4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks inhibitor dengan enzim katepsin dari ikan patin. Pada penelitian ini ekstraksi inhibitor katepsin berasal dari daging ikan patin dalam kondisi pre rigor atau sangat segar. Pada kondisi pre rigor atau tepatnya setelah ikan baru memasuki fase post mortem diduga inhibitor katepsin belum mengalami kerusakan dibandingkan ketika ikan sudah memasuki fase rigor mortis dan post rigor. Proses ekstraksi inhibitor katepsin dilakukan menurut metode An et al. (1995), inhibitor didapatkan dengan cara mengekstrak inhibitor katepsin secara langsung dari daging ikan patin. Untuk 400 gram daging ikan patin didapatkan larutan inhibitor sebanyak ± 800 ml. Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai suhu ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai suhu ekstraksi Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa aktivitas inhibitor katepsin tertinggi didapatkan pada suhu ekstraksi 80 ºC dengan nilai inhibisi sebesar 92,88 %. Suhu 80 ºC diduga merupakan suhu optimum untuk pemisahan antara

2 25 kompleks inhibitor dengan enzim katepsin. Penggunaan suhu ekstraksi yang sama juga dilakukan oleh Ustadi et al. (2005) pada pemurnian telur ikan glassfish. Pada suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC dihasilkan nilai inhibisi yang lebih rendah dari suhu ekstraksi 80 ºC karena kompleks inhibitor dan enzim belum terlepas secara maksimal. Nilai aktivitas inhibisi pada perlakuan suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC berturut-turut, yaitu sebesar 68,46 % dan 85,78 %. Pada suhu ekstraksi ini juga diduga masih terdapat inhibitor lain selain dari golongan inhibitor sistein protease. Menurut Olonen (2004), enzim proteolitik dapat dibagi menjadi empat kelas berdasarkan daya katalitiknya, yaitu serin, sistein, aspartat, dan logam. Penggolongan enzim ini berdasarkan komponen pada sisi aktifnya. Katepsin lisosomal umumnya termasuk dalam kelompok besar protease sistein. Aktivitas protease sistein dapat dihambat dengan inhibitor dari golongan inhibitor protease sistein. Pengolongan enzim sangat penting untuk mengetahui inhibitor yang spesifik. Selain itu pada suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC diduga masih terdapat aktivitas katepsin pada larutan inhibitor. Menurut Jiang (2000), jenis katepsin B, H, dan L mampu aktif pada suhu ºC (modori) yang dapat mengakibatkan kerusakan pada pembentukan gel surimi. Adanya aktivitas katepsin pada larutan inhibitor dapat mengakibatkan katepsin di dalamnya ikut bereaksi dengan substrat pada saat pengujian aktivitas. Inhibitor katepsin tetap menunjukkan aktivitas inhibisi yang tinggi pada suhu ekstraksi 90 ºC, yaitu sebesar 81,73 %. Aktivitas inhibisi pada suhu ekstraksi ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan suhu ekstraksi 80 ºC yang mencapai 92,88 %. Beberapa jenis inhibitor memiliki stabilitas yang tinggi terhadap suhu yang tinggi. Menurut Rondanelli (2002), asam-asam amino yang bersifat hidrofobik, interaksi elektrostatik, dan jembatan sulfida yang terdapat pada struktur inhibitor protease menentukan stabilitas inhibitor tersebut terhadap perubahan kondisi lingkungan. Umumnya sistein protease inhibitor (sistatin) dapat stabil pada suhu tinggi (lebih dari 100 ºC) dan ph ekstrim (ph 2-12) (Otto & Schirmeister 1997). Inhibitor yang digunakan pada penelitian ini merupakan ekstrak kasar yang masih mengandung berbagai jenis inhibitor dan masing-masing inhibitor memiliki stabilitas yang berbeda-beda. Berbagai macam

3 26 jenis inhibitor ini diduga dapat bereaksi dan menghambat kerja katepsin pada saat pengujian. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas inhibisi inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3a). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan suhu ekstraksi 60 ºC memberi pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan suhu ekstraksi 70 ºC, 80 ºC, dan 90 ºC. 4.2 Penentuan Konsentrasi Inhibitor Katepsin yang Efektif untuk Aplikasi Penentuan konsentrasi inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran dilakukan dengan cara mencampurkan larutan inhibitor katepsin (suhu ekstraksi 80 ºC) dengan larutan Mcllvaine buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat ph 5,5) pada beberapa perbandingan. Perbandingan larutan inhibitor dengan buffer yang digunakan pada penelitian ini, yaitu 1:0, 1:1, 1:2, dan 1:3. Masing-masing pengenceran diuji aktivitas penghambatannya terhadap enzim katepsin. Adapun aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin yang diperoleh untuk masing-masing pengenceran disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran Berdasarkan hasil pengujian pada Gambar 4 diperoleh nilai inhibisi dari inhibitor dengan pengenceran 1:0 (tanpa pengenceran) sebesar 90,20 %, inhibitor

