ANALISIS HASIL PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS HASIL PENELITIAN"

Transkripsi

1 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan kejutan eksternal untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, kemudian dianalisis bagaimana dampaknya terhadap pendapatan tenaga kerja dan penyerapan tenaga kerja. Selanjutnya, dilihat dampaknya terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Terakhir, dilakukan kejutan eksternal terhadap pengeluaran pemerintah masing-masing sebesar Rp. 1 Triliun, kemudian dianalisis apakah pengeluaran pemerintah mempunyai peran dalam mengurangi ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja Tabel 18 menunjukkan bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi mampu menyerap tenaga kerja baru sebesar 5.1 juta orang atau meningkat sebesar 4.95 persen (Sim4). Tenaga kerja baru tersebut mengakumulasi total pendapatan sekitar Rp 136 Triliun atau meningkat sebesar 5.05 persen. Tabel 18. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan dan Pendapatan Tenaga Kerja Sektor Nilai Awal Peningkatan Persentase Setelah Simulasi Pertanian (Sim1) *) *) **) **) 0.72 Industri (Sim2) *) *) **) **) 1.14 Jasa (Sim3) *) *) **) **) 3.20 Pertanian, Industri Jasa (Sim 4) *) tenaga kerja (ribu orang) **) Total pendapatan (miliar rupiah) *) 5 116*) **) **) Pertumbuhan ekonomi sektor jasa menyerap tenaga kerja paling tinggi yaitu sebesar 3.12 juta orang, diikuti oleh sektor industri dan pertanian masingmasing sebesar 1.16 juta orang. Selain itu, persentase peningkatan penyerapan tenaga kerja yang didorong oleh sektor jasa juga paling tinggi yaitu sebesar 3.02

2 70 persen, diikuti oleh sektor industri sebesar 1.15 persen, dan sektor pertanian sebesar 0.78 persen. Tingginya jumlah dan persentase peningkatan tenaga kerja yang didorong oleh sektor jasa disebabkan karena tingginya ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap sektor jasa sejak sektor industri terpuruk karena krisis ekonomi tahun 1998 (KPPA, 2010 dan Nazara, 2009). Apabila tenaga kerja dipilah berdasarkan formalitas pekerjaan (Tabel 19), tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyerap tenaga kerja informal yaitu sebesar 3.44 juta orang, sedangkan tenaga kerja formal hanya sebesar 1.67 juta orang. Meskipun tenaga kerja formal terserap lebih kecil, tetapi persentase peningkatannya lebih tinggi yaitu sebesar 5.24 persen. Sedangkan pekerja informal hanya meningkatkan sebesar 4.81 persen. Artinya, meskipun lapangan pekerjaan formal yang tercipta lebih kecil dibandingkan informal, tetapi mengalami peningkatan yang lebih tinggi. Tabel 19. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Jenis Tenaga Kerja Nilai Awal Pertanian (Sim1) Persen tase Peningkatan Setelah Simulasi Industri (Sim2) Persen tase Jasa (Sim3) Persen tase Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) Persen tase 1. Formal Informal Total Penyerap tenaga kerja formal paling besar adalah sektor jasa. Sektor jasa mampu menyerap tenaga kerja formal sebesar 1.14 juta orang, sedangkan sektor industri dan pertanian masing-masing hanya sebesar 0.34 juta orang dan 0.19 juta orang. Selain itu, sektor jasa memiliki potensi paling tinggi dalam mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja formal dengan persentase peningkatan sebesar 3.57 persen, diikuti oleh sektor industri dan jasa masing-masing sebesar 1.08 persen dan 0.59 persen.

3 71 Jadi dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian Indonesia menempatkan sektor jasa sebagai sektor pendorong tenaga kerja terbesar dan memiliki peningkatan lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Selain itu sektor jasa lebih potensial untuk menyediakan lapangan pekerjaan formal yang lebih berkualitas. Dilihat dari aspek pendidikan tenaga kerja (Tabel 20), tercapainya target pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah yaitu sebesar 3.68 juta orang, diikuti berpendidikan sedang dan rendah masingmasing sebesar 1.07 juta orang dan 0.38 juta orang. Tabel 20. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan Pekerja Pendidikan Tenaga Kerja Nilai Awal Pertanian (Sim1) Persen tase Peningkatan Setelah Simulasi Industri (Sim2) Persen tase Jasa (Sim3) Persen tase Pertanian, Industri, Jasa (Sim3) Persen tase 1. Tinggi Sedang Rendah Total Sektor jasa merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah yaitu sebesar 2.19 juta orang, diikuti oleh sektor industri dan pertanian masing-masing sebesar 0.86 juta orang dan 0.62 juta orang. Tetapi, jumlah tenaga kerja berpendidikan tinggi yang terserap lebih tinggi dibandingkan sektor lain yaitu sebesar 0.24 juta orang, diikuti sektor industri dan pertanian masing-masing sebesar 1.17 ribu orang dan 0.80 ribu orang. Dilihat dari proporsinya (Tabel 21) tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi belum mampu menciptakan proporsi lapangan pekerja formal yang memadai, yaitu hanya sebesar persen. Proporsi tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan proporsi tenaga kerja informalnya, yaitu dengan proporsi sebesar persen.

4 72 Tabel 21. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Proporsi Peningkatan Penyerapan dan Pendapatan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Jenis Tenaga Kerja 1. Formal 2. Informal Proporsi Awal 30.82*) 49.45**) *) 50.55**) Pertanian (Sim1) 23.55*) 46.06**) *) 53.94**) Ket: *) Proporsi Tenaga kerja **) Proporsi Pendapatan tenaga kerja Proporsi Peningkatan Industri (Sim2) 28.91*) 48.66**) 71.09*) 51.34**) Jasa (Sim3) 36.49*) 53.91**) 63.51*) 46.09**) Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) 32.69*) 51.61**) 67.31*) 48.39**) Meskipun proporsi tenaga kerja formal sangat kecil tapi potensial untuk meningkat lebih besar. Hal ini didasarkan hasil analisis sebelumnya menyatakan bahwa persentase peningkatan sektor formal lebih tinggi. Artinya, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar berdampak besar terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan formal. Kondisi yang sama tampak ketika target pertumbuhan ekonomi sektoral tercapai. Proporsi tenaga kerja formal yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, industri dan jasa masing-masing hanya sebesar persen, persen, dan persen. Sedangkan proporsi tenaga kerja informalnya masing-masing sebesar persen, persen dan sebesar persen. Akan tetapi tenaga kerja informal tersebut hanya mengakumulasi total pendapatan yang jauh lebih kecil yaitu dengan proporsi pendapatan sektor pertanian sebesar persen, diikuti oleh sektor industri dan jasa masing-masing dengan proporsi sebesar persen dan persen. Tingginya proporsi penyerapan tenaga kerja informal yang diikuti oleh rendahnya proporsi akumulasi pendapatan kelompok pekerja tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong oleh ketiga sektor utama lebih banyak menyerap tenaga kerja informal berpendapatan rendah yang rentan terhadap kemiskinan. Kondisi ini semakin melanggengkan struktur tenaga kerja Indonesia yang selama ini telah didominasi oleh tenaga kerja informal. Data BPS sebelumnya telah menunjukkan bahwa sekitar persen rata-rata tenaga kerja Indonesia pada rentang tahun merupakan tenaga kerja informal.

5 73 Tingginya proporsi tenaga kerja informal terkait erat dengan rendahnya mayoritas sumber daya pekerja baru. Tampak bahwa tenaga kerja baru didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, yaitu sekitar 70 persen untuk semua sektor (Tabel 22). Tabel 22. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Proporsi Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan Tenaga Kerja Proporsi Awal Pertanian (Sim1) Proporsi Peningkatan Industri (Sim2) Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) 1. Tinggi Sedang Rendah Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menciptakan proporsi tenaga kerja informal, yaitu dengan proporsi sebesar persen. Tingginya proporsi tenaga kerja informal yang didorong oleh sektor pertanian disebabkan karena tingginya jumlah buruh tani dan petani berlahan sempit di Indonesia. Tabel 23. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Kelompok Pemilikan Lahan, Tahun 2007 Kelompok pemilikan rumah tangga petani ( persen) (Ha) Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Total Tunakisma > Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas (2010) Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas (2010) menyatakan bahwa jumlah petani dengan penguasaan lahan < 0,5 hektar adalah sekitar 44 persen (Tabel 23). Pada kelompok ini, jumlah terbanyak adalah pada luasan <0,25 hektar sebesar 27 persen, sedangkan petani tunakisma (tidak memiliki lahan sendiri sehingga menggarap milik orang lain) adalah sekitar 9 persen. Pekerja pertanian

6 74 dengan kualifikasi demikian mayoritas menghasilkan pekerja informal. Menurut Nazara (2010), sektor pertanian mencakup 60 persen dari total pekerja informal pada tahun Hal yang sama didukung oleh penelitian bersama yang dilakukan ADB dan BPS (2011) pada provinsi Yogyakarta dan Banten. Penelitian tersebut menyatakan bahwa pekerjaan di sektor pertanian di kedua provinsi tersebut didominasi oleh pekerjaan informal. Tahun 2009, tenaga kerja informal di sektor pertanian di Yogyakarta sebesar 99.8 persen, sedangkan di Banten sebesar 99 persen. Kondisi sebaliknya terjadi ketika ekonomi didorong oleh sektor jasa. Sektor jasa lebih banyak menyerap tenaga kerja formal dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar persen. Tingginya proporsi peningkatan penyerapan tenaga kerja formal yang didorong oleh sektor jasa karena sebagian besar sektor jasa memang merupakan sektor formal terutama untuk subsektor sebagai berikut: 1) listrik, gas, dan air minum; 2) hotel dan restoran; 4) perbankan, real estate, dan jasa perusahaan; 3) pemerintahan dan pertahanan, film dan jasa sosial lainnya; 5) pendidikan; 6) kesehatan. Hal ini didukung oleh penelitian Bank Dunia (2010), yang menyatakan bahwa bahwa sektor jasa Indonesia memiliki proporsi tenaga kerja formal paling tinggi yaitu sebesar 17 persen dari total tenaga kerja tahun 2007, sedangkan sektor pertanian dan industri masing-masing hanya sebesar 4 persen dan 12 persen Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Sebelumnya telah diketahui bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan tenaga kerja baru dalam perekonomian Indonesia. Selanjutnya, pada Tabel 24 diketahui pula bahwa baik tenaga kerja laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami peningkatan. Secara nominal, peningkatan tenaga kerja laki-laki sebesar 3.1 juta orang, lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya sebesar 2.0 juta orang. Hal yang sama tampak pada pertumbuhan ekonomi sektoral. Tenaga kerja laki-laki yang terserap ketika pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor pertanian, industri dan jasa adalah masing-masing sebesar 0.41 juta orang, 0.70

7 75 juta orang, dan 1.99 juta orang. Sedangkan tenaga kerja perempuan masingmasing hanya sebesar 0.39 juta orang, 0.49 juta orang dan 1.13 juta orang. Tabel 24. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin Sektor Pertanian (Sim1) Tenaga Kerja Nilai Awal Peningkatan Setelah Simulasi Persentase Laki-laki Perempuan Industri (Sim2) Laki-laki Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, Jasa (Sim3) Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Meskipun secara nominal perempuan terserap lebih sedikit dibandingkan laki-laki, tetapi persentase peningkatannya lebih tinggi yaitu sebesar 5,17 persen, sedangkan laki-laki hanya sebesar 4,81 persen. Persentase peningkatan lebih tinggi terutama untuk pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian dan industri (1.00 persen dan 1.26 persen). Sedangkan pada sektor jasa, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja laki-laki dan perempuan hampir berimbang (3.09 persen dan 2.90 persen). Pertumbuhan ekonomi diikuti dengan besarnya peningkatan persentase perempuan masuk pasar tenaga kerja disebabkan karena tingginya peningkatan perempuan berpendidikan tinggi dan sedang (Tabel 25). Persentase peningkatan tenaga kerja perempuan berpendidikan tinggi sebesar 5.59 persen, lebih tinggi dari laki-laki yang hanya sebesar 5.07 persen. Sedangkan perempuan berpendidikan sedang naik sebesar 5.14 persen, lebih tinggi dari laki-laki yang hanya sebesar 4.88 persen. Tingginya persentase peningkatan perempuan berpendidikan tinggi dan sedang juga berdampak pada tingginya peluang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan formal. Perempuan pekerja formal meningkat sebesar 5.65 persen, sedangkan laki-laki hanya meningkat sebesar 5.10 persen (Tabel 26).

8 76 Tabel 25. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan pekerja Nilai Awal Nilai Simulasi Pertanian (Sim1) Industri (Sim2) Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) Persentase Persentase Persentase Persentase 1. Tinggi 7, Laki-laki 3, Perempuan 3, Sedang 21, , Laki-laki 14, Perempuan 6, Rendah 74, , , Laki-laki 45, , , Perempuan 28, , Total (1+2+3) 103, , , ,

9 77 Tabel 26. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Nilai Awal Nilai Simulasi Pertanian (Sim1) Industri (Sim2) Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, jasa (Sim4) Persentase Persentase Persentase 1. Formal 31, , , Laki-laki 23, , Perempuan 8, Persentase 2. Informal 71, , , Laki-laki 40, , , Perempuan 30, , Total (1+2) 103, , , ,

10 78 Menurut Mammen dan Paxson (2000), pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh peningkatan partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja tidak hanya disebabkan karena peningkatan tingkat pendidikan, tetapi juga karena peningkatan upah perempuan. Proses ini memerlukan waktu yang cukup lama. Mammen dan Paxson mengungkapkan bahwa proses tersebut diawali dari besarnya peranan sektor pertanian padat karya dan signifikannya jumlah rumahtangga miskin. Ketika suatu Negara masih miskin, perempuan bersedia untuk masuk pasar tenaga kerja meskipun pada tingkat upah yang rendah. Ketika pendapatan per kapita meningkat, maka pendapatan keluarga ikut meningkat, sehingga biasanya wanita menarik diri dari pasar tenaga kerja. Hambatan sosial terhadap perempuan memasuki pekerjaan dibayar kembali menonjol, dan tingkat partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja turun. Tapi karena negara terus berkembang, kenaikan lebih lanjut dalam pendidikan perempuan dan upah menyebabkan perempuan kembali ke pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja yang dialami sekarang ini disebabkan karena peningkatan pendidikan dan upah perempuan. Terkait dengan tingkat pendidikan, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pendidikan perempuan bisa secara langsung dan tidak langsung (Word Bank, 2011a). Secara langsung melalui dua jalur, yaitu: pertama, melalui peningkatan pendapatan keluarga yang berdampak pada peningkatan investasi pendidikan anak perempuan; dan kedua, melalui peningkatan sumber-sumber pembiayaan publik, yaitu pendidikan. Secara tidak langsung melalui peningkatan lapangan pekerjaan, karena banyak orang tua menginvestasikan uangnya untuk sekolah anak perempuan atas dasar pertimbangan imbal hasil dari pendidikan tersebut. Kesempatan kerja ini mampu mempengaruhi keputusan rumahtangga, bahkan pada daerah dengan perubahan norma sosial yang bergerak lambat. Hal ini didukung oleh penelitian Oster dan Millet (2010), yang menyimpulkan bahwa munculnya outsourcing di India menawarkan lapangan kerja baru bagi perempuan dan meningkatkan investasi orangtua terhadap pendidikan anak perempuan.

11 79 Apabila diterjemahkan dalam kondisi Indonesia, bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi masa lalu mampu mengakumulasi sumberdaya perempuan terdidik secara langsung melalui peningkatan pendapatan keluarga yang dialokasikan untuk pendidikan anak perempuan dan secara tidak langsung melalui pembiayaan publik. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi masa lalu tersebut telah menciptakan berbagai lapangan pekerjaan, sehingga menjadi insentif bagi orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya. Pada tahun-tahun berikutnya, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut dan perubahan pandangan sosial terhadap peran perempuan, membaiknya tingkat pendidikan perempuan tersebut menyebabkan tinggi peningkatan perempuan yang masuk pasar tenaga kerja. Tabel 27. Pertumbuhan Ekonomi, Pekerja Perempuan dan Upah Pekerja Perempuan Indonesia, Tahun Peningkatan Tahun Upah Pekerja Ekonomi Pekerja Perempuan Perempuan ,01 5,09 8, ,63 2,83 12, ,22 2,51 8,60 Rata-rata 5,62 3,48 10,12 Sumber: BPS, Penomena yang dijelaskan Mammen dan Paxson tersebut didukung oleh data BPS, dimana rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5.62 persen diikuti oleh pertumbuhan tenaga kerja perempuan sebesar 3.48 persen, dan pertumbuhan upah yang diterima perempuan sebesar persen (Tabel 27). Pertumbuhan itu semua seiring dengan pertumbuhan pendidikan perempuan, terutama untuk tamat SMP sebesar 6.43 persen dan pendidikan tinggi sebesar persen seperti pada Tabel 28. Tabel 28. Persentase peningkatan Tenaga kerja Perempuan berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun Tingkat Pendidikan Tahun Rendah Sedang Tinggi Tidak/lulus SD Lulus SMP Lulus SMA/SMK Minimal D ,57 3,95 1,30 17, ,91 2,45 1,25 8, ,35 12,90-0,46 9,05 Rata-rata Sumber: BPS,

12 80 Akan tetapi, tingginya persentase peningkatan penyerapan tenaga kerja perempuan tersebut belum dapat membuktikan bahwa ketimpangan gender tidak terjadi ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai. Apabila hasil analisis dipilah berdasarkan jenis kelamin dan formalitas pekerjaan (Tabel 29), tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap kesempatan bekerja sebagai pekerja formal sebesar Gap tersebut disebabkan karena perempuan pekerja formal hanya sebesar persen, lebih rendah dibadingkan laki-laki dengan proporsi sebesar persen. Tabel 29. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia Proporsi Awal Pertanian (Sim1) Proporsi Peningkatan Industri (Sim2) Jasa (Sim3) Pertanian, Industri, Jasa (Sim4) A. Laki-laki Formal Pend Rendah Pend sedang Pend Tinggi Informal Pend Rendah Pend sedang Pend Tinggi B. Perempuan Formal Pend Rendah Pend sedang Pend Tinggi Informal Pend Rendah Pend sedang Pend Tinggi Gap (1A-1B) Hal yang sama tampak ketika pertumbuhan ekonomi sektoral tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian, industri maupun jasa menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap kesempatan bekerja sebagai pekerja formal (pertanian: 17.02; industri: 15.72; jasa:

13 ). Gap ini disebabkan karena pekerja laki-laki lebih banyak terserap sebagai pekerja formal dengan proporsi antara persen persen, bandingkan dengan pekerja perempuan yang hanya memiliki proporsi antara persen persen. Hal ini menyebabkan perempuan lebih banyak tertumpuk sebagai pekerja informal yaitu dengan proporsi antara persen persen, bandingkan dengan laki-laki dengan proporsi hanya sekitar persen persen. Ketimpangan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di sektor pertanian, industri maupun jasa belum mampu memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan bergaji lebih baik sebagai pekerja formal. Perempuan lebih banyak tertumpuk sebagai pekerja informal yang umumnya bergaji murah dan tanpa perlindungan hukum ataupun asuransi. Hal yang sama terjadi di Kenya (Wanjala dan Were, 2010) dan dunia pada umumnya (World Bank, 2011a). Menurut World Bank (2011a), pembangunan ekonomi tidak cukup untuk menghilangkan segregasi tenaga kerja berdasarkan gender. Sehingga wanita seluruh dunia terkonsentrasi di pekerjaan dengan produktivitas rendah. Pekerja perempuan lebih banyak sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar dan di sektor informal. Tertumpuknya pekerja perempuan sebagai pekerja informal disebabkan karena tingginya jumlah pekerja perempuan berpendidikan rendah. Pada semua simulasi, proporsi perempuan pekerja informal berpendidikan rendah lebih banyak dibandingkan laki-laki (pertanian persen; industri persen; jasa persen). Apabila dikaitkan dengan analisis sebelumnya, tampaknya peningkatan pendidikan perempuan masih belum mampu mengakomodasi sebagian besar tenaga kerja perempuan. Keterbatasan pendidikan menyebabkan banyak perempuan berakhir sebagai pekerja informal tanpa ikatan kerja resmi, perlindungan hukum dan asuransi. Ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai, ada indikasi perempuan berpendidikan tinggi lebih banyak terserap sebagai pekerja informal dibandingkan laki-laki. Tampak bahwa perempuan dengan pendidikan tinggi yang terserap sebagai pekerja informal berkisar antara 6.01 persen. Bandingkan dengan laki-laki yang hanya berkisar antara 1.26 persen. Alasan peran ganda perempuan

14 82 menyebabkan sebagian pekerja perempuan berpendidikan tinggi tersebut memilih untuk berkarir sebagai pekerja informal. Menurut Gallaway dan Bernasek (2002) dalam Lindenthal (2005), keberadaan balita meningkatkan kemungkinan perempuan bekerja sebagai pekerja informal. Umumnya perempuan yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mudah untuk memilih berbagai pekerjaan formal. Bekerja sebagai pekerja formal memiliki aturan yang ketat mengenai waktu kerja. Ketika menikah dan memiliki bayi, ada kecenderungan mereka akan keluar dari pasar tenaga kerja. Hal ini umumnya terjadi pada pekerjaan formal non pemerintahan. Tetapi ketika bayi telah memasuki masa balita, ada sebagian dari perempuan tersebut yang akan kembali ke pasar tenaga kerja. Akan tetapi perempuan berpendidikan tinggi ini cenderung memilih berkarir sebagai pekerja informal karena alasan fleksibilitas waktu sehingga masih bisa bekerja sambil mengurus keluarga, terutama anak-anak. Fleksibilitas waktu perempuan ditentukan oleh pembagian beban kerja domestik antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan beban kerja domestik antara laki-laki dan perempuan di Indonesia yang sudah menikah dan memiliki anak masih belum jelas. Beberapa penulis mengatakan bahwa beban kerja domestik seorang perempuan adalah dimulai ketika bangun pagi dan berakhir ketika sudah tidur malam. Tetapi berdasarkan penelitian World Bank dalam USAID (2012) menyatakan bahwa di seluruh dunia, perempuan mencurahkan lebih banyak waktu setiap hari untuk pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anak, orang tua, orang cacat, dibandingkan laki-laki. Dibandingkan laki-laki, Perempuan meluangkan waktu lebih tinggi 1-3 jam untuk pekerjaan rumah tangga, 2-10 kali lebih banyak waktu untuk perawatan anak-anak, orang tua, dan orang sakit. Hal ini menyebabkan perempuan memiliki waktu produktif lebih kecil 1-4 jam perhari dibandingkan laki-laki. Sebagian besar tanggung jawab tersebut masih dibebankan kepada perempuan meskipun telah memasuki pasar tenaga kerja. Membaik atau memburuknya ketimpangan gender dapat diketahui dengan cara membandingkan nilai gap simulasi dan nilai awalnya. Tampak bahwa ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai, gap yang tercipta (15.01) lebih besar daripada gap awal (14,85). Artinya, tecapainya target pertumbuhan ekonomi tidak

15 83 hanya menggambarkan ketimpangan gender, tetapi juga potensial memperbesar ketimpangan. Kontribusi terbesar untuk memperlebar gap adalah sektor pertanian dan industri. Tampak bahwa tercapainya pertumbuhan ekonomi sektor pertanian dan industri menunjukkan nilai yang lebih besar jika dibandingkan nilai awalnya (pertanian 17.02; industri 15.72; nilai awal 14.85). Selanjutnya, sektor jasa merupakan sektor yang potensial memperkecil ketimpangan gender dengan gap sebesar 12.80, lebih kecil dari nilai awalnya. Salah satu penyebab kecilnya gap tersebut adalah karena ketika sekolah, perempuan cenderung memilih jurusan dalam sektor jasa (KPPA, 2011) yang memiliki lapangan kerja formal tingi diantara sektor lainnya (Bank Dunia 2010). Perempuan Siswa SMK Laki-laki % 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi Tehnik dan Industri Manajemen Bisnis Pariwisata Lainnya Sumber: Perhitungan Staf World Bank berdasarkan Susenas, 2006 Gambar 15. Proporsi Siswa SMK berdasarkan Jurusan dan Jenis kelamin KPPA ( 2011), menyatakan bahwa sejak krisis keuangan tahun 1998, pertumbuhan ekonomi semakin bergantung pada sektor jasa. Pertumbuhan tahunan di sektor industri jatuh drastis, sementara pertumbuhan sektor pelayanan tetap kuat.tahun 2003 sampai 2007, lapangan pekerjaan di sektor jasa tumbuh lebih cepat dibanding industri. Perubahan struktur ini berdampak positif pada lulusan perempuan yang cenderung memilih jurusan sektor jasa yang sedang tumbuh. Kesimpulan ini diambil KPPA berdasarkan data Susenas yang diolah oleh Word

16 84 Bank. Data tersebut ditunjukkan pada Gambar 15, yang menyatakan bahwa sebagian besar siswi SMK memilih jurusan yang berhubungan dengan sektor jasa. Tampak bahwa persen dari siswi SMK terdaftar di jurusan manajemen bisnis dan persen belajar pariwisata Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan barang dan jasa, selanjutnya akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja untuk memproduksi tambahan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mempengaruhi ketimpangan gender di pasar tenaga kerja melalui kebijakan anggarannya. Pada pembahasan berikut dibahas apakah kebijakan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Tabel 30. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Proporsi Awal Proporsi Peningkatan Pertanian (Sim5) Industri (Sim6) Jasa (Sim7) A. Laki-laki 100,00 100,00 100,00 100,00 1. Formal 36,42 28,79 32,35 42,13 Pend Rendah 21,12 13,49 17,31 22,96 Pend sedang 10,59 11,31 10,53 12,91 Pend Tinggi 4,71 3,99 4,50 6,26 2. Informal 63,58 71,21 67,65 57,87 Pend Rendah 50,12 61,57 54,06 45,31 Pend sedang 12,13 8,42 12,35 11,40 Pend Tinggi 1,33 1,21 1,25 1,17 B. Perempuan 100,00 100,00 100,00 100,00 1. Formal 21,57 14,68 18,25 31,23 Pend Rendah 9,52 6,48 8,20 12,82 Pend sedang 9,32 6,27 7,79 14,47 Pend Tinggi 2,73 1,94 2,27 3,94 2. Informal 78,43 85,32 81,75 68,77 Pend Rendah 64,77 75,86 69,20 53,03 Pend sedang 8,15 4,80 7,77 8,25 Pend Tinggi 5,50 4,66 4,78 7,50 Gap (1A-1B) 14,85 14,11 14,10 10,90

17 85 Tabel 30 menyajikan dampak pengeluaran pemerintah sektoral terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Tampak bahwa dampak pengeluaran pemerintah di sektor pertanian, industri maupun jasa menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap antara laki-laki dan perempuan pekerja formal. Gap yang tercipta dari pengeluaran pemerintah sektor pertanian, industri dan jasa masing-masing sebesar 14.11, dan Gap ini menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal yaitu dengan proporsi antara persen persen, bandingkan dengan laki-laki dengan proporsi sekitar persen persen. Meskipun ada gap, tetapi pengeluaran pemerintah sektoral mampu memperbaiki ketimpangan gender. Tampak bahwa gap sektor pertanian, industri, jasa menunjukkan nilai yang lebih kecil jika dibandingkan nilai awalnya (pertanian 14.11; industri 14.10; jasa 10.90; nilai awal 14.85). Hal ini menujukkan bahwa persentase peningkatan perempuan pekerja formal yang didorong pengeluaran pemerintah sektoral telah mampu memperbaiki ketimpangan gender yang terjadi di pasar tenaga kerja Indonesia. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah sektor pertanian, industri, ataupun jasa menggambarkan adanya ketimpangan tetapi ketimpangan tersebut lebih kecil dibandingkan sebelum simulasi sehingga mampu memperbaiki ketimpangan yang sebelumnya telah terjadi. Artinya, meskipun belum mampu menghilangkan ketimpangan gender tetapi telah mampu memperbesar peluang perempuan untuk bekerja sebagai pekerja formal dengan upah layak dan kondisi pekerjaan lebih baik. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah telah sejalan dengan tujuan pengarusutamaan gender. Kebijakan pengarusutamaan gender telah diimplementasikan sejak dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Program pembangunan nasional tersebut dibiayai oleh pengeluaran pemerintah.

18 86 Kedepannya, dampak pengeluaran pemerintah dalam memperbaiki ketimpangan gender dapat semakin besar. Hal ini disebabkan karena dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 104 Tahun PMK tersebut menyebabkan anggaran pemerintah dialokasikan berdasarkan prinsif Anggaran Responsif Gender (ARG). Menurut PMK No. 104 Tahun 2010, ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan. ARG lebih menekankan pada masalah kesetaraan dalam penganggaran. Kesetaraan tersebut berupa proses maupun dampak alokasi anggaran dalam program/kegiatan yang bertujuan menurunkan tingkat ketimpangan gender. ARG bekerja dengan cara menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap perempuan dan laki-laki, dan kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran tersebut telah menjawab kebutuhan perempuan serta kebutuhan laki-laki. Selain itu, pemerintah daerah tampaknya memiliki peran besar terhadap membaiknya ketimpangan gender apabila pengelolaan keuangannya searah dengan ARG. Hal ini karena sejak 2001 telah berlaku desentralisasi fiskal di Indonesia yang menyebabkan dana yang dikelola pemerintah daerah meningkat signifikan.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator berjalannya roda perekonomian suatu negara. Ketika ekonomi tumbuh, maka ada peningkatan produksi barang dan jasa yang memerlukan

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA 63 V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA Bab berikut membahas struktur pasar tenaga kerja yang ada di Indonesia. Tampak bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia terserap di sektor jasa. Sektor jasa

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 29/05/32/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT FEBRUARI 2017 Angkatan kerja pada Februari 2017 sebanyak 22,64 juta orang, naik sekitar 0,46 juta orang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta, 18 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI 2 Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.43/05/64/Th.XX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2017 Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada Februari 2017 mencapai 1.678.913 orang,

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 58 BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 No. 06/05/53/Th. XVI, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,59% Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Februari 2016 mencapai 3,59

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Kalimantan Timur Agustus 2017 No.92/11/64/Th.XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur Keadaan Ketenagakerjaan Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.37/05/64/Th.XIX, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2016 Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada Februari 2016 mencapai 1.650.377 orang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI MALUKU UTARA Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Maluku Utara sebesar 5,33 persen. Angkatan kerja pada Agustus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017 No. 103/11/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017 A. KEADAAN KETENAGAKERJAAN Agustus 2017: Tingkat

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 1,97% Angkatan kerja NTT pada Februari 2014 mencapai 2.383.116 orang, bertambah

Lebih terperinci

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG 4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk pembangunan

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016 No. 06/11/53/Th. XIX, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,25 % Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Agustus 2016 mencapai

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, FEBRUARI 2017 No. 27/05/82/Th. XI, 06 Mei 2014 30/05/82/Th XVI, 05 Mei KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, FEBRUARI Jumlah angkatan kerja di Maluku Utara pada mencapai 557,1 ribu orang bertambah 32,6 ribu orang dibanding

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2012 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 23/05/31/Th XIV, 7 Mei 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2012 TPT DKI JAKARTA BULAN FEBRUARI 2012 SEBESAR 10,72 PERSEN Jumlah angkatan kerja pada Februari

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Banten Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Banten Agustus 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI BANTEN Keadaan Ketenagakerjaan Banten Agustus 2017 Tingkat Pengangguran Banten Agustus 2017 sebesar 9,28 persen Jumlah penduduk yang bekerja pada Agustus 2017 sebesar 5,08

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA. Oleh: Iwan Setiawan*)

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA. Oleh: Iwan Setiawan*) PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA Oleh: Iwan Setiawan*) ABSTRAKS Indonesia sedang dihadapkan pada masalah ketenagakerjaan yang cukup kompleks. Permasalahan tersebut, sebagian

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *)

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *) BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.32/05/64/Th.XVIII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *) Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada 2015 mencapai 1,65 juta orang yang

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 28/05/32/Th. XVIII,4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,57 PERSEN Berdasarkan hasil Sakernas bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN FEBRUARI 2017 No. 29/05/36/Th.XI, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN FEBRUARI 2017 Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2017 sebesar 5,51 juta orang, meningkat sekitar 273 ribu pekerja jika dibandingkan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Adi Setiyanto PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan motor penggerak dalam pembangunan ekonomi. Tenaga kerja sebagai sumber daya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2011 BPS PROVINSI DKI JAKARTA KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2011 TPT DKI JAKARTA BULAN FEBRUARI 2011 SEBESAR 10,83 PERSEN No. 19/05/31/Th XIII, 5 Mei 2011 Jumlah angkatan kerja pada Februari

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,12% Angkatan kerja NTT pada Februari 2015 mencapai 2.405.644 orang, bertambah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 64/11/32/Th.XVIII, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT AGUSTUS 2016 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,89 PERSEN Provinsi Jawa Barat mengalami kenaikan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 25/05/32/Th. XVI, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,66 PERSEN Tingkat partisipasi angkatan kerja

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Provinsi DKI Jakarta No. 55/11/31/Th. XIX, 6 November 2017 PROVINSI DKI JAKARTA KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017 Tingkat P Terbuka (TPT) sebesar 7,14

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN UTARA FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN UTARA FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.44/05/64/Th.XX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN UTARA FEBRUARI 2017 Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Utara pada Februari 2017 mencapai 324.586 orang, bertambah

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. xxx/05/21/th. V, 10 Mei 2010 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2010 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI TERENDAH DALAM EMPAT TAHUN

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015 No. 06/11/53/Th. XV, 5 November 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015 AGUSTUS 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,83 % Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Agustus 2015 mencapai

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. 31/05/21/Th. VI, 5 Mei 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2011 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI SEBESAR 7,04 PERSEN Jumlah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 31/05/32/Th. XVII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,40 PERSEN Berdasarkan hasil Sakernas bulan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN AGUSTUS 2016 No. 66/11/36/Th.X, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN AGUSTUS 2016 Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2016 mencapai 5,6 juta orang, naik sekitar 253 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 AGUSTUS 2017 TINGKAT PENGANGGUR- AN TERBUKA SEBESAR 4,33 PERSEN Penduduk yang bekerja pada Agustus 2017 berkurang

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK No. 53/11/14/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Badan Pusat Statistik Provinsi Riau Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Riau Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs).

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 06/11/18/Th.IX, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,62 PERSEN Penduduk yang bekerja pada

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN q BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.29/05/34/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN Pada Februari 2017, Penduduk

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 4,31 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 4,31 PERSEN BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 66/11/16/Th. XVIII, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 4,31 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 BPS PROVINSI JAWA TIMUR KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 No. 33/05/35/Th.XV, 5 Mei 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,10 PERSEN Penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu hal yang sangat esensial dalam usaha memajukan perekonomian bangsa. Usaha yang dimaksud dalam bidang ini adalah penyediaan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Tengah Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Tengah Agustus 2017 No. 08/11/62/Th.XI, 6 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Agustus 2017 Agustus 2017, Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 67/11/34/Th.XVII, 5 November KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN Hasil Survei Angkatan Kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Agustus 2017 No. 62/11/13/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013 No. 09/02/31/Th. XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan IV/2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan

Lebih terperinci

No. 03/05/81/Th.XVIII, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU 2017 Jumlah Angkatan Kerja di Provinsi Maluku pada Februari 2017 mencapai 769.108 orang, bertambah sebanyak 35.771 orang dibanding angkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat Keadaan Ketenagakerjaan No. 69/11/76/Th. XI, 6 November BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Di Provinsi Sulawesi Barat : Tingkat Pengangguran Terbuka di Sulawesi Barat

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU AGUSTUS 2016 No. 056/11/14/Th. XVII, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016, TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 7,43 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi Riau pada Agustus 2016

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, AGUSTUS 2016 No. 27/05/82/Th. XI, 06 Mei 2014 No. 65/11/82/Th XV, 07 November KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, AGUSTUS Jumlah angkatan kerja di Maluku Utara pada mencapai 524,5 ribu orang bertambah 10,9 ribu orang

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 40/05/21/Th. XI, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 9,03 PERSEN

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Kemiskinan Termasuk bagian penting dari aspek analisis ketenagakerjaan adalah melihat kondisi taraf kehidupan penduduk, yang diyakini merupakan dampak langsung dari dinamika ketenagakerjaan. Kemiskinan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 29/05/12/Th. XIX, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,49 PERSEN angkatan kerja di Sumatera

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1. Usia Usia responden dikategorikan menjadi tiga kategori yang ditentukan berdasarkan teori perkembangan Hurlock (1980) yaitu dewasa awal (18-40), dewasa madya (41-60)

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN UTARA FEBRUARI 2015*)

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN UTARA FEBRUARI 2015*) BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.33/05/64/Th.XVIII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN UTARA FEBRUARI 2015*) Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Utara pada 2015 mencapai 287 ribu orang yang

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 19/05/31/Th.XI, 15 Mei 2009 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009 TPT DKI JAKARTA BULAN FEBRUARI 2009 SEBESAR 11,99 PERSEN angkatan kerja pada Februari 2009

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 65/11/12/Th. XIX, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,84 PERSEN angkatan kerja di Sumatera

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 31 IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 4.1. Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga Kemiskinan tidak terlepas dari masalah tingkat pendapatan yang masih rendah dan hal ini umumnya terjadi di wilayah pedesaan Distribusi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR *) FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR *) FEBRUARI 2014 BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.22/05/64/Th.XVII, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR *) FEBRUARI 2014 Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada 2014 mencapai 1.923.968 orang, bertambah

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. 220/12/21/Th. V, 1 Desember 20 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN AGUSTUS 20 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI SEMAKIN TURUN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Yogyakarta Agustus 2017 No. 65/11/34/Thn.XIX, 6 Nopember 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI D.I YOGYAKARTA Keadaan Ketenagakerjaan Yogyakarta Agustus 2017

Lebih terperinci

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber I. Pendahuluan Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dari delapan tujuan yang telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 adalah mendorong kesetaraan gender dan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK No. 59/11/Th. XI, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Papua Barat Agustus 2017 Agutus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 26/05/31/Th. XVI, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2015 TPT DKI JAKARTA BULAN FEBRUARI 2015 SEBESAR 8,36 PERSEN Jumlah angkatan kerja di DKI Jakarta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci