5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 5 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penyebaran target strength ikan Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran besar kecilnya target (ikan) diperoleh dari nilai TS-nya. TS berbanding lurus dengan ukuran ikan, yaitu semakin besar nilai TS maka ukuran ikan juga semakin besar dan semakin kecil nilai TS maka ukuran ikan juga semakin kecil. Penyebaran TS rata-rata ikan pelagis per kedalaman menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel, Gambar 15 dan Gambar 16. Nilai TS rata-rata ikan pelagis pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka terdapat perbedaan, walaupun relatif kecil. Nilai TS rata-rata pada transek siang hari cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman, namun pada kedalaman -1 meter nilai TS rata-rata lebih besar dibandingkan dengan lapisan di bawahnya sampai pada kedalaman 5 meter. Nila TS yang lebih besar pada transek siang hari terkonsentrasi di lapisan kedalaman 5-7 meter, yaitu berkisar antara -60, db sampai -59,05 db, sedangkan nilai TS terkecil yaitu -86, db yang terdapat pada strata kedalaman 1- meter. Nilai TS rata-rata ikan pelagis pada transek malam hari cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Nilai TS terbesar terkonsentrasi pada lapisan kedalaman 5-7 meter berkisar antara -6,7 db sampai -65,60 db dan strata kedalaman 9-10 meter sebesar -6,7 db. Nilai TS ikan pelagis berdasarkan strata kedalaman pada transek siang hari lebih besar dari pada malam hari terutama pada lapisan kedalaman 5-7 meter. Hal ini berarti bahwa ikan pelagis yang terdeteksi pada transek siang hari memiliki ukuran yang lebih besar dari pada transek malam hari terutama pada lapisan kedalaman 5-7 meter.

2 5 Tabel Penyebaran vertikal TS (db) rata-rata ikan pelagis menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 008 Strata Target Strength Rata-rata Ikan Pelagis (db) Kedalaman Waktu Lokasi (meter) Siang Malam Perairan KEPRI *) Perairan TBAB **) -1-65,8-7, -7,87-65, , -7,9-7,81-8, ,81-70,6-77,80-68, ,9-67,87-7,5-67, ,1-67,81-66,89-68, , -60,65-6,0-59, ,05-6,7-66,9-60, ,90-67,69-67,5-69, ,7-67,05-65,66-66, ,67-6,7-6,79-6,7 Rata-rata -56,16-67,9-69, -67,17 Keterangan: *) **) KEPRI = Kepualauan Riau TBAB = Tanjung Balai Asahan dan Belawan Nilai TS ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau berkisar antara -7,87 db sampai -6,0 db dengan rata-rata -69, db, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berkisar antara -8 db sampai -59,7 db dengan ratarata -67,17 db. Sebaran nilai TS ikan pelagis secara horizontal di Selat Malaka dari bagian tenggara yang meliputi Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Bengkalis, Pulau Rupat dan Perairan Bagan Siapi-api (Kepulauan Riau) ke arah barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) cenderung meningkat kecuali pada strata kedalaman 1- meter, 7-8 meter dan 8-9 meter dengan selang perbedaan yang relatif kecil sekitar -,05 db. Hal ini berarti bahwa ratarata ukuran ikan pelagis di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lebih besar dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau.

3 55 Gambar 15 Penyebaran vertikal TS (db) rata-rata ikan pelagis pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka pada bulan Juni 008. Gambar 16 Penyebaran vertikal TS (db) rata-rata ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008.

4 56 Penyebaran nilai TS ikan demersal secara horizontal di Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel 5, Tabel 6, Gambar 17 dan Gambar 18. Nilai TS ikan demersal diperoleh dari kedalaman meter dari dasar perairan sepanjang transek akustik. Nilai TS ikan demersal pada area penelitian tersebar di 1 leg dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka). Nilai TS yang terdeteksi menyebar pada kisaran antara -91,55 db sampai -,10 db. Nilai TS terkecil terdapat pada leg ke- yang berlokasi di Perairan Kepulauan Riau sekitar Pulau Bengkalis, sedangkan nilai TS terbesar terdapat pada leg ke-7b yang berlokasi di Perairan antara Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Tabel 5 Penyebaran horizontal target strength (db) ikan demersal setiap leg di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 008 Target strength (db) Leg Minimum Maksimal Rata-rata 1-8,70 -,17-65,77-91,55-8,8-68,06-75,5-8,1-7,71-78,1-0,71-57,8 5-90,91-9,55-6, ,8-8,67-58,9 7A -77,7-1,10-58,86 1B -89, -6,69-60,78 Rata-rata -8,00-9,9-60, Gambar 17 Penyebaran horizontal nilai TS (db) rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 008.

5 57 Tabel 6 Penyebaran horizontal nilai target strength (db) ikan demersal setiap leg di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008 Target Strength (db) Leg Minimum Maksimal Rata-rata 7B -80,67 -,10-57,7 8-87,1-8,88-67,5 9-78, -9,09-59, , -5,8-58, ,6-7,65-69,5 1-76,7 -,89-50,9 1-76,65-8, -51,8 1A -79,61-0,91-61,75 Rata-rata -79,85-9,71-59,5 Gambar 18 Penyebaran horizontal nilai TS (db) rata-rata ikan demersal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008. Penyebaran nilai TS rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau cenderung lebih kecil dibandingkan dengan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Secara horizontal nilai target strength (TS) terkecil ikan demersal di perairan Selat Malaka cenderung berada pada perairan dangkal atau mendekati pantai, sebaliknya nilai TS terbesar cenderung berada di perairan yang lebih dalam atau menjauhi pantai. Secara alami nilai target strength ikan demersal akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman perairan (Pujiyati 008).

6 Penyebaran densitas ikan Penyebaran densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m ) setiap kedalaman menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel 7, Gambar 19, Gambar 0 dan Gambar 1. Nilai densitas ikan pelagis yang terdeteksi baik pada transek siang maupun malam hari umumnya cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman. Nilai densitas ikan pelagis pada transek siang hari berkisar antara 0,1-0,76 individu/m (terdapat pada strata kedalaman 9-10 dan -1 meter), dengan rata-rata sebesar,0 individu/m. Nilai densitas ikan pelagis pada transek malam hari berkisar antara 0,1-1,7 individu/m (terdapat pada strata kedalaman 9-10 dan -1 meter ), dengan rata-rata sebesar,61 individu/m. Ikan pelagis yang terdeteksi pada transek malam maupun siang hari lebih banyak menyebar pada lapisan kedalaman - meter dengan jumlah yang berbeda, khususnya pada strata kedalaman -1 meter. Penyebaran nilai densitas ikan pelagis secara horizontal di Selat Malaka dari bagian tenggara yang meliputi Perairan Pulau Karimun Besar, Pulau Bengkalis, Pulau Rupat dan Perairan Bagan Siapi-api (Kepulauan Riau) ke arah barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan) cenderung menurun kecuali pada strata kedalaman -1 meter, dengan selang perbedaan yang cukup besar sekitar 8,6 individu/m. Nilai densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau berkisar antara 1,85-,50 individu/m (terdapat pada strata kedalaman 9-10 dan -5 meter ), dengan rata-rata 1,6 individu/m, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berkisar antara 0,1 individu/m (terdapat pada strata kedalaman 9-10 meter) sampai 0,76 individu/m (terdapat pada strata kedalaman -1 meter) dengan rata-rata,17 individu/m. Densitas ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau paling tinggi terdapat pada lapisan kedalaman -5 meter dengan nilai antara 16,1 individu/m sampai,50 individu/m, lebih tebal dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan yang memiliki nilai densitas tertinggi sebesar 0,76 individu/m pada strata kedalaman -1 meter.

