4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Modifikasi Alat IFFI-2 merupakan modifikasi dari instrumen pendeteksi kesegaran atau kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini mengaplikasikan metode spektroskopi VIS/NIR, yaitu melalui interaksi antara radiasi elektromagnetik dan materi yang diberi pancaran sinar sehingga dapat menampilkan perubahan yang terjadi yang disebabkan oleh respon fisik dari sampel, dalam hal ini ikan (Sirvesten et al., 2010). Gambar 5 menunjukkan perbedaan fisik dari IFFI 1 dan IFFI a b Gambar 5. IFFI-1 (a), dan IFFI-2 (b) Keterangan: 1. Unit kontrol 2. Unit sensor 3. LCD 4. Konektor Secara umum, baik IFFI-1 dan IFFI-2 memiliki unit kontrol, unit sensor, dan konektor. Menurut Munandar (2011), pada IFFI-1 pemisahan unit sensor dan unit kontrol ini dilakukan untuk mempermudah pemasangan SD card dan 18

2 19 pergantian baterai apabila daya yang dibutuhkan telah habis, namun tanpa mengganggu bagian-bagian lain seperti mikrokontroller dan LCD. Pada IFFI-2, pemisahan unit sensor dari unit kontrol tetap dilakukan untuk mempermudah pendeteksian ikan karena bersifat praktis. Unit kontrol berisi mikrokontroler untuk memproses pengambilan data, penyimpanan data, serta visualisasi data. Pada bagian mikrokontroler terdapat program-program untuk perolehan, pemrosesan, serta visualisasi data. Setelah memperoleh daya, mikrokontroler yang terhubung dengan unit sensor akan mengambil data untuk kemudian diproses. Unit sensor terdiri atas sensor 525 nm dan 660 nm (transmitter dan receiver), serta pin konektor sebagai penghubung. Bagian unit sensor berwarna hitam karena warna hitam bersifat menyerap cahaya, sehingga pemantulan akan lebih terfokus berasal dari tubuh ikan. Konektor yang digunakan menggunakan kabel pelangi yang memiliki 8 isi kabel yang berbeda warna dengan panjang 1.5 m dan menggunakan 8 pin konektor, menghubungkan unit sensor dengan unit kontrol.selain itu, terdapat pula USB to Serial Adapter untuk menghubungkan mikrokontroller dengan laptop yang berisi interface. Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2 terdapat pada bagian kontrol, dimana pada IFFI-1 bagian kontrolnya sekaligus merupakan unit display, sedangkan pada IFFI- 2 unit display-nya terdapat pada laptop berupa interface, dengan visualisasi seperti yang terlihat pada Gambar 6.

3 20 Gambar 6. Tampilan interface IFFI-2 pada monitor laptop Interface IFFI-2 dibuat menggunakan software DELPHI 7. Kelebihan menggunakan interface adalah data hasil pantulan dapat langsung divisualisasikan dalam grafik secara realtime seperti yang terlihat pada Gambar 6. Hal ini juga memudahkan pengamatan pada saat pendeteksian atau pengambilan data, misalnya apabila terjadi gangguan dari luar instrumen (goncangan, dll.) yang memungkinkan perubahan nilai digital pada data, hal tersebut akan langsung terlihat pada interface, sehingga pendeteksian dapat diulang untuk memperoleh data yang lebih akurat. Tampilan interface dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, misalnya grafik apa yang ingin ditampilkan,tombol-tombol apa yang ingin digunakan, bahkan desain layout dari interface itu sendiri dapat diatur dengan mudah. Interface yang ditampilkan pada hasil penelitian berisi kolom untuk menampilkan nilai digital, tiga buah area untuk menampilkan grafik nilai digital secara realtime dari

4 21 pantulan panjang gelombang 525 nm, panjang gelombang 660 nm, serta intensitas rasio pantulan panjang gelombang 525 dan 660 nm. Kemudian terdapat tomboltombol seperti Setting (untuk mengatur COM yang digunakan), Start (untuk memulai transferdata dari instrumen ke interface), Stop (untuk memberhentikan transfer data), Save (untuk menyimpan grafik maupun file hasil parsing data ke dalam format *.jpg maupun *.txt), Save All (untuk menyimpan seluruh grafik dan data sekaligus), serta Clear (untuk membersihkan tampilan). Gambar 7 merupakan contoh hasil visualisasi grafik pendeteksian ikan pada interface. Grafik pertama merupakan nilai digital dari panjang gelombang 660 nm, grafik kedua merupakan nilai digital dari panjang gelombang 525 nm, serta grafik ketiga merupakan intensitas pantulan (db) dari perbandingan panjang gelombang 660 nm dan 525 nm. Gambar 7 menampilkan ikan dengan sisik pada jam ke-1, sedangkan Gambar 8 menampikan ikan dengan sisik pada jam ke-2.

5 ii Gambar 7. Grafik Ikan 1 dengan sisik pada jam ke-1 22

6 Gambar 8. Grafik Ikan 2 dengan sisik pada jam ke-1 23

7 ii 24 Selain pada interface, IFFI-1 dan IFFI-2 memiliki perbedaan dalam beberapa komponennya. Perbedaan paling utama adalah IFFI-1 menggunakan gelombang inframerah 780 nm, sedangkan IFFI 2 menggunakan gelombang cahaya tampak 525 nm dan 660 nm. Sensor 525 nm memiliki cahaya berwarna hijau, sedangkan sensor 660 nm memiliki cahaya berwarna merah (Gambar 9). Gambar 9. Sensor pada IFFI-2, 525 nm (hijau) dan 660 (merah) Sensor memancarkan sinar tampak pada ikan dengan pemancaran seperti yang terlihat pada Gambar 10. Pada kondisi terang maupun gelap (Gambar 10a dan 10b), terlihat bahwa panjang gelombang hijau (525 nm) memiliki penetrasi yang lebih jauh dibandingkan merah. Pendeteksian pada kondisi gelap dapat meminimalisir cahaya lain terdeteksi oleh receiver terutama bersumber dari cahaya matahari. a b Gambar 10. Pemancaran sinar dari sensor pada kondisi terang (a) dan gelap (b)

