KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR. Oleh : Tri Septiarini C

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR. Oleh : Tri Septiarini C"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR Oleh : Tri Septiarini C PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN TRI SEPTIARINI. C Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan TATI NURHAYATI. Potensi sumberdaya hayati laut di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur cukup besar dengan wilayah laut cukup luas (17.763,60 km 2 ). Produksi perikanan tangkap, khususnya ikan tenggiri pada tahun 2005 sebesar 1.854,631 ton. Ikan jenis tenggiri dikirim ke Jakarta untuk pemenuhan konsumsi, oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai tingkat kesegaran ikan tenggiri di Kecamatan Manggar sejak ditangkap sampai di Jakarta. Tujuan penelitian secara umum adalah mempelajari karakteristik mutu ikan tenggiri yang ditangkap menggunakan jaring serta tingkat kerusakan pasca panen. Tujuan khusus antara lain: mempelajari pengaruh metode dan proses penanganan terhadap mutu ikan tenggiri, serta mempelajari perbandingan metode penanganan nelayan dengan peneliti dalam hal penurunan mutu ikan tenggiri. Penelitian ini terbagi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan berupa pengisian koesioner dan pengamatan langsung penangkapan ikan di laut. Penelitian utama merupakan pengujian pengaruh metode dan proses penanganan terhadap karakteristik mutu dan tingkat kesegaran ikan tenggiri (organoleptik, derajat keasaman (ph), Total Plate Count (TPC), Total Volatile Base (TVB) dan proksimat). Alat tangkap yang sering digunakan oleh nelayan di Kecamatan Manggar adalah jaring insang (gillnet). Metode penanganan yang digunakan oleh nelayan adalah metode pendinginan chilled sea water (CSW) yaitu ikan didinginkan dengan air laut bercampur es. Perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan baru ditangkap adalah sama dari nilai organoleptik yaitu 9; kadar air 75,38 %; kadar lemak 1,03 %; kadar protein 20,19 %; kadar abu 1,54 %; ph 6,28; TVB 21,86 mg N/100 g; dan log TPC 3,32 CFU/ml. Perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta berturut-turut menunjukkan nilai organoleptik yaitu 5 dan 6; kadar air 76,36 % dan 76,49 %; kadar lemak 0,79 % dan 0,90 %; kadar protein 18,73 % dan 19,23 %; kadar abu 1,46 % dan 1,38 %; nilai ph 6,56 dan 6,16; TVB 24,28 mg N/100 g dan 23,40 mg N/100 g; serta log TPC sebesar 4,67 CFU/ml dan 4,29 CFU/ml. Hasil uji terhadap kesegaran ikan menurut metode penanganan nelayan dan peneliti menunjukkan bahwa mutu ikan tergolong agak segar dan masih dapat dikonsumsi setelah tiba di Jakarta. Hasil analisis ragam dengan α=0,05 diketahui bahwa perlakuan metode penanganan dari nelayan dan peneliti berpengaruh nyata terhadap nilai dari semua parameter organoleptik ikan tenggiri, sedangkan proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta berpengaruh nyata terhadap nilai dari semua parameter organoleptik, dan TPC ikan tenggiri. Menurut uji t dengan α=0,05 diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta serta proses penanganan untuk metode nelayan dan peneliti berpengaruh nyata terhadap kadar air dan protein ikan tenggiri.

3 KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh : Tri Septiarini C PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

4 Judul Skripsi : KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus Commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR Nama Mahasiswa : Tri Septiarini NRP : C Disetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi NIP Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi NIP Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc NIP Tanggal lulus :

5 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan berjudul Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur, telah disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal bagi pemecahan masalah-masalah seputar penanganan mutu di dunia perikanan lainnya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Bapak Ir. Djoko Poernomo, BSc selaku dosen penguji atas masukan serta bimbingannya kepada penulis. 3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis. 4. Seluruh staf dosen dan TU THP, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis. 5. Ibu Endang, Ibu Ari, dan Bapak Wahid di PAU serta ibu Ema atas bantuan dan bimbingan selama proses penelitian. 6. Bapak (Masran San Kardi), ibu (Sumiati), serta kakak-kakak tercinta (Mesi Ristanti dan Dewi Febriyani), atas semua dukungan, pengorbanan, semangat dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 7. Keluarga besar Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung Barat dan Belitung Timur, terutama Bapak Satarman, Bapak Depuk, dan Bapak Subriandi atas informasi dan bantuannya kepada penulis selama penelitian.

6 8. Nelayan-nelayan di Kecamatan Manggar, terutama Iwan dan teman-teman atas bantuannya selama melaksanakan penelitian baik saat wawancara dan melaut. 9. Teman-teman yang telah banyak membantu : Niken, Heru dan terutama Indra atas kesediaan dan bantuan kepada penulis selama melaksanakan penelitian di lapangan serta Attika, Dwi, Santi, Dery, Alim, Dede, dan Fuji atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian di Laboratorium. 10. Teman-teman di Wahda Indah : Mba Acen, Roza, Resi, Achil, Ani, Eva, Fuji, Icha, Oni, Mada, dan Simau atas semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan seminar dan sidang. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Desember 2008 Tri Septiarini

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 28 September 1986 di Manggar-Belitung. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Masran San Kardi dan Ibu Sumiati. Penulis mengawali pendidikan di TK Bhayangkari Manggar pada tahun 1990 hingga tahun Pendidikan dasar diawali pada tahun 1992 di SDN 28 Manggar-Belitung dan diselesaikan pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Manggar ( ) dan SMA Negeri 1 Manggar ( ). Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah, penulis aktif di organisasi Forum Keluarga Muslim- Perikanan (FKM-C) selama periode dan tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar Belitung dari tahun 2004 hingga sekarang. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Biokimia Hasil Perikanan ( ), dan Penanganan Hasil Perikanan (2006/2007). Dalam kegiatan lainnya penulis aktif dalam penulisan karya ilmiah dan berhasil masuk sebagai finalis pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XX di Universitas Lampung. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur, dibimbing oleh Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi dan Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Umum Tujuan Khusus TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) Mutu Ikan Pengertian mutu ikan Parameter mutu ikan segar Kemunduran Mutu Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan Segar Cara kematian Kondisi biologis dan lingkungan Suhu Pengaruh cara penanganan dan pembongkaran Sanitasi dan higiene Penanganan Penanganan ikan di atas kapal penangkap ikan Pembongkaran ikan Penanganan ikan di darat Penanganan ikan selama pengangkutan dan distribusi Penanganan tingkat pedagang dan pengecer METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Alat Bahan Metode Penelitian Penelitian pendahuluan Penelitian utama ix

9 3.4 Pengamatan Uji organoleptik (BSN 2006) Analisis kadar air (AOAC 1995) Analisis kadar abu (AOAC 1995) Analisis kadar protein (AOAC 1995) Analisis kadar lemak(aoac 1995) Penentuan nilai ph (Apriyantono et al. 1989) Penetapan Total Volatile Base (TVB) (AOAC 1995) Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987) Rancangan Percobaan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap Persiapan penangkapan ikan Proses penanganan ikan Sanitasi dan higiene Penggunaan es Penelitian Utama Organoleptik ) Mata ) Insang ) Daging dan perut ) Konsistensi Hasil analisis kimiawi-biokimiawi ) Analisis proksimat a) Kadar air b) Kadar lemak c) Kadar protein d) Kadar abu ) Penentuan ph ) Penentuan Total Volatile Base (TVB) ) Penentuan Total Plate Count (TPC) Hasil pengamatan parameter kesegaran ikan secara keseluruhan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 83

10 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Tanda-tanda ikan segar yang dapat dikonsumsi Spesiifikasi persyaratan mutu ikan segar Nilai K beberapa produk olahan ikan segar Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan yang disimpan dalam es Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan Hasil pengamatan seluruh parameter kesegaran ikan... 73

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii) Diagram proses kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1972) Hubungan antara laju pertumbuhan bakteri dengan kemunduran mutu ikan segar Skema tata niaga pemasaran ikan segar Diagram alir proses penanganan ikan laut segar Kerangka pemikiran penelitian Jaring insang Persiapan jaring Proses penebaran jaring Jaring yang disusun setelah dipakai Proses penarikan jaring (hauling) Pengambilan ikan dari jaring Jaring yang sedang diperbaiki Ikan disusun bertumpuk dan akan diberi es Penyusunan ikan dalam fiber box oleh nelayan Histogram rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri Histogram rata-rata nilai organoleptik insang ikan tenggiri Histogram rata-rata nilai organoleptik daging dan perut ikan tenggiri Histogram rata-rata nilai organoleptik konsistensi ikan tenggiri Histogram rata-rata kadar air ikan tenggiri selama proses penanganan Histogram rata-rata kadar lemak ikan tenggiri selama proses penanganan Histogram rata-rata kadar protein ikan tenggiri selama proses penanganan Histogram rata-rata kadar abu ikan tenggiri selama proses penanganan Histogram rata-rata nilai ph ikan tenggiri selama proses penanganan Histogram rata-rata nilai TVB ikan tenggiri selama proses penanganan Histogram rata-rata nilai TPC ikan tenggiri selama proses penanganan.. 71

12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor 84 1 Contoh kuesioner untuk nelayan/pemilik kapal... Halaman 2 Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI ) Data mentah organoleptik ikan tenggiri ulangan 1 selama proses penanganan Data mentah organoleptik ikan tenggiri ulangan 2 selama proses penanganan Hasil uji Kruskal-Wallis nilai organoleptik ikan tenggiri terhadap perlakuan metode dan proses penanganan Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik mata Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik mata Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik insang Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik insang Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik daging dan perut Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik daging dan perut Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik konsistensi Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik konsistensi Hasil uji normalitas analisis proksimat selama proses penanganan Hasil uji t kadar air untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh nelayan Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh peneliti Kadar lemak ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta Hasil uji t kadar lemak untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh nelayan Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh peneliti Kadar protein ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta... 94

13 23 Hasil uji t kadar protein untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh nelayan Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh peneliti Kadar abu ikan tenggiri sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta Hasil uji t kadar abu untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh nelayan Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh peneliti Nilai ph selama proses penanganan Uji normalitas ph selama proses penanganan Hasil uji keragaman ph selama proses penanganan Nilai TVB selama proses penanganan Uji normalitas TVB selama proses penanganan Hasil uji keragaman TVB selama proses penanganan Nilai log TPC selama proses penanganan Uji normalitas log TPC selama proses penanganan Hasil uji keragaman log TPC selama proses penanganan Hasil uji lanjut Duncan pengaruh proses penanganan terhadap log TPC.. 98

14 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang sangat besar dengan kandungan berbagai macam jenis makhluk hidup di dalamnya. Kekayaan hayati tersebut diantaranya adalah ikan yang mempunyai manfaat dalam bidang kesehatan karena ikan memiliki kandungan gizi tinggi serta dapat memberikan keuntungan dari segi ekonomi dengan nilai jual yang tinggi. Kandungan gizi utama pada ikan adalah protein serta asam-asam lemak esensial yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Ikan serta hasil-hasil perikanan lainnya merupakan sumber protein bernilai gizi tinggi dibandingkan dengan sumber-sumber protein hewani lainnya. Ikan merupakan sumber alami asam lemak omega-3 yaitu Eicosa Pentaenoic Acid (EPA) dan Docosa Hexaenoic Acid (DHA) yang berfungsi untuk mencegah aterosklerosis (terutama EPA). Kedua asam lemak omega-3 tersebut dapat menurunkan kadar trigliserida di dalam darah dan kadar kolesterol di dalam hati dan jantung. Kadar asam lemak omega-3 dalam beberapa jenis ikan laut di perairan Indonesia berkisar antara 0,1-0,5 g/100 g daging ikan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Lembaga Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, beberapa jenis ikan laut Indonesia memiliki kandungan asam lemak omega-3 tinggi (sampai 10,9 g/100 g), seperti ikan sidat, terubuk, tenggiri, kembung, layang, bawal, seren, slengseng, dan tuna (Suriawiria 2002). Kabupaten Belitung Timur secara geografis terletak diantara bujur 02 o o LS (lintang selatan) dan 107 o o BT (bujur timur). Luas wilayah Kabupaten Belitung Timur terdiri dari wilayah daratan seluas 691,68 km 2 dan wilayah lautan seluas ,60 km 2 dengan panjang pantai 7.730,515 km 2 serta memiliki 90 buah pulau, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Karimata, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Belitung. Berdasarkan gambaran kondisi di atas, dapat dikatakan bahwa Kabupaten Belitung Timur merupakan kabupaten kepulauan yang wilayahnya secara umum dikelilingi oleh laut, yang berarti

15 memiliki potensi yang sangat besar di sektor kelautan dan perikanan. Namun potensi ini belum dimanfaatkan secara opimal karena keterbatasan sarana dan prasarana baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005a). Kabupaten Belitung Timur memiliki potensi perikanan tangkap sangat besar dengan wilayah laut cukup luas (17.763,60 km 2 ). Pemanfaatan potensi tersebut memerlukan sumber daya manusia dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dalam penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan ikan umumnya dilakukan oleh nelayan tradisional yang menggunakan kapal motor di bawah 3 Gross Ton (GT) dan menggunakan alat tangkap jaring kepiting, pancing dan jaring udang (tramel net) (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005a). Ikan tenggiri termasuk ikan pelagis yang hidup di permukaan laut atau didekatnya. Jumlah produksi ikan tenggiri di Kabupaten Belitung Timur pada tahun 2005 sebesar 1.854,631 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005a). Ikan tenggiri merupakan ikan laut hasil tangkapan yang sangat ekonomis karena harganya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan ikan laut tangkapan lainnya, tetapi ikan tenggiri tersedia pada musim tertentu saja karena tergolong ikan musiman sehingga jumlah hasil tangkapan tergantung pada musim. Penanganan yang baik adalah menggunakan sistem rantai dingin dan mengutamakan sanitasi dan higiene. Namun pada kenyataannya, penanganan ikan yang dilakukan para nelayan di Indonesia terutama nelayan tradisional belum menerapkan penanganan pasca-panen dengan baik, sehingga ikan-ikan yang didaratkan pada umumnya telah mengalami kemunduran mutu yang cukup tinggi, sehingga akan merugikan nelayan dan juga konsumen baik dari segi gizi maupun ekonomi. Hal tersebut yang mendorong sebagian nelayan tradisional menggunakan bahan pengawet, seperti formalin yang berbahaya bagi konsumen. Hal ini dilakukan untuk menutupi biaya operasional yang dikeluarkan para nelayan, namun apa yang dilakukan para nelayan ini sangat merugikan masyarakat (konsumen) terutama dalam hal kesehatan. Pentingnya penelitian ini dilaksanakan agar diperoleh data dan informasi mengenai cara penanganan ikan sejak ikan ditangkap sampai ke darat, komposisi gizi ikan yang didaratkan khususnya ikan tenggiri dan melihat kemunduran mutu ikan tersebut sebagai

16 informasi awal mengenai mutu hasil perikanan tangkap oleh nelayan di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. 1.2 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik mutu ikan tenggiri yang ditangkap menggunakan jaring serta tingkat kerusakan pasca panen. 1.3 Tujuan Khusus 1) mempelajari pengaruh metode penanganan terhadap mutu ikan tenggiri; 2) mempelajari pengaruh proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta terhadap mutu ikan tenggiri; 3) mempelajari perbandingan metode penanganan yang dilakukan oleh nelayan dengan peneliti dalam hal penurunan mutu ikan tenggiri.

17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) Tenggiri termasuk ikan pelagis yang hidup di permukaan laut atau didekatnya. Salah satu dari sifat ikan pelagis besar ini adalah suka bergerombol, sehingga penyebarannya pada suatu perairan tidak merata (Martosubroto et al diacu dalam Mutakin 2001). Taksonomi ikan tenggiri diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984) : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Scombridea Famili : Scombridae Sub famili : Scombrinae Genus : Scomberomorus Spesies : Scomberomorus commersonii Gambar 1. Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) Sumber : Anonim (2007a) Ikan tenggiri umumnya hidup di sekitar perairan pantai dan sering pula ditemukan di dekat perairan karang. Penyebaran spesies ini cukup luas mencakup seluruh wilayah Indo-Pasifik Barat dari Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke perairan Indonesia, perairan Australia dan perairan Fiji ke Utara sampai ke perairan China dan Jepang (Martosubroto et al diacu dalam Mutakin 2001).

18 Ciri-ciri tenggiri (S. commersonii) adalah mempunyai tubuh yang panjang, berbentuk terpedo dan merupakan perenang cepat. Secara morfologi, ikan ini memiliki karakteristik spesifik pada bagian mulut, sirip, dan bagian tubuh (Martosubroto et al diacu dalam Mutakin 2001). Tenggiri mempunyai mulut lebar dengan ujung runcing, gigi pada rahang gepeng dan tajam. Pada bagian punggung ikan terdapat dua sirip. Sirip punggung pertama berjari-jari keras buah, sedangkan sirip punggung kedua berjari-jari buah yang diikuti 8-10 buah sirip tambahan (finlet). Sirip dubur tenggiri biasanya berjumlah buah dan sifatnya berjari-jari lemah sebanyak buah (Martosubroto et al diacu dalam Mutakin 2001). Bagian punggung tenggiri berwarna biru gelap atau biru kehijauan. Pada individu dewasa terdapat garis berwarna abu-abu pada bagian perut sebanyak Bagian rahang ke bawah berwarna putih keperakan, sirip punggung pertama berwarna biru terang sampai biru gelap dan sirip dada berwarna abu-abu keperakan sampai biru gelap. Punggung ikan tenggiri berwarna biru abu-abu dan perak kebiru-biruan di bagian sisi. Ban-ban warna gelap, menggelombang melintang badan. Sirip-siripnya biru keabuan. Ukuran panjang tubuh dapat mencapai 200 cm dan biasanya cm (Anonim 2007b). 2.2 Mutu Ikan Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu materi, produk atau jasa, seperti pada hasil pertanian pada umumnya, hasil perikanan juga memiliki paling kurang beberapa aspek mutu, antara lain aspek bio-tekno-ekonomis, aspek sanitasi dan higiene, aspek industrial dan lain-lain. Mutu ikan merupakan nilai-nilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas 1983) Pengertian mutu ikan Pengertian mutu untuk hasil perikanan sebenarnya identik dengan kesegaran. Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama merupakan ikan baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan dan pengertian yang kedua, ikan yang mutunya masih baik; belum disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak berubah serta belum mengalami kemunduran, baik secara kimia,

19 fisika, maupun biologi walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikanikan yang dibekukan (FAO 1995a) Parameter mutu ikan segar Definisi ikan segar menurut SNI adalah produk yang berasal dari perikanan dengan bahan baku ikan, yang telah mengalami perlakuan pencucian, penyiangan atau tidak penyiangan, pendinginan dan pengemasan. Ikan segar yang didefinisikan oleh FAO (1995a) adalah ikan yang baru saja ditangkap, belum disimpan atau diolah, atau ikan-ikan yang memiliki sifat-sifat kesegaran yang kuat serta belum mengalami pembusukan. Ikan segar memiliki ciri-ciri (Stansby 1963) sebagai berikut : (1) daging ikan padat elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya; (2) aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut; (3) mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan; (4) insang berwarna merah cerah; (5) kulit mengkilat dengan warna cerah. Kesegaran ikan tidak sulit diketahui. Cara yang paling mudah adalah dengan pengamatan secara visual terhadap penampilan ikan, dengan menggunakan metode 4 M, yaitu melihat, meraba, menekan dan mencium. Pertama adalah dengan melihat dan mengamati penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang, adanya lendir dan sebagainya. Kedua adalah dengan meraba ikan untuk mengamati kondisi ikan terutama adanya lendir, kelenturan ikan dan sebagainya. Penilaian visual dengan meraba dapat dilanjutkan dengan menekan daging ikan untuk melihat teksturnya dan diikuti dengan mencium bau ikan. Secara fisik kesegaran ikan dapat ditentukan dengan mengamati tanda-tanda visualnya, seperti yang terdapat pada Tabel 1 yang memuat tentang tanda-tanda ikan segar bermutu tinggi (Yunizal dan Wibowo 1998). Nogueras et al. (2002) melaporkan bahwa otot ikan memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap pembusukan selama penyimpanan terutama berkaitan dengan pertumbuhan dan aktivitas bakteri aerob gram negatif. Kesegaran ikan umumnya diukur dengan metode sensori berdasarkan perubahan penampakan, bau, warna, flavor dan tekstur.

20 Tabel 1. Tanda-tanda ikan segar yang dapat dikonsumsi segar No. Parameter Tanda-tanda 1. Penampakan Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenisnya, badan ikan utuh, tidak patah, tidak rusak fisik, bagian perut masih utuh dan liat serta lubang anus tertutup. 2. Mata Cerah (terang), selaput mata jernih, pupil hitam dan menonjol. 3. Insang Insang berwarna merah cemerlang atau sedikit kecoklatan, tidak ada lendir atau sedikit. 4. Bau Bau segar spesifik jenis, atau sedikit bau amis yang lembut 5. Lendir Selaput lendir di permukaan tubuh tipis, encer, bening, mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis dan tidak berbau busuk. 6. Tekstur dan daging Ikan kaku atau masih lemas dengan daging pejal, jika ditekan dengan jari cepat pulih kembali, sisik tidak mudah lepas, jika daging disayat tampak jaringan antar daging masih kuat dan kompak, sayatan cemerlang dengan menampilkan warna daging ikan asli. Sumber : Yunizal dan Wibowo (1998) Bahan baku harus secepatnya diolah dengan tujuan untuk mempertahankan mutu ikan segar. Apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5 o C), saniter dan higienis (SNI ). Penentuan tingkat kesegaran ikan dapat dilakukan dengan : (1) Pemeriksaan secara organoleptik atau sensorik Cara organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya mempergunakan indera manusia (sensorik). Cara ini sangat cepat, murah dan praktis untuk dikerjakan, tetapi ketelitiannya tergantung pada tingkat kepandaian orang yang melaksanakannya. Penetapan kemunduran mutu ikan secara subyektif (organoleptik) dapat dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI Pengamatan pada metode ini meliputi warna, bau, konsistensi dan penampakan daging. Perubahan organoleptik disebabkan karena melunaknya tekstur daging ikan. Pelunakan tekstur terjadi karena penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan ph ikan. Keadaan basa adanya hasil pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat merupakan

21 media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000). Persyaratan mutu ikan segar yang harus dipenuhi tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar Jenis mutu Satuan Persyaratan mutu a) Organoleptik Nilai min b) Cemaran mikroba 1. ALT/g, maks 2. Escherichia coli 3. Vibrio cholerae Koloni/g APM/g Per 25 g 7 5 x 10 5 <3 negatif Sumber: SNI Keterangan: ALT = Angka Lempeng Total, APM = Angka Paling Memungkinkan (2) Pemeriksaan dengan K-Value Analisis ini didasarkan pada katabolisme nukleotida dan dapat dilakukan pada sejumlah ikan. Nukleotida yang umum berada dalam bentuk Adenosine Trifosfat (ATP) yang akan berubah menjadi Adenosine Difosfat (ADP), Adenosine Monofosfat (AMP), Inosin Monofosfat (IMP), dan Inosin (HxR) sampai akhirnya terbentuk Hypoxanthine (Hx). Hypoxanthine merupakan indikasi yang baik pada perubahan post mortem daging ikan. Hypoxanthine dapat terakumulasi dari 0,5 µmol menjadi 2,8 µmol per gram daging dalam waktu 24 jam dan menjadi 8,8 µmol per gram daging dalam waktu 48 jam (Zen 2002). Perubahan nilai K selama penyimpanan bervariasi tergantung pada spesies dan jenis daging (daging merah/daging putih). Terdapat hubungan antara kesegaran ikan dan K-value. Analisis K-value umumnya dilakukan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromotography). sebagai berikut : Rumus K-value adalah inosin+ hypoxanthin % K = x100% ATP + ADP + AMP + inosin+ hypoxanthin Keterangan : ATP :Adenosine triphosphate ADP :Adenosine diphosphate IMP :Inosine monophosphate I :Inosine

22 Beberapa produk olahan ikan segar memiliki kisaran nilai K yang berbedabeda dan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai K beberapa produk olahan ikan segar Nilai (K) Terdapat pada Kurang dari 5 % Ikan yang baru mati 20 % Ikan untuk bahan sasimi dan sushi 22,5 % Rata-rata daging ikan di pusat pendaratan % Rata-rata daging ikan untuk kamaboko dan surimi Lebih dari 70 % Ikan mulai mengalami kebusukan Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000) (3) Pemeriksaan secara mikrobiologis Penetapan kesegaran ikan secara mikrobiologis dapat dilakukan dengan menghitung jumlah bakteri yang ada pada daging ikan. Ada dua cara yang dapat digunakan yaitu pengujian jumlah bakteri secara tepat dan cara pengujian jumlah bakteri praduga (pendugaan). Pengujian bakteri secara tepat dilakukan menggunakan metode Total Plate Count (TPC), yaitu penghitungan jumlah bakteri yang ditmbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam. Koloni bakteri yang tumbuh dihitung. Batas maksimum bakteri untuk ikan segar yaitu 5 x 10 5 koloni/g (SNI ). Pengujian bakteri secara praduga dapat dilihat dengan menentukan kekeruhan dari cairan daging ikan (Hadiwiyoto 1993). (4) Pemeriksaan secara kimiawi Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan prinsip penetapan Total Volatile Base (TVB). Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Nilai TVB maksimum untuk ikan segar, yaitu 30 mg N/100 g (Anonim 1985). Komponen utama TVB adalah amoniak (NH 3 ), trimetilamin (TMA) dan dimetilamin (DMA). Beberapa spesies ikan ditemukan mempunyai korelasi/hubungan antara kandungan TVB dan penilaian organoleptik. Perubahan kandungan TVB selama pembusukan mirip dengan TMA, namun kandungan

23 awalnya lebih tinggi. Basa volatil total dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap akhir pembusukan. Batas penerimaan pada ikan, yaitu bila mempunyai kandungan TVB mg/100 g ikan (Soekarto 1990). Tingkat kesegaran hasil perikanan berdasarkan TVBN dikelompokkan menjadi 4 (Farber 1965), yaitu : - ikan sangat segar dengan kadar TVBN 10 mg N/100 g atau lebih kecil; - ikan segar dengan kadar TVBN sebesar mg N/100 g; - ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN mg N/100 g; - ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN lebih besar dari 30 mg N/ 100 g. (5) Trimetilamin oksida (TMAO) Perubahan kimiawi TMAO dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu mikrobiologis dan autolisis. Perubahan TMAO menjadi TMA akan berlangsung secara bakteriologis, yaitu karena aktivitas bakteri yang terdapat pada ikan yang disimpan pada suhu kamar atau pada suhu es (chilling) tetapi perubahan TMAO menjadi DMA dan formaldehida akan dominan pada ikan yang disimpan pada suhu beku. Ikan ditambah es atau dibekukan untuk menghambat perubahan TMAO, tetapi dengan es aktivitas bakteri masih ada sehingga ikan umumnya hanya dapat disimpan dalam es maksimal 16 hari tergantung jenis ikannya. Senyawa ini terbentuk selama pembusukan ikan oleh bakteri terhadap TMAO. Beberapa jenis ikan terutama ikan air tawar, memiliki sedikit TMAO. Ikan dikatakan busuk bila mempunyai kadar TMAO sebesar 2,7 mg nitrogen/100 g (Murniyati dan Sunarman 2000). Kesegaran ikan dapat digolongkan ke dalam empat kelas mutu (Hadiwiyoto 1993), yaitu : (1) Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima) Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar.

24 (2) Ikan yang kesegarannya masih baik (advanced) Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar seperti kondisi pertama. Ciri-cirinya adalah bola mata yang agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun lunak bila ditekan. (3) Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang) Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan, bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek. (4) Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk) Pada kondisi ini ikan sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Ciri-cirinya adalah daging sudah lunak, sayatan daging tidak cemerlang lagi, bola mata cekung, insang berubah jadi berwarna coklat tua, sisik mudah lepas dan sudah menyebarkan bau busuk. 2.3 Kemunduran Mutu Ikan Proses kerusakan ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban harian tinggi. Proses tersebut semakin dipercepat dengan praktek-praktek atau penangkapan yang tidak baik, cara penanganan yang kurang tepat, sanitasi dan higiene yang tidak memadai, terbatasnya sarana distribusi dan sistem pemasaran dan lain-lain. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia seringkali ikan ditangkap dan didaratkan tanpa pemberian es yang layak. Akibatnya, dengan suhu harian yang tinggi (25-32 o C) dan kelembaban yang tinggi (70-90 %) ikan cepat sekali rusak. Jika penanganannya tidak baik, hanya dalam jam saja ikan sudah busuk (Yunizal dan Wibowo 1998). Segera setelah ikan mati terjadi perubahan-perubahan mutu yang mengarah pada kebusukan yang disebabkan oleh aktivitas enzim, biokimia, fisik dan mikrobiologi. Hal-hal lain yang menyebabkan kebusukan pada ikan adalah kegiatan oksidatif yang merupakan penguraian lemak dan proses oksidasi, serta kegiatan fisik ikan pada saat ditangkap (Ilyas 1972).

25 Secara kronologis, pembusukan ikan berjalan melalui empat tahapan sebagai berikut (Murniyati dan Sunarman 2000) : (1) Hiperaemia Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia, biokimia, dan mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah pada pembusukan. Lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh sangat banyak jumlahnya hingga mencapai 1 2,5 % dari berat tubuhnya. Lendir itu sendiri terdiri atas glucoprotein mucin yang merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000). Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar ATP dan kreatin fosfat seperti pada reaksi aktif glikolisis. Proses kemunduran mutu ikan segar dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Diagram proses kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1972)

26 (2) Rigor mortis Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati, sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (FAO 1995a). Hilangnya kelenturan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin. Aktomiosin adalah suatu senyawa protein kompleks yang dibentuk selama otot berkontraksi. Pada mamalia, aves dan ikan, bentuk senyawa aktomiosin sebagai hasil dari penurunan jumlah ATP selama post-mortem (Sikorski 2001). Tingkat rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Rigor mortis pada ikan mulai terjadi pada bagian ekor dan terus merambat ke bagian kepala. Lama tidaknya masa rigor mortis tergantung pada beberapa faktor, yaitu (Murniyati dan Sunarman 2000): (a) Suhu lingkungan Suhu lingkungan yang rendah akan memperpanjang masa rigor mortis yang berarti dapat memperpanjang tingkat kesegaran ikan, sehingga pascapanen ikan harus menerapkan prinsip rantai dingin. (b) Cara ikan mati Ikan yang mati dengan cara dibunuh langsung, segera setelah ditangkap akan mempunyai masa rigor yang lebih lama. Hal ini berkaitan dengan kandungan glikogen yang ada pada tubuh ikan, apabila mati dalam keadaan stres maka kandungan glikogennya akan cepat habis. (c) Kandungan glikogen setelah ikan mati Kandungan glikogen yang ada pada ikan setelah mati dapat menunjukkan lamanya proses rigor mortis. Jika kandungan glikogen dalam tubuh ikan semakin lama habis, maka masa rigor akan semakin lama. Ikan yang bergerak cepat banyak mengeluarkan tenaga sebelum mati sehingga akan menurunkan kandungan glikogen dalam daging. Hal ini menyebabkan fase rigor mortis akan cepat datang dan waktunya lebih singkat. Ikan yang mengalami stress sebelum mati maka datangnya rigor akan lebih awal dan perkembangannya lebih cepat dibandingkan yang tidak mengalami stress. Jika dibandingkan dengan mamalia, rigor mortis ikan lebih cepat, yaitu sekitar 1-7 jam. Ikan yang disiangi dan disimpan dalam es, proses rigor mortis mulai jam setelah ikan mati, sedangkan untuk ikan yang tidak diberi es,

27 proses rigor mortis berlangsung 5-22 jam. Rigor mortis pada ikan juga terjadi secara beriringan dengan penurunan ph jaringan otot yang disebabkan oleh adanya asam laktat (Murniyati dan Sunarman 2000). Produksi asam laktat yang terjadi pada fase rigor mortis ini, menyebabkan ph tubuh ikan menurun dari kisaran 6,9-7,2 menjadi 6,2-6,6. Tinggi rendahnya ph awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan dipengaruhi oleh kandungan protein, asam laktat, asam fosfat, trimetilamin oksida (TMAO), dan basa-basa volatil. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka ph daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. ph ikan pada kondisi ini naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin banyak senyawa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan ph ikan (Junianto 2003). (3) Autolisis Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Daging ikan yang terdiri atas protein menyebabkan proses autolisis dapat juga disebut proteolisis. Enzimenzim ini sebetulnya sudah aktif sejak ikan masih hidup, akan tetapi ketika itu hasil aktivitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan pemeliharaan tubuh. Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan ph. Selain asam amino, autolisis menghasilkan sejumlah kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun (Murniyati dan Sunarman 2000). Autolisis berperan dalam bermacam-macam tingkat pembusukan secara keseluruhan dan sebagai media pertumbuhan bakteri (FAO 1995a). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Beberapa enzim yang berperan dalam proses ini, antara lain: katepsin (dalam daging), enzim tripsin,

28 kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan dalam proses kemunduran mutu ikan (Moeljanto 1992). (4) Pembusukan oleh bakteri Tahapan pembusukan oleh bakteri ditandai oleh jumlah bakteri yang sudah cukup tinggi akibat perkembangbiakan yang terjadi pada fase-fae sebelumnya. Kegiatan bakteri pembusuk dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis, dan kemudian berjalan sejajar. Bakteri merusak ikan lebih parah daripada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim. Sejumlah bakteri bersarang pada permukaan tubuh, insang dan di dalam perutnya. Bakteri itu secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif setelah selesainya rigor mortis yaitu setelah daging menjadi lunak dan celah-celah seratnya terisi cairan. Meskipun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang terbaik ialah hasil-hasil hidrolisis yang terbentuk selama autolisis dan senyawasenyawa nitrogen non-protein (trimetilamin oksida, urea) yang terdapat dalam daging. Daging ikan laut lebih banyak mengandung senyawa non-protein daripada ikan air tawar, dengan demikian ikan laut lebih cepat diuraikan oleh bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000). Penanganan ikan yang kurang saniter dan higienis serta penyimpanan dalam keadaan tidak dilindungi dengan baik mengakibatkan ikan sangat rentan terhadap kerusakan biologis. Kerusakan biologis dapat menyebabkan proses pembusukan pada ikan oleh bakteri berlangsung sangat cepat (Heruwati 2002). Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging. Setelah ikan mati, sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak dengan bebas. Bakteri bergerak ke seluruh tubuh pada permukaan kulit dan selama penyimpanan bakteri menyerang daging dan bergerak antara serat otot. Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses pembusukan terjadi akibat

29 adanya enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan (FAO 1995a). Hubungan yang terjadi antara laju pertumbuhan bakteri dengan kemunduran mutu ikan segar dapat dilihat pada Gambar 3. Keterangan : A-B adalah fase lag a-b adalah fase rigor mortis B-C adalah fase akselerasi b-c terjadi perubahan-perubahan organoleptik, hilangnya karakteristik ikan segar C-D adalah fase logaritmik c-d mulainya pembusukan dengan jumlah bakteri meningkat pesat sekali D-E adalah fase terminal stasioner d-e aktivitas pembusukan maksimum, ikan mendekati busuk (putrid) Gambar 3. Hubungan antara laju pertumbuhan bakteri dengan kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1983) Laju penurunan mutu dan daya awet ikan dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti yang tercantum pada Tabel 4. Secara umum dapat dinyatakan bahwa ikan berukuran besar mengalami penurunan mutu yang lebih lambat dibandingkan dengan ikan berukuran kecil, ikan berbentuk pipih dapat disimpan lebih lama dari pada ikan berbentuk bulat, ikan berlemak rendah dapat

30 dipertahankan lebih lama dari pada ikan yang berlemak tinggi pada kondisi aerobik dan ikan yang bertulang keras dapat lebih lama disimpan daripada ikan bertulang rawan (Huss 1995). Tabel 4. Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan yang disimpan dalam es Parameter Cepat Laju penurunan Ukuran Ikan kecil Ikan besar ph post mortem ph tinggi ph rendah Lambat Kandungan lemak Spesies lemak tinggi Spesies lemak rendah Ketebalan kulit Kulit tipis Kulit tebal Sumber : Huss (1995) 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan Segar Ikan yang sangat segar dan baru ditangkap mempunyai karakteristik kesegaran yang umumnya dikenal dari rupa dan baunya. Kualitas ikan selalu dikaitkan dengan kesegaran dan kerusakannya, maka perlu diketahui bahwa mutu dan kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah cara kematian dan penangkapan ikan, kondisi biologis dan lingkungan hidup ikan, suhu, pengaruh cara penanganan dan pembongkaran, serta sanitasi dan higiene Cara kematian Ikan yang telah ditangkap kemudian mati dengan segera akan lebih baik daripada ikan yang matinya perlahan-lahan karena rigor mortis akan datang lebih lambat dan berlangsung lebih lama (Ilyas 1983). Gejala ini berhubungan dengan semakin rendah cadangan glikogen otot dan semakin kecilnya ph yang disebabkan oleh banyaknya asam yang dihasilkan terutama asam laktat, misalnya ikan yang ditangkap dengan pancing dan langsung dibunuh lebih baik daripada ikan yang ditangkap dengan gillnet dan mati secara perlahan-lahan. Cara pembunuhan ikan juga dapat mempengaruhi waktu pencapaian kondisi fase rigor mortis. Penghancuran otak ikan yang telah ditangkap secara langsung dan menyeluruh menghasilkan waktu yang lebih lama untuk mencapai

31 waktu rigor mortis karena tidak ada pergerakan otot selama proses tersebut. Ikan yang menunjukkan aktivitas otot sebelum mati telah memiliki tingkat asam laktat yang tinggi. Hal ini dikarenakan otot tersebut telah lebih dahulu kekurangan oksigen. Otot ikan akan melakukan respirasi anaerobik terus menerus setelah ikan mati dan memproduksi asam laktat berlebih. Hal ini akan mempersingkat waktu ikan tersebut mencapai rigor mortis dan juga menghasilkan kondisi ikan yang lebih kaku karena lebih banyak sel yang mencapai kondisi rigor mortis pada saat bersamaan (Robb 2002). Cara penangkapan juga berpengaruh terhadap proses kemunduran mutu ikan, sehingga perlu diperhatikan penyesuaian antara metode penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan dengan jenis ikan yang ditangkap (Ilyas 1983) Kondisi biologis dan lingkungan Ikan berukuran kecil akan lebih cepat menurun mutunya dibandingkan dengan ikan yang berukuran lebih besar, untuk jenis yang sama. Tingkat kedewasaan seksual pada ikan yang ditangkap juga berpengaruh terhadap kemunduran mutunya. Ikan yang matang gonad akan lebih cepat menurun mutunya dibandingkan dengan ikan yang belum matang gonad (Robb 2002). Ikan yang tertangkap pada waktu perut penuh dengan makanan akan lebih cepat busuk daripada waktu perut tidak penuh karena enzim-enzim pencernaan sedang aktif bekerja (Ilyas 1983). Jenis makanan ikan juga berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan. Ikan dasar (demersal) akan lebih cepat busuk daripada ikan permukaan (pelagis) dan ikan yang sedang bertelur akan lebih cepat busuk daripada ikan yang tidak bertelur (Anonim 1983) Suhu Suhu air saat ikan ditangkap mempengaruhi kemunduran mutu ikan terutama pada air yang bersuhu tinggi dan ikan berada lebih lama di dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan. Perairan tropis dimana suhu air o C ikan di dalam air sudah mengalami pembusukan sebelum diangkat dari alat penangkapan, sedangkan pada daerah subtropis yang memiliki suhu 7-10 o C bahaya pembusukan tidak terlalu besar (Ilyas 1983).

32 Bakteri dapat tumbuh dalam selang suhu yang besar yaitu dari 0-45 o C. Suhu ikan dapat naik antara o C di dalam air. Perlakuan suhu rendah yang diberikan pada saat pembusukan, kurang efektif dalam hubungannya dengan pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Nasran 1972). Suhu yang rendah dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme, tetapi pertumbuhan tersebut dan reaksi biokimia masih berpengaruh terhadap proses pembusukan. Tidak semua mikroorganisme pada kondisi tersebut dapat terbunuh. Beberapa diantaranya hanya dapat dihambat pertumbuhannya. Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu yang digunakan semakin rendah, maka pertumbuhan bakteri akan semakin dihambat. Pengukuran suhu ikan diusahakan sedikit mungkin memegang bagian ikan agar panas dari tangan tidak banyak berkonduksi ke dalam ikan dan pengamatan dilakukan pada beberapa ekor ikan secara acak (random) dalam satu wadah serta dari bagian yang menurut perkiraan paling panas (Ilyas 1983). Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan Suhu Kegiatan Bakteri Mutu Ikan o C Luar biasa cepat Cepat menurun, daya awet sangat pendek (3-10 jam) 10-2 o C Pertumbuhan kurang Mutu menurun kurang cepat cepat, daya awet pendek 2-(-1) o C Pertumbuhan bakteri jauh berkurang (2-5 hari) Penurunan mutu agak dihambat, daya awet wajar (3-10 hari) -1 o C Kegiatan dapat ditekan Sebagai ikan basah, penurunan suhu minimum sehingga daya awet maksimum 5-20 hari -1-(-10) o C Ditekan tidak aktif Penurunan mutu minimum, tekstur dan rasa ikan rendah, daya awet panjang 7-30 hari -18 o C dan lebih Ditekan minimum, rendah bakteri tersisa tidak aktif Sumber : Ilyas (1983) Mutu ikan beku lebih baik, daya awet sampai setahun

33 Penanganan ikan yang baik harus memperhatikan suhu ikan, karena kenaikan suhu berkorelasi positif dengan pertumbuhan bakteri dan peningkatan kadar TVB pada ikan merupakan faktor koreksi terhadap kesegarannya. Jika suhu yang digunakan dalam penanganan semakin tinggi, maka kecenderungan pertumbuhan bakteri dan peningkatan nilai TVB akan semakin cepat. Sebaliknya, semakin rendah suhu yang digunakan akan menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat dan kadar TVB dalam tubuh ikan juga semakin kecil bila dibandingkan dengan penggunaan suhu tinggi. Standar suhu penanganan ikan segar adalah sebagai berikut (Anonim 1988) : (1) pada penyortiran, suhu yang digunakan maksimal 5 o C; (2) pada pencucian, suhu yang digunakan maksimal 10 o C; (3) pada penimbangan, suhu yang digunakan maksimal 5 o C; (4) pada penyimpanan sementara, suhu yang digunakan maksimal 5 o C; (5) pada pengemasan, suhu dalam pengemasan antara 0-2 o C Pengaruh cara penanganan dan pembongkaran Ikan yang bermutu dan memiliki daya awet yang tinggi dapat diperoleh dengan cara bekerja cepat, cermat, hemat dan bersih serta pada suhu yang rendah/pendinginan ikan (Ilyas 1983). Pemahaman yang mendalam akan prinsip penanganan yang baik bagi nelayan dan pengusaha dapat membantu mempertahankan atau memperpanjang mutu ikan. Penyediaan sarana yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan prinsip cepat, cermat, bersih perlu diperhatikan untuk mendapatkan mutu ikan yang baik. Pembongkaran ikan pada kapal penangkapan harus dilakukan dengan hati-hati dan sedapat mungkin tidak menggunakan sekop atau garpu untuk menghindari luka atau memar pada ikan. Ikan-ikan jangan dibiarkan terkena sinar matahari langsung (Moeljanto 1992) Sanitasi dan higiene Kebersihan dalam penanganan ikan mengandung beberapa pengertian, antara lain membuang sumber pembusukan dari ikan, seperti lendir, darah, bakteri dan insang, isi perut, mencuci bersih ikan, cepat mendinginkan dan menyimpannya, melindungi ikan dari kemungkinan pencemaran dari air selokan di bawah palka atau di darat dari panas dan serangga. Kebersihan dan higiene

34 karyawan, palka, alat-alat yang digunakan dan lain-lain perlu ditingkatkan (Ilyas 1983). Sanitasi dan higiene dalam penanganan ikan sangat penting. Contoh yang dapat diambil yaitu pada saat sortasi dan penyiangan. Selama sortasi dan penyiangan diusahakan sekecil mungkin terjadi kontaminasi. Hal ini dapat dicapai dengan menyarankan para pekerja untuk menggunakan sarung tangan (Junianto 2003). 2.5 Penanganan Ikan merupakan salah satu komoditas pangan yang cepat mengalami proses pembusukan (perishable food). Oleh karena itu diperlukan penanganan yang cermat dan cepat dengan memperhatikan sanitasi dan higiene yang baik dengan menerapkan sistem rantai dingin (cold chain system). Penanganan ikan pada dasarnya ditujukan untuk mempertahankan kesegaran ikan yang harus dilakukan sejak ikan diangkat dari air sampai di tangan konsumen (from catch to table). Perlakuan dan penerapan teknik penanganan disesuaikan menurut jenis dan tujuan pemanfaatannya baik yang berasal dari hasil tangkapan maupun hasil budidaya. Penanganan ikan merupakan tahapan perlakuan yang diberikan pada ikan sejak ikan ditangkap atau diangkat dari perairan, didaratkan atau diangkat sampai ke pabrik pengolahan atau dijual pada konsumen. Tujuan utama penanganan ikan segar adalah mengusahakan agar kesegaran ikan setelah tertangkap dapat dipertahankan selama mungkin (Irawan 1995). Metode pendinginan merupakan cara yang paling umum diterapkan dalam penanganan ikan segar karena dianggap paling memuaskan untuk mempertahankan mutu kesegaran bila dilakukan dengan cara yang benar, yaitu dengan prosedur yang cepat, tepat dan cermat dan disertai dengan upaya menjaga kebersihan, sanitasi dan higiene (Heruwati 2002). Penggunaan es untuk penanganan ikan segar sebagai media pendinginan adalah paling umum digunakan dan dianggap paling efektif. Penerapan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk penanganan ikan ditetapkan batas kritis suhu ikan sebesar 4,5 o C dengan waktu tidak lebih dari 4 jam. Hal ini

35 hanya bisa dicapai dengan penggunaan es keping (flake ice). Perbandingan es : ikan yang dijadikan sebagai acuan adalah 1:2 atau 1:1 untuk lama perjalanan 18 hari (FAO 1995b). Kebutuhan pendinginan ini dapat dihitung berdasarkan pengetahuan tentang panas dari ruang penyimpanan (palka), lama perjalanan dan suhu lingkungan (FAO 1992). Selain medium pendingin, untuk mempertahankan suhu ikan dan sebagai tempat penyimpanan diperlukan suatu sarana berupa wadah yang kedap terhadap panas (Ilyas 1983). Peti pendingin (coolbox) terutama digunakan untuk menyimpan hasil tangkapan dalam jumlah sedikit, seperti hasil tangkapan nelayan skala kecil, sedangkan palka berinsulasi biasanya digunakan untuk penyimpanan hasil tangkapan dalam jumlah yang banyak. Hasil tangkapan ikan nelayan tradisional sampai saat ini belum ditangani dengan baik dan benar. Hal ini mengakibatkan penurunan mutu atau tingkat kehilangan semakin tinggi akibat busuk atau rusak dan berdampak terhadap tingkat pendapatan nelayan semakin rendah. Upaya mempertahankan kesegaran ikan sangat penting kaitannya dengan harga jual, peningkatan pendapatan nelayan, nilai gizi dan konsumsi ikan dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan, disamping itu untuk menekan tingkat kehilangan atau losses (Heruwati 2002). Penanganan ikan di setiap tahapan proses produksi dari mulai penanganan ikan di atas kapal, cara pembongkaran ikan, penanganan ikan selama distribusi dan penanganan ikan selama penjualan di tingkat pengecer perlu diperhatikan Penanganan ikan di atas kapal penangkap ikan Proses atau prosedur penanganan ikan di atas kapal harus dilakukan dengan baik supaya kualitas ikan yang diperoleh memuaskan. Tahapan penanganan ikan di atas kapal (Junianto 2003) adalah sebagai berikut : (1) Setelah tertangkap secepatnya ikan dibunuh supaya ikan tidak melakukan perlawanan yang menyebabkan ikan luka atau memar akibat benturan. Luka atau memar pada ikan memudahkan ikan terkontaminasi oleh bakteri sehingga proses pembusukan akan semakin cepat. (2) Sortasi dilakukan untuk memisahkan jenis, ukuran dan mutu sehingga memudahkan dalam proses penjualan di darat dan memperkecil kontaminasi bakteri atau perlakuan fisik saat ikan disortir oleh pembeli.

36 (3) Pencucian dapat dilakukan bersamaan dengan sortasi atau setelah sortasi. Pencucian yang baik dilakukan dengan menyemprotkan air laut bersih atau air tawar dingin yang bersih untuk membebaskan ikan dari bakteri pembusuk. (4) Penirisan dapat dilakukan dengan menempatkan keranjang ikan di atas dek dan diusahakan ikan jangan sampai terkena sinar matahari secara langsung. (5) Pendinginan menggunakan es curai, dengan cara penyusunan berlapis-lapis antara ikan dan es dengan perbandingan es dan ikan minimal 1:1. Pendinginan dilakukan dalam wadah berinsulasi atau styrofoam. Penyimpanan ikan harus disertai dengan es atau air dingin bersuhu 0-5 o C secara saniter dan higienis Pembongkaran ikan Pembongkaran ikan pada suatu pelabuhan berperan penting dalam penanganan ikan. Baik buruknya kondisi tempat pembongkaran, peralatan yang digunakan dan kondisi kesehatan karyawan akan sangat berpengaruh pada kesegaran ikan. Pembongkaran ikan dalam palka saat ikan memasuki pelabuhan (Batubara 1989), harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) pembongkaran harus dilaksanakan pada waktu pagi hari, untuk menghindari pengaruh langsung matahari; (2) mata rantai pendinginan harus tetap terjaga, artinya di tempat pembongkaran harus dipersiapkan wadah-wadah yang diisi dengan air dingin; (3) cara pengangkatan ikan harus sedemikian rupa, sehingga badan ikan tidak tertekuk; (4) tempat-tempat yang runcing dan tajam yang akan dilalui oleh ikan harus diberi lapisan pelunak, sehingga tidak merusak kulit ikan. Hasil tangkapan yang berbeda hari atau waktu penangkapannya sebaiknya dipisahkan pada saat membongkar muatan kapal, pemakaian alat-alat seperti sekop, garpu atau sendok harus dihindari karena dapat menyebabkan kerusakan pada ikan (Anggawati 1993). Cara pembongkaran yang lain harus diperhatikan untuk tetap mempertahankan kesegaran ikan, yaitu memisahkan es yang belum mencair, membongkar ikan dan menempatkannya dalam wadah, melakukan sortasi bila di atas kapal belum dilakukan sortasi, pencucian ikan dalam

37 keranjang dengan air tawar atau air laut dingin yang bersih dan diberi es diatasnya (Junianto 2003) Penanganan ikan di darat Penanganan ikan segar di darat berkaitan erat dengan tata niaga pemasarannya. Ikan segar melalui beberapa tahapan penanganan untuk sampai ke tangan konsumen akhir, yaitu penanganan di TPI (tempat pelelangan ikan), penanganan di tingkat pedagang dan penanganan selama pengangkutan dan distribusi. Secara umum, tata niaga pemasaran ikan segar dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pasar Induk Pabrik Pengolahan Supermarket Pasar Pengecer Pedagang Keliling Konsumen Akhir Gambar 4. Skema tata niaga pemasaran ikan segar (Junianto 2003) Kesegaran ikan laut yang didaratkan tergantung pada perlakuan pertama, kecepatan dalam penanganan dan cara penyimpanan di kapal. Ikan dapat menjadi lebih segar jika disimpan dalam pecahan-pecahan es atau pendingin lainnya (Junianto 2003). Prinsip penanganan ikan segar di darat dengan menerapkan suhu rendah memakai es, pendinginan dalam ruang dingin, atau dengan air yang didinginkan, ketentuan sanitasi dan higiene, dan memperhatikan faktor waktu. Oleh karena itu, setiap pengumpul perlu dilengkapi sarana dan prasarana agar ikan tetap segar seperti air bersih, pendinginan (es), wadah penanganan dan penyimpanan, serta sarana pengepakan untuk pengiriman barang (Ilyas 1983).

38 2.5.4 Penanganan ikan selama pengangkutan dan distribusi Keberhasilan pengangkutan ikan segar adalah mempertahankan tingkat kesegaran ikan semaksimal mungkin selama pengangkutan berlangsung. Tingkat keberhasilan pengangkutan tersebut berkorelasi positif dengan nilai jual ikan, yaitu harga jual akan tetap tinggi jika ikan masih tetap segar. Suhu ikan dijaga agar tetap rendah selama pengangkutan dan distribusi, alas wadah harus dilapisi es halus kemudian lapisan ikan yang ditaburi es disusun di atasnya. Ikan harus dilapisi lapisan es yang tebal di atas dan di bawah tumpukan peti (Anggawati 1993). Banyaknya es atau ketebalan es tergantung dari jarak atau lama pengangkutan dan distribusi. Sinar matahari secara langsung harus dihindari selama pengangkutan dan distribusi karena mengakibatkan kenaikan suhu ikan Penanganan tingkat pedagang dan pengecer Perlakuan pendinginan yang dilakukan tingkat pedagang sangat bervariasi, tergantung dari sarana dan prasarana yang dimilikinya sehingga ikan yang diperjualbelikan oleh pedagang dalam satu pasar atau pasar yang lain mempunyai tingkat kesegaran yang berbeda meskipun didatangkan dari TPI yang sama. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan untuk mendukung penanganan ikan yang baik di tingkat pedagang adalah lokasi pemasaran, sarana air bersih, dan tersedianya depot es (Murdiyanto 2002). Lokasi pemasaran harus ditata rapi, terutama sistem drainasenya. Sistem drainase yang kurang baik akan menyebabkan terjadinya genangan air sehingga mengundang banyak masalah, seperti lalat-lalat berdatangan, bau yang tidak menyenangkan, dan tempat penjualan becek. Kondisi ini menjadi sumber kontaminan potensial pada ikan yang dipasarkan (Anggawati 1993). Selama penjualan pengeceran, suhu ikan harus dipertahankan tetap dingin. Suhu sekitar 0 o C dengan cara melapisi dengan es curai. Ikan harus ditempatkan khusus, terpisah dari produk pangan lainnya, harus dilindungi dari pengaruh panas matahari, debu, serangga dan kotoran lainnya. Ikan-ikan disusun rapi dalam lapisan yang tipis, di atas dan di bawahnya ditaburi es curai dan diusahakan tidak terlalu sering tersentuh oleh tangan (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005b).

39 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember Penelitian lapang dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Manggar, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Uji total jumlah mikroba (TPC), nilai ph dan TVB dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian proksimat dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian berhubungan dengan pengamatan, pengujian mutu ikan baik secara sensoris (score sheet organoleptik), pengujian kimiawi-biokimiawi (analisis proksimat, kadar TVB dan ph) dan analisis mikrobiologis Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian antara lain coolbox sebagai wadah penyimpanan botol sampel, botol film, termometer untuk pengukuran suhu, score sheet organoleptik, mesin penggiling atau blender, timbangan kue, timbangan digital, alat untuk analisis kadar air (oven, desikator, cawan) dan tanur untuk analisis kadar abu. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kadar protein, yaitu tabung kjeltec, kjeltec system, erlenmeyer, buret dan alat untuk analisis kadar lemak yaitu alat ekstraksi soxhlet, kertas saring, selongsong lemak, labu lemak, tabung soxhlet, oven, dan desikator. Alat-alat yang digunakan untuk analisis TVB, yaitu kertas saring, cawan conway, pipet, inkubator, magnetic stirrer, buret; dan untuk analisis TPC, yaitu labu erlenmeyer, pipet, cawan petri, tabung reaksi, inkubator, bunsen, gelas piala, dan alat hitung bakteri (bakteri Quebec). Alat-alat yang digunakan untuk pengukuran ph, yaitu blender, ph-meter, homogenizer, gelas kimia, dan ph indikator universal.

40 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii), es, gelly ice, dan media pertumbuhan bakteri. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kadar protein, yaitu tablet kjeltab, H 2 SO 4, air, asam borat, HCl 0,1 N, dan analisis kadar lemak yaitu pelarut lemak (petroleum benzene). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis TVB, yaitu TCA (trikhloroacetic acid) 7 %, larutan K 2 CO 3, TCA 5 % (blanko), HCl 0,02 N, NaOH 0,01 N, asam borat dan untuk analisis TPC, yaitu larutan garam 0,85 % steril, media agar, akuades, dan alkohol 95 %. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengukuran nilai ph adalah larutan buffer ph 7 dan akuades Metode Penelitian Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah mengetahui tentang penanganan (handling) yang dilakukan oleh para nelayan dimulai sejak ikan pertama kali diangkat dari laut (post harvest), selama penyimpanan dalam fiber box ketika di atas kapal sampai tiba di darat (pengumpul) dan selama pengiriman ikan ke Tanjung Pandan sampai ke Jakarta untuk mengetahui karakteristik mutu ikan tersebut dengan menggunakan analisis kesegaran ikan. Penelitian ini didasarkan pada survey lapangan dalam mengamati proses penanganan ikan pasca-panen, khususnya ikan tenggiri dengan pengisian kuesioner, wawancara, dan ikut serta dalam proses penangkapan ikan Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi umum perikanan di Kecamatan Manggar khususnya penangkapan yang meliputi berbagai jenis ikan yang ditangkap, alat tangkap yang digunakan dan tahap-tahap penanganan ikan oleh nelayan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Tahap ini dilakukan dengan cara mengisi kuesioner (Lampiran 1) yang ditujukan kepada nelayan untuk mempelajari sampai sejauh mana nelayan mengetahui proses penanganan ikan laut segar dan ikut langsung bersama nelayan selama proses penangkapan ikan. Kuesioner ini meliputi data responden dan halhal yang berkaitan dengan cara penanganan ikan segar.

41 Penelitian Utama Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung pengaruh penanganan ikan terhadap kehilangan atau kerusakan hasil perikanan tangkap khususnya ikan tenggiri. Pada penelitian utama digunakan dua perlakuan yaitu: (1) metode penanganan, yaitu nelayan dan peneliti (es dan ikan adalah 1:1); dan (2) proses penanganan sejak ikan ditangkap, sampai di darat, pengumpul, saat akan berangkat ke Jakarta hingga tiba di Jakarta dengan dua kali ulangan. Penelitian menitikberatkan pada metode organoleptik untuk melihat perubahan tingkat kesegaran ikan dan analisis laboratorium (analisis kimia, proksimat dan jumlah bakteri) terhadap sampel yang diambil pada setiap proses penanganan yang berfungsi juga sebagai titik pengamatan. Tiap titik pengamatan masingmasing diambil satu ekor ikan dan dagingnya diambil kemudian diblender serta dimasukkan dalam botol sampel (botol film). Botol sampel disimpan dalam coolbox yang berisi gelly ice untuk analisis proksimat, uji TVB dan TPC serta penentuan ph. Hasil pengamatan di laut akan diperoleh data organoleptik ikan pada tiap titik pengamatan. Peneliti juga melakukan pengamatan penanganan ikan segar yang dilakukan sendiri dengan menggunakan perbandingan es : ikan adalah 1:1. Diagram alir proses penanganan ikan laut segar dapat dilihat pada Gambar 5. Ikan ditangkap* Ikan sampai di darat* Pengumpul* Transportasi atau distribusi Penyimpanan Saat berangkat ke Jakarta* Transportasi atau distribusi Sampai di Jakarta* Keterangan: *) proses penanganan yang dijadikan titik pengamatan Gambar 5. Diagram alir proses penanganan ikan laut segar

42 Keadaan Riil Proses Penangkapan Proses Handling di Laut dan di Darat Identifikasi Perlakuan Penyebab Perubahan Mutu dan Tingkat Kesegaran Pengamatan Penetapan Perlakuan (Titik Pengamatan) Analisis Laboratorium Penanganan ikan yang baik Organoleptik Analisis Proksimat Analisis Jumlah Bakteri Analisis Kimia (TVB, ph) Data Karakteristik Mutu dan Tingkat Kesegaran Ikan Keterangan: : Penelitian Pendahuluan : Penelitian Utama Gambar 6. Kerangka pemikiran penelitian

43 3.4. Pengamatan Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi hasil tangkapan, penangkapan ikan di laut dan proses penanganan (laut dan darat), uji organoleptik (penampakan) pada saat ikan baru ditangkap sampai tiba di Jakarta. Uji ph, uji proksimat (analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), uji TVB dan uji mikrobiologi yaitu TPC mulai dilakukan pada saat ikan tiba di laboratorium (darat) pada setiap titik pengamatan (proses penanganan) yang telah ditentukan Uji organoleptik (BSN 2006) Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk mengukur daya penerimaannya terhadap ikan sampel. Sasaran alat indera pada pengujian organoleptik ikan segar yang ditetapkan oleh SNI adalah konsistensi, penampakan mata, insang, keadaan isi perut serta daging ikan. Metode yang digunakan dalam pengujian organolpetik adalah scoring test yaitu menggunakan skala angka. Skala angka terdiri dari angka 1-9 dengan spesifikasi untuk tiap angka yang dapat memberikan pengertian tertentu bagi panelis. Nilai pengujian dicantumkan oleh panelis pada score sheet (lembar penilaian) (Lampiran 2). Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh panelis, antara lain: tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik; konsisten dalam mengambil keputusan; siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian; berbadan sehat; bebas dari penyakit THT, mata/buta warna, dan gangguan psikologis; tidak menolak contoh yang akan diuji; tidak merokok, minum-minuman keras dan makan permen sebelum pengujian; jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 6 orang (panelis standar). Data yang diperoleh kemudian dianalisis kesegaran ikannya dengan kriteria sebagai berikut: Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9 Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6 Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3

44 Analisis kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air dilakukan berdasarkan perbedaan bobot contoh sebelum dan sesudah pengeringan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven o C selama lebih kurang 30 menit dan didinginkan dalam desikator. Contoh ditimbang sebanyak 2,0-3,0 gram dan dipanaskan dalam oven pada suhu o C selama kurang lebih 3-5 jam sampai beratnya konstan. Contoh yang sudah dikeringkan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: % Kadar Air = B C B A x 100 % A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan daging ikan (gram) C = Berat cawan porselin dan daging ikan setelah dikeringkan (gram) Analisis kadar abu (AOAC 1995) Contoh ditimbang sebanyak (2-3) gram dalam cawan kering yang telah diketahui beratnya. Lalu dikeringkan dalam oven selama 6 jam dengan suhu 120 o C. Cawan berisi sampel yang telah didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang, kemudian sampel diabukan dalam tanur bersuhu 600 o C sampai diperoleh abu berwarna keputih-putihan. dalam desikator dan setelah dingin beratnya ditimbang. Cawan beserta abu dimasukkan ke Cawan beserta abu dimasukkan kembali ke dalam tanur selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang kembali. Perlakuan ini diulang sampai diperoleh berat abu yang konstan. Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: % Kadar Abu = C A B A x 100 % A = Berat cawan abu porselin kosong (gram) B = Berat cawan abu porselin dan daging ikan (gram) C = Berat cawan abu porselin dan daging ikan setelah dimasukkan ke dalam tungku

45 Analisis kadar protein (AOAC 1995) Cara penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode kjeldahl. Prinsip analisis protein dengan metode kjeldahl meliputi destruksi, destilasi dan titrasi. Pada tahap destruksi, sampel ditimbang sebanyak 0,3 gram untuk daging kering sedangkan untuk daging basah sebanyak 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Satu buah tablet kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H 2 SO 4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 o C ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai warna larutan menjadi bening. Tahap destilasi dimulai dengan persiapan (pemanasan) alat kjeltec system. Persiapan dilakukan dengan membuka kran air dan melakukan pengecekan alkali dan air dalam tangki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada tempatnya dan dihubungkan dengan selang, selanjutnya pintu pengaman tabung ditutup rapat. Tombol power pada kjeltec system ditekan yang dilanjutkan dengan menekan tombol steam dan ditunggu beberapa lama sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan dan tabung kjeltec serta erlenmeyer dikeluarkan dari alat kjeltec system. Analisis dimulai setelah persiapan selesai dilakukan, yaitu dengan sampel yang telah didestruksi. Tabung yang berisi daging ikan yang sudah didestruksi diletakkan ke dalam kjeltec system, lalu pintu pengaman tabung ditutup. Erlenmeyer yang diberi asam borat diletakkan pada tempatnya sambil memasukkan selang ke dalamnya, kemudian tombol alkali ditekan dan ditunggu hingga lampu tombol tersebut berhenti menyala, lalu tombol steam ditekan. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang berisi asam borat mencapai 200 ml. Tahap titrasi dilakukan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer sampai berubah warna menjadi pink. Selanjutnya kadar protein dari daging ikan dapat diperoleh dengan perhitungan menggunakan: % Nitrogen = ( ml HCl daging ikan ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14 x 100 % mg sampel % Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

46 Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Cara penentuan kadar lemak adalah menggunakan metode soxhlet. Labu yang sesuai ukurannya dengan alat ekstraksi soxhlet dikeringkan dalam oven lalu didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang, kemudian disambungkan dengan tabung soxhlet. Sampel seberat 3 gram (W 1 ) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W 2 ) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (petroleum benzen). Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 menggunakan listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi, pelarut akan tertampung diruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W 3 ). Kadar lemak pada sampel diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: o C % Kadar Lemak = W 3 W 2 W 1 x 100 % Keterangan: W 1 = Berat sampel (gram) W 2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W 3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) Penentuan nilai ph (Apriyantono et al. 1989) Cara mengukur ph yang praktis adalah dengan menggunakan ph-meter dengan cara kalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram digiling dan dihomogenisasi dengan 90 ml air destilata. Kemudian ph homogenate diukur dengan ph meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar ph 4 dan 7.

47 Penetapan Total Volatile Base (TVB) (AOAC 1995) Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (ammonia, mono-, di-, dan trimetilamin) yang terdapat dalam ekstrak sampel. Senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan asam klorida. Sampel sebanyak 25 gram ditambahkan 75 ml larutan TCA 7 % (W/V) kemudian diblender selama 1 menit dan disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 ml dimasukkan ke dalam inner chamber cawan Conway lalu diletakkan tutup cawan dengan posisi hampir menutupi cawan. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri menggunakan pipet ukuran 1 ml yang lain, kemudian ditambahkan 1 ml larutan K 2 CO 3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K 2 CO 3 tidak tercampur. Cawan segera ditutup yang sebelumnya telah diberi vaselin, kemudian digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Selain itu, blanko dikerjakan dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 5 %. Kedua cawan Conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 37 o C selama 24 jam. Setelah disimpan, larutan asam borat dalam inner chamber cawan Conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N (V o ) dengan menggunakan magnetic stirrer diaduk sehingga berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan Conway yang berisi sampel dititrasi dengan larutan yang sama sehingga berubah menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko (V 1 ). mgn TVB 100g 14(100 + W ) X ( Vo V1) X = X 5 M Keterangan: V 1 = Volume NaOH 0,01 M yang dibutuhkan untuk titrasi Vo = Volume titrasi blanko M = Berat sampel W = Jumlah kadar air dalam bahan 14 = Bobot atom N

48 Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987) Prinsip kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan mencampurkan sebanyak 25 gram sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 %, kemudian diblender sampai larutan homogen. Campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik, yaitu tutup cawan diletakkan dibagian bawah. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 35 o C dan diinkubasi selama 48 jam, selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara koloni. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan angka kedua kemudian dikalikan dengan satu per faktor pengencerannya. Jika angka yang ketiga sama atau lebih besar dari 5, maka dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Dua Faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (Two Factors Experiments in Completely Randomized Design). Faktor yang digunakan ada dua

49 yaitu faktor metode penanganan (A) dan faktor tahap penanganan (B). Faktor (A) terdiri dari dua taraf (penanganan oleh nelayan dan penanganan oleh peneliti), sedangkan faktor (B) terdiri dari lima taraf (ikan ditangkap (P1), ikan sampai di darat (P2), pengumpul (P3), saat berangkat ke Jakarta (P4) dan ketika sampai di Jakarta (P5). Model perancangan yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya 2002): Y ijk = µ + α i + β j + (αβ) ij + ε ijk Keterangan: Y ijk = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k µ = Komponen aditif dari rataan = Pengaruh utama faktor A α i β j = Pengaruh utama faktor B (αβ) ij = Komponen interaksi dari faktor A dan Faktor B ε ijk = Pengaruh acak yang menyebar Normal (0,σ 2 ε ) Jika hasil uji analisis ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada selang 95 % (α=0,05) maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan sebagai uji lanjutan untuk mengetahui adanya perbedaan pada perlakuan yang diberikan. Rumus uji Duncan adalah: R р = q (Σ p;dbs;α) kts r Keterangan: R р = nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan P = perlakuan dbs = derajat bebas kts = jumlah kuadrat tengah r = ulangan Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai organoleptik, TPC, TVB dan ph dicari nilai rata-ratanya. Rata-rata nilai organoleptik, jumlah total bakteri, TVB dan nilai ph dapat dicari dengan menggunakan rumus (Walpole 1975):

50 X n i= = 1 n Xi Keterangan: X = Nilai rata-rata Xi = Nilai X ke i N = Jumlah data Data yang diperoleh dari hasil uji kesegaran ikan (organoleptik) dianalisis dengan analisis nonparametrik menggunakan uji Kruskal-Wallis. Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993): 2 12 H = Ri 3( + 1) ( 1) n n n + ni H H = Pembagi Τ Pembagi = 1 ( n 1)( n + 1) n T = (t - 1) (t + 1) Rumus uji Keterangan: H = Simpangan baku H = H terkecil Ri = Jumlah ranking pada perlakuan ke-i Ni = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i n = Jumlah total pengamatan t = Banyaknya pengamatan yang seri dalam kelompok Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993): Ri Rj >< Z α 2ρ k ( N + 1) x 6 k( k +1) ρ = 2

51 Keterangan: Ri = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j k = Banyaknya perlakuan n = Jumlah total data Data yang diperoleh hasil uji proksimat (kadar air, lemak, protein, dan abu) dianalisis dengan pengujian-t beda rata-rata (nilai tengah) dua sampel yang berhubungan. Rumus pengujian-t adalah sebagai berikut (Jogiyanto 2008): t = D S D n dengan: D = n D S D ( ) 2 D D = n n 1 2 Keterangan: D = perbedaan nilai rata-rata dua sampel S D = perbedaan deviasi standar dua sampel n = jumlah observasi di dalam sampel ke-1 atau sampel ke-2.

52 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan diperoleh data mengenai alat tangkap yang digunakan nelayan Kecamatan Manggar, data mengenai proses penanganan (handling) yang dilakukan nelayan beserta alat yang digunakan mulai dari saat ikan ditangkap sampai ikan tiba di pengumpul. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara langsung kepada nelayan setempat, serta pengamatan langsung ke lapangan dengan ikut dalam proses penangkapan ikan di perairan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur Alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh data bahwa sebagian besar alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur adalah sejenis jaring insang (gillnet). Jaring insang yang digunakan berasal dari bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kecamatan Manggar dan sebagian merupakan milik nelayan. Kualitas bahan jaring yang dimiliki setiap nelayan berbeda-beda. Hal ini turut mempengaruhi ikan hasil tangkapan dan kualitas jaring. Jaring yang terbuat dari bahan berkualitas bagus (bahan sutra) tidak mudah robek sehingga ikan target terperangkap oleh jaring dengan mudah. Jaring insang adalah salah satu dari jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring monofilamen atau multifilamen yang dibentuk menjadi empat persegi panjang. Bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (singkers), sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dengan keadaan tegak menghadang biota perairan. Jumlah mata jaring ke arah horizontal atau ke arah Mesh Length (ML) jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah Mesh Depth (MD) sehingga lebar lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya (Martasuganda 2004). Target penangkapan dengan jaring insang adalah segala jenis ikan, antara lain ikan demersal, ikan karang, maupun ikan pelagis. Ikan dapat tertangkap

53 disebabkan bagian penutup insang terjerat atau tergulung oleh mata jaring. Jaring insang mempunyai keuntungan dan kekurangan. Keuntungan jaring insang yaitu dapat dioperasikan di daerah terumbu karang dan cukup selektif terhadap ikan tangkapan, sehingga mata jaring yang digunakan perlu disesuaikan dengan ikan target. Kekurangannya adalah jaring mudah rusak. Jenis ikan yang ditangkap menggunakan jaring insang di daerah ini antara lain tongkol, tenggiri, kepiting, kembung, dan ikan-ikan kecil lainnya. Jaring insang yang umum digunakan dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Jaring insang (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006) Jaring insang termasuk jaring yang mudah rusak atau robek setelah digunakan sehingga nelayan memanfaatkan waktu perjalanan pulang ke darat dengan memperbaiki mata jaring yang rusak agar bisa digunakan lagi. Rusaknya mata jaring disebabkan nelayan sulit melepaskan ikan dari mata jaring akibat tutup insangnya tersangkut mata jaring pada saat ikan tertangkap. Kegiatan ini juga dilakukan pada saat musim bulan terang. Pada musim ini nelayan juga memperbaiki mesin kapal yang rusak dan tidak turun ke laut karena sedang tidak musim ikan.

54 4.1.2 Persiapan penangkapan ikan Sebagian besar nelayan Kecamatan Manggar melakukan penangkapan dengan kapal-kapal berkapasitas 3-5 Gross Ton (GT). Sesaat sebelum kapal berangkat, nelayan membeli es balok di pabrik es bernama Long Pan dan bahan bakar berupa solar yang berada di sekitar pelabuhan. Es balok yang dibawa berkisar 3-5 balok yang disimpan dalam fiber box sampai digunakan untuk pengesan hasil tangkapan. Kapal berangkat rata-rata berkisar pada pukul waktu Indonesia bagian Barat (WIB) siang sampai dengan pukul WIB pagi. Daerah penangkapan rata-rata ditempuh dalam waktu kurang lebih 3-3,5 jam. Penentuan daerah ini berdasarkan informasi banyaknya ikan target dari rekan nelayan lain atas hasil tangkapan sebelumnya. Penangkapan pertama dilakukan pada bulan Mei dengan daerah penangkapan di sekitar Pulau Nangka berjarak 27 mil dan penangkapan kedua dilakukan pada bulan November di sekitar daerah Pulau Buku Limau berjarak 21,12 mil. Nelayan mempersiapkan jaring apabila telah sampai di daerah penangkapan yang dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Persiapan jaring Pelampung tanda diturunkan setelah kapal tiba di daerah penangkapan (fishing ground). Pelampung ini direkatkan pada tongkat kayu panjang dan ujung atasnya dilengkapi lampu kerlap-kerlip sebagai tanda bagi kapal lain agar tidak menabrak jaring insang tersebut. Jaring mulai diturunkan setelah pelampung tanda diturunkan dengan posisi vertikal (lurus) di sepanjang perairan. Panjang jaring sekitar 2 mil yang dapat dilihat pada Gambar 9. Proses penurunan jaring

55 ini memakan waktu ± 1 jam dan dibiarkan di dalam perairan selama ± 4 jam tergantung panjang pendeknya jaring. Jaring yang semakin panjang maka semakin lama pula waktu yang digunakan untuk menurunkan jaring ke dalam perairan. Gambar 9. Proses penebaran jaring Proses penarikan jaring (hauling) dilakukan setelah jaring dibiarkan selama ± 4 jam atau sampai timbulnya bulan. Jaring diatur dengan baik seperti semula setelah ikan dilepaskan dari jaring (Gambar 10) untuk memudahkan operasi penangkapan berikutnya. Proses hauling membutuhkan waktu 3-5 jam tergantung panjang pendeknya jaring yang ditebar dan dilakukan paling banyak oleh 3 orang. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 10. Jaring yang disusun setelah dipakai

56 Gambar 11. Proses penarikan jaring (hauling) Ikan yang terjebak pada jaring dilepaskan dengan cepat (Gambar 12). Nelayan akan melepaskan ikan dari jaring dengan paksa apabila sulit dilepaskan sehingga terkadang fisik dari ikan agak rusak dan kemungkinan jaring menjadi robek. Fisik ikan yang rusak pada saat penanganan di atas kapal akan mempercepat proses kemunduran mutu ikan. Gambar 12. Pengambilan ikan dari jaring Jaring yang robek setelah dipakai akan diperbaiki selama perjalanan pulang ke darat agar bisa digunakan lagi pada siang harinya. Proses perbaikan jaring yang robek dapat dilihat pada Gambar 13. Jaring yang robek juga biasanya diperbaiki pada saat nelayan tidak turun ke laut atau saat bulan terang.

57 Gambar 13. Jaring yang sedang diperbaiki Proses penanganan ikan Penanganan (handling) ikan segar sejak ditangkap sampai ke konsumen berperan sangat penting. Tujuan utamanya adalah mengusahakan agar kesegaran ikan setelah tertangkap dapat dipertahankan selama mungkin (Irawan 1995). Proses penanganan ikan tenggiri dimulai setelah seluruh jaring terangkat. Ikan dikumpulkan di atas kapal selama proses hauling dan sesekali disiram dengan air laut untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu. Ikan yang tertangkap seperti tenggiri, tongkol, kembung dan ikan-ikan kecil lainnya dimasukkan ke dalam fiber box. Fiber box yang digunakan dapat menampung ikan sebanyak ± 100 kg. Ikan hasil tangkapan yang disusun dalam fiber box dapat dilihat pada Gambar 14. Ikan disusun berlawanan arah dan ditumpuk dengan cara mengisi ruang kosong diantara ikan yang berada dibawahnya. Gambar 14. Ikan disusun bertumpuk dan akan diberi es

58 Semua ikan yang telah tersusun di dalam fiber box diberi hancuran es balok yang diletakkan hanya pada bagian atas ikan. Selanjutnya nelayan menyiram sejumlah air laut ke atas permukaan ikan sampai seluruh ikan terendam di dalam fiber box. Cara ini dikenal dengan istilah Chilled Sea Water (CSW). Metode CSW memiliki kelebihan, yaitu mempunyai suhu pendinginan lebih rendah dari es dan waktu yang diperlukan untuk menurunkan suhunya lebih cepat daripada media pendingin es saja. Hal ini disebabkan media pendingin CSW lebih banyak bersinggungan langsung dengan permukaan ikan. Air laut yang mengandung garam dapat menurunkan titik lebur es sehingga es lebih lambat melebur (Junianto 2003). Cara penanganan di atas kapal dengan metode ini diharapkan dapat menghambat kemunduran mutu ikan sampai tiba di darat. Kapal tiba di pelabuhan Manggar pada pukul WIB. Ikan yang disimpan dalam fiber box langsung dipindahkan ke keranjang yang diperoleh dari pengumpul setelah kapal merapat ke pelabuhan. Pengumpul di daerah Manggar dinamakan Toke, mereka membeli ikan hasil tangkapan nelayan terlebih dahulu sebelum nelayan pergi melaut. Hal ini berarti semua nelayan harus menjual ikan hasil tangkapan hanya kepada Toke. Semua hasil tangkapan para nelayan dijual kepada Toke dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga yang diperuntukkan kepada konsumen. Nelayan di Kecamatan Manggar tidak melakukan sortasi dalam proses penanganan di atas kapal. Ikan hasil tangkapan disortasi setelah tiba di pengumpul. Ikan dipisahkan menurut jenis dan ukuran. Ikan yang bernilai jual tinggi dipisahkan dari ikan-ikan lainnya dan biasanya dikirim ke luar daerah seperti Bangka dan Jakarta. Kegiatan sortasi seharusnya dilakukan setelah ikan ada di atas dek yang bertujuan untuk memudahkan dalam proses penjualan di darat dan memperkecil terkontaminasinya ikan oleh bakteri atau perlakuan-perlakuan fisik saat ikan disortir oleh pembeli (Junianto 2003). Sortasi juga bertujuan untuk memisahkan jenis-jenis ikan ekonomis penting dengan jenis-jenis ikan non ekonomis penting dan mempermudah pemasaran (Nasran 1972). Ikan tenggiri digunakan sebagai obyek pengamatan pada penelitian ini. Ikan tenggiri merupakan salah satu ikan ekonomis penting di Kecamatan

59 Manggar, biasanya dijual ke Jakarta dengan harga yang lebih mahal melalui jalan laut dan udara. Penelitian ini terfokus pada pengiriman ikan tenggiri ke Jakarta melalui jalan udara. Ikan yang ada di pengumpul disusun rapi dalam box styrofoam yang diberi es dan kemudian dipak rapi. Ikan yang telah dipak disimpan dalam gudang penyimpanan dingin untuk siap dikirim ke Jakarta hari berikutnya. Es yang digunakan untuk mengawetkan ikan agar mutunya masih bagus diganti dalam jangka waktu tertentu (kira-kira setiap pukul 13.00, 19.00, dan WIB) dan air dari es yang meleleh dibuang agar tidak mempengaruhi mutu ikan. Kesegaran ikan laut yang didaratkan tergantung pada perlakuan pertama saat ikan ditangkap, kecepatan dalam penanganan dan cara penyimpanan di kapal (Junianto 2003). Cara penanganan ikan di kapal oleh nelayan tergolong lambat karena tergantung pada jumlah ikan yang ditangkap. Ikan yang semakin banyak tertangkap maka penanganannya akan semakin lambat karena proses penanganan di atas kapal mulai dilakukan setelah semua ikan yang tertangkap diangkat dari atas permukaan air. Cara penyusunan ikan dalam fiber box yang dilakukan nelayan kurang baik karena ikan diletakkan kurang teratur dan terlalu tinggi (hampir memenuhi fiber box). Ikan sebaiknya diatur agar tidak berhimpitan dan diusahakan tidak terlalu tinggi. Hal ini dilakukan agar fisik ikan tidak cepat rusak Sanitasi dan higiene Kebersihan dalam penanganan ikan mempunyai beberapa pengertian, antara lain membuang sumber pembusukan ikan (lendir, darah, insang, isi perut), mencuci bersih ikan, cepat menurunkan suhu dengan pendinginan serta melindungi ikan dari kemungkinan pencemaran atau kontaminasi (Ilyas 1983). Sanitasi dan higiene memegang peranan penting dalam penanganan ikan. Sebagian besar nelayan menggunakan perahu sebagai tempat tinggal sehingga seluruh aktivitasnyapun dilakukan di perahu. Bagian dari perahu terbuat dari kayu, sehingga sulit dibersihkan jika kotor selama proses penanganan berlangsung (sanitasi dan higiene sukar dilakukan). Nelayan Kecamatan Manggar membersihkan lantai kapal menggunakan air tawar dan sabun. Kegiatan ini tidak selalu dilakukan setiap saat yaitu hanya sebulan sekali sehingga dapat dikatakan bahwa kebersihan kapal tidak terjamin.

60 Kapal seharusnya dibersihkan sebelum dan setelah proses penangkapan. Kapal dibersihkan terlebih dahulu sebelum proses penangkapan yang dilakukan selama perjalanan ke daerah penangkapan ikan. Kegiatan ini menggunakan air tawar bersih atau air laut bersih berasal dari luar pelabuhan. Selain itu, kapal juga dibersihkan setelah proses penangkapan ikan menggunakan air laut bersih, detergen, dan saniter. Kapal kemudian dibilas dengan air tawar atau air laut bersih dan dikeringkan di bawah sinar matahari jika memungkinkan (Anonim 2003). Sarana fisik yang digunakan selama proses penanganan ikan adalah keranjang plastik, keranjang kayu dan fiber box tetapi kebersihan dari peralatan tersebut kurang diperhatikan. Keranjang plastik dan kayu dipakai untuk menampung hasil tangkapan saat di darat tanpa dibersihkan setiap hari. Fiber box sebelum digunakan seringkali terdapat sisa ikan hasil tangkapan sebelumnya dan dibersihkan saat akan pergi melaut. Proses pembersihan dilakukan hanya dengan membuang air sisa lelehan es melalui lubang saluran air di bagian bawah fiber box tanpa dibilas dengan air sampai benar-benar bersih. Hal ini dapat mempercepat kemunduran mutu ikan yang disimpan dalam fiber box karena terjadinya kontaminasi silang mikroba dari fiber box yang tidak bersih. Program higiene harus meliputi semua orang yang terlibat di dalam proses penanganan ikan, untuk itu semua fasilitas kebersihan harus disediakan untuk mereka. Kondisi karyawan atau pekerja yang kotor dapat menyebabkan ikan terkontaminasi dengan kotoran (Ilyas 1983). Higiene para nelayan dapat dilihat dari pakaian dan kebiasaan nelayan ketika sedang bekerja. Para nelayan ketika bekerja sering merokok, meludah, buang air kecil di atas kapal dan bersin sembarang tempat. Kebiasaan jelek ini seharusnya dihilangkan, karena akan memperburuk keadaan sanitasi proses penanganan ikan. Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa nelayan menyusun ikan hasil tangkapan dalam fiber box menggunakan sarung tangan yang belum terjamin kebesihannya. Sarung tangan ini terlihat kotor karena jarang dibersihkan sehingga belum terjamin kebersihannya dan mempengaruhi kemunduran mutu ikan.

61 Gambar 15. Penyusunan ikan dalam fiber box oleh nelayan Penggunaan es Ikan yang mempunyai kesegaran baik diperoleh dengan memperhatikan jumlah es yang digunakan dan lamanya pengesan. Banyaknya es yang digunakan atau rasio antara jumlah es dan jumlah ikan yang didinginkan merupakan faktor yang menentukan. Hal ini menyangkut suhu ikan yang ingin dicapai. Jika rasionya kecil, suhu yang dicapai tidak cukup rendah untuk tetap mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu yang lama. Sebaliknya jika rasionya terlalu besar akan dapat menyebabkan ikan rusak secara fisik karena himpitan dan tekanan oleh bongkahan atau pecahan es yang digunakan. Prinsipnya es yang ditambahkan harus dapat menurunkan suhu ikan sampai 0 o C, kemudian mempertahankan suhu tersebut selama penyimpanan (Hadiwiyoto 1993). Perbandingan yang baik untuk memperpanjang kesegaran ikan adalah 1:1 (1 kg es digunakan untuk mendinginkan 1 kg ikan) (Moeljanto 1992). Hancuran es dalam pengesan ikan sebaiknya digunakan es curah yang terbuat dari air bersih supaya himpitan atau tekanan pada ikan dapat dikurangi. Hancuran es yang digunakan hanya pada bagian atas permukaan ikan, akan menghasilkan produk yang kurang baik karena distribusi suhunya tidak merata. Jika jumlah ikannya banyak, pemberian hancuran es dilakukan dengan cara menyusun ikan dan es bergantian, sehingga terbentuk lapisan-lapisan antara es dan ikan. Lapisan yang terbawah dan teratas adalah lapisan es. Pendinginan ikan dapat pula dilakukan dengan air laut yang direfrigerasikan sehingga dengan usaha pendinginan tersebut suhu ikan dapat mencapai sekitar 0 o C (Hadiwiyoto 1993). Es yang digunakan nelayan dibeli sesaat sebelum kapal berangkat dan langsung

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.) Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. dhinie_surilayani@yahoo.com Ikan = perishable food Mengandung komponen gizi: Lemak, Protein, Karbohidrat, dan Air Disukai Mikroba Mudah Rusak di Suhu Kamar Setelah ikan

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN. 1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Manajemen kualitas

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Manajemen kualitas 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pengendalian mutu adalah kegiatan terpadu mulai dari pengendalian standar mutu bahan dan standar proses produksi, yang dimaksud barang (jasa) yang dihasilkan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan Kebersihan terdiri dari dua aspek yang saling berkaitan yaitu sanitasi dan higienitas. Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR. Riyantono 1 Indah Wahyuni Abida 2 Akhmad Farid 2 1 Alumni Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo 2 Dosen Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Lolosi Merah (C. chrysozona) Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk dalam family ikan caesiodidae yang erat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi penanganan pasca panen Penanganan pasca panen dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

Lebih terperinci

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI Oleh: Rahadian Hardja Utama C34103042 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Layur (Trichiurus sp.) Ikan layur (Trichiurus sp.) menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984) Phyllum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class

Lebih terperinci

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil.

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil. LAMPIRAN 59 60 Lampiran Tahapan Penelitian Serbuk kitosan komersil ekor karkas ayam segar Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Pembuatan larutan kitosan (0,5 %; %;,5%) Pemotongan Proses perendaman Penirisan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI Oleh : Rendra Eka A 1. Kemunduran mutu ikan segar secara sensori umumnya diukur dengan metode sensori

Lebih terperinci

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM Oleh : Melly Dianti C03400066 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng

Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng LAMPIRAN 86 65 88 Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2007 89 66 Lampiran 3 Peta informasi lokasi penempatan rumpon laut dalam Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengasapan Ikan Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan untuk mempertahankan daya awet ikan dengan mempergunakan bahan bakar kayu sebagai penghasil

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN.

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN. PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN Nurmeilita Taher Staf Pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu pelelehan es dan proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C34101028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Klasifikasi Ikan Cakalang Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, panjang tubuh sekitar 25cm dan

Lebih terperinci

Sosis ikan SNI 7755:2013

Sosis ikan SNI 7755:2013 Standar Nasional Indonesia Sosis ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG

KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG Jurnal Perikanan dan Kelautan EFEKTIVITAS KONSENTRASI BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L) TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG (Decapterus sp.) Segar SELAMA PENYIMPANAN RUANG 1,2 Raflin

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Penggolongan hasil perikanan laut berdasarkan jenis dan tempat kehidupannya Golongan demersal: ikan yg dapat diperoleh dari lautan yang dalam. Mis.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA Bahan Baku Kerang Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai ciri-ciri: cangkang terdiri dari dua belahan atau katup yang dapat membuka dan menutup dengan

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR

KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Berkala Perikanan Terubuk, Juli 2006, hlm.121-125 Vol. 33 No. 2 ISSN 0126-4265 KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Rahman Karnila, Suparmi 1), Mei

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Provinsi

Lebih terperinci

Harryara Sitanggang

Harryara Sitanggang IV. Hasil Pengamatan & Pembahasan Penanganan pasca panen bukan hanya berlaku untuk produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau biasa disebut produk nabati. Pemanenan dari komoditas hewani juga perlu

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 di PT. AGB Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Lebih terperinci

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN Indra Jaya 1) dan Dewi Kartika Ramadhan 2) Abstract This paper describes an attempt to introduce acoustic method as an alternative for measuring fish freshness.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Modifikasi Alat IFFI-2 merupakan modifikasi dari instrumen pendeteksi kesegaran atau kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini mengaplikasikan metode spektroskopi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE. Skripsi

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE. Skripsi PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 15 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Sukabumi pada bulan Desember 2010. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dari ikan kembung adalah : : Tunicata (Urochordata) : Scomber kanangurta

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dari ikan kembung adalah : : Tunicata (Urochordata) : Scomber kanangurta TINJAUAN PUSTAKA Sekilas Tentang Ikan Sistematika dari ikan kembung adalah : Phylum Sub phylum Class Sub class Ordo Sub ordo Family Genus Species : Chordata : Tunicata (Urochordata) : Osteichthyes : Sarcopterygii

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp Oleh : M.Teddy.S C34101062 Skripsi PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C34101045 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR Oleh : Ismiwarti C34101018 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 RINGKASAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) INDUSTRI RUMAH TANGGA, DESA GEGUNUNG WETAN KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH

KARAKTERISTIK DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) INDUSTRI RUMAH TANGGA, DESA GEGUNUNG WETAN KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH KARAKTERISTIK DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) INDUSTRI RUMAH TANGGA, DESA GEGUNUNG WETAN KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH Nurjanah Dwi 2, Ariyanti 1, Tati Nurhayati 2 dan Asadatun Abdullah 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO

6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO 91 6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO 6.1 Tingkatan Mutu Hasil Tangkapan yang Dominan Dipasarkan di PPP Lampulo Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)

Lebih terperinci

Siomay ikan SNI 7756:2013

Siomay ikan SNI 7756:2013 Standar Nasional Indonesia Siomay ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah

Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah Nikè:Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.Volume II, Nomor 4, Desember 2014 Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah Herlila Tamuu, Rita Marsuci Harmain

Lebih terperinci

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea. Langkah 3 Penggunaan formalin: Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih: lantai, kapal, gudang, pakaian. Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Nike (Awaous melanocephalus) Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan banyak terdapat di Perairan Gorontalo. Klasifikasi ikan nike menurut

Lebih terperinci

Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi

Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sebagai seorang manusia tentunya kita memiliki berbagai kebutuhan yang sangat banyak dan bermacam. Salah satu yang menjadi kebutuhan utama seorang manusia tentunya

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN Oleh: Dhias Wicaksono C34104028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

CARA PEMINDANGAN DAN KADAR PROTEIN IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI KABUPATEN REMBANG

CARA PEMINDANGAN DAN KADAR PROTEIN IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI KABUPATEN REMBANG CARA PEMINDANGAN DAN KADAR PROTEIN IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI KABUPATEN REMBANG SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Biologi Oleh:

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The objective of this research was to determine the differences

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

II. TINJAUN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Fisiologi Ikan Kakap Putih/Barramundi. Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) atau barramundi dikelompokkan

II. TINJAUN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Fisiologi Ikan Kakap Putih/Barramundi. Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) atau barramundi dikelompokkan II. TINJAUN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Fisiologi Ikan Kakap Putih/Barramundi 2.1.1 Klasifikasi Taksonomi Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) atau barramundi dikelompokkan dalam klasifikasi taksonomi

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ikan Cakalang Klasifikasi Ikan Cakalang menurut Rajabnadia (2009) adalah : Kingdom : Animalia Phylum : Vertebrata Class : Teleostoi Ordo : Perciformes Famili : Scombridae

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.)

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) Oleh : Dwi Sartika C34104025 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Djoko Poernomo*, Sugeng Heri Suseno*, Agus Wijatmoko**

PENDAHULUAN. Djoko Poernomo*, Sugeng Heri Suseno*, Agus Wijatmoko** Pemanfaatan Asam Cuka, Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) dan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) untuk Mengurangi Bau Amis Petis Ikan Layang (Decapterus spp.) Djoko Poernomo*, Sugeng Heri Suseno*, Agus

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di PT. Graha Insan Sejahtera yang berlokasi di salah satu Perusahaan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jalan Muara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupan. Bahan makanan terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupan. Bahan makanan terdiri BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Pangan Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena di dalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2013 sampai dengan 5 Juni 2013 di PT. Awindo Internasional Jakarta. PT. Awindo Internasional terletak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

dengan T4 mengalami kemunduran mutu sebesar 27.19%. Kemunduran mutu sebagian besar disebabkan oleh peralatan handling yang digunakan masih belum

dengan T4 mengalami kemunduran mutu sebesar 27.19%. Kemunduran mutu sebagian besar disebabkan oleh peralatan handling yang digunakan masih belum RINGKASAN DENNY HIDAYAT. Evaluasi dan Identifikasi Tingkat Kemunduran Mutu Hasil Perikanan Tangkap Ikan Belanak (Mugil spp) (Studi Kasus di Muara Angke Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara). Dibimbing oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah

Lebih terperinci

KERUPUK UDANG ATAU IKAN

KERUPUK UDANG ATAU IKAN KERUPUK UDANG ATAU IKAN 1. PENDAHULUAN Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN. Oleh : Muhammad Nabil C

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN. Oleh : Muhammad Nabil C PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN Oleh : Muhammad Nabil C03400041 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data 17 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Jakarta Utara pada bulan Agustus hingga Oktober 2010. 3.2 Metode Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan pengawet berbahaya dalam bahan makanan seperti ikan dan daging menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh pemerintah. Penggunaan bahan pengawet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

IKAN ASAP 1. PENDAHULUAN

IKAN ASAP 1. PENDAHULUAN IKAN ASAP 1. PENDAHULUAN Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri

Lebih terperinci