7 59 Tabel 7 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m ) menurut waktu dan lokasi pengamatan di Selat Malaka bulan Juni 008 Strata Densitas Rata-rata Ikan Pelagis (individu/m ) Kedalaman Waktu Lokasi (meter) Siang Malam Kepulauan Riau Tg. Balai dan Belawan -1 0,76 1,7 1,5 0,76 1-5,8 6,0 1,05 5,8 -,, 16,1,6-1,8 1,1 9,05 1,15-5 0,77 0,7,50 0, , 0, 1,06 0, 6-7 0,1 0,1,17 0, , 0,,76 0, 8-9 0,18 0,18,0 0, ,1 0,1 1,85 0,1 Rata-rata,0,61 1,6,17 Gambar 19 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m ) pada transek siang dan malam hari di Selat Malaka bulan Juni 008.

8 60 Gambar 0 Penyebaran vertikal densitas rata-rata ikan pelagis (individu/m ) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka bulan Juni 008. Gambar 1 Peta sebaran horizontal densitas total ikan pelagis (individu/m ) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada Juni 008.

9 61 Penyebaran nilai densitas rata-rata ikan demersal secara horizontal di Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Gambar. Nilai densitas ikan demersal diperoleh dari kedalaman meter dari dasar perairan sepanjang transek akustik. Nilai densitas ikan demersal pada area penelitian tersebar di 1 leg dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka). Nilai densitas yang terdeteksi menyebar pada kisaran antara 0,1-109,7 individu/m. Nilai densitas terkecil sebesar 0,1 individu/m, terdapat pada leg ke- yang berlokasi di Perairan Kepulauan Riau sekitar Pulau Bengkalis, sedangkan nilai densitas terbesar (109,7 individu/m ), terdapat pada leg ke-8 yang berlokasi di Perairan Belawan. Densitas ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau rata-rata,08 individu/m, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan rata-rata,88 individu/m. Penyebaran densitas ikan demersal di area penelitian menunjukan penurunan kepadatan dengan bertambahnya kedalaman perairan. Nilai densitas tertinggi terkonsentrasi di sekitar perairan dangkal, sedangkan nilai densitas rendah terdapat pada perairan yang lebih dalam. Tabel 8 Penyebaran horizontal densitas rata-rata ikan demersal (individu/m ) setiap leg di Perairan Kepulauan Riau pada bulan Juni 008 Leg Nilai Densitas (individu/m ) Minimum Maksimal Rata-rata 1 0,7 5,5, 0,51 96,88 5,1 0,1 0,6 0,5 0,1 7,99,0 5 0,1 8,0,18 6 0,1 8,0,0 7A 0,1 8,0, 1B 0,1 50,98,11 Rata-rata 0,6 8,,08

10 6 Tabel 9 Penyebaran horizontal densitas rata-rata ikan demersal (individu/m ) setiap leg di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan pada bulan Juni 008 Leg Nilai Densitas (individu/m ) Minimum Maksimal Rata-rata 7B 0,1 8,0 1,81 8 0,76 109,7 8,7 9 0,5 8,00 1, ,1 8,00 1,9 11 0,5,7,17 1 0, 8,0 1,85 1 0,17 7,97,0 1A 0,15 7,97 1,75 Rata-rata 0,0 5,0,88 Gambar Peta sebaran horizontal densitas total ikan demersal (individu/m ) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka bulan Juni 008.

11 Kondisi oseanografi Karakteristik suatu kolom perairan pada wilayah tertentu memiliki perbedaan menurut letak geografis dan strata kedalamannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan mudah melalui pembuatan grafik menegak dan melintang dari profil perairan tersebut. Nilai suhu, salinitas dan pola arus dari suatu lingkungan perairan merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi kondisi ekosistem yang ada di dalamanya. 1) Penyebaran suhu Berdasarkan hasil pengukuran nilai suhu pada setiap stasiun umumnya tidak menunjukkan adanya stratifikasi. Beberapa stasiun pengamatan di area yang lebih dalam terlihat sedikit penurunan suhu pada lapisan kedalaman lebih dari 0 meter. Penyebaran suhu secara vertikal di perairan Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan dalam bentuk grafik, sebagai gambaran profil suhu perairan tersebut dari stasiun pengamatan yang dibagi dalam dua lokasi perairan, yaitu Perairan Kepulauan Riau dan sekitar Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Penyebaran suhu rata-rata secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau (stasiun 1-7 dan stasiun 6-) dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan (stasiun 8-5) ditampilkan pada Gambar. Penyebaran suhu permukaan air laut di Perairan Kepulauan Riau pada setiap stasiun variasinya tidak terlalu lebar, berkisar antara 9,5-0,05 C, dengan ratarata 9,76 C. Stasiun 1, dan 5 kedalamannya masing-masing mencapai 15 dan 10 meter, sehingga perairan di ketiga tempat ini masih tergolong lapisan permukaan dengan nilai suhu yang relatif sama. Stasiun dan stasiun 6 terlihat perubahan suhu yang cenderung menurun dari permukaan hingga kedalaman 10 meter kemudian stabil sampai pada kedalaman 0 meter. Hal ini disebabkan karena pada kedua stasiun tersebut berada pada lokasi dekat pulau-pulau kecil dan aliran muara sungai sehingga menyebabkan percampuran air yang bersuhu tinggi dan rendah yang tidak stabil sehingga pada lapisan permukaan sampai pada kedalaman 10 meter terjadi perubahan besaran nilai suhu, walaupun tidak terlalu besar. Pengaruh radiasi sinar matahari dari pinggir pantai sangat mempengaruhi kehangatan suhu permukaan di daerah tersebut. Stasiun 7 memiliki kisaran suhu yang hampir sama dari permukaan hingga kedalaman 0 meter. Kondisi ini

12 6 disebabkan oleh wilayah pada stasiun tersebut berada di daerah yang sangat sempit dan mendekati pantai sehingga nilai suhu dari permukaan sampai pada kedalaman 0 meter hampir sama, lebih tebal dibandingkan dengan stasiun lainnya pada area ini. Kondisi suhu secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau Selat Malaka pada bulan Juni 008 relatif stabil, walaupun di beberapa stasiun memperlihatkan perubahan suhu dari permukaan sampai kedalaman tertentu menurun dengan selang yang relatif kecil. Penyebaran suhu secara vertikal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terjadi secara perlahan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Lokasi pengamatan di beberapa stasiun Tanjung Balai Asahan lebih dalam dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau, kedalaman maksimum pada daerah ini terdapat pada stasiun, dengan kedalaman mencapai 60 meter. Kecenderungan penurunan suhu terlihat stabil dari permukaan sampai dasar. Hal ini disebabkan pada wilayah ini termasuk perairan yang lebar karena sudah mendekati perairan Laut Andaman yang memiliki kedalaman lebih dari 100 meter (PO-LIPI, 001). Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terdapat beberapa stasiun yang mendekati pantai seperti stasiun 8, 9, 1, 1, 18 dan 19 yang lokasinya mengikuti transek akustik bentuk zig-zag. Stasiun-stasiun tersebut memiliki nilai suhu yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya pada transek ini. Nilai suhu pada lokasi ini berkisar antara 9,-0,17 C. Pengaruh radiasi matahari terhadap pantai sangat nyata terhadap peningkatan suhu di stasiun tersebut. Stasiun 10, 11, 1-17 dan stasiun 0- (trasek akustik zig-zag) di bagian yang menjauhi pantai suhu sudah mulai menurun walaupun relatif kecil dengan selisih sekitar 0,15 C. Pengaruh radiasi matahari terhadap pantai yang dipantulkan ke arah lokasi pengamatan tersebut sudah mulai berkurang. Nilai suhu pada lokasi ini berkisar antara 9,-0,1 C. Stasiun, 5 dan 6 posisinya terpisah dengan stasiun lain di Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Pada stasiun ini posisinya mengikuti transek akustik yang berbentuk tegak lurus yang berada di tengah-tengah Selat Malaka. Stasiun pengamatan di trasek lurus tersebut perubahan suhu menurut strata kedalaman pada setiap stasiun memiliki kecenderungan penurunan yang stabil, karena lokasinya yang sudah menjauhi pantai dimana suhu sudah semakin menurun baik

13 65 secara vertikal maupun secara horizontal, kecuali stasiun 6 yang lokasinya mendekati Perairan Kepulauan Riau yang merupakan perairan sempit di selat ini. Nilai Suhu pada stasiun pengamatan tersebut berkisar antara 9,56-9,96 C. Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi sinar matahari pada siang hari. Intesitas matahari ini akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman sehingga nilai suhu pun akan cenderung menurun (Nontji, 005). Suhu yang cenderung homogen pada lapisan permukaan untuk setiap stasiun di daerah ini terjadi karena adanya pengadukan lapisan oleh angin, arus dan pasang surut di permukaan. Perubahan suhu air laut secara vertikal baik di Perairan Kepulauan Riau maupun sekitar Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan dari lapisan permukaan hingga pada kedalaman 60 meter, Selat Malaka pada bulan Juni 008 tidak memperlihatkan indikasi termoklin. Perubahan terjadi secara perlahan dari lapisan permukaan dengan suhu 9,77 C, kemudian menurun menjadi 9,8 C pada kedalaman 60 meter. Tidak terdapatnya daerah termoklin di perairan ini karena kondisi kedalamannya masih tergolong perairan dangkal. Gambar Sebaran vertikal suhu rata-rata di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008.

14 66 Pola sebaran horizontal suhu permukaan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 008 yang ditampilkan pada Gambar, menunjukan bahwa suhu tertinggi terkonsentrasi pada wilayah yang sebagian besar dimulai dekat pantai yakni, sekitar Bengkalis (Stasiun 5 dan stasiun 6) dengan suhu berkisar antara 9,85-0,05 C, Bagan Siapi-api (Stasiun 6, 7, 8) berkisar antara 9,86-0,01 C, Tanjung Balai Asahan (Stasiun dan stasiun ) dengan suhu sekitar 0,00-0,05 C dan mendekati Belawan (stasiun 9 dan stasiun 10) dengan suhu berkisar antara 0,1-0,17 C. Penyebaran suhu cenderung semakin rendah menuju ke arah lepas pantai karena intensitas matahari yang dipantulkan dari pantai ke arah laut lepas semakin menjauhi pantai semakin berkurang. Selat Malaka merupakan perairan sempit khususnya di Perairan Kepulauan Riau. Suhu di perairan ini cenderung meningkat dan mulai berkurang menuju ke arah barat laut yang berhadapan dengan Laut Andaman. Suhu rendah di Selat Malaka terkonsentrasi pada beberapa stasiun yang sudah menjauhi pantai, terutama di Perairan sekitar Tanjung Balai Asahan dan Belawan yang sebagian besar lokasi stasiunnya berada di perairan luas dan menjauhi pantai kecuali stasiun 6 yang lokasinya merupakan perbatasan dengan Perairan Kepulauan Riau yang mengarah ke selat sempit. Suhu permukaan terendah sebesar 9,5 C terdapat di stasiun 1. Stasiun 1 berada di lokasi dekat pantai namun suhu permukaan di stasiun ini paling rendah. Hal ini disebabkan karena adanya aliran sungai yang memasuki lautan sehingga laut menjadi lebih dingin. Stasiun yang menjauhi pantai rata-rata suhunya lebih rendah dibandingkan dengan yang mendekat pantai, yaitu berkisar antara 9,7-9,7 C. Secara keseluruhan hasil pengukuran suhu setiap stasiun ( stasiun) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008 dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran.

15 Lintang Utara Belawan.5 Tg.Balai M A L A Y S I A.5 P. S U M A T E R A Bagansiapi P.Rupat 1.5 Dumai P.Bengkalis P.Padang Bujur Timur Gambar Pola sebaran suhu permukaan secara horizontal di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 008. ) Penyebaran salinitas Berdasarkan hasil pengukuran nilai salinitas di setiap stasiun pengamatan memperlihatkan salinitas semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan, tetapi perubahannya tidak terlalu besar terutama pada perairan yang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 5 meter). Nilai salinitas minimum pada lapisan permukaan 8,95 psu dan maksimal,50 psu dengan rata-rata sebesar 1,05 psu, nilai maksimum sebesar,07 psu, ditemukan pada kedalaman 60 meter di stasiun. Penyebaran salinitas rata-rata secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau (stasiun 1-7 dan stasiun 6-) dan Tanjung Balai Asahan-Belawan (stasiun 8-5) ditampilkan pada Gambar 5. Penyebaran salinitas secara vertikal di Perairan Kepulauan Riau cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman, dengan perubahan yang relatif kecil, yaitu berkisar antara 0,0-0,06 psu setiap lapisan kedalaman. Nilai salinitas minimum dari permukaan sampai dasar terdapat pada stasiun 1 dengan kisaran 8,95-9,05 psu, nilai maksimum terdapat pada stasiun berkisar antara,0-,05 psu. Rata-rata nilai salinitas di Perairan Kepulauan Riau dari permukaan sampai dasar (kedalaman 0-0 meter) berkisar antara 9,69-9,89 psu. Salinitas

16 68 rendah rata-rata terdapat di stasiun-stasiun pengamatan Perairan Kepulauan Riau, hal ini disebabkan karena lokasi tersebut berada dekat dengan pantai dan merupakan daerah aliran sungai, sehingga pengaruh radiasi matahari dan aliran air sungai yang masuk ke laut sangat mempengaruhi rendahnya nilai salinitas di area ini, dengan nilai perubahan yang tidak terlalu signifikan. Penyebaran salinitas secara vertikal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, menunjukan bahwa perubahan nilai salinitas relatif stabil dari lapisan permukaan sampai pada kedalaman 60 meter. Salinitas minimum pada lapisan permukaan sebesar 0,91 psu yang terdapat pada stasiun 5, salinitas maksimal sebesar,50 psu terdapat di stasiun 1. Rata-rata nilai salinitas permukaan di perairan ini sebesar,11 psu. Nilai minimum salinitas berdasarkan kedalaman di area ini sebesar 0,91 psu terdapat pada stasiun 5, sedangkan nilai maksimal sebesar,50 psu terdapat di stasiun 11 pada kedalaman 5 meter dan nilai salinitas rata-rata sebesar,70 psu. Salinitas di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan rata-rata memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan di Perairan Kepulauan Riau. Hal ini disebabkan karena lokasi Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berada lebih jauh dari pinggir pantai sehingga pengaruh radiasi matahari sudah mulai berkurang, akibatnya salinitas mulai meningkat. Secara vertikal maupun horisontal perubahan nilai salinitas berbanding terbalik dengan perubahan nilai suhu, dimana salinitas secara vertikal akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman sedangkan suhu akan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Demikian pula secara horizontal, salinitas akan meningkat menuju ke arah laut lepas dan menurun apabila mendekati pantai, sedangkan suhu semakin menjauhi pantai akan menurun dan semakin mendekati pantai, suhu semakin meningkat. Sebaran salinitas secara vertikal, baik di Perairan Kepulauan Riau maupun di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan menunjukan perubahan nilai yang relatif kecil yaitu berkisar antara 8,95-,07 psu.