8 25 Selain itu, IFFI-1 juga memasang sensor suhu di dekat sensor infrarednya, sedangkan IFFI-2 tidak. Pemasangan sensor suhu pada IFFI-1 dikarenakan sensor infrared dipengaruhi perubahan suhu, sehingga dengan pemasangan sensor suhu akan terlihat pengaruh suhu terhadap pantulan infrared, disamping adanya pengaruh dari cahaya luar (Munandar 2011). Untuk sensor cahaya sendiri, diketahui bahwa dari pembacaan data sheet sensor serta dari pengukuran suhu lapangan ketika pengambilan data di Pulau Panggang pada tanggal 19 Oktober 2012 malam hari, suhu udara berada pada kisaran o C, dimana kisaran tersebut masih berada pada kisaran sensor bekerja dengan baik. Sensor sendiri bekerja paling optimal pada suhu 25 o C. Berikut perbedaan IFFI-1 dan IFFI 2 pada Tabel 4. Tabel 4. Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2 No IFFI-1 IFFI-2 1 Menggunakan sensor infrared 780 nm Menggunakan sensor visible light 525 dan 660 nm 2 Tidak menggunakan metode intensitas Menggunakan metode intensitas rasio rasio kedua panjang gelombang 3 Memakai sensor suhu Tidak memakai sensor suhu 4 LCD sebagai display Interface sebagai display 5 Penyimpanan data pada SD Card Penyimpanan data pada hardisk laptop 6 Menggunakan baterai sehingga Menggunakan power supply 7 Telah diujikan pada ikan nila dan lele Telah diujikan pada ikan baronang totol Dari perbedaan di atas, terdapat kekurangan dan kelebihan baik dari IFFI- 1 maupun IFFI-2. IFFI-2 menggunakan 2 panjang gelombang, sehingga dapat dianalisis pula perbandingan intensitas pantulan dari kedua panjang gelombang tersebut terhadap ikan (intensitas rasio). IFFI-1 memakai sensor suhu sehingga dapat menganalisis pengaruh suhu terhadap sensor infrared, sedangkan pada IFFI- 2 lebih fokus kepada analisis sensor terhadap ikan. Kelebihan menggunakan display berupa LCD yaitu lebih praktis karena tidak memerlukan laptop,

9 26 sedangkan kelebihan interface yaitu dapat melihat secara langsung grafik realtime dari pantulan. Penggunaan baterai lebih mudah dalam kondisi jauh dari jangkauan listrik atau kondisi listrik yang sering padam, namun dengan power supply memungkinkan dalam penggunaan tanpa jangka waktu selama pasokan listrik tersedia. 4.2 Hasil Pantulan Gelombang pada Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) Ikan baronang totol diuji menggunakan IFFI-2 dalam dua kondisi, yaitu dengan sisik dan tanpa sisik. Ikan yang diujikan berjumlah tiga ekor sebagai ulangan. Masing-masing berukuran 15.5 cm, 16 cm, dan 17 cm. Gambar 11 menunjukkan ikan baronang totol yang diujikan. Gambar 11. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang diujikan Hasil pengukuran ikan baronang totol ditunjukkan pada Gambar 12, pengukuran dilakukan dengan kondisi ruangan yang gelap. Pengukuran dimulai dari jam ke-0 setelah ikan mati hingga jam ke-13. Perlakuan pematian ikan baronang totol dilakukan dengan cara dibiarkan mati dengan sendirinya. Hal ini mempercepat laju perubahan fase itu sendiri, sesuai dengan hasil penelitian Munandar et al. (2009) diketahui bahwa perlakuan mematikan ikan tanpa ditusuk

10 27 dan tanpa penyiangan menyebabkan perubahan fase kemunduran mutu ikan yang lebih cepat. Data hasil pantulan pengukuran ikan dengan IFFI-2 terdapat pada Lampiran 1. Rata-rata nilai digital ikan terdapat pada Lampiran 2. Hasil perolehan data yang telah diolah ditampilkan dalam grafik moving average, yang dilakukan dengan merata-ratakan setiap 2 titik untuk memperoleh tampilan grafik yang lebih baik. Gambar 12. Pengujian ikan baronang totol dengan IFFI-2 Gambar 13 menunjukkan pantulan ketiga ikan dengan sisik yang telah dirata-ratakan perjamnya, serta Gambar 14 menunjukkan intensitas (db) dari pantulan tersebut. Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa nilai digital number 660 nm lebih tinggi daripada 525 nm. Kedua panjang gelombang tersebut memiliki pola yang hampir sama, namun puncak tertinggi dan puncak terendah dari nilai digital berada pada jam yang berbeda, dimana untuk ikan dengan sisik puncak tertinggi panjang gelombang 660 nm berada di jam ke-3 dan puncak terendah di jam ke-8, sedangkan pada panjang gelombang 525 nm puncak tertingginya berada pada jam ke-4 dan puncak terendah pada jam ke-9. Perbedaan nilai puncak nilai digital atau intensitas ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pendeteksian antara kedua panjang gelombang. Menurut Nilsen

11 28 dan Esaiassen (2005), rentang panjang gelombang dari 400 nm sampai 450 nm dan 525 nm sampai 630 nm merepresentasikan kemungkinan besar adanya darah dalam otot ikan, yaitu Mioglobin (Mb) dan Hemoglobin (Hb). Maka dari itu perbedaan pola panjang gelombang 660 nm dan 525 nm dapat disebabkan oleh karakter panjang gelombang tersebut dalam mendeteksi Mioglobin (Mb) dan Hemoglobin (Hb) Digital number pre rigor rigor mortis post rigor 2 per. 660 nm Mov. Avg. (660) per. 525 nm Mov. Avg. (525) Jam ke- Gambar 13. Grafik rata-rata pantulan ikan yang disertai sisik Gambar 14 menunjukkan bahwa intensitas tertinggi ikan dengan sisik menggunakan panjang gelombang 660 nm berada pada jam ke-2 sebesar -1.5 db dan terendah pada jam ke-8 sebesar -2 db. Intensitas tertinggi ikan dengan sisik menggunakan panjang gelombang 525 nm berada pada jam ke-4 sebesar -2 db dan terendah pada jam ke-9 dengan intensitas -2.9 db. Intensitas pantulan dari panjang gelombang 660 nm lebih tinggi daripada 525 nm.

