IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN Simulasi kebijakan merupakan salah satu cara yang lazim dilakukan untuk mengambil suatu kebijakan umum (public policy). Dalam penelitian ini, dilakukan berberapa skenario untuk simulasi kebijakan yang berkaitan dengan investasi sektor jalan dan jembatan. Simulasikebijakan dalam penulisan ini dimaksudkan guna mengetahui dampak masing-masing skenario terhadap output sektoral, peningkatan pendapatan dan distribusi pendapatan institusi khususnya rumahtangga di Jawa-Bali dan Sumatera. Berdasarkan prinsip bahwa jalan merupakan biaya modal/ kapital, dan mengingat jalan juga merupakan pengeluaran pemerintah (public spending), maka simulasi dilakukan dengan cara memberikan shock melalui neraca kapital pada kolom pengeluaran kerangka IRSAMJASUM 2007 pada tahun 2008, tahun 2009 dan tahun Skenario ditentukan berdasarkan nilai aktual investasi jalan nasional dan dimaksudkan untuk melihat variasi dampak shock/ guncangan output untuk Jawa-Bali dan Sumatera kondisi aktual hingga skenario keberpihakan pada wilayah Jawa-Bali atau Sumatera. Analisis dilakukan untuk memperoleh potret output, faktor produksi dan institusi dengan adanya beberapa skenario tersebut, khususnya kesenjangan yang terjadi. Pembiayaan jalan pada prinsipnya digunakan untuk capacity expansion (pengembangan kapasitas) dan preservasi mencakup rekonstruksi, rehabilitasi, dan pemeliharaan yang terdiri dari pemeliharaan berkala dan pemeliharaan rutin. Penganggaran yang diberikan sebagian besar digunakan untuk preservasi dan hanya sebagian kecil untuk meningkatkan kapasitas jalan, baik pembangunan jalan baru maupun pelebaran jalan. Alokasi biaya untuk pembangunan jalan nasional terutama di wilayah Barat Indonesia didasarkan oleh nilai Benefit Cost

2 181 Ratio (BCR) yang membandingkan keuntungan yang diperoleh berupa reduksi biaya operasional kendaraan, naiknya nilai waktu dan turunnya biaya kecelakaan, terhadap biaya fisik jalan atau pembangunan jalan. Apabila permintaan akan infrastruktur jalan meningkat, maka jalan sebagai suplai akan dibangun. Sebagaimana di wilayah Timur Indonesia khususnya Papua, prioritas penanganan jalan bukan berdasarkan nilai BCR atau konsep demand-supply, namun dengan pola supply-demand yaitu jalan dibangun lebih dulu (supply) sehingga kegiatan ekonomi meningkat di lokasi sekitar jalan tersebut (teori lokasi). Semakin besar nilai BCR berarti semakin layak jalan tersebut dibangun dan dijadikan prioritas penanganan jalan. Perbaikan prasarana jalan yang sudah beroperasi dilakukan dengan pendekatan analisis kondisi jalan (road condition) dengan menggunakan nilai International Roughness Index (IRI). Semakin besar nilai roughness (kekasaran) jalan, semakin rusak jalan tersebut dan menjadi prioritas alokasi anggaran. Penentuan alokasi biaya dan lokasi penanganan jalan tidak jarang didasarkan oleh faktor politis. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum mengalokasikan biaya perbaikan jalan nasional untuk setiap provinsi di Indonesia. Besarnya alokasi biaya biasanya ditentukan berdasarkan kebutuhan di lapangan. Alokasi masingmasing biaya jalan nasional di provinsi di Sumatera dan Jawa-Bali dilihat pada Lampiran 5 yang diperoleh dari Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Binamarga. Alokasi biaya penanganan jalan nasional merupakan kontribusi dari biaya pelaksanaan fisik, biaya pengawasan (supervisi), biaya perencanaan dan biaya program/ manajemen. Dalam pelaksanaan simulasi, nilai yang di shock adalah selisih biaya terhadap tahun dasar Rekapitulasi nilai investasi sektor konstruksi jalan dan jembatan nasional seperti tercantum pada Tabel 11.

3 182 Tabel 11. Rekapitulasi Kenaikan Nilai Investasi Tahun terhadap Nilai Investasi Tahun 2007 PULAU Sumatera Jawa-Bali Sumatera+ Jawa Bali NILAI INVESTASI (Rp. juta) T.A T.A T.A T.A Jumlah Selisih thd Jumlah Selisih thd Selisih thd Sumber: Direktorat Bina Program, Ditjen Binamarga (diolah) Simulasi kebijakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 skenario yang dipandang dapat menggambarkan kondisi perekonomian Jawa-Bali dan Sumatera sebagai dampak investasi jalan dan jembatan nasional. Simulasi kebijakan skenario 1 dilakukan dengan investasi aktual sektor jalan dan jembatan hanya diberikan di Sumatera saja dengan peningkatan nilai investasi untuk tahun 2008, 2009 dan 2010 masing-masing sebesar miliar rupiah, miliar rupiah, dan miliar rupiah (Lampiran 5). Skenario 1 merupakan kondisi yang dapat terjadi walau sangat kecil kemungkinannya, dimana pemerintah mengambil kebijakan memberi prioritas anggaran prasarana jalan nasional di wilayah Timur Indonesia, dan untuk wilayah Barat Indonesia, pulau Sumatera di tetap diberikan sebesar anggaran yang tersedia, sedang pulau Jawa-Bali sedikit (tidak ada) diberikan fasilitas anggaran jalan nasional mengingat kondisi jalan umumnya jauh lebih baik, tingkat kesejahteraan relatif sudah baik dan industri sudah berkembang. Skenario 2 adalah investasi aktual infrastruktur jalan diberikan hanya untuk Jawa-Bali, dengan peningkatan nilai investasi terhadap tahun dasar 2007 adalah sebesar miliar rupiah, miliar rupiah dan Rp miliar

4 183 rupiah masing-masing untuk tahun 2008, 2009 dan tahun Kedua skenario simulasi kebijakan tersebut diatas dilakukan secara terpisah (parsial). Mirip dengan skenario 1, skenario 2 merupakan kondisi yang dapat terjadi walau sangat kecil kemungkinannya, dimana pemerintah mengambil kebijakan memberi prioritas anggaran prasarana jalan nasional di wilayah timur Indonesia. Untuk wilayah Barat Indonesia, pulau Jawa-Bali di utamakan sedang pulau Sumatera sedikit (tidak ada) diberikan fasilitas anggaran jalan nasional. Skenario 3 adalah nilai investasi aktual jalan peruntukan Sumatera dan Jawa-Bali diberikan pada sektor jalan dan jembatan secara bersamaan (simultan) pada kedua wilayah tersebut berdasarkan realitas tahun anggaran, yakni kenaikan terhadap tahun dasar 2007 masing-masing sebesar miliar rupiah pada tahun anggaran 2008, sebesar miliar rupiah pada tahun anggaran 2009 dan miliar rupiah pada tahun anggaran 2010 untuk Sumatera. Untuk Jawa-Bali masing-masing miliar rupiah pada tahun anggaran 2008, sebesar miliar rupiah pada tahun anggaran 2009 dan sebesar miliar rupiah pada tahun anggaran Skenario tiga ini merupakan skenario yang aktual terjadi. Skenario 4 adalah skenario keberpihakan ekstrim terhadap Sumatera dengan tidak menggangu peruntukan anggaran infrastruktur di wilayah Timur Indonesia. Nilai investasi actual jalan peruntukan Sumatera dan Jawa-Bali dijumlahkan, lalu diberikan hanya kepada sektor jalan dan jembatan di Sumatera sebesar miliar rupiah pada tahun 2008, sebesar miliar rupiah pada tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah pada tahun Skenario 5 adalah skenario keberpihakan ekstrim terhadap Jawa-Bali. Nilai investasi aktual jalan peruntukan pulau Sumatera dan Jawa-Bali dijumlahkan,

5 184 kemudian diberikan hanya kepada sektor jalan dan jembatan di Jawa-Bali sebesar miliar rupiah tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah pada tahun Kelima skenario tersebut dimaksudkan untuk memotret dampak jalan terhadap output dan pendapatan Skenario Kebijakan terhadap Output Sektoral Hasil simulasi skenario 1 dengan kenaikan sektor jalan dan jembatan pada tahun 2008 terhadap tahun 2007 disajikan pada Lampiran 32 dan 33. Kenaikan investasi pada tahun 2009 terhadap tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 34 dan 35, serta tambahan investasi pada tahun 2010 terhadap tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 36 dan 37. Simulasi dengan skenario 1 menunjukkan bahwa total output perekonomian Sumatera (intra-regional) meningkat sebesar miliar rupiah tahun 2008 (Lampiran 32), sebesar miliar rupiah pada tahun 2009 (Lampiran 34) dan sebesar miliar rupiah pada tahun 2010 (Lampiran 36). Skenario 1 di Sumatera pada tahun 2008, berdampak terutama (tertinggi) kepada kenaikan output sektor konstruksi jalan dan jembatan yang memperoleh injeksi/ shock secara langsung, berkisar 43.7 persen yaitu naik sebesar miliarrupiah dari total output Sumatera untuk tahun 2008 (Lampiran 32), naik sebesar miliar rupiah tahun 2009 (Lampiran 34) dan tahun 2010 naik sebesar miliar rupiah (Lampiran 36). Kenaikan output tertinggi selanjutnya untuk tahun 2008 sampai 2010 adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat dan semen serta sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya. Apabila ditinjau dalam kelompok sektor (intra-regional), pada sektor primerdengan skenario 1 dari tahun 2008 sampai 2010 di Sumatera, output

6 185 tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor pertambangan dan penggalian lainnya, dan sedikit dibawahnya sektor peternakan dan perikanan, sedang untuk tahun 2009 dan 2010, output tertinggi diperoleh sektor pertambangan dan penggalian lainnya, lalu sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya dan menyusul sektor peternakan dan perikanan. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor primer di Sumatera adalah miliar tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar 325 miliar rupiah tahun Berdasarkan skenario 1 pada kelompok sektor industri tahun 2008 sampai 2010 di Sumatera, sektor industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat dan semen memperoleh peningkatan output terbesar yaitu miliar rupiah pada tahun 2008, disusul sektor industri kertas, percetakan dengan peningkatan output miliar. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor industri di Sumatera adalah miliar tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009, dan miliar rupiah tahun Pada kelompok sektor jasa dengan skenario 1, peningkatan output terbesar setelah sektor jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel meningkat outputnya sebesar miliar rupiah tahun 2008, menyusul sektor transportasi dan komunikasi meningkat miliar rupiah. Total peningkatan output kelompok sektor jasa di Sumatera adalah miliar tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan miliar rupiah tahun Berdasarkan analisis kelompok sektor di pulau Sumatera untuk skenario 1 (intra-regional), peningkatan output terbesar adalah sektor industri pengolahan, disusul sektor jasa dan terakhir sektor primer atau berpola I-J-P. Data ini menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan berpotensi kuat untuk mengubah

7 186 Sumatera sebagai daerah berbasis pertanian menuju industri, namun berdasarkan agregat, salah satu komponen sektor jasa yakni sektor perdagangan, restoran dan hotel memperoleh peningkatan terbesar dari guncangan output prasaran jalan. Investasi infrastruktur jalan dan jembatan hanya di Sumatera (skenario 1) juga berdampak kepada perekonomian di Jawa-Bali sebagai spill-over (limpahan), namun lebih kecil dibandingkan dampaknya terhadap pulau Sumatera, yaitu total perekonomian meningkat masing-masing sebesar miliar rupiah tahun 2008 (Lampiran 33), sebesar miliar rupiah (Lampiran 35) pada tahun 2009 dan naik sebesar miliar rupiah pada tahun 2010 (Lampiran 37). Dampak peningkatan output skenario 1 di Jawa-Bali (inter-regional) tahun 2008 sampai tahun 2010 secara agregat terutama pada kenaikan output sektor perdagangan, restoran dan hotel, lalu diikuti sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya, serta sektor bank dan asuransi. Peningkatan output terbesar tahun 2009 dan tahun 2010 juga diperoleh sektor perdagangan, restoran dan hotel. Gambaran ini menunjukkan sektor perdagangan, restoran dan hotel sangat terkait dan terpengaruh dengan pembangunan sektor jalan dan jembatan, dan cukup berperan dalam perekonomian di Jawa-Bali. Hasil ini selaras dengan teori demand-supply, semakin baik infrastruktur jalan, maka road user meningkat dan selanjutnya membutuhkan tempat istirahat dan makan selama perjalanan (demand). Restoran dan hotel dengan sendirinya tumbuh dan berkembang cepat untuk menyediakan kebutuhan tersebut (supply). Berdasarkan kelompok sektor, dampak kenaikan output sektoral di Jawa- Bali (inter-regional) pada sektor primer akibat skenario 1 tahun 2008 sampai tahun 2010 tidak sebesar kenaikan yang dialami oleh sektor jasa maupun industri.

8 187 Peningkatan output terbesar di sektor primer tahun 2008 adalah sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor sektor peternakan dan penggalian. Peningkatan sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya sebesar miliar rupiah di Jawa-Bali pada tahun 2008, sebesar miliar rupiah di Jawa-Bali pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 meningkat sebesar miliar rupiah di Jawa-Bali.Untuk kelompok sektor industri pengolahan kenaikan output terbesar tahun 2008 adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau mengalami kenaikan output sebesar miliar rupiah, disusul sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan yang naik sebesar miliar rupiah. Dampak peningkatan output pada sektor jasa tahun 2008 paling tinggi adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel naik miliar serta sektor bank dan asuransi naik miliar rupiah. Dengan demikian maka dampak skenario 1 di Jawa-Bali lebih dominan menaikkan output sektor jasa serta sektor industri pengolahan dibandingkan menaikkan output sektor primer atau berpola (J-I-P). Skenario 2 dengan shock hanya di pulau Jawa-Bali menunjukkan total output perekonomian di Jawa-Bali meningkat sebesar miliar rupiah pada tahun 2008 (Lampiran 33), sebesar miliar rupiah tahun 2009 (Lampiran 35) dan sebesar miliar rupiah tahun 2010 (Lampiran 37). Peningkatan output tertinggi secara agregat terjadi pada sektor konstruksi jalan dan jembatan yang menerima injeksi (shock) secara langsung berkisar 36.5 persen yaitu naik sebesar miliar rupiah tahun 2008, lalu meningkat miliar rupiah tahun 2009 dan pada tahun 2010 meningkat miliar rupiah. Peningkatan output tertinggi selanjutnya adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, lalu sektor industri makanan, minuman dan tembakau, serta sektor sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya.

9 188 Apabila ditinjau dalam kelompok sektor primer, skenario 2 tahun 2008 sampai 2010 di Jawa-Bali, output tertinggi pada sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor peternakan dan perikanan, dan jauh dibawahnya sektor pertambangan dan penggalian lainnya, sementara sektor kehutanan dan perburuan sedikit sekali dampaknya. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor primer di Jawa-Bali adalah miliar tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah tahun Guncangan output skenario 2 kelompok sektor industri tahun 2008 sampai 2010 di Jawa-Bali menunjukkan sektor industri makanan, minuman dan tembakau memperoleh peningkatan output terbesar yaitu miliar rupiah tahun 2008, lalu sektor industri kertas, percetakan dengan peningkatan output miliar. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor industri di Jawa-Bali adalah miliar tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009, dan miliar rupiah tahun Peningkatan output terbesar di Jawa-Bali akibat guncangan prasarana jalan adalah logis pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau disebabkan semakin baik fasilitas jalan, maka arus pergerakan manusia semakin meningkat yang cenderung mengubah pola menjadi lebih komsumtif, disamping jumlah penduduk Jawa-Bali yang sangat besar. Pada kelompok sektor jasa dengan skenario 2 di Jawa-Bali, peningkatan output terbesar setelah sektor jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel meningkat outputnya sebesar miliar rupiah pada tahun 2008, menyusul sektor transportasi dan komunikasi meningkat miliar rupiah. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor jasa di Jawa-

10 189 Bali adalah miliar tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan miliar rupiah tahun Berrdasarkan analisis kelompok sektor di Jawa-Bali untuk skenario 2, peningkatan output terbesar adalah sektor jasa, disusul sektor industri dan terakhir sektor primer atau berpola J-I-P. Data ini menunjukkan bahwa sektor jasa cukup dominan saat ini di Jawa-Bali. Data ini juga menunjukkan bahwa sektor primer atau sektor pertanian kurang mendapat dukungan cukup signifikan dengan adanya perbaikan dan pembangunan prasarana jalan. Sementara itu dampak skenario 2 di Sumatera sebagai spill-over effect menunjukkan bahwa total output perekonomian meningkat sebesar miliar rupiah tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah tahun Peningkatan output terbesar skenario 2 secara agregat di Sumatera dari tahun 2008 sampai 2010 terdapat pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau diikuti oleh sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya serta sektor perdagangan, restoran dan hotel. Berdasarkan peninjauan kelompok sektor, maka yang mendapat peningkatan dari yang terbesar adalah kelompok sektor industri, sektor primer dan sektor jasa atau berpola I-P-J. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skenario 2 dengan investasi jalan hanya (dominan) di Jawa-Bali, maka peningkatan output terbesar di Sumatera sebagai limpahan (spill-over) pada sektor industri dan selanjutnya sektor primer dan terakhir sektor jasa, sementara di Jawa-Bali, skenario 2 lebih meningkatkan output sektor jasa dan sektor industri pengolahan dibandingkan sektor primer. Skenario 3 yang merupakan skenario yang aktual terjadi menunjukkan hasil bahwa total ouput perekonomian di pulau Sumatera dan Jawa-Bali meningkat

11 190 cukup tajam dibandingkan kedua skenario kebijakan sebelumnya, artinya kombinasi investasi jalan nasional di Sumatera dan Jawa-Bali secara bersamaan menghasilkan output yang tinggi. Peningkatan total output tersebut dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 di Sumatera masing-masing sebesar miliar rupiah, sebesar miliar rupiah dan sebesar miliar rupiah, sementara di Jawa-Bali meningkat sebesar miliar rupiah tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan miliar rupiah tahun Peningkatan output sektoral tertinggi baik di Sumatera maupun Jawa-Bali selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 secara agregat adalah output sektor yang menerima injeksi, yakni sektor konstruksi jalan dan jembatan masingmasing di Sumatera naik miliar rupiah tahun 2008, naik tahun 2009, dan naik miliar rupiah tahun Sementara peningkatan output sektor konstruksi jalan dan jembatan di Jawa-Bali naik miliar rupiah tahun 2008, naik miliar rupiah tahun 2009 dan naik tahun Peningkatan output terbesar di pulau Sumatera tahun 2008 selanjutnya adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor industri makanan, minuman dan tembakau serta sektor industri kimia, hasil dari tanah liat dan semen. Sementara untuk Sumatera tahun 2009 sampai tahun 2010, posisi sektor industri makanan, minuman dan tembakau turun menjadi urutan ke empat sementara sektor industri kimia, hasil dari tanah liat dan semen naik ke urutan ke 3. Dampak terhadap output sektoral yang sama dengan Sumatera juga terjadi di Jawa-Bali untuk tahun 2008, 2009 dan tahun 2010, yang berbeda adalah besarannya. Bila ditinjau dari kelompok sektor dengan skenario 3 di Sumatera, untuk sektor primer tahun 2008 sampai 2010 diperoleh output tertinggi pada sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor pertambangan dan

12 191 penggalian lainnya, dan jauh dibawahnya sektor peternakan dan perikanan. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor primer di Sumatera adalah miliar tahun 2008, naik sebesar miliar rupiah pada tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah tahun Guncangan output dengan skenario 3 pada kelompok sektor industri tahun 2008 sampai 2010 di Sumatera menunjukkan bahwa sektor industri makanan, minuman dan tembakau memperoleh peningkatan output terbesar yaitu miliar rupiah tahun 2008, sedikit dibawahnya menyusul industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat dan semen dengan peningkatan miliar rupiah, lalu sektor industri kertas, percetakan dengan peningkatan output miliar rupiah. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor industri di Sumatera adalah miliar rupiah tahun 2008, naik sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan miliar rupiah pada tahun Pada kelompok sektor jasa dengan skenario 3 di Sumatera, peningkatan output terbesar setelah sektor jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel meningkat outputnya sebesar miliar rupiah pada tahun 2008, menyusul sektor transportasi dan komunikasi meningkat miliar rupiah. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor jasa di Sumatera adalah miliar rupiah tahun 2008, naik sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan miliar rupiah pada tahun Berdasarkan analisis kelompok sektor di Sumatera untuk skenario 3, peningkatan output terbesar adalah sektor jasa, disusul sektor industri dan terakhir sektor primer atau berpola J-I-P. Sama seperti skenario 1 dan 2, guncangan output infrastruktur jalan kurang mendukung sektor primer atau sektor pertanian.

13 192 Bila ditinjau dari kelompok sektor dengan skenario 3 di Jawa-Bali, untuk sektor primer tahun 2008 sampai 2010 diperoleh output tertinggi pada sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya disusul sektor peternakan dan perikanan, dan jauh dibawahnya sektor pertambangan dan penggalian lainnya. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor primer di Jawa-Bali adalah miliar tahun 2008, naik sebesar miliar rupiah pada tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah tahun Guncangan output dengan skenario 3 pada kelompok sektor industri tahun 2008 sampai 2010 di Sumatera menunjukkan bahwa sektor industri makanan, minuman dan tembakau memperoleh peningkatan output terbesar yaitu miliar rupiah tahun 2008, menyusul industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat dan semen dengan peningkatan miliar rupiah, lalu sektor industri kertas, percetakan dengan peningkatan miliar rupiah. Total peningkatan output kelompok sektor industri di Sumatera adalah miliar rupiah tahun 2008, naik miliar rupiah tahun 2009 dan miliar rupiah pada tahun Pada kelompok sektor jasa dengan skenario 3 di Jawa-Bali, peningkatan output terbesar setelah sektor jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel meningkat outputnya sebesar miliar rupiah pada tahun 2008, menyusul sektor transportasi dan komunikasi meningkat miliar rupiah. Total peningkatan output perekonomian kelompok sektor jasa di Jawa- Bali adalah miliar rupiah tahun 2008, naik sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan miliar rupiah pada tahun Berdasarkan analisis kelompok sektor produksi di Jawa-Bali untuk skenario 3, peningkatan output terbesar adalah sektor jasa, disusul sektor industri dan terakhir sektor primer atau berpola J-I-P. Sama seperti skenario 1 dan 2,

14 193 guncangan output infrastruktur jalan kurang mendukung sektor primer atau sektor pertanian. Skenario 3 yang sebenarnya terjadi memberi gambaran bahwa kebijakan memperbesar anggaran infrastruktur jalan nasional di Sumatera dan Jawa-Bali sangat tepat untuk akselerasi pertumbuhan sektor jasa dan industri. Dengan demikian peningkatan investasi jalan nasional di Sumatera kurang mendukung sektor pertanian. Peningkatan investasi jalan kelihatannya tidak signifikan meningkatkan sektor industri di Jawa-Bali yang memang merupakan daerah basis industri. Justru peningkatan investasi jalan berkontribusi positif terutama terhadap sektor jasa khususnya sektor perdagangan, restoran dan hotel. Skenario 4 dengan keberpihakan anggaran yang lebih ekstrem pada wilayah Sumatera menyebabkan lonjakan total output dalam perekonomian di Sumatera cukup tinggi dibandingkan skenario sebelumnya, dan lebih tinggi dibanding Jawa- Bali. Dampak peningkatan output tersebut (intra-regional) sebesar miliar rupiah pada tahun 2008, lalu naik sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan pada tahun 2010 naik sebesar miliar rupiah. Apabila dilihat dari masing-masing agregasi sektoral, urutan peningkatan output terbesar hasil simulasi skenario 4 tidak berbeda dengan skenario 1, hanya besar nilai peningkatan output saja yang berbeda. Sektor yang memiliki peningkatan output terbesar selain sektor yang terkena shock di pulau Sumatera adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, yaitu sebesar miliar rupiah tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah tahun Skenario 4 menimbulkan peningkatan output kelompok sektor dari yang terbesar adalah sektor industri, jasa dan primer atau berpola (I-J-P).

15 194 Peningkatan output perekonomian di Jawa-Bali dengan skenario 4 (interregional) kurang dari separuh peningkatan output perekonomian di Sumatera, yakni sebesar miliar rupiah tahun 2008, sebesar miliar rupiahtahun 2009 dan sebesar miliar rupiah tahun Sektor di Jawa- Bali yangmemiliki peningkatan output terbesar sebagai spill-over adalah pada sektor perdagangan, restoran danhotel yaitu sebesar miliar rupiah tahun 2008, sebesar miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah tahun Skenario 4 menimbulkan peningkatan output perkelompok sektor di Jawa-Bali dari yang terbesar adalah sektor industri pengolahan, sektor jasa dan sektor primer atau berpola (I-J-P) Skenario 5 merupakan kondisi dengan keperpihakan anggaran yang lebih ekstrem pada wilayah Jawa-Balimenunjukkan peningkatan output perekonomian di Jawa-Bali (intra-regional) masing-masing sebesar miliar rupiah tahun 2008, miliar rupiah tahun 2009 dan sebesar miliar rupiah tahun Berdasarkan agregasi output sektoral yang paling meningkat setelah sektor konstruksi jalan dan jembatan adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, serta sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Berdasarkan skenario 5 peningkatan output perkelompok sektor di Jawa-Bali (intra-regional) dari yang terbesar adalah sektor industri, jasa dan primer atau berpola (I-J-P). Peningkatan output perekonomian di pulau Sumatera (inter-regional)yang merupakan spill-over effect jauh lebih kecil dibandingkan pulau Jawa-Bali dan tidak satupun mencapai 1 trilliun rupiah, yakni meningkat sebesar miliar rupiahpada tahun 2008, meningkat sebesar miliar rupiah pada tahun 2009 dandan meningkat miliar rupiahpada tahun Urutan peningkatan output sektoral tertinggi hasil simulasi skenario 5 tidak berbeda dengan skenario

16 195 2, hanya berbeda dalam nilai peningkatan output saja. Pada pulau Sumatera, sektor-sektor tersebut adalah industri makanan, minuman dan tembakau, lalu sektor pertanian tanaman pangan dan di urutan ketiga sektor perdagangan, restoran dan hotel. Skenario 5 di pulau Sumatera memberikan peningkatan output lebih besar di sektor primer dibandingkan sektor jasa. Skenario 5 menimbulkan peningkatan output per kelompok sektor di Sumatera (intra-regional) dari yang terbesar adalah sektor industri, jasa dan primer atau berpola (I-J-P). Berdasarkan skenario 1 sampai skenario 5 tahun 2008 sampai 2010, Sektor jasa paling mendapat keuntungan dari shock prasarana jalan, disusul kelompok sektor industri pengolahan dan terakhir sektor primer. Dalam setiap skenario, sektor primer yang mencakup sektor pertanian dan tanaman pangan lainnya tidak memperoleh peningkatan output melebihi sektor jasa maupun industri pengolahan. Rekapitulasi dampak shock prasarana jalan adalah seperti Tabel 12. Tabel 12. Dampak Guncangan Prasarana Jalan terhadap Kelompok Sektor Skenario Guncangan Output di Sumatera Dampak intraregional (Sumatera) Dampak inter-regional (Jawa-Bali) Dampak intraregional (Jawa-Bali) Guncangan output di Jawa-Bali Dampak interregional (Sumatera) 1 I - J-P J - I-P J-I-P I - P - J 3 J - I - P J - I - P 4 I-J-P J-I-P J-I-P I - P-J Keterangan - P = Kelompok sektor primer - I = Kelompok sektor industri pengolahan - J = Kelompok sektor Jasa - Pada skenario 3, injeksi terjadi bersamaan sehingga dampak intra-regional dan inter-regional saling berinteraksi Apabila dikaitkan dengan struktur ekonomi di Sumatera yang berpola Jasa Primer Industri dan di Jawa-Bali dengan pola Jasa Industri Primer, prasarana

17 196 jalan cenderung mengubah pola struktur ekonomi di Sumatera yang semula dominasisektor jasa menjadi dominasi sektor industri pengolahan bilamana dilakukan keberpihakan anggaran ke Sumatera. Sementara bila dilakukan shock prasarana jalan dengan konsep penganggaran seperti sekarang dimana adanya perimbangan biaya (Skenario 3), serta bila dilakukan keberpihakan anggaran di Jawa-Bali, maka prasarana jalan akan semakin menguatkan dominasi sektor jasa dan industri di Jawa-Bali. Berdasarkan semua konsep skenario, tidak ada skenario yang berpotensi mengangkat dominasi sektor primer Analisis Dampak Sebar dan Dampak Serap Balik Berdasarkan skenario 1 dengan pemberian injeksi miliar rupiah di Sumatera pada tahun 2008, terjadi peningkatan output total Sumatera dan Jawa- Bali tahun 2008 sebesar miliar rupiah yang didistribusikan ke Sumatera (self generated effect) sebesar miliar rupiah (Lampiran 32) dan sebesar miliar rupiah ke Jawa-Bali sebagai spill-over (Lampiran 33) atau sebesar persen dari nilai injeksi. Nilai self generated effect ini terdiri dari dampak langsung sebesar nilai injeksi awal yaitu miliar rupiah (44.82 persen) dan dampak tidak langsung miliar rupiah (55.18 persen) merupakan dampak serap balik dari Sumatera kembali ke Sumatera cukup berimbang dibandingkan dampak sebar dari Sumatera ke Jawa-Bali miliar rupiah. Skenario 1 tahun 2009 dengan injeksi miliar rupiah di Sumatera meningkatkan output total Sumatera dan Jawa-Bali miliar rupiah (332 persen), terdiri dari self generated effect di Sumatera miliar rupiah (Lampiran 34) dan spill-over effect sebagai dampak sebesar miliar rupiah (Lampiran 35) atau 103 persen dari injeksi. Self generated effect skenario 2 di

18 197 Sumatera terdiri dari dampak langsung miliar rupiah dan dampak tidak langsung sebagai dampak serap balik miliar rupiah (129 persen). Pada tahun 2010 dengan menggunakan skenario 1 yaitu injeksi miliar rupiah, terjadi peningkatan output total Sumatera dan Jawa-Bali tahun 2008 sebesar miliar rupiah (330 persen) yang di distribusikan ke Sumatera (self generated effect) sebesar miliar rupiah atau 230 persen (Lampiran 36) dan sebesar miliar rupiahke Jawa-Bali sebagai spill-over (Lampiran 37) atau sebesar persen dari nilai injeksi di sumatera. Nilai self generated effect ini terdiri dari dampak langsung yaitu miliar rupiah dan dampak tidak langsung sebesar miliar rupiah (129.8 persen) merupakan dampak serap balik dari Sumatera kembali ke Sumatera yang cukup berimbang dibandingkan dampak sebar dari Sumatera ke Jawa-Bali miliar rupiah. Berdasarkan skenario 1 dengan pembiayaan berpihak di Sumatera, diketahui dampak total dari injeksi prasarana jalan sebesar 330 persen, besaran dampak sebar prasarana jalan ke Jawa-Bali lebih dari 103 persen terhadap nilai injeksi di Sumatera, sedangkan dampak serap balik yang diperoleh berkisar 130 persen. Besaran nominal dampak serap balik berimbang atau hanya sedikit lebih tinggi dengan dampak sebar. Dampak perekonomian skenario 1 sama dengan skenario 4 hanya besarannya meningkat disebabkan nilai injeksinya juga meningkat. Kelihatan bahwa sebaran dampak injeksi prasarana jalan dengan skenario 1 berimbang antara dampak langsung, dampak tidak langsung (backwash effect) dan dampak sebar, artinya injeksi yang diberikan di Sumatera dinikmati hasilnya oleh Sumatera relatif sama besarnya dengan yang diperoleh Jawa-Bali. Skenario 2 dengan keberpihakan anggaran pada Jawa-Bali untuk tahun 2008 diberi injeksi prasarana jalan sebesar miliar rupiah. Total output yang

19 198 diperoleh miliar rupiah (298.8 persen) didistribusikan ke Jawa-Bali (self generated effect) sebesar miliar rupiah atau 275 persen (Lampiran 33), dan hanya sedikit ke Sumatera sebagai spill-over yaitu sebesar miliar rupiah (Lampiran 32) atau 23.8 persen dari nilai injeksi. Nilai self generated effect terdiri dari dampak langsung sebesar nilai injeksi yaitu miliar rupiahdan dampak tidak langsung sebagai dampak serap balik yang kembali ke Jawa-Bali sebesar miliar rupiah (175 persen). Skenario 2 pada tahun 2009 dengan injeksi sebesar miliar rupiah di Jawa-Bali menghasilkan total output sebesar miliar rupiah yang terdistribusikan ke Jawa-Bali sebagai self generated effect sebesar miliar rupiah (Lampiran 35) dan spill-over effect ke Sumatera sebesar miliar rupiah (Lampiran 34) atau persen terhadap nilai injeksi. Dampak langsung dari skenario 2 tahun 2009 adalah sebesar injeksi awal dan dampak langsung sebagai dampak serap balik sebesar miliar rupiah (174.8 persen). Pada tahun 2010 dengan skenario 2 menggunakan injeksi prasarana jalan sebesar miliar rupiah menghasilkan total output miliar rupiah (298 persen), didistribusikan ke Jawa-Bali (self generated effect) sebesar miliar rupiah dan ke Sumatera sebagai spill-over sebesar miliar rupiah. Nilai self generated effect ini terdiri dari dampak langsung sebesar miliar rupiah dan dampak tidak langsung sebesar miliar rupiah (175 persen). Skenario 2 memberi gambaran bahwa terjadi kebalikan dengan skenario 1. Total output yang diperoleh mencapai 298 persen terhadap nilai injeksi dan khusus di daerah sendiri (self generated), dampaknya mencapai 275 persen dan dampak sebar hanya mencapai 23.8 persen. Kelihatan bahwa injeksi pada skenario 2 dengan keberpihakan ke Jawa Bali, dampak serap balik mencapai lebih dari 7

20 199 kali dampak sebar, dengan kata lain hanya sedikit yang diberikan ke Sumatera sebagai spill-over dan sebagian besar dari total output kembai ke Jawa-Bali. Berdasarkan analisis dampak serap balik dan dampak sebar masing-masing pulau Sumatera dan Jawa-Bali, diketahui bahwa dampak serap balik yang diterima Jawa-Bali dengan adanya guncangan prasarana jalan di Jawa-Bali mencapai 175 persen sedangkan dampak serap balik yang diterima Sumatera dari guncangan di Sumatera lebih kecil yaitu 130 persen. Dampak sebar yang diterima Sumatera dengan adanya guncangan prasarana jalan di Jawa-Bali hanya sebesar 23 persen, sedangkan yang diterima Jawa-Bali dari guncangan di Sumatera mencapai 103 persen dari besar injeksi. Hal ini berarti bahwa perekonomian Jawa- Bali sangat sensitif dengan perubahan ekonomi Sumatera yang ditimbulkan prasarana jalan karena besarnya spill-over effect yang diterima Jawa-Bali, sedang perekonomian Sumatera kurang sensitif dengan adanya kemajuan ekonomi di pulau Jawa-Bali. Analisis pada skenario 2 menunjukkan besarnya dampak serap balik yang terjadi yaitu sebesar 175 persen dibandingkan dengan dampak sebar yang hanya 23.8 persen. Nilai dampak serap balik yang jauh lebih besar tersebut merupakan indikasi ketimpangan/ kesenjangan ekonomi antar kedua wilayah. Besaran dampak serap balik dan dampak sebar yang relatif seimbang akan memperkecil disparitas ekonomi antar kedua wilayah seperti yang ditunjukkan skenario 1 dengan keberpihakan anggaran prasarana jalan di Sumatera. Besaran dampak sebar pada skenario 2 menunjukkan sektor di Jawa-Bali masih menggunakan sebagian bahan baku (intermediate goods) yang di impor dari Sumatera, namun final goods yang dihasilkan Jawa-Bali di ekspor kembali ke Sumatera sebagai market area dan ini menimbulkan dampak serap balik yang

21 200 tinggi bagi Jawa-Bali. Untuk mengurangi dampak serap balik dan meningkatkan dampak sebar sehingga kesenjangan lebih kecil, sebaiknya dibangun pusat-pusat kegiatan ekonomi (growth pole theory) di Sumatera, dan alokasi pembiayaan pembangunan jalan dalam rangka mendukung pusat-pusat kegiatan ekonomi tersebut dapat di prioritaskan ke pulau Sumatera. Bilamana pusat kegiatan ekonomi tidak dibangun, maka pembangunan prasarana jalan tidak akan optimum Analisis Dampak Pendapatan Faktor Produksi. Stimulus ekonomi berupa peningkatan investasi pada sektor konstruksi jalan dan jembatan tidak saja berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan blok sektor tersebut (sektor target) dan sektor yang terkait dengan proses distribusi produk barang yang dihasilkan oleh setiap sektor, namun juga akan berpengaruh terhadap sektor atau institusi/ neraca lain melalui proses keterkaitan antar institusi/ neraca dan multiplier. Dengan adanya peningkatan output sektor produksi sebagai dampak investasi dari hasil suatu kebijakan, berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan tenagakerja maupun modal, yang menyebabkan meningkatnya pendapatan faktor produksi tersebut. Kenaikan pendapatan tenagakerja berupa upah gaji dan pendapatan bukan tenagakerja seperti modal ataupun surplus usaha berupa pendapatan sewa (rent). Pendapatan balas jasa tenagakerja seluruhnya ditransmisikan kepada institusi rumahtangga. Sementara itu, pendapatan berupa sewa modal (rent) ditransmisikan kepada institusi (rumahtangga, perusahaan dan pemerintah) sebagai pemilik sesungguhnya faktor produksi berupa peningkatan pendapatan institusi. Simulasi dengan skenario 1 pada tahun 2008 memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan balas jasa tenagakerja dan bukan tenagakerja (modal) di Sumatera (intra-regional impact) sebesar miliar rupiah dan sebagian

22 201 besar merupakan pendapatan untuk balas jasa modal yaitu sebesar miliar rupiah. Balas jasa modal adalah berupa sewa modal atau capital rent (Tabel 13). Sementara itu, dampak tidak langsung (inter-regional impact) yaitu peningkatan pendapatan faktor produksi di Jawa-Bali akibat adanya investasi jalan dan jembatan yang dilakukan di Sumatera adalah sebesar miliar rupiah yang terdiri dari peningkatan penerimaan untuk balas jasa modal sebesar miliar rupiah dan sisanya merupakan peningkatan pendapatan upah dan gaji. Untuk simulasi investasi infrastruktur jalan dan jembatan tahun 2009 dan tahun 2010 juga menunjukkan hasil yang sama dimana faktor produksi bukan tenagakerja (modal) sebagai penerima pendapatan terbesar akibat adanya investasi di Sumatera (Tabel 14 dan Tabel 15). Skenario 2 dengan investasi dilakukan di Jawa-Bali memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan terbesar terjadi pada faktor produksi bukan tenagakerja (modal) walau tidak terlalu besar perbedaannya terhadap tenagakerja. Skenario 3, 4 dan 5 pada Tabel 13 (tahun 2008), Tabel 14 (tahun 2009) dan Tabel 15 (tahun 2010) dapat menunjukkan besarnya dampak pendapatan di Jawa-Bali atau Sumatera untuk besaran simulasi dengan total kenaikan nilai investasi kedua pulau yang sama yaitu sebesar miliar rupiah untuk tahun 2008, Rp miliar (tahun 2009) dan Rp tahun Dari ketiga skenario simulasi kebijakan tersebut, skenario 4 yaitu simulasi kebijakan investasi hanya dilakukandi Sumatera memberikan dampak total (intra-regional dan interregional impact) tertinggi terhadap penerimaan faktor produksi dibandingkan skenario 3 dan skenario 5. Ini menunjukkan investasi jalan di Sumatera sangat kontributif terhadap peningkatan faktor produksi tenagakerja dan modal.

23 202 Khusus skenario 3 yang aktual terjadi, dampak injeksi sektor jalan dan jembatan di wilayah Sumatera dan Jawa-Bali terhadap faktor produksi lebih banyak dinikmati oleh faktor modal dibandingkan tenagakerja, namun dengan persentase yang tidak jauh berbeda. Di Sumatera dampak rata-rata terhadap tenagakerja berkisar 41.1 persen sementara terhadap kapital 58.8 persen. Sementara di Jawa-Bali dampak terhadap tenagakerja berkisar 48 persen dan kapital 52 persen. Dari gambaran terlihat penggunaan tenagakerja cukup signifikan di Jawa-Bali sesuai jumlah penduduk yang memang dominan di pulau ini. Dampak injeksi prasarana jalan terhadap faktor produksi pada skenario 3 seperti Gambar Sumatra Jaw a Bali Tenagakerja Kapital Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah) Gambar 44. Persentase Dampak Skenario 3 terhadap Faktor Produksi Pada skenario 4 tahun 2008 (Tabel 13), simulasi kebijakan peningkatan investasi jalan dan jembatan bila dilakukan di Sumatera saja berdampak pada peningkatan penerimaan faktor produksi di pulau Sumatera (intra-regional) sebesar miliar dan pendapatan faktor produksi di pulau Jawa-Bali (interregional) sebesar miliar.

24 203 Tabel 13. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Jalan dan Jembatan terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial Tahun 2008 (miliar Rp) Dampak INSTITUSI Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Sumatera Tenagakerja Bukan tenagakerja Total Sumatera Jawa-Bali Tenaga Kerja Bukan tenagakerja Total Jawa -Bali Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah). Dampak skenario 4 terhadap penerimaan faktor produksi merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan skenario 3 dan skenario 5. Apabila dilakukan simulasi kebijakan skenario 3 tahun 2008, maka penerimaan faktor produksi meningkat sebesar miliar di Sumatera dan miliar di Jawa-Bali. Sementara penerimaan faktor produksi di Sumatera meningkat sebesar miliardan di Jawa-Bali meningkat sebesar miliar rupiah jika dilakukan simulasi kebijakan skenario 5. Simulasi kebijakan tahun 2009 (Tabel 14) untuk skenario 4 menghasilkan peningkatan pendapatan faktor produksi di Sumatera miliar rupiah dan peningkatan faktor produksi di Jawa-Bali miliar rupiah. Sedangkan skenario 3 meningkatkan pendapatan faktor produksi di Sumatera miliar rupiah dan di Jawa-Bali sebesar Rp miliar rupiah. Simulasi skenario 5 merupakan peningkatan investasi jalan dan jembatan yang dilakukan hanya di Jawa-Bali saja (nilai investasi merupakan penjumlahan dari Sumatera dan Jawa- Bali) berdampak pada peningkatan penerimaan faktor produksi di Sumatera sebesar miliar rupiah dan di Jawa-Bali sebesar miliar rupiah.

25 204 Tabel 14. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Jalan dan Jembatan terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial Tahun 2009 (miliar Rp) INSTITUSI Dampak Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Sumatera Tenagakerja Bukan tenagakerja TotalSumatera Jawa-Bali Tenagakerja Bukan tenagakerja Total Jawa-Bali Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah) Hasil simulasi kebijakan yang dilakukan pada besaran nilai investasi jalan dan jembatan tahun 2010 (Tabel 15) memberikan dampak terbesar jika dilakukan investasi di Sumatera saja (Skenario 4) dengan nilai investasi sama seperti skenario 3 dan skenario 5. Semakin besar nilai investasi semakin tinggi dampak terhadap penerimaan faktor produksinya. Dampak penerimaan faktor produksi akibat adanya simulasi kebijakan yang dilakukan pada skenario 4 adalah miliar rupiah di Sumatera dan miliar rupiah di Jawa-Bali. Tabel 15. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Jalan dan Jembatan terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial Tahun 2010 (miliar Rp) Dampak INSTITUSI Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Sumatera Tenaga kerja Bukan tenagakerja Total Sumatera Jawa-Bali Tenaga kerja Bukan tenagakerja Total Jawa - Bali Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah)

26 Analisis Dampak terhadap Distribusi Pendapatan Institusi Peningkatan permintaan tenagakerja dan modal akan menambah pendapatan faktor produksi sebagai dampak peningkatan output sektoral, yang selanjutnya berdampak kepada institusi sebagai pemilik faktor produksi. Berdasarkan hasil penghitungan skenario 1 sampai 5, diketahui bahwa dengan scenario kebijakan kenaikan investasi di sektor jalan dan jembatan di tahun 2008 (Lampiran 38), tahun 2009 (Lampiran 39), dan tahun 2010 (Lampiran 40), maka institusi rumahtangga, perusahaan dan pemerintah baik di Sumatera maupun di Jawa-Bali dan secara total (nasional), mengalami peningkatan pendapatan. Skenario peningkatan investasi jalan dan jembatan di Sumatera (skenario 1) dibandingkan peningkatan investasi di Jawa-Bali (skenario 2) secara parsial memberikan dampak terhadap pendapatan tertinggi jika investasi dilakukan di Jawa-Bali, baik dampak langsung terhadap peningkatan pendapatan institusi dimana investasi dilaksanakan (intra-regional) maupun dampak tidak langsung terhadap pendapatan institusi wilayah lainnya (inter-regional). Kenaikan investasi sektor jalan dan jembatan di Sumatera (skenario 1) pada tahun 2008, meningkatkan pendapatan institusi (rumahtangga, perusahaan dan pemerintah) di Sumatera sebesar miliar. Berdasarkan rincian institusi maka akibat kenaikan investasi jalan dan jembatan di Sumatera, total institusi rumahtangga (rumahtangga buruh tani sampai dengan pengusaha golongan atas di kota) menerima pendapatan tertinggi dibandingkan institusi lain (perusahaan dan pemerintah). Sementara akibat dampak peningkatan investasi jalan di Sumatera terhadap pendapatan institusi di Jawa-Bali (spillover) ternyata meningkatkan pendapatan (rumahtangga, perusahaan dan pemerintah) sebesar miliar rupiah. Sementara itu, kenaikan investasi yang dilakukan di Jawa-Bali (skenario

27 206 2), ternyata meningkatkan pendapatan institusi di Jawa-Bali sebesar miliar rupiah, sedang pendapatan institusi di Sumatera meningkat miliar rupiah akibat kenaikan investasi jalan dan jembatan di Jawa-Bali. Selanjutnya, apabila investasi jalan dan jembatandi Sumatera dan Jawa-Bali dilakukan secara simultan (skenario 3) atau nilai investasi di Sumatera dan nilai investasi di Jawa-Bali dijumlahkan dan selanjutnya dilakukan investasi di pulau Sumatera saja (skenario 4), maka dampak terhadap pendapatan institusi akan lebih besar bila investasi dilakukan secara simultan di Sumatera dan Jawa-Bali (skenario 3). Pada lampiran 38 skenario 3 dengan investasi dilakukan di Sumatera dan Jawa-Bali secara simultan tahun 2008, maka pendapatan institusi di Jawa-Bali meningkat miliar rupiah, sementara institusi di Sumatera meningkat sebesar miliar rupiah. Namun apabila investasi jalan dan jembatan dilakukan di Sumatera saja (skenario 4) maka berdampak pada pendapatan institusi di Sumatera naik sebesar miliar rupiah dan pendapatan institusi di Jawa-Bali naik miliar rupiah. Apabila total jumlah nilai investasi di Sumatera dan Jawa-Bali dilakukan di Jawa-Bali saja (skenario 5), maka pendapatan institusi di Jawa-Bali meningkat sebesar miliar rupiah dan pendapatan institusi di Sumatera meningkat sebesar miliar rupiah. Berdasarkan analisis skenario 1, 2, 3, 4 dan 5 untuk tahun 2008, terlihat bahwa skenario investasi jalan dan jembatan pada skenario 5 (investasi dilakukan di Jawa-Bali saja) dengan nilai investasi miliar rupiah memberikan peningkatan secara total (dampak inter-regional ditambah dampak intra-regional) terhadap pendapatan institusi yang tertinggi dibandingkan dengan skenario 3 dengan shock investasi dilakukan bersamaan di Sumatera dan di Jawa-Bali, atau shock investasi hanya di Sumatera saja (skenario 4). Dampak total terhadap

28 207 pendapatan institusi di Jawa-Bali pada skenario 5 adalah sebesar miliar dan di Sumatera sebesar miliar rupiah. Skenario serupa (skenario 1, 2, 3, 4 dan 5) juga diterapkan terhadap perubahan investasi jalan dan jembatan pada tahun 2009 dan tahun 2010 dengan nilai investasi yang berbeda dengan tahun Dampak perubahan pendapatan institusi tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 39 dan dampak perubahan pendapatan institusi pada tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 40. Perubahan investasi pada tahun 2009 pada skenario 5 memberikan dampak terhadap pendapatan institusi sebesar miliar rupiah di Jawa-Bali dan 1.032,66 miliar rupiah di Sumatera. Skenario 5 ini merupakan skenario kebijakan investasi jalan dan jembatan tahun 2009 yang memberikan dampak pendapatan institusi yang tertinggi dibandingkan dengan skenario-skenario lainnya. Demikian pula skenario kebijakan peningkatan investasi jalan dan jembatan pada tahun 2010 memberikan kenaikan pendapatan institusi di Jawa-Bali sebesar miliar rupiah dan pendapatan institusi di Sumatera sebesar miliar rupiah pada skenario 5.Sementara itu, jika nilai investasi dalam jumlah yang sama pada tahun 2010 dilakukan di Sumatera saja (skenario 4) akan meningkatkan pendapatan institusi sebesar miliar rupiah di Sumateradan miliar rupiah. Selanjutnya jika investasi dilakukan secara simultan di Sumatra dan di Jawa-Bali (skenario 3) berdampak pada peningkatan pendapatan institusi di Jawa-Bali sebesar miliar rupiah dan pendapatan institusi di Sumatera meningkat sebesar miliar rupiah. Dari ketiga institusi sebagai pelaku ekonomi dan pemilik faktor produksi yaitu rumahtangga, perusahaan dan pemerintah, maka dampak pendapatan terhadap pendapatan institusi rumahtangga (total rumahtangga) adalah yang

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran IV. METODOLOGI Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) melalui APBN akan meningkatkan output sektor industri disebabkan adanya efisiensi/

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 5.1. Struktur Perkonomian Sektoral Struktur perekonomian merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap struktur Produk Domestik

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN 6.1. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan di Bagian ini akan menganalisis dampak dari peningkatan investasi pada

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

P U S J A T A N. Muktar Napitupulu 1), Mangara Tambunan 2), Arief Daryanto 3), Rina Oktaviani 4)

P U S J A T A N. Muktar Napitupulu 1), Mangara Tambunan 2), Arief Daryanto 3), Rina Oktaviani 4) DAMPAK INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP PEREKONOMIAN PULAU JAWA-BALI DAN SUMATERA (THE IMPACT OF ROAD INFRASTRUCTURE ON ECONOMICS IN JAVA, BALI AND SUMATERA) Muktar Napitupulu 1), Mangara Tambunan 2), Arief

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN 7.1. Peranan Langsung Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah Dalam kerangka dasar SNSE 2008, nilai tambah perekonomian dibagi atas tiga bagian

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan 138 BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA 6.1. Infrastruktur dan Kinerja perekonomian Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN 5.1. Posisi Pertambangan Batubara Indonesia dalam Pasar Global Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar minyak bumi (BBM) dan semakin

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis multiplier dan analisis jalur struktural (SPA) mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 trilyun terhadap

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI 157 VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI Salah satu kelebihan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah mampu menjelaskan dengan lengkap tiga aktivitas distribusi

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Pulau Kalimantan didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Pulau Kalimantan sangat kaya akan sumberdaya alam

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. Sub bab ini akan membahas tentang analisis hasil terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN No. 44/08/34/Th. XV, 2 Agustus 2013 Pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN

VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN Stimulus ekonomi di sektor agroindustri akan menghasilkan peningkatan output agroindustri. Melalui keterkaitan antar

Lebih terperinci

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Boks I Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Gambaran Umum Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini menghadapi risiko yang meningkat seiring masih berlangsungnya krisis

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA 6.1. Output Sektoral Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 19/05/31/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO 5.1. Struktur Industri Agro Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand diawali dengan meneliti persentase

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir merupakan suatu hal yang diperlukan dalam setiap penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 38/08/61/Th. XIII, 5 Agustus 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN BARAT TRIWULAN II TAHUN 2010 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan Barat triwulan II-2010 menurun

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,08 PERSEN No. 11/02/61/Th. XVII, 5 Februari 2014 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 72/11/35/Th. X, 5 November 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan III Tahun 2012 (y-on-y) mencapai 7,24 persen

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 31/05/35/Th. X, 7 Mei 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2012 (c-to-c) mencapai 7,19 persen Ekonomi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013 i ANALISIS PENDAPATAN REGIONAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 ii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya publikasi Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (U MKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIII, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 TUMBUH MENINGKAT 5,7 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 52/ V / 15 Nopember 2002 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA INDONESIA TRIWULAN III TAHUN 2002 TUMBUH 2,39 PERSEN Indonesia pada triwulan III tahun 2002 meningkat sebesar 2,39 persen terhadap triwulan II

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data 38 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun 2005. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA TRIWULAN IV-2004 Kegiatan usaha pada triwulan IV-2004 ekspansif, didorong oleh daya serap pasar domestik Indikasi ekspansi, diperkirakan berlanjut pada triwulan I-2005 Kegiatan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 08/02/34/Th. XI, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 17.968.449 19.510.919 1.542.470 8,58 2 Usaha Menengah (UM) 23.077.246 25.199.311 2.122.065 9,20 Usaha Kecil

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 47/11/34/Th. XIII, 7 November 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Penurunan momentum pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau di periode ini telah diperkirakan sebelumnya setelah mengalami tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA No. 18/05/31/Th. XI, 15 Mei 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2009 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2009 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di 120 No. 1 2 3 4 Tabel 3.5 Kegiatan Pembangunan Infrastruktur dalam MP3EI di Kota Balikpapan Proyek MP3EI Pembangunan jembatan Pulau Balang bentang panjang 1.314 meter. Pengembangan pelabuhan Internasional

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN 2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 48/08/34/Th.XVI, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN Kinerja pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH

VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH 7.1. Nilai Tambah Nilai Tambah Bruto (NTB) yang biasa disebut juga Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI B A B BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berbagai upaya ditempuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah Dalam konteks pembanguan saat ini,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 No.23/05/31/Th. XV, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I/2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th.XI, 5 Februari 2013 Ekonomi Jawa Timur Tahun 2012 Mencapai 7,27 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu bidang produksi dan lapangan usaha yang paling tua di dunia yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat. Sektor pertanian adalah sektor

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA TRIWULAN IV-2008 Sebagai dampak dari krisis keuangan global, kegiatan dunia usaha pada triwulan IV-2008 mengalami penurunan yang tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT)

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013 No. 09/02/31/Th. XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan IV/2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 23/05/61/Th. XIII, 10 Mei 2010 PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT TRIWULAN I TAHUN 2010 Kinerja perekonomian Kalimantan Barat pada triwulan I-2010 dibandingkan triwulan IV-2009,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 25/05/34/Th. XV, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Lebih terperinci

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun. Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% (yoy), sedangkan pertumbuhan triwulan IV-2011 secara tahunan sebesar 6,5% (yoy) atau secara triwulanan turun 1,3% (qtq). PDB per kapita atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 34/08/34/Th. XIII, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2011 SEBESAR -3,89 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun

Lebih terperinci

V. METODE PENELITIAN

V. METODE PENELITIAN V. METODE PENELITIAN 5.. Konstruksi Model IRSAM KBI-KTI Sebagaimana telah diungkapkan dalam Bab terdahulu bahwa studi ini akan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi Antarregional KBI-KTI atau

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 27/05/34/Th.XVI, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN Kinerja pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL 7.1. Neraca Pariwisata Jumlah penerimaan devisa melalui wisman maupun pengeluaran devisa melalui penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri tergantung

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013 No. 09/02/36/Th. VIII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013 Secara total, perekonomian Banten pada triwulan IV-2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci