VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI"

Transkripsi

1 VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan beberapa tahapan yang dimulai dari masa persiapan, kontruksi hingga pemeliharaan. Setiap tahapan pembangunan yang di kerjakan dipastikan akan menyerap lapangan kerja. Hal ini karena pembangunan infrastruktur jalan umumnya merupakan padat karya, yang banyak menyerap lapangan kerja bagi tenaga profesional, operator, produksi, buruh kasar, hingga administrasi. Oleh sebab itu, dengan semakin tingginya stimulus fiskal yang diinjeksi oleh pemerintah ke sektor infrastruktur jalan, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi signifikan pertambahan pendapatan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memberi pengaruh juga terhadap pertambahan pendapatan rumahtangga sebagai pemilik faktor tenaga kerja. Pertambahan pendapatan rumahtangga sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur jalan, bukan saja berasal dari faktor produksi tenaga kerja, namun juga dapat bersumber dari kepemilikan lahan dan modal. Dengan kata lain, stimulus fiskal untuk pembangunan infrastruktur jalan akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan faktor produksi tenaga kerja, lahan dan modal. Seluruh fenomena ini dapat dipotret dengan komprehensif melalui analisis multiplier IRSAM, khususnya multiplier sektor infrastruktur jalan terhadap faktor-faktor produksi sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel 30.

2 200 Berdasarkan status pekerjaannya, tenaga kerja yang dibahas dalam analisis multiplier SNSE kali ini terdiri atas beberapa golongan, wilayah dan kawasan. Tabel 30. Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Aktifitas Intraregional Interregional Total KBI KTI KBI KTI KTI KBI KBI KTI Pertanian Produksi, Opera tor Alat Angkutan, Manual dan Buruh Kasar Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Tenaga Kerja di Desa Tenaga Kerja di Kota Tenaga Kerja Kapital Lahan Total Multiplier Golongan yang ada dibagi atas dua yakni pertanian dan non pertanian, kemudian untuk wilayah adalah desa dan kota, dan terakhir untuk kawasan terdiri atas Kawasan Indonesia Barat (KBI) dan Kawasan Indonesia Timur (KTI) Efek Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Intraregional Merujuk kepada angka multiplier faktor produksi yang disajikan dalam Tabel 26, apabila diperhatikan pada multiplier intraregional (wilayah sendiri), dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap faktor produksi tenaga kerja lebih besar terlihat di KBI dibandingkan KTI. Wilayah KBI multiplier intraregional tenaga kerja adalah sebesar , sedangkan di KTI

3 201 sebesar Multiplier sebesar menandakan bahwa setiap ada injeksi sebesar 1 rupiah pada neraca eksogen sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, maka pendapatan tenaga kerja di KBI akan bertambah sebesar Sebaliknya, secara terpisah jika neraca eskogen sektor infrastruktur jalan dan jembatan KTI yang diberi injeksi 1 rupiah akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja KTI sendiri sebesar Dengan kata lain, seandainya pemerintah memberi stimulus fiskal sebesar 1 milyar rupiah untuk sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, maka pendapatan tenaga kerja KBI secara total akan meningkat sebesar Rp juta. Sedangkan pendapatan tenaga kerja di KTI untuk injeksi yang sama akan bertambah sebesar Rp juta. Sebagai ilustrasi Pemerintah pada tahun 2009 melalui Departemen Pekerjaan Umum memberikan dana stimulus sebesar Rp. 6.6 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Alasan pemerintah mengalokasikan dana stimulus yang besar untuk sektor infrastruktur ialah agar dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di tengah krisis keuangan global yang terjadi saat ini dan tahun depan, serta mampu menyerap lapangan kerja yang lebih besar (Dirjen Anggaran, 2009). Dengan asumsi sekitar 48% dari total dana stimulus tersebut diperuntukan bagi pembangunan jalan dan jembatan, yang berarti sekitar Rp triliun, maka dapat diperkirakan bahwa dengan dana stimulus sebesar itu jumlah tenaga kerja yang terserap di KBI akan bertambah sebesar 1.68 juta orang, dan KTI bertambah sebesar 727 ribu orang. Hal ini berarti pengalokasian stimulus fiskal pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan sebanyak Rp triliun diperkirakan dapat menambah penyerapan tenaga kerja secara keseluruhan dalam perekonomian Indonesia tahun 2009 ini sebesar 2.41 juta orang.

4 202 Sesuai dengan bidang dan wilayah pekerjaannya, baik di KBI maupun KTI, tenaga kerja yang paling banyak menyerap tambahan pendapatan dari setiap injeksi dana pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan adalah tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual dan buruh kasar di wilayah perkotaan. Golongan tenaga kerja ini menyerap tambahan pendapatan kurang lebih sebesar 27.27% dari multiplier tenaga kerja sebesar di KBI, dan 25.08% dari multiplier tenaga kerja sebesar di KTI. Kondisi eksisting juga menggambarkan bahwa secara menyeluruh pertambahan pendapatan tenaga kerja sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan akan lebih banyak diserap oleh tenaga kerja yang berada di wilayah kota dibandingkan desa. Seperti yang tergambarkan pada nilai multiplier tenaga kerja menurut wilayahnya, di KBI multiplier tenaga kerja di kota adalah sebesar dan di desa sebesar Sedangkan di KTI untuk kota sebesar , dan desa sebesar Kedua fakta ini sudah merupakan kondisi logis yang sering ditemukan pada setiap pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih terfokus selama ini pada wilayah kota dibandingkan desa, dan lebih banyak menyerap tenaga kerja operator, produksi, buruh kasar dan profesional ketimbang tenaga administrasi dan tata usaha Efek Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Interregional Adanya keterkaitan antara wilayah KBI dan KTI yang sangat kuat membuat keterikatan ekonomi antara dua kawasan tersebut tidak dapat saling dilepaskan begitu saja. Segala aktifitas ekonomi yang dilakukan di KBI akan mempunyai pengaruh secara tidak langsung ke KTI begitu sebaliknya. Fenomena semacam ini dapat diungkap dengan jelas melalui multiplier interregional dalam

5 203 analisis SNSE kali ini. Seperti yang disajikan pada Tabel 26, khususnya dalam kolom multiplier interregional, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KBI dapat memberi dampak terhadap total pertambahan pendapatan tenaga kerja di KTI sebesar nilai multiplier yakni Sebaliknya pembangunan infrastruktur jalan di KTI akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan tenaga kerja di KBI sebesar Dua nilai multiplier interregional yang cukup berbeda jauh ini menandakan adanya hubungan antarkawasan yang asimetris. Dimana dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KTI terlihat lebih tinggi terhadap pertambahan pendapatan tenaga kerja di KBI, dibandingkan KBI ke KTI. Wilayah KTI, berdasarkan nilai multiplier interregional, jika ada dana stimulus pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan sebesar 1 rupiah, maka dampak yang diberikan terhadap pertambahan pendapatan tenaga kerja di KBI adalah sebesar rupiah. Akan tetapi sebaliknya, jika dana stimulus sebesar 1 rupiah tersebut diinjeksi pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, hanya memberi dampak pertambahan pendapatan bagi tenaga kerja di KTI sebesar rupiah. Tampak jelas ada ketidakseimbangan efek multiplier interregional yang cukup mencolok diantara dua kawasan tersebut. Dengan kata lain terjadi ketidakseimbangan spill over effect dalam pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Ketersediaan tenaga profesional, operator hingga buruh kasar untuk pembangunan jalan dan jembatan di negara Indonesia memang selama ini lebih banyak disuplai dari wilayah KBI. Kualitas dan kuantitas yang tinggi untuk tenaga kerja semacam itu lebih banyak tersedia di KBI di bandingkan KTI. Akibatnya

6 204 ketika daerah-daerah di KTI ingin melaksanakan pembangunan jalan dan jembatan, mereka lebih banyak meminta dari wilayah KBI. Hal ini pada akhirnya memberi dampak transfer pendapatan lebih besar terlihat mengalir dari KTI ke KBI dibandingkan dari KBI ke KTI, sebagaimana yang tergambarkan pada angka spillover effect saat ini. Seperti halnya dengan dampak yang bersifat intraregional, spillover efect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan juga lebih diserap oleh tenaga kerja di kota dibandingkan desa, khususnya bagi tenaga profesional, operator dan buruh kasar. Baik itu spillover effect yang dihasilkan oleh KBI ke KTI maupun dari KTI ke KBI semuanya lebih besar mengarah kepada tenaga kerja di kota. Efek lainnya yang dapat ditangkap dengan multiplier faktor produksi ini adalah dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan dari kepemilikan modal dan lahan. Jika dilihat menurut besaran multiplier, efek pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan tersebut lebih banyak dipancarkan ke modal, baik itu di KBI maupun KTI. Pemilik modal akan memperoleh pendapatan yang paling besar dibandingkan faktor produksi lainnya. Seperti yang disajikan pada nilai multiplier intraregional, faktor modal mempunyai multiplier sebesar untuk KBI, dan sebesar di KTI. Dengan kata lain, untuk setiap injeksi sebesar 1 rupiah pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, akan memberi efek terhadap pertambahan pendapatan modal sebesar rupiah. Sedangkan untuk wilayah KTI dengan besaran injeksi yang sama akan memberi dampak pertambahan modal sebesar rupiah.

7 205 Seperti pada ulasan sebelumnya, spillover effect ke faktor modal dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan juga berlangsung asimetris, dimana KBI akan lebih banyak menerima efek yang lebih besar dibandingkan KTI. Artinya para pemilik modal di KBI memperoleh tambahan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan KTI ketika pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dilaksanakan. Hal yang sama juga terlihat untuk pendapatan yang di peroleh dari kepemilikan lahan. Pemilik lahan yang berdomisili di KBI tampak lebih banyak menerima tambahan pendapatan meskipun pelaksanaan pembangunan jalan dan jembatan tersebut di KTI Efek Terhadap Nilai Tambah Berdasarkan pendekatan pendapatan, nilai tambah atau value added tersebut adalah merupakan penjumlahan dari pendapatan upah, modal, dan sewa lahan. Dengan demikian, total multiplier faktor produksi (penjumlahan dari multiplier tenaga kerja, modal dan lahan) dapat dikatakan sebagai multiplier nilai tambah. Menggunakan multiplier ini dapat dilihat seberapa besar dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap kenaikan nilai tambah bruto di suatu kawasan. Multiplier nilai tambah intraregional sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI adalah sebesar , sedangkan di KTI sebesar Ini berarti bila sektor infrastruktur jalan dan jembatan diberi dana stimulus sebesar 1 rupiah, maka nilai tambah di KBI itu sendiri akan meningkat sebesar rupiah. Sedangkan untuk KTI, dengan stimulus fiskal yang sama besar hanya meningkatkan nilai tambah di wilayahnya sendiri sebesar rupiah. Terlihat disini bahwa pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan memberi

8 206 dampak yang lebih besar terhadap kenaikan nilai tambah di KBI dibandingkan KTI. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa ada ketimpangan hasil pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di Indonesia, dimana KBI akan selalu memperoleh efek multiplier yang lebih tinggi dibandingkan KTI. Hal tersebut semakin diperjelas dengan melihat spillover effect antara dua kawasan tersebut, yang mana spillover effect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KTI lebih besar ke KBI, dibandingkan KBI ke KTI. Seperti yang ditunjukkan oleh multiplier interregional nilai tambah KTI ke KBI yakni sebesar , sementara dari KBI ke KTI sebesar Terjadi ketimpangan spillover effect yang cukup mencolok diantara kedua kawasan tersebut. Angka multiplier sebesar mengindikasikan bahwa jika dana stimulus sebesar 1 rupiah diinjeksi pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI, akan memberi efek terhadap kenaikan nilai tambah di KBI sebesar rupiah. Sebaliknya, jika dana stimulus tersebut hanya disalurkan ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI saja, hanya memberi efek kenaikan terhadap nilai tambah KTI sebesar Rangkuman 1. Kondisi eksisting nilai multiplier intraregional KBI dan KTI menggambarkan bahwa pertambahan pendapatan tenaga kerja sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan akan lebih banyak diserap oleh tenaga kerja yang berada di wilayah kota dibandingkan desa. Kedua fakta ini sudah merupakan kondisi logis yang sering ditemukan pada setiap pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih terfokus selama ini

9 207 pada wilayah kota dibandingkan desa, dan lebih banyak menyerap tenaga kerja operator, produksi, buruh kasar dan profesional. 2. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di KTI dampaknya terlihat lebih tinggi terhadap pertambahan pendapatan tenaga kerja di KBI, dibandingkan KBI ke KTI. Ada ketidakseimbangan efek multiplier interregional yang cukup mencolok diantara dua kawasan tersebut, dengan kata lain terjadi ketidakseimbangan spill over effect dalam pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Ketersediaan tenaga profesional, operator hingga buruh kasar untuk pembangunan jalan dan jembatan di negara Indonesia memang selama ini lebih banyak disuplai dari wilayah KBI. Kualitas dan kuantitas yang tinggi untuk tenaga kerja semacam itu lebih banyak tersedia di KBI di bandingkan KTI (Ditjen PU, 2002). 3. Seperti halnya dengan dampak yang bersifat intraregional, spillover efect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan juga lebih diserap oleh tenaga kerja di kota dibandingkan desa, khususnya bagi tenaga profesional, operator dan buruh kasar. Baik itu spillover effect yang dihasilkan oleh KBI ke KTI maupun dari KTI ke KBI semuanya lebih besar mengarah kepada tenaga kerja di kota. 4. Efek lainnya yang dapat ditangkap dengan multiplier faktor produksi ini adalah dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan dari kepemilikan modal dan lahan. Para pemilik modal dan lahan di KBI memperoleh tambahan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan KTI ketika pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dilaksanakan.

10 Berdasarkan pendekatan pendapatan, nilai tambah atau value added yang merupakan penjumlahan dari pendapatan upah, modal, dan sewa lahan. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih terfokus ke KBI tidak akan menyelesaikan masalah ketimpangan pembangunan yang terjadi selama ini. Sehingga sampai kapanpun bila pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan masih selalu tercurah ke KBI maka kesenjangan nilai tambah diantara KBI dan KTI tidak akan semakin mengecil, bahkan dikhawatirkan semakin besar. Namun, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih terfokus ke KTI sepertinya kurang banyak juga mengatasi ketimpangan nilai tambah antara KBI dan KTI. Ini terjadi karena selain efek multiplier intraregional nilai tambah yang relatif sangat rendah diterima oleh KTI, spillover effect KTI terhadap KBI juga terlihat relatif tinggi sehingga dari total efek multiplier nilai tambah yang seharusnya diserap oleh KTI sebesar , sekitar 32.16% diberikan kepada KBI Analisis Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Rumahtangga Faktor-faktor produksi berupa tenaga kerja, lahan dan modal seluruhnya dimiliki oleh rumahtangga. Oleh karenanya, segala perolehan pendapatan dari pemanfaatan tenaga kerja, modal dan lahan oleh suatu sektor pembangunan akan ditransfer langsung ke rumahtangga. Dalam hal ini rumahtangga yang menerima transfer tersebut dapat distratakan menjadi rumahtangga berpendapatan rendah, sedang dan tinggi, serta dapat dipisahkan menurut wilayah kota dan desa sebagaimana yang dilakukan dalam studi kali ini (Tabel 31).

11 209 Tabel 31. Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Rumahtangga Wilayah Golongan Intraregional Interregional Total Pendapatan KBI KTI KBI KTI KTI KBI KBI KTI Rendah Desa Sedang Tinggi Rendah Kota Sedang Tinggi Total Rumahtangga Desa Total Rumahtangga Kota Total Rumahtangga Efek Terhadap Pendapatan Rumahtangga Intraregional Pada Tabel 32. dapat dilihat jelas bahwa efek multiplier sektor infrastruktur jalan dan jembatan untuk rumahtangga KBI lebih tinggi dibandingkan rumahtangga di KTI. Dimana sesuai dengan besaran nilai multiplier rumahtangga intraregional, setiap ada dana stimulus sebesar 1 rupiah pada sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan rumahtangga secara keseluruhan di KBI sebesar rupiah. Sedangkan di KTI, besaran dana stimulus yang sama mempunyai dampak terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga di KTI sebanyak rupiah. Wilayah KBI maupun KTI, rumahtangga yang paling banyak menyerap efek multiplier dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan adalah rumahtangga di kota. Untuk rumahtangga kota di KBI, efek multiplier yang diterima adalah sebesar , sedangkan di KTI adalah sebesar Adapun golongan rumahtangga yang paling banyak menerima efek multiplier tersebut selama ini adalah rumahtangga yang berpendapatan tinggi di kota yakni sebesar di KBI dan sebesar di KTI.

12 210 Serangkaian angka multiplier di atas, dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan sekarang ini masih lebih menguntungkan golongan rumahtangga yang berpendapatan tinggi, dan rumahtangga yang berada di kota. Hal ini berarti sulit sekali mengharapkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dalam kondisi saat ini mampu mengurangi ketimpangan antargolongan pendapatan rumahtangga, dan ketimpangan spasial antarwilayah kota dan desa baik itu di KBI maupun KTI Efek Terhadap Pendapatan Rumahtangga Interregional Fakta lainnya juga menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan saat ini terlihat tidak mampu mengurangi kesenjangan pendapatan rumahtangga antarkawasan KBI dan KTI. Hal ini karena spillover effect dari pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan berlangsung asimetris antara KBI dan KTI. Seperti yang dipaparkan dalam Tabel 26, spillover effect dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI ke KBI lebih tinggi dibandingkan spillover effect KTI ke KBI. Dimana dari KTI ke KBI adalah sebesar , sedangkan KBI ke KTI sebesar Kedua angka multiplier ini mempunyai makna masing-masing bahwa jika ada dana stimulus sebesar 1 rupiah diinjeksi ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan rumahtangga secara keseluruhan di KBI sebesar rupiah. Sebaliknya, jika dana stimulus tersebut diberikan di KBI hanya membawa efek interregional pendapatan rumahtangga di KTI sebesar rupiah. Terjadi kesenjangan efek multiplier sebesar rupiah, dimana rumahtangga di KBI akan selalu diuntungkan dibandingkan KTI atas pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan.

13 211 Kondisi eksisting menunjukkan bahwa selama ini aksesbilitas di KBI selalu lebih tinggi dibandingkan KTI. Di KBI rasio aksesbilitasnya dapat mencapai km per km 2. Dengan kata lain untuk setiap luas wilayah 100 km 2 di KBI akan terdapat akses jalan sepanjang 6.2 km. Sedangkan aksesbilitas di KTI hanya sebesar , atau per 100 km 2 hanya terdapat jalan sepanjang 3.5 km. Meskipun angka rasio-rasio aksesbilitas jalan ini sebenarnya masih jauh dari ideal, namun paling tidak berdasarkan kedua rasio tersebut sudah terlihat adanya kesenjangan pembangunan jalan yang cukup mencolok diantara keduanya. Faktor inilah yang menyebabkan mengapa efek multiplier dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan tersebut selalu lebih menguntungkan rumahtangga yang menetap di KBI dibandingkan KTI. Selama pelaksanaan pembangunan jalan dan jembatan masih terus terkonsentrasi di KBI, maka upaya untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antara rumahtangga di KBI dengan KTI tidak akan dapat dilakukan secara optimal. Akan tetapi, bila konsentrasi pembangunan jalan dan jembatan sekarang seluruhnya diarahkan ke KTI, tidak berarti otomatis langsung mengurangi ketimpangan pendapatan antarkawasan. Kondisi ini diakibatkan efek multiplier yang dihasilkan oleh sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI ternyata hampir sebagian besar diserap oleh rumahtangga di KBI. Sebagaimana yang terungkap pada nilai multiplier sektor infrastruktur jalan dan jembatan terhadap rumahtangga KTI yakni sebesar (lihat Tabel 27), sekitar 45.70% efeknya mengalir ke luar untuk rumahtangga KBI dan 54.30% diserap oleh rumahtangga KTI. Ini berarti pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan yang difokuskan di KTI akan memberi dampak terhadap pertambahan pendapatan

14 212 rumahtangga di KTI dan KBI dengan kenaikan yang hampir seimbang. Hal tersebut akhirnya menyebabkan dampak stimulus yang diinjeksi ke sektor infrastruktur ini tidak mampu menciptakan pendapatan rumahtangga KTI menyamai atau paling tidak mendekati pendapatan rumahtangga di KBI, sehingga kesenjangan pendapatan rumahtangga antarkawasan terus terjadi, bahkan bisa semakin melebar. Terjadinya kesenjangan penguasaan teknologi pembangunan jalan dan jembatan antara pekerja (profesional, operator, buruh kasar) KBI dengan KTI menjadi salah satu penyebab mengapa upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan rumahtangga antarkawasan tersebut sangat sulit dilakukan. Jika diamati secara total, sebenarnya efek multiplier sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di Indonesia masih lebih besar dibandingkan sektor-sektor ekonomi lainnya, perhatikan Tabel 32. Dibandingkan dengan sektor perdagangan, industri makanan minuman, industri pulp dan kertas, serta pertambangan minyak, gas dan panas bumi. Total nilai multiplier sektor infrastruktur jalan dan jembatan adalah sebesar , sedangkan sektor perdagangan sebesar , industri makanan dan minuman sebesar , industri pulp dan kertas sebesar , dan pertambangan minyak, gas dan panas bumi sebesar Meskipun secara kuantitas dampaknya cukup tinggi, namun secara kualitas efek pembangunan sektor infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan rumahtangga masih terlihat rendah karena belum mampu mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi selama ini, baik itu ketimpangan antargolongan pendapatan dan spasial maupun ketimpangan regional. Perlu dilakukan suatu reformulasi Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) yang lebih berpihak kepada masyarakat pendapatan rendah

15 213 dan wilayah yang berkembang, guna mengoptimalkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dalam mengatasi kesenjangan pembangunan. Tabel 32. Total Multiplier Sektor-Sektor Ekonomi Terhadap Pendapatan Rumahtangga No. Sektor KBI KTI Total 1. Pemerintahan umum dan pertahanan Perikanan Jasa-jasa lainnya Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Industri tekstil dan produk tekstil Padi Komunikasi Lembaga keuangan Pertamb. bt bara, biji logam & penggalian lainnya Tanaman bahan makanan lainnya Industri mesin listrik dan peralatan listrik Kehutanan Industri kelapa sawit Hotel dan Restoran Industri karet dan barang dari karet Bangunan jalan dan jembatan Bangunan lainnya Perdagangan Industri barang kayu, rotan dan bambu Industri makanan minuman Industri pulp dan kertas Angkutan Air Industri pengolahan hasil laut Angkutan darat Industri semen Angkutan Udara Industri lainnya Listrik, gas dan air bersih Industri alat angkutan dan perbaikiannya Industri barang dari logam Industri dsr besi & baja dan lgm dsr bukan besi Pertambangan minyak, gas dan panas bumi Industri petrokimia Pengilangan minyak bumi Industri alas kaki

16 214 Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan sekarang ini masih lebih menguntungkan golongan rumahtangga yang berpendapatan tinggi, dan rumahtangga yang berada di kota. Ini berarti sulit sekali mengharapkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dalam kondisi saat ini mampu mengurangi ketimpangan antargolongan pendapatan rumahtangga, dan ketimpangan spasial antarwilayah kota dan desa baik itu di KBI maupun KTI. Meskipun secara kuantitas dampak pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan rumahtangga cukup tinggi, namun secara kualitas efek terhadap pendapatan rumahtangga masih terlihat rendah oleh karena masih belum mampu mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi selama ini, baik itu ketimpangan antargolongan pendapatan, ketimpangan spasial maupun ketimpangan regional Rangkuman 1. Efek multiplier sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan untuk rumahtangga KBI lebih tinggi dibandingkan rumahtangga di KTI, besaran nilai multiplier rumahtangga intraregional di KBI sebesar rupiah dan di KTI sebanyak rupiah. 2. Baik wilayah KBI maupun KTI, rumahtangga yang paling banyak menyerap efek multiplier dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan adalah rumahtangga di kota. rumahtangga kota di KBI sebesar , sedangkan di KTI adalah sebesar Adapun golongan rumahtangga yang paling banyak menerima efek multiplier tersebut selama ini adalah rumahtangga yang berpendapatan tinggi di kota yakni sebesar di KBI dan sebesar di KTI.

17 Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan sekarang ini masih lebih menguntungkan golongan rumahtangga yang berpendapatan tinggi, dan rumahtangga yang berada di kota. Hal ini berarti sulit sekali mengharapkan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dalam kondisi saat ini mampu mengurangi ketimpangan antargolongan pendapatan rumahtangga, dan ketimpangan spasial antarwilayah kota dan desa baik itu di KBI maupun KTI Analisis Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Sektor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan diyakini mampu menggerakkan sektor riil dan memicu kegiatan produksi, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor ini telah dipahami secara luas sebagai enabler terjadinya kegiatan ekonomi produktif di sektor-sektor lain. Ibaratnya, infrastruktur jalan dan jembatan tersebut merupakan sebuah roda yang akan membantu perputaran produksi dari sektor-sektor lain, sehingga secara langsung mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan dengan sektor riil. Untuk mengungkap fenomena ini dapat diperhatikan dari besarnya nilai multiplier sektor infrastruktur jalan dan jembatan terhadap pendapatan sektor-sektor ekonomi sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel Efek Terhadap Pendapatan Sektor Produksi Intraregional Efek multiplier produksi sektor infrastruktur jalan dan jembatan terlihat lebih besar di wilayah KBI dibandingkan KTI. Di KBI multiplier produksinya mencapai , sedangkan di KTI sebesar Jika sektor infrastruktur jalan dan jembatan diberi injeksi dana stimulus sebesar 1 rupiah, maka pendapatan

18 216 produksi dari seluruh sektor perekonomian KBI akan meningkat sebesar rupiah. Sedangkan di KTI sebesar rupiah untuk besaran injeksi yang sama. Sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI paling tinggi memiliki keterkaitan ke belakang dengan sektor industri. Sekitar 30.77% dari dampak multiplier produksi sebesar tersebut diserap oleh sektor industri. Berikutnya menyusul sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10.64%, serta sektor-sektor jasa lainnya sebesar 12.38%. Keterkaitan ke belakang di KTI dengan sektor lainnya dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan lebih besar dengan sektor pertambangan yang menyerap dampak multiplier sebesar 11.37%, industri sebesar 11.13%,perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10.05%. Tabel 33. Multiplier Pembangunan Jalan dan Jembatan Terhadap Pendapatan Sektor-Sektor Ekonomi Sektor Produksi Intraregional Interregional Total KBI KTI KBI KTI KTI KBI KBI KTI Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan Kehutanan Pertambangan Industri Mkn&Min Industri Lainnya Bangunan jalan dan jembatan Bangunan lainnya Angkutan Perdg, Hotel & Rest Jasa Lain Total Multiplier

19 Efek Terhadap Pendapatan Sektor Produksi Interregional Makna multiplier interregional sebagaimana diungkapkan dalam Tabel 34 sejalan dengan logika ekonomi, yaitu apabila suatu sektor produksi tertentu di suatu wilayah mengalami peningkatan output karena sesuatu sebab tertentu (injeksi) maka sektor tersebut membutuhkan tambahan input (input primer dan antara) baik yang berasal dari wilayah sendiri maupun dari wilayah lain. Akibatnya output sektor-sektor produksi lain (sebagai pemasok input antara) mengalami peningkatan, yang kemudian membutuhkan juga tambahan input primer dan input antara, baik dari wilayah sendiri maupun dari wilayah lain. Demikian seterusnya. Efek berantai dari injeksi ini (langsung dan tidak langsung) terjadi tidak hanya di dalam wilayah sendiri tetapi melimpah ke wilayah lain. Efek multiplier dari suatu injeksi ekonomi yang melimpah ke wilayah lain disebut spillover effects (Alim, 2007). Sektor-sektor ekonomi seperti pertanian, perkebunan, peternakan, industri makanan dan minuman, industri lainnya, serta bangunan jalan dan jembatan di KBI mendapat keuntungan yang lebih besar di bandingkan di KTI dalam kaitannya dengan hubungan interregional antarkawasan dari sektor infrastruktur jalan dan jembatan. Sebagai misal, jika ada dana stimulus sebesar 1 rupiah diinjeksi ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI, akan memberi spillover effect terhadap sektor pertanian di KBI sebesar rupiah. Akan tetapi sebaliknya, jika dana stimulus tersebut diinjeksi ke KBI, sektor pertanian KTI hanya memperoleh manfaat sebesar rupiah. Berarti ada hubungan yang asimetris antara KBI dengan KTI dalam mengamati efek dari pembangunan jalan dan jembatan yang lintas kawasan.

20 218 Berbeda dengan sektor-sektor perikanan, kehutanan, pertambangan, bangunan lainnya, dan angkutan. Spillover effect dari KBI ke KTI terlihat lebih besar dibandingkan dari KTI ke KBI. Misalkan untuk sektor perikanan. Jika dana stimulus sebesar 1 rupiah diinjeksi ke sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KBI, akan memberi dampak terhadap sektor perikanan KTI sebesar Sebaliknya jika sektor infrastruktur jalan dan jembatan KTI yang diinjeksi, hanya memberi dampak pertambahan pendapatan sektor perikanan KBI sebesar , sehingga terdapat hubungan yang asimetris juga. Secara keseluruhan, KBI tetap memperoleh spillover effect sektor infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih tinggi dibandingkan KTI. Hal ini tercermin pada nilai total multiplier interregional sektor infrastruktur jalan dan jembatan pada masing-masing kawasan tersebut. Multiplier interregional di KTI ke KBI adalah sebesar , sedangkan KBI ke KTI adalah sebesar Dengan kata lain, apabila sektor infrastruktur jalan dan jembatan di KTI diberi dana stimulus sebesar 1 rupiah, akan memberi dampak pertambahan pendapatan sektor-sektor perekonomian di KBI sebesar Sebaliknya jika dana stimulus tersebut difokuskan ke KBI, hanya memberi efek multiplier terhadap pertambahan pendapatan sektor-sektor perekonomian KTI sebesar Ini berarti terdapat kesenjangan efek multiplier sebanyak yang lebih tinggi diterima oleh KBI. Angka-angka multiplier di atas merupakan indikasi awal bahwa sektor infrastruktur jalan dan jembatan untuk saat ini tidak dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan sektoral yang dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan antarsektor dan antarwilayah. Ketimpangan penguasaan teknologi dan aksesibilitas jalan antara KBI dan KTI sepertinya merupakan faktor penyebab

21 219 utama mengapa sektor infrastruktur jalan dan jembatan kurang begitu signifikan menurunkan ketimpangan pendapatan wilayah antara KBI dan KTI Rangkuman 1. Dampak multiplier produksi sektor infrastruktur jalan dan jembatan terlihat lebih besar di wilayah KBI dibandingkan KTI. KBI multiplier produksinya mencapai , sedangkan di KTI sebesar Sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan paling tinggi memiliki keterkaitan ke belakang dengan sektor industri di wilayah KBI. Sekitar atau 30.77% dari dampak multiplier produksi sebesar tersebut diserap oleh sektor industri. Sedangkan di KTI, keterkaitan ke belakang dengan sektor lainnya dari sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan lebih besar dengan sektor pertambangan yang menyerap dampak multiplier sebesar 11.37%, kemudian industri sebesar 11.13%, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10.05%. 3. Secara keseluruhan, KBI tetap memperoleh spillover effect sektor infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih tinggi dibandingkan KTI (multiplier interregional di KTI ke KBI adalah sebesar , sedangkan KBI ke KTI adalah sebesar ). 4. Dari angka-angka multiplier intraregional dan interregional mengindikasikan bahwa sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan untuk saat ini belum atau tidak dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan sektoral yang dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan antarsektor dan antarwilayah KBI dan KTI.

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN 6.1. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan di Bagian ini akan menganalisis dampak dari peningkatan investasi pada

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA 8.1. Analisis Simulasi Kebijakan Dalam analisis jalur struktural atau SPA sebelumnya telah diungkap bagaimana

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Pulau Kalimantan didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Pulau Kalimantan sangat kaya akan sumberdaya alam

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN 5.1. Posisi Pertambangan Batubara Indonesia dalam Pasar Global Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar minyak bumi (BBM) dan semakin

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN 7.1. Peranan Langsung Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah Dalam kerangka dasar SNSE 2008, nilai tambah perekonomian dibagi atas tiga bagian

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN Simulasi kebijakan merupakan salah satu cara yang lazim dilakukan untuk mengambil suatu kebijakan umum (public policy). Dalam penelitian ini, dilakukan berberapa skenario

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. Sub bab ini akan membahas tentang analisis hasil terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 17.968.449 19.510.919 1.542.470 8,58 2 Usaha Menengah (UM) 23.077.246 25.199.311 2.122.065 9,20 Usaha Kecil

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif. 5. RANGKUMAN HASIL Dari hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat dirangkum beberapa poin penting sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu: 1. Deviasi hasil estimasi total output dengan data aktual

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 5.1. Struktur Perkonomian Sektoral Struktur perekonomian merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap struktur Produk Domestik

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI 157 VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI Salah satu kelebihan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah mampu menjelaskan dengan lengkap tiga aktivitas distribusi

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI. satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah saat ini

VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI. satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah saat ini VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI Pembangunan kembali (revitalisasi) sektor kehutanan merupakan salah satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP PENDAPATAN FAKTOR PRODUKSI INTRA DAN INTER REGIONAL KBI-KTI

DAMPAK PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP PENDAPATAN FAKTOR PRODUKSI INTRA DAN INTER REGIONAL KBI-KTI DAMPAK PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP PENDAPATAN FAKTOR PRODUKSI INTRA DAN INTER REGIONAL KBI-KTI Slamet Muljono Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Gedung Bina Marga Lantai 5 Jl. Patimura

Lebih terperinci

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 133 BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Struktur Perekonomian Kepulauan Bangka Belitung Sebelum Transformasi Untuk mengetahui struktur perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dilakukan analisis struktur

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Bab ini akan menjelaskan metode yang digunakan pada penelitian ini dan tahapan-tahapan analisis pada penelitian ini. Diawali dengan penjelasan mengenai sumber data yang akan digunakan,

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan 138 BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA 6.1. Infrastruktur dan Kinerja perekonomian Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN. Biro Riset LMFEUI

ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN. Biro Riset LMFEUI ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN Biro Riset LMFEUI Data tahun 2007 memperlihatkan, dengan PDB sekitar Rp 3.957 trilyun, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar, yaitu Rp

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO 1. PERKEMBANGAN KABUPATEN BUNGO merupakan penghitungan atas nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktifitas ekonomi dalam suatu daerah/wilayah. Data

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL III. EKONOMI MAKRO KABUPATEN TEGAL TAHUN 2013 Pembangunan ekonomi merupakan suatu hal mendasar suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi itu sendiri pada dasarnya

Lebih terperinci

Keterangan * 2011 ** 2012 ***

Keterangan * 2011 ** 2012 *** Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 * 2011 ** 2012 *** Produk Domestik Bruto (%, yoy) 3.64 4.50 4.78 5.03 5.69 5.50 6.35 6.01 4.63 6.22 6.49 6.23 Produk Nasional Bruto (%, yoy)

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2)

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2) Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir Hasil dari analisis dengan menggunakan PCA menunjukkan sektor-sektor perekonomian pada bagian hulu dan sektor-sektor

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

V. METODE PENELITIAN

V. METODE PENELITIAN V. METODE PENELITIAN 5.. Konstruksi Model IRSAM KBI-KTI Sebagaimana telah diungkapkan dalam Bab terdahulu bahwa studi ini akan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi Antarregional KBI-KTI atau

Lebih terperinci

V. MEMBANGUN DATA DASAR

V. MEMBANGUN DATA DASAR V. MEMBANGUN DATA DASAR Sudah dikemukakan sebelumnya, di bagian metodologi bahwa sumber data utama yang digunakan dalam studi ini dalam rangka membangun Model CGE-Investasi Regional (CGE-IR) adalah Tabel

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

GROWTH (%) SHARE (%) JENIS PENGELUARAN 2011** 2012*** Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.

GROWTH (%) SHARE (%) JENIS PENGELUARAN 2011** 2012*** Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q. Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 * 2011 ** 2012 *** Produk Domestik Bruto (%, yoy) 3.64 4.50 4.78 5.03 5.69 5.50 6.35 6.01 4.63 6.22 6.49 6.23 Produk Nasional Bruto (%, yoy)

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA TRIWULAN IV-2008 Sebagai dampak dari krisis keuangan global, kegiatan dunia usaha pada triwulan IV-2008 mengalami penurunan yang tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT)

Lebih terperinci

VIII. MULTIPLIER SEKTOR INFRASTRUKTUR

VIII. MULTIPLIER SEKTOR INFRASTRUKTUR VIII. MULTIPLIER SEKTOR INFRASTRUKTUR 8.1. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Sektor Infras truktur Hirschman (1958) dalam Jhingan (1993) merinci keterkaitan antar sektor menjadi empat bagian, yakni:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun. Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% (yoy), sedangkan pertumbuhan triwulan IV-2011 secara tahunan sebesar 6,5% (yoy) atau secara triwulanan turun 1,3% (qtq). PDB per kapita atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

(1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II * 2012** 2013***

(1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II * 2012** 2013*** 8 6 4 2 5.99 6.29 6.81 6.45 6.52 6.49 6.50 6.29 6.36 6.16 5.81 6.11 6.035.81 3.40 2.69 2.04 2.76 3.37 1.70 1.50 2.82 3.18 1.42 2.61 0-2 (1.42) (1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II 2010

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa:

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa: V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa: a. Sektor ekonomi Kota Bandar Lampung

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th.XI, 5 Februari 2013 Ekonomi Jawa Timur Tahun 2012 Mencapai 7,27 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dikaitkan dengan proses industrialisasi. Industrialisasi di era globalisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dikaitkan dengan proses industrialisasi. Industrialisasi di era globalisasi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian di Indonesia tidak sekedar terfokus pada peran pemerintah, banyak sektor yang mempunyai peran dalam kemajuan perekonomian di Indonesia. Proses

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I-2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I-2012 No. 06/05/62/Th.VI, 7 Mei 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I-2012 PDRB Kalimantan Tengah Triwulan I-2012 dibanding Triwulan yang sama tahun 2011 (year on year) mengalami sebesar 6,26

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 31/05/35/Th. X, 7 Mei 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2012 (c-to-c) mencapai 7,19 persen Ekonomi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TAHUN 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TAHUN 2010 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 28/05/35/Th. VIII, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TAHUN 2010 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2010 sebesar 5,82 persen Perekonomian Jawa Timur pada

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 72/11/35/Th. X, 5 November 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan III Tahun 2012 (y-on-y) mencapai 7,24 persen

Lebih terperinci

VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH

VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH 7.1. Nilai Tambah Nilai Tambah Bruto (NTB) yang biasa disebut juga Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA TRIWULAN IV- Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) mengindikasikan kegiatan usaha pada triwulan IV- masih tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya maupun periode

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis multiplier dan analisis jalur struktural (SPA) mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 trilyun terhadap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/02/72/Th. XIV. 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (U MKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT ATAS DAMPAK SEKTOR PARIWISATA TERHADAP PEREKONOMIAN MALUKU

ANALISIS INPUT-OUTPUT ATAS DAMPAK SEKTOR PARIWISATA TERHADAP PEREKONOMIAN MALUKU Volume 20 Nomor 2, 2016 213 ANALISIS INPUT-OUTPUT ATAS DAMPAK SEKTOR PARIWISATA TERHADAP PEREKONOMIAN MALUKU Eldo Malba 1, Iqbal M. Taher 2 Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia ABSTRACT As a

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran IV. METODOLOGI Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) melalui APBN akan meningkatkan output sektor industri disebabkan adanya efisiensi/

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I-2011 No. 06/05/62/Th.V, 5 Mei 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I-2011 PDRB Kalimantan Tengah Triwulan I-2011 dibanding Triwulan yang sama tahun 2010 (year on year) mengalami pertumbuhan sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012 No. 06/02/62/Th. VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012 Perekonomian Kalimantan Tengah triwulan IV-2012 terhadap triwulan III-2012 (Q to Q) secara siklikal

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA Triwulan I - 2015 SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) mengindikasikan kegiatan usaha pada triwulan I-2015 tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin

Lebih terperinci

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA

SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA SURVEI KEGIATAN DUNIA USAHA gf TRIWULAN III-2017 Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) mengindikasikan berlanjutnya ekspansi kegiatan usaha pada triwulan III-2017, meski tidak setinggi triwulan sebelumnya. Hal ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 BPS PROVINSI BENGKULU No. 10/02/17/XI, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 EKONOMI BENGKULU TUMBUH 5,30 PERSEN, MENINGKAT DIBANDINGKAN TAHUN 2015 Perekonomian Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN III TAHUN 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN III TAHUN 2010 No. 46/11/51/Th. IV, 5 Nopember PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN III TAHUN PDRB Provinsi Bali I meningkat sebesar 2,65 persen dibanding triwulan sebelumnya (q-to-q). Peningkatan terjadi di hampir semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga kelestarian

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Model Input-Output Ekonometrika Indonesia dan Aplikasinya Untuk Analisis Dampak Ekonomi dapat diperoleh beberapa

Lebih terperinci