17 69 Gambar 5 Sebaran vertikal salinitas rata-rata di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008. Pola sebaran horizontal salinitas permukaan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 008 yang ditampilkan pada Gambar 6, menunjukan bahwa salinitas rendah terkonsentrasi di wilayah Perairan Kepulauan Riau, dengan kisaran antara 8,95-0,9 psu, rata-rata 9,67 psu. Salinitas tinggi terkonsentrasi di wilayah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, dengan kisaran antara 0,91-,50 psu, rata-rata,70 psu. Perbedaan nilai suhu dari kedua lokasi ini disebabkan karena di Perairan Kepulauan Riau lokasinya sangat sempit dan berdekatan dengan pulau-pulau kecil di bagian tenggara Selat Malaka yang merupakan perairan sempit dari selat ini. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lokasinya berada di perairan bagian barat laut Selat Malaka yang merupakan perairan lebar dari selat ini dan berbatasan langsung dengan Laut Andaman. Kondisi demikian sangat berpengaruh dengan nilai salinitas masing-masing lokasi perairan. Stasiun yang lokasinya menjauhi pantai salinitasnya semakin meningkat, sebaliknya stasiun yang lokasinya mendekati pantai salinitasnya akan semakin menurun. Secara keseluruhan hasil pengukuran salinitas setiap stasiun ( stasiun) di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008 dapat dilihat pada Lampiran dan Lampiran.

18 Lintang Utara Belawan.5 Tg.Balai M A L A Y S I A.5 P. S U M A T E R A Bagansiapi P.Rupat 1.5 Dumai P.Bengkalis P.Padang Bujur Timur Gambar 6 Pola sebaran salinitas permukaan secara horizontal di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 008. Secara umum penyebaran horizontal salinitas di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 008, menunjukan bahwa nilai salinitas terendah terdapat pada lokasi bagian ujung tenggara (Perairan Kepulauan Riau) kemudian cenderung meningkat ke arah barat laut (Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan). ) Pola arus Kecepatan arus umumnya lebih kuat di Perairan Pulau Bengkalis dan Pulau Karimun Besar (wilayah Perairan Kepulauan Riau), terutama di selat sempit dan dekat muara sungai dengan arah yang bervariasi. Pengaruh pasang surut sangat nyata memicu kecepatan arus yang mencapai lebih dari 0,7 m/s. Pada perairan ini kecepatan arus permukaan umumnya berkisar antara 0,07-0,7 m/s. Kecepatan arus permukaan minimum sebesar 0,07 m/s di stasiun 7, kecepatan maksimal mencapai 0,7 m/s di stasiun 6 dan rata-rata mencapai 0,8 m/s. Kecepatan arus meningkat dengan bertambahnya kedalaman, walaupun relatif kecil karena kondisi perairan yang masih tergolong dangkal. Kecepatan arus bagian dasar minimum 0,6 m/s dan maksimal 0,6 m/s dengan rata-rata 0,0 m/s, terdapat di kedalaman 0 meter. Secara umum di Perairan Pulau Bengkalis dan Pulau Karimun Besar, Pulau Rupat dan Bagan Siapi-api yang termasuk dalam wilayah

19 71 Perairan Kepulauan Riau, kecepatan arus lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan di Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Hal ini disebabkan karena pengaruh pasang surut yang terjadi di ujung tenggara Selat Malaka sangat tinggi akibat perairan selat yang sempit. Arus permukaan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan memiliki kecepatan yang relatif lemah, berkisar antara 0,07-0,58 m/s dengan rata-rata 0,1 m/s. Sedangkan arus dasar berkisar antara 0,-0,6 m/s, rata-rata 0,6 m/s. Dasar laut Selat Malaka memiliki arus pasang surut yang kuat terjadi dan terbentuk riakriakan pasir besar (sand ripples) yang bentuknya sama, bagian puncak searah dengan arus pasang surut tersebut (Wyrtki, 1961). Pola arus dan sirkulasi massa air dominan mengalir dari tenggara ke barat laut di kedua musim yang berbeda. Walaupun demikian pada bagian barat laut yang merupakan bagian yang lebar dari selat ini pada musim timur dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Hindia. Hasil pengukuran kecepatan dan arah arus setiap stasiun ( stasiun) di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 008 dapat dilihat pada Lampiran 5, Lampiran 6, Lampiran 7 dan Lampiran 8. Sumber: Purwandani, 000 Gambar 7 Pola arus permukaan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni.

20 Hasil tangkapan 1) Jenis dan jumlah hasil tangkapan Hasil tangkapan yang teridentifikasi pada saat survei akustik di Selat Malaka bulan Juni 008 terdiri dari 5 family dan 96 spesies terdapat di Perairan Kepulauan Riau, 65 family dan 151 spesies di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan masing-masing tergolong dalam 1 dan 11 kelompok sumberdaya ikan, yaitu ikan hiu (Shark), ikan pari (rays), ikan pelagis, ikan demersal, cumi-cumi (Cephalopoda), udang, kepiting, kerang (shell) dan beberapa biota lain. Total family dan spesies ikan berdasarkan hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel 10 Tabel 10 Total family dan spesies ikan berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Selat Malaka pada bulan Juni 008 No. Komposisi Perairan KEPRI *) Perairan TBAB **) 1 Kelompok Komoditas 1 11 Jumlah Family 5 65 Jumlah Spesies Keterangan: *) **) KEPRI = Kepualauan Riau TBAB = Tanjung Balai Asahan dan Belawan Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel 11 dan Tabel 1. Kelompok ikan demersal berjumlah 70,89% dari total hasil hasil tangkapan berada di Perairan Kepulauan Riau dan 69,9% di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Cephalopoda yang hanya 0,17% dari total hasil tangkapan di Perairan Kepulauan Riau menjadi 1,60% di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, dan merupakan hasil tangkapan kedua terbanyak dari seluruh hasil tangkapan trawl selama survei.

21 7 Tabel 11 Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan Kepulauan Riau No. Perairan Kepulauan Riau Kelompok Berat (kg) Presentase (%) 1 Demersal 16,11 70,89 Rays 1,7 11, Pelagic 17,00 8,86 Shrimp 6,9,7 5 Sharks 5,,8 6 Sea cucumber, 1,7 7 Sea urchin 1,68 0,88 8 Crabs 0, 0, 9 Cephalopoda 0, 0,17 10 Sea star 0,5 0,1 11 Gastropoda 0, 0,11 1 Jelly fish 0,08 0,0 Jumlah 191, Tabel 1 Komposisi sumberdaya ikan berdasarkan kelompok komoditas di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan Kelompok Berat (kg) Presentase (%) 1 Demersal 1,8 69,9 Cephalopoda 9,98 1,60 Rays 0,76 9,70 Crabs 9,15,88 5 Shrimp 5,9 1,70 6 Pelagic,8 1,1 7 Sea urchin, 0,70 8 Shark 1,50 0,7 9 Sea cucumber 1,8 0,0 10 Gastropoda 0,91 0,9 11 Sea star 0,0 0,09 Jumlah 17, Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau dan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 1. Dominasi maupun komposisi family ikan demersal terlihat berbeda antara Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Hasil tangkapan trawl yang diperoleh menunjukkan bahwa family Scianidae mendominasi sumberdaya ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau sebesar

22 7 6,95%, diikuti oleh family Pomadasidae, Dasyatidae, dan Tetraodontidae. Family Clupeidae dan Engraulidae. Family Mullidae yang sangat jarang keberadaannya di Perairan Kepulauan Riau, mendominasi sumberdaya ikan demersal di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan sebesar 0,0%. Tabel 1 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Kepulauan Riau No. Family Perairan Kepulauan Riau Berat (kg) Presentase (%) 1 Scianidae,99 6,95 Pomadasidae,6 0,50 Dasyatidae 9,1 17,90 Tetraodontidae 6,85 16,5 5 Clupeidae 1,9 8,1 6 Engraulidae 1,08 7,0 7 Lain-lain,16,66 Jumlah 16, 100 Tabel 1 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut family berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan Family Berat (Kg) Presentase (%) 1 Mullidae 5,01 0,0 Loligonidae 9,79 15,0 Synodontidae,75 1,7 Dasyatidae 1,6 11,88 5 Nemipteridae 9,19 11,0 6 Tetraodontidae,56 9,7 7 Siganidae 17,5 6,6 8 Platycephalidae 15,86 5,99 9 Apogonidae 1,5 5,8 10 Lain-lain 6,1, Jumlah 6, Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan- Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008 di tampilkan pada Tabel 15 dan Tabel 16. Berdasarkan spesies, Pomadasys hasta jumlahnya,% dari total kelompok ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau, diikuti oleh Arothron sp, Johnius grypotus, Dasyatis kuhli, Nibea mitsukurii dan Harpadon nehereus, dan spesies lainnya kurang dari 5%. Loligo sp menunjukkan persentase tertinggi di

23 75 Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, sebesar 19,71% dari total kelompok ikan demersal yang tertangkap, diikuti Upeneus sundaicus, Dasyatis kuhli, Lagocephalus inermis, Upeneus sulphureus, Saurida undosquamis dan Siganus canaliculatus serta spesies lainnya kurang dari 5%. Tabel 15 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Kepulauan Riau No. Perairan Kepulauan Riau Spesies Berat (Kg) Presentase (%) 1 Gerot-gerot (Pomadasys hasta),00, Buntal (Arothron nigropuncatatus) 6,96 19,81 Gulam (Johnius grypotus),5 16,9 Pari (Dasyatis kuhli) 16,70 1,7 5 Tigawaja (Nibea mitsukurii ) 16,16 11,87 6 Nomei (Harpadon nehereus) 1,7 10,8 7 Lain-lain 6,11,9 Jumlah 16, Tabel 16 Sumberdaya ikan demersal dominan menurut spesies berdasarkan hasil tangkapan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan Spesies Berat (Kg) Presentase (%) 1 Cumi-cumi (Loligo sp) 7,9 19,71 Kuniran (Upeneus sundaicus),8 1,0 Pari (Dasyatis kuhli),50 11,85 Buntal (Lagocephalus inermis) 0,9 10,80 5 Kuniran (Upeneus sulphureus) 19,95 10,5 6 Beloso (Saurida undosquamis) 18,9 9,7 7 Baronang (Siganus canaliculatus) 16,8 8,87 8 Kurisi (Nemipterus peroni) 1,07 6,6 9 Beloso (Saurida micropectoralis) 10,0 5,8 10 Lain-lain 8,95,7 jumlah 189,7 100 ) Ukuran ikan Identifikasi ikan pelagis pada penelitian ini tidak dilakukan karena kegiatan penangkapan hanya terfokus pada ikan demersal. Pendugaan ukuran dan jenis ikan pelagis hanya dilakukan dengan metode split beam acoustic system. Panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl pada saat survei hidroakustik di Perairan Kepulauan Riau dan Perairan Tanjung Balai Asahan-Belawan, Selat

24 76 Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel 17 dan Tabel 18. Panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl di Perairan Kepulauan Riau sebesar,8 cm, sedangkan dugaan panjang rata-rata ikan demersal menurut formula Foote (1987) sebesar 5,15 cm. Panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan sebesar,18 cm, sedangkan dugaan panjang rata-rata ikan demersal menurut formula Foote (1987) sebesar 5,59 cm. Hal demikian menunjukan bahwa ikan yang tertangkap oleh trawl di Perairan Kepulauan Riau lebih kecil dibandingkan di perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Tabel 17 Komposisi panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl dan dugaan panjang rata-rata berdasarkan survei akustik di Perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka pada bulan Juni 008 No. Perairan Kepulauan Riau Spesies L (cm) 1 Gerot-gerot (Pomadasys hasta),1 Buntal (Arothron nigropunctatus,) 1,6 Gulama (Johnius grypotus) 0,5 Pari (Dasyatis kuhli) 16,9 5 Tigawaja (Nibea mitsukurii ) 18,7 6 Nomei (Harpadon nehereus) 18,50 Panjang Rata-rata Hasil Tangkapan Trawl,8 Dugaan Panjang Ikan Demersal Menurut Formula Foote (1987) 5,1 Tabel 18 Komposisi panjang rata-rata ikan demersal hasil tangkapan trawl dan dugaan panjang rata-rata berdasarkan survei akustik di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, Selat Malaka pada bulan Juni 008 No. Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan Spesies L (cm) 1 Cumi-cumi (Loligo sp) 17,60 Kuniran (Upeneus sundaicus) 18,61 Pari (Dasyatis kuhli) 0,57 Buntal (Lagocephalus inermis) 16,18 5 Kuniran (Upeneus sulphureus) 19,6 6 Beloso (Saurida undosquamis) 1,75 7 Baronang (Siganus canaliculatus) 5,1 8 Kurisi (Nemipterus peroni),16 9 Beloso (Saurida micropectoralis) 5,0 Panjang Rata-rata Hasil Tangkapan Trawl,18 Dugaan Panjang Ikan Demersal Menurut Formula Foote (1987) 5,59

25 Pemetaan daerah penangkapan ikan Berdasarkan hasil survei akustik di Selat Malaka pada bulan Juni 008 diperoleh peta daerah penangkapan ikan pelagis dan demersal di 1 leg sepanjang transek akustik dari Kepulauan Riau (tenggara Selat Malaka) sampai Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka). Peta tersebut berdasarkan dua indikator penentuan daerah penangkapan ikan yang telah ditetapkan (nilai TS dan densitas ikan), yang terdiri dari dua klasifikasi, yaitu daerah penangkapan ikan sedang dan kurang potensial. Daerah penangkapan ikan pelagis yang memiliki potensi sedang di Perairan Kepulauan Riau menyebar pada kedalaman -5 meter yang terletak di bagian timur Pulau Bengkalis, sedangkan DPI kurang potensial menyebar pada kedalaman - meter yang terletak antara Pulau Karimun Besar dan Pulau Panjang, dan sekitar Pulau Rupat. Daerah penangkapan ikan pelagis yang memiliki potensi sedang di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan menyebar pada kedalaman -1 meter dan 5-7 meter yang terletak di bagian utara dan barat laut Bagan Siapi-api, utara Tanjung Balai Asahan, dan timur Perairan Belawan, sedangkan DPI kurang potensial menyebar pada kedalaman 1-5 meter yang terletak di bagian barat laut Perairan Tanjung Balai Asahan. Daerah penangkapan ikan demersal yang memiliki potensi sedang di Perairan Kepulauan Riau terletak di sekitar Perairan Pulau Bengkalis, timur Pulau Rupat dan utara Bagan Siapi-api yang menyebar pada kedalaman 0-50 meter, sedangkan DPI kurang potensial terletak di sekitar Perairan Karimun Besar dan timur Pulau Rupat yang menyebar pada kedalaman 15-5 meter. Daerah penangkapan ikan demersal yang memiliki potensi sedang di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terletak di bagian timur Perairan Tanjung Balai Asahan dan bagian tenggara dan utara Perairan Belawan yang menyebar pada kedalaman 0-60 meter, sedangkan DPI kurang potensial terletak di bagian tenggara Perairan Tanjung Balai Asahan yang menyebar pada kedalaman 0-0 meter. Hal ini sesuai dengan keberadaan ikan demersal yang terkonsentrasi pada kedalaman tersebut. Pemetaan daerah penangkapan ikan dengan menggunakan metode hidroakustik di Selat Malaka pada bulan Juni 008 ditampilkan pada Tabel 19, Tabel 0 dan Gambar 8.

26 78 Tabel 19 Klasifikasi daerah penangkapan ikan pelagis di Selat Malaka pada bulan Juni 008 Leg 1 Posisi 0 08' 00" dan 10 1' 800" ~ 1 00' 750" dan 10 08' " Indikator TS (db) Bobot Densitas (individu/m ) Bobot < -60 db Bobot Total Klasifikasi DPI Kurang 1 00' 850" dan 10 08' 67" ~ 1 06' 17" dan 10 10' 67" < -60 db Kurang 00' " dan 10 1' 700" ~ 0' 967" dan ' 600" < -60 db Kurang 0' 967" dan ' 600" ~ 05' 600" dan ' " < -60 db Kurang 5 05' 650" dan ' 18" ~ 08' 500" dan ' 600" < -60 db Kurang 6 08' 500" dan ' 600" ~ 09' 98" dan 101 0' 600" < -60 db Kurang 7A 10' 050" dan 101 0' 8" ~ 1' 0" dan ' " < -60 db Kurang 7B 15' 850" dan ' 008" ~ 15' 17" dan 098 1' 0" -60 ~ -57 db -5 6 Sedang 8 1' " dan 098 1' 00" ~ 0' 08" dan ' 08" < -60 db Kurang 9 0' 100" dan ' 09" ~ 11' " dan 099 0' 06" < -60 db -5 5 Sedang 10 1' 617" dan 099 0' 07" ~ 1' 067" dan ' 000" -60 ~ -57 db -5 6 Sedang 11 11' 67" dan ' 00" ~ 09' 00" dan ' 09" < -60 db Kurang 1 09' 750" dan 099 1' 05" ~ 07' 900" dan ' 01" < -60 db Kurang 1 07' 800" dan ' 00" ~ 00' 50" dan ' 05" -60 ~ -57 db 5 Kurang 1A 00' 50" dan ' 05" ~ 1' 00" dan ' 06" -60 ~ -57 db -5 6 Sedang 1B 1' 17" dan ' 005" ~ 0 1' " dan 10 10' 0" < -60 db >5 6 Sedang

27 79 Tabel 0 Klasifikasi daerah penangkapan ikan demersal di Selat Malaka pada bulan Juni 008 Leg 1 Posisi 0 08' 00" dan 10 1' 800" ~ 1 00' 750" dan 10 08' " Indikator TS (db) Bobot Densitas (individu/m ) Bobot < -60 db Bobot Total Klasifikasi DPI Kurang 1 00' 850" dan 10 08' 67" ~ 1 06' 17" dan 10 10' 67" < -60 db > 5 5 Sedang 00' " dan 10 1' 700" ~ 0' 967" dan ' 600" > -57 db 6 Sedang 0' 967" dan ' 600" ~ 05' 600" dan ' " -60 ~ -57 db -5 6 Sedang 5 05' 650" dan ' 18" ~ 08' 500" dan ' 600" < -60 db -5 5 Sedang 6 08' 500" dan ' 600" ~ 09' 98" dan 101 0' 600" -60 ~ -57 db 5 Sedang 7A 10' 050" dan 101 0' 8" ~ 1' 0" dan ' " -60 ~ -57 db -5 6 Sedang 7B 15' 850" dan ' 008" ~ 15' 17" dan 098 1' 0" -60 ~ -57 db 5 Sedang 8 1' " dan 098 1' 00" ~ 0' 08" dan ' 08" < -60 db > 5 6 Sedang 9 0' 100" dan ' 09" ~ 11' " dan 099 0' 06" -60 ~ -57 db 5 Sedang 10 1' 617" dan 099 0' 07" ~ 1' 067" dan ' 000" -60 ~ -57 db 5 Sedang 11 11' 67" dan ' 00" ~ 09' 00" dan ' 09" < -60 db -5 5 Sedang 1 09' 750" dan 099 1' 05" ~ 07' 900" dan ' 01" > -57 db 6 Sedang 1 07' 800" dan ' 00" ~ 00' 50" dan ' 05" > -57 db 6 Sedang 1A 00' 50" dan ' 05" ~ 1' 00" dan ' 06" < -60 db Kurang 1B 1' 17" dan ' 005" ~ 0 1' " dan 10 10' 0" < -60 db Kurang

28 Gambar 8 Peta daerah penangkapan ikan di Selat Malaka pada bulan Juni

29 81 5. Pembahasan 5..1 Hubungan target strength dan ukuran ikan Dugaan panjang rata-rata ikan demersal dari data hidroakustik split beam echosounder diperoleh dengan menggunakan formula Foote (1987). Pemilihan formula Foote (1987) didasarkan pada nilai normalisasi TS (A) dalam persamaan umum, hubungan antara TS dengan panjang ikan (L), yaitu TS = 0 Log(L) + A. Menurut Foote (1987) in Arnaya (1991), persamaan ini dapat menjelaskan mengenai gambaran kasar dari ukuran ikan. Hubungan nilai TS dengan panjang ikan (L) dapat berbeda-beda sesuai dengan jenis ikan. Umumnya untuk ikan yang memiliki gelembung renang tertutup (physoclist) mempunyai nilai A sebesar -67,5 db, ikan dengan gelembung renang terbuka (physostomes) mempunyai nilai A sebesar -71,9 db dan ikan tanpa gelembung renang (bladderless fish) sebesar - 80,0 db (Foote, 1987 in Arnaya, 1991). Jenis ikan hasil tangkapan trawl pada saat survei akustik umumnya memiliki gelembung renang tertutup (physoclist). Hasil tangkapan trawl yang diperoleh dalam penelitian ini sebagian besar ikan-ikan demersal (91,1%), sedangkan ikan pelagis hanya (8,86%) dari total hasil tangkapan selama survei, sehingga hasil tangkapan ikan pelagis tidak dilakukan pengukuran panjang untuk verifikasi dengan data hidroakustik. Nilai TS ikan pelagis di lokasi penelitian, pada transek siang maupun malam hari cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kecenderungan meningkatnya nilai TS dengan meningkatnya kedalaman perairan disebabkan oleh meningkatnya ukuran ikan. Hal demikian menandakan bahwa ikan-ikan yang berukuran lebih kecil menyebar di bagian lapisan permukaan, sedangkan ikan yang berukuran lebih besar menyebar di lapisan perairan yang lebih dalam. Keberadaan ikan-ikan pelagis tersebut berkaitan dengan pola tingkah laku makan ikan sebagaimana diutarakan oleh Nelson dan Dark (1986), bahwa ikan-ikan yang lebih kecil umumnya memangsa plankton di lapisan permukaan, sedangkan ikanikan yang lebih besar mencari makan tidak hanya terbatas di lapisan permukaan dan kolom perairan, tetapi juga mencari mangsa lain yang berada di lapisan perairan yang lebih dalam. Nilai TS ikan pelagis yang terdeteksi pada transek siang hari terkonsentrasi pada strata kedalaman -1 meter, sedangkan pada transek malam hari

30 8 terkonsentrasi pada strata kedalaman 5-7 meter. Kisaran penyebaran nilai TS pada transek malam hari lebih tebal dibandingkan dengan siang hari, hal ini dipengaruhi oleh perubahan tingkah laku ikan pada periode terang dan gelap, sebagaimana dikemukakan oleh Laevastu dan Hayes (1981), bahwa pada waktu siang hari ikan pelagis cenderung bergerombol di permukaan, sedangkan pada malam hari mereka lebih menyebar secara merata/homogen di kolom perairan. Nilai TS ikan yang lebih besar di strata kedalaman 9-10 meter pada waktu malam hari, diduga merupakan nilai TS dari ikan demersal, dimana tingkah laku makan ikan demersal pada waktu malam hari menyebar merata pada lapisan kolom perairan (midwater), sedangkan pada siang hari umumnya berkumpul di dasar perairan (Burczynski et al., 1987). Berdasarkan pola penyebaran nilai TS ikan pelagis secara vertikal tersebut di atas dapat dihubungkan dengan potensi keberadaan sumberdaya ikan yang potensial dalam operasi penangkapan ikan. Siang hari ikan-ikan pelagis lebih terkonsentarsi pada lapisan permukaan sehingga pengoperasian alat tangkap dapat dilakukan dengan baik pada lapisan tersebut seperti jenis alat tangkap pukat cincin (purse seine). Malam hari ikan pelagis terkonsentrasi pada lapisan kolom perairan (5-7 meter) bersama dengan ikan demersal yang melakukan aktivitas pada malam hari, sehimgga alat tangkap sangat baik dioperasikan pada kedalaman tersebut. Secara horizontal penyebaran nilai TS ikan pelagis dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka) cenderung meningkat. Hal ini berarti bahwa rata-rata ukuran ikan pelagis di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lebih besar dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan yang berbeda di kedua wilayah tersebut. Perairan Kepulauan Riau termasuk perairan dangkal, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan merupakan perairan dalam yang berbatasan langsung dengan Laut Andaman. Selain itu Maclennan et al, (1990) menyatakan bahwa perubahan variasi nilai TS mungkin disebabkan oleh perubahan nilai distribusi secara horizontal oleh ikan itu sendiri.

31 8 Nilai TS rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau lebih kecil dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kedalaman perairan di kedua lokasi tersebut, dimana Perairan Kepulauan Riau termasuk perairan dangkal, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan merupakan perairan yang lebih dalam. Hal demikian menunjukan bahwa nilai TS ikan demersal yang lebih kecil cenderung berada pada perairan dangkal atau mendekati pantai, sebaliknya nilai TS yang lebih besar cenderung berada di perairan yang lebih dalam atau menjauhi pantai, sebagaimana dikemukakan oleh Pujiyati (008), bahwa nilai TS ikan demersal akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman perairan. Selain hal tersebut di atas perbedaan nilai TS ikan demersal juga dipengaruhi oleh jenis ikan di Perairan Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Habitat ikan demersal yang berada di dekat dasar perairan mengakibatkan koreksi hasil deteksi akustik terhadap ikan demersal memerlukan ketelitian yang tinggi agar echo dari ikan demersal tidak bercampur dengan echo yang berasal dari dasar perairan. Hal ini dapat dilakukan dengan menghilangkan echo yang bersasal dari dasar perairan melalui koreksi bottom noise pada saat analisis data ikan demersal. Berdasarkan data hidroakustik split beam echosounder diperoleh dugaan panjang rata-rata ikan demersal di Perairan Kepulauan Riau sebesar 5,1 cm dan panjang rata-rata hasil tangkapan trawl sebesar,8 cm, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan dugaan panjang rata-rata ikan demersal hasil deteksi hidroakustik sebesar 5,59 cm dan panjang rata-rata hasil tangkapan trawl sebesar,18 cm. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh metode pengambilan contoh, sistem pengoperasian alat tangkap (trawl) dan pengoperasian transducer di bawah permukaan laut. Pengambilan contoh TS sulit dilakukan secara bersamaan dengan proses penangkapan, karena pengoperasian trawl hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja dan terbatas pada perairan dengan kedalaman maksimal 60 meter, sedangkan deteksi hidroakustik dilakukan sampai pada dasar perairan sepanjang jalur pelayaran. Hal demikian mengakibatkan ikan yang terdeteksi pada perairan yang memiliki kedalaman lebih dari 60 meter tidak

32 8 ikut tertangkap oleh trawl, sehingga data hasil tangkapan trawl yang ada tidak mewakili seluruh data hasil deteksi dari hidroakustik split beam echosounder. Pengoperasian transducer di bawah permukaan laut yang mencapai kedalaman sampai 1,5 meter dari lunas kapal, dimana badan kapal yang trendam air ±,5 meter, sehingga total lapisan perairan yang dapat terdeteksi oleh pancaran beam akustik secara vertikal mulai dari kedalaman meter. Hal demikian mengakibatkan ikan-ikan yang berada pada lapisan kedalaman 0- meter tidak terdeteksi oleh transducer. 5.. Densitas dan penyebaran ikan Densitas dan penyebaran ikan pelagis baik pada transek siang maupun malam hari cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman. Tingginya densitas ikan pada lapisan permukaan, disebabkan karena ikan cenderung mencari tempat dengan fluktuasi yang rendah sehingga tidak memerlukan usaha yang berat untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Densitas ikan pelagis pada transek siang dan malam hari mulai dari kedalaman 1 meter sampai 10 meter mengalami perubahan nilai yang relatif sama, akan tetapi pada lapisan permukaan (strata kedalaman -1 meter), densitas ikan pelagis yang terdeteksi pada siang hari lebih besar dibandingkan dengan malam hari. Perbedaan nilai densitas ini disebabkan oleh aktivitas ikan yang berbeda pada waktu siang dan malam hari. Pola tingkah laku ikan pelagis terhadap periode terang dan gelap telah dikemukakan oleh Laevestu dan Hayes (1981), bahwa pada waktu siang hari ikan pelagis cenderung bergerombol di permukaan, sedangkan pada malam hari mereka lebih menyebar secara merata/homogen di kolom perairan. Keadaan tersebut mengakibatkan konsentrasi penyebaran ikan pelagis di lapisan permukaan pada siang hari lebih tinggi dibandingkan dengan malam hari. Densitas ikan pelagis tertinggi di Perairan Kepulauan Riau terkonsentrasi pada kedalaman -5 meter, sedangkan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan terkonsentrasi pada strata kedalaman -1 meter. Secara horizontal penyebaran densitas ikan pelagis dari Perairan Kepulauan Riau (bagian tenggara Selat Malaka) ke arah Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan (bagian barat laut Selat Malaka) cenderung menurun dengan perbedaan yang cukup tinggi sekitar 8,6 individu/m. Perbedaan densitas ini dipengaruhi oleh kesuburan

33 85 Perairan Kepulauan Riau lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, sesuai dengan hasil penelitian BRPL (00), disebutkan bahwa penyebaran kandungan oksigen terlarut dari barat laut ke arah tenggara Perairan Selat Malaka semakin meningkat dan keberadaan fitoplankton serta zooplakton lebih tinggi di Perairan Kepulauan Riau daripada Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan, tetapi di Perairan Belawan pada bagian yang mengarah ke Laut Andaman memiliki tingkat kesuburan perairan dominan tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya di wilayah ini. Keadaan tersebut mengakibatkan konsentrasi ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan perairan Belawan. Densitas ikan pelagis pada strata kedalaman -1 meter di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Kepulauan Riau. Hal ini menunjukan bahwa pada saat survei hidroakustik di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan pada strata kedalaman -1 meter terdapat kelompok ikan pelagis dalam jumlah yang banyak dengan volume perairan yang kecil karena bentuk pancaran beam yang berbentuk kerucut pada bagian atas. Densitas ikan pelagis pada lapisan kedalaman -5 meter di Perairan Kepulauan Riau lebih tinggi dibandingkan dengan Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan perairan yang tinggi di Kepulauan Riau pada lapisan kedalaman tersebut (BRPL, 00) dan jenis ikan pelagis di Perairan Kepulauan Riau berbeda dengan jenis ikan pelagis yang ada di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan. Berdasarkan nilai densitas dan penyebaran ikan pelagis sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dihubungkan dengan metode operasional penangkapan ikan yang dilakukan untuk mendapatkan lokasi atau daerah penangkapan ikan yang baik berkaitan dengan keberadaan sumberdaya ikan sebagai target utama dalam kegiatan penangkapan ikan. Daerah penangkapan ikan yang baik di Perairan Kepulauan Riau berdasarkan hal tersebut di atas adalah pada lapisan kedalaman perairan -5 meter, sedangkan di Perairan Tanjung Balai Asahan dan Belawan berada pada lapisan kedalaman -1 meter. Jenis alat tangkap yang dapat dioperasikan pada kedalaman perairan tersebut adalah purse seine dan pancing.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni

Lebih terperinci

KOMPOSISI SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SELAT MALAKA BIOLOGICAL ASPECTS OF DEMERSAL FISH IN MALACCA STRAIT

KOMPOSISI SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SELAT MALAKA BIOLOGICAL ASPECTS OF DEMERSAL FISH IN MALACCA STRAIT 101 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XII (2): 101-106 ISSN: 0853-6384 KOMPOSISI SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SELAT MALAKA BIOLOGICAL ASPECTS OF DEMERSAL FISH IN MALACCA STRAIT Wedjatmiko Balai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Perairan

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Perairan 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 5.1.1 Batimetri Perairan Hasil pemetaan batimetri dari data echogram di seluruh perairan Laut Jawa khususnya pada Laut Jawa bagian timur dan utara

Lebih terperinci

6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri

6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri 6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 6.1.1 Batimetri Hasil pemetaan batimetri dari data echogram maupun data topex di seluruh perairan Laut Jawa (termasuk perairan Belitung) menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada Dian Herdiana (C06499072). Pendugaan Pola Distribnsi Spasio-Temporal Target Strettgth Ikan Pelagis dengan Split Beam Acor~stic System di Perairan Teluk Tomini pada Bulan Juli-Amstus 2003. Di bawah bimbin~an

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA 2003 Julius A.N. Masrikat Posted 11 December 2003 Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Jarak Near Field (R nf ) yang diperoleh pada penelitian ini dengan menggunakan formula (1) adalah 0.2691 m dengan lebar transducer 4.5 cm, kecepatan suara 1505.06

Lebih terperinci

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik Oleh Susilawati 1 ) Aras Mulyadi 2 ) Mubarak 2 ) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Nilai Target Strength (TS) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) Nilai target strength (TS) merupakan parameter utama pada aplikasi metode akustik dalam menduga kelimpahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003

0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003 204 0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003 PROGRAM STUD1 ILIMU KELAUTAS DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO Oleh: Deddy Bakhtiar deddy_b2@yahoo.co.id Prodi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371A.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hidroakustik 4.1.1. Profil Batimetri Laut Selatan Jawa Pada Gambar 10. terlihat profil batimetri Laut Selatan Jawa yang diperoleh dari hasil pemetaan batimetri, dimana dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

KOMPOSISI, ASPEK BIOLOGI DAN KEPADATAN STOK IKAN PARI DI LAUT ARAFURA

KOMPOSISI, ASPEK BIOLOGI DAN KEPADATAN STOK IKAN PARI DI LAUT ARAFURA KOMPOSISI, ASPEK BIOLOGI DAN KEPADATAN STOK IKAN PARI DI LAUT ARAFURA Oleh Andina Ramadhani Putri Pane Enjah Rahmat Siswoyo Balai Riset Perikanan Laut Cibinong - Bogor Simposium Hiu Pari ke 2 Jakarta,

Lebih terperinci

Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati

Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati Deskripsi MK DPI Mata kuliah ini menjelaskan tentang posisi DPI dan manfaatnya bagi kegiatan perikanan, serta berbagai hal yang berkaitan dan

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA

SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA IDA BAGUS ADI ANDITAYANA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

III HASIL DAN DISKUSI

III HASIL DAN DISKUSI III HASIL DAN DISKUSI Sistem hidrolika estuari didominasi oleh aliran sungai, pasut dan gelombang (McDowell et al., 1977). Pernyataan tersebut mendeskripsikan kondisi perairan estuari daerah studi dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Berdasarkan buku Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (9), wilayah mangrove desa Jayamukti Kecamatan Blanakan secara administrasi kehutanan termasuk

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN Oleh : Ahmad Parwis Nasution PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

SEBARAN DAN KELIMPAHAN IKAN PARI DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) 711 NRI

SEBARAN DAN KELIMPAHAN IKAN PARI DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) 711 NRI SEBARAN DAN KELIMPAHAN IKAN PARI DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) 711 NRI Helman Nur Yusuf, Asep Priatna & Karsono Wagiyo Disampaikan pada Simposium Hiu & Pari di Indonesia, Maret 2018 Balai Riset

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN tangkapan yang berbeda. Untuk hari pertama tanpa menggunakan lampu, hari ke menggunakan dua lampu dan hari ke menggunakan empat lampu. Dalam satu hari dilakukan dua kali operasi penangkapan. Data yang

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo Dalam pengoperasiannya, bagan rambo menggunakan cahaya untuk menarik dan mengumpulkan ikan pada catchable area. Penggunaan cahaya buatan yang berkapasitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA Pengaruh Lampu terhadap Hasil Tangkapan... Pemalang dan Sekitarnya (Nurdin, E.) PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA Erfind Nurdin Peneliti

Lebih terperinci

ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1.

ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1. ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1. C PROUERBS 1 : 7 > WIWUH XIIR I(MGUfiGMP RRHRSIR MU1 MH FRMNFIIRIKnHmII UMUX KESEJIIHII31RAH UWI MMJSIII?? JAURBIIWR

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

KONSTRUKSI DAN UJI-COBA PENGOPERASIAN JUVENILE AND TRASH EXCLUDER DEVICE PADA JARING ARAD DI PEKALONGAN

KONSTRUKSI DAN UJI-COBA PENGOPERASIAN JUVENILE AND TRASH EXCLUDER DEVICE PADA JARING ARAD DI PEKALONGAN Konstruksi dan Uji-Coba Pengoperasian Juvenile and Trash Excluder Device pada Jaring Arad di Pekalongan (Salim, A.) KONSTRUKSI DAN UJI-COBA PENGOPERASIAN JUVENILE AND TRASH EXCLUDER DEVICE PADA JARING

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 cahaya Menurut Cayless dan Marsden (1983), iluminasi atau intensitas penerangan adalah nilai pancaran cahaya yang jatuh pada suatu bidang permukaan. cahaya dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Dosen Pengampu: RIN, ASEP, DIAN, MUTA Revisi pada pertemuan ke 13-15 Sehubungan dgn MK Indraja yg dihapus. Terkait hal tersebut, silakan disesuaikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. dimana besar nilainya bisa sama panjang dengan panjang keseluruhan atau

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. dimana besar nilainya bisa sama panjang dengan panjang keseluruhan atau 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tabel Ukuran Tubuh Ikan Acoustical length adalah panjang target dalam akustik pada sebuah target, dimana besar nilainya bisa sama panjang dengan panjang keseluruhan atau panjang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Daerah Penelitian Penelitian hidroakustik meliputi daerah tubir bagian luar (perairan Teluk Tomini), daerah tubir bagian dalam (perairan pulau Una-una) dan daerah

Lebih terperinci

Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura

Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomer 1(D) 13106 Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura Fauziyah dan Jaya A PS. Ilmu Kelautan FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia

Lebih terperinci

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 41 4. BAHAN DAN METODA 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan dua data yaitu (1) data primer yang diperoleh saat penulis mengikuti riset pada tahun 2002, yang merupakan bagian dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaring Arad Jaring arad (mini trawl) adalah jaring yang berbentuk kerucut yang tertutup ke arah ujung kantong dan melebar ke arah depan dengan adanya sayap. Bagian-bagiannya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci