IV. Hasil dan Pembahasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. Hasil dan Pembahasan"

Transkripsi

1 IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Media Perendam Rumput Laut Rumput laut atau algae merupakan bagian terbesar dari tanaman laut. Tanaman ini yang juga dikenal dengan nama seaweed adalah tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan daun. Bentuk tanaman ini sebenarnya merupakan bentuk thallus dan tumbuh tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Beberapa bahan pemutih/pemucat umumnya digunakan untuk memucatkan rumput laut. Pada penelitian ini bahan pemucat yang digunakan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan (food grade) dan sedikit mungkin menggunakan bahan kimia. Jenis media yang digunakan untuk memucatkan rumput laut adalah air tawar, larutan tepung beras 5 % dan larutan kapur tohor 0,5 %. Air tawar merupakan media perendam alami dan hampir tidak ada dampak yang ditimbulkan. Beberapa pigmen rumput laut dapat terpecah dan larut dalam air tawar. Tepung beras dengan kandungan pati yang tinggi diharapkan dapat menghilangkan bau amis dan memberikan warna yang bersih pada rumput laut. Larutan kapur tohor 0,5 % adalah bahan kimia yang digunakan untuk menghilangkan pigmen warna pada rumput laut. Menurut Angka dan Suhartono (2000), untuk mendapatkan rumput laut yang tidak berwarna (cenderung putih bersih) dapat dilakukan proses pemucatan yaitu perendaman dalam larutan pemutih/pemucat. Larutan pemucat yang digunakan adalah larutan kaporit (Ca(OCl) 2 ) 0,25 %, larutan kapur tohor (CaO) 0,50 % atau Natrium hipoklorit (Na(OCl)) 0,25%. Penggunaan bahan pemucat yang mengandung senyawa khlorin (Cl2, Ca(OCl) 2 dan Na(OCl)) telah lama digunakan di Indonesia. Prosedur ini masih disetujui oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO/WHO) dan negara importir seperti Amerika Serikat dan Jepang. Namun di Uni Eropa (UE) penggunaan senyawa khlorin untuk desinfektan dan produk perikanan sudah tidak diperkenankan, sesuai ketentuan Council Directive No. 80/778/EEC karena dinilai bersifat karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan manusia (BPPMHP, 2005). Kapur tohor merupakan bahan yang bersifat reaktif dengan air. Reaksi CaO dengan air membentuk Ca(OH)2 merupakan reaksi eksoterm yang akan

2 melepaskan kalor dan menghasilkan bahan yang berbentuk serbuk putih (Chang dan Tikkanen, 1988). Perlakuan perendaman yang diberikan pada penelitian ini berbeda untuk masing-masing rumput laut tetapi tetap menggunakan media yang sama. Melalui proses perendaman akan didapatkan rumput laut yang memiliki kenampakan (warna) putih, tidak berbau dan tekstur yang padat, sehingga tepung rumput laut yang dihasilkan siap diolah menjadi produk lanjutan yang memiliki nilai tambah (value added product). Lembar penilaian (score sheet) untuk masing-masing jenis rumput laut ada dalam Lampiran 2, 3 dan Media Perendam Rumput Laut Eucheuma cottonii Bahan baku rumput laut yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut kering tawar yang dibeli dari petani rumput laut di kepulauan seribu. Rumput laut ini sebelumnya sudah mengalami perlakuan sehingga didapat rumput laut kering tawar dengan warna kuning pucat (Gambar 7 b). (a) (b) Gambar 7. RL Eucheuma cottonii kering asin (a) dan setelah fermentasi (b). Selanjutnya dilakukan perlakuan penelitian yaitu untuk mendapatkan rumput laut yang memiliki kenampakan (warna) putih, tidak berbau amis, tekstur yang tidak lembek. Media perendam yang digunakan yaitu air tawar selama 9 jam (perlakuan A), larutan tepung beras 5 % selama 9 jam (perlakuan B) dan air tawar 9 jam kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit (perlakuan C). Ratarata penilaian panelis terhadap rumput laut hasil perendaman disajikan pada Tabel

3 Tabel 12. Nilai rata-rata RL Eucheuma cottonii dalam media perendam Media Perendam Parameter Nilai Deskripsi Air tawar Tepung Beras Air tawar 9 jam, Kapur tohor 0,5 % 10 menit Kenampakan Bau Tekstur Kenampakan Bau Tekstur Kenampakan Bau Tekstur 7,0 6,5 7,3 6,2 4,6 6,7 7,3 3,4 7,2 Bersih, kurang transparan, warna putih kekuningan tidak merata, agak cemerlang. Segar, sedikit agak amis Thalus padat, agak liat, agak mudah patah Bersih, tidak transparan, warna putih kekuningan, agak kusam Kurang segar, sedikit bau tambahan Thalus agak lunak, agak mudah patah Bersih, kurang transparan, warna putih kekuningan tidak merata, agak cemerlang. Kurang segar, sedikit bau tambahan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah Hasil analisis ragam memberikan hasil berbeda nyata terhadap kenampakan rumput laut. Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan C, tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda dengan perlakuan B (Lampiran 5). Kenampakan yang paling baik adalah pada perlakuan C tetapi masih dalam nilai yang sama pada lembar penilaian (Tabel 12) dengan rumput laut perlakuan A. Hasil analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata terhadap semua media perendam (Lampiran 6). Uji lanjut yang dilakukan menyatakan masing-masing perlakuan berbeda nyata, nilai tertinggi ada pada rumput laut perlakuan A. Pada perlakuan A bau amis masih ada walaupun hanya sedikit, sedangkan pada perlakuan B dan C tercium bau tambahan yang kurang enak, hal ini kemungkinan karena adanya residu tepung beras dan kapur tohor yang terserap oleh thallus-thallus rumput laut. Hasil analisis tekstur rumput laut hasil perendaman menunjukkan adanya beda nyata (Lampiran 7). Uji lanjut menyatakan perlakuan A tidak berbeda dengan perlakuan C tetapi keduanya berbeda dengan perlakuan B. Nilai tertinggi 41

4 ada pada rumput laut perlakuan A, tetapi perlakuan A dan C berada pada kisaran nilai yang sama pada lembaran nilai (Tabel 12). Berdasarkan nilai pada lembar penilaian (Tabel 12), maka perlakuan A merupakan perlakuan yang terbaik (Gambar 8), sehingga perlakuan yang akan dilanjutkan untuk penelitian tahap berikutnya adalah perlakuan A. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap kandungan nutrisinya. Nilai kadar air rumput laut perlakuan A adalah 93,1 %, selengkapnya tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Komposisi kimia RL Eucheuma cottonii (perlakuan A) Komponen Jumlah Kadar abu (%, bk) Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk) 18 3,39 0,43 75,36 5,75 3,87 9,62 38,94 Gambar 8. RL Eucheuma cottonii hasil perendaman terbaik (perlakuan A) Media Perendam Rumput Laut Glacilaria sp Rumput laut jenis Glacilaria sp yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dari petani rumput laut di Kepulauan Seribu. Rumput laut yang dibeli dalam keadaan kering asin, artinya untuk rumput laut jenis ini tidak ada perlakuan yang diberikan setelah panen (Gambar 9b). Setelah panen rumput laut hanya dicuci saja untuk menghilangkan kotoran ataupun lumpur yang terbawa saat 42

5 panen, kemudian dijemur sampai kering. Bentuk thallusnya yang kecil menyebabkan banyak lumpur dan kotoran yang terbawa saat panen sehingga pencucian harus dilakukan sampai benar-benar bersih. Rumput laut kering masih memiliki warna ungu kemerahan yang merupakan ciri rumput laut merah (Gambar 9a). Rumput laut Glacilaria sp mempunyai pigmen hijau kemerahan. Warna ini disebabkan oleh klorofil, karoten dan biliprotein. Senyawa biliprotein berada dalam bentuk fikosianin dan fikoritrin (Goodwin, 1974). Pada penelitian ini proses pemucatan dilakukan dengan perlakuan perendaman, yaitu dalam air tawar 9 jam (perlakuan D), larutan tepung beras 9 jam (perlakuan E), dan air tawar 2 jam kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit dan dikeringkan (perlakuan F). Penggunaan selanjutnya rumput laut direndam kembali dalam air tawar selama 7 jam untuk menghilangkan dan menetralkan bau kapur. (a) (b) Gambar 9. RL Glacilaria sp segar (a) dan kering asin (b) Pigmen warna pada rumput laut Glacilaria sp sangat kuat sehingga tidak dapat larut dalam air tawar maupun larutan tepung beras. Perendaman dalam larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit dapat melunturkan pigmen merah keunguan pada rumput laut tetapi pigmen hijau masih kuat, sehingga dilakukan penjemuran untuk menghilangkan warna hijau, setelah kering warna yang dihasilkan adalah krem pucat (Gambar 10). Rata-rata penilaian panelis terhadap rumput laut hasil perendaman disajikan pada Tabel

6 Gambar 10. RL Glacilaria sp hasil perendaman terbaik (perlakuan F). Tabel 14. Nilai rata-rata RL Glacilaria sp dalam media perendam Media perendaman Parameter Nilai Deskripsi Air tawar Tepung Beras Air tawar 2 jam Kapur tohor 0,5 % 10 menit, keringkan, rendam air tawar 7 jam Kenampakan Bau Tekstur Kenampakan Bau Tekstur Kenampakan Bau Tekstur 5,2 4,9 6,7 5,5 5,2 6,8 7,8 6,1 7,0 Kurang bersih, tidak transparan, warna ungu kehijauan, agak kusam Kurang segar, amis cukup dominan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah Bersih, tidak transparan, warna putih ungu kehijauan, tidak merata, agak kusam Kurang segar, amis cukup dominan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah Bersih, transparan, warna putih krem tidak merata, cemerlang Segar, sedikit agak amis Thalus padat, agak liat, agak mudah patah Hasil analisis ragam terhadap kenampakan rumput laut memberikan hasil berbeda nyata (Lampiran 8). Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan F berbeda nyata dengan perlakuan D dan E, sedangkan perlakuan D tidak berbeda dengan perlakuan E. Perlakuan F merupakan perlakuan terbaik yang memberikan nilai kenampakan 7,8 pada lembar penilaian (Tabel 14). Senyawa yang menyebabkan warna secara umum merupakan komponen organik yang memiliki ikatan rangkap 44

7 berganti-ganti. Dekolorisasi dapat dilakukan dengan menghancurkan satu atau lebih ikatan ganda dalam sistem konyugasi dengan reaksi adisi pada ikatan ganda atau hasil pemutusannya. Kapur tohor yang digunakan pada perendaman mengakibatkan terpecahnya komponen penyusun warna, dan proses penjemuran diduga menyempurnakan pemucatan. Eskin et.al (1971) menyatakan bahwa pengoksidasian lebih lanjut diduga akan menghasilkan pemecahan cincin isosiklik pada klorofil secara sempurna. Pemotongan dapat berlangsung secara cepat yang menghasilkan sejumlah besar kehilangan warna dan senyawa yang mempunyai berat molekul rendah. Sejalan dengan penurunan jumlah klorofil, kandungan karotenpun akan menurun. Analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata terhadap perlakuan media perendam (Lampiran 9). Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan F berbeda dengan perlakuan D dan E, sedangkan perlakuan D dan E tidak berbeda. Bau amis yang masih menyengat merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan, karena untuk penggunaan selanjutnya dapat mempengaruhi produk yang dihasilkan. Produk dengan bau yang kurang disukai akan mempengaruhi selera makan. Hasil analisis ragam terhadap tekstur rumput laut memberikan hasil tidak berbeda antara 3 perlakuan media perendam (Lampiran 10). Rumput laut memiliki thalus padat (tidak mudah hancur), agak liat dan agak mudah patah. Berdasarkan hasil analisis tersebut, rumput laut dengan perlakuan F memiliki nilai yang paling baik. Selanjutnya dilakukan analisis sifat kimia meliputi proksimat, karbohidrat, kadar serat dan iodium. Kadar air rumput laut hasil perendaman adalah 89,91 %, komposisi kimia lainnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Komposisi kimia RL Glacilaria sp (perlakuan F) Komponen Kadar abu (%, bk) Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk) Jumlah 8,09 11,05 0,31 79,08 5,83 3,93 9,76 29,94 45

8 Media Perendam Rumput Laut Sargassum sp Rumput laut Sargassum sp diperoleh dari perairan Binuangeun (Kabupaten Lebak, Propinsi Banten). Rumput laut coklat ini dibeli dari petani rumput laut dalam keadaan kering asin, artinya setelah panen rumput laut dicuci dengan air tawar berkali-kali hingga bersih, setelah itu ditiriskan dan dijemur sampai kering (Gambar 11b). Pada tahap selanjutnya dilakukan perendaman dan pemucatan untuk mendapatkan rumput laut yang siap diolah menjadi tepung rumput laut. Perendaman dilakukan dalam beberapa jenis media, yaitu air tawar 9 jam (perlakuan G), larutan tepung beras 9 jam (perlakuan H), air tawar 9 jam kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit (perlakuan I). Tabel 16 menunjukkan nilai rata-rata Sargassum sp untuk masing-masing media perendam. (a) (b) Gambar 11. RL Sargassum sp segar (a) dan kering (b). Hasil analisis ragam kenampakan rumput laut menunjukkan berbeda nyata terhadap perlakuan yang diberikan. Uji lanjut yang diperoleh menyatakan bahwa masing-masing perlakuan berbeda nyata (Lampiran 11). Nilai kenampakan paling tinggi ada pada rumput laut yang direndam dalam air tawar selama 9 jam (perlakuan G) (Gambar 12). Perlakuan yang diberikan pada rumput laut coklat ini tidak menghasilkan rumput laut dengan kenampakan (warna) putih, tetapi tetap dengan warna aslinya yaitu coklat. Berbeda dengan pigmen algae merah, pigmen algae coklat tidak mudah terhidrolisis sehingga tidak terjadi pemucatan saat perendaman. Pada perendaman dengan kapur tohor terjadi perubahan warna yang 46

9 semakin gelap (coklat tua) dari warna aslinya (coklat muda cemerlang). Perendaman dengan larutan tepung beras memberikan warna yang agak redup (kusam). Rumput laut coklat berbeda dari jenis rumput laut lainnya dalam hal kandungan pigmen dan kimianya. Menurut Indriani dan Suminarsih (2003), Sargassum sp mengandung pigmen klorofil a dan c, beta karotin, violasantin dan fukosantin, pirenoid dan filakoid (lembaran fotosintesis). Yunizal (2004) menyatakan bahwa keberadaan pigmen fukosantin pada rumput laut coklat menutupi pigmen lainnya dan memberikan warna coklat yang sangat dominan. Tabel 16. Nilai rata-rata RL Sargassum sp dalam media perendam Media perendaman Parameter Nilai Deskripsi Air tawar Tepung Beras Air tawar 9 jam Kapur tohor 0,5 % 10 menit Kenampakan Bau Tekstur Kenampakan Bau Tekstur Kenampakan Bau Tekstur 7,8 6,8 7,2 6,2 6,0 7,0 5,7 3,6 7,2 Bersih, coklat muda tidak merata, cemerlang Segar, bau spesifik jenis Thalus padat, agak liat, agak mudah patah Bersih, coklat tua, tidak merata, agak kusam Segar, sedikit agak amis Thalus padat, agak liat, agak mudah patah Bersih, coklat tua, tidak merata, agak kusam Kurang segar, sedikit bau tambahan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah Analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata. Uji lanjut menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan media perendam berbeda nyata (Lampiran 12). Nilai paling baik adalah rumput laut dengan media perendam air tawar selama 9 jam (perlakuan G), kemudian perlakuan H selanjutnya adalah perlakuan I. Bau yang khas (seperti bau daun teh) masih tercium terutama pada perlakuan G. Pada perlakuan H dan I ada tercium bau lain seperti bau tepung dan bau kapur. Analisis ragam terhadap tekstur memberikan hasil tidak berbeda nyata (lampiran 13). Ketiga perlakuan memiliki tekstur yang cenderung sama yaitu thallus padat, agak liat dan agak mudah patah. Berdasarkan data yang didapat 47

10 (Tabel 16) maka untuk tahap selanjutnya rumput laut dengan media perendam air tawar selama 9 jam akan dilanjutkan menjadi tepung rumput laut.. Gambar 12. RL Sargassum sp hasil perendaman terbaik (perlakuan G). Komposisi kimia rumput laut coklat sangat bervariasi, tergantung pada jenis (spesies), masa perkembangannya dan kondisi tempat tumbuhnya. Kadar air rumput laut hasil perendaman adalah 88,88 %, komposisi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Komposisi kimia RL Sargassum sp (perlakuan G) Komponen Jumlah Kadar abu (%, bk) Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk) 16,03 9,26 0,45 74,28 7,33 4,46 11,79 26,95 48

11 4.2. Sifat fisik-kimia Tepung Rumput Laut Penelitian tahap 2 bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia tepung rumput laut. Masing-masing jenis rumput laut hasil perendaman terbaik selanjutnya diproses menjadi tepung rumput laut. Tahapan yang dilakukan adalah pencucian, perendaman, penghancuran, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Rumput laut Eucheuma cottonii, Sargassum sp, dan Glacilaria sp kering dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan kotoran dan benda asing yang masih menempel pada rumput laut. Selanjutnya direndam dalam media perendam yang terbaik untuk masing-masing jenis rumput laut hasil dari penelitian tahap 1 dan ditirisksn. Tahap berikut adalah penghancuran menggunakan grinder, kemudian pengeringan rumput laut dengan oven. Suhu pengeringan yang diberikan adalah 50 o C dan 70 o C. Selama pengeringan dilakukan pengadukan agar proses pengeringan berlangsung sempurna. Pemilihan suhu pengering didasarkan pada suhu yang terlalu tinggi dapat merusak komposisi kimia dan unsur penting yang dikandung rumput laut, sedangkan suhu yang rendah akan memerlukan waktu yang lama sehingga kemungkinan akan terjadi reaksi mailard (browning). Selanjutnya tahap penepungan (penggilingan). Alat penepung yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penepung modifikasi selanjutnya dihaluskan dengan blender kering. Tahap terakhir yaitu pengayakan dengan saringan berukuran 48 dan dimasukkan dalam wadah tertutup selanjutnya dianalisis sifat fisiko-kimianya. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii, Glacilaria sp, dan Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 13.. Analisis yang dilakukan pada masing-masing jenis tepung rumput laut yaitu analisis Rendemen, ph, viskositas, kelarutan, titik jendal, titik leleh, kadar air, kadar abu, kadar protein, karbohidrat, kandungan serat pangan (serat pangan larut /SDF, serat pangan tak larut /IDF dan total serat pangan/tdf), iodium dan organoleptik (score sheet) meliputi kenampakan, bau dan tekstur. 49

12 TRL Eucheuma cottonii TRL Glacilaria sp TRL Sargassum sp Gambar 13. Tiga Jenis Tepung Rumput Laut Rendemen Rendemen merupakan prosentase antara produk akhir (tepung rumput laut) dengan produk awal (rumput laut hasil perendaman). Untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk, salah satu parameter yang dapat digunakan adalah rendemen. Semakin tinggi rendeman suatu produk maka nilai ekonomisnya akan meningkat. Gambar 14 menyajikan rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini. Salah satu tahap yang menentukan dalam pengolahan tepung rumput laut adalah pada proses penepungan. Proses penepungan memerlukan mesin penepung yang mampu menggerus (menghaluskan) thallus kering rumput laut. Kandungan serat yang tinggi dan kadar air yang rendah menyebabkan thallus sangat liat dan sukar dihancurkan. Kendala yang dihadapi pada penelitian ini yaitu peralatan penepungan yang kurang memadai. Proses penepungan dilanjutkan dengan alat 50

13 blender kering tetapi tidak dapat mencapai hasil yang maksimal karena tidak semua rumput laut kering habis dihancurkan. Hal ini karena pemblenderan yang berulang-ulang dapat merusak komposisi kimia dari tepung rumput laut. Menurut Voigt (1995), pemilihan jenis peralatan penghalus atau penggilingan tergantung dari jumlah material dan sifat-sifat fisiknya (kekerasan, elastisitas, kerapuhan, lengket dan sebagainya), ukuran awal dari bahan yang digiling serta ukuran produk yang diinginkan. Rendemen (%) 8,6 8,4 8,2 8 7,8 7,6 7,4 7,2 7 6,8 6,6 6,4 8,01 8,33 7,94 8,12 7,14 7,94 Eucheuma Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 14. Rendemen Tepung Rumput Laut (%). Berdasarkan data yang dihasilkan, analisis ragam yang dilakukan menyatakan untuk rendemen tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 14). Hasil terbaik adalah pada perlakuan suhu 70 o C dengan rendemen sebesar 8,33 % sedangkan pada suhu pengeringan 50 o C adalah 8,01 %. Analisis terhadap rendemen tepung rumput laut Glacilaria sp menyatakan tidak berbeda nyata (Lampiran 15), sedangkan untuk rendemen tepung rumput laut Sargassum sp berbeda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaik yaitu 70 o C dengan hasil rendemen sebanyak 7,94 % (Lampiran 16) ph Pengukuran nilai ph 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini adalah antara 6,45 sampai 7,74 (Gambar 15). Menurut Gaman dan Sherrington (1992), 51

14 jika konsentrasi ion hydrogen bertambah maka ph nya akan turun. Pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dapat dikontrol dengan cara menurunkan ph pangan. ph juga dapat digunakan sebagai indikator perubahan warna pada bahan pangan. 8 7,5 7,11 7,13 7,57 7,74 7,22 ph 7 6,5 6,45 6 5,5 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 οc Suhu 70 oc Gambar 15. ph Tepung Rumput Laut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap ph tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 17 dan 18), tetapi berbeda nyata terhadap ph tepung rumput laut Sargassum sp (Lampiran 19). Berdasarkan tingkat keasaman, ketiga jenis tepung rumput laut ini termasuk pada pangan berasam rendah (ph > 4,5) Viskositas Viskositas adalah pengukuran daya tahan/hambatan suatu larutan untuk mengalir. Meskipun molekul-molekul dalam larutan berada dalam pergerakan acak yang konstan, tetapi kecepatannya pada arah tertentu bernilai nol, kecuali jika diberikan suatu gaya yang menyebabkan suatu larutan dapat mengalir. Gaya yang cukup besar yang diperlukan untuk dapat membuat suatu larutan mengalir pada kecepatan tertentu berhubungan dengan viskositas suatu larutan. Aliran terjadi pada saat molekul suatu larutan saling menyalip satu sama lain dengan kecepatan tertentu serta pada bidang tertentu pula (Toledo, 1991). Uji viskositas dilakukan pada konsentrasi tepung 5 % dan suhu 50 o C, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini. 52

15 Tabel 18. Viskositas Tepung Rumput Laut (centipoises) pada konsentrasi 5 % suhu 50 o C Tepung rumput laut Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C Eucheuma cottonii 5080, ,40 Glacilaria sp 18,58 20,89 Sargassum sp 0,997 3,42 Berdasarkan data hasil penelitian, analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk viskositas tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan. Hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan perlakuan yang terbaik adalah pengeringan pada suhu 50 o C, dengan nilai viskositas 5080,36 cps (Lampiran 20). Eucheuma cottonii adalah salah satu jenis algae merah yang menghasilkan karagenan. Viskositas karagenen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik perlakuan, serta tipe dan berat molekul karagenan. Viskositas larutan karagenan akan menurun dengan adanya peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan. Untuk menghindari terjadinya degradasi karagenan akibat pemanasan, maka diusahakan agar polimer hidrokoloid lebih stabil dengan cara pengaturan ph (Towle, 1973). Menurut Guiseley et.al. (1980) untuk menghindari terjadinya degradsi maka pemanasan dapat dilakukan pada atau mendekati kondisi yang mempunyai kestabilan optimum yaitu pada ph 9. Pada penelitian ini nilai viskositas tepung dengan suhu pengeringan 70 o C lebih rendah daripada viskositas tepung yang dikeringkan pada suhu 50 o C. Hal ini kemungkinan disebabkan perlakuan suhu pengeringan yang berbeda dan ph tepung yang dihasilkan. ph tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 70 o C adalah 6,45 sedangkan pada suhu 50 o C adalah 7,11, sehingga adanya perbedaan nilai viskositas kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kadar air dan ph tepung. Analisis ragam terhadap viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 21). Glacilaria sp disebut juga sebagai agarose karena merupakan algae penghasil agar-agar. Menurut Furia (1980) dalam Suwandi et.al. (2002), besarnya viskositas larutan agar-agar bervariasi menurut suhu dan ph, tetapi 53

16 mendekati konstan pada selang ph 4,5 sampai 9,0. Winarno (1990) menambahkan bahwa dalam kisaran ph tersebut, larutan dengan konsentrasi 1 % dan 5 % pada suhu 45 o C mempunyai viskositas antara 2 10 centipoise. Viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp pada penelitian ini adalah 18,58 dan 20,89 cps pada suhu 50 o C dan 70 o C. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya asal bahan baku yang berbeda, umur panen, maupun alat uji yang digunakan. Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap viskositasnya. Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan 70 o C yaitu 3,42 cps (Lampiran 22). Tepung ini berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung rumput laut Sargassum sp yang dikeringkan pada suhu 70 o C membentuk larutan yang lebih homogen daripada tepung yang dikeringkan pada suhu 50 o C. Tepung yang dikeringkan pada suhu 50 o C, tidak membentuk larutan homogen, ada 2 lapisan yang terbentuk yaitu cairan yang berwarna coklat dan endapan tepung hal ini terlihat dari rendahnya nilai viskositasnya. Tepung rumput laut Sargassum sp berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung Sargassum sp tidak menghasilkan larutan yang homogen dan mengental pada konsentrasi 5 % suhu 50 oc. Kekentalan dan kemampuan tepung rumput laut membentuk larutan yang homogen akan mempengaruhi produk lanjutan yang akan diproduksi, misalnya minuman berserat. Hal ini karena diharapkan tepung rumput laut akan larut sempurna dalam air Titik Jendal dan Titik Leleh. Titik jendal dan titik leleh yang diamati pada penelitian ini untuk mengetahui kemampuan pembentukan gel tepung rumput laut. Menurut Gliksman (1969), proses pembentukan gel bersifat reversible, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan. Fardiaz (1989) menyatakan pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobolisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. 54

17 Uji titik jendal dan titik leleh yang dilakukan terhadap 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 50 o C dan 70 o C, memberikan hasil yaitu hanya tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dapat membentuk gel. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 50 o C memiliki titik jendal 34 o C dan titik leleh 75 o C. Sedangkan Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 o C memiliki titik jendal 32 o C dan titik leleh 70 o C. Semakin tinggi titik jendal maka semakin tinggi pula titik lelehnya. Eucheuma cottonii adalah rumput laut penghasil karagenan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang tinggi. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hydrocolloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya (Fardiaz, 1989). Pembentukan gel ini terjadi diperkirakan karena terbentuknya struktur doble helix. Pada saat larutan dalam keadaan panas, rantai polimer membentuk formasi koil secara acak. Pada saat pendinginan, formasi berubah menjadi doble helix membentuk ikatan silang seperti jala atau jaring secara kontinyu. Pada pendinginan selanjutnya polimer saling berikatan membentuk gel yang kuat. Berbeda dengan tepung rumput laut Eucheuma cottonii, tepung rumput laut Glacilaria sp tidak dapat menjendal tetapi membentuk larutan kental yang homogen, walaupun hasil ekstraksi dari Glacilaria adalah agarosa yang merupakan senyawa hydrocolloid dengan kemampuan membentuk gel yang tinggi. Tidak terbentuknya gel pada tepung rumput laut Glacilaria sp kemungkinan suhu pemanasan yang kurang, sehingga tidak terbentuk formasi koil acak yang akan membentuk struktur doble helix yang mengikat rantai molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel setelah pendinginan. Tepung rumput laut Sargassum sp juga tidak dapat membentuk gel sehingga tidak dihasilkan titik jendal dan titik leleh. Butir butir tepung rumput laut terlihat terpisah dengan air sehingga larutan tidak homogen. Warna tepung rumput laut terhidrolisis dalam air sehingga larutan berwarna coklat seperti warna tepungnya Kelarutan Data hasil pengukuran kelarutan 3 jenis tepung rumput laut disajikan pada Gambar

18 Kelarutan (%) ,6 36,8 26,96 18,01 18,21 15,03 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 16. Kelarutan Tepung Rumput Laut (%). Berdasarkan data tersebut, kelarutan yang paling tinggi ada pada tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 o C yaitu 36,8 % dan paling rendah adalah tepung rumput laut Glacilaria sp pada pengeringan 50 o C yaitu 15,03 %. Menurut Vogel (1978) kelarutan adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya. Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya, serta sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran tersebut. Muchtadi et.al. (1993) menyatakan pelarut yang baik adalah air. Air melarutkan berbagai senyawa organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino yang cenderung berionisasi oleh interaksinya dengan air. Hasil analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Eucheuma cottonii menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata terhadap suhu pengeringan. Dari hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan bahwa perlakuan pengeringan pada suhu 70 o C adalah yang terbaik nilai kelarutannya (Lampiran 23). Demikian juga untuk kelarutan tepung rumput laut Glacilaria sp, analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (Lampiran 24). Perlakuan suhu pengeringan 70 o C adalah yang terbaik nilai kelarutannya dibanding nilai perlakuan pengeringan pada suhu 50 o C. Analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Sargassum sp juga menyatakan perbedaan yang sangat nyata. Tepung dengan suhu pengeringan 50 o C memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi (Lampiran 25). 56

19 Menurut Suardi (2002), kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida khususnya polisakarida bukan pati dari bahan maka semakin rendah kelarutannya dalam air dan sebaliknya. Hal ini karena polisakarida bukan pati sulit mengalami hidrolisis dalam air. Bahan makanan yang memiliki kelarutan tinggi akan memiliki kecernaan yang tinggi pula Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1997). Jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii dengan suhu pengeringan 50 o C memiliki kadar air tertinggi, sedangkan kadar air terendah ada pada jenis tepung rumput laut Sargassum sp pada suhu pengeringan 50 o C. Hasil pengamatan kadar air 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu berbeda disajikan pada Gambar 17. Kadar Air (%) 13, , , ,5 10 9,5 12,88 12,34 11,72 11,9 10,82 11,65 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 17. Kadar Air Tepung Rumput Laut (%). Berdasarkan analisis sidik ragam, suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 26 dan 27). Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda sangat nyata terhadap kadar 57

20 airnya (Lampiran 28), tepung dengan suhu pengeringan 70 o C memiliki kadar air yang lebih tinggi. Kandungan air dalam tepung rumput laut berpengaruh terhadap daya simpannya. Semakin tinggi kandungan air tepung rumput laut maka akan semakin mudah terserang mikroba selama penyimpanan. Menurut SNI untuk produk Agar-agar tepung, syarat mutu kadar air maksimal adalah 17 %. Sedangkan SNI untuk produk tapioka, menyatakan bahwa syarat kadar air yang harus dipenuhi untuk semua tingkat mutu (I, II, III) adalah maksimal 15 % dan untuk tepung terigu kadar air maksimal yang ditetapkan adalah 12 %. Kadar air ke 3 jenis tepung rumput laut yang didapatkan pada penelitian ini berada pada kisaran 10,82 % sampai 12,88 %, artinya tidak melebihi persyaratan mutu kadar air komoditas agar-agar tepung dan tepung tapioka yang sudah ditetapkan walaupun masih diatas kadar air tepung terigu Kadar Abu Kadar abu ke 3 jenis tepung rumput laut dapat dilihat pada Gambar 18. Kadar abu tertinggi ada pada tepung rumput laut Sargassum sp dengan suhu pengeringan 50 o C (15,83 %). Sedangkan tepung rumput laut dengan kadar abu terendah adalah Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 o C (5,7 %). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29, 30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah, hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan. 58

21 Kadar Abu (%) ,18 14,27 6,32 5,7 15,83 15,58 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 18. Kadar Abu Tepung Rumput Laut (%). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29, 30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah, hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan Kadar Protein Kandungan protein setiap rumput laut berbeda, tergantung jenis dan daerah tumbuhnya. Beberapa rumput laut dengan jenis yang sama juga kadang berbeda kandungan proteinnya. Hal ini disebabkan keadaan perairan tempat tumbuhnya dan bibit rumput laut yang ditanam. Beberapa penelitian menyatakan bahwa rumput laut memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, namun masih belum jelas mengenai daya larut dan daya cerna kandungan nitrogen tersebut. Kisaran kadar protein yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 3,13 % 10,51 % (Gambar 19). 59

22 12 10, ,9 8,8 8,85 Kadar Protein (%) ,39 3,13 0 E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 19. Kadar Protein Tepung Rumput Laut (%). Kadar protein tepung rumput laut jenis Eucheuma cottonii pada suhu pengeringan 50 o C dan 70 o C berturut-turut adalah 3,39 % dan 3,13 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar protein tidak beda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 32). Kadar protein yang dihasilkan pada penelitian ini lebih kecil dibanding hasil yang dilaporkan oleh beberapa peneliti. Hal ini disebabkan penggunaan bahan baku yang berbeda. Penelitian sebelumnya menggunakan bahan baku segar yang baru dipanen sedangkan pada penelitian ini digunakan bahan baku yang sudah mengalami proses pemucatan dan perendaman. Selama proses perendaman, kemungkinan terjadi hidrolisa protein yang larut air sehingga akan menurunkan kandungan proteinnya. Tepung rumput laut jenis Glacilaria sp memiliki kadar protein 10,51 % pada suhu pengeringan 50 o C dan 8,9 % pada suhu pengeringan 70 o C. Analisis ragam dengan selang kepercayaan 95 % menunjukkan hasil berbeda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Tepung dengan suhu pengeringan 50 o C mempunyai nilai yang lebih tinggi (Lampiran 33). Desrosier dan Desrosier (1977) dan Winarno (1997) menyatakan protein dapat terdenaturasi oleh proses pemanasan sehingga akan merubah susunan molekulnya, hal ini dapat menurunkan kandungan proteinnya. Hal ini sejalan dengan kadar air tepung rumput laut Glacilaria sp yang dikeringkan pada suhu 50 o C yang lebih rendah dari kadar air tepung rumput laut Glacilaria sp pada suhu pengeringan 70 o C. 60

23 Desrosier dan Desrosier (1977) menyebutkan bahan pangan yang mengalami pengeringan akan kehilangan air, hal ini dapat menyebabkan naiknya kadar protein. Kadar protein tepung rumput laut jenis Sargassum sp pada suhu pengeringan yang berbeda yaitu 8,80 % dan 8,85 %. Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan tidak berbeda antara ke 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 34). Penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al (1997), menyatakan bahwa pengeringan Sargassum hemiphyllum dengan oven bersuhu 60 o C mempunyai kadar protein 9,76 % dan kadar air 7,60%. Sedangkan Primahartini (2005) melaporkan kadar protein tepung rumput laut Sargassum sp yang dipanen dari Lampung Selatan adalah 5,77 % dan kadar air 15,59 %. Perbedaan ini disebabkan sumber bahan baku dan perlakuan yang diberikan berbeda sehingga hasil yang didapat juga berbeda Kadar Karbohidrat Kisaran nilai kadar karbohidrat yang didapat pada penelitian ini adalah 64,21% - 73,78% (Gambar 20). Winarno (1990) menyebutkan komponen utama dari rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat, akan tetapi karena kandungan karbohidrat sebagian besar terdiri dari senyawa gumi, maka hanya sebagian kecil saja dari kandungan karbohidrat tersebut yang dapat diserap dalam pencernaan manusia. Kadar Karbohidrat (%) ,25 68,16 73,67 73,78 64,21 67,2 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 20. Kadar Karbohidrat Tepung Rumput Laut (%). 61

24 Analisis ragam yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar karbohidrat untuk tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilara sp tidak beda nyata (Lampiran 35 dan 36). Artinya perlakuan suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar karbohidrat tepung. Untuk tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan beda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 37), tepung dengan suhu pengeringan 50 o C memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi Kadar Serat Pangan Serat pangan merupakan senyawa yang inert secara gizi, hal ini didasarkan bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil fermentasinya tidak dapat digunakan oleh tubuh dan dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Serat pangan merupakan salah satu komponen penyusun karbohidrat dimana pada rumput laut komponen terbesar dari karbohidrat adalah senyawa gumi (komponen serat pangan). Hasil analisa kadar serat pangan total 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini berada pada kisaran 81,75-84,88 %. Kadar serat pangan larut antara 24,99-75, 18 %. Kadar serat pangan tidak larut antara 9,70-57,62 %. Hasil analisa selengkapnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Kadar Serat Pangan Larut (SDF), Kadar Serat Pangan Tak Larut (IDF) dan Kadar Serat Pangan Total (TDF) dari Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp pada suhu pengeringan yang 50 o C dan 70 o C Jenis Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C TRL SDF(%) IDF (%) TDF(%) SDF(%) IDF(%) TDF(%) E. cottonii 75,18 9,70 84,88 72,19 11,23 83,42 Glacilaria sp 60,86 22,48 83,34 62,95 20,67 83,62 Sargassum sp 25,89 55,86 81,75 24,99 57,62 82,61 Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menyatakan bahwa untuk jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii, perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar serat pangan tidak larut. Nilai yang lebih tinggi ada pada perlakuan suhu pengeringan 70 o C yaitu 11,23 % (Lampiran 38). 62

25 Sedangkan untuk kadar serat pangan larut dan serat pangan total tidak berbeda nyata pada 2 suhu pengeringan (Lampiran 39 dan 40). Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan hasil bahwa kadar serat pangan tidak larut berbeda nyata terhadap 2 suhu pengeringan, tetapi tidak berbeda nyata pada kadar serat pangan larut dan serat pangan total (Lampiran 41, 42 dan 43). Tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp, yang termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae), mempunyai kadar serat pangan larut (SDF) lebih tinggi dari pada kadar serat pangan tak larutnya (IDF). Anonymous c (2000) menyatakan bahwa jenis rumput laut merah dan hijau mengandung kadar serat pangan larut (SDF) sebesar 51 % - 56 % dari kadar serat pangan total. Lahaye (1991) melaporkan bahwa kadar serat dari beberapa rumput laut berkisar antara % (bk) dan sebagian besar seratnya terdiri dari serat pangan larut, yaitu %. Akan tetapi kandungan serat pangan ini sangat tergantung dari species dan tempat hidup dari rumput laut tersebut. Pada penelitian ini kandungan serat pangan larut tepung rumput laut Eucheuma cottonii pada suhu pengeringan 50 o C dan 70 o C berturut-turut adalah 86,53 % dan 88,57 % dari kadar serat pangan total. Sedangkan tepung rumput laut Glacilaria sp, kandungan serat pangan larutnya yaitu 73,03 % dan 75,24 % dari kadar serat pangan total. Artinya kandungan serat pangan larut tepung rumput laut jenis alga merah yang ada di Kepulauan Seribu cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber serat yang potensial. Penelitian yang dilakukan Goni et.al., (2000) menyatakan bahwa Nori algae (rumput laut jenis alga merah) yang mengandung serat pangan larut yang tinggi kemungkinan dapat mengubah respon glycemic pada kesehatan, dimana roti yang ditambahkan Nori alga memberikan hasil yang lebih baik daripada roti tanpa Nori alga. Sedangkan Escrig dan Muniz (2000) dan Herpandi (2005) menyatakan bahwa serat rumput laut terutama serat pangan larut mempunyai efek hipokolesterolemik, dimana semakin tinggi akan semakin baik dan telah terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah dibanding sumber serat lainnya. Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap kadar serat pangan larut, serat pangan tidak 63

26 larut dan serat pangan total (Lampiran 44, 45 dan 46). Artinya perbedaan suhu pengeringan tidak mempengaruhi kandungan serat pada tepung rumput laut Sargassum sp. Berbeda dengan tepung rumput laut dari alga merah, jenis tepung rumput laut coklat (Phaeophyceae) yaitu Sargassum sp, mempunyai kadar serat pangan larut (SDF) yang lebih rendah daripada kadar serat pangan tak larutnya (IDF). Jika dilihat dari kandungan serat pangan bahan baku hasil perendaman, terjadi kenaikan pada kadar serat pangan tak larutnya, hal ini kemungkinan terjadi karena total padatan menjadi lebih tinggi akibat penguraian pati menjadi serat pangan tak larut. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al (1997), yaitu menghasilkan tepung Sargassum hemiphyllum dengan kadar serat pangan larut yang lebih rendah (9,91 %) daripada kadar serat pangan tak larutnya (45,0 %), yang dikeringkan di oven bersuhu 60 o C Iodium Salah satu trace element yang penting pada rumput laut adalah iodium. Kandungan iodium tumbuhan laut berkisar antara 0,7 4,5 g/kg. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, kandungan iodium rumput laut sekitar sampai kali lebih banyak (Rai, 1996). Kebutuhan iodium dipengaruhi oleh pertumbuhan, berat tubuh, jenis kelamin, usia, gizi, iklim dan penyakit. Kecukupan iodium perhari untuk anak umur 0-12 tahun adalah ug/hari, untuk laki-laki dan perempuan umur tahun ke atas adalah 150 ug/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui mendapat tambahan 50 ug/hari (AKG, 2004). Pada penelitian ini, kadar iodium berada pada kisaran 4,55 11,27 ug/g, data lengkap tersaji pada Gambar 21. Jika setiap 1 gram tepung rumput laut mengandung iodium sebesar 4,55 11,27 ug, maka diasumsikan setiap 1 gram tepung rumput laut akan menyumbang iodium untuk kebutuhan tubuh sebesar % untuk anak umur 0 12 tahun dan 3 7 % untuk perempuan dan laki-laki umur tahun. Sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui sekitar 2 5 % dari kebutuhan tubuh akan iodium menurut Angka Kebutuhan Gizi.. Analisis ragam menunjukkan hasil bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap kadar iodium ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 47, 48, 49). 64

27 Dari hasil pengamatan, data menunjukkan suhu pengeringan 70 o C memiliki kadar iodium yang lebih tinggi pada ketiga jenis tepung tersebut. Hal ini disebabkan waktu pengeringan yang berbeda. Pengeringan dengan suhu 70 o C memerlukan waktu yang lebih pendek daripada suhu 50 o C, sehingga walaupun suhu pengeringan lebih tinggi tetapi penurunan kadar iodium lebih kecil. Kadar Iodium (ug/g) ,01 6,79 9,84 11,27 4,55 4,77 0 E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 C Suhu 70 C Gambar 21. Kadar Iodium Tepung Rumput Laut (ug/g). Jika dibandingkan dengan kadar iodium bahan baku hasil perendaman terdapat penurunan kadar iodium pada ketiga jenis tepung rumput laut tersebut. Hal ini terjadi karena pelakuan yang diberikan selama pengolahan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kehilangan iodium diantaranya adalah tingkat keasaman, air dan pemanasan. Penelitian yang dilakukan Magdalena (1996) menyatakan semakin meningkatnya tingkat keasaman, suhu dan waktu pemasakan, kecenderungan tingkat kehilangan iodium pada sayur matang akan semakin meningkat. Selama penelitian ini, pemanasan yang diberikan selama pengeringan berkisar antara 50 o C dan 70 o C, tetapi selama proses penepungan terjadi juga proses pemanasan akibat mesin penepung sehingga terjadi penurunan kadar iodium yang cukup besar. 65

28 Organoleptik Penilaian organoleptik merupakan salah satu ukuran penerimaan atau standar kelayakan suatu produk. Berdasarkan uraian (deskripsi) terhadap kenampakan, bau dan tekstur tepung rumput laut dari 3 jenis rumput laut, maka disusun satu lembar penilaian (score sheet) untuk masing-masing jenis tepung rumput laut. Lembar penilaian ini akan menjadi acuan dalam penilaian tepung rumput laut (Lampiran 50, 51, 52). Angka (score) yang terdapat pada lembar penilaian adalah 1 sampai 9. Penilaian dilakukan oleh 20 orang panelis. a. Kenampakan Kenampakan suatu produk akan menentukan ketertarikan konsumen terhadap produk tersebut. Penilaian kenampakan meliputi warna dan kondisi tepung. Winarno (1997) menyatakan bahwa penilaian suatu produk didahului secara visual oleh warna produk. Melalui sifat warna, panelis dapat memberikan penilaian baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis makanan. Makanan dengan kualitas yang baik belum tentu disukai jika memiliki warna yang tidak disukai. Penilaian panelis terhadap kenampakan tepung Eucheuma cottonii bervariasi antara nilai 6 sampai 8. Rata-rata nilai kenampakan dan deskripsi pada lembar penilaian dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap kenampakan tepung (Lampiran 53). Suhu pengeringan 70 o C memberikan kenampakan yang lebih baik daripada suhu pengeringan 50 o C. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pengeringan yang lebih singkat pada suhu 70 o C sehingga tidak terjadi proses pemanasan yang terlalu lama, dimana dapat menyebabkan warna agak krem. Untuk tepung rumput laut Glacilaria sp, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kenampakannya (Lampiran 54). Walaupun tidak berbeda antara 2 perlakuan suhu tetapi pada lembar penilaian tepung dengan suhu pengeringan 50 o C nilainya 6 (pembulatan ke bawah) dan tepung dengan suhu pengeringan 70 o C nilainya 7 (pembulatan ke atas) seperti terlihat pada Tabel 19. Artinya tepung rumput laut Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 o C memiliki yang nilai lebih tinggi. 66

29 Nilai kenampakan tepung rumput laut Sargassum sp berada pada kisaran 5 sampai 7, nilai rata-rata yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap kenampakannya. Pada lembar penilaian tepung ini masuk dalam nilai 6 tetapi tepung dengan suhu pengeringan 70 o C memiliki kenampakan yang lebih baik (Lampiran 55). Tabel 20. Nilai rata-rata Uji Kenampakan Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu pengeringan E. cottonii 50 o C Nilai 6,4 Deskripsi Bersih, putih krem, ada butir hitam, agak kusam Glacilaria sp 70 o C 50 o C 7,2 6,3 Bersih, agak putih, ada sedikit butir hitam, agak cemerlang Bersih, kehijauan, agak kusam Sargassum sp 70 o C 50 o C 6,6 6,2 Bersih, krem kehijauan, agak cemerlang Bersih, coklat tua, agak kusam 70 o C 6,4 Bersih, coklat agak buram, agak cemerlang b. Bau Uji bau suatu produk sangat berkaitan dengan indera penghidu, karena indera penghidu sangat sensitif terhadap bau (aroma). Bau tepung rumput laut ikut menentukan kesukaan konsumen terhadap produk yang akan dihasilkan. Bau amis yang merupakan bau khas tumbuhan laut merupakan salah satu kendala dalam pengolahan produk lanjutan. Hasil uji terhadap bau 3 jenis tepung rumput laut berkisar pada nilai 5 sampai 7. Nilai rata-rata uji bau untuk ke 3 jenis tepung rumput laut disajikan pada Tabel 21. Hasil analisis ragam menyatakan bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap bau ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 56, 57, 58). Pada lembar penilaian, Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp memiliki nilai 6 (pembulatan) sedangkan Sargassum sp memiliki nilai 5 (pembulatan). 67

30 Tabel 21. Nilai rata-rata Uji Bau Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu Nilai Deskripsi pengeringan E. cottonii 50 o C 6,2 Bau sedikit agak amis 70 o C 6,2 Bau sedikit agak amis Glacilaria sp 50 o C 5,6 Bau sedikit agak amis 70 o C 5,7 Bau sedikit agak amis Sargassum sp 50 o C 5,4 Bau amis cukup dominant 70 o C 5,4 Bau amis cukup dominant c. Tekstur Butiran rumput laut kering sangat liat dan keras, hal ini kemungkinan karena kandungan seratnya yang tinggi. Oleh karena itu proses penepungan sangat menentukan kehalusan tepung rumput laut yang dihasilkan. Kehalusan tepung ikut menentukan tekstur tepung rumput laut, semakin halus maka tekstur akan semakin lembut. Kehalusan tekstur untuk produk minuman akan menentukan daya larutnya. Pada penelitian ini tepung rumput laut lolos pada saringan ukuran 48. Nilai uji tekstur berada pada kisaran 6 sampai 8. Nilai rata-rata uji tekstur dapat dilihat pada Tabel 22. Analisis ragam terhadap tekstur 3 jenis tepung rumput laut menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Artinya suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap tekstur tepung rumput laut (Lampiran 59, 60,61). 68

31 Tabel 22. Nilai rata-rata Uji Tekstur Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu Nilai Deskripsi pengeringan E. cottonii 50 o C 7,5 Halus, agak lembut 70 o C 7,6 Halus, agak lembut Glacilaria sp 50 o C 6,4 Agak kasar, butiran terasa 70 o C 6,5 Agak halus Sargassum sp 50 o C 6,3 Agak kasar, butiran terasa 70 o C 6,5 Agak halus 4.3. Tepung Rumput Laut Rumput laut, kualitasnya di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, musim, kadar garam, gerakan air dan zat hara. Cahaya, suhu, ph dan unsur hara akan berpengaruh terhadap berlangsungnya fotosintesa. Fotosintesa merupakan proses perubahan zat anorganik menjadi zat organik, sehingga faktor-faktor tersebut di atas secara tidak langsung akan menentukan kandungan protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat rumput laut (Kadi et al. 1988). Menurut Winarno (1990), komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada spesies, tempat tumbuh dan musim. Vegetable gum yang dikandungnya merupakan senyawa karbohidrat yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim dalam tubuh, sehingga dapat menjadi makanan diet dengan sedikit kalori. Kandungan serat dan iodium pada rumput laut, merupakan senyawa penting yang diharapkan manfaatnya. Beberapa peneliti telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit diantaranya kanker usus besar, penyakit kardiovaskuler dan kegemukan (obesitas). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan suhu pengeringan yang berbeda terhadap 3 jenis tepung rumput laut yaitu Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp, secara umum tidak terlalu berpengaruh terhadap kandungan gizi rumput laut terutama kadar seratnya. Kadar serat larut pada tepung rumput 69

32 laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp lebih tinggi daripada serat tak larutnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lahaye (1991), maka kadar serat larut rumput laut yang ada di Kepulauan Seribu ini cukup tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai sumber serat yang dibutuhkan oleh tubuh. Besarnya peranan serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk ini semakin banyak dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai pencampur berbagai jenis makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh (Le Marie, 1985). Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang sangat luas penggunaannya baik langsung maupun berupa makanan dan minuman olahan. Berbagai cara pengolahan telah dilakukan untuk memanfaatkan tepung rumput laut ini, diantaranya adalah dengan mengolah menjadi makanan kering (crakers), makanan semi basah (dodol, selai), maupun jajanan pasar (kue putu, donat, cente manis). Beberapa industri rumah tangga telah berhasil mengolah dan memasarkan produk yang terbuat dari rumput laut ini. Rasa yang enak dan mudah cara mengolahnya merupakan hal yang menguntungkan. Untuk jenis rumput laut Glacilaria sp, pada umumnya dilakukan ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan agar, baik berbentuk batangan, lembaran (agar kertas) ataupun bubuk. Pemanfaatan secara langsung atau olahan berbentuk makanan atau minuman jarang dilakukan. Pemanfaatan rumput laut jenis Sargassum sp, biasanya dilakukan sebagai bahan tambahan makanan jajanan (kue) atau diekstrak untuk menghasilkan alginat yang luas penggunaannya. Penelitian yang dilakukan Darmawan et.al. (2004) terhadap kandungan omega 3 dan iodium tepung Sargassum sp menyebutkan pada konsentrasi 5 % berpengaruh nyata terhadap kadar iodium kue keik dan pada konsentrasi 2 % berpengaruh nyata terhadap kadar omega 3 kue keik. Pengolahan lanjutan dari tepung rumput laut pada penelitian ini adalah untuk minuman berserat. Kandungan serat pangan yang tinggi terutama serat pangan larut, diharapkan dapat menjadi sumber serat pada minuman ini. Selain kandungan serat dan iodium, penilaian organoleptik sangat menentukan dalam pemilihan jenis tepung yang akan digunakan. Kondisi tepung yang akan digunakan diharapkan memiliki kriteria warna putih cemerlang, tidak berbau, dan tekstur halus. Tepung yang berwarna putih akan mudah dalam pengolahan warna yang diinginkan. Warna yang diberikan akan terserap sempurna. Warna akan 70

33 menambah daya tarik dan kesukaan konsumen terhadap produk minuman ini. Bau (aroma) suatu produk, baik makanan dan minuman akan mempengaruhi minat/kesukaan konsumen. Bau yang diharapkan pada tepung rumput laut ini adalah netral, dengan demikian tidak akan tercium bau amis yang dapat mengganggu selera. Tekstur tepung pada penelitian ini berada pada kondisi yang halus sedang. Tekstur yang sangat halus dan lembut akan memudahkan dalam penggunaan. Pada penelitian ini, ke 3 jenis tepung rumput laut memiliki kehalusan yang berbeda walaupun lolos pada saringan yang sama. Hal ini karena kondisi thallus pada masing-masing rumput laut berbeda dan mesin penepung yang digunakan tidak bekerja maksimal. Berdasarkan analisa yang dilakukan, baik sifat fisik-kimia, maka jenis tepung rumput laut yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya adalah Eucheuma cottonii dengan perlakuan suhu pengeringan 70 o C dan Glacilaria sp dengan perlakuan pengeringan 70 o C. Dengan demikian diharapkan sumber serat akan terpenuhi dari tepung rumput laut Eucheuma cottonii sedangkan kandungan iodium diharapkan terpenuhi dari tepung rumput laut Glacilaria sp. Data hasil pengamatan masing-masing jenis tepung rumput laut selengkapnya disajikan pada Tabel 23, 24 dan

34 Tabel 23. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii Komponen Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C Rendemen (% ) 8,01 8,33 Ph 7,11 6,45 Titik jendal ( o C) Titik leleh ( o C) Viskositas (cps) 5080, ,40 Kelarutan (%) 27,6 36,8 Kadar air (%) 12,88 12,34 Kadar abu (%) 14,18 14,27 Kadar protein (%) 3,39 3,13 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%) 68,25 75,18 9,70 84,88 68,16 72,19 11,23 83,42 Iodium (ug/g) 6,01 6,79 Tabel 24. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Glacilaria sp Komponen Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C Rendemen (% ) 7,94 8,12 ph 7,13 7,57 Titik jendal ( o C) - - Titik leleh ( o C) - - Viskositas (cps) 18,58 20,89 Kelarutan (%) 15,03 18,01 Kadar air (%) 11,72 11,90 Kadar abu (%) 6,32 5,70 Kadar protein (%) 10,51 8,9 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%) 73,67 60,68 22,48 83,34 73,78 62,95 20,67 83,62 Iodium (ug/g) 9,84 11,27 72

35 Tabel 25. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Sargassum sp Komponen Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C Rendemen (% ) 7,14 7,94 ph 7,74 7,22 Titik jendal ( o C) - - Titik leleh ( o C) - - Viskositas (cps) 0,997 3,42 Kelarutan (%) 26,96 18,21 Kadar air (%) 10,82 11,65 Kadar abu (%) 15,83 15,58 Kadar protein (%) 8,80 8,85 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%) 64,21 25,89 55,86 81,75 67,2 24,99 57,62 82,61 Iodium (ug/g) 4,55 4,77 73

36 4.2. Sifat fisik-kimia Tepung Rumput Laut Penelitian tahap 2 bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia tepung rumput laut. Masing-masing jenis rumput laut hasil perendaman terbaik selanjutnya diproses menjadi tepung rumput laut. Tahapan yang dilakukan adalah pencucian, perendaman, penghancuran, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Rumput laut Eucheuma cottonii, Sargassum sp, dan Glacilaria sp kering dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan kotoran dan benda asing yang masih menempel pada rumput laut. Selanjutnya direndam dalam media perendam yang terbaik untuk masing-masing jenis rumput laut hasil dari penelitian tahap 1 dan ditirisksn. Tahap berikut adalah penghancuran menggunakan grinder, kemudian pengeringan rumput laut dengan oven. Suhu pengeringan yang diberikan adalah 50 o C dan 70 o C. Selama pengeringan dilakukan pengadukan agar proses pengeringan berlangsung sempurna. Pemilihan suhu pengering didasarkan pada suhu yang terlalu tinggi dapat merusak komposisi kimia dan unsur penting yang dikandung rumput laut, sedangkan suhu yang rendah akan memerlukan waktu yang lama sehingga kemungkinan akan terjadi reaksi mailard (browning). Selanjutnya tahap penepungan (penggilingan). Alat penepung yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penepung modifikasi selanjutnya dihaluskan dengan blender kering. Tahap terakhir yaitu pengayakan dengan saringan berukuran 48 dan dimasukkan dalam wadah tertutup selanjutnya dianalisis sifat fisiko-kimianya. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii, Glacilaria sp, dan Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 13.. Analisis yang dilakukan pada masing-masing jenis tepung rumput laut yaitu analisis Rendemen, ph, viskositas, kelarutan, titik jendal, titik leleh, kadar air, kadar abu, kadar protein, karbohidrat, kandungan serat pangan (serat pangan larut /SDF, serat pangan tak larut /IDF dan total serat pangan/tdf), iodium dan organoleptik (score sheet) meliputi kenampakan, bau dan tekstur. 49

37 TRL Eucheuma cottonii TRL Glacilaria sp TRL Sargassum sp Gambar 13. Tiga Jenis Tepung Rumput Laut Rendemen Rendemen merupakan prosentase antara produk akhir (tepung rumput laut) dengan produk awal (rumput laut hasil perendaman). Untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk, salah satu parameter yang dapat digunakan adalah rendemen. Semakin tinggi rendeman suatu produk maka nilai ekonomisnya akan meningkat. Gambar 14 menyajikan rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini. Salah satu tahap yang menentukan dalam pengolahan tepung rumput laut adalah pada proses penepungan. Proses penepungan memerlukan mesin penepung yang mampu menggerus (menghaluskan) thallus kering rumput laut. Kandungan serat yang tinggi dan kadar air yang rendah menyebabkan thallus sangat liat dan sukar dihancurkan. Kendala yang dihadapi pada penelitian ini yaitu peralatan penepungan yang kurang memadai. Proses penepungan dilanjutkan dengan alat 50

38 blender kering tetapi tidak dapat mencapai hasil yang maksimal karena tidak semua rumput laut kering habis dihancurkan. Hal ini karena pemblenderan yang berulang-ulang dapat merusak komposisi kimia dari tepung rumput laut. Menurut Voigt (1995), pemilihan jenis peralatan penghalus atau penggilingan tergantung dari jumlah material dan sifat-sifat fisiknya (kekerasan, elastisitas, kerapuhan, lengket dan sebagainya), ukuran awal dari bahan yang digiling serta ukuran produk yang diinginkan. Rendemen (%) 8,6 8,4 8,2 8 7,8 7,6 7,4 7,2 7 6,8 6,6 6,4 8,01 8,33 7,94 8,12 7,14 7,94 Eucheuma Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 14. Rendemen Tepung Rumput Laut (%). Berdasarkan data yang dihasilkan, analisis ragam yang dilakukan menyatakan untuk rendemen tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 14). Hasil terbaik adalah pada perlakuan suhu 70 o C dengan rendemen sebesar 8,33 % sedangkan pada suhu pengeringan 50 o C adalah 8,01 %. Analisis terhadap rendemen tepung rumput laut Glacilaria sp menyatakan tidak berbeda nyata (Lampiran 15), sedangkan untuk rendemen tepung rumput laut Sargassum sp berbeda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaik yaitu 70 o C dengan hasil rendemen sebanyak 7,94 % (Lampiran 16) ph Pengukuran nilai ph 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini adalah antara 6,45 sampai 7,74 (Gambar 15). Menurut Gaman dan Sherrington (1992), 51

39 jika konsentrasi ion hydrogen bertambah maka ph nya akan turun. Pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dapat dikontrol dengan cara menurunkan ph pangan. ph juga dapat digunakan sebagai indikator perubahan warna pada bahan pangan. 8 7,5 7,11 7,13 7,57 7,74 7,22 ph 7 6,5 6,45 6 5,5 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 οc Suhu 70 oc Gambar 15. ph Tepung Rumput Laut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap ph tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 17 dan 18), tetapi berbeda nyata terhadap ph tepung rumput laut Sargassum sp (Lampiran 19). Berdasarkan tingkat keasaman, ketiga jenis tepung rumput laut ini termasuk pada pangan berasam rendah (ph > 4,5) Viskositas Viskositas adalah pengukuran daya tahan/hambatan suatu larutan untuk mengalir. Meskipun molekul-molekul dalam larutan berada dalam pergerakan acak yang konstan, tetapi kecepatannya pada arah tertentu bernilai nol, kecuali jika diberikan suatu gaya yang menyebabkan suatu larutan dapat mengalir. Gaya yang cukup besar yang diperlukan untuk dapat membuat suatu larutan mengalir pada kecepatan tertentu berhubungan dengan viskositas suatu larutan. Aliran terjadi pada saat molekul suatu larutan saling menyalip satu sama lain dengan kecepatan tertentu serta pada bidang tertentu pula (Toledo, 1991). Uji viskositas dilakukan pada konsentrasi tepung 5 % dan suhu 50 o C, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini. 52

40 Tabel 18. Viskositas Tepung Rumput Laut (centipoises) pada konsentrasi 5 % suhu 50 o C Tepung rumput laut Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C Eucheuma cottonii 5080, ,40 Glacilaria sp 18,58 20,89 Sargassum sp 0,997 3,42 Berdasarkan data hasil penelitian, analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk viskositas tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan. Hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan perlakuan yang terbaik adalah pengeringan pada suhu 50 o C, dengan nilai viskositas 5080,36 cps (Lampiran 20). Eucheuma cottonii adalah salah satu jenis algae merah yang menghasilkan karagenan. Viskositas karagenen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik perlakuan, serta tipe dan berat molekul karagenan. Viskositas larutan karagenan akan menurun dengan adanya peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan. Untuk menghindari terjadinya degradasi karagenan akibat pemanasan, maka diusahakan agar polimer hidrokoloid lebih stabil dengan cara pengaturan ph (Towle, 1973). Menurut Guiseley et.al. (1980) untuk menghindari terjadinya degradsi maka pemanasan dapat dilakukan pada atau mendekati kondisi yang mempunyai kestabilan optimum yaitu pada ph 9. Pada penelitian ini nilai viskositas tepung dengan suhu pengeringan 70 o C lebih rendah daripada viskositas tepung yang dikeringkan pada suhu 50 o C. Hal ini kemungkinan disebabkan perlakuan suhu pengeringan yang berbeda dan ph tepung yang dihasilkan. ph tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 70 o C adalah 6,45 sedangkan pada suhu 50 o C adalah 7,11, sehingga adanya perbedaan nilai viskositas kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kadar air dan ph tepung. Analisis ragam terhadap viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 21). Glacilaria sp disebut juga sebagai agarose karena merupakan algae penghasil agar-agar. Menurut Furia (1980) dalam Suwandi et.al. (2002), besarnya viskositas larutan agar-agar bervariasi menurut suhu dan ph, tetapi 53

41 mendekati konstan pada selang ph 4,5 sampai 9,0. Winarno (1990) menambahkan bahwa dalam kisaran ph tersebut, larutan dengan konsentrasi 1 % dan 5 % pada suhu 45 o C mempunyai viskositas antara 2 10 centipoise. Viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp pada penelitian ini adalah 18,58 dan 20,89 cps pada suhu 50 o C dan 70 o C. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya asal bahan baku yang berbeda, umur panen, maupun alat uji yang digunakan. Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap viskositasnya. Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan 70 o C yaitu 3,42 cps (Lampiran 22). Tepung ini berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung rumput laut Sargassum sp yang dikeringkan pada suhu 70 o C membentuk larutan yang lebih homogen daripada tepung yang dikeringkan pada suhu 50 o C. Tepung yang dikeringkan pada suhu 50 o C, tidak membentuk larutan homogen, ada 2 lapisan yang terbentuk yaitu cairan yang berwarna coklat dan endapan tepung hal ini terlihat dari rendahnya nilai viskositasnya. Tepung rumput laut Sargassum sp berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung Sargassum sp tidak menghasilkan larutan yang homogen dan mengental pada konsentrasi 5 % suhu 50 oc. Kekentalan dan kemampuan tepung rumput laut membentuk larutan yang homogen akan mempengaruhi produk lanjutan yang akan diproduksi, misalnya minuman berserat. Hal ini karena diharapkan tepung rumput laut akan larut sempurna dalam air Titik Jendal dan Titik Leleh. Titik jendal dan titik leleh yang diamati pada penelitian ini untuk mengetahui kemampuan pembentukan gel tepung rumput laut. Menurut Gliksman (1969), proses pembentukan gel bersifat reversible, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan. Fardiaz (1989) menyatakan pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobolisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. 54

42 Uji titik jendal dan titik leleh yang dilakukan terhadap 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 50 o C dan 70 o C, memberikan hasil yaitu hanya tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dapat membentuk gel. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 50 o C memiliki titik jendal 34 o C dan titik leleh 75 o C. Sedangkan Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 o C memiliki titik jendal 32 o C dan titik leleh 70 o C. Semakin tinggi titik jendal maka semakin tinggi pula titik lelehnya. Eucheuma cottonii adalah rumput laut penghasil karagenan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang tinggi. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hydrocolloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya (Fardiaz, 1989). Pembentukan gel ini terjadi diperkirakan karena terbentuknya struktur doble helix. Pada saat larutan dalam keadaan panas, rantai polimer membentuk formasi koil secara acak. Pada saat pendinginan, formasi berubah menjadi doble helix membentuk ikatan silang seperti jala atau jaring secara kontinyu. Pada pendinginan selanjutnya polimer saling berikatan membentuk gel yang kuat. Berbeda dengan tepung rumput laut Eucheuma cottonii, tepung rumput laut Glacilaria sp tidak dapat menjendal tetapi membentuk larutan kental yang homogen, walaupun hasil ekstraksi dari Glacilaria adalah agarosa yang merupakan senyawa hydrocolloid dengan kemampuan membentuk gel yang tinggi. Tidak terbentuknya gel pada tepung rumput laut Glacilaria sp kemungkinan suhu pemanasan yang kurang, sehingga tidak terbentuk formasi koil acak yang akan membentuk struktur doble helix yang mengikat rantai molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel setelah pendinginan. Tepung rumput laut Sargassum sp juga tidak dapat membentuk gel sehingga tidak dihasilkan titik jendal dan titik leleh. Butir butir tepung rumput laut terlihat terpisah dengan air sehingga larutan tidak homogen. Warna tepung rumput laut terhidrolisis dalam air sehingga larutan berwarna coklat seperti warna tepungnya Kelarutan Data hasil pengukuran kelarutan 3 jenis tepung rumput laut disajikan pada Gambar

43 Kelarutan (%) ,6 36,8 26,96 18,01 18,21 15,03 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 16. Kelarutan Tepung Rumput Laut (%). Berdasarkan data tersebut, kelarutan yang paling tinggi ada pada tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 o C yaitu 36,8 % dan paling rendah adalah tepung rumput laut Glacilaria sp pada pengeringan 50 o C yaitu 15,03 %. Menurut Vogel (1978) kelarutan adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya. Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya, serta sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran tersebut. Muchtadi et.al. (1993) menyatakan pelarut yang baik adalah air. Air melarutkan berbagai senyawa organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino yang cenderung berionisasi oleh interaksinya dengan air. Hasil analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Eucheuma cottonii menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata terhadap suhu pengeringan. Dari hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan bahwa perlakuan pengeringan pada suhu 70 o C adalah yang terbaik nilai kelarutannya (Lampiran 23). Demikian juga untuk kelarutan tepung rumput laut Glacilaria sp, analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (Lampiran 24). Perlakuan suhu pengeringan 70 o C adalah yang terbaik nilai kelarutannya dibanding nilai perlakuan pengeringan pada suhu 50 o C. Analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Sargassum sp juga menyatakan perbedaan yang sangat nyata. Tepung dengan suhu pengeringan 50 o C memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi (Lampiran 25). 56

44 Menurut Suardi (2002), kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida khususnya polisakarida bukan pati dari bahan maka semakin rendah kelarutannya dalam air dan sebaliknya. Hal ini karena polisakarida bukan pati sulit mengalami hidrolisis dalam air. Bahan makanan yang memiliki kelarutan tinggi akan memiliki kecernaan yang tinggi pula Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1997). Jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii dengan suhu pengeringan 50 o C memiliki kadar air tertinggi, sedangkan kadar air terendah ada pada jenis tepung rumput laut Sargassum sp pada suhu pengeringan 50 o C. Hasil pengamatan kadar air 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu berbeda disajikan pada Gambar 17. Kadar Air (%) 13, , , ,5 10 9,5 12,88 12,34 11,72 11,9 10,82 11,65 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 17. Kadar Air Tepung Rumput Laut (%). Berdasarkan analisis sidik ragam, suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 26 dan 27). Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda sangat nyata terhadap kadar 57

45 airnya (Lampiran 28), tepung dengan suhu pengeringan 70 o C memiliki kadar air yang lebih tinggi. Kandungan air dalam tepung rumput laut berpengaruh terhadap daya simpannya. Semakin tinggi kandungan air tepung rumput laut maka akan semakin mudah terserang mikroba selama penyimpanan. Menurut SNI untuk produk Agar-agar tepung, syarat mutu kadar air maksimal adalah 17 %. Sedangkan SNI untuk produk tapioka, menyatakan bahwa syarat kadar air yang harus dipenuhi untuk semua tingkat mutu (I, II, III) adalah maksimal 15 % dan untuk tepung terigu kadar air maksimal yang ditetapkan adalah 12 %. Kadar air ke 3 jenis tepung rumput laut yang didapatkan pada penelitian ini berada pada kisaran 10,82 % sampai 12,88 %, artinya tidak melebihi persyaratan mutu kadar air komoditas agar-agar tepung dan tepung tapioka yang sudah ditetapkan walaupun masih diatas kadar air tepung terigu Kadar Abu Kadar abu ke 3 jenis tepung rumput laut dapat dilihat pada Gambar 18. Kadar abu tertinggi ada pada tepung rumput laut Sargassum sp dengan suhu pengeringan 50 o C (15,83 %). Sedangkan tepung rumput laut dengan kadar abu terendah adalah Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 o C (5,7 %). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29, 30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah, hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan. 58

46 Kadar Abu (%) ,18 14,27 6,32 5,7 15,83 15,58 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 18. Kadar Abu Tepung Rumput Laut (%). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29, 30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah, hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan Kadar Protein Kandungan protein setiap rumput laut berbeda, tergantung jenis dan daerah tumbuhnya. Beberapa rumput laut dengan jenis yang sama juga kadang berbeda kandungan proteinnya. Hal ini disebabkan keadaan perairan tempat tumbuhnya dan bibit rumput laut yang ditanam. Beberapa penelitian menyatakan bahwa rumput laut memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, namun masih belum jelas mengenai daya larut dan daya cerna kandungan nitrogen tersebut. Kisaran kadar protein yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 3,13 % 10,51 % (Gambar 19). 59

47 12 10, ,9 8,8 8,85 Kadar Protein (%) ,39 3,13 0 E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 19. Kadar Protein Tepung Rumput Laut (%). Kadar protein tepung rumput laut jenis Eucheuma cottonii pada suhu pengeringan 50 o C dan 70 o C berturut-turut adalah 3,39 % dan 3,13 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar protein tidak beda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 32). Kadar protein yang dihasilkan pada penelitian ini lebih kecil dibanding hasil yang dilaporkan oleh beberapa peneliti. Hal ini disebabkan penggunaan bahan baku yang berbeda. Penelitian sebelumnya menggunakan bahan baku segar yang baru dipanen sedangkan pada penelitian ini digunakan bahan baku yang sudah mengalami proses pemucatan dan perendaman. Selama proses perendaman, kemungkinan terjadi hidrolisa protein yang larut air sehingga akan menurunkan kandungan proteinnya. Tepung rumput laut jenis Glacilaria sp memiliki kadar protein 10,51 % pada suhu pengeringan 50 o C dan 8,9 % pada suhu pengeringan 70 o C. Analisis ragam dengan selang kepercayaan 95 % menunjukkan hasil berbeda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Tepung dengan suhu pengeringan 50 o C mempunyai nilai yang lebih tinggi (Lampiran 33). Desrosier dan Desrosier (1977) dan Winarno (1997) menyatakan protein dapat terdenaturasi oleh proses pemanasan sehingga akan merubah susunan molekulnya, hal ini dapat menurunkan kandungan proteinnya. Hal ini sejalan dengan kadar air tepung rumput laut Glacilaria sp yang dikeringkan pada suhu 50 o C yang lebih rendah dari kadar air tepung rumput laut Glacilaria sp pada suhu pengeringan 70 o C. 60

48 Desrosier dan Desrosier (1977) menyebutkan bahan pangan yang mengalami pengeringan akan kehilangan air, hal ini dapat menyebabkan naiknya kadar protein. Kadar protein tepung rumput laut jenis Sargassum sp pada suhu pengeringan yang berbeda yaitu 8,80 % dan 8,85 %. Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan tidak berbeda antara ke 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 34). Penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al (1997), menyatakan bahwa pengeringan Sargassum hemiphyllum dengan oven bersuhu 60 o C mempunyai kadar protein 9,76 % dan kadar air 7,60%. Sedangkan Primahartini (2005) melaporkan kadar protein tepung rumput laut Sargassum sp yang dipanen dari Lampung Selatan adalah 5,77 % dan kadar air 15,59 %. Perbedaan ini disebabkan sumber bahan baku dan perlakuan yang diberikan berbeda sehingga hasil yang didapat juga berbeda Kadar Karbohidrat Kisaran nilai kadar karbohidrat yang didapat pada penelitian ini adalah 64,21% - 73,78% (Gambar 20). Winarno (1990) menyebutkan komponen utama dari rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat, akan tetapi karena kandungan karbohidrat sebagian besar terdiri dari senyawa gumi, maka hanya sebagian kecil saja dari kandungan karbohidrat tersebut yang dapat diserap dalam pencernaan manusia. Kadar Karbohidrat (%) ,25 68,16 73,67 73,78 64,21 67,2 E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 oc Suhu 70 oc Gambar 20. Kadar Karbohidrat Tepung Rumput Laut (%). 61

49 Analisis ragam yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar karbohidrat untuk tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilara sp tidak beda nyata (Lampiran 35 dan 36). Artinya perlakuan suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar karbohidrat tepung. Untuk tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan beda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 37), tepung dengan suhu pengeringan 50 o C memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi Kadar Serat Pangan Serat pangan merupakan senyawa yang inert secara gizi, hal ini didasarkan bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil fermentasinya tidak dapat digunakan oleh tubuh dan dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Serat pangan merupakan salah satu komponen penyusun karbohidrat dimana pada rumput laut komponen terbesar dari karbohidrat adalah senyawa gumi (komponen serat pangan). Hasil analisa kadar serat pangan total 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini berada pada kisaran 81,75-84,88 %. Kadar serat pangan larut antara 24,99-75, 18 %. Kadar serat pangan tidak larut antara 9,70-57,62 %. Hasil analisa selengkapnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Kadar Serat Pangan Larut (SDF), Kadar Serat Pangan Tak Larut (IDF) dan Kadar Serat Pangan Total (TDF) dari Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp pada suhu pengeringan yang 50 o C dan 70 o C Jenis Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C TRL SDF(%) IDF (%) TDF(%) SDF(%) IDF(%) TDF(%) E. cottonii 75,18 9,70 84,88 72,19 11,23 83,42 Glacilaria sp 60,86 22,48 83,34 62,95 20,67 83,62 Sargassum sp 25,89 55,86 81,75 24,99 57,62 82,61 Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menyatakan bahwa untuk jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii, perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar serat pangan tidak larut. Nilai yang lebih tinggi ada pada perlakuan suhu pengeringan 70 o C yaitu 11,23 % (Lampiran 38). 62

50 Sedangkan untuk kadar serat pangan larut dan serat pangan total tidak berbeda nyata pada 2 suhu pengeringan (Lampiran 39 dan 40). Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan hasil bahwa kadar serat pangan tidak larut berbeda nyata terhadap 2 suhu pengeringan, tetapi tidak berbeda nyata pada kadar serat pangan larut dan serat pangan total (Lampiran 41, 42 dan 43). Tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp, yang termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae), mempunyai kadar serat pangan larut (SDF) lebih tinggi dari pada kadar serat pangan tak larutnya (IDF). Anonymous c (2000) menyatakan bahwa jenis rumput laut merah dan hijau mengandung kadar serat pangan larut (SDF) sebesar 51 % - 56 % dari kadar serat pangan total. Lahaye (1991) melaporkan bahwa kadar serat dari beberapa rumput laut berkisar antara % (bk) dan sebagian besar seratnya terdiri dari serat pangan larut, yaitu %. Akan tetapi kandungan serat pangan ini sangat tergantung dari species dan tempat hidup dari rumput laut tersebut. Pada penelitian ini kandungan serat pangan larut tepung rumput laut Eucheuma cottonii pada suhu pengeringan 50 o C dan 70 o C berturut-turut adalah 86,53 % dan 88,57 % dari kadar serat pangan total. Sedangkan tepung rumput laut Glacilaria sp, kandungan serat pangan larutnya yaitu 73,03 % dan 75,24 % dari kadar serat pangan total. Artinya kandungan serat pangan larut tepung rumput laut jenis alga merah yang ada di Kepulauan Seribu cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber serat yang potensial. Penelitian yang dilakukan Goni et.al., (2000) menyatakan bahwa Nori algae (rumput laut jenis alga merah) yang mengandung serat pangan larut yang tinggi kemungkinan dapat mengubah respon glycemic pada kesehatan, dimana roti yang ditambahkan Nori alga memberikan hasil yang lebih baik daripada roti tanpa Nori alga. Sedangkan Escrig dan Muniz (2000) dan Herpandi (2005) menyatakan bahwa serat rumput laut terutama serat pangan larut mempunyai efek hipokolesterolemik, dimana semakin tinggi akan semakin baik dan telah terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah dibanding sumber serat lainnya. Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap kadar serat pangan larut, serat pangan tidak 63

51 larut dan serat pangan total (Lampiran 44, 45 dan 46). Artinya perbedaan suhu pengeringan tidak mempengaruhi kandungan serat pada tepung rumput laut Sargassum sp. Berbeda dengan tepung rumput laut dari alga merah, jenis tepung rumput laut coklat (Phaeophyceae) yaitu Sargassum sp, mempunyai kadar serat pangan larut (SDF) yang lebih rendah daripada kadar serat pangan tak larutnya (IDF). Jika dilihat dari kandungan serat pangan bahan baku hasil perendaman, terjadi kenaikan pada kadar serat pangan tak larutnya, hal ini kemungkinan terjadi karena total padatan menjadi lebih tinggi akibat penguraian pati menjadi serat pangan tak larut. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al (1997), yaitu menghasilkan tepung Sargassum hemiphyllum dengan kadar serat pangan larut yang lebih rendah (9,91 %) daripada kadar serat pangan tak larutnya (45,0 %), yang dikeringkan di oven bersuhu 60 o C Iodium Salah satu trace element yang penting pada rumput laut adalah iodium. Kandungan iodium tumbuhan laut berkisar antara 0,7 4,5 g/kg. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, kandungan iodium rumput laut sekitar sampai kali lebih banyak (Rai, 1996). Kebutuhan iodium dipengaruhi oleh pertumbuhan, berat tubuh, jenis kelamin, usia, gizi, iklim dan penyakit. Kecukupan iodium perhari untuk anak umur 0-12 tahun adalah ug/hari, untuk laki-laki dan perempuan umur tahun ke atas adalah 150 ug/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui mendapat tambahan 50 ug/hari (AKG, 2004). Pada penelitian ini, kadar iodium berada pada kisaran 4,55 11,27 ug/g, data lengkap tersaji pada Gambar 21. Jika setiap 1 gram tepung rumput laut mengandung iodium sebesar 4,55 11,27 ug, maka diasumsikan setiap 1 gram tepung rumput laut akan menyumbang iodium untuk kebutuhan tubuh sebesar % untuk anak umur 0 12 tahun dan 3 7 % untuk perempuan dan laki-laki umur tahun. Sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui sekitar 2 5 % dari kebutuhan tubuh akan iodium menurut Angka Kebutuhan Gizi.. Analisis ragam menunjukkan hasil bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap kadar iodium ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 47, 48, 49). 64

52 Dari hasil pengamatan, data menunjukkan suhu pengeringan 70 o C memiliki kadar iodium yang lebih tinggi pada ketiga jenis tepung tersebut. Hal ini disebabkan waktu pengeringan yang berbeda. Pengeringan dengan suhu 70 o C memerlukan waktu yang lebih pendek daripada suhu 50 o C, sehingga walaupun suhu pengeringan lebih tinggi tetapi penurunan kadar iodium lebih kecil. Kadar Iodium (ug/g) ,01 6,79 9,84 11,27 4,55 4,77 0 E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut Suhu 50 C Suhu 70 C Gambar 21. Kadar Iodium Tepung Rumput Laut (ug/g). Jika dibandingkan dengan kadar iodium bahan baku hasil perendaman terdapat penurunan kadar iodium pada ketiga jenis tepung rumput laut tersebut. Hal ini terjadi karena pelakuan yang diberikan selama pengolahan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kehilangan iodium diantaranya adalah tingkat keasaman, air dan pemanasan. Penelitian yang dilakukan Magdalena (1996) menyatakan semakin meningkatnya tingkat keasaman, suhu dan waktu pemasakan, kecenderungan tingkat kehilangan iodium pada sayur matang akan semakin meningkat. Selama penelitian ini, pemanasan yang diberikan selama pengeringan berkisar antara 50 o C dan 70 o C, tetapi selama proses penepungan terjadi juga proses pemanasan akibat mesin penepung sehingga terjadi penurunan kadar iodium yang cukup besar. 65

53 Organoleptik Penilaian organoleptik merupakan salah satu ukuran penerimaan atau standar kelayakan suatu produk. Berdasarkan uraian (deskripsi) terhadap kenampakan, bau dan tekstur tepung rumput laut dari 3 jenis rumput laut, maka disusun satu lembar penilaian (score sheet) untuk masing-masing jenis tepung rumput laut. Lembar penilaian ini akan menjadi acuan dalam penilaian tepung rumput laut (Lampiran 50, 51, 52). Angka (score) yang terdapat pada lembar penilaian adalah 1 sampai 9. Penilaian dilakukan oleh 20 orang panelis. a. Kenampakan Kenampakan suatu produk akan menentukan ketertarikan konsumen terhadap produk tersebut. Penilaian kenampakan meliputi warna dan kondisi tepung. Winarno (1997) menyatakan bahwa penilaian suatu produk didahului secara visual oleh warna produk. Melalui sifat warna, panelis dapat memberikan penilaian baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis makanan. Makanan dengan kualitas yang baik belum tentu disukai jika memiliki warna yang tidak disukai. Penilaian panelis terhadap kenampakan tepung Eucheuma cottonii bervariasi antara nilai 6 sampai 8. Rata-rata nilai kenampakan dan deskripsi pada lembar penilaian dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap kenampakan tepung (Lampiran 53). Suhu pengeringan 70 o C memberikan kenampakan yang lebih baik daripada suhu pengeringan 50 o C. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pengeringan yang lebih singkat pada suhu 70 o C sehingga tidak terjadi proses pemanasan yang terlalu lama, dimana dapat menyebabkan warna agak krem. Untuk tepung rumput laut Glacilaria sp, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kenampakannya (Lampiran 54). Walaupun tidak berbeda antara 2 perlakuan suhu tetapi pada lembar penilaian tepung dengan suhu pengeringan 50 o C nilainya 6 (pembulatan ke bawah) dan tepung dengan suhu pengeringan 70 o C nilainya 7 (pembulatan ke atas) seperti terlihat pada Tabel 19. Artinya tepung rumput laut Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 o C memiliki yang nilai lebih tinggi. 66

54 Nilai kenampakan tepung rumput laut Sargassum sp berada pada kisaran 5 sampai 7, nilai rata-rata yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap kenampakannya. Pada lembar penilaian tepung ini masuk dalam nilai 6 tetapi tepung dengan suhu pengeringan 70 o C memiliki kenampakan yang lebih baik (Lampiran 55). Tabel 20. Nilai rata-rata Uji Kenampakan Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu pengeringan E. cottonii 50 o C Nilai 6,4 Deskripsi Bersih, putih krem, ada butir hitam, agak kusam Glacilaria sp 70 o C 50 o C 7,2 6,3 Bersih, agak putih, ada sedikit butir hitam, agak cemerlang Bersih, kehijauan, agak kusam Sargassum sp 70 o C 50 o C 6,6 6,2 Bersih, krem kehijauan, agak cemerlang Bersih, coklat tua, agak kusam 70 o C 6,4 Bersih, coklat agak buram, agak cemerlang b. Bau Uji bau suatu produk sangat berkaitan dengan indera penghidu, karena indera penghidu sangat sensitif terhadap bau (aroma). Bau tepung rumput laut ikut menentukan kesukaan konsumen terhadap produk yang akan dihasilkan. Bau amis yang merupakan bau khas tumbuhan laut merupakan salah satu kendala dalam pengolahan produk lanjutan. Hasil uji terhadap bau 3 jenis tepung rumput laut berkisar pada nilai 5 sampai 7. Nilai rata-rata uji bau untuk ke 3 jenis tepung rumput laut disajikan pada Tabel 21. Hasil analisis ragam menyatakan bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap bau ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 56, 57, 58). Pada lembar penilaian, Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp memiliki nilai 6 (pembulatan) sedangkan Sargassum sp memiliki nilai 5 (pembulatan). 67

55 Tabel 21. Nilai rata-rata Uji Bau Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu Nilai Deskripsi pengeringan E. cottonii 50 o C 6,2 Bau sedikit agak amis 70 o C 6,2 Bau sedikit agak amis Glacilaria sp 50 o C 5,6 Bau sedikit agak amis 70 o C 5,7 Bau sedikit agak amis Sargassum sp 50 o C 5,4 Bau amis cukup dominant 70 o C 5,4 Bau amis cukup dominant c. Tekstur Butiran rumput laut kering sangat liat dan keras, hal ini kemungkinan karena kandungan seratnya yang tinggi. Oleh karena itu proses penepungan sangat menentukan kehalusan tepung rumput laut yang dihasilkan. Kehalusan tepung ikut menentukan tekstur tepung rumput laut, semakin halus maka tekstur akan semakin lembut. Kehalusan tekstur untuk produk minuman akan menentukan daya larutnya. Pada penelitian ini tepung rumput laut lolos pada saringan ukuran 48. Nilai uji tekstur berada pada kisaran 6 sampai 8. Nilai rata-rata uji tekstur dapat dilihat pada Tabel 22. Analisis ragam terhadap tekstur 3 jenis tepung rumput laut menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Artinya suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap tekstur tepung rumput laut (Lampiran 59, 60,61). 68

56 Tabel 22. Nilai rata-rata Uji Tekstur Tepung Rumput Laut Jenis TRL Suhu Nilai Deskripsi pengeringan E. cottonii 50 o C 7,5 Halus, agak lembut 70 o C 7,6 Halus, agak lembut Glacilaria sp 50 o C 6,4 Agak kasar, butiran terasa 70 o C 6,5 Agak halus Sargassum sp 50 o C 6,3 Agak kasar, butiran terasa 70 o C 6,5 Agak halus 4.3. Tepung Rumput Laut Rumput laut, kualitasnya di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, musim, kadar garam, gerakan air dan zat hara. Cahaya, suhu, ph dan unsur hara akan berpengaruh terhadap berlangsungnya fotosintesa. Fotosintesa merupakan proses perubahan zat anorganik menjadi zat organik, sehingga faktor-faktor tersebut di atas secara tidak langsung akan menentukan kandungan protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat rumput laut (Kadi et al. 1988). Menurut Winarno (1990), komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada spesies, tempat tumbuh dan musim. Vegetable gum yang dikandungnya merupakan senyawa karbohidrat yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim dalam tubuh, sehingga dapat menjadi makanan diet dengan sedikit kalori. Kandungan serat dan iodium pada rumput laut, merupakan senyawa penting yang diharapkan manfaatnya. Beberapa peneliti telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit diantaranya kanker usus besar, penyakit kardiovaskuler dan kegemukan (obesitas). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan suhu pengeringan yang berbeda terhadap 3 jenis tepung rumput laut yaitu Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp, secara umum tidak terlalu berpengaruh terhadap kandungan gizi rumput laut terutama kadar seratnya. Kadar serat larut pada tepung rumput 69

57 laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp lebih tinggi daripada serat tak larutnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lahaye (1991), maka kadar serat larut rumput laut yang ada di Kepulauan Seribu ini cukup tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai sumber serat yang dibutuhkan oleh tubuh. Besarnya peranan serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk ini semakin banyak dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai pencampur berbagai jenis makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh (Le Marie, 1985). Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang sangat luas penggunaannya baik langsung maupun berupa makanan dan minuman olahan. Berbagai cara pengolahan telah dilakukan untuk memanfaatkan tepung rumput laut ini, diantaranya adalah dengan mengolah menjadi makanan kering (crakers), makanan semi basah (dodol, selai), maupun jajanan pasar (kue putu, donat, cente manis). Beberapa industri rumah tangga telah berhasil mengolah dan memasarkan produk yang terbuat dari rumput laut ini. Rasa yang enak dan mudah cara mengolahnya merupakan hal yang menguntungkan. Untuk jenis rumput laut Glacilaria sp, pada umumnya dilakukan ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan agar, baik berbentuk batangan, lembaran (agar kertas) ataupun bubuk. Pemanfaatan secara langsung atau olahan berbentuk makanan atau minuman jarang dilakukan. Pemanfaatan rumput laut jenis Sargassum sp, biasanya dilakukan sebagai bahan tambahan makanan jajanan (kue) atau diekstrak untuk menghasilkan alginat yang luas penggunaannya. Penelitian yang dilakukan Darmawan et.al. (2004) terhadap kandungan omega 3 dan iodium tepung Sargassum sp menyebutkan pada konsentrasi 5 % berpengaruh nyata terhadap kadar iodium kue keik dan pada konsentrasi 2 % berpengaruh nyata terhadap kadar omega 3 kue keik. Pengolahan lanjutan dari tepung rumput laut pada penelitian ini adalah untuk minuman berserat. Kandungan serat pangan yang tinggi terutama serat pangan larut, diharapkan dapat menjadi sumber serat pada minuman ini. Selain kandungan serat dan iodium, penilaian organoleptik sangat menentukan dalam pemilihan jenis tepung yang akan digunakan. Kondisi tepung yang akan digunakan diharapkan memiliki kriteria warna putih cemerlang, tidak berbau, dan tekstur halus. Tepung yang berwarna putih akan mudah dalam pengolahan warna yang diinginkan. Warna yang diberikan akan terserap sempurna. Warna akan 70

58 menambah daya tarik dan kesukaan konsumen terhadap produk minuman ini. Bau (aroma) suatu produk, baik makanan dan minuman akan mempengaruhi minat/kesukaan konsumen. Bau yang diharapkan pada tepung rumput laut ini adalah netral, dengan demikian tidak akan tercium bau amis yang dapat mengganggu selera. Tekstur tepung pada penelitian ini berada pada kondisi yang halus sedang. Tekstur yang sangat halus dan lembut akan memudahkan dalam penggunaan. Pada penelitian ini, ke 3 jenis tepung rumput laut memiliki kehalusan yang berbeda walaupun lolos pada saringan yang sama. Hal ini karena kondisi thallus pada masing-masing rumput laut berbeda dan mesin penepung yang digunakan tidak bekerja maksimal. Berdasarkan analisa yang dilakukan, baik sifat fisik-kimia, maka jenis tepung rumput laut yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya adalah Eucheuma cottonii dengan perlakuan suhu pengeringan 70 o C dan Glacilaria sp dengan perlakuan pengeringan 70 o C. Dengan demikian diharapkan sumber serat akan terpenuhi dari tepung rumput laut Eucheuma cottonii sedangkan kandungan iodium diharapkan terpenuhi dari tepung rumput laut Glacilaria sp. Data hasil pengamatan masing-masing jenis tepung rumput laut selengkapnya disajikan pada Tabel 23, 24 dan

59 Tabel 23. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii Komponen Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C Rendemen (% ) 8,01 8,33 Ph 7,11 6,45 Titik jendal ( o C) Titik leleh ( o C) Viskositas (cps) 5080, ,40 Kelarutan (%) 27,6 36,8 Kadar air (%) 12,88 12,34 Kadar abu (%) 14,18 14,27 Kadar protein (%) 3,39 3,13 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%) 68,25 75,18 9,70 84,88 68,16 72,19 11,23 83,42 Iodium (ug/g) 6,01 6,79 Tabel 24. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Glacilaria sp Komponen Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C Rendemen (% ) 7,94 8,12 ph 7,13 7,57 Titik jendal ( o C) - - Titik leleh ( o C) - - Viskositas (cps) 18,58 20,89 Kelarutan (%) 15,03 18,01 Kadar air (%) 11,72 11,90 Kadar abu (%) 6,32 5,70 Kadar protein (%) 10,51 8,9 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%) 73,67 60,68 22,48 83,34 73,78 62,95 20,67 83,62 Iodium (ug/g) 9,84 11,27 72

60 Tabel 25. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Sargassum sp Komponen Suhu pengeringan 50 o C Suhu pengeringan 70 o C Rendemen (% ) 7,14 7,94 ph 7,74 7,22 Titik jendal ( o C) - - Titik leleh ( o C) - - Viskositas (cps) 0,997 3,42 Kelarutan (%) 26,96 18,21 Kadar air (%) 10,82 11,65 Kadar abu (%) 15,83 15,58 Kadar protein (%) 8,80 8,85 Kadar karbohidrat (%) - Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%) 64,21 25,89 55,86 81,75 67,2 24,99 57,62 82,61 Iodium (ug/g) 4,55 4,77 73

61 4.4. Formulasi Minuman Berserat Pengetahuan konsumen tentang minuman beserat umumnya diperoleh dari iklan, baik melalui media cetak atau elektronik. Penelitian yang dilakukan Qomari (2003) menyebutkan bahwa setelah konsumen memiliki informasi yang cukup tentang minuman berserat, selanjutnya akan melakukan evaluasi alternatif dan menetapkan kriteria evaluasi berdasarkan beberapa pengaruh diantaranya motivasi dan pengetahuan. Beberapa produk minuman berserat di pasaran memberikan informasi yang lengkap mengenai manfaat dan nilai gizi yang dibutuhkan. Tetapi untuk formulasi komposisi penyusun minuman tersebut tidak diinformasikan secara lengkap. Hal ini tentu saja berkaitan dengan hak paten dari produk tersebut. Pada penelitian ini, akan dibuat beberapa formulasi minuman berserat. Komposisi minuman terdiri dari sumber serat, bahan penstabil, gula, asam sitrus, pewarna, dan aroma (flavor). Sumber serat yang digunakan adalah tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp. Gula sukrosa (gula pasir). Bahan penstabil yang digunakan adalah gum arab dan alginat dengan konsentrasi 1 dan 3 %. Bahan pewarna dengan kode 19385, warna orange yellow dan aroma yang ditambahkan adalah aroma jeruk dengan kode Persentase bahan tambahan yang digunakan berdasarkan berat tepung rumput laut. Gum arab yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar serat pangan larut 10,89 %, kadar serat pangan tidak larut 11,06 % dan serat pangan total sebesar 21,95 %. Kenampakan putih bersih, bau netral dan tekstur sangat halus dan lembut. Alginat memiliki kadar serat pangan larut 12,07 %, kadar serat pangan tidak larut 25,04 % dan kadar serat pangan total 37,11 %. Kenampakan agak krem, ada bau tambahan, dan tekstur halus. Secara keseluruhan, gum arab memiliki penampilan yang lebih baik daripada alginat. Bahan penstabil bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan melalui pembentukan lapisan pelindung yang menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan lebih terdispersi dan lebih stabil (Fennema, 1996). Selain untuk mempertahankan produk tetap dalam kondisi yang diinginkan (cair), bahan penstabil juga dapat memperbaiki sifat produk sehingga akan meningkatkan nilai organoleptik. 74

62 Formulasi yang dicobakan terdiri dari 1 sumber serat yaitu Eucheuma cottonii, konsentrasi bahan penstabil yang digunakan masing-masing adalah 1 dan 3 %; formulasi yang terdiri dari 2 sumber serat yaitu Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp dengan perbandingan 8 : 2. Perbandingan sumber serat ini berdasarkan kenampakan tepung rumput laut Glacilaria sp yang kurang putih sehingga dengan konsentrasi yang rendah diharapkan dapat tertutupi oleh bahan pewarna yang ditambahkan. Formulasi dapat dilihat pada Tabel 26. Selanjutnya dilakukan uji organoleptik (uji kesukaan) dengan batas penolakan adalah pada nilai 4,5 (agak tidak suka). Formulasi terpilih selanjutnya akan diuji sifat kimianya yang meliputi viskositas, kelarutan, kadar serat dan uji organoleptik (uji perbandingan pasangan). Tabel 26. Formulasi minuman berserat Formulasi Formulasi A Formulasi B Formulasi C Formulasi D Formulasi E Formulasi F Komposisi E. cottonii 48,7 %, gum arab 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %. E. cottonii 48,7 %, alginat 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %. E. cottonii 48,2 %, gum arab 1,4 %, gula 48,2 %, asam sitrus 1,4 %, pewarna 0,3 % dan aroma 0,5 % E. cottonii 48,2 %, alginat 1,4 %, gula 48,2 %, asam sitrus 1,4 %, pewarna 0,3 % dan aroma 0,5 % E. cottonii 38,9 %, Glacilaria sp 9,8 %, gum arab 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 % E. cottonii 38,9 %, Glacilaria sp 9,8 %, alginat 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 % Uji organoleptik (uji kesukaan) Formulasi Minuman Berserat a. Rasa Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis, formulasi Eucheuma cottonii dengan konsentrasi gum arab 0,5 % (formula A) adalah yang paling disukai. Pada konsentrasi gum arab dan alginat 1,4 % (formula C dan D), panelis menolak rasa minuman karena rasanya hambar (tidak ada rasa). Hal ini karena bertambahnya konsentrasi gum arab dan alginat sedangkan konsentrasi bahan tambahan lain tidak ditambah sehingga rasa tidak disukai. Formulasi dengan 2 75

63 sumber serat, konsentrasi gum arab 0,5 % (formula E) memiliki nilai uji rasa pada batas nilai penolakan (Gambar 22). Nilai uji rasa Rasa A B C D E F Formula minuman Gambar 22. Hasil Uji Rasa Minuman Berserat pada Formulasi yang berbeda. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa formulasi minuman memberikan pengaruh nyata terhadap rasa minuman. Uji lanjut yang dilakukan diperoleh hasil bahwa rasa minuman formulasi A, E, C dan D berbeda nyata terhadap semua formulasi sedangkan formulasi B dan F tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 62). b. Aroma Aroma suatu produk sangat mempengaruhi selera konsumen. Aroma yang kurang enak akan menurunkan minat untuk mengkonsumsinya. Oleh karena itu, industri pangan menganggap uji bau merupakan uji yang sangat penting karena secara cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produksinya, disukai atau tidak disukai. Pada minuman berserat hasil penelitian ini, aroma (flavor) yang diberikan adalah aroma jeruk. Diharapkan bau khas rumput laut dapat tertutupi oleh aroma tersebut. Penilaian panelis berada pada kisaran 5,2 6,6. Hasil penilaian terhadap aroma disajikan pada Gambar

64 Nilai uji aroma Arom a A B C D E F Formula minuman Gambar 23. Hasil Uji Aroma Minuman Berserat pada Formulasi yang berbeda. Analisis sidik ragam terhadap aroma menunjukkan hasil berbeda nyata. Uji lanjut terhadap aroma, menunjukkan bahwa formulasi A dan B tidak berbeda tetapi berbeda dengan formulasi lainnya. Formulasi C, E dan F tidak berbeda tetapi berbeda dengan formulasi lain sedangkan formulasi D berbeda dengan formulasi lainnya (Lampiran 63). c. Kenampakan Uji kenampakan suatu produk meliputi warna dan penampilan dengan menggunakan indera penglihatan. Meskipun warna paling cepat dan mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan sulit cara pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subyektif dengan penglihatan masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi (Soekarto, 1981). Gambar 24 menunjukkan hasil uji kesukaan terhadap kenampakan. Formulasi minuman A, B, C, D dan E memiliki nilai diatas batas penolakan, artinya kenampakan minuman dapat diterima konsumen. Formulasi F memiliki nilai dibawah batas penolakan. Kenampakan minuman formula F agak kusam dan agak kotor. Hal ini disebabkan sumber serat Glacilaria sp dan bahan tambahan alginat memiliki warna agak kecoklatan sehingga pewarna yang diberikan tidak terserap sempurna sesuai yang diinginkan. Warna yang ditimbulkan menjadi agak kusam. 77

65 Nilai uji kenampakan Kenampakan A B C D E F Formula minuman 4.13 Gambar 24. Hasil Uji Kenampakan Minuman Berserat pada Formulasi yang berbeda. Hasil analisis sidik ragam terhadap kenampakan adalah berbeda nyata. Artinya formulasi minuman berpengaruh terhadap kenampakannya. Uji lanjut Duncan terhadap kenampakan menunjukkan hasil bahwa formulasi A, B, C dan F masing-masing berbeda dengan formulasi lainnya, formulasi D dan E tidak berbeda tetapi berbeda dengan formulasi lainnya (Lampiran 64). d. Kekentalan Pada uji kekentalan, panelis menolak minuman berserat dengan formulasi C, D dan F. Pada formulasi F, larutan berbentuk seperti bubur (terlalu kental) sehingga tidak cocok disebut minuman. Formulasi satu sumber serat dengan konsentrasi gum arab 0,5 % mempunyai kekentalan yang paling disukai panelis. Hasil uji disajikan pada Gambar 25. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh formulasi terhadap kekentalan minuman (berbeda nyata). Hasil uji lanjut kekentalan minuman rumput laut yang diperoleh menunjukkan bahwa formulasi A dan D berbeda dengan formulasi lainnya, formulasi E dan B tidak berbeda tetapi berbeda dengan formulasi lainnya, formulasi C dan F tidak berbeda tetapi berbeda dengan lainnya (Lampiran 65). 78

66 kekentalan Nilai uji kekentalan A B C D E F Formula minuman Gambar 25. Hasil Uji Kekentalan Minuman Berserat pada Formulasi yang berbeda. Berdasarkan hasil uji kesukaan yang didapat, maka formulasi 1 sumber serat (Eucheuma cottonii) dengan konsentrasi gum arab 0,5 % (formula A) dan formulasi 2 sumber serat (Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp) dengan konsentarsi gum arab 0,5 % (formula E) akan dilanjutkan untuk uji viskositas, kelarutan, kadar serat pangan, organoleptik (uji perbandingan pasangan) dan Total Plate Count (TPC) Uji Formulasi Minuman Berserat Terpilih Viskositas Minuman Berserat Formula A dan E Viskositas berpengaruh pada bentuk dan penerimaan rasa dari produk yang berupa cairan. Semakin tinggi nilai viskositas suatu larutan maka makin tinggi pula tingkat kekentalannya. Pengamatan viskositas dilakukan pada suhu media pelarut (air penyajian minuman) yang berbeda. Suhu media pelarut yang digunakan adalah 10 o C (air dingin), 28 o C (air biasa) dan suhu 40 o C (air hangat). Hasil pengamatan nilai viskositas 2 formulasi terpilih pada suhu media pelarut yang berbeda ada pada Gambar 26. Analisis ragam yang dilakukan terhadap masing-masing suhu media pelarut pada formula yang berbeda menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai viskositas. Uji lanjut yang diperoleh memberi hasil bahwa pada 3 taraf suhu media pelarut, nilai viskositas formula A lebih tinggi daripada formula E (Lampiran 66). Formula A dengan 79

67 sumber serat Eucheuma cottonii memiliki kekentalan dan tekstur yang lebih halus dan homogen daripada formula E dengan sumber serat campuran Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp. Menurut Towle (1973), sebagai penghasil karagenan, larutan Eucheuma cottonii bersifat kental dan viskositasnya bergantung pada konsentrasi, suhu, adanya molekul-molekul lain, jenis karagenan dan berat molekulnya. Jika konsentrasi larutan karagenan meningkat maka viskositasnya akan meningkat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa viskositas formula A dengan satu sumber serat, Eucheuma cottonii, memiliki viskositas yang lebih tinggi daripada formula E dengan 2 sumber serat. Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp tidak dapat bercampur, tetapi dengan penambahan gum arab 0,5 % dapat membantu pencampuran kedua serat tersebut walaupun tetap dengan nilai viskositas yang lebih rendah daripada 1 sumber serat. viskositas (cps) ,79 36,53 2,35 23,47 559,44 Suhu 10 C Suhu 28 C Suhu 40 C Suhu Media Pelarut 188,44 Formula A Formula E Gambar 26. Nilai Viskositas (cps) Minuman Berserat Formula A dan Formula E. Berdasarkan Gambar 26, analisis ragam terhadap viskositas minuman berserat formula A pada suhu media pelarut yang berbeda menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (Lampiran 67). Semakin tinggi suhu media pelarut, viskositas minuman semakin tinggi. Pada suhu air 10 o C, formula A larut dengan sedikit sekali perubahan pada struktur molekul bahan minuman. Pada suhu air biasa, mulai terjadi perubahan pada struktur molekul bahan penyusun minuman, hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya viskositas. Larutan semakin 80

68 homogen dan mengental. Pada suhu air 40 o C, terjadi perubahan struktur molekul, molekul semakin mengembang sehingga larutan menjadi semakin mengental. Hal ini ditandai dengan semakin tinggi nilai viskositasnya. Adanya bahan tambahan pada formulasi minuman juga mempengaruhi viskositasnya. Menurut Hanson (2000), viskositas larutan karagenan menurun dengan naiknya suhu dan perubahan ini bersifat reversible. Pada penelitian ini, semakin tinggi suhu media pelarut yang digunakan viskositas semakin tinggi pula. Kekentalan minuman tidak berubah dengan semakin turun suhunya. Artinya larutan tetap mengental dan tidak berubah menjadi cair setelah dingin. Hal ini kemungkinan karena terjadinya pengembangan molekul bahan penyusun minuman karena suhu air yang tinggi. Adanya bahan penstabil dalam formulasi minuman menyebabkan larutan tetap mengental. Hal ini ditunjukkan dengan nilai viskositas yang tinggi. Demikian juga pada minuman berserat dengan 2 sumber serat (Formula E). Analisis ragam pada 3 taraf suhu media pelarut menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai viskositasnya. Uji lanjut menunjukkan bahwa masingmasing suhu air berbeda nyata, nilai viskositas tertinggi ada pada suhu media pelarut 40 o C (Lampiran 68). Semakin tinggi suhu media pelarut, viskositas semakin tinggi. Pencampuran 2 sumber serat menurunkan kemampuan melarut Eucheuma cottonii. Hal ini ditunjukkan dengan nilai viskositas yang lebih rendah dari 1 sumber serat. Adanya gum arab dalam formulasi minuman mempengaruhi kestabilan larutan. Larutan minuman menjadi agak homogen dan tekstur agak halus, walaupun jika didiamkan akan membentuk 2 lapisan, yaitu endapan dan cairan Kelarutan Minuman Berserat Formula A dan E Hasil pengamatan kelarutan 2 formulasi minuman pada suhu media pelarut 10 o C, 28 o C dan 40 o C disajikan pada Gambar 27. Analisis sidik ragam pada masing-masing suhu dan formula yang berbeda menyatakan formula A dan E pada suhu 10 o C dan 40 o C berbeda sangat nyata terhadap nilai kelarutan, tetapi berbeda nyata pada suhu 28 o C (Lampiran 69). Nilai kelarutan meningkat dengan semakin meningkatnya suhu. Artinya pada suhu 40 o C, larutan semakin homogen dan melarut lebih baik daripada suhu 10 o C. Hal ini sejalan dengan nilai viskositas yang semakin tinggi, karena semua komponen pada minuman dapat menyatu 81

69 dalam larutan. Pada 3 taraf suhu media pelarut, formula A memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi daripada formula E. Hal ini karena tekstur rumput laut Glacilaria sp tidak sehalus tekstur Eucheuma cottonii sehingga tidak dapat melarut dalam air ,14 57,62 64,13 60,08 Kelarutan (%) ,08 35, Suhu 10 C Suhu 28 C Suhu 40 C Suhu Media Pelarut Formula A Formula E Gambar 27. Nilai Kelarutan (%) Minuman Berserat Formula A dan Formula E. Berdasarkan Gambar 27, analisis sidik ragam terhadap kelarutan formula A pada suhu yang berbeda menunjukkan pengaruh yang sangat nyata. Uji lanjut Duncan yang diperoleh menyatakan masing-masing suhu media pelarut berbeda nyata. Nilai kelarutan tertinggi ada pada suhu air 40 o C (Lampiran 70). Hal ini karena pada suhu 40 o C, terjadi perubahan pada molekul-molekul bahan penyusun minuman sehingga daya larutnya menjadi lebih baik. Demikian juga pada formula E, analisis sidik ragam menyatakan suhu media pelarut berpengaruh nyata terhadap nilai kelarutannya. Uji lanjut menunjukkan masing-masing suhu berbeda dan nilai kelarutan pada suhu 40 o C lebih tinggi (Lampiran 71) Kadar Serat Pangan Minuman Berserat Formula A dan E Hasil pengamatan kadar serat pangan minuman berserat formulasi A dan E seperti pada Gambar 28. Kadar serat pangan total kedua formulasi minuman sama, yaitu 41,8 %. Kadar serat pangan larut lebih tinggi daripada serat pangan tidak larut. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa formulasi minuman 82

70 berbeda nyata terhadap kadar serat pangan larut tetapi tidak berpengaruh terhadap serat pangan tidak larut dan kadar serat pangan total minuman berserat (Lampiran 72). Kadar Serat Pangan (%) SDF IDF TDF Jenis Serat Pangan 41.8 Formula a Formula e Keterangan : SDF = Soluble dietary fiber (serat pangan larut) ISF = Insoluble dietary fiber (serat pangan tak larut) TDF = Total dietary fiber (serat pangan total) Gambar 28. Kadar Serat Pangan (%) Minuman Berserat Formula A dan E. Pada saat ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi serat pangan sudah semakin baik. Selain manfaat serat untuk kesehatan, sebagian masyarakat menggunakan serat untuk tujuan diet (menjaga berat badan). Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG), kebutuhan serat perhari/orang adalah 25 gram. Untuk memenuhinya dapat mengkosumsi makanan yang kaya akan serat, seperti sayuran. Salah satu suplemen yang dapat mencukupi kebutuhan serat adalah minuman berserat. Salah satu minuman berserat yang sudah beredar di masyarakat dapat mensuplai kebutuhan serat sebanyak 3 gram/kemasan saji seberat 8 gram. Aturan minum yang dianjurkan adalah 3 bungkus sehari. Artinya minuman beserat ini dapat mensuplai 9 gram serat perhari. Kadar serat yang terkandung dalam minuman berserat pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 41,8 %. Dengan demikian setiap gram pada formula minuman mengandung 0,42 gram total serat pangan. Jika dalam satu takaran saji adalah sebanyak 8 gram, maka jumlah serat yang dikonsumsi adalah 3,36 gram. Berdasarkan analisis sidik ragam, kandungan serat total berbeda nyata antara 2 83

71 produk minuman komersil dan produk hasil penelitian (Lampiran 73). Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa produk minuman berserat yang dihasilkan pada penelitian ini dapat menjadi salah satu alternatif pilihan minuman berserat. Artinya rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp dapat digunakan sebagai sumber serat alternatif pada minuman berserat Uji Organoleptik (Uji Perbandingan Pasangan) Minuman Berserat Formula A dan E dengan Minuman Berserat Komersil Dalam dunia usaha dan industri selalu terjadi persaingan dan berlangsung kebutuhan pengembangan. Untuk menghadapi hal tersebut, maka selalu dilakukan upaya mengembangkan produk baru, diantaranya adalah memperbaiki mutu, mengganti bahan, menambah bahan tambahan, mengganti bentuk dan penampilan, mengganti kemasan dan lain-lan. Untuk menilai keberhasilan suatu produk baru, maka perlu dilakukan uji pembedaan sifat atau mutu produk yang dihasilkan terhadap produk lama. Produk minuman berserat baru yang dihasilkan pada penelitian ini dibandingkan dengan produk minuman berserat komersil. Hasil uji yang didapat adalah respon beda, dimana respon beda yang diberikan adalah lebih tinggi atau lebih rendah. Respon yang diinginkan adalah lebih tinggi, artinya produk baru yang dihasilkan mempunyai mutu yang lebih baik. Produk minuman berserat dapat dilihat pada Gambar 29. Gambar 29. Minuman Berserat (kiri : formula A; tengah : produk komersil; kanan : formula E) 84

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar Komoditas unggulan Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik diperkirakan terdapat 555 species rumput laut total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar luas area budidaya rumput laut 1.110.900

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY Ella Salamah 1), Anna C Erungan 1) dan Yuni Retnowati 2) Abstrak merupakan salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Jelly drink rosela-sirsak dibuat dari beberapa bahan, yaitu ekstrak rosela, ekstrak sirsak, gula pasir, karagenan, dan air. Tekstur yang diinginkan pada jelly drink adalah mantap

Lebih terperinci

EVALUASI SENSORI KONSUMEN PADA DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottoni) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG KANJI DAN TEPUNG KETAN.

EVALUASI SENSORI KONSUMEN PADA DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottoni) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG KANJI DAN TEPUNG KETAN. EVALUASI SENSORI KONSUMEN PADA DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottoni) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG KANJI DAN TEPUNG KETAN Ira Maya Abdiani Staf Pengajar Jurusan Budidaya Perairan FPIK Universitas Borneo Tarakan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 3 No.1 ; Juni 2016 ISSN 2407-4624 PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW *RIZKI AMALIA 1, HAMDAN AULI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie adalah produk pasta atau ekstruksi yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia (Teknologi Pangan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan yaitu Sargassum polycystum, akuades KOH 2%, KOH 10%, NaOH 0,5%, HCl 0,5%, HCl 5%,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. food menurut Food and Agriculture Organization didefinisikan sebagai makanan

BAB I PENDAHULUAN. food menurut Food and Agriculture Organization didefinisikan sebagai makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksperimen di bidang Teknologi Pangan. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat pembuatan cake rumput laut dan mutu organoleptik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. L Kadar Protein Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan bahwa penambahan gula aren dengan formulasi yang berbeda dalam pembuatan kecap manis air kelapa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis)

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis) LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN Disusun Oleh: FERAWATI I 8311017 PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 KATA PENGANTAR Segala

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan PROSES PEMBUATAN TELUR ASIN SEBAGAI PELUANG USAHA Oleh : Andi Mulia, Staff Pengajar di UIN Alauddin Makassar Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut atau sea weeds secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Gorontalo. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai gizi suatu produk

I PENDAHULUAN. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai gizi suatu produk I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai gizi suatu produk pangan semakin meningkat, sehingga berdampak pada peningkatan permintaan pangan yang memiliki nilai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Purata kadar air (% ± SE) tempe dengan penambahan tepung belut dan variasi usar tempe berkisar antara 60,37 ±

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

III. Metode Penelitian

III. Metode Penelitian III. Metode Penelitian 3.1. Waktu dan tempat Penelitian dilakukan pada Bulan Februari sampai Bulan Agustus 2006 di Laboratorium Pengolahan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan, Jakarta.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai macam umbi-umbian dapat dipergunakan sebagai sumber. kalori/karbohidrat, salah satunya adalah singkong. Singkong kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai macam umbi-umbian dapat dipergunakan sebagai sumber. kalori/karbohidrat, salah satunya adalah singkong. Singkong kaya akan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam umbi-umbian dapat dipergunakan sebagai sumber kalori/karbohidrat, salah satunya adalah singkong. Singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90%

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - Kompor gas - Sendok - Cetakan plastik A.2Bahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi makanan beranekaragam yang dapat memberikan sumbangan zat gizi yang cukup bagi tubuh, dengan adanya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8. Rumput Laut Euchema cotonii Kering.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8. Rumput Laut Euchema cotonii Kering. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembuatan Bubur Rumput Laut Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut kering tawar jenis Euchema cotonii yang diperoleh dari petani rumput laut di

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG Qanytah Tepung jagung merupakan butiran-butiran halus yang berasal dari jagung kering yang dihancurkan. Pengolahan jagung menjadi bentuk tepung lebih dianjurkan dibanding produk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KETAHANAN TARIK DAN KETAHANAN SOBEK KERTAS SENI Hasil penelitian tentang kertas yang terbuat dari bulu ayam dan kulit jagung diperoleh data hasil pengujian ketahanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bakso Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan penambahan bumbu-bumbu dan bahan kimia lain sehingga dihasilkan produk yang strukturnya kompak atau

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biji nangka merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal biji nangka memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENGERINGAN TERHADAP MUTU DODOL RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii

PENGARUH LAMA PENGERINGAN TERHADAP MUTU DODOL RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii 1 PENGARUH LAMA PENGERINGAN TERHADAP MUTU DODOL RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii 1 Ahmad Ibrahim, 2 Asri Silvana Naiu, 2 Lukman Mile iahmad301@yahoo.com Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.) Cangkang kijing lokal yang diperoleh dari danau Teratai yang terdapat di Kec. Mananggu Kab. Boalemo

Lebih terperinci

TELUR ASIN 1. PENDAHULUAN

TELUR ASIN 1. PENDAHULUAN TELUR ASIN 1. PENDAHULUAN Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan harganya murah. Telur dapat

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin 4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN GULA MERAH TERHADAP TINGKAT KESUKAAN DODOL NANAS

PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN GULA MERAH TERHADAP TINGKAT KESUKAAN DODOL NANAS PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN GULA MERAH TERHADAP TINGKAT KESUKAAN DODOL NANAS Aniswatul Khamidah 1 dan Eliartati 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

LEMBAR KUESIONER PENILAIAN SENSORIS PRODUK SUSU UHT FULL CREAM PADA RESPONDEN DEWASA

LEMBAR KUESIONER PENILAIAN SENSORIS PRODUK SUSU UHT FULL CREAM PADA RESPONDEN DEWASA 7. LAMPIRAN Lampiran 1. Lembar Kuesioner Penelitian LEMBAR KUESIONER PENILAIAN SENSORIS PRODUK SUSU UHT FULL CREAM PADA RESPONDEN DEWASA Berikut ini akan disajikan beberapa pertanyaan mengenai susu UHT

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon I PENDAHULUAN Tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas bahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI

BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI Definisi : * Bahan makanan olahan yang harus diolah kembali sebelum dikonsumsi manusia * Mengalami satu atau lebih proses pengolahan Keuntungan: * Masa simpan lebih panjang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka pemikiran, dan (6) Hipotesis. 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kondisi oseanografi dan meteorologi perairan. Faktor oseanografi adalah kondisi perairan yang berpengaruh langsung terhadap

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci