MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 61/PUU-XI/2013

Transkripsi

1

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 61/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden [Pasal 27 ayat (1 )], dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 19 ayat(1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Taufiq Hasan ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Selasa, 25 Juni 2013, Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Achmad Sodiki (Ketua) 2) Arief Hidayat (Anggota) 3) Muhammad Alim (Anggota) Achmad Edi Subiyanto Panitera Pengganti

3 Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Taufiq Hasan

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: ACHMAD SODIKI Sidang Perkara Nomor 61/PUU-XI/2013, dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. Baik, saya persilakan Saudara Pemohon untuk mengenalkan diri terlebih dahulu. 2. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Assalamualaikum wr. wb. 3. KETUA: ACHMAD SODIKI Waalaikumsalam. 4. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Yang terhormat, Yang Mulia Hakim Konstitusi. Juga Para Hadirin yang berbahagia. Sebelumnya akan kami perkenalkan, kami Pemohon, Nama Taufik Hasan berasal dari Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Kami mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif ini atas inisiatif pribadi, tidak terkait dengan partai politik, lembaga negara, ataupun LSM. Terima kasih, Pak Ketua. 5. KETUA: ACHMAD SODIKI Baik, silakan Saudara memaparkan singkat, tapi jelas tentang permohonan Saudara ini. 6. PEMOHON: TAUFIQ HASAN KETUK PALU 3X Terima kasih, Yang Mulia. Permohonan Pengujian Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif, yakni yang kami ajukan permohonan pengujiannya yaitu Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dan Pasal 19 ayat (1) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan dewan... sebentar, Yang Mulia, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPD.

5 Ada pun bunyi Pasal yang kami ajukan permohonannya, yaitu yang berbunyi, Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah atau pernah kawin mempunyai hak memilih. Bunyi pasal tersebut menurut Pemohon telah menimbulkan salah tafsir mengenai kedudukan hukum masalah hak memilih, begitu juga terjadi kerancuan karena selama ini telah timbul pemahaman bahwa menggunakan hak pilih itu disamakan dengan memilih. Sehingga kalau ada orang ditanya, kapan waktu memilih pada waktu pemilihan umum? Maka mereka akan menjawab bahwa waktunya adalah pada hari H pemungutan suara. Begitu juga kalau ditanya, di mana tempat melakukan pemilihan itu? Maka rakyat akan menjawab bahwa tempatnya adalah di TPS. Nah, jawaban ini sesungguhnya terjadi atau terucap dari kesalahpahaman yang tidak bisa membedakan antara memilih dan menggunakan hak pilih. Jadi mereka kira bahwa di TPS itu tempat memilih dan pada hari H itu adalah hari waktunya memilih, padahal yang terjadi di kenyataan di lapangan tidak semacam itu. Bahwa pada hari H pemungutan suara itu bukan waktunya memilih, tetapi waktu menggunakan hak pilih. Begitu juga di TPS, di TPS itu bukan tempat memilih, tapi tempat menggunakan hak pilih karena kenyataannya ketika orang masuk TPS mereka itu sudah punya pilihan sendiri-sendiri dan pilihan itu sudah mereka kantongi dalam hati, sehingga di TPS itulah kemudian mereka mencoblos atau menggunakan hak pilihnya. Jadi, menurut Pemohon perbedaan ini sangat prinsip sekali karena menyangkut nanti hukum yang berkaitan dengan keduanya tersebut. Adapun menghukumi mencoblos sebagai hak asasi itu tentu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun Wujud dari bertentangan tersebut dapat kita ketahui, yang pertama bahwa mencoblos itu dibatasi umur 17 tahun dan atau sudah pernah kawin atau menikah. Nah, dari pembatasan ini sudah dapat kita ketahui bahwa mencoblos itu bukan hak asasi. Karena dalam Undang-Undang Hak Asasi disebutkan bahwa hak asasi itu adalah hak yang melekat pada diri manusia yang itu sudah dimiliki sejak dalam kandungan, bukan hak yang diberikan ketika usia 17 tahun. Dan kalaupun apa itu mencoblos itu merupakan hak asasi, tentunya menimbulkan konsekuensi, yakni seluruh masyarakat mempunyai hak mencoblos. Karena hak asasi itu tidak boleh dibatasi dengan umur dan perkawinan. Dalam Undang-Undang HAM disebutkan, juga dalam Undang- Undang Dasar Tahun Bahwa pembatasan yang boleh dilakukan terhadap hak asasi itu adalah semata-mata untuk menghormati atau membatasi hak asasi orang lain. Sebagaimana dalam Pasal 28J ayat (2), di situ menyebutkan bahwa pembatasan undang-undang terhadap hak asasi, itu semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak asasi orang lain. Padahal, dalam Undang-Undang Pemilu,

6 pembatasan usia 17 tahun dan/atau sudah pernah kawin itu dimaksudkan bukan untuk membatasi hak asasi orang lain, tetapi dimaksudkan pada usia tersebut rakyat itu sudah dianggap dewasa. Jadi, untuk membedakan antara anak-anak dan usia dewasa. Sehingga, konsekuensinya ketika manusia sudah berusia dewasa, maka dia tentu punya kewajiban, tidak lagi seperti anak-anak. Nah, salah satu kewajiban dalam berbangsa dan bernegara tentu berkewajiban untuk menentukan arah negara ini pada waktu-waktu yang akan datang, terutama pada lima tahun yang akan datang dengan cara mengikuti pemilihan umum. Terus! Bahwa pencoblos itu bukan termasuk bukan hak asasi juga dapat kita ketahui dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 22E ayat (2), yang di situ menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, presiden, wakil presiden, juga DPR, dan DPD, itu adalah bentuk-bentuk kekuasaan yang wajib ada di negara kita ini, tidak boleh tidak ada. Nah, secara logika, sesuatu yang wajib ada, itu pasti cara untuk mengadakannya pun juga menjadi wajib. Karena tidak mungkin kalau sesuatu yang wajib diadakan tapi caranya tidak wajib, itu sesuatu yang tidak mungkin. Kemudian, juga dapat kita ketahui bahwa pemilihan umum itu adalah untuk menciptakan suatu bentuk pemerintahan. Yang mana, pemerintahan tersebut diharapkan dapat melindungi atau menjamin tegaknya hak-hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang Hak Asasi Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia. Sedangkan, pemilu itu adalah untuk memilih pemimpin. Karena tidak mungkin hak asasi manusia atau hak asasi rakyat ini akan tegak di negara ini tanpa adanya pemimpin. Begitu juga, dapat kita ketahui bahwa Pasal 69 ayat (1) Undang- Undang Hak Asasi Manusia, di situ menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia, orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari ini juga dapat kita ketahui bahwa pemilihan umum itu wajib dilakukan atau diikuti oleh seluruh rakyat yang sudah memenuhi syaratsyarat yang ditentukan oleh undang-undang karena untuk menciptakan tata tertib dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin sekian dulu, Yang Mulia.

7 7. KETUA: ACHMAD SODIKI Ya, baiklah. Saudara telah memaparkan maksud Saudara mengajukan pengujian Pasal 27 ayat (1) Undang -Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan Pasal 19 ayat (1) Undang -Undang Nomor 8 Tahun Majelis akan memberikan beberapa pandangan, barangkali juga saran untuk perbaikan dari permohonan ini ya, yaitu konstruksi dari permohonan Saudara ini barangkali lebih cermat melihat dari hal-hal yang sudah pernah diputus di Mahkamah di sini, ya diulang lagi. Karena bisa dilihat dari internet atau dari mana ya, cara melihat dari sana, juga tentang hal-hal yang berkaitan dengan permohonan Saudara ini. Di dalam petitum pasal halaman 11 misalnya begitu, ini Saudara mohon apa ini ya? Ini Pasal 27 ayat (1) dan seterusnya selain Pasal 19 ayat (1) undang-undang ini-ini adalah tidak jelas dan menimbulkan tafsir yang tidak benar ya. Ini mestinya apa yang Saudara inginkan, ya. menyatakan yang kedua ya. Ini mau diapakan ini? Mau diminta dibatalkan? Dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau bagaimana? 8. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Itu maksud Pemohon itu seperti yang petitum Nomor 5, Yang Mulia. Jadi ( ) 9. KETUA: ACHMAD SODIKI Bahwa bunyi ( ) 10. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Ada perubahan, diubah pasalnya. 11. KETUA: ACHMAD SODIKI Akan direvisi menjadi lah ini, ini yang Mahkamah itu hanya bisa menyatakan antara lain yaitu tadi, membatalkan pasal kalau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau menyatakan bahwa pasal itu bertentangan secara bersyarat misalnya begitu. Jadi Mahkamah tidak berhak untuk mengubah, merevisi dari pasal itu. Kalau itu Pasal 27 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) itu bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 karena menimbulkan salah tafsir, itu Saudara dimohon begitu, dibatalkan kan gitu.

8 12. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Terima kasih, Majelis. 13. KETUA: ACHMAD SODIKI Ya. Tapi ya itu tadi, kalau itu dibatalkan, lalu bagaimana yang dari bunyi Pasal 27 itu tadi, konsekuensi dari pembatalan ini? Ya, konsekuensi dari permohonan pembatalan ini kan juga lalu barangkali juga akan menjadi masalah karena kalau dibatalkan lalu tidak ada ketentuan warga negara yang pada hari pemungutan suara belum 17 tahun atau lebih itu boleh memilih, itu kan ada. Lalu tambah ndak karu-karuan lho itu, tambah ndak ada kepastian kalau itu dibatalkan. Artinya pasal itu lalu ndak ada, kan gitu. Lalu Saudara yang ada pilihan kedua, barangkali itu mohon dibatalkan dengan syarat seperti yang Saudara maksud tadi ya. Itu namanya artinya bahwa Pasal 27 ini harus dibaca seperti apa ya? Itu tidak bertentangan dengan konstitusi asalkan dimaknai begini, begini, begini, begitu. 14. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Ya, terima kasih. 15. KETUA: ACHMAD SODIKI Perbaikan itu ya. Lalu yang... ya saya kira terus seterusnya itu ya. Seperti yang nomor 3 itu menyatakan menghukumi partisipasi dalam pemilu karena hak asasi. Ini juga tidak mempunyai kewenangan seperti itu, kita tidak berhak untuk membuat pasal karena yang membuat pasal itu legislator yaitu DPR dan Presiden. Yang keempat juga begitu, menyatakan bahwa memilih hak asasi sedangkan menggunakan hak pilih itu merupakan kewajiban hak asasi. Ini tidak lazim seperti apa itu, putusan yang begitu itu. Jadi seterusnya itu Saudara review sendiri ya sampai 6, 7 karena kewajiban partisipasi dan sebagainya itu. Nah, kalau kemudian Saudara menganalisis ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28J misalnya ya misalnya, Dalam menjalankan hak kewajiban, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar Jadi melakukan memilih Pasal 27 itu tapi itupun Anda tunduk pada pembatasan undang-undang, undang-undangnya membatasi itu dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan serta pengumatan dan hak kebebasan orang lain. Masih ada kelanjutannya, Dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama. Kalau Saudara katakan sejak lahir sudah punya hak asasi, bagaimana

9 mungkin dia melakukan itu kalau dia masih bayi? Nah, itu ketentuan undang-undang itu pasal memberikan batasan umur itu juga ada pertimbangan bahwa dia sudah dewasa untuk sudah balig. Artinya sudah bisa membedakan antara yang benar dan salah, sekalipun itu hak asasi. Itu berarti ketentuan perundang-undangan yang memberikan hak asasi itu toh ada diatur lagi supaya bagaimana dengan pertimbangan moral, bagaimana dengan nilai agama, keamanan, ketertiban umum dia sendiri kan enggak bisa nyoblos kalau belum berumur ya toh. Dia belum boleh dia masih menyusu belum butuh pemilu dia sebetulnya sekalipun hak asasinya. Ini argumentasi begitu Saudara Saudara perkuat Saudara perkuat supaya Saudara yang menyatakan begitu pembatasan demikian ini menimbulkan pemahaman yang tidak nyambung secara logika ini Saudara katakan ini itu tadi tidak boleh dibatasi ini Saudara harus nyambung juga argumentasi Saudara itu gitu lho. Ini Saudara harus lihat dari sisi Saudara ini. Ini dua hal. Ini saya persilakan Bapak Alim. 16. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih, Pak Ketua. Saudara Pemohon ini Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 itu sama persis redaksinya dengan Pasal 19 ayat (1) Undang -Undang Nomor 8 Tahun Jadi jangan mestinya di halaman 5 paling atas itu coba lihat permohonan Saudara halaman 5 paling atas itu tidak usah pakai dan jadi Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sama dengan Pasal 19 ayat (1) karena saya lihat tadi persis sama redaksinya satu kata pun tidak ada yang berbeda toh begitu toh. Nah jadi jangan pakai dan, kalau dan itu seolah-olah ada suatu pasal lain yang lain padahal meskipun lain pasalnya, lain undang-undangnya, tetapi redaksinya persis sama kan gitu. Jadi mestinya Saudara bahwa berlakunya Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 sama dengan Pasal 9 ayat (1) ( suara tidak terdengar jelas) kan begitu toh ini sama persis bunyinya ini. Ya, oke. Kemudian masih di angka angka 5 dan pasal halaman 5 itu kata ayat kalau di dalam penulisan yang benar itu tidak boleh huruf besar. Jadi ayat Pasal 27 ayat (1) itu huruf a-nya itu enggak usah huruf besar, huruf kecil saja. Kemudian banyak sekali kesalahan tulisan Saudara, ini di halaman masih halaman 5 baris kelima itu dari atas angka 5 itu menimbulkan kesalahan pahaman kesalahpahaman itu dan ditulis bersambungan berhubungan. Jadi menimbulkan kesalahpahaman itu ini kesalahan pahaman salah menurut bahasa Indonesia. Berskala nasional juga tidak usah huruf besar, huruf kecil saja seterusnya. Baris baris keenam penafsiran yang berkembang di masyarakat dan bangsa-bangsa itu enggak usah huruf besar, huruf kecil saja. Itu partisipasi dalam pemilu cuma sebagai hak saja. Jadi Saudara dalam petitum Saudara mengatakan pastisipasi sekalian hak sekaligus kewajiban kan gitu

10 menurut Saudara ya toh. Jadi supaya jangan rugi negara menurut Saudara dalam permohonan ini jadi sekali itu adalah haknya untuk mencoblos memilih sekaligus kewajiban dia memilih supaya jangan banyak yang golput begitu, begitu menurut Saudara toh? 17. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Menurut kami ( ) 18. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya kan begitu menurut permohonan ini, ya toh? 19. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Menggunakan hak pilih yang wajib yang ( ) 20. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya menggunakan hak jadi hak pilih itu merupakan hak sekaligus kewajiban karena wajib toh, makanya itu kan coba lihat Saudara punya apa petitum ya, itu di petitum Saudara sudah jelas menyatakan itu wajib, ini lho angka 4 menyatakan bahwa memilih adalah hak asasi warga negara sedangkan menggunakan hak pilih atau berpartisipasi dalam pemilihan atau mencoblos adalah suatu kewajiban asasi kan gitu yang Saudara maksud ya. Lalu bagaimana kalau apakah hak itu selalu selalu berkaitan dengan kewajiban kok memilih memang hak asasi bagi yang memenuhi syarat dan memenuhi ketentuan, tetapi kok Saudara meminta sebagai kewajiban dulu itu bagaimana ya. Itu nanti Saudara pikirkan baik-baik. Kemudian di angka 6 itu baris terakhir angka 6 itu halaman 5 itu, itu disalahtafsirkan Saudara pisahkan disalah baru tafsirkan nyambung terus semua itu disalahtafsirkan jangan di yang dipisah dari kata berikutnya itu adalah di yang dihubungkan dengan kata keterangan tempat, misalnya di atas, di lemari, di peti, di laci itu pakai di baru dipisahkan kalau disalahtafsirkan itu enggak dipisahkan bahasa Indonesianya itu tidak begitu. Oke, nomor 8 angka 8 masih halaman 5 kerugian negara tidak usah huruf besar itu lho huruf kecil saja. Nomor 8 itu bahwa kerugian negara, ndak usah huruf besar. Kemudian, negara lagi di sebelah kanan itu, dua kata negara dalam itu huruf kecil saja. Kurang diindahkan, diindahkan itu tidak dipisah dong, harus digabung ditulis nyambung saja, di baris kedua itu diindahkan masyarakat. Oke, seterusnya. Ini Saudara menggunakan, memakan biaya negara, ya barangkali supaya jangan kelihatan seperti makanan, menggunakanlah,

11 menggunakan biaya negara, negara huruf kecil. Masih sambungannya itu ada kata negara di tiga baris ke bawah, dari bawah yang kedelapan itu huruf kecil saja, terpilih koma mestinya di situ, karena itu, kata karena tidak boleh menjadi awal kalimat. Jadi, koma karena huruf kecil, biaya itu dihapus saja karena di sini ada karena pemilihan umum itu pada hakikatnya dibiayai oleh rakyat. Dibiayai itu disambung saja, Mas, jangan dipisahkan karena itu bukan keterangan tempat. Nanti dibiayai oleh rakyat secara tidak langsung, rakyatlah yang akhirnya dirugikan. Dirugikan itu juga jangan dipisah. Disambung nanti, tapi itu terserah akhirnya. Kemudian angka 9, saya katakan tadi, kata ayat itu Pasal 9 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), itu ayatnya kecil Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kan harus besar juga ini wakil presiden ini. Ini kita berikan petunjuk supaya Saudara perbaiki. Itu sama dengan jadi tidak usah pakai dan karena itu sama betul redaksinya itu Pasal 19 ayatnya huruf kecil, kata a-nya, huruf a-nya itu tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oke, halaman berikutnya halaman 6, banyak banyak kesalahan. Angka 2 bahwa undang-undang serta hukum hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang berbeda-beda suku dan agama ini, untuk sama-sama dijalankan, dijalankan itu bukan dipisahkan harus disambung ya. Perbaiki nanti, dijalankan. Tidak sekedar menurut kata-kata hitam putih, according to letter menurut Saudara. Ini kan karena ini bukan bahasa Indonesia, apakah bahasa daerah apa bahasa asing itu harus ditulis miring. Itu menurut tata bahasa, ditulis miring. Demikian juga di bawahnya to differ meaning itu ditulis miring. Kemudian di sini kata dijalankan, itu jangan dipisah, dijalankan itu artinya dilaksanakan atau diterapkan itu, itu disambung. Oke, angka 3 masih halaman itu, ayat (20) Pasal 20 ayat (1), ayatnya kecil ini undang-undangnya, huruf besar, Mas, Undang-Undang Nomor 48 tentang ini nih, dan pasal ayat (1) karena di bawah ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, kan sudah benar itu. Anda tulis huruf besar, kok di atas huruf kecil jadi huruf besar jugalah. Oke, angka 4 di masih halaman 6 bahwa menurut Pemohon, rumusan pasal dan ayat tidak usah huruf besar itu karena tidak menyebutkan angkanya, kalau Pasal 1 p-nya besar, ayat itu tidak pernah di huruf besar ini. Jadi, pasal dan ayat tersebut, oke. Ini di baris kedua angka 4 itu, kesalahpahaman itu disambung, jangan dipisahkan kesalah baru pahaman. Ya, kesalahpahaman, oke. Angka 6 di bawah itu dipahami, dipahami itu baris ke satu, kedua, ketiga, baris keempat dia yang keenam itu, dipahami jangan dipisah, disambung saja. Oke, kemudian halaman 7 kemudian halaman 7, itu baris kedua dari atas, itu asas manusia disamakan. Disamakan itu jangan dipisah, sambung dong, saya sudah katakan tadi kalau menunjuk kata tempat

12 baru dipisah, di Jakarta, di Purwokerto, nah itu baru dipisahkan. Kemudian, angka 8 pemilihan umum selalu diikuti, diikuti juga jangan dipisahkan. Ini bahasa Indonesianya jelek sekali. Kemudian di bawah ini baris ketiga dari angka 8 itu, tidak boleh tidak diperbolehkan koma, kata sehingga itu tidak boleh menjadi huruf besar karena itu nyambung dengan kalimat di depannya, dikoma sehingga huruf kecil, menurut Pemohon yang dimaksud hak memilih dalam pasal itu harus kecil, ayat huruf kecil, merupakan hak asasi, lebih tepat kalau diarahkan itu juga disambung jangan dipisah. Diarahkan dan seterusnya, oke. Kemudian di situ baris ke satu, dua, tiga, keempat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, baris kesepuluh itu sedangkan ini tidak bisa menjadi kalimat pertama, dia mesti nyambung. Jadi mesti kalau baris baru, adapaun partisipasi dalam pemilu atau mencoblos itu bukanlah kegiatan memilih tetapi bentuk pengunaan hak pilih koma sehingga itu jangan huruf besar, huruf kecil, karena koma di mukanya, dan memang tidak boleh permulaan itu. Kalau kita cermati memilih itu sudah dilakukan, dilakukan itu jangan dipisah, disambung itu karena bukan kata tempat. Oke, seterusnya angka 9 dibawah, masih halaman 7. Pasal 1 ayat. Ayat itu huruf a-nya kecil, seterusnya. Di bawah itu tiga baris dari bawah, ini sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Jangan Undang-Undang Dasarnya dulu, pasalnya dulu disebut. Selamanya disebutkan apa... Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, gitu lho. Jadi pasalnya dulu, baru Undang- Undang Dasarnya, oke. Ini kan Saudara balik, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (2) yang menyatakan. Jadi sebaiknya itu Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan dan seterusnya, oke. Ini pindah ke halaman 8. Jadi di sini kata sedangkan ini saya sudah katakan tidak usah... 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8. Itu lho sesudah yang ditulis miring, sedangkan itu enggak usah, dihapus saja itu, pembatasan di sini Saudara huruf besar. Pembatasan usia pemilih 17 tahun dan/atau sudah menikah bukanlah karena faktor untuk menjamin pengakuan ini dan seterusnya. Kebebasan hak asasi koma, sehingganya itu huruf kecil saja s-nya, oke. Angka 10. Ini kata ayat di sini yang sebelum tulisan miring di bawah itu lho, hak asasi manusia Pasal 1 ayat (3). Ayatnya huruf kecil saja, yang berbunyi dan seterusnya. Kemudian di bawah itu ada pasal... baris keempat, angka 11 itu Pasal 1 ayat (2), terus... ini menurut Pemohon karena namanya... jadi mesti koma di situ, lalu di bawah... dua baris dari bawah... tiga baris, itu sehingga koma, sehingga... sehingganya huruf kecil. Ini angka 9 banyak sekali kesalahan yang... ya, pasal dan ayat. Kata tanggung jawab itu dipisah jangan disambung, kecuali pertanggungjawaban, nah itu disatu... dihubungkan.

13 Ini ada angka 13 ini kok Saudara memakai bahasa hukum Islam. Bahwa menurut Pemohon angka 13 itu halaman 9. Menurut Pemohon menghukumi partisipasi dalam pemilu merupakan perkara yang boleh dilakukan, boleh tidak, atau sunah. Kok pakai sunah itu? Sunah itu adalah hadis. Kalau sunah... sunat, maksudnya barangkali ini sunah yang lawan... tidak fardu, begitu maksudnya? 21. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Ya, Yang Mulia. 22. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya, jangan sunah. Sunah itu hadis itu. Menimbulkan kerugian bagi bangsa dan negara. Negara huruf kecil saja, sedikit, oke. Mengulang-ulang pemilihan dan seterusnya, negara huruf kecil, ya? Jadi pasal itu... ini ada angka 14 itu baris kedua, Pasal 28D. Jadi sebutkan dulu pasalnya baru Undang-Undang Dasar 1945 dan p-nya ini karena menyebut angka, jadi harus huruf besar. Ketentuan Pasal 4... Pasal 28D ayat (1) Undang -Undang Dasar 1945 yang menyatakan. Jangan Undang-Undang Dasar 1945 dulu baru pasalnya disebut di belakang, harus terbalik, oke. Angka 16 itu bahwa satu-satunya jalan yang dibenarkan. dibenarkan itu nyambung lho, jangan dipisah. Halaman berikutnya, halaman 10. Angka 17 itu baris kedua, warga negara. Negara itu kecil saja. Kemudian di bawah kata ayat (2) itu, baris keempat, itu ayatnya huruf kecil. Lalu dilaksanakan, dilaksanakan itu nyambung jangan dipisah. Dilaksanakan. Terus... nah, ini mengenai petitum Saudara. Tadi oleh Bapak... Yang Mulia Bapak Ketua sudah dikatakan bahwa petitum itu pertama dulu tidak usah pakai menerima. Diterima belum tentu dikabulkan, jadi mengabulkan saja sudah cukup. Mengabulkan seluruh permohonan Pemohon. Artinya itu diterima dan dibenarkan, itu mengabulkan. Karena kalau diterima belum tentu dikabulkan. Misalnya begini, saya kasih tahu Saudara. Ada putusan di pengadilan negeri menyatakan gugatan penggugat ditolak. Lalu bandinglah penggugatnya ke pengadilan tinggi. Pengadilan tinggi mengatakan karena syarat-syaratnya untuk menyatakan banding sudah memenuhi syarat, maka permohonan banding dapat diterima. Tapi dapat diterima belum tentu dikabulkan karena pengadilan tinggi berpendapat bahwa putusan ini sudah benar karena itu dikuatkan. Jadi tetap saja ditolak ya, tapi diterima. Makanya jangan pakai diterima, mengabulkan saja itu sudah termasuk diterima, kalau tidak diterima itu belum... kalau diterima belum tentu dikabulkan, ya. Sedangkan kalau dikabulkan sudah pasti diterima. Oke, jadi jangan pakai itu.

14 Kemudian begini, kalau satu pasal, yaitu Pasal 27 ayat (1) yang sama dengan Pasal 9 ayat (1) Undang -Undang yang berbeda yang redaksinya sama itu, itu dinyatakan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945, itu satu poin. Lalu poin keduanya menyatakan pasal sekian itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kalau seluruhnya menyatakan tidak mengikat. Nah, kemudian kalau sesudah itu, lalu menempatkannya di dalam lembar, apa Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya, gitu lho. Karena di sini, saya ulangi, kita tidak membatalkan, kita hanya menyatakan bertentangan. Lalu, yang kalau dia bertentangan, maka tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat di berikutnya itu. Baru karena itu dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Terima kasih, sementara Pak Ketua. 23. HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Saudara Pemohon sudah banyak sekali ya nasihat saran dari Yang Mulia Hakim Panel. Saya hanya, tidak akan mengulang yang lain. Begini, konstruksi permohonan Anda itu kan berawal dari keprihatinan Anda bahwa tingkat partisipasi pemilih itu sangat rendah, ya kan? Padahal negara sudah membiayai untuk melakukan apakah itu Pileg, Pilpres, atau pemilukada gitu ya. Jadi, negara dalam hal ini mengalami kerugian yang banyak. Kemudian Anda menginginkan sebetulnya ini yang tepat itu bukan hak, tapi kewajiban warga negara, kan gitu. Ada konstruksi pemikiran dan pandangan yang lain yang coba Anda cermati, nanti pada waktu Anda menyusun kembali dalam posita atau alasan permohonan ini supaya betul-betul meyakinkan. Itu begini, ada pandangan, yang namanya HAM dan hak konstitusionalitas warga negara itu beda. Kalau HAM itu Hak Asasi Manusia yang melekat bukan diberikan negara karena dia adalah manusia. Jadi, yang namanya Hak Asasi Manusia itu inherent melekat pada manusia. Negara tidak bisa mengabaikan dan negara tidak bisa meniadakan karena dia manusia, ya. Sehingga yang namanya hak asasi ini sejak lahir dia ada. Misalnya, hak hidup ya, hak untuk memiliki sesuatu dan sebagainya itu adalah hak yang melekat sebagai manusia. Jadi begitu dia dilahirkan menjadi manusia di dunia, dia melekat hak itu. Apakah dia sudah bisa melakukan hak itu atau tidak bisa dia itu sudah punya hak yang disebut hak asasi. Tetapi, ada yang disebut hak konstitusionalitas warga negara. Hak itu berbeda, dia kalau warga negara Indonesia berarti hak konstitusionalitas diberikan oleh negara Indonesia kepada dia. Tapi, dia juga misalnya bukan warga negara Indonesia, dia diberi hak konstitusionalitas oleh negara lain, gitu. Nah, ini yang memberikan hak ini negara. Nah, dalam hal ini contohnya adalah hak di bidang politik. Nah, hak memilih atau dipilih itu adalah hak politik yang secara konstitusional itu diberikan oleh negara

15 kepada warga negara itu. Karena dalam perkembangannya, misalnya dulu hak memilih dan dipilih itu tidak diberikan pada perempuan, ya. Tapi sekarang negara itu berubah, perempuan juga dikasih hak pilih dan memilih. Lah, Indonesia kalau sejak dulu itu tidak membedakan laki-laki dan perempuan, tapi Indonesia memberikan hak pilih dan memilih ini pada orang yang sudah dewasa. Orang dewasa menurut politik hukum di Indonesia sudah berusia tertentu atau dia sudah pernah kawin itu di pasal itu. Nah, kalau kemudian Saudara menyamakan bahwa hak konstitusionalitas itu sama dengan HAM, tolong bisa diberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada kita. Sehingga kita mengatakan bahwa itu bisa berubah bukan hak yang diberikan negara, tapi itu hak yang melekat karena dia adalah manusia. Saya membaca banyak teori banyak buku itu dibedakan, enggak sama gitu ya. Tapi kalau Saudara berpendapat lain silakan. Nah, itu tolong dijelaskan dipermohonan ini supaya meyakinkan Mahkamah. Kemudian yang berikutnya, satu saja lagi ya. Dalam hal perbedaan antara hak dan kewajiban yang diberikan oleh negara dalam hal bidang politik, itu bukan dalam khasanah konstitusionalitas. Jadi, apakah ini hanya menyangkut masalah implementasi, orang itu partisipasinya rendah atau tinggi ya, di dalam suatu negara itu konstitusional hak pilih dan milih atau partisipasinya rendah atau tinggi itu tidak menunjukan keabsahan suatu pemilihan. Karena negara di dunia ini itu rata-rata 60%, 70%, negara yang demokratis begitu. Tapi memang ada sistem pemerintahan yang otoriter, pemilihan itu hanya sebagai suatu syarat formalistik yang menunjukan bahwa itu negara itu harus ada siklus berkala pemilihan umum supaya bisa dikatakan demokratis, maka di situ bukan menjalankan hak, tapi mobilisasi dalam pemilihan. Sehingga kalau dikatakan wajib dalam peraturan perundangan malah itu nanti bertentangan dengan konstitusi dan itu namanya malah mobilisasi, itu. Tolong ini dijelaskan sejelas-jelasnya kepada kita di dalam permohonan sehingga Anda boleh saja berpendapat seperti itu. Ya, kalau saya mengatakan ini adalah legal policy, ada negara yang mengatakan bahwa itu hak dan ada negara yang mengatakan itu kewajiban, sehingga kalau dia tidak datang memilih atau tidak datang menggunakan hak pilihnya maka orang ini bisa didenda atau dipidana. Tapi Indonesia dalam hal ini legal policy-nya memilih itu adalah hak, sehingga orang itu kalau dia sadar dalam kehidupan bernegara yang baik, dia menggunakan hak pilih. Tapi kalau dia tidak menggunakan hak pilihnya, itu juga tidak bisa dikenakan apaapa karena itu bukan kewajiban, itu adalah hak. Hal-hal yang semacam ini tolong bisa dimasukkan dalam posita yang menjelaskan pada kita tentang apa yang Anda mohonkan itu sesuatu yang baru dan itu penting sehingga mungkin saja nanti itu tapi itu nanti menjadi tugas dari pembentuk undang-undang, bukan kita kemudian menulis norma membuat undang-undang itu, tidak. Jadi ada

16 hak yang menguji konstitusionalitas, tapi saya bisa saja mengatakan bahwa ini lebih berkenaan dengan masalah legal policy, Indonesia tidak memilih itu kewajiban. Tapi Indonesia, dalam hal ini pembentuk undangundang, lebih memilih bahwa itu adalah hak. Saya kira itu, Pak Ketua. Terima kasih. 24. KETUA: ACHMAD SODIKI Terima kasih. Satu lagi Saudara ya tentang legal standing ini, tambahan saja. Saudara di sini umurnya 38 tahun, gitu toh. Saudara punya hak pilih, toh? 25. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Ya. 26. KETUA: ACHMAD SODIKI Saudara sudah milih belum? Sudah pernah milih? 27. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Sudah. 28. KETUA: ACHMAD SODIKI Terhalang oleh pasal itu? 29. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Tidak. 30. KETUA: ACHMAD SODIKI Tidak. Saudara dirugikan dari pasal itu? 31. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Kalau saya pribadi ya jadi kan seperti yang kami sebutkan ( ) 32. KETUA: ACHMAD SODIKI Yang sudah saja saya tanyakan, ketika Saudara milih itu, oleh pasal itu, itu dirugikan enggak?

17 33. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Tidak. 34. KETUA: ACHMAD SODIKI Tidak. Lalu kerugian konstitusionalnya di mana? Tolong itu dijelaskan nanti ya supaya Saudara ada nyambung, ada hubungan kausal antara pasal itu dengan Saudara yang dirugikan itu, itu lho. Itu namanya kerugian konstitusional. Kalau adanya pasal itu tidak menghalangi Saudara untuk memilih, Saudara punya hak. Terus kerugian konstitusionalnya apa? Okelah, ini Saudara punya waktu untuk perbaikan ya, konsultasikan dengan teman-teman, sahabat-sahabat yang punya kemampuan untuk lebih memperbaiki apa ini permohonan Saudara. Saudara belum melampirkan undang-undang yang diujikan ya? 35. PEMOHON: TAUFIQ HASAN Belum. 36. KETUA: ACHMAD SODIKI Tolong itu dilengkapi undang-undang itu tadi supaya nanti ini kewajiban Saudara untuk melengkapi itu, undang-undang tersebut ya. Baiklah, Saudara ada waktu 14 hari dari sekarang untuk bisa memperbaiki ini. Sidang saya nyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 25 Juni 2013 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.