MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017

Transkripsi

1 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I) J A K A R T A SENIN, 4 SEPTEMBER 2017

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 57 ayat (3)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Muhammad Hafidz ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Senin, 4 September 2017, Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Anwar Usman (Ketua) 2) Manahan MP Sitompul (Anggota) 3) Maria Farida Indrati (Anggota) Ria Indriyani Panitera Pengganti i

3 Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Muhammad Hafidz ii

4 1. KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 57/PUU-XV/2017 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemohon, hari ini sidang pendahuluan pertama untuk permohonan Saudara. Dipersilakan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Silakan. 2. PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDZ Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XV/2017 Muhammad Hafidz langsung sebagai Prinsipal Pemohon. Terima kasih, Yang Mulia. 3. KETUA: ANWAR USMAN SIDANG DIBUKA PUKUL WIB KETUK PALU 3X Langsung Prinsipalnya. Silakan, permohonannya sudah dibaca, tetapi sesuai hukum acara yang berlaku, Saudara diharuskan untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan. Tidak perlu dibaca semua. Silakan. 4. PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDZ Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Perkenankan, Pemohon dalam Perkara Nomor 57/PUU-XV/2017 menyampaikan pokokpokok permohonan sebagai berikut. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) Undang- Undang Dasar Tahun 1945, serta Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011, maka oleh karena objek permohonan Pemohon adalah muatan materi Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, seyogianyalah Mahkamah Konstitusi menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap permohonan a quo. Sedangkan mengenai kedudukan hukum Pemohon, sebagai perorangan warga negara Indonesia yang sampai dengan sekarang masih terdaftar sebagai karyawan di perusahaan swasta, selain berhak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, Pemohon juga diberikan hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan, 1

5 serta kepastian hukum di hadapan hukum dan hak tersebut berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 57 ayat (3) undang-undang a quo. Dalam upaya untuk mendapatkan jaminan serta kepastian hukum, Pemohon sebagai pekerja telah berkali-kali melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ke hadapan Yang Mulia Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonan tersebut, beberapa kali pula Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Di antara amar putusannya, Mahkamah tidak hanya menyatakan muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat saja, tetapi juga dalam perkembangannya memberikan tafsir konstitusional. Tiada keharusan bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan jenis peraturan pelaksana dari putusan Mahkamah, membuat pemerintah sebagai lembaga eksekutif bahkan juga Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga yudikatif bertindak sewenang-wenang dengan menetapkan pelaksanaan putusan Mahkamah, di antaranya melalui surat edaran. Meskipun surat edaran bukan termasuk dalam tata urutan hierarki peraturan perundang-undangan, namun dalam praktik penyelesaian perselisihan hubungan industrial, surat edaran yang sebagaimana Pemohon telah sebutkan secara lengkap dalam permohonan, khususnya SEMA Nomor 3 Tahun 2015 kerap digunakan oleh Mahkamah Agung untuk memutus sebuah perkara penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja, di antaranya menganulir putusan pengadilan hubungan industrial atas upah proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan uraian di atas, apabila Pemohon mengalami pengakhiran hubungan kerja kelak dan menimbulkan perselisihan dengan meminta penyelesaiannya melalui pengadilan hubungan industrial dan Mahkamah Agung, maka Pemohon mempunyai potensi dirugikan dengan hilangnya sebagian hak-hak Pemohon, khususnya upah selama proses hukum yang telah dilindungi oleh putusan Mahkamah. Itu semua terjadi akibat ketiadaan pengaturan tindak lanjut putusan Mahkamah. Dengan demikian, maka Pemohon berpendapat bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam permohonan a quo. Majelis Hakim Konstitusi yang Pemohon muliakan. Putusan Mahkamah yang menyatakan muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dinyatakan konstitusional bersyarat, tidak serta-merta muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang menjadi objek putusan Mahkamah menjadi dengan sendirinya telah dinyatakan dicabut atau diganti. Sebab, berdasarkan teori pencabutan perundang-undangan dibagi menjadi dua, 2

6 yaitu pencabutan tanpa penggantian atau pencabutan dengan penggantian. Oleh karenanya, sebelum adanya pencabutan dengan ketentuan yang setara dengan undang-undang oleh pembuat undang-undang, maka menurut Pemohon putusan Mahkamah mengakibatkan adanya kekosongan hukum apabila tidak segera ditindaklanjuti. Mahkamah dalam Putusan Nomor 138 Tahun 2009 tanggal Februari 2010 memberikan pertimbangan hukum terhadap sesuatu yang dapat dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa, di antaranya adanya kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Pengaturan tindak lanjut atas putusan Mahkamah, hanya dengan perintah kewajiban pemuatan putusan dimaksud dalam sebuah Berita Negara sebagaimana diatur dalam pasal a quo menimbulkan pertanyaan bagi Pemohon, apakah Berita Negara dapat dijadikan dasar hukum bagi lembaga peradilan dalam memutus suatu perkara yang terjadi di masyarakat? Adanya penciptaan jalinan koordinasi, serta koordinasi sinergitas antarorgan yang produk hukumnya dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sangatlah diharapkan oleh Pemohon. Sebab sesungguhnya tanpa kerja sama dan ketiadaan spirit kolektif tersebut, membuat Pemohon khawatir putusan Mahkamah yang merupakan the guardian of constitution dengan sifat final and binding, menjadi tidak implementatif serta dapat menciderai upaya pemahkotaan rule of law. Oleh karenanya dengan berpedoman pada parameter adanya kegentingan yang memaksa, yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah yang menurut Pemohon tidak serta-merta menjadi peraturan hukum yang berlaku dan dapat diterapkan pada satu kasus yang terjadi di dalam masyarakat. Maka setidaknya apabila Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon, ketentuan perundang-undangan yang setara dengan putusan Mahkamah selain undang-undang yang dengan batasan waktu perumusan tidak lebih dari 30 hari, kemungkinannya hanyalah dengan penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Yang selanjutnya, perppu dimaksud dapat disahkan oleh DPR menjadi undang-undang dalam masa sidang berikutnya. Berdasarkan seluruh uraian di atas, Pemohon memohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan menjatuhkan amar putusan. Yaitu diantaranya menyatakan Pasal 57 ayat (3) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang menyatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak 3

7 putusan diucapkan. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai pemuatan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Berita Negara Republik Indonesia wajib ditindaklanjuti oleh presiden melalui penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Demikian permohonan ini Pemohon sampaikan. Terima kasih, Yang Mulia. 5. KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Ya karena Saudara ini, ya, Pemohon sudah biasa, ya, mengajukan permohonan. Jadi kalau dilihat dari bentuk atau format permohonannya itu secara umum sudah dinilai atau bisa dikatakan memenuhi syarat. Namun demikian, ada beberapa hal mungkin nanti terkait dengan termasuk substansi dari permohonan Pemohon yang bisa dikatakan ini suatu hal yang luar biasa nih permohonannya nih. Ya, silakan, Yang Mulia, Bunda. 6. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih, Pak Ketua. Ya, secara sistematika bisa diterima, tapi kemudian kalau Anda berkali-kali ke sini, kemudian apakah betul bahwa Mahkamah ini bisa mewajibkan pada pembentuk undangundang? Ya, kan? Kita tidak ada kewenangan untuk menyatakan bahwa presiden dan DPR wajib menindaklanjuti putusan ini. Kecuali kalau dalam undang-undang kalau dalam perkara-perkara pilkada kita meminta KPU, Bawaslu, ataupun para petugas polisi, dan sebagainya untuk melaksanakan putusan pemungutan suara ulang, misalnya. Tapi kalau di dalam pembentukan undang-undang, pengujian undang-undang kan tidak. Dan saya melihat bagaimana Anda bisa me memperkuat landasan Anda mengajukan ini sebagai legal standing. Anda tadi mengatakan bahwa kalau nanti ada satu masalah, dimana saya akan mendapatkan apa mendapatkan putusan dari lembaga yang di mana Anda bertugas, itu kemudian merugikan Anda. Kan belum ada dan pasal yang dimintakan ini kan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan Anda, ya. Bahwa MK selalu mengatakan bahwa kalau putusannya sudah mengabulkan, maka 30 hari itu kemudian diundangkan. Tanpa diwajibkan pun MK akan mengundangkan itu karena dengan pengundangan itu sebetulnya dianggap semua orang tahu dan terikat. Permasalahannya adalah bahwa kenapa Anda memilih perppu? Memang dalam waktu 30 hari itu Berita Negara bisa memuat putusan MK. Tapi apakah kemudian dalam waktu 30 hari itu juga merupakan suatu kegentingan yang memaksa bahwa presiden harus mengeluarkan perppu itu? Kan permohonannya kan permohonan individual kalau Anda mengajukan ke sini. Sedangkan putusan MK kalau itu mengabulkan, itu 4

8 tidak hanya untuk Anda sendiri tapi secara erga omnes buat semua orang yang akan terkena dampak dari putusan MK tersebut. Permasalahannya, apakah itu selalu suatu mungkin dengan yang memaksa? Karena kalau Anda melihat pada putusan MK, maka kegentingan yang memaksa itu ada kriterianya, ya. Ada kekosongan hukum, kemudian itu memang harus segera diatur, ada peraturan ada undang-undang yang mungkin ada tapi tidak lengkap mengaturnya sehingga dibutuhkan itu. Nah, permasalahannya itu saja. Apakah itu juga sebagai suatu kegentingan yang memaksa yang diminta oleh Pasal 22 Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Walaupun orang menganggap tidak lagi ada penjelasan, tapi penjelasan dari Pasal 22 itu adalah adanya noodverordeningsrecht presiden. Hak presiden untuk mengatur bahwa itu harus ada aturan yang begitu dibuat, cepat, dan langsung bisa menyelesaikan permasalahan, gitu. Nah, di sini belum jelas. Nanti akan terjadi apa terhadap Anda, ya, kan? Anda mengatakan bahwa kalau saya nanti terjadi sesuatu dan saya mengajukan pengujian ini dikabulkan oleh MK dalam waktu 30 hari harus selesai, ada perppunya, gitu kan. Itu kan secara... sangat sulit untuk diterapkan, ya, sangat sulit. Tidak mungkin putusan MK itu begitu berlaku, diundangkan, kemudian nanti keluar perppu presidennya, walaupun presiden juga di... diberikan. Putusan MK akan dikirim ke presiden, ke DPR, DPD, dan juga Mahkamah Agung. Nah, tapi kemudian, presiden juga berpikir, Apakah itu suatu kegentingan yang maksa? Ya. Jadi, itu salah satu pertimbangan yang harus Anda pikirkan. Bahwa memang kadang-kadang putusan MK tidak langsung diatur dengan peraturan pemerintah atau peraturan di bawah itu, tapi mungkin juga dengan surat edaran. Karena tergantung materi yang dikabulkan itu apa. Karena kalau itu bersifat mengatur ke luar, ya, mengatur ke luar berarti untuk semua orang, maka itu mesti dengan peraturan yang mengikat umum. Tetapi kalau itu berkaitan dengan Mahkamah Agung, bagaimana penyelesaian masalah itu, mengenai di sini ada mengenai... apa... peradilan industrial, itu kan mengaturnya ke dalam Mahkamah Agung sendiri. Bahwa oh ini bagaimana? Putusan Mahkamah seperti ini, maka bagaimana menindaklanjuti, sehingga putusan peradilan hubungan industrial itu bisa cepat berlaku? Maka memang surat edaran, tidak perlu dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang lain, ya. Jadi, di sini mesti melihat tergantung apa yang diputuskan. Sehingga, saya belum melihat bahwa legal standing Anda untuk kasus ini belum terlihat, begitu, ya. Dan juga petitumnya, tidak mungkin kita akan memutuskan petitum pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai pemungutan... pemuatan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Berita Negara Republik Indonesia 5

9 wajib ditindaklanjuti oleh presiden melalui penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Enggak mungkin Mahkamah akan membuat rumusan yang seperti ini. Karena Mahkamah merasa bahwa bukan kewenangan Mahkamah untuk memaksa presiden untuk membentuk undang-undang atau perppu untuk melaksanakan putusan ini. Walaupun presiden selalu mengatakan... Presiden Yudhoyono, Presiden Jokowi selalu mengatakan, Kalau itu adalah putusan MK yang mengabulkan, saya akan tunduk kepada itu. Tapi tidak mungkin MK memutuskan dengan rumusan seperti ini. Jadi, seperti MK memerintahkan presiden, begitu, ya. Jadi, ini perlu dilihat kembali, maka tolong diperkuat lagi legal standing-nya, ya. Saya rasa itu. 7. KETUA: ANWAR USMAN Ya. Silakan, Yang Mulia Pak Manahan. 8. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik. Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Terkait dari putusan MK itu yang sifatnya final and binding itu, ya, itu ada konsekuensinya yang harus ditindaklanjuti, sehingga harus dimuat dalam Berita Negara. Itu salah satu konsekuensinya. Sehingga kalau kita runut apa yang menjadi norma yang disebutkan dalam Pasal 57 tadi, ya, Pasal 57 itu kira-kira itu tidak terlalu ada hubungannya dengan Saudara Pemohon yang mohon agar norma dari Pasal 57 ayat (3) ini ditafsirkan seperti itu. Pertama, ya, memang kita nanti jadi terjebak dalam Mahkamah Konstitusi menjadi positive legislator juga, ya. Karena kita tidak mungkin membuat putusan itu dengan wajib ditindaklanjuti oleh presiden melalui perppu lagi, masalah lain lagi tentang perppu. Perppu itu kan ada acaranya sendiri, ada alasannya sendiri menerbitkan perppu oleh presiden itu. Ya, antara lain Pasal 22 dengan syarat-syaratnya itu, kegentingan yang memaksa, ada kekosongan hukum, ada undangundang tapi tidak cukup mengatur sehingga terjadi kekosongan hukum. Arahnya kan dari sana, sehingga terbit itu perppu. Tapi kalau dari... diambil dari norma yang Pasal 57 ayat (3), sepertinya arahnya ke sana itu tidak ada kaitannya langsung. Demikian juga akhirnya Saudara sebagai Pemohon ini agak sulit kita melihat adanya benang merah kepada norma itu langsung. Nah, ini, sehingga kita agak meragukan nanti legal standing Anda yang menguji pasal ini. Lain hal mungkin ada norma lain yang mungkin ada hubungannya dengan kedudukan Saudara, ya, hubungannya dengan norma yang Anda mungkin lebih baik lihat di pasal-pasal lain yang... yang Saudara memang pada dasarnya keberatan kalau putusan MK itu tidak segera dilaksanakan. Kan itu... poin Anda kan itu, ya? Supaya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan atau yang menafsirkan suatu norma itu maunya segera 6

10 dilaksanakan. Tapi kalau menurut teori hukum... apa... tata negara, ini kita sudah mencantumkan itu Berita Negara, itu sudah cukup menurut kita untuk dinyatakan bahwa putusan kita itu secara sah diketahui oleh semua, baik itu aparat, baik itu masyarakat umum, sehingga kita menyatakan putusan kita itu sudah sah. Nah, di luar itu merupak merupakan bukan merupakan Mahkamah. Bagaimana kepatuhan dari para aparat misalnya, atau pejabat, atau masyarakat umum, tidak memenuhi tidak mematuhi itu, itu soal lain. Jadi kita tidak bisa menjangkau sampai di sana, ya. Itu barangkali satu. Kemudian, mengenai satu lagi tadi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tidak lazim membuat suatu apa norma yang memerintahkan itu, ya. Itu tidak lazim di situ. Jadi penormaan pun ada batasannya, konstitus apa namanya itu unconstitutional conditionally. Nah, itu ada aturannya tersendiri tidak sampai melenceng jauh, menjadi kit menjadikan kita itu sebagai positive legislator. Barangkali itu saja dari saya, Yang Mulia. Terima kasih. 9. KETUA: ANWAR USMAN Baik, itulah, Pemohon beberapa catatan, ya. Jadi, yang perlu dipertajam kembali oleh Pemohon mengenai legal standing, ya. Dengan berlakunya pasal ini merugikan, ya, secara konstitusi. Jadi, kerugian konstitusional dari Pemohon itu apa kalau tidak dimaknai seperti yang dikehendaki dalam petitum permohonannya? Meskipun, petitum permohonan yang dicantumkan itu tidak lazim seperti yang disampaikan oleh Yang Mulia. Sehingga, Saudara harus mencari formulasi baru kaitannya dengan petitum yang dihubungkan dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi atau Hakim Konstitusi, apakah bisa bersifat positive legislator. Yang kita bahwa posisi MK itu negative legislator, ya. Sudah jelas, ya? Ya, baik. Untuk itu Saudara diberi kesempatan selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya sampai hari Senin, tanggal 18 September 2017, pukul WIB, ya, itu paling lambat. Ya, lebih cepat, lebih bagus. Sekiranya Saudara berkehendak untuk tetap melanjutkan permohonan ini, atau mau memperbaiki, atau memperbaiki sebagian, atau tidak sama sekali, kembali kepada Saudara, ya. Sudah cukup, ya? 7

11 Ya, dengan demikian sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 4 September 2017 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Yohana Citra Permatasari NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya. 8