaran program. 8) Biaya Operasional Biaya operasional sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan dalam pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan Pemantauan Kualitas Obat a. Tujuan Pemantauan kualitas obat dilakukan karena obat yang beredar harus memenuhi syarat keaman, khasiat, mutu dan keabsahan. Selain itu juga agar masyarakat terhindar dari penggunaan obat yang salah dan penyalahgunaan obat. b. Langkah kebijakan Langkah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu sebagai berikut : 1) Pengawasan obat dilaksanakan dengan kompetensi tinggi secara independen, akuntabel dan transparan. 2) Penguatan fungsi pengawasan obat 3) Peningkatan sarana dan prasarana pengawasan obat, serta pemenuhan kebutuhan SDM yang memadai. 4) Pengembangan tenaga dengan jumlah dan mutu sesuai dengan standar kompetensi. 5) Pembentukan pusat informasi obat di pusat dan daerah untuk intensifikasi penyebaran informasi obat. 6) Peningkatan kerjasama dengan instansi terkait dalam penegakan hukum secara konsisten. 7) Pengembangan sistem nasional vijilan pasca pemasaran. 8) Peningkatan upaya pemantauan promosi obat. 9) Peningkatan kerjasama regional maupun internasional. 10) Pengakuan internasional di bidang pengawasan obat. 11) Peningkatan pengawasan distribusi obat di jalur tidak resmi. 12) Pengawasan peredaran obat palsu dan obat selundupan (tidak terdaftar).

52 38 c. Pelaksanaan dan Indikator pemantauan Pemantauan dalam pemantauan pengelolaan obat terutama dalam penyimpanan obat untuk menjamin kualitas obat. Tujuan penyimpanan yaitu agar obat yang tersedia di unit pelayanan kesehatan mutunya dapat dipertahankan. Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin. Persyaratan gudang dan pengaturan penyimpanan obat: a. Persyaratan gudang 1) Cukup luas minimal 3 x 4 m 2. 2) Ruangan kering tidak lembab. 3) Ada ventilasi agar ada aliran udara dan tidak lembab/panas. 4) Perlu cahaya yang cukup, namun jendela harus mempunyai pelindung untuk menghindarkan adanya cahaya langsung dan berteralis. 5) Lantai dibuat dari tegel/semen yang tidak memungkinkan bertumpuknya debu dan kotoran lain. Bila perlu diberi alas papan (palet). 6) Dinding dibuat licin. 7) Pembuatan sudut lantai dan dinding yang tajam dihindari. 8) Gudang digunakan khusus untuk penyimpanan obat. 9) Mempunyai pintu yang dilengkapi kunci ganda. 10) Tersedia lemari/laci khusus untuk narkotika dan psikotropika yang selalu terkunci. 11) Sebaiknya ada pengukur suhu ruangan. b. Pengaturan penyimpanan obat 1) Obat di susun secara alfabetis 2) Obat dirotasi dengan sistem FIFO dan FEFO 3) Obat disimpan pada rak 4) Obat yang disimpan pada lantai harus di letakan diatas palet 5) Tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk 6) Cairan dipisahkan dari padatan 7) Serum, vaksin, suppositoria disimpan dalam lemari pendingin

53 39 Untuk menjaga mutu obat perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Kelembaban Udara lembab dapat mempengaruhi obat-obatan yang tidak tertutup sehingga mempercepat kerusakan. Untuk menghindari udara lembab tersebut maka perlu dilakukan upaya-upaya berikut : 1) Ventilasi harus baik, jendela dibuka. 2) Simpan obat ditempat yang kering. 3) Wadah harus selalu tertutup rapat, jangan dibiarkan terbuka. 4) Bila memungkinkan pasang kipas angin atau AC. Karena makin panas udara di dalam ruangan maka udara semakin lembab. 5) Biarkan pengering tetap dalam wadah tablet dan kapsul. 6) Kalau ada atap yang bocor harus segera diperbaiki. b. Sinar matahari Kebanyakan cairan, larutan dan injeksi cepat rusak karena pengaruh sinar matahari, sebagai contoh : injeksi klorpromazin yang terkena sinar matahari, akan berubah warna menjadi kuning terang sebelum tanggal kadaluarsa. Cara mencegah kerusakan karena sinar matahari: 1) Digunakan wadah botol atau vial yang berwarna gelap (coklat). 2) Botol atau vial jangan diletakkan di udara terbuka. 3) Obat yang penting dapat disimpan di dalam lemari. 4) Jendela-jendela diberi gorden. 5) Kaca jendela dicat putih. c. Temperatur Obat seperti salep, krim dan supositoria sangat sensitif terhadap pengaruh panas, dapat meleleh. Oleh karena itu hindarkan obat dari udara panas, sebagai contoh : salep oksitetrasiklin akan lumer bila suhu penyimpanan tinggi dan akan mempengaruhi kualitas salep tersebut. Ruangan obat harus sejuk, beberapa jenis obat harus disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 4 8 o C, seperti:

54 40 1) Vaksin 2) Sera dan produk darah 3) Antitoksin 4) Insulin 5) Injeksi antibiotika yang sudah dipakai (sisa) 6) Injeksi oksitosin 7) DPT, DT, TT, vaksin atau kontrasepsi jangan dibekukan karena akan rusak. Cara mencegah kerusakan karena panas : 1) Dipasang ventilasi udara 2) Atap gedung jangan dibuat dari bahan metal 3) Jendela dibuka sehingga terjadi sirkulasi udara d. Kerusakan fisik : Untuk menghindari kerusakan fisik : 1) Dus obat jangan ditumpuk terlalu tinggi karena obat yang ada di dalam dus bagian tengah ke bawah dapat pecah dan rusak, selain itu akan menyulitkan pengambilan obat di dalam dus yang teratas. 2) Penumpukan dus obat sesuai dengan petunjuk pada karton, jika tidak tertulis pada karton maka maksimal ketinggian tumpukan delapan dus. 3) Hindari kontak dengan benda-benda yang tajam. e. Kontaminasi bakteri Wadah obat harus selalu tertutup rapat. Apabila wadah terbuka, maka obat mudah tercemar oleh bakteri atau jamur. f. Pengotoran Ruangan yang kotor dapat mengundang tikus dan serangga lain yang kemudian merusak obat. Etiket dapat menjadi kotor dan sulit terbaca. Oleh karena itu bersihkan ruangan paling sedikit satu minggu sekali. Lantai di sapu dan di pel, dinding dan rak dibersihkan.

55 41 Bila ruang penyimpanan kecil: a. Dapat digunakan sistem dua rak b. Bagi obat menjadi dua bagian. Obat yang siap dipakai diletakkan di bagian rak A sedangkan sisanya di bagian rak B. c. Pada saat mulai menggunakan obat di rak A maka pesanan mulai dikirimkan ke gudang farmasi sambil menunggu obat datang, sementara itu obat di rak B digunakan. Pada saat obat di rak B habis maka obat yang dipesan diharapkan sudah datang d. Jumlah obat yang disimpan di rak A atau rak B tergantung dari beberapa lama waktu yang diperlukan saat mulai memesan sampai obat diterima (waktu tunggu) e. Misalnya permintaan dilakukan setiap empat bulan dan waktu yang diperlukan saat mulai memesan sampai obat tiba adalah dua bulan. Maka jumlah pemakaian empat bulan dibagi sama rata untuk rak A dan rak B. Apabila waktu tunggu yang diperlukan hanya satu bulan maka ¾ bagian obat disimpan di rak A dan ¼ bagian di rak B. Tata cara menyimpan dan menyusun obat: a. Pengaturan penyimpanan obat. Pengaturan penyimpanan obat dikelompokkan berdasarkan bentuk sediaan dan disusun secara alfabetis berdasarkan nama generiknya. Contoh kelompok sediaan tablet, kelompok sediaan sirup dan lain-lain. b. Penerapan Sistem FIFO dan FEFO Penyusunan dilakukan dengan sistem First In First Out (FIFO) untuk masingmasing obat, artinya obat yang datang pertama kali harus dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang datang kemudian dan First Expired First Out (FEFO) untuk masing-masing obat, artinya obat yang lebih awal kadaluarsa harus dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang kadaluarsa kemudian. Hal ini sangat penting karena obat yang sudah terlalu lama biasanya kekuatannya atau potensinya berkurang.dan beberapa obat seperti antibiotik mempunyai batas waktu pemakaian artinya batas waktu dimana obat mulai berkurang efektivitasnya.

56 42 c. Obat yang sudah diterima, disusun sesuai dengan pengelompokan untuk memudahkan pencarian, pengawasan dan pengendalian stok obat. d. Pemindahan harus hati-hati supaya obat tidak pecah/rusak. e. Golongan antibiotik harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya matahari, disimpan di tempat kering. f. Vaksin dan serum harus dalam wadah yang tertutup rapat, terlindung dari cahaya dan disimpan dalam lemari es. Kartu temperatur yang terdapat dalam lemari es harus selalu diisi. g. Obat injeksi disimpan dalam tempat yang terhindar dari cahaya matahari. h. Tablet salut disimpan dalam wadah tertutup rapat dan pengambilannya menggunakan sendok. i. Untuk obat yang mempunyai waktu kadaluarsa supaya waktu kadaluarsanya dituliskan pada dus luar dengan menggunakan spidol. j. Penyimpanan untuk obat dengan kondisi khusus, seperti lemari tertutup rapat, lemari pendingin, kotak kedap udara dan lain sebagainya. k. Cairan diletakkan di rak bagian bawah. l. Kondisi penyimpanan beberapa obat Beri tanda / kode pada wadah obat : a. Beri tanda semua wadah obat dengan jelas. Apabila ditemukan obat dengan wadah tanpa etiket, jangan digunakan. b. Apabila obat disimpan di dalam dus besar maka pada dus harus tercantum : 1) Jumlah isi dus, misalnya: tablet 2) Kode lokasi Pedoman Puskesmas 3) Tanggal diterima 4) Tanggal kadaluarsa 5) Nama produk/obat c. Beri tanda khusus untuk obat yang akan habis masa pakainya pada tahun tersebut. d. Jangan menyimpan vaksin lebih dari satu bulan di unit pelayanan kesehatan (Puskesmas).

57 43 Informasi tambahan untuk menyusun/mengatur obat : a) Susunan obat yang berjumlah besar di atas papan atau diganjal dengan kayu rapi dan teratur. b) Digunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan obat-obat yang berjumlah sedikit tetapi harganya mahal. c) Susunan obat dalam rak dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai. d) Obat disusun dalam rak dan diberikan nomor kode, dipisahkan obat dalam dengan obat luar. e) Nama masing-masing obat dicantumkan pada rak dengan rapi, atau letakkan bagian etiket yang berisi nama obat yang jelas terbaca. f) Barang yang mempunyai volume besar seperti kapas disimpan dalam dus. g) Kartu stok diletakkan di dekat obatnya. Setiap petugas pengelola yang melakukan penyimpanan obat, perlu melakukan pengamatan mutu obat secara berkala, paling tidak setiap awal bulan, antara lain: a. Mutu obat yang disimpan dapat mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimia. b. Perubahan yang terjadi dilaporkan kepada Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota untuk diteliti lebih lanjut. c. Secara sederhana pengamatan dilakukan dengan visual, dengan melihat tanda tanda sebagai berikut: 1) Tablet : a) Terjadi perubahan warna, bau dan rasa, serta lembab b) Kerusakan fisik seperti pecah, retak, sumbing, gripis dan rapuh. c) Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat d) Untuk tablet salut, disamping informasi di atas juga basah dengan lengket satu dengan lainnya, bentuknya sudah berbeda. e) Wadah yang rusak.

58 44 2) Kapsul : a) Cangkangnya terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan lainnya, wadah rusak. b) Terjadi perubahan warna baik cangkang ataupun lainnya. 3) Cairan : a) Cairan jernih menjadi keruh, timbul endapan. b) Cairan suspensi tidak bisa dikocok. c) Cairan emulsi memisah dan tidak tercampur kembali. 4) Salep : a) Konsistensi, warna dan bau berubah (tengik). b) Pot/tube rusak atau bocor. 5) Injeksi : a) Kebocoran b) Terdapat partikel untuk sediaan injeksi yang seharusnya jernih sehingga keruh atau partikel asing dalam serbuk untuk injeksi. c) Wadah rusak atau terjadi perubahan warna. Informasi data (input) yang didapat dari pemantauan kemudian dievaluasi, dari hasil evaluasi akan diperoleh keluaran (output) berupa profil pencapaian indikator. Profil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk menentukan langkah ke depan dan menentukan solusi terhadap kendala-kendala yang dihadapi. Profil pencapaian indikator didapat dari pemantauan dan evaluasi program berdasarkan pengambilan data secara bottom-up, yaitu dilakukan dari struktur terendah kemudian direkapitulasi ke sektor di atasnya. Data diserahkan oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota melalui format laporan pemantauan, kemudian dilaporkan setiap dua bulan sekali ke Dinas Kesehatan Provinsi (secara berjenjang) atau ke Pemerintah Pusat (secara langsung). Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala dalam jangka waktu tertentu yaitu setiap satu tahun sekali. Untuk proses pemantauan dan evaluasi

59 45 harus didukung dengan ketersediaan dana yang cukup dan sumber daya manusia yang kompeten dibidangnya, sehingga proses pemantauan dan evaluasi tersebut dapat berlangsung dengan baik, efektif, dan efisien (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2006). Proses pemantauan dan evaluasi dapat saja belum berjalan sebagaimana mestinya karena keterbatasan tenaga, dana, dan sarana. Setelah dilakukan pemantauan dan diperoleh hasil evaluasi, maka Pemerintah Pusat akan memberikan umpan balik kepada Pemerintah Kabupaten/Kota ataupun Provinsi, sehingga kinerja selama melakukan kegiatan program obat publik dan perbekalan kesehatan dapat diketahui kekurangannya dapat meningkatkan kinerjanya. Saat ini pemantauan dan evaluasi dilakukan setiap satu tahun sekali. Idealnya ketersediaan obat dipantau setiap tiga bulan (triwulan) untuk mengetahui dinamika logistik di instalasi farmasi. Minimnya anggaran menyebabkan pemantauan dan evaluasi hanya dapat dilaksanakan di 3 Kabupaten/Kota tiap provinsi di Indonesia (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010). Proses pemantauan dan evaluasi harus didukung dengan ketersediaan dana yang dibutuhkan dan sumber daya manusia yang kompeten di bidangnya, sehingga proses pemantauan dan evaluasi tersebut dapat berlangsung dengan baik, efektif, dan efisien (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Pemerintah pusat akan memberikan bimbingan teknis kepada pihak yang dipantau dan dievaluasi, yaitu Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota maupun Puskesmas agar pihak tersebut dapat mengetahui kekurangannya selama melakukan kegiatan atau program obat publik dan perbekalan kesehatan dan dapat meningkatkan kinerjanya.

60 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Setelah melakukan kegiatan PKPA di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, diketahui bahwa tugas dan peran Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan telah sesuai dengan kaidah ilmiahnya yang terperinci sebagai berikut: a. Subdirektorat Analisa dan Standardisasi Harga berperan dalam mengendalikan harga obat secara rasional sehingga harga obat terjangkau oleh masyarakat dan menguntungkan bagi produsen. Namun dalam pelaksanaannya Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ini, tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan tugasnya, sehingga memberikan hambatan bagi pegawai baru dalam melakukan tugas serta pemantauan kepatuhan terhadap proses kerja sulit untuk dilakukan. b. Proses perencanaan pengadaan oleh Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dilakukan setahun sekali sehingga perencanaan dibuat seefisien dan seefektif mungkin mengingat dalam penyediaan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan ketersediaan anggaran sangat terbatas. c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan bertanggung jawab dalam pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan dan pelaporan untuk menjamin ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan di unit pelayanan kesehatan tingkat dasar. d. Pentingnya dilakukan pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan yaitu: - Menjamin kualitas penggunaan obat oleh masyarakat. - Mengetahui pemasalahan dan strategi yg efektif dalam penyediaan obat. - Menjaga pengelolaan obat agar berjalan dengan benar. - Menilai keberhasilan pencapaian sasaran. ii

61 Saran Pembuatan SOP untuk setiap prosedur yang dilakukan di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Mahasiswa sebaiknya dilibatkan secara langsung dalam teknis pelaksanaan kerja di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Hendaknya dalam pemilihan obat yang akan disediakan di PKD tidak hanya berdasarkan morbiditas namun juga berdasarkan cost analysis seperti cost minimization analysis Melakukan advokasi kepada pemerintah bersama organisasi profesi untuk melakukan perekrutan apoteker dalam pengelolaan obat di daerah Pemantauan dan evaluasi sebaiknya di lakukan secara berkala tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, sehingga diperoleh gambaran nyata mengenai ketersediaan obat ataupun praktik pemakaian obat yang sedang berlangsung.

62 DAFTAR ACUAN Departemen Kesehatan RI. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1121/MENKES/SK/XII/2008 tentang Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Departemen Kesehatan RI. (2009). Undang - Undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tentang Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Departemen Kesehatan. (2006). Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. (2010). Materi Pelatihan Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. (2010). Laporan hasil Manajemen Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehaatn di Instansi pemerintah Tahun Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/MENKES/SK/III tentang Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Kementerian Kesehatan RI. (2010a). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1810/ MENKES/SK/XII/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan Tahun Anggaran Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Kementerian Kesehatan RI. (2010b). Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ii

63 49 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Profile Kementerian Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI World Health Organitation. (1999). Indicators for Monitoring National Drug Polities. 2nd ed. Geneva: WHO

64 LAMPIRAN ii

65 50 Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan

66 51 Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN

67 52 Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan SEKRETARIS DITJEN BINFAR DAN ALKES KABAG PI KABAG PEGUM KABAG HOH KABAG KEUANGAN KASUBBAG PROGRAM KASUBBAG KEPEGAWAIAN KASUBBAG HUKUM KASUBBAG VER.&AKUN KASUBBAG DATIN KASUBBAG TU&GAJI KASUBBAG ORGANISASI KASUBBAG ANGGARAN KASUBBAG EVAPOR KASUBBAG RT KASUBBAG HUMAS KASUBBAG PERBENDAHARAAN

68 53 Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan DIREKTUR BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT PENYEDIAAN SUBDIT PENGELOLAAN SUBDIT PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM SUBDIT ANALISIS DAN STANDARISASI HARGA OBAT SEKSI PERENCANAAN PENYEDIAAN SEKSI STANDARISASI PENGELOLAAN OBAT SEKSI PEMANTAUAN PROGRAM OBAT PUBLIK SEKSI ANALISIS HARGA OBAT SEKSI PEMANTAUAN KEERSEDIAAN OBAT SEKSI BIMBINGAN PENGENDALIAN OBAT PUBLIK SEKSI EVALUASI PROGRAM OBAT PUBLIK SEKSI STANDARISASI HARGA OBAT KELOMPOK JABFUNG

69 54 Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian DIREKTUR BINA PELAYANAN KEFARMASIAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT STANDARISASI SUBDIT FARMASI KOMUNITAS SUBDIT FARMASI KLINIK SUBDIT PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI SANDARISASI PELAYANAN KEFARMASIAN SEKSI PELAYANAN FARMASI KOMUNITAS SEKSI PEMANTAUAN FARMASI KLINIK SEKSI PROMOSI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI STANDARISASI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI FARMASI KOMUNITAS SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI FARMASI KLINIK SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL KELOMPOK JABFUNG

70 55 Lampiran 6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan DIREKTUR BINA PRODUKSI DAN DISRIBUSI ALAT KESEHATAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT PENILAIAN ALKES SUBDIT PENILAIAN PRODUK DR DAN PKRT SUBDIT INSPEKSI ALKES DAN PKRT SUBDIT STANDARISASI DAN SERTIFIKASI SEKSI ALKES ELEKTROMEDIK SEKSI PRODUK DR SEKSI INSPEKSI PRODUK SEKSI STANDARISASI PRODUK SEKSI ALKES NON ELEKTROMEDIK SEKSI PRODUK PKRT SEKSI INSPEKSI SARANA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI SEKSI STANDARISASI DAN SERTIFIKASI PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KELOMPOK JABFUNG

71 56 Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian DIREKTUR BINA PRODUKSI DAN DISRIBUSI KEFARMASIAN SUBBAGIAN TATA USAHA SUBDIT PRODIS OBAT DAN OT SUBDIT PRODUKSI KOSMEIK DAN MAKANAN SUBDIT PRODIS NARKOTIKA SUBDIT KEMANDIRIAN OBAT DAN BBO SEKSI STANDARISASI PRODIS SEKSI PERIZINAN SARANA PRODIS SEKSI STANDARISASI PRODUKSI KOSMETIK DAN MAKANAN SEKSI NARKOTIK, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR SEKSI SEDIAAN FARMASI KHUSUS SEKSI ANALISIS OBAT DAN BBO SEKSI KERJASAMA SEKSI PERIZINAN SARANA PRODUKSI KOSMETIK KELOMPOK JABFUNG

72 UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 18 JUNI 29 JUNI 2012 STANDAR SARANA PENYIMPANAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DI INSTALASI FARMASI KABUPATEN/KOTA ANITA KARLINA, S.Farm ANGKATAN LXXV PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI DEPOK DESEMBER 2012 ii

73 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i DAFTAR ISI... ii BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Pengelolaan Obat Penyimpanan Obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota di Indonesia Penyimpanan Obat yang Baik Mnurut Standar WHO BAB 3 METODE PENGKAJIAN Tempat dan Waktu Pengkajian Cara Kerja BAB 4. PEMBAHASAN BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN ii

74 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan (UU No. 36 tahun 2009). Obat merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menjamin ketersediaan obat terutama obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan dasar. Obat untuk pelayanan kesehatan dasar biasa dikenal dengan istilah obat publik dan perbekalan kesehatan kabupaten/kota (Kepmenkes 1426, 2002). Untuk menjamin ketersediaan obat perlu didukung sumber daya manusia yang memadai, anggaran operasional dan anggaran penyediaan obat, sarana dan prasarana yang memadai, dan sistem pengelolaan obat yang baik. Sistem pengelolaan obat mencakup perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan pelaporan, pemusnahan, pemantauan dan evaluasi. Tujuan pengelolaan obat adalah obat dapat tersedia di sarana pelayanan kesehatan dalam jumlah, jenis, dan waktu yang tepat saat dibutuhkan. Penyimpanan merupakan salah satu aspek pengelolaan obat yang sangat penting. Adapun tujuan penyimpanan obat adalah untuk menjaga mutu obat, mencegah pencurian obat, dan memudahkan pengawasan. Penyimpanan obat memerlukan suhu yang tepat seperti -15 sampai -25 o C atau -8 o C untuk penyimpanan vaksin, obat dalam bentuk suppositoria disimpan di lemari es, dan obat-obat lainnya disimpan di tempat yang sejuk. Dalam laporan tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker ini penulis akan memaparkan standar sarana penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan di instalasi farmasi kabupaten/kota yang telah disusun oleh Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. 1

75 2 1.2 Tujuan Memahami pentingnya cara penyimpanan obat yang baik Memahami standar penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota dan juga standar dari WHO.

76 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan Pembangunan di bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dalam pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan memiliki visi yaitu Masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan, serta misi sebagai berikut: 1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; 2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin terjadinya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; 3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan; 4. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Dalam rangka mewujudkan visi dan melaksanakan misi Kementerian Kesehatan, telah dirumuskan sasaran-sasaran utama untuk menunjang pencapaiannya. Sasaran utama yang harus dicapai oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat (Kementerian Kesehatan, 2011). 2.2 Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan merupakan salah satu subdirektorat di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi : iii

77 4 5. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 6. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; 7. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; dan 8. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan. 2.3 Pengelolaan Obat Dalam menjabarkan tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdirektorat Pengelolaan telah mengatur sistem pengelolaan obat yang baik. Pengelolaan bertujuan untuk menjamin tersedianya obat dan perbekalan kesehatan dengan mutu terjamin, tersebar secara merata dan teratur, sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat dengan biaya yang seefisien mungkin. Siklus pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing tahap pengelolaan obat merupakan suatu tahapan yang terkait satu sama lain. Menurut Umar (2011), ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yaitu: a. Undang-undang atau peraturan yang berlaku Dalam mengelola obat dan perbekalan kesehatan, undang-undang atau peraturan merupakan hal terpenting yang harus diketahui, sebab pengelolaan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku akan memperoleh sanksi pidana. b. Golongan obat Penggolongan obat yang dilakukan oleh pemerintah dimaksudkan agar dapat mempermudah tenaga farmasi dalam menyimpan, memperoleh, dan menyerahkannya sehingga penggunaannya menjadi tepat.

78 5 c. Sifat obat Obat memiliki sifat yang berbeda dengan sifat barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Umumnya obat dapat berubah fungsi karena cahaya, panas, kelembaban udara, daluarsa, dosis (takaran), interaksi dengan bahan lain, sehingga tata cara penanganannya membutuhkan pengetahuan khusus. d. Cara penyimpanan Karena sifatnya yang dapat merubah fungsi ini, maka cara penyimpanannya harus ditempatkan pada wadah dan ruangan tertentu agar tetap memenuhi syarat baku (tidak rusak) sampai batas daluarsanya. 2.4 Penyimpanan Obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota di Indonesia Definisi Penyimpanan Menurut Dirjen Binfar Alkes (2007), penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan obat dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat dan perbekalan kesehatan Tujuan Penyimpanan Tujuan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan adalah untuk: a. Memelihara mutu obat b. Menghindari penyalahgunaan dan penggunaan yang salah c. Menjaga kelangsungan persediaan d. Memudahkan pencarian dan pengawasan Kegiatan Penyimpanan Kegiatan penyimpanan obat meliputi: a. Penyiapan sarana penyimpanan b. Pengaturan tata ruang dan keluar-masuk obat c. Penyusunan obat d. Pengamatan mutu obat

79 Penyiapan Sarana Penyimpanan Ketersediaan sarana yang ada di unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan bertujuan untuk mendukung jalannya organisasi. Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai berikut: a. Gedung dengan luas yang dapat menampung obat dan perbekalan kesehatan. b. Kendaraan roda dua dan roda empat. c. Tersedia alat pengolah data seperti komputer dan printer. d. Tersedia alat komunikasi seperti telepon dan faksimili. e. Sarana penyimpanan. f. Sarana administrasi umum: brankas, mesin tik, lemari arsip. g. Sarana administrasi obat dan perbekalan kesehatan: - Kartu stok - Kartu persediaan obat - Kartu induk persediaan obat - Buku harian pengeluaran barang - SBBK (Surat Bukti Barang Keluar) - LPLPO (Lembar Permintaan dan Laporan Pemakaian Obat) - Kartu rencana distribusi Pengaturan Tata Ruang Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan pengawasan obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan baik. Pengaturan tata ruang selain harus memperhatikan kebersihan dan menjaga gudang dari kebocoran dan hewan pengerat juga diperhatikan ergonominya. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah sebagai berikut: a. Kemudahan bergerak Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata sebagai berikut: - Sebaiknya gudang tidak menggunakan sekat-sekat karena akan membatasi pengaturan ruangan. Jika menggunakan sekat, posisi dinding dan pintu diperhatikan untuk mempermudah gerakan.

80 7 - Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat ditata berdasarkan sistem arus garis lurus, arus U, arus L. - Sirkulasi udara yang baik. Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adalah adanya sirkulasi udara yang cukup di dalam ruangan gudang. Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan stabilitass obat sekaligus bermanfaat dalam memperbaiki kondisi kerja petugas. Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan menjadi mahal untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas angin/ventilator. Perlu adanya alat pengukur suhu di ruangan penyimpanan obat dan dilakukan pencatatan suhu. b. Rak dan pallet Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat meningkatkan sirkulasi udara dan pemindahan obat. Penggunaan pallet memberikan keuntungan: - Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir, serangan serangga (rayap). - Melindungi sediaan dari kelembaban. - Memudahkan penanganan stok. - Dapat menampung obat lebih banyak. - Pallet lebih murah daripada rak. c. Kondisi penyimpanan khusus - Vaksin dan serum memerlukan sarana cold chain dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya aliran listrik (harus tersedianya generator) - Narkotika dan psikotropika harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu terkunci - Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol, eter, dan pestisida harus disimpan dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bangunan khusus terpisah dari gudang induk. d. Pencegahan kebakaran Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti dus, karton dan lain-lain. Alat pemadam kebakaran harus diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Contohnya tersedia bak pasir, tabung pemadam kebakaran, karung goni, galah berpengait besi.

81 Penyusunan Stok Obat Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menggunakan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa kadaluarsanya lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan masa kadaluarsanya mungkin lebih awal. b. Obat disusun dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan teratur. Untuk obat kemasan kecil dan jumlahnya sedikit disimpan dalam rak dan dipisahkan antara obat dalam dan obat untuk pemakaian luar dengan memperhatikan keseragaman nomor bets. c. Untuk penyimpanan narkotika dan psikotropika digunakan lemari khusus. d. Obat yang stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan kontaminasi bakteri disimpan pada tempat yang sesuai. Dan diperhatikan untuk obat yang perlu penyimpanan khusus. e. Nama masing-masing obat dicantumkan pada rak dengan rapi. f. Apabila persediaan obat cukup banyak, maka obat tetap dibiarkan dalam box masing-masing Pengamatan Mutu Obat (Ditjen Binfar Alkes, 2010) Mutu obat yang disimpan di ruang penyimpanan dapat mengalami perubahan baik karena faktor fisik maupun kimiawi yang dapat diamati secara visual. Jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara organoleptik, harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium. Tanda-tanda perubahan mutu obat: a. Tablet: - Terjadi perubahan warna, bau atau rasa. - Kerusakan berupa noda berbintik-bintik, lubang, pecah, retak dan atau terdapat benda asing, jadi bubuk dan lembab. - Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat.

