BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Nike (Awaous melanocephalus) Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan banyak terdapat di Perairan Gorontalo. Klasifikasi ikan nike menurut Saanin (1984) dalam Yusuf (2011) adalah sebagai berikut: Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Gobioidea Famili : Gobiidae Genus : Awaous Spesies : Awaous melanocephalus (Bleeker) Gambar 1. Ikan Nike (Awaous melanocephalus) Sumber: (Yusuf, 2011) Ikan nike merupakan kelompok anak ikan dari famili Gobiidae. Ikan-ikan ini merupakan ikan-ikan kecil dengan panjang maksimum ± 8 cm. Ciri-ciri lain dari ikan nike adalah tidak berwarna atau keputih-putihan serta tidak bersisik (Tantu, 2001 dalam Yusuf, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tantu (2001) dalam Yusuf (2011), bahwa schooling ikan nike terdiri dari juvenil ikan Awaous melanocephalus dan juvenil ikan Eleotris frusca, dari schooling tersebut ikan Awaous melanocephalus 6

2 merupakan spesies penyusun utama yaitu sebesar 99%, sedangkan ikan Eleotris frusca hanya merupakan spesies ikutan. Penangkapan ikan nike oleh nelayan terjadi pada setiap akhir bulan dalam kalender Qomariah (bulan dilangit) dan ukuran ikan yang tertangkap pada stadia juvenil (post larva) menggunakan alat tangkap sejenis beach seines dengan mesh size yang sangat kecil (kurang dari ½ inchi). Teknik penangkapan dengan mengurung (melingkari) schooling ikan nike menggunakan pukat, kemudian secara perlahan-lahan pukat ditarik sambil memperkecil ruang gerak schooling ikan nike sehingga terjebak masuk dalam kantung pukat (Tantu, 2001 dalam Yusuf, 2011). Ikan nike memiliki kandungan protein yang berbeda. Hasil penelitian Kadir (2008), menunjukkan perbedaan kadar protein pada ikan nike dari hari pertama dan hari terakhir kemunculannya. Kadar protein pada ikan nike hari pertama yaitu 2,7315 % sedangkan pada hari terakhir yaitu 4,083 %. Hasil identifikasi diduga di dalam ikan nike terdapat asam-asam amino esensial yaitu Leusin, Isoleusin, Metionin dan Threonin. 2.2 Pendinginan Ikan Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan/pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Adapula yang mengatakan, pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu di luar ruangan (Adawyah, 2007). 7

3 Menurut Junianto (2003), pada suhu rendah (pendinginan atau pembekuan), proses-proses biokimiawi yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan menjadi lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat dihambat, dengan demikian kesegaran ikan akan semakin lama dipertahankan. Media pendingin yang baik untuk penanganan ikan salah satunya adalah es. Penurunan suhu tubuh ikan dengan menggunakan es sudah banyak dilakukan. Hasil penelitian Ibrahim dkk (2008), bahwa proses pendinginan dalam kotak styrofoam selama 3 hari tidak memberikan pengaruh terhadap nilai organoleptik dari ikan bandeng (Chanos chanos Forsk). Penelitian yang lainnya oleh Nurilmala dkk (2009), menunjukkan bahwa ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) selama penyimpanan pada suhu chilling, nilai organoleptik dari ikan mengalami penurunan seiring dengan semakin lamanya penyimpanan. Penggunaan es dilakukan untuk dapat mempertahankan mutu ikan. Penggunaan suhu rendah yang paling sering dan mudah dilakukan adalah pengesan. Es merupakan media pendingin yang memiliki beberapa keunggulan yaitu mempunyai kapasitas pendingin yang besar, tidak membahayakan konsumen, bersifat thermostatik (menjaga suhu sekitar 0ºC), harganya relatif murah, dan mudah dalam penggunaannya (Junianto, 2003). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) dalam Mile (2006), ada dua cara teknik pendinginan ikan dengan es, yaitu: 8

4 1. Tumpukan Es yang telah disiapkan segera ditaburkan ke dasar wadah penyimpanan ikan sehingga membentuk lapisan setebal 5 cm. Kemudian ikan yang telah dicampur dengan es dimasukkan ke dalam wadah tersebut. Pada lapisan ikan paling atas ditutupi dengan es setebal 7 cm, lalu wadah ditutup agar tidak terjadi kontak dengan udara luar. Es dan ikan ditumpuk sedemikian rupa sehingga semua ikan tertutup dengan es. 2. Berlapis Es ditaburkan di dasar wadah penyimpanan ikan hingga membentuk lapisan es setebal 5 cm. Selanjutnya di atas lapisan es tersebut disusun ikan secara teratur dengan bagian perut menghadap ke bawah agar cairan es yang mencair tidak tergenang di bagian perut ikan. Di atas lapisan ikan tersebut ditaburkan kembali es setebal 3-5 cm. Usahakan seluruh tubuh ikan tertutup oleh lapisan es. Kemudian di atas lapisan es ikan disusun secara teratur. Penyusunan lapisan ikan dan es dilanjutkan terus hingga mencapai permukaan wadah penyimpanan. Pada bagian paling atas ditaburkan kembali es hingga membentuk lapisan setebal 7 cm dan selanjutnya wadah ditutup agar tidak terjadi kontak dengan udara luar. Agar ikan yang terletak dilapisan paling bawah tidak rusak, sebaiknya tinggi wadah penyimpanan ikan tidak melebihi 50 cm. 9

5 Teknik pendinginan ikan dengan es yang baik dapat dilakukan dengan cara memberi lapisan es pada dasar wadah untuk pendinginan, memasukkan ikan ke dalam wadah di atas lapisan es dan disusun ikan dengan posisi sebelah mata ikan berada di atas yang lain, memberi lapisan es di atas lapisan ikan dan lapisan paling atas dari susunan es dan ikan adalah lapisan es (Junianto, 2003). Es kebanyakan dibuat dari air tawar dan selebihnya dari air laut. Menurut Adawyah (2007), dilihat berdasarkan bentuknya ada lima kelompok es sebagai berikut. a. Es balok (block ice), yaitu balok es dengan ukuran kg/balok. Sebelum dipakai es balok dipecahkan terlebih dahulu untuk memperkecil ukuran. b. Es tabung (tube ice), yaitu es berbentuk tabung kecil yang siap untuk dipakai. c. Es keping tebal (plate ice), yaitu es dalam bentuk lempengan yang besar dan tebal 8-15 mm, kemudian dipecahkan menjadi potongan-potongan kecil dengan diameter kurang dari 5 cm, agar lebih cepat kontak dengan permukaan ikan. d. Es keping tipis/es curah (flake ice), yaitu lempengan-lempengan tipis dengan tebal 5 mm, diameter 3 cm, merupakan hasil pengerukan dari lapisan es yang terbentuk di atas permukaan pembeku berbentuk silinder. Akibat pengerukan itu, ukuran es sudah cukup kecil sehingga tidak perlu dipecahkan lagi. 10

6 e. Es halus (slush ice), yaitu butiran-butiran yang sangat halus dengan diameter 2 mm dan tekstur lembek, umumnya sedikit berair. Mesin yang digunakan berukuran kecil dan produksinya sedikit, hanya untuk ikan disekitar pabrik. 2.3 Ikan Segar Menurut Afrianto dan Liviawaty (2010), bahwa ikan dikatakan segar apabila ikan tersebut memiliki kondisi tubuh sama seperti ikan masih hidup dan belum mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan biologis yang sampai menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan. Tingkat kesegaran ikan sulit dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Berdasarkan penglihatan keduanya tampak memiliki tingkat kesegaran sama, namun ternyata baru diketahui setelah disimpan. Ikan segar memiliki masa simpan lebih lama dibandingkan ikan yang kurang segar. Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah ikan mati agar dapat dilakukan tindakan penanganan dalam upaya mempertahankan kesegaran ikan. Ikan dikatakan mempunyai kesegaran yang maksimal apabila sifat-sifatnya masih sama dengan ikan hidup baik rupa, bau, cita rasa, maupun teksturnya. Apabila penanganan ikan kurang baik maka mutu atau kualitasnya akan turun (Junianto, 2003). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI ), bahwa ikan segar adalah produk hasil perikanan dengan bahan baku ikan yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, pencucian, penyiangan atau tanpa panyiangan, penimbangan, pendinginan dan pengepakan. Ikan segar harus ditangani, disimpan, 11

7 didistribusikan dan dipasarkan dengan menggunakan wadah, cara dan alat yang sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene dalam unit pengolahan hasil perikanan (BSN, 2006). Perbedaan antara ikan segar dan ikan busuk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri-Ciri Ikan Segar dan Ikan Busuk SNI Ikan Segar Mata - Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih Insang - Warna merah cemerlang tanpa lendir Lendir permukaan badan - Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilap cerah Daging - Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh Bau - Bau sangat segar, spesifik jenis - Bau busuk jelas Tekstur - Padat elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang Sumber: BSN (2006) Ikan Busuk - Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning - Warna merah cokelat ada sedikit putih, lendir tebal - Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecokelatan - Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut agak lunak - Sangat lunak, bekas dari jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang Menurut Adawyah (2007), bahwa ikan segar adalah ikan yang baru saja ditangkap dan belum mengalami proses pengawetan maupun pengolahan lebih lanjut. Ikan segar dapat diperoleh jika penanganan dan sanitasi yang baik, semakin lama ikan dibiarkan setelah ditangkap tanpa penanganan yang baik akan menurunkan kesegarannya. Berdasarkan kesegarannya, ikan dapat digolongkan menjadi empat kelas mutu, yaitu tingkat kesegarannya sangat baik sekali (prima), 12

8 ikan yang kesegarannya baik (advanced), ikan yang kesegarannya mundur (sedang) dan ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk). Syarat mutu dan keamanan pangan ikan segar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia ditujukan pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan Mutu dan Kemanan Pangan (SNI ) Jenis Uji Satuan Persyaratan a. Organoleptik Angka (1-9) 7 b. Cemaran Mikroba*: - ALT Koloni/gram Maksimal 5 x Escherechia Coli APM/gram Maksimal < 2 - Salmonela APM/25 gram Negatif - V. cholerae APM/25 gram Negatif c. Cemaran kimia*: - Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,5 - Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 0,4 - Histamin mg/kg Maksimal Kadmium (Cd) mg/kg Maksimal 0.1 d. Parasit* ekor Maksimal 0 *) Bila diperlukan Sumber : BSN (2006) Keterangan : ALT : Angka Lempeng Total APM : Angka paling memungkinkan 2.4 Kontaminasi Bakteri Pada Ikan Menurut Afrianto dan Liviawaty (2010), bahwa bakteri pada ikan terdapat di seluruh permukaan tubuh bagian luar, terutama di bagian kulit (lendir), insang dan saluran pencernaan. Kepadatan bakteri di ketiga tempat tersebut berbeda, dimana jumlah bakteri di kulit berkisar /gram; insang /gram; dan di saluran pencernaan /gram. Selama ikan hidup, keberadaan bakteri tersebut 13

9 relatif tidak merugikan karena ikan mempunyai pertahanan alami, baik berupa pertahanan fisik atau biokimia. Ikan yang ditangkap pada perairan yang terbebas dari polusi hanya mengandung sedikit mikroba pada permukaannya. Kebanyakan kontaminasi bakteri pada ikan adalah pada saat pendaratan ikan dan juga proses penanganan serta pada saat proses penyimpanan (Alfred 1998 dalam Wicaksono 2009). Aktivitas mikroorgansime dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi. Kerusakan secara kimiawi dan fisikawi dapat diketahui secara mudah dengan menggunakan alat indera, sedangkan mikrobiologis memerlukan waktu untuk analisis karena disebabkan oleh bakteri. Kerusakan secara kimiawi misalnya adanya perubahan ph daging ikan, timbulnya asam, sedangkan secara fisikawi dapat diketahui dengan timbulnya lendir, warna permukaan badan yang suram, dan mata keruh (Hadiwiyoto 1993). Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan hidup adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia dan Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium dan Streptococcus (Junianto 2003). Indrajaya (2006) mengemukakan bahwa serangan dan penyebaran bakteri patogen pada ikan berlangsung begitu cepat dan sewaktu-waktu dapat menyerang dalam waktu relatif singkat bila kondisi lingkungan relatif buruk. Faktor yang dapat memengaruhi penyebaran dan penularan bakteri patogen antara lain melalui media air atau ikan, wadah pengangkut serta melalui manusia. Jenis bakteri yang 14

10 sering menimbulkan masalah pada ikan dalah Aeromonas, Vibrio sp, Pseudomonas sp, dan Mycobarterium sp. Hasil perikanan yang hidupnya selalu di perairan yang secara alamiah merupakan tempat hidup mikroorganisme memungkinkan terjadinya kontaminasi. Beberapa jenis mikroorganisme patogen misalnya Vibrio cholerae, Salmonella, Staphylococcus aureus serta Listeria monositogenes yang keberadaannya karena berasal dari manusia. Vibrio parahaemolyticus secara alamiah ada di perairan pantai dan perlu dibatasi jumlahnya dalam bahan baku perikanan. Demikian juga adanya Escherichia coli juga perlu dibatasi karena mikroorganisme ini mencerminkan adanya kontaminasi dengan faeces manusia/binatang mamalia dan bahkan jumlah total mikroorganisme pun perlu dibatasi karena akan mempercepat pembusukan dan merupakan indikator higiene (Sulistijowati dkk, 2011). 2.5 Proses Kemunduran Mutu Ikan Proses penurunan mutu ikan dengan urutan mulai dari perubahan prarigormortis, rigormortis, aktifitas enzim, aktivitas mikroba, dan oksidasi. Semua perubahan ini akan mengarah ke pembusukan (Junianto 2003) Perubahan Pre Rigor Mortis Perubahan pre-rigor atau sering dikenal dengan istilah hiperaemia merupakan fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian yang ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003). Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di 15

11 sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Afrianto dan Liviawaty, 2010) Perubahan Rigor Mortis Rigor mortis yaitu keadaan ikan menjadi kaku beberapa saat setelah ikan mati. Rigor pada ikan biasanya berawal dari ekor, berangsur-angsur menjalar ke sepanjang tubuh ikan hingga kepala sampai seluruh tubuh menjadi kaku (Sulistijowati dkk, 2011). Tekstur daging ikan yang semula kenyal dan elastis berubah secara bertahap menjadi kaku, keras, dan kehilangan kelenturannya setelah memasuki tahap rigor mortis. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas aktin dan miosin (Afrianto dan Liviawaty, 2010). Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi udara berhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan ph tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya (Junianto, 2003) Perubahan Post Rigor Mortis Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya 16

12 penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan (Afrianto dan Liviawaty, 2010). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Enzim yang berperan dalan proses autolisis, antara lain: katepsin (dalam daging), enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan (Junianto, 2003). Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat. Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang menyebabkan ikan menjadi busuk (Junianto, 2003). 2.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Bakteri Menurut Afrianto dan Liviawaty (2010), faktor-faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain: a) Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) lingkungan atau media tempat hidup akan memengaruhi pertumbuhan bakteri pembusuk. Sebagian besar bakteri tumbuh dengan baik pada kisaran ph antara Bakteri pembusuk 17

13 tumbuh baik pada saat ikan mati karena ph daging ikan berkisar antara b) Kandungan Air Bakteri pembusuk memerlukan air untuk tumbuh dan berkembang. Sebagian besar bakteri tumbuh baik pada media yang mempunyai konsentrasi air tinggi. Apabila air dikeluarkan maka pertumbuhan bakteri akan melambat dan bila di bawah 15% umumnya bakteri tidak akan tumbuh. c) Kandungan Nutrisi Bakteri dapat tumbuh dan berfungsi normal membutuhkan nutrisi. Nutrisi yang dibutuhkan dapat berupa sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energi dan faktor pertumbuhan seperti vitamin, mineral. Nutrisi tersebut dibutuhkan untuk membentuk energi dan menyusun komponen sel. d) Temperatur/Suhu Temperatur/suhu wadah penyimpanan merupakan faktor ekstrinsik berikutnya yang secara nyata berpengaruh terhadap proses pembusukan mikrobiologis. Berdasarkan respon terhadap suhu lingkungan, bakteri dapat dibagi menjadi: (1) Bakteri psikrofilik yang dapat hidup pada kisaran suhu 15-20ºC. Pada suhu di bawah 0ºC tetap tumbuh meskipun lambat, sedangkan pada suhu 30 40ºC tidak dapat tumbuh. (2) Bakteri mesofilik hidup pada kisaran suhu 30 40ºC, bakteri ini tidak dapat tumbuh pada suhu yang lebih rendah dari 10ºC atau antara 40 50ºC. 18

14 (3) Bakteri termofilik yang dapat hidup pada suhu 50 55ºC. Umumnya bakteri yang menyebabkan pembusukan pada ikan segar adalah bakteri psikrofilik dan beberapa diantaranya bakteri mesofilik. e) Kelembaban Relatif (R h ) Kelembaban lingkungan tempat penyimpanan sangat penting untuk menentukan A w (Activity water) dalam bahan pangan dan pertumbuhan bakteri di permukaan. Kelembaban lingkungan tempat penyimpanan dipengaruhi oleh temperatur, yaitu pada temperatur tinggi maka kelembaban akan rendah dan sebaliknya. 2.7 Parameter Pengujian Mutu Ikan Segar Untuk menentukan mutu ikan diperlukan pengujian. Beberapa cara pengujian mutu dari ikan segar antara lain pengujian organoleptik dan mikrobiologis (Penentuan Angka Lempeng Total) Pengujian Organoleptik Pengujian organoleptik ini bisa dibilang unik dan berbeda dengan pengujian menggunakan instrumen atau analisa, karena melibatkan manusia tidak hanya sebagai objek analisis, tetapi juga sebagai alat penentu hasil atau data yang diperoleh. Analisis sensori pada dasarnya bersifat subjektif. Analisis subjektif berkaitan dengan kesukaan dan penerimaan. Penilaian organoleptik melalui proses penginderaan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu adanya rangsangan terhadap alat indera oleh suatu benda, akan diteruskan oleh sel-sel saraf dan datanya diproses oleh otak sehingga memperoleh kesan tertentu terhadap benda tersebut (Setyaningsih dkk, 2010). 19

15 Penilaian mutu ikan segar secara organoleptik selama penyimpanan dingin mengalami penurunan. Hasil penelitian Taher (2010), bahwa mutu organoleptik ikan mujair (Tilapia mossambica) segar pada penyimpanan dingin selama 4 hari dikategorikan ditolak. Berdasarkan SNI , bahwa uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji ini diberikan penilaian terhadap mutu sensori dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji ini adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu, yaitu penilaian terhadap bau, tekstur, daging, lendir permukaan badan dan insang pada ikan nike segar. Skala angka dan spesifikasi dari ikan segar sudah dicantumkan dalam score sheet organoleptik. Perhitungan nilai organoleptik dilakukan dengan melihat lembar score sheet dari panelis ditabulasi dengan mencari hasil rata-rata setiap panelis pada taraf kepercayaan 95 % (BSN, 2006). Rumus perhitungan : P ( X 1,96 x S / < µ < X + 1,96 x S / = 95% Keterangan : P = Selang nilai mutu rata rata X = Nilai mutu rata rata S = Simpangan baku nilai mutu n = Jumlah panelis 1,96 = Koefisien standar deviasi pada taraf 95% Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) Menurut Leksono dan Amin (2001), bahwa pada awal penyimpanan total bakteri yang terdapat pada ikan relatif tidak berbeda. Jumlah bakteri semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini dikarenakan lingkungan 20

16 yang optimal untuk pertumbuhan bakteri yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh secara maksimal. Penentuan angka lempeng total (ALT) merupakan uji yang bersifat bakterial. Semakin busuk ikan, akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Proses kemunduran mutu secara mikrobiologis diawali dengan terurainya glikogen dan terbentuknya asam laktat yang diikuti oleh penurunan derajat keasaman (ph). Daging ikan yang segar pada umumnya tidak mengandung bakteri (Jaya dkk, 2006). Berdasarkan SNI , bahwa penentuan angka lempeng total dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroorganisme dalam suatu produk, yang pada prinsipnya jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata. Penentuan angka lempeng total dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, metode cawan agar tuang (pour plate) yaitu dengan menanamkan contoh ke dalam cawan petri terlebih dahulu kemudian ditambahkan media agar. Kedua, metode cawan agar sebar (spread plate) yaitu dengan menuangkan terlebih dahulu media agar ke dalam cawan petri kemudian contoh diratakan pada permukaan agar dengan menggunakan batang gelas bengkok (BSN, 2006). 21

17 Teknik perhitungan jumlah koloni berdasarkan SNI adalah sebagai berikut. 1. Pada penghitungan cawan, jumlah koloni yang dapat dihitung berkisar koloni. Kisaran jumlah ini dianggap cukup untuk menghindari kesalahan hitung akibat terlalu banyak koloni dalam cawan sehingga penghitungan dapat dilakukan dengan akurat. Jumlah koloni yang dihitung dan pengenceran yang digunakan harus dicatat untuk mempermudah pengecekan. Jumlah hitungan bakteri dari contoh yang diuji akan memperoleh hasilnya dengan mengalikan faktor pengenceran seperti berikut. Jumlah Koloni = Jumlah koloni x 1 Faktor Pengenceran 2. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka yaitu angka pertama (satuan) dan angka kedua (desimal). Jika angka kedua adalah angka genap dan angka ketiga sama dengan lima, maka angka tersebut dapat dibulatkan menjadi 0. Misalnya 1650 menjadi 1600 dan dilaporkan menjadi 1,6x10 3 koloni/gram. 3. Angka dibulatkan menjadi dua angka yang sesuai, bila angka ketiga enam atau di atasnya, maka angka ketiga menjadi 0 dan angka kedua naik satu angka, misalnya 456 menjadi Bila angka ketiga genap atau di bawahnya, maka angka ketiga menjadi 0 dan angka kedua tetap, misalnya 454 menjadi 450. Bila angka kedua ganjil dan angka ketiganya sama dengan lima, maka angka tersebut 22

18 dapat dibulatkan menjadi 0 dan angka kedua naik satu angka, misalnya 455 menjadi Jika pada semua pengenceran dihasilkan kurang dari 25 koloni pada cawan petri, maka pengencerannya terlalu encer dan tidak dapat dihitung. Sebaliknya, jika pengenceran hasilnya lebih dari 250, maka pengenceran yang dilakukan terlalu sedikit dan tidak tercampur dengan baik pada saat pengocokan, maka koloni tersebut tidak dapat dihitung. Pengenceran dilakukan duplo, yang bertujuan untuk pembanding data yang dilaporkan. 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. dhinie_surilayani@yahoo.com Ikan = perishable food Mengandung komponen gizi: Lemak, Protein, Karbohidrat, dan Air Disukai Mikroba Mudah Rusak di Suhu Kamar Setelah ikan

Lebih terperinci

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

Tugas Manajemen Mutu Terpadu. 3. Penanganan dan pengolahan Penanganan dan pengolahan cumi-cumi beku sesuai SNI :2010.

Tugas Manajemen Mutu Terpadu. 3. Penanganan dan pengolahan Penanganan dan pengolahan cumi-cumi beku sesuai SNI :2010. Nama : RaisAbdullah NPM : 230110097026 Kelas : Perikanan B Tugas Manajemen Mutu Terpadu Spesifikasi CUMI-CUMI BEKU SNI 2731.1:2010 1. Istilah dan definisi cumi-cumi beku merupakan produk olahan hasil perikanan

Lebih terperinci

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN.

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN. PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN Nurmeilita Taher Staf Pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan Kebersihan terdiri dari dua aspek yang saling berkaitan yaitu sanitasi dan higienitas. Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

Sosis ikan SNI 7755:2013

Sosis ikan SNI 7755:2013 Standar Nasional Indonesia Sosis ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR. Riyantono 1 Indah Wahyuni Abida 2 Akhmad Farid 2 1 Alumni Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo 2 Dosen Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Provinsi

Lebih terperinci

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di PT. Graha Insan Sejahtera yang berlokasi di salah satu Perusahaan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jalan Muara

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi penanganan pasca panen Penanganan pasca panen dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah

Lebih terperinci

Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi

Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Gorontalo memiliki 10 Tempat Pemotongan Hewan yang lokasinya

Lebih terperinci

Siomay ikan SNI 7756:2013

Siomay ikan SNI 7756:2013 Standar Nasional Indonesia Siomay ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 di PT. AGB Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Pembinaan dan

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Pembinaan dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Provinsi Gorontalo. Waktu penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Penggolongan hasil perikanan laut berdasarkan jenis dan tempat kehidupannya Golongan demersal: ikan yg dapat diperoleh dari lautan yang dalam. Mis.

Lebih terperinci

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi wilayah PT. Cipta Frima Jaya adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam penanganan pasca panen (pembekuan) untuk hasil perikanan, yang merupakan milik Bapak

Lebih terperinci

Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng

Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng LAMPIRAN 86 65 88 Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2007 89 66 Lampiran 3 Peta informasi lokasi penempatan rumpon laut dalam Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2009

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Klasifikasi Ikan Cakalang Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, panjang tubuh sekitar 25cm dan

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.) Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sebagai seorang manusia tentunya kita memiliki berbagai kebutuhan yang sangat banyak dan bermacam. Salah satu yang menjadi kebutuhan utama seorang manusia tentunya

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2013 sampai dengan 5 Juni 2013 di PT. Awindo Internasional Jakarta. PT. Awindo Internasional terletak

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI Oleh : Rendra Eka A 1. Kemunduran mutu ikan segar secara sensori umumnya diukur dengan metode sensori

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Manajemen kualitas

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Manajemen kualitas 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pengendalian mutu adalah kegiatan terpadu mulai dari pengendalian standar mutu bahan dan standar proses produksi, yang dimaksud barang (jasa) yang dihasilkan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

Bakso ikan SNI 7266:2014

Bakso ikan SNI 7266:2014 Standar Nasional Indonesia Bakso ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Lolosi Merah (C. chrysozona) Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk dalam family ikan caesiodidae yang erat

Lebih terperinci

Harryara Sitanggang

Harryara Sitanggang IV. Hasil Pengamatan & Pembahasan Penanganan pasca panen bukan hanya berlaku untuk produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau biasa disebut produk nabati. Pemanenan dari komoditas hewani juga perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Berdasarkan data dari Kementerian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG

KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG Jurnal Perikanan dan Kelautan EFEKTIVITAS KONSENTRASI BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L) TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG (Decapterus sp.) Segar SELAMA PENYIMPANAN RUANG 1,2 Raflin

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data 17 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Jakarta Utara pada bulan Agustus hingga Oktober 2010. 3.2 Metode Penelitian

Lebih terperinci

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil.

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil. LAMPIRAN 59 60 Lampiran Tahapan Penelitian Serbuk kitosan komersil ekor karkas ayam segar Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Pembuatan larutan kitosan (0,5 %; %;,5%) Pemotongan Proses perendaman Penirisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan pengawet berbahaya dalam bahan makanan seperti ikan dan daging menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh pemerintah. Penggunaan bahan pengawet

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Layur (Trichiurus sp.) Ikan layur (Trichiurus sp.) menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984) Phyllum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu pelelehan es dan proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 15 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Sukabumi pada bulan Desember 2010. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah

Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah Nikè:Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.Volume II, Nomor 4, Desember 2014 Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah Herlila Tamuu, Rita Marsuci Harmain

Lebih terperinci

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The objective of this research was to determine the differences

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

Es untuk penanganan ikan - Bagian 1: Spesifikasi

Es untuk penanganan ikan - Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Es untuk penanganan ikan - Bagian 1: Spesifikasi ICS 13.060.25 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. H.Yusdin Abdullah dan sebagai pimpinan perusahaan adalah Bapak Azmar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. H.Yusdin Abdullah dan sebagai pimpinan perusahaan adalah Bapak Azmar BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Wilayah PT. Cipta Frima Jaya adalah salah satu perusahaan yang bergerak dibidang proses dan pembekuan untuk hasil perikanan laut, yang merupakan milik Bapak H.Yusdin

Lebih terperinci

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN Indra Jaya 1) dan Dewi Kartika Ramadhan 2) Abstract This paper describes an attempt to introduce acoustic method as an alternative for measuring fish freshness.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara optimal (Direktorat Pengelolaan Hasil Perikanan, 2007 dalam Marada, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. secara optimal (Direktorat Pengelolaan Hasil Perikanan, 2007 dalam Marada, 2012). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai Negara bahari dengan wilayah lautnya mencakup tiga per empat luas Indonesia atau 5,8 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, sedangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia (archipelagic state).tiga perempat dari luas wilayah

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia (archipelagic state).tiga perempat dari luas wilayah BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia (archipelagic state).tiga perempat dari luas wilayah Indonesia atau sekitar 5.8 juta km² berupa laut.garis pantai

Lebih terperinci

MODUL 1 BAKSO IKAN. A. Deskripsi Bakso Ikan

MODUL 1 BAKSO IKAN. A. Deskripsi Bakso Ikan MODUL 1 BAKSO IKAN Standar Unit Kompetensi: Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu mengolah bakso ikan yang bertekstur kenyal dan lembut serta bercita rasa enak. Indikator Keberhasilan: Mutu bakso

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Modifikasi Alat IFFI-2 merupakan modifikasi dari instrumen pendeteksi kesegaran atau kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini mengaplikasikan metode spektroskopi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. 4.1 Angka Lempeng Total (ALT) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Angka lempeng total mikroba yang diperoleh dari hasil pengujian terhadap permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO

6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO 91 6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO 6.1 Tingkatan Mutu Hasil Tangkapan yang Dominan Dipasarkan di PPP Lampulo Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan Tongkol (Ethynnus affinis) (Sumber: Anonim b 2010 )

Gambar 1. Ikan Tongkol (Ethynnus affinis) (Sumber: Anonim b 2010 ) 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Ikan tongkol (Euthynnus affinis) termasuk dalam famili scombridae terdapat di seluruh perairan hangat Indo-Pasifik Barat,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental. Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

4 Telur biasanya juga mengandung semua vitamin yang sangat dibutuhkan kecuali vitamin C. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), vitamin yang larut air

4 Telur biasanya juga mengandung semua vitamin yang sangat dibutuhkan kecuali vitamin C. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), vitamin yang larut air TINJAUAN PUSTAKA Telur Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang mempunyai daya pengawet alamiah yang paling baik, karena memiliki suatu pelindung kimia dan fisis terhadap infeksi mikroba. Mekanisme

Lebih terperinci

LAMPIRAN. 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI )

LAMPIRAN. 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI ) 38 LAMPIRAN 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI 01-2332.1-2006) Preparasi contoh Homogenisasi (25 gr sampel + 225 ml BFP) (selama 2 menit-3 menit) Pengencerandan Pendugaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan 1 P a g e Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan Pengasapan Ikan Menurut perkiraan FAO,2 % dari hasil tangkapan ikan dunia diawetkan dengan cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH Oleh : ROSIDA, S.TP,MP PENDINGINAN (Cooling / Refrigerasi) : Adalah penyimpanan bahan pangan (Nabati/Hewani) diatas suhu titik beku tetapi kurang dari 15oC Pendinginan merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike di perairan Sungai Bone Gorontalo merupakan schooling dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike di perairan Sungai Bone Gorontalo merupakan schooling dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Nike (Awaous melanocephalus) Ikan nike di perairan Sungai Bone Gorontalo merupakan schooling dari juvenil Awaous melanocephalus. Klasifikasi ikan nike menurut (Saanin,

Lebih terperinci

UJI COLIFORM FECAL PADA IKAN LELE (Clarias batracus) DAN IKAN KAKAP. (Lates calcarifer) DI WARUNG TENDA SEA FOOD SEKITAR KAMPUS

UJI COLIFORM FECAL PADA IKAN LELE (Clarias batracus) DAN IKAN KAKAP. (Lates calcarifer) DI WARUNG TENDA SEA FOOD SEKITAR KAMPUS UJI COLIFORM FECAL PADA IKAN LELE (Clarias batracus) DAN IKAN KAKAP (Lates calcarifer) DI WARUNG TENDA SEA FOOD SEKITAR KAMPUS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan Jumlah dan jenis populasi mikroorganisme yang terdapat pada berbagai produk perikanan sangat spesifik. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN VI. PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada tanggal 23 Mei 2011 mengenai pengaruh suhu penyimpanan beku terhadap mikroba pada bahan pangan. Praktikum ini dilaksanakan agar praktikan dapat mengerjakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

TINJAUAN PUSTAKA. Susu TINJAUAN PUSTAKA Susu segar Susu adalah susu murni yang belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4 Ikan bandeng (Chanos chanos) dari Tanjung Pasir.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4 Ikan bandeng (Chanos chanos) dari Tanjung Pasir. 22 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Kimia Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) Morfologi ikan bandeng yang diambil dari areal tambak di daerah Kampung Melayu, Teluk Naga, Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang-Banten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam perairan baik perairan darat maupun perairan laut dengan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam perairan baik perairan darat maupun perairan laut dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah suatu kegiatan perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam perairan baik perairan darat maupun perairan laut dengan menggunakan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

IKAN ASIN CARA PENGGARAMAN KERING

IKAN ASIN CARA PENGGARAMAN KERING IKAN ASIN CARA PENGGARAMAN KERING 1. PENDAHULUAN Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo. Selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik, mikrobiologi dan kadar air

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo. Selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik, mikrobiologi dan kadar air BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2012. Lokasi uji pemasaran yakni di Kelurahan Liluwo Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

Udang beku Bagian 1: Spesifikasi

Udang beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Udang beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea. Langkah 3 Penggunaan formalin: Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih: lantai, kapal, gudang, pakaian. Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna,

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

ANALISIS ORGANOLEPTIK PADA HASIL OLAHAN SOSIS IKAN AIR LAUT DAN AIR TAWAR

ANALISIS ORGANOLEPTIK PADA HASIL OLAHAN SOSIS IKAN AIR LAUT DAN AIR TAWAR ANALISIS ORGANOLEPTIK PADA HASIL OLAHAN SOSIS IKAN AIR LAUT DAN AIR TAWAR Ridawati Marpaung 1 Asmaida Abstract Penelitian ini bertujuan melakukan analisis organoleptik dari hasil olahan sosis ikan air

Lebih terperinci

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK Good Manufacturing Practice (GMP) adalah cara berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. Telah dijelaskan sebelumnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci