Bab 5. Ringkasan Skripsi. Kebudayaan merupakan bagian dari identitas diri suatu negara. Kata kebudayaan

Transkripsi

1 Bab 5 Ringkasan Skripsi Kebudayaan merupakan bagian dari identitas diri suatu negara. Kata kebudayaan sendiri memiliki arti sebagai pedoman yang menyeluruh bagi kehidupan masyarakat yang memiliki budaya tersebut. Kebudayaan lahir dari total pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Di dalam konsep kebudayaan tersebut mencakup tujuh unsur universal, yakni; sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan. Salah satu bagian dari sebuah kebudayaan adalah religi. Religi terdiri dari empat komponen, yaitu emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, dan umat. Keempat komponen tersebut terjalin erat dan menjadi suatu sistem yang utuh. Salah satu aspek dari religi adalah ritual. Ritual adalah segala sesuatu yang dihubungkan dengan upacara keagamaan. Oleh karena itu, ritual erat kaitannya dengan sebuah upacara menurut agama dan kepercayaan tertentu. Upacara ritual atau yang dikenal sebagai ritus, memiliki motif untuk mendapatkan berkah atau rezeki sebagai tujuan pelaksanaannya. Bangsa Jepang merupakan bangsa yang memiliki minat yang sedikit terhadap agama dan upacara serta ritual yang ada di dalamnya. Hal ini terlihat pada karakteristik orang Jepang, bahwa mereka sering kali turut serta dalam suatu upacara keagamaan, tetapi setelah upacara tersebut berakhir maka kehidupan normal mereka kembali seperti biasa tanpa ada keterkaitan pada upacara tersebut. Teori di dalam Nipponkyo menjelaskan bahwa nilai sakral Ketuhanan dan segala sesuatu yang di bawahinya merupakan anggota 49

2 dari masyarakat Jepang, dan keharmonisan di antaranya harus saling terjaga. Terdapat tujuh ciri-ciri umum yang menggambarkan pandangan tentang keagamaan orang Jepang, yaitu; pengaruh timbal balik yang berarti tidak hanya bermacam-macam agama bercampur baur, tetapi orang Jepang dan keluarga berpartisipasi dalam ritual dalam sejumlah tradisi agama, kedekatan antara manusia, Tuhan dan alam, arti penting keagamaan terhadap keluarga dan leluhur, penyucian sebagai prinsip dasar kehidupan keagamaan, pentingnya festival (matsuri) sebagai perayaan utama keagamaan, pembagian ke dalam musim, terdapat sebuah hubungan yang dekat antara agama dengan negara. Ketujuh ciri-ciri tersebut terdapat di dalam Shinto, yang merupakan terapan yang mendasar dalam keagamaan Jepang. Shinto merupakan kepercayaan yang mengacu pada animisme dan dipercaya merupakan agama asli bangsa Jepang. Shinto dipandang sebagai kepercayaan asli masyarakat Jepang, ada sejak masa prasejarah sampai masa sekarang. Shinto secara harafiah memiliki arti jalan ketuhanan dan merupakan kepercayaan terhadap kami (dewa bagi orang Jepang). Kami dalam Shinto adalah kualitas pertumbuhan, kesuburan, dan produktivitas; fenomena alam, seperti angin, dan guntur; objek alam, seperti matahari, gunung, sungai, pohon dan batu karang ; beberapa binatang ; dan roh-roh leluhur. Shinto menanggung kepercayaan primitif, termasuk pemujaan terhadap alam dan hal-hal yang tabu terhadap kegare (kekotoran). Ada tiga aspek utama dalam ajaran Shinto, yaitu; (1) pertalian terhadap alam, (2) keharmonisan dengan kami, (3) ritual penyucian. Ritual utama dalam Shinto adalah upacara penyucian atau biasa disebut dengan oharai. Kekotoran tersebut dapat timbul melalui berbagai cara, yakni; karena adanya kontak dengan kekotoran secara fisik, penyakit maupun penyakit yang diberikan oleh kami sebagai hukuman atas suatu kesalahan, atau yang disebabkan oleh roh jahat. 50

3 Segala jenis kekotoran tersebut harus dihilangkan dengan ritual penyucian. Selain itu, kekotoran yang disebutkan di atas berkaitan erat dengan tsumi dan oni. Tsumi memiliki makna yang luas termasuk polusi, penyakit, dan bencana, aksi atau tindakan tertentu, situasi, atau suatu keadaan yang tidak diundang dapat menyababkan kekotoran, sedangkan oni merupakan sosok roh jahat atau jin yang datang dari dunia lain ke dunia manusia, serta dapat membawa bencana atau berkah. Berdasarkan kepercayaan tentang karakter oni, konsep oni dapat dibagi menjadi dua jenis utama: (1) roh jahat atau kami yang bersifat jahat, (2) oni sebagai kami yang bersifat baik. Dalam semua upacara menurut kepercayaan Shinto, melibatkan empat elemen di dalamnya, yaitu; harai (penyucian), shinsen (persembahan), norito (doa), dan naorai (pesta simbolik). Oharai sendiri memiliki tiga bentuk dasar, yakni; harai, misogi, dan imi. Penyucian dapat dilakukan oleh para umat ataupun oleh pendeta. Para pendeta melakukan banyak macam ritual penyucian sepanjang tahun, salah satunya adalah yakubarai. Yaku-barai merupakan upacara untuk menentramkan kami yang membawa masalah, atau penyucian seseorang untuk menghindari tahun yang kerap kali terjadi bencana. Kadang-kadang diterjemahkan juga sebagai pengusiran roh jahat. Terdapat juga pengertian yaku-doshi, yang berkaitan dengan yaku-barai. Yaku-doshi adalah definisi tahun yang penuh ketidakberuntungan dalam kehidupan dewasa. Selain itu, terdapat juga benda-benda atau peralatan yang dianggap suci dalam Shinto, misalnya; gohei, tombak, pedang, sakaki, hiiragi. Sebagai aspek Shinto yang sampai sekarang masih berkelanjutan, festival sangat terkenal di dalam masyarakat Jepang saat ini. Festival disebut juga matsuri. Dalam bahasa Jepang, matsuri memiliki arti sebagai festival masyarakat setempat dan kegiatan keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Festival di Jepang dapat digolongkan menjadi 51

4 dua kategori besar; matsuri (pesta rakyat), dan nenchū gyōji (hari raya tahunan). Matsuri merupakan folklor Jepang asli yang berhubungan dengan Shinto, yang dilakukan setiap tahun pada tanggal-tanggal tertentu. Sedangkan nenchū gyōji termasuk festival berskala lebih besar yang dilaksanakan setiap tahun dan berhubungan dengan musim, dan banyak di antaranya berasal dari folklor Cina dan Buddha. Terdapat beberapa jenis matsuri di Jepang, misalnya; matsuri untuk memohon kepada para kami agar panen berhasil, untuk memanjatkan rasa terima kasih kepada kami, dan untuk mengusir bencana atau penyakit. Matsuri memiliki dua aspek besar di dalamnya. Aspek pertama mencakup harai (penyucian) dan monoimi (penyucian diri), shinsen (persembahan), dan naorai (pesta sombolik). Aspek kedua, yakni komunikasi dengan para handai taulan dalam menikmati hiburan dan keramaian yang diadakan selama berlangsungnya matsuri. Salah satu matsuri yang terkenal di Jepang adalah Setsubun. Setsubun adalah matsuri yang memiliki tujuan untuk mengusir roh jahat dan menyambut datangnya musim semi dengan memanjatkan doa agar panen dapat berhasil pada tahun tersebut. Setsubun dilaksanakan setiap tanggal tiga atau empat Febuari. Arti Setsubun secara luas adalah pergantian musim yakni pada hari pertama datangnya musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Namun, Setsubun pada zaman sekarang hanya dirayakan pada satu hari sebelum memasuki awal musim semi (risshun). Pada hari Setsubun, berbagai macam upacara dan ritual diadakan di setiap kuil Shinto. Upacara yang umum dilaksanakan adalah Mame-maki. Mame-maki adalah upacara pelemparan kacang dengan tujuan untuk mengusir roh jahat yang dipercaya dapat membawa penyakit, bencana, malapetaka, dan segala bentuk ketidakberuntungan lainnya. Pelemparan kacang biasanya dilakukan oleh orang yang lahir pada shio atau zodiak Cina di mana tahun tersebut berlangsung (toshi otoko). Upacara Mame-maki bermula dari upacara 52

5 Tsuina. Upacara Tsuina merupakan upacara yang berasal dari upacara Zhui Nuo dari negara Cina pada zaman Dinasti Zho. Kemudian upacara ini diadopsi Jepang pada pertengahan abad ke-9. Upacara Tsuina juga merupakan salah satu upacara yang dilaksanakan di beberapa kuil Shinto di Jepang. Tsuina memiliki tujuan yang sama dengan upacara Mame-maki, yakni; mengusir pengaruh jahat dari oni yang dianggap sebagai roh jahat. Pengaruh Shinto yang terdapat pada upacara Mame-maki yakni ditemukan pada unsur-unsur penting upacara menurut kepercayaan Shinto, yaitu; harai, shinsen, norito, dan naorai, beberapa benda atau alat yang digunakan yang memiliki pengaruh Shinto di dalamnya. Upacara pelemparan kacang dan ritual panahan yang dilaksanakan sebelum upacara pelemparan kacang, termasuk kedalam jenis ritual yaku-barai, yakni ritual penyucian yang bertujuan untuk menentramkan kami yang membawa pengaruh buruk atau lebih sering disebut dengan pengusiran roh jahat. Roh jahat yang dimaksud adalah oni yang merupakan jenis kami yang membawa malapetaka dan segala bentuk ketidakberuntungan. Oleh karena itu, perlu diadakan ritual penyucian (harai) untuk menjauhkan segala pengaruh buruk yang dibawa oleh oni. Pengaruh buruk tersebut dapat dikatakan juga sebagai kekotoran (tsumi). Yang disebut dengan kekotoran adalah penyakit, baik itu penyakit yang disebabkan karena hukuman yang diberikan kami, kekotoran karena terkontak secara fisik, dan pengaruh buruk yang dibawa oleh roh jahat. Mame yang digunakan pada upacara utama, serta busur (hamaya) dan anak panah (hamayumi) yang digunakan pada ritual panahan, juga mendapat pengaruh Shinto di dalamnya. Sebelum pelaksanaan upacara Mame-maki, dipersembahkanlah beberapa objek seperti; gohei, mame, sake, dan anak panah (hamayumi) di atas meja altar dengan tujuan 53

6 untuk dipersembahkan kepada kami. Dalam penggunaan objek-objek tersebut, terkandung pula pengaruh unsur-unur Shinto di dalamnya. Pada saat melempar kacang, disertai juga dengan meneriakkan Oni wa soto!, Fuku wa uchi!, yang mengandung arti Keluarlah roh jahat!, Masuklah keberuntungan!. Dengan diteriakkannya kata-kata tersebut, maka dipercaya bahwa selama satu tahun teresebut akan dijauhkan dari oni yang membawa pengaruh buruk. Hal ini menyatakan bahwa, terdapat pengaruh unsur Shinto pada penyebutan kata-kata tersebut, yakni unsur norito (doa). Pada sesi terakhir upacara Mame-maki, setelah pelemparan kacang di berbagai kuil para peserta upacara akan dibagikan sake, mochi, teh, dan mame, bahkan anak panah (hamayumi) untuk di persembahkan di kamidana, umtuk dimakan dan dibawa pulang untuk dibagikan kepada anggota keluarga yang lain. Hal ini merupakan tindakan naorai menurut Shinto. Berdasarkan analisa yang telah dijabarkan pada bab tiga, maka dapat disimpulkan bahwa memang benar terdapat pengaruh unsur-unsur Shinto pada upacara Mame-maki yang dilaksanakan di jinja. 54