HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan bahan baku awal yang akan digunakan untuk membuat karet crepe sehingga harus selalu dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui mutu lateks kebun, sebagai kontrol, dan meminimalkan keragaman lateks. Sebelum diolah menjadi karet crepe, lateks kebun digumpalkan terlebih dahulu dengan menggunakan asam format (asam semut). Asam format atau juga kadang disebut asam semut atau asam metanoat mempunyai rumus kimia HCOOH dan merupakan asam terkuat dari seri homolog gugus karboksilat yang mengalami beberapa reaksi kimia (dekomposisi, reaksi adisi, siklisasi, asilasi). Bahan penggumpal lateks yang selama ini banyak digunakan dan direkomendasikan adalah asam format. Penggumpalan dengan asam format dapat menghasilkan karet dengan sifat teknis yang baik. Selain asam format, untuk menggumpalkan lateks juga dapat digunakan bahan lain seperti tawas maupun asam sulfat (H 2 SO 4 ). Menurut Goutara et al. (1985), mekanisme penggumpalan lateks diawali ketika partikel karet dalam cairan lateks diselubungi oleh protein sebagai stabilisator. Karena protein bermuatan maka partikel karet seolah-olah menjadi bermuatan sehingga akan saling tolak-menolak. Pada saat penambahan asam, berarti terjadi penambahan ion H + pada asam amino sehingga ph turun dan mencapai titik isoelektris yaitu ph dimana protein mempunyai muatan positif yang sama dengan muatan negatif sehingga akibatnya partikel karet akan saling mendekat dan menggumpal. Pembekuan atau koagulasi pada karet ini bertujuan untuk mempersatukan (merapatkan) butiran-butiran karet yang terdapat pada cairan lateks agar menjadi suatu gumpalan (koagulum). Menurut Goutara et al. (1985), nilai ph isoelektris untuk penggumpalan lateks adalah 4,5-4,8 dengan zat pembeku yang direkomendasikan untuk digunakan adalah asam format 1-2% dan jumlahnya ml/kg karet kering. Pada saat penambahan asam dilakukan pengadukan agar asam dapat tercampur merata dan buih yang timbul dihilangkan. Umumnya, proses pembekuan atau koagulasi dilakukan selama 2 jam. Setelah beku dilakukan penambahan air untuk mencegah lengketnya bekuan lateks dengan pembeku. Setelah karet menggumpal, karet kemudian diolah menjadi crepe dengan menggunakan creper. Prinsip pengolahan karet crepe adalah mengubah lateks segar dari kebun menjadi lembaran crepe melalui proses pembekuan, penggilingan, dan pengeringan. Analisis yang dilakukan pada karet crepe adalah Kadar Karet Kering (KKK). Kadar Karet Kering (KKK) merupakan parameter terukur yang menunjukkan persentase jumlah karet dalam lateks. Kadar karet kering dari lateks kebun yang digunakan dalam

2 penelitian ini adalah 69,1 %. Pengukuran KKK ini menggunakan basis karet gumpalan (lumb). Dalam penelitian ini, lateks tidak diberi pengawet berupa amonia ataupun surfaktan sebagai penstabil karena lateks kebun langsung dibentuk menjadi crepe (karet padat) tanpa diberi perlakuan apapun. Umumnya, penambahan amonia dan surfaktan diberikan pada lateks yang pengolahannya masih dalam bentuk lateks cair Lindi Hitam Lindi hitam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari residu pirolisis cangkang kelapa sawit. Tabel 4 menunjukkan karakteristik dari lindi hitam tersebut. Tabel 4. Karakteristik Lindi Hitam Karakteristik Nilai Kadar padatan 21,64 % Kadar air 78,36 % ph 2 Kadar abu 0,03 % Aspal Pen 60 Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal jenis pen 60. Aspal pen 60 yang akan digunakan terlebih dahulu diuji nilai titik lembeknya untuk mengetahui kemampuan aspal untuk melunak. Hasil pengujian titik lembek aspal pen 60 adalah sebesar 51 C dengan persyaratan berdasarkan SNI dan SNI pada rentang C. 4.2 Degradasi Karet Menggunakan Lindi Hitam Proses degradasi karet alam dapat terjadi secara kimia dengan bantuan senyawasenyawa tertentu. Dalam penelitian ini digunakan lindi hitam karena diduga salah satu senyawa yang terdapat dalam lindi hitam dapat berperan sebagai senyawa kimia pendegradasi karet alam. Proses degradasi yang dilakukan pada karet ini juga memanfaatkan panas. Pemberian perlakuan panas ini bertujuan untuk mempercepat proses reaksi degradasi karet. Petrucci (1987) mengemukakan bahwa jika suhu dinaikkan, maka kalor yang diberikan akan menambah energi kinetik partikel pereaksi sehingga pergerakan partikel-partikel pereaksi makin cepat. Semakin cepat pergerakan partikel akan menyebabkan terjadinya tumbukan antar zat pereaksi semakin banyak, sehingga reaksi makin cepat. Dalam penelitian ini, dilakukan variasi perendaman selama 3 dan 5 jam. Pemberian variasi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa jumlah lindi hitam yang terserap semakin meningkat seiring dengan waktu reaksi. Dengan demikian, diharapkan semakin lama reaksi tersebut, jumlah lindi hitam yang terserap semakin meningkat sehingga degradasi yang terjadi pada karet pun semakin signifikan. Pemberian panas pada reaksi ini bertujuan agar reaksi terjadi semakin cepat sehingga jumlah lindi hitam yang terserap juga semakin meningkat

3 sehingga karet terdegradasi yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dalam hal sifat fisik jika dibandingkan dengan karet kontrol. Setelah proses degradasi selesai, dilakukan pengeringan terhadap karet untuk menguapkan sisa-sisa lindi hitam yang tidak terserap oleh karet. Dalam proses pengeringan ini, dilakukan variasi pada durasi pengeringan, yaitu pengeringan normal pada suhu 100 C hingga benar-benar kering, lalu ditambah 1 jam dan 2 jam. Variasi pada durasi pengeringan ini dilakukan untuk membuktikan bahwa nilai Plastisitas awal (Po) akan menurun seiring dengan penambahan durasi pengeringan. Plastisitas awal (Po) adalah plastisitas karet yang langsung diuji tanpa perlakuan khusus sebelumnya. Refrizon (2003) telah mengungkapkan bahwa umumnya pengeringan pada suhu tinggi dan waktu lama selalu akan menurunkan nilai Po dan Viskositas Mooney, karena pada suhu tinggi dan waktu lama terjadinya pemutusan molekul karet akan berlangsung lebih cepat. Setelah rangkaian proses degradasi selesai, dilakukan pengujian nilai Po dan pengujian terhadap jumlah lindi hitam yang diserap oleh karet. Pengukuran plastisitas awal (Po) dilakukan untuk mengukur kemampuan karet untuk menahan pembebanan tetap selama waktu dan suhu tertentu sedangkan pengujian jumlah lindi hitam yang diserap bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak lindi hitam yang diserap oleh karet sebagai indikator reaksi degradasi tersebut. Setelah dilakukan proses degradasi, karet padat selanjutnya dicampur dengan aspal. Pencampuran karet ke dalam aspal diawali dengan pemanasan aspal pada suhu C. Pada suhu tersebut aspal mencair dengan sempurna. Aspal tersebut dipanaskan atau dicairkan pada wadah dengan volume aspal 2/3 volume wadah atau minimal 100 gram. Sebelum pencampuran, karet padat diperkecil ukurannya terlebih dahulu. Pengecilan ukuran ini bertujuan untuk memperluas bidang permukaan karet sehingga pencampuran antara aspal dengan karet dapat berlangsung dengan lebih cepat. 4.3 Pengaruh Degradasi Terhadap Jumlah Lindi Hitam yang Terserap oleh Karet Pada penelitian ini, salah satu indikator yang dikaji dari proses degradasi karet menggunakan lindi hitam adalah jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet. Pengujian jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak lindi hitam yang diserap oleh karet dan mengetahui trend penyerapan lindi hitam oleh karet pada variasi perlakuan yang dilakukan. Nilai plastisitas awal (Po) dari sampel dapat dilihat pada Gambar 7. Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet berkisar antara 7,85 sampai 16,65 gram Hal tersebut menunjukkan bahwa proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan variasi waktu perendaman pada lindi hitam dan waktu pengeringan karet telah membuat karet menyerap lindi hitam dengan trend yang semakin meningkat.

4 R3 : waktu perendaman 3 jam R5 : waktu perendaman 5 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Kn : waktu pengeringan normal K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam Gambar 7. Histogram Jumlah Lindi Hitam Terserap Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram pada Gambar 7, terlihat bahwa jumlah lindi hitam terserap yang tertinggi adalah 16,65 gram yaitu pada perlakuan waktu perendaman 7 jam. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal ditambah 1 jam dan 2 jam yaitu sebesar 7,83 gram. perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam terserap dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam dan 7 jam. Jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam dan 7 jam. Begitu pula dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam dan 5 jam. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan jumlah lindi hitam terserap yang semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam. Dengan demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet semakin meningkat. perlakuan variasi waktu pengeringan karet tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam

5 yang terserap oleh karet dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Begitu pula dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam terserap dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan uji lanjut Duncan, jika ditinjau dari jumlah lindi hitam terserap terlihat bahwa karet kombinasi R7Kn tidak berbeda nyata dengan karet R7K1 dan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7K1 tidak berbeda nyata dengan karet R7Kn dan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7K2 tidak berbeda nyata dengan karet R7Kn dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5Kn tidak berbeda nyata dengan karet R5K1 dan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K1 tidak berbeda nyata dengan karet R5Kn dan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan karet R5Kn dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3Kn tidak berbeda nyata dengan karet R3K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K1 tidak berbeda nyata dengan karet R3Kn dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K2 tidak berbeda nyata dengan karet R3Kn dan R3K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa terserapnya lindi hitam oleh karet menyebabkan karet menjadi semakin plastis. Semakin plastisnya karet ditunjukkan oleh nilai plastisitas awal (Po) karet yang telah terdegradasi yang nilainya telah turun jika dibandingkan dengan karet kontrol.

6 4.4 Pengaruh Degradasi Terhadap Nilai Plastisitas Awal Karet Plastisitas merupakan salah satu komponen analisis dari karet yang ikut menentukan mutu karet tersebut. Dalam pengukuran plastisitas karet, ada dua jenis plastisitas, yaitu plastisitas awal (Po) dan plastisitas akhir (Pa). Menurut Refrizon (2003), plastisitas awal (Po) dilakukan untuk mengukur kemampuan karet untuk menahan pembebanan tetap selama waktu dan suhu tertentu. Nilai Po ini secara tidak langsung juga menggambarkan panjang rantai molekul karet. Umumnya karet dengan nilai Po tinggi menunjukkan nilai bobot molekul yang tinggi. Nilai plastisitas awal (Po) dari sampel dapat dilihat pada Gambar 8. R0 : waktu perendaman 0 jam Kn : waktu pengeringan normal R3 : waktu perendaman 3 jam K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam R5 : waktu perendaman 5 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Gambar 8. Histogram Nilai Plastisitas Awal (Po) Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai plastisitas awal yang dihasilkan berkisar antara 19 sampai 28,5 dengan nilai plastisitas awal kontrol sebesar 61. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan variasi waktu perendaman pada lindi hitam dan waktu pengeringan karet telah membuat nilai plastisitas karet tersebut menurun secara signifikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai plastisitas tertinggi dari sampel yaitu 28,5 yang nilainya turun lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan nilai plastisitas awal kontrol. Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram di atas, terlihat bahwa nilai plastisitas karet terdegradasi yang tertinggi adalah 28,5 yaitu pada kombinasi perlakuan waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 5 jam dan waktu pengeringan 2 jam serta pada kombinasi waktu perendaman 7 jam dan waktu pengeringan 2 jam yaitu sebesar 19. perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap nilai

7 plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 3 jam, dan 7 jam Begitu pula dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 3 jam, dan 5 jam. Hasil pengujian plastisitas awal karet menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam sehingga secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka nilai plastisitas awalnya (Po) akan semakin rendah. Hal ini juga menggambarkan rantai molekul karet yang semakin pendek seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman. perlakuan variasi waktu pengeringan karet berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal dan waktu normal ditambah 2 jam. Begitu pula dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 2 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal dan waktu normal ditambah 1 jam. Hasil pengujian plastisitas awal karet menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan karet sehingga secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu pengeringan, maka nilai plastisitas awalnya (Po) akan semakin rendah. Hal ini juga menggambarkan rantai molekul karet yang semakin pendek seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan. menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan uji lanjut Duncan, dari nilai plastisitas awalnya (Po) terlihat bahwa karet kombinasi R0Kn, R3Kn dan R5Kn berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K2 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5K1 dan R3K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7Kn tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R7Kn tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi

8 lainnya. Sementara itu, karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Demikian juga karet kombinasi R7K2 tidak berbeda nyata dengan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Dalam penelitian ini, nilai plastisitas awal (Po) karet hasil degradasi tidak dibandingkan dengan nilai plastisitas awal (Po) pada SNI (Standar Nasional Indonesia) karena tujuan utama penelitian ini adalah untuk menurunkan nilai Po seminimal mungkin agar dengan beberapa perlakuan agar rantai molekul karet semakin pendek, tetapi pada SNI, nilai plastisitas tidak diperbolehkan melebihi nilai minimal yang telah ditentukan. Semakin menurunnya nilai plastisitas awal karet juga dipengaruhi oleh jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet. Grafik hubungan antara jumlah lindi hitam yang terserap dengan nilai Po dapat dilihat pada Gambar 9. Dari grafik pada Gambar 9 tersebut terlihat bahwa nilai plastisitas awal (Po) semakin menurun seiring dengan meningkatnya jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet pada reaksi degradasi. Penurunan nilai Po ini dapat disebabkan karena karet yang semakin plastis ketika karet tersebut mampu menyerap lindi hitam dalam jumlah banyak. Gambar 9. Grafik Hubungan Jumlah Lindi Hitam Terserap dan Plastisitas Awal (Po) Proses degradasi karet menggunakan lindi hitam ini diduga karena peran dari dari ion fenoksida (C 6 H 5 O - ) yang terdapat pada fenol. Fenol merupakan senyawa yang bersifat sedikit asam. Oleh karena itu fenol lebih berkecenderungan untuk melepas ion H + dan membentuk fenoksida (C 6 H 5 O - ) yang lebih larut dalam air. Ion fenoksida yang dihasilkan cukup reaktif dan dapat menarik salah satu atom H yang terdapat pada polimer karet terutama menyerang ikatan karbon rangkap, sehingga dihasilkan radikal bebas isoprena yang aktif. Radikal bebas pada molekul isoprena tersebut mudah bereaksi dan berikatan dengan oksigen yang ada dalam karet dan membentuk molekul yang tidak stabil hingga mengalami reaksi autooksidasi sampai terjadi pemutusan ikatan. Pada akhir reaksi pemutusan, terbentuk gugus karbonil. Gugus karbon aktif yang dihasilkan langsung bereaksi dengan gugus aktif dari reduktor yang dihasilkan gugus karbonil yang tidak bermuatan. Gugus karbon yang dihasilkan memiliki gugus ujung berupa

9 keton dan aldehid. Mekanisme proses degradasi karet menggunakan fenol melalui reaksi autooksidasi terdapat pada Gambar 10. Gambar 10. Mekanisme Reaksi Pemutusan Rantai Poliisopren Melalui Autooksidasi (Roberts, 1988) Nilai plastisitas awal (Po) yang semakin turun ini juga menyebabkan proses pencampuran antara karet dengan aspal menjadi semakin cepat. Grafik hubungan antara waktu pencampuran aspal dan karet dengan Po dapat dilihat pada Gambar 11. Hal ini membuktikan bahwa semakin pendek rantai molekul karet, maka pencampuran antara karet dengan aspal pun semakin cepat karena bobot molekul antara karet dengan aspal semakin mendekati kesetaraan. Semakin memendeknya rantai molekul karet dapat ditandai dengan menurunnya nilai plastisitas awal (Po) dari karet.

10 R0 : waktu perendaman 0 jam R3 : waktu perendaman 3 jam R5 : waktu perendaman 5 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Kn : waktu pengeringan normal K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam Gambar 11. Grafik Hubungan Po dan Waktu Pencampuran Aspal dengan Karet 4.5 Pengaruh Degradasi Terhadap Titik Lembek Aspal Termodifikasi Titik lembek aspal atau titik leleh aspal merupakan parameter utama untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk pengerasan jalan. Proses modifikasi aspal oleh penambahan lateks karet alam dinyatakan berhasil jika nilai titik lembek aspal modifikasi lebih tinggi daripada nilai titik lembek kontrol (aspal pen 60). Nilai titik lembek sampel dapat dilihat pada histogram nilai titik lembek (Gambar 12). Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai titik lembek yang dihasilkan berkisar antara 58 sampai 61 C dengan nilai titik lembek awal kontrol sebesar 62 C. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan variasi waktu perendaman pada lindi hitam dan waktu pengeringan karet telah berhasil membuat nilai titik lembek karet tersebut menurun. Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram tersebut, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang tertinggi adalah 61 C yaitu pada kombinasi perlakuan waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 5 jam dan waktu pengeringan normal serta pada kombinasi waktu pengeringan 5 jam dan waktu pengeringan normal ditambah 2 jam yaitu sebesar 59 C.

11 R0 : waktu perendaman 0 jam R3 : waktu perendaman 3 jam R5 : waktu perendaman 5 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Kn : waktu pengeringan normal K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam Gambar 12. Histogram Nilai Titik Lembek perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari aspal termodifikasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam dan 3 jam. Begitu pula dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam dan 3 jam. Hasil pengujian titik lembek aspal termodifikasi menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam. Dengan

12 demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka nilai titik lembek dari campuran aspal karetnya akan semakin rendah. perlakuan variasi waktu pengeringan karet berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari karet aspal termodifikasi. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 1 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 1 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal dan waktu pengeringan normal ditambah 1 jam. Hasil pengujian titik lembek aspal termodifikasi menunjukkan nilai titik lembek yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan karet. Dengan demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu pengeringan, maka nilai titik lembek dari campuran aspal karetnya akan semakin rendah. menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari karet aspal termodifikasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan uji lanjut Duncan, dari nilai titik lembeknya terlihat bahwa karet kombinasi R0Kn, R3Kn, dan R7K2 berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K2 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K1 dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K2 dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R7Kn, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5Kn tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5K2, R7Kn, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7Kn tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R5K2, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Dan karet kombinasi R7K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R5K2, dan R7Kn tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa nilai titik lembek akan semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman dan waktu pengeringan karet. Hal

13 demikian juga berlaku pada nilai plastisitas awal (Po) yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman dan pengeringan. Grafik hubungan antara nilai Po dengan titik lembek dapat dilihat pada Gambar 13. R0 : waktu perendaman 0 jam R3 : waktu perendaman 3 jam R5 : waktu perendaman 5 jam R7 : waktu perendaman 7 jam Kn : waktu pengeringan normal K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam K2 : waktu pengeringan normal ditambah 2 jam Gambar 13. Grafik Hubungan Po dan Titik Lembek Aspal Termodifikasi Pada grafik pada Gambar 13 terlihat bahwa secara umum titik lembek semakin turun seiring dengan penurunan nilai plastisitas awal (Po). Hal ini dapat disebabkan karena karet akan semakin plastis ketika nilai plastisitasnya semakin turun. Ketika karet tersebut dicampur dengan aspal, keplastisitasan karet ini juga akan mempengaruhi campuran aspal-karet walaupun tidak drastis karena karet hanya dicampurkan 3% dari total bobot aspal. Dengan demikian, aspal termodifikasi tersebut menghasilkan nilai titik lembek yang semakin turun. Perlakuan yang terbaik dari penelitian ini adalah pada kombinasi karet R7K2 yaitu karet dengan perendaman dalam lindi hitam selama 7 jam dan pengeringan normal ditambah 2 jam. Pada jenis kombinasi karet tersebut, nilai Po merupakan nilai yang terendah. Nilai Po yang terendah mengindikasikan rantai molekul karet yang terpendek dari semua sampel dan hal ini juga menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki rantai molekul karet terpendek. Jenis karet tersebut juga memiliki waktu pencampuran antara karet dengan aspal yang terendah, yaitu selama 349 menit. Waktu pencampuran ini kurang dari sepertiga jika dibandingkan dengan waktu pencampuran karet kontrol dengan aspal. Sementara pada aspek titik lembek, walaupun memiliki titik lembek yang terendah, yaitu 58 C, nilai titik lembek dari aspal termodifikasi ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai titik lembek aspal polimer sesuai SNI yaitu 56 C.

14 Dalam proses pencampuran antara aspal dengan karet, proses yang terjadi adalah proses secara fisik tanpa ada proses pencampuran secara kimiawi. Gambar 14 menunjukkan ilustrasi komposisi dari aspal minyak. Ilustrasi ini juga merepresentasikan aspal minyak jenis pen 60 yang digunakan dalam penelitian ini. Gambar 14. Ilustrasi Komposisi Aspal Minyak (Sentosa, 2010) Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa aspal minyak semi padat yang dipakai memiliki komponen penyusun seperti aspalten, resin, dan minyak. Selanjutnya apabila aspal dipanaskan, minyak dari aspal tersebut akan keluar dan aspal mencair. Proses pemanasan ini juga membuat jarak antar partikel aspal menjadi renggang. Pada saat partikel aspal menjadi renggang, partikel karet akan masuk ke dalam ruang-ruang partikel aspal dan menyerap minyak yang ada pada aspal sehingga karet mengembang. Partikel karet tersebut mengisi ruang-ruang partikel aspal sehingga aspal modifikasi yang dihasilkan menjadi lebih padat dan keras.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku 1. Lateks Pekat Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan yang telah ditambahkan amonia.

Lebih terperinci

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 1. Karakteristik SIR 20 Karet spesifikasi teknis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SIR 20 (Standard Indonesian Rubber 20). Penggunaan SIR 20

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

BAB 3 METODE PENELITIAN. Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 30 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1. Alat Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Beaker glass 250 ml Blender Cawan platina Gelas ukur 200 ml Gunting Kertas saring

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi penting dan terbesar di Indonesia. Lampung adalah salah satu sentra perkebunan karet di Indonesia. Luas areal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARET ALAM DAN KARET ALAM PADAT (SIR 20) Karet alam adalah senyawa hidrokarbon yang dihasilkan melalui penggumpalan getah dari hasil penyadapan tanaman tertentu. Getah tersebut

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Karet (Hevea brasiliensis M.) merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang keberadaannya sangat penting dan dibutuhkan di Indonesia. Tanaman karet sangat

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

Struktur Aldehid. Tatanama Aldehida. a. IUPAC Nama aldehida dinerikan dengan mengganti akhiran a pada nama alkana dengan al.

Struktur Aldehid. Tatanama Aldehida. a. IUPAC Nama aldehida dinerikan dengan mengganti akhiran a pada nama alkana dengan al. Kamu tentunya pernah menyaksikan berita tentang penyalah gunaan formalin. Formalin merupakan salah satu contoh senyawa aldehid. Melalui topik ini, kamu tidak hanya akan mempelajari kegunaan aldehid yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar Rataan kandungan protein kasar asal daun singkong pada suhu pelarutan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: SIR (Standard Indonesian Rubber) 20, Aspal Pen 60 yang berasal dari Dinas Pekerjaan Umum Binamarga,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Bahan Baku Minyak Minyak nabati merupakan cairan kental yang berasal dari ekstrak tumbuhtumbuhan. Minyak nabati termasuk lipid, yaitu senyawa organik alam yang tidak

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Perbandingan Kuantitas Produk Bio-oil, Gas dan Arang

Gambar 4.1. Perbandingan Kuantitas Produk Bio-oil, Gas dan Arang Persentase hasil BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Persentase Plastik dan Cangkang Sawit Terhadap Kuantitas Produk Pirolisis Kuantitas bio-oil ini menunjukkan seberapa banyak massa arang, massa biooil, dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan Dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan KKK 60%. Bahan-bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pembantu dalam penelitian

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan produsen karet alam nomor dua di dunia setelah Thailand. Produksi karet alam Indonesia tahun 2007 mencapai 2,55 juta ton dengan luas lahan perkebunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. nabati yang penting di Indonesia. Kelapa minyak sawit mengandung kurang lebih

TINJAUAN PUSTAKA. nabati yang penting di Indonesia. Kelapa minyak sawit mengandung kurang lebih II. TINJAUAN PUSTAKA A. Cangkang Kelapa Sawit Kelapa Sawit (Elleis Guinensis) merupakan salah satu sumber minyak nabati yang penting di Indonesia. Kelapa minyak sawit mengandung kurang lebih 80% pericarp

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar

PENERAPAN IPTEKS PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS. Oleh Rudi Munzirwan Siregar PERBANDINGAN ASAM ASETAT DENGAN ASAM FORMIAT SEBAGAI BAHAN PENGGUMPAL LATEKS Oleh Rudi Munzirwan Siregar Abstrak Penelitian tentang perbandingan asam asetat dengan asam formiat sebagai bahan penggumpal

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil Kuantitas bio oil ini menunjukkan bahwa banyaknya dari massa bio oil, massa arang dan massa gas yang dihasilkan dari proses pirolisis

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI KARET ALAM MENGGUNAKAN LINDI HITAM SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN ASPAL TERMODIFIKASI SKRIPSI. Oleh AGUS FAISAL F

PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI KARET ALAM MENGGUNAKAN LINDI HITAM SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN ASPAL TERMODIFIKASI SKRIPSI. Oleh AGUS FAISAL F PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI KARET ALAM MENGGUNAKAN LINDI HITAM SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN ASPAL TERMODIFIKASI SKRIPSI Oleh AGUS FAISAL F34061267 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran bilangan peroksida sampel minyak kelapa sawit dan minyak kelapa yang telah dipanaskan dalam oven dan diukur pada selang waktu tertentu sampai 96 jam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lateks adalah cairan koloid yang berwarna putih susu yang diperoleh dari pohon karet (Havea Brasiliensis) dengan partikel-partikel karet terdispersi air. Lateks dikenal

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara pada waktu pengadukan 4 jam dan suhu reaksi 65 C yaitu berturut turut sebesar 9; 8,7; 8,2. Dari gambar 4.3 tersebut dapat dilihat adanya pengaruh waktu pengadukan terhadap ph sabun. Dengan semakin bertambahnya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel 26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 P-larut Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel 9 (Lampiran), dan berdasarkan hasil analisis ragam pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN Bahan baku pada penelitian ini adalah buah kelapa segar yang masih utuh, buah kelapa terdiri dari serabut, tempurung, daging buah kelapa dan air kelapa. Sabut

Lebih terperinci

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat Kualitas pektin dapat dilihat dari efektivitas proses ekstraksi dan kemampuannya membentuk gel pada saat direhidrasi. Pektin dapat membentuk gel dengan baik apabila pektin tersebut memiliki berat molekul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) sering disebut tanaman kehidupan karena bermanfaat bagi kehidupan manusia diseluruh dunia. Hampir semua bagian tanaman

Lebih terperinci

c. Suhu atau Temperatur

c. Suhu atau Temperatur Pada laju reaksi terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju reaksi. Selain bergantung pada jenis zat yang beraksi laju reaksi dipengaruhi oleh : a. Konsentrasi Pereaksi Pada umumnya jika konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan isoprene yang berikatan dengan konfigurasi cis 1,4. Isoprene tersusun

BAB I PENDAHULUAN. kandungan isoprene yang berikatan dengan konfigurasi cis 1,4. Isoprene tersusun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet alam Hevea brasiliensis merupakan suatu polimer alam yang memiliki kandungan isoprene yang berikatan dengan konfigurasi cis 1,4. Isoprene tersusun oleh banyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Karakterisasi Briket Arang Pengujian karakteristik briket meliputi kadar air, kadar abu, dekomposisi senyawa volatil, kadar karbon terikat, kerapatan dan nilai kalor.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil pengujian agregat kasar dan halus No Jenis Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi

Lebih terperinci

PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET. Rudi Munzirwan Siregar

PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET. Rudi Munzirwan Siregar PENENTUAN PLASTISITAS AWAL DAN PLASTISITAS RETENSI INDEKS KARET Rudi Munzirwan Siregar Abstrak Penelitian tentang Penentuan Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Indeks karet telah dilakukan. Kedalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui dapat atau tidaknya limbah blotong dibuat menjadi briket. Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

PETANI DI BABEL MASIH MENGGUNAKAN TAWAS SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

PETANI DI BABEL MASIH MENGGUNAKAN TAWAS SEBAGAI KOAGULAN LATEKS Anjloknya harga karet Indonesia akhir-akhir ini berkaitan erat dengan kualitas bokar (bahan olah karet) yang diproduksi oleh petani, dimana dalam pengolahan bokar-nya masih banyak petani karet yang mempergunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kandungan air dalam suatu bahan perlu diketahui untuk menentukan zatzat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Kadar air dalam pangan dapat diketahui melakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Penelitian ini menggunakan agregat kasar, agregat halus, dan filler dari Clereng, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Hasil pengujian agregat ditunjukkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Karet alam (natural rubber, Hevea braziliensis), merupakan komoditas perkebunan tradisional sekaligus komoditas ekspor yang berperan penting sebagai penghasil devisa negara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Bahan/material penyusun briket dilakukan uji proksimat terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat dasar dari bahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Sebelum Perendaman Dengan Minyak Jelantah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Sebelum Perendaman Dengan Minyak Jelantah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Uji proksimat merupakan sifat dasar dari bahan baku yang akan digunakan sebelum membuat briket. Sebagaimana dalam penelitian ini bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 16 Sesi NGAN HIDROKARBON (BAGIAN II) Gugus fungsional adalah sekelompok atom dalam suatu molekul yang memiliki karakteristik khusus. Gugus fungsional adalah bagian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Temperatur Pirolisis Terhadap Waktu Pirolisis dilakukan dengan variasi tiga temperatur yaitu 400 C, 450 C, dan 500 C pada variasi campuran batubara dan plastik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut cukup besar. Kota Bandar Lampung merupakan daerah yang memiliki

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi Faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah sebagai berikut. Konsentrasi Jika konsentrasi suatu larutan makin besar, larutan akan mengandung jumlah partikel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. L Kadar Protein Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan bahwa penambahan gula aren dengan formulasi yang berbeda dalam pembuatan kecap manis air kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan Data Hasil Percobaan Pengumpulan data hasil percobaan diperoleh dari beberapa pengujian, yaitu: a. Data Hasil Pengujian Sampel Awal Data hasil pengujian

Lebih terperinci

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia PENGARUH PEMANASAN TERHADAP PROFIL ASAM LEMAK TAK JENUH MINYAK BEKATUL Oleh: Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia Email:

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN

I. METODOLOGI PENELITIAN I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mutu Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Aagrobisnis Perkebunan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan berbagai perlakuan, terhadap perubahan kandungan protein

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penanganan Pasca Panen Lateks Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang masih segar 35 jam setelah penyadapan. Getah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Randemen Arang Tempurung Kelapa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Randemen Arang Tempurung Kelapa 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rendemen Arang Briket Tempurung Kelapa Nilai rata-rata rendemen arang bertujuan untuk mengetahui jumlah arang yang dihasilkan setelah proses pirolisis. Banyaknya arang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA Lateks kebun yang bermutu baik merupakan syarat utama mendapatkan hasil olah karet yang baik. Penurunan mutu biasanya disebab terjadinya prakoagulasi. Prakoagulasi akan menjadi masalah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat, lateks karbohidrat rendah (Double Centrifuge latex/lds), lateks DPNR (Deproteinized Natural Rubber),

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistiren Polistiren disintesis dari monomer stiren melalui reaksi polimerisasi adisi dengan inisiator benzoil peroksida. Pada sintesis polistiren ini, terjadi tahap

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS AMPAS TEBU SERTA PENGUJIANNYA UNTUK PENGAWETAN DAGING AYAM

KARAKTERISASI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS AMPAS TEBU SERTA PENGUJIANNYA UNTUK PENGAWETAN DAGING AYAM KARAKTERISASI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS AMPAS TEBU SERTA PENGUJIANNYA UNTUK PENGAWETAN DAGING AYAM Ayu Saputri *, dan Setiadi Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424,

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KUALITAS ARANG AKTIF DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU JATI

PEMBUATAN DAN KUALITAS ARANG AKTIF DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU JATI C7 PEMBUATAN DAN KUALITAS ARANG AKTIF DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU JATI (Tectona grandis L.f) DAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays LINN) SEBAGAI ADSORBEN MINYAK GORENG BEKAS (MINYAK JELANTAH) Oleh : J.P. Gentur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Awal Bahan Dasar Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dan Batu Bara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Awal Bahan Dasar Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dan Batu Bara 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab hasil dan pembahasan ini akan diuraikan mengenai hasil preparasi bahan dasar karbon aktif dari tempurung kelapa dan batu bara, serta hasil karakterisasi luas permukaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba untuk penentuan daya serap dari arang aktif. Sampel buatan adalah larutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba untuk penentuan daya serap dari arang aktif. Sampel buatan adalah larutan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Sampel Buatan Pada prosedur awal membuat sampel buatan yang digunakan sebagai uji coba untuk penentuan daya serap dari arang aktif. Sampel buatan adalah larutan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Jarak Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik minyak jarak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis gelap. Karakterisasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar dunia.

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar dunia. 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar dunia. Khususnya Indonesia kontribusi sebesar 26 persen dan total produksi karet alam dunia. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari famili Euphorbia ceae ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan. Lateks karet

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil Fortifikasi dengan penambahan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) selama penyimpanan, dilakukan analisa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Papan Partikel 4.1.1 Kerapatan Kerapatan merupakan perbandingan antara massa per volume yang berhubungan dengan distribusi partikel dan perekat dalam contoh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, negara yang sangat subur tanahnya. Pohon sawit dan kelapa tumbuh subur di tanah Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil

Lebih terperinci

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi Bab IV Pembahasan IV.1 Ekstraksi selulosa Kayu berdasarkan struktur kimianya tersusun atas selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin sebagai

Lebih terperinci

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal.

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu penghuni jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal. Pengertian Aspal Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal. Pengertian Aspal adalah bahan yang bersifat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA 1113016200027 ABSTRAK Larutan yang terdiri dari dua bahan atau lebih disebut campuran. Pemisahan kimia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspal adalah material perekat berwarna coklat kehitam hitaman sampai hitam dengan unsur utama bitumen. Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Uji Kadar Aspal dalam Batuan Uji kadar aspal ini dilakukan dengan mekanisme seperti pada Gambar 4. berikut. Gambar 4. Diagram alir percobaan uji kadar aspal 2 Batuan aspal

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin 4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PIROLISIS ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

OPTIMASI PROSES PIROLISIS ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.1 ; Juni 2015 OPTIMASI PROSES PIROLISIS ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS JAKA DARMA JAYA 1, NURYATI 1, BADRI 2 1 Staff Pengajar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES KARYA TULIS ILMIAH Disusun Oleh: Achmad Hambali NIM: 12 644 024 JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI SAMARINDA

Lebih terperinci