4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Penelitian ini menggunakan bahan baku ikan layaran (Istiophorus orientalis) segar yang berasal dari perairan Banten yang dibeli di TPI Palabuhanratu, Sukabumi. Ikan layaran yang diperoleh segera ditransportasikan secara rantai dingin ke laboratorium untuk diuji organoleptik kemudian di preparasi untuk memisahkan setiap bagian tubuh ikan, sehingga diperoleh daging yang digunakan untuk bahan dasar pembuatan bakso ikan. Ikan layaran yang digunakan pada penelitian ini memiliki spesifikasi bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh; insang mulai ada diskolorisasi, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir; lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan; sayatan daging mulai pudar, spesifik jenis, sedikit pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh; bau netral; serta tekstur daging agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Spesifikasi ikan layaran tersebut diperoleh dari uji organoleptik kesegaran ikan menggunakan SNI dengan skala satuan 1-9. Nilai uji organoleptik kesegaran ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai uji organoleptik kesegaran ikan layaran (Istiophorus orientalis) No. Spesifikasi Nilai Kenampakan mata Kenampakan insang lendir permukaan badan Kenampakan dan warna daging Bau Tekstur Rata-rata 7 Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata kesegaran ikan layaran bernilai 7. Nilai uji organoleptik ini menunjukkan bahwa kesegaran ikan berada pada tahap rigor mortis. Hal ini menunjukkan bahwa ikan ini masih memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan segar. Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan segar mempunyai nilai organoleptik minimal 7 (BSN 2006).

2 22 Rigor mortis terjadi akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan setelah ikan mati. Sirkulasi darah akan berhenti dan suplai oksigen berkurang menyebabkan glikogen berubah menjadi asam laktat sehingga ph tubuh ikan dan jumlah adenosin trifosfat (ATP) menurun serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya (Junianto 2003). Ikan pada fase rigor mortis umumnya dimanfaatkan menjadi makanan yang langsung diolah sedangkan untuk bahan baku pembuatan surimi yang paling baik adalah menggunakan ikan pada fase pre rigor (Konogaya 1990). Sistem rantai dingin yang belum berjalan secara optimal di pasar nelayan Palabuhanratu menyebabkan kesegaran sampel ikan layaran yang didapatkan kurang prima. 4.2 Komposisi Kimia Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) Analisis kimia terhadap daging ikan layaran menggunakan analisis proksimat. Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan yang terdiri atas kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat. Komposisi kimia dan kesegaran ikan sangat mempengaruhi karakteristik mutu bakso ikan. Komposisi kimia daging ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kimia daging ikan layaran (Istiophorus orientalis) Komposisi Hasil penelitian Leung et al. (1972) Kadar Air (%) Kadar Protein (%) Kadar Lemak (%) Kadar Abu (%) Kadar Karbohidrat (%) 79,11±0,25 12,43±0,02 0,39±0,15 1,10±0,15 6,97±0,39 72,4 23,4 3,2 1 - Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa komposisi kimia ikan layaran hasil penelitian berbeda dengan hasil penelitian Leung et al. (1972). Hampir semua kandungan komposisi kimia yang dihasilkan berbeda jauh kecuali kadar abu. Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan by difference sehingga sangat dipengaruhi oleh kadar air, protein, lemak dan abu. Perbedaan komposisi kimia ikan layaran ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal meliputi jenis dan golongan ikan, jenis kelamin serta sifat warisan, dan faktor eksternal yang meliputi daerah tempat hidup ikan, musim, dan jenis makanan

3 23 yang tersedia (Hadiwiyoto 1993). Kadar lemak ikan layaran pada penelitian ini dapat diklasifikasikan ke dalam ikan berlemak rendah karena kurang dari 5% (Stansby 1982). 4.3 Rendemen Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) Rendemen adalah persentase bagian tubuh bahan baku yang dapat dimanfaatkan. Rendemen merupakan parameter untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen didasarkan pada presentase perbandingan bobot contoh dengan bobot total (Yunizal et al. 1998). Bagian tubuh ikan layaran dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain adalah daging, daging samping, tulang badan, kulit, jeroan, kepala, sirip, insang dan bagian lain yang selama proses preparasi. Rendemen dari tiap bagian tubuh ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Diagram rendemen ikan layaran (Istiophorus orientalis) Gambar 6 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ikan layaran adalah daging sebesar 44,49% dari berat ikan utuh sebesar 20 kg, sedangkan daging merah mempunyai rendemen 14,63%. Tulang badan, kulit, jeroan, kepala, sirip, insang, dan rendemen lain mempunyai rendemen berturut-turut sebesar 9,26; 8,24; 7,63; 5,68; 2,37 dan 2,63%. Semakin besar rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomis dari produk tersebut, begitu pula sebaliknya, semakin kecil rendemen maka semakin rendah nilai ekonomisnya atau keefektivitasan suatu produk atau bahan (Yunizal et al. 1998).

4 Karakteristik Gel Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) Karakteristik gel daging lumat ikan layaran pada penelitian ini menggunakan pembanding dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu : Pusparani (2003) yang menggunakan bahan baku daging merah ikan tuna mata besar, Hendriawan (2002) dengan bahan baku daging merah ikan tuna, serta Rahmawati (2005) yang menggunakan bahan baku ikan sapu-sapu. Pemilihan data ini berdasarkan atas persamaan bahan baku yang berasal dari daging lumat dan jenis pengujian yang paling mendekati kesamaan dengan penelitian ini Karakterisrik sensori Karakteristik sensori merupakan indikator penting yang dapat menunjukkan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Mutu sensori pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau diukur dengan proses penginderaan (Soekarto 1985). Uji sensori yang dilakukan yaitu uji kesukaan yang meliputi penampakan, warna, rasa, aroma dan tekstur. Uji tersebut dilakukan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk yang dihasilkan dan tingkat kesukaannya. Karakteristik sensori gel daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik sensori gel daging lumat ikan layaran Parameter Layaran a Daging merah Daging tuna mata besar b merah tuna c Sapu-sapu d Penampakan 7,23 4,80 4,47 5,50 Warna 6,73 4,80-5,00 Rasa 6,57-4,00 5,40 Aroma 6,30 4,88 4,27 5,40 Tekstur 6,93 5,21 5,30 6,10 Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002) b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005) (1) Penampakan Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam mengkonsumsi suatu produk. Penampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi mempengaruhi penerimaan konsumen. Produk dengan bentuk yang rapi, bagus, dan utuh pasti lebih disukai konsumen daripada produk yang kurang rapi dan tidak utuh (Soekarto 1985). Tabel 5 menunjukkan

5 25 bahwa nilai penampakan gel ikan layaran merupakan yang tertinggi menurut panelis 7,23 dibandingkan dengan penelitian lain, pada penampakan gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 4,80; 4,47 dan 5,50. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap penampakan gel ikan layaran berada pada kriteria suka (BSN 2011). Penampakan gel ikan dapat dipengaruhi oleh proses pemasukan daging pada casing sebelum perebusan (Suzuki 1981). Pemasukan daging pada casing yang tidak rata dan menyeluruh dapat mengakibatkan gel ikan menjadi berongga dan permukaan tidak rapi. Daging merah ikan layaran yang banyak dihilangkan selama proses penanganan menyebabkan pencetakan dapat dilakukan dengan mudah. (2) Warna Warna merupakan faktor penting bagi kebanyakan makanan baik yang diproses maupun tidak diproses. Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan bersama-sama dengan aroma, rasa, tekstur dan penampakan (de Man 1997). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai warna gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,73 dibandingkan penelitian lain pada warna gel daging merah ikan tuna mata besar dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 4,80 dan 5,00. Penilaian panelis terhadap warna gel ikan layaran berada pada kriteria suka. Tata cara pelaporan hasil uji hedonik jika angka di belakang koma lebih besar dari lima maka angka di depan koma naik satu angka sehingga nilai warna gel ikan layaran adalah 7 (BSN 2011). Warna gel ikan layaran mempunyai nilai yang tinggi karena dalam pembuatannya tidak menggunakan daging merah sedangkan gel ikan tuna mata besar menggunakan daging merah. Hendriawan (2002), menyebutkan bahwa daging merah pada ikan tuna mengandung pigmenpigmen dan darah yang dapat mengakibatkan gel ikan yang dihasilkan berwarna gelap dan tidak cerah. Warna merah pada daging merah disebabkan kandungan hemoprotein yang tinggi yaitu lebih dari 80% (Watanabe 1990). (3) Rasa Rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan oleh konsumen terhadap diterimanya suatu produk. Apabila sebuah produk mempunyai rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan diterima oleh

6 26 konsumen walaupun warna dan aromanya baik (Winarno 2008). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai rasa gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,57 dibandingkan penelitian lain pada rasa gel daging merah ikan tuna dan sapusapu yang masing-masing bernilai 4,00 dan 5,40. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap rasa gel ikan layaran berada pada kriteria suka (BSN 2011). Rasa gel ikan diduga dipengaruhi oleh kandungan glutamat pada daging ikan serta tingkat kesegaran ikan. Penambahan jumlah garam yang sama dengan tingkat kesukaan panelis yang berbeda menunjukkan bahwa garam bukan menjadi faktor yang mempengaruhi rasa gel ikan. Suzuki (1981) menyatakan bahwa penambahan garam 2,5% sewaktu penggilingan bukan berfungsi sebagai bumbu atau penambah cita rasa, tetapi untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan melarutkan aktomiosin sehingga terbentuk sol. Uresti et al.(2004) menyatakan larutan garam sangat berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel ikan silver carp (Hypopthalmicthys molitrix). (4) Aroma Aroma makanan dapat menentukan enak atau tidaknya makanan, bahkan industri pangan menganggap uji aroma sangat penting karena dapat memberikan hasil penilaian dengan cepat (Soekarto 1985). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai aroma gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,30 dibandingkan penelitian lain pada aroma gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapusapu yang masing-masing bernilai 4,88; 4,27 dan 5,40. Penilaian panelis terhadap aroma gel ikan layaran berada pada kriteria agak suka (BSN 2011). Aroma gel ikan diduga dipengaruhi oleh tingkat keamisan pada tiap-tiap jenis ikan. Penggunaan daging lumat sebagai bahan baku gel ikan menyebabkan aroma amis masih tercium jelas. Semua aroma gel ikan secara umum masih dapat diterima oleh panelis kecuali aroma gel ikan tuna yang agak tidak disukai oleh panelis. (5) Tekstur Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gel karena produk gel bersifat kenyal dan elastis (Tanikawa 1971). Tekstur adalah halus atau tidaknya suatu irisan pada saat disentuh dengan jari atau indera pengecap oleh panelis. Tekstur makanan dapat dievaluasi dengan uji mekanika

7 27 atau dengan analisis secara penginderaan menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis. Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai tekstur gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,93 dibandingkan penelitian lain pada tekstur gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 5,21; 5,30 dan 6,10. Penilaian panelis terhadap rasa gel ikan layaran berada pada kriteria suka (BSN 2011). Tekstur daging ikan layaran paling disukai panelis karena mempunyai tekstur yang lembut. Daging ikan layaran mempunyai kadar protein larut garam yang tinggi dibandingkan ikan tuna dan sapu-sapu (Tabel 7). Kandungan lemak yang tinggi pada daging ikan tuna (Tabel 7) juga mempengaruhi proses pembentukan gel. Kotoran, darah, lemak, haemoglobin, dan protein sarkoplasma dapat menghambat pembentukan gel ikan (Suzuki 1981) Karakteristik fisika Karakteristik fisika yang dilakukan terhadap gel daging lumat ikan layaran pada penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cuting test), kekuatan gel (gel strenght), derajat putih (whiteness), dan Water Holding Capacity (WHC). Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran Parameter Layaran a Daging merah Daging Sapusapu tuna mata besar b merah tuna c Uji lipat 4,90 2,30 2,00 4,50 Uji gigit 7,47 5,00 6,30 5,70 Kekuatan gel (gf) 1469,45±7, Derajat putih (%) 63,03±0,31-8,60 20,32 WHC (%) 56,44±3, Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002) b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005) (1) Uji lipat (folding test) Uji lipat bertujuan untuk mengetahui tingkat elastisitas gel ikan secara subyektif. Uji lipat dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel dan secara luas digunakan oleh industri karena sederhana dan dengan cepat dapat menunjukkan kekuatan gel dari suatu produk (Lanier 1992). Tabel 6

8 28 menunjukkan bahwa nilai uji lipat gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 4,90 dibandingkan penelitian lain pada uji lipat gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 2,30; 2,00 dan 4,50. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap uji lipat gel ikan layaran berada pada grade AA (BSN 2009). Hasil uji lipat ini berkaitan langsung dengan tekstur gel, terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat, mutu gel surimi yang dihasilkan akan semakin baik (Shaban et al dalam Santoso et al. 1997). (2) Uji gigit (teeth cuting test) Cara subyektif lain yang digunakan untuk mengukur kekuatan gel produk gel ikan selain uji lipat adalah uji gigit. Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai uji gigit gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 7,47 dibandingkan penelitian lain pada uji gigit gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 5,00; 6,30 dan 5,70. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap uji gigit gel ikan layaran berada pada tingkata agak kuat (BSN 2009). Nilai uji gigit ini sesuai dengan nilai uji lipat dan tekstur yang menandakan penilaian panelis konstan. Tingginya nilai uji gigit pada gel ikan layaran menunjukkan bahwa kekuatan gel ikan layaran tergolong bagus dan melebihi melebihi standar penerimaan produk komersial. Istihastuti et al. (1997) menyatakan bahwa produk komersial yang masih dapat diterima mempunyai nilai uji gigit antara 5 sampai 6. (3) Kekuatan gel (gel strenght) Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging dalam membentuk gel dengan campuran antara surimi dan garam, pencetakan dalam casing yang sesuai dan perebusan (Suzuki 1981). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai kekutan gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 1469,45 gf dibandingkan penelitian lain pada kekuatan gel ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 220 gf, 210 gf dan 350 gf. Nilai kekuatan gel ikan layaran yang tinggi dapat terjadi karena tingginya PLG yang mencapai 4,66% dibandingkan PLG pada ikan lain (Tabel 7). Rendahnya PLG ikan sapu-sapu disebabkan karena PLG ikan air tawar

9 29 lebih rendah daripada ikan air laut (Astawan et al. 1996). Djazuli et al. (2009), menyatakan bahwa protein larut garam berperan sangat penting dalam menentukan mutu fungsional surimi, terutama pembentukan gel dan tekstur. Kadar lemak ikan layaran yang rendah juga menjadi faktor tingginya kekuatan gel ikan layaran. Hal ini berbeda dengan kandungan lemak ikan tuna dan tuna mata besar yang mencapai 5% (Tabel 7). Daging lumat ikan tuna menggunakan daging merah yang mengandung pigmen-pigmen dan darah (Hendriawan 2002) serta lebih dari 80% protein pada daging merah merupakan mioglobin dan hemoglobin (Watanabe 1990). Suzuki (1981) menyatakan bahwa, kotoran, darah, lemak, haemoglobin, dan protein sarkoplasma dapat menghambat pembentukan gel ikan. Daging lumat yang ditambahkan garam 2,5% mengakibatkan protein miofibrilar (aktomiosin, miosin, aktin) menjadi terlarut dalam larutan garam dan membentuk sol yang adhesif (Tanikawa 1971). Ion Cl - secara selektif menetralkan muatan positif molekul protein, menggeser ph isoelektrik ke titik yang lebih rendah, mengakibatkan kelarutan protein pada ph proses meningkat (Schepf 1992 dalam Fitrial 2000). Kekuatan ionik meningkat akibat penambahan garam juga menyebabkan kestabilan protein terhadap panas menurun (Chen et al. 1995). Pemanasan sol akan membentuk gel dengan struktur tiga dimensi yang dapat menjerat air di dalamnya sehingga gel menjadi kenyal (Fitrial 2000). (4) Derajat putih (whiteness) Pengujian warna produk (derajat putih) dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter. Alat ini merupakan analisis warna secara obyektif untuk mengukur refleksi warna permukaan produk yang dibandingkan dengan standar. Semakin tinggi nilai derajat putih berarti produk tersebut semakin mendekati standar (putih). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai derajat putih gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 63,03% dibandingkan penelitian lain pada daging merah ikan tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 8,60 dan 20,32%. Derajat putih gel ikan tuna yang rendah dapat dipengaruhi karena kadar air yang rendah pada daging ikan tuna (Tabel 7). Gel dengan kadar air yang tinggi memiliki nilai kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan gel ikan yang kandungan airnya rendah (Park et al.1996).

10 30 (5) Daya mengikat air (WHC) Daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau kemampuan struktur bahan untuk menahan air bebas dari struktur tiga dimensi protein (Zayas 1997). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai WHC gel ikan layaran sebesar 56,44%. Nilai ini lebih tinggi dari WHC daging lumat ikan cucut dan pari sebesar 31,15% dan 33,60% (Yassin 2005), serta daging lumat ikan patin siam sebesar 40% (Suryanti 2009). Perbedaan nilai WHC dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain spesies, umur, fungsi otot, ph dan pemanasan (Offer dan Knight 1988). Daya ikat air sangat berperan dalam pembentukan gel (Chairita et al. 2009). Tekstur gel akan semakin baik bila daya serap air semakin baik pula (Chen et al. 1995). Interaksi antara protein daging dan air secara signifikan akan mempengaruhi karakteristik tekstur dari daging (Zayas 1997) Karakteristik kimia Karakteristik kimia yang dilakukan terhadap gel daging lumat ikan layaran terdiri dari analisis proksimat meliputi kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat serta analisis protein larut garam. Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik kimia gel daging lumat ikan layaran Parameter Layaran a Daging merah Daging Sapusapu tuna mata besar b merah tuna c Kadar air (%) 76,13±0,18 69,61 70,14 77,83 Kadar protein (%) 11,20±0,01 23,32 24,52 - Kadar abu (%) 2,80±0,00 1,23 2,13 - Kadar lemak (%) 0,80±0,01 5,60 5,09 - Kadar karbohidrat (%) PLG (%) 9,07±0,17 4,66±0,01 0,24 3,58-3,58 Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002) b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005) (1) Kadar air - 1,61 Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan

11 31 bahan tersebut (Winarno 2008). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar air gel ikan layaran sebesar 76,13% lebih rendah dari kadar air gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 69,61 dan 70,14% tetapi lebih besar dari gel ikan sapu-sapu sebesar 77,83%. Kadar air tiap jenis ikan dipengaruhi oleh habitat dan jenis ikan. Ikan air tawar cenderung memiliki kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan ikan air laut. Hal inilah yang menjadikan tekstur daging ikan air tawar lebih lembek. Lee (1984), menyatakan bahwa kadar air maksimum untuk daging ikan lumat sebaiknya 78-80%. (2) Kadar protein Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena selain berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi di dalam jaringan tubuh. Protein digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi mengandung N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno 2008). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar protein ikan layaran sebesar 11,20% lebih rendah dari kadar protein gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 23,32 dan 24,52%. Hadiwiyoto (1993), menyatakan bahwa komposisi kimia daging ikan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal meliputi jenis dan golongan ikan, jenis kelamin serta sifat warisan, dan faktor eksternal yang meliputi daerah tempat hidup ikan, musim, dan jenis makanan yang tersedia. (3) Kadar abu Kadar abu merupakan zat anorganik yang terkandung dalam suatu bahan makanan. Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar abu ikan layaran sebesar 2,80% merupakan yang tertinggi dibandingkan kadar abu gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 1,23 dan 2,13%. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas lemak (Forrest et al.1975). Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein, karena mineral terutama berasosiasi dengan bagian non lemak, daging tak berlemak biasanya memiliki kandungan mineral atau abu yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan kadar abu ikan layaran lebih tinggi dari ikan tuna mata besar.

12 32 Kandungan mineral pada daging ikan tersebut tergolong rendah karena bagian tubuh yang memiliki kadar mineral tinggi berasal dari bagian tubuh yang tidak dapat dimakan (tulang, sisik, kepala, viscera dan sirip) daripada bagian yang dapat dimakan seperti daging. Rosa et al. (2007) menyatakan bahwa abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri atas fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. (4) Kadar lemak Lemak memiliki peranan yang penting dalam struktur dan fungsi sel makhluk hidup. Sumber energi yang dihasilkan lemak lebih efektif bagi tubuh daripada karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan 4 kkal/gram (Winarno 2008). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar lemak ikan layaran sebesar 0,80% lebih rendah dari kadar lemak gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 5,60 dan 5,09. Kandungan lemak lebih banyak terdapat pada daging merah dibandingkan daging putih. Warna merah pada daging merah ikan tuna bukan disebabkan kadar lemak yang tinggi tetapi karena kandungan hemoprotein yang tinggi, yaitu lebih dari 80% hemeglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah tuna dapat lebh dari mg/100 gr (Watanabe 1990) sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi proses ketengikan (Okada 1990 diacu dalam Chairita 2008). Love (1970) diacu dalam Chairita (2008), menyatakan bahwa proporsi daging merah dan daging putih bervariasi tergantung dari aktivitas ikan. Ikan-ikan pelagis seperti herring dan mackerel yang gerakannya terus menerus, sebanyak 48% berat badannya terdiri dari daging merah sedangkan ikan demersal yang berada di dasar dan gerakannya terbatas, proporsi daging merahnya sangat kecil. Ikan layaran termasuk ikan pelagis, tetapi rendahnya kadar lemak ini dapat disebabkan adanya pembuangan daging merah sebanyak 14,63% dari berat total ikan (Gambar 7). Sehingga pada pengolahan ini hanya digunakan daging putih. (5) Kadar karbohidrat Karbohidrat dengan fungsinya yang berganda memegang peran penting dalam berbagai pengolahan pangan. Karbohidrat merupakan bahan yang secara

13 33 alami memiliki fungsi memberikan tekstur yang baik. Karbohidrat dirancang sebagai komponen yang memperkuat struktur produk pangan (Rompis 1998 diacu dalam Nantami 2011). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar karbohidrat gel ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 9,07%. Kadar ini lebih tinggi dibandingkan gel daging merah ikan tuna mata besar yang hanya 0,24% karena kadar karbohidrat dihitung secara by difference. Rendahnya kadar protein dan lemak dapat menyebabkan kandungan karbohidrat dan kadar lemak suatu bahan meningkat. (6) Protein larut garam Protein larut garam adalah protein miofibril (kontraktil) yang terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin). Pengukuran kadar PLG penting dilakukan untuk mengetahui kandungan protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel. PLG sangat berperan dalam proses pembentukan gel diakibatkan terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981). Tabel 7 menunjukkan bahwa PLG gel ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 4,66 dibandingkan dengan PLG gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing sebesar 3,58; 3,58 dan 1,61. Rendahnya PLG ikan sapu-sapu disebabkan karena PLG ikan air tawar lebih rendah daripada ikan air laut (Astawan et al. 1996). Fardiaz (1985), menyatakan bahwa protein miofibril khususnya aktomiosin dapat diekstrak dari daging ikan dengan garam. Garam sebanyak 2-3,5% dari berat daging ikan yang digunakan dalam pembuatan produk gel ikan secara komersial. Garam pengekstrak tidak boleh digunakan terlalu banyak, selain karena rasanya menjadi terlalu asin, juga dapat menyebabkan penggumpalan (salting out), sehngga protein tidak larut lagi dalam larutan garam yang dapat menyebabkan gel ikan tidak terbentuk. 4.5 Karakteristik Bakso Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) Penelitian karakteristik bakso ikan layaran ini menggunakan dua bakso pembanding. Bakso pembanding I adalah bakso yang dibeli dari Palabuhanratu yang telah memiliki pasar dalam skala regional. Komposisi dari bakso ini adalah

14 34 ikan marlin, tepung tapioka, tepung sagu, bumbu, es, telur, monosodium glutamat. Bakso pembanding II adalah bakso yang dibeli dari supermarket yang telah memiliki pasar dalam skala nasional. Komposisi dari bakso ini adalah urimi, air, tapioka, garam, bumbu, gula, penguat rasa mononatrium glutamat dan sekuestren fosfat. Proses pembuatan dan bumbu-bumbu dari kedua bakso pembanding tidak diketahui secara detail karena termasuk rahasia peruahaan Karakterisrik sensori Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik) terhadap bakso ikan layaran. Panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatannya disebut skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). Analisis sensori yang dilakukan meliputi parameter penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur yang dinilai dengan menggunakan kepekaan indera. (1) Penampakan Penampakan merupakan parameter yang menentukan penerimaan dari panelis karena banyak sifat mutu komoditas dinilai dengan penglihatan misalnya bentuk, ukuran, warna dan sifat permukaan (halus, kasar, buram, cerah, homogen, heterogen, datar dan bergelombang) (Nantami 2011). Nilai penampakan bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Nilai penampakan bakso ikan layaran dan bakso pembanding

15 35 Gambar 7 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan bakso ikan berkisar antara 4,33 sampai 6,83. Nilai penampakan bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 6,83 dibandingkan bakso pembanding I sebesar 4,33 dan bakso pembanding II sebesar 6,80. Penampakan bakso ikan layaran mempunyai kriteria dapat diterima menurut panelis yaitu agak suka mendekati suka (BSN 2011). Nilai ini juga telah memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006). Berdasarkan BSN (2011) tata cara pelaporan hasil uji hedonik jika angka di belakang koma lebih besar dari lima maka angka di depan koma naik satu angka sehingga nilai penampakan bakso ikan layaran adalah 7. (2) Warna Warna merupakan indikator bagi kesegaran atau kematangan suatu produk. Konsumen biasanya lebih menyukai bakso ikan dengan warna yang putih meratatanpa adanya warna lain (Wibowo 2006). Menurut BSN (1995) bakso ikan harus mempunyai warna yang normal. Nilai warna bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Nilai warna bakso ikan layaran dan bakso pembanding Gambar 8 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap warna bakso ikan berkisar antara 4,7 sampai 7,1. Nilai warna bakso ikan layaran pada penelitian ini sebesar 6,77 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 4,7 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding II sebesar

16 36 7,1. Warna bakso ikan layaran lebih kecil dari bakso pembanding II diduga karena perbedaan pencucian, karena bakso pembanding II menggunakan daging surimi sedangkan bakso ikan layaran berasal dari daging lumat. Jin et al. (2007) dan Tahergorabi et al. (2012), menyatakan bahwa proses pencucian dapat menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki warna. Bentis et al. (2005) melaporkan bahwa warna surimi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan siklus pencucian, waktu pencucian dan kuantitas air. Chen et al. (1997) dalam Bentis et al. (2005) menyatakan bahwa waktu pencucian yang lama akan menghasilkan daging lumat dengan hidrasi yang tinggi dan degradasi protein miofibril, sehingga membuat proses dehidrasi berikutnya menjadi lebih sulit dan dapat menghambat kemampuan pembentukan gel. Warna bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006). (3) Rasa Rasa merupakan salah satu faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan kompoen rasa lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 2008). Nilai rasa bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Nilai rasa bakso ikan layaran dan bakso pembanding

17 37 Gambar 9 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap rasa bakso ikan berkisar antara 3,57 sampai 6,43. Nilai rasa bakso ikan layaran pada penelitian ini sebesar 6,37 lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar 3,57 tetapi lebih rendah dibandingkan bakso pembanding II sebesar 6,43. Rasa bakso ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis bumbu, konsentrasi bumbu, bahan pengisi dan bahan pengikat. Perbedaan nilai rasa dari ketiga bakso tersebut lebih disebabkan karena masing-masing bakso mempunyai komposisi dan takaran bumbu yang berbeda. Rasa gurih pada bakso ikan layaran ditimbulkan karena adanya kandungan asam glutamat yang cukup banyak pada daging ikan layaran. Hirasa dan Takemasa (1998) dalam Suryanti (2009), menyebutkan pada umumnya setiap rempah-rempah dapat memberikan flavor yang spesifik karena kandungan komponen kimia dalam essential oil yang berbeda. Beberapa flavor spesifik dapat ditimbulkan oleh komponen-komponen kimia yang terdapat pada tanaman rempah-rempah seperti lada dan bawang putih. Lada mengandung komponen kimia linalool, α,β-pinene, p-cymene. Bawang putih mengandung komponen kimia dialiyl disulfide, dialiyl trisulfide dan allyl prolyl disulfide. Bakso pembanding I mempunyai rasa yang paling rendah karena menggunakan kandungan tepung yang tinggi sehingga dapat menutup rasa daging (Koswara et al. 2001). Bakso pembanding II mempunyai nilai rasa tertinggi karena menggunakan bahan penguat rasa mononatrium glutamat. Mononatrium glutamat (MSG) dapat meningkatkan rasa yang diinginkan seperti rasa asin, memperbaiki keseimbangan cita rasa makanan olahan dan mengurangi rasa yang tidak diinginkan seperti rasa bawang yang tajam. MSG menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka sehingga dapat menikmati rasa dengan lebih baik (Winarno 2008). Rasa bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006). (4) Aroma Bakso ikan yang cenderung lebih disukai konsumen adalah bakso tanpa aroma yang mengganggu seperti aroma amis, tengik, masam, basi ataupun busuk (Wibowo 2006). Menurut SNI bakso ikan mempunyai aroma yang

18 38 normal dan khas ikan. Nilai aroma bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Nilai aroma bakso ikan layaran dan bakso pembanding Gambar 10 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap aroma bakso ikan berkisar antara 3,9 sampai 6,7. Nilai aroma bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 6,7 dibandingkan bakso pembanding I sebesar 3,9 dan bakso pembanding II sebesar 6,63. Aroma dipengaruhi oleh bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan. Hirasa dan Takemasa (1998) dalam Suryanti (2009), menyatakan bahwa tanaman rempah-rempah mengandung banyak essential oil yang bersifat volatile dan dapat menimbulkan aroma dan flavor. Komponen kimia essential oil yang banyak terdapatpada rempah-rempah adalah eugenol, thymol, pellandrene, caryophylene, cineol, mathyl eugenol. Selain itu, essential oil pada rempah-rempah juga mengandung terpene yang mengandung banyak gugus karbon. Komponen terpene yang memiliki 10 gugus karbon dinamakan monoterpene yang umumnya memiliki aroma yang kuat dan bersifat sangat volatil. Aroma bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006). (5) Tekstur Tekstur bakso ikan yang cenderung lebih disukai konsumen adalah bakso ikan yang mempunyai tekstur kompak, tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tanpa duri atau tulang, tidak lembek, tidak basah berair, serta tidak rapuh

19 39 (Wibowo 2006). Menurut BSN (1995) bakso ikan harus mempunyai tekstur yang kenyal. Nilai tekstur bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Nilai tekstur bakso ikan layaran dan bakso pembanding Gambar 11 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur bakso ikan berkisar antara 3,6 sampai 7,13. Nilai tekstur bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 7,13 lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar 3,6 dan bakso pembanding II sebesar 7. Hal ini diduga karena kedua bakso pembanding tersebut menggunakan surimi sehingga protein larut garam akan terlarut lebih banyak selama proses pencucian. Protein tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan gel, sehingga mempengaruhi tekstur yang dihasilkan. Rendahnya kadar air bakso pembanding I dapat menyebabkan tekstur yang agak keras pada bakso ikan yang dihasilkan sehingga mempengaruhi penilaian panelis. Hall (1992), menyatakan bahwa penambahan garam sampai 0,2% dari berat bahan baku pada pencucian terakhir bertujuan untuk menghilangkan air tetapi dapat melarutkan aktin dan miosin. Bakso pembanding II mengandung sekuestran fosfat yang berfungsi untuk menstabilkan warna, rasa dan tekstur (Winarno 2008). Tekstur bakso ikan layaran mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).

20 Karakteristik fisika Karakteristik fisika yang dilakukan terhadap bakso ikan layaran pada penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cuting test), kekuatan gel (gel strenght), derajat putih (whiteness), dan daya mengikat air (WHC). (1) Uji lipat (folding test) Uji lipat (folding test) dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel. Metode uji lipat cocok untuk memisahkan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi metode tersebut tidak sensitif untuk membedakan antara gel yang bermutu baik (good) dan yang bermutu sangat baik (excellent). Uji lipat ditentukan dengan penilaian panelis melalui uji sensori (Lanier 1992). Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding Gambar 12 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap uji lipat bakso ikan berkisar antara 1,8 sampai 4,77. Nilai uji lipat bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 4,77 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 1,87 dan bakso pembanding II sebesar 4,27. Nilai uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding II menunjukkan bahwa bakso tersebut memiliki tingkat elastisitas yang baik sedangkan bakso

21 41 pembanding I memiliki tingkat elastisitas yang kurang baik. Lee (1984) menyatakan bahwa uji lipat dengan nilai tiga menunjukkan tingkat elastisitas cukup baik dan nilai empat elastisitasnya baik. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak) tersebut, maka dapat dinyatakan mutu gel ikan yang dihasilkan juga semakin baik (Shaban et al diacu dalam Santoso et al. 1997). Rendahnya nilai uji lipat bakso pembanding I dapat terjadi karena mengandung kadar air yang rendah yaitu 59,45%. Luo et al. (2008) menjelaskan bahwa kekerasan dan uji lipat kamaboko meningkat dengan kandungan air 76%. Pembentukan gel dari surimi menurun seiring peningkatan kadar air sehingga menurunkan konsentrasi protein miofibril dan meningkatkan densitas ikatan silang. (2) Uji gigit (teeth cuting test) Uji gigit (teeth cutting test) merupakan cara lain pengujian mutu gel ikan secara sensori selain uji lipat. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Uji gigit memberikan tafsiran secara subyektif dengan 30 orang panelis. Tingkatan nilai yang digunakan adalah skala 1-10 (1 = tekstur hancur; 10 = amat sangat kuat). Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding Gambar 13 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap uji gigit bakso ikan berkisar antara 5,53 sampai 8. Nilai uji gigit bakso ikan layaran pada

22 42 penelitian ini sebesar 7,43 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 5,53 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding II sebesar 8. Produk gel ikan yang memiliki kekuatan gel tinggi akan menghasilkan nilai uji lipat dan uji gigit yang tinggi, dengan uji lipat pada kisaran nilai 4-5 (grade AA) dan uji gigit pada kisaran nilai 7-10 (BSN 2009). Hal ini menunjukkan bahwa bakso ikan layaran dan bakso pembanding II termasuk produk yang memiliki kekuatan gel tinggi berdasarkan penilaian panelis. Bakso pembanding I tidak tergolong pada produk gel tinggi tetapi masih dapat diterima dalam produk komersial. Istihastuti et al. (1997) menyatakan bahwa nilai kisaran yang dapat diterima terhadap uji gigit produk-produk komersial ada pada kisaran nilai 5-6. (3) Kekuatan gel (gel strenght) Kekuatan gel merupakan fase diantara padatan dan cairan yang terbentuk dari ikatan kovalen dan non kovalen dalam struktur molekul protein dan membentuk jaringan molekul tiga dimensi yang mampu menahan air. Pembentukan sifat gelasi yang terdapat dalam protein daging terjadi karena adanya penggunaan suhu tinggi (pemanasan). Hal ini menyebabkan jaringan terbentuk secara irreversible karena molekul protein terdenaturasi (Nakai dan Modler 1996). Kekuatan gel bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 Kekuatan gel bakso ikan layaran dan bakso pembanding

23 43 Gambar 14 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap kekuatan gel bakso ikan berkisar antara 755,65 sampai 2219,2 gf. Nilai kekuatan gel bakso ikan layaran merupakan yang terendah dengan nilai 755,65 gf. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 2219,2 gf dan bakso pembanding II sebesar 1171,85 gf. Perbedaan kekuatan gel ini dapat dipengaruhi karena adanya proses pencucian, adanya bahan tambahan lain dan kondisi serta perbedaan spesies ikan yang digunakan. Proses pencucian dapat mengurangi protein larut air dan meningkatkan protein larut garam (Rawdkuen et al. 2009). Ekstraksi protein larut garam dengan pencucian dua kali dapat meningkatkan kekuatan gel ikan cucut (Fitrial 2000). Pencucian juga dapat menurunkan aktivitas protease. Chang-Lee et al. (1989) menyimpulkan bahwa aktivitas protease dapat menurun hingga 56,3% dengan pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan daging giling 3:1 (b/b). Niki et al. (1984) yang dikutip oleh Chang-Lee et al. (1989) berpendapat bahwa pencucian daging giling dengan larutab NaCl 0,45 M mampu menghilangkan protease dari ikan Peruvian hake. Protease merupakan enzim yang dapat mengganggu terbentuknya gel. Shimizu et al. (1992) protease dapat menyebabkan menyebabkan protein miofibril terlarut karena degradasi miosin rantai berat. Penambahan telur pada bakso pembanding I selain berfungsi untuk memperbaiki tekstur juga dapat meningkatkan kekuatan gel bakso. Morrissey et al. (1993) menyatakan bahwa putih telur 3,0% dapat menghambat aktivitas protease sehingga dapat meningkatkan nilai kekerasan dan elastisitas gel. Putih telur (1%) dapat meningkatkan kekuatan gel dari 6161 menjadi 6597 g x mm pada surimi Pacific whiting (Tabilo-Munizaga 2004). Adanya penambahan bahan lain diduga dapat meningkatkan kekuatan gel pada bakso pembanding I dan II. Bakso pembanding I mengandung bahan tambahan STPP dan mengandung banyak tapioka yang dapat meningkatkan kekuatan gel. Wu et al. (1985) dan Kim dan Lee (1987), menyatakan bahwa penyerapan air oleh granula pati yang berada di dalam gel protein selama perebusan menyebabkan granula mengembang dan mendesak matrik protein sehingga gel protein menjadi padat dan kompak.

24 44 Bakso pembanding II mengandung bahan tambahan sekuestran fosfat yang berfungsi untuk menstabilkan warna, rasa dan tekstur (Winarno 2008). Utomo et al. (2004), menyatakan bahwa fungsi fosfat dapat mempertinggi daya ikat air oleh protein ikan sehingga dapat memperbaiki tekstur ikan. Penambahan bahan polifosfat bertujuan untuk menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan (Peranginangin et al. 1999). Kondisi ikan sebelum diolah juga dapat mempengaruhi kekuatan gel produk yang dihasilkan. Gomez-Guillen et al. (1998) menyatakan bahwa segera setelah ikan ditangkap maka protein otot ikan akan mengalami peristiwa proteolisis yang hebat dan akan mengakibatkan hilangnya kemampuan membentuk gel. Penurunan terhadap kelarutan PLG ini berkorelasi positif terhadap nilai kekuatan gel surimi, yang berarti bahwa semakin rendah nilai PLG tersebut maka akan semakin rendah pula nilai kekuatan gel surimi yang dihasilkan. Reynolds et al. (2002) menyatakan bahwa karena menurunnya konsentrasi protein larut garam, ketegangan akan menurun dan kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun pula. (4) Derajat putih (whiteness) Kecerahan bakso ikan sangat menentukan kualitas bakso itu sendiri. Umumnya bakso ikan yang berwarna putih paling banyak disukai oleh konsumen. Derajat putih bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15 Derajat putih bakso ikan layaran dan bakso pembanding

25 45 Gambar 15 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap derajat putih bakso ikan berkisar antara 61,17 sampai 73,44%. Nilai derajat putih bakso ikan layaran pada penelitian ini sebesar 67,6%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 61,17% tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding II sebesar 73,44%. Tingginya derajat putih pada bakso pembanding II dapat dipengaruhi adanya proses pencucian. Bahrudin (2008), menyatakan bahwa pencucian selain bertujuan meningkatkan kekuatan gel juga berfungsi meningkakan derajat putih. Saat proses pencucian dan pemerasan berlangsung semua kotoran, lemak, haemoglobin dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel ikut terlarut bersama air pencuci, sehingga semakin banyak pencucian, zat-zat yang terlarut tersebut semakin banyak, yang mengakibatkan warna gel semakin bersih dan putih. Nielsen dan Pigott (1994), dan Julavittayanukul et al.(2006), menyatakan bahwa pencucian surimi dapat melarutkan lemak, darah, enzim, protein sarkoplasma dan garam anorganik yang dapat menghambat pembentukan gel. Namun tetap ada beberapa senyawa seperti membran lipid yang tidak ikut tercuci dan masih mengandung senyawa yang dapat mengalami oksidasi dan menurunkan derajat putih (Reynolds et al. 2002). Hal inilah yang diduga menyebabkan rendahnya derajat putih pada bakso pembanding I. Kerusakan lemak yang utama adalah proses ketengikan yang disebabkan proses autooksidasi radikal asam lemak tak jenuh dalam lemak (Winarno 2008). Selain itu juga terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis lainnya yaitu reaksi maillard. Pada reaksi ini, gugus amina (RNH 2 ) dari protein berikatan dengan gugus OH - dari gula pereduksi. Akibat ikatan ini, hasil yang paling nyata dapat dilihat pada produk adalah perubahan aroma menjadi tidak enak dan warna menjadi coklat yang sering dijadikan pertanda kemunduran mutu (Winarno 2008). (5) Water Holding Capacity (WHC) Water Holding Capacity (WHC) didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan air didalamnya karena adanya tekanan/gaya dari luar. WHC merupakan interaksi protein dengan air, sehingga dengan adanya perlakuan fisik

26 46 pada daging selama proses pengolahan menyebabkan terbentuknya sisi-sisi molekul miofilamen daging yang dapat berikatan dengan air (Kerry et al. 2002). WHC bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 WHC bakso ikan layaran dan bakso pembanding Gambar 16 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap WHC bakso ikan berkisar antara 56,51 sampai 63,29%. Nilai WHC bakso ikan layaran merupakan yang terendah dengan nilai 56,51%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 63,29% dan bakso pembanding II sebesar 60,96%. WHC bakso ikan layaran merupakan yang terendah karena menggunakan daging lumat, sedangkan bakso pembanding lain menggunakan bahan dasar berupa surimi. Penelitian Suryanti (2009) pada ikan patin menunjukkan bahwa nilai WHC daging lumat tanpa pencucian sebesar 39,96%, sedangkan WHC surimi lebih tinggi yaitu 47,90%. Hal ini dikarenakan adanya penambahan larutan garam selama pencucian. Penambahan garam mempengaruhi keterikatan air oleh protein. Konsentrasi garam yang tinggi dapat menurunkan interaksi protein dengan air karena garam juga bereaksi dengan air. Penambahan polifosfat pada bakso pembanding berfungsi untuk memperbaiki WHC dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produkproduk olahan surimi. Biasanya polifosfat ditambahkan sebanyak 0,2-0,3% dalam bentuk garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al. 1999).

27 47 WHC juga disebabkan oleh sifat pati yang mudah menyerap air. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin dengan protein atau sejenisnya, yang juga disertai oleh pelemahan kekuatan hidrogen. Dengan demikian, molekul air akan menyusup diantara molekul pati dan protein (Pandisurya 1983 diacu dalam Fatriani 2003). Pendinginan bakso akan menyebabkan terjadinya penguatan ikatan hidrogen antara molekul pati, protein dan molekul air. Penambahan jumlah tepung tapioka akan meningkatkan zat yang menimbulkan terjadinya ikatan hidrogen sehingga jumlah air yang tertahan akan semakin banyak (Pandisurya 1983 diacu dalam Fatriani 2003). Hal inilah yang menyebabkan tinggi WHC pada bakso pembanding I karena mengandung kadar karbohidrat tinggi yang menunjukkan jumlah tepung tapioka yang diberikan lebih banyak (Tabel 8) Karakteristik kimia Karakteristik kimia yang dilakukan terhadap bakso ikan layaran pada penelitian ini terdiri analisis proksimat, ph dan uji protein larut garam (PLG). Analisis proksimat merupakan salah satu jenis analisis kimia yang umumnya dilakukan untuk menguji bahan pangan. Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan secara kasar yang terdiri atas kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat by different. Hasil analisis proksimat, ph dan PLG bakso ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil analisis proksimat, ph dan PLG bakso ikan layaran Komposisi Ikan layaran Pembanding I Pembanding II Kadar air (% bb) Protein (% bb) Lemak (% bb) Kadar abu (% bb) Karbohidrat (% bb) PLG (% bb) ph 71,18±0,01 8,37±0,00 1,19±0,01 1,39±0,01 17,87±0,52 3,33±0,00 5,82±0,01 59,45±0,16 5,01±0,00 4,03±0,13 2,28±0,12 29,23±0,09 3,38±0,02 5,63±0,02 73,80±0,05 7,88±0,01 0,85±0,02 2,16±0,00 15,31±0,01 0,37±0,00 6,62±0,01 (1) Kadar air Kadar air merupakan data komposisi yang sangat penting dalam bahan pangan maupun produk pangan, karena kadar air sangat menentukan kadar komponen lainnya. Sebagai contoh, jika kadar air suatu bahan rendah karena

28 48 sebagian besar telah menguap maka kadar komponen lainnya akan mengalami kenaikan, dan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu dalam analisis pangan, kadar air dan komponen lainnya selalu dicantumkan yang dinyatakan dalam basis basah dan basis kering (Faridah et al. 2008). Berdasarkan Tabel 8, kadar air yang terkandung pada bakso ikan layaran sebesar 71,18%, lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar 59,45%, tetapi lebih rendah dibandingkan bakso pembanding II sebesar 73,80%. Rendahnya kadar air pada bakso pembanding I diduga disebabkan oleh perbedaan komposisi dan bahan baku bahan yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi tepung tapioka yang ditambahkan maka kadar air produk akan semakin rendah. Fitrial (2000), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung tapioka yang ditambahkan, kadar air gel ikan cucut semakin menurun. Hal ini terjadi karena pati yang terkandung di dalam tapioka menambah berat total dan bersifat menyerap air, sedangkan kandungan air yang ada di dalam daging tetap sehingga persentase kandungan air menurun. Nilai kadar air pada bakso pembanding II hampir sama dengan penelitian Uju (2006) yang menggunakan ikan layaran dengan satu kali pencucian, yaitu mencapai 73,74%. Kadar air ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian karena adanya proses pencucian. Pencucian dapat meningkatkan sifat hidrofilik dari daging ikan (Suzuki 1981). Kadar air meningkat karena pada proses pencucian tidak hanya melarutkan komponen larut air tetapi juga menyerap air pencucian ke dalam jaringan tubuh ikan. Kelebihan air dalam jumlah banyak menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh ikan sehingga produk gel sulit terbentuk. Air yang terserap banyak berakibat pada terjadinya pengendapan (salting out) yang dapat mengganggu crosslinking (Lehninger 1988) Besarnya nilai kadar air pada suatu bahan akan mempengaruhi tingkat keawetan produk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syarief dan Halid (1992), yaitu kadar air dalam bahan pangan sangat berhubungan dengan tingkat ketahanan produk terhadap kerusakan akibat aktivitas enzim, aktivitas mikroba, aktivitas kimiawi yaitu terjadinya ketengikan, dan reaksi-reaksi non-enzimatis yang dapat

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

31 untuk perhitungan rendeman memiliki berat sebesar gram. Rendemen ikan tubuh layaran dihitung dengan cara persentase perbandingan dari bagian

31 untuk perhitungan rendeman memiliki berat sebesar gram. Rendemen ikan tubuh layaran dihitung dengan cara persentase perbandingan dari bagian 30 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Penelitian ini menggunakan bahan baku ikan layaran (Istiophorus sp.) yang diperoleh dari TPI Pelabuhan Ratu Kabupaten

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Daging Lumat Ikan layaran yang akan diolah telah dilakukan uji organoleptik terlebih dahulu untuk melihat tingkat kesegarannya. Uji organoleptik merupakan cara pengujian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan frekuensi pencucian daging lumat yang tepat (1 kali pencucian, 2 kali pencucian dan 3 kali pencucian) dalam

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HSIL DN PEMHSN 4.1 Karakteristik Surimi Patin Pengaruh Pencucian Daging lumat dan surimi merupakan bahan baku yang sering digunakan pada industri perikanan. Sifat fungsional daging lumat dan surimi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. udang kerang/tiram, kepiting, tripang, cumi-cumi, rumput laut dan lain sebagainya.

I PENDAHULUAN. udang kerang/tiram, kepiting, tripang, cumi-cumi, rumput laut dan lain sebagainya. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Karakteristik fisik dan rendemen ikan nila menjadi surimi

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Karakteristik fisik dan rendemen ikan nila menjadi surimi 24 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Daging dan Surimi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Karakteristik daging dan surimi ikan nila meliputi fisik dan kimianya. Sifat fisik meliputi penampakan dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie adalah produk pasta atau ekstruksi yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia (Teknologi Pangan

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI Oleh : Indah Asriningrum 0333010052 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu jenis kerang dari kelas Bivalvia yang berpotensi dan memiliki nilai ekonomis untuk dikembangkan sebagai sumber protein

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging yang dicetak, dimasak dan dibekukan serta terbuat dari campuran daging giling yang diberi bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengamatan dilakukan terhadap sifat fisik (uji lipat), organoleptik (uji hedonik), uji skoring dan analisis kimia (Pb). 1.1 Uji Lipat Uji lipat (folding test) merupakan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2012 dan bertempat di beberapa laboratorium. Analisis kekuatan gel, derajat putih, protein

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakso Ayam Bakso merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari daging. Dihasilkan dengan mencampur daging, garam, bawang, dan tepung tapioka menjadi adonan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan proses penggilingan dan penjemuran terasi. Pada umumnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan proses penggilingan dan penjemuran terasi. Pada umumnya 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terasi Terasi atau belacan adalah salah satu produk awetan yang berasal dari ikan dan udang rebon segar yang telah diolah melalui proses pemeraman atau fermentasi, disertai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Gorontalo. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang mudah didapatkan di pasar Semarang. Ikan demersal adalah ikan yang hidup di dasar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Tepung Bumbu Ayam Goreng Pada proses pengolahan tepung bumbu ayam goreng, formula dasar diperoleh dari hasil survei dari internet dan buku yang kemudian dimodifikasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. ekonomi yang masih lemah tersebut tidak terlalu memikirkan akan kebutuhan

PENDAHULUAN. ekonomi yang masih lemah tersebut tidak terlalu memikirkan akan kebutuhan PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Indonesia ternyata sampai sekarang konsumsi protein kita masih bisa dikatakan kurang, terutama bagi masyarakat yang mempunyai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi penentuan kesegaran ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ik

Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi penentuan kesegaran ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ik 17 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai dengan Maret 2012. Pelaksanaan penelitian berlangsung dibeberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 11 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2012 dan bertempat di beberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2013 di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Itik afkir merupakan ternak betina yang tidak produktif bertelur lagi. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan sebagai bahan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Analisa kadar air dilakukan untuk mengetahui pengaruh proporsi daging dada ayam dan pisang kepok putih terhadap kadar air patties ayam pisang. Kadar air ditentukan secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam 44 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci Hasil penelitian pengaruh konsentrasi garam terhadap rendemen kerupuk kulit kelinci tercantum pada Tabel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daging dan tepung. Makanan ini biasanya disajikan dengan kuah dan mie.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daging dan tepung. Makanan ini biasanya disajikan dengan kuah dan mie. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Bakso Bakso adalah jenis makanan yang berupa bola-bola yang terbuat dari daging dan tepung. Makanan ini biasanya disajikan dengan kuah dan mie. Bahan-bahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakso merupakan salah satu produk olahan daging khas Indonesia, yang banyak digemari oleh semua lapisan masyarakat dan mempunyai nilai gizi yang tinggi karena kaya akan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pembuatan Gel Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan frekuensi pencucian terbaik pada surimi ikan nila merah. Penelitian

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu : 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Sensoris Pengujian sensoris untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goring dengan berbagai formulasi penambahan tepung pisang kepok kuning dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bakso merupakan produk olahan daging, dimana daging tersebut telah. dihaluskan dan dicampurkan dengan bumbu-bumbu, tepung

TINJAUAN PUSTAKA. Bakso merupakan produk olahan daging, dimana daging tersebut telah. dihaluskan dan dicampurkan dengan bumbu-bumbu, tepung TINJAUAN PUSTAKA Bakso Bakso merupakan produk olahan daging, dimana daging tersebut telah dihaluskan dan dicampurkan dengan bumbu-bumbu, tepung dan dibentuk menjadi bola-bola kecil lalu direbus dalam air

Lebih terperinci

ANALISIS ORGANOLEPTIK PADA HASIL OLAHAN SOSIS IKAN AIR LAUT DAN AIR TAWAR

ANALISIS ORGANOLEPTIK PADA HASIL OLAHAN SOSIS IKAN AIR LAUT DAN AIR TAWAR ANALISIS ORGANOLEPTIK PADA HASIL OLAHAN SOSIS IKAN AIR LAUT DAN AIR TAWAR Ridawati Marpaung 1 Asmaida Abstract Penelitian ini bertujuan melakukan analisis organoleptik dari hasil olahan sosis ikan air

Lebih terperinci

Tabel 9. Rata-rata kadar air mi sagu MOCAL

Tabel 9. Rata-rata kadar air mi sagu MOCAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Hasil 4... Penelitian Pendahuluan Sebelum dilakukan penelitian utama, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan pembuatan permen cokelat dengan penambahan daging ikan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

Harryara Sitanggang

Harryara Sitanggang IV. Hasil Pengamatan & Pembahasan Penanganan pasca panen bukan hanya berlaku untuk produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau biasa disebut produk nabati. Pemanenan dari komoditas hewani juga perlu

Lebih terperinci

MODUL 1 BAKSO IKAN. A. Deskripsi Bakso Ikan

MODUL 1 BAKSO IKAN. A. Deskripsi Bakso Ikan MODUL 1 BAKSO IKAN Standar Unit Kompetensi: Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu mengolah bakso ikan yang bertekstur kenyal dan lembut serta bercita rasa enak. Indikator Keberhasilan: Mutu bakso

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang diijinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang diijinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakso Bakar Bakso merupakan produk daging olahan yang berasal dari daging sapi. Menurut SNI 01 3818 1995 definisi dari bakso daging yaitu produk makanan yang berbentuk bulat,

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan 1 Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan Pengertian Abon Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dengan pengujian organoleptik dan uji lipat dilakukan di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA BAKSO DARI DAGING LUMAT IKAN LAYARAN (Istiophorus orientalis)

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA BAKSO DARI DAGING LUMAT IKAN LAYARAN (Istiophorus orientalis) KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA BAKSO DARI DAGING LUMAT IKAN LAYARAN (Istiophorus orientalis) Physicochemical Characteristics of Fish Ball from Minced Sailfish (Istiophorus orientalis) Djoko Poernomo, Sugeng

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai Latar Belakang (1.1.), Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai Latar Belakang (1.1.), Identifikasi 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai Latar Belakang (1.1.), Identifikasi Masalah (1.2.), Maksud dan Tujuan Penelitian (1.3.), Manfaat Penelitian (1.4.), Kerangka Pemikiran (1.5.), Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikonsumsi oleh manusia dan termasuk salah satu bahan pangan yang sangat

PENDAHULUAN. dikonsumsi oleh manusia dan termasuk salah satu bahan pangan yang sangat 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu penyedia sumber bahan pangan memiliki banyak macam produk yang dihasilkan. Salah satu produk pangan yang berasal dari peternakan yaitu

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING PEMPEK

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING PEMPEK LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING PEMPEK Oleh : Nama : Arini Purnamawati Nrp : 133020051 No.Meja : 4 (Empat) Kelompok : B Tanggal Percobaan : 22 April 2016 Asisten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air dan Aktivitas Air Kadar air dendeng hasil penelitian adalah 19,33%-23,82% dengan rataan 21,49±1,17%. Aktivitas air dendeng hasil penelitian sebesar 0,53-0,84 dengan nilai

Lebih terperinci

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY Ella Salamah 1), Anna C Erungan 1) dan Yuni Retnowati 2) Abstrak merupakan salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi

Lebih terperinci

PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN

PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI SURIMI IKAN AIR TAWAR DAN PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT KABUPATEN BOGOR Oleh : Heru Sumaryanto Joko Santoso Pudji Muljono Chairita

Lebih terperinci

Natallo Bugar dan Hermansyah, Uji Sensoris Pada Pembuatan Mie Basah Dengan Penambahan Surimi

Natallo Bugar dan Hermansyah, Uji Sensoris Pada Pembuatan Mie Basah Dengan Penambahan Surimi UJI SENSORIS PADA PEMBUATAN MIE BASAH DENGAN PENAMBAHAN SURIMI DAGING IKAN TOMAN (Channa micropeltes) NATALLO BUGAR DAN HERMANSYAH Dosen pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerupuk karak merupakan produk kering dari proses penggorengan,

BAB I PENDAHULUAN. Kerupuk karak merupakan produk kering dari proses penggorengan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerupuk karak merupakan produk kering dari proses penggorengan, berbentuk lempengan tipis, bundar atau persegi panjang, yang terbuat dari bahan dasar beras dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. misalnya sebagai lauk pauk, hal ini karena rasanya yang enak dan memiliki nilai. pangan juga tidak jauh berbeda (Hadiwiyoto, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. misalnya sebagai lauk pauk, hal ini karena rasanya yang enak dan memiliki nilai. pangan juga tidak jauh berbeda (Hadiwiyoto, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan telah banyak dikenal, karena boleh dikatakan semua orang pernah menggunakan ikan sebagai bahan pangan dengan dimasak terlebih dahulu, misalnya sebagai lauk pauk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat. Sampai saat ini produk-produk sumber protein

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat. Sampai saat ini produk-produk sumber protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kekurangan konsumsi protein diduga sebagai salah satu penyebab gizi buruk di Indonesia. Hal ini yang diakibatkan oleh rendahnya taraf perekonomian sebagian besar masyarakat.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Polifosfat 1. Pengaruh Terhadap Rendemen Rendemen dihitung berdasarkan kenaikkan berat udang setelah perendaman dibandingkan dengan berat udang sebelum perendaman yang

Lebih terperinci

Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo

Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo 1.2 Rimin Lasimpala, 2 Asri Silvana aiu 2 Lukman Mile

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi penanganan pasca panen Penanganan pasca panen dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

Lebih terperinci