4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI"

Transkripsi

1 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979). Demikian pula dinyatakan oleh Krebs (1972) bahwa distribusi suatu jenis ikan di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain, sifat fisik dan kimia air, hubungan organisme tersebut dengan organisme lainnya serta tingkah laku organisme dalam memilih habitatnya. Pengaruh yang diakibatkan oleh kondisi oseanografi perairan di atas mengakibatkan ikan akan meresponsnya dengan cara menjauhi ataupun berkumpul pada daerah dengan kondisi lingkungan yang optimal. Banyak habitat ikan digambarkan dalam hubungannya dengan suhu air. Semua hewan di laut memiliki kisaran suhu dimana mereka dapat dengan baik berkembang, bereproduksi dan hidup. Seperti yang diuraikan oleh Laevastu dan Hayes (1981), mengenai hubungan antara suhu dan ikan. Ikan bisa merasakan perubahan suhu yang sangat rendah yaitu,1 C. Selanjutnya dikatakan bahwa ikan adalah hewan berdarah dingin dimana suhu di dalam tubuhnya tidak diatur untuk suatu kisaran suhu tertentu. Sebagai gantinya, mereka mengikuti suhu lingkungan, setiap jenis ikan mempunyai kisaran suhu optimum dimana mereka dapat hidup dengan baik. Pada suhu di atas suhu optimum, mereka tertekan dan tidak dapat hidup dengan baik, dan akan mencari perairan yang lebih dingin. Jika perairan yang lebih dingin tidak tersedia dan suhu terus meningkat, maka ikan akan mati. Ketika suhu turun dari suhu optimumnya, laju metabolisma ikan menurun dan aktivitasnya berkurang. Suhu ini juga mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan. Suhu yang disukai ikan memungkinnya berkembang dengan baik, bereproduksi, dan hidup ( Bukan hanya suhu aktual dan fluktuasinya saja, tetapi gradient horizontal dan vertikal yang berubah dari tempat ke tempat harus diperhitungkan. Perubahan suhu ini dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi (Nybakken 1988).

2 86 Suhu permukaan dan suhu dekat permukaan serta arus permukaan merupakan parameter yang umumnya digunakan dalam pendekatan untuk melihat hubungan antara lingkungan dan tingkahlaku ikan serta distribusinya. Parameter tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh kondisi metrologi permukaan perairan. Suhu permukaan laut Indonesia umumnya berkisar antara 25-3 C dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 8 db (± 8 m), sedangkan salinitas permukaan laut berkisar antara 31,5-34,5 psu (Tomascik et al. 1997). LCS perairan Indonesia yang merupakan bagian dari Paparan Sunda memiliki salinitas yang sangat bervariasi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Nybakken (1988) bahwa salinitas di daerah paparan lebih bervariasi daripada di laut terbuka atau laut dalam, kecuali di daerah dekat sungai-sungai besar yang mensuplai sejumlah besar air tawar, salinitas tidak berubah banyak sehingga menimbulkan perbedaan ekologis. Menurut Laevastu dan Hayes (1981), salinitas mempengaruhi osmoregulasi dalam tubuh ikan dan berpengaruh besar terhadap fertelisasi dan perkembangan telur. Spesies yang berbeda, maka adaptasi terhadap salinitas yang berbeda pula. Volume air dan konsentrasi garam-garaman dalam tubuh ikan atau kerang-kerangan dipengaruhi oleh kosentrasi garam-garaman dari lingkungan. Toleransi salinitas dan salinitas yang disukai oleh organisme laut berbeda sesuai dengan fase daur hidupnya seperti untuk telur, larve, juvenile dan dewasa. Nampaknya salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi beberapa jenis ikan dan distribusi dari berbagai bentuk dari fase daur hidupnya. Keberadaan sumberdaya ikan di suatu perairan sangat berhubungan dengan produktivitas primer perairan tersebut. Suhu, intensitas cahaya dan nutrien merupakan penentu produktivitas primer (Valiela 1984; Parsons et al dan Tomascik et al. 1997), selain itu pula komposisi jenis fitoplankton juga berperan dalam mendukung produktivitas tersebut (Heyman and Lundgren 1988). Selanjutnya Valiela (1984) mengatakan bahwa tinggi rendahnya produktivitas perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a.

3 87 Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrasi maksimum pada kedalaman antara 5 15 m. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton di suatu perairan, dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan. Nontji (1974) diacu dalam Presetiahadi (1994), nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar,19 mg m - ³, nilai rata-rata pada saat berlangsung musim timur (,24 mg m - ³) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada musim barat (,16 mg m - ³). Daerah-daerah dengan nilai klorofil tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air/upwelling (Laut Banda, Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan dan pengaruh sungai-sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk melihat hubungan antara fishing ground dan konsentrasi klorofil-a atau hubungan antara distribusi dan kelimpahan ikan dengan kandungan klorofil-a di perairan Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a sangat berhubungan dengan distribusi dan kelimpihan ikan (Hatta 21; Hendiarti et al. 1995). Di bagian barat daya Pasifik Utara ditemukan tuna albakor dalam jumlah yang besar. Dari data satelit, konsentrasi klorofil permukaan lautnya (SSC) berkisar,2-,35 mg m - ³ dan SST yang hangat pada kisaran spesifik 18,5-22,5 C dengan nilai optimum 2 C (Zainudin et al. 22). Walaupun untuk lokasi yang berbeda namun informasi yang diperoleh menunjukkan suatu pola yang sama antara distribusi dan kelimpahan ikan pelagis dengan konsentrasi klorofil dimana semakin tingggi konsentrasi klorofil-a, makin melimpah ikan yang ditemukan khususnya untuk jenis-jenis tertentu seperti layang, layur dan ikan pelagis lainnya. Pada bab ini menjelaskan mengenai pengaruh suhu, salinitas dan klorofil-a terhadap distribusi kepadatan ikan secara spasial dan menegak, baik untuk ikan pelagis maupun ikan demersal pada bulan Juni 25 dan Juli 26.

4 88 Bahan dan Metode Hubungan antara distribusi kepadatan ikan dibuat untuk masing-masing ikan pelagis dan ikan demersal, dengan sebaran suhu, salinitas dan klorofil-a pada permukaan dan dekat dasar. Data sumberdaya ikan (pelagis dan demersal) yang digunakan adalah data jumlah ikan yang ditemukan (ikan per meter kubik) pada penelitian hidroakustik di lokasi penelitian bulan Juni 25 (Lokasi A) dan lokasi penelitian bulan Juli 26 (Lokasi B). Kepadatan ikan yang diperoleh, ditampilkan dalam bentuk peta distribusi secara spasial untuk masing-masing lokasi penelitian. Peta distribusi ikan pelagis merupakan data jumlah ikan yang diperoleh dalam lapisan kedalaman integrasi yang terekam selama penelitian di setiap ESDU, sedangkan data ikan demersal merupakan data jumlah ikan pada lapisan integrasi dasar atau lapisan kedalaman 5 m dari dasar perairan. Peta distribusi ikan ini kemudian ditumpang-tindih (overlay) dengan peta pola sebaran suhu, salinitas dan klorofil-a permukaan perairan untuk melihat hubungannya dengan distribusi ikan pelagis, dan pola sebaran suhu, salinitas dan klorofil-a dekat dasar untuk melihat hubungannya dengan ikan demersal. Peta tumpang tinding ini dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS versi LU 2 LU 3 LU 4 LU 5 LU Kep. Natuna BT 16 BT 17 BT 18 BT 19 BT 3 2 P. Natuna Kep. Tambelan P.Subi P. Kalimantan 6 Latitude 5-5 PETA LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Keterangan : 5 5 Mil laut (nm) Track Akustik bulan Juni 25 Track Akustik bulan Juli 26 Leg Akustik bulan Juni 25 Leg Akustik bulan Juli 26 Stasion Oseanografi bulan Juni 25 dan Juli 26 Lokasi Survei Longitude Sumber : Hasil Survei bulan Juni 25 dan Juli 26 Gambar 43. Leg akustik dengan stasiun oseanografi di kedua lokasi penelitian.

5 89 Disamping itu pula, dilihat hubungan antara kepadatan ikan dalam kolom perairan di beberapa leg akustik. Leg yang digunakan dalam analisis hubungan ini adalah leg paralel dengan jumlah stasiun oseanografi lebih dari dua stasiun yang berada pada leg tersebut. Di Lokasi A terdapat 3 leg yaitu leg 1-2, leg 3-4, dan leg 6-7 dengan jumlah stasiun oseanografi untuk masing-masing leg adalah lima stasiun. Di Lokasi B terdapat 4 leg akustik yaitu leg 1-2, leg 3-4, leg 6-7, dan leg 1-15 dimana pada leg 1-2 dan leg 1-15 memiliki jumlah stasiun oseanografi sebanyak empat stasiun, sedangkan leg 3-4 dan leg 6-7 dengan masing-masing lima stasiun (Gambar 43). Untuk melihat hubungannya dengan suhu, salinitas dan klorofil-a perairan, maka peta distribusi kepadatan ikan secara menegak pada kolom perairan di tiap leg ditumpang-tindih dengan peta pola sebaran menegak dari parameter oseanografi tersebut. Hasilnya ditampilkan dalam bentuk peta hubungan kepadatan ikan dengan masing-masing parameter, baik untuk ikan pelagis, ikan demersal maupun distribusi kepadatan ikan pada kolom perairan. Hasilnya kemudian dianalisis secara diskriptif.

6 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan distribusi kepadatan ikan pelagis dan parameter oseanografi di permukaan. Pola distribusi kepadatan ikan pelagis pada lokasi penelitian bulan Juni 25, ditemukan dengan kepadatan yang lebih tinggi pada daerah lintang tinggi, sedangkan pada lintang rendah distribusi kepadatannya rendah. Jika dihubungkan dengan parameter oseanografi perairan saat itu, khususnya di bagian permukaan perairan terlihat bahwa ikan pelagis dijumpai dengan kepadatan tertinggi pada ESDU 135 (pada posisi 18,35 BT dan 1,86 LU) yaitu 8,57 ikan m - ³ dengan kondisi oseanografi permukaan perairan untuk suhu (SST) 3, C, salinitas (SSS) 32,5 psu dan klorofil-a (SSC),2 mg m - ³. Kepadatan terendah ditemukan pada ESDU 142 (pada posisi 18,75 BT dan 1,91 LU) sebesar,41 ikan m - ³ dengan SST 3,1 C, SSS 32,75 psu, dan SSC,25 mg m - ³. Secara keseluruhan dari 187 ESDU terlihat bahwa distribusi ikan pelagis dengan kisaran kepadatan 2,-5, ikan m - ³, sebagian besar ditemukan pada daerah di atas lintang 1, LU. Adapun suhu permukaan perairan (SST) di daerah ini adalah 29,5-29,75 C, dan SSS berkisar 33,1-33,57 psu dan SSC berkisar,1-,15 mg m - ³ dan,2 mg m - ³ pada area sekitar 18,38-18,5 BT dan 1,92-2, LU. Kepadatan ikan pelagis <,5 ikan m - ³ terdistribusi pada area yang luas di dekat pantai dengan SST dan SSC yang lebih tinggi. Daerah dengan kepadatan ikan ini memiliki SST 3 C dan SSC,25-,5 mg m - ³, sedangkan SSS-nya lebih rendah yaitu < 33,25 psu. Hubungan parameter oseanografi dan distribusi ikan di Lokasi A (Juni 25) seperti terlihat pada Gambar 45. Distribusi kepadatan ikan pelagis hubungannya dengan parameter oseanografi permukaan perairan pada lokasi penelitian bulan Juli 26 (Gambar 45), menunjukan fluktuasi SST dan SSS sangat sempit yaitu < 1, sedangkan SSC-nya berkisar,-,16 mg m - ³ untuk area dengan kepadatan ikan pelagis yang ditemukan,-2,5 ikan m - ³. Kepadatan tertinggi ikan pelagis (2,5 ikan m - ³) ditemukan pada ESDU 18 (pada posisi 17,12 BT dan 3,99 LU) dengan SST 29,3 C dan SSS 33,1 psu serta SSC,6-,8 mg m - ³, sedangkan kepadatan terendah,46 ikan m - ³ ditemukan pada ESDU 125 (pada posisi 18,1 BT dan 4,49 LU) dengan SST 29,3 C, SSS 33,-33,1 psu dan SSC,8-,9 mg m - ³.

7 91 Ikan pelagis dengan kepadatan 1,5-2, ikan m - ³, lebih banyak ditemukan tersebar di bagian barat daya dan tenggara perairan dengan area yang luas. Kisaran SST di area ini adalah 29,2-29,4 C dan SSS-nya 33,-33,1 psu di bagian barat daya serta 33,1-33,33 psu di bagian tenggara, sedangkan SSC-nya adalah,6-,8 mg m - ³. Area ikan pelagis dengan kepadatan 1,-1,5 ikan m - ³, ditemukan dengan kondisi perairan yang hampir sama dengan area dengan kepadatan 1,5-2, ikan m - ³, hanya saja terkonsentrasi di bagian tengah perairan. Sedangkan ikan pelagis dengan kepadatan,-,5 ikan m - ³ ditemukan juga di bagian tengah perairan tetapi konsentrasi yang terbesar pada area di atas Pulau Natuna dengan SST 29,3 C, SSS 33,2-33,4 psu dan SSC,4-,8 mg m - ³. Distribusi kepadatan ikan pada Lokasi B (Juli 26) lebih kecil jika dibandingkan dengan distribusi kepadatan ikan di Lokasi A (Juni 25), namun jika dilihat dari luas area kedapatan, terlihat bahwa ikan pelagis yang ditemukan dalam penelitian ini rata-rata lebih besar. Dalam hubungnya dengan parameter oseanografi permukaan di Lokasi A, terdapat daerah-daerah tertentu dengan kepadatan yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan distribusi spatial parameter oseanografi yang cukup besar, dimana SST-nya berkisar 29,35-3,44 C, SSS 28,78-33,6 psu dan SSC,6-,56 mg m - ³. Di Lokasi B, distribusi spatial parameter oseanografinya memiliki kisaran yang sempit, dimana SST-nya 29,2-29,94 C dan SSS 32,74-33,45 psu, namun kisaran SSC-nya cukup besar yaitu,1-,16 mg m - ³. Dengan kisaran kisaran suhu dan salinitas ini, maka dapat dikatakan bahwa perairan di Lokasi B memiliki kondisi oseanografi yang hampir merata, sehingga distribusi ikan dengan kepadatan yang sama dapat dijumpai pada area yang cukup luas.

8 92 a) LU P. Bintan P. Mapor Kep. Riau P. Lingga P. Midai Kep. Tambelan P. Subi P. Serasan Kalimantan PETA HUBUNGAN SUHU (SST) DAN KEPADATAN IKAN PELAGIS Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Survei Sumber : Hasil Survei LCS bulan Juni 25 BT b) LU P. Bintan P. Mapor Kep. Riau P. Lingga Kep. Tambelan P. Midai 32.5 P. Subi P. Serasan Kalimantan PETA HUBUNGAN SALINITAS (SSS) DAN KEPADATAN IKAN PELAGIS Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Survei Sumber : Hasil Survei LCS bulan Juni 25 BT c) LU P. Bintan P. Mapor Kep. Riau P. Lingga Kep. Tambelan P. Midai P. Subi P. Serasan Kalimantan PETA HUBUNGAN KLOROFIL-A (SSC) DAN KEPADATAN IKAN PELAGIS Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Survei Sumber : Hasil Survei LCS bulan Juni 25 BT Gambar 44. Hubungan antara distribusi kepadatan ikan pelagis (ikan m - ³) dengan (a) Suhu ( C), (b) Salinitas (psu) dan (c) Klorofil-a (mg m - ³) permukaan di Lokasi A (Juni 25).

9 93 a) LU PETA HUBUNGAN SUHU (SST) DAN KEPADATAN IKAN PELAGIS P. Natuna Kep. Natuna P. Midai P. Subi P. Serasan BT Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Penelitian Sumber: Hasil Survei LCS bulan Juli 26 b) LU PETA HUBUNGAN SUHU (SST) DAN KEPADATAN IKAN PELAGIS P. Natuna Kep. Natuna P. Midai P. Subi P. Serasan BT Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Penelitian Sumber: Hasil Survei LCS bulan Juli 26 c) LU PETA HUBUNGAN SUHU (SST) DAN KEPADATAN IKAN PELAGIS P. Natuna Kep. Natuna P. Midai P. Subi P. Serasan BT Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Penelitian Sumber: Hasil Survei LCS bulan Juli 26 Gambar 45. Hubungan antara distribusi kepadatan ikan pelagis (ikan m - ³) dengan (a) Suhu ( C), (b) Salinitas (psu) dan (c) Klorofil-a (mg m - ³) permukaan di Lokasi B (Juli 26).

10 94 Hubungan distribusi kepadatan ikan demersal dan parameter oseanografi dekat dasar. Jumlah ikan demersal yang ditemukan di Lokasi A (Juni 25) maupun di Lokasi B (Juli 26) lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah ikan pelagis yang ditemukan di kedua lokasi tersebut. Ikan demersal ditemukan dengan kepadatan tertinggi di Lokasi A sebesar 2,4 ikan m - ³ pada ESDU 135, namun secara keseluruhan kepadatan ikan demersal di lokasi ini berkisar,-,4 ikan m - ³. ESDU 135 merupakan ESDU dengan kepadatan ikan tertinggi dan berada pada area yang kondisi perairan dekat dasarnya dengan suhu (SBT) 26, C dan salinitas (SBS) 33,8-34, psu serta klorofil-a (SBC).4-,5 mg m - ³. Kepadatan ikan terendah sebesar,2 ikan m - ³ ditemukan pada ESDU 142 dengan SBT 28,- 29,5 C, SBS 33,2-33,4 psu dan SBC,35-,4 mg m - ³ (Gambar 46). Distribusi kepadatan ikan demersal sebesar,-,2 ikan m - ³ ditemukan di area sebelah timur perairan pada posisi 17,125-18,75 BT dan, LU, namun pada lintang di atas 2 LU hanya sebagian area yaitu sekitar 18,375-18,75 BT. SBT pada area ini adalah 25,5-29,5 C dan SBS 32,5-34,1 psu serta SBC,7-,9 mg m - ³. Area lainnya yaitu di bagian barat perairan pada posisi 15, ,375 BT dan area ke arah utara pada posisi,1875-1, LU dan 1,5-2,125 LU. Adapun kondisi oseanografi di sekitar area ini yaitu SBT ,5 C dan SBS 33,-34.1 serta SBC,3-,6 mg m - ³. Area distribusi kepadatan ikan demersal sebesar,2-,4 ikan m - ³ ditemukan dari bagian selatan perairan dan tersebar meluas ke bagian utara area penelitian. Kisaran SBT yang mencakup area ini sangat lebar yaitu 21,5-28,5 C dan SBS-nya 33,2-34,4 psu, sedangkan SBC tertinggi di selatan yaitu,9 mg m - ³ hingga yang terendah,6 mg m - ³ di sebelah utara area penelitian. Di lokasi penelitian bulan Juli 26, distribusi kepadatan ikan sebesar lebih dari,8 ikan m - ³ ditemukan pada area sekitar 16,5 BT dan 3,83 LU dengan SBT 21,75-22,5 C dan SBS 34,3-34,35 psu serta SBC-nya,6-,7 mg m - ³. Distribusi kepadatan ikan demersal pada lokasi penelitian ini secara umum dapat dikatakan hampir merata, dengan kepadatan tertinggi,83 ikan m - ³ di ESDU 98 pada posisi 16,5 BT dan 3,8 LU. Kondisi parameter oseanografi di sekitar ESDU ini adalah SBT 21,75-22, C, SBS 34, psu, dan SBC,6-,65 mg

11 95 m - ³. Kepadatan terendah,3 ikan m - ³ ditemukan di ESDU 18 pada posisi 17,3 BT dan 2,5 LU dengan SBT 23,5 C, SBS 34 psu dan SBC,7 mg m - ³. Distribusi kepadatan ikan demersal sebesar,2-,3 ikan m - ³ terlihat mendominasi area penelitian ini (Gambar 47). Distribusi kepadatan sebesar,3-,8 ikan m - ³ ditemukan pada area sekitar barat daya perairan yaitu sekitar 16,5-17,6 BT dan 2,5-4, LU dengan kisaran SBT 21,75-23,6 C dan SBS 34,15-34,35 psu serta SBC,6-,9 mg m - ³. Disamping itu pula ada beberapa area dengan kepadatan,3-,5 ikan m - ³, seperti di barat laut dan timur laut Kepulauan Natuna dan disebelah selatan Pulau Midai. Area di bagian barat laut Kepulauan Natuna ditemukan SBT 21,75-25,5 C, SBS 33,85-34,35 psu dan SBC,4-,9 mg m - ³, sedangkan di bagian timur laut kepulauan, SBT-nya 2,5-24,5 C dan SBS 34,5-34,45 psu, serta SBC,5-1,2 mg m - ³. Sementara di bagian selatan Pulau Midai, kepadatan ikan ditemukan dengan SBT 21,75-23,5 C dan SBS berkisar 34,15-34,25 psu serta SBC-nya,8-1, mg m - ³. Distribusi kepadatan ikan demersal,-,2 ikan m - ³, sebagian besar ditemukan di bagian utara perairan dari arah timur laut dan meluas ke arah barat laut. Area ini mencakup seluruh kisaran SBT, sedangkan SBS-nya 33,55-34,45 psu dan SBC-nya,1-1,1 mg m - ³. Area lainnya dengan kepadatan yang sama ditemukan di bagian barat daya perairan dengan SBT 22,5-23,5 C, SBS 33,95-34,25 psu dan SBC,7-,8 mg m - ³. Disamping itu pula ada beberapa area yang tidak begitu luas yang tersebar secara partial dengan kepadatan yang sama. Sama seperti ikan pelagis, ikan demersal yang ditemukan di Lokasi A juga memiliki kepadatan yang lebih besar dibandingkan dengan yang dijumpai di Lokasi B, namun distribusi kepadatan ikan secara keseluruhan di Lokasi B lebih besar dari Lokasi A. Hal ini seperti terlihat pada Gambar 47 dimana pada lokasi ini dijumpai distribusi ikan dengan kepadatan beragam yang ditunjukkan oleh kontur kepadatan dari,1 ikan m - ³ hingga,4 ikan m - ³ sedangkan di Lokasi B kepadatan ikan yang ditemukan lebih banyak dengan kepadatan antara,1-,2 ikan m - ³ (Gambar 46).

12 96 a) LU P. Bintan P. Mapor Kep. Riau P. Lingga Kep. Tambelan P. Midai P. Subi P. Serasan Kalimantan PETA HUBUNGAN SUHU (SBT) DAN KEPADATAN IKAN DEMERSAL Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Survei Sumber : Hasil Survei LCS bulan Juni 25 BT b) LU P. Bintan P. Mapor Kep. Riau P. Lingga Kep. Tambelan P. Midai P. Subi P. Serasan Kalimantan PETA HUBUNGAN SALINITAS (SBS) DAN KEPADATAN IKAN DEMERSAL Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Survei Sumber : Hasil Survei LCS bulan Juni 25 BT c) LU P. Bintan P. Mapor Kep. Riau P. Lingga Kep. Tambelan P. Midai P. Subi P. Serasan Kalimantan PETA HUBUNGAN KLOROFIL-A (SBC) DAN KEPADATAN IKAN DEMERSAL Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Survei Sumber : Hasil Survei LCS bulan Juni 25 BT Gambar 46. Hubungan antara distribusi kepadatan ikan demersal (ikan m - ³) dengan (a) Suhu ( C), (b) Salinitas (psu) dan (c) Klorofil-a (mg m - ³) dekat dasar di Lokasi A (Juni 25).

13 97 a) LU PETA HUBUNGAN SUHU (SBT) DAN KEPADATAN IKAN DEMERSAL P. Natuna Kep. Natuna P. Midai P. Subi P. Serasan BT Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Penelitian Sumber: Hasil Survei LCS bulan Juli 26 b) LU P. Natuna Kep. Natuna P. Midai P. Subi P. Serasan BT PETA HUBUNGAN SALINITAS (SBS) DAN KEPADATAN IKAN DEMERSAL Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Penelitian Sumber: Hasil Survei LCS bulan Juli 26 c) LU P. Natuna Kep. Natuna P. Midai P. Subi P. Serasan BT PETA HUBUNGAN KLOROFIL-A (SBC) DAN KEPADATAN IKAN DEMERSAL Ikan/m³ Skala 1 : Mil laut Lokasi Penelitian Sumber: Hasil Survei LCS bulan Juli 26 Gambar 47. Hubungan antara distribusi kepadatan ikan demersal (ikan m - ³) dengan (a) Suhu ( C), (b) Salinitas (psu) dan (c) Klorofil-a (mg m - ³) dekat dasar di Loksi B (Juli 26).

14 98 Hubungan distribusi menegak kepadatan ikan dan parameter oseanografi. Hubungan antara distribusi menegak kepadatan ikan dan parameter oseanografi di Lokasi A pada leg 1-2, dijumpai kepadatan tertinggi pada ESDU 22 (5 nm) sebesar,7 ikan m - ³. Distribusi ikan dengan kepadatan ini ditemukan pada kedalaman m dengan suhu 28,6-29,1 C, salinitas berkisar 33,5-33,7 psu dan klorofil-a,6-,8 mg m - ³. Kepadaatan ikan sebesar >,5 ikan m - ³ ditemukan di kedalaman 25-4 m pada area antara ESDU 15 dan 16 hingga ESDU 23 (3 nm). Suhu perairan sekitar area ini adalah 26,1-29,6 C, salinitas 33,3-33,7 psu dan klorofil-a,3-1, mg m - ³. Secara keseluruhan dari leg 1-2 (Gambar 48), terlihat bahwa distribusi ikan lebih banyak ditemukan pada kedalaman 2-4 m. Kepadatan ikan sebesar,2 ikan m - ³ ditemukan pada kedalaman 2-5 m yang tersebar dari ESDU 9 hingga ESDU 27 (± 1 nm), bahkan kepadatan ini ditemukan pula hingga kedalaman 6 m pada ESDU Kisaran suhu dimana ditemukan konsentrasi ikan dengan kepadatan ini adalah 28,1-3, C, salinitas 33,3-33,8 psu dan klorofil-a,3-1, mg m - ³. Disamping itu pula kepadatan ini tersebar pada beberapa area dengan luasan yang lebih kecil seperti pada area di antara ESDU 29 dan 3 hingga ESDU 32 (±13 nm) di kedalaman 3-45 m dengan suhu 29,1-29,6 C, salinitas 33,3-33,5 psu dan klorofil-a,8-1, mg m - ³, dan di area antara ESDU 35 hingga ESDU 39 (±2 nm) pada kedalaman m dengan suhu 29,6-3, C, salinitas 32,5-33,2 psu dan klorofil-a,4-,8 mg m - ³, serta di sekitar ESDU 42 hingga ESD 44 (± 8 nm) pada kedalaman m dengan suhu 29,8-3, C, salinitas 33,1-32,5 dan klorofil-a,35-,45 mg m - ³. Pada leg ini tidak ditemukan ikan hingga kedalaman ± 5 m dari permukaan, disamping itu pula pada area di antara ESDU 52 hingga ESDU 74 juga tidak ditemukan ikan hingga kedalaman 15 m. Distribusi kepadatan ikan sebesar,-,1 ikan m - ³ di temukan pada kedalaman > 15 m. Pada leg 3-4 (Gambar 49) ditemukan distribusi kepadatan ikan hingga,56 ikan m - ³. Kepadatan sebesar,5 ikan m - ³ ditemukan di dua area yaitu disekitar EDU 79-8 (± 1 nm) pada kedalaman m dengan suhu perairan 27,5-28, C, salinitas 33,7-33,8 psu dan klorofil-a,65-,75 mg m - ³. Area lainnya

15 99 pada kedalaman m di sekitar ESDU (± 1 nm) dengan suhu perairan yang lebih dingin yaitu 26,5-27, C, salinitas 33,9-4,2 psu dan klorofil-a,35-,45 mg m - ³. Distribusi kepadatan ikan,2 ikan m - ³ dijumpai pada area dari ESDU 69 hingga ESDU 82 (± 65 nm) serta pada ESDU 72 dengan kedalaman terdalam 65 m dan pada kedalaman 4 m di ESDU 75. Kisaran suhu perairan pada area ini adalah 25,5-29,2 C, salinitas 33,4-34,2 psu dan klorofil-a,3-1,1 mg m - ³. Area lainnya dengan kepadatan yang sama ditemukan pada area di sekitar ESDU 6-61 hingga ESDU 63 (± 12 nm) di kedalaman m. Suhu perairan disekitar area ini lebih hangat yaitu 29,5-3, C, salinitas 33,5-33,6 psu dan klorofil-a,45-,55 mg m - ³. Untuk kepadatan ikan,1 ikan m - ³, ditemukan pada kedalaman > 15 m, namun pada ESDU dan ESDU distribusi kepadatan ini ditemukan dari permukaan perairan. Suhu perairan >29 C dan salinitas <33,4 psu, sedangkan klorofil-a pada kolom perairan tersebar merata. Pada leg 6-7 (Gambar 5), ditemukan distribusi kepadatan ikan tertinggi pada ESDU 135 di kedalaman 3-4 m dengan kisaran suhu perairan 28,5-29, C, salinitas 33,4 psu dan klorofil-a.45-,55 mg m - ³. Kepadatan ikan,5 ikan m - ³ terdistribusi pada area di sekitar ESDU (± 2 nm) pada kedalaman m dengan suhu perairan 27-3 C, salinitas 32,9-33,8 psu dan klorofil-a,35-,55 mg m - ³. Area lainnya dengan kepadatan ikan yang sama ditemukana pada area di sekitar ESDU (± 65 nm) pada kedalaman 2-65 m dengan suhu perairan 23-3 C, salinitas 33,5-34,4 psu dan klorofil-a,2-1,2 mg m - ³. Distribusi kepadatan ikan tertinggi pada leg 1-2 di Lokasi B (Gambar 51) sebesar,65 ditemukan di ESDU 9 (5 nm) pada kedalaman 22 m dengan suhu 26,5-27,5 C, salinitas 33,5-33,7 psu dan klorofil-a,4-,65 mg m - ³. Distribusi kepadatan ikan,2 ikan m - ³ pada leg ini, tersebar pada area dari ESDU 7 hingga ESDU 24 di kedalaman m dengan kisaran suhu perairan C, salinitas psu dan klorofil-a,2-,7 mg m - ³. Distribusi kepadatan yang sama ditemukan lebih panjang pada area dari ESDU 14 hingga ESDU 24 (5 nm), namun hanya sekitar 9 m ketebalannya (kedalaman 21-3 m), sedangkan distribusi lebih tebal pada ESDU 7 hingga ESDU 13 (3 nm) yaitu sekitar 13 m (kedalaman m).

16 1 Pada leg 3-4 (Gambar 52) ditemukan kepadatan ikan,8 ikan m - ³ di ESDU 47 (5 nm) pada kedalaman m dengan suhu 23,5-24, C, salinitas 34,- 34,25 psu dan klorofil-a,6-,7 mg m - ³. Distribusi kepadatan ikan sebesar,2-,7 ikan m - ³ tersebar pada area dari ESDI 31 hingga ESDU 56, kecuali pada area antara ESDU 42 dan ESDU 43. Kepadatan yang sama ditemukan pada area dari ESDU 31 hingga ESDU 42 (55 nm) pada kedalaman 2-7 m, dengan suhu C, salinitas 33,5-34,5 psu dan klorofil-a,2-,8 mg m - ³, sedangkan pada ESDU 43 hingga ESDU 56 (65 nm) di temukan pada kedalaman 45-7 m, dengan suhu C, salinitas 33,5-34,2 psu dan pada kisaran klorofil yang lebar yaitu,5-1,2 mg m - ³. Pada leg ini, di ESDU 5 hingga ESDU 56 tidak ditemukan ikan dari permukaan hingga kedalaman 35 m, suhu perairannya 29, C dan klorofila,2 mg m - ³, sedangkan salinitasnya < 34 psu. Distribusi kepadatan ikan sebesar,8-,9 ikan m - ³ pada leg 6-7 (Gambar 53) ditemukan tersebar pada 3 area. Pertama pada ESDU 73 (5 nm) di kedalaman 7-75 m dengan suhu C, salinitas 34,25-34,5 psu dan klorofil-a,8-1, mg m - ³. Kedua, pada ESDU 85 hingga antara ESDU 87 dan 88 (± 15 nm) di kedalaman m, dengan suhu C, salinitas 34,-34,25 psu dan klorofil-a,25-1, mg m - ³. Ketiga, dari ESDU 9 hingga ESDU 92 (1 nm) di kedalaman m dengan suhu C, salinitas 34,-34,25 psu dan klorofil-a,65-,85 mg m - ³. Pada lapisan permukaan hingga kedalaman ± 35 m tidak ditemukan ikan. Distribusi kepadatan ikan tertinggi pada leg 1-15 sama dengan leg 6-7 yaitu,8-,9. Kepadatan ini ditemukan di area antara ESDU 12 dan ESDU 121 (± 3 nm) pada kedalaman m, dengan suhu 26,5-28 C, salinitas 33,7-33,8 psu dan klorofil-a,45-,55 mg m - ³, serta pada area antara ESDU 15 dan 152 (± 6 nm) di kedalaman m, dengan suhu 21-21,5 C, salinitas 34,25-34,35 psu dan klorofil-a,65-,7 mg m - ³ (Gambar 54). Distribusi kepadatan ikan sebesar,2-,7 ikan m - ³ dijumpai dari ESDU 119 hingga antara ESDU 23 dan ESDU 24 (± 23 nm) di kedalaman 35 hingga dekat dasar pada ESDU 119. Suhu perairan 2-3 C, salinitas 33,1-34,4 psu dan klorofil-a,15-1, mg m - ³. Area lainnya dengan kepadatan yang sama ditemukan dari ESDU 129 hingga ESDU 2 (65 nm) pada kedalaman 45 m di ESDU 2 hingga kedalaman dekat dasar di sekitar ESDU 149 dan ESDU 15. Kondisi perairan yang ditemukan yaitu suhu 2-27 C,

17 11 salinitas 33,65-34,4 psu dan klorofil-a,1-,8 mg m - ³. Pada leg ini tidak ditemukan ikan dari permukaan hingga kedalaman lebih dari 4 m di daerah antara ESDU 196 dan 197. a) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan (Ikan/m³) b) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan (Ikan/m³) c) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan (Ikan/m³) Gambar 48. Hubungan antara kepadatan ikan (ikan m - ³) dengan parameter oseanografi: (a) Suhu, (b) Salinitas dan (c) Klorofil-a pada Leg 1-2 di Lokasi A (Juni 25).

18 12 a) ESDU Kepadatan (Ikan/m³) b) ESDU Kepadatan (Ikan/m³) c) ESDU Kepadatan (Ikan/m³) Gambar 49. Hubungan antara kepadatan ikan (ikan m - ³) dengan parameter oseanografi: (a) Suhu, (b) Salinitas dan (c) Klorofil-a pada Leg 3-4 di Lokasi A (Juni 25).

19 13 a) ESDU Kepadatan (Ikan/m³) b) ESDU Kepadatan (Ikan/m³) c) ESDU Kepadatan (Ikan/m³) Gambar 5. Hubungan antara kepadatan ikan (ikan m - ³) dengan parameter oseanografi: (a) Suhu, (b) Salinitas dan (c) Klorofil-a pada Leg 6-7 di Lokasi A (Juni 25).

20 14 a) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) b) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) c) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) Gambar 51. Hubungan antara kepadatan ikan (ikan m - ³) dengan parameter oseanografi: (a) Suhu, (b) Salinitas dan (c) Klorofil-a pada Leg 1-2 di Lokasi B (Juli 26).

21 15 a) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) b) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) c) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) Gambar 52. Hubungan antara kepadatan ikan (ikan m - ³) dengan parameter oseanografi: (a) Suhu, (b) Salinitas dan (c) Klorofil-a pada Leg 3-4 di Lokasi B (Juli 26).

22 16 a) ESDU Kepadatan Ikan (Ikan/m³) b) ESDU Kepadatan Ikan (Ikan/m³) c) ESDU Kepadatan Ikan (Ikan/m³) Gambar 53. Hubungan antara kepadatan ikan (ikan m - ³) dengan parameter oseanografi: (a) Suhu, (b) Salinitas dan (c) Klorofil-a pada Leg 6-7 di Lokasi B (Juli 26).

23 17 a) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) b) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) c) ESDU Kedalaman (m) Kepadatan Ikan (Ikan/m³) Gambar 54. Hubungan antara kepadatan ikan (ikan m - ³) dengan parameter oseanografi: (a) Suhu, (b) Salinitas dan (c) Klorofil-a pada Leg 1-15 di Lokasi B (Juli 26).

24 18 Kesimpulan 1. Distribusi kepadatan ikan secara horisontal di lokasi penelitian bulan Juni 25 makin tinggi sejalan dengan berkurangnya suhu dan meningkatnya salinitas. Perubahan konsentrasi klorofil-a kurang berpengaruh terhadap distribusi ikan. Namun di sisi lain, kepadatan ikan tertinggi ditemukan pada kisaran parameter oseanografi tertentu. Ikan pelagis ditemukan dengan kepadatan tertinggi pada SST 3, C, SSS 32,5 psu dan SSC,2 mg m - ³, dan ikan demersal pada SBT 26,5-27,5, SBS 33,8-34, psu dan SBC,4-,5 mg m - ³. 2. Secara keseluruhan di lokasi penelitian bulan Juli 26, parameter oseanografi kurang berpengaruh terhadap distribusi kepadatan ikan. Distribusi kepadatan ikan baik pelagis dan demersal tersebar hampir merata, namun ada beberapa area dengan konsentrasi kepadatan yang cukup tinggi. Area yang dijumpai konsentrasi ikan tertinggi yaitu antara Kepulauan Natuna dan Kepulauan Anambas serta antara Kepulauan Natuan dan Pulau Subi. Area ini memiliki salinitas yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan area lainnya. 3. Distribusi kepadatan ikan secara vertikal di lokasi penelitian bulan Juni 25 dan bulan Juli 26 sangat dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Kepadatan ikan makin bertambah hingga kedalaman tertentu (3-4 m untuk Juni 25 dan 6-7 untuk Juli 26) seiring dengan menurunnya suhu serta meningkatnya salinitas, sedangkan klorofil-a tidak mempunyai pengaruh kuat terhadap distribusi kepadatan ikan.

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penyebaran target strength ikan Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran

Lebih terperinci

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar, 9-10 September

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati

Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati Deskripsi MK DPI Mata kuliah ini menjelaskan tentang posisi DPI dan manfaatnya bagi kegiatan perikanan, serta berbagai hal yang berkaitan dan

Lebih terperinci

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia. HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) SADENG YOGYAKARTA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MODIS Dewantoro Pamungkas *1, Djumanto 1

Lebih terperinci

7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS PRIMER BERSIH

7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS PRIMER BERSIH 7. ESTIMASI SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS PRIMER BERSIH Pendahuluan Produktivitas perairan merupakan kandungan fitoplankton dalam kolom perairan. Fitoplankton merupakan tumbuhan laut (alga)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada Dian Herdiana (C06499072). Pendugaan Pola Distribnsi Spasio-Temporal Target Strettgth Ikan Pelagis dengan Split Beam Acor~stic System di Perairan Teluk Tomini pada Bulan Juli-Amstus 2003. Di bawah bimbin~an

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya 99 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI LINGKUNGAN Adaptasi : Proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran

Lebih terperinci

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha,   ABSTRAK ANALISIS PARAMETER OSEANOGRAFI MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS WEB (Sebaran Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Tinggi Permukaan Laut) Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, e-mail

Lebih terperinci

0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003

0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003 204 0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003 PROGRAM STUD1 ILIMU KELAUTAS DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil 7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Terdapat 3 komponen utama dalam kegiatan penangkapan ikan, yaitu 1) teknologi (sumberdaya manusia dan armada), 2) sumberdaya ikan, 3)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA OLEH : Dr. Kunarso FOKUSED GROUP DISCUSSION CILACAP JUNI 2016 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dalam Purwanto

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Daerah Penelitian Penelitian hidroakustik meliputi daerah tubir bagian luar (perairan Teluk Tomini), daerah tubir bagian dalam (perairan pulau Una-una) dan daerah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA 2003 Julius A.N. Masrikat Posted 11 December 2003 Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo Dalam pengoperasiannya, bagan rambo menggunakan cahaya untuk menarik dan mengumpulkan ikan pada catchable area. Penggunaan cahaya buatan yang berkapasitas

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar belakang

1. PENDAHULUAN Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sebagai salah satu pusat marine megabiodiversity dunia, Indonesia memiliki kekayaan spesies cetacea yang tinggi. Dari sekitar 80 extanct spesies cetacea, sedikitnya ada

Lebih terperinci

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002 1 STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, KTBER 2002 Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT Ankiq

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR DETERMINATION OF FISHING AREA OF Euthynnus affinis BASED

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 14,2 (2009) :

Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 14,2 (2009) : APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENENTUAN DAERAH PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP GOMBANG DI PERAIRAN SELAT BENGKALIS KECAMATAN BENGKALIS KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU Irwandy Syofyan 1), Rommie

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

BAB III PROYEKSI PENDUDUK PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB III PROYEKSI PENDUDUK PROVINSI KEPULAUAN RIAU BAB III PROYEKSI PENDUDUK PROVINSI KEPULAUAN RIAU Penduduk yang besar dan berkualitas akan menjadi aset yang sangat bermanfaat bagi pembangunan, namun sebaliknya penduduk yang besar tapi rendah kualitasnya

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Pusat Perubahan Iklim ITB Pengertian Iklim dan Perubahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali

Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali B. Priyono, A. Yunanto, dan T. Arief Balai Riset dan Observasi Kelautan, Jln Baru Perancak Negara Jembrana Bali Abstrak

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan lokasi budidaya kerang hijau (Perna viridis) Perairan Pantai Cilincing, Jakarta Utara. Sampel plankton diambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci