VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI. satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah saat ini

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI. satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah saat ini"

Transkripsi

1 VII. DAMPAK REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAMBI Pembangunan kembali (revitalisasi) sektor kehutanan merupakan salah satu bagian dari triple track strategy yang dijalankan oleh pemerintah saat ini dalam rangka pertumbuhan ekonomi (pro-growth), mengurangi kemiskinan (propoor) dan mengurangi pengangguran (pro-job). Target penurunan kemiskinan dari 16.6 persen tahun 2004 menjadi 8.2 persen tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari 9.7 persen tahun 2004 menjadi 5.1 persen tahun 2009 mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapainya, antara lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6.6 persen per tahun. Disamping itu rasio investasi terhadap GDP harus naik dari 16 persen pada tahun 2004 menjadi 24.4 persen pada tahun 2009 dan rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3.5 persen per tahun (Berita RI, 2006). Sektor kehutanan memegang peran sangat penting dalam pencapaian target tersebut sebab ternyata sektor tersebut pro-growth, pro-job dan pro-poor. Studi yang dilakukan Darusman dan Hardjanto (2003), menyatakan bahwa usaha pembangunan kehutanan diharapkan mampu memberikan dampak ekonomi yang optimal, dalam arti dapat menciptakan dan meningkatkan keseimbangan antara manfaat yang berupa perbaikan pendapatan terhadap petani kayu rakyat, para pekerja yang terlibat dalam usaha kayu rakyat, para pedagang dan industri, serta dapat dijadikan sumber pendapatan daerah. Setiap tahapan kegiatan dalam pembangunan hutan khususnya hutan tanaman mempunyai dampak ekonomi seperti: pembibitan, penanaman, pemeliharaan tegakan, penebangan dan pengolahan. Keberadaan tegakan hutan rakyat, bahkan bisa menarik para

2 184 wisatawan untuk membelanjakan uangnya di wilayah tegakan tersebut. Di samping itu, dalam setiap pembangunan kehutanan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung. Adanya lapangan pekerjaan dalam pembangunan hutan rakyat merupakan manfaat langsung, sedangkan manfaat tidak langsung seperti peningkatan kesempatan kerja dan upah, akan mengintensifkan kegiatan dalam sektor lain misalnya pada sektor rumah makan, pusat perbelanjaan dan di sektor publik lainnya seperti sekolah, kepadatan di jalan raya, serta jasa lainnya, manfaat-manfaat tersebut merupakan efek pengganda (multiplier effect) dari keberadaan hutan rakyat. Revitalisasi kehutanan memerlukan sumberdaya besar yang tidak mungkin dapat dipenuhi semuanya mengingat keterbatasan sumberdaya baik dana maupun SDM dari pemerintah daerah. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya berbagai macam pilihan yang dapat dijadikan sebagai prioritas utama, dalam hal ini pemerintah daerah membutuhkan alternatif prioritas kebijakan pembangunan kehutanan yang dapat mencapai tujuan dari revitalisasi kehutanan tersebut. Untuk kepentingan ini, penerapan model SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi) sangat membantu dalam melihat bagaimana pola pembangunan ekonomi berbasis kehutanan di provinsi Jambi dilakukan. Dengan menggunakan SNSE dapat ditelusuri secara komprehensif dampak pembangunan kehutanan terhadap distribusi pendapatan dalam perekonomian wilayah yang mencakup distribusi pendapatan terhadap faktor-faktor produksi, institusi dan sektor produksi. Melalui rumus standar SNSE mengenai estimasi pendapatan dari aktifitas tertentu akibat adanya injeksi pada neraca eksogen suatu sektor berbasis kehutanan sebagaimana telah diuraikan didepan maka dapat diketahui seberapa

3 185 besar dampak pembangunan kehutanan terhadap perekonomian wilayah Jambi, ketika dilakukan simulasi kebijakan yang dilakukan sebagai berikut : Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 : investasi untuk pembangunan atau perluasan Hutan Tanaman (HTI dan HTR) sebesar Rp triliun. : investasi untuk pembangunan atau perluasan industri pulp sebesar Rp triliun. : investasi pembangunan atau perluasan industri kertas tulis cetak sebesar Rp triliun. : investasi pembangunan atau perluasan industri kertas tisu sebesar Rp triliun. : investasi pembangunan atau perluasan industri kayu lapis dari jenis MDF (Medium Density Fibreboard) sebesar Rp triliun. Simulasi 6 : investasi untuk pembangunan ekonomi wilayah berbasis kehutanan (kombinasi Simulasi 1, 2, 3, 4 dan 5) sebesar Rp triliun. Simulasi 7 Simulasi 8 Simulasi 9 Simulasi 10 : investasi untuk pembangunan atau perluasan industri kertas dan ikutannya (kombinasi Simulasi 3 dan 4) sebesar Rp triliun. : investasi untuk pembangunan sektor-sektor produksi bahan baku berbasis kehutanan (kombinasi Simulasi 1, 2 dan 5) sebesar Rp triliun. : investasi untuk pembangunan kehutanan berbasis industri kertas (kombinasi Simulasi 1, 2, 3 dan 4) sebesar Rp triliun. : investasi untuk pembangunan kehutanan berbasis industri MDF (kombinasi Simulasi 1 dan 5) sebesar Rp triliun. Dampak dari kesepuluh simulasi kebijakan tersebut terhadap distribusi pendapatan dalam perekonomian wilayah Jambi dapat dijelaskan dalam sub bab berikut.

4 Distribusi Nilai Tambah dan Penyerapan Tenagakerja Dalam struktur SNSE yang telah dibangun, faktor-faktor produksi secara garis besar dibagi ke dalam dua jenis faktor yakni tenaga kerja dan modal. Tenaga kerja itu sendiri di rinci menjadi (1) tenaga kerja pertanian, (2) tenaga kerja buruh kasar, operator angkutan dan manual, (3) tenaga kerja tata usaha, tata usaha penjualan dan jasa-jasa, dan (4) tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, profesional dan militer. Distribusi pendapatan yang diterima oleh faktor produksi baik yang berupa upah dan gaji tenaga kerja maupun balas jasa modal merupakan nilai tambah yang ada dalam perekonomian wilayah setempat. Pada tabel 28 dapat dilihat dampak investasi dalam rangka revitalisasi sektor kehutanan terhadap pertambahan total nilai tambah. Secara umum semua kebijakan investasi tersebut dapat menaikan total nilai tambah perekonomian Provinsi Jambi dengan persentase yang berbeda-beda tergantung jenis dan besarnya investasi yang ditanamkan berkisar antara 5.05 persen sampai persen. Pertambahan nilai tambah tersebut didistribusikan kepada faktor produksi tenaga kerja dan faktor produksi modal. Secara umum menunjukkan bahwa distribusi pertambahan nilai tambah dari industri hilir kehutanan lebih banyak kepada faktor produksi modal. Sebaliknya sektor kehutanan primer (produksi bahan baku) dan industri hulu kehutanan atau kombinasi investasi yang lebih dominan pada sektor kehutanan primer serta industri hulu kehutanan cenderung distribusi pertambahan nilai tambahnya lebih besar kepada faktor produksi tenaga kerja. Fakta ini menunjukkan bahwa sesungguhnya investasi kehutanan dapat diandalkan untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja kehutanan khususnya yang berada di pedesaan dimana pada umumnya sektor kehutanan beraktifitas.

5 187 Jika diperhatikan lebih seksama Tabel 28, maka dapat diuraikan lebih detil distribusi nilai tambah atau pendapatan faktor produksi sebagai berikut. Kebijakan pembangunan kehutanan yang sifatnya parsial (Simulasi 1 sampai Simulasi 5) yang dianggap paling mampu meningkatkan pendapatan faktor produksi dalam perekonomian wilayah Jambi adalah kebijakan meningkatkan produksi pulp sebesar 100 persen (Simulasi 2). Mulai dari tenaga kerja pertanian sampai dengan modal, kenaikan pendapatannya tampak lebih besar dibandingkan pertambahan pendapatan yang dihasilkan oleh simulasi kebijakan tunggal lainnya. Melalui kebijakan ini, secara keseluruhan tenaga kerja pertanian di Jambi akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar persen dari nilai base. Kenaikan pendapatan lebih dari 100 persen juga terjadi pada tenaga kerja buruh kasar, operator angkutan dan manual yakni sebesar persen. Dibanding faktor-faktor produksi yang lain, kedua jenis faktor produksi ini memang terlihat yang paling tinggi banyak menerima dampak dari peningkatan investasi industri pulp. Oleh karena tenaga kerja pertanian maupun buruh kasar, operator angkutan dan manual mempunyai tingkat upah yang rendah, maka dapat dipastikan terjadinya kenaikan pendapatan total tenaga kerja tersebut akibat adanya pertambahan permintaan tenaga kerja secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan revitalisasi kehutanan melalui pembangunan atau perluasan HTI (Simulasi 1) juga memberikan persentase pertambahan pendapatan kepada faktor tenaga kerja untuk produksi yaitu tenaga kerja pertanian dan tenaga kerja buruh kasar, operator angkutan dan manual masing-masing persen dan persen yang lebih besar dibanding persentase tambahan pendapatan yang diterima oleh kelompok tenaga kerja administrasi dan profesional yaitu tenaga kerja tata

6 188 usaha, tata usaha penjualan dan jasa-jasa sebesar persen serta tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, professional dan militer sebesar 7.27 persen. Adanya perbedaan yang cukup tinggi diantara kedua kelompok tenaga kerja tersebut menandakan bahwa kebijakan investasi untuk pembangunan HTI akan berdampak lebih banyak terhadap tenaga kerja produksi dibandingkan tenaga kerja administrasi maupun profesional. Kebijakan industri berbasis kehutanan dengan cara meningkatkan investasi untuk pembangunan atau perluasan industri kertas dengan kapasitas sebesar 500 ribu ton per tahun (Simulasi 3) diperkirakan mampu meningkatkan pendapatan faktor produksi tenaga kerja pertanian sebesar persen, untuk tenaga kerja buruh kasar, operator angkutan dan manual dapat dinaikkan dari nilai base sebesar persen. Sedangkan untuk pendapatan tenaga kerja yang terdidik (tenaga kerja tata usaha, tata usaha penjualan dan jasa-jasa) dan tenaga kerja profesional (tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, profesional dan militer) rata-rata mengalami peningkatan sebesar persen dan 6.93 persen. Adanya perbedaan yang cukup tinggi diantara kedua kelompok tenaga kerja tersebut juga menandakan bahwa kebijakan investasi di industri kertas akan berdampak lebih banyak terhadap tenaga kerja produksi dibandingkan tenaga kerja administrasi maupun profesional. Demikian pula dengan kebijakan investasi untuk pembangunan atau perluasan industri kertas tisu dengan kapasitas sebesar 100 ribu ton per tahun (Simulasi 4) akan memberikan persentase pertambahan pendapatan kepada kelompok tenaga kerja pertanian sebesar 6.91 persen serta tenaga kerja buruh kasar, operator angkutan dan manual sebesar 7.53 persen dari nilai base, nilai

7 189 tersebut lebih tinggi dibandingkan persentase pertambahan pendapatan kepada kelompok tenaga kerja terdidik dan profesional masing-masing 3.96 persen dan 1.80 persen dari base. Adanya perbedaan persentase yang cukup tinggi terhadap pertambahan pendapatan diantara kedua kelompok tenaga kerja tersebut menandakan bahwa kebijakan investasi di sektor industri kertas tisu akan berdampak adanya kelompok tenaga kerja produksi lebih besar dibandingkan kelompok tenaga kerja adminstrasi maupun profesional. Berbeda halnya dengan empat kebijakan terdahulu kebijakan investasi untuk pembangunan atau perluasan industri MDF (Simulasi 5) justru memberikan pertambahan pendapatan yang lebih besar pada kelompok tenaga kerja tata usaha, tata usaha penjualan dan jasa-jasa (4.79 persen), sedangkan kelompok tenaga kerja pertanian (3.42 persen), buruh kasar, operator angkutan dan manual (3.01 persen), serta kepemimpinan, ketatalaksanaan, professional dan militer lebih kecil dari yang lain (1.90 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa industri MDF banyak membutuhkan tenaga menengah dengan ketrampilan yang lebih tinggi. Dari Tabel 28 juga dapat dilihat bahwa kebijakan pembangunan atau perluasan HTI (Simulasi 1) dan pembangunan atau perluasan industri pulp (Simulasi 2) memberikan persentase tambahan pendapatan yang lebih besar kepada faktor produksi tenaga kerja dibanding faktor produksi berupa bukan tenaga kerja (modal). Sebaliknya kebijakan pembangunan atau perluasan industri kertas cetak tulis (Simulasi 3), pembangunan atau perluasan industri kertas tisu (Simulasi 4) dan pembangunan atau perluasan industri MDF memberikan persentase tambahan pendapat yang lebih besar kepada faktor produksi bukan tenaga kerja (modal) dibanding kepada faktor produksi tenaga kerja. Hal ini

8 190 menandakan bahwa HTI dan industri pulp relatif bersifat padat karya dibandingkan industri kertas cetak tulis, industri kertas tisu dan industri MDF. HTI dan industri pulp secara langsung maupun tidak langsung banyak membutuhkan tenaga kerja untuk pembangunan, pemeliharaan, pemanenan tanaman HTI maupun untuk pengangkutan bahan baku kayu. Selain simulasi tunggal seperti diuraikan di atas dalam studi ini juga dilakukan beberapa simulasi kombinasi yang menghasilkan berbagai kebijakan pembangunan wilayah yakni kebijakan pembangunan ekonomi berbasis kehutanan (Simulasi 6), industri kertas dan ikutannya (Simulasi 7), bahan baku berbasis kehutanan (Simulasi 8), kehutanan berbasis kertas (Simulasi 9) dan kehutanan berbasis MDF (Simulasi 10). Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa, kebijakan pembangunan berbasis kehutanan yang dilakukan serentak (Simulasi 6) akan memberi dampak pendapatan tenaga kerja yang paling tinggi dibandingkan kebijakan-kebijakan lainnya yang dilakukan dalam studi ini. Kebijakan pembangunan berbasis kehutanan yang dilakukan bersamaan, mampu meningkatkan pendapatan tenaga kerja pertanian hingga mencapai persen, tenaga kerja buruh kasar, operator angkutan dan manual sebesar persen, tenaga kerja terdidik dan profesional masing-masing sebesar persen dan persen. Perbedaan yang relatif tinggi sebagaimana yang terjadi pada Simulasi 1 dan Simulasi 2 menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan berbasis kehutanan (Simulasi 6, kombinasi Simulasi 1, 2, 3, 4 dan 5) akan berdampak lebih banyak terhadap tenaga kerja produksi dibandingkan tenaga kerja lebih terdidik maupun profesional. Pada umumnya tenaga kerja produksi berasal atau tinggal di pedesaan sekitar hutan.

9 191 Tabel 28. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan terhadap Total Pendapatan Faktor-Faktor Produksi di Provinsi Jambi ( persen) Faktor-Faktor Produksi BASE SIM 1 SIM 2 SIM 3 SIM 4 SIM 5 SIM 6 SIM 7 SIM 8 SIM 9 SIM 10 Pertanian Buruh Kasar, Operator Angkutan dan Manual Tenaga Kerja Tata Usaha, Tata usaha penjualan dan Jasa- Jasa Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Profesional dan Militer Total Tenaga Kerja Bukan Tenaga Kerja (Modal) Total Nilai Tambah

10 192 Secara umum hasil Simulasi 7 (kebijakan industri kertas dan ikutannya), Simulasi 8 (kebijakan pembangunan sektor produksi bahan baku berbasis kehutanan), Simulasi 9 (kebijakan pembangunan kehutanan berbasis kertas) dan Simulasi 10 (kebijakan pembangunan kehutanan berbasis MDF), sebagaimana terlihat pada Tabel 28 juga menunjukkan bahwa kelompok tenaga kerja produksi (tenaga kerja pertanian serta tenaga kerja buruh kasar, operator, angkutan dan manual) memperoleh persentase tambahan pendapatan lebih besar dari pada kelompok tenaga kerja terdidik dan profesional (tenaga kerja tata usaha, tata usaha penjualan dan jasa-jasa serta tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, profesional dan militer). Dari Tabel 28 juga dapat dilihat bahwa kebijakan pembangunan wilayah berbasis kehutanan (Simulasi 6), kebijakan pembangunan sektor produksi bahan baku berbasis kehutanan (Simulasi 8), kebijakan pembangunan kehutanan berbasis kertas (Simulasi 9) dan kebijakan pembangunan kehutanan berbasis MDF (Simulasi 10), memberikan persentase tambahan pendapatan yang lebih besar kepada faktor produksi tenaga kerja dibanding faktor produksi bukan tenaga kerja (modal). Sebaliknya kebijakan pembangunan industri kertas dan ikutannya (Simulasi 7) memberikan persentase tambahan pendapatan yang lebih besar kepada faktor produksi bukan tenaga kerja (modal) dibanding kepada faktor produksi tenaga kerja. Hal ini menandakan bahwa kebijakan pembangunan wilayah berbasis kehutanan, kebijakan pembangunan produksi bahan baku berbasis kehutanan, kebijakan pembangunan berbasis industri kertas dan kebijakan pembangunan berbasis industri MDF relatif bersifat padat karya dibandingkan kebijakan pembangunan industri kertas dan produk ikutannya.

11 193 Disamping itu, pada Tabel 29 disajikan data dampak per satuan nilai investasi terhadap persentase pertambahan pendapatan faktor produksi akibat implementasi kebijakan revitalisasi kehutanan sebagaimana Simulasi 1 sampai 10. Investasi pembangunan HTI (Simulasi 1) memberikan dampak kepada total nilai tambah (pendapatan faktor produksi total) per satuan investasi paling besar ( persen) diantara investasi lain. Menyusul kemudian adalah investasi untuk pembangunan industri pulp (Simulasi 2) sebesar persen, pembangunan sektor produksi bahan baku berbasis kehutanan (Simulasi 8) dan pembangunan kehutanan berbasis kertas (Simulasi 9) keduanya masing-masing sebesar persen serta pembangunan ekonomi wilayah berbasis kehutanan (Simulasi 6) sebesar persen. Sementara investasi pembangunan industri MDF memberikan dampak terkecil diantara investasi yang lain sebesar persen saja. Persentase tersebut menggambarkan efisiensi dan efektivitas investasi, dimana makin besar persentase dampak pada pendapatan maka investasi itu makin efisien, besaran tersebut juga merupakan ICOR dari investasi tersebut. Semua investasi kecuali investasi untuk pembangunan industri MDF (Simulasi 5) memberikan persentase pertambahan pendapatan kepada tenaga kerja produksi lebih besar dibanding tenaga kerja terdidik. Apabila diasumsikan tenaga kerja produksi sebagian besar tinggal di perdesaan dan di sekitar hutan, sementara tenaga terdidik tinggal di kota maka kesembilan kebijakan tersebut lebih cocok untuk meningkatkan pendapatan penduduk desa. Kesembilan kebijakan tersebut, paling efisien meningkatkan pendapatan penduduk perdesaan adalah pembangunan HTI (Simulasi 1), pembangunan kehutanan berbasis MDF (Simulasi 10) dan pembangunan wilayah berbasis kehutanan (Simulasi 6).

12 194 Tabel 29. Persentase Pertambahan Pendapatan Faktor Produksi terhadap Total Injeksi ( persen) ( o r Simulasi a n g ) SIM 1 SIM 2 SIM 3 SIM 4 SIM 5 SIM 6 SIM 7 SIM 8 SIM 9 Injeksi (juta rupiah) Pertanian Buruh Kasar, Operator Angkutan, Manual TU, TU Penjualan, Jasa-Jasa Faktor Produksi Kepmpinan, Ktatalaksanaan, Professional, Militer Total Tenaga Kerja Modal (Bukan Tenaga Kerja) Total Nilai Tambah SIM

13 195 Terhadap pendapatan total tenaga kerja maka secara berurutan investasi yang paling efisien adalah pembangunan HTI (Simulasi 1), pembangunan kehutanan berbasis MDF (Simulasi 10), pembangunan produksi bahan baku berbasis kehutanan (Simulasi 8), pembangunan kehutanan berbasis kertas (Simulasi 9) dan pembangunan wilayah berbasis kehutanan (Simulasi 6), dimana kebijakan tersebut memberikan persentase pertambahan pendapatan tenaga kerja tertinggi. Namun demikian apabila ditinjau dari pemilik modal (faktor produksi bukan tenaga kerja), maka kebijakan paling efisien adalah pembangunan industri pulp (Simulasi 2), pembangunan kehutanan berbasis kertas (Simulasi 9), pembangunan industri kertas dan ikutannya (Simulasi 7), pembangunan produksi bahan baku berbasis kehutanan (Simulasi 8) dan pembangunan wilayah berbasis kehutanan (Simulasi 6). Dari uraian diatas diketahui bahwa pada semua kebijakan terjadi dampak pertambahan pada total pendapatan tenaga kerja. Sementara itu tenaga kerja kelompok produksi (tenaga pertanian maupun tenaga kerja buruh kasar, operator angkutan dan manual) yang mempunyai tingkat upah yang rendah, memperoleh tingkat pertambahan pendapatan yang besar. Maka dapat dipastikan akan terjadi kenaikan pendapatan tenaga kerja, dan pada akhirnya akan menambah permintaan tenaga kerja secara langsung maupun tidak langsung dari kenaikan investasi di sektor kehutanan tersebut. Dari SNSE 2005 diketahui bahwa pendapatan tenaga kerja mencapai Rp juta per tahun dan jumlah pekerja maka tingkat upah rata-rata pekerja di provinsi Jambi adalah Rp per pekerja per tahun.

14 196 Dengan menggunakan tingkat upah rata-rata sebagai faktor pembagi dan diasumsikan konstan, maka jumlah pertambahan permintaan tenaga kerja dalam penelitian ini dapat disajikan dalam Tabel 30. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa investasi pembangunan HTI (Simulasi 1) akan menyerap tenaga kerja sebanyak orang sehingga total pekerja di provinsi Jambi mencapai orang dari semula orang atau naik sebesar persen. Sedangkan kebijakan yang menaikan kebutuhan tenaga kerja lebih dari 100 persen dari base adalah pembangunan berbasis kehutanan (Simulasi 6) menaikkan jumlah kebutuhan tenaga kerja sebesar persen, pembangunan sektor kehutanan berbasis industri kertas (Simulasi 9) sebesar persen dan pembangunan produksi bahan baku berbasis kehutanan (Simulasi 8) sebesar persen. Tabel 30. Jumlah Pertambahan Tenaga Kerja menurut Simulasi Kebijakan dan Berdasarkan Kelompok Lapangan Usaha Utama Simulasi Tambahan Penyerapan Tenaga Kerja (orang) Pertam- Pertanian Industri Jasa-jasa Total bangan Kenaikan kebth. Tng kerja ( persen) SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM Catatan: jumlah pekerja tahun 2005 adalah orang Pembangunan berbasis kehutanan (Simulasi 6) juga dapat memberi dampak pertambahan tenaga kerja yang paling besar dalam perekonomian wilayah Jambi. Melalui Tabel 30, diperkirakan jumlah tenaga kerja secara keseluruhan akan bertambah sebanyak orang yang terdiri atas pertambahan tenaga

15 197 kerja di sektor pertanian sebanyak , sektor pertambangan sebanyak orang, sektor industri sebanyak orang dan sektor jasa-jasa sebanyak orang. Apabila dibandingkan dampak pembangunan kehutanan yang berbasis kertas (Simulasi 9) dengan berbasis MDF (Simulasi 10), terlihat jelas bahwa pengembangan sektor kehutanan yang diperuntukan industri kertas mempunyai dampak nilai tambah yang lebih besar dibandingkan MDF. Sebagai contoh untuk nilai tambah tenaga kerja, kebijakan pembangunan kehutanan yang terfokus pada industri kertas baik itu di hulu maupun di hilir mampu meningkatkan pendapatan tenaga kerja dalam perekonomian wilayah Jambi kurang lebih sebesar persen, sedangkan melalui pengembangan kehutanan berbasis MDF hanya dapat menaikkan pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan sebesar persen, lebih jelasnya dapat dilihat Tabel 30. Termasuk juga dalam pertambahan tenaga kerja, pengembangan industri kertas di Jambi diperkirakan memberi dampak yang lebih besar dibandingkan industri MDF. Pada Tabel 30 dapat dilihat bahwa jumlah tenaga kerja akan bertambah sebesar apabila pembangunan kehutanan lebih diarahkan pada sektor hulu dan hilir produk kertas, sementara melalui pembangunan kehutanan berbasis produk MDF jumlah tenaga kerja yang bertambah hanya sebesar orang. Apabila dilihat dari besarnya investasi yang dikeluarkan, maka efisiensi penciptaan lapangan kerja dapat dilihat dalam Tabel 31. Dari Tabel 31 dapat dilihat bahwa Simulasi 1 (investasi pembangunan HTI) menciptakan kesempatan kerja per satuan nilai investasi (101 orang per milyar rupiah) jauh lebih tinggi dibanding simulasi lainnya. Keunggulan

16 198 pembangunan HTI dalam penciptaan lapangan kerja terutama disebabkan aktivitas HTI jauh bersifat padat karya yang memerlukan keterlibatan banyak sekali tenaga kerja dibandingkan sektor lainnya. Hal tersebut juga dibuktikan dengan HTI (SP 25) mempunyai jalur ke hampir seluruh rumahtangga sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 33. Dengan kenyataan tersebut HTI dapat diharapkan untuk dijadikan salah satu sektor andalan kehutanan dalam penciptaan lapangan kerja (pro job). Tabel 31. Efisiensi Penciptaan Lapangan Kerja Atas Dasar Nilai Investasi menurut Simulasi Kebijakan dan Kelompok Lapangan Usaha Utama Tambahan Penyerapan Tenaga Kerja Investasi (orang/ milyar rupiah) Simulasi (juta rupiah) Pertam- Pertanian Industri Jasa-jasa Total Bangan SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM Sumber : hasil pengolahan Setelah pembangunan HTI (Simulasi 1) secara berturut-turut kebijakan pembangunan yang memberikan kesempatan kerja per satuan investasi tertinggi adalah Simulasi 10 (pembangunan kehutanan berbasis MDF) 79 orang per milyar rupiah investasi, Simulasi 8 (pembangunan produksi bahan baku berbasis kehutanan) 67 orang per milyar rupiah investasi, Simulasi 9 (pembangunan kehutanan berbasis kertas) 66 orang per milyar rupiah investasi, Simulasi 6 (pembangunan wilayah berbasis kehutanan) 64 orang per milyar rupiah investasi, Simulasi 2 (pembangunan industri pulp) 63 orang per milyar rupiah investasi.

17 199 Simulasi lainnya hanya menumbuhkan kesempatan kerja kurang dari 55 orang per milyar rupiah investasi. Salah satu kendala ekonomi yang dihadapi masyarakat pada umumnya adalah kesenjangan pendapatan yang diperoleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lain. Pembangunan kehutanan diharapkan dapat mengurangi kesenjangan tersebut. BPS (2003) menghitung kesenjangan pendapatan kelompok rumahtangga berpendapatan rendah (Yr) dengan pendapatan kelompok rumahtangga berpendapatan tinggi (Yt) dengan menggunakan rasio pendapatan tinggi dibagi pendapatan rendah (Yt/Yr) atau dikenal Maximum to Minimum Ratio (MMR). Dengan memodifikasi metode penghitungan BPS (2003) tersebut, dalam penelitian ini digunakan indeks kesenjangan yakni pendapatan tinggi (Yt) dikurangi pendapatan rendah (Yr) dibagi pendapatan rendah (Yr) atau (Yt-Yr)/Yr. Tabel 32. Kesenjangan Pendapatan Faktor Produksi Tenaga Kerja dan Modal Simulasi Pendapatan Tenaga Kerja Pendapatan Modal (juta rupiah) (juta rupiah) Kesenjangan DASAR/BASE SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM Dari tabel 32 diatas, dalam kondisi dasar (base), kesenjangan pendapatan faktor produksi tenaga kerja dan pendapatan modal sebesar Kebijakan investasi pembangunan HTI terbukti dapat menurunkan kesenjangan pendapatan

18 200 antara tenaga kerja dan modal menjadi 2.05, hal ini menunjukkan bahwa pertambahan pendapatan tenaga kerja HTI relatif lebih tinggi dari tambahan pendapatan yang didapat oleh faktor produksi modal, demikian pula halnya dengan kebijakan lain juga menurunkan kesenjangan pendapatan tenaga kerja terhadap pendapatan faktor produksi modal walau tidak sebesar kebijakan HTI, kecuali kebijakan investasi untuk pembangunan industri kertas tulis cetak (Simulasi 3), kertas tisu (Simulasi 4), MDF (Simulasi 5) dan industri kertas dan ikutannya (Simulasi 7) yang ternyata meningkatkan kesenjangan pendapatan tenaga kerja terhadap pendapatan modal. Dalam hal ini keempat kebijakan tersebut ternyata tenaga kerjanya memperoleh tambahan pendapatan yang relatif lebih kecil dari yang didapatkan modal. Fakta tersebut menegaskan bahwa kebijakan pembangunan kehutanan baik hulu maupun hilir (simulasi 6) secara terintegrasi serta pembangunan HTI (simulasi 1), industri pulp (simulasi 2), industri kehutanan berbasis kertas (simulasi 9), industri kehutanan berbasis industri MDF (simulasi 10), industri berbasis bahan baku (simulasi 8) akan memberikan kenaikan pendapatan kepada tenagakerja dengan persentase kenaikan lebih besar dari yang didapat oleh faktor produksi modal atau dengan kata lain akan memperbaiki distribusi pendapatan antara pekerja dan pemodal Distribusi Pendapatan Rumahtangga dan Institusi Lainnya Sesuai dalam struktur SNSE provinsi Jambi tahun 2005 yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat 19 institusi yang menjadi bahan kajian dalam analisis kebijakan pembangunan kehutanan dalam studi ini, 16 diantaranya adalah merupakan institusi rumahtangga sedangkan sisanya adalah institusi lainnya di

19 201 luar rumahtangga yakni perusahaan pengolahan hasil hutan, perusahaan lainnya dan pemerintah. Rumahtangga terdiri dari dua kelompok besar yakni rumahtangga desa dan rumahtangga kota. Masing-masing dipecah lagi menjadi empat kelompok yakni (1) rumahtangga kehutanan, (2) rumahtangga industri kehutanan, (3) rumahtangga pertanian non kehutanan, dan (4) rumahtangga lainnya. Dan masing-masing kelompok kemudian dibagi lagi menurut status buruh atau pengusaha. Jika fokus pembahasan diarahkan kepada kelompok rumahtangga menurut sektor, pada Tabel 33 dapat dilihat bahwa kebijakan tunggal pembangunan kehutanan yang mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga paling tinggi pada seluruh rumahtangga adalah kebijakan peningkatan produksi pulp (Simulasi 2). Dimana rumahtangga yang paling tinggi persentase kenaikan pendapatannya adalah rumahtangga kehutanan (RT6, RT14, RT7 dan RT15). Secara merata pendapatan rumahtangga kehutanan diperkirakan akan meningkat rata-rata sebesar persen dari pendapatan base, ketika terjadi injeksi di neraca eksogen industri pulp berupa investasi industri pulp (simulasi 2). Rumahtangga kehutanan yang paling tinggi peningkatan pendapatannya adalah rumahtangga buruh kehutanan yang tinggal di perdesaan (RT6), yakni sebesar persen dari nilai base sebesar Rp juta dan rumahtangga pengusaha sektor kehutanan di desa sebesar persen. Kebijakan pembangunan atau perluasan industri pulp tersebut (Simulasi 2) ternyata juga dapat mendorong kenaikan pendapatan rumahtangga pertanian di luar sektor kehutanan (RT8, RT16, RT9 dan RT17) lebih besar dengan rata-rata pertambahan sekitar persen dari nilai base. Dimana sekali lagi terlihat

20 202 perubahan yang lebih besar tampak pada rumahtangga yang tinggal di perdesaan baik itu yang berstatus buruh maupun pengusaha, kondisi seperti ini juga terlihat pada kelompok rumahtangga lainnya. Dari Tabel 33 juga dapat dilihat bahwa investasi pembangunan kehutanan kecuali pembangunan MDF (Simulasi 5) memberikan dampak pertambahan pendapatan yang lebih besar kepada rumahtangga desa dibanding kelompok rumahtangga kota. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan kehutanan cocok dijadikan salah satu pilihan program untuk meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Sebaliknya kebijakan pembangunan industri MDF (Simulasi 5) ternyata memberikan tambahan pendapatan kepada kelompok rumahtangga buruh desa lebih kecil dari kelompok rumahtangga buruh kehutanan kota. Hal ini terjadi antara lain karena industri yang sudah ada secara geografis berada dekat dengan kota, sehingga sebagian besar rumahtangga yang terkait langsung maupun tidak langsung berada di kota, disamping secara rata-rata industri memerlukan pekerja yang mempunyai ketrampilan dan pendidikan yang lebih tinggi dari yang diperlukan HTI dan pada umumnya berada dan tinggal di kota. Kebijakan lain dimana investasi industri atau investasi kombinasi HTI dan industri tetapi industrinya dominan (Simulasi 2, 3, 4, 6, 7, 8 dan 9), memiliki persentase pertambahan pendapatan rumahtangga buruh industri kehutanan di desa lebih rendah dari persentase pertambahan pendapatan rumahtangga buruh industri kehutanan di kota, sedangkan persentase pertambahan pendapatan pengusaha industri kehutanan di desa lebih tinggi dari persentase pertambahan pendapatan pengusaha industri kehutanan di kota.

21 203 Tabel 33. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan Terhadap Total Pendapatan Institusi di Provinsi Jambi Kelompok Rumahtangga BASE SIM 1 SIM 2 SIM 3 SIM 4 SIM 5 SIM 6 SIM 7 SIM 8 SIM 9 SIM 10 Kehutanan Buruh Desa RT Kota RT Pengusaha Desa RT Kota RT Desa RT Buruh Industri Kota RT Kehutanan Desa RT Pengusaha Kota RT Desa RT Pertanian Buruh Kota RT Selain Kehutanan Desa RT Pengusaha Kota RT Desa RT Buruh Rumahtang Kota RT ga Lainnya Desa RT Pengusaha Kota RT Perusahaan Pengolahan hasil Hutan INS Perusahaan Lainnya INS Pemerintah INS

22 204 Tabel 34. Dampak Pembangunan Ekonomi Berbasis Kehutanan Persatuan Investasi Terhadap Total Pendapatan Institusi di Provinsi Jambi Kelompok Rumahtangga SIM 1 SIM 2 SIM 3 SIM 4 SIM 5 SIM 6 SIM 7 SIM 8 SIM 9 SIM 10 Kehutanan Buruh Desa RT Kota RT Pengusaha Desa RT Kota RT Desa RT Buruh Industri Kota RT Kehutanan Desa RT Pengusaha Kota RT Desa RT Pertanian Buruh Kota RT Selain Kehutanan Desa RT Pengusaha Kota RT Desa RT Buruh Rumahtangga Kota RT Lainnya Desa RT Pengusaha Kota RT Perusahaan Pengolahan hasil Hutan INS Perusahaan Lainnya INS Pemerintah INS

23 205 Apabila dilihat dari persentase dampak pertambahan pendapatan yang diperoleh rumahtangga per satuan investasi, maka dengan Tabel 34 secara umum dapat dijelaskan bahwa (1) yang paling besar menikmati pertambahan pendapatan adalah rumahtangga pengusaha kehutanan di desa (RT7), (2) buruh kehutanan di desa (RT6) memperoleh pertambahan pendapatan per satuan investasi lebih besar dari buruh kehutanan kota (RT14), (3) pengusaha kehutanan di desa (RT7) memperoleh pertambahan pendapatan per satuan investasi lebih besar dari pengusaha kehutanan di kota (RT15), (4) rumahtangga buruh dan pengusaha industri kehutanan di kota (RT18, RT19) memperoleh pertambahan pendapatan persatuan investasi yang lebih besar dari rumahtangga buruh dan pengusaha industri kehutanan di desa (RT10, RT11), (5) rumahtangga buruh dan pengusaha pertanian non kehutanan didesa (RT8, RT9) memperoleh pertambahan pendapatan persatuan investasi yang lebih besar dari rumahtangga buruh dan pengusaha pertanian non kehutanan di kota (RT16, RT17), (6) rumahtangga buruh dan pengusaha bidang lain di kota (RT20, RT21) memperoleh pertambahan pendapatan persatuan investasi yang lebih besar rumahtangga buruh pengusaha bidang lain di desa (RT12, RT13), dan (7) pemerintah (INS24) memperoleh pertambahan pendapatan per satuan investasi lebih besar dari industri pengolahan hasil hutan (INS22) Kesenjangan Pendapatan Antarrumahtangga Dampak lebih lanjut dari pertambahan pendapatan rumahtangga akibat kebijakan tersebut dapat mengubah kesenjangan pendapatan antarkelompok rumahtangga yang ada. Dengan menggunakan pendekatan rasio maksimum minimum (Maximum to Minimum Ratio) sebagaimana Tabel 35, dapat dijelaskan

24 206 bahwa kebijakan pembangunan atau perluasan HTI (Simulasi 1), pembangunan atau perluasan industri pulp (Simulasi 2), pembangunan wilayah berbasis kehutanan (Simulasi 6), pembangunan sektor produksi bahan baku kehutanan (Simulasi 8) dan pembangunan kehutanan berbasis industri kertas (Simulasi 9) masing-masing dapat menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga desa dengan rumahtangga kota. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut memberikan tingkat pertambahan pendapatan kepada rumahtangga desa lebih besar dari rumahtangga kota. Kebijakan tersebut umumnya menyerap lebih banyak tenaga kerja dari rumahtangga di perdesaan. Sementara itu kebijakan pembangunan industri kertas tulis cetak (Simulasi 3), pembangunan industri kertas tisu (Simulasi 4), pembangunan industri MDF (Simulasi 5), pembangunan industri kertas dan ikutannya (Simulasi 7) dan pembangunan kehutanan berbasis MDF (Simulasi 10) yang umumnya memerlukan tenaga kerja lebih trampil serta membuka peluang usaha bagi pengusaha yang biasanya dari berasal atau bertempat tinggal di kota. Masingmasing kebijakan tersebut mengakibatkan kenaikan kesenjangan antara rumahtangga desa dengan rumahtangga kota dan antara rumahtangga buruh dengan rumahtangga pengusaha. Semua kebijakan kecuali kebijakan pembangunan industri MDF dapat menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga industri kehutanan. Sementara itu semua kebijakan dapat menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lain.

25 207 Secara khusus dapat dikatakan bahwa semua kebijakan tersebut ternyata belum dapat menurunkan kesenjangan antara rumahtangga buruh dengan rumahtangga pengusaha, artinya pengusaha selalu menikmati tingkat tambahan pendapatan yang lebih besar dibanding rumahtangga buruh. Tabel 35. Dampak Investasi Sektor Kehutanan Terhadap Kesenjangan Pendapatan Antarkelompok Rumahtangga Simulasi Desa - Kota Buruh-Pengusaha RT Khut RT Ind Khut RT Khut RT Lain BASE SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM SIM Apabila diteliti lebih jauh maka kebijakan yang paling efektif menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga desa dan rumahtangga kota adalah kebijakan pembangunan HTI (Simulasi 1). Melalui kebijakan ini kesenjangan pendapatan rumahtangga desa dan rumahtangga kota dapat dikurangi hingga menjadi 0.32 paling rendah dibandingkan kebijakan-kebijakan yang lainnya. Karakteristik pembangunan HTI memang paling banyak melibatkan warga pedesaan dibanding industri lain, fenomena ini berkaitan dengan letak dan industrinya yang relatif tidak membutuhkan persyaratan ketrampilan khusus pada pekerjanya baik langsung maupun tidak langsung. Sementara industri lain relatif lebih banyak melibatkan penduduk kota yang memiliki persyaratan pendidikan dan ketrampilan lebih tinggi dibanding HTI.

26 208 Untuk kebijakan tunggal berupa penambahan investasi pada industri kertas 500 ribu ton dan industri tisu sebesar 100 ribu ton (Simulasi 3 dan Simulasi 4) masing-masing memberi dampak peningkatan pendapatan rumahtangga di desa dan kota yang relatif sama besar. Akibatnya seperti yang dipaparkan dalam Tabel 35, kedua kebijakan di sektor hilir kehutanan tersebut tidak dapat mengurangi kesenjangan spasial desa dan kota, bahkan yang terjadi kedua kebijakan tersebut menyebabkan kesenjangan semakin bertambah. Kondisi yang lebih ekstrim terjadi pada investasi industri MDF, ternyata akan menyebabkan kesenjangan spasial antara rumahtangga desa dan rumahtangga kota melebar. Seperti yang disajikan dalam Tabel 35, kesenjangan pendapatan rumahtangga desa dan rumahtangga menjadi apabila kebijakan pengembangan industri MDF ini dilakukan secara parsial. Demikian juga meski kebijakan industri MDF ini dikombinasikan dengan kebijakan pembangunan kehutanan di sektor hulunya, sebagaimana yang diinterpretasikan dalam Simulasi 10, kesenjangan pendapatan antara rumahtangga desa dan rumahtangga kota masih tetap tinggi. Walaupun mengalami penurunan dibandingkan kebijakan tunggal (MDF), namun indeks kesenjangan yang terhitung tetap lebih tinggi dibandingkan nilai base. Seluruh kondisi ini memberikan indikasi bahwa kebijakan pembangunan kehutanan yang difokuskan pada pengembangan industri MDF (hulu dan hilir) akan lebih banyak dinikmati oleh rumahtangga yang berada di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Kondisi ini terjadi karena industri MDF lebih banyak melibatkan tenaga kerja yang berpendidikan dan memiliki ketrampilan lebih khusus yang umumnya dimiliki oleh masyarakat kota. Hal ini

27 209 senada dengan distribusi pendapatan faktor produksi dimana tenaga kerja terampil memperoleh distribusi dan peningkatan tertinggi diantara tenaga kerja lainnya. Isu mengenai kesenjangan atau kesenjangan pendapatan disadari memang lebih banyak diperdebatkan dalam wacana kelompok elit saja. Kelompok miskin di Jambi pasti lebih mengharapkan upaya-upaya untuk mengentaskan kemiskinan daripada sibuk dengan masalah kesenjangan pendapatan. Bagi mereka, terbebas dari kemiskinan adalah harapan utama. Kesenjangan hanya akan dirasakan oleh mereka yang secara relatif berkecukupan, bahkan agaknya kelompok miskin absolut sama sekali tidak tertarik dengan perdebatan mengenai kesenjangan. Namun demikian, jika ditelusuri lebih jauh mengatasi masalah kesenjangan spasial antara desa dan kota di wilayah Jambi sebenarnya juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan di desa. Hal ini disampaikan karena kondisi yang ada menunjukkan bahwa penduduk miskin di Jambi lebih banyak berada di perdesaan. Berdasarkan hasil survey BPS tahun 2003 jumlah penduduk miskin di desa untuk wilayah Jambi adalah sebanyak jiwa, sedangkan di kota sebanyak jiwa. Hal ini berarti jika tujuan pembangunan kehutanan adalah untuk mengatasi kesenjangan pendapatan, yang dilakukan dengan cara meningkatkan pendapatan penduduk di perdesaan, maka sekaligus juga upaya untuk dapat mengurangi tingkat kemiskinan di perdesaan. Terjadinya kesenjangan pendapatan di Provinsi Jambi merupakan petunjuk belum optimalnya distribusi pemanfaatan sumberdaya ekonomi, pemilik modal masih terlalu dominan dalam menikmati manfaat, sehingga mengurangi nilai tambah yang diterima masyarakat. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan menyebabkan sumberdaya ekonomi yang tersedia semakin berkurang, yang pada akhirnya menimbulkan pengaruh negatif terhadap hasil-hasil pembangunan,

28 210 seperti penurunan produktifitas regional dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Selain itu kesenjangan pendapatan yang substansial dapat juga menyebabkan disinsentif secara material ataupun immaterial bagi kemajuan ekonomi wilayah (Hafizrianda, 2007). Oleh karena itu masalah kesenjangan pendapatan ini perlu ditangani dengan tepat dan serius karena penanganan yang salah akan membawa dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi maupun stabilitas politik di wilayah Jambi. Sesuai hasil simulasi kebijakan yang dilakukan, yang menyebabkan penurunan kesenjangan paling besar, dapat dikatakan bahwa pembangunan kehutanan berbasis kertas di sektor hulu dan hilir (Simulasi 9), merupakan kebijakan strategis yang paling tepat bagi pemerintah daerah Jambi untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Kebijakan tersebut baik dilakukan secara parsial maupun simultan mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga di perdesaan yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan pembangunan kehutanan lainnya. Dari tabel 35 diatas dapat dibaca tingkat penurunan kesenjangan spasial antara rumahtangga desa dan rumahtangga kota (0.3308), pendapatan rumahtangga kehutanan dan rumahtangga industri kehutanan ( ) serta antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lainnya (0.3092) yang dicapai dengan kebijakan tersebut adalah yang terbaik diantara kebijakan lainnya. Belum berhasilnya kebijakan-kebijakan investasi kehutanan dalam menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga buruh dan rumahtangga pengusaha, hal ini antara lain karena rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor kehutanan. Lebedys (2004) melaporkan bahwa produktivitas tenaga

29 211 kerja kehutanan dan industri pulp dan kertas di negara berkembang Asia-Pasifik termasuk Indonesia adalah terendah kedua dan ketiga dari delapan kelompok negara-negara yang diteliti di seluruh dunia. Maka untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga kehutanan perlu ditempuh upaya meningkatkan ketrampilan dan produktivitasnya. Berdasarkan analisis pengganda dan SPA yang telah diuraikan di depan rumahtangga pengusaha di perdesaan memperoleh transfer payment yang lebih banyak dibandingkan rumahtangga buruh. Oleh karena itu untuk menaikkan pendapatan rumahtangga di perdesaan yang sebagian besar merupakan rumahtangga buruh yang berpendapatan rendah aktifitas ekonominya diarahkan ke wiraswasta dengan kata lain status mereka perlu diubah terlebih dahulu menjadi pengusaha di perdesaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan kondisi tersebut adalah melalui pola kemitraan antara pengusaha besar di sektor kehutanan dengan pengusaha kecil dari masyarakat di sekitar hutan. Kemitraan usaha masyarakat dengan pengusaha hutan dan industri kehutanan sangat dimungkinkan dan didorong. Sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan di sektor kehutanan, pemegang izin usaha dibidang kehutanan dan industri kehutanan diwajibkan untuk bekerjasama dan membina usaha kecil dan menengah dari masyarakat sekitar hutan (UU No. 41/1999 Pasal 30). Secara operasional pengusahaan hutan dan industri kehutanan sangat memungkinkan adanya kerjasama dalam berbagai bentuk seperti pemasok logistik, pemasok bahan baku industri serta out sourching (kontraktor) berbagai kegiatan produksi, seperti pembibitan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan

30 212 tanaman, pemanenan kayu, pengangkutan kayu dan hasil industri serta proses produksi industri kertas dan lain-lain. Kemitraan lain yang bisa dilakukan antara lain pengelolaan dan pengusahaan hutan rakyat/hutan tanaman rakyat, dimana masyarakat di perdesaan diberi hak untuk mengelola dan membangun hutan tanaman yang hasilnya dapat untuk memasok industri pengolahan hasil hutan yang ada disekitarnya. Selain berfungsi untuk produksi pembangunan hutan rakyat/hutan tanaman rakyat diharapkan dapat menanggulangi lahan kritis, juga untuk konservasi lahan dan perlindungan hutan sekaligus sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat setempat. Upaya kemitraan di sektor kehutanan dapat dijadikan solusi dari lemahnya atau tidak adanya usaha atau industri kecil dan menengah yang ikut menopang sektor kehutanan nasional. Tambunan (2005) menyatakan bahwa salah satu kelemahan industri kehutanan adalah lemahnya atau tidak adanya industri kecil menengah (IKM) dalam struktur industri kehutanan nasional. Kendala lain sektor kehutanan di Jambi adalah lokasi usaha dan industri kehutanan yang sangat tersebar, sementara infrastruktur baik perhubungan, komunikasi, listrik, air bersih dan lain-lain masih sangat terbatas. Tidak jarang setiap kegiatan usaha kehutanan dan industri kehutanan harus dimulai dengan membangun infrastruktur sendiri seperti jaringan jalan, dermaga/pelabuhan, pembangkit listrik, prsarana komunikasi, air bersih dan lain-lain yang sangat membebani investasi sektor kehutanan tersebut. Oleh sebab itu pemerintah daerah Jambi perlu memikirkan kemungkinan pengembangan klaster-klaster industri khususnya klaster industri kehutanan. Klaster akan cukup banyak mulai dari

31 213 bahan baku, alih teknologi, tenaga kerja, maupun infrastruktur. Pengelompokan industri ini memberikan dampak publikasi yang lebih kuat, pembeli dalam jumlah besar akan lebih mudah dalam melakukan pesanan, sebaliknya supplier bahan baku lebih tertarik memasok barang dengan harga bersaing, disisi lain pemerintah akan lebih fokus khususnya dalam penyediaan infrastruktur dan insentif lainnya. Pengembangan klaster industri juga mendorong adanya alih teknologi serta berkumpulnya tenaga kerja terampil di wilayah tertentu dan keberadaannya juga bermanfaat tidak hanya bagi pengembangan industri besar, tetapi juga pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Dibandingkan dengan rumahtangga buruh, faktor produksi yang dimiliki oleh rumahtangga pengusaha lebih profitable (menguntungkan). Rumahtangga buruh hanya mempunyai faktor tenaga kerja saja, sementara rumahtangga pengusaha menguasai faktor modal yang nilai keuntungannya lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja. Akibatnya, apapun kebijakan pembangunan kehutanan yang dilakukan sangat sulit menurunkan kesenjangan pendapatan yang terjadi antara buruh dengan pengusaha, bahkan yang terlihat kesenjangan pendapatan diantara kedua kelompok rumahtangga tersebut semakin membesar, sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 35. Untuk seluruh kebijakan pembangunan kehutanan yang dilaksanakan akan menghasilkan kesenjangan pendapatan antara buruh dengan pengusaha yang lebih tinggi dari nilai base. Sebagai contoh melalui kebijakan pembangunan HTI (Simulasi 1) menghasilkan kesenjangan pendapatan buruh dan pengusaha sebesar yang terlihat lebih besar dari kesenjangan base sebesar , demikian juga melalui kebijakan pembangunan berbasis kehutanan yang dilakukan secara

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. Sub bab ini akan membahas tentang analisis hasil terhadap

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN 6.1. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan di Bagian ini akan menganalisis dampak dari peningkatan investasi pada

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA 8.1. Analisis Simulasi Kebijakan Dalam analisis jalur struktural atau SPA sebelumnya telah diungkap bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN 7.1. Peranan Langsung Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah Dalam kerangka dasar SNSE 2008, nilai tambah perekonomian dibagi atas tiga bagian

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA 6.1. Output Sektoral Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah dari masa ke masa. Permasalahan ini menjadi penting mengingat erat kaitannya dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sebagai Kota yang telah berusia 379 tahun, Tanjungbalai memiliki struktur

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sebagai Kota yang telah berusia 379 tahun, Tanjungbalai memiliki struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai Kota yang telah berusia 379 tahun, Tanjungbalai memiliki struktur dan karakter ekonomi yang didominasi oleh pelaku usaha tergolong kategori usaha kecil dan

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1 PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN Sri Hery Susilowati 1 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI I. KINERJA AGRO TAHUN 2012 II. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRO III. ISU-ISU STRATEGIS

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Pulau Kalimantan didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Pulau Kalimantan sangat kaya akan sumberdaya alam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN Simulasi kebijakan merupakan salah satu cara yang lazim dilakukan untuk mengambil suatu kebijakan umum (public policy). Dalam penelitian ini, dilakukan berberapa skenario

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kecil dan Menengah (IKM) memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia, karena sektor ini dapat mengatasi permasalahan pemerataan dalam distribusi pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 03/01/34/Th.X, 02 Januari 2008 SAKERNAS AGUSTUS 2007 MENGHASILKAN ANGKA PENGANGGURAN PERBANDINGAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI DIY : TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang diarahkan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Keberhasilan sebuah pemerintah

Lebih terperinci

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN DALAM ACARA PEMBEKALAN PETUGAS PEGAWAI PADA DINAS KEHUTANAN PROVINSI DAN BALAI PEMANTAUAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DALAM RANGKA PENINGKATAN EFEKTIFITAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional. Berdasarkan laporan United Nation for Development Programme

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek yang sangat menonjol dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan masalah ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis multiplier dan analisis jalur struktural (SPA) mengenai dampak investasi pemerintah di sektor perdagangan sebesar Rp27 trilyun terhadap

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah melakukan upaya yang berfokus pada peran serta rakyat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah melakukan upaya yang berfokus pada peran serta rakyat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sasaran pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai sasaran tersebut maka pemerintah

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL 7.1. Neraca Pariwisata Jumlah penerimaan devisa melalui wisman maupun pengeluaran devisa melalui penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dalam suatu negara sangat penting, karena pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal dan mandiri. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang disertai terjadinya perubahan struktur ekonomi. Menurut Todaro

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang disertai terjadinya perubahan struktur ekonomi. Menurut Todaro BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam proses pembangunan salah satu indikator keberhasilan pembangunan Negara berkembang ditunjukkan oleh terjadinya pertumbuhan ekonomi yang disertai terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA 5.1. Peran Sektor Agroindustri Dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah,Tenaga Kerja dan Modal Dari analisis pengganda SNSE dapat diketahui peran

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT Dewi Shofi Mulyati, Iyan Bachtiar, dan Yanti Sri Rezeki * Abstrak Pentingnya

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor.

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor. VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam jangka pendek peningkatan pendidikan efektif dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian dibanding dengan sektor industri

Lebih terperinci

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar KABUPATEN WAROPEN TAHUN 2014 Oleh : Muhammad Fajar KATA PENGANTAR Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik mengamanatkan Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggung jawab atas perstatistikan di

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011 BPS KABUPATEN PADANG LAWAS PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011 No. 01/06/1221/Th. IV, 30 Juli 2012 Pertumbuhan ekonomi Padang Lawas tahun 2011 yang diukur berdasarkan kenaikan laju pertumbuhan

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Selama periode penelitian tahun 2008-2012, ketimpangan/kesenjangan kemiskinan antarkabupaten/kota

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 3205011.32 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2016 Katalog BPS : 3205011.32 No. Publikasi : 32520.1701 Ukuran Buku : 18,2 cm

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beban pembangunan jika tidak dikelola dengan baik. Ekonom senior Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. beban pembangunan jika tidak dikelola dengan baik. Ekonom senior Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai masalah kependudukan dan ketenagakerjaan yang serius. Besarnya jumlah penduduk, bukan hanya merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

Lebih terperinci

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi)

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) DAMPAK PERTUMBUHAN SEKTOR EKONOMI BASIS TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI Imelia, Hardiani ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Riau mempunyai Visi Pembangunan Daerah Riau untuk jangka panjang hingga tahun 2020 yang merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau, Visi

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga sering disebut sebagai negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (UMKM) dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting. Ketika

BAB I PENDAHULUAN. (UMKM) dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting. Ketika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran Usaha Mikro Kecil Menengah atau yang lebih dikenal dengan (UMKM) dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting. Ketika krisis ekonomi terjadi di

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN 5.1. Posisi Pertambangan Batubara Indonesia dalam Pasar Global Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar minyak bumi (BBM) dan semakin

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 19/05/31/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

TANGGAPAN UNTUK PROFIL PEKERJAAN YANG LAYAK INDONESIA

TANGGAPAN UNTUK PROFIL PEKERJAAN YANG LAYAK INDONESIA TANGGAPAN UNTUK PROFIL PEKERJAAN YANG LAYAK INDONESIA Ir. Djuharsa M.D, MM KEPALA BADAN LITBANG DAN INFOMASI A G E N D A I. PROFIL PEKERJAAN LAYAK INDONESIA II. PERBANDINGAN RTKN DAN PROFIL DW INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat memperluas

I. PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat memperluas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakekatnya adalah serangkaian usaha kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat memperluas kesempatan kerja dan mengarahkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan atas sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya hutan, sumber

Lebih terperinci