BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan"

Transkripsi

1 138 BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA 6.1. Infrastruktur dan Kinerja perekonomian Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan kinerja perekonomian dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dampak lanjut dari pertumbuhan ekonomi ini adalah tenaga kerja dapat terserap lebih banyak serta angka pengangguran dapat ditekan. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak, pada akhirnya diharapkan akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. Penelitian tentang keterkaitan investasi infrastruktur dan perekonomian yang dilakukan oleh Aschauer (1989) yang menganalisa kontribusi akumulasi kapital pada sektor publik terhadap perubahan produktivitas dari sektor swasta di Amerika Serikat dapat menjadi referensi yang baik tentang pentingnya peran investasi infrastruktur transportasi bagi perekonomian. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa infrastruktur dasar seperti, jalan, bandara, sistem angkutan massal, air minum dan drainase memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa keterlambatan dalam pengeluaran pembangunan infrastruktur berperan dalam lambatnya produktivitas. Penelitian Aschauer tersebut dapat menjadi acuan penting untuk menekankan pentingnya sesegera mungkin memperbaiki infrastruktur di Jawa Barat dalam rangka meningkatkan produktivitas perekonomian Jawa Barat, mengingat kondisi infrastruktur transportasi (jalan) di Jawa Barat yang menunjukkan kondisi kurang baik pada saat ini.

2 139 Temuan yang menunjukkan akan pentingnya infrastruktur selanjutnya dipertajam kembali oleh Canning (1999) yang secara umum mendukung apa yang ditemukan oleh Aschauer (1989) yang menemukan bahwa infrastruktur secara statistik signifikan mempengaruhi output. Beberapa temuan lain dari Canning (1999) yang menarik, diantaranya adalah bahwa produktivitas physical capital dan human capital pada tingkat makro (dalam hal ini adalah dunia yang diwakili oleh 57 negara) mendekati kondisi empirik yang terjadi pada level mikro yang dihitung berdasarkan pendapatan rumah tangga atas faktor atau berdasarkan analisa cost-benefitnya. Selanjutnya temuan lainnya menunjukkan bahwa investasi infrastruktur di bidang telekomunikasi, transportasi dan listrik memiliki tingkat marginal productivity yang tinggi dibandingkan dengan jenis infrastruktur lain. Sementara itu, Dumont dan Somps (2000) mencoba menganalisa dampak dari adanya infrastruktur publik secara lebih detail, dimana tidak hanya melihat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi juga terhadap daya saing. Dumont dan Somps (2000) menggunakan Dynamic Computable General Equilibrium (CGE) dengan database Social Acounting Matrix (SAM) Senegal tahun Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak infrastruktur terhadap sektor manufaktur baik dalam hal output dan daya saing akan berbedabeda tergantung pada dampaknya terhadap tingkat harga domestik dan tingkat upah. Selain itu, hasil simulasi juga menunjukkan bahwa metode pembiayaan merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan karena dampak yang akan ditimbulkan akan berbeda dan sekali lagi tergantung pada sejauh mana mempengaruhi harga domestik. Secara empiris, Esfahani dan Ramirez (2002) menganalisa hubungan antara institusi, infrastruktur dan kinerja ekonomi dengan menggunakan data dari 75 negara. Hasil estimasi Two Stage Least Square (2SLS) dari penelitian

3 140 tersebut menunjukkan bahwa kontribusi infrastruktur terhadap GDP sangat substansial dan secara umum melebihi biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan infrastruktur tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kapabilitas dari institusi yang akan menentukan kredibilitas dan efektivitas dari kebijakan pemerintah memiliki peran yang penting dalam proses pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, negara akan mendapatkan benefit yang sangat besar dalam hal output, jika pemerintah fokus pada peningkatan investasi dan kinerja dari infrastruktur Analisis Keterkaitan Sektoral Jawa Barat Analisis multiplier dalam penelitian ini menggunakan SNSE Jawa Barat tahun 2010 sebagai kerangka data yang digunakan sebagai model untuk melakukan kajian yang berkaitan dengan dampak investasi sektor infrastruktur transportasi terhadap perekonomian Jawa Barat khususnya terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor ekonomi dan distribusi pendapatan rumah tangga. Kerangka data SNSE Jawa Barat 2010 ini juga digunakan untuk mengkaji jalur transmisi dari investasi infrastruktur transportasi sampai kepada sekor ekonomi serta transmisi investasi infrastruktur transportasi sampai kepada berbagai golongan rumah tangga serta kaitannnya dengan distribusi pendapatan berbagai golongan rumah tangga. Sejalan dengan kerangka data SNSE Jawa Barat tahun 2010 yang digunakan dalam penelitian ini, secara teori model kerangka data SNSE ini dapat memotret perekonomian Provinsi Jawa Barat pada tahun tertentu serta dapat melihat keterkaitan aktivitas/sektor ekonomi yang ada dengan pelaku/institusi yang menjalankan aktifitas ekonomi serta bagaimana penggunaan faktor produksi yang ada (tenaga kerja dan modal ). Model SNSE adalah pengembangan dari model I-O, namun model I-O hanya menekankan pada hubungan keterkaitan antar industri pada satu waktu

4 141 tertentu. Sementara itu model SNSE diperluas lagi, tidak hanya memotret keterkaitan antar industri namun dapat pula menunjukkan aliran pendapatan yang dihasilkan oleh perekonomian domestik di masing-masing sektor/aktivitas produksi oleh pelaku ekonomi (rumah tangga, pemerintah, perusahaan atau luar negeri) dan bagaimana pendapatan tersebut dialokasikan berdasarkan kepemlikan faktor produksi atau atas dasar transfer (income redistribution). Keuntungan penggunaan SNSE dalam analisis perekonomian suatu wilayah adalah konsistensi isian dalam kerangka data SNSE tersebut dengan berbagai data makro ekonomi yang tersedia secara terpisah. Selain itu, penggunakan model SNSE dalam suatu perencanaan ekonomi menurut Wagner (1999) dalam Daryanto (2010) menunjukkan bahwa model SNSE mampu menjelaskan keterkaitan antara permintaan, produksi, dan pendapatan di dalam perekonomian suatu wilayah yang menggambarkan struktur perekonomian, keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan, konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri. SNSE juga dapat memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan seluruh data perekonomian wilayah. Selain itu dengan menggunakan kerangka data SNSE juga dapat dihitung multiplier perekonomian wilayah yang berguna untuk mengukur dampak dari suatu aktivitas produksi, distribusi pendapatan, serta permintaan yang menggambarkan struktur permintaan. Secara spesifik, BPS (2005) menyebutkan bahwa perangkat SNSE dapat digunakan sebagai kerangka data sosial ekonomi yang mampu menjelaskan mengenai: 1). Kinerja pembangunan ekonomi suatu negara, seperti halnya distribusi produk domestik bruto (PDB), konsumsi, tabungan, dan sebagainya; 2). Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci menurut faktor-faktor produksi di antaranya seperti tenaga kerja dan modal; 3). Distribusi pendapatan rumah tangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumah

5 142 tangga; 4). Pola pengeluaran rumah tangga (household expenditure pattern); dan 5). Distribusi tenaga kerja menurut sektor atau lapangan usaha tempat mereka bekerja, termasuk halnya distribusi pendapatan tenaga kerja yang mereka peroleh sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam proses produksi. Di samping itu, SNSE juga merupakan suatu sistem kerangka data yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan suatu model ekonomi serta sebagai dasar analisis, baik untuk analisis parsial (partial equiblirium) maupun analisis keseimbangan umum (general equilibrium) dalam melakukan analisis kebijakan Analisis Backwad dan Forward Linkage Analisis keterkaitan antar sektor di dalam penelitian ini selain digunakan untuk mengetahui bagaimana setiap sektor dalam perekonomian Jawa Barat saling terkait, juga digunakan untuk mengetahui ketergantungan satu sektor dengan yang lain sehingga memudahkan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil kebijakan yang diperlukan. Sebagai misal, bagaimana dampak stimulus investasi pada sektor infrastruktur transportasi terhadap kinerja perekonomian di Jawa Barat, terhadap penyerapan tenaga kerja serta terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Dalam kerangka data SNSE Jawa Barat 2010, matriks keterkaitan antar sektor diambil dari matriks Ma yang merupakan perpotongan antara blok baris neraca sektor dengan blok kolom neraca sektor (M sektor-sektor ) Analisis keterkaitan antar sektor-sektor produksi dapat dilihat dari dua sisi yakni dari sisi keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan dari sisi keterkaitan ke depan (forward linkage). Keterkaitan kebelakang menunjukkan daya penyebar, artinya kalau terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap suatu sektor tertentu maka sektor tersebut akan mendorong peningkatan output semua sektor dengan kelipatan sebesar nilai multipliernya. Sebagai contoh

6 143 keterkaitan ke belakang sektor industri pemintalan tekstil, pakaian dan barang dari kulit di Jawa Barat (Tabel 17) sebesar Angka multiplier ini mengandung arti bahwa apabila ada permintaan akhir terhadap produk sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebesar satu unit maka output semua sektor akan meningkat sebesar unit. Hal ini terjadi karena kenaikan permintaan akhir terhadap output sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebesar satu unit tersebut mendorong sektor ini meningkatkan permintaan input dari sektor sektor lainnya. Permintaan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut mendorong sektor lainnya tersebut untuk meningkatkan outputnya dalam rangka memenuhi permintaan sektor industri tekstil tersebut dan kondisi ini juga memerlukan tambahan input bagi sektor-sektor lainnya untuk memenuhi permintaan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut. Akhirnya seluruh sektor meningkat sebesar unit. Dengan kata lain, backward linkage menggambarkan keterkaitan antar sektor (aktivitas) produksi yang berada di hilir (downstream sectors) dengan sektor produksi yang berada di hulu (upstream sector) atau dengan kata lain sektor yang berada hilir sebagai pembeli input yang dihasilkan oleh sektor yang berada di hulu. Backward linkage akan ada apabila peningkatan produksi sektor sektor hilir memberikan dampak eksternalitas positif terhadap sektor sektor hulu. Dengan demikian maka sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dapat menjadi fokus perhatian bagi pemerintah untuk meningkatkan kinerja sektor-sektor yang sangat terkait dengan industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit, sehingga kebijakan yang diterapkan dapat lebih efektif dengan memberi stimulus industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit agar dapat menggerakkan lebih banyak sektor yang terkait. Koefisien multiplier dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan koefisien multiplier yang terbesar dan diikuti oleh sektor industri

7 144 makanan dan tembakau, sektor pemerintahan, pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya, industri kayu dan barang dari kayu, sektor infrastruktur (konstruksi) bukan transportasi serta infrastruktur transportasi yang menjadi fokus perhatian di dalam penelitian ini. Keenam sektor tersebut yang merupakan motor penggerak terbesar yang dapat meningkatkan sektorsektor lainnya apabila mengalami peningkatan. Fokus kebijakan kepada enam sektor utama dengan backward linkage terbesar sebagai sektor pendorong bagi sektor sektor lain menjadikan keuangan pemerintah dapat lebih efisien tanpa harus memperhatikan seluruh sektor (Tabel 17). Supaya suatu kebijakan sektoral dapat lebih efektif berjalan, maka perlu juga dikaji dampak kedepan (forward linkage) setiap sektor tersebut sehingga tidak hanya sebagai faktor pendorong bagi kemajuan kinerja sektor-sektor lain namun juga kemampuan suatu sektor dalam keterkaitannya ke depan. No Tabel 17. Enam Sektor dengan Backward Linkage Terbesar Di Jawa Barat Tahun 2010 Sektor Backward linkage Index Backward linkage (1) (2) (3) (4) 1 Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya 4 Konstruksi Sektor Bukan Transportasi Konstruksi Sektor Transportasi Industri Kayu & Barang Dari Kayu Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah Tingkat keterkaitan ke depan (forward linkage) menunjukkan derajat kepekaan sektor tertentu terhadap permintaan akhir sektor-sektor lainnya. Jika terjadi kenaikan permintaan akhir pada semua sektor produksi maka suatu sektor tertentu akan memberikan respon dengan menaikkan output sektor tersebut dengan kelipatan sebesar koefisien multipliernya. Misalnya, industri kertas,

8 145 percetakan, alat angkutan dan barang dari logam yang mempunyai forward linkage terbesar dalam perekonomian Jawa Barat pada tahun 2010 (Tabel 18), dengan koefisien multiplier sebesar Koefisien multiplier tersebut mempunyai makna bahwa apabila permintaan akhir semua sektor produksi meningkat sebesar satu unit, maka output sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, dan barang dari logam akan meningkat sebesar unit. Forward linkage menggambarkan keterkaitan antara sektor (aktivitas) produksi yang berada di hulu (upstream sectors) dengan sektor sektor produksi yang berada di hilir (downstream sectors). Sektor-sektor yang mempunyai nilai multiplier terbesar adalah industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam; industri makanan, minuman dan tembakau; perdagangan; pertanian tanaman pangan; industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat, semen; serta industri pemintalan, tekstil pakaian dan kulit. Tabel 18. Enam Sektor dengan Forward Linkage Terbesar Di Jawa Barat Tahun 2010 No Sektor Forward Index Forward linkage linkage (1) (2) (3) (4) 1 Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam dan Industri 2 Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Perdagangan Pertanian Tanaman Pangan Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen 6 Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah Meskipun peranan dalam pembentukan PDRB Jawa Barat tahun 2010 untuk sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau tidak terlalu besar, namun keterkaitan ke belakang dan ke depan sektor-sektor tersebut dapat diandalkan dalam mendorong pertumbuhan perkonomian Jawa Barat secara keseluruhan. Sinyal

9 146 berupa penurunan peranan di kedua sektor dalam perekonomian Jawa Barat selama tiga tahun terakhir seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah daerah maupun pusat untuk segera memberikan perhatian terhadap sektor-sektor tersebut. Dengan identifikasi lebih dalam terhadap masalah yang dihadapi kedua sektor tersebut dan memberikan solusi dalam menangani hal hal yang menjadi penyebab penurunan peranan kedua sektor diharapkan dapat lebih meningkatkan kinerja pembangunan di Jawa Barat Interdependensi Sektoral Jawa Barat Berdasarkan hasil penghitungan global multiplier (M a ) dapat dilihat keterkaitan antar sektor, yaitu perpotongan antara baris komoditas dan kolom sektor (M kom.-sektor ) yang menggambarkan karakter dari setiap sektor. Gambaran yang dapat diperoleh dari matriks M kom.-sektor adalah bahwa setiap injeksi (shock) di masing- masing aktivitas produksi akan memberikan dampak yang berbeda di setiap sektornya akibat perubahan di dalam permintaan barang dan jasa antara. Pada Tabel 19 diketahui bahwa injeksi sektoral, secara rata rata sebesar 1 unit akan meningkatkan output Jawa Barat sebesar unit, yaitu jumlah multiplier dari submatriks M kom.-sektor. Dari lampiran Tabel Accounting Multiplier juga dapat diketahui bahwa elemen diagonal dari global multiplier (M a ) untuk submatriks (M kom.-sektor ) yaitu bagian matriks M a di sisi baris komoditas dan kolom sektor yang bersesuaian mempunyai nilai lebih besar dari satu. Jika terjadi injeksi satu unit ke dalam sektor ke-i akibat dari peningkatan permintaan eksogen, maka akan berdampak kepada pendapatan sektor yang sama lebih dari satu unit, karena proses multiplikatif dari sirkulasi pendapatan di dalam sistem perekonomian. Nilai multiplier dalam diagonal elemen tersebut merupakan ukuran relatif seberapa besar sektor produksi terintegrasi secara internal. Dengan demikian maka sektor

10 147 industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan sektor yang paling terintegrasi diantara sektor-sektor yang lain dengan nilai diagonal multiplier sebesar Sementara itu, sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam kurang terintegrasi secara internal dibandingkan dengan sektor pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit. Tabel 19. Nilai Pengganda Global yang Diterima Sektor Produksi Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Rincian Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya (1) Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Infrastruktur Transportasi Infrastruktur Bukan Transportasi Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya Rata-rata Kode Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi (2) (3) (4) (5) Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

11 148 Sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit adalah sektor yang sangat terintegrasi dengan sektor sektor lainnya dalam sistem produksi ekonomi Jawa Barat. Pada lampiran AA tersebut bahwa nilai multiplier pada total kolom dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit adalah sebesar Nilai tersebut relatif besar dibandingkan dengan dampak sektoral dari sektor lain. Kajian ini bermakna bahwa setiap injeksi pada sektor tersebut mempunyai dampak relatif besar terhadap aktivitas internal sektor-sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit itu sendiri, serta juga berdampak positif bagi perkembangan sektor lainnya. Sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut pada perekonomian Jawa Barat pada tahun 2010 tersebut juga mempunyai backward efect terbesar dibandingkan sektor sektor lainnya serta memiliki forward effect dengan nilai multiplier berada pada posisi enam besar dibandingkan sektor lainnya. Dengan demikian maka sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan sektor penggerak utama di dalam sistem produksi perekonomian Jawa Barat. Sementara itu, sektor lain yang memberikan dampak besar kepada aktivitas sektor lainnya adalah sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam. Dengan demikian, berdasarkan kajian diatas maka setiap kebijakan yang ditujukan kepada sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dan sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam tersebut akan memberikan dampak positif terbesar dalam menggerakkan perekonomian Jawa Barat Analisis Multiplier Sektoral Penentuan kebijakan yang diarahkan kepada stimulus sektoral didasarkan pada kajian mendalam tentang bagaimana karakteristik sektor-sektor, serta melihat bagaimana dampak stimulus sektor-sektor terhadap perkonomian secara menyeluruh, dampaknya terhadap ketenagakerjaan serta pengaruhnya

12 149 terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyimpulkan bahwa infrastruktur, termasuk halnya infrastruktur transportasi, merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat menjamin tercapainya pemerataan hasil pembangunan (Saragih, 2010). Penelitian ini secara khusus memiliki fokus untuk melihat dampak infrastruktur transportasi sebagai pokok bahasan. Dalam analisis multiplier sektoral, dikaji dampak sektoral terhadap perkonomian secara umum untuk mengetahui karakteristik masing-masing sektor serta kontribusinya dalam kinerja pembangunan. Kajian selanjutnya difokuskan kepada dampak investasi infrastruktur transportasi kepada perekonomian Jawa Barat, dampaknya terhadap ketenagakerjaan serta dampaknya terhadap distribusi pendapatan masing-masing golongan rumah tangga. Nilai Pengganda Global seperti yang terlihat pada Tabel 19 menunjukkan dampak stimulus masing-masing sektor terhadap output sektoral, faktor produksi dan neraca institusi. Dengan nilai pengganda global dapat diketahui sektor-sektor mana yang memberikan pengaruh terbesar didalam perekonomian Jawa Barat. Perubahan output suatu sektor sebagai dampak dari adanya guncangan (shock) neraca eksogen dapat diketahui melalui nilai pengganda global. Berdasarkan hasil pengolahan data, sektor yang memberikan dampak terbesar adalah sektor industri kertas, alat percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dengan nilai multiplier sebesar Artinya, bila seluruh sektor produksi naik 1 unit, maka sektor industri kertas, alat percetakan, alat angkutan dan barang dari logam akan naik sebesar unit. Sektor berikutnya yang memberikan dampak multiplier terbesar adalah industri makanan, minuman dan tembakau dengan multiplier sebesar 7.758, atau lebih tinggi dari nilai multiplier dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dengan nilai

13 150 Selain itu, sektor jasa-jasa seperti perdagangan juga memberikan dampak relatif besar kepada perekonomian Jawa Barat yaitu sebesar Peningkatan output produksi masing-masing sektor akan meningkatkan pendapatan, yaitu pendapatan faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi yaitu tenaga kerja dan modal. Sektor yang dapat memberikan dampak kepada pendapatan faktorial terbesar adalah jika terdapat guncangan terhadap sektor industri makanan, minuman dan tembakau dengan nilai multiplier sebesar 3.277, industri kertas percetakan, alat angkutan dan barang dari logam sebesar 2.577, dan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dengan nilai multiplier sebesar Artinya, bila seluruh pendapatan faktorial di Provinsi Jawa Barat naik 1 unit, maka sektor-sektor industri tersebut berturut-turut akan naik sebesar unit, unit dan unit Analisis Multiplier Institusi Rumah Tangga Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai pengganda global seperti yang terlihat pada tabel sebelumnya menunjukkan dampak stimulus masing-masing sektor terhadap output sektoral, faktor produksi dan neraca institusi. Dengan nilai pengganda global dapat diketahui sektor-sektor mana yang memberikan pengaruh terbesar didalam perekonomian Jawa Barat. Demikian halnya dengan Tabel 20 berikut ini, perubahan distribusi pendapatan suatu golongan rumah tangga sebagai dampak dari adanya guncangan (shock) neraca eksogen dapat diketahui melalui nilai pengganda global. Berdasarkan Tabel 20 tersebut dapat ditunjukkan bahwa nilai pengganda global terbesar dari pendapatan rumah tangga di Jawa Barat baik yang dikarenakan injeksi dari faktor produksi, institusi maupun sektor produksi berada pada kelompok rumah tangga golongan atas, yaitu golongan rumah tangga bukan industri di kota dan desa, serta rumah tangga pengusaha pertanian. Sedangkan golongan rumah tangga dengan nilai

14 151 pengganda terendah dimiliki oleh rumah tangga golongan bawah, yaitu rumah tangga golongan bawah industri baik di desa dan di kota, serta rumah tangga golongan bawah bukan industri di desa. Besarnya angka pengganda global yang dimiliki oleh kelompok rumah tangga golongan atas, sebagai contoh rumah tangga golongan atas bukan industri di kota, memiliki arti bahwa apabila terdapat injeksi dari aktivitas eksogen yang diarahkan kepada blok institusi maka akan memberikan pengaruh pendapatan terbesar kepada kelompok rumah tangga golongan atas tersebut. Dari pola tersebut dapat disimpulkan bahwa efek pengganda kegiatan ekonomi yang terjadi di Jawa Barat cenderung berpihak kepada golongan rumah tangga atas, baik di desa maupun di kota. Tabel 20. Nilai Pengganda Global yang Diterima Rumah Tangga Di Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 Rincian Kode Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi Pertanian Bukan Pertanian (2) (3) (4) (5) Buruh Pengusaha Pertanian Industri Bukan Industri (1) Desa Kota Desa Kota Rata-rata RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas RT Golongan Bawah RT Golongan Menengah RT Golongan Atas Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

15 152 Sementara itu pengaruh langsung terbesar kegiatan ekonomi terhadap blok institusi rumah tangga di Jawa Barat dipengaruhi oleh blok sektor produksi, dengan nilai pengganda rata-rata sebesar 2,088. Dengan demikian apabila terdapat peningkatan pengeluaran sebesar satu unit dari blok sektor produksi, maka akan berdampak pada kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga di provinsi Jawa Barat sebesar 2,088 unit. Demikian juga selanjutnya apabila terdapat peningkatan pengeluaran masing-masing satu unit dari blok institusi dan faktor produksi, maka akan memberikan kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga di provinsi tersebut masing-masing sebesar 1,674 unit dan 1,060 unit. Secara umum dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai rata-rata pengganda blok sektor produksi terhadap blok institusi rumah tangga menujukkan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga di provinsi Jawa Barat lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang ada pada blok sektor produksi Analisis Dekomposisi Keterkaitan Investasi Infrastruktur Transportasi Analisis dekomposisi dampak investasi di sektor infrastruktur transportasi pada dasarnya hendak menjelaskan tentang efek berantai dari guncangan (shock) output salah satu sektor terhadap sektor sektor lainnya dalam perekonomian Jawa Barat dengan merinci besaran dampak global/total secara lebih rinci. Dengan metode dekomposisi, efek global (M a ) dapat dirinci menjadi own effect (I), transfer effect (M a1 ), open loop effect (M a2 ) dan close loop effect (M a3 ). Own effect (I) adalah efek langsung dari adanya guncangan neraca eksogen misalnya berupa kebijakan terhadap sektor yang dituju. Dalam hal ini efek kebijakan investasi infrastruktur transportasi yang ditujukan kepada sektor infrastruktur transportasi (dampak langsung/direct effect). Selanjutnya, transfer

16 153 effect (M a2 ) merupakan efek berantai dari adanya guncangan di sektor infrastruktur transportasi kepada sektor-sektor lainnya di dalam blok neraca sektor. Open loop effect (M a2 ) merupakan efek sebagai akibat adanya guncangan di sektor infrastruktur transportasi dan bergerak mempengaruhi sektor-sektor lainnya yang terkait dan juga mempengaruhi blok neraca lainnya seperti halnya blok neraca faktor produksi dan neraca institusi. Selanjutnya dampak dari efek kepada blok faktor produksi dan neraca institusi, guncangan tersebut kembali mempengaruhi blok neraca asal yaitu sektor infrastruktur transportasi yang kemudian disebut sebagai close loop effect (M a3 ). Pada bagian ini ditelaah mengenai dampak adanya investasi infrastruktur transportasi terhadap perekonomian. Perubahan (shock) neraca eksogen yang terjadi pada infrastruktur transportasi memberikan dampak berbeda-beda terhadap perekonomian Jawa Barat. Untuk itu akan dikaji dampak investasi pada infrastruktur transportasi terhadap blok neraca sektor, blok neraca faktor produksi, dan blok neraca institusi. Dampak sektoral berkaitan dengan besaran nilai pengganda (koefisien multiplier) memberikan sinyal bahwa semakin besar nilai pengganda (M a ) akibat adanya perubahan pada infrastruktur transportasi maka semakin bermanfaat keberadaan infrastruktur transportasi tersebut bagi kinerja sektor yang terkena dampak. Sebagai ilustrasi bila terjadi shock berupa injeksi investasi sebesar Rp trilyun pada infrastruktur transportasi, selain berdampak kepada sektor infrastruktur transportasi itu sendiri juga berdampak kepada sektor industri lain yaitu subsektor industri kertas percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dengan nilai sebesar Rp ,66 milyar. Pengaruh investasi infrastruktur transportasi juga memberikan dampak yang relatif besar kepada subsektor industri lainnya seperti halnya industri kimia, pupuk, dan semen; industri makanan minuman dan tembakau; serta subsektor industri pemintalan, tekstil,

17 154 pakaian dan kulit dengan nilai masing-masing nilainya sebesar Rp ,91 milyar; Rp ,32 milyar dan Rp ,92 milyar. Sektor perdagangan juga mengalami peningkatan output sebesar Rp ,29 milyar. Sementara itu, Sektor Pertanian khususnya subsektor pertanian tanaman pangan memperoleh dampak sebesar Rp ,65 milyar (Tabel 21). Selain sektor-sektor yang disebutkan di atas investasi infrastruktur transportasi juga berdampak kepada jasa angkutan yang sangat erat kaitannya dengan infrastruktur transportasi yaitu jasa transportasi darat sebesar Rp ,74 milyar. Sektor-sektor di dalam blok neraca sektor produksi (M a1 ) yang paling dipengaruhi oleh adanya investasi infrastruktur transportasi adalah industri kimia, pupuk dan semen dengan nilai sebesar Rp ,57 milyar dan nilai pengganda M a1 kedua terbesar terjadi di sektor industri kertas, alat cetakan, alat transportasi sebesar Rp ,33 milyar. Berbeda dengan efek internal sektoral (transfer effect), blok neraca yang terkena efek feed-back (M a2 ) besar dari adanya infrastruktur transportasi selanjutnya adalah blok neraca faktor produksi, dimana investasi ini berdampak kepada pekerja dengan memberikan pendapatan tenaga kerja, khususnya rumah tangga golongan bawah dan menengah. Namun dibandingkan dengan rumah tangga golongan atas, pendapatan golongan rumah tangga ini lebih besar dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga golongan bawah dan menengah. Hal ini dikarenakan rumah tangga golongan atas tidak hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja, tetapi juga memiliki faktor produksi bukan tenaga kerja (kapital). Kondisi ini menunjukkan bahwa investasi infrastruktur transportasi lebih menguntungkan kepada golongan rumah tangga golongan atas dibandingkan dengan rumah tangga golongan menengah dan bawah, yang memiliki pendapatan utama rumah tangga yang berasal dari upah dan gaji. Tenaga kerja yang memperoleh manfaat terbesar dari adanya investasi

18 155 infrastruktur ini adalah pekerja produksi, operator, manual di kota dengan besaran efek open loop sebesar Rp ,24 milyar. Tabel 21. Dekomposisi Nilai Pengganda Akibat Injeksi Investasi Infrastruktur Transportasi di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2010 Rincian X I Ta Oa Ca Ma Faktor Produksi Institusi Tenaga kerja Bukan Pertanian Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah (2) (3) (4) (5) (6) (7) Desa , , Kota Desa , , Kota , , , Desa Kota , , Desa Kota , , , Bukan tenaga kerja , , , Pertanian Buruh , Pengusaha Pertanian , , , RT Golongan Bawah Desa RT Golongan Menengah Industri RT Golongan Atas , , RT Golongan Bawah Rumah Kota RT Golongan Menengah , tangga RT Golongan Atas , , , Bukan Pertanian RT Golongan Bawah Desa RT Golongan Menengah Bukan RT Golongan Atas , , , Industri RT Golongan Bawah Kota RT Golongan Menengah , RT Golongan Atas , , , Pertanian Tanaman Pangan , , Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen Sektor Produksi Listrik, Gas Dan Air Minum Infrastruktur Transportasi Infrastruktur Bukan Transportasi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Pertanian Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam (1) Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan Tata Usaha, Penjualan, Jasa- Jasa Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Jasa Lainnya Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya , , , , , , , , , , , , , ,950 20, , , , , , , , ,509.52

19 156 Dari sisi neraca institusi, peningkatan investasi infrastruktur transportasi selain berdampak kepada sektor juga berdampak kepada pendapatan faktorfaktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Lebih lanjut, pada akhirnya pendapatan tersebut diterima oleh institusi rumah tangga sebagai salah satu dari pemilik faktor produksi. Institusi rumah tangga memperoleh pendapatan berupa upah dan gaji dari faktor produksi tenaga kerja yang dimiliki. Golongan rumah tangga yang memperoleh manfaat relatif besar adalah rumah tangga yang bekerja di sektor jasa-jasa (selain industri dan pertanian) baik di desa maupun di kota, rumah tangga pengusaha petani dan rumah tangga golongan atas di kota yang bekerja di sektor industri dengan nilai masing-masing manfaat sebesar Rp ,60 milyar; Rp ,92 milyar; Rp ,50 milyar dan Rp. 673,53 milyar. Sebagian besar dari efek total tersebut berasal dari efek close loop. Peningkatan investasi infrastruktur transportasi tidak langsung mempengaruhi pendapatan institusi rumah tangga melalui sektor-sektor yang terkait dengan sektor infrastruktur transportasi namun melalui arus balik (feed-back) seperti digambarkan pada efek close loop setelah sektor sektor lain memperoleh manfaat dari adanya peningkatan di sektor infrastruktur jalan. Hasil kajian mengenai dampak investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat ini sejalan dengan hasil temuan yang dilakukan oleh oleh Aschauer (1989) dan Bonaglia et al. (2000) tentang keterkaitan antara investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) di Italia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur terbukti dapat memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan TFP, output dan pengurangan biaya. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa secara umum, investasi pada sektor transportasi merupakan pilihan yang memberikan dampak relatif besar terhadap perekonomian di Jawa Barat.

20 Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Tabel 22 menjelaskan mengenai simulasi dari penyerapan tenaga kerja yang terjadi akibat peningkatan investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp trilyun di provinsi Jawa Barat. Dampak yang terjadi akibat adanya investasi infrastruktur tersebut adalah terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja secara total sebesar orang. Jika penyerapan tenaga kerja tersebut dirinci menurut sektor maka dampak penyerapan tenaga kerja terbesar berada pada sektor pertanian tanaman pangan dengan penambahan tenaga kerja terbesar yaitu sebanyak orang (25.35%). Sektor produksi dengan penyerapan tenaga kerja terbesar berikutnya berturut-turut adalah sektor perdagangan (2.911 orang atau 16.22%), sektor jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya (2.581 orang atau 14.39%) dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau (1.019 orang atau 5.68%). Berdasarkan hasil studi, sektor industri yang merupakan sektor unggulan di provinsi ini menyerap tenaga kerja cukup signifikan, yaitu sebanyak orang (15.30%), sedangkan sektor angkutan (darat, air, dan udara) dan jasa penunjang angkutan hanya menyerap tenaga kerja sebanyak orang atau sebesar 8.52%. Adapun sektor produksi dengan penyerapan tenaga kerja terendah adalah sektor pertambangan dan penggalian lainnya, yaitu sebesar 36 orang atau 0.20%. Sementara itu berdasarkan Tabel 22 dapat disampaikan bahwa sektor yang menyerap tenaga paling sedikit akibat adanya investasi infrastruktur transportasi adalah sektor pertambangan dan penggalian lainnya yaitu sebesar 36 orang (0.2%) serta sektor kehutanan dan perburuan sebesar 45 orang (0.25%).

21 158 Tabel 22. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 Rincian Kode Kondisi Jumlah Tenaga Kerja Perubahan Tenaga Kerja Sebelum % Sesudah % Orang % (1) Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Industri Dari Kimia, Logam Pupuk, dan Hasil Industri Dari Tanah Liat, Semen Listrik, Gas Dan Air Minum Infrastruktur Transportasi Infrastruktur Bukan Transportasi Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi Real Estate dan Jasa Perusahaan Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Jasa Perseorangan, Film dan Rumah Jasa Sosial tangga Lainnya dan Jasa Lainnya J u m l a h (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 26 2,727, ,732, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,510, ,511, , , , , , , , , ,554, ,557, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,092, ,095, , ,942, ,960, , Sumber: SNSE Jawa Barat 2010, diolah kembali 6.7. Analisis Jalur (Structural Path Analysis) Analisis ini dilakukan untuk mengetahui jalur yang terjadi pada neraca endogen akibat pengaruh dari neraca eksogen. Berdasarkan analisis jalur, golongan rumah tangga atas non industri di kota memiliki pengaruh global terbesar dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain di provinsi ini, yaitu sebesar Artinya bila terjadi injeksi pada infrastruktur transportasi sebesar Rp trilyun rupiah, maka golongan rumah tangga ini akan memperoleh peningkatan pendapatan sebesar Rp trilyun. Adapun jalur yang mendominasi antara infrastruktur transportasi dengan rumah tangga ini adalah

22 159 jalur yang melalui tenaga kepemimpinan sektor non pertanian di kota, dengan persentase global (TI/GI) sebesar 6.5%. Golongan rumah tangga berikutnya yang menerima peningkatan pendapatan terbesar berikutnya adalah rumah tangga golongan atas di desa sektor non industri, dengan nilai pengaruh global sebesar Sedangkan golongan rumah tangga dengan pengaruh global terkecil adalah golongan rumah tangga bawah sektor industri di desa, dengan nilai pengaruh global sebesar Analisis jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap golongan rumah tangga provinsi Jawa Barat Tahun 2010 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah Gambar 12. Transmisi yang Diakibatkan dari Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Golongan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010.

23 160 Ilustrasi dari jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap golongan rumah tangga provinsi Jawa Barat Tahun 2010 ini dapat digambarkan pada Gambar 12, dimana komoditas industri (baik industri kimia dan industri logam) dan kapital (modal) mempunyai peranan cukup signifikan dalam seluruh kemungkinan jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dan golongan rumah tangga di Provinsi Jawa barat ini. Pada gambar tersebut tidak digambarkan secara keseluruhan dampak, namun hanya menggambarkan pengaruh pada sektor-sektor yang mendapatkan dampak terbesar dan terkecil. Adapun sektor produksi yang memperoleh manfaat terbesar dari investasi di infrastruktur transportasi, berdasarkan analisis jalur adalah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam, dengan nilai pengaruh global dimiliki sebesar Artinya dengan Rp trilyun yang diinvestasikan di infrastruktur transpotasi akan meningkatkan pendapatan sektor ini sebesar Rp trilyun. Hal ini terjadi akibat dari peningkatan permintaan komoditas yang dihasilkan oleh industri ini, dan dapat dilihat dengan persentase pengaruh global sebesar 50%. Atau dengan perkataan lain, jalur ini telah menjelaskan 50% dari seluruh jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dengan sektor industri ini. Hasil lengkap analisis jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap sektor produksi Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 2. Sedangkan sektor industri berikutnya yang memperoleh peningkatan pendapatan terbesar akibat dari investasi infrastruktur transportasi adalah sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat, dan semen. Adapun pengaruh global yang dimiliki adalah sebesar 0.372, dengan jalur melalui komoditas sektor industri ini telah menjelaskan 78.2% dari seluruh kemungkinan jalur yang terjadi. Sedangkan sektor produksi dengan pengaruh global terkecil adalah sektor

24 161 kehutanan dan perburuan, dengan nilai sebesar Dari ilustrasi pada Gambar 13 dapat terlihat, bahwa akibat dari investasi infrastruktur transportasi, permintaan akan komoditas industri kimia, pupuk dan semen serta komoditas dari sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam mempunyai peranan cukup signifikan dalam seluruh kemungkinan jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dan sektor produksi di provinsi ini. Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah Gambar 13. Transmisi yang Diakibatkan oleh Pengaruh dari Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Sektor Produksi di Provinsi Jawa Barat Tahun Dekomposisi global effect multiplier m HjA39 Analisis dekomposisi multiplier income rumah tangga dimaksudkan untuk melengkapi analisis multiplier yang berupa global effect, dimana dalam analisis

25 162 global effect tersebut belum memberikan informasi tentang kontribusi relatif dan uraian dari pengaruh langsung dan tidak langsung dari injeksi di sektor infrastruktur transportasi terhadap pendapatan setiap golongan rumah tangga (Pansini and Vega, 2008). Analisis ini juga dikaji mengenai dekomposisi global effect untuk masing masing golongan rumah tangga akibat adanya injeksi berupa investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat pada tahun Berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat 2010, diketahui bahwa total multiplier investasi intrastuktur transportasi terhadap seluruh golongan rumah tangga adalah Nilai tertinggi diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan atas di kota ( ), sedangkan terendah diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa ( ). Perbandingan nilai mutiplier yang tertinggi dan terendah adalah sebesar 11.18, yang berarti apabila dilakukan investasi infrastruktur transportasi, pendapatan yang dibangkitkan dan kemudian diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan atas di kota nilainya kali lipat dibandingkan dengan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa. Secara umum nilai multiplier yang diterima oleh golongan rumah tangga pengusaha/golongan atas jauh lebih besar dibandingkan dengan yang diterima oleh golongan rumah tangga buruh pertanian/golongan bawah, yang berarti bahwa golongan atas akan memperoleh penciptaan pendapatan yang lebih besar dibandingkan golongan yang lebih rendah. Hasil ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Harrod-Domar (1946) dan Arthur Lewis (1954) yang secara implisit menyatakan bahwa golongan atas memiliki kemampuan yang lebih baik dalam pembentukan tabungan yang berfungsi sebagai sumber investasi, sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memperoleh pendapatan karena kepemilikan faktor produksi bukan tenaga kerja.

26 163 Hasil ini juga membawa konsekwensi bahwa teori trickle down effect tidak dapat bekerja dengan baik bila diterapkan di Jawa Barat. Pembangunan yang lebih berorientasi kepada mengejar pertumbuhan ekonomi agregat semata terbukti secara tidak akan memperbaiki struktur distribusi pendapatan. Nilai multiplier yang diterima oleh berbagai golongan rumah tangga secara tidak merata membawa implikasi bahwa intervensi kebijakan melalui neraca eksogen (sektor produksi) memang akan meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga yang berarti juga akan menigkatkan taraf hidup seluruh golongan rumah tangga. Namun di saat yang sama hal ini juga diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan antar golongan rumah tangga. Multiplier pendapatan rumah tangga berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat menunjukan perbandingan-perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan rumah tangga, yaitu: Rumah tangga pengusaha pertanian menerima pendapatan 2.97 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga buruh pertanian; Rumah tangga industri golongan atas di desa menerima pendapatan 4.96 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa; Rumah tangga industri golongan atas di kota menerima pendapatan yang 5.21 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah atas di kota; Rumah tangga bukan industri golongan atas di desa menerima pendapatan 9.41 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan bawah di desa; dan

27 164 Rumah tangga bukan industri golongan atas di kota menerima pendapatan 5.32 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan bawah di kota. Gambaran lengkap dari Dekomposisi global effect multiplier pendapatan rumah tangga berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 23. Sedangkan hasil lengkap dekomposisi global effect multiplier pendapatan pada masing-masing kelompok rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 3 sampai dengan Lampiran 16. Hasil ini menunjukan bukti kuantitatif tentang adanya kesenjangan pendapatan yang diterima oleh rumah tangga golongan atas dan rumah tangga golongan bawah di Jawa Barat, dimana kesenjangan yang paling tinggi terjadi pada rumah tangga bukan industri di desa. Berbeda dengan perbandingan antara golongan pengusaha pertanian dan buruh pertanian atau antara golongan atas dan golongan bawah, perbandingan multiplier pendapatan rumah tangga desa dan kota menunjukan bahwa rumah tangga di desa menerima manfaat yang lebih besar dari investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat (dengan asumsi bahwa rumah tangga pertanian berada di desa). Multiplier pendapatan rumah tangga desa adalah sebesar sedangkan rumah tangga di kota adalah sebesar , yang berarti apabila dilakukan investasi infrastruktur transportasi, pendapatan yang dibangkitkan dan kemudian diterima oleh rumah tangga di desa nilainya 1.05 kali dibandingkan dengan yang diterima oleh rumah tangga di kota. Hasil dari analisis ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Banister and Berechman (2000) yang menyatakan bahwa investasi infrastruktur transportasi akan memperlancar jalur distribusi antara wilayah desa dan kota sehingga mampu meningkatkan interaksi kegiatan ekonomi. Dengan demikian selanjutnya akan memacu kegiatan ekonomi baik di desa maupun di kota karena

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Pulau Kalimantan didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Pulau Kalimantan sangat kaya akan sumberdaya alam

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 5.1. Struktur Perkonomian Sektoral Struktur perekonomian merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap struktur Produk Domestik

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN 6.1. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan di Bagian ini akan menganalisis dampak dari peningkatan investasi pada

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN 7.1. Peranan Langsung Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah Dalam kerangka dasar SNSE 2008, nilai tambah perekonomian dibagi atas tiga bagian

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Bab ini akan menjelaskan metode yang digunakan pada penelitian ini dan tahapan-tahapan analisis pada penelitian ini. Diawali dengan penjelasan mengenai sumber data yang akan digunakan,

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran IV. METODOLOGI Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) melalui APBN akan meningkatkan output sektor industri disebabkan adanya efisiensi/

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang

METODE PENELITIAN. menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Menurut Sugiyono (2005:129) pengumpulan data dilakukan dengan berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1 PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN Sri Hery Susilowati 1 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis multiplier dan analisis jalur struktural (SPA) mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 trilyun terhadap

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI 157 VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI Salah satu kelebihan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah mampu menjelaskan dengan lengkap tiga aktivitas distribusi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data 38 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun 2005. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

Lebih terperinci

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN Simulasi kebijakan merupakan salah satu cara yang lazim dilakukan untuk mengambil suatu kebijakan umum (public policy). Dalam penelitian ini, dilakukan berberapa skenario

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. Sub bab ini akan membahas tentang analisis hasil terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other

Lebih terperinci

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif. 5. RANGKUMAN HASIL Dari hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat dirangkum beberapa poin penting sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu: 1. Deviasi hasil estimasi total output dengan data aktual

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis secara

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis secara BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis secara bersamaan perubahan-perubahan makroekonomi maupun perekonomian secara sektoral dan regional, serta

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN 5.1. Posisi Pertambangan Batubara Indonesia dalam Pasar Global Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar minyak bumi (BBM) dan semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS. penelitian mengenai dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS. penelitian mengenai dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap BAB III KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi pustaka dan kerangka pemikiran yang digunakan, penelitian mengenai dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap penyerapan

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (U MKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN Sri Hery Susilowati Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Abstract

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang Berkembang (NSB) pada awalnya identik dengan strategi pertumbuhan ekonomi, yaitu usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 1

DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 1 DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 1 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme ANALISIS DAMPAK SUBSIDI PANGAN (RASKIN) TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN RUMAH TANGGA DAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Input-Output Integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antar semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 1-9 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA

Lebih terperinci

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun. Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% (yoy), sedangkan pertumbuhan triwulan IV-2011 secara tahunan sebesar 6,5% (yoy) atau secara triwulanan turun 1,3% (qtq). PDB per kapita atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN STIMULUS FISKAL INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI)*

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN STIMULUS FISKAL INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI)* ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN STIMULUS FISKAL INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (PENDEKATAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI)* Analysis of The Effect of Fiscal Stimulus Policy of Infrastructure to

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 BPS PROVINSI BENGKULU No. 10/02/17/XI, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 EKONOMI BENGKULU TUMBUH 5,30 PERSEN, MENINGKAT DIBANDINGKAN TAHUN 2015 Perekonomian Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN Kerangka Konstruksi Sistem Neraca Sosial Ekonomi Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2003

IV. METODE PENELITIAN Kerangka Konstruksi Sistem Neraca Sosial Ekonomi Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2003 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Kerangka Konstruksi Sistem Neraca Sosial Ekonomi 4.1.1. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 23 Studi ini menggunakan data SNSE Indonesia tahun 23 yang dicirikan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi sangat luas dan strategis setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA 5.1. Peran Sektor Agroindustri Dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah,Tenaga Kerja dan Modal Dari analisis pengganda SNSE dapat diketahui peran

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

DAMPAK TRANSFER PAYMENT TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA

DAMPAK TRANSFER PAYMENT TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA Dampak Transfer Payment (Achmad Zaini) 15 DAMPAK TRANSFER PAYMENT TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA (The Impact of Transfer Payment on Income of Farmers Household

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 17.968.449 19.510.919 1.542.470 8,58 2 Usaha Menengah (UM) 23.077.246 25.199.311 2.122.065 9,20 Usaha Kecil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan dan tingkat pendidikan) maupun dalam modal fisik, seperti

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan dan tingkat pendidikan) maupun dalam modal fisik, seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan dihubungkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang layak. Hasil yang diharapkan berupa peningkatan

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir Hasil dari analisis dengan menggunakan PCA menunjukkan sektor-sektor perekonomian pada bagian hulu dan sektor-sektor

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI JAWA: PENDEKATAN SOCIAL ACCOUNTING MATRIX

KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI JAWA: PENDEKATAN SOCIAL ACCOUNTING MATRIX KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI JAWA: PENDEKATAN SOCIAL ACCOUNTING MATRIX (Economic Sectors Linkages and Income Distribution Analysis in Java: Soocial Accounting Matrix Approach)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa Tabel Input-Output Indonesia tahun 2008 yang diklasifikasikan menjadi 10 sektor dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar 2.1.1 Distribusi Input dan Output Produksi Proses produksi adalah suatu proses yang dilakukan oleh dunia usaha untuk mengubah input menjadi output. Dunia usaha

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. A 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis 21 sektor perekonomian pada tabel Input-Ouput Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 dan 2008 pada penelittian ini, beberapa kesimpulan yang

Lebih terperinci

P U S J A T A N. Muktar Napitupulu 1), Mangara Tambunan 2), Arief Daryanto 3), Rina Oktaviani 4)

P U S J A T A N. Muktar Napitupulu 1), Mangara Tambunan 2), Arief Daryanto 3), Rina Oktaviani 4) DAMPAK INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP PEREKONOMIAN PULAU JAWA-BALI DAN SUMATERA (THE IMPACT OF ROAD INFRASTRUCTURE ON ECONOMICS IN JAVA, BALI AND SUMATERA) Muktar Napitupulu 1), Mangara Tambunan 2), Arief

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri FEBRUARI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Februari 2017 Pendahuluan Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,02%, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

V. MEMBANGUN DATA DASAR

V. MEMBANGUN DATA DASAR V. MEMBANGUN DATA DASAR Sudah dikemukakan sebelumnya, di bagian metodologi bahwa sumber data utama yang digunakan dalam studi ini dalam rangka membangun Model CGE-Investasi Regional (CGE-IR) adalah Tabel

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Model Input-Output Ekonometrika Indonesia dan Aplikasinya Untuk Analisis Dampak Ekonomi dapat diperoleh beberapa

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 72/11/35/Th. X, 5 November 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan III Tahun 2012 (y-on-y) mencapai 7,24 persen

Lebih terperinci