82 9 b. Kapsul - Perubahan warna isi kapsul. - Kapsul terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan lainnya. c. Tablet salut - Pecah-pecah, terjadi perubahan warna. - Basah dan lengket satu dengan yang lainnya. - Kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik. d. Cairan - Menjadi keruh atau timbul endapan. - Konsistensi berubah. - Warna atau rasa berubah. - Botol-botol plastik rusak atau bocor. e. Salep - Warna dan bau berubah. - Pot atau tube rusak atau bocor. f. Injeksi - Kebocoran wadah (vial, ampul). - Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi atau terjadi kristalisasi. - Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan. - Warna larutan berubah. Tindak lanjut terhadap obat yang terbukti rusak/kadaluarsa adalah: a. Dikumpulkan, inventarisasi dan disimpan terpisah dengan penandaan/label khusus. b. Dikembalikan/diklaim sesuai aturan yang berlaku. c. Dihapuskan sesuai aturan yang berlaku serta dibuat berita acaranya Unit Penyimpanan Obat di Kabupaten/Kota a. Sarana gedung Kriteria untuk sarana gedung untuk penyimpanan obat di kabupaten/kota yang ditetapkan adalah sebagai berikut: Luas bangunan : minimal 300 m 2 Luas tanah : m 2

83 10 b. Sarana penyimpanan dan distribusi Untuk melaksanakan kegiatan penyimpanan dan distribusi obat, diperlukan beberapa hal sebagai berikut: handforklift, lemari, pallet, rak, pengatur udara, kendaraan, pendingin, tangga, mebel, generator, pompa air, trolley. c. Sarana kantor/administrasi Sarana kantor/administrasi meliputi: - Mebel : meja, kursi, lemari - Pengolah data : komputer, printer - Alat komunikasi : telepon, faksimili d. Sarana pengamanan Alarm, pemadam kebakaran, tralis, pagar. e. Personel - Tenaga teknis Apoteker 1 orang, tenaga teknis kefarmasian 2-3 orang - Administrasi : 1-2 orang (SMA atau SMEA) - Tenaga pengemudi - Tenaga pengaman : 1 orang, mempunyai sertifikat pelatihan satpam - Tenaga kasar (kebersihan, angkut) : 1 orang f. Biaya pengelolaan Biaya pengelolaan digunakan untuk: - Pemeliharaan gedung - Pemeliharaan kendaraan - Biaya daya dan jasa - Biaya pendistribusian, dan sebagainya. 2.5 Penyimpanan Obat yang Baik Menurut Standar WHO Mempersiapkan Gudang Penyimpanan Obat Obat dan persediaannya mahal dan berharga, untuk itu perlu ada perhatian karena obat dapat rusak. Bila obat rusak, kemanjuran obat dapat menurun atau memberi pengaruh buruk bagi penderita. Obat dan persediaannya harus selalu disimpan di ruang penyimpanan yang layak, harus mempunyai ruangan yang

84 11 dapat dikunci, berada dalam keadaan yang baik dan rapi. Ruangan yang akan menjadi gudang penyimpanan harus terpisah dari ruang pemberian obat Pemilihan ruangan yang aman di fasilitas kesehatan sebagai gudang Menyimpan persediaan di gudang memberi kemudahan untuk selalu mengetahui persediaan yang ada dan menyimpan persediaan secara aman. Gudang harus cukup besar untuk diisi seluruh persediaan. Gudang harus berupa ruangan yang terkunci atau bila Puskesmas sangat kecil, berupa lemari terkunci. Cara mengamankan gudang: a. Gudang harus dikunci ganda. b. Gudang selalu terkunci bila sedang tidak dipakai Pengaturan gudang agar selalu dalam keadaan yang baik Suhu udara yang sangat dingin atau sangat panas, sinar matahari atau kelembaban dapat merusak persediaan. Panas mempengaruhi cairan, salep dan suppositoria. Beberapa obat, seperti obat suntik dan tetes mata atau telinga, cepat rusak bila terkena sinar. Tablet dan kapsul mudah menyerap air dari udara sehingga menjadi lengket dan rusak. Untuk menjaga gudang berada dalam kedaan baik dapat dilakukan dengan cara: a. Mengawasi struktur fisik gudang secara teratur b. Mengatur suhu dalam gudang. c. Mengatur sinar dalam gudang d. Mengatur kelembaban dan mencegah kerusakan oleh air e. Menjaga agar gudang bebas hama Pemeliharaan gudang agar bersih dan teratur Dalam gudang yang bersih dan teratur, mudah untuk menemukan persediaan. Persediaan lebih mungkin berada dalam keadaan baik dan siap dipakai. Cara mengatur gudang: a. Membersihkan gudang dan jaga kerapihan b. Menyimpan persediaan obat di atas rak

85 12 c. Bila ada lemari pendingin, dijaga agar kerjanya tetap baik d. Menyimpan narkotika dan obat psikotropika di ruang penyimpanan yang dikunci ganda Pengaturan Persediaan Obat Pengaturan persediaan dalam gudang harus disesuaikan dengan pelayanan yang diberikan di fasilitas kesehatan. Setiap orang yang bekerja di gudang harus dapat menemukan persediaan obat dengan mudah. Obat-obatan yang mempunyai kesamaan harus dikelompokkan di atas rak, diatur menurut abjad nama generiknya. Barang dengan usia lebih pendek (tanggal kadaluarsa pendek atau persediaan lama) harus ditempatkan di depan barang yang sama dengan usia yang lebih panjang (tanggal kadaluarsa lebih lama atau persediaan baru) Penyimpanan obat-obatan yang mempunyai kesamaan di atas rak Saat mengatur persediaan, obat disimpan dalam kelompok berikut: obat luar, oral, dan suntikan. Tablet dan kapsul disimpan di rak yang sama, begitu juga salep, krim dan lotion. Bila dalam gudang ada tiga rak atau lebih, penyimpanan persediaan sebagai berikut: - Rak atas : untuk menyimpan obat kering (tablet, kapsul, paket oralit). Digunakan wadah obat yang kedap udara. Bila rak atas dekat plafon atau tidak terjangkau, digunakan rak itu untuk menyimpan barang yang tidak peka terhadap panas atau yang jarang dipakai. - Rak tengah : untuk menyimpan obat cair, termasuk obat suntik dan salep. Tidak diperkenankan menempatkan obat di bawahnya karena bila terjadi kebocoran, obat di bawahnya akan rusak - Rak bawah : untuk menyimpan persediaan lain, seperti alat bedah, kondom dan label. Persediaan yang memerlukan suhu dingin selalu disimpan di dalam lemari pendingin.

86 Nama generik dari setiap obat dalam gudang Nama generik adalah nama obat yang sesuai dengan International Nonproprietary Name (INN). Namun tidak semua obat yang beredar menggunakan nama generik tetapi ada juga yang menggunakan nama merek dagang. Dalam penyimpanan obat, harus dilihat nama generik tiap obat untuk memudahkan penyusunannya Pemberian label persediaan di atas rak Dalam setiap kelompok, persediaan diatur sesuai abjad nama generik dan diberi cukup ruang untuk setiap barang. Barang yang sama dikelompokan dalam jumlah yang mudah dihitung, seperti dalam pasangan atau kelompok lima atau sepuluh. Nama generik ditulis di setiap barang pada label dan label ditempelkan di depan barang di rak. Bila persediaan diatur dengan cara ini, akan memudahkan kita untuk mengetahui jenis dan jumlah persediaan yang ada. Kecil kemungkinan untuk salah mengenai barang yang mempunyai kemiripan fisik atau nama Penyimpanan obat sesuai tanggal kadaluarsa dengan menggunakan prosedur FEFO (First Expired First Out) Tanggal kadaluarsa semua obat di dalam gudang diperiksa dan dibuang semua obat yang telah kadaluarsa dari gudang. Obat ditempatkan dengan tanggal kadaluarsa yang lebih pendek di depan obat yang berkadaluarsa lebih lama. Bila obat mempunyai tanggal kadaluarsa sama, tempatkan obat yang baru diterima di belakang obat yang sudah berada di rak Penyimpanan obat tanpa tanggal kadaluarsa dengan menggunakan prosedur FIFO (First In First Out) Obat disimpan sesuai urutan penerimaannya. Obat yang baru diterima diletakkan di belakang obat yang sudah berada di rak. Mungkin ada tanggal

87 14 pembuatan dalam wadah. Tanggal menunjukkan barang lama harus digunakan dahulu Pemusnahan obat yang kadaluarsa dan rusak Dibuat catatan pemusnahan obat, termasuk tanggal, jam, saksi dan cara pemusnahan, kemudian dicatat pada kartu persediaan obat Membuat Catatan Catatan berguna untuk: - Mengetahui apa yang ada di gudang - Mengetahui jumlah masing-masing barang dalam persediaan - Mengetahui kapan suatu barang harus dipesan - Melindungi personil bila anda terjadi kehilangan obat atau penyalahgunaan persediaan. Pada catatan akan terdokumentasi pergerakan persediaan. Dari catatan terlihat siapa yang bertanggung jawab untuk masalah itu. Ada banyak cara untuk membuat catatan. Prosedur yang dianjurkan adalah penggunaan kartu persediaan. Pembuatan kartu persediaan dapat disesuaikan dengan sistem pencatatan mana saja. Kartu persediaan obat Harus ada kartu persediaan bagi setiap barang di gudang. Kartu persediaan disimpan bersama dengan barang di rak. Kartu persediaan digunakan untuk mengikuti gerakan barang (yaitu mencatat kapan dan bagaimana barang dipakai). Mungkin ada barang di gudang yang terdiri dari berbagai bentuk (tablet, cairan, atau salep), dosis (amoksilin tablet 250 mg atau 500 mg) atau ukuran satuan (botol 1000 tablet atau botol 500 tablet). Bila ada, harus ada kartu persediaan yang terpisah untuk setiap bentuk, dosis dan ukuran satuan dari barang tersebut. Kartu yang sama tidak boleh digunakan untuk bentuk, dosis atau ukuran satuan yang berbeda dari suatu barang. Kartu Persediaan juga mempunyai lajur untuk mencatat informasi tentang pergerakan barang: - Tanggal penerimaan atau pengeluaran - Diterima dari, nama pemasok obat yang mengirim barang ke gudang anda

88 15 - Jumlah yang diterima, jumlah satuan yang diterima gudang - Diberikan ke, nama bagian fasilitas yang memberi obat ke pasien - Jumlah yang diberikan, jumlah satuan yang dikeluarkan gudang - Saldo persediaan, jumlah satuan yang tersisa di gudang - Keterangan, informasi penting tentang pergerakan barang - Tanda tangan dari orang yang mencatat pergerakan barang Personalia Menurut WHO (2003), di setiap sarana penyimpanan (seperti pabrik, distributor, farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit) sebaiknya ada sejumlah karyawan yang memenuhi syarat untuk mencapai tujuan pemastian mutu sediaan farmasi. Semua karyawan harus mendapat pelatihan yang tepat dalam hal cara penyimpanan obat yang baik, regulasi, prosedur dan keamanan. Semua staf harus dilatih, dan ditinjau sanitasi dan higienis personal. Semua karyawan yang bekerja di area penyimpanan sebaiknya menggunakan perlindungan yang sesuai atau alat penutup diri yang tepat dalam melaksanakan kegiatannya Pengamatan Stabilitas Obat Selama Penyimpanan Stabilitas produk farmasi dapat diartikan sebagai kemampuan formulasi sediaan (dalam kemasan yang masih tertutup) untuk tetap memberikan spesifikasi fisika, kimia, mikrobiologi, terapetik, dan toksikologi yang sama sampai tanggal kadaluarsanya dalam kondisi penyimpanan yang sesuai. Tanda-tanda kerusakan pada sediaan farmasi adalah sebagai berikut: a. Larutan parenteral dan oral - Terjadi perubahan warna/pengotoran secara perlahan-lahan. - Terbentuk endapan. - Whiskering. - Clouding. - Warna memudar. b. Sistem dispersa - Cake sedimentation (suspensi). - Creaming and cracking (emulsi).

89 16 - Perubahan warna. c. Semi solid (salep, krim, gel, dan suppositoria) - Perubahan konsistensi. - Pemisahan fase. - Perubahan warna. - Pembentukan kristal permukaan. - Mengeras. d. Sediaan padat. - Permukaan tidak rata atau berlubang (tablet). - Perubahan bentuk (kapsul). - Perubahan warna atau warna memudar (tablet berwarna). - Sompel pada penyalut (tablet salut).

90 17 BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Pengkajian Penulisan tugas khusus mengenai standar sarana penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan di instalasi farmasi kabupaten/kota ini dilakukan di Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia selama penulis melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) periode Juni Cara Kerja Metode yang digunakan dalam penulisan standar sarana penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan di instalasi farmasi kabupaten/kota ini melalui penelusuran studi literatur dari kementerian Kesehatan dan literatur lainnya. 17

91 BAB 4 PEMBAHASAN Penyimpanan merupakan bagian dari proses pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan di instalasi farmasi. Penyimpanan menjadi aspek penting yang harus diperhatikan untuk menjamin obat dan perbekalan kesehatan yang sudah diterima dalam kondisi baik akan tetap memenuhi spesifikasinya selama disimpan di gudang sampai diberikan kepada pasien. Spesifikasi yang dinilai antara lain spesifikasi fisika, kimia, mikrobiologi, dan toksikologi. Parameter ini digunakan untuk menggambarkan kestabilan obat, artinya jika obat masih memenuhi spesifikasi fisika (misalnya tablet utuh, tidak sompel dan warna tidak pudar) dapat diindikasikan bahwa obat tersebut masih dapat digunakan. Begitu sebaliknya, jika secara fisik kita sudah melihat tanda-tanda kerusakan berarti obat tersebut sudah tidak layak digunakan lagi walaupun belum melewati tanggal kadaluarsanya. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI melalui Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan telah menyusun pedoman standar sarana penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan di instalasi farmasi kabupaten/kota. Pedoman ini berguna untuk membantu petugas instalasi kabupaten/kota untuk melakukan proses penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan dengan sebaik mungkin untuk mencegah terjadinya kerusakan obat dan perbekalan kesehatan selama penyimpanan sampai diserahkan kepada pasien. Jika dibandingkan dengan pedoman cara penyimpanan obat yang baik menurut WHO, pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan banyak terdapat kesamaan diantaranya masalah personalia, fasilitas, pengamatan stabilitas obat, dan lain-lain. Dalam penjelasannya, pedoman WHO hanya menyebutkan ketentuan-ketentuan secara garis besar dan lebih umum, sedangkan pedoman Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menjelaskan ketentuannya secara lebih rinci. Misalnya dalam hal iii

92 19 personalia, WHO menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas penyimpanan harus tersedia sejumlah personil yang kompeten dan telah mendapat pelatihan di bidangnya masing-masing, menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai dengan pekerjaannya. Sedangkan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyebutkan bahwa personil yang diperlukan dalam penyimpanan obat di instalasi farmasi kabupaten/kota terdiri dari beberapa tenaga, yaitu apoteker 1 orang, tenaga teknis kefarmasian 2-3 orang, administrasi 1 orang, supir 1 orang, tenaga pengaman 1 orang, tenaga kebersihan dan angkut 1 orang. Dimana semua orang yang bekerja mempunyai latar belakang pendidikan dan keahlian yang sesuai serta sudah mendapatkan pelatihan. Untuk fasilitas di sarana penyimpanan, baik WHO maupun Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menguraikan pentingnya meletakkan barang di atas pallet atau rak untuk menghindari terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh binatang dan juga untuk memudahkan proses pembersihan. Selain harus bersih dan rapi, gudang juga harus aman. Sehingga tidak terjadi kekurangan obat akibat kehilangan. Untuk itu gudang harus didesain seaman mungkin dan bila perlu menggunakan kunci ganda. Petugas keamanan bertanggung jawab jika terjadi kehilangan kehilangan. Setiap obat mempunyai karakteristik masing-masing sehingga dalam penyimpanannya harus diperhatikan satu per satu karakteristiknya. Bahan-bahan dan obat-obatan yang membutuhkan kondisi penyimpanan khusus diantaranya: gas medis, aerosol, larutan dan tetes mata, krim, kapsul, suppositoria, emulsi dan suspensi, vaksin, dan radio farmasi sehingga diperlukan sumber daya manusia yang baik pula untuk mencapai tujuan tersebut. Masalah yang sering timbul adalah kurangnya pemahaman sumber daya manusia terutama di kabupaten/kota terhadap mutu obat terutama yang rentan pada suhu, sehingga mereka tidak maksimal dalam menerapkan standar penyimpanan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan bimbingan teknis dan pelatihan secara rutin dan menyeluruh ke seluruh kabupaten/kota di Indonesia mengenai cara penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan yang baik.

93 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penyimpanan merupakan salah satu hal yang penting dalam menjamin mutu dan keamanan obat dan perbekalan kesehatan karena dengan penyimpanan yang baik maka mutu obat tetap stabil Semua ketentuan dalam penyimpanan obat yang baik yang disusun oleh Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan telah sesuai dengan kriteria WHO. 5.2 Saran Perlunya dilakukan bimbingan dan pelatihan penyimpanan obat yang baik secara rutin dan menyeluruh ke seluruh pengelola obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. 20

94 DAFTAR ACUAN Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1426/MenKes/SK/XI/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Standar Sarana Penyimpanan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmassian dan Alat Kesehatan. (2007). Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Daerah Kepulauan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmassian dan Alat Kesehatan. (2010). Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/MenKes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Umar, M. (2011). Manajemen Apotek Praktis. Jakarta: Wira Putra Kencana. World Health Organization. (2003). Guide to Good Storage Practices for Pharmaceuticals. Geneva: World Health Organization. 21

95 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. BINTANG TOEDJOE JALAN RAWA SUMUR BARAT II/K-9 KAWASAN INDUSTRI PULOGADUNG PERIODE 2 JULI 31 AGUSTUS 2012 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANITA KARLINA, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012

96 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. BINTANG TOEDJOE JALAN RAWA SUMUR BARAT II/K-9 KAWASAN INDUSTRI PULOGADUNG PERIODE 2 JULI 31 AGUSTUS 2012 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker ANITA KARLINA, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012 ii

97 iii

98 KATA PENGANTAR Alhamdulillah atas segala rahmat dan karunia Allah SWT penulis dapat menyelesaikan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT. Bintang Toedjoe. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa Program Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi untuk mendapakan gelar Apoteker. Adapun pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. Bintang Toedjoe ini berlangsung mulai dari tanggal 2 Juli 31 Agustus Pelaksanaan PKPA ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa dukungan dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, antara lain: 1. Ibu Theresia Liliani C, S.Si., Apt., selaku Manager Formulation Development (FD) Pulogadung di PT. Bintang Toedjoe, sekaligus Pembimbing PKPA di PT. Bintang Toedjoe atas segala bimbingan, perhatian, dukungan dan waktu yang diberikan selama penulis melaksanakan PKPA. 2. Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., selaku Pembimbing PKPA dari Fakultas Farmasi atas bimbingan dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan khususnya selama penulis menjalani PKPA di PT. Bintang Toedjoe. 3. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi. 4. Bapak Dr. Harmita, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi. 5. Ibu Leny Setiawati, S.Farm., Apt., Bapak Syarif Adi Pratama, S.Farm., Apt., Bapak Chrisnadi Karyadi, S.Farm., Apt., dan Ibu Rachma Widiyawati, S.Farm Atp., selaku Supervisor FD Pulogadung di PT. Bintang Toedjoe atas segala bimbingan, perhatian, dukungan dan waktu yang diberikan selama penulis melaksanakan PKPA. 6. Seluruh karyawan di PT. Bintang Toedjoe atas kesediaannya membantu dan memberikan informasi selama penulis melaksanakan PKPA. iv

99 7. Bapak dan Ibu staf pengajar beserta segenap karyawan Fakultas Farmasi. 8. Teman-teman Apoteker angkatan LXXV atas kebersamaannya selama setahun ini. 9. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi dukungan, doa, semangat dan kasih sayang yang tiada henti. 10. Semua pihak yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya laporan PKPA ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini. Namun demikian, harapan penulis semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis dapatkan selama PKPA ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkannya. Penulis 2012 v

100 ABSTRAK Nama : Anita Karlina Program Studi : Profesi Apoteker Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT. Bintang Toedjoe Jl. Rawa Sumur Barat II-K9 Kawasan Industri Pulogadung Periode 2 Juli 31 Agustus 2012 Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT. Bintang Toedjoe bertujuan untuk memahami peranan dan tanggung jawab apoteker di industri farmasi. Apoteker mempunyai tiga posisi penting di industri farmasi, yaitu sebagai penanggung jawab produksi, penanggung jawab pengawasan mutu dan penanggung jawab pemastian mutu, dimana ketiganya harus dipegang oleh tiga apoteker yang berbeda. Selain ketiga posisi tersebut, apoteker di industri farmasi juga dapat bertanggung jawab di bidang riset dan pengembangan, sistem mutu, dan juga registrasi. Selama melaksanakan praktek kerja, penulis berada di Formulation Development Pulogadung, Research and Development Department. Formulation Development bertanggung jawab dalam mengembangkan formula baru, mengembangkan formula yang sudah ada, dan juga mendampingi bagian produksi jika ada kendala selama proses produksi. Pengembangan formula ini bertujuan untuk inovasi produk, meningkatan kualitas produk, dan juga untuk efisiensi waktu dan biaya produksi. Untuk tugas khusus, penulis melakukan pengembangan formula yang sudah ada yaitu mencari pemanis pengganti yang selama ini sudah digunakan dalam salah satu produk PT. Bintang Toedjoe. Pemanis pengganti tersebut harus memiliki rasa yang mirip dengan pemanis yang sudah digunakan sekarang yang diuji dengan menggunakan uji sensori yaitu uji segitiga. Kata Kunci : PT. Bintang Toedjoe, formulation development, Research and Development Department, uji sensori, uji segitiga. Tugas Umum : vii + 43 halaman; 7 lampiran Tugas Khusus : iii + 19 halaman Daftar Acuan Tugas Umum : 6 ( ) Daftar Acuan Tugas Khusus : 7 ( ) vi

101 ABSTRACT Name : Anita Karlina Study Program : Apothecary Profession Title : Apothecary Internship Report at PT. Bintang Toedjoe Jl. Rawa Sumur Barat II-K9 Jakarta Industrial Estate Pulogadung Period July 2 nd August 31 st 2012 Apothecary Internship at PT. Bintang Toedjoe aims to understand the roles and responsibilities of pharmacist in pharmaceutical industry. Pharmacist has three important positions in pharmaceutical industry: person in charge of production, person in charge of quality control, and person in charge of quality assurance, all of which must be held by different pharmacist. In addition, pharmacist in pharmaceutical industry can also be responsible for research and development, quality system, and drug registration. For carrying out apothecary internship, the author was in Formulation Development Pulogadung, Research and Development Department. Formulation Development is responsible for developing a new formula, developing the existing formula, and also assist the production division if there are problems during the production process. Formula development is aimed at production innovation, improve product quality, and also for the efficiency of the time and cost of production. For the specific task, the author developed the existing formula that is looking for the substitute sweetener that has been used in one product of PT. Bintang Toedjoe. The new formula of the sweetener must have a similar flavor to the existing sweetener, that was tested by using sensory test: triangle test. Key words : PT. Bintang Toedjoe, formulation development, research and development department, sensory test, triangle test. vii

102 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2 TINJAUAN UMUM Industri Farmasi Pengertian Industri Farmasi Persyaratan Industri Farmasi Izin Usaha Industri Farmasi Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Manajemen Mutu Personalia Bangunan dan Fasilitas Peralatan Sanitasi dan Higiene Produksi Pengawasan Mutu Inspeksi diri dan Audit Mutu Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian Dokumentasi Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak Kualifikasi dan Validasi BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DI PT BINTANG TOEDJOE Sejarah berdirinya PT Bintang Toedjoe Visi, Misi, dan Core Values Pemasaran Produk Lokasi dan Sarana Produksi Pembagian Divisi PT Bintang Toedjoe Divisi Business Development Divisi Manufacturing BAB 4. PEMBAHASAN viii

103 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN LAMPIRAN ix

104 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Struktur organisasi PT Bintang Toedjoe Lampiran 2. Struktur organisasi departemen PPIC Lampiran 3. Struktur organisasi departemen. R&D Lampiran 4. Struktur organisasi departemen Produksi Lampiran 5. Struktur organisasi departemen QA-QC Lampiran 6. Struktur organisasi departemen Engineering...49 Lampiran 7. Struktur organisasi departemen Quality System x

105 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kualitas hidup manusia harus didukung dengan kesehatan diri yang baik, agar aktivitas dapat berjalan dengan sempurna. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan rakyat, pembangunan kesehatan perlu semakin ditingkatkan dengan mengembangkan suatu sistem kesehatan nasional. Sesuai dengan apa yang digariskan dalam sistem kesehatan nasional, pembangunan kesehatan selalu perlu diarahkan demi tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Salah satu faktor pendukung kesehatan adalah obat-obatan. Penyediaan obat adalah kewajiban pemerintah serta institusi pelayanan kesehatan publik dan swasta, karena obat bukanlah semata komoditas perdagangan tapi juga memiliki fungsi sosial. Industri farmasi sebagai produsen obat-obatan, diharapkan dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan dapat memenuhi permintaan konsumen. Dunia kesehatan yang berkembang pesat, menyebabkan suatu industri farmasi terus melakukan inovasi dalam hal produk atau teknologi pembuatan, dengan selalu mengutamakan mutu, khasiat, dan keamanan produk. Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) adalah pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di Indonesia yang bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB menyangkut keseluruhan aspek produksi dan pengendalian mutu. Selain itu, dalam melaksanakan semua kegiatan di industri farmasi tersebut, dibutuhkan sumber daya yang berkualitas, baik dari pihak yang berperan maupun alat yang mendukung kegiatan tersebut. Apoteker sebagai salah satu pihak yang dapat terjun langsung dalam kegiatan kefarmasian diharapkan dapat memberikan kontribusi pikiran dan tenaga yang maksimal untuk peningkatan kualitas dan kuantitas dari produk farmasi. Pada kenyataannya pada 1

106 2 saat dilakukan praktek kerja profesi apoteker, para apoteker ini tidak hanya mampu memahami teori, tapi juga mampu menerapkan ilmu yang diperoleh pada saat perkuliahan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) merupakan salah satu sarana bagi calon apoteker untuk mendapatkan pengalaman praktis dan pemahaman yang lebih dalam tentang tugas dan fungsi apoteker di industri farmasi. Oleh karena itu dalam rangka memberikan pemahaman bagi para calon apoteker tentang perannya tersebut maka program profesi apoteker menjalin kerjasama dengan PT. Bintang Toedjoe untuk PKPA di PT Bintang Toedjoe. PKPA ini dilaksanakan mulai tanggal 2 Juli 31 Agustus Tujuan Tujuan dari praktek kerja profesi di PT. Bintang Toedjoe adalah: Memahami penerapan CPOB di PT. Bintang Toedjoe Memahami tugas dan tanggung jawab seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya secara profesional di industri farmasi.

107 BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1 Industri Farmasi Pengertian Industri Farmasi Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi, industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat. Bahan baku obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar, mutu sebagai bahan farmasi. Sedangkan yang dimaksud obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untutk mempengaruhi sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Industri obat jadi adalah industri yang menghasilkan suatu produk yang telah melalui seluruh tahap proses pembuatan. Proses pembuatan adalah seluruh rangkaian kegiatan yang menghasilkan suatu obat yang meliputi produksi dan pengawasan mutu mulai dari pengadaan bahan awal, proses pengolahan, pengemasan sampai obat jadi dan siap untuk didistribusikan. Industri bahan baku adalah bahan baku yang diproduksi oleh suatu industri, dimana bahan baku tersebut adalah semua bahan baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat, yang digunakan dalam proses pengolahan atau pembuatan obat Persyaratan Industri Farmasi Persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu industri farmasi memperoleh izin usaha adalah sebagai berikut a. Industri farmasi didirikan oleh Perusahaan Umum (Perum), badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau koperasi. b. Memiliki rencana investasi. 3

108 4 c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) d. Memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). e. Mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya dua orang apoteker warga negara Indonesia sebagai penanggung jawab produksi dan pengawasan mutu sesuai persyaratan CPOB. f. Obat yang diproduksi oleh industri farmasi hanya dapat diedarkan setelah mendapat persetujuan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku Izin Usaha Industri Farmasi Izin usaha industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Izin ini berlaku seterusnya selama insustri tersebut berproduksi dengan perperpanjangan izin setiap 5 tahun, sedangkan untuk industri farmasi Penanaman Modal Asing (PMA) masa berlakunya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan pelaksanaannya Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi Izin usaha industri farmasi dapat dicabut dalam hal (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 245, 1990) : a. Melakukan pemindahtanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan perluasan tanpa izin. b. Tidak menyampaikan laporan mengenai perkembangan industri farmasi selama tiga kali berturut-turut atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar. c. Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebuh dahulu dari Menteri Kesehatan RI. d. Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku, termasuk obat palsu. e. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam izin usaha industri farmasi.

109 5 2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Pada pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat esensial untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi. Pembuatan secara sembarangan tidak dibenarkan bagi produk yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa, memulihkan atau memelihara kesehatan. Tidaklah cukup bila produk jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian, tetapi yang lebih penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk (built in quality). Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan pengemas, proses produksi dan pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang dipakai dan personil yang terlibat (Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, 2006). Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat. CPOB merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya. Bila perlu dapat dilakukukan penyesuaian pedoman dengan syarat bahwa standar mutu obat yang telah ditentukan tetap dicapai. Saat ini industri obat diwajibkan untuk melaksanakan produksi sesuai aturan CPOB edisi Ruang lingkup CPOB edisi 2006 meliputi: manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu, penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi. Berikut ini dijelaskan mengenai masing-masing aspek yang diatur dalam CPOB edisi Manajemen Mutu Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen

110 6 izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan bagi pengguna karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu Kebijakan Mutu yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran pada seluruh departemen dalam suatu perusahaan, para pemasok dan para distributor. Manajemen mutu didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar dalam rangka mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan. Unsur dasar manajemen mutu adalah sebagai berikut: a. Infrastruktur atau sistem mutu yang tepat. Unsur ini mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya. b. Tindakan sistematis, unsur ini diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Keseluruhan tindakan tersebut disebut pemastian mutu. CPOB adalah bagian dari pemastian mutu yang memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk. Pengawasan mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi syarat. Setiap industri farmasi hendaklah mempunyai fungsi pengawasan mutu. Fungsi ini hendaklah terpisah (independent) dari bagian lain. Sumber daya yang memadai hendaklah terseedia untuk memastikan bahwa semua fungsi pengawasan mutu dapat dilaksanakan secara efektif dan dapat diandalkan Personalia Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah

111 7 memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB dan memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaan. Industri farmasi harus memiliki struktur organisasi. Tugas spesifik dan kewenangan dari personil pada posisi penanggung jawab hendaklah dicantumkan dalam uraian tugas tertulis. Tugas mereka boleh didelegasikan kepada wakil yang ditunjuk serta mempunyai tingkat kualifikasi yang memadai. Aspek CPOB harus benar-benar diterapkan, tidak ada yang terlewatkan maupun tumpang tindih dalam tanggung jawab yang tercantum pada uraian tugas. Personil kunci mencakup Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan Mutu dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Posisi utama tersebut dijabat oleh personil purnawaktu. Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) atau Kepala Bagian Pengawasan Mutu, harus terpisah (independent) satu terhadap yang lain Bangunan dan Fasilitas Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi, dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadinya kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat. Letak bangunan hendaknya sedemikian rupa untuk menghindari pencemaran dan lingkungan sekelilingnya, seperti pencemaran dari udara, tanah, air, serta dari kegiatan industri lain yang berdekatan. Apabila letak bangunan tidak sesuai, hendaklah diambil tindakan pencegahan yang efektif terhadap pencemaran tersebut. Bangunan dan fasilitas hendaknya dirawat dengan cermat, dibersihkan dan perlu didesinfeksi sesuai prosedur tertulis yang rinci. Catatan pembersihan dan desinfeksi hendaklah disimpan.

112 8 Seluruh bangunan dan fasilitas termasuk area produksi, laboratorium, area penyimpanan, koridor dan lingkungan sekeliling bangunan hendaklah dirawat dalam kondisi bersih dan rapi. Kondisi bangunan hendaklah ditinjau secara teratur dan diperbaiki bila perlu. Perbaikan dan perawatan bangunan dan fasilitas hendaklah dilakukan hati-hati agar kegiatan tersebut tidak mempengaruhi mutu obat pasokan Peralatan Peralatan untuk membuat obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai, serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan. Peralatan hendaklah didesain dan dikonstruksi sesuai dengan tujuannya. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorbsi yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian di luar batas yang ditentukan. Bahan yang diperlukan untuk pengoperasian alat khusus misalnya pelumas atau pendingin tidak boleh bersentuhan dengan bahan yang sedang diolah sehingga tidak mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian bahan awal, produk antara ataupun produk jadi. Peralatan tidak boleh merusak produk akibat katup bocor tetesan pelumas dan hal sejenis atau karena perbaikan, perawatan, modifikasi dan adaptasi yang tidak tepat. Peralatan hendaklah didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan. Pembersihan peralatan dilakukan sesuai dengan prosedur tertulis yang rinci serta disimpan dalam keadaan bersih dan kering. Peralatan hendaklah dirawat sesuai jadwal untuk mencegah malfungsi atau pencemaran yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian produk Sanitasi dan Higiene Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber

113 9 pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu. Sanitasi dan higiene yang diatur dalam pedoman CPOB terbaru adalah terhadap personalia, bangunan dan fasilitas, serta peralatan. Prosedur sanitasi dan higiene hendaklah divalidasi dan dievaluasi secara berkala untuk cukup efektif dan selalu memenuhi persyaratan Produksi Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa menjamin dalam menghasilkan produk yang memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi). Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan mutu harus dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan, peralatan kebersihan, dan higiene sampai dengan pengemasan. Mutu suatu obat ditentukan oleh proses produksi. Prosedur produksi dibuat oleh penanggung jawab produksi bersama dengan penanggung jawab pengawasan mutu yang dapat menjamin obat yang dihasilkan memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Prosedur kerja standar hendaklah tertulis, mudah dipahami, dan dipatuhi oleh karyawan produksi. Dokumentasi setiap langkah dilakukan dengan cermat, tepat dan ditangani oleh karyawan yang melaksanakan tugas Pengawasan Mutu Pengawasan mutu merupakan bagian yang esensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi obat jadi. Pengawasan mutu tidak terbatass pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Kemandirian pengawasan mutu dari produksi dianggap sebagai hal yang fundamental agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan.

