6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri"

Transkripsi

1 6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Hasil pemetaan batimetri dari data echogram maupun data topex di seluruh perairan Laut Jawa (termasuk perairan Belitung) menunjukkan bahwa perairan Laut Jawa memiliki kedalaman yang relatif dangkal, yaitu berkisar antara m. Nontji (1993) menjelaskan bahwa Laut Jawa umumnya mempunyai dasar yang rata dan melandai dari arah barat ke timur. Lokasi dekat pantai Sumatera Selatan memiliki kedalamnya sekitar 20 m dan berangsurangsur meningkat hingga di lokasi sebelah timur yang menghadap ke Selat Makasar menjadi sekitar m. Hal ini juga diperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Durand and Petit (1995) yang menyatakan bahwa kedalaman Laut Jawa kurang dari 100 meter, dimana rata-rata kedalaman adalah 40 meter. Perairan dangkal meliputi lokasi di sebelah utara dan selatan perairan yang hampir mencakup lebih dari setengah perairan. Durand and Petit (1995) memperkirakan kedalaman yang lebih dari 50 meter berkisar km 2 atau kurang lebih 35% dari luas total Laut Jawa, dan dibeberapa tempat terdapat perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter yang mencakup km 2 (7%). Dangkalnya perairan Laut Jawa sangat dipengaruh oleh proses pengendapan. Arus yang memasuki perairan Laut Jawa yang berasal dari selat Makasar dan laut Flores umumnya kuat, namun bila sudah sampai di tengah perairan Laut Jawa arus itu menjadi lemah. Saat arus kuat, maka proses pengendapan sangat kecil karena butiran partikel-partikel tersuspensi sanggup terbawa oleh arus jauh menuju tengah perairan Laut Jawa, namun begitu di tengah Laut Jawa, arus berubah menjadi lemah dan tidak dapat membawa butiran partikel tersuspensi lagi, maka proses pengendapan akan sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan di sebelah timur Laut Jawa memiliki kedalaman hampir 100 m, namun semakin ke arah barat, perairan semakin dangkal. Khusus perairan di sekitar Pulau Belitung relatif dangkal. Hal ini disebabkan memiliki dasar perairan karang (Nontji, 1993). Selain itu arus di sekitar perairan Belitung cenderung kuat sehingga proses sedimentasi sangat kecil.

2 93 Lain halnya dengan perairan Kalimantan Timur. Perairan ini termasuk perairan Selat Makasar sekaligus merupakan salah satu palung yang ada di Indonesia, yaitu Palung Sulawesi yang memiliki kedalaman hingga m. Nontji (1993) memberikan informasi bahwa kedalaman maksimum mencapai m Substrat Dasar Perairan Tipe substrat dasar perairan Laut Jawa yang terambil pada saat survei dengan mempergunakan alat grab umumnya adalah lumpur. Survei Desember 2005 menggambarkan 88% dari contoh substrat yang diambil adalah lumpur. Hasil survei Mei 2006, diperoleh 86% bersubstrat lumpur. Survei September 2005 di perairan Belitung menunjukkan hasil terbanyak pasir dan pasir berlumpur. Emery et al (1972) dalam Sadhotomo (2006) menyatakan bahwa di beberapa tempat dengan kedalaman 30 m muncul batuan dan tumbuh alga dan karang. Menurut studi mereka, beberapa area yang dangkal dan beberapa yang agak dalam sedimen relatif halus dimana pengendapan sedimen detritus diperoleh dari Pulau Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Ditambahkan, area dengan kedalaman perairan lebih dalam memiliki jarak yang jauh dari sumber yang memberi efek dominan dari sedimen pada topografi dasar. Sediaan sedimen terutama dikirim dari sungai-sungai yang mengalir ke dalam Laut Jawa. Beberapa sungai, khususnya yang berasal dari Pulau Jawa, pengirim sedimen yang berisi material vulkanik. Mereka juga menyatakan bahwa lumpur adalah sedimen utama yang mencakup 58% dari dasar perairan dan beberapa area pasir yang dikelilingi batu koral dan gravel. Durand dan Petit (1995) menyatakan bahwa terdapat dasar perairan dengan substrat lumpur bercampur kerang dan karang ditemukan di bagian tengah Laut Jawa di sebelah selatan Pulau Kalimantan. Dekat pantai ditemukan formasi batuan bercampur karang (Gambar 71). Sadhotomo (2006) menambahkan bahwa sumber kasar (rough emanation) tipe substrat dasar dengan pengamatan tanah yang terdapat di otterboard selama pelayaran ekstensif dari kapal riset Mutiara 4 ditemukan sebuah informasi tambahan terhadap hasil sebelumnya Emery et al (1972), dimana material deposit dasar perairan mengindikasikan kemungkinan yang sama dengan tanah di wilayah kolam sungai. Masukan sedimen fluvial dari daratan yang berhubungan dengan karakteristik geologi dari permukaan wilayah

3 94 tangkapan. Pasir atau substrat berpasir cenderung berada di pantai Kalimantan sementara di bagian utara Jawa biasa ditemukan kandungan silt halus dari sedimen. Telah diketahui dengan baik bahwa tipe tanah di Jawa bagian utara terdiri dari gromosol dan latosol di daratan tinggi dan tanah alluvial di wilayah datar, sementara di Kalimantan umumnya ditutupi oleh tanah silica dengan peat di lapisan atas. Gambar 71. Substrat dasar Laut Jawa ( (A) Losse and Dwiponggo, 1977; (B) Emery et al., 1972 in Sadhotomo, 2006)

4 95 Endapan lumpur merupakan proses sedimentasi yang terjadi akibat banyaknya sungai yang bermuara di Laut Jawa. Sungai-sungai ini membawa partikel-partikel lumpur yang berasal dari daratan. Faktor sedimentasi umumnya tinggi, hal ini disebabkan lemahnya arus yang ada di perairan Laut Jawa. Lemahnya arus perairan ini hanya mampu membawa partikel-partikel lumpur hampir di seluruh perairan. Inilah faktor yang menyebabkan perairan Laut Jawa didominasi oleh substrat lumpur. Selain itu partikel vulkanik yang dibawa oleh arus sungai menambah beban sedimentasi yang terjadi di sepanjang pantai Laut Jawa baik pada bagian utara maupun selatan. Sadhotomo (2006) menyampaikan bahwa variasi jumlah sedimen tersuspensi dan masukan material lain dari daratan berhubungan dengan beban sungai dan tingkat erosi. Bagaimanapun juga, pola distribusi dari laju penguapan, topografi (kemiringan slope) dan tutupan vegetasi memegang peranan penting sebagai penentu variasinya. Dalam hal ini, proses sedimentasi yang tinggi dan hasil sedimen fluvial di Jawa dapat juga menjadi pertimbangan sebagai contoh lain. Pengaruh dari sungai Solo terhadap variabilitas daerah pantai di pantai utara Jawa sangat nyata. Daerah tangkapan sungai relatif luas dan dihuni oleh penduduk yang padat. Juga volume rata-ratanya sangat besar dibandingkan dengan sugaisungai besar lainnya di Jawa dan Sumatera dan juga tutupan vegetasi yang terbatas (di zona hutan). Tidak diragukan lagi konsekuensi dari periode pendek masukan air tawar dan sedimentasi yang tinggi di wilayah pantai akan dihasilkan kondisi ini. Transportasi partikel sedimen di kolom air laut terutama sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisika arus dari partikel. Dalam hal ini ukuran partikel atau butir dan kecepatan arus merupakan dua variabel yang sangat penting. Di Perairan Belitung memiliki arus yang besar sehingga proses sedimentasi relatif kecil, hal ini yang menggambarkan mengapa di sekitar Pulau Belitung memiliki substrat pasir. Namun beda halnya di perairan Kalimantan Timur merupakan perairan yang berada pada Laut Sulawesi. Perairan ini dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Pasifik, dan selalu bergerak ke arah selatan. Besarnya arus dan bentuk topografi yang curam di Selat Makasar ini menyebabkan dasar perairan ditutupi oleh pasir, hanya daerah dekat pantai yang memiliki substrat lumpur maupun lumpur berpasir. Lumpur yang ada merupakan hasil sedimentasi yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara di Kalimantan Timur.

5 Oseanografi Perairan Hasil survei Laut Jawa 2002 bertepatan dengan Musim Peralihan II, memiliki sebaran suhu permukaan antara 29,61-27,26 o C, dan salinitas permukaan berkisar 33,39 34,83 psu, kondisi suhu perairan cenderung sedikit lebih dingin dan salinitas lebih pekat jika dibandingkan dengan sebaran suhu dan salinitas di utara Pulau Jawa pada bulan Oktober 2001 yaitu berkisar 29,5 30,9 o C dan salinitas minimum 32,1 psu (DKP-LIPI, 2001). Hal ini dimungkinkan karena pada Musim Peralihan II 2002 massa air dari samudera masih mendominasi perairan Laut Jawa. Hasil survei tahun 2005 bertepatan dengan Musim Barat, dimana suhu permukaan berkisar 28,77 29,93 o C, dan salinitas permukaan berkisar 30,47 33, 75 psu. Sebaran suhu permukaan pada Musim Barat ini cenderung lebih tinggi dari hasil survei tahun 1979 yang berkisar 27,40-28,30 o C (Ilahude, 1978 in DKP-LIPI,2001). Hal ini terjadi karena survei tahun 2005 bertepatan dengan awal Musim Barat sehingga massa air samudera belum bergerak jauh masuk ke perairan Laut Jawa. Hal ini juga dapat dijelaskan berdasarkan pola distribusi suhu permukaan laut (SPL) dari citra satelit selama periode satu tahun (rata-rata dari tahun ) tertera pada Gambar 72. Awal muson tenggara sekitar bulan Juni-Juli menunjukkan massa air dengan suhu o C mulai mengisi wilayah timur Laut Jawa mengantikan suhu antara o C pada periode muson barat laut. Massa air yang dingin ini bergerak secara gradual ke arah barat dan ujung lidah air dingin (28.0 o C) mencapai bagian barat Laut Jawa pada bulan Agustus-september. Bulan Oktober SPL mulai meningkat kembali hingga bulan Nopember. Bulan Desember - Februari, suhu menurun kembali yang merupakan pengaruh dari muson barat laut yang mengakibatkan massa air Laut Cina Selatan dengan suhu yang lebih rendah bercampur dan mendorong massa air Laut Jawa dari barat ke timur (Gaol dan Sadhotomo, 2006). P 2 O-LIPI melakukan pengukuran suhu pada Musim Peralihan II 2002 di Laut Jawa, menunjukkan suhu permukaan berkisar antara 28,01 ºC dan 28,55ºC. Suhu tidak menunjukkan perubahan hingga kedalaman 40-50m (P 2 O-LIPI, 2002). Secara umum penyebaran suhu permukaan di perairan Laut Jawa mulai dari tahun , mengalami perubahan meskipun tidak terlalu menyolok. Pada Musim Barat suhu berkisar 28,77 29,93 o C, kemudian pada Musim Peralihan I menghangat menjadi 29,48 30,33 o C dan pada Musim Peralihan II sedikit turun hingga 27,26 30,63 o C. Hal ini tidak berbeda yang digambarkan

6 97 oleh Purwandani (2001) dimana pada Musim Barat suhu permukaan relatif dingin kemundian Musim Peralihan I menjadi lebih hangat, pada Musim Peralihan II mulai turun lagi. Hal ini disebabkan masuknya aliran massa air dari Laut Cina Selatan yang cenderung dingin pada Musim Barat dan sebaliknya pada Musim timur terlihat adanya aliran massa air yang berasal dari Laut Flores juga yang lebih dingin di bandingkan massa air Laut Jawa. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dimana rata-rata SPL delapan harian selama 18 tahun di Laut Jawa yang diwakili SPL di wilayah 108 o -111 o BT dan 5 o -8 o LS, Umumnya suhu berkisar antara 27 o -29 o C (Gaol dan Sadhotomo 2006). Gambar 72. (a) Time-longitude plot SPL dari Junuari-Desember dan (b) tahun (Gaol dan Sadhotomo 2006) Hasil Penelitian bulan Oktober 1993 Musim Peralihan II (Durand and Petit, 1995) menunjukkan bahwa salinitas permukaan 34,4 34,6 psu, jika dibandingkan dengan salinitas permukaan tahun 2002 maupun 2005 yaitu 33,39 34,83 psu dan 30,47 33, 75 psu terlihat terjadi penurunan salinitas. Hal ini diduga akibat curah hujan yang cukup besar mengencerkan salinitas massa air samudera yang berasal dari Selat Makasar maupun Laut Flores. Secara vertikal salinitas di perairan Jawa tidak mengalami perubahan seperti yang dikemukakan oleh Gaol dan Sadhotomo (2006). bahwa distribusi vertikal suhu dari permukaan hingga dasar perairan tidak menunjukkan adanya stratifikasi. Stratifikasi suhu hanya terlihat di luar bagian timur Laut Jawa yang berbatasan dengan Laut Flores periode muson tenggara dimana curah hujan

7 98 sangat kecil, distribusi vertikal salinitas lebih homogen. Intrusi massa air oseanik bersalinitas tinggi dari arah timur menuju ke barat Laut Jawa sangat jelas terlihat mulai dari permukaan hingga dasar perairan. Pengaruh massa air tawar sama sekali tidak terlihat di sekitas pantai selatan Kalimantan, karena limpasan debit air tawar dari sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa pada periode muson tenggara sangat kecil (Gambar 73). Sebaran suhu maupun salinitas pada setiap selang kelas kedalaman untuk perairan Laut Jawa dan Belitung juga tidak menunjukkan perubahan yang nyata, namun untuk perairan Kalimantan Timur terlhat setelah selang kelas kedalaman 5 (lebih dari 56 m) terlihat rata-rata suhu mengalami perubahan cukup besar. Gambar 73. Potongan melintang temperatur di Laut Jawa pada waktu Musim Timur (atas) dan Musim Barat (bawah) (Gaol dan Sadhotomo 2006)

8 99 Potongan melintang salinitas pada bulan Oktober dan Desember 2005 menunjukkan pola yang berbeda dengan wilayah dekat pantai selatan Kalimantan (Sadhotomo, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh limpasan air tawar dari sungai-sungai di kalimantan tidak sampai pada wilayah pantai utara Pulau Jawa (Gambar 74-76). Gambar 74. Potongan melintang salinitas Musim Barat (atas) dan Musim Timur (bawah) di Laut Jawa (Gaol dan Sadhotomo, 2006) Penyebaran suhu permukaan di perairan Selat Makasar menyebar dari 25,03 32,81 0 C, dengan salinitas permukaan menyebar dari 33, psu. Perairan Selat Makasar memiliki kedalaman yang cukup dalam, berdasarkan penyebaran secara vertikal pada bulan Agustus 1993 bertepatan dengan Musim Timur dan bulan Februari 1994 yang bertepatan dengan Musim Peralihan I menunjukkan stratifikasi massa air yang di tunjukkan oleh grafik merah pada Gambar 75 (Gordon, 2005)). Lapisan termoklin juga ditemukan pada kedalaman

9 100 50,00-100,00 m (DKP-LIPI, 2001). Pada Musim Peralihan II berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LIPI di Selat Makassar, suhu permukaan berkisar 28, ºC dan berkisar 7,42ºC pada kedalaman 500 m. Pada lapisan permukaan terjadi lapisan pengadukan (mix layer) di kedalaman 0-75 m. Lapisan termoklin terjadi pada kedalaman 75 m hingga 200 m (P 2 0-LIPI, 2002). (a) (b) Gambar 75. (a) Potongan melintang salinitas Desember 2005 (b) Oktober 2005 (Sadhotomo, 2006) Gambar 76. Penyebaran suhu secara vertikal di perairan Selat Makasar (Gordon, 2005)

10 Hambur Balik Dasar Perairan Nilai hambur balik dasar perairan Laut Jawa tahun 2002 dari hasil pengolahan EP-500, menunjukkan lokasi mendekati Pulau Kalimantan memiliki nilai hambur balik dasar perairan cukup besar hingga -25,00 db, namun semakin kearah selatan mendekati pantai utara Jawa nilai hambur balik semakin kecil. Hal ini diduga di selatan pantai Kalimantan memiliki substrat pasir seperti yang dikemukakan oleh Wirtky (1961). Durand dan Petit (1995) juga menyatakan bahwa terdapat dasar perairan dengan substrat lumpur bercampur kerang dan karang ditemukan di bagian tengah Laut Jawa di sebelah selatan Pulau Kalimantan, dan dekat pantai ditemukan formasi batuan bercampur karang. Adapun perbedaan nilai hambur balik dasar perairan di lokasi di timur laut Pulau Belitung dan barat laut Pulau Belitung hasil survei 2002 diduga dipengaruhi oleh luasan penutupan karang. Di lokasi timur laut ditemukan substrat pasir, lumpur berpasir, dan terumbu karang dengan persentase penutupan karang sebesar 81,8-83,6%. Daerah Barat laut ditemukan substrat pasir, dan karang dengan persentase penutupan sebesar 65,16% Berdasarkan nilai rata-rata per lapisan untuk perairan Laut Jawa dan perairan Belitung (Tabel 18), dapat diketahui pada lapisan -1 Laut Jawa memiliki nilai hambur balik rata-rata yang lebih besar dibandingkan nilai hambur balik pada lapisan - 1 di perairan Belitung. Namun untuk lapisan - 2 hingga lapisan - 4, nilai rata-rata hambur balik dasar perairan di perairan Belitung lebih besar di bandingkan Lapisan 2-4 di Laut Jawa. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dasar perairan yang tersusun di perairan Jawa lebih lunak di bandingkan di perairan Belitung, ini dibuktikan dari hasil analisis ukuran partikel, dimana untuk perairan Laut Jawa dari 67 data grab menunjukkan bahwa 89% substrat di Laut Jawa adalah lumpur dan dari 46 stasiun di perairan Belitung ditemukan 35% substrat pasir, 26% pasir berlumpur. Manik et al (2006) menjelaskan dengan menggunakan nilai surface strength (SS) nilai pantulan pasir lebih besar dari pada nilai SS pada substrat liat.

11 102 Tabel 18. Perbandingan nilai rata-rata per lapisan di Laut Jawa dan perairan Belitung Lokasi Lapisan-1 Lapisan-2 Lapisan-3 Lapisan-4 Laut Jawa ,29-24,33 Belitung -57,43-37,65-23,47-18,77 Kecilnya nilai rata-rata hambur balik pada lapisan-1 diduga merupakan partikel-partikel lanau yang sudah diendapkan namun belum mengalami pemampatan (solid). Wibisono (2005) menjelaskan bahwa sedimen seperti lapisan-1 bersifat tidak kompak (unconsolidated) yaitu sedimen yang selalu dalam keadaan siap terurai sehingga dengan kekuatan arus yang lemah sekalipun, partikel mudah lepas. Nilai hambur balik dasar perairan (SV) yang berkisar -59,70 sampai - 15,00 db untuk nilai per lapisan pada hasil olahan dengan EP-500 sama dengan hasil yang diperoleh oleh Manik (2006) yang menyatakan bahwa echogram yang diperoleh dengan menggunakan echosounder frekuensi 38 KHz pada pasir, lempung dan lumpur di Selatan Jawa menunjukkan nilai raw volume backscattering strength (raw SV) pada kisaran -70 hingga -10 db. Siwabessy dalam penelitiannya mengungkapkan dengan echosounder frekuensi 38 KHz, area yang lunak-halus memiliki nilai Volume Backscatterng Strength -49,88 db sedangkan area yang keras-kasar memiliki nilai -44,07 db. Pemakaian echosounder frekuensi echosounder 120 KHz sebesar pada perairan lunak - halus memiliki nilai Volume Backscatterng Strength 36,75 db dan di area keraskasar bernilai -27,70 db (komunikasi pribadi dengan Siwabessy, 2007). Hasil pengolahan data survei tahun 2005 dengan program pengolahan Echoview di dua lokasi yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda. Dimana nilai rata-rata hambur balik dasar perairan di Laut Jawa (-37,10 db) lebih kecil dibandingkan lokasi di perairan Belitung (-32,65 db). Hal ini terjadi karena umumnya di Laut Jawa memiliki substrat lumpur sedang di perairan Belitung umumnya pasir atau pasir berlumpur. Hal ini juga dikuatkan hasil penelitian Faturachman dan Raharjo (2003) yang melakukan penelitian di perairan Cirebon menyatakan bahwa pada kedalaman m merupakan lapisan paling atas, disusun oleh lempung lanauan, abu-abu hingga abu kecoklatan hingga kehitaman, jenuh air (saturated), sangat lunak (very soft). Hal ini berbeda dengan substrat di perairan Belitung yang umumnya pasir, lumpur dan campuran keduanya.

12 Klasifikasi Tipe Substrat Dasar Perairan Klasifikasi tipe substrat karang, pasir, pasir berliat, pasir berlumpur dan lumpur berpasir didasari oleh komposisi partikel yang terkandung dalam substrat tersebut. Hasil analisis nilai hambur balik dari pantulan pertama (E-1) dan komposisi kandungan lumpur di setiap tipe subatrat di Kepulauan Seribu menunjukkan hambur balik dasar perairan dari substrat karang memiliki nilai yang paling besar diikuti hambur balik dari substrat pasir, pasir berliat, pasir berlumpur dan lumpur berpasir (Gambar 77). Hal ini menjelaskan bahwa karang memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan partikel pasir dan lumpur. Data yang ada menunjukkan substrat pasir memiliki komposisi kandungan lumpur yang berkisar 2,31-8,18% dan memiliki nilai hambur balik terbesar ke dua setelah nilai hambur balik karang. Substrat pasir berlumpur yang memiliki kandungan lumpur yang berkisar antara 10,18 40,07% memiliki nilai pantulan hambur balik ke tiga setelah pasir. Substat lumpur berpasir yang memiliki kandungan lumpur 80,84% memiliki nilai hambur balik dasar paling kecil, sedangkan pasir berliat memiliki kandungan liat hampir 20% namun hanya di temukan satu stasiun menjadi sulit untuk di bahas. Gambar tentrahedron (Gambar 78) menjelaskan hubungan komposisi substrat dan hambur balik dasar perairan Nilai ham bur balik dasar ( db) Karang Pasir Pasir berlumpur Lumpur berpasir Pasir berliat Presentase lumpur di dalam substrat Gambar 77. Nilai hambur balik dasar dari tipe substrat

13 104 Nilai hambur balik semakin besar 100 % SAND SAND 75% 25% SILTY CLAYEY 50 % SAND SAND 50 % MUDDY SANDY CLAYED SANDY SILT SANDY CLAY 25 % 75 % SILT CLAYEY SILTY CLAY SILT CLAY 100 % 75 % 50 % 25 % 100 % SILT CLAY Gambar 78. Hubungan nilai hambur balik dan tipe substrat Berdasarkan nilai hambur balik dasar perairan dari pantulan pertama (E- 1) yang menggambarkan kekerasan terlihat jelas dari tipe substrat keras (karang) menuju tipe substrat lunak (lumpur) maka nilai hambur balik dasar pantulan pertama juga semakin kecil. Nilai hambur balik dasar pantulan ke dua (E-2) yang menggambarkan kekasaran memiliki kecenderungan yang demkian pula, dimana pada tipe substrat yang kasar yaitu karang memiliki nilai hambur balik dasar lebih besar dibandingkan dari nilai hambur balik ke dua dari tipe substrat yang halus yaitu lumpur berpasir (Gambar 79). Hal ini sesuai dengan hasil dari Siwabessy (2001) menjelaskan bahwa nilai hambur balik dari dasar perairan yang lebih keras akan lebih besar diibandingkan nilai hambur balik dari dasar perairan yang lunak. Namun demikian ukuran partikel, kekerasan dan kekasaran bukan hal yang membatasi besar kecilnya nilai hambur balik dasar. Hasil analisis komponen utama terhadap komposisi substrat dan nilai hambur balik dasar perairan memperlihatkan bahwa kontribusi terhadap sumbu utama (F1,F2) sebesar 78,04%. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1(F1) yang menjelaskan 56,09% dari ragam total. Sumbu 2 (F2) menjelaskan 21, 94% dari ragam total. Komponen yang memberikan kontribusi pada sumbu 1 negatif adalah partikel karang, hambur balik pertama (E-1) dan hambur balik ke

14 dua (E-2). Komponen yang memberikan kontribusi pada Sumbu 2 positif adalah liat dan negative adalah pasir. Berdasarkan Gambar 80 menunjukkan adanya lima tipe substrat yaitu:: 1. kelompok 1 yang meliputi stasiun 7,15, 19 adalah stasiun dengan substrat karang dan memiliki nilai hambur balik besar, 2. kelompok 2 yang meliputi stasiun 4,12,13 adalah stasiun dengan substrat pasir namun memiliki nilai hambur balik yang lebih kecil dari kelompok Kelompok 3 diwakili stasiun 1,2,6,8,9,10,11,14,16,17,18 dan 20 dengan substrat pasir berlumpur dan nilai hambur balik yang lemah. 4. Kelompokan 4 yang diwakili stasiun 3 memiliki substrat pasir berliat dan memiliki nilai hambur balik dasar perairan lemah. 5. Kelompok 5 yang di wakili stasiun 5 memiliki substrat lumpur pasir dan nilai pantulan lemah. Hambur balik dasar pertama (db) Hambur balik dasar ke dua (db) Karang Pasir Pasir berlumpur Lumpur berpasir Pasir berliat Gambar 79. Nilai hambur balik pantulan pertama (atas) dan nilai hambur balik pantulan ke dua (bawah)

15 Kel-5 F 2 : 21.94% Karang E-2 E-1 Liat Lumpur Pasir F 2: 21.94% Kel Kel Kel-4 Kel F 1 : 56.09% F 1: 56.09% Gambar 80. Analisis komponen utama tipe substrat Bila komposisi substrat dilanjutkan dengan analisis kelompok maka dapat dilihat pada dendrogram grab pada indek ketidakmiripan 20% (Gambar 80) menunjukkan ada empat kelompok yaitu kelompok karang (Stasiun 7, 15, 19), kelompok lumpur berpasir (Stasiun 5) dan pasir berliat (Stasiun 3) dan kelompok pasir berlumpur. Namun untuk kelompok pasir berlumpur (Stasiun 1,2,6,8,9,10,11,14,16,17,18 dan 20) terlihat didalamnya ada sub kelompok pasir (Stasiun 4,12,13). Ini menunjukkan antara stasiun-stasiun yang termasuk kelompok pasir berlumpur dan stasiun-stasiun kelompok berpasir memiliki komposisi partikel pasir yang tidak jauh berbeda banyaknya. Bila dijelaskan berdasarkan tetrahedro tekstur, maka kelompok pasir memiliki komposisi partikel pasir lebih banyak dari pada partikel substrat lainnya, pasir berlumpur adalah substrat dengan komposisi terbanyak pasir namun ada sedikit campuran lumpur. Substrat pasir berliat adalah substrat dengan komposisi partikel pasir dengan sedikit partikel liat dan substrat lumpur berpasir memiliki komposisi partikel lumpur lebih dominan dengan sedikit pasir. Hasil dendrogram hidroakustik pada index ketidakmiripan 75% (Gambar 81) terlihat bahwa kelompok karang (Stasiun 7,15,19) dan pasir (Stasiun 4,12, 13) memiliki kelompok sendiri, artinya bahwa hambur balik hidroakustik dari karang berbeda dengan nilai hambur balik hidroakustik dari pasir. Namun untuk kelompok pasir berlumpur (Stasiun1,2,6,8,9,10,11,14,16,17,18 dan 20), pasir berliat (stasiun 3) dan lumpur berpasir (stasiun 5) menunjukkan nilai hambur balik hidroakustik dari tiga tipe substrat tersebut relatif sama.

16 Indek Ketidakmiripan (%) Kelompok I 20% Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Stasiun grab Gambar 81. Dendrogram grab Keterangan: karang Lumpur berpasir Pasir berlumpur berpasir Pasir berliat

17 % Kelompok II Indek Ketidakmiripan (%) Kelompok I Stasiun hidroakustik Keterangan: Gambar 82. Dendrogram hidroakustik karang Lumpur berpasir Pasir berlumpur berpasir Pasir berliat

18 109 Hal ini menjelaskan bahwa nilai hambur balik dipengaruhi oleh ukuran partikel. Selain ukuran partikel, nilai hambur balik dasar/substrat kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti porositas ataupun kandungan zat organik dan biota yang berada di dalam substrat. Namun dalam penelitian ini porositas, zat organik dan biota yang ada di dalam substrat tidak dibahas. Hasil klasifikasi dari nilai hambur balik pertama (E-1) ini dapat dipakai untuk menduga tipe substrat di perairan Laut Jawa dan perairan Belitung. Hasil dugaan tipe substrat di perairan Laut Jawa yang memiliki nilai hambur balik berkisar -35,91 hingga -38,57 db dengan rata-rata hambur balik -37,10 db ditemukan didominasi oleh lumpur dan sedikit ada lumpur berpasir Gambar Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Tipe substrat lumpur lumpur berpasir Semarang Bujur Gambar 83. Klasifikasi substrat di Laut Jawa 2005

19 110 Klasifikasi dasar perairan di perairan Belitung berdasarkan nilai hambur balik dasar perairan dapat diduga memiliki berbagai tipe substrat. Bila dirinci maka ditemukan (Gambar 84) : (1) Sepanjang lintasan survei dari semarang menuju perairan Belitung diduga merupakan lumpur, lumpur berpasir, pasir. (2) Di sekitar selat Belitung di duga adalah lumpur dan lumpur berpasir untuk bagian utara Selat Belitung dan di bagian selatan diduga terdapat karang, pasir hingga pasir berlumpur. (3) di sebelah timur pantai Sumatera Selatan diduga di dominasi oleh lumpur berpasir hingga lumpur, namun ada beberapa lokasi berkarang dan berpasir. -2 Pangkalpinang Bangka -3 Tanjungpandan P. Liat Belitung P. Lepar 2 Tipe substrat Lintang Laut Jawa Karang Pasir Pasir berliat Pasir -6 J A K A R T A Kep. Karimunjawa berlumpur lumpur berpasir lumpur Bujur Gambar 84. Klasifikasi substrat di perairan Belitung

20 Estmasi Stok Ikan Demersal Secara Hidroakustik Di perairan Laut Jawa, kisaran nilai target strength pada Musim Peralihan II 2002 (-51,00 sampai -24,00 db) dan Musim Barat 2005 (-59,89 sampai -24,21 db) dan di perairan Belitung pada Musim Peralihan II 2005 (-60,00 hingga - 42,01 db), pada Musim Peralihan I 2002 (-60,00 hingga -47,01). Ini menunjukkan pada tahun 2005 baik di perairan Laut Jawa maupun perairan belitung memiliki kisaran nilai target strength yang semakin besar, hal ini diduga terjadi proses pemulihan stok dalam waktu tiga tahun, sehingga terdapat ikanikan berukuran lebih kecil dan lebih besar dibandingkan ikan-ikan yang terdeteksi di tahun Ini dijelaskan oleh Atmadja at al (2003) jenis ikan demersal ukuran kecil mempunyai kemampuan pulih lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan ukuran besar. Ikan tunggal yang mendominasi hasil deteksi di perairan Laut Jawa Musim Peralihan II 2002 (-48,00 sampai-45,01 db) dan Musim Barat 2005 (- 60,00 sampai -57,01) relatif kecil-kecil. Hal ini tidak berbeda dengan hasil deteksi di perairan Belitung Musim Peralihan I (2002) (-60,00 sampai -57,01) dan musim Peralihan II (2005) (- 60,00 sampai -57,01 db). Kondisi ini merupakan representasi dari jenis ikan dominan hasil sapuan yaitu jenis pepetek. Jika dibandingkan dengan nilai target strength ikan demersal yang diwakili oleh Priacanthus macracanthus di perairan serawak pada timur tahun 1996 dan 1997 menunjukkan nilai yang sama yaitu -43,2 db (Rajali et al, 2006). Pada data target strength survei 2002 dan 2005 baik di perairan Jawa maupun Belitung menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kedalaman maka nilai rata-rata target strength ikan cenderung semakin besar namun jumlah ikan tunggal semakin sedikit. Hal ini juga dijelaskan oleh Rajali et al (2006) bahwa ukuran target strength ikan akan semakin besar untuk kedalaman perairan yang semakin meningkat, namun dalam jumlah yang semakin berkurang. Demikian juga untuk densitas ikan demersal secara umum dari lima wilayah survei hidroakustik menunjukkan densitas ikan demersal menyukai daerah dangkal, semakin dalam densitas ikan demersal semakin rendah.

21 Estimasi Stok Ikan Demersal Hasil Sapuan Trawl Hasil sapuan trawl tertinggi ditemukan di Perairan Laut Jawa pada stasiun 5 (Musim Peralihan II ), stasiun 9 (Musim Barat 2005) dan Stasiun 14 di Perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II Stasiun-stasiun ini memiliki kedalaman perairan yang dangkal yaitu antara m. Engas and Ona (1990) menyatakan bahwa pada perairan yang dangkal, ikan akan lebih terkonsentasi dekat dasar perairan, sehingga dengan pengoperasian trawl dasar memberikan hasil yang memuaskan. Hasil sapuan ikan demersal di Perairan laut Jawa 2002, 2005 dan Perairan Kalimantan Timur 2004 saat penelitian dilakukan, dibandingkan dengan hasil sapuan dengan menggunakan trawl pada tahun (sebelum trawl dihapuskan) memberikan informasi yang sama yaitu hasil sapuan didominasi dengan ikan demersal kecil yaitu ikan pepetek (Rijal dan Sumiono, 1989). Jumlah famili yang tertangkap pada survei 1978 dibandingkan dengan survei 2002, 2004, 2005 memiliki jumlah famili yang berbeda. Jumlah famili pada perairan Laut Jawa (2002) berjumlah lebih banyak yaitu 39 jenis, tahun 2005 berjumlah 46 famili dan perairan Kalimantan Timur terdapat 31 famili sedangkan pada tahun 1978 hanyak 27 famili. Perbedaan ini diduga disebabkan ada dominasi dari spesies tertentu sehingga ada spesies lain yang menghilang, hal yang lain yang diduga menjadi penyebab perbedaan jumlah famili adalah kemampuan pengoperasian dari alat tangkap secara optimal. Perbandingan panjang total ikan untuk spesies yang sama pada bulan 2002, 2004, 2005 dan 1978 memperlihatkan kecenderungan menurun (Tabel 19). Perubahan ukuran panjang ini belum dapat diketahui pasti. Menurut Atmadja et al (2003) fenomena ini masih memerlukan penelitian seksama namun kemungkinan disebabkan oleh adanya alat tangkap yang kurang selektif. Sumiono et al (2003) menemukan hal yang sama dimana ikan biji nangka (Upenus sulphureus), ikan mata besar (Priacanthus tayenus) dan pepetek (Leiognathus bindus) di perairan barat Kalimantan pada survei tahun 1989 dan 2001 mengalami panjang total yang semakin menurun. Jika diasumsikan bahwa contoh ikan yang diukur adalah proposonal dengan ikan yang ada di alam, maka fenomena tersebut merupakan indikasi tekanan penangkapan yang lebih tinggi pada tahun 2001 jika dibandingkan tahun 1989.

22 113 Tabel 19. Perbandingan panjang ikan hasil sapuan No. Spesies Panjang Ikan (cm) L. Jawa 2002 Kaltim 2004 L. Jawa 2005 Survei Pentaprion longimanus 9,09-7,91 10,65 2. Leiognathus splendens 10, ,95 6,41 Hasil sapuan dari spesies pepetek (Leiognathus splendens) yang tinggi, tidak diikuti dengan frekuensi kemunculan yang tinggi di seluruh lokasi sapuan di tiga wilayah survei. Hal ini diduga spesies ini mempunyai sifat membentuk gerombolan yang cukup besar pada kolom perairan dan daerah tertentu, dan saat dilakukan pengoperasian trawl, gerombolan tersebut tepat masuk kedalam mulut trawl. Hal ini seperti diungkapkan oleh Nontji (1997) bahwa spesies Leiognathus splendens banyak ditemukan di Indonesia bagian barat, hidup di perairan dangkal dan biasanya membentuk gerombolan yang besar. Adapun ciri-ciri ikan ini adalah bentuk tubuhnya pipih, kecil dan panjang kurang dari 15 cm. Munculnya beberapa spesies yang sering di stasiun-stasiun survei sering kali tidak diikuti dengan hasil sapuan yang besar untuk setiap spesies tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Sumiono et al. (2002) dimana ikan demersal di pantai utara Jawa Tengah tidak menunjukkan kecenderungan untuk bergerombol secara musiman. Berdasarkan selang kelas kedalaman, rata-rata hasil sapuan tertinggi terdapat pada selang kedalaman 2 yaitu antara 29,60 37,50 m ( Musim Peralihan II Laut Jawa 2002), selang kelas kedalaman 3 pada kedalaman 37,60 43,50 m (Musim Barat Laut Jawa 2005) dan selang kelas kedalaman 1 dengan kedalaman kurang dari 29,50 m (perairan Kalimanatan Timur 2004) ini menunjukkan bahwa ikan demersal menyukai perairan dangkal. Atmadja et al. (2003) menyatakan bahwa rata-rata laju penangkapan tinggi pada kedalaman m untuk survei di utara Jawa Timur (2002), sedangkan survei ikan terkonsentarasi pada kedalaman <30 m.

23 Hubungan antara Faktor Abiotik dan Komunitas Ikan Demersal Di Laut Jawa yang memiliki substrat dasar lumpur, dengan kisaran kedalaman m, kisaran suhu dasar 28,85-29,70 o C dan kisaran salinitas dasar 32,43-33,88 psu untuk komunitas ikan demersal dominan (Leiognathus splenden, Upeneus sulphureus, Nemipterus japonicus) dan ikan-ikan yang memiliki frekuensi kemunculan tinggi (Upeneus sulphureus, Leiognathus bindus, Saurida longimanus) memiliki penyebarannya sebagai berikut:: a. Ikan Leiognathus splenden (pepetek) tidak menghuni seluruh perairan dengan substrat lumpur. Ikan ini memiliki berat sapuan yang tinggi ditemukan pada substrat lumpur dekat pantai (Gambar 85). b. Upeneus sulphureus (biji nangka) merupakan spesies yang memiliki frekuensi kemunculannya tertinggi di seluruh stasiun sapuan trawl dan sekaligus total sapuan kedua setelah pepetek (Leiognathus splenden). Ikan ini ditemukan di daerah dengan substrat lumpur dan semakin menjauhi pantai jumlah berat sapuan semakin peningkatan (Gambar 86). c. Nemipterus japonicus (kurisi) merupakan spesies dominan ketiga, spesies ini ditemukan di daerah berlumpur yang berada di tengah-tengah perairan (Gambar 87). d. Leiognathus bindus merupakan spesies kedua yang memiliki frekuensi kemunculan tinggi di seluruh stasiun sapuan trawl. Penyebaran dari spesies ini mirip dengan Upeneus sulphureus yaitu ditemukan di subtrat lumpur dan semakin menjauhi pantai berat sapuan semakin besar (Gambar 88). e. Saurida longimanus (beloso) merupakan spesies dengan frekuensi kemunculan ke tiga tertinggi. Spesies ini penghuni substrat lumpur di tengah perairan (Gambar 89). Hubungan komunitas ikan demersal dengan faktor oseanografis (suhu dan salinitas) tidak terlihat dengan jelas yang disebabkan oleh kisaran nilai suhu yang relatif kecil yaitu 0,95 o C dan salinitas yang hanya 1,45 psu. Hal ini dipengaruhi oleh luasan area survei yang relatif sempit.

24 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 85. Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Leiognathus splenden (pepetek) -5.5 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 86. Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Upeneus sulphureus (biji nangka)

25 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 87. Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Nemipterus japanicus (kurisi) -5.5 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang -7.5 Gambar Bujur Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Leiognathusbindus (pepetek)

26 Kep. Karimunjawa Lintang -6.5 Semarang Bujur Gambar 89. Hubungan antara subtrat lumpur dan berat sapuan Saurida longimanus (beloso) 6.7 Penyebaran Ikan Demersal Berdasarkan Selang Kelas Kedalaman Berdasarkan analisis selang kelas kedalaman, maka setiap lokasi dilakukan pembahasan secara terpisah sebagai berikut : Perairan Laut Jawa Berdasarkan data hasil deteksi hidroakustik di perairan Laut Jawa pada Musim Peralihan II (2002) menunjukkan nilai target strength ikan demersal ditemukan kecil di perairan dangkal dan dengan bertambahnya kedalaman perairan nilai rata-rata target strength bertambah besar. Ini menjelaskan bahwa di Laut Jawa memiliki ikan-ikan demersal berukuran kecil menjadi penghuni di perairan dangkal dan ikan-ikan demersal besar menjadi penghuni perairan lebih dalam. Nilai rata-rata densitas ikan demersal secara keseluruhan tidak berbeda, namun ada kenaikan dua kali lipat nilai densitas pada selang kedalaman 29,60-36,50 m dibandingkan kedalaman lainnya. Ini menjelaskan bahwa ikan-ikan kecil menyukai daerah dangkal sebagai tempat hidupnya (Badrudin, 2004).

27 118 Hasil sapuan trawl juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang menyolok antar selang kelas kedalaman. Pada perairan dangkal (< 29,50 m) memiliki nilai densitas yang tinggi dibandingkan selang kelas kedalaman lainnya. Ini menunjukkan bahwa ikan-ikan tunggal maupun kelompok ikan di Laut Jawa pada Musim Peralihan II menyukai daerah dangkal. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis terhadap spesies dominan dimana di Perairan Laut Jawa yang didominas oleh ikan pepetek (Leiognathus splendens) dan ikan kurisi (Nemipterus hexodon) yang termasuk ikan demersal kecil yang memiliki sifat suka bergerombol (Nontji, 1993). Hasil survei di perairan Laut Jawa pada Musim Barat (2005) menunjukkan nilai rata-rata target strength ikan demersal pada kedalaman kurang dari 50,50 m tidak menunjukkan ukuran yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan yang ada pada perairan kurang dari 50,50 m merupakan populasi yang sama. Namun pada selang kelas kedalaman lebih dari 50,50 m menunjukkan ikan demersal di perairan lebih besar dibandingkan perairan dengan kedalaman kurang dari 50,50 m, Pada perairan dengan kedalaman lebih dari 50,50 m memiliki ikan tunggal yang lebih besar (berukuran dua kali lipat) dari ikan-ikan tunggal pada kedalaman kurang dari 50,50 m. Badrudin (2004) menjelaskan ikan-ikan kecil menyukai daerah dangkal, dan semakin dalam perairan jumlah ikan akan berkurang. Atmadja et al (2003) menjelaskan ikan-ikan besar banyak ditemukan di perairan dalam. Rata-rata densitas ikan hasil deteksi hidroakustik menunjukkan densitas rata-rata berkisar 1,12 hingga 3,20 g/m 3. Densitas tertinggi pada selang kelas kedalaman perairan 29,60 36,50 m yaitu mencapai 3,20 g/m 3, diikuti selang kelas kedalaman 43,60-50,50 m sebesar 2,29 g/m 3, pada selang kelas kedalaman lainnya memiliki rata-rata nilai densitas lebih dari 1,00 g/m 3. Hasil sapuan trawl pada setiap selang kelas kedalamannya menunjukkan nilai kisaran rata-rata densitas antara 0,41 8,71 g/m 3. Hasil sapuan trawl pada selang kelas kedalaman 36,60-50,50 m yang memiliki densitas tertinggi yaitu 8,71 g/m 3. diikuti selang kelas kedalaman 43,60-50,50 m sebanyak 5,84 g/m 3. Selang kelas kedalalaman yang lainnya memiliki densitas rata-rata 1,09 dan 0,41 g/m 3. Perbedaan nilai rata-rata densitas hasil integrasi hidroakustik dan sapuan trawl pada selang kelas kedalaman perairan yang berbeda belum dapat dijelaskan dengan pasti, namun kemungkinan disebabkan jeda waktu antara pengoperasian alat hidroakustik dan trawl. Pepetek merupakan spesies

28 119 dominan di seluruh perairan. Pada perairan dengan kedalaman antara 43,50 50,50 m ditemukan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) dan kurisi (Nemipterus japonicus) yang banyak menghuni. Tabel 19 menunjukkan hasil deteksi hidroakustik dan sapuan trawl di setiap selang kelas kedalaman substrat di Laut Jawa tahun 2002 dan Perairan Belitung Hasil deteksi hidroakustik di perairan Belitung pada Musim Peralihan I (2002) memiliki nilai rata-rata target strength ikan demersal pada perairan kurang dari 29,50 m memiliki ukuran ikan demersal tunggal lebih kecil dibandingkan ikan-ikan demersal tunggal pada perairan selang kelas kedalaman 29,60 36,50 m. Bahkan diduga ikan-ikan tunggal pada selang kelas kedalaman 29,60 36,50 m lebih besar dua kali dibandingkan ikan-ikan tunggal pada selang kelas kedalaman kurang dari 29,50 m. Densitas ikan demersal hasil integrasi hidroakustik menunjukkan nilai yang tidak berbeda, namun selang kelas kedalaman lebih dari 43,50 m tidak ada data. Data survei di perairan Belitung pada Musim Peralihan II (2005) memiliki ukuran ikan tunggal terbesar ditemukan di perairan dengan kedalaman lebih dari 64,60 m, kemudian disusul ikan-ikan demersal pada selang kelas kedalaman 43,60-50,50m. Adapun perairan dengan selang kelas kedalaman lainnya umumnya berukuran kecil. Kemampuan ikan-ikan demersal berukuran besar untuk beradaptasi pada lingkungan lebih gelap dan tekanan lebih besar, menjadikan perairan dalam sebagai habitatnya. Densitas ikan demersal hasil integrasi hidroakustik menunjukkan di perairan dangkal (kurang dari 29,50 m) memiliki densitas ikan yang tinggi. Pada lokasi perairan Belitung nilai rata-rata densitas tertinggi pada selang kelas kedalaman kurang dari 29,50 m. Densitas ikan pada selang kelas kedalaman tersebut antara musim Peralihan I (2002) tidak jauh berbeda jika dibandingkan Musim Peralihan II (2005) yaitu 0,67 dan 0,70 g/m 3. Pada selang kelas kedalaman 29,60-36,50m musim Peralihan I (0,44 g/m 3 ) lebih tinggi dibandingkan Musim Peralihan II (0,13 g/m 3 ). Ini menunjukkan lokasi yang disukai oleh ikan tunggal dengan perbedaan musim maupun waktu tidak berubah.

29 120 Tabel 20. Analisis selang kelas kedalaman substrat di Laut Jawa Selang Kelas Kedalaman TS (db) ρ (g/m3) ρ trawl (g/m3) Spesies Dominan TS (db) ρ (g/m3) ρ trawl (g/m3) Spesies Dominan <29,50-48,24 0,01 1,13 Nemipterus hexodon -42,15 1,95 1,09 Leiognathus dacorus 29,60-36,50-45,75 0,02 0,89 Leiognathus splendens -44,46 3,20 0,41 Gaza achlamys 36,60-43,50-46,17 0,01 0,46 Leiognathus splendens -44,42 1,76 8,71 Leiognathus splendens 43,60-50,50-44,39 0,01 0,39 Nemipterus japonicus -40,26 2,29 5,84 Nemiptorus nematophorus -39,98 1, ,60-57,50-44,93 0,01 0,28 57,60-64,50-44,66 0,01 0,39 Nemipterus japonicus ,60-71,50-45,82 0,01 0, ,60-78,50-41,43 0,00 0,36 Priacanthus tayenus >78,60-42,34 0,01 0,00 - Keterangan (-) : tidak ada data Upeneus sulphureus dan Nemipterus japonicus

30 121

31 121 Tabel 21 menunjukkan hasil deteksi hidroakustik dan sapuan trawl di setiap selang kelas kedalaman substrat di perairan Belitung tahun 2002 dan Tabel 21. Analisis selang kelas kedalaman substrat di perairan Belitung Selang Kelas Kedalaman TS (db) ρ (g/m3) TS (db) ρ (g/m3) <29,50-56,79 0,67-42,41 0,70 29,60-36,50-54,33 0,44-46,54 0,13 36,60-43, ,17 0,05 43,60-50, ,84 0,02 50,60-57, ,33 0,01 57,60-64, ,60-71, ,87 0,00 71,60-78, ,88 0,00 >78, Keterangan (-) : tidak ada data Perairan Kalimantan Timur Densitas ikan demersal hasil integrasi hidroakustik tinggi pada perairan dangkal (kurang dari 29,50 m) yaitu 4,74 g/m 3, kemudian menurun dengan bertambahnya kedalaman perairan. Hal ini juga didukung dari hasil sapuan trawl, dimana pada perairan kurang dari 29,50 m memiliki densitas ikan demersal yang tinggi yaitu 3,81 g/m 3. Ikan sapuan yang mendominasi sama dengan wilayah survei lainnya yaitu pepetek (Leiognathus bindus maupun Leiognathus splendens ). Bila dilakukan perbandingan nilai rata-rata densitas tertinggi pada kedalaman perairan kurang dari 29,50 m, di musim yang sama yaitu Musim Peralihan II, pada wilayah yang berbeda yaitu Laut Jawa (2002), Belitung (2005) dan Kalimantan Timur (2004) menunjukkan nilai rata-rata densitas ikan demersal tertinggi di lokasi perairan Kalimantan Timur (4,74 g/m 3 ) disusul perairan Belitung (0,70 g/m 3 ) dan Laut Jawa (0,01 g/m 3 ). Hal ini diduga akibat perbedaan kepadatan penangkapan, perairan Laut Jawa telah diketahui memiliki armada penangkapan yang lebih banyak di bandingkan wilayah lainnya.

32 122 Tabel 22. Analisis selang kelas kedalaman substrat di perairan Kalimantan Timur Selang Kelas Spesies Dominan Kedalaman TS (db) ρ (g/m3) ρ trawl (g/m3) <29,50-49,71 4,74 3,81 Liegnathus bindus 29,60-36,50-50,23 0,09 2,74 Liegnathus splendens 36,60-43,50-51,72 0, ,60-50,50-49,18 0, ,60-57,50-47,31 0, ,60-64,50-49,38 0, ,60-71,50-46,52 0, ,60-78,50-45,97 0, >78,60-40,10 0, Keterangan (-) : tidak ada data

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Perairan

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Batimetri Perairan 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 5.1.1 Batimetri Perairan Hasil pemetaan batimetri dari data echogram di seluruh perairan Laut Jawa khususnya pada Laut Jawa bagian timur dan utara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 41 4. BAHAN DAN METODA 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan dua data yaitu (1) data primer yang diperoleh saat penulis mengikuti riset pada tahun 2002, yang merupakan bagian dari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI

PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penyebaran target strength ikan Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI

PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI PENDEKATAN METODE HIDROAKUSTIK UNTUK ANALISIS KETERKAITAN ANTARA TIPE SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DENGAN KOMUNITAS IKAN DEMERSAL SRI PUJIYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Bendung Kaligending terletak melintang di Sungai Luk Ulo, dimana sungai ini merupakan salah satu sungai yang cukup besar potensinya dan perlu dikembangkan untuk dimanfaatkan

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH

GAMBARAN UMUM WILAYAH 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Batas Administrasi dan Luas Wilayah Kabupaten Sumba Tengah merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibentuk berdasarkan UU no.

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hidroakustik 4.1.1. Profil Batimetri Laut Selatan Jawa Pada Gambar 10. terlihat profil batimetri Laut Selatan Jawa yang diperoleh dari hasil pemetaan batimetri, dimana dari

Lebih terperinci

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc Oleh Satria Yudha Asmara Perdana 1105 100 047 Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bawean memiliki atraksi pariwisata pantai yang cukup menawan, dan sumber

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DI PERAIRAN SEPANJANG JEMBATAN SURAMADU KABUPATEN BANGKALAN

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DI PERAIRAN SEPANJANG JEMBATAN SURAMADU KABUPATEN BANGKALAN Jurnal KELAUTAN,Volume 4, No.2 Oktober 2011 ISSN : 1907-9931 SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DI PERAIRAN SEPANJANG JEMBATAN SURAMADU KABUPATEN BANGKALAN Kurratul Ainy 1, Aries Dwi Siswanto 2, dan Wahyu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Manfaat air sangat luas bagi kehidupan manusia, misalnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, irigasi, industri,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG Yulius, G. Kusumah & H.L. Salim Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati BRKP-DKP Jl. Pasir Putih I Ancol Timur-Jakarta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU

KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU 1) oleh: Devy Yolanda Putri 1), Rifardi 2) Alumni Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru 2) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT P P Staf P P Peneliti E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 59-67, Juni 2010 EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI

Lebih terperinci

Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Utara Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau

Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Utara Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Utara Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Oleh Doddy Wijayanto 1), Musrifin Galib 2), Syafruddin Nasution 2) Email: doddy_wijayanto@yahoo.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

STUDI SEBARAN SEDIMEN SECARA VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

STUDI SEBARAN SEDIMEN SECARA VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN STUDI SEBARAN SEDIMEN SECARA VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN Vivieta Rima Radhista 1, Aries Dwi Siswanto 1, Eva Ari Wahyuni 2 1 Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA Oleh : Eko Minarto* 1) Heron Surbakti 2) Elizabeth Vorandra 3) Tjiong Giok Pin 4) Muzilman Musli 5) Eka

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Daerah penelitian merupakan daerah yang memiliki karakteristik tanah yang mudah meloloskan air. Berdasarkan hasil borring dari Balai Wilayah

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) Stadia Sungai Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Dalam Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata sungai. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal kata stream dan river.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH Tanah adalah salah satu bagian bumi yang terdapat pada permukaan bumi dan terdiri dari massa padat, cair, dan gas. Tanah

Lebih terperinci