VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN"

Transkripsi

1 VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN 7.1. Peranan Langsung Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah Dalam kerangka dasar SNSE 2008, nilai tambah perekonomian dibagi atas tiga bagian besar atau disagregasi pada komponen-komponen pendapatan tenaga kerja, modal dan pajak tidak langsung. Jika diamati pada masing-masing komponen nilai tambah tersebut, industri pupuk organik lebih banyak memberi pendapatan terhadap tenaga kerja dibandingkan ke penerimaan modal maupun pajak. Total pengeluaran pupuk organik sebesar Rp milyar sekitar persen dipancarkan ke tenaga kerja, sisanya persen untuk modal, dan 4.38 persen untuk penerimaan pajak, seperti yang terlihat pada Tabel 34. Beda halnya dengan industri pupuk anorganik, pengeluarannya lebih banyak dialokasikan untuk modal yakni sebesar persen dari total pengeluarannya sebesar Rp milyar, sedangkan untuk tenaga kerja sebesar persen dan pajak sebesar 9.86 persen. Adanya perbedaan menghasilkan nilai tambah diantara kedua sektor pupuk tersebut disebabkan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan produksi masing-masing industri tidak sama. Industri pupuk organik lebih banyak mengandalkan tenaga kerja dibandingkan mesin, sehingga pengeluaran untuk tenaga kerjanya lebih besar dibandingkan modal. Sedangkan pada produksi pupuk anorganik kebutuhan peralatan dan mesin produksi lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja. Mulai dari penyaluran gas melalui pipa ke pabrik, kemudian konversi gas, masuk ke unit sintesa gas, nitrogen, hidrogen, amoniak, pembutiran,

2 198 hingga menjadi pupuk seluruhnya menggunakan mesin produksi yang membutuhkan modal lebih besar. Tabel 34. Struktur Nilai Tambah Sektor Pupuk dan Beberapa Sektor yang Terkait Dirinci Menurut Komponennya Berdasarkan SNSE 2008 Sektor Produksi Tenaga Kerja (%) Modal (%) Pajak (%) Total (%) Total Nilai Pengeluaraan (Rp. Juta) Ind Pupuk Anorganik Ind Pupuk Organik Konstruksi Jalan & Jembt Konstruksi Irigasi Konstruksi Lainnya Pertanian Pertambgn & Penggalian Ind Lain di Luar Pupuk Jasa-Jasa Sumber : data diolah Beberapa sektor yang terkait ada juga yang lebih padat karya (tenaga kerja) sama seperti industri pupuk organik, misalkan sektor konstruksi irigasi, pertanian dan jasa-jasa, seluruh sektor ini lebih banyak memberi nilai tambah terhadap tenaga kerja dibandingkan untuk modal dan pajak. Rata-rata pengeluaran untuk tenaga kerja pada sektor-sektor tersebut antara 51 persen sampai dengan 76 persen dari total biaya produksi. Akan tetapi untuk sektor-sektor seperti konstruksi lain (gedung, perumahan, instalasi, dan lain-lain), pertambangan dan penggalian, dan industri lainnya (bukan pupuk), semuanya tergolong padat modal oleh karena pengeluarannya lebih banyak untuk biaya modal, kurang lebih sekitar 55 persen hingga 67 persen dari total pengeluarannya. Apabila dilihat dari peranan langsungnya, dapat dikatakan bahwa peranan sektor pupuk dalam perekonomian Indonesia selama ini sangat kecil di dalam menciptakan nilai tambah dibandingkan sektor-sektor lain. Seperti yang disajikan pada Tabel 35, kontribusi sektor pupuk terhadap total nilai tambah perekonomian

3 199 Indonesia hanya mencapai 1.64 persen, yang berasal dari industri pupuk anorganik sebesar 1.63 persen dan industri pupuk organik sebesar 0.01 persen. Persentasenya sangat jauh di bawah sektor industri lain (bukan pupuk) yang mampu memberi kontribusi terhadap penciptaan nilai tambah perekonomian sebesar persen, sektor pertanian sebesar persen, atau sektor jasa-jasa sebesar persen. Meskipun demikian dibandingkan sektor konstruksi irigasi, jalan dan jembatan, peranan sektor pupuk terhadap nilai tambah perekonomian masih lebih baik, oleh karena kedua sektor konstruksi ini kontribusinya jika dijumlahkan hanya mencapai 1.46 persen. Tabel 35. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah dan Perbandingannya dengan Beberapa Sektor yang Terkait Menurut SNSE 2008 Sektor Produksi Tenaga Kerja (%) Modal (%) Pajak (%) Nilai Tambah (%) Industri Pupuk Anorganik Industri Pupuk Organik Konstruksi Jalan dan Jembatan Konstruksi Irigasi Konstruksi Lainnya Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Lain di Luar Pupuk Jasa-Jasa Total Persentase Total Penerimaan (Rp. Juta) Sumber : data diolah Selanjutnya jika diperhatikan pada masing-masing komponen nilai tambah yang diciptakan, kontribusi sektor pupuk (anorganik dan organik) juga terlihat

4 200 sangat kecil, baik itu terhadap tenaga kerja, modal maupun pajak. Untuk nilai tambah tenaga kerja andilnya secara langsung hanya sebesar 1.78 persen, kemudian pada modal sebesar 2.50 persen, dan pajak sebesar 4.67 persen. Semua ini jika diperhatikan dengan seksama lebih banyak disumbangkan oleh industri pupuk anorganik, sedangkan industri pupuk organik untuk saat ini sama sekali tidak dapat diandalkan sebagai mesin penghasil nilai tambah perekonomian, karena bila dilihat kembali pada Tabel 34 kontribusinya dalam perekonomian tidak mampu lebih dari 1 persen baik itu terhadap nilai tambah tenaga kerja, modal maupun pajak. Sektor-sektor jasa saat ini menjadi kontributor terbesar untuk nilai tambah tenaga kerja dan modal, dengan nilai persentasenya masing-masing sebesar persen dan persen dari total nilai tambah tenaga kerja dan modal yang tercipta dalam perekonomian. Sedangkan nilai tambah untuk pajak yang paling tinggi andilnya adalah sektor industri lain (bukan pupuk), kurang lebih kontribusinya sebesar persen dari total nilai tambah pajak yang terbentuk dalam perekonomian. Sektor-sektor primer seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, kontribusinya terhadap penciptaan nilai tambah perekonomian dapat dikatakan cukup besar, walaupun masih di bawah sektor industri lain (bukan pupuk) dan sektor jasa-jasa. Proporsi sektor pertanian dalam komposisi nilai tambah perekonomian mencapai persen, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 9.64 persen. Dimana dalam struktur nilai tambah tenaga kerja, sektor pertanian mempunyai andil sekitar persen, dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 5.91 persen. Sedangkan dalam struktur nilai tambah

5 201 modal, sektor pertanian mampu memberi kontribusi sebanyak persen, sementara sektor pertambangan dan penggalian sebesar persen. Berdasarkan serangkaian angka persentase proporsi yang telah dijabarkan di atas dapat digeneralisasikan bahwa sektor pupuk sampai saat ini tidak dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan nilai tambah dalam perekonomian Indonesia, oleh karena peranannya secara langsung dalam menghasilkan nilai tambah tenaga kerja, modal dan pajak sangat rendah. Memang kalau dilihat dari fungsinya, pengembangan sektor pupuk ini bukan ditujukan untuk menciptakan nilai tambah perekonomian yang besar dan yang dapat diandalkan, tetapi lebih difokuskan untuk mendukung peningkatan dan keberlanjutan produksi di sektor pertanian. Karena pupuk mempunyai peran yang sangat strategis sebagai penyedia hara tanah dalam upaya menaikkan produksi dan produktivitas pertanian. Namun ironisnya, jika diperhatikan secara khusus dalam komposisi biaya input sektor pertanian terlihat bahwa berdasarkan kajian SNSE 2008 proporsi pengeluaran sektor pertanian untuk pupuk ternyata sangat kecil yakni hanya 2.95 persen, jauh di bawah pengeluaran untuk tenaga kerja dan modal yang mencapai persen, lihat Gambar 36. Selain itu, lebih kecil juga dibandingkan dengan pengeluaran untuk pembelian input dari sektor industri lain (bukan pupuk) sebesar 7.81 persen dan sektor jasa sebesar 7.34 persen. Bahkan dengan margin perdagangan dan pengangkutan proporsinya masih di bawah, dimana dalam komposisi biaya input sektor pertanian proporsi margin perdagangan dan pengangkutan sekitar 7.41 persen. Kecilnya proporsi sektor pupuk dalam struktur biaya input sektor pertanian secara nasional dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, penggunaan

6 202 pupuk di sektor pertanian selama ini belum maksimal yang disebabkan kurangnya pasokan pupuk dalam negeri sehingga tidak semua petani memperoleh pupuk. Sebagai contoh pada tahun 2009, Indonesia harus mengimpor pupuk akibat kekurangan bahan bakar gas yang dialami industri pupuk nasional serta industri pupuk yang sudah banyak menua sehingga tidak mampu menghasilkan produksi pupuk sesuai dengan kapasitas normalnya. Sumber : data diolah Gambar 36. Struktur Biaya Input Sektor Pertanian Menurut SNSE 2008 Kedua, faktor lainnya yang bisa juga terjadi karena volume pupuk yang digunakan oleh petani selama ini secara nasional belum optimal yang diakibatkan antara lain harga pupuk yang tidak terjangkau petani, kurangnya pengetahuan petani terhadap manfaat dan penggunaan pupuk, kondisi alam yang menyuburkan tanah tanpa pemupukan dan sebagainya. Rendahnya penggunaan pupuk oleh petani ini dapat dijelaskan misalnya dengan terjadinya over stock pupuk anorganik sebanyak 200 ribu ton di pabrik Petrokimia Gresik Jawa Timur pada tahun 2011,

7 203 yang mana hal ini akan berdampak terhadap 18 pabrik pupuk organik yang terancam gulung tikar. Berdasarkan seluruh fakta yang terungkap di atas, maka sekali lagi terlihat bahwa jika sektor pupuk tersebut diamati peranannya secara langsung terhadap perekonomian Indonesia dapat dikatakan sangat rendah, baik itu rendah dalam menciptakan nilai tambah maupun rendah pemanfaatannya dalam produksi sektor lainnya Peranan Sektor Pupuk dalam Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan dalam struktur SNSE secara khusus dapat dilihat pada neraca endogen yang diagregasi menjadi tiga bagian yakni neraca distribusi pendapatan faktorial, institusi dan produksi. Dimana pada masing-masing neraca tersebut terdapat beberapa aktivitas yang lebih rinci, misalkan untuk neraca faktorial dibagi menjadi tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Kemudian tenaga kerja itu sendiri dibagi menjadi tenaga kerja pertanian, produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar, tata usaha, penjualan, jasa-jasa, dan sebagainya. Termasuk juga dipisahkan menjadi tenaga kerja penerima upah dan bukan penerima upah, desa dan kota, begitu seterusnya. Neraca pendapatan yang lain juga mendisgregasi aktivitasnya sesuai karakteristik masing-masing. Dalam ulasan awal ini akan dibahas bagaimana peranan sektor pupuk terhadap masing-masing distribusi pendapatan, khususnya secara agregat yakni pada distribusi pendapatan faktorial, institusi, produksi, dan total output. Dimana untuk mengamati besaranya peranan tersebut digunakan nilai multiplier SNSE yang dapat menggambarkan peranan secara total mencakup peranannya secara

8 204 langsung dan tidak langsung. Selengkapnya hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial, Institusi, Produksi dan Total Output Berdasarkan Multiplier SNSE 2008 Sektor Produksi Kode Faktorial Institusi Produksi Total Output Industri pupuk anorganik Industri pupuk organik Pertanian tanaman pangan Pertanian tanaman lainnya Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Konstruksi jalan dan jembatan Konstruksi irigasi Konstruksi lainnya Sumber : data diolah Pada Tabel 36 terlihat bahwa peranan sektor pupuk terhadap distribusi pendapatan dalam perekonomian Indonesia cukup tinggi, sejajar dengan sektor pertanian dan konstruksi. Terutama sektor pupuk organik, lebih tinggi perananannya dibandingkan pupuk anorganik. Dimana untuk total output, nilai multiplier sektor pupuk organik adalah sebesar yang lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik sebesar Angka multiplier total output sebesar pada sektor pupuk organik mengindikasikan bahwa jika ada stimulus fiskal sebesar 1 milyar pada sektor pupuk organik maka total pendapatan dalam perekonomian Indonesia secara keseluruhan akan meningkat

9 205 sebanyak milyar rupiah. Sedangkan melalui sektor pupuk anorganik, jika diberi stimulus fiskal sebanyak 1 milyar rupiah akan memberi dampak terhadap kenaikan total pendapatan dalam perekonomian Indonesia sebesar milyar rupiah. Jika ditelusuri lebih jauh, dalam seluruh distribusi pendapatan peranan sektor pupuk organik terlihat lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik. Mulai distribusi faktorial, institusi hingga produksi, nilai multiplier sektor pupuk organik selalu lebih tinggi dibandingkan multiplier sektor pupuk anorganik. Untuk distribusi faktorial, nilai multiplier sektor pupuk organik adalah sebesar , lebih tinggi dibandingkan multiplier pendapatan faktorial sektor pupuk anorganik sebesar Demikian juga untuk distribusi pendapatan institusi, peranan sektor pupuk organik dalam perekonomian lebih menonjol dibandingkan sektor pupuk anorganik, dengan nilai multiplier-nya masing-masing sebesar dan Terakhir pada distribusi pendapatan produksi, sektor pupuk organik mampu menciptakan multiplier-nya sebesar , sedangkan sektor pupuk anorganik sebesar Berdasarkan seluruh angka multiplier distribusi pendapatan di atas maka dapat digeneralisasikan bahwa peranan sektor pupuk anorganik dalam perekonomian Indonesia terlihat lebih kecil dibandingkan sektor pupuk organik. Kondisi ini dapat terjadi karena jika dianalisa dari keterkaitan ke belakang (backward linkage) peranan sektor pupuk anorganik memang akan terlihat lebih kecil dibandingkan sektor pupuk organik, yang disebabkan keterkaitan sektor pupuk anorganik dengan sektor-sektor produksi lainnya sangat sedikit, terkonsentrasi pada beberapa sektor saja seperti dengan industri migas, kimia,

10 206 logam dan mesin. Selain itu, sifatnya juga padat modal, sehingga rendah hubungannya dengan tenaga kerja, yang pada akhirnya memiliki peran yang rendah juga terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga. Beda jauh dengan sektor pupuk organik yang mempunyai banyak keterkaitan ke belakang dengan sektor-sektor lain seperti sektor peternakan, tanaman pangan, perikanan, kimia, dan sebagainya. Fakta lainnya sektor pupuk organik adalah padat karya yang lebih mengandalkan tenaga kerja yang dimiliki oleh rumah tangga. Hal ini menyebabkan peranan sektor pupuk organik terhadap pendapatan rumah tangga terlihat lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik. Untuk menelusuri lebih mendalam bagaimana peranan sektor pupuk tersebut dalam perekonomian Indonesia, pada pembahasan berikut ini dijelaskan multiplier pendapatan sektor pupuk yang lebih rinci pada masing-masing neraca pendapatan, dimana untuk neraca pendapatan faktorial dibagi atas 17 aktivitas, kemudian neraca institusi dibagi menjadi 12 aktivitas, dan terakhir untuk neraca produksi terdiri atas 24 aktivitas. Selengkapnya nilai multiplier untuk masingmasing neraca tersebut dapat dilihat pada Tabel 37, Tabel 38 dan Tabel 39. Dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa sektor pupuk organik merupakan sektor produksi yang padat karya, dimana jika dianalisa secara langsung, nilai pengeluaran tenaga kerja lebih besar dibandingkan modal. Hal yang sama juga terlihat pada nilai multiplier-nya yang dapat menggambarkan peranan langsung dan tidak langsung sekaligus dari sektor pupuk organik terhadap pendapatan faktorial. Seperti yang disajikan dalam Tabel 37, nilai multiplier tenaga kerja dari sektor pupuk organik adalah lebih besar dibandingkan nilai multiplier modalnya sebesar Ini berarti jika ada stimulus fiskal

11 207 sebesar 1 milyar rupiah pada sektor pupuk organik maka pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan dalam perekonomian Indonesia akan meningkat sebanyak milyar rupiah, sedangkan pendapatan modal meningkat sebanyak milyar rupiah. Tenaga kerja yang paling besar menyerap efek multiplier dari sektor pupuk organik adalah tenaga kerja produksi penerima upah di desa (5) dan kota (6), serta tenaga kerja tata usaha, penjualan, jasa-jasa penerima upah di kota (10), masing-masing secara berurutan menyerap persen, persen dan persen dari total multiplier tenaga kerja yang dipancarkan oleh sektor pupuk organik sebesar milyar rupiah. Dengan kata lain ketiga tenaga kerja tersebut menyerap efek multiplier tenaga kerja sektor pupuk organik sebanyak persen. Sedangkan untuk tenaga kerja lainnya rata-rata di bawah 10 persen, dimana yang cukup besar adalah tenaga kerja pertanian bukan penerima upah di desa (3) sebanyak 9.23 persen. Keadaan yang sama juga pada sektor pupuk anorganik, ketiga tenaga kerja yang disebutkan pertama di atas yakni tenaga kerja produksi penerima upah di desa (5) dan kota (6), serta tenaga kerja tata usaha, penjualan, jasa-jasa penerima upah di kota (10) menyerap efek multiplier tenaga kerja yang lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja lainnya. Namun demikian, sektor pupuk anorganik sebenarnya terlihat lebih banyak memancarkan efek multiplier ke faktor bukan tenaga kerja daripada ke tenaga kerja.

12 Pertanian Tabel 37. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Faktorial Berdasarkan Multiplier Pendapatan Faktorial Produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar Tata usaha, penjualan, jasa-jasa Kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi Jenis Faktor Produksi Kode Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Total Multiplier Tenaga Kerja Bukan Tenaga kerja (modal dan lahan) Sumber : data diolah Total Multiplier Faktor Produksi

13 209 Sesuai dengan sifat teknologi yang digunakan yakni padat modal, akhirnya multiplier yang diciptakan menjadi lebih banyak ke faktor bukan tenaga kerja yakni sebanyak Sedangkan pada tenaga kerja efek multiplier-nya sebesar Ini berarti ketika ada stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah di sektor pupuk anorganik akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertambahan pendapatan modal (bukan tenaga kerja) sebesar milyar rupiah, sementara pendapatan tenaga kerja meningkat sebanyak Dengan kata lain efek multiplier yang dipancarkan oleh sektor pupuk anorganik akan diserap lebih banyak oleh faktor modal sebesar persen, sisanya persen diserap oleh faktor tenaga kerja. Beberapa sektor terkait yang mempunyai karakteristik padat karya juga adalah sektor pertanian tanaman pangan, tanaman lainnya, peternakan dan konstruksi irigasi, perhatikan Tabel 37. Keempat sektor ini memberi efek multiplier yang lebih besar kepada tenaga kerja dibandingkan modal. Dimana untuk setiap satu-satuan nilai multplier yang dipancarkan rata-rata sekitar persen diberikan ke faktor tenaga kerja, sisanya persen ke faktor modal. Beda halnya dengan sektor kehutanan, perikanan, konstruksi jalan dan jembatan, serta sektor konstruksi lainnya (pemukiman, gedung, dan lain-lain), semua sektor ini mempunyai karakteristik yang padat modal, indikasinya dapat dilihat pada efek multiplier faktor produksi dari masing-masing sektor tersebut dimana untuk setiap satu-satuan nilai multiplier yang dihasilkan rata-rata persen lebih banyak dipancarkan ke faktor modal, sisanya persen ke faktor tenaga kerja. Seluruh rumah tangga dipastikan dapat menjadi supplier atau pemasok tenaga kerja, sebagaimana yang tercermin pada jam kerja yang ditawarkan oleh rumah

14 210 tangga. Akan tetapi untuk modal, tidak semua rumah tangga memilikinya untuk ditawarkan dalam pasar input. Pada umumnya yang memiliki modal adalah rumah tangga yang berpendapatan menengah ke atas. Oleh karena ada perbedaan kepemilikan sumber daya ekonomi inilah yang menyebabkan mengapa sektorsektor yang lebih banyak memancarkan efek multiplier ke faktor tenaga kerja terlihat lebih tinggi peranannya terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga, dibandingkan sektor-sektor yang lebih banyak memancarkan efek multiplier ke pendapatan modal. Seperti yang disajikan pada Tabel 38, sektor pupuk organik (43) yang sebelumnya terindikasi mempunyai peranan yang tinggi terhadap tenaga kerja dibandingkan sektor pupuk anorganik, dalam neraca pendapatan institusi terlihat jelas kontribusinya terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik (42). Dimana hal ini ditunjukkan dengan angka multiplier pendapatan rumah tangga sektor pupuk organik yang mencapai lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik sebesar Ini berarti, jika ada stimulus fiskal di sektor pupuk organik sebesar 1 milyar rupiah, akan memberikan dampak terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga secara keseluruhan sebesar milyar rupiah. Sedangkan pada sektor pupuk anorganik, hanya memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga sebesar milyar rupiah untuk besaran stimulus fiskal yang sama. Namun demikian, terhadap kenaikan pendapatan perusahaan dan pemerintah, peranan sektor pupuk anorganik terlihat lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk organik.

15 211 Tabel 38. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Rumah tangga, Perusahaan dan Pemerintah Berdasarkan Multiplier Pendapatan Institusi Institusi Kode RT Buruh Tani RT Pengusaha memiliki tanah 0,000 ha - 0,500 ha Pengusaha Pengusaha memiliki tanah 0,500 ha - 1,00 ha Pertanian Pengusaha memiliki tanah 1,000 ha - lebih Pengusaha bebas golongan rendah tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar RT Bukan Pertanian Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas Pedesaan Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas Pengusaha bebas golongan rendah tenaga tata usaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar RT Bukan Pertanian Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas Perkotaan Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas Total Multiplier Rumah tangga Perusahaan Pemerintah Total Multiplier Institusi Sumber : data diolah 211

16 212 Dalam Tabel 38 kondisi tersebut tercermin pada nilai multiplier pendapatan perusahaan dan pemerintah untuk masing-masing sektor yang dimaksud, yang mana nilai multiplier sektor pupuk anorganik adalah sebesar terhadap pendapatan perusahaan, dan terhadap pendapatan pemerintah. Sehingga dapat digeneralisasikan bahwa jika ada stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah di sektor pupuk anorganik maka pendapatan perusahaan dan pemerintah masing-masing akan meningkat sebanyak milyar rupiah dan milyar rupiah. Sementara itu nilai multiplier dari sektor pupuk organik terhadap pendapatan perusahaan sebesar , dan terhadap pendapatan pemerintah sebesar Karakteristik industri pengolahan pupuk anorganik dengan pupuk organik sangat berbeda jauh. Pada umumnya industri pupuk anorganik dikelola dengan bentuk badan usaha PT terutama BUMN dalam skala besar, dan menjadi sumber pendapatan pajak yang cukup besar bagi pemerintah. Oleh sebab itu, dampaknya terhadap pendapatan perusahaan dan pemerintah terlihat lebih tinggi. Beda halnya dengan industri pupuk organik yang lebih banyak dikelola perusahaan kecil bahkan perorangan (home industry) dalam skala usaha mikro dan kecil, membuat sektor ini terlihat lebih rendah peranannya terhadap pendapatan perusahaan dan pemerintah. Dalam Tabel 38 tampak jelas juga bahwa efek multiplier yang dipancarkan oleh sektor pupuk organik lebih banyak diserap oleh rumah tangga perdesaan bukan pertanian, khususnya pengusaha bebas golongan rendah (22). Golongan rumah tangga ini menerima efek multiplier dari sektor pupuk organik sebesar atau sekitar persen dari total multiplier pendapatan rumah tangga

17 213 yang diciptakan oleh sektor pupuk organik. Menyusul kemudian rumah tangga bukan pertanian perkotaan, khususnya pengusaha bebas golongan atas (27) yakni sebesar atau persen, serta pengusaha bebas golongan rendah (25) sebesar atau persen. Lain halnya dengan sektor pupuk anorganik, efek multiplier-nya ternyata paling banyak dinikmati oleh rumah tangga bukan pertanian perkotaan, khususnya pengusaha bebas golongan atas (27) dan rendah (25), masing-masing sebesar atau persen dan atau persen dari total multiplier pendapatan rumah tangga yang dihasilkan sektor pupuk anorganik, kemudian rumah tangga perdesaan bukan pertanian, khususnya pengusaha bebas golongan rendah (22) yakni sebesar atau sekitar persen. Selengkapnya untuk seluruh rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 37 berikut ini. Nilai Multiplier Sektor Pupuk Anorganik Sektor Pupuk Organik Golongan Rumah tangga Sumber : data diolah Gambar 37. Nilai Multiplier Pendapatan Rumah Tangga pada Sektor Pupuk Organik dan Sektor Pupuk Anorganik

18 214 Apabila dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, ternyata peranan sektor pupuk organik terhadap kenaikan pendapatan rumah tangga dapat dinilai paling tinggi dalam perekonomian. Indikasinya terlihat pada nilai multiplier pendapatan rumah tangga masing-masing sektor di Tabel 38. Nilai multiplier untuk sektor pupuk organik (43) adalah sebesar , sedangkan sektor tanaman pangan (30) sebesar , sektor konstruksi irigasi (46) sebesar , sektor tanaman perkebunan (31) sebesar , dan sektor-sektor lainnya rata-rata sebesar Jika diamati lebih jauh dalam Tabel 38, yang menyebabkan peranan sektor pupuk organik terlihat paling tinggi terhadap pendapatan rumah tangga dibandingkan sektor yang lain, oleh karena nilai multiplier-nya terhadap pendapatan rumah tangga bukan pertanian di desa untuk pengusaha bebas golongan rendah (22) paling besar dan sangat mencolok dibandingkan sektorsektor yang lain, yaitu sebesar Sedangkan sektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, konstruksi jalan dan jembatan, konstruksi irigasi, dan konstruksi lainnya, mempunyai multiplier pendapatan terhadap rumah tangga tersebut hanya sekitar paling rendah dan paling tinggi, seluruhnya jauh di bawah nilai multiplier sektor pupuk organik Meskipun demikian jika diperhatikan pada golongan rumah tangga yang berpendapatan rendah di sektor pertanian yakni buruh tani (18) dan petani gurem (19), peranan sektor pupuk organik terlihat lebih kecil dibandingkan sektor-sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan).

19 215 0,2500 0,2000 0,1500 0,1000 0,0500 0,0000 0,1951 0,1697 0,0527 0,0728 0,0759 0,1110 0,0982 0,1057 0,1011 0,1401 0,1391 0,1360 0,1028 0,1164 0,0568 0,0854 0,0650 0,1032 0,0566 0, Sumber : data diolah RT Buruh Tani Petani Gurem Gambar 38. Nilai Multiplier Pendapatan Rumah Tangga Buruh Tani dan Petani Gurem Pada Sektor Pupuk, Pertanian dan Konstruksi Sebagaimana yang disajikan pada Gambar 38, terlihat jelas bahwa nilai multiplier sektor pupuk organik terhadap buruh tani hanya sebesar , dan petani gurem sebesar Kedua nilai multiplier ini jauh di bawah nilai multiplier sektor pertanian yang berkisar diantara terhadap pendapatan rumah tangga buruh tani, dan terhadap petani gurem. Berdasarkan berbagai fenomena yang telah digambarkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa walaupun sektor pupuk, terutama pupuk organik, mempunyai peranan yang paling tinggi terhadap pendapatan rumah tangga, namun kontribusinya terhadap rumah tangga tani yang berpendapatan rendah sangat kecil, sehingga kurang dapat diandalkan sebagai salah satu sektor yang mampu mengangkat kesejahteraan rumah tangga tani yang hidup sangat miskin di perdesaan yang umumnya adalah buruh tani dan petani gurem. Akan tetapi, untuk mengangkat derajat kesejahteraan bagi rumah tangga perdesaan yang tidak bekerja di sektor pertanian, dimana sebagian dari mereka juga ada yang

20 216 berpendapatan rendah seperti rumah tangga pedagang keliling, buruh kasar dan pekerja bebas sektor angkutan, peranan dari sektor pupuk organik ini dapat diandalkan dan dijadikan sebagai salah prioritas pembangunan sektoral dalam upaya meningkatkan pendapatan rumah tangga perdesaan. Terjadinya integrasi ekonomi antar sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam ekonomi pasar, integrasi ekonomi dapat dilihat jelas ketika terjadi interaksi antara pelaku ekonomi yang saling jual beli input produksi. Misalkan, produsen tahu tempe membutuhkan input kedelai sebagai bahan bakunya, untuk itu produsen harus membelinya dari petani kedelai. Adapun petani kedelai jika ingin meningkatkan outputnya sangat membutuhkan pupuk yang dibelinya dari pabrik pupuk. Sementara itu pabrik pupuk sangat membutuhkan mesin-mesin untuk memproduksi pupuknya, begitu seterusnya interaksi antar sektor produksi terjadi dalam sebuah perekonomian. Sudah pasti suatu sektor produksi tidak bisa berkembang hanya dengan mengandalkan kekuatannya sendiri. Untuk melihat seberapa jauh keterkaitan ekonomi antara satu sektor produksi dengan sektor produksi lainnya dapat diamati dari besaran multiplier pendapatan produksi masing-masing sektor dalam tabel SNSE. Khususnya jika dianalisa dari keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang menggambarkan bagaimana dampak dari kenaikan produksi suatu sektor terhadap produksi di sektor lain melalui permintaan input antara. Dalam kajian kali ini secara khusus akan dibahas bagaimana keterkaitan sektor pupuk dengan sektor-sektor lainnya yang dianalisa menggunakan nilai multiplier pendapatan produksi SNSE sebagaimana yang disajikan pada Tabel 39.

21 217 Jika diperhatikan pada nilai total multiplier produksi, dapat dikatakan bahwa peranan sektor pupuk organik dalam perekonomian tampak lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik. Indikasinya, sektor pupuk organik mempunyai dampak multiplier yang lebih tinggi yakni sebesar , sedangkan sektor pupuk anorganik sebesar Nilai multiplier sebesar artinya jika ada stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah di sektor pupuk organik maka akan menyebabkan kenaikan produksi dalam perekonomian sebesar milyar rupiah yang terdistribusi pada kenaikan produksi di sektor pupuk organik itu sendiri (own multiplier) sebanyak milyar rupiah, dan produksi di sektorsektor lainnya (other sector linkage) dalam perekonomian sebesar milyar rupiah. Sedangkan untuk sektor pupuk anorganik, jika diberi stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah, dampaknya terhadap kenaikan produksi secara keseluruhan dalam perekonomian adalah sebesar milyar rupiah yang teralokasi pada kenaikan produksi di sektor itu sendiri (owner) sebesar milyar rupiah dan sektor-sektor lainnya (other sector linkage) sebesar milyar rupiah. Dari serangkaian angka multiplier ini terlihat jelas bahwa keterkaitan ke belakang sektor pupuk organik terhadap sektor-sektor lainnya dalam perekonomian lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik yang terlihat lebih ekslusif. Ada dua indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan kondisi tersebut.

22 Tabel 39. Peranan Sektor Pupuk Terhadap Distribusi Pendapatan Produksi Berdasarkan Multiplier Pendapatan Sektor Produksi Sektor Produksi Kode Pertanian tanaman pangan Pertanian tanaman lainnya Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Penambangan batubara, bijih logam, minyak, gas dan panas bumi Pertambangan dan penggalian lainnya Industri makanan, minuman dan tembakau Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Industri kayu & barang dari kayu Industri kertas, perctk, alat angktn & brg dr logam & ind. lainnya Industri kimia, hasil dari tanah liat, semen Industri pupuk anorganik Industri pupuk organik Listrik, gas dan air bersih Konstruksi jalan dan jembatan Konstruksi irigasi Konstruksi lainnya Perdagangan, restoran dan hotel Angktan, komunikasi, jasa penunjang angkutan, dan pergudangan Bank dan asuransi Real estate dan jasa perusahaan Pemerinth & perthn, penddk, kesehatan, film & jasa sosial lainnya Jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya Total Multiplier : Owner Total Multiplier : Other Sector Linkage Total Multiplier : Production Sumber : data diolah

23 219 Pertama, nilai multiplier keterkaitan ke belakang dari sektor pupuk organik yaitu terlihat lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik yaitu , hal ini menandakan bahwa sektor pupuk organik lebih terbuka dibandingkan sektor pupuk anorganik. Kedua, nilai multiplier owner sektor pupuk anorganik yaitu terlihat relatif lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk organik yaitu , yang berarti sektor pupuk anorganik lebih tertutup dibandingkan sektor pupuk organik. Ironisnya, meskipun sektor pupuk mempunyai peranan yang lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik dalam kenaikan produksi sektor-sektor lain, namun daya serap sektor-sektor penguna pupuk, terutama sektor pertanian sangat rendah terhadap pupuk organik. Perhatikan pada nilai multiplier produksi sektorsektor pertanian yaitu tanaman pangan (30), tanaman perkebunan (31), peternakan (32), perikanan (33) dan kehutanan (34), terhadap sektor pupuk organik terlihat lebih rendah dibandingkan terhadap sektor pupuk anorganik. Sebagai contoh, nilai multiplier produksi sektor tanaman pangan untuk sektor pupuk adalah sebesar , sedangkan untuk sektor pupuk anorganik sebesar Padahal nilai multiplier sektor pupuk organik ke sektor tanaman pangan mencapai lebih besar dibandingkan sektor pupuk anorganik sebesar Demikian juga dari sektor perkebunan, perikanan dan kehutanan, semua menunjukkan bahwa peranan sektor-sektor tersebut lebih banyak ke sektor pupuk anorganik daripada ke sektor pupuk organik, sementara peranan sektor pupuk organik terhadap sektor pertanian tersebut terlihat lebih tinggi dibandingkan sektor pupuk anorganik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 40.

24 220 Tabel 40. Keterkaitan Antara Sektor Pupuk dan Sektor Pertanian Berdasarkan Multiplier Produksi Kode Sektor Anorganik Organik Anorganik Organik Multiplier Ke Multiplier Dari Sumber : data diolah Fakta memang menunjukkan daya serap sektor pertanian terhadap pupuk organik lebih kecil dibandingkan pupuk anorganik. Para petani, terutama yang di sektor tanaman pangan, lebih menyukai pupuk kimia (anorganik) daripada kompos (pupuk organik). Alasan mereka pupuk kimia mempunyai kandungan unsur hara yang baik dan cepat meningkatkan kuantitas produksi. Hal ini juga tidak lepas dari keinginan petani agar tanaman mereka dapat cepat tumbuh subur dan menghasilkan setelah dipupuk. Alasan lainnya, dalam setiap kemasan pupuk organik tidak dicantumkan cara penggunaan pupuk organik yang tepat dan peruntukannya yang benar. Berbeda dengan pupuk kimia, dalam kemasannya selalu dicantumkan ketentuan khusus seperti pupuk untuk merangsang pertumbuhan cabang, pertumbuhan akar atau merangsang buah. Karena hal ini akhirnya petani merasa kesulitan untuk menggunakan pupuk organik. Ironisnya, meskipun pupuk kimia lebih mahal (sekitar 206 persen) dibandingkan pupuk organik, tetapi permintaan terhadap pupuk kimia selalu lebih tinggi dibandingkan pupuk organik. Sebagai bahan referensi yang dapat menggambarkan kondisi tersebut berikut ini disajikan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi di sektor pertanian pada tahun 2011.

25 ,00 8,99 8,31 7,45 12,13 11,23 8,45 80,00 60,00 40,00 91,01 91,69 92,55 87,87 88,77 100,00 91,55 20,00 0,00 Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Perikanan Budidaya Cadangan Nasional Total Organik Anorganik Sumber : Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (diolah) Gambar 39. Alokasi Pupuk Bersubsidi di Sektor Pertanian Tahun 2011 Pada Gambar 39 di atas terlihat jelas bahwa untuk tahun 2011, alokasi pupuk yang bersubsidi lebih banyak untuk pupuk anorganik yakni sekitar persen dari total pupuk bersubsidi tahun 2011 sebanyak 9.88 juta ton. Sedangkan alokasi untuk pupuk organik hanya mencapai 8.45 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa permintaan pupuk anorganik di sektor pertanian lebih banyak dibandingkan pupuk organik, dimana kalau diperhatikan lebih jauh daya serap pupuk anorganik yang paling tinggi adalah di subsektor perkebunan, hortikultura dan tanaman pangan, masing-masing mempunyai daya serap sebesar persen, persen dan persen dari total pupuk bersubsidi masingmasing sub sektor. Untuk sektor peternakan dan perikanan budidaya daya serapnya antara persen dan persen.

26 222 Kekhawatiran akan kurangnya pasokan pupuk yang bersubsidi, menyebabkan pemerintah harus menyiapkan cadangan pupuk bersubsidi sebanyak ribu ton, yang mana semuanya itu atau 100 persen merupakan pupuk anorganik. Dengan kata lain pupuk organik sama sekali tidak dicadangkan oleh pemerintah di tahun Ekspektasi pemerintah jika terjadi kekurangan pasokan pupuk anorganik maka pupuk cadangan dapat dikeluarkan untuk memenuhi permintaan yang berlebihan di pasar. Berarti sekali lagi disini terlihat bahwa permintaan terhadap pupuk anorganik lebih besar dibandingkan pupuk organik Analisis Jalur Struktural Sektor Pupuk Istilah pengaruh (influence) di dalam analisa jalur (Structural Path Analysis) atau SPS menunjukkan besaran pengeluaran yang menghubungkan dua titik di dalam suatu struktur dengan menggunakan konsep avarage expenditure propensity (a ij ). Alur pengaruh juga menggambarkan perubahan output atau perubahan pendapatan pada titik tujuan yang disebabkan oleh perubahan pada titik asal. Dalam studi ini SPA telah dilakukan untuk semua sektor, namun yang ditampilkan pada pembahasan kali ini hanya sektor industri pupuk, khususnya pupuk organik, oleh karena terindikasi industri tersebut mempunyai peranan yang lebih besar dalam perekonomian dibandingkan industri pupuk anorganik. Sedangkan untuk sektor-sektor penting lainnya dapat dilihat pada lampiran. Pembahasan SPA ini diharapkan menjadi gambaran awal bagi analisis simulasi kebijakan yang akan dilakukan pada bab selanjutnya, terutama jika dilihat dari demand side mengarah pada faktor produksi dan institusi.

27 223 Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi Path Global Effect Direct Effect Path Mult Total Effect % of Global Cum % 43, 32, , 5, 22, 30, , 32, , 32, , 37, 30, , 5, 22, 30, , 32, 37, 30, , 5, 22, 37, 30, , , 36, , , 36, , 38, , 36, , 36, , , ,0 43, 36, , 5, 22, 48, , , 36, , 5, 22, 48, , , 36, , 5, 22, 48, , 36, , , 5, 22, 52,

28 224 Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi (Lanjutan) Path Global Effect Direct Effect Path Mult Total Effect % of Global Cum % 43, 36, , , 32, , 36, , 37, , 38, , 32, 37, , 37, 30, , 5, 22, 30, , 5, 22, 32, , 5, 22, 34, , 5, 22, 37, , 5, 22, 38, , 5, 22, 40, , 5, 22, 48, , 5, 22, 49, , 5, 22, 51, , 5, 22, 53, , 32, 37, 30, , 5, 22, 37, 30, , 5, , 6, , 9, , 10, , 14, , 32, 1, , 32, 2, , 5, , 6, , 9, , 10, , 17, , 32, 1, , 32, 3, , 36, 7, , 5, 22, 30, 3,

29 225 Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi (Lanjutan) Path Global Effect Direct Effect Path Mult Total Effect % of Global Cum % 43, 5, , 6, , 10, , 14, , 17, , 32, 1, , 32, 3, , 5, , 10, , 14, , 17, , 32, 3, , 36, 7, , 36, 17, , 5, , 9, , 11, , 17, , 32, 1, , 36, 5, , 36, 7, , 36, 11, , 36, 15, , 36, 17, , 5, , 9, , 17, , 36, 5, , 36, 7, , 5, , 9, , 11, , 17, , 32, 3, , 36, 7, , 36, 15, , 36, 17,

30 226 Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi (Lanjutan) Path Global Effect Direct Effect Path Mult Total Effect % of Global Cum % 43, 6, , 10, , 12, , 14, , 17, , 36, 6, , 36, 8, , 36, 17, , 38, 6, , 6, , 10, , 12, , 14, , 17, , 36, 6, , 6, , 10, , 12, , 14, , 17, , 32, 17, , 36, 8, , 36, 17, , 5, 22, 48, 12, , 17, , 5, 22, , 32, 17, , 36, 17, , 37, 17, , 38, 17, , 32, 37, 17, , 5, 22, 30, 17, , 5, 22, 34, 17,

31 227 Tabel 41. Jalur Struktural Sektor Pupuk Organik dalam Blok Faktor Produksi dan Institusi (Lanjutan) Path Global Effect Direct Effect Path Mult Total Effect % of Global Cum % 43, 5, 22, 37, 17, , 5, 22, 40, 17, , 5, 22, 48, 17, , 5, 22, 49, 17, , 5, 22, 51, 17, , 5, 22, 53, 17, , 5, 22, , 14, 27, , 17, 28, , 32, 17, 28, , 36, 17, 28, , 38, 17, 28, Dari Tabel 41 dapat dilihat bahwa faktor produksi modal (17) menerima pengaruh global sebesar 0.581, jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima faktor produksi tenaga kerja. Dalam hal ini, alur pengaruh sektor bangunan ke faktor produksi modal yang dapat dideteksi hanya sekitar 45.5 persen. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa SPA hanya menangkap alur-alur yang sangat penting, yaitu pengaruh yang lebih besar dari 10 persen. Apabila terdeteksi sebesar 45.5 persen berarti masih ada sekitar 54.5 persen yang terlalu kecil pengaruhnya (dibawah 10 persen) untuk dapat dideteksi. Adapun besarnya pengaruh langsung yang diterima faktor produksi modal dari setiap kenaikan subsidi pupuk organik adalah sebesar atau sekitar 20.2 persen, sisanya diterima setelah melalui sektor lain dengan angka tertinggi adalah melalui sektor pertambangan dan penggalian (36) yaitu sebesar atau sekitar 7.8 persen. Sementara itu, pada faktor produksi tenaga kerja, pengaruh global tertinggi diterima oleh tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI 157 VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI Salah satu kelebihan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah mampu menjelaskan dengan lengkap tiga aktivitas distribusi

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN 6.1. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan di Bagian ini akan menganalisis dampak dari peningkatan investasi pada

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. Sub bab ini akan membahas tentang analisis hasil terhadap

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan 138 BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA 6.1. Infrastruktur dan Kinerja perekonomian Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Bab ini akan menjelaskan metode yang digunakan pada penelitian ini dan tahapan-tahapan analisis pada penelitian ini. Diawali dengan penjelasan mengenai sumber data yang akan digunakan,

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 5.1. Struktur Perkonomian Sektoral Struktur perekonomian merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap struktur Produk Domestik

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN Simulasi kebijakan merupakan salah satu cara yang lazim dilakukan untuk mengambil suatu kebijakan umum (public policy). Dalam penelitian ini, dilakukan berberapa skenario

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA 6.1. Output Sektoral Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis multiplier dan analisis jalur struktural (SPA) mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 trilyun terhadap

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN 5.1. Posisi Pertambangan Batubara Indonesia dalam Pasar Global Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar minyak bumi (BBM) dan semakin

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Pulau Kalimantan didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Pulau Kalimantan sangat kaya akan sumberdaya alam

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (U MKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 17.968.449 19.510.919 1.542.470 8,58 2 Usaha Menengah (UM) 23.077.246 25.199.311 2.122.065 9,20 Usaha Kecil

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1 PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN Sri Hery Susilowati 1 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir Hasil dari analisis dengan menggunakan PCA menunjukkan sektor-sektor perekonomian pada bagian hulu dan sektor-sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN 7.1. Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan Peran strategis suatu sektor tidak hanya dilihat dari kontribusi terhadap pertumbuhan output, peningkatan

Lebih terperinci

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA Mudrajad Kuncoro Juli 2008 Peranan Masing- Masing Cabang Industri Terhadap PDB Sektor Industri Tahun 1995-2008* No. Cabang Industri Persen

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI. satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah saat ini

VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI. satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah saat ini VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI Pembangunan kembali (revitalisasi) sektor kehutanan merupakan salah satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah

Lebih terperinci

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO 5.1. Struktur Industri Agro Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand diawali dengan meneliti persentase

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran IV. METODOLOGI Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) melalui APBN akan meningkatkan output sektor industri disebabkan adanya efisiensi/

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL 7.1. Neraca Pariwisata Jumlah penerimaan devisa melalui wisman maupun pengeluaran devisa melalui penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri tergantung

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN STIMULUS FISKAL INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI)*

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN STIMULUS FISKAL INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI)* ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN STIMULUS FISKAL INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI)* Analysis of The Effect of Fiscal Stimulus Policy of Infrastructure to

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data 38 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun 2005. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN

VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN Stimulus ekonomi di sektor agroindustri akan menghasilkan peningkatan output agroindustri. Melalui keterkaitan antar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun. Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% (yoy), sedangkan pertumbuhan triwulan IV-2011 secara tahunan sebesar 6,5% (yoy) atau secara triwulanan turun 1,3% (qtq). PDB per kapita atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 BPS PROVINSI BENGKULU No. 10/02/17/XI, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 EKONOMI BENGKULU TUMBUH 5,30 PERSEN, MENINGKAT DIBANDINGKAN TAHUN 2015 Perekonomian Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa Tabel Input-Output Indonesia tahun 2008 yang diklasifikasikan menjadi 10 sektor dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal 39 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal dari Tabel Input-Output Kota Bontang Tahun 2010 klasifikasi 46 sektor yang diagregasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa:

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa: V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa: a. Sektor ekonomi Kota Bandar Lampung

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN Sri Hery Susilowati Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Abstract

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan atas sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya hutan, sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam menunjang perekonomian Indonesia. Mengacu pada keadaan itu, maka mutlak diperlukannya

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

permintaan antara di Kota Bogor pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 4.49 triliun.

permintaan antara di Kota Bogor pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 4.49 triliun. VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Tanaman Bahan Makanan Terhadap Perekonomian di Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang mempunyai tujuan antara lain untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang hasilnya secara merata

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA TRIWULAN IV-2008 Sebagai dampak dari krisis keuangan global, kegiatan dunia usaha pada triwulan IV-2008 mengalami penurunan yang tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT)

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB III PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MURUNG RAYA MENURUT LAPANGAN USAHA

BAB III PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MURUNG RAYA MENURUT LAPANGAN USAHA BAB III PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MURUNG RAYA MENURUT LAPANGAN USAHA Perkembangan perekonomian suatu wilayah, umumnya digambarkan melalui indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pendekatan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Triwulan II-29 Perekonomian Indonesia secara tahunan (yoy) pada triwulan II- 29 tumbuh 4,%, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (4,4%). Sementara itu, perekonomian

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA 5.1. Peran Sektor Agroindustri Dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah,Tenaga Kerja dan Modal Dari analisis pengganda SNSE dapat diketahui peran

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL III. EKONOMI MAKRO KABUPATEN TEGAL TAHUN 2013 Pembangunan ekonomi merupakan suatu hal mendasar suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi itu sendiri pada dasarnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Secara umum sektor ini memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA TRIWULAN IV- Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) mengindikasikan kegiatan usaha pada triwulan IV- masih tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya maupun periode

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis perekonomian Provinsi Riau menggunakan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis perekonomian Provinsi Riau menggunakan BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis perekonomian Provinsi Riau menggunakan Tabel Input Output Provinsi Riau tahun 2010 diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Provinsi

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA TRIWULAN IV-2004 Kegiatan usaha pada triwulan IV-2004 ekspansif, didorong oleh daya serap pasar domestik Indikasi ekspansi, diperkirakan berlanjut pada triwulan I-2005 Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk pembangunan

Lebih terperinci