114 10 Tiap pemegang izin pembuatan harus mempunyai bagian pengawasan mutu. Bagian ini harus terpisah dari bagian lain dan dibawah tanggung jawab dan wewenang seorang dengan kualifikasi dan pengalaman yang sesuai, yang membawahi satu atau beberapa laboratorium. Sarana yang memadai harus tersedia untuk memastikan bahwa segala kegiatan pengawasan mutu dilaksanakan dengan efektif dan dapat diandalkan. Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analisis yang dilakukan di laboratorium, termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini juga mencakup uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan dan produk serta metode pengujiannya. Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan yang diperlukan Inspeksi Diri dan Audit Mutu Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan. Auditor luar yang independen dapat memberikan manfaat ketika dilakukan inspeksi diri dan audit mutu. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin maupun dalam keadaan khusus, misalnya terjadi penarikan kembali obat jadi atau penolakan yang berulang. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif. Inspeksi diri dilakukan dengan membuat daftar periksa inspeksi diri yang menyajikan standar persyaratan minimal dan seragam. Daftar periksa mengandung pertanyaan mengenai ketentuan CPOB yang meliputi personalia,

115 11 bangunan termasuk fasilitas untuk personil, perawatan bangunan dan peralatan, penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi, peralatan, pengolahan dan pengawasan selama proses, pengawasan mutu, dokumentasi, sanitasi dan higiene, program validasi dan revalidasi, kalibrasi alat atau sistem pengukuran, prosedur penarikan kembali obat jadi, penanganan keluhan, pengawasan label dan hasil inspeksi diri sebelumnya dan tindakan perbaikan. Tim inspeksi diri paling sedikit terdiri dari tiga orang yang berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan CPOB. Anggota tim dapat dibentuk dari dalam atau luar perusahaan. Tiap anggota hendaklah independen dalam melakukan inspeksi dan evaluasi. Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap bagian sesuai kebutuhan pabrik, namun inspeksi diri yang dilaksanakan secara menyeluruh hendaklah dilaksanakan minimal satu kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri. Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk, dan Produk Kembalian Keluhan terhadap obat dan laporan keluhan dapat menyangkut mutu, efek samping yang merugikan atau masalah efek terapetik. Semua keluhan dan laporan keluhan hendaklah diteliti dan dievaluasi dengan cermat, kemudian diambil tindak lanjut yang sesuai dan dibuatkan laporan. Penarikan kembali obat jadi adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran. Penarikan kembali dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi yang merugikan yang serius serta berisiko terhadap kesehatan. Penarikan obat jadi dari peredaran dapat mengakibatkan penundaan atau penghentian pembuatan obat tersebut.

116 12 Obat kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian dikembalikan ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, kadaluarsa, atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang dapat menimbulkan keraguan akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan. Industri farmasi hendaklah menyiapkan prosedur untuk penanganan, penyelidikan dan pengujian obat kembalian serta pengambilan keputusan apakah produk kembalian dapat diproses ulang atau harus dimusnahkan setelah dilakukan evaluasi secara kritis. Obat kembalian yang tidak dapat diolah ulang hendaklah dimusnahkan. Prosedur pemusnahan bahan atau pemusnahan produk harus disiapkan dan mencakup tindakan pencegahan terhadap pencemaran lingkungan dan penyalahgunaan bahan atau produk oleh orang yang tidak mempunyai wewenang Dokumentasi Dokumentasi merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, dokumen produksi induk/formula pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat penting Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui, dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara jelas menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk

117 13 diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) Kualifikasi dan Validasi CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan, dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi. Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas. Protokol validasi tertulis hendaklah dibuat untuk merinci kualifikasi dan validasi yang akan dilakukan. Protokol hendaklah dikaji dan disetujui oleh kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu). Protokol validasi hendaklah merinci langkah kritis dan kriteria penerimaan. Laporan harus dibuat mengacu pada protokol kualifikasi dan/atau protokol validasi dan memuat ringkasan hasil yang diperoleh, tanggapan terhadap penyimpangan yang terjadi, kesimpulan dan rekomendasi perbaikan. Tiap perubahan terhadap rencana yang ditetapkan dalam protokol hendaklah didokumentasikan dengan pertimbangan yang sesuai.

118 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DI PT. BINTANG TOEDJOE 3.1 Sejarah Berdirinya PT. Bintang Toedjoe PT. Bintang Toedjoe didirikan di Garut, Jawa Barat, pada tanggal 29 April 1946 oleh Tan Jun She (seorang Sinshe), Tjia Pu Tjien dan Hioe On Tjan. Nama Bintang Toedjoe dipilih karena sesuai dengan jumlah anak perempuan yang dimiliki oleh Tan Jun She yaitu 7 (tujuh) orang. Pada waktu itu dengan alat-alat yang sederhana dan mempekerjakan beberapa orang karyawan, PT. Bintang Toedjoe berhasil memproduksi obatobatan yang dijual bebas guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan obat, salah satu obat yang diproduksi sejak berdirinya adalah puyer No. 16 (Obat Sakit Kepala No. 16) yang sampai saat ini masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan diekspor ke beberapa negara. Empat tahun sejak didirikan, PT. Bintang Toedjoe pindah dari Garut ke kawasan Krekot, Jakarta, dan pada tahun 1974 PT. Bintang Toedjoe kembali pindah ke kawasan Cempaka Putih, Jakarta. Pada tahun 1970-an ini PT. Bintang Toedjoe mulai memproduksi obat resep dokter. Pada tahun 1985, PT. Bintang Toedjoe dibeli oleh Kalbe Group dan berkembang dengan pesat. Tahun 1990, produk-produk PT. Bintang Toedjoe mulai diekspor ke manca negara. Sejalan dengan peningkatan produksinya, lokasi di Cempaka Putih sudah tidak memadai lagi, sehingga pada tahun 1993 PT. Bintang Toedjoe pindah ke kawasan industri Pulogadung, menempati area seluas m 2. Pada bulan Juni-Juli 2002, pabrik di Pulomas mulai beroperasi dan pada bulan September 2002, Head Office pindah ke Pulomas, pabrik di Pulogadung tetap beroperasi. Saat ini, dengan mempekerjakan lebih dari 1000 orang karyawan, PT. Bintang Toedjoe merupakan salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia yang tidak hanya memproduksi obat-obatan, melainkan juga memproduksi suplemen makanan, baik di dalam negeri maupun di pasar ekspor 14

119 15 seperti Filipina, Myanmar, Nigeria, Hongkong, Srilanka, Kamboja, Yaman, Malaysia, India dan New Zealand. 3.2 Visi, Misi dan Core Values a. Visi Menjadi produsen produk-produk kesehatan terkemuka yang mendominasi pasar di Indonesia dan Asia. b. Misi Menyediakan produk-produk kesehatan yang terpercaya kepada setiap orang untuk kehidupan yang lebih baik. c. Core Values 1) Kami peduli terhadap pelanggan. 2) Kami sukses atas dasar semangat kerjasama. 3) Kami senantiasa berinovasi dan berjuang untuk mencapai yang terbaik. 4) Kami peka dan selalu menyesuaikan diri terhadap perubahan. 5) Kami bekerja dengan penuh semangat dalam lingkungan yang menyenangkan dan harmonis. 3.3 Pemasaran Produk Pada tahun-tahun pertama, PT. Bintang Toedjoe memproduksi dan memasarkan obat yaitu, Puyer Sakit Kepala yang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa masyarakat membutuhkan obat yang mudah didapat tetapi berkhasiat bila digunakan. Pada saat ini, jumlah produk yang dihasilkan berkembang lagi menjadi lebih banyak. PT. Bintang Toedjoe memproduksi obat bebas atau over the counter (OTC), obat tradisional dan suplemen makanan. Produk OTC ada dua macam, yaitu puyer dan sediaan cair. Produk OTC puyer yang dihasilkan antara lain seperrti Waisan, Obat Sakit Kepala No. 16, dan Kam Cek San (Puyer Obat Cacing No. 17). Produk OTC sediaan cair antara lain seperti Komix Kids, Komix Jeruk Nipis, Komix Jahe, Komix OBH dan Komix peppermint yang didistribusikan ke seluruh Indonesia. Komix cough sirup non PPA serta Komix cough PPA

120 16 diproduksi untuk tujuan ekspor. Produk obat tradisional yang dihasilkan oleh PT. Bintang Toedjoe antara lain Irex Max dan Bintang 7 Masuk Angin. Produk suplemen makanan yang dihasilkan adalah Ekstra Joss, Ginseng Anggur dan Jus Ginseng Mangga. 3.4 Lokasi dan Sarana Produksi PT. Bintang Toedjoe berlokasi di Jakarta Timur dan terletak di 2 lokasi berbeda yaitu di Pulomas dan Kawasan Industri Pulogadung (dua plant). PT. Bintang Toedjoe Plant Pulomas terletak di Jl. Jend. Ahmad Yani No.2, menempati area dengan luas tanah m 2, berfungsi sebagai Head Office dan bertanggung jawab terhadap produksi effervescent powder dan obat tradisional. PT. Bintang Toedjoe Plant Pulogadung berlokasi di Kawasan Industri Pulogadung Jl. Rawa Sumur Barat II/K-9, menempati area seluas m 2 dan bertanggung jawab terhadap produksi produk-produk OTC. Bangunan di Plant Pulomas terdiri atas 6 lantai dengan pembagian yaitu lantai 1 (untuk gudang raw material/rm, gudang packaging material/pm), gudang obat jadi/finished goods, PPIC, Engineering dan Kantor Marketing), lantai 2 (untuk filling/packaging primer, packaging sekunder dan packaging tersier), lantai 3 (untuk penimbangan/weighing, production/compounding), lantai 4 (untuk Quality Assurance - Quality Control (QA-QC) dan Research and Development /R&D), lantai 5 (untuk packaging development dan quality system/qs) dan lantai 6 (untuk kantin dan koperasi karyawan). Bangunan di Plant Pulogadung terdiri atas 3 lantai dengan pembagian yaitu lantai 1 (untuk gudang raw material/rm, gudang packaging material/pm, gudang obat jadi/finished goods, penimbangan/weighing, PPIC, Engineering, Filling/packaging primer, packaging sekunder dan packaging tersier), lantai 2 (untuk production/compounding, QA-QC dan R&D) dan lantai 3 (untuk kantin dan koperasi). PT. Bintang Toedjoe baik plant Pulomas maupun Pulogadung memiliki 3 kelas pembagian ruang yaitu black area (pada area ini jumlah partikel, suhu dan kelembaban udara tidak diatur namun tetap dipantau secara berkala meliputi ruang packaging sekunder, gudang RM/PM/finished goods dan ruang office), grey area

121 17 (pada area ini jumlah partikel, suhu, kelembaban dan aliran udaranya diatur dan dipantau meliputi ruang compounding, ruang filling/kemas primer, ruang sampling, ruang penimbangan/weighing dan ruang processing PD) dan white area (meliputi ruang laboratorium analisis mikrobiologi di dalam ruang QA-QC, sebelum masuk white area tersebut diharuskan memakai baju dan sepatu khusus bebas serat dan harus melewati ruang buffer khusus yang memiliki air blower untuk menghilangkan partikel yang menempel pada baju. 3.5 Pembagian Divisi PT. Bintang Toedjoe Struktur organisasi PT. Bintang Toedjoe seperti yang terlampir pada lampiran 1. PT Bintang Toedjoe memiliki beberapa pembagian divisi yaitu Marketing & Sales (divisi ini bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan pemasaran dan penjualan produk-produk PT. Bintang Toedjoe), Manufacturing (divisi ini bertanggung jawab atas produksi produk-produk PT. Bintang Toedjoe termasuk pengembangannya), Business Development (divisi ini bertanggung jawab terhadap ide pengembangan produk baru, registrasi produk dan survei konsumen berkaitan dengan produk), FAITL (divisi ini bertanggung jawab atas semua aktivitas finance dan accounting di PT. Bintang Toedjoe serta hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan IT support), Industrial Relation and General Affair/IRGA (divisi ini bertanggung jawab atas hubungan sosial seperti hubungan kerja antar karyawan dalam perusahaan atau menyelesaikan apabila ada sengketa antar karyawan) dan Human Resources (divisi ini bertanggung jawab dalam menetapkan strategi pengembangan sumber daya manusia yang kompeten dengan didukung budaya perusahaan yang harmonis serta melaksanakan proses rekrutmen, penempatan pegawai, Individual Development Program/IDP dan menciptakan sistem yang dapat mendukung terciptanya sumber daya manusia yang diharapkan) Divisi Business Development Business development dibagi menjadi tiga departemen yaitu : a. Consumer Insight (CI)

122 18 Tugas CI adalah menganalisa kebutuhan pasar dan konsumen (marketing research) melalui interaksi antara karyawan dengan konsumen maupun customer. b. Product Inovation (PI) Tugas PI adalah melakukan studi pustaka dan menentukan komposisi zat aktif yang sesuai dengan konsep produk yang akan dihasilkan. PI juga melakukan serangkaian tes produk bersama formulation development (FD) dalam mengembangkan prototype produk. Ruang lingkup PI adalah pengembangan konsep produk, competitor intelligence, project management, clinical trial, preclinical test sampai pada pengembangan prototype. c. Regulatory Affair Tugas dan tanggung jawab regulatory affair adalah memperoleh nomor izin edar produk baru, memperoleh persetujuan perubahan produk existing, memperoleh persetujuan tambahan/perubahan kemasan, memperoleh persetujuan izin iklan, memeriksa kesesuaian rancangan kemasan dengan kriteria yang didaftarkan dan telah disetujui oleh BPOM, menyediakan informasi tentang adanya perubahan atau perkembangan kebijakan dan peraturan dari BPOM serta membina hubungan baik dengan semua instansi terkait seperti BPOM, Depkes dan Dinkes Divisi Manufacturing Divisi manufacturing terdiri dari PPIC, Research and Development, Purchasing, Production (Plant Pulogadung dan Plant Pulomas), Quality Assurance-Quality Control, Engineering, dan Quality System. Setiap bagian dari divisi manufacturing bekerja sama dalam menghasilkan produk yang bermutu, aman dan acceptable serta sesuai dengan ketentuan CPOB Production Planning & Inventory Control (PPIC) Department Struktur organisasi dari departemen PPIC seperti yang terlampir pada lampiran 2. Departemen PPIC bertanggung jawab terhadap jadwal pelaksanaan produksi dan pengelolaan inventaris baik RM, PM, finished goods serta penimbangan RM untuk keperluan produksi dan departemen lain.

123 19 Secara umum ruang lingkup kerja bagian PPIC dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian PPC (Production Planning Control) dan IPC (Inventory Planning Control). Tugas dan tanggung jawab PPC yaitu menerima perkiraan pemesanan distributor dari pihak marketing, merencanakan pengadaan RM/PM, memenuhi permintaan finished goods, mengkoordinasikan kegiatan antar bagian (internal & eksternal), memonitor hasil pelaksanaan produksi dari rencana produksi yang telah dibuat, memantau persediaan obat jadi dengan melihat laporan persediaan obat jadi dari pihak IPC dan aktivitas produksi dengan melihat laporan harian aktivitas produksi dari pihak produksi serta mempertimbangkan diadakannya toll manufacturing. IPC bertanggung jawab terhadap perhitungan jumlah bahan baku maupun bahan kemas yang ada maupun yang sedang dipesan agar dapat memenuhi kebutuhan produksi. Hal ini dilakukan berdasarkan RoFo atau rencana produksi triwulan dari bagian PPC. Bagian IPC akan memantau penerimaan bahan baku/kemas melalui laporan pesanan pending bahan untuk mencegah terjadinya kekurangan persediaan bahan baku/kemas. Bagian IPC juga berperan dalam memantau persediaan obat jadi agar tidak terjadi overstock atau stock out sehingga mampu memenuhi permintaan konsumen. IMC (Incoming Material Control) termasuk dalam bagian IPC yang memiliki tanggung jawab yaitu bertanggung jawab dalam penerimaan barangbarang yang meliputi bahan baku/kemas dari supplier, produk kembalian obat jadi dari distributor, produk toll out, bahan toll in, barang sisa yang rusak dan general item seperti barang-barang teknik dan alat tulis, menjaga mutu barang selama masa penyimpanan, menjaga kebersihan dan kerapian gudang IMC, menjaga kebenaran dan kelengkapan dokumen serta melayani RM/PM ke pihak produksi dengan sistem FEFO untuk RM dan sistem FIFO untuk PM. Bagian IMC memiliki gudang bahan baku dan bahan kemas yang terbagi berdasarkan kondisi penyimpanan yang telah ditetapkan oleh bagian QC. Penimbangan memiliki tanggung jawab terhadap penimbangan bahan baku untuk keperluan proses produksi rutin, penimbangan bahan baku untuk

124 20 keperluan departemen lain (MR), penimbangan bahan baku untuk keperluan trial FD dan penimbangan bahan baku untuk produk toll in dan toll out. OMC (outgoing material control) memiliki tanggung jawab yaitu penerimaan obat jadi dari pihak produksi, pengeluaran obat jadi dari OMC ke distributor (lokal/ekspor) dan pengeluaran bahan baku dan bahan kemas untuk produk toll out Research and Development (R&D) Department Struktur organisasi departemen R&D seperti yang terlampir pada lampiran 3. Departemen R&D memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan produk baru dan produk existing. Pengembangan produk baru mencakup perubahan formula maupun proses produksinya sedangkan pengembangan produk existing biasanya bertujuan untuk mengurangi biaya, mengoptimalisasi proses produksi maupun memodifikasi formula. Selain hal tersebut R&D bertugas dalam membantu menyelesaikan masalah yang timbul di bagian produksi terkait dengan produk. Formulation Development (FD) merupakan bagian departemen R&D dimana sebelum meluncurkan suatu produk, pihak FD membuat produk dalam skala laboratorium terlebih dahulu kemudian akan dilakukan beberapa pengujian yaitu pengujian fisik dan stabilitas. Packaging Development (PackDev) adalah bagian R&D yang berhubungan dengan bahan kemas (PM) yang memiliki tugas dan tanggung jawab yaitu mengembangkan kemasan primer dan sekunder, termasuk ukuran dan jenis bahan kemas, biaya serta keamanan produk selama masa simpan dan distribusinya, memastikan kualitas kemasan yang akan digunakan pada proses produksi, misalnya ketebalan, ketahanan terhadap suhu dan kelembaban serta kekuatan sealing, membuat spesifikasi kemasan untuk standar pengujian QC serta memperbaiki dan memodifikasi kemasan secara berkesinambungan agar meningkatkan efektivitas produksi namun tetap menjaga mutu produk. Analytical Development (Andev) memiliki tugas dan tanggung jawab yaitu analytical development raw material and microbiology (bagian ini memiliki tugas untuk mengembangkan metode analisis RM, mengembangkan metode analisis

125 21 mikrobiologi, melakukan analisis mikrobiologi bahan baku dan produk jadi dan menyimpan dokumen registrasi terkait bahan baku dan mikrobiologi), analytical development finished goods and trial (bagian ini bertanggung jawab terhadap pengembangan metode analisis produk jadi dan apabila terdapat produk baru, adanya perubahan formula produk existing dan improvement analisis, menganalisis sampel kompetitor/competitor analysis, melakukan koordinasi untuk analisis eksternal terkait regulasi serta menyiapkan dokumen registrasi terkait produk jadi), dan analytical development finished goods and stability (bagian ini memiliki tugas untuk menganalisis dan melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sampel fisika/kimia/biologi, menganalisis sampel post market stability untuk mengetahui kualitas produk selama dalam jalur distribusi dan memonitoring dan memastikan bahwa semua alat telah beroperasi sesuai dengan spesifikasinya). Tugas utama dari Research and Development yaitu: a. Inovasi produk baru 1) Concept Development Tahap pengembangan produk baru dimulai dari Business Development (bagian Product Innovation dan Consumer Insight) bersama pemasaran melakukan riset, yang hasilnya diterjemahkan dalam bentuk konsep produk dengan membuat prototipe. Prototipe dikerjakan oleh R&D dan akan dievaluasi oleh Project leader melalui formulir Placement Test. Apabila kriteria yang diinginkan oleh Project leader telah terpenuhi maka dibuat sampel untuk diujikan kepada responden (Business Development dan Pemasaran). Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penerimaan responden terhadap produk yang dibuat serta untuk menguji konsep produk yang telah dibuat. 2) Project Development Setelah diketahui tingkat penerimaan responden terhadap produk tersebut maka dibuat Permintaan Produk/Kemasan Baru dan Registrasi (PPKBR) oleh Project leader yang akan diberikan kepada bagian inovasi produk dan bagian registrasi untuk menyiapkan data dan persyaratan yang perlu dipenuhi untuk pendaftaran produk tersebut. Produk tersebut kemudian dibuat dalam skala laboratorium (research laboratorium) yang bertujuan untuk

126 22 menyempurnakan produk tersebut sehingga memenuhi keinginan pemasaran serta untuk dilakukan uji stabilitas produk. Uji stabilitas ini bertujuan untuk mengetahui kestabilan produk terhadap pengaruh cahaya, suhu, dan lain-lain selama penyimpanan. Uji stabilitas dilakukan pada 3 kondisi, yaitu: a) Suhu kamar, dengan suhu 30 o C ± 2 o C dan kelembaban 75% ± 5% sebagai real time. b) Accelerated stability test, dengan suhu 40 o C ± 2 o C dan kelembaban 75% ± 5%, bertujuan untuk memprediksi waktu kadaluarsa dalam waktu yang relatif singkat. c) Uji stressing pada suhu 51 o C dan 61 o C dengan kelembaban diabaikan bertujuan untuk mengetahui stabilitas fisik untuk produk effervescent, Ready to Drink (RTD), puyer dan obat tradisional. Pada uji ini, produk disimpan dalam oven dan dilakukan pemeriksaan sampel setiap minggu selama 12 minggu. Melalui pembuatan produk di skala labratorium dapat diketahui titik-titik kritis yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan produk. Uji fisik seperti organoleptis atau sensori (bau, rasa, warna, bentuk serbuk/larutan), ph dan viskositas dilakukan oleh bagian FD, sedangkan untuk pemeriksaan kadar dan mikrobiologi dilakukan oleh bagian Andev, setelah terlebih dahulu FD mengisi formulir permintaan pengujian. Jika produk stabil selama uji stabilitas maka produk siap untuk ditrial dalam skala produksi (up scalling). Proses up scalling ini dilakukan dalam ukuran batch terkecil, bertujuan mengaplikasikan proses produksi dari skala laboratorium menjadi skala produksi. Selama proses tersebut dilakukan validasi proses untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Suatu proses produksi dinyatakan valid apabila dari tiga batch yang berurutan diperoleh hasil yang sama. Proses yang telah tervalidasi digunakan sebagai acuan untuk pembuatan protokol produksi. 3) Mass Production and Launching Selanjutnya dilakukan proses produksi dalam skala komersil dan telah dikemas, produk siap dipasarkan. b. Inovasi produk yang sudah ada 1) Cost Reduction

127 23 Cost Reduction dilakukan untuk memperbaiki formula yang telah ada dengan tujuan untuk efisiensi biaya. Pencarian bahan baku alternatif dilakukan untuk mencari alternatif bahan baku dan pemasok alternatif dari bahan baku tersebut dengan tujuan tidak bergantung pada satu pemasok, mencari harga yang kompetitif dan menjamin kontinuitas produk terkait dengan pengadaan bahan baku. 2) Capacity Improvement Capacity Improvement bertujuan untuk mengoptimalkan proses produksi agar lebih efisien. 3) Quality Improvement Bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk seperti memperbaiki stabilitas obat, mengurangi atau menghambat pertumbuhan mikroba dan lain-lain. c. Manufacturer Diversification (Diversifikasi pemasok) Manufacturer Diversification yaitu adanya alternatif pemasok atau manufacturer dari packaging material ataupun raw material. d. Trouble shooting R&D melakukan bantuan trouble shooting jika terjadi masalah di bagian produksi pada proses produksi rutin suatu produk. R&D akan memberikan saran pengatasan masalah agar produk yang bermasalah tersebut tetap memenuhi persyaratan yang diinginkan. e. Technical support Memberikan bantuan support teknis atau transfer teknologi ke bagian lain yang membutuhkan atau perusahaan lain yang masih dalam satu grup Purchasing Department Departemen purchasing merupakan departemen yang menyediakan dan melakukan pembelian terhadap semua bahan-bahan yang dibutuhkan oleh manufacturing, baik bahan baku, bahan pengemas maupun mesin dan barangbarang yang digunakan untuk menunjang produksi serta pemasaran produk. Purchasing PT. Bintang Toedjoe dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

128 24 a. RMPM (Raw Material & Packaging Material) Bagian RMPM berperan dalam menangani pembelian bahan baku dan bahan kemas yang dibutuhkan. Adapun alur pembelian barang RMPM adalah sebagai berikut : 1) Sampel bahan baku atau bahan kemas dari suplier, diuji stabilita selama 3 bulan oleh bagian R&D, bila lolos akan dibuatkan spesifikasi bahan baku/bahan kemas. Untuk bahan kemas sekunder hanya dilakukan trial, tidak dilakukan uji stabilitas. 2) Dari spesifikasi bahan baku atau bahan kemas, dibuat kode bahan untuk PPIC dalam melakukan pemesanan bahan baku atau bahan kemas. 3) Permintaan pembelian dikeluarkan oleh PPIC sesuai dengan kebutuhan Marketing berdasarkan hasil rapat logistik. 4) Dipilih supplier yang sudah memenuhi kriteria dan terdapat dalam vendor list. 5) Bahan baku dan bahan kemas yang datang, diterima pihak gudang dengan status karantina menunggu release dari QC. 6) Bahan yang telah diloloskan QC dibuatkan GIA untuk kemudian dijadikan data pihak finance dalam melakukan pembayaran ke pihak supplier sesuai dengan jumlah yang di-release. 7) Bahan baku atau bahan kemas yang bermasalah akan dibuatkan RBS (Return Barang ke Supplier). b. General Item Bagian General Item bertugas menangani pembelian general item atau pembelian bersifat aset baik dengan atau tanpa FUI (Formulir Usulan Investasi). Adapun alur pembelian barang General Item adalah sebagai berikut : 1) User bersangkutan mengeluarkan purchasing request (PR), jika pembelian berupa aset dengan nilai lebih dari seratus juta atau berupa proyek dengan nilai besar maka harus dilengkapi dengan FUI. 2) Jika PR dan FUI sudah di-approve oleh pihak-pihak bersangkutan, maka hard copy file dikirimkan kepada manager general item untuk kemudian dikeluarkan purchasing order (PO).

129 25 3) Pengadaan barang dengan FUI untuk proyek maksimal dalam 30 hari sedangkan untuk non proyek pengadaannya dalam 7-14 hari. c. Material Promotion Bagian Material Promotion bertugas menangani pembelian barang-barang untuk keperluan promosi. Material Promotion dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Pembelian gimik : menangani pembelian media pendukung promosi berupa gimik seperti bolpoin, kaos, tenda, topi, dll. 2) Pembelian bidang outdoor : menangani pembelian media promosi outdoor seperti billboard, marka jalan, stiker, dll. Alur pembelian barang material promotion sebagian besar sama dengan alur pembelian RMPM dan general item. Tetapi PR sebagian besar berasal dari marketing khususnya bagian MSSD (Marketing Support Service Data) Production Department Struktur organisasi departemen produksi seperti yang terlampir pada lampian 4. Departemen produksi bertanggung jawab atas semua kegiatan pembuatan produk yaitu mulai dari penerimaan bahan awal dari bagian penimbangan (weighing), pengolahan (compounding), pengemasan (packaging), hingga menghasilkan produk jadi (finished goods). Pelaksanaan proses produksi dilakukan berdasaran rencana produksi mingguan dari bagian PPIC. Proses produksi juga harus sesuai dengan prosedur tetap seperti yang tertulis pada WI (work instruction) sehingga dapat menjamin mutu produk sesuai spesifikasi yang ditetapkan Quality Assurance and Quality Control (QA-QC) Department Struktur organisasi departemen QA-QC seperti yang terlampir pada lampiran 5. QA-QC Head bertanggung jawab untuk mengendalikan kualitas bahan baku utama, bahan baku kemas, work in process, semi finished good & finished good sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan oleh perusahaan, dengan memperhatikan batasan waktu yang telah ditentukan.

130 26 a. Quality Assurance (QA) Departemen QA merupakan departemen yang bertanggung jawab terhadap mutu produk dengan cara pemantauan semua alat-alat dan sistem penunjang selama produksi mulai dari penimbangan sampai produk jadi. Tugas dan tanggung jawab QA yaitu melakukan kalibrasi terhadap alat baru dan alat lama yang dianggap menyimpang/setelah perbaikan; kalibrasi alatalat yang mempengaruhi kualitas produk/proses produksi; kualifikasi mesin secara berkala selama periode tertentu mulai dari mesin-mesin yang kritis untuk proses produksi; pelulusan produk jadi; penyimpanan sampel tiap batch (batch record); inspeksi pada proses produksi; menerima dan menjawab keluhan pelanggan, produk recall dan return, serta melakukan validasi yang meliputi: 1) Validasi proses, dilakukan untuk menjamin bahwa segala proses produksi dapat dapat menghasilkan produk secara berkesinambungan yang memiliki kualitas dan sesuai dengan spesifikasinya. 2) Validasi pembersihan, dilakukan untuk menjamin bahwa segala sisa proses produksi dan sisa proses pembersihan tidak mengkontaminasi proses produksi berikutnya. 3) Validasi ruangan, dilakukan untuk menjamin bahwa tata udara dan cahaya telah mendukung kualitas produk yang dihasilkan dan memenuhi persyaratan CPOB. 4) Validasi sistem penunjang, dilakukan untuk menjamin sarana penunjang yang digunakan dalam proses produksi dapat menjamin kualitas produk yang dihasilkan. b. Quality Control (QC) Departemen QC merupakan departemen yang bertanggung jawab terhadap pengawasan mutu suatu produk dengan cara pemantauan semua proses produksi mulai dari kedatangan bahan baku sampai produk beredar di pasaran. Tugas dan tanggung jawab departemen QC yaitu melakukan analisis RM dan PM, melakukan analisis work in process (WIP) Finished Goods, memeriksa dan menangani post market stability dan annual product review. Divisi Quality Control (QC) dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu :

131 27 1) Analisa Bahan Baku dan Bahan Kemas Tugas dari bagian analisa bahan baku dan bahan kemas ini adalah : a) Analisa terhadap bahan baku yang datang, yang diambil secara acak sebanyak N + 1 (N adalah jumlah wadah yang diterima). b) Melakukan analisa terhadap packaging material (PM) 2) Analisa Produk Jadi Tugas dari bagian analisa produk jadi ini adalah : a) Melakukan analisa terhadap produk ruahan maupun obat jadi b) Melakukan analisa pada proses pencampuran: kadar air, ph, kadar bahan aktif c) Memeriksa contoh pertinggal (retained sample) Selain itu, departemen QC juga melakukan analisa terhadap keadaan lingkungan tempat berlangsungnya proses produksi dengan parameter: suhu, kelembaban, jumlah mikroorganisme dan jumlah partikel, analisa terhadap air limbah dengan parameter: kandungan fenol, BOD, COD, nitrogen total, TSS, dan zat organik Engineering Department Struktur organisasi departemen engineering seperti yang terlampir pada lampiran 6. Departemen teknik merupakan departemen yang bertanggung jawab memberikan bantuan teknik kepada semua departemen yang membutuhkan demi kelancaran proses produksi. Departemen ini merupakan bagian dari departemen produksi. Departemen teknik dibagi menjadi beberapa bagian sesuai fungsinya antara lain maintenance, utility, sparepart, workshop, IPAL dan building maintenance. Bagian maintenance bertanggung jawab dalam menangani gangguan teknik atau yang berkaitan dengan gangguan/kerusakan mesin-mesin. Target kerja bagian maintenance adalah low down time dan low cost of maintenance. Tugas dan tanggung jawab bagian maintenance adalah predictive maintenance (kegiatan monitoring mesin yang dilakukan setiap 2 bulan untuk kemudian dievaluasi dan hasilnya digunakan untuk meencanakan preventive maintenance atau dengan kata lain merupakan tugas untuk memprediksi masa pakai mesin untuk dilakukan

132 28 maintenance secara berkala), preventive maintenance (kegiatan perawatan terjadwal/berkala setiap periode tertentu) dan corrective maintenance (dilakukan pada saat mesin mengalami kerusakan atau bermasalah selama proses produksi sehingga mengganggu kelancaran proses produksi). Bagian utility bertanggung jawab untuk mengelola sistem penunjang proses produksi agar dapat berjalan sesuai dengan fungsinya dan memberikan hasil yang optimal sesuai standar manajemen mutu, lingkungan serta kesehatan dan keselamatan dengan cara memastikan penanganan, perawatan dan perbaikan mesin-mesin penunjang agar proses produksi berjalan lancar. Sistem penunjang yang menjadi tanggung jawab bagian utility yaitu air dan udara. Tugas dan tanggung jawab bagian sparepart adalah menjamin ketersediaan sparepart ke bagian maintenance, utility, workshop dan produksi pada saat yang dibutuhkan sehingga seluruh mesin dapat berjalan sesuai dengan rencana dan pengelolaan gudang sparepart dengan mencatat keluar masuknya sparepart serta membuat code part untuk setiap item sparepart. Tugas dan tanggung jawab bagian workshop adalah membuat dan mendesain part mesin atau mesin sehingga umur pakai menjadi optimal dengan pertimbangan yaitu part tidak ada di pasaran, penghematan biaya dan mempersingkat lead time pengadaan barang, melakukan perbaikan pada peralatan rumah tangga yang rusak dan membuat atau memodifikasi alat dalam rangka mengurangi biaya dan waktu. Bagian building maintenance memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan bangunan sehingga tetap dalam kondisi yang optimal sesuai dengan standar manajemen mutu, lingkungan serta kesehatan dan keselamatan kerja. Bagian instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) bertanggung jawab dalam mengelola limbah yang ada baik limbah padat (B3/non-B3) dan limbah cair. Limbah padat non-b3 yang masih memiliki nilai ekonomis akan dijual sedangkan limbah padat non-b3 yang tidak memiliki nilai ekonomis akan dibakar dalam incinerator. Untuk limbah padatan yang termasuk B3 dikirim ke PPLI untuk diolah lebih lanjut. Hasil pengelolaan limbah cair juga akan menghasilkan limbah endapan padatan. Limbah padatan akan dikirim ke PPLI untuk diolah lebih lanjut Quality System Department

133 29 Struktur organisasi departemen quality system seperti yang terlampir pada lampiran 7. Departemen quality system (QS) berfungsi untuk memfasilitasi, mengkoordinasi dan melakukan pengawasan terhadap implementasi semua sistem manajemen yang berlaku di PT. Bintang Toedjoe secara konsekuen sehingga semuanya berjalan efektif dan efisien. Sistem manajemen sendiri mencakup QSHE (Quality, Safety, Health and Environmental) yang terdiri atas quality system management (ISO 9001, hazard analysis & critical control point/haccp, cara pembuatan obat yang baik/cpob, dan cara pembuatan obat tradisional yang baik/cpotb), safety & health system management (occupational health and safety/ohsas, sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja/smk3) dan environmental system management (ISO 14001).

134 BAB 4 PEMBAHASAN Industri farmasi dituntut untuk mampu menghasilkan produk obat yang berkualitas baik. Untuk itu pemerintah telah mengharuskan semua industri farmassi agar menerapkan CPOB dalam seluruh rangkaian kegiatan produksi. Penerapan CPOB bertujuan untuk (1) meningkatkan kemampuan industri farmasi Indonesia sesuai dengan standar internasional agar lebih kompetitif baik secara domestik maupun untuk pasar ekspor, (2) mendorong industri farmasi Indonesia agar lebih efisien dan fokus dalam pelaksanaan produksi obat, termasuk pemilihan fasilitas produksi obat yang paling layak untuk dikembangkan sehingga produk obat industri farmasi Indonesia mampu menembus pasar dunia karena khasiat dan mutu obat lebih terjamin, (3) peningkatan company image dan volume pasar, (4) menghindari produk yang tidak memenuhi syarat dan pemborosan biaya, (5) menghindari resiko regulasi serta (6) menjamin waktu pemasaran. PT. Bintang Toedjoe merupakan industri farmasi yang telah melaksanakan CPOB dalam menjalankan produksinya dan didukung oleh karyawan yang telah terlatih dengan baik. Penerapan CPOB di PT. Bintang Toedjoe meliputi seluruh aspek yang tercantum dalam pedoman dan petunjuk operasional pelaksanaan CPOB, yaitu: manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu, penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, kualifikasi dan validasi. a. Manajemen Mutu Penerapan manajemen mutu di PT. Bintang Toedjoe berdasarkan pada sistem mutu yang terbentuk atas pola kerja yang baik dari struktur organisasi, prosedur kerja di setiap bagian, proses produksi serta yang terlibat dalam proses

135 31 pembuatan suatu produk sehingga produk yang dihasilkan PT. Bintang Toedjoe memenuhi persyaratan CPOB. Sistem manajemen yang diterapkan di PT. Bintang Toedjoe adalah: 1) CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) Merupakan suatu pedoman untuk memastikan agar mutu obat yang dihassilkan sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya, bila perlu dapat dilakukan penyesuaian pedoman dengan syarat bahwa standar mutu obat yang ditentukan tetap dicapai. 2) SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dan OHSAS (Occupational Health Safety Assessment Standard) Merupakan persyaratan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja untuk mengendalikan semua resiko serta meningkatkan kinerja perusahaan yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan kerja. Persyaratanpersyaratan dari OHSAS ini dimasukkan ke dalam sistem manajemen yang sudah dimiliki oleh perusahaan. 3) ISO 9001 (The International Organization for Standarization) Merupakan standar internasional yang diakui untuk sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (SMM). SMM menyediakan kerangka kerja bagi perusahaan dan seperangkat prinsip-prinsip dasar dengan pendekatan manajemen secara nyata dalam aktivitas rutin perusahaan untuk terciptanya konsistensi mencapai kepuasan pelanggan. 4) ISO Merupakan suatu standar internasional untuk Sistem Manajemen Lingkungan (SML) yang fokus terhadap pengendalian aspek lingkungan atau arah aktivitas produk dan pelayanan yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan, sebagai contoh emisi udara, tanah, atau air. 5) HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point) Merupakan sistem keamanan pangan serta unsur-unsur yang mendasarinya dan digunakan untuk memastikan bahwa produk yang dikonsumsi beserta proses pembuatannya hingga sumber bahan bakunya adalah aman untuk dikonsumsi dan terjamin mutunya.

136 32 b. Personalia Sumber daya manusia yang mempunyai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya dan juga memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik merupakan modal terpenting yang dimiliki oleh PT. Bintang Toedjoe. Salah satu untuk menjaga kesehatan pegawai adalah dengan adanya tes kesehatan secara rinci setiap kali penerimaan karyawan baru PT. Bintang Toedjoe. Plant pulogadung mempunyai tiga line produksi yaitu line puyer, sediaan cair dan effervescent, dimana setiap bagian ada beberapa apoteker sebagai pengemban utama dalam pelayanan kesehatan maka proses pembuatan, pengadaan obat dan persediaan perbekalan kesehatan dapat terlaksana dengan baik dan profesional. c. Bangunan dan Fasilitas PT. Bintang Toedjoe terletak di Kawasan Industri Pulogadung. Bangunan PT. Bintang Toedjoe terdiri dari bangunan produksi, pengawasan mutu, gudang dan bangunan untuk office. Secara umum, bangunan yang ada di PT. Bintang Toedjoe telah memenuhi ketentuan CPOB. Lokasi bangunan terletak di kawasan industri jauh dari pemukiman, sehingga tidak mengganggu masyarakat. Ruang kerja dibuat secara teratur dan logis sedemikian rupa sehingga menunjang kelancaran dan mempermudah dalam bekerja serta lalu lintas barang dan personil. Secara keseluruhan tata letak ruang produksi juga memungkinkan kegiatan produksi dilakukan di area yang saling berhubungan antara satu ruangan dengan ruangan lain mengikuti urutan tahap produksi. Tata letak ruangan di PT. Bintang Toedjoe sudah memenuhi kriteria CPOB yang memungkinkan alur barang satu arah mulai dari gudang bahan baku yang terletak dalam satu bangunan dengan ruang produksi yang dipisahkan dengan ruang antara, dimana hal ini memudahkan aliran bahan baku dan produk jadi. Ruang produksi untuk sediaan cair, serbuk dan effervescent terletak di lantai yang berbeda. Ruang produksi untuk sediaan cair terletak di lantai dua sedangkan ruang untuk produksi puyer dan proses pencetakan tablet terletak di lantai dasar. Setiap ruang produksi terdiri dari ruang pengadukan, pengisian dan pengemasan, dimana dinding, langit-langit maupun lantai dibuat licin, kedap air, tidak retak, tanpa sudut dan tertutup rapat untuk mencegah pencemaran dari ruang

137 33 lain dan untuk mempermudah pembersihan. Lantai dilapisi dengan epoksi sehingga lebih tahan terhadap goresan dan tidak cepat terkelupas. Ruangan ditata sesuai dengan alur proses pembuatan sediaan yang terbagi menjadi dua kelas yaitu kelas III (grey area) untuk proses penimbangan, pengolahan (pengadukan dan pengisian) dan pengemasan primer, serta ruang kelas IV (black area) yang terdiri atas ruang pengemasan sekunder dan ruang ganti pakaian. Pembagian kelas setiap ruangan produksi sesuai dengan persyaratan CPOB, didasarkan pada peraturan udara dalam suatu sistem AHS (Air Handling System), baik tekanan udara, suhu, kelembaban relatif, jumlah partikel serta mikroba sehingga tidak merusak atau mempengaruhi hasil produksi. Fasilitas penerangan cukup efektif dan ventilasi udara baik, ditunjang dengan adanya pengendalian terhadap udara melalui sistem AHU (Air Handling Unit), pengaturan suhu, kelembaban dan penyaring udara. Pengaturan suhu dan kelembaban diatur pada tingkat kenyamanan karyawan dengan mengatur suhu agar tidak menyebabkan karyawan kedinginan atau berkeringat secara berlebihan dalam pakaian kerjanya sehingga proses kerja tidak terganggu. Disamping faktor kenyamanan, faktor lain yang terpenting adalah diharapkan pengaturan suhu dan kelembaban tidak mempengaruhi stabilitas obat yang sedang diproduksi. Selain bangunan produksi, gudang merupakan bangunan lain yang harus dijaga kondisinya. Gudang sebaiknya kering, tidak lembab, bebas hama dan memudahkan aarus pergerakan baang dan manusia. Untuk mencegah masuknya hama dan serangga yang dapat menyebabkan rusaknya material yang disimpan, gudang di PT. Bintang Toedjoe dilengkapi dengan pest control. d. Peralatan Penempatan peralatan di PT. Bintang Toedjoe disesuaikan dengan tahapan kegiatan yang dilakukan dan jarak yang memadai untuk memudahkan kegiatan karyawan di dalamnya. Hal ini untuk menghindari adanya kontaminasi silang antar bahan di daerah yang sama. Perawatan peralatan dilakukan menurut jadwal yang tepat sesuai dengan protap yang ada, dengan cara dibersihkan setiap kali selesai digunakan dalam produksi. Perawatan peralatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah malfungsi atau pencemaran yang dapat mempengaruhi

138 34 identitas, mutu dan kemurnian suatu produk yang disebabkan oleh kotoran yang tertinggal di alat. Peralatan juga dilengkapi dengan label yang menunjukkan apakah alat tersebut siap atau tidak untuk digunakan. Di setiap alat atau mesin diberi kode tertentu dan terdapat protap penggunaan yang akan memudahkan pemakaian peralatan. Peralatan yang telah dibersihkan dicantumkan keterangan tertulis yang menyatakan status alat, siapa yang membersihkan, kapan dan siapa yang mengetahui kemudian diberi label TELAH DIBERSIHKAN. Ini bertujuan untuk membedakan alat yang telah dibersihkan dengan peralatan yang belum dibersihkan. Peralatan yang digunakan di ruang produksi PT. Bintang Toedjoe memenuhi persyaratan CPOB, sebagian besar peralatan terbuat dari stainless steel yang bersifat inert dan menggunakan pelumas food grade. Selain itu dilakukan verifikasi dan kalibrasi secara berkala terhadap peralatan produksi. e. Sanitasi dan Higiene Prosedur sanitasi dan higiene hendaknya selalu diterapkan di industri farmasi pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personalia, bangunan, peralatan dan perlengkapan. Semua karyawan dilatih untuk menerapkan higiene perorangan. Tiap personil yang masuk ke area pembuatan diharuskan untuk menggunakan pakaian pelindung termasuk untuk kepala dan rambut. Persyaratan ini tidak saja diberlakukan pada karyawan tapi juga pada semua pengunjung lain seperti tamu dan mahasiswa yang melakukan praktek kerja lapangan. Pakaian pelindung yang digunakan harus bersih untuk menghindari pencemaran terhadap produk. PT. Bintang Toedjoe menerapkan prosedur sanitasi dan higiene ini dengan cukup baik. Untuk personalia sudah diterapkan prosedur penggunaan pakaian khusus dengan penutup kepala dan sarung tangan atau yang disebut juga dengan alat pelindung diri (APD). Selain itu protap mengenai higiene sebelum masuk ruang produksi sudah ada dan terdokumentasi. Bangunan produksi juga dilengkapi dengan toilet, loker yang berfungsi untuk menyimpan keperluan pribadi karyawan dan perlengkapan tamu. Kegiatan pembersihan dan sanitasi

139 35 berbeda untuk masing-masing alat dan area. Untuk grey area pembersihan dilakukan satu kali setiap hari kerja, sedangkan untuk alat-alat yang digunakan dalam proses produksi pembersihan dilakukan setiap ganti produk dan/atau setiap akhir penggunaan mesin. Pembersihan untuk black area meliputi bangunan, mesin, peralatan, dilakukan satu kali sehari, sedangkan pembersihan lampu dan kap lampu, rak gudang, maupun exhaust dilakukan satu kali sebulan. Sanitasi dilakukan setelah proses pembersihan selesai. Kemudian setelah proses pembersihan dan sanitasi selesai, dilakukan pengisian form Catatan Pembersihan dan Sanitasi untuk masing-masing area baik grey area maupun black area. Dan penanggung jawab kegiatan pembersihan masing-masing area wajib memeriksa kebersihan ruangan. PT. Bintang Toedjoe juga melakukan pengolahan limbah cair dan padat, dimana air yang telah mengalami pengolahan dapat digunakan kembali untuk toilet, menyiram tanaman dan pencucian pakaian. Tahapan pengolahan air limbah melalui tahap sedimentasi, filtrasi, aerasi, absorbsi dan pengujian menggunakan bioindikator berupa ikan mas, hal ini untuk memastikan bahwa air tersebut aman dan dapat dimanfaatkan ulang. f. Produksi Bagian QC bertugas memeriksa bahan baku dan bahan pengemas yang datang di gudang PT. Bintang Toedjoe apakah lulus atau tidak untuk dilaksanakan oleh produksi. Bahan baku dan bahan pengemass yang telah lulus akan diberi label hijau sedangkan yang tidak lulus diberi label merah. Setelah diperoleh label hijau, bagian produksi akan memulai tahap produksi. Produksi obat di PT. Bintang Toedjoe dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan yang menjamin produk yang dihasilkan memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Untuk itu selalu dilakukan validasi terhadap bahan, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakanan dalam produksi dan pengawasan mutu. Kegiatan bagian produksi diawali dengan permintaan distributor melalui bagian pemasaran, yang kemudian akan dikeluarkan SOL (Sales Order Local) atau SOE (Sales Order Export), kemudian bagian PPIC ( Production Planning and Inventory Control) akan melaksanakan

140 36 permintaan tersebut dan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan produksi. Bagian produksi kemudian meminta bahan baku dan bahan kemas pada bagian gudang. Bagian gudang akan melakukan penimbangan bahan-bahan yang dibutuhkan yang telah lulus uji menggunakan alat timbangan dengan sistem komputerisasi dan kemudian mengirimkan bahan-bahan tersebut ke ruang staging. Pembuatan produk effervescent diawali dengan proses pencampuran dan pengisian kemudian pengemasan sekunder. Pada proses pencampuran terdiri dari beberapa tahap yang meliputi proses asam, basa, fase luar, dan sweetener, proses ini dilakukan dalam ruangan terpisah terutama pada proses asam dan proses basa, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya reaksi asam-basa. Untuk asam dilakukan pengayakan kemudian dilakukan premixing untuk penambahan pembasah (alkohol) setelah itu dilakukan proses pengeringan dengan menggunakan alat fluid bed dryer (FBD). Untuk basa, langsung dikeringkan menggunakan alat FBD. Untuk fase luar dan bintik luar prosesnya sama dengan proses asam, sedangkan sweeteners langsung diayak. Setelah semua proses selesai dilakukan pencampuran akhir dengan keadaan ruangan yang suhu dan kelembabannya diatur, setelah itu dilakukan pengemasan primer dan pengemasan sekunder. Proses pembuatan serbuk dilakukan secara granulasi maupun non granulasi, sebagai contoh produk waisan dibuat secara granulasi. Awalnya bahan baku diayak dan dihaluskan setelah itu digranulasi yang membentuk massa granul kemudian dikeringkan dengan alat FBD dan setelah itu diayak kembali, kemudian dilakukan proses pencampuran akhir lalu dilakukan proses pengisian dan pengemasan. Produk-produk disimpan dalam gudang obat jadi. Proses pembuatan produk yang berbentuk cairan diawali dengan pelarutan masing-masing bahan kemudian dilakukan proses pengisian dan pengemasan. Selama proses berjalan pada massing-masing bagian produksi, pada waktu tertentu dilakukan proses pengambilan sampel untuk uji kualitas produk. g. Pengawasan Mutu Aspek pengawasan mutu yang diterapkan oleh PT. Bintang Toedjoe dilakukan oleh bagian Quality Assurance-Quality Control (QA-QC), untuk

141 37 menjamin agar produk yang dihasilkan berkualitas memenuhi persyaratan yang diterapkan dalam CPOB, bagian pengawasan mutu bertugas melakukan pemeriksaan dan pengujian bahan baku, produk antara, produk ruahan, kemasan dan obat jadi. Pengawasan mutu juga melakukan pengujian seperti uji stabilitas, uji mikrobiologi dan uji spesifikasi tiap bahan dan produk serta metode pengujiannya. Pelaksanaan kualifikasi, kalibrasi dan validasi dilakukan oleh bagian QA dalam rangka memastikan semua proses, alat, dan prosedur mampu menjamin mutu dari produk yang dihasilkan mulai dari bahan baku sampai produk jadi. Kegiatan pengawasan mutu di PT. Bintang Toedjoe didukung dengan instrumeninstrumen yang memenuhi syarat untuk pengujian fisika, kimia dan mikrobiologi. Bagian QC bertanggung jawab untuk melaksanakan proses produksi agar produk yang dihasilkan senantiasa memnuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan. Disamping itu, bagian ini juga melakukan berbagai pengujian yang meliputi semua fungsi analisa termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan baku, produk antara, produk ruahan, produk jadi, program uji stabilitas, validasi, dokumentasi daari suatu penyimpanan spesifikasi yang berlaku bagi setiap bahan dan produk termasuk metode pengujian. Bagian QA dan QC terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian QC Pulomas, bagian QC Pulogadung, dan bagian validasi-kalibrasi di bagian pengawasan bagian QA. Bagian validasi-kalibrasi bertugas melakukan validasi dan kalibrasi selama proses produksi baik sebelum dan sesudah produksi. Bagian QC baik di Pulomas maupun Pulogadung bertugass melakukan pengawasan mutu terhadap bahan baku, bahan kemas, obat jadi dan IPC (In Process Control). Bagian-bagian QC terdiri dari: a. Bagian analisis instrumen, melakukan pemeriksaan pada sediaan cair, serbuk dan effervescent yang meliputi kadar, keseragaman bobot, uji kebocoran pada kemasan primer. b. Bagian kimia, melakukan pemeriksaan zat didasarkan atas reaksi kimia yang terjadi terhadap zat tersebut dengan menggunakan reagen-reagen tertentu. Pengujian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Selain itu juga pengujian terhadap proses produksi, bahan baku, bahan pengemas dan produk jadi.

142 38 c. Bagian mikrobiologi, melakukan pengujian sterilitas bahan baku, pengujian kualitas air, pengujian sterilitas ruangan dan peralatan, dan pengujian limbah. Setelah bahan baku diterima oleh PPIC kemudian diperiksa oleh bagian QC. Jika memenuhi syarat, bahan baku diberi label warna hijau bertuliskan LULUS dan jika tidak memenuhi syarat diberi label merah bertuliskan DITOLAK dan dikembalikan ke pemasok. Apabila ada produk yang dikembalikan karena klaim dari pemakai mengenai kualitas dan kefektifannya, maka bagian QC akan melakukan analisa fisika, kimia, maupun mikrobiologi, dan hasil analisa dicocokkan dengan contoh pertinggal. h. Inspeksi Diri dan Audit Mutu Inspeksi diri dilakukan untuk mengevaluasi apakah aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Hal-hal yang perlu diinspeksi antara lain karyawan, bangunan, fasilitas untuk karyawan, penyimpanan bahan awal dan obat jadi, peralatan, produksi, pengawasan mutu, dokumentasi, serta perawatan gedung dan peralatan. Program inspeksi diri dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan sehingga produksi senantiasa berjalan dengan benar, sesuai dengan ketetapan yang berlaku. Audit dilakukan oleh pihak PT. Bintang Toedjoe dengan menggunakan auditor dari karyawan dengan posisi assisten manager ke atas yang telah dilatih terlebih dahulu oleh bagian QS dan bekerjasama dengan badan sertifikasi, seperti BSI (Badan Sertifikasi Indonesia) Sucofindo untuk melakukan audit terhadap pelaksanaan sistem SMK3 dan OHSAS, sistem ISO 9001 dan Kemudian dibuat perencanaan mengenai tanggal audit, jadwal pelaksanaan audit dan penyiapan auditor-auditor yang berkompeten untuk komite internal audit. Sebelum tanggal dilaksanakannya audit, tim audit melakukan rapat terlebih dahulu untuk membahas tentang tujuan pelaksanaan audit, bagian-bagian yang akan diaudit, jadwal pelaksanaan audit, dan hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat audit, serta tugas dan tanggung jawab auditor kemudian dilakukan perbaikan. Perbaikan tersebut ditindak lanjuti oleh masing-masing bagian dengan

143 39 pengamatan dari QS untuk memastikan bahwa perbaikan dapat terlaksana atau tidak. i. Penanganan Keluhan tehadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian Obat yang telah diproduksi akan didistribusikan maka terlebih dahulu bagian laboratorium meninggalkan sampel pertinggal. Sampel pertinggal disimpan pada tempat tersendiri untuk penanganan keluhan-keluhan dari produk yang telah didistribusikan. Penanganan keluhan dilakukan oleh bagian QC. Keluhan pelanggan dihitung berdasarkan batch. Keluhan yang diajukan oleh pelanggan disampaikan kepada pihak penyedia atau toko atau pelanggan dapat langsung menyampaikan keluhannya melalui customer service atau datang langsung ke PT. Bintang Toedjoe. Oleh pihak PT. Bintang Toedjoe, pelanggan diminta untuk mengirimkan sampel produk keluhan ke PT. Bintang Toedjoe. Kemudian bagian marketing membuat keluhan pelanggan online yang ditujukan kepada bagian QC sehingga dapat dilakukan follow up terhadap produk tersebut dan PT. Bintang Toedjoe dapat mengetahui adanya keluhan dari pelanggan. Kemudian barang tersebut diperiksa dan dibandingkan dengan sampel pertinggal dan dilakukan penelusuran berdasarkan batch record dari produk yang bersangkutan. Produk kembalian adalah produk jadi yang dikembalikan ke gudang PT. Bintang Toedjoe karena kadaluarsa, kerusakan produk, kemasan primer atau kemasan sekunder, penarikan atau produk diskontinyu. Penarikan kembali produk jadi adalah suatu tindakan untuk menarik kembali produk jadi dari pasar, distributor atau konsumen karena produk jadi tidak aman atau berbahaya untuk dikonsumsi atau tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Penarikan produk jadi ini disebabkan karena keluhan dari pelanggan atau perintah penarikan produk oleh BPOM. Setelah ada keputusan penarikan kembali produk jadi, maka sales manager segera mengeluarkan memo ke seluruh cabang PT. Bintang Toedjoe untuk menarik produk yang bersangkutan. Informasi produk yang ditarik kembali harus jelas meliputi nama produk, nomor batch, tipe kemasan dan jumlahnya. Pada memo tersebut disertakan lampiran yang berisi data mengenai daerah distribusi produk dan jumlahnya yang didapat dari gudang OMC. Produk yang

144 40 ditarik tersebut ditempatkan di gudang cabang masing-masing dan dipisahkan atau diisolasi dari produk yang lain. Setelah berkumpul, Enseval mengisi jumlah produk yang dikembalikan pada lampiran dan segera mengirim lampiran tersebut ke PT. Bintang Toedjoe pusat. Manager QA-QC akan menghitung persentase pengembalian produk tersebut berdasarkan lampiran data yang dikirim pihak Enseval. Laporan ini kemudian dikirim ke Direktur Manufacturing. Bagian gudang IMC membuat laporan penerimaan produk yang telah dikembalikan termasuk yang ada di daerah. Laporan penerimaan ini diserahkan ke manager QC, berikut juga data jumlah produk yang telah didistribusikan ke luar. Setelah produk terkumpul, maka dilakukan pemusnahan. Selanjutnya manager QA-QC harus menentukan tindakan perbaikan dan pencegahannya, agar kejadian tersebut tidak terulang. j. Dokumentasi Dokumentasi berfungsi untuk memudahkan penelusuran sejarah produk bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan serta untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan. Sistem pendokumentasian PT. Bintang Toedjoe dilakukan secara komputerisasi dengan sistem BIBS (Bintang Toedjoe s Intelegent Bussiness System) yang secara otomatis tersambungkan pada setiap bagian yang menyangkut seluruh aspek dalam meghasilkan produk. Mulai dari sistem pemesanan barang, persediaan di gudang, status release, sampai barang-barang yang akan didistribusikan sesuai sistem FIFO ( First In First Out) dan FEFO (First Expire First Out). Semua kegiatan produksi dan pendukungnya mulai dari bahan baku hingga menghasilkan obat jadi harus didokumentasikan, data-data tersebut dicatat dalam batch record. Batch record merupakan catatan pengolahan batch, catatan tersebut memuat semua bahan baku, bahan pembantu dan bahan pengemas beserta jumlahnya, jalannya proses produksi, dan hal-hal lain yang terkait dengan proses produksi. Bila di kemudian hari ditemukan masalah maka dengan batch record penyebab masalah akan mudah ditelusuri. Selain batch record, dokumentasi dicatat dalam bentuk form, misalnya form prosedur kerja PWO (Production Work Order), PPO (Primary Packaging Order) dan SPO (Secondary Packaging Order). Seluruh kegiatan produksi dan

145 41 pendukungnya mulai dari bahan baku hingga produk jadi harus mengikuti alur dokumentasi. k. Pembuatan dan Analisis berdasarkan Kontrak PT. Bintang Toedjoe membuka diri untuk bekerja sama dengan industri lain untuk memproduksi obat berdasarkan kontrak (toll in dan toll out) yang memerlukan sarana, fasilitas dan tempat memproduksi atau penandaan suatu obat. Adapun untuk produk toll in pada line tablet dan powder yaitu Promuno (Sakafarma), Waisan (Sakafarma), Trolit (Kalbe), Hemorid (Sakafarma), Sakatonik Liver tablet (Kalbe), dan Ester C (CNI), sedangkan untuk toll out tidak ada. Dan untuk toll in pada sediaan cair yaitu Mensana (Sakafarma), Promag Gazero (Kalbe), Sakatonik Liver sirup (Kalbe), Mixagrip Pegel Linu (Kalbe), Entrostop Anak (Kalbe), sedangkan untuk toll out yaitu Irex max (Pertiwi). l. Kualifikasi dan Validasi CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang perlu dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan, perubahan yang signifikan terhadap fasilitass, peralatan dan proses dapat mempengaruhi mutu produk. Validasi adalah tindakan pembuktian terdokumentasi dengan cara yang sesuai bahwa setiap bahan, peralatan, proses, dan sistem yang digunakan dalam produksi dan pengendalian mutu senantiasa mencapai hasil yang sesuai dengan standar. Validasi yang dilakukan mencakup validasi proses, umum, pembersihan, validasi ruang, validasi sistem penunjang, kalibrasi dan kualifikasi. Dan kualifikasi adalah tindakan untuk menjamin bahwa segala alat dan fasilitas yang berpengaruh pada kualitas produk obat sudah dilakukan sesuai dengan standar dan sesuai dengan kualifikasinya.

146 42 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan PT. Bintang Toedjoe telah menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dalam tiap aspek dan rangkaian proses produksinya yang meliputi aspek personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu, penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk, dan produk kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi Seorang apoteker dalam industri farmasi memiliki peranan yang penting yaitu, menjadi personil kunci antara lain sebagai kepala bagian produksi, kepala bagian pengawasan mutu dan kepala bagian pemastian mutu. Dalam industri farmasi seorang apoteker berperan sebagai tenaga profesional yang ikut dalam menentukan kualitas produk yang dihasilkan melalui keahliannya dalam bidang kefarmasian. 5.2 Saran Perlunya peningkatan kerjasama dengan lembaga pendidikan kefarmasian dalam melakukan penelitian dan pengembangan obat baru Meningkatkan kualitas produk dan menciptakan produk dengan inovasiinovasi baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat Suasana kerja yang nyaman, disiplin dan kondusif di PT. Bintang Toedjoe perlu dipertahankan. 42

147 DAFTAR ACUAN Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2009). Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.245/Menkes/SK/V/1990 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1992). Undang-undang No.23 tahun 1992 Tentang Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Priyambodo, B. (2007). Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. PT. Bintang Toedjoe. (2012). Product Business Partner. Jakarta: Bintang Toedjoe. 43

148 LAMPIRAN

149 Lampiran 1. Struktur organisasi PT. Bintang Toedjoe President Director Managing Director Management System Marketing & Sales Business Development AITL Manufact uring Human Resources IR GA 44

150 Lampiran 2. Struktur organisasi departemen PPIC PT. Bintang Toedjoe PPIC Manager PPIC Supervisor PPIC Staff 45

151 Lampiran 3. Struktur organisasi departemen R&D PT. Bintang Toedjoe Research and Development Head Manager FD Pulogadung Manager Pack- Dev Admin Admin Sup Sup Sup Sup Sup Sup Staff Staff Staff Staff Staff Staff Manager FD Pulomas Manager An-Dev Admin Admin Sup Sup Sup Sup Sup Sup Staff Staff Staff Staff Staff Staff 46

152 Lampiran 4. Struktur organisasi departemen Produksi PT. Bintang Toedjoe Plant Head Engineering Manager Plant Manager Warehouse Manager Supervisor Supervisor Supervisor Operator Operator Operator 47

153 Lampiran 5. Struktur organisasi departemen QA-QC PT. Bintang Toedjoe QA-QC Head QA Manager Pulogadung QC Manager Pulomas QA Manager Pulomas QC Manager Pulomas QA Supervisor QA Supervisor QA Supervisor QA Supervisor QA Supervisor QA Supervisor QA Supervisor QA Supervisor 48

154 Lampiran 6. Struktur organisasi departemen Engineering PT. Bintang Toedjoe Engineering Manager Environment Supervisor Workshop Supervisor Maintenance Superintendent Sparepart Supervisor Building Maintenance Senior Teknisi Workshop Teknisi Workshop Maintenance Supervisor Senior Teknisi Teknisi Supervisor Utility Supervisor Utility Team Leader Teknisi Utility Petugas Gudang Senior Teknisi Building 49

155 Lampiran 7. Struktur organisasi departemen Quality System PT. Bintang Toedjoe QS Head QS Officer QS Manager QS Eksekutif QS Staff Safety Staff Paramedis Environmental Staff 50

156 UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT. BINTANG TOEDJOE JALAN RAWA SUMUR BARAT II/K-9 KAWASAN INDUSTRI PULOGADUNG PERIODE 2 JULI 31 AGUSTUS 2012 PENENTUAN PEMANIS PENGGANTI SODIUM CYCLAMATE PADA PRODUK SIRUP OBAT BATUK PRODUKSI PT. BINTANG TOEDJOE DENGAN METODE UJI SENSORI ANITA KARLINA, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012

157 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iii BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sirup Definisi Sirup Keuntungan dan Kerugian Bentuk Sediaan Sirup Formulasi Sirup Evaluasi Sediaan Sirup Pemanis Buatan Penggolongan Pemanis Buatan Siklamat Sukralosa Acesulfame-K Uji Sensori Affective Test Difference Test BAB 3 METODE KERJA Tempat dan Waktu Metode Uji Segitiga BAB 4. PEMBAHASAN BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR ACUAN ii

158 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Daftar pemanis buatan yang diizinkan Badan POM dan aturan pakainya... 7 Tabel 3.1 Kriteria penerimaan dalam uji segitiga Tabel 4.1. Jumlah pemanis yang digunakan dalam masing-masing formula Tabel 4.2 Hasil uji sensori iii

159 BAB 1 PENDAHULUAN 1.3 Latar Belakang Bahan tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan zat tambahan khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Bahan tambahan yang diizinkan digunakan pada makanan terdiri dari golongan: antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap, pengental, pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, dan sekuestran (Permenkes RI No: 722/Menkes/Per/IX/88). Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi (Permenkes RI No: 722/Menkes/Per/IX/88). Salah satu contoh pemanis buatan yang sering digunakan adalah siklamat karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan pemanis lain diantaranya: siklamat memberikan rasa manis tanpa ikutan rasa pahit (tidak seperti sakarin), harganya lebih murah dibandingkan kebanyakan pemanis lain terutama sukralosa, dan juga stabil terhadap panas (BPOM, 2004). Namun penggunaan siklamat sudah dibatasi di beberapa negara, bahkan di Amerika Serikat penggunaannya sudah dilarang. Hal ini dikarenakan siklamat diduga dapat membahayakan kesehatan seperti menyebabkan tremor, migrain dan sakit kepala, kehilangan daya ingat, bingung, insomnia, iritasi, asma, hipertensi, diare, sakit perut, alergi, impotensi dan gangguan seksual, kebotakan, dan kanker otak (Indriasari, 2009). Di Indonesia, penggunaan siklamat masih diperbolehkan dengan ADI (Acceptable Daily Intake) sebesar 0-11 mg/kg berat badan. 1

160 2 Beberapa produk PT. Bintang Toedjoe menggunakan siklamat sebagai pemanis tambahan. Untuk itu perlu dicari alternatif pemanis yang memiliki rasa yang sama atau hampir sama dengan siklamat, sehingga bila suatu saat penggunaan siklamat dilarang di Indonesia produk PT. Bintang Toedjoe tersebut masih dapat diproduksi dengan menggunakan pemanis alternatif dengan rasa yang tidak berbeda secara signifikan dengan produk terdahulu (existing). 1.4 Tujuan Tujuan dari tugas khusus ini adalah mencari pemanis alternatif yang memiliki rasa yang sama atau hampir sama dengan rasa yang dihasilkan oleh siklamat pada produk sirup obat batuk produksi PT. Bintang Toedjoe.

161 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sirup Definisi Sirup Sirup adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain dengan kadar tinggi. Larutan sukrosa hampir jenuh dalam air dikenal sebagai sirup simpleks (Departeman Kesehatan RI, 1995). Sirup tidak mengandung zat aktif, bukan merupakan suatu bentuk sediaan tetapi merupakan campuran yang seringkali digunakan sebagai pelarut atau zat pembawa karena rasa dan sifat manisnya. Sebaiknya dibuat segar kecuali apabila ditambahkan zat pengawet. Dikarakterisasi dengan rasa manis dan memiliki konsistensi yang kental (British Pharmacopoeia, 2002) Keuntungan dan Kerugian bentuk Sediaan Sirup Keuntungan bentuk sediaan sirup yaitu: a. Lebih mudah ditelan dibanding bentuk padat sehingga dapat digunakan untuk bayi, anak-anak dan lanjut usia. b. Segera diabsorbsi karena sudah berada dalam bentuk terlarut. c. Obat secara homogen terdistribusi ke seluruh sediaan d. Mengurangi risiko iritasi pada lambung oleh zat-zat iritan (misalnya aspirin) karena larutan akan segera diencerkan oleh cairan lambung. Kerugian bentuk sirup yaitu: a. Larutan bersifat voluminous, sehingga kurang menyenangkan untuk diangkut dan disimpan. b. Stabilitas dalam bentuk larutan biasanya kurang baik dibandingkan bentuk sediaan tablet atau kapsul, terutama jika bahan mudah terhidrolisis. c. Larutan merupakan media ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena itu memerlukan penambahan pengawet. d. Ketepatan dosis tergantung pada kemampuan pasien untuk menakar 3

162 4 e. Rasa obat yang kurang menyenangkan akan lebih terasa jika diberikan dalam larutan dibandingkan dalam bentuk padat. Walaupun demikian, larutan dapat diberi pemanis dan perasa agar penggunaannya lebih nyaman Formulasi Sirup Secara umum, selain mengandung zat aktif, sediaan sirup mengandung bahan tambahan sebagai berikut: a. Pemanis Pemanis yang digunakan untuk sediaan sirup antara lain: sukrosa, sorbitol, manitol, garam Na dan Ca dari sakarin, aspartam, siklamat, dan lain-lain. b. Pengental Penambahan pengental bertujuan agar sirup tidak terlalu encer. Contoh: Na-CMC. c. Pengawet Pengawet yang digunakan harus bersifat nontoksik, tidak berbau, stabil dan dapat bercampur dengan komponen lain dalam formula. Terkadang pengawet digunakan secara kombinasi dengan tujuan meningkatkan kemampuan spektrum antimikroba, efek yang sinergis memungkinkan penggunaan pengawet dalam jumlah kecil, sehingga kadar toksisitasnya menurun pula dan mengurangi kemungkinan resistensi. d. Pewarna Zat pewarna ditambahkan ke dalam sediaan oral cair untuk menutupi penampilan yang tidak menarik atau untuk meningkatkan penerimaan pasien. Zat warna yang ditambahkan harus sesuai dengan rasa sediaan tersebut. e. Flavour Pewangi digunakan untuk menutupi rasa tidak enak dan membuat agar obat dapat diterima oleh pasien terutama anak-anak. Dalam pemilihan pewangi harus dipertimbangkan, untuk siapa obat diberikan dan berapa usia pengkonsumsinya. Anak-anak lebih menyukai rasa manis atau buah-buahan sedangkan orang dewasa lebih menyukai rasa asam. f. Anti caplocking agent Biasanya digunakan gliserin, sorbitol, propilen glikol.

163 5 g. Antioksidan Antioksidan perlu ditambahkan ke dalam sirup jika sirup mengandung zat aktif yang mudah teroksidasi. Antioksidan yang biasa digunakan adalah asam askorbat, natrium metabisulfit, natrium sulfit. h. Dapar Zat aktif dengan range ph stabilitasnya kecil maka harus ditambahkan dapar yang sesuai dengan memperhatikan ketercampuran dengan larutan, inert, tidak toksik. Secara umum ada empat metode yang dapat digunakan dalam proses pembuatan sirup tergantung dari sifat kimia dan fisikan zat aktif dan bahan pembantu, antara lain: a. Melarutkan bahan-bahan pembantu dengan bantuan panas Cara ini digunakan untuk pembuatan sirup yang membutuhkan proses pembuatan yang cepat dan bila komponen sirup tidak rusak atau menguap oleh panas. Pada cara ini, gula umumnya ditambahkan ke dalam air yang dimurnikan, dan panas digunakan sampai larutan terbentuk. Kemudian komponen-komponen lain ditambahkan ke sirup panas, campuran dibiarkan dingin dan volumenya disesuaikan dengan penambahan air murni sampai jumlah yang tepat. Zat-zat tidak tahan panas atau senyawa yang mudah menguap, seperti minyak atsiri penambah rasa dan alkohol ditambahkan setelah sirup didinginkan pada suhu ruang. Penggunaan panas dapat membantu melarutnya gula dan komponen tertentu lainnya dari sirup dengan cepat. Bila sirup dipanaskan secara berlebihan akan mengakibatkan sirup berwarna kuning cokelat karena pembentukan karamel dari sukrosa. b. Melarutkan bahan-bahan pembantu dengan pengadukan tanpa bantuan panas Untuk menghindari panas yang merangsang inverse sucrose, sirup dapat dibuat dengan pengadukan tanpa pemanasan. Pada skala kecil, sukrosa dari zat formula lain dapat dilarutkan dalam air murni dengan menempatkan bahan-bahan dalam botol yang kapasitasnya lebih besar daripada volume sirup yang akan dibuat, dengan demikian memungkinkan pengadukan campuran dengan seksama. Proses ini memakan waktu lebih lama daripada yang dibutuhkan bila kita

164 6 menggunakan panas untuk memudahkan melarutnya sukrosa, tetapi produk mempunyai kestabilan yang maksimal. Tangki besar dari stainless steel atau tangki gelas dilengkapi dengan pengadukan mekanik atau pemutar digunakan dalam pembuatan sediaan sirup skala besar. Dalam keadaan ini, cairan-cairan lain yang larut dalam sirup atau bercampur dengannya mungkin ditambahkan dan dicampur seksama untuk membentuk produk yang merata. Bila bahan padat akan ditambahkan ke sirup, senyawa umumnya dilarutkan pelan-pelan karena sifat kental sirup tidak memungkinkan senyawa padat tersebar cepat ke seluruh sirup untuk pelarut yang tersedia dan juga karena terbatasnya air yang tersedia dalam sirup pekat Evaluasi Sediaan Sirup Beberapa evaluasi perlu dilakukan terhadap sediaan sirup yang dihasilkan untuk mengetahui kualitas sediaan. Evaluasi yang dilakukan terhadap sediaan sirup meliputi evaluasi fisika, kimia dan biologi. a. Evaluasi fisika 1) Organoleptik: bau, rasa, warna. 2) Sediaan: etiket, brosur, wadah dan pelengkap seperti sendok, nomor bets. 3) Kejernihan 4) PH 5) Berat jenis 6) Viskositas 7) Volume terpindahkan b. Evaluasi kimia Identifikasi dan penetapan kadar zat aktif. c. Evaluasi biologi 1) Jumlah cemaran mikroba 2) Untuk sediaan antibiotik dilakukan penetapan potensi antibiotik secara mikrobiologi 3) Uji efektivitas pengawet

165 7 2.2 Pemanis Buatan Pada mulanya pemanis buatan diproduksi dengan tujuan komersil untuk memenuhi ketersediaan produk makanan dan minuman bagi penderita diabetes mellitus yang harus mengontrol kalori makanannya, dimana gula merupakan pemasok kalori. Dalam perkembangannya, pemanis buatan mengalami diversifikasi fungsi. Kalangan pengusaha juga menggunakannya untuk meningkatkan rassa manis dan cita rasa pada produk yang sudah mengandung gula (Syah, 2005). Tabel 2.1 Daftar pemanis buatan yang diizinkan Badan POM dan aturan pakainya: No. Pemanis Buatan mg/kg BB 1 Acesulfame-K (Acesulfame-K) 15 2 Alitam (Alitame) 0,34 3 Aspartam (Aspartame) 50 4 Siklamat (Cyclamate) 11 5 Neotam (Neotame) 2 6 Sakarin (Saccharin) 5 7 Sukralosa (Sucralose) Isomalt Not specified 9 Laktitol (Lactitol) Not specified 10 Maltitol Not specified 11 Manitol Not specified 12 Sorbitol Not specified 13 Xilitol (Xylitol) Not specified Keterangan: Not specified berarti dapat digunakan dalam pangan tanpa pembatas selain daripada sesuai dengan Cara Produksi Pangan yang Baik (GMP) Sumber: Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2002 (dalam: Syah, 2005)

166 Penggolongan Pemanis Buatan Secara garis besar, Syah (2005), membedakan pemanis buatan yang biasa dikonsumsi masyarakat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: 1. Pemanis berkalori Disebut juga pemanis bergizi, selain memberikan rasa manis pada produk pangan, juga berguna untuk menambah berat produk pangan, memberikan kesegaran sehingga dapat menunjang mutu pangan, sebagai pengawet pada produk tertentu, dan lain-lain. Bahan-bahan yang termasuk pemanis berkalori antara lain: a. Gula kristal (sukrosa) Biasanya diperoleh dari tebu, kelapa, atau bit. Energi yang dihasilkan sebesar 4 kalori per gram. Sukrosa inilah yang kita namai gula dalam bahasa sehari-hari. b. Fruktosa (levulosa) Disebut juga gula buah (fruit sugar). Secara alamiah fruktosa terdapat pada semua buah-buahan dalam kadar yang beragam. Sama halnya dengan sukrosa, fruktosa juga menghasilkan energi sebesar 4 kalori per gram. Pada orangorang tertentu, pengonsumsian fruktosa lebih dari 20 gram dapat mengakibatkan diare. c. Glukosa Zat pemanis ini terdapat pada buah-buahan dalam jumlah yang sangat sedikit. Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang sederhana karena berasal dari proses pencernaan kita. d. Madu Diperoleh dari lebah dan termasuk pemanis berkalori yang hebat. Madu merupakan campuran dari fruktosa, glukosa dan air. e. Laktosa (gula susu) Secara alamiah terdapat dalam susu. Zat pemanis ini terdiri dari glukosa dan galaktosa.

167 9 2. Pemanis Rendah Kalori Pemanis ini menghasilkan energi yang lebih sedikit dibanding pemanis berkalori. Dianggap lebih sehat karena memberikan respon glikemik yang rendah sehingga mengkonsumsinya tidak menyebabkan peningkatan kadar gula dalam darah secara signifikan, ini terjadi karena pemanis ini sulit diserap oleh tubuh. Bahan-bahan yang termasuk pemanis rendah kalori antara lain: a. Manitol Merupakan pemanis yang dihasilkan dari hasil sampingan produksi alkohol tetapi tidak mengandung alkohol. Manitol menghasilkan energi sebesar 1,6 kalori per gram dan mempunyai derajat kemanisan berkisar 50-70% dari derajat kemanisan gula. b. Sorbitol Pemanis ini diproduksi dari glukosa yang ditemukan secara alamiah dalam buah-buahan. Tubuh menyerap sorbitol lebih lambat dibandingkan gula kristal. Derajat kemanisannya berkisar 50-70% dari gula. Energi yang dihasilkan sekitar 2,6 kalori per gram. c. Xilitol Terdapat secara alamiah dalam buah-buahan dan beri. Namun xilitol yang digunakan dalam industri pada umumnya bukan didapat dari ekstraksi buahbuahan, melainkan produksi secara sintesis untuk kepentingan komersial. Tingkat kemanisannya sama dengan gula, dan energi yang dihasilkan sebesar 2,4 kalori per gram. 3. Pemanis Nonkalori Jenis ini banyak tersedia di pasar, dibuat secara bahan sintetis, ada juga yang alamiah, hanya saja penggunaannya terbatas pada daerah tertentu untuk keperluan tertentu pula. Pemanis ini terdiri dari berbagai jenis. Berikut beberapa diantaranya yang sering dijumpai dalam produk pangan. a. Siklamat Tingkat kemanisannya 30 kali lipat manis gula. b. Aspartam Tingkat kemanisannya sekitar kali lipat manis gula.

168 10 c. Acesulfame-K Rasa manisnya sekitar 200 kali lipat manis gula. d. Sakarin Memiliki rasa manis 300 kali lipat lebih kuat dibanding gula. e. Alitam Rasa manisnya sangat kuat, sekitar 2000 kali lipat gula f. Neotam Tergolong pemanis non kalori baru. Mempunyai tingkat kemanisan paling kuat, yaitu berkisar lebih kuat dibanding gula. g. Stevia Berasal dari tanaman Stevia rebaudiana (Asteraceae) yang banyak ditemui di daerah yang beriklim subtropis dan tropis dari Amerika Utara sampai Amerika Selatan. Mempunyai rasa manis 300 kali lebih kuat dibandingkan gula dengan mula kerja lebih lambat dan durasi lebih panjang Siklamat Siklamat pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh Michael Sveda pada tahun Sejak tahun 1950 siklamat ditambahkan ke dalam pangan dan minuman. Tidak seperti sakarin, siklamat berasa manis tanpa rasa ikutan yang kurang disenangi. Bersifat mudah larut dalam air dan intensitas kemanisannya ± 30 kali kemanisan sukrosa (Cahyadi, 2008). Siklamat memiliki nilai kalori 0 kkal/g dan ADI 0-11 mg/kg berat badan. Batas maksimum penggunaan siklamat berdasarkan kategori pangan gula dan sirup lainnya (misalnya: xylose, maple syrup, sugar toppings) yaitu 500 mg/kg (SNI ). Meskipun memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dan rasanya enak (tanpa rassa pahit), tetapi siklamat dapat membahayakan kesehatan. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa siklamat dapat menyebabkan atropi, yaitu terjadinya pengecilan testikular dan kerusakan kromosom. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli di Academy of Science pada tahun 1985 melaporkan bahwa siklamat maupun turunannya (sikloheksiamin) juga diduga sebagai penyebab tumor promoter (Cahyadi, 2008).

169 11 Selain itu, siklamat memunculkan banyak gangguan bagi kesehatan, diantaranya tremor, migrain dan sakit kepala, kehilangan daya ingat, bingung, insomnia, iritasi, asma, hipertensi, diare, sakit perut, alergi, impotensi dan gangguan seksual, kebotakan, dan kanker otak Sukralosa Merupakan senyawa berbentuk kristal berwarna putih; tidak berbau; mudah larut dalam air, metanol dan alkohol; sedikit larut dalam etil asetat; serta berasa manis tanpa purna rasa yang tidak diinginkan. Sukralosa tidak digunakan sebagai sumber energi oleh tubuh karena tidak terurai sebagaimana halnya dengan sukrosa. Sukralosa tidak dapat dicerna, dan langsung dikeluarkan oleh tubuh tanpa perubahan. Hal tersebut menempatkan sukralosa dalam golongan Generally Recognized as Safe (GRAS), sehingga aman dikonsumsi wanita hamil dan menyusui serta anak-anak segala usia. Sukralosa teruji tidak menyebabkan karies gigi, perubahan genetik, cacat bawaan, dan kanker. Selanjutnya sukralosa tidak pula berpengaruh terhadap perubahan genetik, metabolisme karbohidrat, reproduksi pria dan wanita serta terhadap sistem kekebalan. Oleh karena itu, maka sukralosa sangat bermanfaat sebagai pengganti gula bagi penderita diabetes baik tipe I maupun II Acesulfame-K Merupakan senyawa yang tidak berbau, berbentuk tepung kristal berwarna putih, mudah larut dalam air dan berasa manis dengan tingkat kemanisan relatif sebesar 200 kali tingkat kemanisan sukrosa tetapi tidak berkalori. Kombinasi penggunaan acesulfam-k dengan asam aspartat dan natrium siklamat bersifat sinergis dalam mempertegas rasa manis gula. Beberapa memperlihatkan bahwa acesulfam-k tidak dapat dicerna, bersifat non glikemik dan non kariogenik, sehingga JECFA menyatakan aman untuk dikonsumsi manusia sebagai pemanis buatan dengan ADI sebanyak 15 mg/kg berat badan. CAC mengatur maksimum penggunaan acesulfam-k pada berbagai produk pangan berkisar antara mg/kg produk. Sementara US Code of Federal Regulation (CFR) mengatur maksimum penggunaan acesulfam-k pada berbagai produk pangan dalam Good

170 12 Manufacturing Practices (GMP). Sedangkan Food Standards Australia New Zealand (FSANZ) mengatur maksimum penggunaan acesulfame-k pada berbagai produk pangan berkisar antara mg/kg produk. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa acesulfame-k berbahaya bagi penderita phenylketonuria karena dapat menyebabkan resiko penurunan fungsi otak (Usmiati dan Yuliani, 2004). 2.3 Uji Sensori Affective Test terdiri dari: a. Acceptance Test Dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan sampel yang diujikan dalam tahap pengembangan produk. Evaluasi sampel dilakukan tanpa membandingkan antara sampel yang satu dengan sampel yang lain (ada kemungkinan nilai yang dihasilkan sama). Sampel yang disajikan maksimal 5 sampel untuk menghindari kelelahan panelis. Jumlah panelis minimal 20 orang panelis tidak terlatih. b. Preference Test Dilakukan untuk mengetahui kesukaan panelis terhadap sampel pada tahap pengembangan produk dengan cara membandingkan antara sampel yang satu dengan yang lain kemudian memilih yang lebih disuka (paired comparison test) atau mengurutkannya sesuai tingkat kesukaannya (rank test), dari yang paling disuka sampai yang paling tidak disuka (jumlah ranking sesuai dengan jumlah yang dievaluasi). Jumlah sampel pada paired comparison test sebanyak 2 sampel, sedangkan untuk rank test sebanyak 3-5 sampel. Jumlah panelis minimal 20 orang panelis tidak terlatih. Bila diperlukan, acceptance test dapat dikombinasikan dengan preference test, dimana panelis diminta untuk menilai terlebih dulu tingkat penerimaan masing-masing sampel kemudian menentukan kesukaan diantara sampel (kode sampel yang digunakan untuk acceptance test berbeda dengan kode sampel untuk preference test untuk menghindari terjadinya bias) Difference Test (Tes Pembedaan) terdiri dari:

171 13 a. Triangle Test (Tes Segitiga) Dilakukan untuk menguji ada tidaknya perbedaan sensori yang signifikan dari alternatif bahan baku, perubahan proses, atau proses reformulasi. Untuk uji pembedaan warna, gunakan alas kertas warna putih untuk sampel padatan atau vial/wadah transparan lainnya untuk sampel berbentuk cairan. Bila sampel pembeda berubah dalam hal warna, gunakan wadah berwarna untuk efek masking atau gunakan tutup wadah agar panelis tidak bias. Bila perlu, samarkan perbedaan sampel dengan menggunakan lampu berwarna. Jumlah panelis minimal 12 orang panelis terlatih atau 18 orang panelis tidak terlatih dan bukan campuran dari keduanya. Pada kasus khusus,, bilamana jumlah panelis terlatih tidak mencapai 12 orang (misal saat ibadah puasa), maka jumlah panelis disesuaikan dan diusahakan minimal 6 orang. b. Difference from control test Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara kontrol (produk existing) dengan sampel (hasil tes stabilitas) serta mengetahui besarnya perbedaan antara kedua jenis sampel (dinyatakan dalam skala verbal). Jumlah panelis minimum 4 orang panelis terlatih (supervisor produk, staf produk bersangkutan, ditambah 2 orang panelis terlatih lainnya). c. Simple Difference Test Digunakan untuk menguji ada tidaknya perbedaan sensori yang signifikan dari alternatif bahan baku, perubahan proses, atau proses reformulasi untuk produk yang memiliki efek trigeminal atau aftertaste yang panjang. Jumlah panelis minimal 20 orang panelis terlatih Descriptive Test Digunakan untuk pengembangan produk, dalam hal mendefinisikan karakter produk, pemetaan dan dokumentasi deskriptor/atribut sensori, serta melacak perubahan sensori dari waktu ke waktu, panelis, atau sebagai kontrol produk.

172 BAB 3 METODE KERJA 3.1 Tempat dan Waktu Penentuan pemanis pengganti sodium cyclamate dilakukan di Formulation Devolepment Pulogadung Research and Development Department PT. Bintang Toedjoe Jalan Rawa Sumur Barat II Kavling 9 Kawasan Industri Pulogadung selama penulis melaksanakan PKPA periode 2 Juli 31 Agustus Metode Uji Segitiga (Triangle Test) Uji segitiga digunakan untuk menunjukkan apakah ada perbedaan karakteristik sensori diantara dua sampel. Metode ini sangat berguna ketika ada suatu perlakuan yang menyebabkan produk mengalami perubahan-perubahan yang tidak dapat dikarakterisasikan secara sederhana dari satu atau dua atribut. Peluang 1 / 3 secara statistik lebih efisien dibandingkan dengan uji pasangan ataupun uji duo-trio yang memiliki peluang ½ Penggunaan Metode Uji Segitiga a. Menentukan ada tidaknya perbedaan produk akibat perubahan dalam bahan baku, proses pengolahan, pengemasan, atau penyimpanan. b. Menentukan ada tidaknya perbedaan secara keseluruhan, dimana tidak ada atribut spesifik yang dapat diidentifikasi sebagai atribut yang mempengaruhi. c. Memilih dan menyeleksi panelis dalam kemampuan membedakan Prosedur Pengujian a. Kepada setiap panelis disajikan tiga sampel berkode dan dijelaskan bahwa terdapat dua sampel yang sama dan satu sampel berbeda. b. Panelis diperintahkan untuk mencicipi rasa, menguji setiap produk dari kiri ke kanan, dan memilih sampel yang berbeda. c. Panelis diharuskan untuk memberikan jawaban, dan jika panelis tidak memberikan jawaban maka respon tidak dihitung atau dianggap tidak melakukan pengujian. 14

173 Panelis a. 20 sampai 40 panelis, namun 12 panelis juga dapat digunakan apabila produk mempunyai perbedaan yang besar dan mudah untuk dilihat. b. 50 sampai 100 panelis apabila perbedaannya sulit untuk dideteksi. c. Panelis yang digunakan pada uji ini, sedikitnya mengenal uji segitiga (format, tugas, dan prosedur pengujian), dan mengenal produk yang akan diujikan. d. Sesi orientasi sangat dianjurkan agar panelis memahami prosedur pengujian dan karakteristik produk Pengolahan Data a. Jumlah jawaban yang benar (tepat mengidentifikasi sampel yang berbeda) dihitung, kemudian dibandingkan dengan tabel minimum jumlah panelis untuk menyatakan beda (binomial) b. Jika ada panelis yang tidak memberikan jawaban maka data panelis tidak diikutsertakan dalam perhitungan. Tabel 3.1 Kriteria penerimaan dalam uji segitiga (triangle test) Jumlah Panelis Minimal jawaban benar untuk berbeda signifikan α = 0,05 α = 0,01 α = 0, Sumber: Petunjuk Kerja Tes Sensori R&D PT. Bintang Toedjoe, 2011

174 BAB 4 PEMBAHASAN Obat batuk sirup produksi PT. Bintang Toedjoe ini merupakan obat bebas terbatas dengan indikasi meredakan batuk berdahak dan pilek pada anak. Obat ini mengandung mengandung 4 zat aktif, yaitu : Succus Liquiritae, Glyceryl Guaiacolat, Ephedrine HCl, dan CTM, yang berfungsi sebagai ekspektoran, dekongestan dan antihistamin. Pada produk ini digunakan sodium cyclamate sebagai pemanis tambahan selain gula. Pada percobaan ini dipilih kombinasi acesulfame-k dan sukralosa sebagai pengganti sodium cyclamate karena kedua pemanis tersebut merupakan existing raw material yaitu bahan baku yang sudah tersedia/sudah digunakan di PT. Bintang Toedjoe, dan juga keduanya termasuk kategori pemanis yang aman digunakan. Untuk mendapatkan komposisi acesulfame-k dan sukralosa yang memiliki rasa sama atau hampir sama dengan sodium cyclamate pada produk obat batuk sirup tersebut, telah dilakukan beberapa kali trial formula yang dibuat dalam skala kecil. Dua formula yang dianggap memiliki rasa paling mirip dibuat dalam jumlah banyak untuk dilakukan uji sensori. Uji sensori yang digunakan adalah uji segitiga (triangle test) dengan 18 orang panelis. Pada uji segitiga ini, setiap panelis diberi tiga sediaan yang terdiri dari dua formula yang sama dan satu berbeda. Panelis mencoba ketiga sediaan tersebut dan memilih satu sediaan yang dianggapnya berbeda. Tabel 4.1 Jumlah pemanis yang digunakan dalam masing-masing formula No. Formula Pemanis (per 5 ml) 1. Existing Sodium cyclamate a mg 2. Alternatif 1 Sucralose b mg Acesulfame-K c mg Gula d mg 3. Alternatif 2 Sucralose b mg Acesulfame-K e mg Gula d mg 16

175 17 Tabel 4.2 Hasil uji sensori No. Formula Jumlah Jumlah jawaban Jumlah jawaban Hasil panelis benar salah 1. Alternatif 1 18 orang 12 6 Rejected 2. Alternatif 2 18 orang 7 11 Approved

176 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemanis yang digunakan dalam produk obat batuk sirup produksi PT. Bintang Toedjoe dapat digantikan dengan formula Alternatif 2 karena memiliki rasa yang tidak berbeda secara signifikan berdasarkan uji segitiga (triangle test). 5.2 Saran Agar lebih banyak melatih staf dari departemen lain untuk dapat menjadi panelis dalam uji sensori Agar staf Formulation Development Pulogadung PT. Bintang Toedjoe tetap mempertahankan semangat dan suasana kerja yang menyenangkan yang sudah tercipta saat ini. 18

177 DAFTAR ACUAN Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1988). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2004). Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Badan Standarisasi Nasional. (2004). SNI tentang Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Persyaratan Penggunaannya dalam Produk Pangan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Cahyadi, W. (2008). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Departeman Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia. PT. Bintang Toedjoe. (2011). Petunjuk Kerja Tes Sensori. Jakarta: PT. Bintang Toedjoe. Syah, D. (2005). Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Usmiati, S. dan S. Yuliani. (2004). Pemanis Alami dan Buatan untuk Kesehatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 19

178 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK ATRIKA JALAN KARTINI RAYA NO. 34 JAKARTA PUSAT PERIODE 13 SEPTEMBER - 24 OKTOBER 2012 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANITA KARLINA, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012

179 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK ATRIKA JALAN KARTINI RAYA NO. 34 JAKARTA PUSAT PERIODE 13 SEPTEMBER - 24 OKTOBER 2012 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker ANITA KARLINA, S.Farm ANGKATAN LXXV FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2012 ii

180 iii

181 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil alamin. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Angkatan LXXV, di Apotek Atrika yang dilaksanakan mulai tanggal 13 September - 24 Oktober Kegiatan PKPA dan penyusunan laporan PKPA merupakan bagian dari kegiatan perkuliahan program pendidikan profesi apoteker dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Mahasiswa yang telah mengikuti kegiatan PKPA diharapkan dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki saat memasuki dunia kerja. Kegiatan PKPA dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada : 1. Dr. Harmita, Apt., sebagai Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan pembimbing dari Apotek Atrika yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penulis melaksanakan PKPA. 2. Dr. Nelly D. Leswara, M.Sc., Apt., sebagai pembimbing dari Fakultas Farmasi yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan nasehat yang begitu bermanfaat dalam penulisan laporan PKPA ini. 3. Bapak Winardi Hendrayanta sebagai Pemilik Sarana Apotek Atrika yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan PKPA. 4. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS., Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi. 5. Para karyawan Apotek Atrika (Shintawati, S.Farm., Apt., Ibu Meta, Ibu Mimin, Ibu Tuti, Ibu Febi, Ibu Ponah, dan lain-lain) atas ilmu, arahan dan bantuan yang telah diberikan selama pelaksanaan PKPA ini. 6. Bapak dan Ibu staf pengajar beserta segenap karyawan Fakultas Farmasi. 7. Teman-teman Apoteker angkatan LXXV atas iv

182 kebersamaannya selama setahun ini. 8. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi dukungan, doa, semangat dan kasih sayang yang tiada henti. 9. Semua pihak yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya laporan PKPA ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan PKPA ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Tak ada yang penulis harapkan selain sebuah keinginan agar laporan PKPA ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Penulis 2012 v

183 ABSTRAK Nama : Anita Karlina Program Studi : Profesi Apoteker Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Atrika Jl. Kartini Raya No. 34 Jakarta Pusat Periode 13 September 24 Oktober 2012 Praktek Kerja Profesi di Apotek Atrika bertujuan mengetahui dan memahami peran dan tanggung jawab seorang apoteker di apotek. Kegiatan ini dilakukan selama enam minggu. Dalam hal ini, diharapkan calon apoteker dapat mengetahui dan memahami cara pengelolaan apotek dalam kegiatan administrasi, manajemen keuangan, pengadaan, penyimpanan, dan penjualan perbekalan farmasi serta mempraktekkan pelayanan kefarmasian di apotek sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika yang berlaku dalam sistem pelayanan kefarmasian di Indonesia. Pelayanan kefarmasian merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelanggan merupakan salah satu faktor penting yang harus dijaga oleh apotek. Dengan mengenali siapa pelanggan kita, apa kemauan, kebutuhan dan keinginan mereka dengan kemudian menyediakan produk serta pelayanan sebaik mungkin yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan. Untuk tugas khusus di apotek, dilakukan pengkajian resep yang mengandung obat-obat antiepilepsi. Pengkajian resep ini bertujuan untuk menilai kelengkapan administrasi resep, kesesuaian farmasetik dan klinis, serta mencoba menyusun informasi yang dapat diberikan kepada pasien atau keluarga pasien penderita epilepsi. Kata Kunci : Apotek Atrika, pengkajian resep, epilepsi. Tugas Umum : viii + 58 halaman; 3 gambar; 16 lampiran Tugas Khusus : iii + 25 halaman Daftar Acuan Tugas Umum : 28 ( ) Daftar Acuan Tugas Khusus : 7 ( ) vi

184 ABSTRACT Name : Anita Karlina Study Program : Apothecary Profession Title : Apothecary Internship Report at Apotek Atrika Jl. Kartini Raya No. 34 Central Jakarta Period September 13 th October 24 th 2012 Apothecary Internship at Apotek Atrika aims to know and understand the roles and responsibilities of pharmacist in pharmacy. Tis activity was conducted during six weeks. In this case, the pharmacist candidate is expected to know and understand how to manage a pharmacy in terms of administrative activities, financial management, procurement, storage and sale of pharmaceuticals and also to practice the pharmaceutical care in pharmacy accordance to the laws and ethics in Indonesia. Pharmaceutical care is a form of service and direct responsibility of a pharmacist to improve the quality of life of patients. Customer is one of important factors which must be kept by the pharmacy. By identifying our customers, their willingness, need, and desire, and then provide the best product and service, can give satisfaction to our customers. For the specific task, was conducted assesment of prescription containing anti-epileptic drugs. This assessment aims to assess the administrative completeness of prescription, pharmaceutical and clinical appropriateness, and also trying to collate the information that could be given to patient or their family. Key words : Apotek Atrika, assessment of prescription, epileptic. vii

185 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 BAB 2. TINJAUAN UMUM APOTEK Definisi Apotek Landasan Hukum Apotek Tugas dan Fungsi Apotek Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek Pengalihan Tanggung Jawab Pengelolaan Apotek Tata Cara Perizinan Apotek Pencabutan Surat Izin Apotek Tenaga Kerja di Apotek Sediaan Farmasi di Apotek Pengelolaan Apotek Pengadaan Persediaan Apotek Pengendalian Persediaan Apotek Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek BAB 3. TINJAUAN KHUSUS APOTEK ATRIKA Sejarah dan Lokasi Tata Ruang Struktur Organisasi Tugas dan Fungsi Jabatan Kegiatan di Apotek Atrika BAB 4. PEMBAHASAN BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR ACUAN LAMPIRAN viii

186 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Logo golongan obat Gambar 2.2. Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas Gambar 2.3. Matriks VEN-ABC ix

187 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Peta lokasi Apotek Atrika Lampiran 2. Denah ruangan Apotek Atrika Lampiran 3. Struktur organisasi Apotek Atrika Lampiran 4. Alur penanganan resep Lampiran 5. Surat pesanan Apotek Atrika Lampiran 6. Surat pesanan narkotika Lampiran 7. Laporan penggunaan narkotika Lampiran 8. Surat pesanan psikotropika Lampiran 9. Laporan penggunaan psikotropika Lampiran10. Kartu stok besar Apotek Atrika Lampiran 11. Kartu stok kecil Apotek Atrika Lampiran 12. Salinan resep Apotek Atrika Lampiran 13. Etiket Apotek Atrika Lampiran 14. Faktur pengiriman barang ke cabang Apotek Atrika Lampiran 15. Kuitansi Apotek Atrika Lampiran 16. Berita acara pemusnahan resep Apotek Atrika x

188 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan merupakan keadaan sehat, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif baik secara sosial maupun ekonomis. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Salah satu sarana penunjang kesehatan yang berperan dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan bagi masyarakat adalah apotek. Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat (drug oriented) ke pasien (patient oriented) yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. 1

189 2 Selain sebagai sarana dalam pelayanan kesehatan, apotek juga menjalankan fungsi bisnis dengan mengambil keuntungan dari penjualan obat (profit oriented). Apotek berusaha memperoleh keuntungan untuk mempertahankan kelangsungan apotek yang diusahakannya. Oleh karena itu, apoteker tidak hanya berperan sebagai tenaga profesional kesehatan, namun juga sebagai penanggung jawab dalam menjalankan bisnis apotek yang dimiliki sendiri atau atas kerja sama dengan orang lain. Untuk hal tersebut, maka apoteker harus memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang manajerial, seperti manajemen keuangan, sumber daya manusia, dan operasional, serta di bidang marketing sehingga dapat memampukan apoteker untuk menjalankan usaha yang dapat terus berkembang dan memberikan kepuasan bagi masyarakat. Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di apotek merupakan salah satu sarana bagi mahasiswa calon apoteker untuk mendapatkan pengalaman kerja dan pemahaman yang lebih dalam tentang tugas dan tanggung jawab apoteker di apotek. Agar calon apoteker dapat memahami dan melihat secara langsung peran, tugas, dan tanggung jawab seorang apoteker dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mengelola apotek, diselenggarakanlah PKPA di Apotek Atrika, Jalan Kartini Raya No. 34 Jakarta Pusat periode 13 September 24 Oktober Tujuan PKPA di Apotek Atrika bertujuan agar calon apoteker dapat memahami tugas pokok, fungsi dan peran apoteker di sebuah apotek serta memberikan kesempatan untuk beradaptasi langsung pada pekerjaan kefarmasian sebenarnya di apotek.

190 BAB 2 TINJAUAN UMUM APOTEK 2.1 Definisi Apotek Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002, apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan dan kosmetika sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. 2.2 Landasan Hukum Apotek Apotek memiliki landasan hukum yang diatur dalam : 1. Undang Undang Negara, yaitu: a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. c. Undang-Undang Kesehatan RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah, yaitu: a. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang perubahan atas PP No.26 Tahun 1965 tentang Apotek. b. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. 3. Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu: a. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Kententuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. 3 Universitas Undonesia

191 4 b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. 4. Keputusan Menteri Kesehatan, yaitu: a. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2003 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. b. Keputusan Pemertintah Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. 2.3 Tugas dan Fungsi Apotek Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980, tugas dan fungsi apotek adalah: a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat. c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. d. Sebagai sarana tempat pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya. 2.4 Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/SK/ IX/2004, apotek harus berlokasi pada daerah yang mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata APOTEK. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya. Hal tersebut berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi risiko kesalahan

192 5 penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Kebersihan lingkungan apotek harus dijaga. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga, dan pest. Apotek harus memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban, dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan. Apotek harus memiliki : a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. b. Rak dan lemari untuk menyimpan sediaan farmasi dan alat kesehatan, termasuk penempatan brosur/materi informasi. c. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. d. Ruang racikan. e. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. 2.5 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002, disebutkan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian harus telah terdaftar dan memiliki izin kerja/praktek. Sebelumnya, apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian harus memiliki surat izin berupa Surat Penugasan (SP) atau Surat Izin Kerja (SIK) bagi apoteker. Namun sejak tanggal 1 Juni 2011, diberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/Menkes/PerV/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Berdasarkan Permenkes ini, setiap Tenaga Kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi. Untuk tenaga kefarmasian yang merupakan seorang apoteker, maka wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). Setelah memiliki STRA, apoteker wajib memiliki surat izin

193 6 sesuai tempat kerjanya. Surat izin tersebut dapat berupa Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) untuk apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan kefarmasian atau Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk apoteker yang bekerja di fasilitas produksi atau distribusi farmasi. Apoteker yang telah memiliki SP atau SIK wajib mengganti SP atau SIK dengan STRA dan SIPA/SIKA dengan cara mendaftar melalui website Komite Farmasi Nasional (KFN). Setelah mendapatkan STRA, apoteker wajib mengurus SIPA dan SIKA di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. STRA dikeluarkan oleh Menteri, dimana Menteri akan mendelegasikan pemberian STRA kepada KFN. STRA berlaku selama lima tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan. Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan : a. Fotokopi STRA yang dilegalisisr oleh KFN; b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran; c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi; d. Pas foto berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak dua lembar dan 3x4 cm sebanyak dua lembar. Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai apoteker pendamping harus dinyatakan permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling lama dua puluh hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Seorang APA harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut: a. Memiliki ijazah yang telah terdaftar pada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. b. Telah mengucapkan sumpah atau janji sebagai apoteker.

194 7 c. Memiliki SIK dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia. d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai apoteker. e. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi secara penuh dan tidak menjadi APA di apotek lain. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila APA dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk apoteker pengganti. Penunjukan tersebut harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus menerus, SIA atas nama apoteker bersangkutan dicabut. 2.6 Pengalihan Tanggung Jawab Pengelolaan Apotek Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.922/MenKes/Per/X/1993 pasal 23 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 pasal 24, pengalihan tanggung jawab pengelolaan apotek dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Pada setiap pengalihan tanggung jawab pengelolaan kefarmasian yang disebabkan karena penggantian APA kepada apoteker pengganti, wajib dilakukan serah terima resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lainnya serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika (Pasal 23 ayat 1); b. Pada kegiatan serah terima tersebut wajib dibuat berita acara serah terima sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (Pasal 23 ayat 2); c. Apabila APA meninggal dunia, dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat jam, ahli waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Pasal 24 ayat 1). d. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat apoteker pendamping, pada pelaporan dimaksud Pasal 24 ayat (1) wajib disertai penyerahan resep,

195 8 narkotika, psikotropika, obat keras dan kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika (Pasal 24 ayat 2); e. Pada penyerahan yang dimaksud pada pasal 24 ayat (1) dan (2), dibuat berita acara seperti yang dimaksud pasal 23 ayat (2) dan dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai POM setempat (Pasal 24 ayat 3). 2.7 Tata Cara Perizinan Apotek Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 disebutkan bahwa SIA adalah surat izin yang diberikan oleh menteri kepada apoteker atau apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. Izin apotek diberikan oleh Menteri, kemudian Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Sesuai dengan pasal 7 dan 9 Keputusan Menteri Kesehatan tersebut, ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek adalah sebagai berikut: a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan. c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambatlambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat. d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam poin (b) dan (c) tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi.

196 9 e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud poin (c), atau pernyataan dimaksud, poin (d) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek. f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud poin (c) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan. g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam poin (f), Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Penundaan. h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya. Secara umum persyaratan izin apotek berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1332/MenKes/SK/X/2002 untuk apotek yang bekerja sama dengan pihak lain adalah sebagai berikut: a. Surat permohonan APA yang ditujukan kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan setempat sebanyak 3 (tiga) rangkap, 1 (satu) rangkap di atas materai Rp ,00. b. Fotokopi akte notaris badan hukum dan fotokopi pengesahan badan hukum dari Departemen Kehakiman dan HAM bila dalam bentuk PT yang disahkan/terdaftar pada Departemen Kehakiman dan HAM RI. c. Fotokopi KTP APA. d. Fotokopi SIK/SP apoteker, dengan lampiran surat keterangan selesai masa bakti apoteker bagi non pegawai negeri. e. Fotokopi surat status kepemilikan tanah: fotokopi sertifikat, bila gedung milik sendiri; fotokopi surat perjanjian kontrak bangunan minimal 2 (dua) tahun dan

197 10 KTP pemilik bangunan yang masih berlaku minimal dua tahun, bila kontrak/sewa. f. Fotokopi Undang-Undang Gangguan (UUG). g. Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) h. Surat keterangan domisili dari kelurahan setempat. i. Surat pernyataan pemohon yang menyatakan akan tunduk serta patuh kepada peraturan perundangan yang berlaku di atas materai Rp ,00. j. Peta lokasi dan denah ruangan. k. Surat pernyataan dari pemilik sarana apotek tidak pernah terlibat dan tidak akan terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang farmasi/obat dan tidak akan ikut campur dalam pengelolaan obat di atas materai Rp ,00. l. Surat pernyataan APA bahwa yang bersangkutan tidak bekerja pada bidang farmasi lain di atas materai Rp ,00. m. Surat pernyataan tidak melakukan penjualan narkotika, obat keras tertentu tanpa resep di atas materai Rp ,00. n. Struktur organisasi dan tata kerja/tata laksana (dalam bentuk organogram). o. Daftar ketenagaan berdasarkan pendidikan. p. SIK asisten apoteker/d3 farmasi. q. Rencana jadwal buka apotek. r. Daftar peralatan peracikan obat. s. Buku wajib peraturan perundangan di bidang farmasi. t. Formulir pelaporan narkotika dan psikotropika. u. Akte notaris perjanjian kerjasama APA dan PSA (asli/legalisir). v. Surat izin atasan bagi apoteker Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1332/MenKes/SK/X/2002 persyaratan izin apotek praktek profesi adalah sebagai berikut: a. Surat permohonan apoteker praktek profesi ditujukan kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan setempat sebanyak 3 (tiga) rangkap, 1 (satu) rangkap diatas materai Rp ,00. b. Surat rekomendasi dari Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) yang menyatakan bahwa yang bersangkutan layak untuk melakukan apotek profesi yang diterbitkan setiap tahun sekali.

198 11 c. Fotokopi KTP apoteker apotek praktek profesi. d. Status kepemilikan bangunan, IMB dan surat sewa menyewa minimal 2 tahun. e. Denah bangunan beserta peta lokasi. f. Daftar peralatan peracikan, etiket, dll. g. Fotokopi NPWP apoteker. h. SIK/SP apoteker dan pas foto 2x3 sebanyak 2 lembar dengan melampirkan surat selesai masa bakti apoteker. i. Surat pernyataan dari apotek bahwa selama buka apotek harus ada apotekernya (bila tidak ada apotekernya maka harus tutup). j. Jadwal buka apotek bersama dengan petugas/apoteker yang lain yang ikut melakukan praktek profesi dengan melampirkan SIK dan KTP. 2.8 Pencabutan Surat Izin Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat wajib melaporkan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek dalam jangka waktu setahun sekali kepada menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Surat izin apotek dapat dicabut oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota apabila : a. Apoteker tidak lagi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. Sediaan farmasi yang sudah dikatakan tidak bermutu baik atau karena sesuatu hal tidak dapat dan dilarang untuk digunakan seharusnya dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh menteri. b. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus menerus. c. Pelanggaran terhadap Undang-Undang obat keras Nomor, St No. 541, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

199 12 tentang Narkotika, serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. d. Surat izin kerja APA dicabut. e. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang obat. f. Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat pendirian apotek serta kelengkapan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya baik merupakan milik sendiri atau pihak lain. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan surat izin apotek berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan pencabutan surat izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan: a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan. b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek. Pembekuan izin apotek sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) di atas, dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Apabila SIA dicabut, APA atau apoteker pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Pengamanan tersebut wajib mengikuti tata cara sebagai berikut : a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu dan obat lain serta seluruh resep yang tersedia di apotek. b. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci. c. APA wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Wilayah Kantor Kementerian Kesehatan atau petugas yang diberi wewenang olehnya, tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam huruf (a).

200 Tenaga Kerja di Apotek Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri dari apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker. Tenaga pendukung untuk menjamin kelancaran kegiatan pelayanan kefarmasian di suatu apotek, yaitu Apoteker Pengelola Apotek (APA), asisten apoteker, juru resep, kasir, dan pegawai administrasi/tata usaha. APA adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). APA bertanggung jawab penuh terhadap semua kegiatan yang berlangsung di apotek, juga bertanggung jawab kepada pemilik modal (jika bekerja sama dengan pemilik sarana apotek). Tugas dan kewajiban APA di apotek adalah sebagai berikut: a. Memimpin seluruh kegiatan apotek, baik kegiatan teknis maupun non teknis kefarmasian sesuai dengan ketentuan maupun perundangan yang berlaku. b. Menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. c. Mengatur, melaksanakan, dan mengawasi administrasi. d. Mengusahakan agar apotek yang dipimpinnya dapat memberikan hasil yang optimal sesuai dengan rencana kerja dengan cara meningkatkan omset, mengadakan pembelian yang sah dan penekanan biaya serendah mungkin. e. Melakukan pengembangan apotek. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No tahun 2002, dalam melakukan tugasnya, seorang APA dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan apoteker pengganti. Apoteker pendamping yaitu apoteker yang bekerja di apotek selain APA dan/atau menggantikan APA pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan APA jika APA berhalangan hadir selama lebih dari tiga bulan secara terus-menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak sebagai APA di tempat lain. Tenaga pendukung lainnya untuk menjamin kelancaran kegiatan pelayanan kefarmasian di suatu apotek adalah asisten apoteker. Berdasarkan

201 14 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/ X/2002, asisten apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker. Tenaga pendukung yang tidak kalah pentingnya adalah juru resep, kasir dan pegawai administrasi/tata usaha. Juru resep adalah orang yang membantu asisten apoteker dalam menyiapkan (meracik) obat menurut resep. Kasir merupakan petugas yang mencatat penerimaan dan pengeluaran uang yang dilengkapi dengan kuitansi, nota, tanda setoran dan lain-lain. Pegawai administrasi/tata usaha bertugas membantu Apoteker dalam kegiatan administrasi seperti membuat laporan harian Sediaan Farmasi di Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/ X/2002, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan, dan kosmetika. Obat merupakan satu di antara sediaan farmasi yang dapat ditemui di apotek. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat-obat yang beredar di Indonesia digolongkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dalam 4 (empat) kategori, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan obat golongan narkotika. Penggolongan ini berdasarkan tingkat keamanan dan dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran dan pemakaian obat-obat tersebut. Setiap golongan obat diberi tanda pada kemasan yang terlihat Obat OTC (Over the Counter) Obat-obat yang boleh dibeli oleh pasien tanpa resep dokter disebut obat OTC. Contoh dari obat OTC ini adalah obat bebas dan obat bebas terbatas.

202 15 Obat Bebas Obat Bebas Terbatas Obat Keras dan Psikotropika Golongan Narkotika Gambar 2.1 Logo golongan obat Obat Bebas Obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter adalah obat bebas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah parasetamol (Kementerian Kesehatan, 2006) Obat Bebas Terbatas Obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda peringatan disebut obat bebas terbatas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam (Kementerian Kesehatan, 2006). Wadah atau kemasan obat bebas terbatas perlu dicantumkan tanda peringatan dan penyerahannya harus dalam bungkus aslinya. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 2 cm (atau disesuaikan dengan kemasannya) dan diberi tulisan peringatan penggunaannya

203 16 dengan huruf berwarna putih (Kementerian Kesehatan, 2006). Terdapat enam golongan peringatan untuk obat bebas terbatas, yaitu : a. P no. 1 : Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya. Contoh: Stopcold, Inza, dan obat flu lainnya. b. P no. 2 : Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Contoh: Listerine dan Betadine Gargle. c. P no. 3 : Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan. Contoh: Rivanol dan Canesten. d. P no. 4 : Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar e. P no. 5 : Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan. Contoh: Suppositoria untuk laxative. f. P no. 6 : Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan. Contoh: Suppositoria untuk wasir. Gambar 2.2. Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas Obat Ethical Obat yang dapat diperoleh oleh pasien dengan adanya resep dari dokter disebut obat ethical. Contoh dari obat ethical ini adalah obat keras, psikotropika dan narkotika.

204 Obat Keras Obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter disebut obat keras. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Obat-obat yang masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, antihipertensi, antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, psikotropika, dan beberapa obat ulkus lambung dan semua obat injeksi Psikotropika (Undang-Undang No. 5 Tahun 1997) Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan menjadi: a. Psikotropika golongan I Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan ketergantungan. Contoh dari obat psikotropika golongan I adalah ekstasi (methylenedioxy methylamphetamine/mdma), psilosin (jamur meksiko) atau jamur tahi sapi, LSD (lysergic acid diethylamide), dan meskalin (kaktus amerika). b. Psikotropika golongan II Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat golongan psikotropika golongan II adalah amphetamin, metakualon, dan metilfenidat. Sekarang obat psikotropika golongan I dan II dikategorikan dalam obat narkotika golongan I. c. Psikotropika golongan III Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat psikotropika golongan III adalah amobarbital, flunitrazepam, dan kastina.

205 18 d. Psikotropika golongan IV Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat psikotropika golongan IV adalah barbital, bromasepam, diazepam, estazolam, fenorbarbital, klobazam, dan klorazepam. Pengelolaan psikotropika di apotek adalah sebagai berikut : a. Pemesanan Surat pesanan (SP) psikotropika harus ditandatangani oleh APA serta dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIPA dan SIA. Satu surat pesanan ini dapat terdiri dari berbagai macam nama obat psikotropika dan dibuat tiga rangkap. Berbeda dengan narkotika, pemesanan psikotropika dapat ditujukan kepada PBF mana saja yang menjual jenis psikotropika yang diperlukan. b. Penyimpanan Obat-obatan golongan psikotropika cenderung disalahgunakan sehingga disarankan agar menyimpan obat-obatan tersebut dalam suatu rak atau lemari khusus. c. Penyerahan Obat golongan narkotika dan psikotropika hanya dapat diserahkan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan kepada pengguna/pasien. Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter. Penyerahan psikotropika oleh dokter hanya boleh dilakukan dalam keadaan menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat dan menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek. Psikotropika hanya dapat diserahkan oleh apotek dengan adanya resep dokter.

206 19 d. Pelaporan Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat setiap satu bulan sekali, paling lambat tanggal 10, dengan tembusan kepada Balai Besar POM/Balai POM setempat. e. Pemusnahan Pada pemusnahan psikotropika, Apoteker wajib membuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam tujuh hari setelah mendapat kepastian. Menurut pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997, pemusnahan psikotropika dilakukan apabila berkaitan dengan tindak pidana, psikotropika yang diproduksi tidak memenuhi standar dan persyaratan bahan baku yang berlaku, kadaluarsa, serta tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat tempat dan waktu pemusnahan; nama pemegang izin khusus; nama, jenis, dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan. Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan memberantas peredaran gelap psikotropika Narkotika (Undang-Undang No. 35 Tahun 2009) Definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : a. Narkotika golongan I Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat

207 20 tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah heroin, kokain, ganja, dan obat-obat psikotropika golongan I dan II. b. Narkotika golongan II Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah morfin, petidin, dan metadon. c. Narkotika golongan III Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah kodein. Pengaturan narkotika dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika. Peraturan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk: a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Pengelolaan narkotika di apotek adalah sebagai berikut : a. Pemesanan Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan di Pedagang Besar Farmasi (PBF) Kimia Farma dengan menggunakan Surat Pesanan Narkotika yang ditandatangani oleh APA, dilengkapi nama jelas, nomor SIK dan stempel apotek. Satu lembar surat pesanan hanya dapat digunakan untuk memesan satu macam narkotika. Surat pesanan tersebut terdiri dari empat rangkap yang masing-masing akan diserahkan ke BPOM, Suku Dinas Kesehatan, distributor, dan untuk arsip apotek.

208 21 b. Penerimaan dan Penyimpanan Penerimaan narkotika dilakukan oleh APA atau AA yang mempunyai SIK dengan menandatangani faktur, mencantumkan nama jelas, nomor SIA, dan stempel apotek (Kemenkes RI, 1978). Apotek harus mempunyai tempat khusus yang dikunci dengan baik untuk menyimpan narkotika. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. 2) Harus mempunyai kunci yang kuat. 3) Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin, dan garam-garamnya serta persediaan narkotika; bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari. 4) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40x80x100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai. 5) Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan. 6) Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan. 7) Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum. c. Pelayanan resep Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, disebutkan bahwa narkotika hanya dapat diserahkan kepada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter. Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (sekarang Badan POM) No. 336/E/SE/1997 disebutkan bahwa apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep asli. Salinan resep dari narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Dengan demikian dokter tidak boleh menambahkan tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.

209 22 d. Pelaporan Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek. Laporan tersebut terdiri dari laporan penggunaan bahan baku narkotika, laporan penggunaan sediaan jadi narkotika, dan laporan khusus pengunaan morfin, petidin dan derivatnya. Laporan penggunaan narkotika ini harus dilaporkan setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan Balai Besar POM/Balai POM dan berkas untuk disimpan sebagai arsip. e. Pemusnahan Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28/Menkes/Per/I/1978 pasal 9 mengenai pemusnahan narkotika, APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak, kadaluarsa, dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pemusnahan narkotika dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurangkurangnya memuat: tempat dan waktu (jam, hari, bulan, dan tahun); nama pemegang izin khusus, APA atau dokter pemilik narkotika; nama, jenis, dan jumlah narkotika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan. Berita acara pemusnahan narkotika tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan Kesehatan setempat dengan tembusan kepada Balai Besar POM setempat Obat Wajib Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MENKES/SK/ VII/1990, Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotek. OWA bertujuan untuk pelaksanaan swamedikasi di apotek. Swamedikasi adalah pelayanan farmasi yang memberikan kesempatan kepada pasien untuk memilih sendiri tindakan pengobatan berdasarkan penyakit yang diderita dengan bantuan rekomendasi dari apoteker. Obat-obat yang digunakan untuk pelaksanaan swamedikasi meliputi obat bebas, obat bebas terbatas, dan OWA. Swamedikasi bertujuan untuk:

210 23 a. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dengan ditunjang melalui sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional. b. Meningkatkan peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MENKES/PER/X/1993, obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia dua tahun, dan orang tua di atas 65 tahun. b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit. c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan/atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan. d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia. e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri. Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, apoteker di apotek diwajibkan untuk: a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam OWA yang bersangkutan. b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan. c. Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien Pengelolaan Apotek Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam mengelola apotek, apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisiplin, kemampuan mengelola sumber daya manusia secara efektif, selalu belajar sepanjang karir, dan

211 24 membantu memberikan pendidikan dan peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Pengelolaan apotek dapat dibedakan atas pengelolaan teknis farmasi dan non teknis farmasi. Sebagai pengelola teknis farmasi, APA bertanggung jawab mengawasi pelayanan resep, mengawasi mutu obat yang dijual, memberikan pelayanan informasi obat dan membuat laporan mengenai penggunaan obat-obat khusus (narkotika dan psikotropika). Adapun sebagai pengelola non teknis farmasi, seorang APA bertanggung jawab terhadap semua kegiatan administrasi, keuangan, dan bidang lain yang berhubungan dengan apotek. Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan, administrasi, dan pelayanan Perencanaan Kegiatan perencanaan meliputi penyusunan rencana keperluan yang tepat, mencegah terjadinya kekurangan dan sedapat mungkin mencegah terjadinya kelebihan perbekalan farmasi yang tersimpan lama dalam gudang. Banyaknya jenis perbekalan farmasi yang dikelola mendorong diperlukannya suatu perencanaan yang dilakukan secara cermat sehingga pengelolaan persediaan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat, dan budaya masyarakat Pengadaan Pengadaan perbekalan farmasi harus diterapkan sebaik mungkin agar pengendalian, keamanan, dan jaminan mutu perbekalan farmasi dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Prinsip pengadaan tidak hanya sekedar membeli barang, tetapi juga mengandung pengertian meminta kerja sama pemasok dalam menyediakan barang yang diperlukan. Pengadaan harus sesuai dengan keperluan yang direncanakan sebelumnya dan harus sesuai dengan kemampuan atau kondisi keuangan yang ada. Sistem atau cara pengadaannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

212 Penyimpanan Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Ketika isi harus dipindahkan ke dalam wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru yang memuat sekurang-kurangnya nomor bets dan tanggal kadaluarsa. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai untuk menjamin kestabilan bahan. Penataan perbekalan farmasi perlu memperhatikan peraturan yang berlaku dan kemudahan dalam melakukan kegiatan pelayanan serta memiliki nilai estetika. Penataan sedemikan rupa pada desain lemari harus menjamin kebersihan dan keamanan perbekalan farmasi senantiasa terjaga Administrasi Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan. Kegiatan administrasi umum meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika dan psikotropika, dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Administrasi pelayanan meliputi pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat Pelayanan Pelayanan apotek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MenKes/Per/X/1993 pasal 14 sampai dengan pasal 22, dan perubahan terhadap ketentuan pasal 19 dalam peraturan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MenKes/SK/X/2002 pasal 19, yang meliputi : a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas tanggung jawab APA dan sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat (Pasal 12 ayat 1 dan 2); b. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat (Pasal 15 ayat 1);

213 26 c. Apotek tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat-obat paten (Pasal 15 ayat 2) ; d. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat yang lebih tepat (Pasal 15 ayat 3) ; e. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat (Pasal 15 ayat 4a dan 4b) ; f. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep (Pasal 16 ayat 1 dan 2) ; g. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker (Pasal 17 ayat 1) ; h. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu tiga tahun (Pasal 17 ayat 2) ; i. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku (Pasal 17 ayat 3) ; j. APA, apoteker pendamping, atau apoteker pengganti diijinkan untuk menjual obat keras yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) tanpa resep. DOWA ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI (Pasal 18 ayat 1 dan 2) ; k. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotek, APA harus menunjuk apoteker pendamping (Pasal 19 ayat 1) ; l. Apabila APA dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk apoteker pengganti (Pasal 19 ayat 2) ; m. Penunjukan dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi (Pasal 19 ayat 3) ; n. Apoteker pendamping dan apoteker pengganti harus memenuhi persyaratan seperti persyaratan yang ditetapkan untuk APA (Pasal 19 ayat 4) ;

214 27 o. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus menerus, Surat Izin Apotek atas nama apoteker bersangkutan dicabut (Pasal 19 ayat 5) ; p. APA turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan apoteker pendamping dan apoteker pengganti dalam hal pengelolaan apotek (Pasal 20) ; q. Apoteker pendamping yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan APA (Pasal 21) ; r. Dalam pelaksanaan pengelolaan apotek, APA dapat dibantu oleh asisten apoteker (Pasal 22 ayat 1) ; s. Asisten apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker (Pasal 22 ayat 2) Pengadaan Persediaan Apotek (Quick, 1997; Seto, Yunita & Lily, 2004) Pengadaan merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan fungsi perencanaan dan penganggaran. Tujuan pengadaan yaitu untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku. Persyaratan yang perlu diperhatikan dalam fungsi pengadaan, yaitu: a. Doematig, artinya sesuai tujuan atau rencana. Pengadaan harus sesuai kebutuhan yang sudah direncanakam sebelumnya. b. Rechtmatig, artinya sesuai hak atau kemampuan. c. Wetmatig, artinya sistem atau cara pengadaannya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku Model pengadaan secara umum berdasarkan waktu adalah sebagai berikut: a. Annual purchasing, yaitu pemesanan satu kali dalam satu tahun. b. Scheduled purchasing, yaitu pemesanan secara periodik dalam waktu tertentu misalnya mingguan, bulanan, dan sebagainya.

215 28 c. Perpetual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan setiap kali tingkat persediaan rendah. d. Kombinasi antara annual purchasing, scheduled purchasing, dan perpetual purchasing yaitu pengadaan dengan pemesanan yang bervariasi waktunya, cara ini dapat diterapkan tergantung dari jenis obat yang dipesan. Misalnya obat impor yang mahal cukup dipesan sekali dalam setahun saja. Obat-obat yang termasuk slow moving dapat dipesan secara periodik setiap tahun (scheduled purchasing), dan obat-obatan yang banyak diminati oleh pembeli maka pemesanan dilakukan secara perpetual purchasing. Setelah menentukan jenis pengadaan yang akan diterapkan berdasarkan frekuensi dan waktu pemesanan maka pengadaan atau pembelian barang di apotek dapat dilakukan dengan cara: a. Pembelian kontan atau kredit Pembelian kontan adalah pihak apotek langsung membayar harga obat yang dibeli dari distributor, biasanya untuk apotek yang baru dibuka karena untuk melakukan pembayaran kredit apotek harus menunjukkan kemampuannya dalam menjual, sedangkan pembelian kredit adalah pembelian yang pembayarannya sampai jatuh tempo. b. Pembelian konsinyasi (kredit atau titipan obat) Pembelian konsinyasi adalah titipan barang dari pemilik kepada apotek, di mana apotek bertindak sebagai agen komisioner yang menerima komisi bila barang tersebut terjual. Bila barang tersebut tidak terjual sampai batas waktu kadaluarsa atau waktu yang telah disepakati maka barang tersebut dapat dikembalikan pada pemiliknya Pengendalian Persediaan Apotek Aktivitas pengendalian persediaan bertujuan untuk pengaturan persediaan obat di apotek agar menjamin kelancaran pelayanan pasien di apotek secara efektif dan efisien. Unsur dari pengendalian persediaan ini mencakup penentuan cara pemesanan atau pengadaannya, menentukan jenis persediaan yang menjadi prioritas pengadaan, hingga jumlah persediaan yang optimum dan yang harus ada di apotek untuk menghindari kekosongan persediaan. Oleh karena itu,

216 29 pengelolaan dan pengendalian persediaan obat di apotek berfungsi untuk memastikan pasien memperoleh obat yang diperlukan, mencegah risiko kualitas barang yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan, dan mendapatkan keuntungan dari pembelian dengan memilih distributor obat yang memberi harga obat bersaing, pengiriman cepat, dan kualitas obat yang baik. Salah satu cara untuk menentukan dan mengendalikan jenis persediaan yang seharusnya dipesan adalah dengan melihat pergerakan keluar masuknya obat dan mengidentifikasi jenis persediaan yang menjadi prioritas pemesanan. Metode pengendalian persediaan dengan menyusun prioritas tersebut dapat dibuat dengan menggunakan metode sebagai berikut (Quick, 1997) : a. Analisis VEN (Vital, Esensial, Non esensial) Pengendalian obat dengan memperhatikan kepentingan dan vitalitas obat yang harus selalu tersedia untuk melayani permintaan untuk pengobatan. Vital dalam analisis VEN maksudnya adalah obat untuk penyelamatan hidup manusia atau untuk pengobatan karena penyakit yang mengakibatkan kematian. Pengadaan obat golongan ini diprioritaskan. Contohnya adalah obat-obat hipertensi dan diabetes. Obat esensial adalah obat yang banyak diminta untuk digunakan dalam tindakan atau pengobatan penyakit terbanyak, yang resepnya sering datang ke apotek. Dengan kata lain, obat-obat golongan ini adalah obat yang fast-moving. Obat non esensial adalah obat pelengkap yang tidak banyak diminta dan tidak esensial. b. Analisa Pareto (ABC) Analisa pareto disusun berdasarkan penggolongan persediaan yang mempunyai nilai harga yang paling tinggi. Pareto membagi persediaan berdasarkan atas nilai rupiah sehingga untuk mengendalikan persediaan barang difokuskan pada item persediaan yang bernilai tinggi daripada yang bernilai rendah. Kelas A merupakan persediaan yang memiliki volume rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 75-80% dari total nilai persediaan. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 10-20% dari seluruh ítem tetapi memiliki dampak biaya yang tinggi. Kelas B merupakan persediaan yang memiliki volume rupiah yang menengah. Kelas ini mewakili sekitar 15-20% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 10-20% dari seluruh item. Kelas C adalah

217 30 persediaan yang memiliki volume rupiah yang rendah. Kelas ini mewakili sekitar 5-10% dari total nilai persediaan dan sekitar 60-80% dari seluruh item. Pengendalian persediaan untuk kelas A dilakukan secara intensif, untuk kelas B dilakukan secara moderat, dan kelas C dilakukan secara sederhana. Analisis pareto dilakukan dengan menghitung nilai investasi dari tiap sediaan obat dengan cara menghitung total investasi tiap jenis obat kemudian mengelompokan berdasarkan nilai investasi dan diurutkan mulai dari nilai investasi terbesar hingga terkecil. Kelompok A memiliki nilai investasi 70% dari total investasi obat keseluruhan, kelompok B memiliki nilai investasi 20% dari total investasi obat keseluruhan dan kelompok C memiliki nilai investasi 10% dari total investasi obat keseluruhan. c. Analisa VEN-ABC Mengkategorikan item berdasarkan volume dan nilai penggunaannya selama periode waktu tertentu, biasanya 1 tahun. Analisis VEN-ABC menggabungkan analisa pareto dan VEN dalam suatu matriks sehingga analisa menjadi lebih tajam. Matriks dapat dibuat sebagai berikut: A B C V E N VA EA NA VB EB NB VC EC NC Gambar 2.3 Matriks VEN-ABC Matriks di atas dapat dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas untuk menyesuaikan anggaran atau perhatian dalam pengelolaan persediaan. Semua obat vital dan esensial dalam kelompok A, B, dan C. Tetapi kuantitasnya disesuaikan dengan kebutuhan konsumen apotek. Untuk obat non esensial dalam kelompok A tidak diprioritaskan, sedangkan kelompok B dan C pengadaannya disesuaikan dengan kebutuhan.

218 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pharmaceutical care (PC) seringkali diartikan sebagai asuhan kefarmasian atau pelayanan kefarmasian. Pharmaceutical care adalah tanggung jawab farmakoterapi dari seorang apoteker untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. PC diimplementasikan dengan Good Pharmacy Practice (Cara Praktek di Apotek yang Baik). Dengan demikian Good Pharmacy Practice merupakan suatu pedoman yang digunakan untuk menjamin bahwa layanan yang diberikan apoteker kepada setiap pasien telah memenuhi kualitas yang tepat. Pedoman tersebut perlu disusun secara nasional dengan inisiatif dari organisasi profesi apoteker dan pemerintah. Dengan adanya pedoman tersebut diharapkan bahwa masyarakat dapat menggunakan obat-obat dan produk serta jasa kesehatan dengan lebih tepat sehingga tercapai tujuan terapi yang diinginkan. Pelaksanaan Good Pharmacy Practice di farmasi komunitas adalah sebagai berikut: a. Melakukan serah terima obat kepada pasien atas resep dokter dengan beberapa kriteria. b. Melakukan pemilihan obat pada pasien dalam upaya pengobatan diri sendiri (swamedikasi). c. Memonitor kembali penggunaan obat oleh pasien akan tujuan yang optimal melalui telepon atau kunjungan residensial. d. Melakukan penyuluhan tentang kesehatan dan obat, memberdayakan masyarakat tentang penggunaan obat yang baik dan upaya dalam pencegahan penyakit di masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi peayanan resep, promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial (home care) Pelayanan Resep Pelayanan resep di Apotek terdiri dari:

219 32 a. Skrining resep Apoteker melakukan skrining resep yang meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Skrining terhadap persyaratan administratif meliputi nama, SIP dan alamat dokter; tanggal penulisan resep; tanda tangan/paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang diminta; cara pemakaian yang jelas; dan informasi lainnya. Skrining kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Skrining pertimbangan klinis meliputi adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. b. Penyiapan obat Penyiapan obat dimulai dengan peracikan. Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat, serta penulisan etiket yang benar. Etiket harus jelas dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas, serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya

220 33 penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya Promosi dan Edukasi Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya Pelayanan Residensial (Home Care) Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

221 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS APOTEK ATRIKA 3.1 Sejarah dan Lokasi Apotek Atrika didirikan pada tanggal 21 Juli 2001 dengan nomor SIA /KANWIL/SIA/01/0. Apotek ini merupakan apotek kerja sama antara Pemilik Sarana Apotek (PSA) yaitu Bapak Winardi Hendrayanta dengan Apoteker Pengelola Apotek yaitu Bapak Dr. Harmita, Apt. Apotek Atrika terletak di Jalan Kartini Raya No. 34 Jakarta Pusat yang merupakan kawasan pemukiman penduduk. Letaknya di tepi jalan sehingga mudah dijangkau oleh kendaraan dan dilalui oleh angkutan umum serta merupakan jalan dua arah dengan badan jalan yang tidak terlalu lebar. Di sekitar apotek juga terdapat beberapa praktek dokter umum, dokter spesialis kulit, dan dokter hewan. Peta lokasi Apotek Atrika dapat dilihat pada Lampiran 1. Apotek Atrika buka dari hari Senin hingga Sabtu, mulai pukul sampai WIB, kecuali untuk hari Sabtu hanya sampai pukul WIB, sedangkan hari Minggu dan hari libur nasional tutup. 3.2 Tata Ruang Bagian depan Apotek Atrika memiliki halaman yang dapat digunakan sebagai tempat parkir. Apotek Atrika memiliki tempat parkir tidak begitu luas tetapi dapat digunakan untuk pasien yang membawa kendaraan pribadi, baik motor maupun mobil. Plang apotek berwarna kuning dengan tulisan merah dilengkapi lampu yang menyala terang ketika malam cukup menarik perhatian pengunjung. Pintu masuk apotek menggunakan bahan kaca bening sehingga dari luar dapat terlihat susunan barang OTC yang dipajang di etalase ruang depan. Bangunan Apotek Atrika terbagi menjadi dua bagian, yaitu ruang depan dan ruang dalam. Ruang depan terdiri dari ruang tunggu, kasir, tempat penerimaan resep sekaligus tempat penyerahan obat dan etalase untuk obat OTC. Ruang dalam terdiri atas ruang racik yang dikelilingi lemari untuk obat ethical, kamar mandi, dan tempat pencucian atau wastafel. Gambar denah Apotek Atrika dapat dilihat pada Lampiran 2. 34

222 35 Penyusunan obat di etalase maupun di dalam ruang racik dilakukan berdasarkan susunan abjad dan disesuaikan berdasarkan jenis sediaannya. Sediaan yang terdapat di Apotek Atrika dibagi menjadi tiga, yaitu sediaan oral padat (tablet, kapsul), sediaan oral cair (sirup, suspensi), dan sediaan topikal (salep, krim, suppositoria, obat tetes mata, obat tetes telinga, dan sebagainya). Selain itu, juga terdapat lemari terpisah untuk menyimpan obat generik, obat golongan narkotika, psikotropika, dan obat yang telah mendekati waktu kadaluarsa. 3.3 Struktur Organisasi Struktur organisasi merupakan suatu jaringan hubungan yang menggambarkan fungsi dalam suatu organisasi. Adanya organisasi dapat menciptakan hubungan yang jelas antara posisi dan memastikan kerja sama timbal balik antara masing-masing individu. Agar manajemen apotek dapat berlangsung dengan baik dan mendapatkan hasil yang maksimal, suatu apotek harus mempunyai struktur organisasi serta pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas. Pembentukkan struktur organisasi dan pembagian tugas serta wewenang tiap jabatan dilakukan oleh APA. Seorang APA harus dapat memprediksi dan membentuk struktur organisasi apotek, disertai dengan uraian fungsi dan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya. APA harus mengetahui kegiatan apa saja yang akan dilakukan dan tipe orang yang bagaimana yang dapat melaksanakan fungsi kegiatan tersebut sehingga apotek dapat beroperasional sesuai rencana. Apotek Atrika mempunyai beberapa orang karyawan dengan rincian sebagai berikut: a. Tenaga teknis farmasi, yaitu: Pemilik Sarana Apotek : 1 orang Apoteker Pengelola Apotek : 1 orang Apoteker Pendamping : 1 orang Asisten Apoteker : 2 orang Juru resep : 1 orang b. Tenaga non teknis farmasi, yaitu: Tenaga keuangan dan kasir : 2 orang

223 36 Pesuruh Kurir : 2 orang : 5 orang 3.4 Tugas dan Fungsi Jabatan Apoteker Pengelola Apotek (APA) APA memiliki beberapa tugas dan tanggung jawab sebagai berikut : a. Menyelenggarakan pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan fungsinya (apotek sebagai tempat pengabdian profesi) dan memenuhi segala kebutuhan perundang-undangan di bidang perapotekan yang berlaku. b. Memimpin seluruh kegiatan manajerial apotek termasuk mengkoordinasikan dan mengawasi dinas kerja karyawan lainnya antara lain mengatur daftar giliran kerja, menetapkan pembagian beban kerja, dan tanggung jawab masingmasing karyawan. c. Secara aktif berusaha sesuai dengan bidang tugasnya untuk meningkatkan omset penjualan dan mengembangkan hasil usaha apotek dengan mempertimbangkan masukan dari karyawan lainnya untuk perbaikan pelayanan dan kemajuan apotek. d. Melayani permintaan obat bebas dan resep dokter, mulai dari penerimaan resep, menyiapkan obat, meracik, menulis etiket, mengemas, sampai dengan menyerahkan obat. e. Memberikan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada pasien untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Dalam hal ini apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. f. Melaksanakan pelayanan swamedikasi. g. Memeriksa kebenaran obat yang akan diserahkan kepada pasien meliputi bentuk sediaan obat, jumlah obat, nama obat, nomor resep, nama pasien kemudian menyerahkan obat kepada pasien dan memberikan informasi tentang penggunaan obat tersebut serta informasi tambahan lain yang diperlukan. h. Membuat salinan resep dan kuitansi bila dibutuhkan. i. Mengatur dan mengawasi pengamanan hasil penjualan tunai harian.

224 37 j. Bertanggung jawab atas pengadaan obat, terutama obat-obat golongan narkotika dan psikotropika Apoteker Pendamping Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, apoteker pendamping memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut : a. Melaksanakan tugas dan tanggung jawab APA ketika APA sedang tidak berada di tempat. b. Menjamin penyampaian informasi obat kepada pasien. c. Memeriksa kebenaran obat yang akan diserahkan kepada pasien meliputi bentuk sediaan obat, jumlah obat, nama obat, nama pasien, dan cara pakainya. d. Mencatat dan menghitung bon penjualan kredit untuk resep-resep kredit. e. Bertanggung jawab atas pengadaan obat Asisten Apoteker Asisten apoteker memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. Melakukan pendataan kebutuhan barang. b. Mengatur, mengontrol, dan menyusun obat pada tempat penyimpanan obat di ruang peracikan. c. Melayani permintaan obat bebas dan resep dokter, mulai dari penerimaan resep, menyiapkan obat, meracik, menulis etiket, mengemas, sampai dengan menyerahkankan obat. d. Memberi harga untuk resep-resep yang masuk dan memeriksa kelengkapan resep. e. Memeriksa kebenaran obat yang akan diserahkan kepada pasien meliputi bentuk sediaan obat, jumlah obat, nama obat, nomor resep, nama pasien, kemudian menyerahkan obat kepada pasien dan memberikan informasi tentang penggunaan obat tersebut serta informasi tambahan lain yang diperlukan. f. Mencatat keluar masuk barang. g. Melakukan pengecekan terhadap obat-obat yang mempunyai kadaluarsa. h. Menyusun daftar masuknya barang dan menandatangani faktur obat yang masuk setiap harinya.

225 38 i. Mencatat penerimaan uang setelah dihitung terlebih dahulu, begitu juga dengan pengeluaran yang harus dilengkapi dengan kuitansi, nota dan tanda setoran yang sudah diparaf APA atau karyawan yang ditunjuk Juru Resep Selain itu, juga terdapat juru resep dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. Juru resep adalah tenaga yang membantu asisten apoteker dalam meracik obat di apotek. Tugas dan kewajiban juru resep adalah sebagai berikut : a. Membantu tugas apoteker dan asisten apoteker dalam penyediaan atau pembuatan obat jadi maupun obat racikan. b. Menyiapkan dan membersihkan alat-alat peracikan serta melaporkan hasil sediaan yang sudah jadi kepada asisten apoteker. c. Membuat obat-obat racikan standar di bawah pengawasan asisten apoteker. d. Menjaga kebersihan apotek Kasir Tugas dan tanggung jawab kasir adalah sebagai berikut: a. Menerima pembayaran tunai maupun dengan kartu kredit. b. Menerima barang masuk. c. Memberi harga untuk resep-resep yang masuk. d. Melayani penjualan obat bebas dan bebas terbatas. e. Mencatat, menghitung, dan menyimpan uang hasil penjualan. f. Menyetor uang hasil penjualan ke bagian keuangan. g. Bertanggung jawab terhadap kesesuaian uang yang masuk dengan penjualan Keuangan Dalam mengatur semua urusan yang berhubungan dengan keuangan, sebuah apotek dapat memiliki bagian keuangan yang menjalankan fungsi tersebut. Tugas dan kewajiban bagian keuangan adalah sebagai berikut: a. Bertanggung jawab terhadap kondisi aliran kas yang terjadi. b. Menerima uang yang disetor oleh kurir dan penjualan obat tunai, baik obat bebas dan bebas terbatas maupun penjualan obat dengan resep.

226 39 c. Mengeluarkan uang yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan operasional apotek, seperti listrik dan telepon. d. Menyimpan bukti pembayaran dan pembelian barang, serta bukti pertukaran faktur dengan PBF Pesuruh Selain memiliki tenaga teknis kefarmasian, sebuah apotek juga harus memiliki tenaga non teknis kefarmasian, salah satunya adalah pesuruh. Tugas dan tanggung jawab pesuruh adalah sebagai berikut: a. Menjaga kebersihan apotek. b. Menjamin kerapian apotek. c. Membantu petugas apotek lain yang memerlukan bantuan non-teknis kefarmasian Kurir Dalam menunjang pelayanan obat kepada pasien dapat dilakukan pengantaran obat langsung kepada pasien. Adanya pelayanan obat dengan sistem tersebut dapat meningkatkan pelayanan kepada pasien dan dapat meningkatkan pembelian atau pemesanan obat di apotek. Untuk dapat melakukan fungsi tersebut maka dibutuhkan seorang kurir. Tugas dari seorang kurir adalah sebagai berikut: a. Mengantar obat dan sediaan farmasi untuk pelayanan pesan antar. b. Menjamin obat yang tepat sampai kepada pasien yang tepat. c. Menerima uang hasil pembayaran obat. 3.5 Kegiatan di Apotek Atrika Tenaga kerja Apotek Atrika bekerja secara bergantian berdasarkan jam kerja yang telah dibagi menjadi dua shift, yaitu shift I pukul dan shift II pukul Jam operasional Apotek Atrika yaitu dari hari Senin hingga Jumat mulai pukul WIB dan hari Sabtu pukul , sedangkan hari Minggu dan hari libur nasional tutup. Kegiatan yang dilakukan di Apotek

227 40 Atrika dikelompokkan menjadi dua bidang, yaitu kegiatan di bidang teknis kefarmasian dan kegiatan non-teknis kefarmasian Kegiatan Teknis Kefarmasian Pengelolaan Perbekalan Farmasi a. Pengadaan Barang Tanggung jawab dan wewenang dalam pengadaan setiap obat dan perbekalan farmasi dilakukan oleh seorang APA, tetapi untuk menjaga kelancaran dan ketepatan persediaan barang, asisten apoteker dapat melakukan pengadaan barang untuk keperluan mendesak yang dilakukan pada pagi hari dengan surat pesanan sementara yang diparaf oleh asisten apoteker. Untuk pengadaan barang di Apotek Atrika jenis dan jumlah barang disesuaikan dengan kondisi keuangan dan kategori arus barang fast moving atau slow moving serta didasarkan pada jenis obat-obat yang banyak diresepkan oleh dokter yang praktek di sekitar apotek. Pengadaan barang dan perbekalan farmasi yang dilakukan yaitu dengan cara konsinyasi, COD (cash on delivery), atau kredit. Konsinyasi adalah penitipan barang dari distributor kepada apotek, di mana apotek bertindak sebagai agen komisioner yang menerima komisi bila barang terjual, bila tidak terjual barang tersebut dapat dikembalikan ke distributor asalnya. Cara pengadaan dengan konsinyasi biasanya dilakukan untuk obat-obat baru yang belum dijual di apotek, di mana obat-obat tersebut sedang dalam masa promosi, sementara pembayaran dilakukan hanya terhadap barang yang telah terjual. COD adalah pembelian barang di mana pembayaran dilakukan secara langsung pada saat barang datang. Sedangkan pembayaran secara kredit adalah pembayaran yang dilakukan apabila faktur pembelian obat dan/atau perbekalan farmasi dinyatakan telah jatuh tempo. b. Pemesanan Barang Pemesanan obat maupun perbekalan farmasi yang dibutuhkan dilakukan berdasarkan buku defekta kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF). Pemesanan dilakukan kepada PBF dengan menggunakan surat pesanan langsung kepada salesman atau melalui telepon. c. Penerimaan Barang Apoteker atau asisten apoteker memeriksa barang yang diterima berdasarkan surat pesanan dan faktur, baik kuantitas maupun kualitas (tanggal

228 41 kadaluarsa, keadaan fisik barang, kode produksi/bets dan lain-lain). Apabila barang yang diterima sesuai dengan surat pesanan, maka petugas selanjutnya menandatangani dan memberi stempel apotek pada faktur. Selanjutnya, faktur asli diserahkan kembali ke PBF dan salinan faktur disimpan di apotek sebanyak dua lembar. Obat dan/atau perbekalan farmasi yang dibeli dicatat dalam buku pemasukan barang yang berisi tanggal pembelian, barang yang dipesan dan jumlah yang dipesan. Jumlah barang yang diterima kemudian ditambahkan ke dalam kartu stok besar (kartu stok gudang) dan kartu stok kecil (kartu stok harian). Pembelian dicatat dalam buku pembelian yang berisi tanggal pembelian, nama PBF, nomor faktur, nama dan jumlah barang yang diterima, tanggal kadaluarsa, harga satuan, potongan harga, dan harga total. Bila terjadi perubahan harga barang maka perubahan harga dicatat di buku perubahan harga kemudian juga di buku daftar harga barang.. d. Penyimpanan Barang Sediaan farmasi di Apotek Atrika disimpan berdasarkan bentuk sediaan obat menurut abjad, baik untuk obat ethical, maupun untuk obat OTC. Obat disusun berdasarkan sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out), di mana obat yang memiliki tanggal kadaluarsa terlebih dahulu diletakkan di bagian yang paling depan dan/atau paling atas, agar keluar terlebih dahulu. Selain itu, terdapat juga lemari khusus untuk menyimpan barang-barang yang mendekati waktu kadaluarsa. Penyimpanan narkotika dilakukan di lemari khusus yang menempel di dinding dan kunci lemari tersebut disimpan oleh apoteker pendamping. e. Pengeluaran Barang Apotek Atrika melakukan pengeluaran barang dengan sistem FEFO (First Expired First Out), yaitu barang yang memiliki batas kadaluarsa lebih awal dikeluarkan terlebih dahulu. Barang yang keluar dari penjualan bebas dicatat pada buku penjualan barang bebas, sedangkan barang yang keluar dari penjualan resep dicatat pada buku resep. f. Pemeriksaan dan Pencatatan Stok Barang Setiap obat dan/atau perbekalan farmasi yang masuk maupun keluar dilakukan pemeriksaan dan pencatatan stok. Kegiatan ini dilakukan setiap hari

229 42 berdasarkan buku pemasukan barang, buku penjualan barang dan buku resep. Selanjutnya jumlah terakhir barang yang ada dicocokkan dengan jumlah yang tertera pada kartu stok kecil (kartu stok harian). Barang yang persediaannya kosong dicatat pada buku defekta untuk dilakukan pemesanan. g. Pembuatan Sediaan Standar Sediaan standar adalah obat-obat yang dibuat oleh apotek berdasarkan resep-resep standar dalam buku resmi untuk dijual bebas ataupun berdasarkan resep dokter. Sediaan standar ini umumnya merupakan sediaan yang tidak dibuat oleh pabrik-pabrik farmasi. Tujuan pembuatan sediaan ini adalah untuk menyediakan obat-obat standar atau obat umum bagi masyarakat. Beberapa sediaan standar yang dibuat di Apotek Atrika adalah minyak kayu putih, minyak telon, lysol, obat batuk putih, obat batuk hitam, obat biang keringat, rivanol, salicyl spiritus, dan bedak salisilat. Sediaan standar ini ditempatkan di rak obat bebas dan disusun berdasarkan abjad Pengelolaan Narkotika a. Pengadaan Narkotika Pengadaan narkotika di Apotek Atrika dilakukan dengan pemesanan yang dilakukan sesuai dengan tata cara dengan ketentuan yang berlaku. Pemesanan narkotika dilakukan berdasarkan surat pesanan (SP) khusus untuk narkotika yang terdiri dari 4 rangkap (warna putih, kuning, merah dan biru). SP narkotika ini harus digunakan untuk pemesanan satu jenis narkotika yang ditujukan ke PBF Kimia Farma. Penerimaan narkotika yang telah dipesan dilakukan oleh apoteker pendamping atau asisten apoteker yang memiliki SIK. Bukti penerimaannya diterima dan disimpan oleh Apoteker Pengelola Apotek. b. Penyimpanan Narkotika Narkotika disimpan di dalam lemari khusus yang menempel di dinding dan kuncinya dipegang oleh apoteker pendamping. Dalam penyimpanannya, narkotika tersebut disusun berdasarkan bentuk sediaan dan diurutkan menurut abjad. Jumlah narkotika yang diterima kemudian ditambahkan ke dalam kartu stok besar (kartu stok gudang) khusus untuk narkotika dan buku stok narkotika.

230 43 c. Pelayanan Narkotika Pelayanan resep yang mengandung narkotika telah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Pelayanan narkotika hanya dilakukan apabila pasien membawa resep dari dokter yang meresepkan dan resep tersebut sesuai dengan persyaratan administratif yang berlaku. Setiap pengeluaran narkotika harus dicatat di kartu stok kecil (kartu stok harian) khusus narkotika dan buku stok narkotika, selanjutnya diperiksa kesesuaian jumlahnya. Narkotika pada resep digaris bawah merah, dan resepnya disimpan terpisah dari resep lain. d. Pelaporan Narkotika Laporan penggunaan narkotika dibuat setiap bulan dan dikirim ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat, paling lambat tanggal 10 setiap bulannya dengan tembusan kepada Balai Besar POM dan untuk arsip. e. Pemusnahan Narkotika Dalam melakukan pemusnahan narkotika di Apotek Atrika dilakukan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku. Pemusnahan dilakukan dengan dihadiri oleh APA dan apoteker pendamping atau Asisten Apoteker serta dari pihak pihak terkait antara lain Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat dan Balai Besar POM Pengelolaan Psikotropika a. Pengadaan Psikotropika Pemesanan psikotropika yang dilakukan di Apotek Atrika sama seperti pemesanan narkotika. Dalam melakukan pemesanan psikotropika, Apotek Atrika mengikuti tata cara yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemesanan psikotropika dilakukan berdasarkan SP khusus untuk psikotropika yang terdiri dari 3 rangkap (warna putih, kuning, dan merah). SP psikotropika ini dapat digunakan untuk melakukan pemesanan beberapa jenis psikotropika apabila psikotropika tersebut berasal dari satu PBF yang sama. Penerimaan psikotropika yang telah dipesan dilakukan oleh apoteker pendamping atau asisten apoteker yang memiliki SIK. Bukti penerimaannya disimpan oleh APA.

231 44 b. Penyimpanan Psikotropika Di Apotek Atrika, psikotropika disimpan dalam lemari khusus dan kunci lemari dipegang oleh apoteker pendamping. Dalam penyimpanannya, psikotropika disusun berdasarkan abjad dan apabila terdapat psikotropika dengan nama yang sama maka psikotropika tersebut disusun berdasarkan kekuatan mulai dari kekuatan terkecil hingga terbesar. Jumlah psikotropika yang diterima kemudian ditambahkan ke dalam kartu stok besar (kartu stok gudang) khusus untuk psikotropika dan buku stok psikotropika. c. Pelayanan Psikotropika Pelayanan prikotropika di Apotek Atrika hanya dilakukan apabila pasien membawa resep dari dokter atau salinan resep, dimana resep tersebut sesuai dengan persyaratan administratif yang berlaku. Setiap pengeluaran psikotropika dilakukan dengan mencatat dalam kartu stok kecil (kartu stok harian) khusus psikotropika dan buku stok psikotropika, selanjutnya diperiksa kesesuaian jumlahnya. Resep yang mengandung psikotropika disimpan terpisah dari resep lain. d. Pelaporan Psikotropika Laporan penggunaan psikotropika dibuat setiap bulan dan dikirimkan ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat paling lambat setiap tanggal 10 setiap bulannya dengan tembusan kepada balai Besar POM dan untuk arsip. e. Pemusnahan Psikotropika Dalam melakukan pemusnahan psikotropika di Apotek Atrika dilakukan dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku. Pemusnahan dilakukan dengan dihadiri oleh APA dan apoteker pendamping atau asisten apoteker, serta dari pihak pihak terkait antara lain Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat dan Balai Besar POM Pelayanan Apotek a. Pelayanan Obat dengan Resep Proses pelayanan obat dengan resep di Apotek Atrika dilakukan sesuai dengan prinsip HTKP (Harga, Timbang, Kemas, Penyerahan). Asisten Apoteker menerima resep dari pasien, kemudian dilakukan skrining resep dan diberi harga

232 45 pada huruf H dari HTKP berdasarkan harga yang terdapat pada komputer kasir. Setelah itu, pada huruf H tersebut diberi paraf. Selanjutnya pasien membayar harga obat yang disetujui di kasir dan kasir mencatat alamat dan nomor telepon pasien. Resep kemudian dibawa ke bagian peracikan untuk dikerjakan oleh asisten apoteker dan juru resep. Setelah semua bahan dalam resep ditimbang, maka huruf T pada HTKP diberi paraf. Resep yang telah selesai dikerjakan dan diberi etiket diperiksa oleh apoteker atau asisten apoteker, kemudian huruf K dari HTKP diberi paraf. Resep yang telah diperiksa kemudian diserahkan kepada pasien. Apoteker atau asisten apoteker yang menyerahkan obat menyampaikan informasi yang berkaitan dengan obat tersebut dan memberikan paraf pada huruf P pada HTKP. Resep yang telah selesai dikumpulkan berdasarkan nomor urut resep per hari dan dicatat dalam buku resep. Pelayanan resep secara tunai sama dengan pelayanan resep secara kredit, tetapi untuk pelayanan resep secara kredit, kuitansi pembayarannya tidak diserahkan ke pasien tetapi disimpan untuk dilakukan penagihan pada awal bulan berikutnya. b. Pelayanan Obat Tanpa Resep atau Penjualan Bebas Apotek Atrika melakukan penjualan obat tanpa menggunakan resep dokter (obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat wajib apotek) dan penjualan sediaan lain di luar obat. Pembayarannya dilakukan di kasir secara tunai kemudian barang dan struk pembayaran diserahkan kepada pembeli Kegiatan Non-Teknis Kefarmasian Kegiatan Administrasi a. Administrasi Personalia Apotek Atrika melakukan administrasi personalia yang berkaitan dengan semua hal mengenai urusan pegawai yang meliputi absensi, gaji, hak cuti, dan fasilitas lain yang berhubungan dengan pegawai. b. Administrasi Umum Apotek Atrika melakukan administrasi umum yang meliputi laporan penggunaan bahan baku dan sediaan jadi narkotika, laporan penggunaan psikotropika dan segala hal yang berhubungan dengan urusan administrasi.

233 46 c. Administrasi Penjualan Dalam melakukan kegiatan administrasi penjualan, Apotek Atrika melakukan pencatatan terhadap semua penjualan resep dan penjualan bebas secara tunai. Pengaturan juga dilakukan terhadap harga jual yang dimasukkan ke dalam buku daftar harga jual yang dijadikan sebagai acuan. Apabila terdapat perubahan harga, maka harga yang tertera pada buku harga jual akan diubah. d. Administrasi Pembelian Apotek Atrika melakukan kegiatan administrasi pembelian dengan melakukan pencatatan terhadap semua pembelian obat dan perbekalan farmasi di buku pembelian dan pengumpulan faktur-faktur berdasarkan debitur. Tanggal tukar faktur yang ditentukan oleh Apotek Atrika adalah setiap tanggal 5 dan 15 setiap bulannya, sedangkan tanggal pembayaran akan ditentukan pada saat penukaran faktur. e. Administrasi Pajak Apotek Atrika melakukan administrasi pajak dengan melakukan pencatatan dan pengumpulan faktur pajak serta menghitung jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh apotek. Kegiatan administrasi pajak juga menangani pajak lain yang harus dibayarkan oleh apotek, seperti pajak reklame. f. Administrasi Pergudangan Apotek Atrika melakukan administrasi pergudangan dengan melakukan pencatatan pemasukan dan pengeluaran obat menggunakan kartu stok yang tersedia untuk setiap obat sehingga dapat diketahui sisa persediaan. g. Administrasi Piutang Pengumpulan kuitansi piutang dilakukan terhadap penjualan kredit kepada suatu badan sosial dan melakukan pencatatan apabila telah dilunasi Sistem Administrasi Apotek Atrika memiliki sistem administrasi yang dikelola dengan baik, dimulai dari perencanaan, pengadaan, pengelolaan, dan pelaporan barang yang masuk dan keluar, pengelolaan ini dilakukan oleh Apoteker dan Asisten Apoteker yang dibantu oleh karyawan administrasi. Kelengkapan administrasi di Apotek Atrika meliputi:

234 47 a. Buku Defekta Buku ini digunakan untuk mencatat daftar nama obat atau sediaan yang telah habis atau hampir habis sehingga harus segera dipesan agar dapat memenuhi kebutuhan di apotek. Dengan adanya buku ini, proses pemesanan menjadi lebih cepat sehingga tersedianya barang di apotek dapat terkontrol dan terjamin dengan baik. b. Surat Pesanan (SP) Surat ini digunakan untuk melakukan pemesanan barang ke PBF. Terdiri dari 2 lembar, di mana 1 lembar pertama untuk diberikan kepada PBF dan lembar terakhir untuk keperluan arsip di apotek. Dalam surat pesanan terdapat tanggal pemesanan, nama PBF yang ditunjuk, nomor dan nama barang, jumlah pesanan, tanda tangan pemesanan, dan stempel apotek. c. Buku Daftar Harga Buku ini berfungsi untuk mencatat harga barang untuk penjualan bebas dan untuk penjualan resep. Pada buku ini tercantum nama obat dengan merek dagang, generik, maupun bahan baku. Penyusunan nama obat berdasarkan alfabet dan dipisahkan antara obat dengan nama dagang dan generik. d. Buku Faktur Buku ini berfungsi sebagai buku penerimaan barang. Dalam buku ini tercantum tanggal penerimaan, nomor urut faktur, nama PBF, nomor faktur, jumlah barang, nama barang, tanggal kadaluarsa, harga satuan, diskon, harga setelah potongan, dan jumlah harga seluruh barang. Buku penerimaan barang depan dan barang dalam dipisahkan. e. Buku Perubahan Harga Buku ini berfungsi untuk mencatat perubahan harga barang. Jika ada perubahan harga barang, maka harga terbaru barang dicatat di buku perubahan harga, kemudian dilakukan perubahan harga barang pada buku daftar harga, komputer kasir, dan juga dilakukan pemberitahuan pada Apotek Atrika cabang. f. Buku Pemasukan Barang Dalam Buku ini berfungsi untuk mencatat pemasukan obat-obat ethical. Di dalam buku ini tercantum nama barang, jumlah barang dalam satuan terkecil, dan tanggal kadaluarsa.

235 48 g. Buku Pemasukan Barang Luar Buku ini berfungsi untuk mencatat pemasukan obat-obat OTC. h. Buku Pembelian dan Penggunaan Narkotika dan Psikotropika Buku ini bertujuan untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran golongan narkotika dan psikotropika, yang mencantumkan nama obat, bulan, persediaan awal, penambahan jumlah yang meliputi tanggal pembelian, jumlah, nama PBF, pengurangan, dan sisa serta keterangan lain jika ada. i. Buku Pengiriman Barang ke Cabang Buku ini berfungsi untuk mencatat barang-barang yang dikirimkan ke Apotek Atrika cabang. Setiap cabang ada buku masing-masing. Buku ini memuat nama barang, jumlah barang, dan tanggal kadaluarsa. j. Buku Resep Buku ini berfungsi untuk mencatat pengeluaran obat berdasarkan resep. Buku ini memuat tanggal dibuatnya resep, nomor resep, nama obat, jumlah obat serta bentuk dan jumlah sediaan yang dibuat. k. Buku Penjualan Obat Bebas Buku ini berfungsi untuk mencatat pengeluaran obat-obat bebas yang memuat tanggal penjualan, nama obat, jumlah, dan harga obat. l. Buku Gereja Buku ini berfungsi untuk mencatat barang-barang yang dibeli oleh jemaat gereja. Apotek Atrika bekerja sama dengan gereja di Gunung Sahari. Apotek Atrika memberikan diskon khusus terhadap jemaat gereja yang membeli obat di Apotek Atrika. Buku ini memuat nama barang, jumlah barang dan nama pasien. m. Buku Keluarga Buku ini berfungsi untuk mencatat barang-barang yang dibeli oleh keluarga PSA dan APA Apotek Atrika. Buku ini memuat nama barang, jumlah barang dan nama pasien. n. Buku Antaran Barang Buku ini berfungsi untuk mencatat barang-barang yang dipesan melalui telepon dan diantarkan oleh kurir Apotek Atrika. Buku ini memuat nama barang, jumlah barang dan nama pasien.

236 49 o. Kartu Stok Besar Kartu ini digunakan untuk mencatat barang-barang yang masuk atau baru dibeli. Untuk masing masing barang memiliki kartu stok yang berbeda beda. Warna dari kartu stok ini dibedakan berdasarkan bentuk sediaan dan tujuan penggunaannya. Kartu stok besar memuat tanggal penerimaan barang, jumlah barang dalam satuan terbesar, nama PBF, nomor faktur, harga satuan (harga barang yang telah ditambahkan pajak), diskon (bila ada), nomor bets, dan tanggal kadaluarsa. p. Kartu Stok Kecil Kartu ini digunakan untuk mencatat jumlah barang yang keluar dan masuk serta sisa stok barang di lemari. Sama seperti pada kartu stok besar, untuk masing masing barang memiliki kartu stok yang berbeda beda. Warna dari kartu stok ini juga dibedakan berdasarkan bentuk sediaannya dan tujuan penggunaannya. Kartu stok kecil memuat tanggal keluar/masuk barang, keterangan (nomor resep/penjualan untuk pengeluaran barang, tanggal kadaluarsa untuk pemasukan barang), jumlah yang masuk, jumlah yang keluar, dan sisa stok barang pada lemari.

237 BAB 4 PEMBAHASAN Apotek Atrika merupakan sebuah apotek kerja sama antara Dr. Harmita, Apt., sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) dengan Bapak Winardi Hendrayanta sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA). Apotek Atrika terletak di Jalan Kartini Raya nomor 34, Jakarta Pusat, dan telah beroperasi selama lebih dari 11 tahun, terhitung sejak didirikan pada 21 Juli Apotek Atrika terletak pada lokasi yang cukup strategis, yaitu dekat dengan pemukiman dan perumahan penduduk yang cukup padat, serta dekat dengan beberapa praktek dokter, mulai dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis (spesialis kulit, spesialis kulit dan kelamin), hingga dokter hewan. Apotek ini juga terletak di jalan dua arah yang cukup ramai dilalui kendaraan termasuk kendaraan umum, sehingga mudah untuk dicapai. Lokasi yang strategis juga didukung dengan keberadaan sarana kesehatan lain di sekitar apotek, seperti Puskesmas dan rumah sakit, serta keberadaan apotek pesaing yang cukup jauh letaknya. Pada bagian depan Apotek Atrika terdapat papan nama penunjuk keberadaan apotek yang cukup jelas dan halaman parkir yang dapat digunakan sebagai tempat parkir sebuah mobil dan beberapa sepeda motor. Dari segi bangunan, Apotek Atrika memiliki ukuran bangunan 7 x 7,2 m 2 yang terbagi menjadi dua ruangan. Ruang depan apotek digunakan sebagai counter untuk penerimaan resep, penyerahan obat, kasir, dan ruang tunggu dengan 5 buah kursi. Jumlah kursi ini sudah cukup karena biasanya pelayanan diberikan dengan cepat. Selain itu, terdapat lemari/rak kaca untuk menyimpan produk OTC sehingga dapat menarik calon pembeli untuk membeli. Ruang tunggu juga selalu terjaga kebersihannya dan dilengkapi dengan pendingin ruangan (AC) untuk menambah kenyamanan pelanggan. Ruang bagian dalam digunakan sebagai ruang racik dan ruang kerja dengan luas yang cukup untuk pekerjaan meracik. Selain itu, di ruang racik diletakkan lemari-lemari penyimpanan obat ethical,yang terdiri dari obat keras, narkotika dan psikotropika, dan obat generik. Ruangan ini juga dilengkapi dengan 50

238 51 pendingin ruangan (AC) yang menjaga suhu ruangan untuk menjamin stabilitas obat selama penyimpanan dan kenyamanan karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Desain ruang racik Apotek Atrika yang menempatkan meja racik pada bagian tengah di antara lemari obat akan mempermudah pekerjaan peracikan obat. Meja kerja diletakkan di sudut ruangan agar tidak mengganggu pekerjaan meracik obat. Pada ruang racik juga terdapat toilet yang disediakan untuk karyawan dan wastafel untuk mencuci peralatan racik. Denah ruangan Apotek Atrika secara umum dapat dilihat pada Lampiran 2. Apotek Atrika tidak memiliki gudang penyimpanan obat karena lokasi apotek yang dekat dengan beberapa PBF sehingga obat yang diterima langsung diletakkan pada lemari obat dan disediakan dalam jumlah yang disesuaikan dengan arus barang. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi dengan menghemat biaya pemeliharaan stok dan perawatan gudang dan juga mengurangi risiko kerugian akibat barang yang kadaluarsa maupun yang tidak terjual. Dalam mendukung pelayanan apotek, diperlukan sumber daya manusia yang memadai dalam hal jumlah, kompetensi maupun keterampilan. Apotek Atrika memiliki sumber daya manusia yang memadai, yaitu terdiri dari satu orang APA, satu orang apoteker pendamping, dua orang asisten apoteker, satu orang juru resep, dua orang tenaga keuangan dan kasir, lima orang kurir dan dua orang pesuruh. Dengan adanya pembagian tersebut, maka pembagian tugas dan tanggung jawab menjadi jelas dan dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk dapat melaksananakan kegiatan apotek dengan baik, apotek harus dapat mengelola barang dengan tepat. Pengelolaan tersebut terdiri dari perencanaan, pemesanan, penerimaan, pemberian harga, penyimpanan, pendistribusian/pelayanan, pencatatan persediaan, dan pelaporan. Perencanaan pembelian dilakukan setiap hari dengan melihat persediaan obat secara langsung. Jika ada persediaan kosong atau jumlahnya terlalu sedikit, maka harus dicatat di buku defekta dan dikelompokkan sesuai PBF atau distributornya. Pemilihan PBF untuk masing-masing barang dilakukan berdasarkan ketersediaan, adanya potongan harga, lamanya pengiriman barang, dan nilai pemesanan minimum yang ditetapkan oleh beberapa distributor.

239 52 Pemesanan dilakukan setiap hari sehingga perputaran barang lebih cepat dan dapat mencegah adanya stok mati atau obat yang kadaluarsa akibat terlalu lama disimpan, sehingga penyebab kerugian apotek dapat ditekan. Pemesanan biasanya dilakukan melalui telepon atau melalui medical representative yang setiap hari melakukan kunjungan ke apotek. Untuk pemesanan narkotika dan psikotropika dilakukan menggunakan SP khusus. SP untuk narkotika ditujukan kepada PT. Kimia Farma sebagai distributor tunggal narkotika di Indonesia, sementara untuk obat-obat psikotropika dapat melalui PBF lain yang menyediakan obat tersebut. Surat pesanan untuk narkotika terdiri dari 4 rangkap, yaitu untuk diberikan ke PBF (PT. Kimia Farma), Balai POM, pabrik obat (PT. Kimia Farma) dan arsip. Dalam satu surat pesanan hanya boleh digunakan untuk satu jenis narkotika dan dicantumkan pula jumlah sisa stok obat narkotika tersebut yang tersedia di apotek. Sementara itu, untuk psikotropika menggunakan SP rangkap 3 yang diserahkan kepada PBF, Balai POM, dan sebagai arsip. Dalam satu SP psikotropika boleh digunakan untuk beberapa jenis obat namun masih ditujukan untuk PBF yang sama, namun tidak perlu dicantumkan sisa stok di apotek. Untuk pemesanan narkotika, SP harus diserahkan terlebih dahulu kepada distributor sebelum barang bisa diantarkan. Pada saat barang yang dipesan datang, dilakukan pemeriksaan kesesuaian jenis dan jumlah barang antara barang yang diserahkan dengan yang tertera pada faktur dan surat pesanan (SP). Apabila barang yang datang sudah sesuai dengan faktur dan SP, maka faktur diberi tanggal dan nomor urut, tanda tangan penerima dan stempel apotek. Umumnya faktur terdiri dari empat rangkap, dua lembar pertama akan diambil kembali oleh PBF dan dua lembar berikutnya akan diserahkan pada pihak apotek. Setelah serah terima faktur dan SP, dilakukan pula pemeriksaan fisik, nomor batch dan tanggal kadaluarsanya. Untuk sistem pembayaran, apotek melakukan penukaran faktur dengan faktur asli ke PBF pada tanggal 5 dan 15 setiap bulannya dan menentukan tanggal pembayaran saat penukaran faktur. Dengan demikian, apotek tidak harus membayar setiap hari dan tidak terbeban dengan tanggal pembayaran yang tidak teratur. Penerimaan untuk narkotika harus dilakukan oleh petugas yang memiliki nomor izin, yaitu APA, apoteker pendamping, atau asisten apoteker. Pembayaran narkotika dilakukan

240 53 secara tunai. Setelah barang diterima sesuai dengan pesanan, kemudian untuk barang-barang OTC dilakukan pemberian label harga setelah sebelumnya dihitung terlebih dahulu sesuai harga yang tertera dalam faktur. Jika terjadi perubahan harga maka dicatat dalam buku perubahan harga dan buku harga barang apotek. Penyimpanan sediaan dilakukan berdasarkan bentuk sediaan, yaitu sediaan topikal, sediaan padat oral, dan sediaan cair oral diletakkan di tempat yang berbeda, kemudian disusun berdasarkan abjad. Sediaan padat oral yang termasuk obat generik, obat narkotika, dan obat psikotropika memiliki tempat penyimpanan masing-masing. Lemari untuk penyimpanan narkotika sudah memenuhi persyaratan, yaitu terbuat dari kayu, diletakkan menempel pada dinding agar tidak dapat dipindahkan, tidak terlihat langsung oleh pasien, dan memiliki dua buah kunci. Untuk menghindari persediaan barang yang kadaluarsa, maka digunakan sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out) dalam penjualan maupun pengeluaran barang. Pada sistem ini, barang yang lebih dahulu datang dan memiliki masa kadaluarsa lebih awal diletakkan di atas atau di bagian depan tumpukan agar digunakan terlebih dahulu. Sebagai sarana distribusi obat langsung kepada pasien, apotek Atrika melayani pelayanan obat, baik obat bebas maupun obat berdasarkan resep. Untuk obat bebas, apotek menyediakan berbagai jenis obat berbagai merek serta obatobat racikan apotek seperti obat batuk hitam (OBH). Dalam penjualan OTC, apotek Atrika melayani sesuai dengan kebutuhan dan permintaan calon pembeli. Karyawan apotek dapat memberikan beberapa altenatif pilihan barang/obat, akan tetapi keputusan pemilihan dan pembelian merupakan hak calon pembeli. Untuk pelayanan resep dimulai dari penerimaan resep oleh petugas apotek, pemberian harga, penimbangan/peracikan, pengemasan, hingga penyerahan obat. Resep yang diterima dari pasien awalnya akan ditempelkan kertas berisi tabel dengan kolom bertuliskan HTKP (Harga, Timbang, Kemas, Penyerahan) dan kolom untuk tanda tangan/paraf, kemudian resep dihitung harganya. Setelah pasien mengetahui harga dari resep tersebut, maka pasien berhak memutuskan untuk menebus seluruh obat dalam resep atau hanya sebagian saja. Resep tersebut selanjutnya dibawa ke ruang racik untuk disiapkan.

241 54 Kertas bertuliskan HTKP tersebut harus ditandatangani oleh petugas yang melakukan setiap tahap pengerjaan resep, yaitu H/Harga untuk petugas yang memberikan harga resep, T/Timbang untuk petugas yang melakukan penimbangan atau pengambilan obat, K/Kemas untuk petugas yang melakukan pengemasan dan pemberian etiket, dan P/Penyerahan untuk petugas yang menyerahkan obat tersebut kepada pasien. Terdapat dua macam kertas HTKP di apotek Atrika sebagai penandaan, yaitu kertas berwarna kuning untuk resep yang mengandung obat narkotika dan kertas berwarna putih untuk resep non-narkotika. Selain itu, untuk resep yang mengandung narkotika diberi garis bawah dengan tinta merah pada nama obat atau sediaan narkotika dan resep disimpan secara terpisah. Resep-resep yang diterima apotek Atrika disimpan dan disusun perhari sesuai nomor urut resep. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mempermudah penelusuran pengerjaan resep apabila terjadi hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dan memudahkan pengelompokan resep saat pelaporan resep narkotika diakhir bulan. Dalam kegiatan sehari-hari di apotek, terdapat kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang/obat. Saat barang/obat diterima dari PBF, dilakukan pencatatan ke dalam buku pemasukan barang meliputi tanggal penerimaan barang, nama barang, jumlah barang satuan terkecil, dan tanggal daluarsa. Pengeluaran barang/obat di apotek Atrika terjadi karena pelayanan resep maupun OTC dan pengiriman barang ke Atrika cabang. Pengeluaran barang/obat tersebut dicatat dalam buku resep, buku penjualan OTC dan buku pengiriman. Barang/obat yang diterima maupun yang dikeluarkan juga dicatat dalam kartu stok gudang dan kartu stok harian, yang terdiri dari tiga warna, yaitu warna putih untuk sediaan padat oral, warna merah muda untuk sediaan cair oral dan warna hijau untuk sediaan topikal. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencarian kartu saat dilakukan pencatatan barang/obat yang masuk maupun yang keluar. Setiap pagi atau malam hari dilakukan pengecekan oleh karyawan mengenai jumlah/sisa barang/obat yang tertera dalam kartu stok harian dengan persediaan yang ada dalam lemari penyimpanan untuk membuktikan data barang/obat yang ada dalam kartu sesuai dengan kenyataannya. Di samping itu, pencatatan persediaan juga

242 55 dilakukan dengan sistem komputerisasi. Akan tetapi, saat ini sistem tersebut masih dalam perbaikan sehingga belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dari berbagai kegiatan yang telah dilakukan di apotek Atrika, disusun pelaporan sebagai pertanggungjawaban dari kegiatan yang telah dilakukan. Salah satu pelaporan yang dilakukan, yaitu pelaporan penggunaan obat narkotika dan psikotropika. Pelaporan ini dilakukan setiap bulan sebelum tanggal 10 kepada Suku Dinas Jakarta Pusat. Dalam pelaporan tersebut tertera nama obat, nama PBF, saldo awal obat, saldo akhir obat,dan penggunaan obat (Lampiran 7 dan Lampiran 9). Obat golongan narkotika dan psikotropika yang rusak maupun telah kadaluarsa dimusnahkan sesuai ketentuan yang berlaku. Akan tetapi, pemusnahan obat narkotika dan psikotropik jarang dilakukan di apotek Atrika karena penyediaan obat-obat tersebut dilakukan dengan cermat sehingga mencegah adanya obat kadaluarsa sebelum terjual. Dari segi kewirausahaan, apotek Atrika selalu berusaha meningkatkan penjualan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal itu didukung dengan adanya hubungan kerjasama yang senantiasa dijaga dengan baik oleh apotek Atrika terhadap apotek pesaing maupun dengan dokter. Sebagai contoh, apabila suatu obat tidak tersedia di apotek Atrika, maka apotek dapat berusaha memperolehnya dari apotek lain. Selain itu, apotek Atrika telah melakukan pelayanan dengan baik, di antaranya pelayanan resep yang cepat dan tepat yang didukung dengan pemberian informasi obat kepada pasien. Akan tetapi, kegiatan konseling di apotek Atrika belum berjalan dengan baik atau masih jarang dilakukan.

243 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Apoteker di apotek memiliki tugas, fungsi dan peran yang sangat penting dalam mengelola semua kegiatan yang berlangsung di apotek, mencakup pengelolaan teknis kefarmasian maupun pengelolaan non teknis kefarmasian. Kegiatan teknis kefarmasian meliputi pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian mulai dari perencanaan, pemesanan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian/pelayanan, pencatatan persediaan, dan pelaporan, sedangkan kegiatan non teknis kefarmasian meliputi administrasi keuangan, personalia, dan administrasi lainnya. Tugas dan tanggung jawab apoteker serta sistem manajemen dan administrasi di Apotek Atrika secara keseluruhan telah dilaksanakan dengan baik Saran Untuk meningkatkan pelayanan dan menjamin keberhasilan terapi, Apotek Atrika sebaiknya mulai memberikan pelayanan di rumah (home care) kepada pasien karena Apotek Atrika sudah menjalankan sistem delivery pada distribusi obat. Selain itu sebaiknya Apotek Atrika juga meningkatkan intensitas konseling atau menyediakan leaflet/brosur yang berisi informasi mengenai cara pakai obat atau mengenai penyakit dan pengobatannya, terutama penyakitpenyakit ringan yang dapat diobati sendiri melalui swamedikasi, sebagai sarana edukasi dan promosi bagi masyarakat. 56

244 DAFTAR ACUAN Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2006). Kebijakan Obat Nasional (KONAS). Jakarta. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DEPKES RI. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2006). Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DEPKES RI. Ikatan Apoteker Indonesia. (2010). Standar Kompetensi Apoteker. Jakarta: Ikatan Apoteker Indonesia. Kementerian Kesehatan. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MENKES/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (1997). Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/Menkes/Per/I/1978 Tentang Tata Cara Penyimpanan Narkotika. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (2003). Indikator Indonesia Sehat dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/ Kota Sehat : 57

245 58 Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standard Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta. Quick, J. (1997). Managing Drug Supply, The selection, Procurement, Distribution, and Use of Pharmaceuticals, 2nd ed Revised and Expanded. Kumarian Pers. Seto, S., Yunita, N., & T, L. (2004). Manajemen Farmasi. Jakarta : Airlangga University Pers. Umar, M. (2011). Manajemen Apotek Praktis. Jakarta : Wira Putra Kencana Undang-Undang Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia. (2009a). Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia. (2009b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta.

246 LAMPIRAN

247 59 Lampiran 1. Peta lokasi Apotek Atrika [Sumber: Holtrof, 2003, telah diolah kembali ]

248 60 Lampiran 2. Denah ruangan Apotek Atrika Rak obat generik Meja komputer Lemari narkotika dan psikotropika Rak obat ethical oral solid Meja kerja Meja racik Rak obat ethical oral solid (atas) dan liquid (bawah) Rak obat ethical topikal Meja kartu stok dan buku-buku Rak obat ethical oral solid Meja Rak obat OTC liquid Rak obat OTC liquid dan topikal Rak obat konsinyasi Kasir Counter obat OTC solid Counter obat OTC solid

249 61 Lampiran 3. Struktur organisasi Apotek Atrika Apoteker Pengelola Apotek (APA) Pemilik Sarana Apotek (PSA) Apoteker Pendamping Asisten Apoteker Juru Resep Kasir Kurir

250 62 Lampiran 4. Alur penanganan resep Penerimaan resep Resep kredit Resep tunai Pemeriksaan kelengkapan administrasi Pemberian harga Pasien mendapat nomor urut resep Pasien mendapat nomor resep dan membayar di kasir Bagian peracikan Obat jadi Obat racikan Pemberian etiket dan salinan resep Pemeriksaan kesesuaian obat Penyerahan obat Obat diterima pasien Resep disimpan oleh apotek

251 63 Lampiran 5. Surat pesanan Apotek Atrika

252 64 Lampiran 6. Surat pesanan narkotika

253 65 Lampiran 7. Laporan penggunaan narkotika LAPORAN PENGGUNAAN NARKOTIKA Nama Apotek : Atrika Form : Alamat dan Telepon : Jalan Kartini Raya No. 34 A Jakarta Pusat Lembar : , Bulan : Tahun : PEMASUKAN PENGGUNAAN Saldo Nama Satuan Awal Dari Jumlah Untuk Jumlah Saldo Akhir Codein 10 mg Tablet Codein 20 mg Tablet Codipront Cum Exp Kapsul Codipront Syrup Tablet Tablet Kapsul Botol

254 66 Lampiran 8. Surat pesanan psikotropika

255 67 Lampiran 9. Laporan penggunaan psikotropika LAPORAN PENGGUNAAN PSIKOTROPIKA Nama Apotek :Atrika Form : Alamat dan Telepon : Jalan Kartini Raya No. 34 A Jakarta Pusat Lembar : , Bulan : Tahun : PEMASUKAN PENGGUNAAN Nama Satuan Saldo Awal Dari Jumlah Untuk Jumlah Saldo Akhir Alganax 1 mg Apisate Tab Ativan 0.5 mg Ativan 2 mg Braxidin Tab Danalgin Tab Esilgan 1 mg Esligan 2 mg Frisium 10 mg Luminal 30 mg Spasmium 5 mg Tab Valisanbe 5 mg Tab Xanax 0.25 mg Tab Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet

256 68 Lampiran 10. Kartu stok besar Apotek Atrika a. Kartu stok besar untuk sediaan solid b. Kartu stok besar untuk sediaan semisolid c. Kartu stok besar untuk sediaan liquid

257 69 Lampiran 11. Kartu stok kecil Apotek Atrika a. Kartu stok kecil untuk sediaan solid b. Kartu stok kecil untuk sediaan semisolid c. Kartu stok kecil untuk sediaan liquid

258 70 Lampiran 12. Salinan resep Apotek Atrika

259 71 Lampiran 13. Etiket Apotek Atrika

260 72 Lampiran 14. Faktur pengiriman barang ke cabang Apotek Atrika

261 73 Lampiran 15. Kuitansi Apotek Atrika

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT SOHO INDUSTRI PHARMASI DI APOTEK ATRIKA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANITA HASAN,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI PT. ETERCON PHARMA DI APOTEK KIMIA FARMA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ANATRIA KHOLIYAH,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALANKESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DITJEN BINFAR DAN ALKES KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JL. H.R. RASUNA SAID

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA LAPORAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI

UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. APRILYA TRI SUSATI, S.Farm AGKATA LXXVI UIVERSITAS IDOESIA LAPORA PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BIA PRODUKSI DA DISTRIBUSI KEFARMASIA DIREKTORAT JEDERAL BIA KEFARMASIA DA ALAT KESEHATA KEMETERIA KESEHATA REPUBLIK IDOESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER. YUDHO PRABOWO, S.Farm ANGKATAN LXXIII UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. No.585, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1144/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang penting dan menjadi hak semua orang. Kesehatan yang dimaksud tidak hanya sekedar sehat secara fisik atau jasmani, tetapi juga secara mental,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai tindak lanjut

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL (RSUPN) Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 50 BOGOR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK KIMIA FARMA MENTENG HUIS JALAN CIKINI RAYA NO. 2 JAKARTA PUSAT PERIODE 13 FEBRUARI 22 MARET 2012 LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT KERJA DI LINGKUNGAN LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN ACEH, SUMATERA UTARA, RIAU,

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 No.206, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan.

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan. KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT dan atas berkat dan karunianya Buku Laporan Tahunan Pelaksanaan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK SURAT PENGESAHAN NOMOR SP DIPA--0/AG/2014 DS 0221-0435-5800-5575 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 23 Tahun

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 106 TAHUN 2016 TAHUN TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BALAI PEMERINTAHAN DESA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

2017, No Kebudayaan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat. Mengingat : 1. Un

2017, No Kebudayaan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat. Mengingat : 1. Un No.225, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDIKBUD. BP-PAUD dan Dikmas. Orta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI DAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELANYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN DIREKTORATT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang salah satunya adalah kesehatan. Pengertian dari kesehatan tidak hanya sebatas sehat secara jasmani dan rohani, namun sehat

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 216 MOR SP DIPA-24.-/216 DS634-9258-3394-618 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 1 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No.

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 220/MENKES/SK/VI/2013 TENTANG TIM BINAAN WILAYAH BIDANG KESEHATAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 220/MENKES/SK/VI/2013 TENTANG TIM BINAAN WILAYAH BIDANG KESEHATAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 220/MENKES/SK/VI/2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 DENGAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DI APOTEK SAFA DI PT. TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA, TBK LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

2016, No Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016, No Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.210, 2016 KEMEN-LHK. Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Orta. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/OTL.0/1/2016

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta. Organisasai. Tata Kerja.

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta. Organisasai. Tata Kerja. No.2, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta. Organisasai. Tata Kerja. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2009 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1652, 2014 KEMENDIKBUD. Mutu Pendidikan. Aceh. Sumatera Utara. Riau. Jambi. Sumatera Selatan. Kepulauan Bangka Belitung. Bengkulu. Lampung. Banten. DKI Jakarta. Jawa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 439/MENKES/PER/VI/2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/XI/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KESEHATAN MENTERI

Lebih terperinci

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.13/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43/M-DAG/PER/11/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG KEMETROLOGIAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

2011, No Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

2011, No Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang No.168, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Organisasi. Tata Kerja. Perubahan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot No.906, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Kefarmasian. Puskesmas. Standar Pelayanan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 216 MOR SP DIPA-24.1-/216 DS771-654-627-359 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No.

Lebih terperinci

TUGAS DAN FUNGSI BIRO, BAGIAN, DAN SUBBAGIAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA. No BIRO BAGIAN SUB-BAGIAN

TUGAS DAN FUNGSI BIRO, BAGIAN, DAN SUBBAGIAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA. No BIRO BAGIAN SUB-BAGIAN TUGAS DAN FUNGSI BIRO, BAGIAN, DAN SUBBAGIAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA No BIRO BAGIAN SUB-BAGIAN 1 Biro Perencanaan dan Data 1. Bagian Program dan Anggaran Menyusun rencana, program, anggaran,

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1012, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Orta. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 86 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN: BAB I KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI. Bagian Kesatu Kedudukan, Tugas dan Fungsi. Pasal 1

- 2 - MEMUTUSKAN: BAB I KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI. Bagian Kesatu Kedudukan, Tugas dan Fungsi. Pasal 1 - 2-5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82); 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT

Lebih terperinci