12 Intensitas (db) pre rigor rigor mortis post rigor 2 per. 660 Mov. nm Avg. (Series1) 2 per. 525 Mov. nm Avg. (Series2) Jam ke- Gambar 14. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan yang disertai sisik Fase ikan secara umum terdiri dari pre rigor, rigor mortis, dan post rigor. Gambar 13 menunjukkan bahwa pada jam ke-1 terjadi penurunan nilai digital. Penurunan intensitas ini dikarenakan menurut Abustam dan Ali (2005), otot yang menghasilkan energi mekanik dalam tubuh terdiri dari unsur-unsur kimia (C, H, O) yang menghasilkan energi kimiawi. Setelah mati maka aktifitas kontraksi otot menjadi lemah (Abustam dan Ali, 2005) dan menyebabkan intensitas pantulan menurun pada fase pre rigor. Pada fase ini, tubuh ikan masih bersifat elastis. Kemudian pada jam ke-2 hingga ke-4 intensitas pantulan cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan glikogen cadangan yang terdapat pada tubuh ikan yang menyebabkan kekakuan otot ikan. Kekakuan otot ini dikarenakan adanya kontraksi-relaksasi antara aktin dan myosin yang membentuk aktomiosin (Munandar et al., 2009). Menurut Abustam dan Ali (2005), waktu yang

13 30 dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat mati, serta jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ikan mati. Semakin berkurangnya ATP, otot ikan tidak dapat mempertahankan elastisitasnya lagi sehingga menjadi kaku. Ikan (Gambar 13) mengalami fase rigor mortis cukup cepat (pada jam ke-2 hingga jam ke-7) dikarenakan oleh perlakuan cara mematikan ikan dimana ikan dibiarkan mati dengan sendirinya menyebabkan ikan mengalami stress. Sesuai dengan Abustam dan Ali (2005) bahwa kondisi stress dan kurang istirahat menjelang mati akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rigor mortis akan berlangsung cepat. Menurut Nurjanah (2004), post rigor ditunjukkan dengan kondisi ikan yang telah mengeluarkan cairan-cairan atau lendir dalam tubuhnya terutama pada bagian perut ikan. Semakin lama daging terpapar tanpa perlakuan maka semakin banyak kontaminan mikrobia di dalamnya. Pada fase ini daging akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana, namun daging sudah tidak elastis. Pada Gambar 13, terlihat bahwa penurunan nilai digital yang signifikan terus terjadi hingga jam ke-8 hingga jam ke-9, kemudian terjadi lagi peningkatan nilai digital hingga jam ke-11. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Munandar (2012) dimana setelah memasuki post rigor hingga akhir pengukuran intensitas pantulan masih mengalami penurunan, akan tetapi intensitas perubahannya tidak seperti yang terjadi pada masa sebelum memasuki tahapan post rigor. Fluktuasi yang terdapat

14 31 pada fase post rigor kemungkinan disebabkan oleh tekstur daging yang melunak (Jaya dan Ramadhan, 2006), adanya lendir pada tubuh ikan, atau adanya gangguan dari luar maupun sensor itu sendiri. Meskipun mengalami penurunan, grafik tetap mengalami fluktuasi meskipun kecil. Jam 11 hingga jam ke-13, terlihat pada panjang gelombang 660 nm nilai intensitas relatif sama. Hal ini menandakan sensor tidak sensitif lagi untuk mendeteksi fase setelah post rigor, yaitu fase busuk. Kondisi ikan tanpa sisik digambarkan pada Gambar 15 dan. Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa apabila dibandingkan dengan kondisi ikan dengan sisik, peningkatan nilai digital yang menunjukkan fase rigor mortis tidak terlalu signifikan, meskipun peningkatan nilai digital tetap ada. Begitu pula dengan penurunannya, tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan kondisi ikan dengan sisik (Gambar 13). Namun pola yang dimiliki baik oleh pantulan ikan dengan sisik dan tanpa sisik relatif serupa, perbedaan terdapat pada nilai digital maupun intensitasnya. Dengan hal ini dapat diperkirakan bahwa untuk percobaan pendeteksian baronang totol yang dilakukan berupa perlakuan dengan sisik dan tanpa sisik, pengukuran ikan dengan sisik menghasilkan intensitas pantulan yang lebih tinggi, karena sifat sisik relatif lebih keras dibandingkan kulit sehingga intensitas pantulannya relatif lebih kuat. Terlihat pada kondisi ikan dengan sisik, pada panjang gelombang 660 nm, memiliki kisaran intensitas -1.5 db hingga -2 db serta pada panjang gelombang 525 nm memiliki kisaran-2 db hingga -2.9 db, sedangkan pada kondisi ikan tanpa sisik, pada panjang gelombang 660 nm, memiliki kisaran panjang gelombang -1.7

15 32 db hingga -2.2 db serta pada panjang gelombang 525 nm memiliki kisaran -1.8 db hingga -2.9 db. Pantulan kondisi ikan tanpa sisik terlihat pada Gambar Digital number pre rigor rigor mortis post rigor 2 per. 660 nm Mov. Avg. (660) 2 per. 525 nm Mov. Avg. (525) Jam ke- Gambar 15. Grafik rata-rata pantulan ikan tanpa sisik. Gambar 16 menampilkan intensitas pantulan tanpa sisik, terlihat bahwa nilai digital ataupun intensitas tertinggi pada panjang gelombang 660 nm berada pada jam ke-1 dan terendah pada jam ke-8, sedangkan pada panjang gelombang 525 nm intensitas tertingginya berada pada jam ke-4 dan terendahnya pada jam ke-13. Gambar 16, menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 660 nm, grafik pada fase post rigor (jam ke-9) hingga akhir pengukuran relatif tidak berfluktuasi. Hal ini menandakan bahwa pada ikan tanpa sisik, instrumen tidak mendeteksi perbedaan fase post rigor dan fase busuk. Kondisi ikan pada kedua fase tersebut sama-sama sudah mengalami penurunan, namun ikan pada fase post rigor masih

16 33 dapat dikonsumsi. Berdasarkan Grafik ikan tanpa sisik yang telah ditampilkan, terlihat bahwa pantulan panjang gelombang 660 nm menampilkan intensitas yang lebih kuat, namun pola yang lebih representatif menunjukkan terjadinya perubahan tingkat kesegaran ikan ditampilkan pada pantulan panjang gelombang 525 nm untuk ikan tanpa sisik Intensitas (db) pre rigor rigor mortis post rigor 2660 per. nm Mov. Avg. (660) 2525 per. nm Mov. Avg. (525) Jam ke- Gambar 16. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan tanpa sisik Hasil visualisasi pada grafik-grafik sebelumya kurang menampikan pola yang lebih representatif dengan fase-fase kemunduran mutu ikan. Untuk lebih mempermudah dalam hal pengamatan pola tersebut dengan menggunakan instrumen IFFI-2, maka diamati pula rasio dari kedua panjang gelombang tersebut. Rasio yang dilakukan berupa pembagian kedua panjang gelombang (Gambar 17) serta pengurangan kedua panjang gelombang (Gambar 18) pada ikan dengan sisik dan tanpa sisik.

17 Intensitas (db) pre rigor rigor mortis Dengan sisik 10log(660/525)/660) Dengan sisik 10log(660/525)/525 Tanpa sisik 10log(660/525)/660) post rigor Tanpa sisik 10log(660/525)/ Jam ke- Gambar 17. Perbandingan (pembagian) intensitas panjang gelombang (db) Intensitas (db) pre rigor rigor mortis post rigor Dengan sisik 10log( )/660) Dengan sisik 10log( )/525 Tanpa sisik 10log( )/660) Tanpa sisik 10log( )/ Jam ke- Gambar 18. Perbandingan (selisih) intensitas panjang gelombang (db)

18 35 Kedua grafik di atas menampilkan empat buah garis berbeda warna yang merupakan intensitas pantulan dari ketiga ikan yang dirata-ratakan. Garis biru tua dan merah menunjukkan intensitas rasio pada ikan dengan sisik, sedangkan garis hijau dan ungu menunjukkan intensitas rasio ketiga ikan tanpa sisik. Kedua grafik di atas memiliki pola yang relatif sama, perbedaannya terdapat pada intensitas dari kedua rasio tersebut. Intensitas rasio perbandingan menampilkan intensitas yang lebih kuat dibandingkan rasio selisih (Gambar 17). Pada kedua grafik tersebut juga terlihat bahwa intensitas rasio ikan tanpa sisik lebih lemah dibandingkan ikan dengan sisik. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa rasio pada jam ke-1 secara umum mengalami peningkatan. Kemudian intensitas rasionya melemah serta pada jam ke-4 berada pada kondisi intensitas rasio yang paling lemah. Setelah jam tersebut, intensitas rasio semakin meningkat, dan pada jam ke-11 menunjukkan intensitas rasio yang mengalami penurunan. Hal ini menjelaskan bahwa pada intensitas rasio perbandingan panjang gelombang 660 nm dan 525 nm, ikan dengan sisik maupun tanpa sisik memiliki perbedaan intensitas yang kecil pada jam ke-4 dalam mendeteksi ikan, sehingga perbedaan intensitas kedua panjang gelombang yang kecil tersebut menunjukkan fase rigor mortis dengan baik. Jam ke-4 hingga ke-7 merupakan fase post rigor. Pada fase ini daging akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana, sehingga kondisi daging yang kembali menjadi lunak (Abustam dan Ali, 2005). Pada jam ke-10 serta jam ke-12 terlihat adanya nilai intensitas rasio yang relatif sama, hal ini menunjukkan bahwa pada sensor tidak melihat fase busuk ikan dengan sensitif.

19 36 Hasil penelitian Nurhayati, et al. (2010) pada ikan bandeng menunjukkan bahwa enzim katepsin menyebabkan pelunakan tekstur pada kemunduran mutu ikan, peningkatan aktifitas enzim katepsin lebih cepat pada ikan yang disimpan di suhu ruang, serta mengalami peningkatan dari fase pre rigor hingga post rigor dan menurun pada fase busuk. Gambar 18 menunjukkan rasio pengurangan kedua panjang gelombang, terlihat bahwa pola yang ditampilkan relatif sama, perbedaannya terdapat pada intensitas dari kedua rasio tersebut. Grafik ikan dengan sisik menampilkan pada jam ke-4 rasio intensitasnya kecil dibandingkan jam-jam lainnya. Kisaran intensitasnya berada pada -9 db dan -10 db, sedangkan untuk ikan tanpa sisik intensitas terendahnya berada pada jam ke-3 dengan nilai intensitas -16 db dan - 17 db. Terlihat bahwa dengan intensitas rasio pengurangan, penurunan mutu pada fase busuk lebih terlihat. Apabila dibandingkan, intensitas rasio perbandingan kedua panjang gelombang dan selisih (pengurangan) kedua panjang gelombang, dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa rasio perbandingan menampilkan hasil visualisasi yang lebih baik, sehingga memudahkan pengamatan fase-fase ikan. Hal ini terlihat dimana pola dari masing-masing fase terlihat dengan jelas dan relatif sama perjamnya dimana terlihat bagian-bagian mana yang perubahannya terlihat jelas. Selain itu, pada rasio pengurangan terjadi perbedaan pola pada jam ke-3 dan ke-4 sehingga rasio perbandingan menampilkan hasil yang lebih baik, meskipun fase busuk lebih terlihat pada rasio pengurangan.

20 37 Selama penyimpanan, ikan mengalami perubahan biokimia, kimia, fisik, dan proses mikrobiologi yang terutama disebabkan oleh waktu dan suhu, faktor lain seperti penanganan dan stress juga mempengaruhi kemunduran mutu ikan (Olsen et al., 2008). Nilai intensitas-intensitas pantulan yang ditampilkan pada grafik-grafik sebelumnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsistensi peletakan instrumen pada ikan, gangguan dari luar, dan kondisi ikan itu sendiri seperti tekstur dan warna. Ketidakakuratan yang disebabkan oleh peletakan instrumen dikarenakan instrumen dipindahkan dari satu ikan ke ikan-ikan berikutnya, sehingga ketika kembali ke posisi awal maka akan memungkinkan peletakan yang berubah dari semula. Selain itu, semakin meningkatnya waktu kondisi tubuh ikan mengalami penggembungan yang disebabkan oleh aktifitas enzimatis maupun mikroba Abustam dan Ali (2005). Pada saat pengambilan data, penggembungan tersebut akan mengakibatkan kemiringan-kemiringan pada peletakan instrumen sehingga memungkinkan adanya cahaya yang keluar. Gangguan dari luar misalnya adanya serangga seperti lalat yang menghinggapi instrumen ketika ikan mengalami fase busuk, sehingga menimbulkan getaran-getaran yang menimbulkan pengaruh pada nilai digital. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan oleh sensor itu sendiri, dimana terkadang sensor tidak menangkap pantulan cahaya sehingga menghasilkan nilai digital nol (0). Gangguan-gangguan dapat terlihat secara langsung pada interface seperti pada Gambar 19.

21 38 Gambar 19. Tampilan pada interface ketika terdapat gangguan getaran dari luar maupun dari sensor Kondisi ikan seperti tekstur dan warna mempengaruhi intensitas pantulan. Hal ini karena tekstrur yang semakin kasar akan membaurkan pantulan. Semakin tinggi kekenyalan daging maka pantulan akan semakin tinggi. Warna mempengaruhi intensitas dikarenakan adanya darah dalam tubuh ikan serta komponen-komponen darah seperti Mioglobin (Mb) dan Hemoglobin (Hb). 4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik pada Ikan Baronang Totol Selain pengambilan data pantulan cahaya yang menghasilkan nilai digital dan intensitas pantulan (db), dilakukan juga pengamatan organoleptik setiap ikan perjamnya. Hal ini bertujuan untuk membandingkan kondisi ikan antara pengamatan menggunakan instrumen dan pengamatan dengan menggunakan panca indera. Uji Organoleptik merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan dengan melihat langsung bagian pada tubuh ikan yang menujukan seperti pada bagian mata, insang, daging dan isi perut ikan. Pengamatan organoleptik yang

22 39 telah dilakukan pada ikan baronang totol yaitu pada kekenyalan tubuh, mata, insang, lendir, serta bau, yang ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Pengamatan kondisi organoleptik ikan Jam Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3 0 Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah Badan mulai kaku, mata mulai keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan kaku, mata sedikit keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah Badan mulai kaku, mata mulai keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan sedikit kaku, mata sedikit keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning redup Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah Badan mulai kaku, mata mulai keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan sedikit kaku, mata sedikit keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan sedikit kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning redup Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

23 40 Tabel 5. Pengamatan kondisi organoleptik ikan (lanjutan) Jam Ikan 1 Ikan 2 Ikan Badan mulai melentur, tubuh kembung, mata redup, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan mulai melentur, tubuh kembung, mata redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan melentur, tubuh kembung, mata mulai redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan melentur, tubuh kembung, berlendir, mata redup, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata redup, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan mulai melentur, tubuh kembung, mata redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan melentur, tubuh kembung, mata redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan melentur, tubuh kembung, berlendir, mata redup, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata redup, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan mulai melentur, tubuh kembung, mata redup, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup Badan melentur, tubuh kembung, berlendir, mata redup, insang pucat, bau mulai busuk, totol kuning menjadi putih Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih Berdasarkan Tabel 5, kondisi mata ikan masih terlihat segar dan bening hingga jam ke-2, kemudian mata terlihat keruh pada jam ke-4. Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan yang dijadikan sebagai parameter tingkat kesegaran ikan. Pada ikan segar, bola mata terlihat cembung dan cerah (Nurjanah et al., 2004). Pada ikan busuk bola mata terlihat memerah hal ini terlihat pada jam ke-

24 Konsistensi merupakan tingkat kelenturan dan kekenyalan yang menunjukan parameter kesegaran ikan. Terlihat bahwa tubuh ikan yang semula elastis, pada jam ke-4 menjadi kaku untuk ikan 2 dan 3, sedangkan tubuh ikan 1 menjadi kaku pada jam ke-3. Daging melentur kembali pada jam ke-10 dan jam ke-11 hingga akhir pengukuran. Insang merupakan salah satu parameter dimana ikan yang kondisinya mulai menurun akan menyebabkan warnanya semakin pucat. Pada Tabel 5, insang mulai memucat pada jam ke-9, dan pada jam ke-11 terlihat pucat. Aroma bau mulai tercium dari ikan pada jam ke-6 dan ke-7, serta bau busuk menyengat pada jam ke-11. Kondisi bau ini mendatangkan banyak lalat yang dapat mengganggu aktifitas pendeteksian dengan instrumen. Pada kondisi ikan dengan sisik, terlihat adanya salah satu ciri utama ikan baronang totol yaitu totol kuning berukuran cukup besar di dekat ujung sirip dorsal. Warna totol kuning tersebut meredup pada jam ke-2, terlihat benar-benar redup pada jam ke-6, dan memutih pada jam ke-11. Hal ini dipengaruhi oleh reaksi-reaksi biokimia yang terjadi pada tubuh ikan. Ikan yang mengeluarkan banyak energi sebelum mati, ph- nya akan lebih cepat turun dan mengaktifkan enzim katepsin yang mampu menguraikan senyawa-senyawa yang bersifat volatil, sehingga fase kemunduran mutunya akan berlangsung cepat (Munandar et al., 2009), sehingga terlihat bahwa terjadinya fase-fase ikan tesebut juga relatif cepat apabila dibandingkan dengan perlakuan pematian dan penyimpanan yang lain. Penanganan dan kondisi penyimpanan dapat mempengaruhi degradasi mikrobiologi. Faktor-faktor ini juga dapat mempengaruhi perekaman pantulan dan mempengaruhi hasil pengamatan.

25 42 Berdasarkan pengamatan organoleptik yang dilakukan, terlihat fase-fase kemunduran mutu ikan baronang totol yang diamati. Menurut Nurjanah et al. (2004), kondisi ikan yang mengalami pre rigor adalah mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir, sayatan daging cemerlang berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding daging perutnya utuh, dan bau isi perut segar, konsistensi otot elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Hal ini sesuai dengan pengamatan pada jam ke-0 hingga jam ke- 1, sehingga pada jam-jam tersebut terjadi fase pre rigor. Fase berikutnya adalah rigor mortis dimana ikan menjadi kaku. Hal ini terlihat mulai jam ke-2 hingga ke-7, dan kondisi tubuh paling kaku serta pantulan paling kuat berada pada jam ke-4. Jam ke-7 hingga ke-10 merupakan fase post rigor yang menurut Nurjanah et al. (2004) ditandai dengan bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh, insang menampakkan diskolorisasi merah muda dan berlendir, sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan pada tulang belakang, bau seperti susu asam, konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang. Pada fase ini ikan masih dapat dikonsumsi meskipun mutunya sudah menurun. Terlihat pada Tabel 5 bahwa mata redup, tubuh ikan kembali melentur, mucul lendir, insang yang memucat, serta bau yang menusuk. Jam-jam berikutnya merupakan fase busuk ikan dimana kondisi ikan sudah tidak dapat dikonsumsi. Pengamatan secara organoleptik menampilkan jam terjadinya fase-fase ikan yang sama dengan hasil pengamatan menggunakan instrumen yaitu pada jam ke-0 hingga jam ke-1 terjadi fase pre rigor, pada jam ke-2 dan ke-7 terjadi fase

26 43 rigor mortis, jam ke-7 hingga ke-10 terjadi fase post rigor, kemudian selanjutnya merupakan fase busuk ikan. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen telah dapat melihat penurunan kualitas ikan dengan cukup baik, sehingga pengembangan/modifikasi instrumen IFFI-1 menjadi IFFI-2 telah dilakukan dengan baik dan memberikan hasil yang lebih baik.

DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU IKAN BARONANG TOTOL (Siganus guttatus) MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm

DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU IKAN BARONANG TOTOL (Siganus guttatus) MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU IKAN BARONANG TOTOL (Siganus guttatus) MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm REFFA PYTHALOKA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng

Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng LAMPIRAN 86 65 88 Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2007 89 66 Lampiran 3 Peta informasi lokasi penempatan rumpon laut dalam Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2009

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 15 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Sukabumi pada bulan Desember 2010. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan

Lebih terperinci

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN.

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN. PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN Nurmeilita Taher Staf Pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN Indra Jaya 1) dan Dewi Kartika Ramadhan 2) Abstract This paper describes an attempt to introduce acoustic method as an alternative for measuring fish freshness.

Lebih terperinci

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan September 2011. Kegiatan penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu pembuatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan Kebersihan terdiri dari dua aspek yang saling berkaitan yaitu sanitasi dan higienitas. Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG

KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG Jurnal Perikanan dan Kelautan EFEKTIVITAS KONSENTRASI BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L) TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU ORGANOLEPTIK IKAN LAYANG (Decapterus sp.) Segar SELAMA PENYIMPANAN RUANG 1,2 Raflin

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data 17 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Jakarta Utara pada bulan Agustus hingga Oktober 2010. 3.2 Metode Penelitian

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR. Riyantono 1 Indah Wahyuni Abida 2 Akhmad Farid 2 1 Alumni Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo 2 Dosen Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil.

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil. LAMPIRAN 59 60 Lampiran Tahapan Penelitian Serbuk kitosan komersil ekor karkas ayam segar Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Pembuatan larutan kitosan (0,5 %; %;,5%) Pemotongan Proses perendaman Penirisan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Penggolongan hasil perikanan laut berdasarkan jenis dan tempat kehidupannya Golongan demersal: ikan yg dapat diperoleh dari lautan yang dalam. Mis.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Sensor Sensor adalah perangkat yang mengubah fenomena fisik menjadi sinyal

2. TINJAUAN PUSTAKA Sensor Sensor adalah perangkat yang mengubah fenomena fisik menjadi sinyal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sensor Sensor adalah perangkat yang mengubah fenomena fisik menjadi sinyal elektronik. Sensor menerima rangsangan dan meresponnya dengan perubahan sinyal listrik dan merupakan

Lebih terperinci

>> PENDAHULUAN >> TUJUAN >> MANFAAT

>> PENDAHULUAN >> TUJUAN >> MANFAAT >> PENDAHULUAN Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik di Pasar Tradisional adalah acuan yang digunakan dalam melakukan kegiatan ritel pangan di pasar tradisional dan dalam rangka pengawasan keamanan pangan

Lebih terperinci

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. menggunakan serial port (baudrate 4800bps, COM1). Menggunakan Sistem Operasi Windows XP.

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. menggunakan serial port (baudrate 4800bps, COM1). Menggunakan Sistem Operasi Windows XP. BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI Bab ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang berupa spesifikasi sistem, prosedur operasional penggunaan program, dan analisa sistem yang telah dibuat. 4.1 Spesifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi penanganan pasca panen Penanganan pasca panen dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

Lebih terperinci

BAB IV IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

BAB IV IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN BAB IV IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN Pada bab ini, akan membahas implementasi dan hasil pengujian dari program aplikasi yang telah dibuat. Pada perancangan aplikasi ini meliputi perbedaan citra hasil foto

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Nama : Timbangan Bayi. 2. Jenis : Timbangan Bayi Digital. 4. Display : LCD Character 16x2. 5. Dimensi : 30cmx20cmx7cm

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Nama : Timbangan Bayi. 2. Jenis : Timbangan Bayi Digital. 4. Display : LCD Character 16x2. 5. Dimensi : 30cmx20cmx7cm 49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Spesifikasi Alat 1. Nama : Timbangan Bayi 2. Jenis : Timbangan Bayi Digital 3. Berat : 5 Kg 4. Display : LCD Character 16x2 5. Dimensi : 30cmx20cmx7cm 6. Sensor : Loadcell

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN Indra Jaya 1) dan Dewi Kartika Ramadhan 2) Abstract This paper describes an attempt to introduce acoustic method as an alternative for measuring fish freshness.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan mutu yang diamati selama penyimpanan buah manggis meliputi penampakan sepal, susut bobot, tekstur atau kekerasan dan warna. 1. Penampakan Sepal Visual Sepal atau biasa

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini

Lebih terperinci

Harryara Sitanggang

Harryara Sitanggang IV. Hasil Pengamatan & Pembahasan Penanganan pasca panen bukan hanya berlaku untuk produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau biasa disebut produk nabati. Pemanenan dari komoditas hewani juga perlu

Lebih terperinci

PERBEDAAN LAJU PERKEMBANGAN RIGOR MORTIS BEBERAPA JENIS IKAN. Abdul Jabarsyah

PERBEDAAN LAJU PERKEMBANGAN RIGOR MORTIS BEBERAPA JENIS IKAN. Abdul Jabarsyah PERBEDAAN LAJU PERKEMBANGAN RIGOR MORTIS BEBERAPA JENIS IKAN Abdul Jabarsyah Staf Pengajar Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Borneo Tarakan Jl. Amal

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Manajemen kualitas

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Manajemen kualitas 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pengendalian mutu adalah kegiatan terpadu mulai dari pengendalian standar mutu bahan dan standar proses produksi, yang dimaksud barang (jasa) yang dihasilkan sesuai dengan

Lebih terperinci

6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO

6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO 91 6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO 6.1 Tingkatan Mutu Hasil Tangkapan yang Dominan Dipasarkan di PPP Lampulo Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produksi dalam dunia industri yang sangat memerlukan keahlian di bidang

I. PENDAHULUAN. produksi dalam dunia industri yang sangat memerlukan keahlian di bidang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Programmable Logic Controller (PLC) merupakan sistem kontrol untuk proses produksi dalam dunia industri yang sangat memerlukan keahlian di bidang kontrol. Banyak kelebihan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kaca merupakan salah satu produk industri kimia yang banyak digunakan dalam

I. PENDAHULUAN. Kaca merupakan salah satu produk industri kimia yang banyak digunakan dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaca merupakan salah satu produk industri kimia yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, berupa material bening atau transparan yang biasanya dihasilkan dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan luas areal 0,8 Ha. Lokasi ini berada tidak jauh dari pemukiman penduduk

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan luas areal 0,8 Ha. Lokasi ini berada tidak jauh dari pemukiman penduduk BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Daerah Pangkalan Pendaratan Ikan (UPTD PPI) Kota Gorontalo terletak di kelurahan Tenda Kecamatan

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR

KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Berkala Perikanan Terubuk, Juli 2006, hlm.121-125 Vol. 33 No. 2 ISSN 0126-4265 KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Rahman Karnila, Suparmi 1), Mei

Lebih terperinci

LAMPIRAN. 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI )

LAMPIRAN. 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI ) 38 LAMPIRAN 1. Skema Prosedur Pengujian Escherichia coli dari Produk Perikanan (SNI 01-2332.1-2006) Preparasi contoh Homogenisasi (25 gr sampel + 225 ml BFP) (selama 2 menit-3 menit) Pengencerandan Pendugaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL, PENGUJIAN DAN ANALISIS. Pengujian diperlukan untuk melihat dan menilai kualitas dari sistem. Hal ini

BAB IV HASIL, PENGUJIAN DAN ANALISIS. Pengujian diperlukan untuk melihat dan menilai kualitas dari sistem. Hal ini BAB IV HASIL, PENGUJIAN DAN ANALISIS Tindak lanjut dari perancangan pada bab sebelumnya adalah pengujian sistem. Pengujian diperlukan untuk melihat dan menilai kualitas dari sistem. Hal ini diperlukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis / Rancangan Penelitian dan Metode Pendekatan Jenis penelitian ini adalah observasional dan menggunakan pendekatan Cross Sectional, dimana variabel bebas dan variabel

Lebih terperinci

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA 4.1 Tujuan Pengujian Prototype Setelah kita melakukan perancangan alat, kita memasuki tahap yang selanjutnya yaitu pengujian dan analisa. Tahap pengujian alat merupakan bagian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

Alat Pindai Profil Lambung Kapal

Alat Pindai Profil Lambung Kapal Alat Pindai Profil Lambung Kapal Deskripsi Sensor atas Sensor jarak Motor Stepper Sensor bawah Sensor Atas, sensor pembatas atas agar sistem kontrol dapat mengetahui apakah sensor jarak telah mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. campuran susu madu dan lain lain. kamar dengan kelembaban relatif berkisar 80% maksimum hanya mampu

BAB I PENDAHULUAN. campuran susu madu dan lain lain. kamar dengan kelembaban relatif berkisar 80% maksimum hanya mampu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telur merupakan bahan pangan hasil ternak unggas yang memiliki sumber protein hewani yang banyak di konsumsi masyarakat sebagai menu makanan sehari hari. Besarnya manfaat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Layur (Trichiurus sp.) Ikan layur (Trichiurus sp.) menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984) Phyllum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN PERANGKAT KERAS DAN LUNAK

BAB III PERENCANAAN PERANGKAT KERAS DAN LUNAK 21 BAB III PERENCANAAN PERANGKAT KERAS DAN LUNAK 3.1 Gambaran umum Perancangan sistem pada Odometer digital terbagi dua yaitu perancangan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Perancangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. alat pendeteksi frekuensi detak jantung. Langkah langkah untuk merealisasikan

BAB III METODE PENELITIAN. alat pendeteksi frekuensi detak jantung. Langkah langkah untuk merealisasikan BAB III METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, akan dilakukan beberapa langkah untuk membuat alat pendeteksi frekuensi detak jantung. Langkah langkah untuk merealisasikan alat pendeteksi frekuensi detak

Lebih terperinci

Sifat Sensoris (Sensory Properties)

Sifat Sensoris (Sensory Properties) Analisis Sifat Sensoris Bahan Pangan By. Jaya Mahar Maligan Laboratorium Nutrisi Pangan dan Hasil Pertanian Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FTP - UB 2016 Sifat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA 4.1. Pengujian Alat Dengan menggunakan berbagai metoda pengujian secara lebih akurat akan memudahkan dalam mengambil sebuah analisa yang berkaitan dengan percobaan yang dilakukan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PERANCANGAN DAN PENGUJIAN ALAT

BAB IV HASIL PERANCANGAN DAN PENGUJIAN ALAT BAB IV HASIL PERANCANGAN DAN PENGUJIAN ALAT 4.1 Hasil Perancangan Setelah melewati tahap perancangan yang meliputi perancangan mekanik, elektrik dan pemprograman. Maka terbentuklah alat perancangan buka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LED ( Light Emitting Diode) Dioda cahaya atau lebih dikenal dengan sebutan LED (light-emitting diode) adalah suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik yang tidak

Lebih terperinci

MAKALAH ILUMINASI DISUSUN OLEH : M. ALDWY WAHAB TEKNIK ELEKTRO

MAKALAH ILUMINASI DISUSUN OLEH : M. ALDWY WAHAB TEKNIK ELEKTRO MAKALAH ILUMINASI DISUSUN OLEH : M. ALDWY WAHAB 14 420 040 TEKNIK ELEKTRO ILUMINASI (PENCAHAYAAN) Iluminasi disebut juga model refleksi atau model pencahayaan. Illuminasi menjelaskan tentang interaksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Resep Bandeng Presto menggunakan Mesin Presto Industry Oleh: Cahyadi Triyansyah (10.11.3735) S1.TI.2C STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Membuat Bandeng Presto Proses Pengolahan Bandeng Presto. Tristar Machinery,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian diperoleh hasil kadar ikan kembung yang diawetkan dengan garam dan khitosan ditunjukkan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil

Lebih terperinci

BAB III ANALISA DAN PERANCANGAN

BAB III ANALISA DAN PERANCANGAN BAB III ANALISA DAN PERANCANGAN III.1. Analisa Permasalahan Pada saat kita mencuci pakaian baik secara manual maupun menggunakan alat bantu yaitu mesin cuci, dalam proses pengeringan pakaian tersebut belum

Lebih terperinci

Efektivitas Belimbing Wuluh terhadap Parameter Mutu Organoleptik dan ph Ikan Layang Segar Selama Penyimpanan Ruang

Efektivitas Belimbing Wuluh terhadap Parameter Mutu Organoleptik dan ph Ikan Layang Segar Selama Penyimpanan Ruang Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume II, Nomor 1, Maret 201 Efektivitas Belimbing Wuluh terhadap Parameter Mutu Organoleptik dan ph Ikan Layang Segar Selama Penyimpanan Ruang 1,2 Raflin Djafar,

Lebih terperinci

Simatupang Maria Fransiska, Sri Purwati, Masitah Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman

Simatupang Maria Fransiska, Sri Purwati, Masitah Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dan Lama Penyimpanan Terhadap Daya Awet Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) pada Kondisi Suhu Kamar Simatupang Maria Fransiska, Sri Purwati,

Lebih terperinci

Sunglasses kesehatan mata

Sunglasses kesehatan mata Sunglasses kesehatan mata Sunglasses atau Kacamata Hitam sudah menjadi barang kebutuhan seharihari, terutama di daerah-daerah tropis seperti Indonesia. Entah untuk digunakan saat sedang berjalan di siang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN tangkapan yang berbeda. Untuk hari pertama tanpa menggunakan lampu, hari ke menggunakan dua lampu dan hari ke menggunakan empat lampu. Dalam satu hari dilakukan dua kali operasi penangkapan. Data yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

Jurnal Coding Sistem Komputer Untan Volume 05, No.2 (2017), hal ISSN : X

Jurnal Coding Sistem Komputer Untan Volume 05, No.2 (2017), hal ISSN : X RANCANG BANGUN ALAT UKUR GERAK LURUS BERUBAH BERATURAN (GLBB) PADA BIDANG MIRING BERBASIS ARDUINO [1] Vionanda Sheila Deesera, [2] Ilhamsyah, [3] Dedi Triyanto [1][3] Jurusan Sistem Komputer, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN ALAT

BAB III PERANCANGAN ALAT BAB III PERANCANGAN ALAT Dalam bidang teknologi, orientasi produk teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia adalah produk yang berkualitas, hemat energi, menarik, harga murah, bobot ringan,

Lebih terperinci

BAB IV PENGUJIAN ALAT DAN ANALISA

BAB IV PENGUJIAN ALAT DAN ANALISA BAB IV PENGUJIAN ALAT DAN ANALISA 4.1 Pendahuluan Dalam bab ini akan membahas mengenai pengujian dari alat yang telah dirancang pada bab sebelumnya. Pengujian alat dilakukan untuk mengetahui kinerja sistem

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Konsentrasi O dan CO dalam Kemasan mempunyai densitas antara.915 hingga.939 g/cm 3 dan sebesar,9 g/cm 3, dimana densitas berpengaruh terhadap laju pertukaran udara

Lebih terperinci

LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA. Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis.

LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA. Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis. LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis. Pendahuluan Fotosintesis merupakan proses pemanfaatan enegi matahari oleh tumbuhan

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PENGURAS DAN PENGISI TEMPAT MINUM TERNAK PADA PETERNAKAN BEBEK

RANCANG BANGUN PENGURAS DAN PENGISI TEMPAT MINUM TERNAK PADA PETERNAKAN BEBEK RANCANG BANGUN PENGURAS DAN PENGISI TEMPAT MINUM TERNAK PADA PETERNAKAN BEBEK Akroma Ardi, Ir. Ponco Siwindarto, M.Eng.Sc. dan Mochammad Rif an, ST., MT. Abstrak Semua makhluk hidup membutuhkan air, karena

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS MASALAH DAN RANCANGAN PROGRAM

BAB III ANALISIS MASALAH DAN RANCANGAN PROGRAM BAB III ANALISIS MASALAH DAN RANCANGAN PROGRAM III.1. Analisa Masalah Dalam perancangan sistem otomatisasi pemakaian listrik pada ruang belajar berbasis mikrokontroler terdapat beberapa masalah yang harus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

Mutiara Nugraheni

Mutiara Nugraheni Mutiara Nugraheni mutiara_nugraheni@uny.ac.id 1. 2. 3. Mutu protein tinggi, asam amino esensial lengkap dan seimbang Protein lebih mudah dicerna daripada nabati Mengandung vitamin dan mineral 1.Sapi Penghasil

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah

Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah Nikè:Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.Volume II, Nomor 4, Desember 2014 Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah Herlila Tamuu, Rita Marsuci Harmain

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENULISAN

BAB III METODOLOGI PENULISAN BAB III METODOLOGI PENULISAN 3.1 Blok Diagram Gambar 3.1 Blok Diagram Fungsi dari masing-masing blok diatas adalah sebagai berikut : 1. Finger Sensor Finger sensor berfungsi mendeteksi aliran darah yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada proses pembuatan Tugas Akhir ini banyak media-media alat yang

BAB III METODE PENELITIAN. Pada proses pembuatan Tugas Akhir ini banyak media-media alat yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Daftar alat Pada proses pembuatan Tugas Akhir ini banyak media-media alat yang digunakan agar proses pembuatan bisa berjalan dengan maksimal. Daftar alat-alat

Lebih terperinci

Aspek Interaksi Manusia dan Komputer

Aspek Interaksi Manusia dan Komputer HUMAN Manusia merasakan dunia nyata dengan menggunakan piranti yang lazim dikenal dengan panca indera -mata, telinga, hidung, lidah dan kulit- sehingga lewat komponen inilah kita dapat membuat model manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam belimbing yaitu belimbing manis (Averrhoa carambola) dan

BAB I PENDAHULUAN. macam belimbing yaitu belimbing manis (Averrhoa carambola) dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belimbing merupakan buah yang banyak mengandung air. Ada dua macam belimbing yaitu belimbing manis (Averrhoa carambola) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Belimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelangsungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh nilai atau kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, karbohidrat, mineral, serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Lolosi Merah (C. chrysozona) Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk dalam family ikan caesiodidae yang erat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB III METODE PENELITIAN

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Rancang bangun alat akan dilaksanakan di Laboratorium Instrumentasi Medis Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman

Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman Determination of Time Rigor Mortis Red Tilapia (Oreochromis Niloticus) based on the Degree

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci