VI. MITIGASI RISIKO MELALUI PENDEKATAN MODEL DISTRIBUSI RISIKO (RISK SHARING)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. MITIGASI RISIKO MELALUI PENDEKATAN MODEL DISTRIBUSI RISIKO (RISK SHARING)"

Transkripsi

1 74 VI. MITIGASI RISIKO MELALUI PENDEKATAN MODEL DISTRIBUSI RISIKO (RISK SHARING) 6.1. Penyempurnaan Model Distribusi Risiko Model peyeimbangan risiko (Balancing Risk) rantai pasok yang dijadikan bahan rujukan dari penelitian ini adalah model intermediasi risiko yang diusulkan oleh Wu dan Blackhurst (2009) sebagai penyempurnaan usulan model risk sharing yang pernah diajukan oleh Seshadri dan Chen (2006). Berdasarkan kajian literatur, telah banyak peneliti yang mengajukan model risk sharing (RS) sebagai salah satu pendekatan yang baik dalam menanggulangi risiko rantai pasok. Cachon (2003) mereview ulang semua bentuk model distribusi risiko berikut dengan usulan kontraknya. Chen dan Seshadri (2006) melakukan perbaikan terhadap mekanisme pemeberian insentif pada model distribusi risiko. Chen et al (2006), Tsay (2001) dan Li et al (2009) melakukan pemodelan mitigasi risiko melalui pendekatan distribusi risiko melalui penetapan mekanisme insentif yang berbeda. Model Distribusi risiko terbukti berhasil mengatasi persoalan manajemen risiko rantai pasok di banyak kasus industri manufaktur (Cachon, 2003) sehingga menjadi banyak pilihan para ahli manajemen risiko perusahaan perusahaan besar dalam mengatasi persoalan risiko di sepanjang jalur rantai pasok (Wu dan Blackhurst 2009). Tujuan utama dari model (RS) yang ada selama ini adalah untuk menjaga kesinambungan pasokan dari mitra pelaku rantai pasok agar keberlanjutan organisasi dan rantai pasok sendiri tetap terjaga. Secara sederhana mekanisme model RS bekerja dengan mendistribusikan sebagian profit kepada pelaku rantai pasok untuk mengurangi bobot beban risiko yang ditanggung melalui mekanisme pengaturan harga jual unit produk selama periode pemesanan tertentu (Original Newsvendor Problem). Pengaturan harga ini biasanya selalu dikaitkan dengan persoalan inventori di tingkat vendor (pemasok) dengan fluktuasi permintaan konsumen di tingkat ritel. Mekanisme pengaturan harga yang menjadi tolak ukur dalam model RS adalah pada nilai insentif yang dberikan. Mekanisme pengaturan insentif dan besarnya nilai yang insentif yang harus

2 75 diberikan merupakan dasar pemikiran dari model RS yang banyak diajukan peneliti selama ini. Kebanyakan kasus RS yang dijadikan fokus penelitian adalah pada industri manufaktur. Konsep model RS di industri manufakur agak sedikit berbeda dengan model RS yang ada pada agroindustri pertanian. Pada umumnya pelaku yang menanggung bobot risiko paling besar pada industri manufaktur adalah pemasok (vendor) sebagai akibat fluktuasi permintaan di tingkat ritel sehingga persediaan sulit diramalkan (penggelembungan risiko). Sebaliknya pada Agroindustri pertanian risiko pemasok (petani) disebabkan karena transparansi informasi harga sehingga profit tidak merata ke tingkat petani. Ketergantungan petani kepada agroindustri (distributor) untuk mendistribusikan pasokan membuat posisi tawar (bargaining position) petani menjadi lemah. Konsep model RS rantai pasok kopi organik menjadi sedikit berbeda dari rantai pasok agroindustri serta industri manufaktur pada umumnya bila ditinjau dari segi kuantitas pasokan. Hal ini disebabkan karena Jumlah pasokan tidak mencukupi permintaan produk yang tinggi dari konsumen. Cara pandang konsep rantai pasok yang berbeda dari distributor mebuat model RS yang diajukan sebelumnya sulit diaplikasikan pada manajemen risiko rantai pasok pertanian. Model RS rantai pasok kopi organik di Aceh Tengah memberikan pendekatan yang berbeda dari model RS yang pernah diajukan sebelumnya. Penyempurnaan model dilakukan dengan menambahkan parameter kinerja pada mekanisme penentuan harga jual. Sehingga, ouput yang dihasilkan tidak lagi fokus bertujuan menjaga keberlanjutan rantai pasok kopi organik di Aceh Tengah tetapi sekaligus memberikan penawaran peningkatan total profit distributor (koperasi) pada saat yang bersamaan. Mekanisme model RS seperti inilah yang mengakomodir agar posisi tawar petani menjadi lebih kuat kepada distributor sehingga bersedia untuk mendistribusikan sebagian profit yang diperolehnya kepada petani sehigga keseimbangan risiko rantai pasok dapat dioptimalkan. Gambar 21 memberikan perbandingan antara model RS Wu dan Blackhurst (2009) dengan model RS rantai pasok kopi organik di Aceh Tengah.

3 Bargaining position model lebih baik Minimalisir loss profit Keberlajutan rantai pasok Peningkatan total profit Pergeseran risiko optimal Model RS sebelumnya Model RS belum optimal Umum Penetapan harga jual unit produk Keberlajutan rantai pasok Penyempurnaan Model RS Pergeseran risiko tidak optimal Model RS Wu dan Blackhurst Penetapan harga jual unit produk Bargaining position model masih lemah Minimalisir loss profit Model RS kopi organik Penetapan harga jual unit produk Pembayaran tetap Insentif Keberlajutan rantai pasok Pembayaran tetap Parameter kinerja Spesifik risiko pelaku Pergeseran risiko optimal Insentif Legenda : Koordinasi melalui kontrak Koordinasi melalui kontrak Spesifik risiko pelaku RS : risk sharing (distribusi risiko) : penjelasan terhadap aktivitas utama : penurunan terhadap model dalam penelitian : pengelompokan aktivitas model : pengelompokan aktivitas perbaikan dari model sebelumnya : penurunan terhadap aktivitas berikutnya Gambar 21 Kerangka pikir penyempurnaan model distribusi risiko

4 77 Dari alur pikir model RS pada Gambar 19 terlihat ada tiga perbaikan model RS pada studi ini terhadap penyempurnaan model RS yang diusulkan oleh Wu dan Blackhurst (2009) yaitu : 1. Perubahan dilakukan pada mekanisme pemberian insentif dengan menambahkan parameter kinerja sehingga perbaikan tidak lagi hanya bertumpu pada perubahan cara pemberian insentif seperti yang banyak diusulkan pada model RS sebelumnya, akan tetapi kepada formulasi fungsi insentif. 2. Penambahan parameter kinerja menghasilkan dualisme output model RS yaitu menjaga keberlanjutan rantai pasok serta meningkatkan total profit pelaku terutama distributor pada saat bersamaan. 3. Perubahan pada model RS memberikan keuntungan dalam hal posisi tawar (bargaining position) pemasok (vendor) terhadap distributor maupun bargaining position model khususnya terhadap distributor dan pelaku rantai pasok pada umumnya. Penggunaan kata distributor pada penjelasan diatas merujuk kepada pelaku rantai pasok yang menerima profit paling besar di dalam rantai pasok tetapi sebaliknya menanggung bobot risiko yang relatif kecil. Sehingga pelaku rantai pasok seperti ini yang pada umumnya harus mendistribusikan sebagian profit yang diperolehnya kepada pelaku dengan risiko lebih besar sehingga keseimbangan risiko (balancing risk) bisa dilakukan dalam model RS 6.2. Kondisi Awal Struktur Rantai Pasok Penetapan kondisi awal struktur rantai pasok bermanfaat sebagai patokan dasar dalam merancang model RS kopi organik di Aceh Tengah. Penafsiran yang salah terhadap kondisi permasalahan objek yang akan dimodelkan berakibat fatal terhadap output yang dihasilkan model. Penafsiran yang salah menyebabkan model tidak mewakili kompleksitas permasalan objek penelitian dalam hal ini kopi organik di Aceh Tengah. Adapun kondisi awal yang teridentifikasi dalam perancangan model RS kopi organik adalah : 1. Pasokan atau supply (S) kopi organik dari petani ke koperasi sebagai distributor tidak mencukupi. Artinya semua pasokan kopi organik terserap oleh pasar. Kondisi ini membuat permasalahan model RS rantai pasok kopi

5 78 organik di Aceh Tengah berbeda dari rantai pasok di level industri manufaktur ataupun agroindistri pertanian lainnya. 2. Harga produk (c) di musim panen dengan pasca panen tidak berimbang, sehingga dari permasalahan ini dapat disimpulkan model RS kopi organik membutuhkan koordinasi terhadap semua pelaku yang ada. 3. Kinerja (θ) masing-masing pelaku terutama petani tidak sama sehingga dibutuhkan model pengukuran kinerja yang dapat bekerja secara simultan dan berkesinambungan dalam mengatasi permasalahan ini. 4. Tidak ada perlakuan yang berbeda dari distributor terhadap petani maupun pelaku lainnya yang memiliki kualitas dan kuantitas pasokan (kinerja) lebih baik. Dari kondisi ini dibutuhkan mekanisme penetapan harga yang memperhitungkan kinerja pelaku sehingga peningkatan kualitas dan kuantitas pasokan bagi distributor dalam meningkatkan total profit Pelaku rantai pasok bisa dilaksanakan Analisis Model Distribusi risiko Rantai Pasok Kopi Organik Penetapan sejumlah asumsi dan tujuan atau output model bermanfaat untuk menyelaraskan bentuk model RS untuk produk kopi organik di Aceh Tengah dengan kondisi sebenarnya pada objek penelitian Tujuan Pembuatan Model Distribusi Risiko Tujuan model RS dibuat berdasarkan excisting condition model sehingga model bisa mewaikili permasalahan pada objek yang dimodelkan. Adapun tujuan dari model RS kopi organik di Aceh Tengah adalah : 1. Untuk meminimalisir kehilangan loss profit di tingkat distributor (koperasi). 2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas pasokan sebagai posisi tawar petani ke koperasi sehingga koperasi bersedia mendistribusikan sebagian profit ke pelaku bagian hulu rantai pasok melalui mekanisme yang diatur dalam model. 3. Meningkatkan kinerja pelaku 4. Menetapkan perubahan skenario harga jual berdasarkan kuantitas dan kualitas pasokan melalui pemilihan model parameter kinerja yang tepat.

6 79 Dari tujuan pembuatan model RS diatas terlihat bahwa permasalahan utama adalah mengatur mekanisme pendistribusian profit melalui penetapan harga jual yang tepat. Pemilihan model pengukuran kinerja (DEA) yang tepat juga menjadi elemen penting dalam merancang model RS kopi organik di Aceh Tengah Asumsi Model Distribusi Risiko Penetapan asumsi model bertujuan untuk membatasi parameter-parameter pengukuran sesuai dengan excisting condition dan tujuan pemodelan yang telah didefinisikan terlebih dahulu. Sehingga, konsep rancangan model tidak keluar dari kerangka permasalahan yang ada. 1. Petani sebagai pemasok (vendor) dibedakan berdasarkan nilai kinerja baik pada saat penetapan harga maupun pengelompokan pelaku di dalam menu kontrak. 2. Harga akhir (FP yi ) dependen terhadap parameter pengukuran kinerja. 3. Harga awal sebagai tolak ukur harga dasar dalam mekanisme penetapan harga, dijustifikasi dari harga jual produk di tingkat distributor atau pelaku akhir dalam struktur rantai pasok kopi organik. Berdasarkan asumsi ini maka harga awal ditetapkan dari harga jual koperasi ke importir. 4. Non diskriminasi mekanisme penetapan harga pada semua tingkatan pelaku rantai pasok dengan opsi pada menu kontrak. 5. Mekanisme peningkatan profit pelaku rantai pasok diatur dalam fungsi harga yang terdiri atas sejumlah pembayaran tetap (F yi ) dan insentif. 6. Fungsi insentif diatur berdasarkan nilai kinerja terhadap sejumlah nilai harga jual. 7. Harga akhir yang merupakan harga jual optimal bagi setiap pelaku rantai pasok berfluktuasi terhadap nilai harga awal Penyeimbangan Risiko Rantai Pasok Kopi Organik Model distribusi risiko (risk sharing) sebagai metode untuk meyeimbangkan risiko (balancing risk) pelaku rantai pasok mengambil ide dari model intermediasi risiko yang telah disempurnakan oleh Wu dan Blackhurst (2009). Formulasi awal yang menjadi ide pemodelan distribusi risiko pada penelitian ini adalah

7 80 menentukan bentuk formulasi insentif sebagai pengembangan model dasar dari model Wu dan Blackhurst (2009). Nilai insentif dirumuskan berdasarkan perolehan kinerja yang diukur melalui pendekatan DEA (persamaan 3). Nilai insentif akan menjadi indikator yang menentukan tingkat keuntungan koperasi (persamaan 7) maupun petani, prosesor dan kolektor (persamaan 8). Setelah formulasi insentif didapatkan, maka baru kemudian digabungkan dengan formulasi pembayaran tetap. Rumusan formulasi pembayaran tetap merupakan pengembangan yang dilakukan dalam studi ini berdasarkan kondisi permasalahan objek penelitian.penentuan sejumlah pembayaran tetap ditentukan berdasarkan formulasi rancangan kontrak pada persamaan (9). Rancangan kontrak dirumuskan dalam bentuk kuantitatif model sebagai bagian implementasi model RS. Ide dasar rancangan kontrak diambil dari model kontrak intermediasi risiko yang diajukan Wu dan Blackhurst (2009). Pada umumnya rancangan struktur kontrak akan selalu diikuti sejumlah penawaran tetap kepada konsumen agar bersedia menjadi bagian dari kontrak. Penawaran inilah yang didefinisikan sebagai nilai reservation utility (r i ) konsumen ketika menerima tawaran isi kontrak. Nilai r i merupakan sejumlah imbalan terhadap risiko konsumen ketika berada dalam mekanisme kontrak. Nilai r i kemudian diambil sebagai tolak ukur dalam menentapkan sejumlah pembayaran tetap dalam model RS (persamaan 10). Penambahan parameter kinerja dalam fungsi insentif memberikan pendekatan dan pemahaman yang berbeda mengenai model RS. Mekanisme pendistribusian risiko dilakukan melalui penetapan harga jual yang optimal bagi setiap pelaku rantai pasok. Perubahan pada skenario penetapan harga jual mengakibatkan sebagian besar profit rantai pasok yang terkonsentrasi pada satu pelaku bergeser ke pelaku lainnya berdasarkan bobot risiko yang ditanggungnya. Proses penetapan harga dilakukan dengan memberikan sejumlah pembayaran tetap (F yi ) yang dipadukan dengan pemberian insentif (F yi - ( [ρ] +. F yi )). Parameter kinerja melalui pendekatan DEA berfungsi untuk mengukur tingkat kinerja pelaku yang didefinisikan melalui efisiensi ( ). konflik tujuan antara koperasi selaku distributor dengan petani sebagai pemasok dimediasi melalui fungsi pemberian insentif. Semakin tinggi tingkat kinerja pelaku yang dinyatakan

8 81 dengan nilai efisiensi 100 %. Maka semakin besar nilai harga jual setiap unit produk yang dijualnya. ( ([ ] )) (( ) ) ((( ) ) (( ) (( ) ))), Sehingga Nilai harga jual (profit) yang optimal untuk setiap pelaku melalui mekanisme model RS bisa dilihat dengan jelas melalui persamaan 10 : n o Oij. wij ji FPyi WRi. Fy / 2 WRi. Fy / 2 1. WR. / 2 n o i Fy I.... (10) ij vij ji s.t. Dimana : F yi FP yi F y = Harga pembayaran tetap distributor y (koperasi) unit ke i = Harga jual optimal pelaku tingkatan y unit ke i = Harga jual finish good tingkat distributor = koofisien risk aversion pelaku rantai pasok = nilai kinerja (efisiensi DEA) pelaku tingkatan ke y unit ke i

9 82 WR i = Bobot risiko pelaku di dalam tingkatan rantai pasok. O ij = Variabel output j unit ke i. w ij = bobot output j unit ke i. I ij v ij = variabel input ke j unit ke i = bobot input ke j unit ke i Model RS yang diwakili oleh persamaan 10 merupakan prinsip membagi mekanisme harga jual berdasarkan temuan risiko pada bab sebelumnya. Harga jual optimal (FP yi ) didapat dari bobot risiko yang ditanggung pelaku setiap sphere dikalikan dengan harga jual akhir (finish good) di tingkat koperasi (F y ). Artinya semakin besar bobot risiko yang ditanggung pelaku di dalam sphere rantai pasok, maka semakin besar nilai harga jual optimal yang mungkin diperolehnya. Mekanisme ini dilanjutkan dengan memperhatikan kinerja dari setiap pelaku di dalam sphere rantai pasok. Nilai jual optimal yang sudah ditetapkan untuk setiap sphere rantai pasok akan ditinjau secara lebih spesifik terhadap masing-masing pelaku didalam sphere tersebut. Atribut yang menjadi indikator pengaturan harga spesifik di setiap pelaku dalam sphere rantai pasok terdiri atas dua yaitu pembayaran tetap (F yi ) dan insentif (I). Pembagian antara sejumlah pembayaran tetap (F yi ) dan insentif (I) ditetapkan sama besar. Artinya, 50 % dari total harga jual yang telah ditetapkan berdasarkan risiko pelaku untuk setiap sphere akan dibayarkan dengan jumlah yang sama terhadap semua pelaku. Sementara, 50 % dari total nilai harga jual optimal yang akan diterima pelaku diberikan dalam bentuk insentif. Nilai insentif akan berfluktuatif, tergantung dari perolehan nilai kinerja (efisiensi relatif) pelaku di setiap sphere. Semakin baik nilai kinerja pelaku, maka nilai insentif yang akan didapatkan juga semakin optimal. Penetapan harga berdasarkan spesifik risiko pelaku diwakili oleh nilai koofisien risk aversion (ρ) yang merupakan bagian dari fungsi insentif. Koofisien risk aversion (ρ) mewakili sejumlah risiko yang harus diminimalisir pelaku. Nilai risiko di dalam koofisien risk aversion (ρ) merupakan ketidakmampuan pelaku untuk memperoleh kinerja maksimal. Nilai kinerja (θ) atau efisiensi relatif pelaku yang paling maksimal dari setiap pelaku rantai pasok akan bernilai 1. Artinya, jika pelaku memperoleh nilai θ sama dengan 1 maka tentu saja nilai koofisien risk

10 83 aversion (ρ) akan bernilai 0. Sehingga nilai insentif pelaku rantai pasok akan optimal atau (WR i. F y )/2 Dari persamaan (10), terlihat bahwa harga jual untuk setiap pelaku rantai pasok kopi organik di Aceh Tengah terdiri atas dua bagian yaitu sejumlah pembayaran tetap dan insentif. Pembayaran tetap adalah nilai harga yang bersifat permanen untuk pelaku rantai pasok setiap kali transaksi harga dilakukan. Sementara nilai insentif tergantung dari pencapaian kinerja pelaku rantai pasok. Artinya dari mekanisme pengaturan harga jual sebagian risiko pelaku didistribusikan melalui mekanisme pemberian insentif. Berdasarkan mekanisme pengaturan harga diatas maka masalah selanjutnya adalah bagaimana menentukan besaran harga insentif sehingga dapat mewakili pendistribusian risiko pelaku berdasarkan tujuan manajemen risiko rantai pasok yang dihubungkan dengan kompleksitas permasalahan di lapangan. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kuantitas pasokan petani rata-rata hanya 50 % dari kuantitas pasokan ideal suatu lahan pertanian. Artinya 50 % risiko pasokan masih ditanggung pelaku rantai pasok terutama koperasi. Berdasarkan kajian inilah maka 50 % dari mekanisme harga jual pelaku akan diatur melalui pemberian insentif. Sehingga dari total harga jual (FP yi ) pada setiap tingkatan maka setengah dari jumlah harga akan diatur oleh mekanisme penetapan harga di dalam fungsi insentif. Pembayaran tetap ditentukan berdasarkan kajian atribut perancangan kontrak untuk setiap pelaku rantai pasok. Nilai pembayaran tetap akan sama dengan nilai variabel Reservation utility (r i ) didalam sebuah kontrak. Pembayaran tetap akan diterima pelaku apabila sudah menerima aturan mekanisme kontrak dari koperasi atau distributor. Nilai r i merupakan sejumlah imbalan (reward) yang akan diterima pelaku jika menerima kontrak dari koperasi. Sebagi konsekuensi pelaku harus bisa memaksimalkan nilai kinerja (θ > 0), jumlah pasokan harus selalu ada ( S > 0). Nilai r i relatif berada di bawah harga pasar jika pelaku tidak berada dalam mekanisme kontrak koperasi. Akan tetapi jikan nilai kinerja (θ) pelaku semakin maksimal, maka perolehan harga jual akan jauh diatas harga

11 84 pasar. Berdasarkan kajian inilah, maka prinsip kompetisi dari setiap pelaku di dalam sphere rantai pasok akan terlaksana. Penentuan besarnya nilai harga jual optimal pada setiap tingkatan pelaku rantai pasok ditetapkan berdasarkan bobot risiko yang ditanggung oleh setiap pelaku di dalam rantai pasok (WR i. F y ). Metode pengukuran kinerja melalui pendekatan DEA bekerja secara simultan dan berkesinambungan sehingga nilai atribut variabel pengukuran kinerja DEA akan selalu berkompetisi untuk mencapai nilai terbaik. Mekanisme ini selaras dengan pelaku rantai pasok yang berusaha mendapatkan nilai harga jual optimal melalui peningkatan kinerja dengan perbaikan nilai atribut pengukuran ke arah yang lebih baik. Secara bersamaan model RS memberikan penawaran (bargaining position) yang lebih baik kepada koperasi sebagai distributor dan petani sebagai pemasok (vendor). Prinsip inilah yang menjadi kekuatan dan penyempurnaan model dari yang pernah diusulkan oleh banyak peneliti sebelumnya. Perubahan tidak saja pada parameter model RS tetapi sekaligus pada output yang dihasilkan yaitu keberlanjutan dan peningkatan profit rantai pasok secara bersamaan Penyeimbangan Risiko Tingkat Petani Berdasarkan perhitungan nilai kinerja dan formulasi dari model RS maka didapatkan nilai harga jual untuk tingkat petani (Tabel 24) Tabel 24 Rekapitulasi nilai harga jual tingkat petani Pelaku F Efisiensi WR y F Fi Ρ I FP Fi rantai pasok F (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) Petani 1 0,81 0, , , ,07 Petani 2 1,00 0, , , ,00 Petani 3 0,80 0, , , ,85 Petani 4 0,52 0, , , ,10 Petani 5 0,58 0, , , ,43 Petani 6 0,55 0, , , ,33 Petani 7 0,58 0, , , ,67 Petani 8 1,00 0, , , ,00 Petani 9 0,75 0, , , ,00 Petani 10 0,75 0, , , ,00 Petani 11 1,00 0, , , ,00 Petani 12 0,64 0, , , ,02,00 Petani 13 0,50 0, , , ,00

12 85 Tabel 24 Rekapitulasi nilai harga jual tingkat petani (lanjutan) Pelaku F Efisiensi WR Y F Fi I FP rantai pasok F ρ Fi (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) Petani 14 0,50 0, , , Petani 15 0,50 0, , , ,92 Petani 16 0,50 0, , , ,65 Petani 17 0,78 0, , , ,00 Petani 18 0,72 0, , , ,00 Petani 19 1,00 0, , , ,00 Petani 20 1,00 0, , , ,00 Sumber : Data primer 2012 Nilai harga finish good (F y ) merupakan harga jual yang berlaku di tingkat distributor sebagai eksportir pada saat sekarang. Nilai ini dapat berubah sesuai dengan nilai harga jual kolektor kepada importir. Penetapan nilai harga finish good (F y ) akan berlaku untuk perhitungan nilai harga jual untuk tingkat pelaku berikutnya yaitu prosesor dan kolektor. Jumlah pelaku tingkat petani yang mendapatkan nilai harga jual paling optimal (FP yi ) sebanding dengan bobot risiko yang ditanggung pelaku di dalam rantai pasok (WR i ). Bobot risiko sebagai penentu harga jual secara umum untuk satu tingkatan hanya bersifat sebagai patokan dasar dalam model RS. Besarnya harga jual produk masing-masing pelaku di dalam satu sphere rantai pasok tetap tergantung dari pencapaian nilai kinerja masing-masing pelaku rantai pasok. Semakin baik capaian nilai kinerja semakin tinggi nilai harga jual yang diperoleh. Semua hipotesa dan kajian ini akan berbanding sama pada penetapan harga jual tingkat prosesor dan kolektor melaui model RS Penyeimbangan Risiko Tingkat Prosesor Melalui model RS diketahui posisi harga jual optimal untuk kolektor berada pada harga Rp 3.121,63 yang merupakan nilai jual akibat proses pemberian nilai tambah diluar harga beli bahan baku kopi organik dari petani (Tabel 25). sementara pada kondisi saat ini pelaku tingkat prosesor hanya menerima keuntungan rata-rata Rp 1.000,-. Penetapan harga jual untuk tingkat prosesor dan kolektor sedikit berbeda karena hanya dihitung berdasarkan nilai profit diluar

13 86 pembelian harga bahan baku. Artinya, nilai keuntungan maksimal yang bisa diperoleh prosesor dari penjualan kopi organik adalah Rp Tabel 25 Rekapitulasi nilai harga jual tingkat prosesor Pelaku Rantai Ρ FP Efisiensi WR Pasok P F y (Rp) F Pi (Rp) I (Rp) Pi (Rp) (Rp) Prosesor 1 0,97 0, ,82 0, , ,27 Prosesor 2 0,83 0, ,82 0, , ,82 Prosesor 3 0,94 0, ,82 0, , ,20 Prosesor 4 0,94 0, ,82 0, , ,64 Prosesor 5 0,69 0, ,82 0, , ,38 Prosesor 6 1,00 0, ,82 0, , ,63 Prosesor 7 1,00 0, ,82 0, , ,63 Prosesor 8 0,93 0, ,82 0, , ,26 Prosesor 9 0,95 0, ,82 0, , ,96 Prosesor 10 0,84 0, ,82 0, , ,53 Prosesor 11 0,98 0, ,82 0, , ,16 Prosesor 12 1,00 0, ,82 0, , ,63 Prosesor 13 0,91 0, ,82 0, , ,49 Prosesor 14 0,63 0, ,82 0,37 990, ,06 Prosesor 15 0,91 0, ,82 0, , ,41 Prosesor 16 0,94 0, ,82 0, , ,77 Prosesor 17 1,00 0, ,82 0, , ,63 Prosesor 18 1,00 0, ,82 0, , ,63 Prosesor 19 1,00 0, ,82 0, , ,63 Prosesor 20 1,00 0, ,82 0, , ,63 Sumber : Data primer Penyeimbangan Risiko Tingkat Kolektor Analisa yang sama berlaku untuk penetapan nilai harga jual tingkat kolektor. Pada penentuan harga jual tingkat kolektor melalui mekanisme model RS, diketahui bahwa posisi harga jual yang optimal adalah pada harga Rp 9774,55,- diluar pembelian harga bahan baku pada tingkatan pelaku sebelumnya (Tabel 26). Melalui mekanisme penetapan harga jual dengan pendekatan model RS diketahui bahwa nilai harga jual tingkatan pelaku prosesor dan kolektor adalah nilai keuntungan kotor diluar pembelian bahan baku.

14 87 Tabel 26 Rekapitulasi nilai harga jual tingkat kolektor Pelaku Rantai WR Efisiensi P F y F Pi Ρ I FP Pi Pasok (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) Kolektor 1 1,00 0, ,27 0, , ,55 Kolektor 2 1,00 0, ,27 0, , ,55 Kolektor 3 0,92 0, ,27 0, , ,25 Kolektor 4 0,97 0, ,27 0, , ,82 Kolektor 5 1,00 0, ,27 0, , ,55 Sumber : Data primer 2012 Hasil ini diperoleh sesuai dengan proses identifikasi risiko pada model awal yang terfokus kepada risiko yang terjadi pada setiap pelaku selama proses pemberian nilai tambah dari produk kopi organik. Mekanisme koordinasi yang tepat perlu dilakukan agar jalur rantai pasokan dapat diprediksi dengan baik. Koordinasi rantai pasok juga diperlukan untuk menghilangkan gangguan dan faktor penggelembungan risiko yang terjadi di sepanjang jalur pasokan ke tingkat distributor Koordinasi Rantai Pasok Kopi Organik Koordinasi rantai pasok diperlukan untuk menyelaraskan konflik kepentingan tujuan antar pelaku di dalam rantai pasok agar sesuai dengan tujuan rancangan rantai pasok yang diinginkan (Cachon, 2003). Pada studi ini tujuan desain rantai pasok kopi organik di Aceh tengah adalah untuk menciptakan kontinuitas pasokan dan profitabilitas pelaku rantai pasok melalui proses manajemen risiko dengan pendekatan model distribusi risiko. Tujuan dari sub model analisis risiko yang telah ditetapkan di awal pembahasan diperkuat dengan pembuktian sub model pegukuran kinerja. Output tujuan sub model analisis risiko menjadi parameter dalam menentukan variabel atribut sub model pengukuran kinerja. Penyempurnaan model RS dilakukan berdasarkan penambahan parameter kinerja dijadikan masukan (input) bagi sub model RS dalam menentukan mekanisme penetapan harga jual di setiap tingkatan pelaku rantai pasok. Koordinasi rantai pasok dilakukan melalui mekanisme kontrak dengan mengelompokkan pelaku kedalam dua grup yaitu pelaku yang bebas risiko dan pelaku berisiko dipandang dari perspektif kontrak. Pelaku bebas risiko berarti pelaku yang mampu memaksimalkan kinerja dengan nilai efisiensi satu sehingga

15 88 memperoleh nilai harga jual paling optimal yang bisa ditawarkan kontrak. Sebaliknya pelaku berisiko dipandang dari sisi kinerja yang belum optimal menurut konsep DEA sehingga nilai koofisien risiko (ρ i ) pelaku masih bernilai positif. Berdasarkan penjelasan pada bab dua bahwa setiap pelaku rantai pasok yang mempunyai peranan sebagai pemasok (vendor) akan berusaha memaksimalkan nilai jual produk sehingga perolehan profit dari setiap penjualan unit produk meningkat (expected value). Sebaliknya distributor dalam hal ini koperasi mempunyai tujuan yang berbeda yaitu untuk meningkatkan nilai utilitas pasokan produk melalui pengurangan harga jual (expected utility). Semakin tinggi nilai EV petani maka akan berdampak terhadap pengurangan nilai EU pada tingkat koperasi. Untuk mengatasi konflik kepentingan ini maka diperlukan kontrak yang bisa mengakomodir tujuan ke dua pelaku sehingga profit yang diinginkan bisa berimbang. Berdasarkan persamaan (9), maka diperoleh nilai EV petani dengan mekanisme penetapan harga jual melalui model RS. [ ( ( ))] ( ([ ] ))...(11) Artinya nilai (value) produk petani akan dihargai berdasarkan formulasi yang telah disusun dalam model RS. Dengan berpatokan pada tujuan petani untuk meningkatkan nilai jual produk (EV), maka profit maksimum yang bisa diperoleh koperasi dengan memaksimalkan nilai EU melalui mekanisme kontrak (M(Q)) adalah sebagai beikut : ( * ( ( )) +) ( ) s.t. jika i ( ) ( * ( ( )) +) ( ([ ] )) ( ([ ] )) ( )

16 89 Persamaan (12) menjelaskan bahwa profit petani bisa dimaksimalkan dari setiap anggota (pelaku rantai pasok) yang berada dalam kontrak ( max im ( Q) ). Total profit yang bisa diperoleh koperasi dengan sejumlah (Π) pembelian unit produk melalui kontrak dapat ditingkatkan melalui cara : 1) meminimalisir tingkat loss profit melalui penetapan harga jual spesifik bedasarkan risiko pelanggan ( ( )) dan sejumlah pelaku yang bebas risiko (k), 2) pengontrolan nilai harga jual optimal setiap pelaku diatur melalui parameter kinerja. Formulasi kontrak mendefinisikan dengan jelas bahwa tujuan koperasi sebagai distributor untuk memaksimalkan nilai utilitas (EU) produk diperoleh melalui pendekatan penetapan harga jual berdasarkan risiko spesifik dan kinerja pelaku rantai pasok. Sebaliknya bila ditinjau dari kendala pertama kontrak, pelaku rantai pasok dalam hal ini petani, prosesor dan kolektor hanya akan menerima Kontrak (M(Q)) jika nilai harga jual produk kopi organik di setiap tingkatan pelaku minimal sama dengan nilai reservation utility (ri). Artinya kalau dihubungkan lagi dengan formulasi model RS maka nilai r i yang berada dibawah koordinasi kontrak dari koperasi adalah sama dengan nilai pembayaran tetap (F yi ). Sehingga meski pelaku memiliki kinerja paling buruk sekalipun akan tetap menerima sejumlah pembayaran dari koperasi untuk setiap unit produk kopi organik yang dijualnya. Kalau dikaji lebih jauh lagi, batasan kontrak pada kendala kedua menyatakan bahwa petani, prosesor dan kolektor sebagai pelaku yang menerima ikatan kontrak akan selalu menerima harga jual produk yang optimal sesuai dalam struktur menu kontrak berdasarkan kinerja masing-masing. Proses pengkarakterisasian pelaku seperti inilah yang menjadi salah satu dasar dalam merancang struktur menu kontrak di bawah ini : 1. Koperasi bertujuan memaksimalkan nilai EU dari semua kontrak yang ditawarkan. 2. Pelaku ke 1, 2,..., k-1 mendapatkan EV produk sama denga F yi + I sementara pelaku yang lainnya memperoleh nilai EV F yi bernilai setengah dari nilai WR i. F y. Q

17 90 4. F yi yang dibayarkan akan selalu bernilai tetap pada setiap pelaku dimana penambahan insentif diberikan atas dasar fungsi kinerja terhadap harga (IF yi ([ ] ). 5. Peningkatan nilai EU koperasi berbanding sama dengan peningkatan kinerja pelaku rantai pasok ( ). 6. Koperasi akan selalu melakukan mekanisme transparansi informasi harga terkait nilai F y. 7. Peningkatan nilai efisiensi pelaku ke i berbanding terbalik terhadap nilai ρ dan WR i dan berbanding lurus terhadap FP yi, E (x) serta jumlah k didalam M(Q) Implikasi Manajerial Model Risk Sharing Implikasi dari model RS terhadap pelaku rantai pasok berpatokan pada konsep formulasi RS serta formulasi kontrak (M(Q)) yaitu dengan mendistribusikan sebagian risiko melalui fungsi insentif (Fyi ([ρ] +. Fyi). Dampak dari model RS dijustifikasi dari pelaku rantai pasok yang bebas risiko menurut perspektif kontrak (k). Pendistribusian risiko diatur oleh parameter kinerja dari setiap pelaku rantai pasok ( ). Sehingga, jika M(Q) untuk pelaku ke i nilai ekspektasinya (E (x) = k) maka diperoleh nilai pergeseran bobot risiko dan marjin untuk setiap pelaku rantai pasok. Secara lebih jelas bisa dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Implikasi model risk sharing terhadap pelaku rantai pasok Pelaku Bobot risiko Sebelum distribusi risiko setelah distribusi risiko Selisih bobot risiko pelaku Implikasi Margin Petani 0,74 0,49-0,25 menurunan meningkat sebesar Rp ,45 Prosesor 0,03 0,06 0,03 meningkat menurun sebesar Rp 3.007,23 Kolektor 0,10 0,19 0,09 meningkat menurun sebesar Rp 9.416,33 Koperasi 0,16 0,27 0,13 meningkat menurun sebesar Rp ,89 Sumber : Data primer 2012 Dari Tabel 26 terlihat terjadi penurunan risiko petani yang signifikan sebesar 25,43 %. Indikasi ini berbanding dengan profit yang diterima petani sebesar 73,4 % dari total harga jual / harga jual finish goods (F y ). sehingga penerimaan profit yang cukup besar dari total profit yang bisa didapatkan oleh

18 91 petani di dalam rantai pasok akan sebanding dengan nilai risiko pelaku tingkatan yaitu sebesar 48,2 %. Risiko petani bisa saja diturunkan secara lebih tajam dengan konsekuensi persentase penerimaan profit petani dari total profit pelaku rantai pasok dikurangi. Implikasi lebih jauh harus dilakukan pengaturan ulang terhadap mekanisme penentuan harga jual optimal dimana bisa diterapkan asumsi seberapa besar nilai risiko yang diinginkan untuk diterima petani di dalam rantai pasok (WR i ) terhadap nilai E(x) = k untuk penentuan fixed payment (Fyi) dan insentif. Hipotesa ini akan berlaku sama untuk pelaku tingkatan prosesor dan kolektor Rencana Implementasi Model Model RS di dalam studi ini bertujuan untuk menjembatani kesepakatan perpektif model antara pelaku bagian hulu rantai pasok dengan koperasi sebagai distributor. Hasil dari pemodelan RS yang pernah diusulkan pada penelitian sebelumnya menjadi sulit di implementasikan ke dalam desain rantai pasok karena tidak ada keuntungan lebih yang didapat pelaku tingkat distributor. Konsep model RS sebelumnya yang hanya bertujuan untuk menjaga keberlanjutan rantai pasok ternyata tidak mempunyai posisi tawar yang cukup baik bagi koperasi selaku distributor. Mekanisme model RS yang menyebabkan koperasi harus berbagi profit berimplikasi terhadap output model RS. Kendala tersebut yang menjadi ide penyempurnaan model RS pada penelitian ini melalui dualisme ouput model. Output pertama bertujuan menjaga kesinambungan pasokan sehingga keberlanjutan rantai pasok dapat terjamin. Sedangkan output kedua mekanisme model RS dapat meningkatkan profit pelaku rantai pasok terutama sekali koperasi sebagai distributor. Peningkatan profit yang dimaksud disini bukan disebabkan oleh karena fluktuasi positif harga produk pada mekanisme pasar, akan tetapi peningkatan profit akibat mekanisme kerja model RS ketika diimplementasikan ke dalam rantai pasok Mekanisme Kerja DEA Dalam Model Distribusi Risiko (Risk Sharing) Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan metode pengukuran kinerja berbasis pemrograman linier berdasarkan tingkat pencapaian nilai efisiensi relatif yang diperoleh melalui tahapan proses perbandingan (benchmarking) antar pelaku

19 92 rantai pasok (DMU). Nilai efisiensi pelaku ditetapkan berdasarkan garis batas (efficient frontier) dari setiap unit yang memperoleh nilai efisiensi tertinggi. Sehingga, sejumlah pelaku dengan nilai efisiensi tertinggi yaitu 100 % akan membentuk garis batas efisien yang melingkupi (envelope) nilai efisiensi pelaku yang kurang dari 100 %. Prinsip inilah yang menjadi tolak ukur metode DEA untuk membedakan antara pelaku yang efisien dan tidak efisien. Pelaku yang berada di dalam lingkup garis batas efisiensi akan ditetapkan sebagai pelaku yang tidak efisien (Gambar 22). (%) Pelaku 1 a Pelaku 4 Pelaku 7 Output/input Pelaku 5 Pelaku 2 b c Pelaku 6 Pelaku 2 Garis batas efisiensi Output/input (%) Gambar 22 Ilustrasi prinsip benchmarking DEA dalam model distribusi risiko Berdasarkan persamaan 10 diketahui bahwa garis a, b, c merupakan rentang nilai ketidakefisienan pelaku rantai pasok yang didefinisikan model RS sebagai koofisien risk aversion ( ). Pelaku 2, 5, dan 6 merupakan pelaku dengan nilai EV yang belum optimal karena kinerja yang belum maksimal. Mekanisme ini akan menyebabkan perolehan nilai harga jual untuk pelaku ke 2, 5 dan 6 menjadi tidak maksimal. Hal ini disebabkan nilai efisiensi (θ) yang menjadi parameter dalam penetapan jumlah insentif belum optimal sehingga jumlah harga yang didapatkan pelaku menjadi tidak maksimal. Prinsip yang telah dijelaskan diatas yang menjadi indikator dalam peningkatan profit pelaku rantai pasok terutama sekali koperasi. Ketika diimplementasikan ke dunia nyata, model RS akan bekerja berdasarkan mekanisme kompetisi antar pelaku dalam memperoleh nilai harga jual yang optimal. Peningkatan nilai harga jual diperoleh dengan perbaikan kinerja sehingga

20 93 jumlah insentif yang diterima pelaku bisa dioptimalkan. Garis batas efisiensi pada model DEA akan didefinisikan sebagai batas harga jual optimal yang bisa diberikan koperasi sebagai distributor melalui sharing profit dalam mekanisme model RS. Perbaikan kinerja bisa dilakukan pelaku jika terjadi peningkatan nilai atribut pada model DEA sehingga indikator tersebut akan menjadi parameter tolak ukur koperasi dalam meningkatkan profit yang diinginkan. Peningkatan kuantitas dan kualitas pasokan dari petani sebagai salah satu atribut model DEA akan berimplikasi terhadap peningkatan profit koperasi. Sebaliknya, petani sebagai pelaku sentral yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pasokan kopi organik akan memperoleh keuntungan karena terjadi peningkatan terhadap harga jual produk yang dipasok. Total profit pelaku bagian hulu rantai pasok dapat meningkat jika nilai harga jual tingkat koperasi (FP yi ) ikut meningkat. Indikatornya dapat dilihat pada perbaikan atribut kualitas sehingga posisi harga jual koperasi ikut meningkat. Studi ini tidak dapat memberikan gambaran nyata sampai ke negosiasi harga pada tingkat importir dengan exportir (koperasi) akibat perbaikan kualitas produk Analisis Sensitivitas Model Distribusi Risiko Terhadap Pelaku Rantai Pasok Analisis sensitivitas model RS akan diterapkan pada petani dengan asumsi peningkatan kuantitas dan kualitas secara bertingkat. Pemilihan pelaku petani dalam analisis sensitivitas dianggap tepat karena merupakan pelaku kunci dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pasokan. Setiap kajian dalam analisis sensitivitas model RS terhadap petani akan berlaku sama terhadap pelaku tingkatan prosesor dan kolektor. Peningkatan kuantitas dan kualitas pasokan akan berimplikasi sama terhadap peningkatan profit semua pelaku rantai pasok. Akan tetapi pada kajian ini akan difokuskan terhadap koperasi sebagai bargaining position model RS. Peningkatan terhadap jumlah pasokan bisa langsung dijustifikasi secara positif sebagai peningkatan profit terutama terhadap koperasi dan pelaku lainnya. Sementara untuk peningkatan kualitas produk kopi organik perlu kajian lebih mendalam mengenai proses peningkatan harga beli di tingkat importir berkaitan dengan peningkatan kualitas produk. Secara implisit kenaikan kualitas akan bebanding lurus terhadap kenaikan harga produk.

21 94 Peningkatan kualitas dan kuantitas produk akan ditetapkan pada angka 5 % untuk perhitungan model RS terhadap petani. Dari tahapan ini akan dilihat berapa kemungkinan peningkatan profit pelaku rantai pasok terutama koperasi. analisa akan dihubungkan langsung terhadap koperasi sebagai pihak yang akan mendistribusikan profit sebagai konsekuensi model RS. Hasil pemodelan RS terhadap petani pada tahapan sebelumnya merupakan evaluasi terhadap kinerja pada periode sebelumnya. Dalam analisis ini diasumsikan model RS sudah diterapkan dengan penetapan harga yang adil. Mekanisme analisis sensitivitas model dimulai dari pengukuran kinerja petani dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pasokan 5 % sebagaimana dapat dapat dilihat pada Tabel 28. Peningkatan kinerja melalui atribut kualitas dan kuantitas di asumsikan terhadap pelaku tingkatan petani yang pada pengukuran sebelumnya teridentifikasi tidak efisien. nilai atribut kualitas dan kuantitas untuk petani dengan nilai efisiensi sama dengan satu pada pengukuran sebelumnya akan bernilai tetap. Tabel 28 Analisis sensitivitas peningkatan kualitas dan kuantitas pasokan 5 % DMU terhadap perhitungan efisiensi petani Nilai atribut awal Kualitas (%) Kuantitas (%) Nilai setelah terjadi peningkatan atribut Kualitas (%) Kuantitas (%) Efisiensi awal pelaku petani Efisiensi pelaku petani setelah simulasi Petani 1 21, ,05 756,00 0,81 0,85 Petani 2 10, , ,00 1,00 1,00 Petani 3 21, ,05 913,50 0,80 0,77 Petani 4 14, ,70 210,00 0,52 0,55 Petani 5 11, ,55 493,50 0,58 0,58 Petani 6 12, ,60 997,50 0,55 0,57 Petani 7 13, ,65 525,00 0,58 0,58 Petani 8 15, , ,00 1,00 1,00 Petani 9 8, , ,00 0,75 0,76 Petani 10 8, , ,00 0,75 0,75 Petani 11 8, , ,00 1,00 0,99 Petani 12 9, ,45 840,00 0,64 0,64 Petani 13 8, ,35 850,50 0,50 0,50 Petani 14 8, ,03 882,00 0,50 0,50 Petani 15 8, , ,50 0,50 0,50 Petani 16 7, ,56 493,50 0,50 0,50 Petani 17 14, ,70 787,50 0,78 0,78

22 95 Tabel 28 Analisis sensitivitas peningkatan kualitas dan kuantitas pasokan 5 % DMU terhadap perhitungan efisiensi petani (lanjutan) nilai atribut awal Kualitas (%) Kuantitas (%) nilai setelah terjadi peningkatan atribut Kualitas (%) Kuantitas (%) Efisiensi awal pelaku petani Efisiensi pelaku petani setelah simulasi Petani , ,72 0,72 Petani , ,00 0,81 Petani , ,00 1,00 Sumber : Data primer 2012 Dari Tabel 28 terlihat jelas pergeseseran pelaku petani yang teridentifikasi efisien, yaitu dari pelaku petani ke 2, 8, 11, 19 dan 20 menjadi pelaku ke 2, 8 dan 3. Hal ini berdampak terhadap pergeseran nilai efisiensi pelaku yang tidak efisien sehingga perolehan harga pada model RS juga ikut berubah. Pergeseran nilai efisiensi itu dapat dilihat pada pelaku ke 3, 11, 13, 14, 15, 19 yang mengalami penurunan nilai efisiensi. Sebaliknya pelaku 1, 4,, 6, 9 mengalami peningkatan nilai efisiensi sehingga profit yang didapatkan juga meningkat. Mekanisme pengukuran kinerja inilah yang akan menciptakan kompetisi antar pelaku dalam memperoleh nilai profit yang diinginkan. Peningkatan profit pelaku rantai pasok bisa juga diperoleh melalui peningkatan harga jual produk kopi organik di tingkat koperasi (finish good). Peningkatan nilai harga finish good (F y ) pada koperasi akan meningkatkan nilai harga pada fungsi isenstif dan pembayaran tetatp sehingga profit pelaku rantai pasok juga ikut meningkat. Peningkatan total profit dan loss profit koperasi melalui analisis sensitivitas model RS dapat dilihat pada Tabel 29 Tabel 29 Peningkatan profit koperasi melalui mekanisme model distribusi risiko Harga pembelian awal (Rp) harga pembelian setelah simulasi (Rp) Selisih (Rp) Pengurangan Loss profit koperasi (Rp) Total peningkatan profit koperasi (Rp) , , , , , , ,00 0, , ,94 878, , ,70-956, , ,40 0, , ,57-690,24 - -

23 96 Tabel 29 Peningkatan profit koperasi melalui mekanisme model distribusi risiko (lanjutan) Harga pembelian awal (Rp) Harga Pembelian setelah simulasi (Rp) Selisih (Rp) Pengurangan Loss profit koperasi (Rp) Total peningkatan profit koperasi (Rp) , ,67 0, ,00 73,60 0, , ,82-339, , ,79-2, , ,88 1, , ,02 0, , ,74 0, , ,68 1, , ,92 0, , ,58 0, ,00 65,55 0, ,00 63,30 0, , , , ,00 73,60 0, Sumber : Data primer 2012 Dari rincian data pada Tabel 29 dapat dilihat bahwa dari poses pembayaran yang dilakukan oleh koperasi terhadap kopi organik kepada petani terjadi pengurangan loss profit profit sebesar Rp 4294,73 untuk setiap kg gabah kopi. Pengurangan ini didapatkan karena model RS telah berhasil memberikan fungsi pembayaran koperasi terhadap pelaku rantai pasok berdasarkan spesifik risiko masing-masing pelaku. Model pendekatan DEA bekerja dengan baik dalam mengakomodir formulasi penentuan risiko spesifik pelaku rantai pasok sehingga tingkat loss profit pada koperasi bisa dihindari. Dari analisis sensitivitas model RS diketahui, jika peningkatan nilai atribut kuantitas dan kualitas produk sebesar 5 % maka koperasi mengalami peningkatan total profit sebesar Rp ,95. Nilai peningkatan merupakan justifikasi dari 20 sampel pelaku rantai pasok pada 3 sphere yang ada. Peningkatan total profit koperasi sebesar Rp ,95 merupakan nilai total peningkatan profit koperasi ketika diakumulasikan dengan selisih marjin pembayaran total koperasi dari total pasokan yang diberikan petani. Dalam mekanisme ini secara implisit juga telah diperhitungkan fungsi pembayaran spesifik terhadap bobot risiko yang ditanggung masing-masing pelaku.

24 97 Kesimpulannya, Model RS bisa memberikan posisi tawar yang lebih baik dari model sebelumnya terhadap pelaku yang akan mendistribusikan profit akibat penerapan mekanisme. Proses perbaikan yang menjadi pertimbangan disini ditinjau dari tolak ukur ouput model sebelumnya yang hanya terfokus kepada keberlanjutan rantai pasok. Perbaikan yang diberikan antara lain : 1. Model telah berhasil meminimalisir kehilangan profit di tingkat distributor (koperasi) akibat fungssi pembayaran yang bersifat generik terhadap semua pelaku. Melalui mekanisme pembayaran berdasarkan risiko spesifik pelaku ditambah dengan proses benchmarking DEA semakin memperjelas alur perbaikan yang diberikan terhadap fungsi pembayaran di tingkat distributor. Implikasinya secara langsung akan berpengaruh terhadap aplikasi model RS karena distributor juga menerima keuntungan akibat konsekuensi model yang mewajibkan distributor harus berbagi profit. 2. Model telah berhasil meningkatkan profit koperasi sebagai distributor ketika kuantitas pasokan meningkat. Hasil ini diperoleh karena prinsip mekanisme benchmarking DEA dalam model RS sehingga walaupun kuantitas pasokan meningkat akan tetapi nilai pembayaran optimal yang akan diterima pelaku akan selalu sama. Perbedaan terhadap profit pelaku terjadi akibat perubahan efisiensi ketika nilai atribut juga berubah. Akan tetapi nilai harga jual optimal yang bisa diberikan akan selalu sama. 3. Model RS akan memberikan peningkatan profit secara explisit terhadap pelaku rantai pasok di bagian hulu ketika terjadi peningkatan kualitas produk sehingga harga di tingkat koperasi (F y ) juga ikut meningkat. Model RS bisa lebih detail memberikan nilai kuantitatif peningkatan pelaku rantai pasok di bagian hulu ketika penelitian bisa menyentuh sampai ke level importir. Kesulitan dalam studi ini karena posisi importir yang berada di luar negri sehingga jangkauan analisis penelitian tidak bisa diberikan sampai ke level pelaku importir. Walaupun secara implisit peningkatan nilai F y akan terjadi seiring peningkatan kualitas pasokan dari petani tetapi nilai kuantitatifnya belum bisa dipetakan dengan baik.

25 98 Perbaikan model juga diikuti oleh beberapa kajian lebih lanjut yang perlu dipertimbangkan sebelum diimplementaikan ke lapangan. Diantara beberapa kelemahan model yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah : 1. Model belum bisa mendeskripsikan dengan jelas seberapa besar peningkatan profit di sisi pelaku petani, prosesor dan kolektor sebagai bagian jaringan rantai pasok akibat peningkatan kualitas pasokan produk. Kajian ini diperlukan berkaitan dengan salah satu indikasi harga yang berlaku dikoperasi pada saat ini masih bisa ditingkatkan jika kualitas standar oganik produk diperbaiki lagi. Perbaikan harga di tingkat koperasi pasti akan mempengaruhi harga jual di tingkat pelaku upstream rantai pasok. 2. Model RS belum bisa menjelaskan dengan lebih jelas siklus periode penilaian efisiensi pelaku rantai pasok. 3. Model RS belum bisa mendeskripsikan model kuantitatif untuk analisis kelembagaan yang akan menyertai proses implementai model. Mekanisme tranparansi harga juga menjadi salah satu indikator yang harus dikaji ketika akan mengaplikasikan model RS dalam penelitian ini. Koordinasi rantai pasok telah diberikan sebagai panduan yang jelas dalam melakukan proses tranparansi harga. Struktur kontrak dalam penelitian ini diberikan dalam bentuk model kuantitatif sehingga bisa menjadi parameter acuan yang jelas dalam merancang model atau mekanisme tranparansi harga dari distributor (koperasi) ke level Upstream rantai pasok. Permasalahan ini akan menjadi fokus riset selanjutnya dalam memperbaiki model RS yang diusulkan dalam penelitian ini.

26 (Halaman ini sengaja dibiarkan kosong)

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Manajemen risiko rantai pasok melalui pendekatan distribusi risiko (Risk Sharing) merupakan proses yang kompleks. Kompleksitas lingkungan tempat keputusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi organik telah menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan di Aceh Tengah karena merupakan salah satu jenis kopi arabika dengan nilai harga jual tertinggi di dunia

Lebih terperinci

V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA

V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA 57 V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA 5.1. Parameter Pengukuran Kinerja Pelaku Rantai Pasok Pengukuran kinerja dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA)

Lebih terperinci

IV. ANALISIS RISIKO RANTAI PASOK

IV. ANALISIS RISIKO RANTAI PASOK 43 IV. ANALISIS RISIKO RANTAI PASOK 4.1. Struktur Rantai Pasok Kopi Organik Aceh Tengah Struktur Rantai pasok kopi organik di Aceh tengah terdiri atas beberapa tingkatan pelaku mulai dari petani, prosesor,

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

DESAIN RANTAI PASOK AGROINDUSTRI KOPI ORGANIK DI ACEH TENGAH UNTUK OPTIMALISASI BALANCING RISK ARIE SAPUTRA

DESAIN RANTAI PASOK AGROINDUSTRI KOPI ORGANIK DI ACEH TENGAH UNTUK OPTIMALISASI BALANCING RISK ARIE SAPUTRA DESAIN RANTAI PASOK AGROINDUSTRI KOPI ORGANIK DI ACEH TENGAH UNTUK OPTIMALISASI BALANCING RISK ARIE SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

X. KESIMPULAN DAN SARAN

X. KESIMPULAN DAN SARAN X. KESIMPULAN DAN SARAN 10.1. Kesimpulan Penelitian ini telah berhasil merancang model sistem penunjang pengambilan keputusan cerdas manajemen risiko rantai pasok produk/komoditi jagung yang diberi nama

Lebih terperinci

VII NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BERAS ORGANIK

VII NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BERAS ORGANIK VII NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BERAS ORGANIK Terdapat dua konsep nilai tambah yang digunakan dalam menganalisis beberapa kasus, yaitu nilai tambah produk akibat pengolahan dan nilai tambah perolehan pelaku

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Resiko Rantai Pasok

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Resiko Rantai Pasok 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Resiko Rantai Pasok Menurut (Pujawan 2005) rantai pasok adalah jaringan perusahaanperusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu

Lebih terperinci

LAMPIRAN KUISIONER PENELITIAN

LAMPIRAN KUISIONER PENELITIAN 105 LAMPIRAN KUISIONER PENELITIAN Kuisioner ini digunakan sebagai bahan penyusunan Thesis mengenai Desain rantai pasok agroidustri kopi organik di Aceh tengah untuk optimalisasi balancing risk oleh Arie

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Rantai pasok merupakan suatu konsep yang awal perkembangannya berasal dari industri manufaktur. Industri konstruksi mengadopsi konsep ini untuk mencapai efisiensi mutu,

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan analisis Herfindahl-Hirschman Index (HHI), analisis faktor ekternal

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan analisis Herfindahl-Hirschman Index (HHI), analisis faktor ekternal BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan analisis Herfindahl-Hirschman Index (HHI), analisis faktor ekternal dan internal, dan analisis VRIO maka dapat disimpulkan bahwa ada 2 strategi Kirana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. majunya gizi pangan, masyarakat semakin sadar akan pentingnya sayuran sebagai

BAB I PENDAHULUAN. majunya gizi pangan, masyarakat semakin sadar akan pentingnya sayuran sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat. Dengan semakin majunya gizi pangan, masyarakat semakin sadar akan pentingnya sayuran sebagai asupan gizi. Oleh karena

Lebih terperinci

III METODOLOGI 3.1. Kerangka Penelitian

III METODOLOGI 3.1. Kerangka Penelitian III METODOLOGI 3.1. Kerangka Penelitian Sebuah manajemen rantai pasok yang baik memerlukan berbagai keputusan yang berhubungan dengan aliran informasi, produk dan dana. Rancang bangun rantai pasokan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dan Pengumpulan Data. tempat dan waktu btertentu. Metode pengumpulan dengan melakukan

III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dan Pengumpulan Data. tempat dan waktu btertentu. Metode pengumpulan dengan melakukan 41 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian dan Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yaitu pengamatan yang bersifat spesifik dan

Lebih terperinci

VIII PENGENDALIAN PERSEDIAAN BERAS ORGANIK

VIII PENGENDALIAN PERSEDIAAN BERAS ORGANIK VIII PENGENDALIAN PERSEDIAAN BERAS ORGANIK Analisis pengendalian persediaan dilakukan hanya pada ani Sejahtera Farm karena ani Sejahtera Farm menjadi inti atau fokus analisis dalam rantai pasok beras organik.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat menjanjikan. Buah tropis adalah

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

5 KINERJA, SUMBER RISIKO, DAN NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BUAH MANGGIS DI KABUPATEN BOGOR

5 KINERJA, SUMBER RISIKO, DAN NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BUAH MANGGIS DI KABUPATEN BOGOR 5 KINERJA, SUMBER RISIKO, DAN NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BUAH MANGGIS DI KABUPATEN BOGOR 5.1 Kinerja Rantai Pasok Kinerja rantai pasok merupakan ukuran kinerja secara keseluruhan rantai pasok tersebut (Chopra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk dari tahun ke tahun menjadikan kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan tersebut tidak hanya terbatas

Lebih terperinci

4 ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Rantai Pasok Jagung

4 ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Rantai Pasok Jagung 47 4 ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Rantai Pasok Jagung Rantai pasok jagung merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari kegiatan pada sentra jagung, pedagang atau pengumpul, pabrik tepung jagung, hingga

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tataniaga Pertanian Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar. Pemasaran adalah kegiatan mengalirkan barang dari produsen ke konsumen akhir

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sebaran Bulanan Kebutuhan dan Ketersediaan Beras Tahun 2011 (ARAM II) Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011

Lampiran 1. Sebaran Bulanan Kebutuhan dan Ketersediaan Beras Tahun 2011 (ARAM II) Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011 LAMPIRAN Lampiran 1. Sebaran Bulanan Kebutuhan dan Ketersediaan Beras Tahun 2011 (ARAM II) Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011 Lampiran 2. Rincian Luas Lahan dan Komponen Nilai Input Petani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Manajemen inventory merupakan suatu faktor yang penting dalam upaya untuk mencukupi ketersediaan stok suatu barang pada distribusi dan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Kerangkan pemikiran konseptual dalam penelitian ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu konsep kemitraan, pola kemitraan agribisnis, pengaruh penerapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Beras bagi masyarakat Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik di negara ini. Gejolak

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III METODOLOGI 3.1 KERANGKA PEMIKIRAN BAB III METODOLOGI 3.1 KERANGKA PEMIKIRAN Manajemen rantai pasok merupakan salah satu alat bersaing di industri, mulai dari pasokan bahan baku, bahan tambahan, kemasan, pasokan produk akhir ke tangan konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Semarang memiliki potensi yang besar dari sektor pertanian untuk komoditas sayuran. Keadaan topografi daerah yang berbukit dan bergunung membuat Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung merupakan jenis tanaman serealia yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional, mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

Copyright Rani Rumita

Copyright Rani Rumita Strategi Distribusi Topik yang Dibahas Bagaimana sifat saluran pemasaran dan mengapa saluran pemasaran penting? Bagaimana perusahaan saluran berinteraksi dan diatur untuk melakukan pekerjaan saluran? Masalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sumanth (1984) dalam bukunya menjelaskan bahwa efisiensi berhubungan dengan seberapa baik kita menggunakan sumber daya yang ada untuk mendapatkan suatu hasil. Secara matematis efisiensi

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Pengembangan Perumahan Pengembangan perumahan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengembang secara mandiri maupun bersama dengan pihak lain untuk mencapai tujuan ekonomi dan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Program Linear Program linear merupakan model matematik untuk mendapatkan alternatif penggunaan terbaik atas sumber-sumber organisasi. Kata sifat linear digunakan untuk

Lebih terperinci

s r=1 u ry ro m i=1 v ix io max h 0 = s r=1 m i=1 v 1, j = 1,..., n

s r=1 u ry ro m i=1 v ix io max h 0 = s r=1 m i=1 v 1, j = 1,..., n BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan sektor industri sejalan dengan perkembangan metode dalam pengambilan keputusan. Tidak jarang hal tersebut juga mengubah sudut pandang para pelaku industri. Dewasa ini, para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sistem pasokan bahan baku dalam suatu agroindustri merupakan salah satu faktor yang penting untuk menjaga kelangsungan proses produksi. Sistem pasokan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memaksa kinerja rantai pasok harus ditingkatkan. Terutama untuk

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memaksa kinerja rantai pasok harus ditingkatkan. Terutama untuk BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Persaingan perdagangan yang sangat ketat di era globalisasi mengharuskan siklus perdagangan berlangsung cepat dengan kualitas yang tetap terjaga sehingga memaksa kinerja

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran PT NIC merupakan perusahaan yang memproduksi roti tawar spesial (RTS). Permintaan RTS menunjukkan bahwa dari tahun 2009 ke tahun 2010 meningkat sebanyak

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN 4.1. Objek Pengambilan Keputusan Dalam bidang manajemen operasi, fleksibilitas manufaktur telah ditetapkan sebagai sebuah prioritas daya saing utama dalam sistem

Lebih terperinci

konsumen, dan tiap kegiatan menambah nilai pada produk akhir.

konsumen, dan tiap kegiatan menambah nilai pada produk akhir. 2. TELAAH TEORITIS 2.1. Definisi Rantai Nilai Menurut Campbell (2008), rantai nilai mencakup seluruh kegiatan dan layanan untuk membawa suatu produk atau jasa dari tahap perencanaan hingga penjualan di

Lebih terperinci

Tanggal : No. Responden : ANALISIS RANTAI PASOKAN (SUPPLY CHAIN) BUAH NAGA. 1. Nama :.. 2. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan. 4. Alamat Rumah :...

Tanggal : No. Responden : ANALISIS RANTAI PASOKAN (SUPPLY CHAIN) BUAH NAGA. 1. Nama :.. 2. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan. 4. Alamat Rumah :... Lampiran 1. Untuk Petani Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penyusunan skripsi Analisis Rantai Pasokan (Supply Chain) Buah Naga di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur oleh Rini Yuli Susanti (20140430295),Mahasiswa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi krisis ekonomi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah membuat Ketetapan MPR Nomor

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi krisis ekonomi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah membuat Ketetapan MPR Nomor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi krisis ekonomi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah membuat Ketetapan MPR Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA. perusahaan. Sedangkan menurut Syamsuddin (2000), Inventory. sebagian besar perusahaan industri. Inventory Turnover (Perputaran

BAB II TINJUAN PUSTAKA. perusahaan. Sedangkan menurut Syamsuddin (2000), Inventory. sebagian besar perusahaan industri. Inventory Turnover (Perputaran BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis 1. Perputaran persediaan Waters (2003) mendefinisikan persediaan (Inventory) sebagai daftar dari item yang dimiliki dalam stok, dimana stok terdiri dari semua

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO 1. Risiko Keuangan Dalam menjalankan usahanya Perseroan menghadapi risiko yang dapat mempengaruhi hasil usaha Perseroan apabila tidak di antisipasi dan dipersiapkan penanganannya dengan baik. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN digilib.uns.ac.id 76 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Mekanisme Rantai Pasok Jagung Di Kabupaten Grobogan Struktur rantai pasok jagung di Kabupaten Grobogan terdiri atas beberapa tingkatan pelaku mulai dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan 36 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Usulan kerangka..., Charly Buchari, FE UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Usulan kerangka..., Charly Buchari, FE UI, 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri asuransi umum di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, dimana industri ini mampu mencatatkan pertumbuhan premi bruto 2008 sebesar 24,7% terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang tepat dari para pelaku ekonomi. konsumen adalah sebagai pemasok faktor faktor produksi kepada perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang tepat dari para pelaku ekonomi. konsumen adalah sebagai pemasok faktor faktor produksi kepada perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perekonomian terus tumbuh dan berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Jika perekonomian dalam suatu negara berjalan stabil maka kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangannya di perusahaan manufaktur, selain bersaing dalam dunia pasar yang semakin memunculkan teknologi informasi yang canggih, perusahaan juga

Lebih terperinci

Kemitraan Agribisnis. Julian Adam Ridjal. PS Agribisnis Universitas Jember

Kemitraan Agribisnis. Julian Adam Ridjal. PS Agribisnis Universitas Jember Kemitraan Agribisnis Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember www.adamjulian.net KEMITRAAN AGRIBISNIS Teori Kemitraan Menurut Martodireso, dkk, (2001) dalam Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama

Lebih terperinci

KAJIAN KETERKAITAN PELAKU PERGULAAN NASIONAL: SUATU PENGHAMPIRAN MODEL DINAMIKA SISTEM

KAJIAN KETERKAITAN PELAKU PERGULAAN NASIONAL: SUATU PENGHAMPIRAN MODEL DINAMIKA SISTEM KAJIAN KETERKAITAN PELAKU PERGULAAN NASIONAL: SUATU PENGHAMPIRAN MODEL DINAMIKA SISTEM Disusun oleh : Lilik Khumairoh 2506 100 096 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M. Eng. Latar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan 38 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan untuk memperoleh dan menganalisis data yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mutu lebih baik, dan lebih cepat untuk memperolehnya (cheaper, better and

BAB I PENDAHULUAN. mutu lebih baik, dan lebih cepat untuk memperolehnya (cheaper, better and BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam era globalisasi ini, distribusi dan logistik telah memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan perdagangan dunia. Terlebih lagi persaingan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Setelah dilakukan pemodelan, simulasi, studi empiris dan analisa pada peneleitian ini, maka kesimpulan yang dapat ditarik yaitu sebagai berikut : 1. Karakteristik

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI MODEL PERSEDIAAN YANG DIKELOLA PEMASOK (VENDORS MANAGED INVENTORY) DENGAN BANYAK RETAILER

IMPLEMENTASI MODEL PERSEDIAAN YANG DIKELOLA PEMASOK (VENDORS MANAGED INVENTORY) DENGAN BANYAK RETAILER Perjanjian No. III/LPPM/2013-03/10-P IMPLEMENTASI MODEL PERSEDIAAN YANG DIKELOLA PEMASOK (VENDORS MANAGED INVENTORY) DENGAN BANYAK RETAILER Disusun Oleh: Alfian, S.T., M.T. Dr. Carles Sitompul Lembaga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

Pembahasan Materi #5

Pembahasan Materi #5 1 EMA402 Manajemen Rantai Pasokan Pembahasan 2 Latar Belakang Kunci Sukses SCM Manajemen Logistik Fungsi dan Kegunaan Pengendalian Logistik Konvensional dan Logistik Mengelola Jaringan SC Strategi Proses

Lebih terperinci

ANALISA PROSES BISNIS. Brigida Arie Minartiningtyas, M.Kom

ANALISA PROSES BISNIS. Brigida Arie Minartiningtyas, M.Kom ANALISA PROSES BISNIS Brigida Arie Minartiningtyas, M.Kom Automation Proses Bisnis Sejumlah aktivitas yang mengubah sejumlah input menjadi sejumlah output (barang atau jasa) atau proses yang menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki trust, baik untuk dirinya sendiri maupun trust kepada pihak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki trust, baik untuk dirinya sendiri maupun trust kepada pihak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis 1. Trust Trust atau kepercayaan merupakan suatu hal yang penting bagi sebuah komitmen atau janji. Penting bagi sebuah perusahaan untuk memiliki trust, baik untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Usaha Kecil Menengah Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lingkungan bisnis yang kompetitif dan turbulen mengakibatkan persaingan bisnis yang begitu ketat. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang

BAB I PENDAHULUAN. maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah nasional menghadapi tantangan dari negara-negara maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang saat ini masih

Lebih terperinci

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

METODOLOGI Kerangka Pemikiran METODOLOGI Kerangka Pemikiran Semakin berkembangnya perusahaan agroindustri membuat perusahaanperusahaan harus bersaing untuk memasarkan produknya. Salah satu cara untuk memenangkan pasar yaitu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap perusahaan tidak dapat lepas dari persoalan transportasi, baik untuk pengadaan bahan baku ataupun dalam mengalokasikan barang jadinya. Salah satu metode yang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR TA ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

LAPORAN AKHIR TA ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI LAPORAN AKHIR TA. 2013 ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAII EKONOMI TINGG GI Oleh: Henny Mayrowani Nur Khoiriyahh Agustin Dewa Ketut Sadra Swastika Miftahul Azis Erna Maria Lokollo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi industri merupakan salah satu mata rantai dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi industri merupakan salah satu mata rantai dari sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisasi industri merupakan salah satu mata rantai dari sistem perekonomian, karena ia memproduksi dan mendistribusikan produk (barang atau jasa). Produksi merupakan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENAWARAN APEL

VII ANALISIS PENAWARAN APEL VII ANALISIS PENAWARAN APEL 7.1 Analisis Penawaran Apel PT Kusuma Satria Dinasasri Wisatajaya Pada penelitian ini penawaran apel di Divisi Trading PT Kusuma Satria Dinasasri Wisatajaya dijelaskan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI Pada bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka dari metode yang akan digunakan dalam penelitian dan dasar teori. 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pengelolaan pengadaan paprika, yaitu pelaku-pelaku dalam pengadaan paprika,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pengelolaan pengadaan paprika, yaitu pelaku-pelaku dalam pengadaan paprika, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Objek yang diteliti dalam penelitian ini antara lain adalah sistem pengelolaan pengadaan paprika, yaitu pelakupelaku dalam pengadaan paprika,

Lebih terperinci

VII. IMPLEMENTASI MODEL

VII. IMPLEMENTASI MODEL VII. IMPLEMENTASI MODEL A. HASIL SIMULASI Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data hipotetik berdasarkan hasil survey, pencarian data sekunder, dan wawancara di lapangan. Namun dengan tetap mempertimbangkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak dan aman

Lebih terperinci

BAB IV PERANCANGAN MODEL

BAB IV PERANCANGAN MODEL BAB IV PERANCANGAN MODEL Perancangan model supply demand komoditas pertanian di Indonesia akan menggunakan hasil dari analisis yang dilakukan di bab sebelumnya. IV.1 Metode Perancangan Model Dari hasil

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus di Frida Agro yang terletak di Lembang, Kabupaten Bandung. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pokok masyarakat, salah satunya adalah sayur-sayuran yang cukup banyak

BAB I PENDAHULUAN. pokok masyarakat, salah satunya adalah sayur-sayuran yang cukup banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki tanaman pangan maupun hortikultura (buah dan sayuran) yang beraneka ragam. Iklim tropis menjadi kemudahan dalam menanam

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ.

Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ http://adamjulian.web.unej.ac.id/ A. Supply Chain Proses distribusi produk Tujuan untuk menciptakan produk yang tepat harga, tepat kuantitas, tepat kualitas, tepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi yang dilakukan oleh perusahaan. Risiko di sini adalah kemungkinan

BAB I PENDAHULUAN. produksi yang dilakukan oleh perusahaan. Risiko di sini adalah kemungkinan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap kegiatan tidak bisa dilepaskan dari risiko, begitu pula dengan kegiatan produksi yang dilakukan oleh perusahaan. Risiko di sini adalah kemungkinan penyimpangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN. DAFTAR ISI DAFTAR ISI.. DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN. iv viii xi xii I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 9 1.3. Tujuan Penelitian 9 1.4. Manfaat Penelitian 10

Lebih terperinci

BAB 4 FORMULASI MODEL

BAB 4 FORMULASI MODEL BAB 4 FORMULASI MODEL Formulasi model pada Bab 4 ini berisi penjelasan mengenai karakteristik sistem yang diteliti, penjabaran pemodelan matematis dari sistem, model dasar penelitian yang digunakan, beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Keberadaan supply chain atau rantai pasok dalam proses produksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Keberadaan supply chain atau rantai pasok dalam proses produksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan supply chain atau rantai pasok dalam proses produksi suatu industri sangat penting demi memberikan nilai tambah baik bagi industri itu sendiri maupun bagi

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA BERAS

ANALISIS TATANIAGA BERAS VI ANALISIS TATANIAGA BERAS Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Pengertian dan Pola Kemitraan Usaha Kemitraan usaha adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang berperan menyediakan pangan hewani berupa daging, susu, dan telur yang mengandung zat gizi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan

Lebih terperinci

MANFAAT KEMITRAAN USAHA

MANFAAT KEMITRAAN USAHA MANFAAT KEMITRAAN USAHA oleh: Anwar Sanusi PENYULUH PERTANIAN MADYA pada BAKORLUH (Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian,Perikanan dan Kehutanan Prov.NTB) Konsep Kemitraan adalah Kerjasama antara usaha

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug terbagi dua yaitu cabai rawit merah yang dijual ke pasar (petani non mitra) dan cabai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis yang cepat dan kompleks sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis yang cepat dan kompleks sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia bisnis yang cepat dan kompleks sebagai akibat dari gelombang globalisasi menuntut para pelaku usaha atau perusahaan untuk lebih responsif dalam menghadapi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Portofolio dan Perkembangan Pasar Portofolio merupakan surat-surat berharga sebagai investasi perusahaan yang terus dikembangkan. Salah satu surat berharga tersebut dikenal dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini 33 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini menggunakan metode sensus. Pengertian sensus dalam penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang 46 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rantai pasok merupakan suatu konsep yang awal perkembangannya berasal dari industri manufaktur. Industri konstruksi mengadopsi konsep ini untuk mencapai efisiensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral dari sektor pertanian memberikan kontribusi penting pada proses industrialisasi di wilayah

Lebih terperinci