4 27 dengan pengenceran 1:1 sebesar 85,29 %, inhibitor dengan pengenceran 1:2 sebesar 70,59 %, dan inhibitor dengan aktivitas terendah didapatkan dari aktivitas inhibitor pengenceran 1:3 sebesar 55,88 %. Menurut hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pengenceran mengakibatkan menurunnya aktivitas inhibisi dari inhibitor yang dihasilkan. Penurunan aktivitas inhibisi ini berkaitan dengan konsentrasi inhibitor yang terkandung di dalam larutan inhibitor. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengenceran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas inhibisi inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3b). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan pengenceran 1:1 memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan pengenceran 1:0 tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk perlakuan yang lain. Oleh karena itu inhibitor katepsin dengan pengenceran 1:1 dipilih sebagai konsentrasi inhibitor yang paling efektif. Sebagai perbandingan pepstatin 1 µm hasil pengujian didapatkan nilai inhibisi sebesar 86,95 %. Pepstatin merupakan salah satu jenis inhibitor yang mampu menghambat aktivitas katepsin (Carreno & Cortes 2000). Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin (Lampiran 4). Konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran

5 28 Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa konsentrasi protein inhibitor katepsin semakin menurun dengan meningkatnya pengenceran. Penambahan larutan buffer sebagai media pengencer mengakibatkan konsentrasi protein yang terkandung pada inhibitor berkurang. Konsentrasi protein inhibitor dengan pengenceran 1:0 (tanpa pengenceran) sebesar 1,23 mg/ml, inhibitor dengan pengenceran 1:1 sebesar 0,76 mg/ml, inhibitor dengan pengenceran 1:2 sebesar 0,28 mg/ml, dan inhibitor dengan pengenceran 1:3 sebesar 0,12 mg/ml. Menurut hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengenceran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3c). Inhibitor katepsin pada penelitian ini berasal dari ekstrak daging ikan patin yang mengandung protein. Menurut BPMHP (1998) diacu dalam Erdiansyah (2006), kadar protein daging ikan patin adalah sebesar 16,10 %. Inhibitor protease dapat diisolasi dari berbagai organisme seperti bakteri, hewan, dan tanaman. Diketahui bahwa inhibitor alami yang mengatur protease di dalam tubuh organisme ini adalah protein dan hanya beberapa mikroorganisme menghasilkan sedikit komponen inhibitor non-protein untuk menghalangi aktivitas protease dari inang yang diserang. Protease inhibitor terakumulasi dalam jumlah yang tinggi dalam biji tanaman, telur burung, jaringan hewan, dan berbagai cairan tubuh (Rondanelli 2002). Hasil ini juga menjelaskan bahwa inhibitor katepsin yang didapatkan diduga merupakan suatu protein. 4.3 Penentuan Fase Post Mortem Ikan Bandeng Penentuan fase post mortem ikan bandeng dilakukan untuk mengetahui dan menilai derajat kesegaran ikan bandeng serta waktu dan lama terjadinya beberapa tahapan kemunduran mutu pada ikan bandeng melalui metode penilaian sensori, yaitu secara organoleptik. Penentuan kesegaran ikan dengan cara ini menekankan pada pengamatan faktor-faktor mutu organoleptik yang dimiliki ikan seperti bau, rupa, cita rasa (flavor), dan tekstur atau konsistensi daging ikan tersebut secara visual (Lampiran 1). Sebelum dilakukan penentuan tahap post mortem, dilakukan penanganan ikan bandeng yang diperoleh dari Tambak Salembaran Jaya, Tangerang. Ikan bandeng dibawa dalam kondisi hidup dengan menggunakan kantong plastik

6 29 polybag yang berisi air dari tambak dimana ikan dipelihara dan diberi tambahan oksigen. Ikan bandeng kemudian langsung dimatikan dengan cara menusuk medula oblongatanya. Ikan bandeng yang baru mati langsung direndam secara bersamaan ke dalam larutan inhibitor dengan pengenceran 1:1 selama 1 jam dalam kondisi suhu chilling (<5 ºC). Kondisi suhu chilling dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan selama proses perendaman berlangsung dan suhu ini juga dapat menjaga stabilitas inhibitor. Proses yang sama juga dilakukan untuk ikan kontrol, tetapi media perendaman yang digunakan adalah Mcllvaine buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat, ph 5,5). Kedua proses ini dilakukan secara bersamaan dan ikan yang sudah melalui proses perendaman 1 jam lalu disimpan dalam media tupperware selama masa penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC). Pengamatan terhadap kondisi post mortem ikan bandeng selama penyimpanan suhu chilling menghasilkan empat titik untuk dilakukan analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol), kondisi pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada penyimpanan selama 0 jam (0 hari). Fase rigor mortis pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol dicapai setelah penyimpanan selama 96 jam (4 hari). Fase post rigor untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor terjadi setelah penyimpanan selama 365 jam (15 hari) dan ikan bandeng kontrol terjadi setelah penyimpanan selama 360 jam (15 hari). Fase busuk untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor terjadi setelah penyimpanan selama 576 jam (24 hari) dan ikan bandeng kontrol terjadi setelah penyimpanan selama 504 jam (21 hari). Fase pre rigor merupakan kondisi pada saat ikan baru mati dan tubuh ikan memiliki tekstur yang elastis (FAO 1995). Ikan badeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol sama-sama mengalami fase pre rigor selama 96 jam (4 hari). Inhibitor pada fase ini belum bekerja dengan baik karena proses yang paling berperan pada fase ini adalah pembentukan ATP dari ADP dan kreatin fosfat (CP). Pada kondisi pre rigor terjadi penurunan CP secara cepat. Konsentrasi ATP coba dipertahankan untuk beberapa saat dengan proses resintesis dari ADP dan CP. Namun ketika konsentrasi CP sama dengan ATP maka terjadi proses

7 30 penurunan ATP dan rigor mortis pun dimulai (Iwamoto et al. (1988) diacu dalam Wang et al. 1998). Fase rigor mortis adalah keadaan pada saat otot ikan mengalami kontraksi yang mengakibatkan tubuh ikan manjadi keras dan kaku (Lawrie 1995). Pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase rigor mortis selama 269 jam (11 hari) dan ikan bandeng kontrol mengalami fase rigor mortis selama 264 jam (11 hari). Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase rigor mortis lebih lama 5 jam dibanding dengan ikan bandeng kontrol. Pada fase ini diduga kerja inhibitor belum bekerja dengan baik. Lama atau tidaknya fase rigor mortis ditentukan oleh kandungan glikogen ikan pada saat ikan itu mati (Govidan 1985). Fase post rigor terjadi setelah ikan melewati fase rigor mortis, fase ini ditandai dengan melemasnya daging ikan kembali. Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008). Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase post rigor selama 211 jam (9 hari) dan ikan bandeng kontrol mengalami fase post rigor selama 144 jam (6 hari). Perendaman dengan inhibitor katepsin dapat memperpanjang fase post rigor ikan bandeng sebanyak 72 jam atau 3 hari lebih lama dibanding ikan bandeng kontrol. Inhibitor katepsin lebih berperan dalam menghambat kemunduran mutu pada saat ikan sudah memasuki fase post rigor. Menurut hasil penelitian Rustamadji (2009) menunjukkan bahwa aktivitas tertinggi enzim katepsin pada ikan bandeng terjadi pada saat ikan memasuki fase post rigor. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa inhibitor katepsin lebih terlihat perannya selama ikan memasuki fase post rigor atau pada saat aktivitas katepsin memiliki aktivitas tertinggi sehingga perannya tidak begitu terlihat pada fase pre rigor dan rigor mortis. Enzim lisosomal (katepsin) mempunyai peran dalam setiap aktivitas proteolitik dan pelunakan daging ikan selama fase post mortem. Hal ini dikarenakan enzim ini mendegradasi protein (substrat) yang sama selama fase post mortem daging ikan. Banyak enzim lisosomal juga menunjukkan aktivitas

8 31 yang sama pada saat nilai ph mendekati ph pada saat fase post rigor (Rondanelli 2002). Inhibitor katepsin dari ikan patin tidak bekerja sebaik dengan inhibitor katepsin dari ikan bandeng pada saat diaplikasikan untuk menghambat kemunduran mutu ikan bandeng. Menurut penelitian Zaenuri (2010) menunjukkan bahwa inhibitor katepsin dari ikan bandeng (aktivitas inhibisi 80,50 %) mampu menghambat kemunduran mutu ikan bandeng pada penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC) sampai dengan 624 jam (26 hari) atau lebih lama 48 jam (2 hari) dibandingkan dengan ikan bandeng yang direndam dengan inhibitor katepsin dari ikan patin (aktivitas inhibisi 85,29 %). Hal ini diduga karena inhibitor katepsin dari ikan patin mengandung pigmen daging (mioglobin) dan hemoglobin yang lebih banyak dibandingkan inhibitor dari ikan bandeng. Larutan inhibitor katepsin dari ikan patin tampak berwarna lebih merah dibandingkan dengan inhibitor dari ikan bandeng (Lampiran 6). Warna pada daging secara nyata dipengaruhi oleh kandungan mioglobin. Mioglobin merupakan bagian dari protein sarkoplasma dan bersifat larut dalam air (Lawrie 1995). Proses pengeluaran darah yang tidak optimal juga mengakibatkan hemoglobin ikut terekstrak pada saat proses ekstraksi inhibitor. Proses kemunduran mutu ikan diantaranya disebabkan karena adanya aktivitas enzimatis, mikrobiologis, dan oksidasi. Adanya mioglobin dan hemoglobin pada larutan inhibitor ini diduga dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan melalui proses oksidasi. 4.4 Pola Kemunduran Mutu Ikan Bandeng Penentuan pola kemunduran mutu ikan bandeng bertujuan untuk mengetahui pola dan perbedaan pola kemunduran mutu antara ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan kontrol (tanpa perendaman dengan inhibitor). Pengamatan terhadap sampel ikan dilakukan berdasarkan waktu yang diperoleh dari hasil penentuan fase post mortem secara subjektif dan objektif. Secara subjektif, yaitu dengan cara organoleptik dan secara objektif, yaitu dengan dilakukan uji ph, TPC, dan TVB. Sampel untuk uji objektif diambil dari bagian daging ikan bandeng. Pengujian secara objektif pada sampel dengan perendaman inhibitor dan kontrol dilakukan pada 4 titik, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk.

9 Nilai organoleptik Penilaian mutu secara organoleptik merupakan cara pengujian mutu yang dilakukan hanya menggunakan panca indera. Cara ini sangat sederhana dan cepat dikerjakan, tetapi tingkat ketelitiannya sangat tergantung dari kepekaan penguji (Dwiari et al. 2008). Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh untuk ikan dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 Perbandingan nilai rata-rata organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa nilai organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya semakin tinggi nilai organoleptik menunjukkan semakin segar keadaan ikannya. Nilai organoleptik untuk kedua ikan adalah sama karena uji organoleptik samasama dilakukan pada setiap fase kemunduran mutu, yaitu fase pre rigor, rigor, post rigor, dan busuk. Nilai organoleptik untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol pada kondisi pre rigor adalah 9. Pada kondisi ini ikan belum banyak mengalami perubahan biokimia, fisika, dan mikrobiologis. Ciri-ciri ikan yang didapatkan, yaitu mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih,

10 33 transparan, memiliki dinding perut yang utuh. Bau ikan sangat segar, teksturnya padat, dan elastis bila ditekan dengan jari. Pada fase rigor mortis ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 7 dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, insang berwarna merah agak kusam tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, dinding perut daging utuh, bau netral, tekstur agak padat bila ditekan dengan jari serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Fase post rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 6. Nilai organoleptik ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik dan jelek. Pada fase ini ikan telah mengalami banyak kerusakan baik itu oleh aktivitas enzim dan oleh aktivitas mikrobiologis. Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, dan kornea agak keruh. Lapisan lendir mulai keruh, berwarna putih agak kusam, dan kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang serta dinding perut ikan menjadi lunak. Fase busuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 3. Nilai organoleptik ini sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung dan kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat dengan lendir yang tebal, berbau amoniak, asam, dan busuk. Tekstur ikan menjadi lunak dan meninggalkan bekas jari bila ditekan Nilai ph Penentuan nilai ph merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran mutu ikan. Nilai ph daging ikan ketika masih hidup umumnya mempunyai ph netral dan setelah mati ph dapat turun menjadi sekitar 5,3-5,5 (Eskin 1990). Hasil pengukuran nilai ph daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 7.

11 34 Gambar 7 Perbandingan nilai rata-rata ph ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa ph daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor serta busuk. Pada fase pre rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol masing-masing memiliki ph 6,3 dan 6,2. Nilai ph daging ikan yang rendah ini dipengaruhi oleh larutan ph buffer yang digunakan untuk perendaman, yaitu larutan buffer ph 5,5. Larutan buffer ini memiliki nilai ph yang rendah sehingga ikut menyebabkan ph ikan alami yang pada umumnya mendekati netral menjadi lebih asam dibandingkan pada keadaan normalnya. Nilai ph akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada Akhirnya ph akan semakin asam, yaitu pada fase rigor mortis. Nilai ph dari daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor pada fase rigor mortis sebesar 6,1 dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,0. Katabolime ATP dan glikogen mengakibatkan ph daging ikan turun. Nilai ph daging ikan bergantung dari jumlah substrat (glikogen) yang terkandung di dalam daging ikan sebelum ikan itu mati dan kapasitas buffer dari daging ikan tersebut (Jiang 2000). Nilai ph ini terus mengalami kenaikan pada fase post rigor dan busuk karena terjadinya akumulasi basa-basa volatil. Nilai ph daging ikan bandeng pada

12 35 fase post rigor dengan perendaman inhibitor sebesar 6,6 dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,82. Pada fase busuk nilai ph daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mencapai 7,2 dan ikan kontrol mencapai 7,4. Peningkatan nilai ph tergantung pada lama penyimpanan ikan. Selain itu juga dipengaruhi oleh komposisi garam, kondisi fisiologis, kandungan protein, dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003) Nilai TPC Bakteri ditemukan pada seluruh permukaan luar (kulit dan insang) dan pada saluran pencernaan ketika ikan masih hidup. Namun pada saat ikan mati secara perlahan-lahan bakteri masuk ke dalam daging ikan dan dapat mengakibatkan kerusakan yang parah pada jaringan daging (FAO 1995). Semakin busuk seekor ikan maka akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Hasil penghitungan nilai TPC daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Perbandingan nilai rata-rata TPC ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa nilai TPC daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Nilai TPC pada tiap fase terus meningkat mulai dari fase pre rigor sampai akhirnya memasuki fase busuk. Nilai

13 36 TPC pada fase pre rigor untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor adalah 3,54 log koloni/g dan untuk ikan bandeng kontrol sebesar 3,54 log koloni/g Nilai TPC pada fase ini terus meningkat ketika ikan memasuki fase rigor mortis, yaitu 4,83 log koloni/g untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol sebesar 4,82 log koloni/g. Pada fase post rigor, nilai TPC ikan bandeng dengan perendaman dengan inhibitor meningkat menjadi 6,72 log koloni/g dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,72 log koloni/g. Fase post rigor merupakan awal terjadinya peristiwa autolisis. Aktivitas autolisis yang dilakukan oleh enzim proteolitik akan mengakibatkan protein daging ikan terurai menjadi komponen-komponen sederhana yang merupakan media ideal untuk pertumbuhan bakteri pembusuk (Govidan 1985). Nilai TPC mencapai nilai tertinggi pada saat ikan memasuki fase busuk, yaitu sebesar 7,49 log koloni/g untuk ikan bandeng dengan perendaman dengan inhibitor dan ikan bandeng kontrol sebesar 7,52 log koloni/g. Nilai TPC daging ikan bandeng fase post rigor dan busuk sudah berada di atas batas maksimum jumlah mikroba yang ditetapkan dalam SNI , yaitu dengan nilai maksimum 5x10 5 koloni/g atau nilai TPC sebesar 5,70 log koloni/g. Ikan bandeng pada kedua fase ini memiliki nilai TPC antara 6,71-7,52 log koloni/g. Pada ikan yang disimpan pada suhu chilling membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai jumlah bakteri yang sama dengan ikan yang disimpan pada suhu ruang pada setiap tahap kemunduran mutu. Pada kondisi ini suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis dan kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk. Pengaruh suhu pada pertumbuhan bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan atau perpendekan masa adaptasi yang tergantung pada tinggi rendahnya suhu. Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih pendek. Sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih panjang. Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi target serangan bakteri adalah seluruh permukaan tubuh, isi perut, dan insang (Dwiari et al. 2008). Pada penelitian ini digunakan suhu chilling (0-4 о C) untuk penyimpanan ikan bandeng. Bakteri mempunyai suhu pertumbuhan yang berbeda-beda. Pada

14 37 suhu ini, bakteri yang dapat tumbuh dengan optimum adalah bakteri psychrophylic sedangkan bakteri maesophylic (20-40 о C) tumbuh dengan lambat Bakteri psychrophylic dapat tumbuh dengan kecepatan yang relatif pada suhu 0 о C (Mucthtadi 2008). Jenis bakteri pembusuk yang menyebabkan pembusukan ikan pada penyimpanan suhu 0-5 о C adalah Pseudomonas, Achromobacter, dan Flavobacterium (Graikoski 1973) Nilai TVB Indeks kemunduran mutu hasil perikanan dapat diketahui melalui kandungan TVB. Berbagai komponen, seperti basa volatil, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia selama post mortem dan aktivitas mikroba pada daging (Taskaya 2003). Pada penelitian ini perbandingan nilai TVB pada daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Perbandingan nilai rata-rata TVB ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa nilai TVB ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol mengalami kenaikan dengan semakin lamanya penyimpanan. Pada fase pre rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 8,4 mg N/100 g. Nilai tersebut

15 38 menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar. Ikan pada fase pre rigor belum banyak mengalami perubahan biokimia di dalam tubuhnya dan aktivitas bakteri pembusukpun masih rendah pada fase ini. Nilai TVB meliputi senyawa-senyawa volatil, seperti ammonia, trimetilamin (TMA), dan dimetilamin (DMA) (Hossain et al. 2005). Kesegaran ikan menurut Farber (1965) dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB. Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g. Ikan dengan nilai TVB antara mg N/100 g masuk dalam kriteria segar. Nilai TVB antara mg N/100 g merupakan batas penerimaan ikan untuk dikonsumsi sedangkan jika nilai TVB lebih dari 30 mg N/100 g termasuk ikan busuk. Berdasarkan batasan tersebut, ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol yang disimpan pada suhu chilling masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi sampai waktu penyimpanan selama jam (15 hari) dengan nilai TVB antara 24,4-26,4 mg N/100 g. Nilai TVB daging ikan bandeng tertinggi dicapai pada fase busuk, yaitu sebesar 76,1 mg N/100 g untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan sebesar 72,1 mg N/100 g untuk ikan bandeng kontrol. Daging ikan bandeng pada fase ini sudah mengalami pembusukan yang parah karena aktivitas enzim dan bakteri. Nilai TVB pada ikan bandeng pada fase ini sudah melebihi batas maksimum untuk ikan yang dapat dikonsumsi. Batas maksimum nilai TVB untuk ikan yang dapat diterima untuk konsumsi adalah 30 mg N/100 g (Farber 1965; Hossain et al. 2005). 4.5 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan Mutu atau kesegaran ikan dapat diketahui melalui beberapa parameter kesegaran kegaran ikan. Parameter kesegaran ikan yang diamati pada penelitian ini, yaitu organoleptik, Total volatile base (TVB), Total Plate Count (TPC), dan ph. Masing-masing parameter ini saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Hubungan antar parameter kesegaran ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Berdasarkan Gambar 10 dan Gambar 11 diketahui bahwa nilai organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol mengalami

16 39 penurunan dari fase pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan nilai TVB. Nilai ph mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor hingga busuk. Nilai organoleptik ikan terus menurun dari fase pre rigor hingga busuk disebabkan oleh kerusakan aktivitas enzim dan bakteri. Hal ini dapat dilihat dari nilai TPC yang terus meningkat dan diikuti dengan naiknya nilai TVB. Aktivitas enzim yang berasal dari ikan dan bakteri mengakibatkan kerusakan organ-organ ikan. Hasil kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas enzim ini berupa senyawasenyawa sederhana yang selanjutnya dimanfaatkan oleh bakteri. Aktivitas keduanya menghasilkan senyawa-senyawa basa-basa menguap (TVB). TVB menunjukkan nilai senyawa nitrogen mudah menguap yang dihasilkan dari aktivitas bakteri dan enzim. Nilai TVB terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan bakteri (Gopakumar 2000). Nilai ph ikan dari fase pre rigor menuju rigor mortis mengalami penurunan. Ini dikarenakan akumulasi asam laktat pada daging ikan selama ikan mengalami kejang otot (rigor mortis). Pada fase post rigor dan busuk, ph ikan bandeng meningkat karena terakumulasinya senyawa-senyawa basa hasil penguraian enzim dan bakteri. Hal ini dapat diamat dari naiknya nilai ph yang diikuti dengan naiknya nilai TPC dan TVB pada fase post rigor dan busuk. Secara umum ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng tanpa perendaman inhibitor (kontrol) mempunyai pola kemunduran mutu yang sama karena analisis organoleptik, ph, TPC, dan TVB dilakukan pada fase yang sama (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) hanya masing-masing fase dicapai pada waktu yang berbeda. Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase post mortem yang lebih lama dibandingkan ikan bandeng kontrol.

17 Rata-rata nilai ph 6 4 Rata-rata nilai TVB (mg N/100 g) Rata-rata nilai TPC (log koloni/g) 6 4 Rata-rata nilai organoleptik Waktu penyimpanan suhu chilling (jam) (A) Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor Rata-rata nilai ph Rata-rata nilai TVB (mg N/100 g) Rata-rata nilai TPC (log koloni/g) Rata-rata nilai organoleptik Waktu penyimpanan suhu chilling (jam) (B) Ikan bandeng tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) Gambar 10 Hubungan antar parameter kesegaran untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol rata-rata nilai TVB (mg N/100 g) rata-rata nilai ph rata-rata nilai log TPC rata-rata nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2009 sampai Bulan September 2009 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perikanan, Laboratorium Bioteknologi 2 Hasil

Lebih terperinci

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil.

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil. LAMPIRAN 59 60 Lampiran Tahapan Penelitian Serbuk kitosan komersil ekor karkas ayam segar Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Pembuatan larutan kitosan (0,5 %; %;,5%) Pemotongan Proses perendaman Penirisan

Lebih terperinci

Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng

Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng LAMPIRAN 86 65 88 Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2007 89 66 Lampiran 3 Peta informasi lokasi penempatan rumpon laut dalam Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2009

Lebih terperinci

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa,

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos Forskal)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos Forskal) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. dhinie_surilayani@yahoo.com Ikan = perishable food Mengandung komponen gizi: Lemak, Protein, Karbohidrat, dan Air Disukai Mikroba Mudah Rusak di Suhu Kamar Setelah ikan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokiomia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Modifikasi Alat IFFI-2 merupakan modifikasi dari instrumen pendeteksi kesegaran atau kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini mengaplikasikan metode spektroskopi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 15 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Sukabumi pada bulan Desember 2010. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN Indra Jaya 1) dan Dewi Kartika Ramadhan 2) Abstract This paper describes an attempt to introduce acoustic method as an alternative for measuring fish freshness.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan Kebersihan terdiri dari dua aspek yang saling berkaitan yaitu sanitasi dan higienitas. Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi

Lebih terperinci

Harryara Sitanggang

Harryara Sitanggang IV. Hasil Pengamatan & Pembahasan Penanganan pasca panen bukan hanya berlaku untuk produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau biasa disebut produk nabati. Pemanenan dari komoditas hewani juga perlu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR. Riyantono 1 Indah Wahyuni Abida 2 Akhmad Farid 2 1 Alumni Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo 2 Dosen Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN.

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN. PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN Nurmeilita Taher Staf Pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 43 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengujian terhadap bahan baku yaitu limbah filet ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dan bahan pewarna alami dari

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG

KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG Jurnal Perikanan dan Kelautan EFEKTIVITAS KONSENTRASI BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L) TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG (Decapterus sp.) Segar SELAMA PENYIMPANAN RUANG 1,2 Raflin

Lebih terperinci

PERANAN INHIBITOR KATEPSIN ALAMI DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal)

PERANAN INHIBITOR KATEPSIN ALAMI DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) PERANAN INHIBITOR KATEPSIN ALAMI DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) ARY APRILAND DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data 17 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Jakarta Utara pada bulan Agustus hingga Oktober 2010. 3.2 Metode Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi hasil perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga merupakan sumber protein hewani. Kandungan protein

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu pelelehan es dan proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah

Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah Nikè:Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.Volume II, Nomor 4, Desember 2014 Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah Herlila Tamuu, Rita Marsuci Harmain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Penggolongan hasil perikanan laut berdasarkan jenis dan tempat kehidupannya Golongan demersal: ikan yg dapat diperoleh dari lautan yang dalam. Mis.

Lebih terperinci

Simatupang Maria Fransiska, Sri Purwati, Masitah Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman

Simatupang Maria Fransiska, Sri Purwati, Masitah Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dan Lama Penyimpanan Terhadap Daya Awet Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) pada Kondisi Suhu Kamar Simatupang Maria Fransiska, Sri Purwati,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp)

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) Anna C.Erungan 1, Winarti Zahiruddin 1 dan Diaseniari 2 Abstrak Ikan cucut merupakan ikan yang potensi produksinya cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan pengawet berbahaya dalam bahan makanan seperti ikan dan daging menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh pemerintah. Penggunaan bahan pengawet

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

WULUH FRUITSTAR EXTRACT EFFECT WITH DIFFERENT AMOUNTS OF QUALITY FRESHNESS OF THE FISH TAMBAKAN (Helostoma temmincki) ABSTRACT

WULUH FRUITSTAR EXTRACT EFFECT WITH DIFFERENT AMOUNTS OF QUALITY FRESHNESS OF THE FISH TAMBAKAN (Helostoma temmincki) ABSTRACT WULUH FRUITSTAR EXTRACT EFFECT WITH DIFFERENT AMOUNTS OF QUALITY FRESHNESS OF THE FISH TAMBAKAN (Helostoma temmincki) By Ranggi Oktori 1), Suparmi 2), Dewita Buchari 2) ABSTRACT The purpose of this study

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu jenis kerang dari kelas Bivalvia yang berpotensi dan memiliki nilai ekonomis untuk dikembangkan sebagai sumber protein

Lebih terperinci

11 Volume 5. Nomor 2. Tahun 2011 ISSN

11 Volume 5. Nomor 2. Tahun 2011 ISSN AKUATIK-Jurnal Sumberdaya Perairan 11 Volume. Nomor 2. Tahun 2011 ISSN 1978-162 KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) PASCA KEMATIAN PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING Water Space Usement of Floating

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.) Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan berbagai perlakuan, terhadap perubahan kandungan protein

Lebih terperinci

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The objective of this research was to determine the differences

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PENGESAHAN DEDIKASI RIWAYAT HIDUP PENULIS ABSTRAK

DAFTAR ISI. Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PENGESAHAN DEDIKASI RIWAYAT HIDUP PENULIS ABSTRAK DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i PENGESAHAN ii PRAKATA iii DEDIKASI iv RIWAYAT HIDUP PENULIS v ABSTRAK vi ABSTRACT vii DAFTAR ISI viii DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR TABEL xii DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan PROSES PEMBUATAN TELUR ASIN SEBAGAI PELUANG USAHA Oleh : Andi Mulia, Staff Pengajar di UIN Alauddin Makassar Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Berdasarkan data dari Kementerian

Lebih terperinci

LAMPIRAN. 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI )

LAMPIRAN. 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI ) 38 LAMPIRAN 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI 01-2332.1-2006) Preparasi contoh Homogenisasi (25 gr sampel + 225 ml BFP) (selama 2 menit-3 menit) Pengencerandan Pendugaan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan dan Maksud Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI Oleh : Rendra Eka A 1. Kemunduran mutu ikan segar secara sensori umumnya diukur dengan metode sensori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelangsungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh nilai atau kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, karbohidrat, mineral, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sebagai seorang manusia tentunya kita memiliki berbagai kebutuhan yang sangat banyak dan bermacam. Salah satu yang menjadi kebutuhan utama seorang manusia tentunya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Lolosi Merah (C. chrysozona) Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk dalam family ikan caesiodidae yang erat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA Bahan Baku Kerang Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai ciri-ciri: cangkang terdiri dari dua belahan atau katup yang dapat membuka dan menutup dengan

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK ROSELA

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK ROSELA PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK ROSELA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP MUTU FILLET IKAN JAMBAL SIAM (Pangasius hyphopthalmus) SEGAR SELAMA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Oleh Noviantari 1), Mirna Ilza 2), N. Ira

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Manajemen kualitas

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Manajemen kualitas 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pengendalian mutu adalah kegiatan terpadu mulai dari pengendalian standar mutu bahan dan standar proses produksi, yang dimaksud barang (jasa) yang dihasilkan sesuai dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) Peremajaan dan purifikasi terhadap kedelapan kultur koleksi isolat bakteri dilakukan terlebih dahulu sebelum pengujian

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN. 1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) UNTUK MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal)

PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) UNTUK MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) UNTUK MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) The Role of Cathepsin Inhibitor From Cat sh (Pangasius Hypophthalmus)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahu, merupakan salah satu makanan yang digemari oleh hampir semua kalangan masyarakat di Indonesia, selain rasanya yang enak, harganya pun terjangkau oleh

Lebih terperinci

APLIKASI MINUMAN RINGAN BERKARBONASI DALAM MENGHAMBAT LAJU KEMUNDURAN MUTU IKAN NILA

APLIKASI MINUMAN RINGAN BERKARBONASI DALAM MENGHAMBAT LAJU KEMUNDURAN MUTU IKAN NILA APLIKASI MINUMAN RINGAN BERKARBONASI DALAM MENGHAMBAT LAJU KEMUNDURAN MUTU IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Application of Carbonated Soft Drink on Prevention of Nila Fish Quality Deterioration Rate Ruddy

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi Hasil penelitian pengaruh berbagai konsentrasi sari kulit buah naga merah sebagai perendam daging sapi terhadap total bakteri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR. Oleh : Tri Septiarini C

KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR. Oleh : Tri Septiarini C KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR Oleh : Tri Septiarini C34104008 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C34051397 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Lebih terperinci